SISTEM PENDINGINAN NOKTURNAL HIBRIDA UNTUK PENYIMPANAN DINGIN SAYUR-SAYURAN SEGAR
IDA BAGUS PUTU GUNADNYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Sistem Pendinginan Nokturnal Hibrida untuk Penyimpanan Dingin Sayur-sayuran Segar” karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2009
Ida Bagus Putu Gunadnya NRP F126010011
ABSTRACT IDA BAGUS PUTU GUNADNYA. Hybrid Noctunal Cooling System for Cold Storing of Fresh Vegetables. Supervised by KAMARUDDIN ABDULLAH, ARMANSYAH H. TAMBUNAN, Y. ARIS PURWANTO, and M.A.M. OKTAUFIK. Nocturnal cooling is a kind of cooling that utilising a cold night clear sky as a heat sink of a cooling load. This type of cooling has been studied and applied successfully, especially in dry regions. However the findings reveal that this cooling was also applicable in a humid area. This type of cooling has a potency to be exploited in Indonesia. In this research, nocturnal cooling application in a cooling installation was combined with a conventional one to reach targeted room temperature suitable to store mixed mostly sub-tropical vegetables. The objective of the research was to study the potency of nocturnal cooling in relation to reduction of utilization of nonrenewable energy sources in cold storing of vegetables. In order to achieve this goal, experiments were conducted. Further, simulation, optimization, and technoeconomic analysis were done on cold storing system of vegetables. The potency of nocturnal cooling is expressed as nocturnal cooling power, which is difficult to be accurately determined. Precision in estimating the value of this cooling power depends upon the precision in determining convective heat transfer coefficient and sky temperature. The coefficient of convective heat transfer is generally determined empirically. In this research, the value of this coefficient was estimated by employing two kind of approximation such as empirical and analytical approximation. It was found that expressions for this coefficient based on empirical and analytical approximation were h = 5.513V0.5 and h = 5.277V0.5. Estimation equation resulted from analytical approximation gave better estimation on the values of this coefficient with RMSE of about 0.75 W/m2oC. Estimation of sky temperature was done by estimating sky apparent emissivity using empirical and analytical models for clear sky. After making correction to the models by introducing cloud effect, so that εa,all = εa,c + (1 - εa,c)k, then it was obtained that empirical model of Martin dan Berdahl (1984), Idso and Jackson (1969), and Boldrin and Sovrano (1974) were suitable to be used as apparent emissivity predictors at highland area, while at lowland one model of Clark and Allen (1978), Brunt (1932), as well as Idso and Jackson (1969), and Boldrin and Sovrano (1974) were good. The performances of corrected models including cloud effect in linear and in non-linear regression were good where ranges of a and b, and determination coefficients were -0.31-0.38, 0.85-1.04, 0.88-0.90 at highland. At lowland area these ranges were 0.31-2.91, 0.82-0.98, 0.71-0.76, respectively. On 11-17 July 2007 average nocturnal cooling power at highland reached 43.7 W/m2, with minimum value of 36.1 W/m2 and maximum one of 65 W/m2. At lowland on 1-12 September 2007 the average value was 17.6 W/m2 and the lowest value was 14.83 W/m2 and the highest one was 21.83 W/m2. These conditions caused water temperature felt 7oC under ambient temperature at highland and only 1 oC at lowland.
One of limiting factors in utilizing chilled water yielded from nocturnal cooling was thermal parameter of heat exchanger. Effect of effectiveness of heat exchanger on initial investment cost was studied and optimization results indicated that initial investment cost reduced when the effectiveness of the heat exchanger was high. Heat exchanger with effectiveness value of 0.4 needed Rp 4263133 initial investment and when its values became 0.6 and 0.8 then the initial investment cost needed decreased by 43.8 and 65.5%. The use of cold storage installation with nocturnal hybrid cooling system and by covering the vegetables with wetted paper dropped weight loss by 10% in average which was lower than bare vegetables stored in warehouse. Cold stored film-packed vegetables reduced its weight loss by 85% lower than vegetables without packaging. Utilization of chilled water from nocturnal cooling also gave financial benefit. Without nocturnal cooling, the values of net present value, internal rate of return, benefit cost ratio, return on investment and payback period were Rp 199600000, 71.77%, 1.08, 72.32%, and 1.38 year. The financial analysis showed that by using nocturnal cooling these values became Rp 266600000, 89.35%, 1.12, 89.64%, and 1.12 year. The use of chilled water from nocturnal cooling in the range of 10 and 14 oC to cool storage room reduced total electrical cost for cooling by 17.7 and 11.7%. Chilled water within this range of temperature was obtained at highland. So, it is recommended to build cooling installation at highland area. Keywords: nocturnal cooling, hybrid cooling, sky apparent emissivity, sky temperature, effectiveness, vegetables, investment cost optimization, financial analysis.
RINGKASAN IDA BAGUS PUTU GUNADNYA. Sistem Pendinginan Nokturnal Hibrida untuk Penyimpanan Dingin Sayur-sayuran Segar. Dibimbing oleh KAMARUDDIN ABDULLAH, ARMANSYAH H. TAMBUNAN, Y. ARIS PURWANTO dan M.A.M. OKTAUFIK. Pendinginan nokturnal adalah pendinginan yang memanfaatkan dingin langit cerah malam hari. Pendinginan jenis ini sudah dikaji dan dimanfaatkan dengan sukses terutama di daerah kering. Tetapi penemuan mengungkap bahwa pendinginan ini juga bisa diterapkan di daerah lembab. Pendinginan jenis ini berpotensi untuk dimanfaatkan di Indonesia. Dalam penelitian ini penggunaan pendinginan nokturnal dalam instalasi pendinginan dipadukan dengan pendinginan konvensional untuk mencapai sasaran suhu penyimpanan yang sesuai untuk penyimpanan kebanyakan sayur-sayuran subtropis dalam penyimpanan yang tercampur. Penelitian dilakukan dengan tujuan mengkaji potensi pendinginan nokturnal dalam rangka mengurangi penggunaan sumber energi tidak terbarukan dalam penyimpanan dingin sayur-sayuran. Untuk mencapai tujuan itu dilakukan serangkaian percobaan, simulasi, dan optimisasi serta analisis teknoekonomi sistem penyimpanan dingin sayur-sayuran. Potensi pendinginan nokturnal dinyatakan sebagai kemampuan pendinginan nokturnal yang sulit ditetapkan nilainya secara akurat. Ketepatan dalam menetapkan kemampuan pendinginan nokturnal ditentukan oleh ketepatan dalam menetapkan koefisien pindah panas konveksi dan suhu langit. Koefisien pindah panas konveksi pada umumnya ditetapkan secara empiris. Dalam penelitian ini nilai koefisien ini diduga dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan secara empiris dan analitis. Dengan cara pendekatan seperti ini diperoleh persamaan penduga h = 5.513V0.5 dan h = 5.277V0.5 masing-masing untuk pendekatan empiris dan analitis. Persamaan penduga dengan pendekatan analitis memberikan pendugaan terbaik dengan RMSE 0.75 W/m2oC. Pendugaan suhu langit dilakukan dengan menduga emisivitas langit menggunakan model-model empiris dan analitis penduga emisivitas efektif untuk langit cerah. Setelah dikoreksi dengan pengaruh awan dengan persamaan εa,all = εa,c + (1 εa,c)k maka diperoleh model empiris Martin dan Berdahl (1984), Idso dan Jackson (1969) dan Boldrin dan Sovrano (1974) baik digunakan sebagai penduga emisivitas efektif keseluruhan di dataran tinggi, sedangkan di dataran rendah model empiris Clark dan Allen (1978), Brunt (1932), disamping Idso dan Jackson (1969) dan Boldrin dan Sovrano (1974) baik digunakan sebagai penduga. Model empiris dan analitis yang sudah dikoreksi dengan memasukkan pengaruh awan dalam bentuk regresi linier dan non-linier memiliki performansi pendugaan suhu langit yang baik dengan kisaran nilai a, b dan koefisien determinasi -0.31-0.38, 0.85-1.04, 0.88-0.90 untuk dataran tinggi. Untuk dataran rendah nilai kisaran untuk a, b dan koefisien determinasi berturut-turut 0.31-2.91, 0.82-0.98, 0.71-0.76. Pada tanggal 11-17 Juli 2007, kemampuan pendinginan nokturnal rata-rata di dataran tinggi mencapai 43.7 W/m2 dengan nilai minimum 36.1 W/m2 dan nilai maksimum 65 W/m2. Di dataran rendah pada bulan September 2007 dari tanggal 1
sampai dengan 12, kemampuan pendinginan nokturnal rata-rata 17.6 W/m2 dengan nilai terendah 14.83 W/m2 dan tertinggi 21.83 W/m2. Dengan kemampuan pendinginan seperti ini, di daerah pegunungan air dingin yang dihasilkan dapat mencapai suhu 7oC di bawah suhu lingkungan dan di dataran rendah hanya 1oC. Salah satu faktor pembatas pemanfaatan air dingin yang dihasilkan pendinginan nokturnal adalah parameter termal alat penukar panas. Dikaji pengaruh keefektivan alat penukar panas terhadap biaya investasi awal. Berdasarkan pada hasil optimisasi terungkap bahwa biaya investasi awal dapat dikurangi dengan membuat alat panas yang memiliki keefektivan tinggi. Alat penukar panas dengan nilai keefektivan 0.4 membutuhkan biaya investasi awal Rp 4263133. Bila keefektivan alat penukar panas ditingkatkan menjadi 0.6 dan 0.8 maka biaya investasi awal turun sebesar 43.8% dan 65.5%. Pemanfaatan instalasi penyimpanan dingin dengan sistem pendinginan nokturnal hibrida dan dengan menutup permukaan sayur dengan kertas koran yang dibasahi, mampu menekan kehilangan berat sayur-sayuran yang disimpan rata-rata 10% lebih rendah daripada kehilangan berat sayur-sayuran yang disimpan di dalam gudang. Pengemasan sayur juga mampu mengurangi kehilangan berat sayursayuran sebesar 85% lebih rendah daripada sayur yang tidak dikemas dan disimpan di dalam instalasi penyimpanan dingin. Pemanfaatan air dingin dari pendinginan nokturnal juga memberikan manfaaat secara finansial. Bila tidak menggunakan pendinginan nokturnal maka nilai Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (BCR), Return on Investment (ROI) dan payback period (PbP) adalah Rp 199600000, 71.77%, 1.08, 72.32%, dan 1.38 tahun. Dengan memanfaatkan instalasi dingin untuk penyimpanan sayur-sayuran maka nilai NPV, IRR, BCR, ROI, dan PbP adalah Rp 266600000, 89.35%, 1.12, 89.64%, dan 1.12 tahun. Dengan manfaatkan air dingin hasil pendinginan nokturnal dengan kisaran suhu 10-14oC untuk mendinginkan suhu ruang penyimpanan maka total biaya listrik untuk penyimpanan dingin dapat dikurangi 17.7. sampai dengan 11.7%. Air dingin dengan kisaran suhu seperti disebutkan di atas dapat dicapai di dataran tinggi. Jadi disarankan untuk membangun instalasi penyimpanan dingin di dataran tinggi. Kata kunci: Pendinginan nokturnal, pendinginan hibrida, emisivitas efektif langit, suhu langit, sayur-sayuran, optimisasi biaya investasi, analisis finansial.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
SISTEM PENDINGINAN NOKTURNAL HIBRIDA UNTUK PENYIMPANAN DINGIN SAYUR-SAYURAN SEGAR
IDA BAGUS PUTU GUNADNYA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si 2. Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Idrus Al Hamid 2. Dr. Ir. Lilik Pujantoro, M.Agr
Judul Disertasi : Sistem Pendinginan Nokturnal Hibrida untuk Penyimpanan Dingin Sayur-sayuran Segar Nama : Ida Bagus Putu Gunadnya NRP : F126010011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr. Kamaruddin Abdullah, MSA Ketua
Prof.Dr.Ir. Armansyah H. Tambunan, M.Sc Anggota
Dr.Ir. Y. Aris Purwanto Anggota
Dr. Ir. M.A.M. Oktaufik Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian
Prof.Dr.Ir. Armansyah H. Tambunan,M.Sc Tanggal ujian : 21 Agustus 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal lulus:
PRAKATA Penulis bersyukur karena karya ilmiah ini berhasil diselesaikan atas kehendak dan anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2006 adalah pendinginan, dengan judul “Sistem Pendinginan Nokturnal Hibrida untuk Penyimpanan Dingin Sayur-sayuran Segar”. Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasihnya kepada Bapak Prof. Dr. Kamaruddin Abdullah, Bapak Prof. Dr. Armansyah H. Tambunan, Bapak Dr. Ir. Y. Aris Purwanto dan Bapak Dr. Ir. M.A.M. Oktaufik selaku komisi pembimbing serta kepada Ibu Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr, Bapak Dr. Idrus Al Hamid dan Bapak Dr. Ir. Lilik Pujantoro, M.Agr yang telah berkenan memberi masukan berharga dan menjadi penguji luar komisi. Rasa terima kasih penulis juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Leopold Oscar Nelwan, M.Si yang sudah banyak membantu penulis dalam mempersiapkan penelitian, membantu materi dan diskusi tentang pemecahan permasalahan, kepada Sdr. Ir. Aep Saepul Uyun, M.Agr yang banyak membantu penulis dalam penyiapan materi tulisan, Sdr. Rudiyanto, STP., M.Si yang sudah membantu penulis, teknisi dan staf di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Kepala Unit Sayur-mayur dan karyawan PD. Perusahaan Daerah Provinsi Bali, Bapak/Ibu peneliti, teknisi dan staf administrasi di B2TE BPPT Serpong atas bantuan finansial dan diskusi yang menarik selama penulis melakukan penelitian. Bapak Drs. Binsar Nababan (almarhum), Dr. Dadi Rusadi Maspanger dan Dr. Ir. Dedy Alharis Nasution sebagai kolega. Terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor atas kesempatan yang diberikan kepada penulis, Rektor Universitas Udayana atas izin yang sudah diberikan. Penghargaan tulus dan tak terhingga penulis sampaikan kepada istri tercinta Ida Ayu Made Susilawati dan anak tersayang Ida Ayu Putu Puspa Antari atas pengertian, dorongan dan kasih sayangnya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada handai tolan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga segala bentuk bantuan dan dorongan akan mendapat pahala dari Tuhan yang Maha Esa. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2009
Ida Bagus Putu Gunadnya
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 23 Pebruari 1961 di Kabupaten Klungkung, Bali. Penulis adalah putra bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Ida Bagus Nyoman Kadjeng dan Ibu Ni Gusti Ketut Geriya (almarhum). Penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada tahun 1985 di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, pendidikan S2 pada tahun 1993 di Program Studi Teknologi Pascapanen, Program Pascasarjana IPB. Pada tahun 2001 penulis mendapat kesempatan mengikuti pendidikan program doktor pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian, Sekolah Pascasarjana - Institut Pertanian Bogor. Pada saat ini penulis bekerja sebagai staf edukasi pada Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. Penulis pernah menjabat sebagai Sekretaris Jurusan Teknik Pertanian, Program Studi Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, dan pernah juga menjabat sebagai Pembantu Ketua I, Program Studi Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. Selama mengikuti pendidikan S3, penulis berkesempatan mengikuti dan menyampaikan paper di beberapa kegiatan ilmiah seperti: menyampaikan karya ilmiah berjudul Cost Optimization of Nocturnal Cooling Storage System bersama Prof. Dr. Kamaruddin Abdullah, Dr. Oktaufik dan Prof. Dr. Armasyah H Tambunan pada pertemuan ilmiah World Renewable Energy Regional Congress and Exhibition 2005 di Jakarta. Menyampaikan karya ilmiah dengan judul Simulation of Hybrid Nocturnal Cooling System for Temporary Storage of Fruits and Vegetables bersama Dr. Oktaufik, Prof.Dr. Armansyah H. Tambunan dan Prof.Dr. Kamaruddin Abdullah pada pertemuan ilmiah FTEC’06 di Jakarta. Artikel ilmiah atas arahan komisi pembimbing dengan judul Koefisien pindah panas keseluruhan alat penukar panas dalam pendinginan nokturnal sudah diterbitkan pada tahun 2008 dalam Jurnal Agrotekno 14(2):35-41. dan satu artikel ilmiah sudah diterbitkan dalam Jurnal Keteknikan Pertanian tahun 2008, 22(1) berjudul Pendekatan analitik untuk menduga koefisien pindah panas konveksi. Kedua karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari penelitian S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xx
DAFTAR SIMBOL ................................................................................
xxi
1 PENDAHULUAN .................................................................................... Latar Belakang .................................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................ Manfaat Penelitian .............................................................................. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. Keterkaitan antar Bab .........................................................................
1 1 4 5 5 8
2 PENDINGINAN NOKTURNAL DI DAERAH DATARAN TINGGI DAN DI DAERAH DATARAN RENDAH ............................................ Pendahuluan ....................................................................................... Bahan dan Metode .............................................................................. Hasil dan Pembahasan ........................................................................ Kesimpulan .........................................................................................
10 10 33 39 58
3 SUHU LANGIT DI DAERAH DATARAN TINGGI DAN DI DAERAH DATARAN RENDAH ........................................................... Pendahuluan ....................................................................................... Bahan dan Metode .............................................................................. Hasil dan Pembahasan ........................................................................ Kesimpulan .........................................................................................
61 61 77 79 90
4 INSTALASI PENYIMPANAN DINGIN DENGAN PENDINGINAN NOKTURNAL HIBRIDA DI CANDIKUNING BALI .......................... Pendahuluan ....................................................................................... Bahan dan Metode .............................................................................. Hasil dan Pembahasan ........................................................................ Kesimpulan .........................................................................................
92 92 107 126 146
5 PENYIMPANAN SAYUR-SAYURAN SEGAR DIDALAM INSTALASI PENYIMPANAN DINGIN DI DESA CANDIKUNING BALI ......................................................................................................... Pendahuluan ....................................................................................... Bahan dan Metode .............................................................................. Hasil dan Pembahasan ........................................................................ Kesimpulan .........................................................................................
149 149 161 167 191
6 OPTIMISASI BIAYA INVESTASI AWAL INSTALASI PENYIMPANAN DINGIN DI DESA CANDIKUNING BALI ............. Pendahuluan .......................................................................................
193 193
Fungsi Tujuan dan Fungsi-fungsi Kendala ......................................... Optimisasi Biaya Investasi Awal dengan Pengganda Lagrange ........ Hasil dan Pembahasan ........................................................................ Kesimpulan .........................................................................................
200 207 209 219
7 ANALISIS FINANSIAL INSTALASI PENYIMPANAN DINGIN DI DESA CANDIKUNING BALI ................................................................ Pendahuluan ....................................................................................... Metode ................................................................................................ Hasil dan Pembahasan ........................................................................ Kesimpulan .........................................................................................
220 220 229 231 237
8 PEMBAHASAN UMUM ........................................................................ Instalasi Penyimpanan Dingin ............................................................ Keuntungan Ekonomi ......................................................................... Keuntungan Teknis ............................................................................. Kesimpulan ......................................................................................... Saran ...................................................................................................
239 239 244 248 254 256
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
257
LAMPIRAN .................................................................................................
270
DAFTAR TABEL Halaman 1
Produksi beberapa jenis sayur-sayuran di Indonesia tahun 2002 – 2007 (ton) .........................................................................................................
1
Harga jual listrik rata-rata per kelompok pelanggan (Rp/kWh) tahun 1995-2006 ................................................................................................
3
3
Model-model penduga radiasi langit cerah .............................................
21
4
Nilai k dan x dari beberapa model empiris radiasi langit keseluruhan ....
29
5
Jenis dan nilai keawanan (Exell 2007) ....................................................
30
6
Klasifikasi kondisi langit berdasarkan indeks keawanan (Kidder dan Essenwanger 1995) ..................................................................................
30
7
Jenis awan dan nilainya (Lord 1999) .......................................................
31
8
Jenis awan dan nilainya (Morgan et al. 1971) .........................................
31
9
Model penduga radiasi langit menggunakan parameter meteorologi setempat (Golaka dan Exell 2004) ...........................................................
32
10 Perbandingan antara nilai h-ukur dengan h hasil pendekatan analitis dan empiris .....................................................................................................
43
11 Hasil analisis regresi linier antara radiasi langit hasil penetapan dengan hasil pendugaan model langit cerah di dua lokasi penelitian ..................
48
12 Hasil analisis regresi linier antara radiasi langit hasil penetapan dengan hasil pendugaan model yang sudah dikoreksi dengan pengaruh awan di dua lokasi penelitian ................................................................................
52
13 Hasil analisis regresi linier setelah model dikoreksi dengan pengaruh keawanan sebagai fungsi linier dan polinomial pangkat dua di dua lokasi penelitian .......................................................................................
53
14 Kemampuan pendinginan nokturnal, panas konveksi dan kondensasi di dua lokasi penelitian ................................................................................
58
15 Emisivitas langit cerah dengan nilai tetap ...............................................
70
16 Model empiris penduga emisivitas langit cerah yang bergantung pada suhu titik embun ......................................................................................
70
17 Model-model empiris penduga emisivitas langit cerah sebagai fungsi dari suhu lingkungan di dekat permukaan ...............................................
71
18 Model-model empiris penduga emisivitas langit cerah sebagai fungsi dari tekanan uap air di dekat permukaan .................................................
72
19 Model-model empiris penduga emisivitas langit cerah sebagai fungsi dari tekanan uap air dan suhu lingkungan di dekat permukaan ...............
73
2
20 Model-model empiris yang dikembangkan dari data hasil penelitian .....
74
21 Nilai koefisien regresi dan koefisien determinasi persamaan regresi antara hasil pendugaan model emisivitas langit cerah dengan emisivitas efektif langit di dataran tinggi dan di dataran rendah ..............................
81
22 Performansi model penduga emisivitas efektif langit dengan memasukkan pengaruh keawanan di kedua lokasi penelitian .................
84
23 Performansi model penduga emisivitas efektif langit dengan pengaruh linier dan non-linier keawanan di kedua lokasi penelitian ......................
85
24 Performansi model penduga untuk menduga suhu langit di dataran tinggi dan di dataran rendah dengan menggunaan hasil pendugaan emisivitas efektif langit keseluruhan yang sudah dikoreksi ....................
86
25 Perubahan suhu air dan udara yang masuk dan keluar alat penukar panas pada laju aliran massa air memasuki alat penukar panas 0.0039 kg/s ........................................................................................................... 122 26 Hasil pendugaan dan perbedaannya dengan hasil pengukuran suhu udara yang keluar dari alat penukar panas pada beberapa laju aliran massa air .................................................................................................. 130 27 Kinerja beberapa model terhadap pendugaan intensitas radiasi surya di Candikuning Bali ..................................................................................... 137 28 Hasil pengukuran kecepatan angin, suhu dan kelembaban udara di beberapa lokasi dalam ruang instalasi ..................................................... 142 29 Perbandingan hasil simulasi dengan hasil percobaan terhadap pencapaian suhu akhir udara didalam ruang penyimpanan (Tr) .............. 146 30 Kehilangan berat sayur-sayuran (%) setelah disimpan di dalam ruangan instalasi penyimpanan dingin dan di dalam gudang ................................ 150 31 Keadaan sayur-sayuran setalah disimpan di dalam ruangan instalasi penyimpanan dingin dan di dalam gudang .............................................. 151 32 Persentase kehilangan air yang menyebabkan bahan segar tidak dapat dijual ........................................................................................................ 156 33 Jenis dan permeabilitas film (ml/m2/mil/hari pada 1 atm) yang tersedia sebagai kemasan produk segar ................................................................ 159 34 Koefisien permeabilitas film hasil perhitungan dan penetapan dalam satuan ml.mil/ m2.jam.atm (Gunadnya 1993) .......................................... 159 35 Film pengemas, suhu optimum untuk MAP untuk beberapa jenis sayursayuran ..................................................................................................... 160 36 Kehilangan berat rata-rata (%) beberapa jenis sayur-sayuran selama penyimpanan di dalam ruang instalasi pada percobaaan penyimpanan I
169
37 Rata-rata kehilangan berat (%) beberapa jenis sayur-sayuran setelah penyimpanan di dalam ruang instalasi pada percobaan II ....................... 174
38 Rata-rata kehilangan berat (%) beberapa jenis sayur-sayuran setelah disimpan di dalam ruang instalasi dengan pelembaban udara ................. 176 39 Kehilangan mutu (%) sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi pada percobaan penyimpanan I ................................................. 178 40 Kehilangan mutu (%) sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi pada percobaan penyimpanan II ................................................ 180 41 Kehilangan mutu (%) sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi pada percobaan penyimpanan III ............................................... 181 42 Kehilangan berat (%) sayur-sayuran yang dikemas dan disimpan di dalam instalasi penympanan dingin ......................................................... 184 43 Kehilangan mutu (%) sayur-sayuran yang dikemas dan disimpan di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin ............................................. 186 44 Perubahan nilai variabel optimisasi menuju ke suatu nilai konvergen .... 217 45 Biaya investasi awal optimum dari beberapa skenario optimisasi .......... 218 46 Berat sayur yang dapat dijual kembali setelah disimpan ......................... 221 47 Umur ekonomi beberapa fasilitas ............................................................ 227 48 Hasil analisis finansial berdasarkan pada beberapa skenario .................. 232 49 Kontribusi sayur-sayuran terhadap penghasilan unit ............................... 233 50 Pengaruh jangka waktu kontrak kerjasama unit dengan perusahaan rekanan tanpa mengoperasikan instalasi penyimpanan dingin terhadap indikator kelayakan usaha unit ................................................................ 234 51 Pengaruh tingkat bunga pinjaman komersial terhadap indikator kelayakan usaha unit ................................................................................ 235 52 Pengaruh peningkatan gaji staf terhadap indikator kelayakan usaha unit
235
53 Pengaruh penyewaan ruang instalasi penyimpanan dingin terhadap indikator kelayakan usaha unit ................................................................ 236 54 Biaya penyimpanan dan harga sewa ruang instalasi penyimpanan dingin (Rp/kg) ..................................................................................................... 236 55 Biaya total sistem pendinginan nokturnal untuk penyimpanan dingin sayur-sayuran ........................................................................................... 246 56 Sumbangan pendinginan nokturnal dalam mengurangi daya listrik untuk mencapai suhu penyimpanan 10oC ................................................ 247 57 Biaya precooling dengan dan tanpa air dingin yang diperoleh dari pendinginan nokturnal ............................................................................. 248
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Diagram alir penelitian penyimpanan dingin dengan sistem pendinginan nokturnal hibrida ...................................................................................... Hubungan nilai koefisien pindah panas konveksi dengan kecepatan angin ........................................................................................................
40
3
Diagram serak dari hubungan h-ukur dengan h-analitis ..........................
42
4
Diagram serak komponen panas total air dalam pendinginan nokturnal: panas radiasi, konveksi, dan kondensasi di dataran tinggi ......................
45
Diagram serak komponen panas total air dalam pendinginan nokturnal: panas radiasi, konveksi, dan kondensasi di dataran rendah .....................
46
Diagram serak panas total air hasil pengukuran dengan hasil pendugaan di dataran tinggi (DT) dan di dataran rendah (DR) .................................
47
7
Pengaruh awan terhadap radiasi langit di dataran tinggi .........................
50
8
Pengaruh awan terhadap radiasi langit di dataran rendah .......................
51
9
Diagram serak radiasi langit hasil pengukuran di dataran tinggi dengan suhu absolut lingkungan, suhu titik embun, tekanan uap air, dan perbandingan tekanan uap air dengan suhu absolut lingkungan .............
55
10 Diagram serak radiasi langit hasil pengukuran di dataran rendah dengan suhu absolut lingkungan, suhu titik embun, tekanan uap air, dan perbandingan tekanan uap air dengan suhu absolut lingkungan .............
56
11 Diagram serak antara suhu langit dengan suhu absolut lingkungan, suhu titik embun, tekanan uap air dan perbandingan tekanan uap air dengan suhu absolut lingkungan di dataran tinggi ...............................................
87
12 Diagram serak antara suhu langit dengan suhu absolut lingkungan, suhu titik embun, tekanan uap air dan perbandingan tekanan uap air dengan suhu absolut lingkungan di dataran rendah .............................................
88
13 Aliran silang pada alat penukar panas (Chapman 1974) .........................
97
2
5 6
6
14 Alat pelembab udara. (1) saluran udara, dan (2) media pindah massa dan panas ................................................................................................. 109 15 Skema sistem saluran udara ysng dibuat dan diuji .................................. 111 16 Instalasi penyimpanan dingin di Desa Candikuning. Bangunan instalasi (1), atap yang berupa kolam air dangkal (2), mesin pendingin kompresi uap (3), dan menara pendingin (4) ........................................................... 111 17 Saluran udara yang berada di luar ruang instalasi(1), rumah penukar panas (2), dan mesin pendingin kompresi uap (3) ................................... 112
18 Pindah massa dan panas yang terjadi antara udara (a) dengan air (b) pada satu-satuan permukaan media pindah massa dan panas yang sama di posisi baris ke-i kolom ke-j ................................................................. 114 19 Diagram alir pendugaan suhu air, suhu udara dan kelembaban absolut udara yang keluar dari alat pelembab ...................................................... 118 20 Penampang alat penukar panas dilihat dari atas ...................................... 122 21 Pengaruh laju aliran massa air terhadap nilai U alat penukar panas ........ 127 22 Pengaruh laju aliran massa air terhadap nilai NTU alat penukar panas .. 128 23 Pengaruh laju aliran massa air terhadap ε ................................................ 128 24 Diagram serak dari hubungan Ue dengan Uu .......................................... 129 25 Hasil pendugaan suhu udara yang keluar dari alat pelembab .................. 132 26 Hasil pendugaan kelembaban relatif udara yang keluar dari alat pelembab .................................................................................................. 132 27 Pengaruh perbedaan antara suhu air dengan suhu udara yang memasuki alat pelembab terhadap efisiensi alat pelembab ....................................... 133 28 Hubungan suhu udara dengan kelembaban absolut ................................. 133 29 Pengaruh perbedaan antara suhu udara dengan suhu air yang memasuki alat pelembab terhadap efisiensi alat pelembab ....................................... 135 30 Hasil pengukuran radiasi surya pada tanggal 25 Mei 2007 (a), 26 Mei 2007 (b), dan 27 Mei 2007 (c). di Candikuning Bali .............................. 137 31 Plot antara radiasi surya hasil pengukuran dan model-model penduga radiasi surya dengan waktu pengamatan ................................................. 138 32 Pengaruh radiasi surya terhadap suhu udara ruang instalasi dan hasil pendugaan model ..................................................................................... 139 33 Diagram serak dan frekuensi relatif dari perbedaaan data suhu ruang dengan hasil pendugaan ........................................................................... 140 34 Hasil pendugaan luas dinding instalasi yang terkena radiasi surya dari tiga kali pengamatan. (a) dinding timur, (b) dinding utara dan (c) dinding barat ............................................................................................ 141 35 Perubahan suhu udara dalam ruang instalasi penyimpanan dan perbandingannya dengan suhu lingkungan .............................................. 143 36 Sebaran suhu udara pendingin pada ketinggian 1/3 dari lantai ruang instalasi penyimpanan dingin .................................................................. 144 37 Sebaran kelembaban relatif udara pendingin pada jarak 1/3 bagian tinggi ruangan dari lantai ......................................................................... 145 38 Perubahan suhu udara didalam ruang penyimpanan berdasarkan pada hasil simulasi dengan skenario 1, 2 dan 3 ............................................... 145
39 Diagram serak antara suhu ruang hasil pengukuran dengan hasil pendugaan untuk percobaan I (a), percobaan II (b), dan percobaan III (c) ............................................................................................................. 147 40 Perubahan suhu dan kelembaban relatif udara di dalam gudang ............. 168 41 Perbedaan (%) kehilangan berat antara sayur-sayuran yang disimpan dalam ruang instalasi dengan dalam gudang, hasil percobaan I .............. 171 42 Keranjang sayur dengan bagian atasnya ditutup dengan kertas koran yang dibasahi ........................................................................................... 173 43 Perbedaan (%) kehilangan berat antara sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi dengan di dalam gudang, hasil percobaan II ........ 175 44 Perbedaan (%) kehilangan berat antara sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi dengan di dalam gudang, hasil percobaan III ....... 177 45 Perbedaan mutu (%) antara sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi dengan di dalam gudang pada percobaan penyimpanan I
179
46 Perbedaan mutu (%) antara sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi dengan di dalam gudang pada percobaan penyimpanan II 181 47 Perbedaan mutu (%) antara sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi dengan di dalam gudang pada percobaan penyimpanan III ............................................................................................................. 182 48 Sayur sawi putih yang tidak dikemas dan dikemas dikemas dengan stretch film ............................................................................................... 183 49 Perbedaan kehilangan berat rata-rata (%) antara sayur-sayuran yang dikemas dan disimpan di dalam ruang instalasi dengan di dalam gudang. Percobaan I (a), percobaan II(b), dan percobaan III (c) ............. 185 50 Perbedaan kehilangan mutu rata-rata (%) antara sayur-sayuran yang dikemas dan disimpan di dalam ruang instalasi dengan di dalam gudang. Percobaan I (a), percobaan II (b), dan percobaan III (c) ............ 187 51 Kehilangan berat sayur-sayuran dalam keranjang sayur yang ditumpuk, sayur sawi putih (a), selada keriting (b) dan kaelan (c). Keranjang atas (A), keranjang bawah (B), keranjang tengah (T) ..................................... 189 52 Kehilangan berat sayur-sayuran di dalam keranjang sayur yang ditumpuk. Sayur sawi putih (a), selada keriting (b). Keranjang paling atas (A), tengah (T) dan bawah (B) pada sawi putih. Keranjang tengah lebih atas (Ta), tengah lebih bawah (Tb) pada sayur selada. keriting ..... 190 53 Susunan pipa didalam alat penukar panas (a) in-line dan (b) staggered (Holman 1997; Chapman 1974) .............................................................. 199 54 Pengaruh peningkatan laju aliran massa air sebesar 1% terhadap biaya pengadaan komponen instalasi ................................................................ 213
55 Pengaruh keefektivan alat penukar panas terhadap luas permukaan pindah panas alat penukar panas pada beban 2000 (a), 3000 (b), 4000 (c) dan 5000 kg (a) ................................................................................... 214 56 Pengaruh keefektivan alat penukar panas terhadap luas permukaan pindah panas alat penukar panas pada beban 4000 (a), dan 5000 (b) ...... 215 57 Sumbangan rata-rata panas radiasi, panas konveksi dan panas evaporasi atau kondensasi terhadap panas total air rata-rata di dalam kolam atap di dataran tinggi (a) dan di dataran rendah (b) ............................................. 241 58 Suhu langit malam hari di dataran tinggi dan di dataran rendah ............. 242 59 Hasil pendugaan dan hubungannya dengan siang hari selama penyimpanan sayur-sayuran di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin ....................................................................................................... 244 60 Besar radiasi surya yang mengenai permukaan dinding tembok dan atap instalasi dalam satu tahun. Dinding Selatan (a), Timur (b), Utara (c), Barat (d), dan atap (e) .....................................................................
249
61 Sayur-sayuran disimpan di dalam tong-tong sayur yang ditumpuk di dalam instalasi penyimpanan dingin .....................................................
250
62 Perubahan panas pernapasan (Qr) dan panas sensibel (Qs) selama penyimpanan sayur-sayuran di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin tanpa pengaturan suhu penyimpanan .........................................
252
63 Perubahan panas pernapasan (Qr) dan panas sensibel (Qs) selama penyimpanan sayur-sayuran di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin dengan pengaturan suhu penyimpanan ......................................
252
64 Perubahan suhu di dalam ruang penyimpanan dengan pengaturan logika fuzzy (kiri) dan perubahan daya kipas, mesin pendingin kompresi uap dan daya total dengan pengaturan logika fuzzy (kanan)
253
65 Skema pengaturan otomatis laju aliran udara dan tingkat pendinginan mesin pendingin kompresi uap .............................................................
254
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Penurunan persamaan penduga nilai h dengan pendekatan analitis ........ 270
2
Pendugaan nilai h dari data hasil percobaan ............................................ 273
3
Nilai MBE, RMSE, % kesalahan dalam menduga radiasi langit ............ 274
4
Nilai MBE, RMSE, % kesalahan pendugaan emisivitas ........................ 276
5
Nilai MBE, RMSE, % kesalahan pendugaan suhu langit pada pendugaan emisivitas langit terbaik ......................................................... 278
6
Skema alat ukur suhu termokopel dengan prinsip kerja cold and hot juction ...................................................................................................... 279
7
Skema, konstruksi, cara kerja dan kalibrasi alat ukur kecepatan angin ... 281
8
Komposisi dinding tembok bangunan instalasi penyimpanan dingin ..... 284
9
Beberapa jenis sayur-sayuran, metode precooling, penyimpanan yang disarankan, dan masa simpan .................................................................. 285
10 Gambar piktorial saluran udara yang dirancang-bangun ......................... 286 11 Gambar teknik saluran udara yang dirancang-bangun ............................ 287 12 Foto alat perlengkapan saluran udara dan saat dioperasikan ................... 288
DAFTAR SIMBOL m A A A a, b, c a 0, a1, k As atm B C C c2, c3 Ca,F cp cpm d DAB f, e G g Gon H h h hD hfg I jD jH k k km L L l L0 m n n N nh nl, nm, n n Nu
laju aliran massa (kg/s) intensitas radiasi surya ekstraterestrial (W/m2) luas permukaan pindah panas (m2) luas bidang kontak (m2) konstanta koefisien (persamaan 277) luas penampang (m2) atmosfir koefisien ekstensi radiasi surya (1/massa udara) koefisien tidak berdimensi laju kapasitas panas (-) konstanta empiris koefisien awan panas jenis (kJ/kgoC) panas jenis udara lembab (J/kgK) diameter pipa(m) difusivitas dua jenis fluida (m2/s) faktor gesekan (-) radiasi normal surya (W/m2, MJ/m2-jam) gaya gravitasi (m/s2) radiasi normal di luar angkasa kelembaban mutlak (kg uap air/kg udara kering) koefisien pindah panas konveksi (W/m2oC) ketinggian permukaan (m) konstanta proposionalitas (kg/m2) panas laten penguapan (kJ/kg) radiasi surya (W/m2) pindah massa tidak berdimensi = St.Sc2/3. pindah panas tidak berdimensi = St.Pr2/3 ketinggian awan koefisien pindah panas konduksi (W/moC) koefisien pindah massa (kg-mol/s.m2.Y’ atau kg-uap air/s.m2.Y’) dimensi panjang (akar pangkat 3 dari volume bangunan), panas radiasi (W) panjang (m) panjang bidang datar (m) panas radiasi saat langit cerah (W) massa (kg) ketertutupan awan (0 – 1) hari dalam tahun (persamaan 282) jumlah fraksi awan rendah sedang awan ketinggian rendah, sedang dan tinggi bilangan Nusselt (-)
P P0 Pr Pt Q q r R R2 Re Rex RH S Sc Sh St T t U V, u, v V W X x y z z
tekanan (mbar, Pa) tekanan di permukaan laut (mbar) bilangan Prandtl (-) tekanan operasi (atm) panas (W) jumlah lapisan, fluks panas (W/m2) jari-jari pipa (m) tetapan gas universal (m3.atm/kg-mol.K) koefisien determimasi bilangan Reynolds (-) bilangan Reynolds lokal kelembaban relatif (%) radiasi gelombang pendek bilangan Schmidt (-) bilangan Sherwood (-) bilangan Stanton (-) suhu (K), atau (oC) waktu (s), tangki (persamaan 308) koefisien pindah panas keseluruhan (W/m2oC) kecepatan angin (m/s) volume tangki (m3) daya (W) titik koordinat kartisius ke arah sumbu x, tebal lapisan (m, persamaan 302) tebal grid, ke arah sumbu y (m) panjang pipa (m) ketinggian tempat (m)
Subskrip ∞ a all b c cl cond conv d db DLR DN dp f fl g h hx
udara udara, efektif keseluruhan “bulk”, radiasi langsung cerah, dingin awan kondensasi konveksi baur bola kering radiasi gelombang panjang ke bawah tegak lurus titik embun “film”, kipas fluida udara panas alat penukar panas
i in l m misc n o out p p p r rad ref resp s s sec sur tot v w wb wl x x y z
di dalam masuk besar campuran macam-macam netto di luar keluar kolam titik pada bidang produk, pompa ruangan radiasi mesin pendingin kompresi uap pernapasan langit, penjenuhan, surya (persamaan 295-300) lapisan awan, kecil penampang melintang permukaan total uap air air bola basah dinding lokal ke arah sumbu x ke arah sumbu y zenith
Huruf Latin difusivitas (m2/s) sudut ketinggian surya (o) penyerapan (-) (persamaan 301) sudut azimut (o) kekentalan (Pa) β kemiringan permukaan benda (o) ε emisivitas, keefektivan (-) η efisiensi (-) θ sudut insiden (o), waktu pendinginan (s, persamaan 353) ρ densitas (kg/m3) σ konstanta Stefan-Boltzmann (5.67 x 10-8 W/m2K4) τ transmitan atmosfir (-)
1 PENDAHULUAN Latar Belakang
Produksi sayur-sayuran di Indonesia dari tahun ke tahun secara umum terus meningkat. Terlihat di dalam tabel bahwa produksi sayur-sayuran didominasi sayur-sayuran jenis kubis, kentang dan cabe. Menurut White et al. (2007) pada tahun 2005 Indonesia mengekspor sayur-sayuran berupa kubis, kentang dan jamur tetapi jumlah yang diekspor hanya sebesar 0.2% dari produksi total. Sementara itu, di saat yang sama Indonesia mengimpor banyak jenis sayur-sayuran dan beberapa diantaranya langsung diterbangkan dari negara pengekspor untuk konsumsi supermarket, hotel dan restoran. Sayur-sayuran utama yang diimpor pada tahun 2005 diantaranya adalah bawang putih dan bawang merah dari China. Tabel 1 Produksi beberapa jenis sayur-sayuran di Indonesia tahun 2002 – 2007 (ton)a Jenis sayur 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Bawang daun 315 132 345 720 475 571 501 437 571 268 479 924 Bawang merah 766 572 762 795 757 399 732 609 794 931 802 810 Bawang putih 46 393 38 957 28 851 20 733 21 050 17 312 Bayam 71 011 109 423 107 737 123 785 149 435 155 862 Bunga kol 86 222 99 994 112 927 135 518 124 252 Cabe 635 089 1 066 722 1 100 514 1 058 023 1 185 047 676 827 Kentang 893 824 1 009 979 1 027 040 1 009 619 1 011 911 1 003 732 Kubis 1 232 843 1 348 433 1 432 814 1 292 984 1 267 745 1 288 738 Lobak cina 7 779 26 313 30 625 54 226 49 344 42 076 Mentimun 406 141 514 210 477 716 552 891 598 890 581 205 Terong 272 700 301 030 312 354 333 328 358 095 390 847 Tomat 573 517 657 459 626 872 647 020 629 744 635 475 Wortel 282 248 355 802 423 722 440 002 391 371 350 170 a BPS (2008). Disamping produktivitas lahan yang rendah diantara negara-negara di Asean, China dan Australia (Batt et al. 2007), kehilangan pascapanen sayur-sayuran di Indonesia juga masih tinggi. FAO (2000) mempublikasikan data mengenai kerusakan sayur-sayuran Indonesia yang mencapai 8.6% setiap tahun. Menurut Kamaruddin (1998) kehilangan hasil pertanian di Indonesia diperkirakan lebih
2 besar dari angka tersebut dan mencapai 10-20%. Perkiraan tingkat kerusakan yang lebih besar ini didasarkan pada kenyataan adanya pembusukan atau tidak dapat dikonsumsi karena teknologi pengolahan yang kurang baik. Berdasarkan pada data tersebut di atas, maka usaha-usaha untuk mempertahankan hasil pertanian, terutama hasil hortikultura seperti sayur-sayuran, menjadi prioritas untuk dilakukan. Salah satu cara mengurangi kerusakan dan penurunan mutu adalah dengan menerapkan teknologi pendinginan dalam penyimpanan sayur-sayuran segar. Penyimpanan dingin sayur-sayuran dengan menggunakan mesin pendingin kompresi uap tidak dapat diterapkan di daerah-daerah sentra produksi sayur-sayuran yang belum terjangkau aliran listrik. Disamping membutuhkan daya listrik, mesin pendingin kompresi uap saat ini masih menggunakan refrigeran yang tidak ramah lingkungan seperti senyawa-senyawa freon. Menurut Salas (1998), sesuai dengan Protokol Montreal yang mengatur produksi dan penggunaan senyawasenyawa freon, freon digolongkan sebagai senyawa yang dapat merusak lapisan ozon (Ozone Depleting Substances, ODS) dan berpotensi menyebabkan pemanasan global (Global Warming Potential, GWP). Berdasarkan pada kesepakatan Protokol Kyoto sudah semakin banyak jenis freon yang dibatasi atau dilarang penggunaannya. Kelemahan dari mesin pendingin kompresi uap yang menggunakan R12 atau R22, contoh-contoh dari zat pendingin freon, adalah zat-zat ini sangat berpengaruh pada penipisan lapisan ozon, sehingga sejak beberapa tahun yang lalu penggunaannya dibatasi. Disamping itu, mesin pendingin membutuhkan energi fosil yang sifatnya tidak terbarukan yang semakin lama harganya semakin mahal (Tabel 2) dan juga menghasilkan emisi gas rumah kaca. Data di dalam Tabel 2 memperlihatkan bahwa harga jual listrik baik untuk sektor rumah tangga (RT) maupun sektor industri terus meningkat setiap tahun. Harga jual listrik untuk kedua sektor tersebut di Bali lebih mahal daripada harga jual listrik nasional. Kenyataan ini harus diantisipasi dengan melakukan tindakan yang tepat untuk mengurangi ketergantungan pada energi listrik dalam menyimpan dingin sayur-sayuran.
3 Tabel 2 Harga jual listrik rata-rata per kelompok pelanggan (Rp/kWh) tahun 1995-2006a Tahun 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 a PLN (2009).
Bali RT 622.42 614.15 609.34 574.66 415.67 286.74 227.78 203.68 189.44 163.00 159.77 157.59
Industri 714.92 685.10 684.69 652.61 553.20 421.72 356.05 260.77 230.78 191.51 187.47 186.26
Indonesia RT Industri 571.12 624.23 563.05 569.87 557.76 559.15 522.48 530.32 392.79 442.94 253.65 361.67 207.34 302.52 193.8 208.56 184.40 201.01 161.65 149.70 158.91 146.16 156.83 144.79
Dilain pihak, sentra-sentra produksi hortikultura pada umumnya berada di dataran tinggi yang udaranya dingin sepanjang malam hari. Udara dingin ini berpotensi untuk dimanfaatkan mendinginkan produk dengan menerapkan metode pendinginan nokturnal (McVeigh 1984; Kamaruddin 1997; CREATA-IPB 2000; Kamaruddin 2007). Desa Candikuning di Bedugul, Bali, umpamanya, memiliki potensi lingkungan berupa suhu udara yang rendah pada malam hari. Dilaporkan pada bulan Oktober, Nopember, dan Desember 1997 suhu udara malam hari berturut-turut mencapai 13.7, 15.9, dan 16.3 oC. Berdasarkan pada potensi ini pada tahun 1999 (CREATA-IPB 2000) telah membangun sebuah instalasi penyimpanan dingin dengan menggunakan metode pendinginan nokturnal di Unit Sayur Mayur Perusahaan Daerah Provinsi Bali di Desa Candikuning, melalui bantuan program akar rumput (grass roots) pemerintah Jepang. Pada awalnya instalasi unit pendingin ini dimaksudkan sebagai tempat penyimpanan sementara bahan segar yang menggunakan air murni sebagai media pendingin. Karena beberapa produk sayur-sayuran dan buah-buahan tropis memerlukan suhu pendinginan antara 10-20 oC maka atap bangunan instalasi difungsikan sebagai kolam air dangkal untuk mendinginkan air dengan pendinginan nokturnal. Instalasi ini juga dilengkapi dengan menara pendingin dan tangki
4 penyimpanan air dingin. Kajian pengembangan unit pendinginan di Candikuning ini kemudian diteruskan oleh Trisasiwi (2000). Hasil penelitian Trisasiwi (2000) dan Suryana (2000) memperlihatkan bahwa kemampuan pendinginan nokturnal dan menara pendingin tidak cukup untuk menurunkan suhu ruang penyimpanan pada siang hari. Untuk mengatasi keadaan ini Kamaruddin et al. (1998) mengusulkan agar sistem yang sudah ada dipadukan dengan metode pendinginan adsorpsi. Karena sulitnya mempertahankan kondisi hampa yang disyaratkan oleh metode pendinginan dengan kombinasi silika-gel dan metanol, penerapan pendinginan adsorpsi akhirnya berhenti pada prototipe skala laboratorium (Kamaruddin et al. 1998). Sebagai gantinya digunakan mesin pendingin kompresi uap. Upaya penambahan alat pendingin pembantu juga disebabkan karena makin banyaknya petani Bali menanam sayur-sayuran dan buahbuahan beriklim dingin seperti kubis, stroberi, dll. yang membutuhkan suhu penyimpanan yang lebih rendah, bahkan sampai dibawah 0 oC. Penggabungan kemampuan pendinginan antara pendinginan nokturnal dengan mesin pendingin kompresi uap untuk digunakan dalam penyimpanan dingin disebut sebagai sistem pendinginan nokturnal hibrida. Untuk dapat meningkatkan performansi unit pendingin di Candikuning, maka dalam penelitian ini dilakukan penyempurnaan rancang-bangun dan simulasi serta simulasi sistem secara mendalam tentang pengaruh penyempurnaan sistem dan penambahan mesin pendingin kompresi uap untuk mencapai sasaran suhu penyimpanan sayur-sayuran beriklim dingin. Lebih lanjut, dalam penelitian ini dilakukan upaya optimisasi biaya konstruksi instalasi pendingin hibrida sehingga biaya investasi dapat ditekan. Disamping itu, dilakukan upaya meminimalkan daya listrik yang dibutuhkan untuk mengurangi biaya penggunaan energi listrik dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Tujuan Penelitian
Rangkaian percobaan-percobaan, simulasi dan validasi model matematika, optimisasi dan analisis finansial yang dilakukan, secara umum bertujuan untuk mengkaji:
5 1. Potensi pendinginan nokturnal di dataran tinggi dan di dataran rendah dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pemanfaatannya, 2. Performansi instalasi penyimpanan dingin dengan pendinginan nokturnal hibrida, 3. Penyimpanan sayur-sayuran dalam instalasi penyimpanan dingin dan perbandingannya dengan penyimpanan di luar instalasi, 4. Optimisasi biaya investasi awal dan total instalasi penyimpanan dingin, 5. Kelayakan usaha penjualan sayur-sayuran, dan 6. Sumbangan pendinginan nokturnal dan kemungkinan pengembangan instalasi penyimpanan dingin.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada pemahaman yang lebih baik tentang pemanfaatan potensi alam, khususnya pendinginan nokturnal, berdasarkan pada data yang berhasil dikumpulkan. Disamping itu, pendekatan-pendekatan teoritis yang digunakan dalam melakukan pengkajian diharapkan mampu memperkaya dan bermanfaat dalam memajukan khasanah keilmuan. Demikian pula hasil penelitian ini diharapkan dapat berdampak langsung kepada petani dan pedagang dalam memajukan usahanya. Terakhir, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan pijakan bagi para pembuat kebijakan dalam mengelola usahanya.
Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini dilakukan rancang-bangun, pembuatan dan pemasangan saluran udara yang merupakan komponen pendukung utama dari instalasi penyimpanan dingin dengan sistem pendinginan nokturnal hibrida. Disamping membuat saluran udara, dibuat pula alat-alat penukar panas dan alat pelembab udara dingin. Saluran udara dibuat dan dipasang di langit-langit ruang instalasi penyimpanan dengan harapan penyebaran udara akan lebih merata daripada tidak menggunakan saluran udara. Dibuat pula tiga buah alat penukar panas dengan rincian
6 penggunaan: satu buah untuk pendinginan nokturnal dan dua buah untuk mesin pendingin kompresi uap. Alat penukar panas pendinginan nokturnal berfungsi sebagai alat pendinginan pendahuluan (precooler) udara yang berasal dari dalam ruang penyimpanan. Dua alat penukar panas lainnya berfungsi sebagai evaporator yang akan menurunkan suhu udara pendingin lebih lanjut sehingga mencapai sasaran suhu penyimpanan. Ketiga alat penukar panas ini dipasang di dalam saluran udara di bagian rumah penukar panas. Untuk dapat menghitung kemampuan pendinginan nokturnal maka koefisien pindah panas konveksi antara permukaan air kolam dengan udara ditetapkan dengan percobaan. Demikian pula suhu langit diduga dengan menggunakan model-model empiris dan analitis yang dikoreksi dengan menggunakan kondisi awan setempat. Nilai-nilai parameter termal alat penukar panas pendinginan nokturnal ditetapkan dengan percobaan untuk dapat menghitung performansi pendinginan nokturnal. Gambar 1 menyajikan diagram alir penelitian penyimpanan dingin dengan sistem pendinginan nokturnal hibrida.
Penetapan h Suhu langit Pendinginan nokturnal
Parameter termal
Alat penukar panas Saluran udara Alat penukar panas Mesin pendingin kompresi uap
Pelembaban udara
Instalasi penyimpanan dingin
Penyimpanan dingin sayursayuran
Beban panas surya
Gambar 1 Diagram alir penelitian penyimpanan dingin dengan sistem pendinginan nokturnal hibrida.
7 Potensi pendinginan nokturnal dikaji, model-model pendugaan untuk radiasi gelombang panjang langit ke bawah diuji dengan data yang berhasil dikumpulkan dan dibuat parameterisasi baru dari faktor yang paling berpengaruh. Suhu langit menentukan kemampuan pendinginan nokturnal dan suhu langit dipengaruhi oleh emisivitas langit. Kedua parameter ini, emisivitas dan suhu langit diukur dengan pendekatan teoritis dan dibandingkan dengan hasil pendugaan dari model-model yang ada. Selanjutnya model-model penduga dibuat berdasarkan pada data meteorologi setempat baik untuk dataran tinggi maupun untuk dataran rendah. Udara dingin yang kehilangan air karena terembunkan pada permukaan alat penukar panas akan menjadi udara dingin yang kering. Bila udara dingin kering ini dihembuskan pada permukaan sayur-sayuran maka sayur-sayuran akan menjadi layu dalam waktu pendek dan akan menjadi kering pada penghembusan dalam waktu lama. Untuk mengatasi masalah udara dingin dengan nilai kelembaban relatif rendah dan untuk mendapatkan udara dingin lembab maka dibuat alat pelembab. Alat pelembab ini dipasang di dalam saluran udara di bagian saluran setelah rumah penukar panas. Disamping itu, cara lain juga dicoba untuk melindungi sayur-sayuran yang disimpan dari keadaan yang tidak menguntungkan ini. Sebagai pembanding dilakukan pula percobaan-percobaan penyimpanan sayur-sayuran di gudang perusahaan. Percobaan-percobaan lainnya dilakukan untuk menentukan efisiensi pelembaban alat pelembab udara dingin. Beban panas surya juga diperhitungkan karena instalasi berada di tempat yang terkena sinar surya secara langsung sepanjang tahun. Percobaan penetapan beban panas mencakup percobaan pengukuran radiasi surya, pendugaan radiasi surya dengan model-model yang sudah ada, dan menduga luas permukaan dinding bangunan instalasi yang terkena sinar surya. Selanjutnya dibuat model penduga suhu ruang dengan memperhatikan beban panas surya. Analisis finansial dilakukan untuk menetapkan kelayakan usaha penjualan sayur-sayuran dengan menggunakan beberapa skenario analisis finansial dan analisis sensitivitas. Akhirnya, dilakukan pula kajian teknis tentang kemungkinan pengembangan instalasi lebih lanjut.
8 Keterkaitan antar Bab
Dalam upaya menjelaskan peran pendinginan nokturnal pada khususnya dan pendinginan nokturnal hibrida pada umumnya, penelitian dilakukan dalam bentuk percobaan-percobaan yang saling terkait. Pendekatan teoritis banyak dilakukan dan asumsi-asumsi banyak digunakan untuk menyederhanakan permasalahan. Data yang sudah dikumpulkan diolah dan digunakan untuk melakukan validasi model matematika, sebagai dasar melakukan optimisasi, analisis finansial dan sebagai dasar uraian prospek pengembangan pemanfaatan instalasi pendinginan nokturnal hibrida. Penyajian data, hasil olahan dan pembahasan dibagi dalam beberapa bab. Bab dua membahas tentang potensi pendinginan nokturnal, penentuan dan pengujian model penduga radiasi gelombang panjang langit ke bawah, perbandingan radiasi ini di dataran tinggi dengan di dataran rendah, dan parameterisasi variabel penentu dan pengajuan model penduga radiasi gelombang panjang langit ke bawah dengan menggunakan parameter meteorologi setempat. Bab tiga berisi tentang kajian emisivitas langit sebagai variabel penentu suhu langit, perbandingan antara suhu langit di dataran tinggi dan di dataran rendah dan hasil parameterisasi variabel penentu emisivitas langit dan uraian tentang model penduga berdasarkan parameter lokal. Uraian tentang instalasi penyimpanan dingin dengan pendinginan nokturnal hibrida dan penentuan komponen-komponen penting, pelembaban udara dingin, faktor lingkungan, performansi saluran udara, dan validasi model matematika untuk penyimpanan dingin dengan pendinginan nokturnal hibrida dimuat di dalam bab empat. Bab lima mengandung pemaparan dan pembahasan hasil-hasil penyimpanan sayur-sayuran di dalam instalasi penyimpanan dingin dan perbandingannya dengan penyimpanan sayur-sayuran di dalam gudang tanpa dan dengan pengemasan sayur-sayuran. Bab enam berisi telaahan tentang pengaruh kondisi pengoperasian instalasi penyimpanan dingin terhadap biaya investasi awal komponen-komponen sistem dan sistem secara keseluruhan. Dibahas penggunaan optimisasi dalam penentuan
9 biaya investasi minimum untuk komponen-komponen sistem instalasi. Dibahas pula pengaruh nilai parameter termal alat penukar panas pendinginan nokturnal terhadap biaya investasi awal. Kajian kelayakan usaha sebagai hasil analisis finansial dan pengaruh variabel-variabel terhadap ketidakpastian usaha dibahas didalam bab tujuh. Di dalam bab delapan dipaparkan sumbangan pendinginan nokturnal pada sistem penyimpanan dingin. Keuntungan ekonomi yang didapat bila memanfaatkan instalasi penyimpanan dingin. Pemanfaatan instalasi dalam mengurangi biaya investasi total sistem ditelaah di dalam bab ini. Juga ditelaah kemungkinan pengurangan daya listrik untuk pendinginan ruang penyimpanan dalam rangka melakukan penghematan penggunaan energi yang ketersediaannya semakin terbatas dan dengan kecenderungan harga yang semakin mahal. Selanjutnya ditelaah peran pendinginan nokturnal dalam mengurangi biaya untuk pendinginan pendahuluan sayursayuran yang akan disimpan dingin, pengaruh lingkungan, pengurangan kehilangan berat sayur-sayuran yang disimpan dingin, dan kemungkinan pengembangan instalasi. Bab ini diakhiri dengan kesimpulan yang sudah dipadatkan dan rekomendasi-rekomendasi yang relevan dalam upaya penerapan sistem dan perbaikan performansi sistem.
