ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009 SISTEM PRODUKSI BATIK DAN KERAGAMAN JARINGAN HUBUNGAN PRODUKSI BATIK DI SURAKARTA Mahendra Wijaya Dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta, 57126
ABSTRACT The development of batik technology and production system grow the complexity of socio economic network of batik industry. This interconnection is complementary or interfiling in the production relation. The vertical interconnection is among the big and small industries , while interspace connection is among the batik industrial center in village and batik industrial center in urban. This interconnection generate the social economic networking on batik business more longer and varied. Those complexity of social economic networking tend to use the cooperation relation pattern by mutualism and domination which is cost saving. A. Latar Belakang Masalah Keberadaan batik tulis dengan corak atau pola batik Surakarta 1 berasal dari Karaton Surakarta. Pada awal abad ke 20, di bawah hegemoni budaya Karat on Kasunanan Surakarta. Pada tahun 1912 berdiri assosiasi dagang produsen dan pedagang batik pribumi muslim pertama Sarekat Dagang Islam (SDI)2. Keberadaan assosiasi dagang itu meningkatkan jaringan organisasi produksi dan perdagangan batik meluas dari Laweyan sampai ke pelosok kota-kota besar di Indonesia. Pemerintah kolonialis Belanda menjadi sangat kawatir akan kekuatan sosial ekonomi penduduk pribumi muslim, maka ia melakukan serangkaian tekanan politik ekonomi terhadap keberadaan Sarekat Dagang Islam. Tekanan politik ekonomi secara terus-menerus akhirnya membuat
Sarekat Dagang Islam menjadi lemah dan mengakibatkan kemunduran jaringan perdagangan batik pribumi3 Kemunduran tersebut berangsur-angsur menimbulkan fragmentasi usaha dari unit usaha industri rumah tangga mandiri terpecah–pecah ke dalam unit-unit spesialisasi mbatik, wedelan, babaran, mbironi, dan prembe atau pemborong pekerjaan. Cara produksi industri rumah tangga mandiri bergeser ke nempakke, yait u jaringan hubungan relasional antar unit-unit usaha produksi terspesialisasi Pedagang perantara bahan baku batik keturunan Tionghoa memiliki modal dan solidaritas kuat memanfaatkan kemunduran usaha batik pribumi. Mereka ekspansi ke dalam usaha produksi batik dengan corak dan warna batik khas Cina, seperti merah dan biru. Mereka mengembangkan mode
1
H Santosa Doellah mengemukakan batik tulis merupakan proses sehelai wastra yakni sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional beragam hias pola batik tertentu yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam lilin batik sebagai bahan perintang warna dalam Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Penerbit Danarhadi Surakarta.2002.hal:10. 2 Soedarmono. Mbok Mase. Pengusaha Batik di Laweyan Surakarta Awal Abad 20. Yayasan Warna-Warni Indonesia.Jakarta. 2006.hal: 119 3 George D. Larson mengungkapkan kolonialisme Hindia Belanda memotong dukungan Kraton Kasunanan Surakarta terhadap Sarekat Islam dalam Masa Menjelang Revolusi Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942. Gadjah Mada University Press. Hal :72-76.
Mahendra Wijaya Sistem Produksi Batik dan Keragaman Jaringan Hubungan Batik di Surakarta
1
Jurnal Sosiologi DILEMA produksi putting out, yaitu hubungan antara pedagang bahan baku batik keturunan Tionghoa dengan pengrajin pembatik atau pekerja rumahan di pedesaan. Memasuki masa kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintahan Orde Lama mengeluarkan kebijakan program benteng yang bertujuan unt uk menumbuhkan kewiraswastaan pribumi. Dalam bidang perbatikan, pemerintah mendirikan koperasi sekunder Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang anggotanya terdiri dari koperasi primer di daerah-daerah. Sejak tahun 1950 GKBI memiliki lesensi monopoli impor bahan baku. Oleh sebab itu, GKBI berhasil membantu pengadaan bahan baku mori, obat-obatan dan pemasaran batik sekitar 10 hingga 15 persen dari hasil produksi para anggota-anggotanya4. Program benteng secara umum dianggap distorsi dan gagal menumbuhkan wiraswasta pribumi di Indonesia, namun di bidang perbatikan program t ersebut menimbulkan efek positip, yaitu pemupukan mo dal, penyerapan tenaga kerja, peningkatan keterampilan kerja, dan meluasnya industri batik tulis dan cap di berbagai penjuru Kota Surakarta. Orde Baru memiliki kebijakan mengejar pertumbuhan ekonomi yang mengutamakan industri padat mo dal, teknologi mekanisasi impor, dan produk massal. Pada tahun 1970-an, t erjadi pertumbuhan industri garmen dan printing bermotif batik yang dikuasai oleh pengusaha Tionghoa dan Arab di Surakarta5. Situasi tersebut menciptakan ketimpangan struktur
industri batik antara mode produksi manufaktur batik printing dengan mode produksi pabrikan cap dan industri rumah tangga batik tulis. Persaingan ekonomi komersial secara terus-menerus mengakibatkan batik cap kalah bersaing baik dari segi kualitas maupun harga. Hal itu mengakibatkan sebagian besar industri batik cap di Surakarta terpaksa harus tutup usaha. Akan tetapi industri kerajinan batik tulis di Surakarta tetap dapat bertahan, hal itu disebabkan oleh kemampuan juragan batik dalam mempertahankan spesifikasi produk batik tulis, yang corak dan fungsi pemakaiannya terkait dengan adat Jawa6. Pada bulan Mei 1988 di Surakarta terjadi kerusuhan sosial. Ironisnya dalam kondisi ekonomi terpuruk, pada pertengahan Oktober 1999 terjadi lagi kerusuhan sosial di Surakarta. Kerusuhan sosial beruntun tersebut mengakibatkan hancurnya sebagian besar sarana dan prasarana perdagangan77. Dalam kurun waktu tersebut perekonomian Kota Surakarta sempat lumpuh. Harga bahan baku batik impor naik hingga 300 persen, permintaan masyarakat akan kain batik menurun dan industri batik tulis, cap dan printing cenderung menutup usaha untuk sementara waktu8. Proses pemulihan ekono mi membangkitkan kembali industri dan perdagangan batik di Surakarta. Hal itu ditandai dengan beroperasinya kembali 170 unit usaha batik di kampung batik Laweyan dan 25 unit usaha batik di kampung batik Kauman serta 36 unit usaha batik yang lokasi usahanya tersebar di dalam Kota Surakarta 9. Kebangkitan industri batik
4
Nurhadiantomo,2004. Konflik Konflik Sosial Pri da- Non Pri dan Hukum Keadilan Sosial. Muhammadiyah University Press. hal 122-123 5 Nurhadiantomo,2004. Konflik Konflik Sosial Pri da- Non Pri dan Hukum Keadilan Sosial. Muhammadiyah University Press. hal 122-123 6 Siti Irene Dwiningrum. Strategi Kelangsungan Saudagar Batik di Daerah Istimewa Yogyakarta. 1997. Hal 5-7. 7 Hari M Mulyadi dan Sudarmono.Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit. Studi Radikalisasi Sosial “Wong Surakarta” dan kerusuhan Mei 1998. LPTP. Central Grafika. Surakarta. 1999. Hal 467-555 8 Mahani. Pasang Surut Usaha Industri Batik Keturunan Arab Di Pasar Kliwon. Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2003. hal 87 9 jumlah industri batik di kampung batik Laweyan dan Kauman berdasarkan survey bulan Mei 2007
2
Mahendra Wijaya Sistem Produksi Batik dan Keragaman Jaringan Hubungan Batik di Surakarta
ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009 memantapkan kembali hubungan produksi antara para juragan dari kota Surakarta dengan para pengrajin pembatik di desadesa sekitar Surakarta. B.
Rumusan Masalah: Dalam perkembangan industri batik di tandai dengan peningkatan sistem produksi: batik tulis, batik cap, dan batik printing. Perkembangan sistem produksi tersebut ternyata disertai dengan peningkatan unitunit usaha perbatikan. Keterkaitan antara unit-unit usaha batik tersebut menumbuhkan kompleksitas jaringan hubungan produksi batik di Surakarta. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: 1. Bagaimana proses perkembangan tekhnologi dan sistem produksi batik? 2. Bagaimana peningkatan sistem produksi menumbuhkan unit-unit usaha dan kompleksitas jaringan hubungan produksi? C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian: Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan dan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut 1.
Tujuan Penelitian: Ingin menggambarkan t entang proses perkembangan tekhnologi dan sistem produksi batik? 2) Ingin menggambarkan t entang peningkatan sistem produksi menumbuhkan unit-unit usaha dan kompleksitas jaringan hubungan produksi? 2. Manfaat Penelitian Setelah memahami peningkatan sistem pro duksi dan ko mpleksit as jaringan produksi maka hasil penelitian 1)