2 PENDINGINAN NOKTURNAL DI DATARAN TINGGI DAN DI DATARAN RENDAH Pendahuluan
Udara dingin di dekat permukaan tanah atau air menjadi dingin di malam hari disebabkan oleh peristiwa pendinginan permukaan bumi yang berlangsung sepanjang malam. Pendinginan yang terjadi di malam hari disebut sebagai pendinginan nokturnal. Menurut Bird et al. (1960) setiap benda yang secara langsung dihadapkan ke langit malam hari akan didinginkan di bawah suhu lingkungan karena panas benda diradiasikan ke langit. Kondisi ini dapat digunakan untuk membekukan air dangkal di dalam wadah yang diisolasi dengan baik. Dalam bentuk persamaan umum, jumlah panas yang diradiasikan oleh benda adalah:
Q AT 4
(1)
Pada kenyataannya pendinginan nokturnal tidak semata-mata ditentukan oleh radiasi malam hari. Pada tingkat tertentu, faktor-faktor lain juga mempengaruhi pendinginan seperti pendinginan konveksi dan evaporasi. Boon-Long (1992) menjelaskan pendinginan transien pada permukaan dekat tanah pada malam hari. Pada awalnya suhu benda lebih tinggi dari suhu lingkungan. Permukaan benda akan didinginkan dengan adanya radiasi ke langit, konveksi ke udara lingkungan dan evaporasi bila permukaan benda basah. Saat suhu benda lebih tinggi daripada suhu udara, berlangsung pendinginan konveksi. Bila suhu benda terus turun di bawah suhu bola basah lingkungan maka pendinginan evaporasi akan berhenti. Pendinginan selanjutnya hanya ditentukan oleh radiasi ke langit yang bersuhu Ts. Secara teori pendinginan ini terus dapat berlanjut sampai suhu benda mencapai suhu langit. Berdasarkan pada teori, suhu benda 15-20 oC di bawah suhu lingkungan dapat dicapai hanya dengan pendinginan radiasi. Tetapi pada kenyataannya hal ini tidak pernah terjadi karena konveksi dan konduksi lebih besar pengaruhnya pada saat suhu benda berada di bawah suhu lingkungan. Pada kondisi seperti ini pendinginan konveksi berubah menjadi pemanasan konveksi.
11 Pada proses pendinginan atau pemanasan secara konveksi, besar pindah panas secara konveksi ditentukan oleh salah satu faktor yaitu koefisien pindah panas konveksi. Untuk dapat menghitung pengaruh pendinginan atau pemanasan secara konveksi maka nilai koefisien ini perlu ditetapkan. Banyak model-model penduga nilai koefisien pindah panas konveksi yang sudah diajukan dan digunakan, tetapi model-model tersebut bersifat empiris. Bila model empiris digunakan di luar daerah atau lokasi pengambilan data sebagai dasar pembuatan model tersebut, maka akan terjadi kesalahan pendugaan. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan penetapan koefisien pindah panas konveksi. Pendinginan nokturnal terjadi karena radiasi gelombang panjang dari bendabenda di permukaan bumi. Radiasi gelombang panjang dari benda-benda ini tidak hanya berlangsung pada malam hari tetapi berlangsung pula pada siang hari. Disamping itu, radiasi gelombang panjang terjadi pula dari awan dan atmosfir bumi. Atmosfir berfungsi sebagai penyerap radiasi gelombang panjang yang dekat dengan permukaan bumi. Kajian-kajian menunjukkan bahwa permukaan bumi akan 30-40oC lebih dingin bila bumi tidak memiliki atmosfir. Kontribusi penyerap yang berada di atmosfir dalam menyerap radiasi gelombang panjang tidak terbatas hanya pada uap air yang menyerap pada panjang gelombang 5.3-7.7 m, tetapi juga ozon (9.4-9.8 m), karbon dioksida (13.1-16.9 m) dan awan untuk semua panjang gelombang (Margolin, 1999). Berger dan Cubizolles (1992) menyebutkan dari semua penyusun atmosfir, uap air yang paling penting dalam mempengaruhi radiasi atmosfir. Kemampuan pendinginan nokturnal ditentukan oleh besar radiasi gelombang panjang langit ke bawah. Secara sederhana berlaku hubungan, semakin besar radiasi gelombang panjang langit ke bawah maka semakin kecil kemampuan pendinginan nokturnal. Dengan demikian, bila radiasi gelombang panjang langit ke bawah dapat ditentukan dengan menghitung, mengukur langsung atau menduga nilainya secara tepat, maka kemampuan pendinginan nokturnal dapat ditentukan dengan tepat pula. Dalam penelitian ini dilakukan pengkajian beberapa model penduga radiasi gelombang panjang langit cerah ke bawah yang banyak digunakan dalam menduga radiasi gelombang panjang langit ke bawah. Selanjutnya
12 dilakukan parameterisasi pengaruh awan langit malam dan memasukkannya ke dalam model-model penduga radiasi gelombang panjang untuk langit cerah. Arifin (1988) melaporkan bahwa di kota Surabaya untuk bulan Oktober dan Nopember, kemampuan pendinginan nokturnal mencapai 50-59 W/m2 dengan nilai rata-rata 54 W/m2. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Trisasiwi (2000) di Cipanas. Dilaporkan bahwa kemampuan pendingin nokturnal di daerah tersebut mencapai nilai minimum 60 W/m2 dan maksimum 61 W/m2. Hasil ini menarik untuk dicermati karena kemungkinan memberi arti bahwa dua daerah yang berbeda lokasi, terutama ketinggiannya dari permukaan laut, mempunyai nilai kemampuan pendinginan nokturnal yang hampir sama. Kota Surabaya terletak di daerah dataran rendah, sedangkan Cipanas berada di dataran tinggi. Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian tersebut, dalam penelitian ini dilakukan penetapan dan perbandingan antara kemampuan pendinginan nokturnal di dataran tinggi dengan di dataran rendah. Dilakukan penelaahan terhadap potensi ini berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan penerapannya dalam pendinginan dan penyimpanan dingin. Penelitian ini menghasilkan pula kumpulan data yang berupa paremeter-parameter meteorologi setempat yang mudah diukur. Berdasarkan pada parameterparameter ini dibuat model penduga radiasi gelombang panjang langit ke bawah. Penetapan Koefisien Pindah Panas Konveksi (h) Persamaan Empiris Penduga h. Persamaan empiris yang berupa persamaan linier yang diturunkan oleh Watmuff et al. diacu dalam Duffie dan Beckman (1980) untuk benda berupa lempengan dengan luas 0.5 m2, adalah h = 2.8 + 3.0V
(2)
Persamaan ini digunakan oleh Tang dan Etzion (2004) untuk mengukur performansi kolam atap dari suatu bangunan. Demikian pula Ho et al. (2005) menggunakannya untuk menghitung pindah panas dari pemanas surya, sedangkan AbuHamdeh (2003) memanfaatkannya untuk kajian simulasi pemanas surya. Chow et al. (2006) dalam menganalisis bangunan berventilasi surya juga menggunakan persamaan ini.
13 Dalam mengkaji beban panas bangunan, Parker (2005) menggunakan persamaan empiris linier yang disarankan oleh Burch dan Luna berikut ini: h = 2.8 + 4.8V
(3)
Lunde (1980) juga mengajukan persamaan empiris linier untuk menduga nilai h untuk permukaan datar, yaitu: h = 4.5 + 2.9V
(4)
Untuk melakukan pemodelan cerobong surya, Ong dan Chow (2003) menggunakan persamaan empiris linier yang diajukan oleh McAdams (Duffie dan Beckman 1980). Ong (2003) dan Pretorius dan Kröger (2006) menggunakan persamaan yang sama untuk menguji performansi cerobong surya. Abdel-Rehim dan Lasheen (2005) juga menggunakan persamaan yang sama untuk menentukan performansi desalinasi surya. Persamaan ini juga digunakan oleh Kurt et al. (2000) dalam membuat kajian kolam surya. Persamaan empiris linier McAdams, seperti dinyatakan di bawah ini, semula dibuat untuk menduga nilai h untuk lempengan dengan luas 0.5 m2. Suhardiyanto et al. (2007) juga memilih persamaan ini dalam pengembangan model pindah panas untuk rumah kaca. h = 5.7 + 3.8V
(5)
Sebagaimana diuraikan diatas, penggunaan persamaan empiris tersebut tidak dibatasi dengan kecepatan angin. Tetapi menurut Trinuyuk et al. (2006), persamaan empiris (2) hanya berlaku dalam kisaran 0-7 m/s. Persamaan ini dengan kisaran kecepatan angin tersebut mereka gunakan untuk menguji performansi fotovoltaik. Demikian pula dengan persamaan empiris linier yang dilaporkan oleh Clark dan Berdahl, h = 2.8 + 0.76V, berlaku pada kecepatan angin 1.5-5 m/s untuk pendugaan h pada permukaan radiator (Dimoudi dan Anroutsopoulos, 2006). Juga persamaan empiris liniernya, h = 1.8 +3.8V, berlaku pada kisaran kecepatan angin 1.25-4.5 m/s untuk pendugaan nilai h pada permukaan bangunan (Erell dan Etzion 2000). Penggunaan persamaan empiris h = 2.8 + 3.0V juga dibatasi pada kisaran 0 ≤ V ≤ 7 m/s oleh Timoumi et al. (2004) saat mereka menggunakan persamaan ini untuk pemodelan kolektor lempeng datar berenergi surya. Ada pula peneliti yang menggunakan persamaan empiris linier dan pangkat secara bersama-sama dengan pembatasan kecepatan angin. Sebagai contoh Bentz
14 (2000) dalam mengkaji pindah panas pada permukaan beton menggunakan persamaan empiris linier dan pangkat FEMMASSE h = 5.6 + 4.0V (V <= 5 m/s) dan
(6)
h = 7.2V0.78 (V > 5 m/s)
(7)
Disamping hubungan linier, beberapa peneliti mengajukan hubungan tidak linier seperti pangkat dan bentuk hubungan yang lebih kompleks. Duffie dan Beckman (1980) menyarankan pendugaan nilai h untuk konveksi paksa pada permukaan bangunan dengan mengunakan persamaan h = 8.6V0.6/L0.4 dan L adalah akar pangkat tiga dari volume bangunan. ASHRAE (Loveday dan Taki 1996) menganjurkan penggunaan persamaan berpangkat h = 18.6V0.605 untuk menduga nilai h untuk permukaan bangunan. Li dan Lam (2000) dalam perhitungan beban panas surya memanfaatkan persamaan yang diajukan oleh Loveday dan Taki (1996). Pendugaan Nilai h dengan Pendekatan Analitis. Buiar dan Moura (2004) membuat pendekatan analitis dalam menduga nilai h dengan didasarkan pada hukum pendinginan Newton. Lebih lanjut mereka melaporkan bahwa perbedaan antara hasil pendekatan analitis dengan hasil percobaan sangat kecil dan kecenderungan dari kedua nilai sama. Zhai dan Chen (2004) mengutip pendekatan analitis berdasarkan pada lapisan batas kecepatan. Hasil analisis dalam menetapkan ketebalan lapisan batas kecepatan () merupakan kebalikan dari bilangan Reynolds.
4.92 x
Re x
(8)
Persamaan ini mirip dengan persamaan (L4) dalam Lampiran 1. Pendekatan analitis juga dilakukan oleh Khan et al. (2006) dalam menghitung pindah panas konveksi pada rangkunan pipa tabung berdasarkan pada analisis lapisan batas. Model mereka dapat diterapkan pada rangkunan tabung dengan susunan pipa satu garis sejajar atau selang-seling pada kisaran luas nilai bilangan Reynolds dan Prandtl. Pendugaan Nilai h dari Data Percobaan.
Hagishima dan Tanimoto
(2003) menurunkan persamaan linier dari data hasil percobaannya. Hubungan
15 yang diperoleh dari analisis regresi terhadap diagram serak dari data mereka adalah: h = 8.18 +2.28V
(9)
Clear et al. (2003) melaporkan bahwa dari diagram serak data hasil percobaan yang mereka lakukan diketahui h merupakan fungsi dari kecepatan angin dengan hubungan linier. Demikian pula Loveday dan Taki (1996) dalam menduga nilai h menghubungkan data hasil percobaan mereka dan diperoleh persamaan: h = 16.21V0.452
(10)
Kesetimbangan massa dan energi digunakan dalam mengukur nilai h dari data hasil percobaan. Rahman dan Kumar (2006) menggunakan kesetimbangan massa dan energi dalam menduga nilai h untuk pengeringan bahan-bahan yang mengerut. Clear et al. (2003) menggunakan kesetimbangan energi dalam menduga nilai h dengan mempertimbangkan panas radiasi. Pendinginan Nokturnal Kenyataan akan keberadaan efek pendinginan nokturnal sudah diketahui sejak lama. Bird et al. (1960) menyatakan bahwa bila suatu benda dihadapkan secara langsung ke langit malam hari, benda itu akan didinginkan di bawah suhu lingkungan karena benda meradiasikan panas ke langit. Efek pendinginan ini dapat digunakan untuk membekukan air dangkal di dalam suatu wadah yang diisolasi dengan baik. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Chen et al. (1991) yang menyatakan bahwa langit yang dingin dapat digunakan sebagai heat sink dari radiasi suatu benda. Potensi pendinginan ini mungkin menjanjikan bila digunakan sebagai alternatif teknik pendinginan konvensional. Jika permukaan suatu benda mengemisikan radiasi melebihi radiasi yang diserap maka permukaan benda itu akan dingin. Menurut McVeigh (1984) permukaan horisontal yang dihadapkan ke langit malam akan kehilangan panas 5 W/m2 untuk setiap derajat perbedaan suhu antara permukaan dengan suhu langit. Di daerah beriklim lembab, suhu bola basah yang cukup tinggi membatasi pendinginan evaporasi. Di daerah beriklim seperti ini suhu langit dapat mencapai 10oC di bawah suhu bola kering pada saat langit cerah
16 di musim panas. Tetapi jika langit ditutup awan rendah maka suhu langit mendekati suhu lingkungan. Parker dan Sherwin (2007) melaporkan bila suatu permukaan benda di daerah gurun pasir dihadapkan ke langit cerah malam hari maka benda itu akan didinginkan dengan kemampuan pendinginan 70 W/m2. Sebagaimana diungkap oleh McVeigh (1984), Parker dan Sherwin (2007) juga mendapatkan bila di daerah lembab dengan uap air lebih besar di langit, menyebabkan kemampuan pendinginan turun menjadi 60 W/m2. Demikian pula bila 50% langit malam hari tertutup awan maka kemampuan pendinginan turun menjadi 40 W/m2 dan kemampuan pendinginan hanya 7 W/m2 bila langit tertutup awan sepenuhnya. Selanjutnya Parker dan Sherwin (2007) melaporkan bahwa secara teoritis selama 10 malam pendinginan nokturnal dengan kemampuan pendinginan 250450 W/m2 dapat dimanfaatkan secara efektif, tetapi kondisi ini tidak mudah dicapai. Atap yang dingin mendapat panas konveksi dari angin yang mengurangi potensi tersebut. Pada kecepatan angin 0.9 m/s potensi pendinginan nokturnal menurun setengahnya. Demikian pula pengembunan air menurunkan potensi pendinginan nokturnal. Disimpulkan bahwa hanya sebagian potensi pendinginan dapat dimanfaatkan karena adanya tambahan panas dari lingkungan. Kemampuan pendinginan nokturnal di Surabaya pada kondisi cerah pada bulan Oktober adalah 54-59 W/m2 dengan nilai rata-rata 56 W/m2. Untuk kondisi langit berawan dan hujan pada bulan Nopember kemampuan pendinginan nokturnal mencapai 50-53 W/m2 dan rata-rata 51 W/m2 (Arifin 1988). Trisasiwi (2000) melaporkan kemampuan pendinginan nokturnal di Bogor mencapai 42 W/m2 dan pada saat langit berawan kemampuan pendinginan hanya mencapai 38.2 W/m2. Di Cipanas kemampuan pendinginan nokturnal untuk langit berawan mencapai 59.8 W/m2 dan mencapai 60.9 W/m2 pada saat langit cerah. Dilaporkan pula pada tempat yang berbeda seperti di Batu Malang kemampuan pendinginan nokturnal mencapai 47.2 W/m2 pada bulan Juni. Berbagai cara dilakukan dalam memanfaatkan potensi pendinginan nokturnal. Potensi pendinginan nokturnal banyak dipelajari dalam kaitannya dengan upaya penciptaan kenyamanan ruangan di dalam suatu bangunan. Salah satu cara yang dikembangkan adalah dengan menggunakan atap bangunan sebagai medium
17 yang didinginkan. Suatu atap dengan luas 225 m2 akan memiliki kemampuan pendinginan sebesar 6000-14000 W atau sekitar 1.7-4.0 TR (ton refrigerasi) untuk setiap musim panas (Parker dan Sherwin 2007). Cara lain banyak dikaji oleh Chen et al. (2001) yang menggunakan air di dalam kolam dalam upaya memanfaatkan potensi pendinginan nokturnal. Arifin (1988) dan Meir et al. (2002) menggunakan radiator dengan air yang mengalir di dalam radiator sebagai media yang didinginkan. Trisasiwi (2000) menggunakan wadah berupa kolam dangkal dan air digunakan untuk menyimpan panas pendinginan nokturnal. Kowata dan Okuyama (2001) memanfaatkan potensi pendinginan nokturnal dengan menggunakan terowongan yang dilapisi dengan plastik ganda untuk melakukan pendinginan pendahuluan sayur-sayuran. Kamaruddin et al. (1998) dan Trisasiwi (2000) menyebutkan bahwa perubahan panas total air dalam kolam dangkal atap dapat dinyatakan dengan persamaan berikut ini, dengan mengabaikan kondensasi yang terjadi ke dalam air dalam kolam. Persamaan di bawah ini berlaku untuk air kolam yang mengalir dan sejumlah panas memasuki kolam dengan laju aliran massa air mwi. mwp c pw
dTw Awp Tw4 Ts4 hwa Awp Ta Tw m wi c pw Twi Tw dt
(11)
Radiasi Gelombang Panjang Langit ke Arah Bawah (QDLR). Banyak sekali peneliti menyingkat penulisan radiasi gelombang panjang langit ke arah bawah menjadi radiasi atmosfir atau radiasi langit. Dalam tulisan ini radiasi gelombang panjang ke arah bawah digantikan dengan radiasi langit untuk seluruh penulisan, kecuali dianggap perlu untuk menuliskannya secara lengkap. Hal ini dilakukan untuk keseragaman penulisan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan radiasi langit adalah radiasi gelombang panjang langit ke arah bawah. Pengukuran radiasi langit dilakukan untuk dapat mengevaluasi kesetimbangan energi di permukaan bumi (Chabangborn et al. 2004; Duchon dan Wilk 1994). Intensitas radiasi langit dapat diukur secara langsung menggunakan alat pyrgeometer atau net pyrradiometer. Tetapi pada umumnya penggunaan alat-alat
18 seperti ini tidak dapat dilakukan karena harga alat yang sangat mahal dan sangat halus. Chabangborn et al. (2004) melaporkan bahwa berdasarkan pada data hasil pengukurannya terhadap radiasi langit tahunan berkisar antara 390-440 W/m2 di EGAT Tower dan 320-400 W/m2 di Chiang Mai Thailand. Golaka dan Exell (2004) menyimpulkan dari data hasil pengukurannya bahwa intensitas rendah radiasi langit ke bawah terjadi selama musim kering. Radiasi langit terendah terjadi selama Januari dan Pebruari dengan nilai 320 W/m2. Menurut Goss dan Brooks (1956) bila tidak dapat dilakukan pengukuran secara langsung maka perlu dicari cara untuk menghitung atau menduga radiasi langit. Tabel-tabel radiasi langit tidak dapat digunakan dengan selang kepercayaan tertentu dan juga tidak berlaku umum karena pembuatannya berdasarkan pada kondisi atmosfir lokal. Chabangborn et al. (2004) menyatakan bahwa radiasi ini dapat dihitung dengan tingkat ketepatan tertentu dan tanpa perhitungan rumit dengan menggunakan data meteorologi permukaan bumi. Demikian pula menurut McVeigh (1984), Goss dan Brooks (1956) dan Bárbaro et al. (2006) hubungan empiris sederhana sudah dikembangkan untuk menduga suhu langit dengan menggunakan suhu bola kering, kelembaban relatif dan fraksi ketertutupan langit oleh awan. Model empiris dapat digunakan untuk menghitung radiasi langit malam hari jika konstanta model sudah diketahui. Tetapi Chabangborn et al. (2004) menekankan bahwa pengamatan jangka panjang dibutuhkan untuk memperoleh ketepatan nilai pendugaan. Banyak model-model empiris dikembangkan untuk menduga radiasi langit. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam membangun model-model empiris adalah dengan menggunakan anggapan bahwa langit adalah gray body. Dengan anggapan ini langit meradiasikan panas pada suhu absolut lingkungan dekat dengan permukaan bumi dengan emisivitas efektif sebesar εa (Ramsey et al. 1981; Andreas dan Ackley 1982; Pluss dan Ohmura 1997; Marafia et al. 1998; Müller 2001; Golaka dan Exell 2004). Untuk langit cerah hubungan antara radiasi langit dengan suhu lingkungan dan emisifitas efektif adalah: QDLR ,c aTa4
(12)
19 Persamaan ini menerangkan ketergantungan radiasi langit terhadap dua faktor, yaitu emisivitas efektif langit dan suhu absolut lingkungan. Menurut Pluss dan Ohmura (1997) emisivitas efektif langit kira-kira bernilai 0.7 untuk langit cerah dan mendekati satu untuk langit tertutup awan sepenuhnya. Menurut Goss dan Brooks (1956) model empiris Brunt (1932) untuk radiasi langit malam hari lebih banyak digunakan daripada model eksponensial Ångström karena kesederhanaannya. Persamaan (13) memperlihatkan bentuk umum dari model empiris Brunt (1932). Terlihat bahwa model empiris hanya berisi dua konstanta a dan b yang dapat ditentukan dari data hasil percobaan.
QDLR a b Pv Ta4
(13)
Crawford dan Duchon (1999) menyatakan bahwa upaya untuk meneliti kesetimbangan energi di permukaan bumi sering dihalangi oleh ketidakpastian dalam menduga radiasi langit. Masalah utama dari ketidakpastian ini kelihatannya pada pengembangan model yang bersifat empiris untuk suatu lokasi sehingga sering model tidak sesuai bila diterapkan di lokasi lainnya. Brunt (1932), Swimbank (1963), Idso dan Jackson (1969) adalah contoh dari model-model yang bersifat empiris untuk langit cerah. Dalam menerangkan hubungan radiasi langit dengan suhu lingkungan, Swimbank (1963) menyimpulkan bahwa radiasi langit adalah sebanding dengan perbedaan antara suhu absolut lingkungan pangkat empat dengan suhu langit absolut pangkat empat (Tiba dan Ghini 2006). Swimbank membuat hubungan antara radiasi langit Ts4 terhadap tekanan uap air Pv untuk pengukuran di Inggris. Kemudian dari pengamatan di Australia dan di Lautan India, Swimbank menghubungkan radiasi langit dengan suhu permukaan absolut pangkat enam (Magrhabi 2007) sebagai berikut: QDLR 5.31Ta6
(14)
Menurut Magrhabi (2007), Idso dan Jackson (1969) mengajukan model empiris penduga radiasi langit yang berlaku umum untuk semua lintang. Tetapi Exell (2007) menyatakan bahwa model empiris Idso dan Jackson (1969) perlu dikoreksi untuk dapat diterapkan dengan lebih tepat di daerah tropika. Magrhabi (2007) juga
20 mengutip bahwa Idso pada tahun 1981 mengajukan model penduga radiasi langit dengan memasukkan tekanan uap air disamping suhu lingkungan. Disamping model-model di atas, model analitis Brutsaert (1975) banyak digunakan dan dikembangkan untuk menduga radiasi langit. Menurut Pluss dan Ohmura (1997) Brutsaert mengajukan pemodelan radiasi langit untuk langit cerah berdasarkan pada suhu lingkungan dan tekanan uap air. Magrhabi (2007) mengatakan bahwa salah satu hasil pengembangan model yang diturunkan dari model Brutsaert adalah model Prata (1996). Tabel 3 merangkum model-model empiris dan model-model analitis yang dikembangkan untuk menduga radiasi langit. Model-model penduga tersebut digunakan untuk kondisi langit cerah. Banyak peneliti melakukan perbandingan diantara model-model penduga radiasi langit atau antara model-model penduga dengan hasil pengukuran radiasi langit. Goss dan Brooks (1956) membandingkan model empiris Brunt (1932) dengan beberapa hasil pendugaan mengunakan model lain seperti model empiris Ångström. Berdasarkan hasil analisis regresi terlihat bahwa model empiris Brunt baik digunakan untuk menduga radiasi langit. Morgan et al. (1971) melaporkan bahwa model Ångström (1918) dan Brunt (1932) memberikan hasil pendugaan yang paling dekat untuk langit cerah. Chabangborn et al. (2004) membandingkan model yang dikembangkannya dengan 6 model radiasi langit yang ada untuk langit cerah, tiga diantaranya dengan model empiris Swimbank (1963), Idso-Jackson (1969), dan model empiris Brunt (1932). Chabangborn et al. (2004) melaporkan bahwa hasil pendugaan dari model radiasi langit yang diajukannya memiliki Performansi yang lebih baik daripada model-model yang dibandingkan. Bárbaro et al. (2006) menguji Performansi model-model empiris untuk menduga radiasi langit di São Paulo. Model-model empiris yang dibandingkan adalah Ångström (1918), Brunt (1932), Swimbank (1963), Idso dan Jackson (1969), Brutsaert (1975), Satterlund (1979), Idso (1981), Prata (1996), Dilley dan O’Brien (1998), dan Niemelä (2001). Hasil pembandingan Bárbaro et al. (2006) menunjukkan bahwa Performansi model empiris Brunt (1932) lebih baik dalam menduga radiasi langit di São Paulo. Model empiris Brunt (1932) menghasilkan
21 nilai MBE dan RMSE terkecil dengan nilai 4.53 W/m2 dan 14.38 W/m2, sedangkan model empiris Idso (1981) memiliki nilai MBE dan RMSE terbesar yaitu 38.33 W/m2 dan 40.58 W/m2. Nilai MBE dan RMSE untuk model-model yang lain berkisar di antara kedua nilai ini. Goforth et al. (2002) menyatakan bahwa tingkat kesalahan bila menggunakan model empiris Idso dan Jackson (1969) ini adalah 3% dengan kesalahan keseluruhan 12%. Kesalahan ini kemungkinan disebabkan oleh keberadaan awan di langit. Tetapi untuk langit cerah model ini juga melebihi hasil pengukuran radiasi langit sekitar 30 W/m2. Duchon dan Wilk (1994) melaporkan hasil perbandingan radiasi langit hasil pengukuran pyrgeometer dengan model empiris untuk langit cerah seperti model empiris Brunt (1932), Brutsaert (1975), Idso dan Jackson (1969), dan Swimbank (1963). Pengukuran rata-rata selama satu jam untuk tiga malam cerah memperlihatkan bahwa hasil pendugaan semua model empiris memiliki kesalahan kurang lebih 6% dari hasil pengukuran. Morgan et al. (1971) melaporkan bahwa model Ångström (1918) menduga lebih rendah sekitar 17%, sebaliknya model Brunt (1932) memiliki bias sama dengan nol. Maykut dan Church (1973) menyebutkan bahwa model empiris seperti Ångström (1918), Brunt (1932), Swimbank (1963) berhasil menduga radiasi langit dengan baik pada lintang rendah untuk langit cerah. Lebih lanjut dikatakan model empiris tersebut tidak tepat digunakan di lintang tinggi seperti di kutubkutub bumi. Tabel 3 Model-model penduga radiasi langit cerah Model Maykut dan Church (1973)
Persamaan/Pustaka acuan QDLR ,c 0.7855Ta4 Maykut dan Church (1973), Pirazzini et al. (2000) König-Langlo dan QDLR ,c 0.765Ta4 Augstein (1994) Pirazzini et al. (2000) Guest (1998) QDLR ,c Ta4 85.6 Pirazzini et al. (2000) Swinbank (1963) QDLR ,c 9.2 x 10 6 Ta2 Ta4 Bárbaro et al. (2006), Culf dan Gash (1993)
No 15 16 17 18
22 Tabel 3 Model-model penduga radiasi langit cerah (lanjutan) Model Swinbank (1963) Swinbank (1963)
Persamaan/Pustaka acuan QDLR ,c 9.365 x 10 6 Ta2 Ta4 Pirazzini et al. (2000) QDLR ,c 3.8131 x 10 11Ta5.189 RH 0.0665
Ohmura (1981)
Goforth et al. (2002) QDLR ,c 8.733 x 103 Ta0.788 Ta4
21
Mézino (1985)
Pirazzini et al. (2000) QDLR,c 5Ta 200
22
Adelard (1998) QDLR,c 3.6Ta 273 231 Adelard (1998)
23
Roulet (1987)
No 19 20
2 4 4 Idso dan Jackson Q DLR ,c 1 0.261exp 7.77 x 10 273 Ta Ta (1969) Bárbaro et al. (2006), Goforth et al. (2002), Tade (2006), Pirazzini et al. (2000), Culf dan Gash (1993) Ångström (1918) QDLR ,c 0.82 0.25 x 10 0.007 Pv Ta4
Adelard (1998) Ångström (1918) QDLR ,c 0.83 0.18 x 10 0.067 Pv Ta4 Bárbaro et al. (2006) Unsworth dan QDLR ,c 5.5 Pv 213 Monteith (1933) Adelard (1998) Niemelä (2001) QDLR ,c 0.72 0.009Pv 2 Ta4 untuk Pv ≥ 2 mbar
24
25 26 27 28
Efimova (1961)
Niemelä (2001), Bárbaro et al. (2006) QDLR,c 0.746 0.0066Pv Ta4
29
Brunt (1932)
Pirazzini et al. (2000) QDLR,c 0.52 0.065 Pv Ta4
30
Brunt (1932)
Bárbaro et al. (2006) QDLR,c 0.55 0.065 Pv Ta4
31
Brunt (1932) Marshunova (1966) Brutsaert (1975)
Tade (2006) QDLR ,c 0.51 0.066 Pv Ta4 Culf dan Gash (1993) QDLR,c 0.67 0.05 Pv Ta4
32
33
Pirazzini et al. (2000) 1/ 7 QDLR,c 1.24Pv Ta Ta4
34
Pirazzini et al. (2000), Bárbaro et al. (2006), Culf dan Gash (1993)
23 Tabel 3 Model-model penduga radiasi langit cerah (lanjutan) Model Brutsaert (1975)
Persamaan/Pustaka acuan 1/ 7 QDLR,c 1.24Pv Ta Ta4 Pirazzini et al. (2000), Bárbaro et al. (2006), Culf dan Gash (1993) Brutsaert (1975)* QDLR ,c 1.31Pv Ta 1/ 7 Ta4 Culf dan Gash (1993) Brutsaert (1975)* QDLR,c 0.642Pv Ta 1/ 7 Ta4
No 34
35 36
Plüss dan Ohmura (1996)
37
1/ 8 Konzelmann et al. Q Ta4 DLR ,c 0.23 0.484 Pv Ta (1994) Pirazzini et al. (2000) Ta / 2016 Satterlund (1979) Q 1.08 1 exp P T 4
DLR ,c
v
38
a
Bárbaro et al. (2006)
Idso (1981)
QDLR,c 0.7 5.95 x 105 Pv exp1500 Ta Ta4 Bárbaro et al. (2006), Pirazzini et al. (2000), Culf dan Gash (1993), Andreas dan Ackley (1982)
Idso (1981)*
QDLR,c 0.601 5.95 x 105 Pv exp1500 Ta Ta4 Andreas dan Ackley (1982), Pirazzini et al. (2000)
Prata (1996)
QDLR,c 1 1 w exp 1.2 3w
0 .5
T
4 a
,
39
40 41
w 46.5Pv Ta Bárbaro et al. (2006), Pirazzini et al. (2000) Dilley dan QDLR,c 59.38 113.7Ta 273.166 96.96 18.6Pv Ta 42 O´Brien (1998) Bárbaro et al. (2006), Magrhabi (2007) Zillman (1972) seperti diacu dalam Pirazzini et al. (2000) mengajukan model penduga yang kelihatannya mengikuti model Swimbank (1963) seperti terlihat pada persamaan (43). Persamaan (44) adalah model Brunt (1932) yang dikutip Arifin (1988) dengan nilai konstanta yang berbeda. Culf dan Gash (1993) menulis model Satterlund (1979) dengan bentuk yang berbeda dengan yang dikutip oleh Bárbaro et al. (2006) sebagaimana terlihat di dalam persamaan (45). Berdasarkan pada nilai tekanan uap air di atmosfir, Niemelä (2001) juga mengajukan model penduga radiasi langit dengan nilai konstanta berbeda untuk tekanan uap air lebih kecil dari 2 mbar (persamaan 46). Zillman (1972)
QDLR ,c 9.2 x 10 6 Ta2 Ta4
(43)
24
T
Brunt (1932)
QDLR,c 0.55 0.056 Pv Ta4
Satterlund (1979)
QDLR,c 1.08 exp Pv
Niemelä (2001)
QDLR,c 0.72 0.076 Pv 2 Ta4 untuk Pv < 2 mbar
Ta / 2016
4 a
(44) (45) (46)
Menurut CETC (2004) dan Davies dan Uboegbulam (1979) radiasi langit cerah, misalnya ketiadaan awan, dapat dihitung menggunakan rumus Swimbank (1963) berikut ini:
QDLR,c 5.31 x 1013 Ta 273.2
6
(47)
suhu udara lingkungan Ta dalam derajat Celsius. Davies dan Uboegbulam (1979) mengutip bahwa Swimbank (1963) menyatakan penggunaan kelembaban dalam model penduga merupakan pengulangan dan menurut Swimbank suhu udara permukaan sudah cukup digunakan sebagai penduga. Pengaruh Keberadaan Awan di Langit. Model-model empiris yang tercantum di dalam tabel di atas adalah model penduga radiasi langit untuk langit cerah. Radiasi langit cerah disusun dengan mempertimbangkan keadaan langit seperti konsentrasi massa air, erosol yang sudah dimasukkan dalam penentuan emisivitas langit cerah (Bárbaro et al. 2006) pada pendugaan radiasi langit cerah. Keberadaan awan di langit ternyata menyumbang dengan sangat nyata terhadap radiasi langit. Duarte et al. (2006) menyimpulkan keberadaan awan menyebabkan jumlah radiasi langit yang mencapai permukaan bumi meningkat. Nowak et al. (2006) melaporkan bahwa awan meningkatkan radiasi langit sebesar 36 W/m2 di Payerne Swiss. Untuk langit yang tertutup awan secara penuh dari jenis awan stratus nebulosus menyebabkan radiasi langit turun 4.8 W/m2 dan bila tertutup awan nimbostratus radiasi meningkat 19.5 W/m2. Menurut Lind dan Katsaros (1982) variasi dalam kesetimbangan radiasi gelombang panjang netto terutama disebabkan oleh perubahan radiasi langit. Radiasi langit dapat berubah sampai 100 W/m2 dalam waktu singkat yang bergantung terutama pada ketertutupan awan dan profil suhu atmosfir. Golaka dan Exell (2004) melaporkan bahwa radiasi langit malam hari yang terjadi selama musim hujan dengan angin bertiup kencang dan langit berawan adalah sekitar 430 W/m2.
25 Goforth et al. (2002) melakukan kajian ketertutupan awan sepenuhnya pada ketinggian rendah (ketinggian kurang dari 2 km dan 100% ketertutupan awan) radiasi langit meningkat 34%. Bila model empiris penduga radiasi langit cerah digunakan untuk menduga radiasi langit yang tertutup awan maka akan terjadi kesalahan pendugaan sebesar 9.7%. Dilaporkan model Idso dan Jackson (1969) menghasilkan pendugaan radiasi langit yang tertutup awan secara penuh lebih rendah 60 W/m2 daripada hasil pengukuran. Keberadaan awan di langit sudah dimodelkan oleh banyak peneliti dan diajukan model-model empiris penduga langit berawan. Berikut ini adalah bentuk umum dari radiasi awan berdasarkan pada indeks awan langit n (Ferrarese et al. 2002).
QDLR,cl nQDLR,c
(48)
QDLR,cl adalah radiasi langit pada saat berawan, QDLR,c radiasi langit saat cerah. Davies dan Uboegbulam (1979) menyatakan bahwa radiasi langit merupakan penjumlahan dari komponen awan seperti awan rendah, menengah, dan tinggi. Digunakan pendekatan untuk menduga radiasi langit dengan menggunakan model empiris Swimbank (1963) dan Paltridge (1979). Dilaporkan bahwa penggunaan model empiris Paltridge (1979) menghasilkan pendugaan radiasi langit yang sangat dekat dengan hasil pengukuran. Untuk langit yang berawan, Paltridge (1976) mengoreksi model Swimbank (1963) menjadi: (49)
QDLR ,all QDLR ,c 60n
n ketertutupan total langit oleh awan dalam persepuluhan. Disebutkan bahwa pengaruh awan adalah rumit bila memperhatikan ketertutupan awan pada ketinggian rendah sedang dan tinggi. Maykut dan Church (1973) dengan berdasarkan pada data yang dikumpulkan membuat model yang memasukkan juga keberadaan awan di langit. Maykut dan Church (1973) mengajukan model empiris untuk menduga radiasi langit yang datang ke bumi dengan hubungan:
QDLR ,all 0.7855 0.000312n 2.75 Ta4
(50)
26 Menurut CETC (2004) nilai radiasi langit sebenarnya berada antara nilai radiasi langit cerah dengan radiasi langit berawan. Radiasi langit keseluruhan dengan memperhatikan awan di langit dapat didekati dengan: QDLR ,all 1 n QDLR ,c nQDLR ,cl
(51)
Menurut Pluss dan Ohmura (1997), Konzelmann et al. (1994) membuat model untuk menduga radiasi langit berdasarkan pada hasil pengukuran pada kondisi di Artik untuk keberadaan awan dalam bentuk:
QDLR 0.23 0.483Pv Ta
1/ 8
1 n 0.963n T 3
3
4 a
(52)
Rumus baru yang lebih tepat untuk menghitung radiasi langit netto diajukan untuk daerah Laut Baltik. Persamaan ini dinyatakan dalam persamaan dengan tiga alternatif yang dibedakan berdasarkan pada fungsi cakupan awan (Zapadka et al. 2007) sebagai berikut:
Qrad ,n
1 dn 2 0.985Ts4 Ta4 0.685 0.00452Pv 1 d i n 2 1 d n i i
(53)
Menurut de Rooy dan Holtslag (1998) menduga radiasi langit dengan memperhatikan ketertutupan awan di langit pada beberapa ketinggian awan dan diajukan hubungan berikut: QDLR ,all a ,cTa4 c2 n c3 n nh
(54)
εa,c adalah emisivitas efektif langit, n h fraksi awan rendah dan sedang, c2 dan c3 koefisien empiris. Suku ketiga adalah untuk kontribusi awan tinggi. Bila langit hanya tertutup oleh awan tinggi, nh berilai nol dan radiasi langit bernilai lebih rendah daripada bila di langit ada awan rendah dan sedang. Goforth et al. (2002) mengajukan model radiasi langit berawan dengan memasukkan pengaruh ketertutupan awan di langit seperti awan rendah (nl), sedang (nm) dan tinggi (n n). QDLR ,all QDLR ,c 1 74nl 62nm 40nn 1 nl 1 nm
(55)
nl, nm dan nn adalah fraksi ketertutupan awan untuk ketinggian awan rendah (0-1.2 km), sedang (1.2-3.6 km) dan tinggi (3.6-8 km).
27 Duarte et al. (2006) merangkum beberapa model empiris untuk menduga radiasi langit berawan termasuk model empiris Maykut dan Church (1973). Modelmodel yang diuji adalah model empiris: Jacobs (1978)
QDLR ,all QDLR ,c 1 0.26n
Sugita dan Brutsaert (1993)
QDLR ,all QDLR ,c 1 0.0496n 2.45
Konzelmann et al. (1994)
QDLR ,all QDLR ,c
(56)
1 n 0.952n T 4
4
4 a
(57) (58)
Crawford dan Duchon (1999) yang mengembangkan model yang menggunakan perbandingan radiasi gelombang pendek. QDLR ,all QDLR,c 1 n nTa4
(59)
n 1 S Sc
(60)
S adalah radiasi gelombang pendek dan S c adalah radiasi gelombang pendek untuk langit cerah. Seperti yang dilakukan Duarte et al. (2006), Pirazzini et al. (2000) juga merangkum beberapa model empiris penduga radiasi langit keseluruhan lain termasuk model Jacobs (1978), Maykut dan Church (1973), dan Konzelmann et al. (1994). Model-model yang diuji adalah:
QDLR,all a ,cTa4 1 0.29n
(61)
König-Langlo dan Augstein (1994) QDLR,all a,c 0.22n 3 Ta4
(62)
Marshunova (1966)
QDLR,all a ,c 1 0.96n 0.96nTa4
Zillman (1972)
(63)
Menurut Pirazzini et al. (2000) dan Duarte et al. (2006) dimungkinkan untuk meringkas faktor awan yang ada di dalam persamaan diatas di dalam 2 persamaan dasar:
QDLR ,all QDLR ,c 1 an b dan
QDLR ,all a ,c 1 n c dn f Ta4
(64) (65)
Pirazzini et al. (2000) menggunakan nilai koefisien a, b, c, d, dan f bernilai a = 0.4, b = 2, c = 6, d = 0.979, f = 4 dan n hanya berpangkat integer maka diperoleh:
QDLR ,all QDLR,c 1 0.4n 2 dan
(66)
28
QDLR ,all a ,c 1 n 6 0.979n 4
(67)
Sedangkan berdasarkan pada hasil perangkuman model-model di atas, Duarte et al. (2006) membuat model untuk keberadaan awan.
QDLR ,all QDLR,c 1 0.242n 0.583
(68)
Pirazzini et al. (2000) mencoba memadukan persamaan (66) dan (67) dengan model radiasi langit cerah Idso dengan persamaan (66) dan dengan persamaan (67) atau terhadap model empiris Prata (1996). Diperoleh bahwa performansi persamaan (67) secara teoritis lebih baik daripada persamaan (66). Berkaitan dengan musim, Pirazzini et al. (2000) mengatakan bahwa ketepatan pendugaan radiasi langit cerah bergantung tidak saja pada musim, sebagaimana diamati oleh Marshunova (1966), tetapi juga pada tahun saat pengamatan dilakukan. Menurut Magrhabi (2007) bentuk umum dari pengaruh awan yang meliputi jenis dan ketertutupan awan di langit dapat diterangkan dengan korelasi empiris umum. Persamaan (69) memperlihatkan korelasi empiris umum menurut Seller (1965), Monteith (1973), dan Geiger (1961) seperti diacu dalam Magrhabi (2007). Pangkat x menunjukan tingkat pengaruh awan terhadap radiasi langit keseluruhan.
QDLR ,all QDLR,c 1 kn x
(69)
Morgan et al. (1971) dan Upmanis dan Chen (1999) mengkaji pengaruh ketertutupan langit oleh awan dan jenis awan terhadap radiasi langit. Pengaruh kedua faktor ini dipadukan dalam indeks awan ci yang diperoleh dari radiasi langit malam hari mengikuti model empiris Geiger (1961) berikut ini. Mereka menganggap pengaruh awan terhadap radiasi langit keseluruhan sebagai fungsi kuadratik.
QDLR ,all QDLR ,c 1 kn 2
(70)
k adalah koefisien yang bergantung pada jenis awan dan n adalah ketertutupan awan yang bervariasi dari 0 sampai 1. Lebih lanjut, menurut Upmanis dan Chen (1999) indeks awan dapat diuraikan lagi berdasarkan pada lapisan awan di langit yang disebut sebagai ci. Untuk menentukan pengaruh awan berlapis-lapis di langit digunakan rumus:
29 2 ns ci 1 k s 8 s 1 q
(71)
n adalah ketertutupan awan dalam delapan tingkat, s adalah lapisan terjadi awan dan q adalah jumlah lapisan awan. Kalau disimpulan dari persamaan (52) sampai persamaan (65) terlihat bahwa bentuk umum dari persamaan seperti yang diusulkan oleh Seller (1965), Monteith (1973), dan Geiger (1961) di atas. Bila disusun dalam bentuk tabel maka akan diperoleh tabel berikut ini. Tabel 4 Nilai k dan x dari beberapa model empiris radiasi langit keseluruhan Model Maykut dan Church (1973) Jacobs (1978) Sugita dan Brutsaert (1993) Crawford dan Duchon (1999) Marshunova (1966) König-Langlo dan Augstein (1994) Zillman (1972) Pirazzini et al. (2000) Duarte et al. (2006)
k 0.000312 0.26 0.0496 1 0.29 0.22 0.96 0.4 0.242
x 2.75 1 2.45 1 1 3 1 2 0.583
Arifin (1988) mengutip bahwa model empiris untuk menduga radiasi langit cerah Idso dan Jackson (1969) dikoreksi oleh Exell (2007) untuk angkasa berawan dan dinyatakan dalam bentuk berikut ini.
QDLR ,all QDLR,c Ts4 QDLR ,c Jn1.4
(72)
J faktor yang bergantung pada ketinggian dan ε bernilai satu. Koefisien n adalah bilangan awan (n = 0 untuk angkasa cerah dan n = 1 untuk angkasa berawan). Surabaya berawan rendah sehingga dapat ditentukan J = 0.8 dan n = 1. Exell (2007) menyatakan bahwa radiasi langit dapat diduga dengan menggunakan suhu permukaan dengan kemungkinan kesalahan kurang dari 5 W/m2 menggunakan model empiris Idso dan Jackson (1969), yang dinyatakan berlaku untuk semua lintang dan musim.
QDLR ,c Ta4 1 0.261 exp 7.77 x 10 4 273 Ta
2
(73)
30 Hasil pendugaan model ini lebih tinggi sekitar 20 W/m2 untuk radiasi langit pada saat sore hari dan menduga lebih rendah 15 W/m2 pada pagi hari. Sedangkan antara sore dan pagi hari model empiris Idso dan Jackson (1969) menduga dengan baik. Untuk mendapatkan pendugaan yang baik maka harus dilakukan koreksi. Koreksi yang harus dilakukan adalah dengan memasukkan pengaruh radiasi panas awan yang selalu meningkatkan radiasi langit. Persamaan sederhana yang memperhitungkan pengaruh awan adalah:
QDLR ,all QDLR,c Ta4 QDLR ,c kn1.4
(74)
Nilai k yang cocok untuk awan langit daerah tropika adalah sebagai berikut. Tabel 5 Jenis dan nilai awan (Exell 2007) Jenis Awan dengan ketinggian rendah Awan berketinggian sedang Awan tinggi
Nilai k 0.86 0.5 0.17
Menurut Kidder dan Essenwanger (1995) klasifikasi keadaan langit berdasarkan pada ketertutupan awan di langit (n) yang dinyatakan dalam persepuluhan dirangkum di dalam tabel berikut. Tabel 6 Klasifikasi kondisi langit berdasarkan indeks awan (Kidder dan Essenwanger 1995) Klasifikasi Cerah Sebagian berawan Berawan
Nilai n n < 2.9 2.9 < n < 7.9 n > 7.9
Lord (1999) sudah melakukan penelitian kolam atap sejak awal 1980-an di Universitas Trinity Texas dengan melakukan perhitungan termal secara teoritis dan empiris. Ketertutupan langit oleh awan yang dinyatakan dalam persen dan jenis awan digunakan dalam perhitungan radiasi langit. Berikut ini jenis awan dan nilainya.
31 Tabel 7 Jenis awan dan nilainya (Lord 1999) Jenis awan Cirrus Altocumulus Stratocumulus Kabut
Nilai k 0.16 0.66 0.88 1
Berbeda dengan Lord (1999), Morgan et al. (1971) merinci lebih lanjut jenis dan nilai awan (k) untuk digunakan dalam menduga radiasi langit keseluruhan seperti tercantum dalam tabel berikut ini. Tabel 8 Jenis awan dan nilainya (Morgan et al. 1971) Jenis awan Cirrus (Ci) Cirrostratus (Cs) Altocumulus (Ac) Altostratus (As) Cumulonimbus (Cb) Cumulus (Cu) Strstocumulus (Sc) Nimbostratus (Ns) Kabut
Nilai k 0.04 0.08 0.16 0.20 0.20 0.20 0.22 0.25 0.25
Golaka dan Exell (2004) membuat hubungan radiasi langit hasil pengukuran dengan beberapa variabel meteorologi dekat permukaan bumi. Variabel meteorologi yang dikorelasikan dengan radiasi langit adalah suhu lingkungan, tekanan uap air dan perpaduannya. Diperoleh model penduga baru seperti disajikan di dalam Tabel 9 dengan nilai QDLR dalam W/m2, Ta dalam K, dan Pv dalam Pa. Terlihat bahwa semua variabel dapat digunakan sebagai variabel penduga radiasi langit hasil pengukuran. Variabel suhu lingkungan memberikan kesalahan pendugaan diatas 50 W/m2 dan dengan nilai koefisien korelasi terkecil, sedangkan perpaduan suhu lingkungan dengan variabel yang lain memberikan pendugaan yang sangat baik.
32 Tabel 9 Model penduga radiasi langit menggunakan parameter meteorologi setempat (Golaka dan Exell 2004) Model QDLR = 4.94 (Ta) – 1080.10 QDLR = 89.15 ln(Pv) – 304.40 QDLR = 15.73 (Pv Ta–1) + 266.05 QDLR = 1.31 (Ta) + 71.98 ln(Pv) – 557.18
MSE (W/m2) 56.3 28.1 31.5 25.4
rc 0.81 0.91 0.90 0.92
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan secara umum mengkaji pendinginan nokturnal yang berlangsung di daerah dataran tinggi dan di dataran rendah. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Menetapkan dan mengkaji nilai koefisien pindah panas konveksi udara yang melewati di atas permukaan air di dalam kolam dangkal, 2. Mengkaji panas yang dilepaskan dan diterima air di dalam kolam air dangkal, menghitung panas radiasi, panas konveksi, dan panas evaporasi atau panas kondensasi dari air ke lingkungan atau sebaliknya, yang berlangsung di dataran tinggi dan di dataran rendah, 3. Mengkaji performansi model-model empiris dan analitis penduga radiasi langit cerah di dataran tinggi dan di dataran rendah, 4. Menelaah performansi model-model empiris dan analitis penduga radiasi langit keseluruhan dan pengaruh awan di dataran tinggi dan di dataran rendah, 5. Menelaah pemodelan radiasi langit di dataran tinggi dan di dataran rendah berdasarkan pada parameter-parameter meteorologi setempat, 6. Menentukan dan mengkaji kemampuan pendinginan nokturnal dan sumbangan komponen pindah panas di dataran tinggi dan di dataran rendah.
33 Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Percobaan dilakukan sepanjang malam hari dimulai pada pukul 18:00 sampai jam 06:00 waktu setempat. Percobaan dilakukan di dua lokasi yang berbeda dengan menggunakan alat dan waktu pelaksanaan yang berbeda. Percobaan pertama dilakukan di Unit Sayur Mayur, Perusahaan Daerah Provinsi Bali di Desa Candikuning, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali sebanyak enam kali dari 11 Juli 2007 sampai dengan 17 Juli 2007. Percobaan kedua dilakukan di Denpasar sebanyak lima kali dengan dua kali tahapan percobaan. Pada tahap pertama dilakukan tiga kali percobaan pada tanggal 1 sampai dengan 4 September 2007 dan pada tahap kedua dilakukan percobaan sebanyak dua kali mulai tanggal 10 sampai dengan 12 September 2007. Desa Candikuning terletak pada ketinggian 1200 m dari permukaan laut dengan jarak sekitar 60 km ke arah utara dari Kota Denpasar. Desa Candikuning menjadi lokasi percobaan untuk lokasi di dataran tinggi. Percobaan di Denpasar dilakukan di daerah pesisir Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali dengan ketinggian daerah lebih kurang 10 m dari permukaan laut dan berjarak lebih kurang 400 m dari daerah pantai. Lokasi ini dijadikan sebagai tempat percobaan untuk daerah dataran rendah. Daerah ini dekat dengan kota Denpasar.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah air sebagai medium yang akan didinginkan. Percobaan di Candikuning menggunakan alat instalasi penyimpanan dingin dengan atap instalasi yang diubah menjadi kolam air dangkal, tangki penyimpanan air dengan volume efektif 450 l, pompa air dengan daya 125 W dan saluran air pipa PVC berdiameter 1 inci. Alat-alat pengukuran yang digunakan adalah termokopel jenis T (copper-constantan) dengan metode cold and hot junction. Cold junction dibuat dengan memasukkan sambungan termokopel ke dalam suatu wadah yang berisi campuran air dengan cacahan es, sedangkan satu sambungan
34 yang lain diletakkan pada lokasi pengukuran suhu. Lampiran 5 berisi diagram alat pengukur suhu yang dibuat. Alat pengukur suhu dikalibrasi menggunakan termometer air raksa standar yang digunakan di Stasiun Pengamatan Klimatologi di Candikuning. Alat lain yang digunakan adalah multitester Constan, wadah campuran air dan cacahan es, dan termometer digital. Untuk percobaan di Denpasar digunakan alat-alat berikut ini: kolam air dangkal, alat pengukur suhu yang berupa termometer digital, rumah sensor termometer digital berupa terowongan udara yang dibuat dari seng dengan ukuran 0.05 x 0.05 x 0.1 m dilengkapi dengan kipas, dan alat pengukur kecepatan angin. Kolam air dangkal dibuat dari papan tripleks dengan ketebalan 0.004 m, panjang, lebar, dan tinggi pinggiran kolam berturut-turut 0.5 x 0.5 x 0.01 m. Pinggiran kolam dibuat dari kayu balok berukuran 0.02 x 0.01 m. Kolam dilapisi dengan aluminium foil. Rumah sensor digunakan untuk meletakkan sensor suhu dari termometer digital untuk mengukur suhu bola kering dan suhu bola basah udara lingkungan. Alat pengukur kecepatan angin dibuat dengan menggunakan prinsip kawat panas (hot wire). Alat pengukur kecepatan angin yang dibuat, dikalibrasi menggunakan anemometer standar Climomaster Model A541 Kanomax Jepang. Gambar dalam Lampiran 6 memuat diagram alat pengukur kecepatan angin yang dibuat. Prosedur Percobaan Percobaan di Dataran Tinggi. Percobaan di di dataran tinggi, di Desa Candikuning, dilakukan sebagai berikut: pada jam 17:15 air dialirkan dari tangki penyimpanan air dengan menggunakan pompa air. Pompa air tetap dihidupkan sampai permukaan air di dalam kolam atap mencapai ketinggian rata-rata 0.025 cm. Untuk mencapai ketinggian air tersebut, pompa air dihidupkan selama 0.5 jam. Kolam atap instalasi dibiarkan tergenang air sepanjang malam. Setelah jam 06:00 pagi, air dialirkan secara gravitasi kembali ke dalam tangki air penyimpanan. Sensor suhu termokopel diletakkan di tengah-tengah kolam.
35 Pengukuran suhu di Candikuning dilakukan dengan menggunakan alat pengukur suhu termokopel jenis T. Pengukuran dan pengamatan dilakukan setiap 1 jam. Pengambilan data meliputi pengukuran suhu air di dalam kolam, suhu bola kering dan suhu bola basah udara lingkungan. Percobaan di Dataran Rendah. Percobaan di dataran rendah dilakukan di daerah yang sudah dijelaskan di atas, suatu lokasi yang dekat dengan kota Denpasar, dengan cara meletakkan kolam air dangkal pada tempat yang lapang, datar, dan tidak terhalang, sehingga lingkungan kolam tidak menghalangi permukaan air di dalam kolam dengan langit dan aliran udara malam hari. Kolam diisi dengan air dengan ketinggian 0.01 m dan sebuah sensor suhu digital diletakkan dalam air dengan seluruh badan sensor terendam air kolam, sedangkan rumah sensor diletakkan di sekitar kolam. Persiapan percobaan ini dilakukan pada jam 17:30. Sensor alat pengukur kecepatan angin tidak diletakkan secara permanen pada suatu tempat tetapi diletakkan 0.2 m diatas permukaan air kolam pada saat melakukan pengukuran. Dengan cara seperti ini sensor alat tidak menghalangi kolam air dangkal dengan langit malam hari. Pengamatan untuk percobaan di Denpasar dilakukan dengan selang waktu 20 menit. Pengukuran yang dilakukan seperti pada percobaan di Candikuning dan ditambah dengan pengukuran kecepatan angin. Pengamatan yang dilakukan di kedua lokasi berupa pengamatan visual terhadap keadaan langit malam. Dilakukan pengamatan terhadap keberadaan awan di langit berdasarkan pada ketinggian awan. Dilakukan pencatatan awan rendah, sedang, tinggi, dan langit tanpa awan (langit cerah), sedangkan tingkat ketertutupan awan di langit tidak diamati. Perhitungan dan Pendugaan Koefisien Pindah Panas Konveksi Pengukuran Nilai h.
Berdasarkan pada analisis kesetimbangan energi
(Lampiran 2) diperoleh nilai koefisien pindah panas konveksi h dari data hasil percobaan dengan menggunakan persamaan (L15).
36
h
m w c pw dTw dt A Tw4 Ts4
A Ta Tw 1 c pm H i H a h fg
(75)
Penetapan nilai koefisien pindah panas konveksi h ini disebut sebagai hukur. Dari persamaan tersebut terdapat satu variabel lain yang tidak dapat diukur secara langsung yaitu suhu langit (Ts). Oleh karena itu, dilakukan pendugaan suhu langit dengan menggunakan model empiris penduga suhu langit yang sudah ada. Suhu langit diduga menggunakan model penduga Idso dan Jackson (1969) yang sudah dimodifikasi oleh Exell (1979) untuk lingkungan tropis. Persamaan yang sudah dimodifikasi ini digunakan dan dilaporkan hasilnya oleh Trisasiwi (2000).