ini dapat digunakan sebagai landasan penyusunan kebijakan pengembangan usaha kecil menengah. D. Telaah Pustaka Perspektif merupakan suatu cara pandang yang digunakan untuk memahami suatu fenomena sosial. Perspektif budaya ekonomi merupakan suatu cara pandang yang digunakan untuk memahami pola tindakan dan pola pikiran para anggota masyarakat dalam mengorganisasi produksi, distribusi dan pertukaran barang atau jasa melalui di pasar. Pola tindakan dan pola pikiran merupakan pengulangan tindakan dan pengulangan pikiran manusia yang berlangsung terus menerus. Menurut Braudel10 kapitalisme merupakan fenomena historis, artinya kapitalisme tumbuh sebagai konsekuensi dari sebuah proses yang lama sekali jangka waktunya (lounge durre). Kapitalisme berkembang sebagai suatu kegiatan produksi yang diperuntukan bagi pasar yang dilakukan baik oleh perseorangan maupun secara bersama dengan tujuan memperoleh keuntungan. Braudel 11 menguraikan empat bentuk kapitalisme produksi sebagai berikut: Pertama, adalah industri rumah tangga. Kedua, adalah aktivitas industri yang disebut sebagai dispersed factory atau pabrik terpencar. Ketiga, adalah pabrikan yang terkonsentrasi. Keempat, adalah manufaktur di mana tenaga kerja, teknologi-mesin dan bahan bahan baku terkonsentrasi di bawah satu atap, namun rangkaian pekerjaan dominan diselesaikan oleh mesin untuk menghasilkan produk secara massal. 2. Keragaman Jaringan Hubungan Sosial Ekonomi Berbeda dengan perkembangan eko nomi di Eropa Barat, Boeke 12
10
Fernand Braudel. 1984. The Prespective of The world (Volume 3 of Civilitation and Capitalism, 15 th – 18 Century). Harper and Row. New York.301-302 11 Fernan Braudel. 1982. Op cit .hal 301-302 12 J H Boeke & D H Burger . Ekonomi Dualistik : Dialog Antara Boeke dan Burger. Jakarta. Bharatara. 1973
Mahendra Wijaya Sistem Produksi Batik dan Keragaman Jaringan Hubungan Batik di Surakarta
3
Jurnal Sosiologi DILEMA menggambarkan perkembangan ekonomi di Indonesia dengan tesis dualisme ekonomi. Boeke membagi masyarakat ekonomi menjadi sektor modern yang kapitalistik dengan sekt or t radisional yang pra kapitalistik. Sekto r mo dern kapitalis ditandai dinamika yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi, sebaliknya sektor tradisional yang pra kapitalistik ditandai stasioner tidak menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Boeke menyatakan sekt or tradisional yang pra kapitalistik dan sektor modern yang kapitalistik berkembang sendiri-sendiri dan terpisah. Dalam perspektif yang berbeda, Ranis13 menyatakan dualisme ekonomi sebuah kontinum karena sektor modern mempunyai hubungan dengan dengan sektor tradisional. Bahkan ditegaskan bahwa sektor modern sebagai kelanjutan dari sektor tradisional. Tenaga kerja berlebih sudah sedemikian besar di sektor ekonomi tradisional dan sektor ekonomi modern tidak mempunyai kapasitas cukup untuk menyerapnya. Persoalan pada sektor ekonomi tradisional semakin rumit, sementara itu perkembangan sektor ekonomi modern semakin mapan karena mengimbangi perkembangan yang pesat diluarnya. Akibatnya keterkaitan sektor ekonomi tradisional dan sektor ekonomi modern tidak fungsional. Model keterkaitan keruangan antar daerah menurut kajian Ranis, Steward dan Reyes14 terbentuk karena ada kerja sama dalam hubungan antara perusahaan di suatu tempat dengan perusahaan tempat lain. 13
Perkembangan kerja sama dalam hubungan keruangan antar daerah tersebut akan merangsang industrialisasi di sektor jasa (dagang).Demikian juga studi Watanabe15 mengungkapkan keterkaitan di dalam suatu sektor antara industri besar dengan industri kecil. Watanabe mengkaji jaringan hubungan sub kontrak spesial, yaitu hubungan antata pihak prinsipal industri besar dengan pihak sub kontraktor industri kecil, pihak prinsipal mengembangkan sub kontrak dengan alasan pihak sub kontrak memiliki keahlian khusus yang sama. Dalam jaringan sub kontrak spesialisasi terjadi transfer manajemen, teknologi dan modal dari industri besar ke industri kecil. Menurut Watanabe dinamika jaringan sub kontrak spesialisasi menumbuhkan industrialisasi di sektor barang Jepang. Kajian jaringan hubungan relasional antara aktor-aktor ekonomi pusat, semi pinggiran dan pinggiran dalam level mikro menggunakan analisis jaringan sosial. Dalam perspektif Granovetter 16 analisis jaringan sosial berdasar dari suatu pemikiran bahwa tindakan ekonomi disituasikan secara sosial dan mengakar ke dalam jaringan sosial. Clyde 17 menegaskan jaringan sosial sebagai konsep analitis tidak hanya dilihat dari rangkaian hubungan relasional saja, melainkan juga dilihat bagaimana karakterist ik sosial dari hubungan-hubungan relasional yang ada dapat digunkan untuk menginterprestasikan tindakan sosial dari orang-orang yang terlibat didalamnya.
Gustav Ranis . The Dual Economy Framework Relevance Asia Development. Manila . Asia Development Review. No 1
Vol 2 ADB, 1984 hal 39-51 14
Gustav Ranis . The Dual Economy Framework Relevance Asia Development. Manila . Asia Development Review. No 1 Vol
2 ADB, 1984 hal 39-51 15
Susumu Watanabe. Entrepreneurship in Small Enterprises in Javanese Manufacturing and Subcontracting . Industrialization
and Employment Creation. International Labour Review. 1970.