L L0 Ta4 L0 kn1.4
L0 Ta4 1 0.261exp 0.000777273 Ta
(76) 2
(77)
L adalah panas radiasi untuk keseluruhan kondisi langit dan L0 panas radiasi saat langit cerah, k faktor yang tergantung pada jenis dan ketinggian awan serta n adalah jumlah awan atau sering pula disebut sebagai tingkat atau fraksi ketertutupan langit oleh awan (n = 0 langit cerah dan n = 1 langit tertutup sepenuhnya). Arifin (1988) mengasumsikan nilai ketetutupan langit oleh awan (n) bernilai satu dan asumsi ini digunakan untuk perhitungan dalam penelitian ini. Pendugaan Nilai h. Nilai koefisien pindah panas konveksi h diduga menggunakan persamaan analitis untuk permukaan bidang datar. Persamaan penduga nilai h diturunkan dengan pendekatan analitis seperti terlihat di dalam Lampiran 1 (persamaan L12).
h 0.664
k 13 12 Pr Re L
(78)
Perhitungan Jenis Panas Lainnya. Kemampuan pendinginan nokturnal, panas konveksi, dan kondensasi dihitung berdasarkan pada kesetimbangan energi yang terjadi di dalam air (persamaan L14). Panas radiasi netto (Qrad,n), panas konveksi (Qconv), dan panas kondensasi atau evaporasi (Qcond) dapat dihitung dengan persamaan-persamaan berikut ini:
Qrad , n wA Tw4 Ts4
(79)
37
Qconv hA(Ta Tw )
(80)
Qcond hD A( H i H a ) h fg
(81)
Perhitungan Radiasi Langit (QDLR). Radiasi langit dihitung dari panas radiasi netto yang hasilnya merupakan radiasi langit keseluruhan (QDLR,all). Qw,tot Qrad ,n Qconv Qcond
(82)
sehingga
Qrad ,n Qw,tot Qconv Qcond
(83)
QDLR ,all Qrad ,n wATw4
(84)
Pendugaan Radiasi Langit (QDLR). Pendugaan radiasi langit dengan kondisi langit cerah menggunakan model empiris atau analitis penduga radiasi langit cerah yang banyak dikutip dan digunakan. Dari Tabel 3 terlihat bahwa modelmodel penduga yang banyak dikutip adalah model: Swimbank (1963), Idso dan Jackson (1969), Ångström (1918), Niemelä (2001), Brunt (1932), Brutsaert (1975), Satterlund (1979), Idso (1981), Prata (1996), dan Dilley dan O´Brien (1998). Dengan demikian hasil-hasil pendugaan model dapat dibandingkan dengan model-model penduga yang dipilih. Pendugaan Radiasi Langit Keseluruhan (QDLR,all). Pendugaan radiasi langit keseluruhan dilakukan dengan dua cara, pertama dengan menggunakan persamaan yang disarankan oleh Exell (2007).
QDLR ,all QDLR.c 1 kn1.4
(85)
dan dengan mengasumsikan ketertutupan awan bernilai satu (Arifin 1988), persamaan ini menjadi: QDLR , all QDLR.c 1 k
(86)
Cara kedua dengan melakukan memasukkan pengaruh ketinggian awan k dengan menggunakan regresi linier atau regresi polinomial pangkat dua. Nilai koefisien regresi dan koefisien determinasi menentukan bentuk hubungan regresi yang sesuai antara pengaruh awan dengan radiasi langit. QDLR ,all QDLR.c 1 a bk
(87)
38 atau
QDLR ,all QDLR.c 1 a bk ck 2
(88)
Pembuatan Persamaan Penduga Radiasi Langit. Radiasi langit diduga dengan menggunakan parameter-parameter meteorologi setempat. Persamaan penduga radiasi langit dibuat dengan cara menjadikan radiasi langit sebagai fungsi suhu lingkungan, suhu titik embun, dan tekanan uap air serta sebagai fungsi dari kombinasi parameter-paremeter ini yang dibuat dalam bentuk regresi linier dan regresi linier berganda. Analisis Data Suhu titik embun dan tekanan uap air dihitung dengan menggunakan suhu bola kering dan suhu bola basah lingkungan. Nilai suhu titik embun diduga dengan menggunakan metode Newton-Raphson dan program komputer sederhana dibuat dengan bahasa pemrograman Visual Basic 6. Pembandingan antara hasil penetapan nilai h, baik secara empiris dan analitis, dengan hasil pendugaan persamaan-persamaan penduga dilakukan dengan menggunakan nilai rata-rata dan RMSE (root mean square error). Data disajikan dalam bentuk diagram serak dan didapat persamaan regresi. Tabel juga digunakan untuk menyajikan data. Performansi model penduga radiasi langit diukur dengan menggunakan kesalahan bias (MBE, mean bias error), akar rata-rata kesalahan kuadrat (RMSE), dan % kesalahan pendugaan. Performansi model penduga juga dinilai dari hasil analisis regresi linier yang dibuat dari hubungan antara data dengan hasil pendugaan. Dari analisis ini diperoleh nilai koefisien regresi linier dan koefisien determinasi. Data disajikan dalam bentuk diagram serak, dan tabel-tabel. Tabel-tabel yang ditampilkan dalam pembahasan adalah hasil analisis regresi linier. Sedangkan parameter performansi model lainnya ditampilkan dalam lampiran. MBE, RMSE, % kesalahan dan analisis regresi dihitung dengan rumus: n
Y Y i
MBE
i 1
e ,i
(89) n
39 n
Y Y
2
i
RMSE
e ,i
i 1
(90)
n Persentase kesalahan merupakan perbandingan antara besar penyimpangan dengan data hasil pengukuran yang yang dihitung dengan cara: % kesalahan
Y Ye Y
x 100
(91)
Koefisien-koefisien regresi linier diperoleh dari persamaan berikut.
y a bx
(92)
Hasil dan Pembahasan
Hubungan antara Persamaan Penduga h dengan Pendekatan Analitis Berdasarkan pada uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa persamaan-persamaan empiris yang dikembangkan memiliki bentuk hubungan h = a + bVc, h = aVb/Lc dan h = aVb atau dengan bentuk umum h = f(V). Koefisien-koefisien persamaan (a, b dan c) diperoleh dari analisis regresi terhadap hubungan nilai h hasil perhitungan dari data percobaan dengan V. Bila persamaan (L11) dalam Lampiran 1 yang merupakan persamaan hasil pendekatan analitis, 13
h 0.664k L
VL 1 2
(93)
diatur lebih lanjut, diperoleh bentuk umum yang sama yaitu h = aVb dengan nilai koefisien-koefisien 1/ 3
a 0.664k L
L 1 / 2
(94)
b = 1/2 Perbedaan pada koefisien pangkat b merupakan hasil dari analisis regresi dari hubungan data yang diperoleh. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa persamaan empiris h dapat dijelaskan dengan pendekatan analitis. Pendugaan Nilai h dengan Pendekatan Analitis Pendugaan nilai h dilakukan dengan menghitung k, ν, sebagai fungsi dari suhu udara lingkungan hasil pengukuran dan dengan nilai L = 0.55 m. Koefisien a
40 dapat dihitung dari persamaan (94) dan diperoleh nilai koefisien a rata-rata sebesar 5.277, sehingga diperoleh persamaan analitis.
h 5.277V 1 / 2
(95)
Pendugaan Nilai h dengan Percobaan Nilai h-ukur rata-rata yang diperoleh adalah 7.27 W/m2oC dengan simpangan baku 1.90 W/m2oC pada kisaran kecepatan angin hasil pengukuran 0.173.06 m/s. Untuk analisis lebih lanjut, dibuat gambar hubungan antara nilai h-ukur dengan kecepatan angin hasil pengukuran (V), seperti terlihat dalam Gambar 2. Selanjutnya persamaan empiris yang dibangun didasarkan pada persamaan analitis yaitu dalam bentuk h = aVb. Analisis regresi menghasilkan persamaan berikut ini:
h 5.513V 1 / 2
(96)
12
2o
h -ukur (W/m C) .
10 8 6 4
h -ukur = 5.5131V a
0.5
2
R = 0.8428
2 0 0
0.5
1
1.5 Va
0.5
2
2.5
(m/s)
Gambar 2 Hubungan nilai koefisien pindah panas konveksi dengan kecepatan angin. Nilai-nilai koefisien regresi a dan b persamaan regresi ini tidak jauh berbeda dengan nilai koefisien persamaan analitis untuk menduga nilai h, tetapi nilai koefisien determinasi dari persamaan ini 0.87. Hal ini menunjukkan bahwa data hasil pengukuran kecepatan angin dapat menjelaskan hampir seluruh nilai-nilai h-ukur.
41 Perbandingan antara Nilai h Hasil Percobaan, Pendekatan Analitis dan Empiris Untuk melihat hubungan antara nilai pendugaan h hasil percobaan (h-ukur) dengan pendugaan h hasil pendekatan analitis (h-analitis), dibuat gambar hubungan antara kedua nilai pendugaan ini. Gambar 3 memperlihatkan hubungan h-ukur dengan h-analitis dalam bentuk diagram serak. Dari analisis regresi diketahui hubungan dari kedua variabel ini mengikuti persamaan linier h-ukur = 1.23 + 0.88hanalitis. Hubungan yang diharapkan dari kedua variabel ini adalah h-ukur = hanalitis. Bila diperhatikan nilai koefisien-koefisien yang dihasilkan dari analisis regresi terlihat bahwa nilai perpotongan kurve (1.23) sudah mendekati nol dan kemiringan kurve (0.88) mendekati nilai satu. Demikian juga koefisien determinasi dari persamaan garis ini adalah 0.88. Nilai koefisien determinasi antara hubungan h-ukur dengan h-analitis dan hubungan h-ukur dengan kecepatan angin hampir sama. Keadaan ini mengindikasikan bahwa keragaman nilai h–ukur cukup rendah. Data h-ukur menyebar yang secara jelas seperti diperlihatkan di dalam diagram serak pada Gambar 3. Hasil seperti ini mungkin berkaitan dengan ketepatan dalam pendugaan suhu langit (Ts). Dari persamaan kesetimbangan energi diketahui bila pendugaan Ts tidak tepat akan menyebabkan nilai panas radiasi netto (Qrad,n) akan tidak tepat pula. Ketidaktepatan nilai Qrad,n akan menyebabkan jumlah panas sensibel (Qs) dan panas laten (QL) akan tidak tepat (persamaan L14 dalam Lampiran 2). Pada saat hasil pendugaan Ts bernilai terlalu tinggi akan menyebabkan nilai Qrad,n kecil yang mengakibatkan Qs dan QL bernilai besar, pada nilai panas total (Qw,tot) yang sama. Qs dan QL yang bernilai besar menghasilkan nilai dugaan h yang besar. Demikian pula akan terjadi hal yang sebaliknya. Ketidaktepatan pendugaan Ts disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menentukan tingkat ketertutupan langit oleh awan (n). Persamaan Ts hasil modifikasi Exell (1979) mensyaratkan adanya nilai n. Selama percobaan dilakukan, n tidak diamati karena sulit untuk ditentukan secara kuantitatif. Dari kajian Goforth et al. (2002) tentang pengaruh awan termasuk tentang nilai n, dapat disimpulkan bahwa kajian tentang awan memang sulit dan kompleks untuk dilakukan. Dalam
42 perhitungannya, n diasumsikan bernilai satu dan penyederhanaan ini mungkin menyebabkan hasil pendugaan suhu langit kurang tepat. Perbandingan antara nilai h-ukur rata-rata dengan nilai hasil pendekatan analitis dan empiris disajikan di dalam Tabel 10. Dari tabel dapat dilihat bahwa nilai h rata-rata dari hasil pendugaan secara analitis (persamaan 95), hasil analisis regresi data hasil percobaan (persamaan 96) dan persamaan empiris 3 hampir sama dengan nilai h-ukur rata-rata yang besarnya 7.57 W/m2oC. Lebih lanjut dapat pula dilihat bahwa nilai akar rata-rata kesalahan kuadrat (RMSE) dari ketiga persamaan ini berturut-turut 0.75, 0.75 dan 3.38. Nilai RMSE persamaan 3 lebih besar bila dibandingkan dengan persamaan 1 dan 2, sedangkan nilai RMSE persamaan 1 dan 2 sama. Hal ini menjelaskan bahwa pendugaan nilai h hasil percobaan dapat didekati dengan menggunakan pendekatan analitis.
12
2o
h -ukur (W/m C) .
10 8 6 4 h -u = 0.8789h -d + 1.2369
2
2
R = 0.8767 0 0
2
4
6
8
10
12
2o
h -duga (W/m C)
Gambar 3 Diagram serak dari hubungan h-ukur dengan h-analitis.
Tabel 10 juga memperlihatkan bahwa nilai h hasil pendekatan analitis dan empiris pada percobaan ini lebih baik dalam menduga h-ukur jika dibandingkan dengan hasil pendekatan yang menggunakan persamaan empiris lainnya (persamaan 4 sampai dengan persamaan 9 dalam tabel). Nilai h rata-rata dari persamaan empiris yang lain tersebut memberikan nilai RMSE yang lebih besar. Oleh karena itu dalam menduga nilai h pada permukaan kolam air dangkal disarankan menggunakan persamaan analitis.
43 Tabel 10 Perbandingan antara nilai h-ukur dengan h hasil pendekatan analitis dan empiris No Persamaan 1.
h = 5.277V0.5
2.
h = 5.513V0.5
3.
h = 2.8 + 3.0V
4. 5. 6.
h = 2.8 + 4.8V h = 4.5 + 2.9V h = 5.7 + 3.8V
7.
h = 8.18 +2.28V
8.
h = 5.6 + 4.0V, (V ≤ 5 m/s) h = 7.2V0.78, (V > 5 m/s) h = 16.21V0.452
9.
Sumber persamaan Analitis (percobaan ini) Empiris (percobaan ini) Duffie dan Beckman (1980) Parker (2005) Lunde (1980) Duffie dan Beckman (1980) Hagishima dan Tanimoto (2003) Bentz (2000) Loveday dan Taki (1996)
h ratarata 7.17
RMSE
7.27
0.75
7.68
3.38
10.61 9.22 11.88
6.28 3.67 6.04
11.89
5.09
12.11
6.37
17.51
12.52
0.75
Komponen Panas Total Air Kolam Atap Berdasarkan pada persamaan kesetimbangan panas air di dalam kolam atap, ditampilkan dalam persamaan (L14), diperlihatkan bahwa perubahan panas yang terjadi dalam air di dalam kolam diperkirakan dipengaruhi oleh tiga mode pindah panas. Mode pindah panas yang terjadi adalah pindah panas radiasi, pindah panas secara konveksi dan pindah panas evaporasi atau kondensasi. Persamaan kesetimbangan panas yang digunakan selama ini (Kamaruddin et al. 1998; Trisasiwi 2000; Gunadnya et al. 2007a), seperti ditulis dalam persamaan (11), didasarkan pada asumsi bahwa tidak terjadi kondensasi ke dalam air kolam. Walau panas kondensasi pada penelitian ini diperhitungkan, tetapi perpindahan panas melalui dinding wadah air secara konduksi diasumsikan tidak terlalu mempengaruhi dan dapat diabaikan. Gambar 4 menyajikan diagram serak yang menggambarkan ketiga mode pindah panas tersebut di dataran tinggi dan Gambar 5 di dataran rendah. Gambar menunjukkan bahwa pindah panas radiasi memperlihatkan pola dengan sangat
44 jelas berbentuk hubungan linier terhadap perubahan panas total air. Sedangkan panas konveksi yang digambarkan sebagai perbedaan suhu lingkungan dengan suhu air menunjukkan pola hubungan, tetapi untuk hubungan panas total air dengan perbedaan kelembaban absolut, yang merupakan komponen utama pindah panas evaporasi atau kondensasi, tidak menunjukkan pola yang jelas. Hal yang sama juga diamati di dataran rendah. Panas kondensasi atau panas evaporasi tidak memperlihatkan kecenderungan pola. Dari diagram serak terlihat dengan jelas bahwa air di dalam kolam dangkal atap di dataran tinggi mengalami kehilangan panas maksimum 1600 W/m2. Tetapi air dalam kolam juga memperoleh panas dari lingkungannya dengan nilai maksimum 100 W/m2. Disamping itu, dari gambar diketahui bahwa perbedaan suhu lingkungan dengan suhu air sepanjang malam hari berkisar dari -7 sampai 5oC. Angka terendah dari kisaran ini menunjukkan bahwa air mampu didinginkan sampai 7 oC di bawah suhu lingkungan. Angka ini masih jauh dari perkiraan yang disampaikan oleh Boon-Long (1992). Kemungkinan kondisi langit mempengaruhi kemampuan pendinginan nokturnal dalam menurunkan suhu air. Kisaran perbedaan kelembaban absolut antara air dengan udara adalah 0.0003-0.0015 kg/kg. Pendinginan nokturnal di dataran rendah mampu mengambil panas air dalam kolam dalam jumlah maksimum 15 W/m2 dan memperoleh panas dari lingkungan dengan jumlah 5 W/m2 (Gambar 5). Disamping itu, pendinginan nokturnal hanya mampu menghasilkan air dengan suhu maksimum 1 oC di bawah suhu lingkungan. Gambar 6 menyajikan hasil pendugaan model dengan menggunakan ketiga mode pindah panas terhadap panas total air hasil pengukuran. Gambar 6 menunjukkan bahwa hubungan antara data panas total air di dataran tinggi dengan hasil pendugaan sangat erat dan data sangat dekat dengan garis pembagi bidang koordinat kartisius. Hasil pendugaan panas total air hasil pengukuran di dataran rendah juga baik tetapi diagram serak menunjukkan bahwa plot data lebih terserak dan banyak data menyebar menjauhi garis pembagi bidang. Analisis regresi linier berganda menghasilkan persamaan (97) dan (98) dan koefisien-koefisien determinasi masing-masing untuk dataran tinggi dan dataran rendah.
2
Panas total air (W/m )
45
200 0 -200 -400 -600 -800 -1000 -1200 -1400 -1600
-50
0
50
100
4 4 2 σ(Tw -Ts ) (W/m )
200
-10
-5
0 o (T a -Tw ) ( C)
0 2
Panas total air (W/m )
2
Panas total air (W/m )
200 0 -200 -400 -600 -800 -1000 -1200 -1400 -1600
-200 -400 -600 -800
-1000 -1200 -1400 -1600
5
10
0
0.5 1 -3 (Hw -Ha ) (10 kg/kg)
1.5
Gambar 4 Diagram serak komponen panas total air dalam pendinginan nokturnal: panas radiasi, konveksi, dan kondensasi di dataran tinggi. Dataran tinggi: Qtot = 16.0 – 18.3Qrad + 136Qconv + 57753Qcond
R2 = 0.99
(97)
R2 = 0.66
(98)
Dataran rendah: Qtot = 1.37 – 0.243Qrad – 0.184Qconv + 5906Qcond 2
Terlihat bahwa koefisien determinasi (R ) persamaan regresi penduga untuk dataran tinggi sangat tinggi dengan nilai 0.99. Hal ini memberikan arti bahwa persamaan regresi sebagai model penduga dapat menjelaskan 99% data hasil pengukuran. Koefisien determinasi persamaan penduga panas total air kolam di dataran rendah lebih rendah. Dengan memperhatikan diagram serak di dalam Gambar 6 maka kemungkinan penyebab dari nilai koefisien determinasi yang lebih kecil disebabkan oleh penyebaran data yang terlalu besar.
46
2
Panas total air (W/m )
15 10 5 0 -5
-10 -15 20 40 60 σ(T w 4-T s 4) (W/m2) 15
10
10
Panas total air (W/m ).
15
80
2
2
Panas total air (W/m ).
0
5 0 -5 -10 -15 -2
-1
0
1 2 o (T a -T w ) ( C)
3
4
5 0 -5 -10 -15 0.0000
0.0005
0.0010
0.0015
0.0020
(H w -H a ) (kg/kg)
Gambar 5 Diagram serak komponen panas total air dalam pendinginan nokturnal: panas radiasi, konveksi, dan kondensasi di dataran rendah.
Pengujian dengan statistika sederhana dengan nilai = 5% lebih lanjut mengungkap bahwa ketiga mode pindah panas sebagai penyusun kedua model matematika perubahan panas total air, bermanfaat digunakan sebagai penduga. Tetapi dari uji t diketahui bahwa pindah panas radiasi dan pindah panas konveksi memberikan sumbangan yang bermakna, sedangkan sumbangan pindah panas evaporasi atau kondensasi terhadap perubahan panas total air tidak bermakna. Hasil analisis ini berlaku untuk kedua lokasi penelitian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perubahan panas total air ditentukan oleh pindah panas secara radiasi dan konveksi, baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Oleh karena itu, asumsi yang menyatakan bahwa panas
47 kondensasi dapat diabaikan dalam pembuatan persamaan kesetimbangan panas air dalam kolam dangkal, secara statistika dapat diterima.
DT
-1200
-800
Qtot e
15 10
400
5 Qtotu
Qtotu
-1600
200 0 -200 -400 0 -400 -600 -800 -1000 -1200 -1400 -1600
-15
0 -10
-5
-5
0
5
10
15
-10
DR
-15 Qtot e
Gambar 6 Diagram serak panas total air hasil pengukuran dengan hasil pendugaan di dataran tinggi (DT) dan di dataran rendah (DR).
Pendugaan Radiasi Langit Cerah Dalam penelitian ini digunakan analisis statistika sederhana untuk menguji performansi model-model penduga radiasi langit cerah, sedangkan Trisasiwi (2000) menggunakan analisis deskriptif dalam memilih model penduga yang sesuai untuk penelitiannya. Tabel 3 menyajikan model-model penduga radiasi langit cerah dan dilakukan pemilihan model-model penduga yang akan dibandingkan performansinya. Dengan kriteria pemilihan bahwa model yang paling banyak dikutip yang dipilih, maka diperoleh sepuluh model yang memenuhi kriteria ini. Kesepuluh model ini ada yang bersifat empiris dan ada pula yang bersifat analitis. Performansi kesepuluh model penduga yang dicantumkan dalam tabel-tabel berikut ini hanya hasil analisis regresi linier antara data dengan hasil pendugaan model. Hasil pengujian parameter-parameter performansi pendugaan model lainnya seperti MBE, RMSE, dan % kesalahan dicantumkan di dalam Lampiran 3. Hasil analisis regresi memperlihatkan bahwa semua model penduga radiasi langit cerah di kedua lokasi tidak memberikan hasil pendugaan dengan baik. Walaupun koefisien regresi b mendekati nilai satu untuk semua model, tetapi
48 koefisien determinasi regresi linier bernilai kecil. Kisaran nilai koefisien determinasi untuk daerah dataran tinggi dan dataran rendah adalah 35-36% dan 12-32%. Hal yang sama juga terjadi pada semua model-model penduga seperti terlihat di dalam Lampiran 3. Tabel 11 Hasil analisis regresi linier antara radiasi langit hasil penetapan dengan hasil pendugaan model langit cerah di dua lokasi penelitian Model Swimbank (1963) Idso dan Jackson (1969) Ångström (1918) Niemelä (2001) Brunt (1932) Brutsaert (1975) Satterlund (1979) Idso (1981) Prata (1996) Dilley dan O´Brien (1998)
Dataran tinggi a b R2 -53.0 1.34 0.36 -64.7 1.38 0.35 -131.4 1.54 0.36 5.7 1.07 0.36 9.9 1.15 0.36 -15.5 1.17 0.36 -101.2 1.40 0.36 -14.1 1.10 0.36 -38.7 1.24 0.36 -65.0 1.35 0.36
Dataran rendah a b R2 155.8 0.66 0.12 163.7 0.63 0.12 31.7 1.00 0.14 95.8 0.73 0.29 77.5 0.85 0.27 47.6 0.91 0.25 43.1 0.93 0.18 37.7 0.87 0.32 42.3 0.93 0.24 -14.9 1.12 0.28
Ketidaktepatan model dalam menduga radiasi langit cerah disebabkan oleh tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, kenyataan bahwa kondisi langit selama pengamatan dilakukan baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah berubah dengan sangat cepat. Kemungkinan kedua, selama pengamatan yang dilakukan di dataran tinggi dan di dataran rendah, kondisi langit cerah jarang terjadi seperti ditampilkan dalam Gambar 7 dan 8. Kemungkinan terakhir, model-model penduga bersifat empiris yang hanya berlaku pada lokasi spesifik (Magrhabi 2007). Oleh karena itu, model empiris untuk langit cerah tidak dapat langsung digunakan di kedua lokasi penelitian ini. Bila digunakan juga untuk menduga radiasi langit di kedua lokasi ini maka akan terjadi kesalahan pendugaan dengan nilai rata-rata 10.9 dan 3.9% untuk dataran tinggi dan dataran rendah. Dari Lampiran 3 diketahui bahwa penyimpangan model sangat besar dengan nilai MBE rata-rata 38.6 dan RMSE rata-rata 47 untuk dataran tinggi. Demikian pula untuk dataran randah nilai MBE rata-rata 15.5 dan RMSE rata-rata 29.5.
49 Nilai MBE yang tinggi menandakan bahwa kecenderungan model empiris akan menduga lebih besar bila bernilai positif dan lebih kecil bila bernilai negatif dari nilai sebenarnya. Demikian pula model akan menghasilkan RMSE yang bernilai tinggi yang berarti bahwa hasil pendugaan sangat menyebar dari nilai ratarata. Nilai koefisien regresi a yang tidak mendekati nilai nol, walaupun koefisien b mendekati nilai satu, juga sebagai petunjuk bahwa model tidak sesuai digunakan sebagai penduga. Pendugaan Radiasi Langit Keseluruhan Kondisi lingkungan secara langsung tercakup dalam perhitungan radiasi langit malam hari. Pada umumnya tidak semua kondisi lingkungan dimodelkan atau mampu dimodelkan dan jika semua kondisi dimodelkan maka akan diperoleh model yang rumit. Peneliti-peneliti terdahulu dalam membuat model empiris penduga radiasi langit mengutamakan kesederhanaan model dengan didukung oleh parameter-parameter meteorologi permukaan yang mudah diukur. Untuk pemodelan radiasi langit, parameter lingkungan yang biasa dimasukkan ke dalam model empiris penduga adalah keberadaan awan di langit. Bolt sebagaimana banyak dikutip dan digunakan modelnya, memperhatikan ketertutupan dan jenis awan di langit. Exell (2007) menjelaskan bahwa model Idso dan Jackson (1969), yang diyakini memikili cakupan daerah pendugaan yang luas, juga harus dikoreksi dengan memasukkan faktor awan untuk dapat digunakan di daerah tropis. Gambar 4 dan 5 menyajikan pengaruh keberadaan awan di langit terhadap radiasi langit malam hari. Walaupun ketertutupan langit oleh awan tidak diamati, tetapi dengan hanya memperhatikan jenis dan ketinggian awan terlihat bahwa radiasi langit mengikuti kecenderungan keberadaan awan. Bila di langit ada awan rendah maka radiasi langit meningkat dan radiasi langit terus menurun nilainya untuk kondisi langit yang ditutup awan dengan ketinggian sedang, tinggi dan langit cerah. Ketidaksesuaian hasil pendugaan model kemungkinan disebabkan oleh asumsi yang digunakan tidak tepat. Diasumsikan dari koreksi model (1 + kn1.4) bahwa ketertutupan awan bernilai satu menurut Arifin (1988). Dengan asumsi
50 seperti nilai ketinggian awan untuk daerah tropis tidak terkoreksi sehingga dengan memasukkan pengaruh awan (1 + k) memberikan pengaruh yang terlalu besar. Bila dikoreksi dengan ketertutupan awan n1.4 dari (1 + kn1.4) kemungkinan pengaruh ketinggian awan dapat dikurangi. Untuk itu pengaruh awan perlu ditetapkan dengan menggunakan cara lain. Hubungan regresi linier atau regresi non-linier yang berupa persamaan polinomial pangkat dua dicoba digunakan untuk mening-
450 425 400 375 350 325 300 275 250
k QDLR 1 0.5 0
1
10
19
28 37 Pengamatan ke-
46
Nilai awan
2
QDLR (W/m )
katkan performansi model penduga.
55
Gambar 7 Pengaruh awan terhadap radiasi langit di dataran tinggi. Berdasarkan pada kenyataan ini dan dengan menggunakan cara Exell (1998) dilakukan pendugaan radiasi langit keseluruhan dengan memperhatikan keberadaan awan di langit. Dengan hanya memperhatikan jenis dan ketinggian awan, diperoleh hasil pendugaan yang ditampilkan dalam Tabel 11. Dengan berpatokan pada nilai koefisien determinasi dan kedua koefisien regresi dan tanpa mengabaikan nilai parameter-parameter hasil pengujian performansi lainnya, maka dapat disimpulkan dua hal. Pertama, untuk hasil penelitian di dataran tinggi, koreksi model dengan memasukkan pengaruh awan (1 + k) tidak menghasilkan pendugaan yang baik karena pendugaan yang dihasilkan melebihi nilai sebenarnya, kesalahan pendugaan tinggi, koefisien regresi a bernilai besar dan sebaliknya koefisien determinasi bernilai kecil. Kedua, diperoleh peningkatan
51 nilai koefisien determinasi untuk pendugaan radiasi langit di dataran rendah tetapi, seperti di dataran tinggi, nilai parameter-parameter performansi model lain-
500 475 450 425 400 375 350 325 300
k QDLR 1 0.5 0
1
20
39
58
Nilai awan
2
QDLR (W/m )
nya menyimpang.
77 96 115 134 153 172 Pengamatan ke-
Gambar 8 Pengaruh awan terhadap radiasi langit di dataran rendah.
Pengaruh Awan Gambar 7 dan 8 memperlihatkan perubahan radiasi langit karena keberadaan awan di langit. Dengan jelas terlihat bahwa awan rendah menyebabkan radiasi langit meningkat, sebaliknya kondisi tanpa awan (cerah) menyebabkan radiasi langit menjadi kecil. Kejadian ini secara konsisten diamati baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Duarte et al. (2006) menyimpulkan keberadaan awan menyebabkan jumlah radiasi langit meningkat. Nowak et al. (2006) juga melaporkan bahwa awan meningkatkan radiasi langit. Walaupun ketertutupan awan di langit tidak dapat diamati, kelihatannya dengan memperhatikan jenis dan ketinggian awan, kemungkinan dapat digunakan untuk mengoreksi model-model penduga radiasi langit untuk langit cerah. Analisis regresi menghasilkan bahwa dengan memasukkan pengaruh awan sebagai fungsi linier sudah cukup memperbaiki performansi model di dataran rendah. Nilai semua parameter performansi model dan semua model sudah memenuhi kriteria. Dengan memasukkan pengaruh awan sebagai fungsi linier, semua
52 model penduga dapat digunakan untuk menduga radiasi langit karena performansi model menjadi sangat baik. Nilai MBE dan RMSE sangat kecil, koefisien regresi a mendekati nol dan b mendekati satu, %kesalahan sangat kecil di bawah 0.5% dan koefisien determinasi menunjukkan bahwa model penduga setelah dikoreksi mampu menerangkan 98-99% data pengukuran.
Tabel 12 Hasil analisis regresi linier antara radiasi langit hasil penetapan dengan hasil pendugaan model yang sudah dikoreksi dengan pengaruh awan di dua lokasi penelitian Model Swimbank (1963) Idso dan Jackson (1969) Ångström (1918) Niemelä (2001) Brunt (1932) Brutsaert (1975) Satterlund (1979) Idso (1981) Prata (1996) Dilley dan O´Brien (1998)
Dataran tinggi a b R2 293.7 0.12 0.10 294.3 0.12 0.10 297.1 0.11 0.90 288.2 0.12 0.12 288.1 0.14 0.12 290.0 0.12 0.11 295.4 0.11 0.9 289.5 0.12 0.11 291.5 0.12 0.11 -65.0 1.35 0.36
Dataran rendah a b R2 285.6 0.21 0.74 285.3 0.20 0.75 288.3 0.20 0.71 288.9 0.18 0.77 288.5 0.20 0.76 288.4 0.19 0.75 288.0 0.19 0.73 290.1 0.17 0.76 288.4 0.19 0.75 -37.8 1.18 0.29
Hasil yang berbeda dengan menggunakan fungsi linier didapat pada pendugaan radiasi langit di dataran tinggi. Fungsi linier dari pengaruh awan belum memperbaiki hasil pendugaan. Pengaruh awan untuk dataran tinggi lebih tepat dinyatakan sebagai persamaan polinomial pangkat dua. Tabel 13 di atas memperlihatkan performansi model penduga untuk radiasi di dataran tinggi dengan nilai koefisien regresi linier dan koefisien determinasi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan hasil pendugaan menggunakan pengaruh linier sebagai pengkoreksi model.
53 Tabel 13 Hasil analisis regresi linier setelah model dikoreksi dengan pengaruh awan sebagai fungsi linier dan polinomial pangkat dua di dua lokasi penelitian Dataran tinggia Dataran rendahb a b R2 a b R2 Swimbank (1963) -5.8 1.02 0.74 13.2 0.97 0.87 Idso dan Jackson (1969) -9.4 1.03 0.74 18.0 0.95 0.87 Ångström (1918) -25.2 1.07 0.74 -21.6 1.06 0.87 Niemelä (2001) 14.0 0.96 0.75 51.7 0.87 0.86 Brunt (1932) 16.2 0.95 0.75 34.2 0.91 0.87 Brutsaert (1975) 5.8 0.98 0.75 13.0 0.97 0.88 Satterlund (1979) -19.4 1.06 0.74 -8.6 1.02 0.88 Idso (1981) 5.5 0.98 0.75 30.0 0.92 0.87 Prata (1996) -2.7 1.01 0.75 8.5 0.98 0.88 Dilley dan O´Brien (1998) -11.3 1.03 0.75 0.6 1.00 0.88 a Pengaruh awan dinyatakan sebagai polinomial pangkat dua, b Pengaruh awan dinyatakan sebagai fungsi linier. Model
Pemodelan Radiasi Langit Disamping menggunakan model-model empiris yang sudah dikenal dan banyak digunakan, radiasi langit dapat dimodelkan dengan menggunakan parameter meteorologi setempat. Dari model-model empiris tersebut diketahui bahwa secara umum radiasi langit dibuat sebagai fungsi dari suhu absolut lingkungan, suhu titik embun, tekanan uap air, dan perpaduan dari parameter-parameter ini. Diagram serak (Gambar 9 dan 10) menunjukkan ada pola hubungan antara radiasi langit dengan ketiga parameter yang dipilih. Pola hubungan ini memiliki kecenderungan sebagai hubungan linier. Oleh karena itu, pemodelan dibuat dengan menganggap radiasi langit sebagai fungsi linier dari parameter tersebut dan diperoleh persamaan penduga sebagaimana disajikan di bawah ini. Selanjutnya dibuat pemodelan radiasi langit dengan hubungan regresi linier berganda. Hasil pemodelan ini dapat pula dilihat di bawah ini. Untuk menduga radiasi langit di dataran tinggi didapat enam persamaan yang dibuat sebagai hubungan linier antara radiasi langit dengan parameter meteorologi dengan koefisien determinasi masing-masing (persamaan 99-104). Keenam persamaan tersebut sudah diurut berdasarkan pada koefisien determinasi
54 dengan nilai terbesar ke nilai terkecil. Analisis regresi linier menghasilkan koefisien determinasi untuk keenam persamaan ini rendah. Secara umum, persamaan regresi linier sebagai model penduga hanya mampu menjelaskan antara 33-36% dari data hasil pengukuran. Persamaan regresi linier dengan nilai koefisien determinasi terbesar ditemukan dari hubungan antara radiasi langit dengan suhu absolut lingkungan dan persamaan regresi linier dengan nilai terkecil adalah antara radiasi langit dengan perbandingan tekanan uap air dengan suhu absolut lingkungan. Hasil serupa juga diperoleh dari pemodelan dengan menggunakan radiasi langit sebagai fungsi linier berganda dari parameter-paremeter meteorologi permukaan. Dari sembilan kombinasi yang dihasilkan (persamaan 105-113) semuanya memiliki koefisien determinasi dengan nilai kecil berkisar antara 34-36%. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil pemodelan sebagai regresi linier. Sama dengan pemodelan radiasi langit untuk dataran tinggi, diagram serak untuk dataran rendah juga memperlihatkan pola. Pola hubungan ini didekati dengan menggunakan regresi linier. Analisis regresi linier juga menghasilkan persamaan regresi linier dengan nilai koefisien determinasi yang rendah. Nilai koefisien determinasi dari keenam persamaan regresi penduga radiasi langit berkisar 35-40% (persamaan 114-119). Demikian pula dengan analisis regresi linier berganda tidak menghasilkan persamaan dengan nilai koefisien determinasi tinggi (persamaan 120-128). Sebaliknya, Exell dan Golaka (2008) memperoleh persamaan penduga yang sangat baik untuk menduga radiasi langit di Chiang Mai Thailand dengan kisaran nilai koefisien korelasi 0.81-0.92. Hal yang berbalikan dengan hasil pengamatan di dataran tinggi dijumpai di dataran rendah. Model penduga dengan nilai koefisien determinasi tertinggi justru didapat dari persamaan regresi radiasi langit dengan perbandingan parameter tekanan uap air dengan suhu absolut lingkungan. Sedangkan koefisien determinasi terkecil diperoleh dari persamaan regresi yang bergantung pada suhu absolut lingkungan.
450
400
400 Q DLR (W/m )
450
2
2
QDLR (W/m )
55
350
300
350
300
250
250
282
284
286
288
290
292
5
10
T a (K)
20
Tdp ( C) 450
400
400 2
QDLR (W/m )
450
2
QDLR (W/m )
15 o
350
350
300
300
250
250 7
12
17
22
Pv (mbar)
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
Pv /T a (mbar/K)
Gambar 9 Diagram serak radiasi langit hasil pengukuran di dataran tinggi dengan suhu absolut lingkungan, suhu titik embun, tekanan uap air, dan perbandingan tekanan uap air dengan suhu absolut lingkungan. Berikut ini adalah persamaan regresi yang dijadikan model penduga radiasi langit di dataran tinggi dengan nilai koefisien determinasi masing-masing: QDLR = – 2067 + 8.41Ta QDLR = 255 + 7.79Tdp QDLR = 35.9 + 118ln(Pv) QDLR = 113 + 62.4Pv0.5 QDLR = 232 + 8.17Pv QDLR = 227 + 2458(Pv/Ta)
R2 = 0.36 R2 = 0.34 R2 = 0.34 R2 = 0.34 R2 = 0.34 R2 = 0.34
(99) (100) (101) (102) (103) (104)
QDLR = – 1363 + 2.53Tdp + 5.85Ta QDLR = – 1431 + 5.94Ta + 19.7Pv0.5 QDLR = – 1436 + 6.09Ta + 2.43Pv QDLR = – 1436 + 5.86Ta – 3.82ln(Pv) QDLR = – 1459 + 6.17Ta – 714(Pv/Ta) QDLR = 281 + 14.4Tdp – 2105(Pv/Ta)
R2 = 0.36 R2 = 0.36 R2 = 0.36 R2 = 0.36 R2 = 0.36 R2 = 0.35
(105) (106) (107) (108) (109) (110)
56 R2 = 0.35 R2 = 0.35 R2 = 0.34
500
450
450
400
400
350
350
300
300 292
294
296
298
300
16
18
20
22
24
0.09
0.1
o
Ta (K)
Tdp ( C)
500
450
450 2
QDLR (W/m )
500
2
QDLR (W/m )
(111) (112) (113)
2
QDLR (W/m )
500
2
QDLR (W/m )
QDLR = 264 – 10.6Tdp – 2.9 Pv QDLR = 387 + 15Tdp – 58Pv0.5 QDLR = – 2 –Tdp – 139ln(Pv)
400
400
350
350
300
300 18
20
22
24
26
Pv (mbar)
28
30
0.06
0.07
0.08 Pv /Ta (mbar/K)
Gambar 10 Diagram serak radiasi langit hasil pengukuran di dataran rendah dengan suhu absolut lingkungan, suhu titik embun, tekanan uap air, dan perbandingan tekanan uap air dengan suhu absolut lingkungan. Model penduga radiasi langit di dataran rendah dengan menggunakan parameter meteorologi lokal dalam bentuk regresi linier dan regresi linier berganda dengan koefisien determinasinya: QDLR = 227 + 2033(Pv/Ta) QDLR = 233.96 + 6.549Pv QDLR = 81 + 63.4Pv0.5 QDLR = 199 + 9.5Tdp QDLR = – 94.4 + 153ln(Pv) QDLR = – 1042 + 4.84Ta
R2 = 0.45 R2 = 0.44 R2 = 0.44 R2 = 0.43 R2 = 0.43 R2 = 0.11
(114) (115) (116) (117) (118) (119)
57 QDLR = 366 – 42.2Tdp + 10854(Pv/Ta) QDLR = – 1997 – 169Tdp +1187Pv0.5 QDLR = 493 – 67Tdp + 52.1Pv QDLR = 1294 – 3.72Ta + 8.32Pv QDLR = 1104 – 3.07Ta + 2464(Pv/Ta) QDLR = 1135 – 3.85Ta + 81.4Pv0.5 QDLR = 1311 + 12.3Tdp – 3.94Ta QDLR = 938 – 3.97Ta + 199ln(Pv) QDLR = 13604 + 442Tdp – 6977ln(Pv)
R2 = 0.49 R2 = 0.48 R2 = 0.48 R2 = 0.48 R2 = 0.47 R2 = 0.47 R2 = 0.47 R2 = 0.47 R2 = 0.46
(120) (121) (122) (123) (124) (125) (126) (127) (128)
Kemampuan Pendinginan Nokturnal Kemampuan pendinginan suatu sistem menggambarkan kemampuan sistem tersebut untuk mendinginkan suatu benda. Kemampuan pendinginan nokturnal merupakan panas netto antara panas yang diradiasikan oleh permukaan suatu benda dengan panas radiasi langit yang diterimanya di malam hari. Menurut Chen et al. (1991) bila suatu benda meradiasikan panas melebihi radiasi panas yang diserap maka permukaan benda itu akan dingin. Untuk bulan Juli dan September 2007 pada tanggal-tanggal percobaan, kemampuan pendinginan nokturnal terlihat di dalam Tabel 14 yang dinyatakan sebagai panas radiasi netto (Qrad,n). Hal menarik yang terungkap dari dari hasil penelitian ini adalah bahwa di dataran tinggi terjadi pendinginan konveksi sedangkan di dataran rendah terjadi pemanasan konveksi. Pendinginan konveksi yang terjadi di daerah dataran tinggi pada umumnya berlangsung pada awal pendinginan air di dalam kolam atap. Sebaliknya air yang terkandung di dalam udara cenderung untuk terkondensasi dan memberikan panas kondensasi. Pengembunan air udara semakin jelas diamati pada permukaan kolam atap yang mulai berlangsung dari tengah malam sampai menjelang subuh. Kondisi seperti ini tidak dijumpai selama pengamatan di dataran rendah. Di dataran tinggi kemampuan pendinginan nokturnal rata-rata mencapai 43.7 W/m2. Selama pengamatan diperoleh bahwa nilai terendah dari kemampuan pendinginan nokturnal adalah 36.1 W/m2, sedangkan nilai tertinggi mencapai 65 W/m2. Nilai kemampuan pendinginan rata-rata hasil penetapan di dataran tinggi di Bali ini masih jauh di bawah nilai kemampuan pendinginan nokturnal rata-rata di Cipanas, seperti dilaporkan oleh Trisasiwi (2000). Menurut Pirazzini et al. (2000)
58 radiasi langit sangat ditentukan oleh musim pada saat pengukuran dilakukan, sebagaimana diamati Marshunova (1966), tetapi menurut Pirazzini et al. (2000) radiasi langit bergantung juga pada tahun saat pengamatan dilakukan. Dengan berpedoman pada pendapat ini, maka dapat diterangkan bahwa perbedaan kemampuan pendinginan nokturnal untuk dua daerah dengan ketinggian dari permukaan laut yang hampir sama disebabkan oleh saat pengambilan data. Tabel 14 Kemampuan pendinginan nokturnal, panas konveksi dan kondensasi di dua lokasi penelitian Dataran tinggi Tanggal Qrad,n Qconv 11/07/2007 36.78 -2.30 12/07/2007 37.90 -1.09 13/07/2007 43.06 -2.31 14/07/2007 36.11 -1.53 15/07/2007 65.04 2.90 16/07/2007 38.54 -2.46 17/07/2007 48.37 -1.47
Qcond 4.36 2.45 1.75 2.44 5.20 2.63 0.97
Dataran rendah Tanggal Qrad,n Qconv 01/09/2007 18.04 1.71 02/09/2007 17.00 2.77 03/09/2007 16.30 1.45 10/09/2007 21.83 3.57 11/09/2007 14.83 2.24
Qcond 4.33 5.58 4.56 4.71 2.81
Lebih lanjut, pada selang pengamatan tanggal 1 sampai dengan 12 September 2007, kemampuan pendinginan nokturnal rata-rata di dataran rendah yang hanya mencapai 17.6 W/m2 dengan nilai terendah 14.83 W/m2 dan tertinggi 21.83 W/m2. Sedangkan panas kondensasi yang terjadi di dataran tinggi hanya 0.6 kali panas kondensasi rata-rata di dataran rendah, walaupun secara statistika pengaruh panas kondensasi dapat diabaikan.
Kesimpulan
1. Pendekatan analitis dapat menjelaskan hubungan antara koefisien pindah panas konveksi dengan kecepatan angin dengan bentuk persamaan umum h = aVb. Nilai koefisien adalah a = 0.644(k/L)(v/)1/3(L/v)1/2 dan b = 0.5. 2. Nilai koefisien pindah panas konveksi rata-rata data hasil pengukuran adalah 7.27 W/m2oC dengan nilai simpangan baku 1.90 W/m2oC.
59 3. Pendekatan analitis dapat digunakan untuk menduga nilai koefisien pindah panas konveksi pada permukaan kolam air dangkal dengan persamaan h = 5.277V0.5. 4. Pindah panas radiasi dan konveksi menentukan perubahan panas total air dan pindah panas kondensasi berdasarkan uji statistika dapat diabaikan. Persamaan regresi untuk perubahan energi air total di dataran tinggi dan di dataran rendah adalah masing-masing Qtot = 16.0 – 18.3Qrad + 136Qconv + 57753Qcond dengan koefisien determinasi R2 = 0.99 dan Qtot = 1.37 – 0.243Qrad – 0.184Qconv + 5906Qcond. dan dengan koefisien determinasi R2 = 0.66. 5. Pendinginan nokturnal pada tanggal 11 sampai dengan 17 Juli 2007 mampu menurunkan suhu air maksimum 7 oC di bawah suhu lingkungan di dataran tinggi, sedangkan suhu air di dataran rendah pada tanggal 1 sampai dengan 12 September 2007 mampu diturunkan 1oC. 6. Model-model empiris dan analitis untuk langit cerah tidak dapat langsung digunakan untuk menduga radiasi langit di lokasi penelitian. Mengoreksi model empiris untuk radiasi langit cerah dengan pengaruh awan (1 + k) menghasilkan pendugaan yang lebih besar. Dengan memasukkan pengaruh awan sebagai fungsi linier untuk pendugaan radiasi langit di dataran rendah dan polinomial pangkat dua untuk dataran tinggi, menghasilkan pendugaan yang sangat baik untuk semua model empiris dan analitis penduga radiasi langit dengan kisaran nilai koefisien determinasi masing-masing 0.86-0.88 dan 0.74-0.75. 7. Model penduga radiasi langit yang dibangun dari parameter-parameter meteorologi lokal tidak menghasilkan performansi pendugaan yang baik dengan nilai koefisien determinasi kecil berkisar 33-36%. 8. Kemampuan pendinginan nokturnal rata-rata untuk bulan Juli tahun 2007 tanggal 11 sampai dengan tanggal 17 di dataran tinggi mencapai 43.7 W/m2 dengan nilai minimum 36.1 W/m2 dan nilai maksimum 65 W/m2. Di dataran rendah pada bulan September 2007 dari tanggal 1 sampai dengan 12, kemampuan pendinginan nokturnal rata-rata 17.6 W/m2 dengan nilai terendah 14.83 W/m2 dan tertinggi 21.83 W/m2. Pengaruh panas kondensasi di kedua lokasi penelitian dapat diabaikan berdasarkan uji statistika.
60 9. Di dataran tinggi terjadi pendinginan konveksi dengan nilai rata-rata 1.18 W/m2 yang meningkatkan kemampuan pendinginan nokturnal, sedangkan di dataran rendah terjadi pemanasan konveksi dengan nilai rata-rata 2.35 W/m2.
3 SUHU LANGIT DI DAERAH DATARAN TINGGI DAN DI DAERAH DATARAN RENDAH Pendahuluan
Kemampuan pendinginan radiasi bergantung pada sifat permukaan benda yang meradiasikan panas, luas permukaan, dan perbedaan pangkat empat antara suhu absolut permukaan benda dengan suhu absolut langit. Hubungan variabel-variabel ini dapat digambarkan seperti di dalam persamaan di bawah ini.
4 Qrad sur A Tsur Ts4
(129)
Jika hubungan ini dikelompokkan maka kemampuan pendinginan radiasi terdiri atas dua bentuk radiasi panas yang berlawanan arah. Suatu benda dengan permukaan lebih panas di permukaan bumi akan meradiasikan panas ke langit yang lebih dingin. Langit juga meradiasikan panas ke arah permukaan bumi. Penetapan kemampuan pendinginan radiasi dapat dilakukan dengan cara: pertama, dengan menentukan radiasi langit baik dengan cara mengukur langsung maupun dengan menduga nilainya menggunakan model-model yang dipaparkan di dalam bab sebelumnya. Kedua, dengan cara menentukan suhu langit dan bila suhu langit sudah ditetapkan nilainya maka kemampuan pendinginan radiasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan di atas. Ketiga, dengan menggunakan kesetimbangan energi seperti yang dilakukan oleh Trisasiwi (2000). Suhu benda dapat diukur dengan tepat, sehingga ketepatan dalam menentukan kemampuan pendinginan radiasi bergantung pada ketepatan menetapkan suhu langit. Menurut Tang et al. (2000) suhu langit dapat diukur secara langsung atau secara tidak langsung. Anonim (2007) menyebutkan bahwa suhu langit efektif dapat diukur dengan menggunakan alat dan sebagai dasar perhitungan digunakan asumsi bahwa langit bersifat sebagai permukaan benda hitam sempurna (blackbody). Bila alat pengukur suhu langit tidak ada maka perlu dicari cara penetapan yang lain. Pendugaan merupakan salah satu pilihan yang mungkin dilakukan karena model-model penduga suhu langit sudah banyak dikembangkan dan diajukan
62 oleh peneliti-peneliti terdahulu. Model penduga suhu langit dikembangkan dari hasil-hasil penelitian sehingga bersifat empiris dan berlaku secara spesifik untuk lokasi pengambilan data. Ada pula model penduga suhu langit yang dikembangkan dari pendekatan analitis. Model penduga yang terakhir ini berlaku untuk daerah dengan cakupan lebih luas. Diketahui bahwa suhu langit bergantung pada sifat pancaran panas langit yaitu emisivitas langit. Berdasarkan pada pendapat ini, pendugaan suhu langit akan dikaji dari pendugaan emisivitas langit. Pendugaan emisivitas langit dapat dilakukan dengan menggunakan hasil-hasil pengukuran parameter meteorologi di dekat permukaan bumi. Model-model penduga emisitas, yang sudah diajukan, berupa model penduga yang menganggap emisivitas langit sebagai fungsi dari suhu titik embun, suhu lingkungan, tekanan uap air di udara, atau kombinasi dari ketiga variabel ini. Jadi dalam penelitian ini dilakukan perhitungan emisivitas efektif langit dan suhu langit yang hasilnya digunakan untuk menguji ketepatan model-model penduga yang sudah ada dan untuk menguji ketepatan parameterisasi faktor penentu emisivitas efektif langit. Dikaji nilai emisivitas efektif dan suhu langit untuk dataran tinggi dan dataran rendah. Model-model penduga suhu langit juga diajukan dengan menggunakan parameter-parameter meteorologi setempat. Suhu Langit Marafia et al. (1998) melaporkan suhu langit di Qatar untuk bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, dan September berturut-turut adalah 12.9, 12.5, 16.0, 17.4, dan 15.9oC. Suhu langit untuk bulan-bulan tersebut mencapai 16.0, 19.0, 16.5, 13.7, dan 13.5oC di bawah suhu lingkungan. Menurut Arifin (1988) suhu langit rata-rata pada kondisi cerah di malam hari mencapai 11oC lebih rendah daripada suhu lingkungan di Surabaya. Di Cipanas pada bulan September suhu langit cerah rata-rata hasil pendugaan mencapai 5.9 oC di bawah suhu lingkungan (Trisasiwi 2000). Pendugaan Suhu Langit dan Emisivitas Langit. Marafia et al. (1998) menggunakan kesetimbangan panas dalam menduga suhu langit. Persamaan (130)
63 menerangkan perpindahan panas radiasi yang terjadi antara permukaan radiator yang dianggap sebagai suatu permukaan gray body dengan langit.
4 Qrad sur Tsur Ts4
(130)
Qrad adalah panas radiasi netto (W/m2), εsur emisivitas permukaan radiator dan Tsur merupakan suhu absolut permukaan radiator, sehingga dari persamaan ini diperoleh pendugaan suhu langit Ts (K):
4 Q Ts Tsur rad sur
0.25
(131)
Cara lain yang digunakan dalam menduga suhu langit adalah dengan menggunakan asumsi pada keadaan langit. Radiasi langit dapat diterangkan dengan dua pendekatan pindah panas radiasi. Pendekatan pertama dengan menganggap langit sebagai suatu benda yang memiliki permukaan hitam (blackbody) dengan emisivitas langit εs bernilai satu dan suhu langit Ts seragam ke seluruh langit (Ramsey et al. 1981; Marafia et al. 1998; Müller 2001; Golaka dan Exell 2004).
QDLR Ts4
(132)
Pendekatan kedua berupa anggapan langit sebagai gray body seperti diterangkan di dalam persamaan (12). Dari persamaan (133) dapat dihitung emisivitas efektif langit bila radiasi langit QDLR sudah ditentukan (Staley dan Jurica 1972; Ramsey et al. 1981).
a
QDLR Ta4
(133)
Menurut Marafia et al. (1998), Bentz (2000) dan Müller (2001) dengan menggantikan radiasi langit persamaan (133) dengan persamaan (132) diperoleh hubungan seperti terlihat dalam persamaan (134), suatu persamaan untuk menduga emisivitas efektif langit.
T a s Ta
4
(134)
Alnaser (1990), Bentz (2000), Erell dan Etzion (2000) dan Tang dan Etzion (2004) menggunakan persamaan (135) untuk menduga suhu langit sebagai fungsi dari emisivitas efektif langit εa dan suhu absolut lingkungan dekat permukaan Ta.
64
Ts a0.25Ta
(135)
Emisivitas Langit Cerah Maghrabi (2007) mengutip bahwa penelitian pertama kali tentang radiasi langit menggunakan pendekatan empiris dilakukan oleh Ångström (1915) dan Brunt (1932). Penelitian mereka menghasilkan model-model empiris sederhana untuk emisivitas langit cerah yang bergantung pada tekanan uap air dekat permukaan. Menurut Marafia et al. (1998) dan Maghrabi (2007) model empiris Ångström mengandung tiga konstanta empiris yang harus ditetapkan. Persamaan (136) adalah model empiris Ångström dengan konstanta-konstanta empiris A, B dan C yang digunakan untuk menduga emisivitas langit. Kisaran nilai dari konstanta empiris A, B dan C berturut-turut 0.75-0.82, 0.15-0.33, dan 0.09-0.22. Berikut ini bentuk umum dari model empiris Ångström.
a ,c A B x 10 CPv
(136)
Model empiris Brunt (1932) yang dikembangkan dari pendekatan analitis untuk persamaan konduksi di dalam tanah banyak diikuti dan digunakan sebagai dasar untuk mengajukan model-model empiris sederhana (Cellier 1993). Bentuk umum model Brunt terlihat pada persamaan (137). Menurut Ramsey et al. (1981) dan Magrhabi (2007) konstanta a dan b bergantung pada kondisi lokal dan tekanan uap air Pv. Pada kenyataannya model empiris Brunt lebih disukai karena hanya mengatur dua konstanta. Model empiris ini banyak digunakan dan konstanta a dan b bernilai dalam kisaran 0.3-0.71 dan 0.023-0.110.
a,c a b Pv
(137)
Banyak diajukan model empiris untuk menduga emisivitas langit sebagai fungsi dari tekanan uap air. Magrhabi (2007) mengutip beberapa model empiris, diantaranya model empiris Efimova (1961), Elsasser (1942), Anderson (1954) dan Marshunova (1966). Hubungan antara emisivitas langit dengan tekanan uap air diajukan dalam bentuk akar dari tekanan uap air, seperti bentuk awal model yang diajukan oleh Brunt (1932), logaritme atau dalam bentuk linier.
65 Swimbank (1963) melakukan penilaian kembali terhadap model-model empiris yang ada untuk mencari cara untuk mengatasi sifat semua model empiris yang bergantung pada lokasi. Menurut Ramsey et al. (1981) dari hasil pengamatan Swimbank di Lautan India diperoleh hubungan antara emisivitas langit dengan suhu absolut lingkungan. Magrhabi (2007) mengutip Swimbank (1963) yang menyatakan bahwa model empirisnya bersifat umum bila dibandingkan dengan model-model empiris sebelumnya, model empiris Ångström dan Brunt. Banyak peneliti kemudian mengikuti model empiris Swimbank (1963) beberapa diantaranya Zilman (1972) dan Ohmura (1981) sebagaimana disebutkan di dalam Magrhabi (2007). Selanjutnya Magrhabi (2007) mengutip bahwa Idso dan Jackson mempertanyakan model empiris Swimbank karena tidak mencakup kisaran suhu yang cukup luas untuk dapat membuat kesimpulan universal. Menurut Ramsey et al. (1981) Idso dan Jackson memperluas hasil kerja peneliti sebelumnya dengan melakukan perbaikan model empiris. Goforth et al. (2002) dan Magrhabi (2007) menyebutkan pada tahun 1969 Idso dan Jackson mengusulkan model empiris penduga radiasi langit cerah dalam bentuk umum:
2
a 1 c exp d 273 Ta
(138)
c dan d adalah konstanta dan Ta suhu lingkungan (K). Idso dan Jackson (1969) menyimpulkan bahwa rumusnya secara tepat menjelaskan hubungan umum antara emisivitas langit cerah dengan suhu lingkungan dan sahih di setiap lintang dan pada setiap suhu di bumi. Staley dan Jurica (1972) dalam upaya menduga emisivitas langit, mengintegrasikan emisivitas langit terhadap profil atmosfir ke atas, tekanan uap air, karbon dioksida dan ozon. Tetapi Crawford dan Duchon (1999) mengutip kajian Satterlund (1979) yang menemukan model-model diatas tidak memiliki performansi baik pada suhu di bawah 0oC. Ramsey et al. (1981) mengutip bahwa Satterlund (1979) mengajukan model yang sesuai untuk pendugaan pada kondisi itu. Brutsaert (1975) merupakan peneliti pertama yang membuat pemodelan rumit berdasarkan pada pendekatan ilmu fisika (Ramsey et al. 1981; Cellier 1993; Plüss dan Ohmura 1997; Crawford dan Duchon 1999). Culf dan Gash (1993)
66 menyimpulkan bahwa model analitis Brutsaert jauh lebih baik bila dibandingkan dengan model-model sebelumnya karena model Brutsaert mudah disesuaikan dengan kondisi lokal. Pendapat ini didukung oleh Lhomme dan Guilioni (2004) yang mengatakan bahwa cara paling umum untuk menghitung radiasi langit adalah dengan menggunakan model Brutsaert. Lebih lanjut Magrhabi (2007) menyebutkan bahwa banyak peneliti kemudian mengusulkan model-model empiris baru sebagai hasil pengembangan dari model-model sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Prata (1996). Idso (1981) di Arizona menghubungkan antara tekanan uap air dan suhu lingkungan dekat permukaan dengan emisivitas langit (Andeas dan Ackley 1982; Magrhabi 2007). Andeas dan Ackley (1982) menemukan bahwa model Idso (1981) menduga lebih besar daripada emisivitas langit hasil perhitungan bila model digunakan untuk pendugaan emisivitas langit cerah di Artik dan Antartika. Andeas dan Ackley (1982) melakukan koreksi terhadap model empiris Idso (1981). Radiasi langit cerah bergantung pada kelembaban dan suhu lingkungan dekat permukaan (Andreas dan Ackley 1982). Ulleberg (1998) menyatakan bahwa suhu titik embun merupakan fungsi dari kelembaban relatif udara. Ramsey et al. (1981) dan Bliss (1961) menghitung emisivitas efektif langit dengan menggunakan model atmosfir sederhana dan menemukan hubungan antara emisivitas efektif langit cerah dengan suhu titik embun. Maghrabi (2007) menulis bahwa Clark dan Allen (1972) mengajukan hubungan logaritme antara emisivitas langit dengan suhu titik embun yang berlaku untuk waktu malam dan siang. Model empiris ini dikembangkan lebih lanjut, misalnya oleh Berdahl dan Fromberg (1982) kemudian Berdahl dan Martin (1984), dan Berger et al. (1984). Pendugaan Emisivitas Langit Cerah. Emisivitas langit dalam kondisi cerah mempengaruhi hasil penetapan radiasi langit cerah. Sudah banyak model empiris dikembangkan yang pada dasarnya model-model tersebut disusun dari hasil pengamatan meteorologi sederhana di dekat permukaan bumi. Variabel-variabel meteorologi yang digunakan untuk membangun model adalah suhu
67 lingkungan permukaan, suhu titik embun, kelembaban relatif udara dalam bentuk tekanan uap air, atau kombinasi dari variabel-variabel ini. Emisivitas langit dikaitkan dengan variabel-variabel meteorologi secara linier dan non-linier. Berdasarkan pada data hasil pengamatan setempat, beberapa peneliti juga beranggapan bahwa emisivitas langit cerah bernilai tetap dan tidak bergantung pada kondisi meteorologi permukaan. Tabel 15, 16, 17, 18 dan 19 adalah model-model penduga emisivitas langit cerah yang dapat digunakan untuk menduga suhu langit. Tabel-tabel tersebut mengandung model-model empiris dan analitis penduga emisivitas langit cerah. Emisivitas langit bernilai konstan diajukan oleh Maykut dan Church (1973). Aubinet (1994) sebagaimana diacu dalam Adelard (1998) menyatakan nilai emisivitas langit cerah adalah konstan. Demikian pula König-Langlo dan Augstein (1994) dan Guest (1998), menganggap emisivitas langit cerah bernilai tetap (diacu dalam Pirazzini et al. 2000). Tabel 15 menyajikan nilai emisivitas yang diajukan oleh peneliti-peneliti tersebut. Model empiris sebagai penduga nilai emisivitas langit cerah yang berdasarkan pada suhu titik embun banyak digunakan dan disarankan untuk digunakan dalam perhitungan kesetimbangan energi di permukaan bumi. Duffie dan Beckman (1980) menguraikan keefektivan penggunaan model empiris Bliss (1961) dalam menghitung performansi kolektor surya. Adelard (1998) dan Adelard et al. (1998) mengutip model empiris penduga emisivitas langit cerah malam hari Berger (1988). Marafia et al. (1998) membandingkan beberapa model empiris emisivitas langit cerah seperti model empiris Clark dan Allen (1978), Berdahl dan Fromberg (1982), dan Berdahl dan Martin (1984) dengan emisivitas langit hasil penelitiannya. Mereka melaporkan bahwa ketiga model empiris tersebut kurang sesuai untuk digunakan sebagai penduga emisivitas langit cerah di Qatar. Marafia et al. (1998) melaporkan model empiris Bodrin dan Sovrano (1974) baik untuk digunakan menduga emisivitas langit Qatar. Marafia et al. (1998) juga melaporkan sudah membuat model empiris penduga emisivitas efektif langit Qatar sebagai fungsi linier dari tekanan uap air. Pandey et al. (1995) mengulas beberapa model empiris emisivitas langit cerah terhadap hasil penetapan suhu langit. Menurut Pandey et al. (1995) hasil
68 pendugaan model empiris Clark dan Allen (1978) paling dekat dengan hasil pendugaan model empiris Berger et al. (1984), bila dibandingkan dengan model empiris Martin dan Berdahl (1984), Berdahl dan Fromberg (1982), dan Bliss (1961). Tang et al. (2004) membandingkan hasil penetapan emisivitas langit cerah untuk dataran tinggi Negev dengan model empiris emisivitas langit cerah Clark dan Allen (1981), dan Berdahl dan Fromberg (1982). Penetapan yang dihasilkan oleh Tang et al. (2004) lebih rendah daripada kedua model tersebut. Arifin (1988) melaporkan bahwa berdasarkan pada hasil analisis regresi, tingkat ketergantungan emisivitas langit efektif terhadap suhu langit hanya 66.24% sedangkan terhadap tekanan uap air 88.21% untuk langit Surabaya. Jadi perubahan emisivitas langit efektif di Surabaya bergantung sangat kuat pada perubahan tekanan uap air daripada terhadap suhu langit. Khelifi et al. (1993) membuat model empiris dengan menghubungkan suhu lingkungan dengan emisivitas langit pada langit tanpa awan. Suhu lingkungan diukur pada ketinggian 1.5 m dari permukaan bumi. Model-model empiris dari peneliti yang sama sering dikutip dalam bentuk model berbeda-beda atau dengan nilai koefisien empiris berbeda-beda, seperti terlihat dalam Tabel 16 sampai dengan Tabel 19. Kutipan sumber acuan yang berbeda dalam menuliskan model misalnya terhadap model empiris Bliss (1961), Swimbank (1963) Ångström (1918), dan Brunt (1932). Beberapa peneliti menyebutkan bahwa nilai koefisien model empiris yang diacu diubah dan disesuaikan dengan hasil penelitian, seperti yang disebutkan oleh Ferrarese et al. (2002), Duarte et al. (2006), Arifin (1988), atau Marafia et al. (1998). Model empiris dengan nilai koefisien yang diubah disajikan dalam Tabel 20. Pendugaan Suhu Langit dengan Formula Lain Disamping menggunakan emisivitas efektif langit εa dan suhu absolut lingkungan dekat permukaan Ta untuk menduga suhu langit, banyak persamaan sederhana diajukan untuk memudahkan pendugaan suhu langit. Kebanyakan dari pendugaan yang disarankan hanya memperhitungkan suhu lingkungan. Adelard (1998) dan Adelard et al. (1998) mengutip Dreyfus (1960) yang menganggap
69 suhu langit sama dengan suhu lingkungan (persamaan 139). Garde (1963) dengan persamaan (143), sebagaimana diacu didalam Adelard (1998), menganggap suhu langit lebih rendah 6 derajat daripada suhu lingkungan. Garde (1997) diacu didalam Adelard (1998) membenarkan pendapat Garde (1963) yang mendapatkan bahwa dengan nilai K = 6 dihasilkan pendugaan suhu langit yang paling sesuai, tetapi Adelard et al. (1998) mendapatkan bahwa hasil pendugaan model ini melebihi nilai sesungguhnya pada saat langit cerah. Model empiris Garde (1963) digunakan oleh Janarthanan (2005) dalam penelitiannya. Boyer (1963) dikutip oleh Adelard (1998) menyatakan bahwa suhu langit lebih rendah 8 derajat daripada suhu lingkungan (persamaan 141). Roujol (2003) melaporkan suhu langit bernilai 12 derajat lebih rendah daripada suhu lingkungan. Model empiris Swimbank (1963) yang menggunakan suhu absolut lingkungan dalam bentuk persamaan (144), paling banyak digunakan dalam menduga suhu langit. Model empiris ini banyak dipilih karena kesederhanaan dalam perhitungannya, seperti dilaporkan oleh Rodriguez (2002), Haque dan Langrish (2003), Ong dan Chow (2003), Tang et al. (2004), Tiba dan Gini (2006), dan Wang et al. (2006). Menurut Ramsey et al. (1981), Swimbank juga mengajukan model empiris lain dalam menduga suhu langit cerah seperti ditulis dalam persamaan (145). Dreyfus (1960)
Ts Ta
(139)
Garde (1963)
Ts = Ta – 6
(140)
Boyer (1963)
Ts = Ta – 8
(141)
Roujol (2003)
Ts = Ta – 12
(142)
Garde (1997)
Ts Ta K
(143)
Swinbank (1963)
Ts 0.0552Ta1.5
(144)
Swinbank (1963)
Ts 3.015 x 109 1.22Ta4
0.25
(145)
70 Tabel 15 Emisivitas langit cerah dengan nilai tetap Model empiris Maykut dan Church (1973) Aubinet (1994) König-Langlo dan Augstein (1994) Guest (1998)
Persamaan/ Sumber acuan a ,c 0.7855 Maykut dan Church (1973) a,c 0.856 Adelard (1998) a,c 0.765 Pirazzini et al. (2000) a ,c 1 Pirazzini et al. (2000)
No 146 147 148 149
Tabel 16 Model empiris penduga emisivitas langit cerah yang bergantung pada suhu titik embuna Model empiris
Persamaan/ Sumber acuan a ,c 0.752 0.0048Tdp Berger (1988) Adelard (1998), Adelard et al. (1998) Berger et al. (1984) a ,c 0.770 0.0038Tdp Pandey et al. (1995), Magrhabi (2007) Clark dan Allen a ,c 0.787 0.764 ln Tdp 273 273 (1972) Magrhabi (2007) a ,c 0.787 0.0028Tdp Clark dan Allen (1978) Pandey et al. (1995), Marafia et al. (1998), Tang et al. (2004), Chen (1991) a ,c 0.741 0.0062Tdp Berdahl dan Fromberg (1982) Marafia et al. (1998), Tang et al. (2004), Chen et al. (1991) a ,c 0.734 0.0061Tdp Berdahl dan Fromberg (1982) Pandey et al. (1995) s 0.74 0.006Tdp Rabl (1985) Erell dan Etzion (2000), Tang dan Etzion (2004) a ,c 0.741 0.00162Tdp Mill (2000) Dobson (2006) a ,c 0.8004 0.00396 Tdp Bliss (1961) Pandey et al. (1995) a,c 0.8 Tdp 273 250 Bliss (1961) a
Duffie dan Beckman (1980) Suhu titik embun dinyatakan dalam oC.
No 150 151 152 153
154
155 156 157 158 159
71 Tabel 16 Model empiris penduga emisivitas langit cerah yang bergantung pada suhu titik embuna (lanjutan) Model empiris
Persamaan/ Sumber acuan a ,c 0.00344Tdp 273.16 0.037 Bliss (1961) Magrhabi (2007) a ,c 0.787 0.784 ln Tdp 273 Walton (1983) Bentz (2000), Clear et al. (2003) a ,c 0.634 0.00267Tdp 0.0000226 Tdp2 Lord (1999) Lord (1999) Martin dan Berdahl a ,c 0.711 0.0056Tdp 0.000073Tdp2 (1984) Arifin (1988), Alnaser (1990), Clear et al.(1993), Pandey et al. (1995), Marafia et al. (1998) , Tang et al. (2004), Dimoudi dan Androutsopoulos (2006), Parker dan Sherwin (2007), Magrhabi (2007) Berdahl dan Martin a ,c 0.711 0.0056Tdp 0.000073Tdp2 (1984) 0.013 cos 2 t 24
No 160 161 162 163
164
Ulleberg (1998), Insausti (2000), Meir et al. (2002), Rasisuttha (2005) a Suhu titik embun dinyatakan dalam oC.
Tabel 17 Model-model empiris penduga emisivitas langit cerah sebagai fungsi dari suhu lingkungan di dekat permukaana Model empiris
Persamaan/ Sumber acuan Khelifi et al. (1993)b a,c 0.72 0.005Ta Khelifi et al. (1993) Idso dan Jackson a ,c 1 0.261exp 7.77 x 104 273 Ta 2 (1969) Ramsey et al. (1981), Arifin (1988), Adelard (1998), Mendonça et al. (1996), Pirazzini et al. (2000), Bárbaro et al. (2006), Duarte et al. (2006), Crawford dan Duchon (1999) Swimbank (1963) a ,c 9.365 x 10 6 Ta2 Pirazzini et al. (2000), Duarte et al. (2006), Magrhabi (2007) Swimbank (1963) a,c 9.36 x 10 6 Ta2
Crawford dan Duchon (1999) Suhu lingkungan dinyatakan dalam K, b Suhu lingkungan dinyatakan dalam oC. a
No 165 166
167
168
72 Tabel 17 Model-model empiris penduga emisivitas langit cerah sebagai fungsi dari suhu lingkungan di dekat permukaana (lanjutan) Persamaan/ Sumber acuan Swimbank (1963) a,c 9.2 x 10 6 Ta2 Mendonça et al. (1996), Ferrarese et al. (2002), Pirazzini et al. (2000), Bárbaro et al. (2006) Zilman (1972) a,c 9.2 x 10 6 Ta2 Pirazzini et al. (2000), Magrhabi (2007) Ohmura (1981) a ,c 8.733 x 10 3 Ta0.788 Pirazzini et al. (2000), Magrhabi (2007) a Suhu lingkungan dinyatakan dalam K. Model empiris
No 169
170 171
Tabel 18 Model-model empiris penduga emisivitas langit cerah sebagai fungsi dari tekanan uap air di dekat permukaana
Brunt (1932)
Persamaan/ Sumber acuan a ,c 0.82 0.25 x 10 0.007 Pv Adelard (1998) a ,c 0.83 0.18 x 10 0.067 Pv Bárbaro et al. (2006) a ,c 0.56 0.08 Pv
Brunt (1932)
Adelard (1998) a ,c 0.52 0.065 Pv
Model empiris Ångström (1918) Ångström (1918)
Brunt (1932) Centeno (1982) Daguenet (1985) Kondratyev (1969) Marshunova (1966) Marshunova (1966) a
Mendonça et al. (1996), Bárbaro et al. (2006) a ,c 0.55 0.056 Pv Arifin (1988) a ,c 0.56 0.08 Pv Adelard et al. (1998) a ,c 0.55 0.0385 Pv Daguenet (1985) a ,c 0.66 0.40 Pv Tang et al. (2004) a ,c 0.67 0.05 Pv Pirazzini et al. (2000) a,c 0.68 0.036 Pv
Magrhabi (2007) Tekanan uap air dinyatakan dalam hPa.
No 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181
73 Tabel 18 Model-model empiris penduga emisivitas langit cerah sebagai fungsi dari tekanan uap air di dekat permukaana (lanjutan)
182
Anderson (1954)
Persamaan/ Sumber acuan a,c 0.68 0.036 Pv Crawford dan Duchon (1999) a ,c 0.67 0.05 Pv
Niemelä (2001)
Magrhabi (2007) a ,c 0.72 0.009Pv 2
184
Model empiris Anderson (1954)
Efimova (1961) Elsasser (1942) Elsasser (1942) Staley dan Jurica (1972)
Niemelä (2001), Bárbaro et al. (2006) a ,c 0.746 0.0066Pv Pirazzini et al. (2000), Magrhabi (2007) a ,c 0.21 0.22 ln Pv Pandey et al. (1995) a ,c 0.672 0.412 ln Pv Magrhabi (2007) a ,c 0.67 Pv0.08 untuk 0.2 ≤Pv ≤ 20 mbar
No
183
185 186 187 188
a ,c 0.63Pv0.08 untuk Pv = 710 mbar Staley dan Jurica (1972) a Tekanan uap air dinyatakan dalam hPa. Tabel 19 Model-model empiris penduga emisivitas langit cerah sebagai fungsi dari tekanan uap air dan suhu lingkungan di dekat permukaana Model empiris Boldrin dan Sovrano (1974) Brutsaert (1975)
Brutsaert (1975) Sugita dan Brutsaert (1993)
Persamaan/ Sumber acuan a ,c 0.58 0.052 Pv150 / Ta Marafia et al. (1998) 1/ 7 a ,c 1.24Pv Ta Cellier (1993), Mendonça et al. (1996), Pirazzini et al. (2000), Lhomme dan Guilioni (2004), Bárbaro et al. (2006), Magrhabi (2007) a ,c 0.625Pv Ta 0.131 Duarte et al. (2006) a ,c 0.714Pv Ta 0.0687
Duarte et al. (2006) Konzelmann et al. a ,c 0.23 0.484Pv Ta 1/ 8 (1994) Pirazzini et al. (2000) a Tekanan uap air dalam hPa dan suhu lingkungan dalam K.
No 189 190
191 192 193
74 Tabel 19 Model-model empiris penduga emisivitas langit cerah sebagai fungsi dari tekanan uap air dan suhu lingkungan di dekat permukaana (lanjutan) Persamaan/ Sumber acuan Satterlund (1979) a ,c 1.081 exp PvTa / 2016 Crawford dan Duchon (1999), Pirazzini et al. (2000), Ferrarese et al. (2002), Bárbaro et al. (2006), Magrhabi (2007) Idso (1981) a ,c 0.70 5.95 x 10 5 Pv exp1500 Ta Andeas dan Ackley (1982), Pirazzini et al. (2000), Bárbaro et al. (2006), Duarte et al. (2006) a 1 0.37 expPv Ta 273 Zapadka et al. (2001) Magrhabi (2007) w 46.5 Pv Ta Prata (1996) Model empiris
No 194
195
196 197
a ,c 1 1 w exp 1.2 3.0w0.5 Offerle et al. (2003), Pirazzini et al. (2000), Bárbaro et al. (2006), Magrhabi (2007) a Tekanan uap air dalam hPa dan suhu lingkungan dalam K. Tabel 20 Model-model empiris yang dikembangkan dari data hasil penelitian Persamaan/ Sumber acuan a ,c 0.754 0.0044Tdp Tang et al. (2004) Tang et al. (2004) a,c 0.736 0.00557Tdp Chen Chen et al. (1991) a ,c 0.736 0.0071Tdp 0.00003318Tdp2 Chen et al. (1991) Chen et al. (1991) Swimbank (1963) a ,c 8.5 x 10 6 Ta2 Ferrarese et al. (2002) Marafia et al. (1998) a ,c 0.7186 0.0339Pv Marafia et al. (1998) a,all 0.75218 0.4480 ln Pv Arifin (1988) Peneliti/model
Staley dan Jurica (1972)
No 198 199 200 201 202 203
a,all 0.75748 0.0424 ln Ts
204
a ,all 0.516879 0.719055 ln Ta Arifin (1988) a ,c 0.6Pv0.08 Ferrarese et al. (2002)
205 206
75 Tabel 20 Model-model empiris yang dikembangkan dari data hasil penelitian (lanjutan) Peneliti/model Brutsaert (1975) Satterlund (1979) Idso (1981)
Persamaan/ Sumber acuan a ,c 0.643 Pv Ta 1/ 7 Duarte et al. (2006) a ,c 0.951 exp PvTa / 2016 Ferrarese et al. (2002) a ,c 0.601 5.95 x 10 5 Pv exp1500 Ta
No 207 208 209
Andreas dan Ackley (1982), Magrhabi (2007) Clear et al. (2003) juga mengutip model empiris penduga emisivitas efektif langit sebagai fungsi tekanan uap air dan suhu lingkungan hasil penelitian Brown (1997). Brown (1997) membuat hubungan emisivitas langit dalam bentuk deret suhu lingkungan dalam Rankine dan tekanan uap air yang dinyatakan dalam kPa. 3 i Brown (1997) a,c 0.65 0.61Pv0.9 exp Ai Ta 240 i1 A1 = -0.0103, A2 = -6.1 x 10 -4, A3 = 6.1 x 10 -6
(210)
Pengaruh Awan Bila suhu langit merupakan fungsi dari emisivitas sebagimana diperlihatkan di dalam persamaan (133), atau seperti dinyatakan di dalam persamaan (134) maka perubahan pada suhu langit akan mengubah nilai pendugaan emisivitas. Demikian pula akan terjadi sebaliknya. Groot dan Carlson (1996) menyimpulkan bahwa langit berawan menyebabkan rata-rata suhu malam hari lebih tinggi daripada malam cerah. Untuk langit Surabaya Arifin (1988) melaporkan bahwa pada kondisi langit berawan dan hujan pada bulan Nopember suhu lingkungan malam hari berkisar antara 6-12oC dan suhu langit rata-rata hanya 10 oC lebih rendah. Sedangkan pada saat langit cerah suhu langit rata-rata 11oC lebih rendah daripada suhu lingkungan malam hari. Trisasiwi (2000) melaporkan bahwa pada bulan September di Cipanas suhu langit rata-rata dengan kondisi berawan hanya mencapai 2.3 oC lebih rendah daripada
76 suhu lingkungan rata-rata. Dengan demikian keberadaan awan di langit mempengaruhi suhu langit dan mempengaruhi pula nilai emisivitas efektif langit. Hubungan antara keberadaan awan dengan nilai emisivitas langit dilaporkan oleh Khelifi et al. (1993). Menurut Khelifi et al. (1993), jenis awan (k) dan fraksi ketertutupan awan (n) yang bernilai antara 0 dan 1 mempengaruhi nilai emisivitas efektif keseluruhan langit yang dinyatakan dengan persamaan:
a ,all a,c 1 kn 2
(211)
Bentz (2000) mengikuti algoritme Walton (1983) dalam menghitung pengaruh awan di langit terhadap emisivitas langit secara keseluruhan. Demikian pula Dimoudi dan Androutsopoulos (2006) mengutip pengaruh ketertutupan awan terhadap nilai emisivitas efektif keseluruhan langit dengan menghitung pengaruh awan seperti dinyatakan dalam persamaan berikut ini: C a 1 0.0224n 0.0035n 2 0.00028n 3
(212)
Ca adalah koefisien awan. Penggunaan koefisien awan untuk menghitung emisivitas keseluruhan langit dari emisivitas langit cerah diperlihatkan di dalam persamaan di bawah ini.
a ,all a ,c Ca
(213)
Lord (1999) memasukkan pengaruh awan seperti yang dilakukan oleh Khelifi et al. (1993), yaitu dengan menggunakan jenis awan dan fraksi ketertutupan awan di langit. Tetapi Lord (1999) menghitung emisivitas keseluruhan langit dalam bentuk fungsi linier berikut ini:
a,all a ,c 1 a ,c kn
(214)
Tujuan penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh model-model penduga suhu langit dengan performansi yang baik untuk dapat digunakan dalam perhitunganperhitungan yang berkaitan dengan pendugaan kemampuan pendinginan nokturnal yang bergantung pada ketepatan menentukan suhu langit. Tujuan penelitian ini adalah:
77 1. Untuk menetapkan emisivitas efektif langit dan suhu langit berdasarkan pada data hasil percobaan di dataran tinggi dan di dataran rendah, 2. Menduga suhu langit dengan menggunakan hasil pendugaan emisivitas efektif langit untuk dataran tinggi dan dataran rendah, 3. Mengkaji pengaruh awan pada model-model penduga emisivitas efektif langit dan menduga suhu langit di dua daerah tersebut, 4. Menelaah model-model penduga suhu langit dengan menggunakan parameterparameter meteorologi dekat permukaan di dua daerah tersebut.
Bahan dan Metode
Waktu dan tempat penelitian, bahan yang dipakai dan metode yang digunakan, dan prosedur percobaan sama dengan penelitian pendinginan nokturnal yang dijelaskan dalam Bab 2. Semua data yang dikumpulkan selama penelitian pendinginan nokturnal digunakan di dalam bab ini. Demikian pula dengan analisis data dilakukan seperti pada Bab 2. Perhitungan dan Pendugaan Parameter Perhitungan Suhu Langit (Ts). Suhu langit dihitung dengan menggunakan persamaan yang diajukan oleh Marafia et al. (1998). Hasil perhitungan panas radiasi atau kemampuan pendinginan nokturnal (Qrad) pada Bab 2 digunakan untuk menghitung suhu langit dengan cara sebagai berikut:
Qrad wA Tw4 Ts4
Q Ts Tw4 rad wA
(215)
0.25
(216)
Suhu langit dinyatakan dalam derajat Kelvin. Perhitungan Emisivitas Efektif Langit (εa). Emisivitas efektif langit dihitung dengan menggunakan persamaan di bawah ini. Nilai emisivitas langit yang dihitung merupakan emisivitas efektif langit keseluruhan (εa,all).
78
a , all
T s Ta
4
(217)
Pendugaan Emisivitas Efektif Langit Cerah (εa,c). Pendugaan emisivitas langit cerah dilakukan dengan menggunakan model-model empiris dan analitis yang paling sering dikutip dan digunakan. Emisivitas efektif dapat dikelompokkan berdasarkan pada parameter penduganya, seperti emisivitas efektif bergantung pada suhu titik embun, suhu lingkungan, dan tekanan uap air. Oleh karena itu, dari masing kelompok diambil beberapa model penduga dengan rincian sebagai berikut: Emisivitas sebagai fungsi dari suhu titik embun: Clark dan Allen (1978), Berdahl dan Fromberg (1982), Martin dan Berdahl (1984), dan Berdahl dan Martin (1984). Emisivitas sebagai fungsi dari suhu lingkungan: Swimbank (1963), dan Idso dan Jackson (1969). Emisivitas sebagai fungsi dari tekanan uap air: Ångström (1918), Brunt (1932), dan Niemelä (2001) Emisivitas sebagai fungsi dari suhu lingkungan dan tekanan uap air: Boldrin dan Sovrano (1974), Brutsaert (1975), Satterlund (1979), Idso (1981), dan Prata (1996). Pendugaan Emisivitas Efektif Langit Keseluruhan (εa,all). Pendugaan emisivitas efektif langit keseluruhan dari emisivitas langit cerah memasukkan pengaruh faktor awan (F) di langit. Pendugaan emisivitas efektif langit keseluruhan dengan memasukkan faktor awan diturunkan dari persamaan yang diajukan oleh Trinuruk et al. (2006),
Ts4 QDLR ,c Ta4 QDLR ,c F
(218)
bila diatur kembali diperoleh
Ts4 Ta4 F 1 F QDLR ,c
(219)
bila semua ruas dibagi dengan σTa4, diperoleh persamaan baru
Ts
Ta 1 F a ,c F 4
a,all a ,c 1 a ,c F
(220) (221)
79 Pada penelitian ini faktor awan yang diamati hanya ketinggian awan di langit, k, sehingga persamaan (221) menjadi
a, all a, c 1 a , c k
(222)
Pengaruh Awan (k). Pengaruh awan pada emisivitas langit dapat berupa fungsi linier atau polinomial pangkat dua. Penentuan tentang kecocokan dalam pembuatan fungsi pengaruh awan bergantung pada nilai koefisien determinasi regresi linier data dengan hasil pendugaan model.
a, all a , c 1 a , c a bk
(223)
a, all a , c 1 a, c a bk ck 2
(224)
Perhitungan Suhu Langit (Ts) Berdasarkan pada Emisivitas Efektif Langit. Suhu langit diduga dengan menggunakan persamaan: 25 Ts a0,.all Ta
(225)
Pembuatan Persamaan Penduga Suhu Langit (Ts). Persamaan penduga suhu langit dibuat sebagai fungsi dari parameter meteorologi seperti suhu lingkungan, suhu titik embun, tekanan uap air dan kombinasi dari parameter ini. Analisis Data Analisis data untuk emisivitas langit dan suhu langit dilakukan MBE dan RMSE, % kesalahan. Dilakukan pula analisis regresi untuk mencari koefisien regresi dan koefisien determinasi regresi linier data dengan hasil pendugaan model.
Hasil dan Pembahasan
Emisivitas Langit Cerah Model-model penduga emisivitas langit cerah yang digunakan untuk menduga nilai emisivitas efektif di dataran tinggi dan di dataran rendah menghasilkan performansi pendugaan seperti terlihat di dalam Tabel 21. Tabel ini memuat beberapa model yang sering dikutip dan digunakan dalam pendugaan. Secara
80 keseluruhan, model-model menduga lebih tinggi data emisivitas efektif langit hasil perhitungan. Tetapi semua model yang diuji memberikan pendugaan dengan nilai MBE dan RMSE kecil di bawah 0.2%. Hasil performansi model dalam menduga emisivitas efektif langit, untuk nilai MBE, RMSE, dan % kesalahan dicantumkan dalam Lampiran 4. Seperti terlihat di dalam tabel, semua koefisien regresi linier antara hasil pendugaan dengan nilai emisivitas efektif hasil perhitungan mendekati nol untuk a dan mendekati nilai satu untuk b. Tetapi semua model penduga menghasilkan koefisien determinasi yang sangat kecil. Pendugaan seperti ini dihasilkan dari pengolahan data hasil percobaan di kedua lokasi penelitian. Di dataran tinggi nilai koefisien determinasi persamaan regresi linier berkisar 3-5%, sedangkan di dataran rendah 1-17%, kecuali untuk model empiris Berdahl dan Martin (1984), Ångström (1918), dan Satterlund (1979) dengan nilai koefisien berturut-turut 0.9, 0.7, dan 0.6. Hal ini menunjukkan bahwa hampir semua model tidak bisa menerangkan 93-97% data yang dikumpulkan pada percobaan yang dilakukan di dataran tinggi. Demikian pula dengan di dataran rendah, data yang tidak terangkum dalam hampir semua model mencapai 83-99%. Dari persamaan yang digunakan sebagai dasar perhitungan diketahui bahwa hasil perhitungan emisivitas efektif langit malam berupa emisivitas langit efektif keseluruhan. Emisivitas ini mengandung kondisi langit secara keseluruhan baik langit dalam keadaan cerah maupun dalam keadaan tidak cerah. Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan Trisasiwi (2000) bahwa tidak ada model yang benar-benar sesuai untuk digunakan menduga suhu langit. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua model penduga emisivitas langit cerah tidak dapat digunakan untuk menduga emisivitas langit di dataran tinggi dan di dataran rendah. Pengamatan keadaan langit malam hari di dataran tinggi mendukung ketidakberhasilan model menduga nilai sesungguhnya. Langit malam di dataran tinggi lebih sering tertutup awan dengan ketinggian bervariasi. Dari 62 kali pengamatan hanya satu kali langit malam dalam kondisi cerah. Keadaan langit di dataran rendah selama percobaan lebih baik. Banyak diamati langit yang benar-benar cerah, tetapi tidak cukup banyak untuk dapat diterangkan oleh model. Oleh karena
81 itu model yang dikembangkan dari kondisi langit cerah tidak dapat digunakan untuk pendugaan emisivitas efektif langit malam di dataran tinggi dan di dataran rendah. Gambar 7 dan Gambar 8 menyajikan keberadaan awan dan radiasi langit di kedua lokasi. Tabel 21 Nilai koefisien regresi dan koefisien determinasi persamaan regresi antara hasil pendugaan model emisivitas langit cerah dengan emisivitas efektif langit di dataran tinggi dan di dataran rendah Model penduga εc = f(Tdp) Clark dan Allen (1978) Berdahl dan Fromberg (1982) Martin dan Berdahl (1984) Berdahl dan Martin (1984) εc = f(Ta) Swimbank (1963) Idso dan Jackson (1969) εc = f(Pv) Ångström (1918) Brunt (1932) Niemelä (2001) εc = f(Ta, Pv) Boldrin dan Sovrano (1974) Brutsaert (1975) Satterlund (1979) Idso (1981) Prata (1996)
Dataran tinggi a b R2
Dataran rendah a b R2
-0.45 0.29 0.41 0.45
1.65 0.75 0.62 0.57
0.4 0.4 0.4 0.3
-1.51 -0.22 0.09 0.17
2.87 1.30 0.95 0.86
0.10 0.10 0.10 0.90
0.13 0.09
1.00 1.05
0.5 0.5
1.32 1.28
-0.49 -0.44
0.10 0.10
-0.41 0.47 0.46
1.63 0.57 0.53
0.4 0.4 0.4
-4.42 0.21 0.33
6.45 0.83 0.63
0.70 0.10 0.10
0.33 0.39 -0.11 0.43 0.31
0.72 0.64 1.22 0.55 0.74
0.4 0.4 0.4 0.4 0.4
-0.23 -0.10 -0.67 0.02 -0.19
1.36 1.16 1.83 0.96 1.28
0.14 0.11 0.60 0.17 0.11
Gambar-gambar tersebut memperlihatkan bahwa kondisi langit malam di dataran tinggi lebih sering tertutup awan dengan ketinggian rendah dan sedang. Sedangkan kondisi langit malam hari di dataran rendah banyak diamati dalam keadaan cerah. Berdasarkan pada kajian pustaka yang dilakukan, ditemukan cara mengoreksi model penduga untuk memperoleh pendugaan emisivitas efektif keseluruhan yang bergantung pada keadaan langit (Khelifi et al. 1993; Lord 1999; Crawford
82 dan Duchon 1999; Pirazzini et al. 2000; Duarte et al. 2006). Dua parameter kondisi langit yang diperhitungkan yaitu: ketertutupan awan dan ketinggian awan di langit. Dalam penelitian ini ketertutupan atau sering disebut sebagai fraksi ketertutupan awan, n, tidak diamati dan pengamatan hanya dilakukan terhadap ketinggian awan, k. Pengaruh Awan Untuk menduga emisivitas efektif langit malam keseluruhan model untuk langit cerah dikoreksi dan diperoleh hubungan ε,all = εc(1 – εc)k. Dengan menggunakan hubungan ini performansi model menjadi lebih baik. Tabel 22 memuat hasil penetapan performansi beberapa model untuk emisivitas langit cerah. Bila dibandingkan dengan performansi model langit cerah tanpa koreksi dalam menduga data emisivitas efektif (Tabel 20) maka dapat dikatakan bahwa semua paremeter performansi model mengalami perubahan. Kisaran MSE adalah -0.01-0.03, RMSE 0.02-0.04 yang hampir sepersepuluh nilai hasil performansi model tanpa koreksi. Demikian pula dengan persentase kesalahan pendugaan model memiliki kisaran -0.42-0.11. Koefisien regresi a sangat dekat dengan nilai nol dan b juga sangat mendekati nilai satu. Hal lain yang menunjukkan performansi model menjadi sangat baik adalah koefisien determinasi yang berkisar 0.84-0.88. Dengan demikian model dapat menerangkan hampir semua data dan hanya 12-16% dari kumpulan data yang tidak dapat dijelaskan model. Jadi semua model langit cerah penduga emisivitas setelah dikoreksi dapat digunakan untuk menduga emisivitas efektif langit di dataran tinggi. Demikian pula dengan di dataran rendah, semua model dapat digunakan dan beberapa model memperlihatkan performansi pendugaan terbaik. Model Martin dan Berdahl (1984), Idso dan Jackson (1969) dan Boldrin dan Sovrano (1974) baik digunakan untuk menduga emisivitas efektif langit keseluruhan di dataran tinggi. Marafia et al. (1998) juga mendapatkan model Boldrin dan Sovrano (1974) menghasilkan pendugaan terbaik untuk langit cerah Bahrain. Model Idso dan Jackson (1969) setelah dikoreksi dapat diterapkan di daerah tropis, seperti dikemukan oleh Exell (2007). Untuk di dataran rendah, model-
83 model terbaik adalah model Clark dan Allen (1978), Brunt (1932), disamping Idso dan Jackson (1969) dan Boldrin dan Sovrano (1974). Pengaruh awan ditelaah lebih lanjut dengan membuat persamaan regresi antara ketinggian awan di langit dataran tinggi dengan emisivitas efektif keseluruhan. Hasil analisis menggunakan regresi linier tidak memperbaiki performansi model penduga untuk emisivitas efektf langit di dataran tinggi Tetapi dengan menggunakan pendekatan analisis regresi non-linier yaitu dengan persamaan polinomial pangkat dua, didapatkan hasil performansi model sebagaimana terangkum di dalam Tabel 23. Untuk daerah dataran rendah, koreksi emisivitas langit cerah dengan hubungan linier antara ketinggian awan dengan emisivitas sudah cukup baik untuk memperbaiki performansi model. Tabel 23 menunjukkan bahwa koefisien determinasi hubungan awan dengan emisivitas bernilai tinggi, mencapai 82-85% untuk dataran tinggi. Semua model penduga emisivitas efektif langit cerah, kecuali model Niemelä (2001) karena % kesalahan tinggi yaitu mencapai -3.1, sedangkan model-model yang lain di bawah 0.08. Di dataran rendah hubungan ini kebanyakan memiliki koefisien determinasi yang lebih rendah tetapi masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 47-70%. Demikian pula semua model dapat digunakan sebagai penduga. Selain model Prata (1996), model Niemelä (2001) menghasilkan pendugaan dengan % kesalahan lebih besar tetapi masih di bawah 0.5. Pendugaan Suhu Langit Pendugaan suhu langit dilakukan dengan menggunakan model penduga yang sudah dikoreksi dengan persamaan linier dan non-linier. Hasil pendugaan memperlihatkan bahwa emisivitas efektif langit keseluruhan hasil pendugaan model-model dapat menduga suhu langit dengan sangat baik di dataran tinggi. Secara keseluruhan, model-model menduga dengan sedikit lebih besar tetapi dengan % kesalahan dibawah 0.6. Model analitis Brutsaert (1975) menunjukkan performansi sangat baik dengan dengan % kesalahan terkecil, nilai a dan b masingmasing sama dengan nol dan satu. Culf dan Gash (1993) dan Duarte et al. (2006) juga melaporkan hasil yang sama bahwa model analitis Brutsaert (1975)
84 memberikan pendugaan terbaik untuk digunakan sebagai penduga di lokasi penelitian mereka. Menurut Trisasiwi (2000) model Idso dan Jackson (1969) yang sudah dikoreksi Exell paling sesuai digunakan sebagai penduga suhu langit di Candikuning, tempat di dataran tinggi yang juga digunakan dalam penelitian ini. Hasil yang dilaporkan Trisasiwi (2000) sesuai dengan hasil penelitian ini karena semua model penduga dapat digunakan untuk menduga suhu langit. Perbedaan tentang model penduga terbaik kemungkinan disebabkan oleh variasi musim dalam setahun dan tahun penelitian (Pirazzini et al. 2000). Tabel 22 Performansi model penduga emisivitas efektif langit dengan memasukkan pengaruh awan di kedua lokasi penelitian Model penduga εc = f(Tdp) Clark dan Allen (1978) Berdahl dan Fromberg (1982) Martin dan Berdahl (1984) Berdahl dan Martin (1984) εc = f(Ta) Swimbank (1963) Idso dan Jackson (1969) εc = f(Pv) Ångström (1918) Brunt (1932) Niemelä (2001) εc = f(Ta, Pv) Boldrin dan Sovrano (1974) Brutsaert (1975) Satterlund (1979) Idso (1981) Prata (1996)
Dataran tinggi a b R2
Dataran rendah a b R2
-0.17 -0.13 0.01 -0.03
1.17 1.13 0.99 1.03
0.87 0.87 0.87 0.86
0.09 -0.04 -0.15 0.01
0.90 1.02 1.13 0.97
0.87 0.87 0.86 0.86
0.08 0.06
0.92 0.94
0.88 0.88
0.17 0.14
0.82 0.85
0.86 0.86
-0.10 0.11 -0.21
1.09 0.89 1.21
0.87 0.87 0.85
0.18 0.15 -0.39
0.81 0.83 1.36
0.86 0.86 0.77
0.01 -0.08 -0.22 -0.42 -0.09
0.98 1.07 1.22 1.42 1.09
0.87 0.87 0.87 0.84 0.87
0.14 -0.02 -0.02 -0.48 0.01
0.84 1.00 1.01 1.45 0.98
0.87 0.86 0.87 0.79 0.87
Sebagaimana di dataran tinggi, semua model dapat digunakan untuk menduga suhu langit di dataran rendah. Tetapi semua model menghasilkan pendugaan lebih besar dengan % kesalahan di bawah 0.25. Koefisien determinasi regresi
85 linier lebih kecil dengan kisaran 0.7-0.76. Dari model-model yang diuji, model Ångström (1918) memperlihatkan performansi pendugaan terbaik karena menghasilkan pendugaan dengan RMSE terkecil, koefisien regresi a mendekati nol dan b mendekati satu. Lampiran 5 menyajikan nilai indikator performansi model-model penduga. Pada saat langit cerah radiasi langit rendah dan suhu langit sangat rendah tetapi saat langit tertutup awan berketinggian rendah suhu langit menjadi tinggi karena radiasi langit besar. Kecenderungan seperti ini secara konsisten terjadi baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Tabel 23 Performansi model penduga emisivitas efektif langit dengan pengaruh linier dan non-linier awan di kedua lokasi penelitian Model penduga
Dataran tinggia a b R2
Dataran rendahb a b R2
εc = f(Tdp) Clark dan Allen (1978) -0.02 1.02 0.83 -0.005 Berdahl dan Fromberg (1982) -0.02 1.02 0.85 0.009 Martin dan Berdahl (1984) -0.02 1.02 0.85 0.033 Berdahl dan Martin (1984) -0.02 1.02 0.85 0.022 εc = f(Ta) Swimbank (1963) -0.02 1.02 0.84 0.013 Idso dan Jackson (1969) -0.02 1.02 0.84 0.018 εc = f(Pv) Ångström (1918) -0.02 1.02 0.83 -0.003 Brunt (1932) -0.02 1.02 0.85 0.025 Niemelä (2001) -0.45 1.45 0.85 0.248 εc = f(Ta, Pv) Boldrin dan Sovrano (1974) -0.02 1.02 0.85 -0.005 Brutsaert (1975) -0.01 1.01 0.85 -0.003 Satterlund (1979) -0.02 1.02 0.84 -0.005 Idso (1981) 0.02 0.98 0.85 0.071 Prata (1996) -0.02 1.02 0.85 0.248 a Pengaruh awan dinyatakan sebagai fungsi polinomial pangkat dua, b Pengaruh awan sebagai fungsi linier.
1.01 0.99 0.96 0.98
0.71 0.71 0.70 0.71
0.99 0.98
0.69 0.68
1.00 0.97 0.73
0.70 0.71 0.59
1.01 1.00 1.01 0.92 0.73
0.70 0.70 0.71 0.69 0.59
86 Tabel 24 Performansi model penduga untuk menduga suhu langit di dataran tinggi dan di dataran rendah dengan menggunaan hasil pendugaan emisivitas efektif langit keseluruhan yang sudah dikoreksi Model penduga εc = f(Tdp) Clark dan Allen (1978) Berdahl dan Fromberg (1982) Martin dan Berdahl (1984) Berdahl dan Martin (1984) εc = f(Ta) Swimbank (1963) Idso dan Jackson (1969) εc = f(Pv) Ångström (1918) Brunt (1932) Niemelä (2001) εc = f(Ta, Pv) Boldrin dan Sovrano (1974) Brutsaert (1975) Satterlund (1979) Idso (1981) Prata (1996)
Dataran tinggi a b R2
Dataran rendah a b R2
-0.32 -0.07 -0.05 -0.07
1.04 1.01 1.00 1.01
0.88 0.90 0.90 0.90
0.75 1.85 2.91 2.73
0.95 0.89 0.82 0.84
0.75 0.75 0.73 0.74
-0.21 -0.24
1.02 1.03
0.89 0.89
2.57 2.83
0.85 0.83
0.71 0.70
0.07 1.12 0.05
0.99 0.85 0.99
0.91 0.87 0.91
0.31 3.28 4.10
0.98 0.80 0.75
0.75 0.73 0.72
-0.15 0.00 -0.23 0.38 -0.10
1.02 1.00 1.03 0.95 1.01
0.90 0.90 0.89 0.90 0.90
2.01 2.20 1.10 2.91 1.97
0.88 0.87 0.93 0.83 0.88
0.76 0.75 0.75 0.74 0.75
Model Penduga Suhu Langit Dengan memperhatikan persamaan matematika dari model-model penduga suhu langit, maka dapat disimpulkan bahwa suhu langit bergantung pada parameter-parameter meteorologi dekat permukaan. Parameter penduga suhu langit itu adalah suhu absolut lingkungan, suhu titik embun, tekanan uap air, dan perbandingan antara tekanan uap air dengan suhu absolut lingkungan. Diagram serak yang dibuat dari plot suhu langit dengan parameter-parameter meteorologi, secara umum memperlihatkan pola, seperti terlihat dalam Gambar 11 dan 12. Pola hubungan seperti ini tidak berbeda dengan pola hubungan radiasi langit dengan parameter-parameter meteorologi dekat permukaan. Berdasarkan pada hasil analisis regresi linier dan regresi linier berganda dapat disimpulkan bahwa semua
87 persamaan regresi yang dibuat tidak tepat digunakan sebagai model penduga suhu langit. Kesimpulan ini didukung oleh nilai koefisien determinasi semua regresi yang kecil. Hal ini terjadi untuk pendugaan suhu langit di dataran tinggi dan di
20
20
16
16
12
12
8
8
Ts ( C)
4
o
o
Ts ( C)
dataran rendah.
0 -4 280
4 0
282
284
286
288
290
292
-4 5
-8
10
-12 o
T dp ( C)
20
20
16
16
12
12
8
8 o
Ts ( C)
o
Ts ( C)
T a (K)
4 0 -4
20
-8
-12
8
15
10
12
14
-8
16
18
20
4 0 0.03 -4
0.04
0.05
0.06
0.07
-8
-12
-12
P v (hPa)
P v /T a (hPa/K)
Gambar 11 Diagram serak antara suhu langit dengan suhu absolut lingkungan, suhu titik embun, tekanan uap air dan perbandingan tekanan uap air dengan suhu absolut lingkungan di dataran tinggi. Kelihatannya, walaupun hubungan antara suhu langit dengan parameterparameter menunjukkan pola, tetapi pendugaan pola-pola itu dengan menggunakan regresi sederhana tidak mencukupi. Kemungkinan lain dari penyebab kegagalan membuat model penduga dengan performansi baik adalah keragaman data hasil penetapan suhu langit. Simpangan baku data suhu langit untuk penetapan hasil penelitian di dataran tinggi dan di dataran rendah masing-masing 5.29 dan
88 3.61oC. Kedua angka ini menunjukkan secara relatif data suhu langit hasil penetapan untuk dataran tinggi lebih menyebar daripada data suhu langit untuk dataran rendah. Kemungkinan lain yang menyebabkan persamaan regresi penduga suhu langit memiliki koefisien determinasi bernilai kecil adalah jumlah data suhu langit. Golaka dan Exell (2004) melakukan pengamatan selama dua tahun untuk dapat membuat model penduga radiasi langit di Thailand. Culf dan Gash (1993) melakukan dua musim pengamatan di Nigeria sebelum memodifikasi model ana-
28
24
24
20
20 Ts ( C)
28
16
o
16
o
Ts ( C)
litis Brutsaert (1975).
12
12
8
8
4
4
0 290
0 292
294
296
298
300
15
302
17
28
24
24
20
20
16
16
Ts ( C)
28
19 21 o T dp ( C)
23
25
o
o
Ts ( C)
T a (K)
12
12
8
8
4
4
0 18
20
22
24 P v (hPa)
26
28
30
0 0.06
0.07
0.08
0.09
0.10
P v /T a (hPa/K)
Gambar 12 Diagram serak antara suhu langit dengan suhu absolut lingkungan, suhu titik embun, tekanan uap air dan perbandingan tekanan uap air dengan suhu absolut lingkungan di dataran rendah.
89 Berikut ini adalah persamaan regresi antara suhu langit di dataran tinggi dengan parameter-parameter meteorologi dekat permukaan. Nilai koefisien determinasi dari masing-masing persamaan regresi sudah diurut dari nilai terkecil ke nilai terbesar. Untuk dataran tinggi pendugaan suhu langit dengan menggunakan suhu absolut lingkungan memberikan pendugaan dengan nilai koefisien determinasi terbesar. Ts = – 394 + 1.4Ta
R2 = 0.37
(226)
Ts = – 42.8 + 18.8ln(Pv)
R2 = 0.33
(227)
Ts = – 7.94 + 1.24Tdp Ts = – 30.4 + 9.88Pv
0.5
2
(228)
2
(229)
2
R = 0.32 R = 0.32
Ts = – 11.5 + 1.29Pv
R = 0.32
(230)
Ts = – 12.4 + 387(Pv/Ta)
R2 = 0.31
(231)
Ts = – 462 + 1.65Ta – 0.262Pv
R2 = 0.37
(232)
Ts = – 455 + 1.63Ta – 1.87Pv0.5
R2 = 0.37
(233)
Ts = – 457 + 1.63Ta – 731(Pv/Ta) Ts = – 454 – 0.216Tdp + 1.61Ta
2
(234)
2
(235)
2
R = 0.37 R = 0.37
Ts = – 446 + 1.61Ta – 3.1ln(Pv)
R = 0.37
(236)
Ts = 1.9 + 3.76Tdp – 805(Pv/Ta)
R2 = 0.33
(237)
Ts = – 268.285 – 8.005Tdp + 140.17ln(Pv)
R2 = 0.33
(238)
Ts = – 3.24 + 2.73Tdp – 1.58Pv
R2 = 0.33
(239)
Ts = 40 + 3.83Tdp – 20.9Pv0.5
R2 = 0.33
(240)
Ada satu hal yang kelihatannya tidak konsisten dengan hasil pembuatan persamaan regresi untuk suhu langit, yaitu suhu absolut lingkungan merupakan penduga yang kurang baik untuk pendugaan suhu langit di dataran reandah karena nilai koefisien detrminasinya hanya 0.12. Ts = – 7.31 + 291(Pv/Ta)
R2 = 0.39
(241)
Ts = – 6.28 + 0.94Pv
R2 = 0.39
(242)
Ts = – 28.3 + 9.1Pv0.5
R2 = 0.38
(243)
Ts = – 53.5 + 22ln(Pv)
R2 = 0.38
(244)
Ts = – 11.3 + 1.36Tdp Ts = – 210 + 0.762Ta
2
(245)
2
(246)
R = 0.38 R = 0.12
90 Ts = 6.48 – 4.27Tdp + 1186(Pv/Ta) Ts = 83.0 – 0.317Ta + 338(Pv/Ta)
R2 = 0.41
(247)
2
(248)
2
R = 0.40
Ts = 109 – 0.405Ta + 1.14Pv
R = 0.40
(249)
Ts = 87.0 – 0.423Ta + 11.2Pv0.5
R2 = 0.40
(250)
Ts = 17.7 – 6.25Tdp + 5.2Pv
R2 = 0.40
(251)
Ts = 60.0 – 0.438Ta + 27.2ln(Pv)
R2 = 0.40
(252)
Ts = 111 + 1.68Tdp - 0.433Ta
R2 = 0.40
(253)
Ts = – 158 – 10.6Tdp + 79.5Pv0.5
R2 = 0.40
(254)
Ts = – 39 + 0.48Tdp + 14ln(Pv)
2
R = 0.38
(255)
Kesimpulan
1. Hampir smua mdel empiris dan analitis penduga emisivitas langit cerah tidak dapat digunakan sebagai penduga karena nilai kisaran kofisien determinasi adalah 0.3-0.5 dan 0.1-0.17 masing-masing untuk dataran tinggi dan dataran rendah. Sebagai perkecualian adalah model empiris Berdahl dan Martin (1984), Ångström (1918), dan Satterlund (1979) dengan nilai koefisien determinasi berturut-turut 0.9, 0.7, dan 0.6 untuk dataran rendah. 2. Dengan menggunakan persamaan yang sudah dikoreksi dengan faktor awan εa,all = εa,c + (1 – εa,c)k, performansi seluruh model dalam menduga emisivitas efektif langit dengan sangat baik dengan nilai kisaran MSE -0.01-0.03, RMSE 0.02-0.04, dan % kesalahan pendugaan berkisar -0.42-0.11. Koefisien regresi a sangat dekat dengan nilai nol dan b juga sangat mendekati nilai satu. Koefisien determinasi persamaan regresi bernilai dalam kisaran 0.84-0.88. 3. Untuk dataran tinggi model empiris Martin dan Berdahl (1984), Idso dan Jackson (1969) dan Boldrin dan Sovrano (1974) paling baik untuk digunakan sebagai penduga suhu langit. Untuk dataran rendah, model-model terbaik adalah model Clark dan Allen (1978), Brunt (1932), Idso dan Jackson (1969) dan Boldrin dan Sovrano (1974). 4. Pengaruh awan yang dimasukkan ke dalam model-model empiris atau analitis sebagai pengoreksi, juga meningkatkan performansi model penduga. Pengaruh awan yang dinyatakan sebagai polinomial pangkat dua sesuai digunakan untuk
91 pendugaan suhu langit di dataran tinggi, sedangkan pengaruh linier awan dapat digunakan untuk pendugaan suhu langit di dataran rendah. Koefisien a berkisar antara -0.45-0.02, b 0.98-1.02 dan kofisien determinasi 0.83-0.85 untuk dataran tinggi, sedangkan kisaran nilai a, b dan koefisien determinasi untuk dataran rendah berturut-turut -0.005-0.248, 0.73-1.01, dan 0.59-0.71. 5. Model empiris dan analitis yang sudah dikoreksi dan memiliki performansi terbaik menghasilkan pendugaan suhu langit terbaik dengan kisaran nilai a, b dan koefisien determinasi -0.31-0.38, 0.85-1.04, 0.88-0.90 untuk dataran tinggi, sedangkan untuk dataran rendah nilai kisaran untuk a, b dan koefisien determinasi adalah 0.31-2.91, 0.82-0.98, 0.71-0.76. 6. Model penduga dengan menggunakan parameter-parameter meteorologi dekat permukaan tidak memiliki performansi yang baik dalam menduga suhu langit di dataran tinggi dan dataran rendah. Nilai kisaran koefisien determinasi untuk dataran tinggi adalah 0.31-0.37 dan untuk dataran rendah adalah 0.12-0.41.
4 INSTALASI PENYIMPANAN DINGIN DENGAN PENDINGINAN NOKTURNAL HIBRIDA DI CANDIKUNING BALI Pendahuluan
Sistem pendinginan noktunal hibrida adalah suatu sistem pendinginan yang memadukan pendinginan nokturnal dengan pendinginan jenis lain. Jenis pendinginan lain yang dipilih untuk dipadukan adalah mesin pendingin kompresi uap. Mesin pendingin kompresi uap dipilih karena kapasitas pendinginan mesin pendingin kompresi uap memenuhi kebutuhan untuk penyimpanan sayur-sayuran subtropis yang bersuhu lebih rendah. Instalasi penyimpanan dingin dengan pendinginan nokturnal hibrida yang dikembangkan berupa bangunan ruang penyimpanan dengan atap bangunan difungsikan sebagai kolam air dangkal. Instalasi dilengkapi dengan saluran udara, kipas sentrifugal, pompa air dan saluran air, tangki penyimpanan air, dan mesin pendingin kompresi uap. Pendinginan noktunal hibrida menggunakan alat-alat penukar panas dalam mendinginkan udara pendingin ruangan. Alat-alat penukar panas diletakkan di dalam rumah penukar panas dari saluran udara. Informasi tentang parameter termal alat-alat penukar panas produksi pabrik sangat jarang diperoleh. Oleh karena itu parameter termal alat penukar panas harus diukur dengan melakukan percobaan. Alat-alat penukar panas yang digunakan di instalasi penyimpanan dingin di Candikuning dibuat di bengkel-bengkel setempat, sehingga percobaan untuk menetapkan parameter termal alat penukar panas sangat diperlukan. Parameter alat penukar panas menentukan kemampuan sumber pendingin instalasi dalam menurunkan suhu udara pendingin ruangan. Parameter termal ini menentukan performansi sistem pendinginan nokturnal hibrida. Dalam penelitian ini parameter-parameter termal alat penukar panas pendinginan nokturnal yang digunakan ditetapkan dengan percobaan. Pendinginan udara yang menyebabkan udara kehilangan air karena mengembun di permukaan alat penukar panas, menghasilkan udara dingin dengan
93 kelembaban rendah. Bila udara dingin seperti ini mengenai permukaan sayur-sayuran maka akan menyebabkan sayur kehilangan air sehingga sayur-sayuran menjadi layu, kehilangan mutu, dan kehilangan nilai gizi. Untuk menghindari kerusakan ini udara dingin perlu dilembabkan, tetapi untuk mendapat udara dingin dengan kelembaban relatif di atas 80-85% tidak mudah tercapai tanpa tambahan sistem pelembab (Boyette et al. 1989). Bevan et al. (1997) menyebutkan beberapa sistem pelembaban udara seperti sistem pelembab semprot dengan menyemprotkan kabut air ke dalam aliran udara, pelembab lembaran dengan cara udara dihembuskan melewati lembaran yang jenuh dengan air, dan kabut beku dengan membekukan kabut air. Selanjutnya Bevan et al. (1997) mengatakan bahwa pelembab lembaran mungkin merupakan salah satu alternatif untuk melembabkan udara. Cara ini sederhana dan dapat dioperasikan secara kontinyu dan tanpa membasahi bahan yang disimpan. Untuk meningkatkan kelembaban relatif udara dingin, pada penelitian ini dibuat alat pelembab dengan prinsip dasar pelembab lembaran. Model matematika untuk alat pelembab diajukan, divalidasi dan performansi alat ditentukan dengan percobaan. Karena atap instalasi dimanfaatkan sebagai kolam air dangkal untuk mendinginkan air dengan pendinginan nokturnal, maka instalasi penyimpanan dingin dibangun di tempat terbuka dan tidak ada penghalang antara permukaan air dengan langit malam. Atap datar bangunan berukuran lebih luas dari luas penampang ruang penyimpanan sehingga berfungsi pula sebagai peneduh keempat dinding bangunan dari sinar surya sepanjang siang hari. Tetapi sebagian dinding bangunan tetap terkena sinar surya langsung. Sinar surya memanaskan bangunan dan menambah beban pendinginan di dalam ruangan penyimpanan yang terukur dengan peningkatan suhu ruangan penyimpanan. Beban panas surya ini perlu dihitung atau diduga dalam menentukan besar beban pendinginan instalasi. Disamping itu, model matematika suhu ruangan penyimpanan yang mencakup beban panas surya perlu dibuat dan divalidasi untuk mengkaji pengaruh beban panas surya. Beban panas surya berkaitan dengan radiasi surya dan luas permukaan dinding bangunan yang terkena sinar surya. Radiasi surya dapat diukur secara langsung dan juga dapat diduga bila alat ukur tidak ada. Untuk menduga radiasi surya
94 sudah banyak model penduga diajukan, begitu pula untuk menghitung atau menduga luas dinding yang terkena sinar surya. Kajian performansi model penduga radiasi surya dilakukan dengan tujuan menduga beban panas surya pada instalasi penyimpanan dingin. Saluran udara merupakan satu-satunya alat yang berperan mengangkut udara ke dalam dan keluar ruangan penyimpanan. Fungsi utama saluran udara lainnya adalah untuk meratakan penyebaran udara di dalam ruangan. Indikator penyebaran udara dingin sudah merata adalah kecepatan angin dingin yang besarnya tidak banyak berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya di dalam ruangan. Udara dingin yang menyebar merata akan menyebabkan suhu dan kelembaban relatif udara ruangan juga merata, sehingga seluruh sayur-sayuran yang disimpan terkena kondisi penyimpanan yang relatif sama. Keseragaman suhu dan kelembaban relatif udara yang rendah di dalam ruangan penyimpanan merupakan salah satu petunjuk bahwa tujuan penggunaan saluran udara tercapai. Disamping mengukur suhu dan kelembaban relatif udara penyimpanan, diajukan model matematika untuk simulasi penyimpanan dingin dengan pendinginan nokturnal hibrida. Model matematika divalidasi dengan data hasil percobaanpercobaan penyimpanan sayur-sayuran. Penentuan Nilai Parameter Termal Alat Penukar Panas Parameter Termal Alat Penukar Panas. Koefisien pindah panas keseluruhan (U) menggambarkan kemampuan alat menukarkan panas untuk setiap luasan permukaan tertentu alat dan untuk setiap derajat perubahan suhu fluida. NTU adalah satuan tidak berdimensi yang memperlihatkan kemampuan alat penukar panas melalukan panas bila laju aliran massa fluida yang memasuki alat diubahubah, sedangkan keefektivan () dari alat penukar panas menggambarkan jumlah panas yang mampu dipertukarkan dari permukaan pindah panas alat. Penetapan nilai koefisien ini didasarkan pada metode log mean temperature difference (LMTD) (Welty 1974; Chapman 1974; Toledo 1981; Bacon 1989; Holman 1997). Jumlah panas yang diserap oleh air dingin yang dialirkan ke dalam alat penukar panas adalah:
95
Qw m wc pw Two Twi
(256)
dan jumlah panas yang dilepas udara yang dihembuskan melewati permukaan pindah panas alat penukar panas adalah: Qa m a c pa Ta,in Ta ,out
(257)
Bacon (1989) mensyaratkan adanya keseimbangan energi dalam menggunakan metode LMTD, sehingga (258)
Q Qw Qa
dan untuk menghitung nilai koefisien pindah panas keseluruhan digunakan persamaan berikut:
U Q Ahx TLMTD
(259)
dianggap terjadi aliran paralel, sehingga ΔTLMTD dapat dihitung dengan: TLMTD
T T T Ln T T T a , in
wi
a , in
Two a , out Two
a , out
wi
(260)
NTU dihitung dengan menggunakan persamaan Chapman (1974) dan Bajan et al. (1996), sebagai berikut: NTU UAhx m c p s
(261)
dan nilai keefektivan () dalam menukarkan panas dihitung dengan menggunakan persamaan berikut untuk aliran silang (Holman, 1997)
exp NCn 1 1 exp Cn
(262)
dengan n = N-0.22 dan N = NTU serta C = (mcp)s/(mcp)l. Chapman (1974) dan Lunde (1980) menghitung nilai dengan persamaan berbeda untuk aliran fluida secara silang. Pendugaan Nilai U Alat Penukar Panas. Aliran air di dalam pipa-pipa alat penukar panas diduga akan bersifat laminar sehingga pendugaan nilai koefisien pindah panas konveksi (hi) di dalam pipa menggunakan persamaan yang disarankan oleh Bird et al. (1960) sebagai berikut: hi d i 1/ 3 Nu 1.62Re b Prb d / L kb
(263)
96 Persamaan ini berlaku dengan asumsi bahwa sifat-sifat fluida tidak berubah. Aliran udara yang melewati permukaan pindah panas alat penukar panas kemungkinan akan berupa aliran turbulen, sehingga digunakan persamaan berikut (Chapman 1974; Heldman dan Singh, 1981; Holman 1997) yang dalam bentuk umum berupa hubungan Nu C Re nf Pr 1f / 3
(264)
Bilangan Nu ini dihitung pada suhu film (Tf) dan konstanta C dan n ditentukan oleh nilai bilangan Re aliran udara. Bila nilai Nu sudah dapat ditetapkan maka nilai penduga dari koefisien pindah panas konveksi di permukaan dinding luar pipa dapat diduga dengan menggunakan persamaan ho
Nuk f do
dengan T f Twl T fl 2
(265)
Nilai pendugaan untuk koefisien pindah panas keseluruhan dari alat penukar panas (U) adalah
1 1 ln ro ri 1 UA hi Ai 2Lk ho Ao
(266)
Pendugaan Suhu Udara yang Keluar dari Alat Penukar Panas. Gambar 13 merupakan contoh alat penukar panas tipe pelat yang disederhanakan dengan aliran silang (Chapman 1974). Chapman (1974) menjelaskan bahwa dalam gambar diperlihatkan pelat pemisah atau dinding pemisah yang berfungsi pula sebagai sirip. Walaupun prinsip dari alat penukar panas dengan aliran silang adalah sederhana, analisis dari penukar panas tipe ini rumit karena suhu fluida dapat bervariasi pada arah aliran dan arah tegak lurus dengan aliran bila percampuran fluida tidak terjadi di dalam arah tegak lurus. Contoh dalam Gambar 13 adalah alat penukar panas dengan aliran fluida yang tidak tercampur. Holman (1997) mempertegas lagi definisi fluida tercampur dan tidak tercampur disepanjang alirannya. Bila fluida tidak tercampur maka akan terjadi gradien suhu antara arah aliran dengan arah tegak lurus dengan aliran fluida, sedangkan bila fluida tercampur maka ada kecenderungan suhu fluida akan sama antara arah aliran dengan arah tegak lurus terhadap aliran fluida karena tercampur. Lebih
97 lanjut dikatakan bahwa pada alat penukar panas dengan sirip dengan aliran fluida silang tidak terjadi percampuran fluida.