17
J Clyde Mitchell. 1967.The Concept and Use Social Networks. Manchester University Press.hal 1-10 dan hal 20-29
18
Ronald Burt. Toward a Structural Theory Of Action : Networks Models Of Social Structure, Perception, and Artion. New
York. Academic Press. halaman 1-20
4
Mahendra Wijaya Sistem Produksi Batik dan Keragaman Jaringan Hubungan Batik di Surakarta
ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009 Burt 18 menggunakan pendekat an kultural dalam jaringan sosial, di mana keterlibatan individu-individu yang ada di dalam suatu jaringan sosial tidak hanya seorang melainkan banyak orang. Analisis kultural dalam jaringan sosial terfokus pada sebagian dari keseluruhan jaringan sosial disebut dengan reticulum.. E. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode naturalistic inquary19 yaitu suatu cara untuk menggambarkan proses-proses budaya dan ekonomi yang berlangsung timbal balik dan secara simultan membentuk keragaman jaringan sosial ekonomi perbatikan di Surakarta. Peneliti sebagai kunci utama dalam mengumpulkan data dan menafsir data. Informan diperlakukan sebagai subyek, hubungannya dengan peneliti bersifat interaktip. 1.Kreteria Informan dan Penetapan Lokasi Penelitian (1).Kreteria Informan. Berdasarkan tujuan penelitian maka subyek penelitian ini adalah unit-unit usaha yang saling terkait dalam klik-klik jaringan sosial produsen dan pedagang batik. (2) Penetapan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Kota Surakarta dengan alasan sebagai berikut: Pertama Kota Surakarta sentra produksi dan perdagangan batik, kedua sejarah batik di Kota Surakarta berhubungan dengan polapola batik khas Jawa. Ketiga, batik sebagai culture heritage yang diakui secara internasional. Berdasarkan alasan sub culture are tersebut maka di pilih sentra produksi dan perdagangan batik di Kampung Batik Laweyan Surakarta, dan Kampung Batik Kauman Surakarta terpilih sebagai lokasi penelitian.
2.Tahap-Tahap Penelitian. Proses penelitian terbagi ke dalam tahap-tahap penelitian sebagai berikut: a. Identifikasi Jenis Data dan Nara Sumber Jenis data terdiri dua, yakni data primer dan sekunder. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, unit usaha dan paguyuban kampung batik. Data primer dipero leh langsung dari juragan,saudagar, mandor penggarap, pengrajin pembatik. b. Pengumpulan data tahap pertama. Penelitian tahap pertama adalah pra survey sosial ekonomi produsen dan pedagang batik di sentra industri batik Laweyan dan Kauman Surakarta serta Pungsari Sragen. c. Pengumpulan data tahap kedua dan analisis data Mengacu pada tujuan maka proses pengumpulan dat a t ahap kedua langsung pada informan tentang teknologi, sistem produksi dan polapola hubungan produksi. Analisis data merujuk pada prosedur meto de naturalistic inquary. (1). Kajian naturalistic inquary produsen dan pedagang batik memilih informan atas dasar pertimbangan apa yang dimiliki oleh informan tersebut merupakan refleksi kesadaran individu dan kelompoknya.(2). Validitas data melibatkan trianggulasi secara luas. Analisis data menggunakan dua cara adalah sebagai berikut: a.Hasil wawancara mendalam dan partisipasi observasi t erhadap informan dianalis dengan deskriptif kualitatif jaringan personal 1. b. Relasi-relasi sosial ekonomi dianalisis interpretation of culture 2 bertujuan unt uk menggambarkan incribes fenomena sosial, yaitu aksi simbolis
20
J Clyde Mitchell. Social Networks in Urban Situations Analyses of Personal Relationships in Central African Towns. Manchester University Press.1967. 21 Cllifford Geertz. The Interpretation of Culture. Basic Book. 1978
Mahendra Wijaya Sistem Produksi Batik dan Keragaman Jaringan Hubungan Batik di Surakarta
5
Jurnal Sosiologi DILEMA dari suatu tindakan seseorang terhadap orang lain. Peneliti menginterpretasikan apa yang dikatakan dan dikomunikasikan oleh informan dan fenomena itu (perspektif emik). F. SAJIAN DATA DAN PEMBAHASAN 1. SAJIAN DATA 1.Deskripsi Industri Kerajinan Batik Surakarta Kota Surakarta memiliki jumlah penduduk tahun 2005 jika dibanding dengan jumlah penduduk tahun 2000 hasil sensus sebesar 488.834 jiwa, berarti dalam lima tahun mengalami kenaikan sebanyak 83.708 jiwa. Meningkatnya jumlah penduduk ini disebabkan oleh migrasi dan pertumbuhan ekonomi. Sektor industri dan perdagangan bat ik merupakan salah satu mo tor penggerak struktur ekonomi tersebut. Kebijakan ekonomi Pemerint ah Daerah Kota Surakarta ditetapkan dengan memperhatikan perkembangan ekonomi Kota Surakarta yang bertumpu pada industri dan perdagangan pengolahan antara lain industri