Sebaran suhu Fluida dingin keluar
Fluida panas masuk Fluida dingin masuk Fluida panas keluar
Gambar 13 Aliran silang pada alat penukar panas (Chapman 1974).
Dengan menganggap bahwa terjadi percampuran fluida di dalam alat penukar panas yang dibuat maka perhitungan keseimbangan panas di dalam kedua fluida dapat disederhanakan dengan menggunakan model penukar panas “shell and tube”. Udara panas mengalir diluar pipa sedangkan di dalam pipa mengalir air dingin. Model matematika untuk menduga suhu udara di sepanjang luar dinding pipa dan suhu air dalam pipa dari alat penukar panas dikembangkan dari persamaan Bird et al. (1960) dengan persamaan:
m c
p s
dTc dT dQ m c p l h dz dz dz
(267)
Pertukaran panas melalui dinding dinyatakan sebagai pernyataan dalam bentuk umum dengan persamaan berikut: dQ Ud dz Th Tc
(268)
dQ disubstitusikan kedalam persamaan (268) dan diatur kembali maka diperoleh model matematika sebagai penduga suhu udara dan air yang keluar dari alat penukar panas seperti dinyatakan dalam persamaan berikut ini:
dTh,( dz )
Ud i Th Tc m c p l dz
(269)
98
dTc ,( dz )
Ud o Th Tc m c p s dz
(270)
Pelembaban Udara Boon Long (1978) menggunakan menara pendingin untuk mendinginkan udara di dalam ruang penyimpanan. Pendinginan udara ini dilakukan dengan melalukan air dengan udara dalam suatu aliran berlawanan (counter-flow). Disamping terjadi pendinginan, pada saat yang bersamaan terjadi pelembaban udara. Oleh karena itu, dengan cara seperti ini diperoleh udara dingin lembab yang baik digunakan untuk penyimpanan dingin produk pertanian segar, terutama sayursayuran dan buah-buahan. Dasar Model Matematika Pelembaban Udara. Model matematika untuk menara pendingin dapat dijadikan dasar dalam penyusunan model matematika untuk alat pelembab udara. Kamaruddin et al. (2001), mengajukan model matematika untuk sistem menara pendingin sebagai berikut: Keseimbangan panas dalam air sebagai berikut: h fg Tw T 2 Tw mv h A Tw Ta vwx w 2 t x x w c pw Asec x w c pw Asec x
(271)
Air menjadi dingin karena terjadi pendinginan secara konveksi dan evaporasi. Penguapan sejumlah air membutuhkan panas dan panas itu diambil dari panas air. Keseimbangan panas dari udara yang memasuki menara adalah:
h fg Ta T 2Ta mv h A Ta Tw vax a 2 t x x a c pa Asec x a c pa Asec x
(272)
Persamaan ini menggambarkan bahwa udara menjadi lebih panas setelah keluar dari menara pendingin karena ada pemanasan konveksi dan penyerapan uap air. Keseimbangan massa uap air dalam udara adalah:
H a H a k m A H a H w vax t x uk Asec x
(273)
99 Model matematika kesetimbangan panas dan massa menara pendingin ini digunakan oleh Gunadnya et al. (2007a) untuk melakukan optimisasi penyimpanan dingin dengan sistem pendinginan nokturnal. Wibisono (2002) melakukan pengukuran terhadap koefisien pindah massa (km) untuk menghitung koefisien performansi menara pendingin yang diisi dengan busa dan batu apung dengan beberapa lapisan. Dilaporkan pada kondisi menara pendinginan dibebani dengan panas, diperoleh nilai koefisien pindah massa dengan kisaran 0.008-0.047 kg/s.m2.Y’. Dengan pendekatan teoritis diperoleh nilai koefisien pindah massa sebesar 0.015 kg/s.m2.Y’. Efisiensi pelembaban merupakan salah satu kriteria performansi dari pelembaban. Menurut Chafik (2002) efisiensi alat pelembab dapat dihitung dengan persamaan: x x1 s 100 2 x s x1
(274)
Hasil penelitiannya mengungkap bahwa sistem yang dibangun memiliki efisiensi penjenuhan 95%. Menurut Dzivama et al. (1999) efisiensi penjenuhan dari suatu alat pelembab udara bergantung pada aliran air, ketebalan lembaran dan kecepatan udara. Dilaporkan bahwa pengoperasian alat pelembab dengan efisiensi penjenuhan terbaik diperoleh pada laju aliran air 90 ml/s, ketebalan lembaran 0.06 m dan kecepatan angin 2.7 m/s. Efisiensi penjenuhan dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
s
Tdbi Tdbo x 100 Tdbo Twbi
(275)
Pada kondisi operasi terbaik ini bila kondisi udara yang masuk bersuhu udara masuk 38oC dengan RH 11% diperoleh nilai efisiensi penjenuhan dari alat yang mereka buat sebesar 86.8%. CEN (2003) menghitung efisiensi pelembaban udara dengan menggunakan persamaan berikut: t t s 1 2 t1 t 3
(276)
100 Bila dinyatakan dalam persen maka persamaan (276) dikalikan dengan 100. Persamaan ini sama dengan persamaan (275) tetapi perbedaannya adalah suhu bola basah (t3) untuk persamaan (276) tidak dijelaskan untuk udara yang masuk atau keluar alat pelembab. Beban Panas Surya Radiasi Surya. Pengaruh atmosfir dalam menghamburkan dan menyerap radiasi surya bervariasi bergantung pada waktu, kondisi atmosfir dan perubahan massa udara. Langit cerah perlu didefinisikan sebagai sesuatu definisi standar, dan dihitung radiasi per jam dan harian yang akan diterima pada permukaan horisontal pada kondisi standar (Duffie dan Beckman 1980). Hottel (1976) diacu dalam Duffie dan Beckman (1980), memberikan metode yang baik untuk menduga radiasi yang ditranmisikan melalui langit cerah yang mempertimbangkan sudut zenith dan ketinggian untuk suatu atmosfir standar dan untuk empat jenis iklim. Transmitan atmosfir untuk radiasi langsung, b, adalah,
b a 0 a1e k / cosz
(277)
Konstanta a0, a1 dan k untuk standar atmosfir dengan 23 km jarak pandang ditemukan dalam bentuk a0*, a1* dan k*. Untuk ketinggian kurang dari 2.5 km dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini: a 0* 0.4237 0.008216 A
2
(278)
a1* 0.5055 0.005956.5 A
2
a 0* 0.2711 0.018582.5 A
2
(279) (280)
A adalah ketinggian pengamatan dalam kilometer. Faktor koreksi digunakan untuk memungkinkan mengubah nilai a 0*, a 1* dan k* sesuai dengan jenis iklim. Faktor koreksi r0 a0/a0*, r1 a 1/a1* dan rk k/k* diberikan di dalam suatu tabel. Jadi transmitan dari atmosfir standar untuk radiasi dapat ditentukan pada setiap sudut zenit dan ketinggian sampai 2.5 km. Radiasi normal surya untuk langit cerah adalah:
Gcnb Gon b Gon diperoleh dari persamaan berikut:
(281
101
360n Gon Gsc 1 0.033 cos 365
(282)
Gon adalah radiasi diluar atmosfir bumi (ekstraterestrial) yang diukur pada bidang normal dengan radiasi pada hari ke-n dalam satu tahun. Gsc adalah konstanta matahari (1353 W/m2, 428 Btu/ft2-jam, 4.871 MJ/m2-jam). Radiasi horisontal surya untuk langit cerah adalah: Gcb Gon b cos z
(283)
Liu dan Jordan (1960) mengembangkan hubungan empiris antara koefisien transmisi untuk radiasi langsung surya dan baur untuk hari cerah (Duffie dan Beckman 1980):
d 0.2710 0.2939 b
(284)
Radiasi baur adalah
Gcd Gon d cos z
(285)
dan radiasi global untuk langit cerah Gc Gcb Gcd
(286)
Sebagaimana sudah kemukakan di atas bahwa intensitas radiasi surya yang mencapai permukaan bumi dipengaruhi oleh keadaan atmosfir bumi. Lunde (1980) dalam menghitung radiasi normal surya, disamping memasukkan pengaruh atmosfir juga menggunakan tekanan relatif udara yang merupakan fungsi dari ketinggian tempat. Lunde (1980) menyarankan menggunakan persaman berikut: P B I DN A exp P cos z 0
P
exp 0.0001184z
(287)
(288)
P0 Untuk radiasi surya global dihitung dengan persamaan: I g I DN sin CI DN
(289)
ASHRAE (1985) mengajukan model untuk menduga radiasi normal surya yang tidak memperhatikan pengaruh ketinggian tempat. Menurut ASHRAE (1985) radiasi normal surya diduga dengan persamaan:
102
I DN
A expB sin
(290)
Definisi koefisien A dan B dari persamaan (10) dan (13) adalah sama. Demikian pula dengan koefisien C untuk persamaan (12), tetapi nilai dari ketiga koefisien yang digunakan oleh Lunde (1980) dengan ASHRAE (1985) berbeda. Menurut Nijegorodov (1996) koefisien empiris A, B, dan C dari model ASHRAE diperoleh dari data percobaan di Amerika Serikat. Model ini dapat pula diterapkan di belahan bumi utara dengan kondisi meteorologi mirip dengan di Amerika Serikat. Untuk dapat digunakan di daerah diluar belahan bumi utara maka ketiga koefisien empiris harus ditentukan. Koefisien empiris A, B, dan C dari model ASHRAE ditentukan untuk radiasi surya langit cerah di Botswana. Lokasi pengambilan data di Gaborone pada lintang utara 24.4o dan dengan ketinggian 1000 m. Disimpulkan bahwa model ASHRAE dengan koefisien empiris untuk Botswana bisa digunakan di Namibia dan Zimbabwe dengan perbedaan antara hasil pendugaan dengan pengukuran tidak melebihi 3-5%. Kesimpulan ini didasarkan pada letak lintang dan kondisi meteorologi dari ketiga negara yang tidak banyak berbeda (Nijegorodov 1996). Penyimpangan hasil pendugaan intensitas radiasi surya dengan menggunakan model ASHRAE dilaporkan untuk penggunaan di Thailand. Amarananwatana dan Sorapipatana (2004) berupaya meningkatkan ketepatan model ASHRAE untuk digunakan sebagai penduga intensitas radiasi surya di empat tempat di Thailand, yaitu di Chiang Mai, Ubon Ratchatani, Nakom Pathom untuk daerahdaerah bagian utara Thailand, dan di Songkhla untuk daerah selatan. Keempat daerah tersebut berada dalam kisaran 7-20o Lintang Utara. Amarananwatana dan Sorapipatana (2004) melakukan perbaikan performansi model dengan memperbaiki koefisien empiris model. Dilaporkan sebelum koefisien empiris model ASHRAE diperbaiki, RMSE untuk pendugaan intensitas radiasi normal surya di daerah-daerah bagian utara Thailand adalah 37.485% dengan MBE 34.092%. Setelah diperbaiki, RMSE pendugaan menjadi 13.592%, dengan MBE -2.816%.
103 Untuk bidang memiliki sudut kemiringan dengan bidang datar (horisontal), maka menurut Lunde (1980), radiasi baur, yang dinyatakan sebagai radiasi normal (IDN), yang mengenai bidang miring adalah:
1 cos 1 cos I d I DN C C sin 2 2
(291)
Luas Dinding Terkena Sinar Surya. Luas dinding bangunan yang terkena sinar merupakan selisih antara luas dinding bangunan keseluruhan dengan bayangan yang terbentuk pada permukaan dinding karena adanya peneduh. Duffie dan Beckman (1980; 2006) mengulas tentang bayangan yang terbentuk dalam rangka menentukan jarak antara kolektor surya yang disusun berderet untuk menghindari timbulnya bayangan pada deretan kolektor surya tersebut. Stoecker dan Jones (1982) menghitung koordinat bayangan ke arah sumbu x dan y yang terjadi dari naungan dengan kedalaman d dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:
x d tan w yd
tan
(292) (293)
cos w sedangkan w adalah sudut azimut dinding yang besarnya ditentukan oleh nilai sudut azimut surya dan arah dinding terhadap selatan.
w s
(294)
Chirarattananon (2004) menjelaskan dengan rinci hubungan geometri posisi surya dan peneduh pada bangunan dengan menggunakan vektor. Untuk menghitung koordinat bayangan pada permukaan suatu dinding bangunan dibutuhkan beberapa parameter. Dari geometri posisi surya dibutuhkan parameter diantaranya sudut deklinasi, sudut ketinggian (αs), dan sudut azimut surya (γs). Parameter-parameter yang dibutuhkan dari bangunan adalah sudut posisi bangunan terhadap Selatan (γp), lintang dan bujur posisi bangunan, selain geometri peneduh seperti tinggi (h) dan kemiringan (β) terhadap permukaan horisontal. Disamping itu, diperlukan pula informasi tentang waktu dan hari dalam setahun dalam menduga luas permukaan yang terkena sinar surya. Dari informasi ini kemudian dibuat
104 vektor-vektor yaitu vektor surya (Vsx), vektor tegak lurus bidang datar (Vnx) dan koordinat titik peneduh (Xp). sin s Vs cos s sin s cos s cos s
(295)
cos V sin sin p sin cos p
(296)
x
x n
cos V sxV nx
(297)
Hubungan antara koordinat titik peneduh dengan koordinat surya (Xs) adalah X s X p V sx
(298)
dan lambda (λ) adalah
h cos
(299)
sehingga: Xs X p
hVsx
(300)
cos
Koordinat surya merupakan titik koordinat bayangan pada dinding. Suhu Ruangan Penyimpanan. ASHRAE (1985) menjelaskan bahwa sinar surya yang mengenai permukaan luar suatu bangunan akan memanaskan permukaan tersebut dan terjadi aliran panas: q A I t
(301)
Panas pada permukaan luar bangunan menjalar ke dalam ruangan dan menjadi panas yang diperoleh ruangan dan dijelaskan bahwa panas yang diperoleh ruangan menjalar dalam banyak bentuk, diantaranya berupa konduksi panas melalui tembok dan atap bangunan. Panas yang diperoleh ruangan akan menyebabkan suhu ruangan meningkat dan akan meningkatkan beban pendinginan ruangan. Menurut Bird et al. (1960), perambatan panas secara konduksi melalui beberapa lapisan bahan dengan ketebalan dan nilai konduktivitas yang berbeda-beda menghasilkan tahanan panas secara konduksi yang dinyatakan sebagai berikut:
105
1 n xi K i1 k i
1
(302)
Kamaruddin et al. (1998) sudah memperhatikan sinar surya yang mengenai permukaan tembok bangunan instalasi sebagai beban panas yang harus diperhitungkan. Sumbangan sinar surya terhadap beban pendinginan ditentukan oleh fraksi permukaan tembok yang terkena sinar langsung dan radiasi surya. Pendinginan Nokturnal Hibrida Pendinginan nokturnal memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam penyimpanan dingin produk hasil pertanian segar (Kamaruddin 1997). Kamaruddin et al. (1998) sudah melakukan simulasi untuk mengetahui pengaruh tinggi air di dalam kolam atap. Dilaporkan untuk air yang terus-menerus tergenang sepanjang malam di dalam kolam, pada kondisi tinggi air 0.05 m dengan suhu air 20 oC dan suhu lingkungan 9 oC dan menggunakan luas kolam 9 m2, setelah 4.4 jam suhu air di dalam kolam mencapai 17.5oC. Sedangkan bila ketinggian air di dalam kolam dikurangi menjadi 0.02 m, suhu air mencapai 15oC setelah didiamkan selama waktu yang sama. Menurut Kamaruddin et al. (1998) selama pendinginan nokturnal air mengalami sejumlah kehilangan panas dan kehilangan panas air diatur dengan persamaan:
Ql Awp Tw4 Ts4
(303)
Model Matematika Pendinginan Nokturnal Hibrida. Dengan menggunakan sistem yang dibangun pada instalasi penyimpanan dingin, dapat dibuat model matematika kesetimbangan panas untuk keseluruhan sistem penyimpanan. Persamaan di bawah ini memperlihatkan model matematika yang dimaksud dengan mengabaikan kondensasi yang terjadi ke dalam kolam air. mwp c pw
dTw hwa Awp Ta Tw Awp Tw4 Ts4 m wi c pw Twi Tw dt
(304)
106 Perubahan air dingin di dalam alat penukar panas, suhu bahan segar yang disimpan dan suhu ruang penyimpanan dimodelkan dalam bentuk persamaan-persamaan berikut ini. mcw c pw
m p c pp ma c pa
dTwhx m wi c pw Twhx Tw hhxa Ahx Tr Twhx dt
dTp dt
2rp2 h p N Tp Tr
dTr U r Ar Ta Tr 2rp2 h p N T p Tr hhxa Ahx Tr Twhx dt
(305)
(306)
(307)
dengan nilai h wa adalah koefisien pindah panas konveksi yang bergantung pada kecepatan angin, yaitu hwa = 6.5va. Bila menggunakan tangki penyimpanan air dingin untuk menambah kehilangan air selama proses maka kesetimbangan panas air di dalam tangki adalah: mwt c pw
dTwt m wi c pw Twt Tw U t At Ta Twt dt
(308)
Trisasiwi (2000) menggunakan model-model matematika kesetimbangan panas tersebut di atas dalam melaksanakan penelitiannya. Dalam menetapkan nilai koefisien pindah panas konveksi, h wa, Trisasiwi (2000) menggunakan pendekatan konveksi bebas. Gunadnya et al. (2007a) juga menggunakan model matematika kesetimbangan panas yang dikembangkan oleh Kamaruddin et al. (1998) di atas, untuk melakukan optimisasi sistem penyimpanan dingin dengan pendinginan nokturnal. Gunadnya et al. (2007b) menjadikan model matematika yang dikembangkan Kamaruddin et al. (1998) untuk menyusun model matematika kesetimbangan panas pada penyimpanan dingin dengan sistem pendinginan nokturnal hibrida. Dilakukan penambahan suku kapasitas pendinginan mesin pendingin kompresi uap (Qref) sebagai salah satu pembenam panas (heat sink) pendinginan di dalam ruang instalasi penyimpanan. Dengan demikian, model matematika kesetimbangan panas di dalam ruangan penyimpanan menjadi: ma c pa
dTr U r Ar Ta Tr 2rp2 h p N T p Tr hhxa Ahx Tr Twhx Qref dt
(309)
107 Tujuan Penelitian
Penelitian ini terdiri atas beberapa percobaan yang dimaksudkan untuk: 1. Menetapkan parameter-parameter termal alat penukar panas pendinginan nokturnal, 2. Melakukan validasi model matematika alat pelembab dan mengkaji performansi alat pelembab udara dingin, 3. Menelaah performansi model penduga radiasi surya untuk digunakan menduga beban panas surya pada bangunan instalasi penyimpanan dingin, 4. Melakukan validasi model matematika suhu ruangan penyimpanan dengan memperhatikan pengaruh beban panas surya, dan 5. Menelaah performansi saluran udara di dalam instalasi penyimpanan dingin dengan pendinginan nokturnal hibrida. 6. Mengkaji performansi model matematika sistem pendinginan nokturnal hibrida.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan dalam empat tahap yaitu tahap pembuatan alat, tahap pemasangan alat dan tahap percobaan pendahuluan dan tahap terakhir berupa percobaan-percobaan untuk pengambilan data. Pembuatan saluran udara, alat-alat penukar panas, dan alat pelembab dikerjakan di Denpasar mulai tanggal 20 Agustus 2006 sampai dengan 2 Pebruari 2007. Pemasangan, perbaikan dan percobaan pendahuluan yang berupa persiapan alat untuk siap digunakan dilakukan di instalasi penyimpanan dingin di Unit Sayur Mayur, Perusahaan Daerah Provinsi Bali di Desa Candikuning, Bali. Percobaan-percobaan untuk pengambilan data dilaksanakan mulai tanggal 25 Mei 2007 sampai dengan 18 Juli 2007 di tempat yang sama.
108 Bahan dan Alat Saluran Udara. Saluran udara membutuhkan pelat besi untuk menghubungkan antar sambungan saluran dan untuk rumah alat-alat penukar panas. Untuk badan saluran digunakan pelat seng. Saluran udara berbentuk persegi dengan ukuran sisi 0.25 m dan berbentuk persegi panjang dengan panjang dan lebar 035 x 0.25 m. Rumah penukar panas berbentuk persegi dengan panjang sisi 0.52 m. Rumah kipas, rumah penukar panas, dan tempat alat pelembab diisolasi dengan menggunakan poliuretan 0.05 m dan dilapisi dengan kertas aluminium foil. Saluran pengeluaran udara di dalam ruang penyimpanan dibuat tiga buah berukuran 0.2 x 0.2 m yang dibuat dibagian bawah saluran, dengan dua pengatur laju aliran (damper) dan di setiap lubang dilengkapi dengan alat penyebar udara (diffuser). Saluran udara di dalam ruang penyimpanan dipasang pada langit-langit ruangan. Lampiran 12 memperlihatkan benda nyata dari diffuser. Alat Penukar Panas.
Alat penukar panas dibuat sebanyak tiga buah
dengan rincian sebagai berikut: satu buah alat penukar panas untuk pendinginan nokturnal (precooler) dan dua lainnya berfungsi sebagai evaporator mesin pendingin kompresi uap. Ketiga alat yang dibuat membutuhkan bahan-bahan utama berupa pelat besi untuk rangka dan pipa tembaga 3/8 inci. Alat penukar panas pendinginan nokturnal memerlukan pelat tembaga untuk badan alat, sedangkan evaporator membutuhkan belokan pipa tembaga. Ketiga alat menggunakan sirip dari pelat aluminium. Di dalam Lampiran 12 dimuat alat penukar panas yang dibuat. Alat Pelembab Udara Dingin. Alat pelembab dibuat dari rangka kawat besi dan ditutup dengan kain sebagai media pertukaran massa air dan panas. Untuk menyebarkan air ke kain digunakan pipa tembaga 5/8 inci yang dilubangi dengan diameter lubang kecil. Selang plastik dan keran dibutuhkan untuk mengalirkan air secara gravitasi ke alat pelembab. Gambar 14 menyajikan alat pelembab udara yang dipasang di dalam saluran udara.
109 Alat yang digunakan untuk pembuatan saluran udara dan alat penukar panas adalah alat-alat perbengkelan. Alat-alat instalasi penyimpanan yang digunakan dalam percobaan-percobaan adalah mesin pendingin kompresi uap, pompa air dan kipas sentrifugal. Pengukuran-pengukuran menggunakan termometer digital, alat pengukur suhu termokopel cold dan hot junction, alat pengukur kecepatan angin dengan prinsip kerja hot wire, timbangan digital 5 kg, alat pendeteksi kebocoran freon, dan piranometer CM3 Kipp & Zonnen BV dengan integrator.
1 2
Gambar 14 Alat pelembab udara. (1) saluran udara, dan (2) media pindah massa dan panas. Alat-alat pengukuran seperti alat pengukur suhu termokopel dan alat pengukur kecepatan angin dikalibrasi menggunakan alat-alat standar. Cara kalibrasi alat-alat yang digunakan sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Instalasi Penyimpanan Dingin dengan Pendinginan Nokturnal Hibrida. Sudah diuraikan di atas bahwa instalasi penyimpanan dingin dengan pendinginan nokturnal hibrida terdiri atas beberapa komponen. Ruangan penyimpanan berukuran 3 x 4 x 2.5 m dengan atap berbentuk kolam air dangkal berukuran 4 x 5 x 0.1 m. Tangki penyimpanan air dengan volume 450 l sebanyak satu buah, satu buah pompa air 125 W, satu buah kipas sentrifugal 746 W dan satu unit mesin pendingin kompresi uap 1 kW. Saluran air dibuat dari pipa PVC dengan diameter 1 inci. Saluran udara dibuat dari seng berbenduk persegi dengan penampang
110 saluran berukuran 0.25 x 0.35 m pada saluran ke dalam ruangan, 0.25 x 0.25 m untuk saluran ke luar ruangan, dan rumah penukar panas berpenampang 0.52 x 0.52 m. Menara pendingin tidak digunakan dalam penelitian ini. Komponen-komponen penyusun saluran udara sistem pendinginan nokturnal hibrida adalah: tangki penyimpan air dingin, rumah penukar panas dan rumah kipas, ruang penyimpanan dan produk segar yang disimpan. Komponen lainnya yang juga penting adalah saluran air, saluran-saluran udara lurus, belokan, dan saluran penyesuai ukuran, pompa air dan kipas sentrifugal. Dinding sisi bagian dalam ruangan instalasi dilapisi dengan isolator berupa stirofoam 0.01 m dan aluminium foil 0.002 m, sedangkan langit-langit ruangan instalasi dilapisi dengan stirofoam 0.02 m dan aluminium foil dengan ketebalan yang sama. Lantai ruangan penyimpanan tidak dilapisi isolator. Rumah penukar panas dan rumah kipas dari saluran udara dilapisi dengan poliuretan (busa) 0.05 m dan aluminium foil 0.002 m. Alat penukar panas (HX1) digunakan sebagai media pertukaran panas antara air dingin hasil pendinginan nokturnal dengan udara pendingin. Fungsi alat penukar panas pendinginan nokturnal adalah sebagai pendingin pendahuluan udara pendingin ruangan (precooler). Demikian pula pertukaran panas yang terjadi antara fluida kerja mesin pendingin kompresi uap menggunakan dua alat penukar panas (HX2 dan HX3) yang berfungsi sebagai evaporator. Ketiga alat penukar panas berada di dalam rumah penukar panas. Alat pelembab udara dingin dipasang pada bagian akhir rumah penukar panas. Udara yang sudah dingin lembab mengalir melalui saluran udara yang dipasang di bawah langit-langit ruangan penyimpanan. Melalui tiga lubang dengan masing-masing lubang dilengkapi dengan alat penyebar udara (diffuser) udara dihembuskan dan disebarkan di dalam ruangan penyimpanan seperti terlihat pada gambar di dalam Lampiran 12.. Untuk mengatur laju aliran udara dingin digunakan damper. Kipas sentrifugal menghisap kembali udara pendingin yang sudah melewati produk segar di dalam ruang penyimpanan dan dihembuskan kedalam ruang penukar panas. Gambar 15 menyajikan sistem saluran udara dengan kondisi udara di
111 setiap komponen sistem. Lampiran 10 memuat gambar piktorial dari saluran udara dan Lampiran 11 berisi gambar teknik saluran udara yang dirancang-bangun.
Saluran udara
Tangki Twt Kipas sentrifugal
mdotw Tr
Tr1
Tr
Alat pelembab Tr2
Qin
Qresp
Qresp
Produk
Produk
Tr3
mdota
mdota1 mdota2 mdota3 HX3 HX1 HX2
Tp
mp
Tp
mp
Saluran udara
Gambar 15 Skema sistem saluran udara yang dibuat dan diuji.
Gambar 16 Instalasi penyimpanan dingin di Desa Candikuning. Bangunan instalasi (1), atap yang berupa kolam air dangkal (2), mesin pendingin kompresi uap (3), dan menara pendingin (4). Udara dalam ruang instalasi dengan suhu Tr dihisap pompa sentrifugal dan dihembuskan dengan laju aliran massa mdota melewati HX1 dan udara bersuhu Tr1. Udara melewati HX2 dengan laju mdota1 dan keluar dari HX2 bersuhu Tr2.
112 Selanjutnya udara melewati HX3 dengan laju mdota 3 dan menjadi bersuhu Tr3. Udara dengan suhu Tr3 disebarkan ke seluruh ruang instalasi penyimpanan. Sumber panas berasal dari bahan segar yang disimpan di dalam ruang instalasi yaitu berupa panas pernapasan (Qresp). Sumber panas lainnya berasal dari lingkungan (Qin) yang masuk melalui dinding bangunan instalasi. Gambar 16 memperlihatkan bangunan sesungguhnya dari instalasi penyimpanan dingin di Desa Candikuning Bali. Gambar 17 memuat saluran udara bagian luar, rumah penukar panas dan mesin pendingin kompresi uap yang merupakan bagian penting dari instalasi.
2
1
3
Gambar 17 Saluran udara yang berada di luar ruang instalasi(1), rumah penukar panas (2), dan mesin pendingin kompresi uap (3). Pengoperasian Pendinginan Nokturnal Hibrida. Dengan menggunakan saluran udara maka aliran udara yang terjadi dianggap sebagai sistem tertutup. Udara bersuhu Tr dari ruang penyimpanan dihisap dan dihembuskan kedalam rumah penukar panas dengan laju aliran massa mdota. Setelah melewati precooler (HX1), suhu udara turun menjadi Tr1 dengan laju aliran massa udara mdota1. Selanjutnya suhu udara setelah melewati penukar panas #2 dan #3 (HX2 dan HX3) dan alat pelembab menjadi lebih rendah yaitu Tr2 dan Tr3 dengan laju masingmasing mdota2 dan mdota3. Udara dingin dengan suhu Tr3 dan dengan laju aliran massa mdota3 disebarkan ke dalam ruang penyimpanan yang bersuhu Tr. Udara yang sudah melalui
113 produk segar dengan suhu Tr ditarik kembali ke dalam rumah penukar panas dan kemudian dihembuskan dengan laju aliran massa mdota. Demikian proses ini terus berlanjut sampai sasaran suhu ruang penyimpanan yang diinginkan tercapai. Model Matematika Pelembab Udara Berdasarkan pada model matematika untuk menara pendingin, dibuat model matematika untuk alat pelembab udara karena prinsip dasar dari kedua alat ini sama. Pelembaban udara pada alat pelembab udara terjadi antara udara dingin dengan kelembaban rendah dengan air. Peningkatan kelembaban relarif udara terjadi karena penguapan sejumlah kecil air. Karena proses pelembaban ini diasumsikan sebagai proses pelembaban adiabatik maka panas diambil dari air dan udara untuk menguapkan uap. Berdasarkan pada jenis aliran yang terjadi, aliran antara air yang didinginkan dengan udara pendingin di dalam menara pendingin berbeda dengan aliran air dan udara di dalam alat pelembab. Aliran air dan udara di dalam menara berlangsung secara berlawanan arah (counter-flow), sedangkan di dalam alat pelembab yang didesain terjadi aliran silang (cross-flow) antara air pelembab dengan udara yang dilembabkan. Di dalam alat pelembab pindah panas dan massa terjadi di sepanjang sumbu x dan y seperti terlihat di dalam Gambar 18. Pada satu-satuan luas media dengan luas dan lokasi yang sama terjadi dua hal secara simultan, yaitu pindah massa uap air dari air ke udara dan pindah panas dari air dan udara untuk menguapkan air. Air mengalami perubahan massa dan panas di sepanjang sumbu y sedangkan udara di sepanjang sumbu x. Model Matematika Pindah Massa dan Panas.
Persamaan-persamaan
(271), (272), dan (273) untuk menara pendingin digunakan sebagai dasar dalam pembuatan model matematika untuk alat pelembab udara. Persamaan (310) memperlihatkan perubahan massa dan panas yang terjadi di sepanjang sumbu y. Perubahan massa dan panas di sepanjang sumbu x dimasukkan di dalam persamaan (311). Perubahan panas yang terjadi mencakup dua bentuk yaitu perubahan panas
114 konveksi dan panas evaporasi. Sedangkan perubahan panas yang terjadi karena difusi pada umumnya sangat kecil dan dapat diabaikan. Kesetimbangan massa dan panas dalam air
h fg Tw T 2Tw hwax A Tw Tg m v v wy w 2 t y w c pw Asec y w c pw Asec y y
(310)
Kesetimbangan massa dan panas dalam udara
Tg t
v gx
Tg
x
2T g x
2
h gwy
g c pg
(a)
h fg m v A Tg Tw Asec x g c pg Asec x
(b)
Qw(i,j) Hw (i,j) mv
+mv +Qc -Qfg
Qa (i,j+1) Ha (i,j+1)
(311)
x
y
Qc
Qa (i,j)
-Qfg
Ha (i,j) Qw(i+1,j)
Hw (i +1,j)
Gambar 18 Pindah massa dan panas yang terjadi antara udara (a) dengan air (b) pada satu-satuan permukaan media pindah massa dan panas yang sama di posisi baris ke-i kolom ke-j. Kesetimbangan massa di dalam udara
H g t
v gx
H g x
k m A H w H g g Asec x
(312)
Kelembaban absolut air dihitung dengan cara berikut ini (Kamaruddin et al. 2001).
Hw
0.6219Pvs
(313)
Patm Pvs
Pvs didefinisikan secara empiris menurut ASAE (1998)
ln Pvs R
A BT CT 2 DT 3 ET 4
dengan nilai variabel
FT GT 2
(314)
115 R = 22105649.25
D = 0.12558 x 10-3
A = -27405.526
E = -0.48502 x 10-7
B = 97.5413
F = 4.34903
C = -0.146244
G = 0.39381 x 10-2
Pendugaan Koefisien Pindah Massa (k m). Untuk pindah massa yang terjadi secara sejajar dengan bidang datar pada bilangan Reynolds dibawah 80000 (Treybal 1968) nilai dari j-faktor pindah panas Chilton-Colburn adalah: j H 0.664 Re x0.5
(315)
Treybal (1968) menyatakan bahwa j-faktor pindah massa Chilton Colburn merupakan fungsi dari bilangan Stanton dan bilangan Scmith seperti dinyatakan dalam persamaan berikut ini: j D StSc 2 / 3
(316)
sedangkan bilangan Stanton dinyatakan sebagai
St
Sh Re Sc
(317)
Sh Re Sc1 / 3
(318)
sehingga: jD
Bird et al. (1960) dengan menggunakan analogi Chilton-Colburn bahwa jfaktor pindah panas Chilton-Colburn dan j-faktor pindah massa Chilton Colburn bernilai sama yang merupakan fungsi dari bilangan Reynolds, bentuk, dan kondisi batas, maka
j H j D 0.664 Re x 0.5
(319)
yang nilainya sangat dekat dengan pendugaan teori lapis batas.
Sh Re Sc1/ 3
jH
(320)
maka
Sh 0.664 Re 0.5 Sc1 / 3 bila bilangan Sherwood dinyatakan sebagai persamaan di bawah ini,
(321)
116
Sh
k m RTl Pt DAB
(322)
maka nilai pendugaan untuk km dapat dihitung. Cara pendugaan suhu air, udara dan kelembaban absolut udara dilakukan seperti terlihat pada diagram alir di dalam Gambar 19. Berdasarkan pada diagram alir tersebut, berikut ini uraian setiap langkah dalam melakukan pendugaan: 1. Ditetapkan nilai-nilai variabel dan dibuat konstanta-konstanta untuk menyederhanakan persamaan. 2. Dibuat turunan parsial dari ketiga persamaan di atas terhadap Tw, Tg dan Hg, 3. Dibuat matriks fungsi turunan parsial dan diberikan nilai penduga untuk Tw, Tg dan Hg, dan nilai penduga koefisien pindah massa (km). Nilai dugaan km dihasilkan dari pendekatan teoritis, 4. Dilakukan pengolahan matriks dengan menggunakan metode Gauss-Jordan untuk memperoleh penyelesaian operasi matriks. Hasil dari operasi matriks adalah nilai-nilai Tw, Tg dan Hg, 5. Dilakukan perbandingan apakah nilai Tw, Tg dan Hg memenuhi batas toleransi yang diinginkan. Bila sudah memenuhi maka dilakukan pencetakan hasil dan bila belum memenuhi maka nilai Tw, Tg dan Hg diperbaharui dengan menambahkan Tw, Tg dan Hg. Perhitungan diulang kembali ke butir 4 sampai nilai Tw, Tg dan Hg memenuhi batas toleransi. Model Matematika Beban Panas Surya Model Matematika Kesetimbangan Panas. Sinar surya mengenai dinding ruangan yang menyebabkan suhu permukaan dinding meningkat. Dinding tersusun dari bahan-bahan yang tidak tertembus sinar, sehingga energi sinar hanya diserap dinding yang mengakibatkan permukaan dinding menjadi panas. Panas yang terserap dinding ada yang hilang karena terjadi pindah panas konveksi antara dinding yang terkena sinar dengan udara lingkungan. Panas dinding ada juga yang berpindah secara konduksi dari dinding luar ke dalam ruangan melalui bahanbahan penyusun dinding. Gambar pada Lampiran 8 memperlihatkan bahan-bahan penyusun dinding bangunan instalasi penyimpanan dingin dan perpindahan panas
117 yang terjadi secara konduksi. Model matematika untuk kesetimbangan panas di dinding bangunan instalasi adalah: m wl c pwl
dTwl 1 Awl I t hwla Awl Twl Ta Awl Twl Tr dt K
(323)
Bahan yang ada di dalam ruang penyimpanan adalah alas keranjang berupa rangka kayu. Dengan demikian panas yang diterima oleh udara ruang instalasi ada yang hilang untuk memanaskan alas kayu dan terserap lantai ruang instalasi. Selain menerima panas secara konduksi dari permukaan luar dinding, udara ruang instalasi juga menerima panas dari lingkungan. Persamaan berikut memperlihatkan model matematika kesetimbangan panas di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin. ma c pa
dTr 1 Awl Twl Tr U wl Awl Ta Tr dt K
hwda Awd Tr Twd U fl A fl Tr T fl
(324)
Kesetimbangan panas pada alas kayu adalah: m wd c pwd
dTwd hwda Awd Tr Twd dt
(325)
Dinding bangunan instalasi tersusun dari plester semen, batako berlubang, plester semen. Pada permukaan plester semen di dalam ruangan diisolasi dengan stirofoam dan dilapisi aluminium foil. Jadi menurut Bird et al. (1960) tahanan panas konduksi dinding dapat dihitung dengan:
1 4 ki K i 1 xi
1
2
x pl k pl
xc x sf x af k c k sf k af
(326)
Asumsi yang digunakan adalah panas yang diserap permukaan dinding menyebar dengan merata keseluruh struktur dinding. Asumsi lainnya yang digunakan dalam perhitungan beban panas surya adalah pada kondisi awal (initial condition) suhu permukaan dinding sama dengan suhu lingkungan dan suhu awal permukaan dinding bagian dalam sama dengan suhu ruang. Kondisi awal: Twlo = Ta dan Twli = Tr
118
Mulai
Nilai variabel dan pembuatan konstanta-konstanta persamaan (310), (311), (312)
Turunan parsial persamaan (310), (311), (312) terhadap T w,Tg, Hg
Nilai dugaan Tw, Tg, Hg
Nilai dugaan km Menghitung ΔTw, ΔTg, ΔHg dengan teknik eliminasi GaussJordan
ΔT w < 0.00001 ΔTg < 0.00001 ΔHg < 0.00001
Memperbaharui nilai variabel T wnew=T wold + ΔTw Tgnew=Tgold + ΔTg Hgnew=Hgold + ΔHg
Tidak
Ya Mencetak Tw, Tg, Hg
Berhenti Gambar 19 Diagram alir pendugaan suhu air, suhu udara dan kelembaban absolut udara yang keluar dari alat pelembab. Model Matematika Pendinginan Nokturnal Hibrida Udara pendingin ruangan didinginkan di dalam rumah penukar panas. Udara didinginkan pertama kali melalui alat penukar panas pendinginan nokturnal yang
119 difungsikan sebagai precooler, kemudian dilanjutkan dengan pendinginan melalui evaporator mesin pendingin kompresi uap. Dengan demikian kesetimbangan panas dapat dimodelkan sebagaimana ditampilkan di dalam persamaan-persamaan di bawah ini. Model-model matematika untuk kesetimbangan panas air di dalam alat penukar panas, di dalam ruangan, dan produk segar yang disimpan diturunkan dari persamaan-persamaan yang diajukan oleh Kamaruddin et al. (1998) dan digunakan oleh Gunadnya (2007a). Sub-sistem tangki penyimpanan air dingin m wt c pw
dTwt U wt Awt Ta Twt m w c pw Thx1 Twt dt
(327)
Sub-sistem precooler m whx1c pw
dThx1 hhx1 Ahx1 Tr Thx1 m w c pw Thx1 Twt dt
(328)
Kesetimbangan panas udara yang melewati precooler m a1c pa dTr1 U wd Awd Ta Tr hhx1 Ahx1 Tr Thx1
(329)
Sub-sistem penukar panas #2
m a 2 c pa dTr 2 U wd Awd Ta Tr1 hhx 2 Ahx 2 Tr1 Thx 2
(330)
Sub-sistem penukar panas #3 m a 3 c pa dTr 3 U wd Awd Ta Tr 2 hhx 3 Ahx 3 Tr 2 Thx3
(331)
Sub-sistem ruang penyimpanan mar c pa
dTr U wr Awr Ta Tr h p A p T p Tr m a 3 c pa Tr Tr 3 dt
(332)
Sub-sistem produk segar yang disimpan
m p c pp
dT p dt
h p A p T p Tr
(333)
Prosedur Percobaan Percobaan 1. Penentuan Parameter Termal Alat Penukar Panas Pendinginan Nokturnal. Pengukuran yang dilakukan meliputi pengukuran suhu udara masuk dan keluar setelah melewati alat penukar panas, suhu air sebelum dan
120 sesudah memasuki alat penukar panas. Disamping itu, dilakukan pengukuran laju aliran massa air dan kecepatan udara. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan alat pengukur suhu termokopel, sedangkan untuk mengukur kecepatan udara digunakan alat pengukur kecepatan udara yang dibuat. Untuk mengukur laju aliran massa air digunakan gelas ukur dan stopwatch. Cara pengukuran laju aliran massa air adalah dicatat volume air di dalam gelas ukur setelah diisi selama 15 detik. Persiapan Alat Percobaan. Aliran air dari tangki penyimpan air kedalam alat penukar panas dan sampai pada wadah penampung air yang keluar dari alat penukar panas terjadi karena gaya grafivasi. Sedangkan untuk mengalirkan kembali air dari wadah penampung ke tangki penyimpan air dingin digunakan pompa air. Keran air dipasang pada pipa pemasukan air kedalam alat penukar panas untuk mengatur laju aliran massa air. Pengukuran suhu air yang memasuki atau yang keluar dari alat penukar panas dilakukan di dalam pipa pemasukan dan pengeluaran air alat penukar panas. Untuk itu sensor pengukur suhu dipasang secara permanen pada pipa. Sedangkan untuk mengukur suhu udara yang masuk dan keluar dari alat penukar panas digunakan alat pengukur suhu. Kecepatan angin diukur pada tempat pemasukan dan pengeluaran udara dengan alat pengukur udara. Laju aliran massa air diukur pada pengeluaran air alat penukar panas. Penentuan waktu pengukuran. Penentuan waktu pengukuran adalah langkah awal yang penting dalam percobaan yang dilakukan karena pengukuran suhu, laju aliran massa air yang memasuki alat penukar panas dan kecepatan angin yang melewati bidang pindah panas alat penukar panas dilakukan pada kondisi mantap. Untuk mengetahui bahwa kondisi mantap sudah tercapai maka dilakukan percobaan dengan selang waktu pengukuran rata-rata 5 menit. Hasil percobaan memperlihatkan bahwa kondisi mantap dicapai dalam waktu 30 menit dari sejak pengoperasian alat. Keadaan mantap ditandai dengan suhu dan perubahan suhu fluida yang semakin kecil atau tidak berubah (Tabel 25). Dengan demikian pengukuran di dalam percobaan ini akan dilakukan setelah 30 menit alat dioperasikan.
121 Perlakuan. Alat penukar panas dan peralatan pendukungnya sudah dirakit di lapangan sehingga parameter yang dapat diatur dalam percobaan penentuan parameter termal alat penukar panas hanya laju aliran massa air, sementara kecepatan udara melewati alat penukar panas tidak dapat diatur. Dengan demikian perlakuan yang dilakukan di dalam percobaan adalah pengaturan laju aliran massa air yang memasuki alat penukar panas. Cara pengaturan laju aliran massa air adalah dengan mengatur bukaan keran air. Laju aliran massa air yang dicoba adalah 0.35, 3.90, 5.06, 6.06, 8.81, 8.91, 9.00, 10.76, 11.55, 12.38, 13.00 dan 13.56 x 10-3 kg/s. Pengukuran. Parameter yang diukur meliputi laju aliran massa air dan kecepatan udara. Pengukuran laju aliran massa air dilakukan dengan metode volumetri, kecepatan udara dengan metode kawat panas dan suhu air dan udara dengan menggunakan termokopel tipe T. Pendugaan suhu udara yang keluar dari alat penukar panas. Alat penukar panas yang dibuat berupa dua kolom pipa dengan masing-masing kolom terdiri atas 12 baris pipa. Dengan menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut: 1. Walaupun alat penukar panas memiliki sirip yang dipasang secara vertikal pada pipa-pipa horisontal penukar panas, tetapi terjadi percampuran udara yang berhembus, sehingga tidak terjadi gradien suhu antara aliran udara terhadap arah tegak lurus aliran udara, 2. Suhu air yang memasuki pipa-pipa alat penukar panas seragam, sehingga Tw1,1 = Tw2,1, 3. Suhu udara yang mengenai pipa-pipa baris pertama yang langsung dihembus udara pada kolom pertama juga seragam sepanjang pipa. Oleh karena itu Ta1,1 = Ta1,2 = ..... = Ta1,n dan n adalah jumlah bagian pipa (z) antar dua sirip, maka analisis aliran silang dapat diterapkan pada alat penukar panas yang dibuat. Air dan udara pada setiap baris dari setiap kolom alat penukar panas memikili keseimbangan panas seperti terlihat dalam Gambar 20. Penampang melintang alat penukar panas yang tegak lurus dengan aliran udara tidak berupa lingkaran, sehingga diameter penampang ditetapkan dengan menggunakan diameter hidrolik (dh) sebagaimana disebutkan oleh Bird et al. (1960) dan Bejan et al. (1996) dengan persamaan: d h = 4A/perimeter.
122 Tabel 25 Perubahan suhu air dan udara yang masuk dan keluar alat penukar panas pada laju aliran massa air memasuki alat penukar panas 0.0039 kg/s Suhu (oC)
Waktu (menit) 0 4 7 12 17 22 27 32 37 42
(Tw,in) 21.40 21.40 21.38 22.37 22.63 22.88 23.42 23.42 23.58 23.64
(Ta,in) 23.12 23.37 23.77 24.45 25.04 25.28 25.37 25.67 25.67 25.67
(Ta,out) 23.12 23.37 23.77 24.41 25.00 25.24 25.31 25.60 25.61 25.60
Ta,in – Ta,out 0 0 0 0.04 0.04 0.04 0.06 0.07 0.06 0.07
Ta3,1
Ta3,n
Tw2,n
Tw2,n+1
Tw2,1
Tw2,2
Ta2,n
Ta2,1
Tw1,n+1
Tw1,1
T w1,2
Tw1,n Ta1,n
Ta1,1
z
z
Gambar 20 Penampang alat penukar panas dilihat dari atas. Dengan menerapkan metode Euler maka penyelesaian dari persamaan (269) dan (270) untuk aliran silang ( m ,i 1) h ,( dz )
T
( m ,i ) h, ( dz )
T
Ud i Th(,m( dz,i) 1) Tc(,m( dz,i ) 1)
m c
dz
(334)
dz
(335)
p l
( m ,i 1) c , ( dz )
T
( m ,i ) c , ( dz )
T
Ud h Th(,m( dz,i ) 1) Tc(,m( dz,i ) 1)
m c
p s
untuk i = 1, 2 ..... n dan m = kolom pipa = 1, 2
123 pada m = 1, nilai Ta1,1 = Ta1,2 = ..... = Ta1,n dan Tw1,1 = Tw2,1 Kedua persamaan tersebut diatas diselesaikan secara simultan dengan menggunakan teknik eliminasi Gauss. Program dibuat dengan menggunakan bahasa pemrograman VisualBasic 6 untuk itu menyelesaikan kedua persamaan tersebut. Percobaan 2. Pelembaban Udara Dingin. Percobaan pendahuluan dilakukan untuk menentukan laju aliran massa air maksimum yang dapat digunakan pada alat pelembab. Percobaan pendahuluan dilaksanakan dengan cara membuka keran air sehingga air mengalir dan laju aliran massa air diukur. Karena volume wadah penampung air di dalam alat pelembab terbatas maka bila laju aliran massa air terlalu besar maka air akan tumpah keluar dari alat. Laju aliran maksimum yang dapat dicapai ditandai dengan tidak adanya air yang tumpah. Percobaan pendahuluan dilanjutkan dengan melakukan percobaan awal yang berupa pengukuran terhadap suhu bola kering dan bola basah udara dingin yang masuk dan keluar alat, suhu air yang memasuki alat dan kecepatan angin yang masuk dan keluar alat. Percobaan dilaksanakan dengan cara mesin pendingin kompresi uap dan kipas sentrifugal terus menerus dihidupkan selama percobaan. Setelah udara dingin bersuhu konstan, keran air dibuka pada bukaan yang menghasilkan laju aliran massa air maksimum sebagaimana dihasilkan dari percobaan pendahuluan. Bila air sudah keluar dari pipa aliran air alat, maka pengukuran mulai dilakukan. Percobaan dihentikan bila nilai hasil pengukuran suhu bola kering udara dingin tidak berubah terlalu banyak. Percobaan selanjutnya dilakukan pada saat percobaan ketiga penyimpanan sayur-sayuran. Alat pelembab digunakan untuk melembabkan udara dingin sebelum dihembuskan ke dalam ruang instalasi penyimpanan. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan sama seperti pada percobaan awal. Kalibrasi alat-alat ukur dilakukan seperti pada percobaan-percobaan sebelumnya. Hasil percobaan awal digunakan untuk mencoba ketepatan model matematika alat pelembab dalam menduga nilai suhu dan kelembaban udara setelah melewati alat pelembab. Sedangkan hasil percobaan ketiga percobaan penyimpanan
124 sayur-sayuran digunakan untuk melakukan validasi model matematika alat pelembab udara yang diajukan. Efisiensi pelembaban sebagai indikator performansi alat diukur mengikuti cara yang dilakukan oleh Dzivama et al. (1999) dengan menggunakan persamaan (275).
s
Tdbi Tdbo x 100 Tdbo Twbi
Metode Newton-Raphson digunakan untuk memecahkan ketiga persamaan tersebut secara simultan. Program sederhana dibuat dengan bahasa pemrograman Visual Basic (VB) 6. Percobaan 3. Beban Panas Surya. Untuk menghitung beban panas surya data yang harus diambil meliputi data radiasi surya, luas dinding yang terkena sinar surya, suhu bola kering lingkungan dan suhu udara di dalam ruang instalasi penyimpanan. Untuk menperoleh data tersebut dilaksanakan percobaan dengan prosedur sebagai berikut: 1. Radiasi surya diukur mulai jam 7 sampai dengan jam 18 waktu setempat. Pengukuran dilakukan setiap 15 menit dengan menggunakan alat piranometer. Intensitas radiasi surya langsung dibaca pada layar penampil integrator dalam satuan W/m2. 2. Pengukuran radiasi surya dihentikan bila terjadi hujan. 3. Suhu bola kering lingkungan dan suhu di dalam ruang instalasi diukur setiap 30 menit menggunakan termometer digital. 4. Titik-titik koordinat dinding bangunan instalasi yang terkena sinar surya di sebelah timur, utara dan barat diukur dengan menggunakan alat pengukur panjang. Pengukuran titik-titik koordinat dilakukan setiap 30 menit. Luas dinding bangunan instalasi yang terkena sinar surya dihitung dengan perhitungan biasa. 5. Selama percobaan dilakukan pengamatan terhadap keberadaan awan di langit. Pendugaan radiasi surya dilakukan dengan menggunakan lima model penduga yaitu model Hottel, model Lunde (1980), model ASHRAE (1985), model ASHRAE yang dimodifikasi oleh Nijegorodov (1998) dikodekan sebagai
125 ASHRAE#1, dan model ASHRAE hasil modifikasi Amarananwatana dan Sorapipatana (2004) untuk daerah Songkla Thailand, diberi kode ASHRAE#2. Songkla dipilih karena daerah tersebut memiliki nilai lintang yang hampir sama tapi berlawanan kawasan dengan lokasi penelitian. Songkla terletak kira-kira di 8o Lintang Utara, sedangkan Candikuning terletak pada 8.26o Lintang Selatan. Model-model penduga radiasi surya tersebut diatas berlaku untuk kondisi langit cerah, sedangkan data radiasi surya yang dikumpulkan merupakan gabungan dari kondisi langit cerah dengan langit berawan. Oleh karena itu, sebelum menggunakan data hasil pengukuran, dilakukan penghilangan data radiasi surya pada saat langit berawan, mendung, atau hujan. Pendugaan luas dinding yang terkena sinar surya menggunakan metode matriks yang dikembangkan oleh Chirarattananon (2004). Dicari koordinat surya pada dinding yang terkena sinar, dengan cara seperti sudah dipaparkan didepan, dan koordinat ini dijadikan dasar untuk menghitung luas dugaan permukaan dinding yang terkena sinar surya. Penentuan Performansi Saluran Udara.
Dilakukan percobaan awal
dengan kondisi ruang instalasi penyimpanan dingin tidak diberi beban sayursayuran. Mesin pendingin kompresi uap dan kipas sentrifugal dihidupkan. Setelah 30 menit dilakukan pengukuran kecepatan angin pada 17 titik lokasi pengukuran. Untuk mengetahui performansi saluran dalam menyebarkan udara dingin dan kelembaban ke seluruh ruangan instalasi, pengukuran suhu bola kering dan suhu bola basah udara dilakukan pada saat percobaan penyimpanan sayursayuran. Simulasi dan Validasi Model Matematika Sistem Pendinginan Nokturnal Hibrida. Simulasi dan validasi model matematika sistem pendinginan nokturnal dilakukan dengan menggunakan data percobaan penyimpanan sayur-sayuran dalam ruang instalasi penyimpanan dingin. Simulasi dan validasi model menggunakan program komputer menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic 6.0. Percobaan penyimpanan sayur-sayuran pada percobaan I, II, dan III adalah sebagai berikut:
126 Percobaan I
: Berat produk segar yang disimpan di dalam ruang penyimpanan instalasi penyimpanan dingin sebanyak 188 kg.
Percobaan II : Berat produk segar yang disimpan 264 kg. Percobaan III : Berat produk segar yang disimpan 225 kg. Analisis Data Ketepatan model diukur dengan menggunakan analisis statistika sederhana seperti MBE, RMSE, % kesalahan, analisis regresi linier dan diagram serak. Sebaran normal digunakan untuk melihat frekuensi relatif data. Penentuan performansi saluran udara diuji dengan menggunakan uji statistika sederhana Anova dan perbandingan antar nilai tengah dan simpangan baku. Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5% dari paket program SPSS (2004) digunakan untuk membandingkan nilai tengah dan hal yang sama dilakukan terhadap simpangan baku data hasil pengukuran.