perbatikan. Oleh sebab itu kebijakan ekonomi khusus di bidang perbatikan diarahkan untuk mengatasi masalahmasalah yang dihadapi dalam dunia industri dan perdagangan batik, seperti masalah sosialisasi dan promosi batik, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) , dan pemasaran. Perkembangan industri batik di Kota Surakarta terkonsentrasi di sentra-sentra industri batik Laweyan, Kauman, Pasar Kliwon,dan industri batik mandiri lainnya tersebar di berbagai wilayah di Surakarta. Industri batik masih menjadi andalan ekonomi yang dapat memberi peluang kerja dan pendapatan bagi ribuan tenaga kerja di Kota Surakarta dan sekitarnya. Pada tahun 2006 perkembangan jumlah industri batik yang dapat bertahan dari tekanan ekonomi sebanyak 231 unit industri, masing-masing 170 unit industri terdapat 6
di Laweyan, 25 unit industri di Kauman dan 36 unit industri tersebar di Kedung Lumbu, Sangkrah, Semanggi dan Kemasan. Sebagian besar atau 146 unit adalah industri batik cap, 50 unit industri batik tulis dan 35 industri batik printing. Industri batik tulis, cap, dan printing tersebut dapat memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi ribuan tenaga kerja yang berasal dari Surakarta dan sekitarnya. Oleh sebab itu industri batik masih menjadi salah satu tumpuan ut ama perekonomian Ko ta Surakarta. Kampung batik Laweyan merupakan sentra industri dan perdagangan batik di Kota Surakarta. Area kampung batik Laweyan sebagaimana dikenal t empo dahulu meliputi wilayah Laweyan, Bumi dan Sondakan. Kampung batik Laweyan di Surakarta berkembang sebagai kampung santri yang taat menjalankan ibadah Agama Islam. Hal itu terkait dengan keberadaan Kyai Ageng Anis pada akhir abad ke 16 di Laweyan. Ajaran agama Islam dari ulama besar tersebut secara turun-t emurun menjiwai dunia kehidupan para santri di kampung batik tersebut. Keberadaan batik tidak hanya sebagai simbol seni budaya Jawa namun juga sebagai simbol kesejahteraan santri dan kemakmuran masjid. Pada tahun 2004 berdiri Paguyuban Kampung Wisata Batik Laweyan, menandai kebangkitan kembali kampung bat ik Laweyan Surakarta. Kebangkitan ini bersamaan kecenderungan permintaan konsumen batik menurun di pasar domestik, namun permintaan pasar ekspor terus meningkat. Pada tahun 2006 di kampung batik Laweyan terdapat 11 industri batik tulis, 31 industri batik cap, 3 industri batik printing dan 3 industri garmen batik serta 122 usaha rumah tangga pedagang batik . Kampung batik Kauman merupakan sentra industri dan perdagangan batik yang terletak di pusat Kota Surakarta. Kampung batik Kauman di Surakarta berkembang
Mahendra Wijaya Sistem Produksi Batik dan Keragaman Jaringan Hubungan Batik di Surakarta
ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009 sebagai kampung santri yang taat menjalankan ibadah Agama Islam. Hal itu terkait dengan keberadaan Penghulu Masjid Agung Karaton Kasunanan Surakarta pada akhir abad 18 di Kauman Surakarta. Ajaran agama Islam ulama besar tersebut secara turun-temurun menjiwai dunia kehidupan para santri di kampung batik tersebut. Pada t ahun 2006 sejalan berdiri Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman. Momentum tersebut mendorong kebangkitan kembali unit usaha juragan dan saudagar batik. Pada tahun 2006 di kampung batik Kauman beroperasi 26 industri dan 26 show room batik. Beberapa tahun terakhir ini perkembangan kampung batik Kauman mengarah sebagai kampung perdagangan batik dari pada sentra produksi batik. 2.Perkembangan Sistem Produksi Batik Teknologi perbatikan berawal dari teknologi canting celup rintang dengan malam lilin batik sebagai bahan perintang warna. Proses pembatikan batik tulis panjang dari nyorek, nglowong, ngiseni dan nerusi baru kemudian nyoga, wedel, mbironi dan babaran. Proses produksi satu biji kain batik tulis mencapai 1-2 bulan tergantung motif/pola yang dibatik. Teknologi produksi batik tulis terdiri dari canting, gawangan, anglo, wajan, kipas, cucuk dan lain-lain merupakan produk lokal. Perkembangan teknologi stempel atau cap bergambar pola batik tradisional atau kontemporer terbuat dari bahan kuningan atau tembaga. Proses produksi batik menjadi lebih cepat dari pada batik tulis. Stempel atau cap yang bergambar pola batik dicelupkan pada cairan lilin atau malam yang mendidihkan, kemudian ditempelkan pada sebuah kain. Teknologi produksi batik cap dapat menghasilkan puluhan kain batik cap dalam tempo dua hari. Sehelai kain batik tulis diselesaikan dalam waktu kurang lebih 2 minggu, waktu penyelesaian sebuah batik tulis tergantung dari rumit-tidaknya corak batik yang akan dibatik.