Hasil dan Pembahasan
Parameter Termal Alat Penukar Panas Pendinginan Nokturnal Pengaruh Laju Aliran Massa Air terhadap Nilai U. Dari hasil percobaan diketahui bahwa penambahan laju aliran massa air yang memasuki alat penukar panas akan meningkatkan jumlah panas yang dipertukarkan antara air di dalam alat dengan udara yang dihembuskan melewati permukaan alat penukar panas. Peningkatan jumlah panas yang dipertukarkan secara langsung akan meningkatkan nilai U alat penukar panas. Dari diagram serak hubungan antara laju aliran massa air dengan nilai U diketahui bahwa hubungan yang terjadi tidak linier (Gambar 21). Hasil analisis regresi memperlihatkan bahwa persamaan regresi yang tepat untuk menggambarkan hubungan yang terjadi adalah persamaan logaritme. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan laju aliran massa air pada level tertentu tidak akan banyak mempengaruhi peningkatan nilai U alat penukar panas. Penentuan laju aliran massa air yang memberikan nilai U tertinggi, penting dilakukan dalam
127 percobaan ini karena berkaitan dengan daya pompa air yang harus digunakan. Laju aliran massa air yang lebih rendah akan membutuhkan daya pompa yang lebih rendah pula.
2o
U (W/m C)
50 40 30 20
U = 10.05Ln(mw ) + 86.03
10
R = 0.80
2
0 0
0.005
0.01
0.015
Laju aliran massa air (mw , kg/s)
Gambar 21 Pengaruh laju aliran massa air terhadap nilai U alat penukar panas. Pengaruh Laju Aliran Massa Air terhadap Nilai NTU. Apabila nilai panas jenis air dan nilai U dianggap tidak banyak berubah, maka kemampuan alat penukar panas melalukan panas (NTU) bergantung pada laju aliran massa air yang memasuki alat penukar panas. Pada umumnya hubungan antara laju aliran massa air dengan NTU dinyatakan sebagai hubungan 1/Cmin dengan NTU dan Cmin adalah laju kapasitas panas air (mcp)w. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa hubungan antara laju aliran massa air dengan NTU dapat digambarkan sebagai persamaan logaritme. Dengan demikian, sama seperti pada penetapan hubungan nilai U, aliran massa air pada laju tertentu tidak akan banyak mempengaruhi nilai NTU. Hubungan antara laju aliran massa air dengan nilai NTU ditampilkan di dalam Gambar 22. Pengaruh Laju Aliran Massa Air terhadap Nilai . Gambar 23 menampilkan dengan jelas ketergantungan nilai keefektivan () alat penukar panas dalam menukar panas terhadap laju aliran massa air. Dengan semakin rendah aliran massa air yang memasuki alat penukar panas, sehingga nilai Cmin menjadi kecil,
128 maka keefektivan alat penukar panas akan semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah panas yang dipertukarkan antara air dan udara melalui dinding pipa dan sirip alat penukar panas semakin besar. Demikian sebaliknya terjadi pada aliran massa air yang lebih tinggi.
1
NTU
0.8 0.6 0.4
NTU = 0.17Ln(1/C min) + 0.90
0.2
2
R = 0.84
0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
o
1/C min ( C/W)
e
Gambar 22 Pengaruh laju aliran massa air terhadap nilai NTU alat penukar panas.
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
e = 0.10Ln(1/C min) + 0.63 2
R = 0.78 0
0.2
0.4
0.6
0.8
o
1/C min ( C/W)
Gambar 23 Pengaruh laju aliran massa air terhadap nilai Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa untuk memperoleh nilai keefektivan tinggi, sehingga terjadi pertukaran panas yang besar, maka alat dioperasikan pada laju aliran massa yang tidak terlalu besar. Karena hubungan antara laju
129 aliran massa air dengan nilai keefektivan berupa persamaan logaritme, maka laju aliran massa air yang memberikan keefektivan optimum dapat ditentukan. Perbandingan antara Pendugaan U dari Hasil Percobaan dengan Persamaan Empiris. Nilai U dari alat penukar panas dapat diduga dengan menggunakan persamaan empiris dengan didasarkan pada jenis aliran fluida di dalam dan di luar pipa. Gambar 24 menyajikan hasil pendugaan nilai U secara empiris (Ue) dengan nilai U dari data hasil percobaan (Uu). Diagram serak memperlihatkan bahwa hubungan dari kedua cara pendugaan tersebut memiliki kecenderungan linier. Dengan analisis regresi diperoleh persamaan empiris dapat menduga nilai U dengan baik. Nilai koefisien regresi untuk kemiringan kurve adalah satu yang berarti bahwa nilai Ue sama dengan Uu. Sementara itu, nilai perpotongan kurve terhadap sumbu ordinat adalah 0.42, suatu nilai yang mendekati nol. Nilai koefisien determinasi dari persamaan ini adalah 0.76. Dengan demikian persamaan empiris dapat menduga nilai U ukur dengan tepat. Simpangan baku dari data hasil pendugaan adalah 7.58 W/m2 oC.
50
Uu = 1.00Ue - 0.42 2
R = 0.76
2o
Uu (W/m C)
40 30 20 10 0 0
10
20 30 2o Ue (W/m C)
40
Gambar 24 Diagram serak dari hubungan Ue dengan Uu.
50
130 Pendugaan Suhu Udara yang Keluar dari Alat Penukar Panas. Dengan menggunakan model aliran silang seperti diajukan Chapman (1974) dan menerapkan ketiga asumsi tersebut diatas, maka dapat dilakukan pendugaan terhadap suhu udara yang keluar dari alat penukar panas. Secara umum suhu udara hasil pendugaan yang dihasilkan lebih tinggi daripada suhu udara hasil pengukuran. Akan tetapi, seperti terlihat dalam Tabel 26, rata-rata kesalahan hasil pendugaan dengan hasil pengukuran suhu udara yang keluar dari alat penukar panas adalah 0.1oC dengan rata-rata persentase kesalahan pendugaan 0.45%. Tabel 26 Hasil pendugaan dan perbedaannya dengan hasil pengukuran suhu udara yang keluar dari alat penukar panas pada beberapa laju aliran massa air mw (10 kg/s) 0.35 3.90 5.06 6.06 8.81 8.91 9.00 10.76 11.55 12.38 13.00 13.56 Rata-rata -3
Ta,o (oC) 24.78 25.58 21.94 21.73 22.02 21.76 20.48 21.99 24.34 20.72 21.24 25.36 22.645
o
Ta,o-d ( C) 24.99 25.25 22.00 21.86 22.10 21.85 20.55 22.09 24.67 20.80 21.33 25.46 22.75
Aliran silang Error -0.21 -0.08 -0.12 -0.11 -0.08 -0.10 -0.07 -0.11 -0.08 -0.08 -0.09 -0.11 -0.10
%Error -0.84 -0.32 -0.53 -0.52 -0.37 -0.44 -0.34 -0.48 -0.34 -0.40 -0.41 -0.42 -0.45
Perbedaan antara hasil pengukuran suhu udara dengan nilai penduganya cukup kecil mengingat kerumitan dari aliran silang di dalam alat penukar panas. Chapman (1974) menyebutkan bahwa walaupun prinsip dari alat penukar panas dengan aliran silang bersifat sederhana, tetapi analisis dari alat penukar panas tipe ini rumit. Ketiga asumsi yang diajukan yang melandasi perhitungan dalam pendugaan, seperti tersebut diatas, adalah mendekati kenyatakan mengingat dari hasil perhitungan diketahui bahwa aliran udara yang melewati pipa-pipa alat penukar panas bersifat turbulen. Turbulensi aliran udara yang melewati alat penukar panas menyebabkan terjadinya pengadukan udara sehingga tidak terbentuk gradien
131 suhu. Dengan demikian persamaan penduga yang diajukan dapat digunakan untuk menduga suhu udara yang keluar dari alat penukar panas. Pelembaban Udara Validasi Model Matematika Alat Pelembab Udara. Model matematika untuk alat pelembab udara divalidasi dengan menggunakan data hasil percobaan penyimpanan III. Validasi dilakukan terhadap suhu keluaran dan kelembaban relatif udara yang keluar dari alat pelembab udara. Kelembaban relatif udara yang keluar dari alat pelembab dihitung berdasarkan pada kelembaban absolut udara yang keluar dari alat pelembab. Gambar 25 menyajikan kurve hubungan data suhu hasil pengukuran dan hasil pendugaan model terhadap waktu pengamatan. Terlihat bahwa model matematika dapat dengan tepat mengikuti perubahan data hasil pengukuran. Berdasarkan pada analisis regresi diketahui bahwa persamaan regresi antara suhu udara hasil pengukuran dengan hasil pendugaan mengikuti persamaan regresi Tdata = 1.003Tduga – 0.024. Hasil analisis regresi ini menunjukkan bahwa model matematika pelembaban udara memiliki performansi sangat baik dalam menduga suhu udara karena regresi liniernya memiliki koefisien determinasi 0.99 dengan nilai koefisien regresi a mendekati nol dan b mendekati satu. Gambar 26 memperlihatkan plot kelembaban relatif udara hasil pengukuran dan kelembaban relatif udara hasil pendugaan model matematika terhadap waktu pengamatan. Seperti pada suhu udara, model matematika dapat mengikuti kecenderungan data hasil pengukuran walaupun tidak setepat hasil pendugaan model terhadap suhu udara. Dari Gambar 27 terlihat plot antara kelembaban relatif hasil pengukuran dengan hasil pendugaan agak menyebar dari garis pembagi koordinat kartisius. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa hubungan antara data hasil pengukuran dengan hasil pendugaan mengikuti persamaan RHdata = 0.88RHduga + 9.97 dengan koefisien determinasi 0.93. Selain koefisien a yang relatif besar tetapi b mendekati satu dan nilai koefisien determinasi besar.
o
Suhu udara (C)
132
13 12 11 10 9 8 7 6 5 4
Tau Tae
90
100
110
120
130
140
150
160
Waktu pengamatan (jam)
Kelembaban relatif udara (%) .
Gambar 25 Hasil pendugaan suhu udara yang keluar dari alat pelembab.
92 90 88 86
RHu
84
RHe
82 80 90
100
110 120 130 140 Waktu pengamatan (jam)
150
160
Gambar 26 Hasil pendugaan kelembaban relatif udara yang keluar dari alat pelembab.
14
92
12
90 88 RH (%)
10
o
Ta ( C)
133
8
86 84
6
82
4
80 4
6
8
10
12
14
80
82
o
T a-e ( C)
84
86
88
90
92
RH e (%)
Gambar 27 Pengaruh perbedaan antara suhu air dengan suhu udara yang memasuki alat pelembab terhadap efisiensi alat pelembab. Efisiensi Alat Pelembab Udara. Gambar 28 menunjukkan bahwa pelembaban udara berlangsung di dalam alat pelembab dengan adanya peningkatan kelembaban absolut udara yang keluar dari alat (Tro). Tetapi seperti terlihat di dalam gambar penurunan suhu udara yang keluar dari alat pelembab karena pelembaban tidak terlalu besar.
14
o
Suhu udara ( C)
12 10 Tro
8
Tri
6
RH100%
4 2 0 0.003
0.004
0.005
0.006
0.007
0.008
Kelembaban absolut (kg/kg)
Gambar 28 Hubungan suhu udara dengan kelembaban absolut.
134 Pada kondisi kerja sebagai berikut: kisaran laju aliran massa air memasuki alat 0.001-0.00123 kg/s, kecepatan angin 0.22-0.24 m/s, suhu udara dingin memasuki alat 5.3-12.5oC, alat pelembab mampu melembabkan udara dingin dengan efisiensi rata-rata 18.9%. dengan kisaran 10.0-38.3%. Efisiensi alat pelembab udara yang dibuat jauh lebih kecil daripada alat pelembab yang dibuat oleh Chafik (2002) yang memiliki efisiensi pelembaban 95%. Dzivama et al. (1999) menyatakan bahwa efisiensi penjenuhan udara dipengaruhi oleh bahan tempat pindah massa dan panas berlangsung, laju aliran air, dan tebal lembaran. Pada suhu udara 32 oC dan RH 25% terjadi penurunan suhu udara sebesar 18oC dan kelembaban relatif udara menjadi 84%. Pada kondisi operasi yang berbeda yaitu suhu udara masuk 38oC RH 11% dengan laju aliran air 60 m/s, ketebalan lembaran 0.06 m dan kecepatan angin 2.7 m/s diperoleh nilai efisiensi penjenuhan dari alat yang mereka buat sebesar 86.8%. Alat pelembab yang dibuat berupa lembaran kain dengan luas permukaan pindah panas dan massa 1.9 m2 belum cukup luas untuk dapat menghasilkan pelembaban dengan efisiensi yang tinggi. Udara mampu dilembabkan tetapi RH udara masih dibawah 90%. Hubungan Efisiensi Pelembaban dengan Suhu Udara dan Air. Beda suhu air dan udara dingin yang memasuki alat pelembab udara dapat dijadikan petunjuk tentang efisiensi alat pelembab udara. Seperti diperlihatkan di dalam Gambar 29 bahwa efisiensi pelembaban menurun dengan meningkatnya perbedaan suhu antara air dan udara. Bila diteliti dari proses yang terjadi di dalam alat pelembab bahwa terjadi perpindahan udara secara konveksi disamping perpindahan panas laten penguapan air. Proses berlangsung secara adiabatik yang artinya tidak ada tambahan panas dari lingkungan. Kebutuhan panas untuk menguapkan air hanya diperoleh dari air dan udara. Dengan demikian bila air yang akan diuapkan bersuhu jauh lebih tinggi dari udara yang akan menerima uap air maka jumlah uap air yang terbentuk akan sedikit karena untuk menguapkan sejumlah air yang sama pada suhu air yang lebih tinggi membutuhkan energi yang lebih besar daripada menguapkan air dalam jumlah yang sama tetapi pada suhu yang lebih rendah (Wark 1998).
135
45
41
40 34 Efisiensi data (%)
.
35 Efisiensi (%)
.
30 25 20 15 10
27 20 13
5 0 -12
-10
-8 -6 -4 o (T a -T w ) ( C)
-2
6
0
6
13
20
27
34
41
Efisiensi duga (%)
Gambar 29 Pengaruh perbedaan antara suhu udara dengan suhu air yang memasuki alat pelembab terhadap efisiensi alat pelembab. Hubungan antara perbedaan suhu dengan efisiensi digambarkan dengan persamaan ηs = 2.93(Ta – Tw) + 40.06 dengan koefisien determinasi 0.66 Bila dilihat dari koefisien regresi linier yang dihasilkan dari analisis regresi antara antara data efisiensi hasil pengukuran dengan pendugaan mengikuti persamaan ηsd = ηse + 0.0008 dengan R2 = 0.66, terlihat bahwa baik nilai koefisien a dan b memenuhi syarat karena a mendekati nol dan b sudah bernilai satu. Perbedaan suhu udara dan suhu air masuk bila digunakan sebagai penduga efisiensi alat pelembab akan cukup baik karena nilai koefisien determinasi adalah 0.66.
Beban Panas Surya Radiasi Surya. Hampir selama percobaan pengukuran intensitas radiasi surya, tidak dapat dilakukan sehari penuh dan pengukuran terhenti karena mendung dan hujan. Kondisi Candikuning pada bulan Mei 2007 mulai pagi, siang sampai sore hari selalu berawan, mendung dan kadang-kadang berlangsung hujan. Intensitas radiasi surya baru bisa diukur mulai jam 7 pagi sampai jam 17. Kondisi ini disebabkan oleh lokasi penelitian diberada di lembah yang membujur dari selatan ke utara, sehingga sinar surya baru muncul dari balik bukit antara pukul 7:30. Intensitas radiasi surya pada siang hari mencapai kisaran 1000-1050 W/m2.
136 Kondisi ini tercermin dari hasil pengukuran sebagaimana disajikan dalam Gambar 30. Pada tanggal 25 Mei 2007 langit dengan cepat tertutup dengan dan dan dengan cepat pula langit menjadi terang. Menjelang siang hari langit sangat cerah dan radiasi surya mencapai puncaknya. Pada tanggal 26 Mei 2007 langit sangat cerah sepanjang pagi hari. Tetapi hampir selama siang hari langit tertutup awan dan kondisi terus berlangsung sampai sore. Sore hari tanggal 27 Mei 2007 langit tertutup awan, mendung dan hujan. Pendugaan Radiasi Surya. Model-model penduga dapat mengikuti pola perubahan radiasi surya seperti terlihat dalam Gambar 31. Semua model dapat menduga radiasi surya dengan nilai koefisien determinasi yang tinggi dan dengan nilai yang sama yang menunjukkan bahwa semua model menghasilkan hubungan yang kuat antara variabel bebas dengan variabel terikat. Semua model menduga intensitas radiasi surya lebih rendah daripada hasil pengukuran. Bias rata-rata berkisar dari -72.1sampai -15.2 W/m2, kisaran akar kesalahan rata-rata kuadrat antara 62.8-97.8 W/m2, % kesalahan 2.3-11.1 W/m2, koefisien regresi a antara -43.4- -88.4 W/m2 dan kemiringan b 1.16-1.23 (Tabel 27). Menurut Nijegorodov (1998) model ASHRAE baik digunakan untuk belahan bumi bagian utara. Oleh karena itu, dia melakukan perbaikan koefisien ASHRAE untuk dapat diterapkan di daerah tropis. Demikian pula dengan Amarananwatana dan Sorapipatana (2004) melakukan penyesuaian koefisien ASHRAE untuk dapat digunakan di daerah utara dan selatan Thailand. Model ASHRAE yang disesuaikan oleh yang dibandingkan pada penelitian ini adalah model untuk daerah selatan Thailand (Songkla) yang lebih mendekati kondisi lokasi penelitian dengan nilai lintang yang berbeda. Songkla berada di lintang utara daerah katulistiwa, sedangkan lokasi penelitian berada di lintang selatan.
137
1000
1000
R ad iasi su ry a (W /m2 ).
1200
R ad iasi su ry a (W /m2 ).
1200
800 600 400 200
800 600 400 200
0 7:00
0 9:24
(a)
11:48 14:12 16:36 Waktu pengamatan
7:00
(b)
9:24 11:48 14:12 16:36 Waktu pengamatan
R a d ia si su ry a (W /m2 ).
1000 800 600 400 200 0 7:00
9:24
(c)
11:48 14:12 16:36 Waktu pengamatan
Gambar 30 Hasil pengukuran radiasi surya pada tanggal 25 Mei 2007 (a), 26 Mei 2007 (b), dan 27 Mei 2007 (c). di Candikuning Bali. Tabel 27 Performansi beberapa model terhadap pendugaan intensitas radiasi surya di Candikuning Bali Model Hottel Lunde ASHRAE ASHRAE #1 ASHRAE #2
MBE -50.9 -15.2 -50.1 -55.2 -72.1
RMSE 79.2 62.8 80.5 84.3 97.8
% Kesalahan 7.8 2.3 7.7 8.5 11.1
Regresi linier a -43.4 -88.4 -62.7 -62.0 -57.9
b 1.16 1.16 1.19 1.20 1.23
R2 0.94 0.94 0.94 0.94 0.94
138 1050
Radiasi surya (W/m2).
950 850 Data
750
Hottel
650
Lunde ASHRAE
550
ASHRAE1
450
ASHRAE2
350 250 150 7
9
11 13 Waktu pengamatan (jam)
15
Gambar 31 Plot antara radiasi surya hasil pengukuran dan model-model penduga radiasi surya dengan waktu pengamatan. Terlihat bahwa model yang diajukan oleh Lunde memberikan pendugaan dengan nilai perbedaan terkecil untuk semua variabel penentu, kecuali untuk satu nilai yaitu koefisien regresi a. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model yang diajukan oleh Lunde dapat digunakan sebagai penduga radiasi surya. Nelwan (2004) tanpa melakukan perbandingan menggunakan model Lunde untuk menduga intensitas radiasi surya saat melakukan penelitian di Bogor. Pendugaan Suhu Udara Ruang Instalasi Penyimpanan Dingin. Suhu udara dalam ruang instalasi pada umumnya mengikuti pola perubahan suhu udara lingkungan selama percobaan I. Tetapi pada percobaan II suhu udara dalam ruang sangat dipengaruhi oleh radiasi surya. Pada saat intensitas radiasi surya menurun karena langit tertutup awan, maka suhu ruang menurun. Demikian pula pada percobaan III, hal serupa diamati selama pelaksanaan percobaan. Dengan demikian beban surya masih mempengaruhi suhu udara dalam ruang instalasi walaupun dinding instalasi sudah diisolasi (Gambar 32).
139 Secara keseluruhan, model matematika yang diajukan dapat mengikuti pola perubahan suhu ruang instalasi. Akan tetapi hasil pendugaan model secara umum lebih tinggi daripada hasil pengukuran. Gambar 33 memperlihatkan hubungan antara data suhu hasil pengukuran dengan suhu hasil pendugaan model. Suhu hasil pendugaan model lebih besar daripada data suhu hasil pengukuran. Hal ini salah satunya disebabkan oleh penggunaan model penduga radiasi surya yang penetapannya berdasarkan pada radiasi surya pada keadaan langit cerah. Sedangkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa langit lebih sering berawan. Beda antara data pengukuran dengan penduga-
1200
25
1000
23
800
21
600
19
400
17
200
15
0
o
Suhu ( C)
2
27
Radiasi surya (W/m ).
an menyebar normal yang menandakan bahwa nilai tengah beda mendekati nol.
1
45
89
133
177
Ta Tr Tre Rad
221
Pengamatan ke
Gambar 32 Pengaruh radiasi surya terhadap suhu udara ruang instalasi dan hasil pendugaan model. Pendugaan Luas Permukaan Dinding yang Terkena Radiasi Surya Pada bulan Mei matahari berada pada lintasan di utara katulistiwa. Karena matahari berada di utara maka dinding bangunan di sebelah selatan tidak terkena radiasi surya. Ketiga dinding lainnya dan atap bangunan terkena radiasi surya dan keberadaan selasar menyebabkan ada bagian diding yang tidak terkena radiasi.
140 Terjadi kesulitan pada saat mengukur titik-titik koordinat bayangan selasar pada tembok. Kesulitan timbul pada saat matahari ditutup awan tipis sehingga bayangan tidak terlihat jelas pada dinding. Kondisi seperti ini terus menerus terjadi selama pengamatan.
0.4
23 Exp1 Exp2 Exp3
21 19 17
Frekuensi relatif.
o
Suhu ruang ukur ( C).
25
0.3 0.2 0.1 0
15 15
17
19
21
23 o
Suhu ruang penduga ( C)
25
-0.6
0
0.6
1.2
o
Tr e - Tr u ( C)
Gambar 33 Diagram serak dan frekuensi relatif dari perbedaaan data suhu ruang dengan hasil pendugaan. Hasil analisis statistika mengungkap bahwa MBE, RMSE, kesalahan pendugaan untuk ketiga dinding masing-masing bernilai 0.57, 0.73, dan -10.7%. Persentase kesalahan pendugaan bernilai negatif yang menandakan bahwa hasil pendugaan melebihi hasil pengukuran. Gambar 34 dengan jelas memperlihatkan bahwa hasil pendugaan lebih besar daripada hasil pengukuran. Tetapi performansi metode penduga bagian dinding yang terkena radiasi surya tergolong baik dan kesalahan pendugaan sebesar 10% masih dapat diterima. Hasil analisis regresi antara hasil pengukuran dan pendugaan menunjukkan bahwa koefisien regresi a dan b bernilai 0.18 dan 0.93 dan dengan nilai koefisien determinasi 0.94 yang mempertegas bahwa performansi metode pendugaan tergolong baik. Performansi Saluran Udara Saluran udara disamping memiliki fungsi utama sebagai penyalur udara dingin, saluran udara juga berfungsi sebagai penyebar udara dingin dalam ruang
141 penyimpanan. Bila saluran udara berfungsi dengan baik maka suhu dan kelembaban relatif di dalam ruang penyimpanan akan merata. Untuk memperoleh penyebaran suhu dan kelembaban dengan merata maka kecepatan angin dingin di dalam ruangan juga merata. 0.75
12
8
10
Au
0.5
2
2
8
Luas (m ).
4
Luas (m ).
Ae
2
Luas (m ).
6 Ae
6
Au 4
Ae Au 0.25
2 2
0
0
0
6 8 9 11 12 14 Waktu (jam)
6 8 9 11 12 14 Waktu (jam)
6 8 9 11 12 14 Waktu (jam) 6
12
8
10
Ae
Ae
4
Au
6
Au
4
4
Luas (m2 ).
8
2
Luas (m ).
2
Luas (m ).
6 Ae Au 2
2 2
0
0
7 9 11 13 14 15 Waktu (jam)
0
7 9 11 13 14 15 Waktu (jam)
8
7
12
9 11 13 14 15 Waktu (jam)
0.75
10
Au
6
Au
2
Ae
Luas (m ).
4
8
2
Ae
Luas (m ).
2
Luas (m ).
6 0.5 Ae Au
0.25
4
2 2
0
0
0
7
8 10 11 13 Waktu (jam)
(a)
7
8 10 11 13 Waktu (jam)
(b)
7
8 10 11 13 Waktu (jam)
(c)
Gambar 34 Hasil pendugaan luas dinding instalasi yang terkena radiasi surya dari tiga kali pengamatan. (a) dinding timur, (b) dinding utara dan (c) dinding barat.
142 Hasil pengukuran terhadap kecepatan angin, suhu dan kelembaban udara ditampilkan dalam Tabel 28. Dalam pengukuran, ruangan penyimpanan dibagi menjadi bagian lantai (F), bagian tengah-tengah ruangan (T) dan bagian atas ruangan (A). Bagian tangah dan atas dibagi lagi menjadi tengah bagian utara (TU) dan tengah bagian selatan (TS). Demikian pula bagian atas dibagi menjadi bagian utara (AU) dan selatan (AS). Hal ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan suhu atau kelembaban antara bagian-bagian tersebut karena lubang pengeluaran udara dari dalam ruangan berada pada dinding sebelah selatan bagian bawah. Tabel 28 Hasil pengukuran kecepatan angin, suhu dan kelembaban udara di beberapa lokasi dalam ruang instalasia Kec.angin Simp.baku Simp. Simp. (m/s)b (m/s) Suhu (oC) baku (oC) RH (%) baku (%) diffuser 10.61 a 2.59 81.32 a 0.78 AU 0.271 ab 0.0591 a 10.87 a 2.63 82.53 a 0.76 AS 0.183 a 0.0444 a 11.08 ab 2.48 83.83 ab 0.88 TU 0.263 ab 0.0697 a 11.05 ab 2.59 86.46 ab 1.36 TS 0.323 b 0.0710 a 11.09 ab 2.53 86.27 ab 1.34 F 0.291 b 0.0968 a 11.50 b 2.21 90.59 b 1.50 a Angka yang diikuti dengan hurup yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (uji DMRT), b Diukur saat ruangan belum diisi sayur-sayuran. Lokasi
Lokasi di dalam ruangan instalasi juga mempengaruhi suhu udara. Demikian juga dengan kelembaban relatif udara dipengaruhi dengan nyata oleh lokasi pengukuran. Analisis lanjutan memperlihatkan bahwa suhu yang keluar dari penyebar udara dingin (diffuser) paling rendah dan sama dengan suhu udara pada bagian AS dan tidak berbeda nyata dengan lokasi pengukuran lainnya, kecuali dengan lokasi lantai. Lantai menjadi tempat yang paling hangat hal ini disebabkan oleh sayur-sayuran menghasilkan panas pernapasan yang dihembuskan angin di atas lantai. Kelembaban relatif udara juga menyebar seperti yang terjadi pada suhu udara. Tetapi hal yang sebaliknya terjadi, yaitu pada lantai (F) kelembaban relatif udara bernilai paling tinggi karena pada tumpukan sayur-sayuran, udara dingin yang berhembus mengambil air sayur-sayuran. Simpangan baku baik untuk suhu udara di bagian-bagian ruangan dan kelembaban relatif udara tidak berbeda nyata.
143 Hal ini menunjukkan bahwa baik suhu udara maupun kelembaban relatif udara menyebar dengan merata ke seluruh ruang instalasi penyimpanan. Performansi Penyimpanan Dingin dengan Sistem Pendinginan Nokturnal Hibrida Suhu ruang instalasi penyimpanan dingin selama percobaan I, II dan III salah satunya terangkum dalam Gambar 36. Sedangkan kelembaban relatif udara dalam ruang instalasi diperlihatkan dalam Gambar 37. Selama percobaan diamati bahwa suhu udara penyimpanan mengikuti pola suhu udara lingkungan, seperti terlihat dalam Gambar 35. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa suhu udara dalam ruangan mengikuti pola perubahan suhu udara lingkungan. Pada siang hari di saat suhu udara lingkungan mencapai tingkat tertinggi, suhu udara dalam ruang instalasi juga mencapai nilai tertinggi. Sedangkan baik keempat dinding bangunan maupun langit-langit bangunan instalasi sudah dipasang isolasi. Kemungkinan hal ini menjadi suatu indikasi bahwa kemampuan pendinginan dari pendinginan nokturnal hibrida tidak mampu mengatasi beban pendinginan yang bersumber dari sayur-sayuran dan dari lingkungan. Selama percobaan, suhu rata-rata udara ruang penyimpanan mencapai 11 oC.
30
o
Suhu ( C)
25 20
Trave Ta
15 10 5 0
30
60
90
120
150
Waktu pengamatan (jam)
Gambar 35 Perubahan suhu udara dalam ruang instalasi penyimpanan dan perbandingannya dengan suhu lingkungan.
144
Percobaan I
Percobaan II
Percobaan III
20 TS2
o
Suhu ruang (C)
TU2 16
MU2 12
MS2 BU2
8
BS2
4 0
30
60
90
120
150
Waktu pengamatan (jam)
Gambar 36 Sebaran suhu udara pendingin pada ketinggian 1/3 dari lantai ruang instalasi penyimpanan dingin. Simulasi Pendinginan Nokturnal Hibrida. Dengan menggunakan persamaan (327) sampai (333) sebagai persamaan pengatur model matematika pendinginan nokturnal hibrida dan dengan menggunakan data hasil pecobaan I, II, dan III diperoleh hasil simulasi berikut ini. Air dingin hasil pendinginan nokturnal digunakan untuk mendinginkan udara yang melewati precooler sepanjang malam hari. Kemudian udara didinginkan lebih lanjut dengan menggunakan dua alat penukar panas yang berfungsi sebagai evaporator dari mesin pendingin kompresi uap. Hasil simulasi ditampilkan dalam Gambar 38. Gambar ini memperlihatkan perubahan suhu udara di dalam ruang penyimpanan apabila ruang penyimpanan dibebani dengan sayur-sayuran sesuai dengan berat sayur-sayuran yang disimpan pada percobaan I, II dan III. Pencapaian suhu akhir dari masing-masing simulasi disajikan dalam Tabel 29. Hasil simulasi menunjukkan bahwa untuk 12 jam pertama sejak sayur-sayuran dimasukkan ke dalam ruang instalasi, model matematika belum mampu menduga dengan tepat. Persentase kesalahan model matematika dalam menduga suhu udara penyimpanan berkisar antara 5.4 sampai 50% lebih tinggi daripada suhu udara penyimpanan hasil pengukuran (Tabel 29). Rata-rata % kesalahan pendu-
145 gaan model mencapai 25.4%. Hasil pendugaan yang relatif masih besar ini dimungkinan karena belum semua besaran fisik yang berpengaruh dimasukkan ke dalam model. Sebagai contoh, model matematika yang diuji hanya memperhatikan sayur-sayuran sebagai sumber panas, disamping panas yang berasal dari udara lingkungan. Beban panas surya sepanjang siang hari sangat menentukan keberhasilan pendugaan.
Percobaan I
Percobaan III
Percobaan II
Kelembaban relatif (%) .
95
BU2
90
TU2 MU2
85
MS2 BS2
80
Ts2
75 0
30
60
90
120
150
Waktu pengamatan (jam)
Gambar 37 Sebaran kelembaban relatif udara pendingin pada jarak 1/3 bagian tinggi ruangan dari lantai.
Suhu ruang (oC)
22.0 20.0 Sken-1 Sken-2 Sken-3
18.0 16.0 14.0 12.0 0
2
4
6
8
10 12
Waktu (jam)
Gambar 38 Perubahan suhu udara di dalam ruang penyimpanan berdasarkan pada hasil simulasi dengan skenario 1, 2 dan 3.
146 Tabel 29 Perbandingan hasil simulasi dengan hasil percobaan terhadap pencapaian suhu akhir udara di dalam ruang penyimpanan (Tr) Percobaan Pengukuran 1. 11.0 2. 9.4 3. 13.0
Simulasi 13.3 14.1 13.7
% kesalahan -20.9 50.0 -5.4
Perbaikan dan Validasi Model Matematika Pendinginan Nokturnal Hibrida. Bila diperhatikan pola perubahan suhu udara dalam tuang instalasi maka pengaruh beban panas surya sepanjang siang hari sangat mempengaruhi suhu ruang penyimpanan. Oleh karena itu, pengaruh beban panas surya dimasukkan ke dalam model matematika pendinginan nokturnal hibrida. Dengan menggunakan data hasil percobaan I, II dan III diperoleh hasil seperti terlihat dalam Gambar 39. Sebagaimana hasil pendugaan suhu udara ruang yang sudah diuraikan di depan, hasil pendugaan suhu udara ruang dengan menggunakan model matematika yang memasukkan beban panas surya memberikan hasil pendugaan yang lebih besar. Persentase kesalahan pendugaan untuk suhu udara percobaan I adalah 18.5, nilai MBE dan RMSE masing-masing 2oC dan 2.2oC. Untuk pendugaan suhu udara ruang penyimpanan pada percobaan II % kesalahan model dalam menduga dan nilai MBE dan RMSE berturut-turut 20.7, 2.3 dan 2.4oC. Pendugaan untuk suhu udara ruang penyimpanan pada percobaan III memiliki % kesalahan, MBE dan RMSE masing-masing 20.9, 2.1, dan 2.3 oC. Nilai-nilai performansi pendugaan ini jauh lebih baik daripada tanpa memasukkan beban panas surya.
Kesimpulan 1. Parameter termal alat penukar panas seperti U, NTU dan ε memiliki hubungan logaritme dengan laju aliran massa air. Hubungan antara parameter termal alat penukar panas dengan aliran massa air dinyatakan sebagai berikut: U = 10.05ln(mw) + 86.03, NTU = 0.17ln (1/Cmin) + 0.90, dan ε = 0.10ln(1/Cmin) + 0.63.
17
17
15
15
13
13 Tr -u k u r
Tr -u k u r
147
11
11
9
9
7
7
5
5
5
7
9
11
13
15
17
5
7
9
(a)
Tr -duga
11 Tr -duga
13
15
17
(b)
15
Tr -u k u r
13 11 9 7 5 5
7
9
11 Tr -duga
13
15
(c)
Gambar 39 Diagram serak antara suhu ruang hasil pengukuran dengan hasil pendugaan untuk percobaan I (a), percobaan II (b), dan percobaan III (c).
2. Persamaan empiris dapat digunakan dalam menduaga nilai U alat penukar panas dengan persamaan regresi U-ukur = U-empiris – 0.42 dengan nilai koefisien korelasi 0.76 dan nilai simpangan baku 7.58 W/m2. 3. Persamaan penduga suhu udara yang keluar dari alat penukar panas dapat digunakan dengan rata-rata kesalahan pendugaan 0.1 oC dan rata-rata kesalahan pendugaan 0.45%. 4. Pada kondisi kerja sebagai berikut: kisaran laju aliran massa air memasuki alat 0.001-0.00123 kg/s, kecepatan angin 0.22-0.24 m/s, suhu udara dingin
148 memasuki alat 5.3-12.5 oC, alat pelembab mampu melembabkan udara dingin dengan efisiensi rata-rata 18.9%. dengan kisaran 10.0-38.3%. 5. Model matematika untuk pelembaban udara dingin dengan menggunakan alat pelembab dapat digunakan untuk menduga suhu udara dingin yang keluar dari alat pelembab. dengan koefisien determinasi 0.9997 dan untuk kelembaban relatif udara dengan koefisien determinasi 0.9345. Persamaan penduga suhu dan kelembaban udara adalah Tdata = 1.003Tduga – 0.024 dan RHdata = 0.88RHduga + 9.97. 6. Nilai efisiensi pelembaban alat pelembab udara dapat diduga dari perbedaan suhu air dan suhu udara yang memasuki alat pelembab dengan persamaan:
ηs
= 2.93(Ta – Tw) + 40.06. 7. Semua model menduga intensitas radiasi surya lebih rendah daripada hasil pengukuran. MBE rata-rata berkisar dari -72.1 sampai -15.2 W/m2, kisaran nilai RMSE 62.8-97.8 W/m2, dan % kesalahan 2.3-11.1. Nilai koefisien regresi a antara -43.4- -88.4 W/m2 dan b 1.16-1.23. Radiasi surya paling baik diduga dengan menggunakan model radiasi surya yang diajukan oleh Lunde (1980) dengan nilai parameter performansi pendugaan MBE, RMSE dan % kesalahan -15.2, 62.8 dan 2.3. 8. Saluran udara dapat menyebarkan udara dingin sehingga ruang penyimpanan memiliki suhu dan kelembaban relatif yang merata dengan kisaran simpangan baku untuk suhu udara 2.21-2.63 oC dan untuk RH 0.76-1.5%. 9. Suhu ruang instalasi yang dibebani dengan sayur-sayuran mengikuti pola suhu lingkungan dengan rata-rata suhu selama percobaan 11oC. 10. Hasil simulasi model matematika pendinginan nokturnal hibrida menunjukkan bahwa kesalahan pendugaan rata-rata mencapai 25.4%. Performansi model dapat ditingkatkan dengan memasukkan beban panas surya dan rata-rata nilai MBE, RMSE dan kesalahan pendugaan adalah 2.1, 2.3oC dan 20%.
5 PENYIMPANAN SAYUR-SAYURAN SEGAR DI DALAM INSTALASI PENYIMPANAN DINGIN DI DESA CANDIKUNING BALI Pendahuluan
Unit Sayur Mayur mengirim sayur-sayuran ke perusahaan rekanan pada pagi hari. Unit menyiapkan sayur-sayuran yang akan dikirim sehari sebelumnya, sehingga sayur-sayuran yang sudah siap kirim disimpan terlebih dahulu di gudang yang dimiliki unit. Selama ini penyimpanan sayur-sayuran di dalam gudang selama lebih kurang 14 jam belum memberikan dampak negatif terhadap pendapatan unit. Tetapi pengurangan pendapatan mungkin akan dialami unit mengingat syarat mutu yang diterapkan oleh perusahaan rekanan sangat ketat. Bila sayur-sayuran yang dikirim unit tidak memenuhi persyaratan maka sayur-sayuran yang tidak memenuhi syarat mutu dikembalikan dan tidak dibayar. Mereka memberikan istilah retul untuk sayur-sayuran yang dikembalikan dan pengembalian sayur-sayuran berpotensi mengurangi pendapatan unit. Pengembalian sayur biasanya dilakukan dalam jangka waktu satu atau dua hari setelah pengiriman sehingga sayur-sayuran yang dikembalikan sudah dalam keadaan tidak layak jual. Rantai dingin sangat mungkin dilakukan oleh pengelola unit karena unit memiliki truk kotak berpendingin. Tetapi sarana yang ada tidak digunakan unit karena jarak antara lokasi unit dengan tempat penerimaan sayur-sayuran milik perusahaan rekanan tidak terlalu jauh. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap kehilangan berat dan kehilangan mutu sayur-sayuran berbeda-beda menurut jenis sayur. Sayur-sayuran daun pada umumnya sangat mudah rusak dibandingkan dengan sayur-sayuran umbi seperti kentang atau wortel (Tabel 30). Secara umum, sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang penyimpanan dingin mengalami kehilangan berat lebih rendah daripada sayur-sayuran yang disimpan di dalam gudang. Tabel 31 memuat data tentang perubahan penampakan sayur-sayuran setelah disimpan di dalam ruangan instalasi penyimpanan dingin dan di dalam gudang. Data yang disajikan di dalam tabel tersebut merupakan hasil dari percobaan
150 pendahuluan. Data di dalam tabel menunjukkan bahwa sayur-sayuran yang disimpan selama dua hari di dalam ruangan instalasi penyimpanan dingin masih segar, sebaiknya penyimpanan satu hari di dalam gudang sudah menyebabkan kelayuan pada sayur-sayuran tertentu. Setelah disimpan selama dua hari sayur-sayuran mulai menguning. Penyimpangan penampakan dan kelayuan sayur-sayuran sudah merupakan indikasi bahwa sayur-sayuran tersebut kehilangan nilai jual. Tabel 30 Kehilangan berat sayur-sayuran (%) setelah disimpan di dalam ruangan instalasi penyimpanan dingin dan di dalam gudang Jenis sayursayuran Wortel Selada Bawang daun Pak choy Kubis Kentang
Instalasi penyimpanan 1 hari 2 hari 0 0 6.7 10 4.6 7.1 0 33.3 0 20.0 0 0
1 hari 0 33.3 40.0 50.0 28.6 0
Gudang 2 hari 12.0 50.0 100.0 100.0 71.4 0
Untuk sayur-sayuran daun, pelayuan dimulai dari daun terluar, sedangkan daun-daun yang lebih di dalam belum layu. Cara termudah yang biasa dilakukan untuk memperlihatkan bahwa sayur-sayuran masih segar adalah dengan menghilangkan daun-daun terluar yang layu. Tetapi tindakan ini tidak selalu memberi manfaat. Bila jumlah daun yang dihilangkan terlalu banyak sehingga ukuran dan berat krop tidak memenuhi syarat mutu yang diharapkan, maka sayur-sayuran seperti itu juga kehilangan nilai jual. Setelah unit melakukan kerjasama dengan perusahaan lain sebagai rekanan, semakin banyak jenis sayur-sayuran sub-tropis yang ditangani. Sampai saat ini ada 58 jenis dan dari banyak jenis sayur ini hanya ada satu dua jenis yang merupakan tanaman lokal. Lampiran 9 memuat jenis sayur-sayuran dan kondisi penyimpanan yang disarankan. Sebagaimana tercantum di dalam lampiran, semua jenis sayur-sayuran membutuhkan suhu penyimpanan di bawah suhu lingkungan. Untuk itu dilakukan beberapa percobaan untuk mengkaji kehilangan pascapanen sayur-sayuran selama penyimpanan, baik penyimpanan di dalam ruangan instalasi maupun di dalam gudang. Beberapa jenis sayur-sayuran digunakan dalam percobaan dan beberapa perlakuan diberikan terhadap sayur-sayuran sebelum
151 disimpan. Perlakuan yang diberikan meliputi pendinginan pendahuluan, pengemasan individu dengan film kemasan, dan mempertahankan daun-daun terluar yang layu atau rusak. Beberapa perlakuan lain juga diberikan selama sayursayuran disimpan di dalam ruangan instalasi penyimpanan dingin. Tabel 31 Keadaan sayur-sayuran setelah disimpan di dalam ruangan instalasi penyimpanan dingin dan di dalam gudang Jenis sayursayuran Wortel Selada Bawang daun Pak choy Kubis Kentang Bunga kol Brokoli Sawi
Instalasi penyimpanan 1 hari 2 hari segar segar segar segar segar segar segar segar segar segar segar segar segar segar segar segar segar segar
Gudang 1 hari segar mulai layu mulai layu mulai layu segar segar mulai layu mulai layu mulai layu
2 hari agak pucat layu dan rusak layu dan kuning layu dan kuning agak layu segar layu layu layu
Pendinginan Sayur-sayuran Sargent et al. (2000) menyebutkan dari beberapa faktor yang mengurangi mutu bahan segar selama penanganan pascapanen diantaranya adalah: penundaan pendinginan dan kelembaban relatif ruang penyimpanan yang tidak memenuhi syarat. Dua hal penting yang harus dilakukan untuk mempertahankan mutu sayursayuran selama penanganan pascapanen, yaitu meminimalkan kerusakan mekanis dan mengatur suhu. Penanganan dan manajemen suhu yang baik akan secara nyata mengurangi kerusakan karena busuk dan memperlambat penuaan. Pendinginan komersial diartikan sebagai penghilangan secara cepat panas lapang sampai mendekati suhu penyimpanan optimal. Penundaan pendinginan menyebabkan mutu bahan segar menurun karena tiga alasan, yaitu: membiarkan bahan segar terus melakukan pernapasan dan metabolisme normal lainnya pada laju tinggi dalam mengkonsumsi gula, asam, vitamin dan zat gizi lainnya, mempercepat kehilangan air, dan meningkatkan perkembangan kerusakan. Pada suhu diatas 21-24oC, pernapasan umumnya tinggi sebagai contoh asparagus bernapas tiga kali lebih cepat daripada pada suhu 16oC
152 (Thompson et al. 2001). Cantwell (2001) menyatakan penundaan pendinginan brokoli pada 20oC selama 6 jam tidak mempengaruhi masa simpan. Tetapi pada suhu 25 oC penundaan selama 3 jam sudah memberikan pengaruh terhadap masa simpan. Huang (2006) mengatakan bahwa cara pendinginan dengan menggunakan air merupakan cara yang baik untuk menghilangkan panas lapang bahan segar. Pendinginan dilakukan dengan cara mencelupkan bahan segar ke dalam air dingin. Air didinginkan dengan cara ditambahkan es atau dengan mesin pendingin kompresi uap. Cara pendinginan seperti ini disamping cepat menghilangkan panas lapang bahan segar tetapi juga meningkatkan kesegaran sayur-sayuran daun. Cara lain yang sering digunakan untuk mendinginkan bahan segar adalah ruangan dingin, pendingin udara bertekanan, dan pendinginan vakum. Menurut McLauchlan dan Bagshaw (2001) pendinginan dilakukan dengan berbagai cara dengan tujuan mempertahankan mutu bahan segar dan memaksimalkan masa simpan. Boyette et al. (2000a) juga menyatakan hal yang sama dan pendinginan penting untuk hasil-hasil pertanian yang mudah rusak. Pendinginan pascapanen yang memadai dapat: menekan kerusakan enzimatis dan kegiatan pelunakan, melambatkan atau menghambat kehilangan air, melambatkan atau menghambat mikroorganisme penyebab kerusakan, dan mengurangi produksi etilen atau meminimalkan reaksi etilen. Cara Pendinginan Proses penghilangan panas bahan segar dapat dicapai dengan berbagai cara seperti dengan menggunakan udara pendingin alami, pendinginan dengan air, pendinginan dengan es, dan pendinginan dengan vakum (Kalbasi-Ashtari 2004). Boyette et al. (2000a) menjelaskan lebih rinci dan lebih lengkap daripada KalbasiAshtari (2004). Menurut Boyette et al. (2000a) pendinginan ruang memiliki ciri laju pendinginannya sangat lambat. Metode ini efektif untuk menyimpan produk segar yang sudah mengalami pendinginan pendahuluan. Pendinginan udara bertekanan lebih cepat 75 sampai 90% daripada pendinginan ruang. Pendinginan air digunakan untuk kebanyakan produk segar yang tidak peka terhadap pembasahan.
153 Pendinginan vakum efektif untuk produk segar yang memiliki ratio tinggi antara luas permukaan dengan volumenya, seperti sayur berdaun hijau dan selada. Pendinginan dengan penguapan merupakan metode pendinginan yang efektif dan murah. Menurut Boyette et al. (2000c) kebanyakan buah-buahan dan sayur-sayuran membutuhkan pendinginan secara teliti segera setelah dipanen supaya konsumen memperoleh mutu produk tertinggi. Pendinginan yang layak akan menunda penurunan mutu dan memperpanjang masa simpan. Hydrocooling adalah suatu cara efektif dan cepat dalam mendinginkan produk. Cara ini menggunakan air dingin untuk mendinginkan sayur-sayuran. Banyak jenis sayur-sayuran segar merespon dengan baik cara pendinginan ini. Jenis sayur-sayuran segar yang memiliki volume besar dibandingkan dengan luas permukaannya seperti jagung manis, apel, cantaloupe dan buah persik yang susah didinginkan, dapat dengan cepat dan efektif bila didinginkan dengan cara ini. Kelebihan hydrocooling adalah: mendinginkan produk segar dengan cepat, kira-kira 15 kali lebih cepat daripada udara dingin, lebih fleksibel karena dengan mudah menangani produk dengan jumlah yang besar. Tetapi kekurangan hydrocooling berupa: hanya dapat digunakan untuk produk segar yang tidak peka terhadap pembasahan, banyak penyakit berkembang dengan pembasahan, beberapa hydrocooling tidak efisien menggunakan energi dibandingkan dengan metode yang lain sehingga metode ini mungkin tidak cost effective dalam situasi tertentu, dan jenis pengemas yang dapat digunakan terbatas dan cara penumpukan juga terbatas (Boyette et al. 2000c). Penyimpanan Sayur-sayuran Tercampur Boyette et al. (2000b) menyatakan sayur-sayuran segar dengan jenis berbeda membutuhkan persyaratan pendinginan yang berbeda. Jika beberapa jenis sayur-sayuran segar disimpan bersama-sama maka suhu ruang diatur pada suhu cukup tinggi untuk menghidari kerusakan sayur-sayuran yang tidak tahan suhu dingin. Contoh sayur-sayuran yang peka pendinginan adalah kacang-kacangan, terong, tomat, dan kentang. Suhu penyimpanan seperti ini tidak akan menjamin
154 tercapainya mutu optimum dan masa simpan sayur-sayuran segar yang disimpan. Beberapa sayur-sayuran peka terhadap etilen dan sayur-sayuran seperti ini terpengaruh pada konsentrasi rendah walaupun disimpan pada suhu yang rendah. Contoh sayur-sayuran yang peka etilen adalah brokoli, kubis, wortel, mentimun, terung, ubi jalar, okra, paprika, dan sayur-sayuran daun hijau. Mutu, Perubahan Mutu dan Kerusakan Sayur-sayuran Menurut Mitcham et al. (2003) penampakan visual buah dan sayur-sayuran segar merupakan salah satu penentu mutu yang dilakukan pembeli. Penampakan visual merupakan faktor penentu dalam perdagangan. Selanjutnya, setelah penampakan visual, penentuan mutu oleh konsumen lebih berkaitan dengan tekstur dan citarasa. Tekstur berkaitan dengan kekerasan buah dan sayur-sayuran segar yang dinyatakan dalam bentuk kelunakan atau kerenyahan. Disamping itu, menurut Morris et al. (1974) kelayuan karena kehilangan air merupakan faktor mutu yang sangat menentukan dalam penerimaan sayur-sayuran. Tomkins (1995) menyatakan sayur-sayuran hijau dengan mudah kehilangan warna hijaunya. Daun terluar dari brussels sprout dapat menguning dalam 2 hari pada suhu normal. Bayam dan selada membutuhkan beberapa hari lagi untuk bisa dilihat warna daun menjadi kuning. Disamping itu perubahan mutu yang dialami sayur-sayuran dapat berupa perubahan citarasa seperti yang terjadi pada sayur yang menua menghasilkan bau yang tidak enak. Banyak sayur membentuk citarasa pahit ketika menua. Sayur-sayuran yang terlalu tua akan mengeras. Kehilangan vitamin dengan cepat terjadi pada sayur-sayuran yang tidak didinginkan setelah dipanen seperti pada brokoli, paprika, bunga kol, kubis dan sayur-sayuran berdaun hijau. Kerusakan brokoli berupa perubahan warna bunga dari hijau menjadi kekuning-kuningan. Pada penyimpanan suhu 0oC masa simpan brokoli mencapai 35 hari, pada suhu 2.5 oC mencapai 27 hari, pada suhu 5 oC mencapai 21 hari, dan pada suhu 7.5oC mencapai 15 hari. Masa simpan brokoli terus menurun dengan meningkatnya suhu penyimpanan dan pada suhu 20oC masa simpan brokoli hanya 2 hari (Cantwell 2001).
155 Menurut Kader (1973) kerusakan selada berupa mutu visual seperti pembusukan, kehilangan warna pada daun dan batang, layu, dan noda coklat. Bercak coklat pada batang dapat mempengaruhi penerimaan pembeli, tetapi kerusakan jenis ini mudah dihilangkan dengan cara dipotong. Gejala kerusakan noda coklat pada selada mirip seperti tanaman subtropis lainnya bila disimpan pada suhu rendah dibawah 3 atau 4oC yang dapat dikatakan sebagai kerusakan karena suhu rendah. Noda coklat pada selada semakin jelas terbentuk bila bahan ini dipindahkan ke ruangan bersuhu 10oC (Brecht et al. 1973). Kehilangan Air Bahan Sayur-sayuran Menurut Irtwange (2006) penguapan air dari dalam jaringan tanaman merupakan faktor yang sangat penting sebagai penyebab kerusakan bahan. Kehilangan air akan menyebabkan kehilangan berat yang akan mempengaruhi penampilan sayur-sayuran karena sayur-sayuran menjadi layu dan keriput. Mutu tekstur juga menurun dengan meningkatnya pelunakan, kehilangan kerenyahan dan air, dan penurunan mutu gizi. Wilson et al. (1999) menyatakan kerusakan yang terjadi pada bahan segar selama penanganan umumnya tidak nampak sampai bahan segar tiba di pedagang eceran atau di tingkat konsumen. Kerusakan mekanis disamping sebagai tempat masuknya mikroorganisme perusak, juga meningkatkan kehilangan air bahan. Sebagai contoh laju kehilangan air bahan dapat meningkat sampai 400% karena memar pada apel. Kehilangan air juga dipengaruhi oleh suhu yang tinggi. Pada suhu diatas 2124 oC anggur mengalami kehilangan air 3% dari beratnya. Untuk menghindari kelayuan, kehilangan kadar air bahan segar harus dipertahankan tidak lebih dari 1%. Pada suhu 32 oC, kehilangan air 1% dapat dialami dalam jangka waktu 2 jam, tetapi pada suhu pendinginan 10 oC, kehilangan yang sama dapat ditunda sampai 12 jam (Thompson et al. 2001). Karena buah-buahan dan sayur-sayuran segar kebanyakan terdiri atas air maka kehilangan air sayur-sayuran sebanding dengan kehilangan berat yang dapat
156 dijual. Disamping itu, kehilangan berat hanya 5% akan menyebabkan bahan segar kelihatan seperti layu dan keriput dan tidak laku dijual. Pada kondisi hangat dan kering kehilangan air pada tingkat ini dapat tercapai dalam beberapa jam. Sayursayuran segar yang kehilangan air dengan kisaran 5-10% akan membuat penampakannya layu dan kehilangan kesegaran. Di dalam Tabel 32 disajikan persentase kehilangan air yang menyebabkan bahan segar kehilangan nilai penjualan (Thanh 2006). Menurut Tomkins (1995) kehilangan air sekitar 2% pada sayur-sayuran untuk salad seperti selada, seledri, mentimun, tomat dan lobak yang mengandung sekitar 95% air menyebabkan sel kehilangan kekerasan dan sayur-sayuran menjadi lemas. Walau kehilangan dapat diatasi dengan cara mencelupkan sayur-sayuran di dalam air dingin, tetapi sayur-sayuran salad yang layu menghilangkan daya tarik. Kehilangan air sekitar 3% akan menyebabkan kebanyakan sayur-sayuran menjadi layu. Tabel 32 Persentase kehilangan air yang menyebabkan bahan segar tidak dapat dijual Jenis sayur-sayuran Tomat Kubis Wortel Mentimun Selada Kentang Paprika hijau
Maksimum kehilangan air yang diizinkan (%) 7 7 8 5 3 7 7
Menurut Wang dan Bagshaw (2001) kehilangan pascapanen pak choy berkisar antara 27.1-24.5%. Kehilangan pascapanen ini disebabkan oleh kerusakan mekanis, kehilangan berat karena layu, penguningan daun karena suhu tinggi dan penundaan penanganan. Kehilangan air sayur-sayuran dapat dikurangi diantaranya dengan cara menyemprotkan air dingin pada permukaan daun. Irtwange (2006) menyebutkan bahwa kehilangan air dapat diatasi dengan menerapkan pelilinan. Faktor ini dapat pula diatasi dengan memanipulasi kelembaban relatif, suhu dan
157 sirkulasi udara. Sargent et al. (2000) juga menyebutkan bahwa sebagai tambahan dari penyimpanan dingin, kelembaban relatif udara penyimpanan juga harus dikontrol untuk mengurangi kehilangan air bahan. Rahemi (2006) juga menyebutkan bahwa kehilangan air menyebabkan kelayuan, pengeringan dan pelunakan pada sayur-sayuran. Pelilinan secara komersial dilakukan untuk mengurangi laju penguapan air buah-buahan dan sayur-sayuran. Irtwange (2006) juga menyebutkan bahwa kehilangan air dapat diatasi dengan mengemas sayur-sayuran karena kemasan plastik dapat berfungsi sebagai pembatas bahan dengan lingkungan. Pengemasan Sayur-sayuran Menurut Irtwange (2006) pengemasan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Kemasan atmosfir termodifikasi ekuilibrium, teknik ini terutama digunakan untuk pengemasan bahan segar buah dan sayur-sayuran. Kemasan bisa ditiup dengan campuran gas tertentu atau bahan segar ditutup di dalam kemasan tanpa ada pengubahan gas di dalam kemasan. Teknik dengan menutup sayur-sayuran di dalam kemasan tanpa pengubahan komposisi gas di dalam kemasan disebut sebagai pengubahan atmosfir pasif (Modified Atmosphere Packaging, MAP). Kemasan atmosfir termodifikasi (MAP) menggunakan hasil pernapasan bahan segar yang dikemas untuk menciptakan atmosfir di dalam kemasan dengan konsentrasi karbon dioksida tinggi dan oksigen rendah. Kemasan atmosfir termodifikasi untuk sayur-sayuran daun Asia sudah dikembangkan dalam kaitannya dengan suhu penyimpanan dingin yang sesuai untuk mempertahankan mutu dan menghindari kerusakan karena suhu dingin. Kemasan ini dapat memberikan manfaat diantaranya untuk pak choy, baby pak choy, kangkung dan kai choy yang diperlihatkan dengan meningkatnya masa simpan sayur-sayuran tersebut. Pada umumnya kemasan yang cocok adalah kemasan yang berupa kantong plastik dari polietilen dan polipropilen pada suhu penyimpanan 0oC untuk pak choy, baby pak choy dan suhu 9oC untuk kangkung (Thomson et al. 2001). Selain dapat mempertahankan mutu sayur-sayuran yang dikemas, pengemasan dapat mengurangi kehilangan berat. Mentimun Jepang yang dikemas
158 dengan white stretch film, stretch film kehilangan berat rata-rata 0.35 dan 1.33 % bila disimpan pada suhu 5oC. Bila tidak dikemas mentimun kehilangan berat 8.62%. Zucchini yang disimpan pada suhu 10oC dengan kemasan yang sama maka kehilangan berat rata-rata 0.58% dan 1.81%, sedangkan bila tidak dikemas kehilangan berat zucchini mencapai 26.32% setelah disimpan 17 hari (Sutrisno 1999). Pengemasan sayur setelah diberikan perlakuan pendinginan pendahuluan mempengaruhi kehilangan berat dari selada dan kacang polong. Kehilangan berat sayur yang dikemas setelah disimpan adalah 3.57% dan 0.74% masing-masing untuk selada dan kacang polong, sementara selada yang tidak dikemas kehilangan berat 10.88% dan kacang polong 2.41%. Jika tidak didinginkan sebelumnya, selada mengalami kehilangan berat 18.45% setelah disimpan, dibandingkan dengan bila didinginkan terlebih dahulu kehilangan beratnya rata-rata 16.8% (Isik dan Celik 2006). Pembentukan komposisi gas kesetimbangan di dalam kemasan MAP ditentukan oleh sifat film kemasan dan sifat fisiologis sayur-sayuran yang disimpan. Sifat film kemasan yang penting adalah permeabilitas film kemasan terhadap oksigen dan karbon dioksida. Tabel berikut memuat nilai permeabilitas beberapa film kemasan. Disamping jenis film, nilai permeabilitas film kemasan bergantung pada suhu lingkungan penyimpanan (Tabel 33 dan 34). Kemasan untuk sayur-sayuran umumnya berupa kemasan dari film atau plastik polistiren (McLauchlan dan Bagshaw 2001). Rahemi (2004) menyebutkan mengemas buah-buahan di dalam kemasan kantong plastik polietilen densitas tinggi dapat menahan kehilangan air secara nyata. Pengantongan secara individu buah-buahan dapat menciptakan kelembaban tinggi di dalam kemasan. Kelihatannya kemasan lebih efektif daripada pelilinan dalam mengurangi penguapan air. Gunadnya (1993) melaporkan mengemas buah salak di dalam kantong plastik PP menyebabkan udara di dalam kemasan menjadi jenuh dan uap air mengembun pada permukaan dalam kemasan. Hal ini menghalangi pandangan konsumen untuk melihat isi kemasan. Menurut Sirivatanapa (2006) kemasan lapisan tipis dari plastik polietilen densitas rendah umumnya digunakan sebagai pengemas buah-buahan dan sayur-
159 sayuran karena sifatnya seperti memiliki permeabilitas terhadap gas yang tinggi, mudah ditutup dan baik digunakan untuk suhu penyimpanan rendah. Pengemasan jenis ini banyak digunakan dalam MAP. MAP sangat efektif dalam mempertahankan kesegaran dan meningkatkan masa simpan buah-buahan dan sayur-sayuran segar (Tabel 35). MAP dapat mempertahankan warna hijau sayur-sayuran daun, mengurangi kehilangan karena panas pernapasan, mempertahankan kesegaran bahan segar, memperpanjang masa simpan dan menunda pemasakan. Tabel 33 Jenis dan permeabilitas film (ml/m2/mil/hari pada 1 atm) yang tersedia sebagai kemasan produk segara Permeabilitas CO2 O2 Polietilen densitas rendah (LDPE) 7700-77000 3900-13000 Polivinilkhlorida (PVC) 4263-8138 620-2248 Polipropilen (PP) 7700-21000 1300-6400 Polistiren 10000-26000 2600-7700 Saran 52-150 8-26 Poliester 180-390 52-130 a Zagory dan Kader (1988). Jenis film
Perbandingan CO2 : O2 2.0-5.9 3.6-6.9 3.3-5.9 3.4-3.8 5.8-6.5 3.0-3.5
Tabel 34 Koefisien permeabilitas film hasil perhitungan dan penetapan dalam satuan ml.mil/ m2.jam.atm (Gunadnya 1993) Jenis film kemasan LDPE PP Stretch Film White Stretch a hasil perhitungan,
Tebal (mil)
10Ca O2 CO2
0.99 0.61 265 0.57 342 0.58 226 b hasil penetapan.