Teknologi produksi batik printing bermula dari pemanfaatan teknik pemindahan dari gambar pola batik pada kain menuju lembaran klise pola batik melalui proses fotografi. Lembaran klise pola batik diberi plakat yang ukurannya sesuai dengan ukuran kain. Gulungan kain diletakkan pada roll yang dapat diulur memanjang di atas meja, kemudian satu per satu dicetak dengan plakat yang diberi olesan zat pewarna. Teknologi produksi ini disebut dengan teknik sablon atau printing sablon yang dapat menghasilkan ratusan kain batik printing dalam satu hari. Perkembangan teknik pemindahan gambar dari klise gambar pola batik dipindahkan pada lempengan logam yang diproses secara fotografis. Lempengan logam yang telah bergambar pola batik dipasang pada rol mesin pembuatan. Setelah diberi obat pewarna, maka gulungan kain dicetak pola batik oleh roll mesin tekstil yang berputar tersebut. Teknologi ini disebut mesin printing yang dapat melipatgandakan produksi kain printing berpola batik lebih banyak daripada printing sablon. Perubahan t ekno logi perbatikan menimbulkan perubahan sistem produksi sebagai berikut: Sistem produksi industri kerajinan batik tulis rumah tangga di kelola oleh pengrajin pembatik yang dibantu oleh beberapa tenaga kerja keluarga tanpa upahan. Keseluruhan kegiatan dilaksanakan secara manual dibantu oleh peralatan produksi sederhana seperti canting, gawangan, anglo, kipas angin dan lain-lain. Kegiatan produksi dilakukan atas dasar pesanan. Sistem produksi pabrikan batik cap sangat berbeda dari sistemproduksi industri rumah tangga. Para pekerja tidak lagi bekerja di rumahnya masing-masing, tetapi pekerja dat ang ke pabrik untuk menyelesaikan serangkaian tugas di bawah satu atap. Pada periode ini pengusaha mengembangkan spesialisasi pekerjaan
Mahendra Wijaya Sistem Produksi Batik dan Keragaman Jaringan Hubungan Batik di Surakarta
7
Jurnal Sosiologi DILEMA Matrik 1 Keragaman Jaringan Hubungan Produksi Batik Tulis. No
1
2. 3.
4. 5.
Jaringan Hubungan Produksi Pabrikan /Manufaktur Jaringan hubungan produksi kluster Jaringan hubungan produksi nempakke Jaringan hubungan produksi pocokan Jaringan hubungan produksi susukan
Unit-unit usaha yang terkait.
Pola Keterkaitan Dalam Hubungan Produksi
Pengusaha, manager/supervisor, tukang pengrajin pembatik. Juragan, carik dan pengrajin pembatik Saudagar pemroses, mandor penggarap dan pengrajin pembatik Juragan/Saudagar dan pengrajin pembatik. Juragan dengan pengrajin pembatik susukkan
Keterkaitan vertikal dalam organisasi produksi Keterkiatan vertikal antar keruangan Keterkaitan vertikal antar keruangan sentra produksi desa-kota Keterkaitan vertikal di dalam sentra produksi Keterkiatan vertikal di dalam sentra produksi
Sumber data primer , 2006 (1). Jaringan Hubungan Produksi Dalam Manufaktur Bat ik Printing Tulis Pemilik perusahaan melalui manager membangun struktur organisasi manufaktur batik printing tulis secara terpusat pada kepentingan ekonomi pemilik perusahaan. Pola hubungan produksi berjenjang, adalah pertama hubungan pemilik perusahaan dengan manager, kedua hubungan manager dengan supervisor, ketiga hubungan supervisor dengan pengrajin pembatik dan tukang.Hak-hak dan kewajiban tenaga kerja termuat dalam Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) Perusahaan. KKB yang dibuat oleh manager perwakilan perusahaan, karyawan dan pet ugas dari Depnaker. Pemilik perusahaan, manager dan supervisor memanfaatkan KKB sebagai alat untuk mengendalikan pengrajin pembatik / tukang dalam bekerja. Pemilik perusahaan mengkondisikan agar manager dan supervisor menginterprestasikan aturan-aturan kerjasecara subyektif untuk kepentingan perusahaan. Salah satu cara yang diterapkan oleh manager dan supervisor adalah mempersulit perubahan status pekerja tetap. Pekerja kontrak belum memiliki hak-hak memperoleh jaminan kesehatan seperti cuti hamil. 8
(2). Jaringan Hubungan Produksi Dalam Kelompok Klaster. Jaringan hubungan produksi dalam kelompo k klaster adalah rangkaian hubungan produksi antara juragan dengan beberapa carik, kemudian seorang carik sebagai supervisor kerja membawahi satu kelompok yang terdiri dari 10 hingga 15 pengrajin pembatik rumahan. Juragan batik membagi tahapan pekerjaan dalam sistem produksi klaster sebagai berikut :Tahap pekerjaan persiapan meliputi memilih kain, mencuci kain, membuat po la batik dilakukan di perusahaannya sendiri.Kemudian tahap proses membatik, nglowong, ngiseni, nitikki, nutupi diserahkan pada carik dan pengrajin pembatik. Tahap terakhir pewarnaan, medel, nglorot kembali dilakukan di perusahaannya sendiri. Saudagar bahan baku kain
Juragan batik
Mandor penggarap
Pengrajin pembatik pocokan/Saudagar pemroses
Proses hubungan produksi dengan sistem kluster adalah sebagai berikut: Pertama juragan atau saudagar pemroses membangun hubungan dagang
Mahendra Wijaya Sistem Produksi Batik dan Keragaman Jaringan Hubungan Batik di Surakarta
ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009 Matrik 2. Jaringan Hubungan Produksi Batik Non Tulis No a.
b.
c.
d.
Jaringa sosial
Unit-unit usaha / tenaga kerja Pola hubungan produksi yang terlibat Jaringan sub kontrak Pabrikan/manupakture skala besar Pola hubungan dominasi industrial mene kan dengan pabrikan /manufaktur biaya produksi (cost skala kecil-menengah saving) Jaringan sub kontrak Pabrikan/manupakture skala besar Pola hubungan kerja sama industrial spesialisasi. dengan pabrikan /manupakture skala kecil-menengah Jaringan hubungan Unit-unit usaha spesialisasi Pola hubungan kerja sama produksi nempakke mbatik, medel, mbironi dan babaran,penjahit Jaringan produksi Juragan, manager/supervisor, Pola hubungan dominasi dalam pabrikan tukang , pengrajin pembatik dan /manufaktur buruh batik.
dengan saudagar bahan baku kain berdasarkan ikatan kekerabatan, ketetanggaan dan pertemanan. Juragan memanfaatkan hubungan-hubungan sosial tersebut untuk memperoleh bahan baku kain secara ngalap nyaur atau ambil barang dahulu dibayar sebulan kemudian. Kedua, juragan atau saudagar pemroses membangun hubungan-hubungan produksi dengan mandor penggarap (carik) dan pengrajin pembatik pocokkan dengan sistem kontrak borongan. (3) Jaringan Hubungan Produksi Pocokan Ist ilah pocokan berarti memperkerjakan seseorang berdasarkan kontrak borongan sesuai dengan kebutuhan juragan batik. Pola jaringan hubungan produksi pocokan merupakan keterrkaitan vertikal baik intra maupun antar keruangan. Pekerjaan ngengreng pola batik, mbatik, nerusi, nglowong dilakukan di rumah pengrajin pembatik sedangkan pekerjaan medel, mbironi, nyoga sampai dengan nglorot dikerjakan pada unit usaha juragan. Pada umumnya hubungan produksi pocokan terbentuk karena juragan mendapatkan pesanan batik dalam jumlah relatif besar melebihi kapasitas produksi yang dapat dihasilkannya. Juragan batik
Juragan batik memobilisasi pengrajin pembatik pocokan relatif cepat dan mudah di pedesaan. Hal itu terkait dengan adanya surplus pengrajin pembatik pocokan di pedesaan. Hubungan produksi pocokan berdasarkan kontrak borongan, besarnya upah berdasarkan satuan hasil kerja yang dapat diselesaikan oleh pengrajin pembatik pocokan. 2. Keragaman Jaringan Hubungan Produksi Batik Non Tulis Peningkatan unit usaha batik tulis meningkatkan keragaman jaringan hubungan produksi batik tulis dalam matrik 2 menunjukkan keragaman jaringan hubungan produksi menggunakan pola hubungan kerja sama dan pola hubungan dominasi. Pola hubungan kerja sama antara pabrikan batik cap / manufaktur batik printing dengan industri rumah tangga mandiri bersifat saling menguntungkan kedua belah pihak atau mutualisma. Sebaliknya pola hubungan dominasi antara pabrikan batik cap tulis/manufaktur batik printing tulis dengan pengrajin pembatik rumahan, pabrikan/ manufaktur menekan biaya produksi karena upah tenaga kerja di desa lebih kecil dibandingkan dengan upah tenaga kerja di kota.
Pengrajin pembatik pocokan
Mahendra Wijaya Sistem Produksi Batik dan Keragaman Jaringan Hubungan Batik di Surakarta
9
Jurnal Sosiologi DILEMA Juragan dan saudagar batik mengembangkan berbagai pola jaringan hubungan dagang dengan pedagang batik di pasar lokal, pasar domestik dan perusahaan dagang di luar negeri.Juragan dan saudagar batik membutuhkan waktu lama untuk membangun kepercayaan dan menjalin hubungan timbal balik dan membentuk jaringan hubungan dagang. Dalam matrik 2 menunjukkan kecenderungan keragaman jaringan hubungan dagang menggunakan pola hubungan kerja sama, kecuali hubungan dagang nempil dan ngempit. Pola hubungan kerja sama bersifat saling menguntungkan (mutualisma), sedangkan pola hubungan dominasi, seorang saudagar batik memanfaatkan bakul ngempit/ nempil sebagai alat mencari keuntungan. G. Pembahasan Perkembangan sistem pro dust ri industri rumah tangga batik tulis, sistem produksi pabrikan batik cap sampai sistem pro duksi manufaktur bat ik print ing meningkatkan keragaman jaringan hubungan produksi batik tulis dan batik non tulis. Temuan penelitian ini berbeda dengan studi Todaro22 tentang eksistensi dualisme ekonomi, di mana hubungan antara sektor ekonomi tradisional dengan sektor ekonomi modern cenderung bersifat dominatif. Problematik tesis eksistensi dualisme ekonomi tersebut terlalu menekankan hubungan sektor ekonomi tradisional dengan sektor ekonomi modern bersifat dominatif. Tesis tersebut mengesampingkan kondisi faktual bahwa sebagian dari unit usaha ekonomi tradisional merupakan unit usaha ekonomi dengan spesialisasi keahlian tinggi. Oleh sebab itu sebagian dari hubungan antara sektor ekonomi tradisional dengan sektor ekonomi modern dapat bersifat fungsional yang saling menguntungkan (mutualisma).