364 888 422
15Ca O2 CO2 294 473 291
430 748 412
25Cb O2 CO2 1002 229 4143 1464
3600 656 6226 1470
Brokoli penyimpanan biasa bertahan 3-5 hari setelah dipanen, bunga berubah warna dari hijau menjadi kuning. Dengan MAP dan disimpan 4-7 oC masa simpannya menjadi 14 hari dengan kerenyahan tetap. Parsley tanpa perlakukan hanya bertahan selama 3-5 hari, tetapi dengan MAP dan disimpan pada suhu 12oC bertahan sampai 25 hari (Sirivatanapa 2006). Rahemi (2006) menyatakan bahwa mengemas di dalam plastik jenis kemasan tipis dari polietilen densitas tinggi dapat menghambat kehilangan air.
160 Pengemasan individu lebih mudah dilakukan untuk mengurangi kehilangan air. Plastik tipis kelihatannya lebih efektif daripada lilin dalam mengurangi transpirasi. Pengemasan dengan lapisan tipis plastik juga lebih baik dalam mengurangi penguapan air bahan segar daripada bahan segar tidak dikemas disimpan di dalam ruang penyimpanan dingin. Tabel 35 Film pengemas, suhu optimum untuk MAP untuk beberapa jenis sayursayurana Jenis sayur Mentimun Jepang Zucchini Wortel Cabe hijau Kacang merah Kacang buncis Bunga kol Brokoli Lobak putih Lobak merah Tomat a
Kondisi optimum MAP 6-8% O2 11-13% CO2 9-11% O2 14-16% CO2 4-6% O2 10-12% CO2 8-12% O2 8-12% CO2 0-3% O2 5-10% CO2 5-8% O2 5-10% CO2 4-7% O2 7-12% CO2 4-7% O2 7-12% CO2 5-7% O2 6-8% CO2 5-7% O2 6-8% CO2 8-12% O2 2-4% CO2
Kemasan film White Stretct film White Stretct film Stretch film
Suhu (oC) 5
LDPE, 0.03 mm LDPE, 0.03 mm LDPE, 0.03 mm LDPE, 0.04 mm LDPE, 0.04 mm LDPE, 0.04 mm PP, 0.03 mm Stretch film
Masa simpan (hari) MAP Tanpa MAP 17 7
10
17
5
5
14
4
5
9
6
10
12
4
10
12
7
5
12
5
5
8
3
10
10
3
10
12
3
15
58
32
Sutrisno (1999). Pada Tabel 35 juga terlihat bahwa dengan mengemas sayur-sayuran di
dalam kemasan film dan disimpan pada suhu penyimpanan optimum akan mampu meningkatkan masa simpan sayur-sayuran dua sampai tiga kali masa simpan sayur-sayuran tanpa dikemas pada suhu penyimpanan optimum. Film kemasan white stretch film dan stretch film banyak digunakan di dalam mengemas sayursayuran.
161 Menurut Gunadnya (1993) stretch film lebih baik daripada white stretch film untuk mengemas sayur-sayuran segar karena di permukaan dalam kemasan stretch film tidak terbentuk embun air, sedangkan embun terbentuk di dalam permukaan kemasan white stretch film. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh permeabilitas stretch film terhadap uap air lebih tinggi daripada white stretch film. Pengemasan tidak selalu memberikan keuntungan pada bahan segar yang disimpan. Bila antara jenis kemasan dan bahan segar yang dikemas tidak sesuai maka bahan segar akan mengalami kerusakan. Kasmire et al. (1974) memberi contoh ketidakberhasilan pengemasan. Karena tidak cukup pertukaran udara di dalam lingkungan penyimpanan, brokoli membentuk bau kuat menyengat pada suhu penyimpanan 2.5 oC selama 8-10 hari. Pembatasan sirkulasi udara melalui kemasan menyebabkan penurunan oksigen yang sangat cepat dan penumpukan karbon dioksida. Kerusakan bakteri pelunak batang juga menyebabkan penyimpangan bau.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh penyimpanan terhadap kehilangan pascapanen sayur-sayuran. Disamping itu, penelitian dilakukan dengan tujuan mengkaji pengaruh pengemasan terhadap kehilangan berat yang dialami sayur-sayuran yang disimpan. Jadi kajian yang dilakukan mencakup: 1. Kehilangan berat sayur-sayuran selama peyimpanan, 2. Kehilangan mutu sayur-sayuran selama peyimpanan, 3. Pengemasan sayur-sayuran sebelum disimpan, dan 4. Penumpukan keranjang sayur dalam ruang instalasi penyimpanan dingin.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama enam hari mulai dari tanggal 11 Juli 2007 sampai dengan tanggal 17 Juli 2007. Penelitian dilakukan di instalasi penyimpan-
162 an dingin Unit Sayur Mayur, Perusahaan Daerah Provinsi Bali di Desa Candikuning, Bali. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 14 jenis sayur-sayuran segar yang baru dipanen petani dari kebun Unit Sayur Mayur atau dibeli langsung di kebun petani di sekitar perusahaan. Air PDAM digunakan untuk mencuci sayur-sayuran dalam bak pencucian, es untuk mendinginkan sayur-sayuran dan kemasan film fleksibel stretch film digunakan sebagai pengemas sayur. Alat yang digunakan adalah keranjang sayur, timbangan kasar, timbangan dengan beban maksimum 25 kg, timbangan digital dengan batas berat beban maksimum 5 kg merek ACS dan alat pengemas sayur-sayuran. Alat-alat pengukuran yang digunakan meliputi termometer digital, alat pengukur suhu termokopel tipe T dengan prinsip cold dan hot junction, alat pengukur kecepatan angin dengan prinsip kerja hot wire. Prosedur percobaan Percobaan dilakukan tiga kali dengan 14 jenis sayur-sayuran. Perlakuan yang diberikan kepada sayur-sayuran dan jenis sayur-sayuran yang disimpan berbeda-beda untuk setiap percobaan. Demikian pula perlakuan selama penyimpanan sayur-sayuran untuk setiap percobaan juga berbeda-beda. Selama percobaan dilaksanakan mesin pendingin kompresi uap terus menerus dihidupkan, sehingga dengan cara seperti ini suhu ruangan instalasi penyimpanan dapat dipertahankan bersuhu 10 oC. Disamping dilakukan penyimpanan di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin, sayur-sayuran di dalam keranjang sayur juga disimpan di dalam gudang perusahaan, sebagaimana biasa dilakukan di perusahaan tersebut. Jangka waktu penyimpanan sayur-sayuran untuk setiap percobaan adalah 2 hari 2 malam (lebih kurang 48 jam). Secara umum, setiap percobaan dilakukan dengan urut-urutan kerja sebagai berikut: 1. Persiapan ruang penyimpanan,
163 2. Persiapan sayur-sayuran, 3. Perlakuan terhadap sayur-sayuran selama disimpan, dan 4. Pengambilan data. Sayur-sayuran siap disimpan kira-kira pada jam 16 waktu setempat. Untuk itu, ruang instalasi penyimpanan harus disiapkan dengan suhu 10oC pada jam tersebut. Dari hasil percobaan sebelumnya diketahui bahwa dibutuhkan waktu 4 jam supaya ruangan mencapai suhu 10 oC. Oleh karena itu, mesin pendingin kompresi uap dan kipas sentrifugal dihidupkan pada jam 12 waktu setempat. Persiapan sayur-sayuran secara umum meliputi pembersihan, sortasi, pencucian dengan air dan pendinginan pendahuluan (precooling) dengan menggunakan campuran cacahan es dengan air. Setelah ditiriskan, sayur-sayuran disusun rapi di dalam keranjang sayur dan ditimbang beratnya. Setiap keranjang sayur berisi jenis sayur-sayuran yang sama. Sampai pada tahap ini sayur-sayuran di dalam keranjang sayur sudah siap disimpan. Pengemasan sayur-sayuran dengan stretch film berupa pengemasan individu. Contoh tiap jenis sayur yang disimpan dibuat untuk ditimbang beratnya dan diamati penampakannya secara visual. Perlakuan terhadap sayur-sayuran selama penyimpanan di dalam ruangan instalasi penyimpanan dingin. Secara garis besar mencakup: tanpa memberikan tindakan apa-apa dan tindakan-tindakan untuk meningkatkan kelembaban relatif udara penyimpanan. Perlakuan tambahan ini dijelaskan dengan lebih rinci di setiap percobaan yang dilakukan. Data yang dikumpulkan selama percobaan adalah berat dan penampakan contoh sayur-sayuran yang diamati setiap kurang lebih 12 jam. Suhu bola kering dan suhu bola basah ruang instalasi penyimpanan pada 17 titik, suhu bola kering dan suhu bola basah udara lingkungan, suhu air di dalam kolam atap yang diukur setiap 1 jam. Rincian dari ke 17 titik pengukuran adalah sebagai berikut: 6 titik pengukuran pada ketinggian 0.6 m dari lantai, 6 titik pengukuran pada ketinggian 1.2 m, 3 titik pengeluran udara pada penyebar udara, 1 titik dilantai dan 1 titik di lubang pengeluran udara ke rumah kipas. Pada percobaan ketiga dilakukan pengukuran lainnya untuk keperluan analisis kinerja saluran udara dan komponennya yang lain. Untuk sayur-sayuran di dalam gudang, selain melakukan pengukuran berat contoh sayur dan pengamatan visual terhadap penampakan sayur, dilakukan
164 juga pengukuran suhu bola kering dan suhu bola basah udara di dalam gudang dengan selang waktu 1 jam. Pengamatan yang dilakukan sepanjang penelitian adalah pengamatan keadaan langit. Keadaan langit digolongkan kedalam keadaan langit cerah, berawan tinggi, berawan sedang, dan berawan rendah. Percobaan Pertama. Jenis sayur-sayuran yang disimpan pada pecobaan pertama adalah sawi putih, selada bulat, brokoli, selada kriting, macope, selada merah, parsley, kaelan, rumana hijau dan seledri. Dari semua jenis sayur-sayuran ini, sawi putih diberikan perlakuan yang berbeda. Sawi putih tidak disortasi untuk sawi putih yang disimpan di ruang penyimpanan atau di dalam gudang. Dengan demikian daun-daun paling luar sawi putih yang rusak secara mekanis tidak dibuang. Tetapi untuk sawi putih yang akan dikemas disortasi dengan cara menghilangkan daun-daun terluar yang rusak dan memotong tangkai pangkal daun. Pada percobaan pertama tidak semua sayur-sayuran diberikan perlakuan pendinginan pendahuluan. Sayur-sayuran yang didinginkan adalah sayur-sayuran yang dikemas yaitu: sawi putih, selada bulat, dan brokoli. Pada percobaan pertama, selama sayur-sayuran disimpan di dalam ruang penyimpanan dingin, tidak ada tindakan tambahan yang diberikan terhadap sayursayuran. Penumpukan keranjang sayur yang berisi sayur sejenis di dalam ruang instalasi penyimpanan dilakukan untuk memudahkan pengamatan dan menghemat ruang. Di dalam gudang disimpan untuk setiap jenis sayur-sayuran satu keranjang, sedangkan di dalam ruang instalasi penyimpanan disimpan sawi putih 2 tumpukan keranjang yang masing-masing berisi 2 keranjang, selada kriting 1 tumpukan dengan 2 keranjang, dan kaelan 1 tumpukan dengan 3 keranjang, sedangkan jenis sayur-sayuran yang lain masing-masing 1 keranjang. Masing-masing keranjang di dalam tumpukan berisi contoh sayur yang akan diamati. Percobaan Kedua. Sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi dan di dalam gudang adalah sayur-sayuran sawi putih, brokoli, selada keriting, baby macope, selada merah, parsley, seledri, kubis, bunga kol dan lobak TW. Seperti pada percobaan pertama, perlakuan untuk sayur sawi putih sama, yaitu tidak
165 disortasi, kecuali untuk contoh sayur sawi putih yang dikemas secara individu, dilakukan sortasi dan pendinginan pendahuluan. Selain sawi putih, contoh sayur-sayuran lainnya yang didinginkan adalah brokoli dan bunga kol. Kedua jenis sayur-sayuran dikemas berupa kemasan individu dengan kemasan stretch film. Keranjang sayur dengan isi sayur sejenis yang lebih dari satu keranjang ditumpuk untuk memperluas ruang. Di dalam gudang disimpan sayur-sayuran masing-masing jenis satu keranjang. Di dalam ruang instalasi penyimpanan disimpan sawi putih, selada keriting, dan seledri masingmasing 2 keranjang sayur. Sayur jenis lain disimpan masing-masing 1 keranjang. Contoh sayur yang akan ditimbang diletakkan di keranjang paling atas. Perlakuan lain yang dikenakan kepada sayur-sayuran selama penyimpanan di dalam ruang instalasi penyimpanan berupa penutupan keranjang paling atas dengan kertas. Kertas kemudian dibasahi dengan air dan pembasahan ini dilakukan setiap jam selama sayur-sayuran disimpan. Percobaan Ketiga. Di dalam ruang instlasi dan gudang disimpan sayursayuran jenis sawi putih, brokoli, selada keriting, macope, selada merah, seledri dan bayam TW. Seperti pada dua percobaan sebelumnya, sayur sawi putih tidak disortasi, kecuali untuk sawi putih yang dikemas. Pada percobaan ketiga semua sayur-sayuran diberikan pendinginan pendahuluan. Contoh sayur-sayuran yang dikemas secara individu dengan stretch film adalah sawi putih dan brokoli. Penumpukan keranjang sayur juga dilakukan pada percobaan ini. Di dalam gudang hanya selada keriting yang disimpan dalam 2 keranjang yang ditumpuk dan disetiap keranjang ada contoh sayur. Di dalam ruang instalasi penyimpanan disimpan 1 tumpukan sawi putih dengan 3 keranjang, selada keriting dalam 1 tumpukan yang terdiri atas 4 keranjang dan macope dalam 1 tumpukan dengan 2 keranjang. Disetiap keranjang ditaruh contoh-contoh sayur yang diamati berat dan penampakannya. Perlakuan tambahan yang diberikan selama sayur-sayuran di simpan di dalam ruang instalasi penyimpanan adalah meningkatkan kelembaban udara penyimpanan. Berbeda dengan tindakan yang dilakukan pada percobaan kedua, pada percobaan ketiga peningkatan kelembaban udara dilakukan dengan mengoperasi-
166 kan alat pelembab. Cara penggunaan alat pelembab sudah dijelaskan di dalam bab sebelumnya. Pengukuran Parameter Kehilangan Berat. Berat contoh sayur-sayuran ditimbang dalam selang waktu tertentu dan susut berat sayur dihitung dengan rumus Mi M f WL M i
100%
WL = susut berat (%) Mi = berat sayur mula-mula (kg) Mf = berat sayur setelah disimpan selama selang waktu tertentu (kg) Kehilangan Mutu. Mutu sayur-sayuran yang disyaratkan oleh rekanan perusahaan sangat ketat. Perusahaan rekanan hanya menerima sayur-sayuran bermutu superior. Oleh karena itu, perusahaan melakukan sortasi teliti terhadap sayursayuran yang dibeli. Pada dasarnya, syarat mutu yang diinginkan meliputi warna sayur-sayuran, ukuran dan berat sayur. Sortasi yang dilakukan adalah dengan menghilangkan lapisan daun yang rusak atau membuang krop yang rusak. Penghilangan sebagian dari daun seperti bagian-bagian daun yang rusak karena pinggiran daun mencoklat atau menguning tidak dilakukan tetapi satu daun dibuang. Krop sayur setelah disortasi masih bermutu baik tetapi memiliki ukuran atau berat yang tidak memenuhi standar maka dianggap krop kehilangan mutu. Demikian pula bila ada bagian daun yang sudah layu atau berubah warna maka daun secara utuh dibuang. Daun atau krop rusak sebagai hasil sortasi dikumpulkan ditimbang dan kehilangan mutu dihitung dengan menggunakan rumus berikut. MD f QL M i
100%
QL = susut mutu (%) MDf = berat hasil sortasi setelah sayur-sayuran disimpan selama selang waktu tertentu (kg).
167 Analisis Data Untuk sebaran suhu dan kelembaban relatif dilakukan analisis statistika sederhana yang mencakup nilai rata-rata dan simpangan baku. Analisis statistika yang dilakukan adalah membandingkan nilai tengah parameter yang diamati dari sayur-sayuran yang disimpan di dalam gudang dengan menggunakan paket program SPSS (2004). Untuk susut berat dan susut mutu hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Untuk membandingkan antara sayur-sayuran yang dikemas dengan tanpa dikemas, dikemas dan disimpan di dalam gudang dan di dalam ruangan instalasi penyimpanan dingin, dilakukan pengurangan antara nilai parameter sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruangan instalasi penyimpanan dingin dengan di dalam gudang.
Hasil dan Pembahasan
Perubahan Suhu dan Kelembaban Udara Ruang Penyimpanan selama Percobaan Gambar 35 (dalam Bab 4) dan Gambar 40 masing-masing memperlihatkan perubahan suhu dan kelembaban udara di dalam ruang penyimpanan yaitu ruang instalasi dan gudang. Pola perubahan suhu udara di dalam gudang dengan di dalam ruang instalasi tidak berbeda. Secara umum, suhu udara di kedua tempat penyimpanan meningkat selama siang hari dan menurun selama malam hari. Di dalam gudang, kisaran suhu udara mencapai 10.9-22.8 oC, 12.5-22.2 oC, dan 14.021.5oC, masing-masing selama percobaan I, II, dan III. Suhu udara rata-rata dalam ruang gudang selama percobaan I, II dan III adalah 16.7, 17.6, dan 17.3oC. Seperti sudah diuraikan di depan, suhu udara rata-rata di dalam ruang instalasi adalah 10.9, 11.1, dan 10.1oC untuk percobaan I, II, dan III. Secara rata-rata suhu udara di dalam ruang instalasi lebih rendah daripada suhu udara di dalam ruang gudang.
168
o
Suhu udara (C) .
Percobaan III 100
30
80
25
60
20
40
15
20
10
0 0
24
48 72 96 Waktu pengamatan (jam)
120
144
Kelembaban relatif udara (%) .
Percobaan II
Percobaan I 35
Tadb RH
Gambar 40 Perubahan suhu dan kelembaban relatif udara di dalam gudang. Tetapi dari kedua gambar terlihat bahwa pola perubahan kelembaban relatif (RH) udara berbeda. RH udara di dalam gudang cenderung mendekati nilai 100%. Kisaran RH udara untuk percobaan I adalah 61.9-97%, selama percobaan II 76.198% dan 71.8-98% selama percobaan III. RH udara rata-rata di dalam gudang berturut-turut 95.3, 91, dan 88.7% selama percobaan I, II, dan III. Di dalam ruang instalasi RH udara cenderung rendah, karena air yang terkandung di dalam udara dingin mengembun ketika didinginkan pada permukaan evaporator. Menurut Boyette et al. (1989) pendinginan udara seperti ini menghasilkan udara dingin dengan kelembaban rendah. Kecuali pada parcobaan III, RH udara rata-rata mencapai 88.7% karena udara dingin dengan sengaja dilembabkan menggunakan alat pelembab. Kehilangan Berat Sayur-sayuran yang Disimpan Percobaan I. Pada percobaan penyimpanan I sayur-sayuran tidak diberikan perlakuan tambahan dan disimpan sepuluh jenis sayur-sayuran. Kesepuluh jenis sayur-sayuran tersebut adalah sawi putih (Sp), selada bulat (Sb), brokoli (Br), selada keriting (Sk), macope (Ma), selada merah (Sm), parsley (Pa), kaelan (Ka), rumana hijau (Rh), dan seledri (Se).
169 Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa baik jenis sayur-sayuran maupun lama penyimpanan sayur di dalam ruang instalasi berpengaruh nyata (P < 0.05) terhadap kehilangan berat sayur-sayuran. Analisis lanjutan dengan menggunakan uji DMRT memperlihatkan bahwa kehilangan berat semua jenis sayursayuran tidak berbeda nyata (P > 0.05) antara satu jenis sayur dengan jenis sayur lainnya. Kehilangan berat diatas 10% yang secara statistika tidak berbeda nyata dialami sayur selada merah, seledri, parsley, dan selada keriting, sedangkan sayur jenis lainnya mengalami kehilangan berat kurang dari 10%. Dalam Tabel 36 dapat dilihat bahwa setelah sawi putih, selada bulat mengalami kehilangan berat terkecil, walaupun kehilangan berat rata-rata sayur ini tidak berbeda nyata dengan sayur-sayuran lainnya. Tabel 36 Kehilangan berat rata-rata (%) beberapa jenis sayur-sayuran selama penyimpanan di dalam ruang instalasi pada percobaaan penyimpanan I Lama penyimpanan (jam) Rata-rata 0 9 33 47 Sawi putih 0 1.2 4.0 9.6 3.7 Selada bulat 0 1.9 9.3 12.0 5.8 Brokoli 0 3.9 12.1 14.9 7.7 Selada keriting 0 17.6 29.6 31.1 19.6 Macope 0 5.2 12.9 15.8 8.5 Selada merah 0 7.1 18.6 22.9 12.1 Parsley 0 11.0 28.9 35.6 18.9 Kaelan 0 5.3 11.8 21.9 9.7 Rumana hijau 0 5.8 13.4 16.8 9.0 Seledri 0 12.5 26.7 30.0 17.3 Rata-rataa 0a 7.1 b 16.7 c 21.1 c 11.2 a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT). Jenis sayur
Untuk lama penyimpanan, berdasarkan pada hasil uji DMRT diketahui bahwa setelah disimpan selama 9 jam, kehilangan berat rata-rata sayur sebesar 7.13% sudah berbeda nyata dengan lama penyimpanan lainnya. Demikian juga setelah disimpan selama 33 jam, kehilangan berat sayur berbeda nyata dengan sayur yang disimpan selama 9 jam. Tetapi kehilangan berat sayur tidak berbeda nyata setelah sayur disimpan selama 47 jam. Sampai dengan penyimpanan 33 jam,
170 kehilangan berat sayur-sayuran semakin besar setelah semakin lama berada di dalam ruang instalasi. Secara rata-rata, sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi, tanpa ada perlakuan tambahan, mengalami kehilangan berat sebesar 11.2%. Kehilangan berat yang dialami oleh sayur-sayuran di dalam ruang penyimpanan dingin hampir dua kali lipat dari kehilangan berat rata-rata sayur-sayuran yang disimpan di dalam gudang yang mencapai 6.6%. Hal ini menandakan bahwa penyimpanan sayur-sayuran di dalam ruang instalasi memberikan dampak negatif pada sayursayuran yang disimpan. Kehilangan berat sayur-sayuran ditentukan oleh suhu dan kelembaban udara pendingin. Suhu dan kelembaban udara di dalam gudang penyimpanan terlihat di dalam Gambar 40. Kelembaban relatif udara di dalam gudang selama penyimpanan sayur tinggi. Sementara itu, suhu udara di dalam gudang juga tidak terlalu tinggi. Satu hal lain yang membedakan keadaan di dalam gudang dengan di dalam ruang instalasi adalah udara di dalam gudang hampir tidak bergerak, sedangkan udara di dalam ruang instalasi bergerak dengan kecepatan rata-rata 0.27 m/s. Tetapi pergerakan udara dengan kecepatan cukup dibutuhkan di dalam ruang penyimpanan dingin untuk meratakan suhu dan kelembaban relatif udara. Walaupun tidak dilakukan uji statistika, kehilangan berat pada sayur-sayuran yang disimpan di dalam gudang memiliki kecenderungan yang sama. Perbedaan antara kehilangan berat sayur yang disimpan di dalam ruang instalasi dengan penyimpanan di dalam gudang disajikan di dalam Gambar 41. Hasil pengurangan kehilangan berat antara kedua cara penyimpanan sayur-sayuran memperlihatkan bahwa sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi mengalami kehilangan berat lebih besar daripada sayur-sayuran yang disimpan di dalam gudang dengan perkecualian sayur kaelan dan rumana hijau. Kehilangan berat kaelan lebih rendah 2% setelah disimpan selama 33 jam di dalam ruang instalasi daripada disimpan di gudang. Begitu pula dengan rumana hijau mengalami kehilangan berat 0.5% lebih rendah setelah disimpan 47 jam di dalam ruang instalasi. Dari pengamatan visual diketahui bahwa ketahanan kaelan disimpan di dalam ruang dingin disebabkan oleh lapisan lilin yang ada pada permukaan daun dan batang sayur. Lapisan lilin alami pada daun dan bagian lain dari
171 sayur menjadi pelindung sayur terhadap kehilangan air (Wills et al. 1981). Kekompakan bentuk krop daun kemungkinan menyebabkan rumana hijau lebih tahan disimpan dingin walaupun pengaruhnya tidak terlalu besar.
20 Sp Sb
15 Beda (%)
Br
10
Sk Ma
5
Sm Pa
0
Ka
9
33
47
-5
Rh Se
Waktu pengamatan (jam)
Gambar 41 Perbedaan (%) kehilangan berat antara sayur-sayuran yang disimpan dalam ruang instalasi dengan dalam gudang, hasil percobaan I. Gambar 41 juga memperlihatkan bahwa sayur-sayuran yang disimpan dingin yang mengalami kehilangan berat lebih besar 10% daripada disimpan di dalam gudang adalah parsley, selada keriting dan seledri setelah penyimpanan 33 jam. Jenis sayur-sayuran yang lain mengalami kehilangan berat dibawah 10%. Sawi putih, selada bulat, brokoli, dan macope yang disimpan dingin mengalami kehilangan berat 5% lebih tinggi daripada sayur-sayuran tersebut disimpan di dalam gudang. Kelihatannya penyimpanan tanpa sortasi untuk sayur sawi putih tidak mampu mengurangi kehilangan air bila disimpan di dalam ruang instalasi. Tetapi daun bagian luar sawi putih yang tidak dibuang saat sortasi akan dibuang saat sayur dikeluarkan dari ruang penyimpanan. Dengan cara seperti ini ukuran dan berat krop sayur sawi putih masih memenuhi kriteria mutu. Hasil percobaan dengan penyimpanan sayur-sayuran di dalam ruang instalasi tanpa diberikan perlakuan tambahan, menunjukkan bahwa semua jenis sayur yang disimpan di dalam ruang instalasi penyimpanan kehilangan berat lebih tinggi daripada sayur-sayuran yang disimpan di dalam gudang. Secara rata-rata kehi-
172 langan berat sayur-sayuran setelah disimpan selama 9, 33, dan 47 jam di dalam ruang instalasi berturut-turut 7.1, 16.7, dan 21.1%. Setelah disimpan dalam selang waktu yang sama, sayur-sayuran di dalam gudang mengalami kehilangan berat rata-rata 2.6, 9.0, dan 14.6%. Hal ini menunjukkan bahwa kehilangan berat sayursayuran yang disimpan di dalam gudang lebih rendah daripada penyimpanan dingin di dalam ruang instalasi. Secara umum hasil percobaan dan hasil pengolahan data yang sudah dilakukan seolah-olah memberikan kesan bahwa penyimpanan dingin memberikan pengaruh negatif terhadap sayur-sayuran. Padahal penyimpanan dingin yang memadai untuk sayur-sayuran dapat menekan kerusakan enzimatis dan menghambat kehilangan air sayur-sayuran yang disimpan sehingga masa simpan sayur dapat ditingkatkan (Boyette et al. 2000a). Penyimpanan dingin yang tidak memberikan dampak positif pada sayursayuran yang disimpan kemungkinan disebabkan oleh beberapa penyebab. Suhu penyimpanan yang terlalu dingin akan merusak sayur-sayuran yang disimpan. Tetapi dalam percobaan ini disimpan sepuluh jenis sayur-sayuran, sehingga suhu ruang instalasi penyimpanan tidak diatur untuk sayur-sayuran dengan suhu penyimpanan optimum terendah. Menurut Boyette et al. (2000b) untuk penyimpanan beberapa jenis sayur-sayuran secara bersama-sama maka suhu ruang penyimpanan diatur cukup tinggi. Oleh karena itu, suhu penyimpanan mungkin bukan penyebab kehilangan berat yang dialami sayur-sayuran di dalam ruang instalasi penyimpanan. Sebaliknya karena suhu panyimpanan terlalu tinggi maka banyak sayur-sayuran yang memiliki suhu penyimpanan optimum rendah mengalami kehilangan berat lebih besar pada suhu penyimpanan tinggi. Hasil pengamatan visual menunjukkan bahwa tumpukan sayur yang langsung bersentuhan dengan aliran udara dingin lebih kering daripada tumpukan sayur dibawahnya di dalam satu keranjang sayur. Dari kenyataan ini kemungkinan kecepatan aliran udara dingin menyebabkan kehilangan berat sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi. Percobaan II. Percobaan II dilaksanakan dengan memberikan tambahan perlakuan selama sayur-sayuran disimpan dalam ruang instalasi penyimpanan
173 dingin. Tambahan perlakuan yang diberikan berupa penutupan bagian atas keranjang sayur dengan kertas basah seperti diperlihatkan dalam Gambar 42. Kertas penutup dipertahankan tetap basah selama penyimpanan dengan cara dibasahi dengan air setiap satu jam.
Gambar 42 Keranjang sayur dengan bagian atasnya ditutup dengan kertas koran yang dibasahi. Analisis ragam menunjukkan bahwa jenis sayur-sayuran yang disimpan dan lama penyimpanan sayur di dalam ruang instalasi mempengaruhi secara nyata kehilangan berat sayur-sayuran. Uji DMRT menghasilkan kesimpulan bahwa kehilangan berat sayur kubis (Ku) terkecil dan berbeda nyata dengan parsley yang mengalami kehilangan berat terbesar. Kehilangan berat jenis sayur-sayuran lainnya tidak berbeda nyata (P > 0.05) (Tabel 37). Kehilangan berat sayur-sayuran kubis, lobak TW (Lo), bunga kol (Bk), sawi putih, baby macope (Bm), selada merah dan brokoli di bawah 10% dan tidak berbeda nyata antara satu jenis dengan jenis sayur lainnya. Jenis sayur lainnya yang dicoba dalam percobaan ini yaitu selada keriting, seledri, dan parsley mengalami kehilangan berat di atas 10%. Kemungkinan pendapat Wills et al. (1976) yang menyatakan bahwa sayur-sayuran yang mempunyai perbandingan luas permukaan dengan volume yang besar akan mengalami kehilangan air lebih besar bila didinginkan, menjelaskan kejadian ini. Lebih jauh, dapat disimpulkan bahwa tidak
174 semua jenis sayur-sayuran dapat ditekan kehilangan beratnya dengan perlakuan penutupan bagian atas keranjang sayur dengan kertas basah. Tetapi untuk sayursayuran dengan bentuk kompak memberikan respon positif terhadap perlakuan yang diberikan. Hasil uji DMRT untuk lama penyimpanan menunjukkan bahwa sayur-sayuran baru mengalami peningkatan kehilangan berat secara nyata setelah disimpan selama 21 jam, sedangkan kehilangan berat sayur pada pengamatan sebelumnya tidak berbeda nyata. Setelah disimpan selama 21 jam sayur-sayuran kehilangan berat 8.6%, tetapi setelah penyimpanan 13 jam sayur hanya mengalami kehilangan berat sebesar 3% suatu nilai yang masih jauh di bawah 5%. Tabel 37 Rata-rata kehilangan berat (%) beberapa jenis sayur-sayuran setelah penyimpanan di dalam ruang instalasi pada percobaan II Lama penyimpanan (jam) Rata-rataa 0 13 21 34 60 Kubis 0 0.6 1.6 1.9 2.2 1.3 a Bunga kol 0 1.7 4.2 5.8 7.6 3.9 abc Sawi putih 0 2.6 5.8 6.8 8.0 4.6 abc Lobak TW 0 0.8 4.1 4.5 5.3 2.9 ab Brokoli 0 2.8 8.4 10.8 12.4 6.9 abcd Selada keriting 0 6.3 14.7 18.1 19.3 11.7 bcd Baby macope 0 0.7 7.1 9.7 10.4 5.6 abc Selada merah 0 4.0 7.7 9.4 11.1 6.4 abc Parsley 0 6.7 19.3 24.0 29.6 15.9 d Seledri 0 3.7 13.2 22.6 24.3 12.8 cd a Rata-rata 0 a 3.0 a 8.6 b 11.4 b 13.0 b 7.2 a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT). Jenis sayur
Perbedaan perubahan kehilangan berat sayur-sayuran secara jelas ditunjukkan di dalam Gambar 43. Sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi mengalami kehilangan berat yang jauh lebih kecil daripada sayur-sayuran yang disimpan di dalam gudang. Tetapi ada beberapa jenis sayur sebagai perkecualian, yaitu selada keriting, bunga kol, dan kubis yang secara konsisten mengalami kehilangan berat lebih tinggi selama disimpan di dalam ruang instalasi. Kehilangan berat sayur kubis melebihi 5% setelah disimpan dingin selama 34 jam. Kenyataan ini berlawanan dengan harapan karena kubis memiliki perban-
175 dingan luas dan volume kecil. Tetapi kemungkinan karena diameter sayur ini cukup besar sehingga bagian yang kontak dengan aliran udara dingin masih cukup banyak. Keranjang sayur yang digunakan untuk menyimpan adalah keranjang yang berlubang di semua sisi keranjang. Keranjang sayur seperti ini memungkinkan udara dingin mengalir diantara tumpukan sayur-sayuran. Oleh karena itu untuk sayur kubis penutupan bagian atas keranjang sayur kurang efektif. Berlawanan dengan hasil pengamatan terhadap sayur kubis, selada merah sangat terlindungi dengan perlakuan penutupan dan pembasahan kertas penutup. Demikian pula dengan jenis sayur-sayuran lainnya seperti parsley, seledri, baby macope dan lobak TW mengalami kehilangan berat yang kecil.
10 Sp
Beda (%)
5
Ku
0
Bk
-5
Lo
-10
Br Sk
-15
Bm
-20
Sm
-25
Pa
13
21 34 Waktu pengamatan (jam)
60
Se
Gambar 43 Perbedaan (%) kehilangan berat antara sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi dengan di dalam gudang, hasil percobaan II. Perlakuan penutupan dan pembasahan kertas yang dipertahankan tetap basah selama penyimpanan sayur di dalam ruang instalasi penyimpanan memberikan manfaat pada kebanyakan sayur-sayuran yang disimpan. Disamping mengurangi laju penguapan air sayur secara langsung karena aliran udara dingin, kertas lembab mampu mempertahankan kelembaban sayur tetap tinggi. Cara ini kemungkinan belum pernah dicoba karena pada umumnya untuk mengurangi kehilangan berat, bahan segar secara langsung diperciki air sebagaimana dinyatakan oleh Thomson et al. (2001). Menurut mereka salah satu cara mengurangi
176 kehilangan air bahan segar adalah dengan cara memerciki bahan segar dengan air, seperti dilakukan terhadap wortel yang disimpan sementara pada suhu hangat. Percobaan III. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis sayur-sayuran dan lama penyimpanan sayur di dalam ruang instalasi berpengaruh secara nyata terhadap kehilangan berat sayur-sayuran yang disimpan. Berdasarkan pada hasil uji DMRT diketahui bahwa selada keriting mengalami kehilangan berat paling tinggi yang berbeda secara nyata dengan sayur macope yang kehilangan berat paling rendah. Sedangkan terhadap jenis sayur-sayuran lain yang disimpan, kehilangan berat dari kedua sayur ini tidak berbeda nyata (Tabel 38). Selain macope, sayur brokoli juga kehilangan berat lebih kecil dari 5% dan sayur yang lain kehilangan berat lebih besar dari 5%. Seledri dan selada keriting kehilangan berat rata-rata di atas 10%. Peningkatan kehilangan berat sayur setelah penyimpanan selama 36 jam berbeda secara nyata. Peningkatan kehilangan berat rata-rata sayur setelah penyimpanan 69 jam berbeda nyata dengan setelah sayur disimpan 36 jam. Hal ini menunjukkan bahwa lama kontak antara sayur dan udara dingin terlihat pengaruhnya setelah disimpan selama 36 jam. Sayur-sayuran yang disimpan selama 24 jam kehilangan berat sebesar 5%, sedangkan bila penyimpanan diperpanjang maka kehilangan berat sayur mencapai di atas 10%.
Tabel 38 Rata-rata kehilangan berat (%) beberapa jenis sayur-sayuran setelah disimpan di dalam ruang instalasi dengan pelembaban udara Lama penyimpanan (jam) 0 24 36 51 69 Sawi putih 0 4.3 7.2 8.9 11.1 Brokoli 0 2.0 2.9 4.2 7.2 Selada keriting 0 10.5 16.9 18.8 25.2 Selada merah 0 6.1 11.5 17.6 21.9 Makope 0 1.8 3.0 3.6 6.9 Bayam TW 0 4.4 8.4 11.6 15.1 Seledri 0 5.7 10.3 18.6 21.4 a Rata-rata 0a 5.0 ab 8.6 bc 11.9 cd 15.5 d a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada (DMRT). Jenis sayur
Rata-rataa 6.3 ab 3.3 a 14.3 b 11.4 b 3.0 a 7.9 ab 11.2 ab 8.2 taraf uji 5%
177 Empat dari tujuh jenis sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi mengalami kehilangan berat rata-rata lebih kecil daripada sayur-sayuran yang disimpan di dalam gudang. Kehilangan berat rata-rata sayur brokoli yang disimpan di dalam instalasi paling kecil diantara sayur-sayuran yang lain. Tiga jenis sayur yang lebih besar kehilangan beratnya setelah disimpan di dalam ruang instalasi yaitu sawi putih, macope dan selada kriting. Tetapi perbedaan kehilangan berat rata-rata sayur sawi putih tetap di bawah 5%. Sedangkan untuk selada keriting kehilangan berat rata-rata di dalam ruang instalasi penyimpanan di atas 5% lebih tinggi setelah sayur disimpan selama 51 jam (Gambar 44).
10
Beda (%)
Sp 5
Br
0
Sk Sm
-5
Ma Ba
-10
Se
-15 24
36 51 Waktu pengamatan (jam)
69
Gambar 44 Perbedaan (%) kehilangan berat antara sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi dengan di dalam gudang, hasil percobaan III.
Mutu Sayur Percobaan I. Analisis ragam digunakan untuk menganalisis pengaruh jenis dan lama penyimpanan sayur-sayuran di dalam ruang instalasi penyimpanan. Diperoleh hasil bahwa jenis sayur-sayuran tidak mempengaruhi kehilangan mutu sayur-sayuran, tetapi lama penyimpanan mempengaruhi secara nyata kehilangan mutu sayur-sayuran yang disimpan. Dari uji DMRT diketahui bahwa setelah disimpan selama 19 jam kehilangan mutu sayur sudah berbeda nyata dengan mutu
178 sayur sebelum disimpan. Penyimpanan yang semakin lama secara nyata menyebabkan kehilangan mutu sayur semakin besar. Setelah disimpan selama 19 jam sayur-sayuran kehilangan mutu sebesar 10.83% dan kehilangan mutu sayur menjadi 15.35% setelah disimpan selama 33 jam (Tabel 39). Pengaruh tempat penyimpanan sayur-sayuran sangat jelas terlihat di dalam Tabel 38. Bila dibandingkan dengan rata-rata kehilangan mutu sayur yang disimpan di dalam gudang yang mencapai rata-rata 12.9%, maka kehilangan mutu sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi mencapai 8.7%. Tabel 39 Kehilangan mutu (%) sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi pada percobaan penyimpanan I Lama penyimpanan (jam) Rata-rata 0 19 33 Sawi putih 0 10.6 15.1 8.5 Selada bulat 0 5.6 9.1 4.9 Brokoli 0 8.0 11.8 6.6 Selada keriting 0 7.1 13.0 6.7 Selada merah 0 12.8 17.8 10.2 Macope 0 9.0 12.5 7.2 Parsley 0 19.9 27.1 15.7 Kaelan 0 6.1 8.8 5.0 Rumana hijau 0 9.6 13.0 7.5 Seledri 0 19.6 25.3 15.0 Rata-rataa 0a 10.83 b 15.35 c 8.7 a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT). Jenis sayur
Penyimpanan sayur-sayuran di dalam ruang instalasi penyimpanan mampu menekan kehilangan mutu bila dibandingkan dengan penyimpanan sayuran di dalam gudang (Gambar 45). Hampir semua jenis sayur-sayuran memberikan respon terhadap penyimpanan dingin. Penyimpanan dingin menekan kehilangan mutu rumana hijau menjadi hanya sepertiga dari kehilangan mutu rumana hijau yang disimpan di dalam gudang setelah 19 dan 33 jam penyimpanan. Percobaan II. Data hasil percobaan penyimpanan sayur di dalam ruang instalasi penyimpanan diolah dengan analisis ragam. Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis sayur dan lama waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap
179 kehilangan mutu sayur-sayuran yang disimpan. Kehilangan mutu bunga kol dan brokoli berbeda nyata dengan kehilangan mutu sayur-sayuran lainnya. Selain kedua jenis sayur tersebut, semua jenis sayur-sayuran, berdasarkan hasil uji DMRT, tidak berbeda nyata. Peningkatan kehilangan mutu sayur karena waktu penyimpanan secara statistika berbeda nyata (Tabel 40). Hampir seperempat nilai mutu sayur hilang setelah disimpan selama 19 jam dan kehilangan mutu mencapai hampir 30% setelah sayur disimpan selama 33 jam.
Beda (%)
19
33
5
Sp
0
Sb
-5
Br Sk
-10
Ma -15
Sm
-20
Pa
-25
Ka
-30
Rh Waktu pengamatan (jam)
Se
Gambar 45 Perbedaan mutu (%) antara sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi dengan di dalam gudang pada percobaan penyimpanan I. Secara keseluruhan, penyimpanan sayur di dalam ruang instalasi penyimpanan dapat menekan kehilangan mutu sayur-sayuran menjadi rata-rata 17.4% suatu nilai yang lebih kecil bila dibandinglan dengan kehilangan mutu sayur pada penyimpanan di dalam gudang yang mencapai 20.5% (Gambar 46). Kelihatannya perlakuan tambahan berupa menutup bagian atas keranjang sayur dengan kertas yang secara terus menerus dibasahi berakibat baik terhadap sayur yang disimpan. Dengan menutup permukaan sayuran menyebabkan kehilangan air sayur dapat dikurangi. Udara dingin dengan kelembaban rendah menjadi lebih jenuh dengan penguapan air yang diserap kertas basah.
180 Secara kuantitatif penyimpanan dengan penutupan bagian atas keranjang sayur menggunakan kertas basah dapat menekan kehilangan mutu bunga kol menjadi 0.2% setelah disimpan 19 jam, tetapi perlakuan ini tidak banyak berpengaruh pada bunga kol yang disimpan lebih lama. Kerusakan yang menyebabkan bunga kol dan brokoli sepenuhnya kehilangan mutu (100%) berupa perubahan warna bunga kol dari putih krem menjadi krem kekuning-kuningan. Pada penyimpanan yang lebih lama timbul bercak-bercak coklat pada permukaan bunga. Tabel 40 Kehilangan mutu (%) sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi pada percobaan penyimpanan II Lama penyimpanan (jam) Rata-rataa 0 19 33 Sawi putih 0 5.4 11.8 5.7 a Kubis 0 1.6 1.9 1.2 a Bunga kol 0 100.0 100.0 66.7 b Lobak TW 0 1.7 2.5 1.4 a Brokoli 0 100.0 100.0 66.7 b Selada keriting 0 4.8 9.0 4.6 a Baby macope 0 7.1 9.7 5.6 a Selada merah 0 7.7 9.4 5.7 a Parsley 0 8.1 13.4 7.2 a Seledri 0 12.5 14.9 9.2 a Rata-rataa 0a 24.9 b 27.3 c 17.4 a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji Jenis sayur
Pada brokoli terjadi pelayuan tangkai bunga dan pada akhir penyimpanan bunga brokoli mulai mekar mengubah warna bunga dari hijau menjadi hijau kekuning-kuningan. Baik bunga kol maupun brokoli sudah menghasilkan bau yang menyimpang. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh ketidaktepatan film kemasan yang digunakan yang dampaknya muncul setelah beberapa lama disimpan. Menurut Kasmire et al. (1974) ketidakberhasilan pengemasan pada brokoli ditandai dengan bau kuat menyengat. Percobaan III. Penyimpanan dingin dengan ditambah pelembaban udara dingin sebelum disebarkan dalam ruangan diharapkan memberikan hasil penyimpanan sayur-sayuran yang lebih baik. Dalam penyimpanan sayur-sayuran dan buah-buahan, pengaturan suhu dan kelembaban udara ruang penyimpanan sangat
181 dianjurkan untuk mengatasi kehilangan mutu dan kehilangan berat sayur-sayuran yang disimpan. Dari Tabel 41 secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyimpanan dengan perlakukan pelembaban masih memungkinkan untuk terjadinya kehilangan mutu sayur-sayuran yang disimpan dengan nilai rata-rata 3.5%.
19
33
0
Sp Ku
Beda (%)
-5
Bk Lo
-10
Br Sk
-15
Bm -20
Sm Pa
-25
Se Waktu pengamatan (jam)
Gambar 46 Perbedaan mutu (%) antara sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi dengan di dalam gudang pada percobaan penyimpanan II. Tabel 41 Kehilangan mutu (%) sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi pada percobaan penyimpanan III Lama penyimpanan (jam) Rata-rata 0 20 34 SawiPutih 0 4.4 6.9 3.8 Brokoli 0 2.0 2.8 1.6 Seladakriting 0 3.8 6.4 3.4 Seladamerah 0 6.1 8.0 4.7 Makope 0 1.9 3.7 1.8 BayamTW 0 4.4 8.2 4.2 Seledri 0 5.7 10.0 5.2 a Rata-rata 0a 4.0 b 6.6 c 3.5 a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT). Jenis sayur
182 Hasil pengolahan data dengan menggunakan analisis ragam mendapatkan bahwa kehilangan mutu yang terjadi pada sayur-sayuran dipengaruhi dengan nyata oleh lama penyimpanan. Kehilangan mutu sayur setelah penyimpanan 20 dan dan 34 jam berbeda dengan nyata (Tabel 41). Secara rata-rata, kehilangan mutu sayur setelah disimpan 20 jam kurang dari 5%. Demikian pula dengan tingkat kehilangan mutu sayur yang disimpan selama 34 jam masih lebih kecil dari 10%. Secara umum pendinginan dapat menekan kehilangan mutu dari 8.6%, bila sayur-sayuran disimpan di dalam gudang, menjadi 3.5% bila disimpan di dalam ruang instalasi.
20
34
5 Sp
0 Beda (%)
Br -5
Sk
-10
Sm M
-15
Ba
-20
Se
-25 Waktu pengamatan (jam)
Gambar 47 Perbedaan mutu (%) antara sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi dengan di dalam gudang pada percobaan penyimpanan III. Kecuali bayam TW, semua jenis sayur mengalami kehilangan mutu yang lebih rendah dengan penyimpanan dingin. Gambar 47 menyajikan perbedaan kehilangan mutu antara sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi dengan penyimpanan di dalam gudang. Daun bayam sudah menunjukkan kelayuan dengan batang tidak kaku setelah disimpan selama 20 jam. Kelayuan daun dan batang sayur semakin besar pada waktu penyimpanan yang semakin lama.
183
Pengemasan Sayur Kehilangan Berat. Hasil percobaan penyimpanan I memperlihatkan bahwa pengemasan sayur-sayuran dan disimpan di dalam gudang mampu menekan kehilangan berat rata-rata menjadi 0.25 kali kehilangan berat sayur-sayuran yang tidak dikemas. Hal yang sama juga terjadi pada sayur yang dikemas dan disimpan di dalam ruang instalasi (Tabel 42). Kehilangan berat sayur-sayuran menjadi 0.16 kali kehilangan berat sayur-sayuran yang tidak dikemas. Tetapi kehilangan berat rata-rata sayur yang dikemas dan disimpan di dalam instalasi lebih tinggi dan mencapai 1.3 kali kehilangan berat sayur yang dikemas dan disimpan di dalam gudang. Contoh sayur sawi putih yang dikemas dan tidak dikemas disajikan dalam Gambar 48.
Gambar 48 Sayur sawi putih yang tidak dikemas dan dikemas dikemas dengan stretch film. Percobaan penyimpanan II menghasilkan data yang mengungkap bahwa penyimpanan sayur-sayuran yang dikemas di dalam instalasi menyebabkan sayur mengalami kehilangan berat lebih kecil, yaitu rata-rata 0.72 kali kehilangan berat sayur yang dikemas tetapi disimpan di dalam gudang. Begitu juga hasil percobaan III menunjukkan kecenderungan yang sama bahwa kehilangan berat sayur-sayuran yang dikemas dan disimpan di dalam ruang instalasi mencapai 0.89 kali sayursayuran yang dikemas dan disimpan di dalam gudang.
184
Tabel 42 Kehilangan berat (%) sayur-sayuran yang dikemas dan disimpan di dalam instalasi penyimpanan dingin Jenis sayur Percobaan pertama
0 jam
Lama penyimpanan 9 jam 33 jam 47 jam
Sawi putih Selada bulat Brokoli Percobaan kedua
0 0 0 0 jam
0.1 0.2 0.4 13 jam
0.5 1.2 1.1 21 jam
4.2 1.6 2.0 34 jam
60 jam
Sawi Putih Bunga kol Brokoli Percobaan ketiga
0 0 0 0 jam
0.8 0.1 0.2 24 jam
1.8 0.2 0.3 36 jam
1.9 0.3 0.4 51 jam
2.1 0.3 0.4 69 jam
0 0
1.6 0.8
1.9 0.9
2.4 2.2
2.7 3.3
Sawi Putih Brokoli
Dari Gambar 49 terlihat bahwa pada percobaan I, kehilangan berat sayur sawi putih dan selada bulat lebih tinggi jika disimpan di dalam ruang instalasi daripada di dalam gudang. Sebaliknya, hasil percobaan II mengindikasikan bahwa penyimpanan dingin di dalam ruang instalasi mampu menekan kehilangan berat dari ketiga jenis sayur-sayuran yang dikemas sebelum disimpan. Juga pada percobaan III, kecuali brokoli, sawi putih yang disimpan di dalam ruang instalasi kehilangan berat lebih rendah daripada disimpan di dalam gudang. Secara umum, pengemasan dan penyimpanan di dalam ruang instalasi menyebabkan kehilangan berat rata-rata sayur-sayuran mencapai 0.97 kali sayursayuran yang dikemas dan disimpan di dalam gudang. Hasil ini menunjukkan bahwa sayur-sayuran yang dikemas dan kemudian disimpan di dalam ruang dingin memberikan dampak positif yang semakin besar daripada disimpan di dalam gudang. Kehilangan Mutu. Pengemasan sayur-sayuran dengan atau tanpa penyimpanan dingin mampu menekan kehilangan mutu. Hasil percobaan penyimpanan I menunjukkan bahwa kehilangan mutu sayur yang dikemas dan disimpan di dalam gudang, menjadi rata-rata 0.14 kali kehilangan mutu bila sayur tidak dikemas.
185 Sedangkan pada penyimpanan di dalam instalasi sayur yang dikemas rata-rata kehilangan mutu sebesar 0.09 kali kehilangan mutu sayur yang tidak dikemas. Tabel 43 memuat kehilangan mutu sayur-sayuran yang dikemas dan disimpan dingin.
33
47
13
2.5
0.1
2.0
0.0
1.5
-0.1
1.0
Sp
0.5
Sb
Beda berat (%) .
Beda berat (%) .
9
Br
0.0
34
60
-0.2
Sp
-0.3
Bk Br
-0.4
-0.5
-0.5
-1.0
-0.6
-1.5
21
-0.7
Waktu pengamatan (jam) 24
(a)
36
Waktu pengamatan (jam) 51
(b)
69
0.6 0.4 Beda berat (%) .
0.2 0.0 -0.2
Sp
-0.4
Br
-0.6 -0.8 -1.0 -1.2 -1.4 Waktu pengamatan (jam)
(c)
Gambar 49 Perbedaan kehilangan berat rata-rata (%) antara sayur-sayuran yang dikemas dan disimpan di dalam ruang instalasi dengan di dalam gudang. Percobaan I (a), percobaan II(b), dan percobaan III (c).
186 Tabel 43 Kehilangan mutu (%) sayur-sayuran yang dikemas dan disimpan di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin Jenis sayur Percobaan pertama
0 jam
Lama penyimpanan 19 jam
33 jam
Sawi putih Selada bulat Brokoli Percobaan kedua
0 0 0 0 jam
0.3 0.7 0.8 19 jam
0.5 1.2 1.1 33 jam
Sawi putih Bunga kol Brokoli Percobaan ketiga
0 0 0 jam
1.8 0.2 100.0 20 jam
1.9 100.0 100.0 34 jam
0 0
1.6 0.8
1.9 0.9
Sawi putih Brokoli
Bila sayur yang dikemas dan disimpan di dalam gudang dibandingkan dengan sayur dengan pengemasan tetapi disimpan di dalam ruang instalasi, diperoleh data, bahwa kehilangan mutu sayur yang disimpan di dalam ruang instalasi 0.4 kali kehilangan sayur yang dikemas dan disimpan di dalam gudang (Gambar 50). Percobaan penyimpanan II juga memperlihatkan kecenderungan yang sama. Sayur yang dikemas dan disimpan di dalam gudang mengalami kehilangan mutu rata-rata 0.64 kali kehilangan mutu sayur tanpa dikemas. Bila sayur yang dikemas disimpan di dalam ruang instalasi, kehilangan mutu mencapai 0.41 kali sayur yang tidak dikemas. Demikian pula bila dibandingkan antara sayur yang dikemas tetapi disimpan dalam kondisi yang berbeda, didapat bahwa sayur yang dikemas dan disimpan di ruang instalasi kehilangan mutu rata-rata 0.43 kali kehilangan mutu sayur yang dikemas dan disimpan di dalam gudang. Hal yang sama terjadi pada percobaan penyimpanan sayur-sayuran yang dikemas dengan tanpa dikemas. Pada penyimpanan di dalam gudang, sayur yang dikemas kehilangan mutu 0.80 kali bila sayur tidak dikemas. Pada penyimpanan di dalam ruang instalasi, sayur yang dikemas mengalami kehilangan mutu 0.33 kali kehilangan mutu sayur tanpa dikemas. Kehilangan mutu rata-rata sayur yang
187 dikemas dan disimpan di dalam ruang instalasi menjadi 0.28 kali kehilangan mutu rata-rata sayur yang dikemas dan disimpan di dalam gudang.
19
33
19
0.0
33
100
-0.2 80
-0.6 -0.8
Sp
-1.0
Sb
-1.2
Br
-1.4 -1.6
Beda mutu (%) .
Beda mutu (%) .
-0.4
60 Sp
40
Bk Br
20 0
-1.8 -2.0
-20
Waktu pengamatan (jam)
(a)
20
Waktu pengamatan (jam)
(b)
34
0 -2 Beda mutu (%) .