Demikian juga temuan penelitian ini berbeda dengan st udi Ranis 23 mengungkapkan dualisme ekonomi sebuah proses kontinum. Sektor ekonomi modern mempunyai hubungan fungsional dengan dengan sektor ekonomi tradisional. Pro blematik tesis dualisme ekonomi kontinum tersebut terlalu menekankan hubungan antara sektor ekonomi tradisional dengan sektor ekonomi modern bersifat fungsional. Tesis ini mengabaikan kondisi faktual bahwa hubungan antara sebagian dari unit usaha ekonomi tradisional dengan unit usaha ekonomi modern dapat bersifat dominatif. Keragaman jaringan hubungan produksi batik tulis dan non tulis mengikuti pola dominasi dan mutualisma. Di satu sisi jaringan hubungan produksi antara sektor ekonomi tradisional dengan sektor ekonomi modern bersifat fungsional atau saling menguntungkan kedsua belah pihak. Di sisi lain keragaman jaringan hubungan produksi batik tulis dan non tulis bersifat dominasi manufaktur dan parikan terhadap industri rumah tangga. H. Kesimpulan Perkembangan teknologi perbatikan dari teknologi batik tulis ke batik cap dan bat ik print ing menumbuhkan syst em produksi berkembang dari industri rumah tangga batik tulis ke pabrikan batik cap dan manufaktur batik printing. Perkembangan system produksi tersebut disertai dengan keragaman jaringan hubungan produksi antara industri rumah tangga, pabrikan dengan manufaktur. Jaringan hubungan produksi yang dilandasi keahlian khusus cenderung bersifat fungsional, sebaliknya hubungan produksi yang dilandasi pertimbangan menekan upah tenaga kerja cenderung dominatif. Hubungan produksi berdasarkan spesialisasi terjadi transfer
22
Michael Todaro. Economics for Development World.Loman, Essex . 1982 hal 92-94 Gustav Ranis. The Dual Economy Framework Relevance and Delopment .Manila: Asian Development Review. No 1 Vol 2, ADB,1984 hal 39-51
23
10
Mahendra Wijaya Sistem Produksi Batik dan Keragaman Jaringan Hubungan Batik di Surakarta
ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009 teknologi, modal dan manajemen dari industri besar ke industri rumah tangga. Sebaliknya hubungan produksi berdasarkan pertimbangan menekan upah tenaga kerja terjadi dominasi industri besar terhadap industri rumah tangga, sehingga industri rumah tangga cenderung semakin tergantung dengan upah upah semakin rendah. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian, kesenjangan ekonomi antara industri besar (manufaktur) dengan industri kecilmenengah (pabrikan) dan industri rumah
tangga cenderung semakin tajam. Masalahnya bersumber dari hubunganhubungan produksi yang bersifat dominatif karena lemahnya kualitas pengrajin pembatik. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah tersebut dibutuhkan suatu pendidikan dan pelatihan khusus bagi pengrajin pembatik, agar kualitas kerjanya semakin bermutu tinggi. Hingga ia dapat menghindari hubungan produksi dominatif dan memilih hubungan produksi fungsional berdasarkan pertimbangan spesialisasi keahlian yang cenderung terjadi tranfer teknologi, modal dan manajemen.
DAFTAR PUSTAKA: Braudel, Fernand. 1984.The Prespective of The world (Volume 3 of Civilitation and Capitalism, 15 th – 18 Century). Harper and Row. New York.
Burt , Ronald. 1982.Toward a Structural Theory Of Action : Networks Models Of Social Structure,Perception, and Artion. New York. Academic Press.
Clyde, Mitchell J.1967.Social Networks in Urban Situations Analyses ofPersonalRelationships in Central African Towns. Manchester University Press. Doellah, H Santosa.2002. Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Penerbit Danarhadi Surakarta. Dwiningrum, Siti Irene.1997. Strategi Kelangsungan Saudagar Batik di DaerahIstimewa Yogyakarta. Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta. Geertz, Cllifford.1973. The Interpretation of Culture. Basic Book.
Larson, George D.1990. Masa Menjelang Revolusi Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942. Gadjah Mada University Press. Lincoln, Yvonna S and Guba, Egon C.1985. Naturalistic Inquary. Beverly Hill:Sage Publication. Mahani. 2003. Pasang Surut Usaha Industri Batik Keturunan Arab Di Pasar Kliwon. Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta. Mulyadi, Hari M dan Sudarmono.1999.Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit.Studi RadikalisasiSosial Wong Solo dan Kerusuhan Mei 1998. LPTP.Central Grafika.Solo. Nurhadiantomo .2004.Konflik Konflik Sosial Pri da- Non Pri Dan Hukum Keadilan Sosial. Muhammadiyah University Press. Ranis, Gustav .1984. The Dual Economy Framework Relevance Asia Development. Manila . Asia Development Review. No 1 Vol 2 ADB. Sariyatun.2001. Usaha Batik Masyarakat Cina di Surakarta tahun 1900 1930.Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta. Soedarmono.1987. Munculnya Kelompok Saudagar Batik di Laweyan Pada Awal Abad
XX.Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Todaro, Michael. 1982 Economics for Development World. Loman, Essex . Watanabe, Susumu.1971. Entreprenurship in Small Enterprises in Japanese Manufacturing , and .Sub Contracting , Industrialization and Employment Creation. International Labour .Review.
Mahendra Wijaya Sistem Produksi Batik dan Keragaman Jaringan Hubungan Batik di Surakarta
11