-4 -6 -8
Sp
-10
Br
-12 -14 -16 -18 Waktu pengamatan (jam)
(c)
Gambar 50 Perbedaan kehilangan mutu rata-rata (%) antara sayur-sayuran yang dikemas dan disimpan di dalam ruang instalasi dengan di dalam gudang. Percobaan I (a), percobaan II (b), dan percobaan III (c). Secara umum pengemasan sayur dan disimpan di dalam ruang instalasi mengalami kehilangan mutu rata-rata 1/3 dari kehilangan mutu sayur-sayuran yang
188 dikemas tetapi disimpan di dalam gudang. Jadi, penyimpanan sayur-sayuran yang dikemas di dalam instalasi lebih menguntungkan daripada di dalam gudang. Pengemasan individu dengan menggunakan stretch film dipadukan atau tanpa dipadukan dengan penyimpanan dingin mampu menekan kehilangan mutu sayur-sayuran yang disimpan. Sayur-sayuran yang dikemas dan disimpan di dalam ruang instalasi dapat mengurangi kehilangan mutu hampir setengah dari kehilangan mutu sayur yang dikemas dan disimpan di dalam gudang. Kehilangan mutu sayur yang disimpan di dalam ruang instalasi lebih rendah daripada sayur yang disimpan di dalam gudang. Dari ketiga percobaan yang dilakukan diperoleh data yang mengungkap bahwa sayur kehilangan mutu lebih rendah bila disimpan di dalam ruang instalasi penyimpanan daripada di dalam gudang. Hal ini berarti suhu penyimpanan mempengaruhi mutu. Disamping itu, mutu sayur-sayuran ditentukan juga oleh lama penyimpanan. Kecenderungan dari pengaruh lama penyimpanan sayur adalah semakin lama sayur disimpan maka kehilangan mutu sayur semakin meningkat (Tabel 43). Penumpukan Keranjang Sayur Keranjang sayur paling atas (A) adalah keranjang sayur yang terbuka bagian atasnya dan langsung terkena aliran udara dingin. Dari Gambar 51 terungkap ada kecenderungan dalam hal kehilangan berat sayur-sayuran yang berada di dalam tumpukan keranjang. Sayur-sayuran yang berada di dalam keranjang paling atas akan kehilangan berat paling tinggi, disusul sayur-sayuran di dalam keranjang dibawahnya (tengah) dan sayur-sayuran yang berada di dalam keranjang paling bawah mengalami kehilangan berat paling kecil. Hal ini kemungkinan besar berkaitan dengan adanya aliran udara dingin langsung di permukaan sayur. Bila permukaan sayur secara langsung terkena aliran udara dingin maka sayur akan mengalami kehilangan berat paling besar dibandingkan dengan keranjang sayur di bawahnya (tengah T dan bawah B). Ketiga jenis sayur-sayuran di dalam keranjang sayur yang ditumpuk, secara umum memperlihatkan keadaan seperti itu. Kenyataan ini mengarahkan pada
189 suatu kesimpulan bahwa kecepatan angin dingin lebih menentukan dalam kehilangan berat sayur-sayuran yang disimpan. Penumpukan keranjang sayur pada percobaan II tidak dilakukan karena jumlah keranjang sayur di dalam ruang tidak banyak. Oleh karena itu, pengaruh penutupan keranjang dengan kertas basah tidak dapat diketahui terhadap kehilangan berat sayur-sayuran yang disimpan di dalam keranjang sayur yang disim-
14 12 10 8 6
A B
4 2 0
Kehilangan berat (%) .
Kehilangan berat (%) .
pan dengan cara ditumpuk.
35 30 25 20
A
15
B
10 5 0
0
20 40 60 Waktu pengamatan (jam)
(a)
0 20 40 60 Waktu pengamatan (jam)
(b)
Kehilangan berat (%) .
25 20 15
A T
10
B 5 0 0
20 40 60 Waktu pengamatan (jam)
(c)
Gambar 51 Kehilangan berat sayur-sayuran dalam keranjang sayur yang ditumpuk, sayur sawi putih (a), selada keriting (b) dan kaelan (c). Keranjang atas (A), keranjang bawah (B), keranjang tengah (T). Hasil percobaan III (Gambar 52) memperlihatkan bahwa pada tumpukan yang lebih tinggi (tumpukan keranjang sayur 4 keranjang) juga mengikuti pola yang sama seperti hasil percobaan I di atas. Hasil seperti ini semakin menguatkan
190 dugaan bahwa kecepatan angin dingin merupakan penentu dari kehilangan berat sayur-sayuran yang disimpan. Kehilangan berat terbesar dialami sayur-sayuran yang disimpan di dalam keranjang sayur paling atas. Ada dua hal yang dapat ditarik dari kondisi ini. Pertama, ini menunjukkan bahwa keranjang dengan bagian atas terbuka menyebabkan sayur-sayuran yang ada di dalamnya tidak terlindung dari tiupan udara dingin dengan baik. Kedua, kehilangan berat sayur terbesar terjadi pada keranjang sayur teratas dari empat tumpukan kemungkinan menunjukkan bahwa kecepatan aliran udara dingin pada ketinggian empat keranjang (lebih kurang 1.2 m dari lantai) masih cukup tinggi untuk menyebabkan kehilangan berat
16 14 12 10 8 6 4 2 0
A T B
Kehilangan berat (%) .
Kehilangan berat (%) .
pada sayur-sayuran.
30 25 20
A
15
Ta
10
Tb
5
B
0 0 30 60 90 Waktu pengamatan (jam)
0 30 60 90 Waktu pengamatan (jam)
Gambar 52 Kehilangan berat sayur-sayuran di dalam keranjang sayur yang ditumpuk. Sayur sawi putih (a), selada keriting (b). Keranjang paling atas (A), tengah (T) dan bawah (B) pada sawi putih. Keranjang tengah lebih atas (Ta), tengah lebih bawah (Tb) pada sayur selada. keriting. Dengan demikian untuk mengatasi udara dingin pada level kecepatan tertentu yang sudah mempengaruhi kehilangan berat sayur-sayuran maka salah satu cara untuk mengurangi masalah ini adalah dengan menumpuk keranjang sayur. Disamping itu penutupan keranjang paling atas, pada bagian atas keranjang, dengan penutup perlu dilakukan untuk mengurangi kehilangan berat sayur-sayuran yang disimpan. Penutupan dengan kertas yang dibasahkan dan tetap dipertahankan
191 basah selama penyimpanan mungkin akan memberikan pengaruh positif yang semakin besar dalam menekan kehilangan berat sayur-sayuran.
Kesimpulan
1. Sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin, yang tidak diberikan perlakuan, secara rata-rata mengalami kehilangan berat 11.2%. Sedangkan sayur-sayuran yang disimpan di dalam gudang mengalami kehilangan berat 6.6%. Tetapi kehilangan mutu sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi rata-rata sebesar 10% lebih kecil daripada sayursayuran yang disimpan di dalam gudang. 2. Sayur-sayuran yang memiliki pelindung alami seperti lapisan lilin baik disimpan di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin tanpa diberikan perlakukan tambahan. Kaelan sebagai contoh dari sayur jenis ini hanya kehilangan berat lebih rendah 2% daripada kaelan yang disimpan di dalam gudang. 3. Sayur-sayuran yang disimpan dingin dan diberi perlakuan penutupan dengan kertas koran yang dibasahi secara rata-rata mengalami kehilangan berat 10% lebih rendah daripada disimpan di dalam gudang. Penutupan sayur dengan kertas koran basah juga mampu menekan kehilangan mutu sayur-sayuran yang disimpan di dalam instalasi dengan nilai rata-rata 10% lebih rendah daripada disimpan di dalam gudang. 4. Dengan melembabkan udara dingin dalam ruang instalasi penyimpanan dingin menyebabkan sayur-sayuran yang disimpan mengalami kehilangan berat secara rata-rata 5% lebih rendah daripada sayur-sayuran yang disimpan di dalam gudang. Sayur yang disimpan di dalam instalasi mengalami kehilangan mutu rata-rata 10% leboh rendah bila sayur-sayuran disimpan di dalam gudang. 5. Pengemasan sayur-sayuran dan disimpan di dalam gudang hanya kehilangan berat 0.25 kali kehilangan berat sayur-sayuran yang tidak dikemas dan disimpan di dalam gudang. Untuk sayur yang dikemas dan disimpan di dalam instalasi penyimpanan dingin kehilangan berat 0.16 kali kehilangan berat sayursayuran yang tidak dikemas.
192 6. Kehilangan mutu sayur-sayuran yang dikemas dan disimpan di gudang ratarata 0.14 kali kehilangan mutu sayur-sayuran yang tidak dikemas. 7. Nilai rata-rata kehilangan mutu sayur-sayuran yang disimpan di dalam instalasi 1/3 kali kehilangan mutu sayur yang disimpan di dalam instalasi penyimpanan dingin. 8. Dengan menumpukkan keranjang sayur maka sayur dapat dilindungi sehingga kehilangan mutu sayur dapat ditekan.
6 OPTIMISASI BIAYA INVESTASI AWAL INSTALASI PENYIMPANAN DINGIN DI DESA CANDIKUNING BALI Pendahuluan
Petani sayur-sayuran pada umumnya memiliki lahan garapan tidak luas dan tidak memiliki dana cukup, serta membutuhkan teknologi tepat guna untuk meningkatkan nilai tambah hasil produksinya dan menekan kehilangan pascapanen (Kamaruddin et al. 2000). Pendinginan nokturnal hibrida kemungkinan menjanjikan untuk dijadikan sebagai penyelesaian dari masalah petani. Pendinginan nokturnal hibrida merupakan pendinginan yang sederhana dan terdiri atas dua komponen pendingin yaitu pendinginan nokturnal dan mesin pendingin kompresi uap. Pendinginan nokturnal hibrida memiliki keunggulan dalam penerapannya karena memanfaatkan sumber daya alam setempat. Tenaga ahli lokal dapat membangun instalasi ini dengan mudah. Hampir semua komponen penyusun sistem dapat dibuat dengan menggunakan bahan lokal dan dirakit di bengkel-bengkel kecil setempat, kecuali untuk mesin pendingin kompresi uap. Begitu pula dengan pemeliharaan alat dapat dilakukan dengan mudah dan dapat dikerjakan oleh tenaga setempat. Untuk membangun instalasi pendinginan nokturnal hibrida dibutuhkan dana berupa biaya konstruksi. Seperti sudah diutarakan di atas, dana menjadi kendala bagi petani, tetapi kendala ini dapat diatasi dengan cara pendekatan sosial atau teknis. Membuat perkumpulan petani pengguna merupakan salah satu penyelesaian masalah tersebut. Pendekatan teknis yang dapat dilakukan adalah dengan menekan biaya investasi dengan cara melakukan optimisasi biaya konstruksi. Optimisasi memungkinkan untuk memperoleh sistem yang optimum tetapi masih bekerja sesuai dengan performansi yang diharapkan. Untuk suatu sistem yang rumit, optimisasi dapat dilakukan terhadap komponen-komponen sistem (Stoecker 1989). Optimisasi adalah proses untuk menemukan suatu kondisi yang memberikan nilai maksimum dari suatu fungsi. Optimisasi umumnya dilakukan untuk meminimumkan biaya (Stoecker 1971). Banyak metode yang dapat dipilih dalam
194 melakukan optimisasi dan satu diantaranya adalah dengan menggunakan metode pangganda Lagrange. Efek pendinginan yang dihasilkan baik dari pendinginan nokturnal maupun dari mesin pendingin kompresi uap tidak dapat langsung dimanfaatkan untuk pendinginan sayur-sayuran. Untuk bisa memanfaatkan efek pendinginan tersebut, dibutuhkan alat penukar panas yang berfungsi sebagai tempat pertukaran panas antara air dingin atau fluida dingin dengan udara pendingin ruangan instalasi. Demikian pula untuk mengalirkan air pendingin dari tangki penyimpanan air ke atap membutuhkan pompa air dan untuk menggerakkan udara di dalam saluran udara dibutuhkan kipas sentrifugal. Jadi sistem membutuhkan alat-alat penukar panas dan daya listrik untuk menggerakkan dan memindahkan air dan udara. Oleh karena itu, optimisasi biaya investasi awal instalasi penyimpanan dingin di Candikuning meliputi optimisasi terhadap alat penukar panas, tangki penyimpanan air dingin, daya pompa air, dan daya kipas sentrifugal yang dibutuhkan untuk menjalankan instalasi. Dari hasil simulasi diketahui bahwa beban pendinginan sangat mempengaruhi ukuran komponen-komponen sistem penyimpanan tersebut. Dalam melakukan optimisasi ini ditelaah pengaruh beban pendinginan terhadap biaya investasi. Disamping itu, untuk meneliti pengaruh pendinginan nokturnal terhadap biaya investasi instalasi, luas permukaan kolam menjadi pilihan yang kelihatannya berguna untuk dikaji. Metode Pengganda Lagrange Untuk suatu fungsi tujuan y yang tersusun dari n variabel yang akan dioptimalkan terhadap fungsi kendala sebanyak m dengan n variabel, maka menurut Stoecker (1971; 1989) dapat dinyatakan sebagai berikut: Optimalkan y f x1 , x 2 , ...... , x n terhadap
1 f x1 , x 2 , ...... , x n 0 ...........
m f x1 , x2 , ...... , x n 0
195 Menurut Stoecker (1971; 1989) metode pengganda Lagrange menyatakan bahwa penyelesaian optimum akan diperoleh pada saat semua nilai variabel x memenuhi persamaan-persamaan: y 11 2 2 ........... m m 0
1 x1 , x 2 , ...... , x n 0 ...........
m x1 , x2 , ...... , x n 0 λ1 sampai λm adalah pengganda Lagrange dan disebut sebagai vektor gradien. Sepanjang fungsi-fungsi tersebut diatas dapat diturunkan terhadap variabelvariabelnya maka ada kemungkinan akan diperoleh penyelesaian optimum. Kumpulan turunan fungsi yang berupa matriks turunan parsial dapat diselesaikan dengan menggunakan metode Newton-Raphson. Model Matematika Sistem Pendinginan Nokturnal Hibrida Pendinginan Nokturnal Hibrida. Sistem pendinginan nokturnal terdiri atas kolam atap, tangki penyimpan air dingin dan pompa air untuk mensirkulasikan air melalui sistem perpipaan. Laju pendinginan air di dalam kolam bergantung pada dua mode pindah panas yang berlangsung secara terus menerus, yaitu pindah panas secara radiasi dan konveksi. Air di dalam kolam menerima beban pendinginan dari ruang penyimpanan dan tangki penyimpanan air yang diserap oleh air di dalam alat penukar panas pendinginan nokturnal. Selain membutuhkan saluran air dan pompa air, pendinginan nokturnal hibrida juga memerlukan saluran udara. Untuk pendinginan nokturnal, Kamaruddin et al. (1998) dan Gunadnya et al. (2007a) sudah membuat persamaan-persamaan matematika untuk kesetimbangan panas air atau udara pada setiap komponen sistem. Air di dalam kolam atap Dengan mengabaikan kondensasi uap air pada kolam, maka kesetimbangan panas air kolam mengikuti persamaan: m w c pw
dTw Awp Ta4 Ts4 hwa Awp Ta Tw m w c pw Twhx Tw dt
Air di dalam tangki penyimpanan
(336)
196 Persamaan kesetimbangan panas untuk air di dalam tangki adalah:
mwt c pw
dTwt m w c pw Twt Tw U t At Ta Twt dt
(337)
Air di dalam alat penukar panas Kesetimbangan panas air di dalam alat penukar panas dihitung dari persamaan:
mwhx c pw
dTwhx m w c pw Twt Twhx hhx Ahx Tr Twhx dt
(338)
Udara di dalam ruang penyimpanan Perubahan panas yang terjadi di dalam ruang pendinginan disebabkan oleh pindah panas melalui alat penukar panas, bahan segar yang disimpan, dan panas yang masuk melalui dinding ruang penyimpanan. Mesin pendingin kompresi uap memberikan efek pendinginan terhadap udara pendingin yang dihembuskan ke dalam ruangan. Dengan mengabaikan panas pernapasan bahan segar yang disimpan maka kesetimbangan panas di dalam ruang penyimpanan dinyatakan: ma c pa
dTr U r Ar Ta Tr h p A p N p T p Tr hhx Ahx Tr Twhx Qref dt
(339)
Perhitungan Daya Pompa Air. Besar daya yang dibutuhkan untuk mensirkulasikan air di dalam saluran air dan udara di dalam saluran udara ditentukan oleh adanya perbedaan antara kecepatan aliran fluida yang masuk dengan yang keluar saluran, ketinggian perpindahan, dan perbedaan tekanan antara saat fluida memasuki dan saat keluar saluran. Disamping itu, panjang saluran dan besar gesekan antara fluida dengan permukaan bagian dalam saluran mempengaruhi besar daya yang diperlukan. Bird et al. (1960) membuat persamaan umum untuk menghitung daya yang dibutuhkan untuk memindahkan fluida, seperti terlihat di bawah ini. v2 1 1 2 1 L 1 v gh dp Wˆ i v 2 f i v 2 ev 0 2 2 i 2 Rh i v1
(340)
Stocker dan Jones (1996) berbeda dalam mendefinisikan radius hidrolik. Mereka menganggap nilai radius hidrolik sama dengan diameter pipa (D), sedangkan Bird et al. (1960) mendefinisikan radius hidrolik sebagai perbandingan luas
197 penampang saluran dengan perimeter terbasahkan (wetted perimeter) penampang saluran sehingga diperoleh Rh = D/4. Menurut Bird et al. (1960), selain keberadaan belokan atau keran di sepanjang saluran, bila terjadi pembesaran saluran dengan mendadak (sudden expansion) atau pengecilan saluran secara mendadak (sudden contraction), akan dibutuhkan daya untuk mengatasinya. Faktor fitting dihitung dengan persamaan berikut ini. 2
Pembesaran mendadak
A ev l 1 As
Pengecilan mendadak
A ev 0.451 s Al
(341)
(342)
Hasil perhitungan menggunakan persamaan (342) mendekati nilai faktor fitting di dalam tabel Henderson dan Perry (1976). Stoecker dan Jones (1996) menggunakan persamaan lain dalam menentukan nilai faktor fitting seperti berikut ini: Pembesaran mendadak
A ev 1 s Al
Pengecilan mendadak
1 ev 1 C
2
(343)
2
(344)
C adalah suatu faktor yang bergantung pada nilai perbandingan luas penampang saluran, As/Ab. Nilai faktor fitting dari tabel faktor fitting Henderson dan Perry (1976) untuk pembesaran mendadak saluran, sama dengan hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan (343). Perhitungan Daya Kipas Sentrifugal. Salah satu cara untuk menentukan daya kipas adalah dengan menghitung kehilangan tekanan (pressure drop) di sepanjang saluran udara. Untuk saluran udara lurus dapat dihitung dengan menggunakan monograf. Monograf yang ada pada umumnya dibuat untuk saluran udara berpenampang bundar. Untuk saluran udara yang berbentuk persegi perlu dihitung diameter ekivalen saluran udara dengan menggunakan persamaan (Stoecker dan Jones 1996):
198
d ek 1.30
ab0.625 a b 0.25
(345)
Faktor fitting kehilangan tekanan karena pembesaran dan pengecilan ukuran saluran udara secara mendadak dihitung menggunakan persamaan (342) dan (343). Menurut Stoecker dan Jones (1996) untuk menentukan kehilangan tekanan karena saluran mengecil atau membesar, berlaku persamaan Bernoulli dan diperoleh persamaan (346) dengan satuan Pa. Demikian pula untuk keseluruhan sistem saluran udara, kehilangan-kehilangan tekanan sebagai akibat dari fitting dihitung berdasarkan pada persamaan: v2 p1 p 2 1 2
A 1 A 2
2 1
(346)
Kehilangan tekanan karena alat penukar panas yang dipasang di dalam saluran udara dapat dihitung dengan persamaan yang diajukan oleh Holman (1997):
p
2 2 f ' G maks N w b
0.14
(347)
Kehilangan tekanan udara yang melewati alat penukar panas sangat bergantung pada susunan pipa-pipa alat penukar panas yang tegak lurus dengan aliran udara. Menurut Holman (1997) susunan pipa-pipa alat, seperti terlihat di dalam Gambar 53, mempengaruhi nilai faktor gesekan. seperti dinyatakan pada persamaan (347). Untuk susunan pipa staggered, faktor gesekan empiris, f’, adalah
0.08 S p d f ' 0.044 S n d d 0.431.13d S p
0.15 Re max
(348)
dan untuk susunan pipa in-line
0.16 0.118 f ' 0.25 Re 1.08 S n d d max
(349)
Henderson dan Perry (1976) mengajukan persamaan di bawah ini untuk menghitung penurunan tekanan udara yang melewati alat penukar panas. Seperti berlaku pada persamaan (347), faktor gesekan f ditentukan oleh jarak-jarak antar pipa penyusun alat penukar panas. Henderson dan Perry (1976) hanya membe-
199 rikan cara menghitung faktor gesekan untuk alat penukar panas dengan susunan pipa staggered.
p
4 fNv 2
(350)
2g
Cv f 0.75
0.2
(351)
Sp
Sp
Sp
Sn
Sn
Sn
v
v
(a)
(b)
Gambar 53 Susunan pipa di dalam alat penukar panas (a) in-line dan (b) staggered (Holman 1997; Chapman 1974).
Tujuan Optimisasi
Optimisasi biaya investasi awal instalasi dilakukan untuk menganalisis pengaruh beberapa pelaksanaan penyimpanan dingin, luas permukaan bidang kontak air dengan lingkungan, perubahan laju aliran massa air dan pengaruh nilai parameter termal alat penukar panas terhadap biaya, ukuran komponen sistem dan besar daya listrik yang dibutuhkan instalasi. Beberapa pelaksanaan penyimpanan dingin yang umum dilakukan adalah hal-hal yang berkaitan dengan pembebanan instalasi dengan sayur-sayuran yang akan disimpan dan suhu penyimpanan. Oleh karena itu optimisasi dilakukan untuk: 1. Menelaah pengaruh beban pendinginan, suhu penyimpanan dan penambahan luas bidang kontak air dengan lingkungan terhadap komponen sistem dan biaya investasi awal instalasi,
200 2. Mengkaji pengaruh perubahan laju aliran massa air terhadap komponen dan biaya investasi awal instalasi, dan 3. Mengkaji pengaruh nilai parameter termal alat penukar panas terhadap komponen sistem dan biaya investasi awal instalasi.
Fungsi Tujuan dan Fungsi-fungsi Kendala
Fungsi Tujuan Fungsi tujuan merupakan suatu fungsi biaya yang disusun berdasarkan biaya komponen-komponen sistem pendinginan nokturnal hibrida. Dalam optimisasi, fungsi tujuan diminimumkan. Fungsi tujuan dari optimisasi ini adalah:
y x1 x2 x3 x4 x5 x1 adalah variabel biaya konstruksi alat penukar panas di dalam saluran udara. Nilai x1 ditentukan oleh luas alat penukar panas (Ahx) yang digunakan. x2 adalah variabel biaya konstruksi untuk tangki penyimpanan air dingin yang nilainya ditentukan oleh volume tangki (Vt). x3 adalah variabel biaya kemampuan pendinginan mesin pendingin kompresi uap (Qref). x4 adalah variabel biaya berdasarkan pada daya yang dibutuhkan pompa air (Pp). x5 adalah variabel biaya berdasarkan pada daya yang dibutuhkan kipas sentrifugal (Pf). Nilai dari variabel-variabel biaya x tersebut adalah sebagai berikut: x1 a1 Ahxa 2 x 2 a3Vt a 4 a6 x3 a5Qref
x 4 a 7 Ppa8 x5 a9 Pfa10
201 Fungsi-fungsi Kedala Fungsi kendala diturunkan dari kesetimbangan panas yang terjadi di dalam sistem pendinginan nokturnal hibrida. Beban pendinginan bersumber dari bahan segar yang disimpan dan dari lingkungan. Sistem dikatakan dapat bekerja optimal bila sumber panas ini bisa diserap dan dipindahkan dari dalam ruangan instalasi dengan tetap mempertahankan suhu ruang sesuai dengan kebutuhan penyimpanan. Fungsi kendala juga dibuat dari daya yang dibutuhkan di dalam instalasi untuk mengalirkan air dan udara. Pendinginan Nokturnal Hibrida. Beban panas yang harus diatasi oleh penyerap panas (heat sink) yang berupa air dingin di dalam kolam pendinginan nokturnal dan mesin pendingin kompresi uap adalah: panas yang diterima air dingin dalam tangki karena panas konveksi lingkungan, panas udara dalam ruang penyimpanan dingin yang diperoleh karena perembesan panas dari dinding bangunan, dan panas sensibel dan panas pernapasan bahan segar hasil pertanian yang disimpan. Beban pendinginan ini diserap air melalui satu alat penukar panas pendinginan nokturnal yang berfungsi sebagai pendingin pendahuluan udara pendingin dalam penyimpanan dan dua alat penukar panas lainnya yang berfungsi sebagai evaporator mesin pendingin kompresi uap. Dengan menggunakan persamaan (336), (337), (338) dan (339) maka dapat dibuat persamaan: Twhx Tr
1 U r Ar Ta Tr h p Ap N p T p Tr U t At Ta Twt hhx Ahx
(352)
Sumber-sumber panas yang masuk ke dalam ruang penyimpanan yang perlu diperhatikan adalah: panas sensibel dan panas pernapasan bahan segar yang disimpan. Demikian juga beban panas lainnya (Qmisc) yang menjadi beban pendinginan seperti: beban panas surya, panas sensibel keranjang sayur dan papan alas, beban panas orang yang bekerja di dalam ruangan dan lampu yang dihidupkan di dalam ruangan. Disamping itu ada pula panas yang bersumber pada lingkungan yang merambat melalui dinding ruangan. Jadi, penyusun beban pendinginan dapat dinyatakan sebagai berikut:
202
Qc U r Ar Ta Tr
m p c pp
T
p
Tr U t At Ta Twt Qresp Qmisc
(353)
Persamaan (353) memperlihatkan bahwa dibutuhkan waktu θ jam untuk mendinginkan produk dan mengambil panas dari ruang penyimpanan. Beban pendinginan ini dipindahkan oleh air dingin di dalam alat penukar panas pendinginan nokturnal untuk dibuang ke heat sink. Ada dua sumber heat sink yang digunakan yaitu pendinginan nokturnal dan mesin pendingin kompresi uap, sehingga: Twhx Tr
1 hhx Ahx
m p c pp T p Tr U r Ar Ta Tr
U t At Ta Twt Qresp Qmisc
(354)
dan kesetimbangan panas di dalam kolam atap menjadi mw c pw
dTw dt
Awp Tw4 Ts4 hwa Awp Ta Tw m w c pw Tr Tw
m w c pw m p c pp Tp Tr U t At Ta Twt U r Ar Ta Tr hhx Ahx
m w c pw
Q
hhx Ahx
resp
Qmisc Qref
(355)
Luas tangki penyimpanan air dingin dinyatakan sebagai volume tangki dengan hubungan:
At c1Vt c 2 sehingga persamaan (355) menjadi mw c pw
dTw dt
Awp Tw4 Ts4 hwa Awp Ta Tw m w c pw Tr Tw
m w c pw m p c pp Tp Tr U t c1Vt c 2 Ta Twt U r Ar Ta Tr hhx Ahx
m w c pw hhx Ahx
Q
resp
Qmisc Qref
(356)
Daya untuk Pompa Air. Suku pertama, di sebelah kiri tanda sama dengan, dari persamaan (340) menyatakan daya yang dibutuhkan untuk mengatasi perbedaan kecepatan fluida. Suku ketiga menunjukkan keperluan daya untuk melawan perbedaan tekanan. Kedua suku persamaan ini diabaikan karena dianggap tidak
203 ada perubahan kecepatan fluida karena pemindahan fluida terjadi pada tekanan yang sama. Dengan melakukan penyederhanaan maka daya yang dibutuhkan untuk memindahkan fluida bergantung pada perbedaan ketinggian, panjang saluran dan fitting. Pengecilan dan pembesaran saluran secara mendadak yang terjadi dari tangki penyimpanan ke pipa saluran dan dari alat penukar panas pendinginan nokturnal ke pipa saluran, dimasukkan dalam perhitungan. Persamaan (340) untuk perhitungan daya pompa air diubah menjadi: 2L 1 gh Wˆ i v 2 f i v 2 e v 0 D i 2 i
(357)
Untuk menghitung faktor fitting pembesaran mendadak saluran digunakan persamaan (342) dan persamaan (343) untuk pengecilan mendadak saluran, dan:
v w2 2L 2 Pp gh f v w n ve eve nvv evv Dp 2 2 Ap v w2 At Ahx vw2 0.45 1 1 1 2 Ap Ap 2 Ahx
(358)
Untuk dapat dinyatakan dalam satuan watt dengan efisiensi pompa sebesar ηp, kecepatan air dinyatakan sebagai laju aliran massa air, dan luas permukaan tangki penyimpanan air dinyatakan sebagai volume serta dilakukan substitusi:
m w v w w A p dan Pp
Wˆ m w p
(359)
m w 4 L c1Vt c 2 Ahx Pp gh f nve eve nvv evv 0.45 2 p D p Ap A p 2 Ap m w3 1 Ahx 2 p w2 Ap2
(360)
Daya Kipas Sentrifugal. Kipas sentrifugal yang digunakan untuk menghembuskan udara harus dapat melewatkan udara melalui alat penukar panas sebanyak tiga buah dan mengangkat udara di dalam saluran udara ke langit-langit ruang penyimpanan. Dari langit-langit ruangan udara disebarkan keseluruh ruang-
204 an. Sebagai tambahan, perlu diperhitungkan pula kehilangan tekanan statis di sepanjang saluran udara. Kehilangan tekanan statis dibaca dari kurve kinerja kipas sentrifugal pada manual alat. Penurunan tekanan di sepanjang saluran lurus ditetapkan dengan menggunakan monograf dari hubungan diameter ekivalen (d ek) dengan kecepatan udara (va). Penurunan tekanan (Pa) yang terjadi karena udara melewati alat penukar panas dihitung dengan menggunakan persamaan (348) untuk ketiga alat penukar panas. Faktor gesekan empiris untuk dua alat penukar panas dihitung menggunakan persamaan (349) dan satu alat lainnya dihitung dengan persamaan (346).
Pf w ghw a ghd Ld k d n hx
2 2 f ' Gmax N wall a b
0.14
2 2 A v b nel eel ndamedam ndif edif 1 a a 2 As
(361)
Daya kipas dinyatakan dalam Pa dan untuk mengubah satuannya menjadi watt serta dengan memperhitungkan efisiensi kipas, dan dengan menggantikan laju aliran massa maksimum, Gmax, dengan laju aliran massa maka persamaan (361) diubah menjadi: 2 f ' m a2 N wall Pf w ghw a ghd Ld k d n hx a Ahx2 b A ne ee n dam edam n dif edif b As
0.14
v A a s f
2 v 3 A 1 a a s 2 f
(362)
Persamaan (356), (360) dan (362) disederhanakan dengan membuatkan konstanta-konstanta yang dibutuhkan, dilakukan pengaturan dan persamaan dinyatakan dalam rupiah. Persamaan (356) ditulis kembali dan dilakukan pengaturan yang diperlukan dan diperoleh: mw c pw
dTw Awp Tw4 Ts4 hwa Awp Ta Tw m w c pw Tr Tw dt
m w c pw m p c pp T p Tr U t c1Vt c 2 Ta Twt U r Ar Ta Tr hhx Ahx
205
m w c pw
Q
hhx Ahx
resp
Qmisc Qref
(363)
dibuat konstanta-konstanta dan disubstitusikan.
z1 Awp Tw4 Ts4 hwa Awp Ta Tw m w c pw Tr Tw z2
z3
m w c pw m p c pp T p Tr Qresp Qmisc U r Ar Ta Tr hhx
m w c pw hhx
U t c1 Ta Twt
z11 1 mw c pw
(364)
dTw z z z1 2 3 Vt c 2 z11Qref dt Ahx Ahx
(365)
bila persamaan ini dinyatakan dalam rupiah diperoleh: 1
1
c2
a a2 a a2 x a 4 x 0 z1 z 2 1 z 3 1 2 z11 3 x1 x1 a3 a5
1
a6
(366)
Persamaan (360) yang merupakan persamaan untuk menghitung daya pompa ditulis kembali dan dilakukan pengaturan yang dibutuhkan. Pada persamaan ini dilakukan substitusi luas permukaan tangki penyimpanan air dingin dengan volume tangki, kemudian dibuatkan konstanta-konstanta, diatur dan dinyatakan dalam rupiah. Persamaan-persamaan yang didapat adalah: Pp gh
m w 4 L A A f nve eve nvv evv 0.45 2 t hx p D p A p A p
2 Ap m w3 1 Ahx 2 p w2 Ap2
Pp gh
(367)
m w 4 L c V c2 A f nve eve nvv evv 0.45 2 1 t hx p D p Ap A p
2 Ap m w3 1 Ahx 2 p w2 Ap2
Konstanta-konstanta dibuat dan selanjutnya disubstitusikan.
(368)
206
za
m w3 2 p w2 A2p
z 4 gh
4 L m w za f nve eve nvv evv 1.9 p D p
z5
z a c1 Ap
z6
za Ap
z 7 2 za Ap
z 8 z a A p2
(369)
z12 1
sehingga diperoleh persamaan:
Pp z 4 z 5Vt c 2 z 6 Ahx
z7 z 82 Ahx Ahx
(370)
dan bila dinyatakan dalam rupiah menjadi: c2
1
1
x a4 x a2 a a2 a 0 z 4 z 5 2 z 6 1 z 7 2 z 8 2 a3 a2 x1 x1
1
2
x a8 a2 z12 4 a7
(371)
Persamaan (362) adalah persamaan untuk menghitung daya kipas sentrifugal yang dibutuhkan. Persamaan ini ditulis kembali, dibuatkan kosntanta-konstanta yang akan disubstitusikan, persamaan diatur untuk dibuatkan konstanta-konstanta. Dengan cara seperti ini diperoleh persamaan berikut ini: 2 f ' m a2 N wall Pf w ghw a ghd Ld k d n hx Ahx2 a b
2 v 3 A Ab ne ee n damedam n dif edif 1 a a s 2 f As
Konstanta-konstanta yang dibutuhkan adalah: z 9 w ghw a ghd Ld k d
va As f
0.14
v A a s f
(372)
207 2 v 3 A Ab ne ee n dam edam n dif edif 1 a a s 2 f As
2 f ' m 2 N a wall z10 n hx a b
0.14
v A a s f
z13 1
(373)
sehingga diperoleh Pf z 9
z10 Ahx2
(374)
dan dinyatakan dalam rupiah menjadi: 1
2
a a2 x a10 0 z9 z10 1 z13 5 x1 a9
(375)
Optimisasi Biaya Investasi Awal dengan Pengganda Lagrange
Untuk melakukan optimisasi biaya investasi awal instalasi penyimpanan dingin dengan sistem pendinginan nokturnal hibrida, fungsi tujuan dioptimisasikan terhadap tiga fungsi kendala. Fungsi tujuan dengan ketiga fungsi kendalanya yang diperoleh dari persamaan (367), (372) dan (376) serta dapat dituliskan seperti berikut ini: Minimumkan:
y x1 x2 x3 x4 x5
terhadap:
a a2 a a2 x 1 0 z1 z 2 1 z 3 1 2 x1 x1 a3
1
c2
1
x a4 x 2 0 z 4 z 5 2 z 6 1 a3 a2
1
a4 x a6 z11 3 a5 1
a2 a a2 z 7 2 x1 1
2
a z 8 2 x1
c2
1
a2 x z12 4 a7 2
a8 1
a a2 x a10 3 0 z 9 z10 1 z13 5 x1 a9
(376)
208 Dengan menggunakan metode pengganda Lagrange maka fungsi tujuan dan fungsi kendala dinyatakan sebagai:
y 11 2 2 33 0 Dengan menggunakan ketiga fungsi kendala dan dengan membuat turunan parsial dari fungsi tujuan dan fungsi kendala terhadap kelima variabel biaya maka diperoleh delapan fungsi yang akan dioptimisasi. Di bawah ini disajikan kedelapan fungsi yang dimaksud. 1
c2
1
a a2 a a2 x f1 1 0 z1 z 2 1 z 3 1 2 x1 x1 a3 c2
1
a4 x a6 z11 3 a5
1
1
1
2
x a4 x x a2 a a2 a a2 f 2 2 0 z 4 z 5 2 z 6 1 z 7 2 z 8 2 z12 4 a3 a2 x1 x1 a7
a8
1
2
x a10 a a2 f 3 3 0 z 9 z10 1 z13 5 x1 a9 1 1
1 f4 0 1 z 2 x1 a2
a1 a 2 x1
1 z 6 a2
x1 a 2 a1
1 1
1 1
1 a a 2 z 3 1 a 2 x1 1 a z 7 2 a 2 x1
1 x2 a 4 1 a3
1 1
a2
2 z8 a2
2 1
a1 a 2 x1
2 1 2 a1 a2 z10 3 a 2 x1 1
c2 1
c f5 0 1 z 3 2 x2 a4
a1 a 2 x2 a 2 x1 a3
1 f6 0 1 z11 x3 a6
x 3 a 6 a 5
1 1
1
c2 1 a4 c x 2 2 1 z 5 2 a 4 a 3
2
209
1 x f7 0 1 z12 4 x 4 a8 a 7
1 1
a8
2
1 1 1 x5 a10 f8 0 1 z13 3 x5 a 10 a9
(377)
Untuk dapat melakukan optimisasi terhadap kedelapan fungsi ini maka fungsi-fungsi ini diturunkan secara parsial terhadap kelima variabel biaya x dan ketiga lambda. Dengan demikian didapat matriks turunan dengan ukuran 8 x 8. Metode Newton-Rahpson digunakan untuk menyelesaikan matriks turunan ini. Metode ini dipilih karena ada fungsi kendala yang tidak linier. Optimisasi biaya dilakukan terhadap beberapa skenario optimisasi, seperti dijelaskan di bawah ini.
Skenario Optimisasi Investasi Awal Instalasi
Untuk mencapai tujuan optimisasi maka dibuat skenario optimisasi sebagai berikut: 1. Ruangan instalasi penyimpanan dibebani dengan sayur-sayuran dengan berat 2000, 3000, 4000, dan 5000 kg pada suhu penyimpanan 5 dan 10 oC. Penyimpanan ini dilakukan dengan kondisi luas permukaan pindah panas air untuk pendinginan nokturnal tetap atau ditingkatkan 100%, 2. Laju aliran massa air ditambah 1% dari nilai laju aliran massa air semula, 3. Keefektivan (ε) alat penukar panas pendinginan nokturnal bernilai 0.4, 0.6, dan 0.8 tanpa atau dengan menambah luas permukaan air pendinginan nokturnal.
Hasil dan Pembahasan
Kekonvergenan Hasil Program Optimisasi Hasil running program optimisasi berhasil mencapai suatu kondisi konvergen seperti terlihat di dalam Tabel 44. Perubahan pada biaya variabel-variabel
210 optimisasi seperti biaya konstruksi alat penukar panas (x1), biaya untuk pembelian tangki penyimpanan (x2), biaya kemampuan pendinginan mesin pendingin kompresi uap (x3), biaya untuk daya yang dibutuhkan pompa air (x4) dan biaya untuk daya kipas (x5) menuju ke nilai perubahan yang semakin kecil dengan bertambahnya pengulangan perhitungan. Ketiga fungsi kendala juga menuju ke nilai minimum (nol). Pengulangan sebanyak 6 kali sudah cukup untuk memperoleh hasil perhitungan yang konvergen. Pembebanan Ruangan Instalasi Penyimpanan Tabel 45 berikut adalah contoh hasil menjalankan program untuk nilai variabel-variabel optimisasi: beban penyimpanan 2000 kg, tanpa ( = 0) dan dengan penambahan luas permukaan kolam atap sebesar 100% ( = 1), dan suhu penyimpanan 5 dan 10oC. Pada suhu penyimpanan yang lebih rendah (5 oC), sesuai dengan teori, setiap peningkatan beban pendinginan akan menyebabkan perubahan ukuran komponen dan mengubah susunan biaya untuk investasi komponen sistem. Pada Tabel 45 terlihat peran pendinginan nokturnal dalam menurunkan ukuran komponen sistem dan berarti menurunkan biaya investasi. Tetapi pada kenyataannya sumbangan pendinginan nokturnal dalam mengurangi beban pendinginan ditentukan oleh parameter termal alat penukar panas yang digunakan. Oleh karena itu dicoba melihat pengaruh keefektivan alat penukar panas terhadap komponen biaya investasi. Pengaruh Peningkatan Laju Aliran Massa Air Peningkatan laju aliran massa air, selain mempengaruhi biaya investasi juga menyebabkan peningkatan beban pendinginan yang harus dihilangkan oleh pendinginan nokturnal hibrida meningkat pada awal-awal pendinginan. Sebagai akibatnya sasaran suhu pendinginan dicapai dengan lebih cepat. Pada operasi pendinginan dengan suhu 5 oC, dengan semakin meningkatnya beban pendinginan maka peningkatan laju aliran massa air meningkatkan daya untuk pompa air. Daya pompa yang dibutuhkan lebih besar untuk luas kolam pen-
211 dinginan nokturnal yang ditingkatkan 1 kali. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan volume air yang harus disirkulasikan per satuan waktu tertentu. Gambar 54 menyajikan perubahan ukuran komponen sistem karena peningkatan laju aliran massa air. Keadaan yang berbeda diperoleh dari investasi untuk daya pompa adalah kemampuan pendinginan mesin pendingin kompresi uap. Peningkatan laju aliran massa air menyebabkan peningkatan kemampuan pendinginan mesin pendingin kompresi uap, bila luas kolam air pendinginan noktunal tidak ditingkatkan. Seperti pada penentuan biaya daya pompa air, kemampuan pendinginan mesin pendingin pendingin kompresi uap terus meningkat dengan peningkatan beban pendinginan. Perubahan variabel biaya alat penukar panas sama seperti perubahan biaya untuk pembelian kemampuan pendinginan mesin pendingin kompresi uap. Terlihat di dalam gambar bahwa ada pengaruh pendinginan nokturnal dalam menurunkan biaya pengadaan alat penukar panas. Satu variabel optimisasi yang tidak memberikan kecenderungan perubahan adalah volume tangki penyimpanan air dingin. Hampir dari semua running menghasilkan volume tangki yang tidak berpola. Untuk daya kipas sentrifugal memang tidak berkaitan dengan daya pompa air, sehingga tidak ada perubahan biaya investasi kipas sentrifugal walaupun biaya investasi untuk pompa air meningkat. Keadaan seperti ini bersifat umum untuk semua hasil running program. Nilai Keefektivan Alat Penukar Panas Pendinginan Nokturnal Pada keefektivan alat penukar panas sama dengan satu, bila luas permukaan pindah panas pendinginan nokturnal tidak ditingkatkan maka pada penyimpanan suhu 5 oC biaya lebih banyak dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan pendinginan mesin pendingin kompresi uap. Semula pada beban pendinginan yang rendah (2000 kg) biaya investasi digunakan untuk pengadaan alat pemukar panas, tetapi pada beban pendinginan yang lebih tinggi biaya digunakan untuk meningkatkan kemampuan pendinginan mesin pendingin kompresi uap.
212 Pada beban pendinginan 3000, 4000, dan 5000 kg peningkatan kemampuan mesin pendingin membutuhkan 96, 97 dan 98% dari biaya total pengadaan komponen sistem. Sedangkan biaya untuk pengadaan alat penukar panas menurun berturut-turut 3, 2, dan 1% untuk beban yang sama. Bila pada suhu penyimpanan yang sama, luas kolam air dangkal atap ditingkatkan 100% maka pada beban 3000, 4000, dan 5000 kg penggunaan dana untuk meningkatkan kemampuan mesin pendingin kompresi uap berturut-turut 84, 89, dan 97% dari biaya total investasi komponen sistem. Pada kondisi yang sama biaya yang digunakan untuk pengadaan alat penukar panas adalah 9, 7, dan 2% dari biaya total. Dari uraian ini jelas terlihat bahwa pendinginan nokturnal memberikan sumbangan dalam menurunkan biaya untuk peningkatan kemampuan mesin pendingin kompresi uap. Kemungkinan lain, hasil ini memberikan arti bahwa sebagian kecil dari beban pendinginan dihilangkan oleh pendinginan nokturnal. Peran pendinginan nokturnal akan kelihatan lebih jelas bila dilihat dari penurunan biaya total. Dengan meningkatkan luas kolam air dangkal sebesar 100% maka pada beban pendinginan 2000, 3000, 4000, dan 5000 kg biaya total masingmasing menjadi 92, 25, 20, dan 47% dari biaya total bila luas kolam tidak ditingkatkan. Kecenderungan yang sama tetapi dengan besaran yang berbeda terjadi pada suhu penyimpanan yang lebih tinggi. Pada nilai keefektivan alat penukar panas pendinginan nokturnal yang lebih rendah juga menghasilkan kecenderungan optimisasi yang sama, dengan besaran yang lebih kecil. Jadi, berdasarkan pada optimisasi biaya konstruksi terbukti bahwa pendinginan nokturnal berperan dalam meminimumkan biaya total. Ada dua komponen yang menentukan biaya total investasi awal pada instalasi penyimpanan dingin, yaitu alat penukar panas dan kemampuan pendinginan mesin pendingin kompresi uap. Untuk itu, perlu dilihat pengaruh keefektivan alat penukar panas pada beban pendinginan yang berbeda. Gambar 55 memperlihatkan pengaruh keefektivan alat penukar panas terhadap luas permukaan alat penukar panas pada beban 2000, 3000, 4000, dan 5000 kg, sedangkan Gambar 56 menampilkan pengaruh keefektivan alat penukar panas terhadap kemampuan pendinginan mesin pendingin kompresi uap pada beban 4000 dan 5000 kg.
213
Daya pompa air (W).
70 60 50 40 30
0/5
20
1/5
10 0 2000
3000
4000
5000
Beban instalasi (kg)
0.6 3
5000
Volume tangki (m ).
Daya refrigerator (W).
6000
4000 3000 0/5
2000
1/5
1000 0
0.5 0.4 0.3
2000 3000
5000
Beban instalasi (kg)
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
4000
5000
Beban instalasi (kg)
700 600
0/5 1/5
Daya kipas (W).
2
1/5
0.1 0
2000 3000 4000
Luas HX (m ).
0/5
0.2
500 400 300
0/5
200
1/5
100 0 2000
3000
4000
Beban instalasi (kg)
2000 5000
3000
4000
5000
Beban instalasi (kg)
Gambar 54 Pengaruh peningkatan laju aliran massa air sebesar 1% terhadap biaya pengadaan komponen sistem instalasi.
214 Baik alat penukar panas maupun kemampuan pendinginan mesin pendingin kompresi uap memberikan respon yang sama terhadap nilai keefektivan alat penukar panas. Ada kecenderungan yang konsisten seperti terlihat dalam gambargambar tersebut. Pada nilai keefektivan 0.4 maka luas permukaan dan kemampuan pendinginan yang harus dibiayai bernilai besar dan nilai investasi menjadi semakin kecil dengan meningkatnya keefektivan alat penukar panas.
8
9
(a)
(b) 8 Luas HX (m2 ).
Luas HX (m2 ).
7 6 5 4
7 6 5
3
4
0.4
0.6
0.8
0.4
Keefektivan
0/5
1/5
0/10
0/5
1/10
12
0.6 Keefektivan
1/5
0.8
0/10
1/10
12
(c)
(d)
10
Luas HX (m2 ).
Luas HX (m2 ).
11
8 6
10 9 8 7
4
6
0.4
0/5
0.6 Keefektivan
1/5
0/10
0.8
0.4
1/10
0/5
0.6 Keefektivan
1/5
0/10
0.8
1/10
Gambar 55 Pengaruh keefektivan alat penukar panas terhadap luas permukaan pindah panas alat penukar panas pada beban 2000 (a), 3000 (b), 4000 (c) dan 5000 kg (d). Pengamatan secara kasar memperlihatkan bahwa peningkatan keefektivan alat penukar panas menyebabkan kebutuhan luas permukaan pindah panas dari
215 alat penukar panas menurun untuk semua tingkat beban pendinginan. Demikian pula peningkatan luas permukaan pindah panas air pendinginan nokturnal menyebabkan luas permukaan pindah panas alat penukar panas yang dibutuhkan lebih kecil. Penurunan luas permukaan pindah panas alat penukar panas berakibat pada biaya yang diinvestasikan juga menurun. Satu hal yang lain yang juga konsisten yaitu berdasarkan hasil optimisasi bahwa peningkatan luas permukaan pindah panas pendinginan nokturnal menyebabkan biaya investasi yang dibutuhkan menurun dengan meningkatnya keefektivan alat penukar panas.
7
7
(a)
5 4 3 2
5 4 3 2
1
1
0
0
0.4
0/5
0.6 Keefektivan
1/5
0/10
(b)
6 Kap.ref (kW).
Kap.ref (kW).
6
0.8
0.4
1/10
0/5
0.6 Keefektivan
1/5
0/10
0.8
1/10
Gambar 56 Pengaruh keefektivan alat penukar panas terhadap luas permukaan pindah panas alat penukar panas pada beban 4000 (a), dan 5000 (b). Luas permukaan pindah panas alat penukar panas untuk nilai keefektivan alat 0.4, 0.6, dan 0.8 adalah 8.7, 7.5, 7.1 m2. Bila dibandingkan dengan luas permukaan pindah panas untuk keefektivan alat penukar panas 0.4 maka terjadi penurunan luas permukaan alat penukar panas sebesar 14.0 dan 18.1%. Untuk mengadakan alat penukar panas dengan nilai keefektivan 0.4 dibutuhkan biaya investasi sebesar Rp 2475210 dan biaya investasi ini turun 7.0% atau 9.4% bila menggunakan alat penukar panas dengan keefektivan 0.6 atau 0.8. Bila luas permukaan pindah panas air dinaikkan 100% maka terjadi penurunan luas permukaan pindah panas alat penukar panas dari semula 8.4 m2 menja-
216 di 7.1 m2 atau penurunan sebesar 16.1%. Dengan penurunan sebesar ini maka biaya investasi untuk alat penukar panas juga menurun sebesar 8.3%. Peningkatan keefektivan alat penukar panas juga mempengaruhi kebutuhan kemampuan pendinginan mesin pendingin kompresi uap. Untuk beban 4000 dan 5000 kg sayur-sayuran, bila keefektivan alat penukar panas bernilai 0.4 maka dibutuhkan kemampuan pendinginan mesin sebesar 4.3 kW. Bila keefektivan alat penukar panas ditingkatkan menjadi 0.6 atau 0.8 maka terjadi penurunan kemampuan pendinginan mensin yang harus diadakan sebesar 67.4% atau 79.9%. Biaya investasi untuk mesin pendingin kompresi uap untuk keefektivan alat penukar panas sebesar 0.4 adalah Rp 4263133 dan terjadi penurunan biaya investasi sebesar 43.8% atau 65.5% bila keefektivan alat penukar panas dinaikkan menjadi 0.6 atau 0.8. Bila ditinjau dari sumbangan peningkatan luas pemukaan pindah panas air untuk pendinginan nokturnal maka bila luas permukaan pindah panas air tidak ditingkatkan membutuhkan alat penukar panas dengan luas permukaan 2.5 m2, tetapi bila luas permukaan pindah panas air ditingkatkan 100% maka luas permukaan alat penukar panas yang dibutuhkan menurun 24.3%. Penurunan luas permukaan alat penukar panas sebesar 24.3% mengakibatkan biaya investasi untuk alat penukar panas juga menurun sebesar 24.3%. Komponen sistem alat penukar panas dan kemampuan pendinginan mesin pendingin kompresi uap merupakan dua komponen penting yang menentukan biaya total investasi untuk pengadaan komponen. Oleh karena itu, perubahan pada kedua komponen sistem ini mempengaruhi biaya total investasi. Dari hasil optimisasi diketahui bahwa kedua komponen sistem ini dipengaruhi oleh nilai keefektivan alat penukar panas dan luas permukaan bidang pindah panas air pendinginan nokturnal. Jadi untuk mengubah biaya investasi maka tindakan yang dibutuhkan adalah menentukan luas permukaan pindah panas air pendinginan nokturnal atau membuat alat penukar panas sedemikian rupa sehingga memiliki keefektivan tinggi. Berdasarkan pada kecenderungan penurunan biaya investasi, maka semakin tinggi nilai keefektivan alat penukar panas maka semakin kecil biaya investasi.
217
Tabel 44 Perubahan nilai variabel optimisasi menuju ke suatu nilai konvergen Itera No 0 1 2 3 4 5 6 7 8 a
x1 1 1.378 1.756 1.994 2.054 2.057 2.057 2.057 2.113
Variabel optimisasib x2 x3 x4 0.03 1E-8 0.3 0.029 0.003 0.237 0.008 0.009 0.226 0.005 0.019 0.225 0.005 0.023 0.224 0.005 0.024 0.224 0.005 0.024 0.224 0.010 0.027 0.228 0.064 -1.486 0.231
Iter. = iterasi dalam Rp 1000000.
b
x5 0.8 0.787 0.787 0.787 0.787 0.787 0.787 0.787 0.787
Lambdab λ1 λ2 λ3 1.0E7 1.0E5 1.0E4 1.1E7 2.5E4 161.8 9.5E6 1.3E3 0.02 3.9E6 11.63 0.00 3.6E5 0.050 0.00 1.6E3 -0.002 0.00 0.009 -0.002 0.00 0.000 -0.002 0.00 0.000 -0.002 0.00
Fungsi kendalab 1 2 3 1E5 -38.9 -23.3 7E4 -4.79 -0.20 2E4 -0.53 0.00 3E3 -0.27 0.00 2E2 -0.04 0.00 0.21 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.16 -0.94 0.00 ∞ -2.26 0.00
Perubahan nilai variabel Δx1 Δx2 Δx3 Δx4 Δx5 0.378 0.378 0.238 0.061 0.003 0.000 0.000 0.056
-0.001 -0.021 -0.003 0.000 0.000 0.000 0.006 0.054
0.003 0.007 0.010 0.004 0.000 0.000 0.003 -1.513
-0.063 -0.010 -0.002 -0.001 0.000 0.000 0.004 0.004
-0.013 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Biayab 2.130000 2.433452 2.786499 3.029486 3.093012 3.096012 3.096013 3.108781 1.709551
218
Tabel 45 Biaya investasi awal optimum dari beberapa skenario optimisasi Tr mp ( C) (kg) 0 5 2000 0 5 3000 0 5 4000 0 5 5000 1 5 2000 1 5 3000 1 5 4000 1 5 5000 0 10 2000 0 10 3000 0 10 4000 0 10 5000 1 10 2000 1 10 3000 1 10 4000 1 10 5000 a dalam Rp 1000000.
o
x1 2.06 2.12 2.25 2.36 1.83 1.97 2.12 2.21 2.01 2.20 2.38 2.51 1.73 1.90 2.06 2.19
Variabel optimisasia x2 x3 x4 0.00 0.02 0.22 0.00 75.29 0.21 0.01 132.75 0.22 0.01 198.65 0.23 0.00 0.01 0.22 0.02 16.28 0.23 0.01 24.40 0.23 0.02 90.88 0.23 0.01 0.02 0.22 0.00 0.38 0.21 0.01 0.50 0.22 0.00 5.34 0.22 0.01 0.01 0.22 0.02 0.01 0.23 0.01 0.03 0.22 0.01 0.37 0.22
x5 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79
Lambdaa λ1 λ2 0.01 0.00 0.01 0.00 0.13 0.00 0.78 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.09 0.00 0.00 0.00 0.27 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.20 0.00
λ3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Perubahan nilai variabela Biayaa Δx1 Δx2 Δx3 Δx4 Δx5 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.096013 0.000 0.000 0.002 0.000 0.000 78.409806 0.000 0.000 0.008 0.000 0.000 136.017312 0.000 0.000 0.028 0.000 0.000 202.027179 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.855277 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 19.275983 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 27.542792 0.000 0.000 0.005 0.000 0.000 94.120689 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.051698 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.579700 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.896142 0.000 0.000 0.003 0.000 0.000 8.859556 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.763955 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.950751 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.112618 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.581515
219 Kesimpulan
1. Optimisasi dapat memberikan kemungkinan penyelesaian karena pengulangan program menuju ke suatu kondisi yang konvergen. 2. Beban pendinginan menentukan ukuran variabel optimisasi. Biaya investasi pengadaan komponen sistem ditentukan oleh biaya investasi untuk alat penukar panas dan mesin pendingin kompresi uap. Biaya investasi untuk peningkatan kemampuan pendinginan mesin pendingin kompresi uap untuk beban pendinginan 3000, 4000 dan 5000 kg mencapai 96, 97 dan 98% dari biaya total investasi komponen sistem. Bila luas permukaan pindah panas air ditingkatkan 100% maka biaya investasi yang dibutuhkan untuk peningkatan kemampuan pendinginan mesin pendingin adalah 84, 89, dan 97%. 3. Peningkatan laju aliran massa air menyebabkan peningkatan biaya investasi. 4. Keefektivan alat pemukar panas menentukan biaya investasi awal instalasi. Semakin besar nilai keefektivan alat penukar panas maka biaya investasi menjadi semakin kecil. %. Untuk mengadakan alat penukar panas dengan nilai keefektivan 0.4 dibutuhkan biaya investasi sebesar Rp 2475210 dan biaya investasi ini turun 7.0% atau 9.4% bila menggunakan alat penukar panas dengan keefektivan 0.6 atau 0.8. 5. Pendinginan nokturnal memberikan sumbangan dalam mengurangi biaya investasi awal instalasi.
220
7 ANALISIS FINANSIAL INSTALASI PENYIMPANAN DINGIN DI DESA CANDIKUNING BALI Pendahuluan
Pengelola Unit Sayur Mayur Perusahaan Daerah Provinsi Bali sampai saat ini belum memanfaatkan instalasi penyimpanan dingin yang sudah ada. Pengelola unit berkonsentrasi dalam mengadakan dan menyiapkan sayur-sayuran sampai siap dikirim dengan cara-cara yang sudah biasa dilakukan dan belum mempertimbangkan penggunaan instalasi. Dalam melaksanakan tugasnya, pengelola unit berkewajiban menanggulangi pengeluaran berupa gaji, biaya bahan bakar minyak, dan rekening-rekening. Sementara itu, perusahaan induk memiliki kewajiban menanggung biaya pemeliharaan. Untuk mempermudah perencanaan dan perhitungan pengadaan dan pendapatan, unit menggunakan asumsi-asumsi. Kehilangan pascapanen yang meliputi kehilangan sortasi dan kehilangan penyimpanan diasumsikan masing-masing bernilai 10 dan 5%. Dengan demikian kehilangan pascapanen keseluruhan sebesar 15%. Kehilangan karena sortasi yang mencapai 10% cukup beralasan karena tuntutan dari perusahaan rekanan yang mensyaratkan mutu super. Sedangkan kehilangan penyimpanan dapat dikurangi dengan menyimpan sayur-sayuran dalam ruang instalasi penyimpanan dingin karena cara ini mampu mengurangi kehilangan berat. Hasil percobaan pendahuluan menunjukkan bahwa dengan menyimpan sayur-sayuran dalam ruang penyimpanan dingin, kehilangan berat rata-rata sayursayuran dapat ditekan selama satu hari penyimpanan. Dampak suhu dingin semakin kelihatan terutama pada sayur-sayuran daun. Kecuali bawang daun, semua sayur-sayuran dapat dijual setelah disimpan satu hari di dalam instalasi penyimpanan dingin, sedangkan berat yang dapat dijual untuk sayur-sayuran yang disimpan di dalam gudang berkisar antara 50-70%. Tetapi penyimpanan dingin dalam jangka waktu yang lebih lama juga tidak mampu mempertahankan sayur-sayuran dari kerusakan. Jumlah sayur-sayuran yang dapat dijual setelah disimpan dua hari mencapai 66-90% dari berat semula. Jumlah sayur-sayuran ini mencapai hampir
221 dua kali lipat jumlah sayur-sayuran yang dapat dijual setelah disimpan dalam gudang (Tabel 46). Tabel 46 Berat sayur yang dapat dijual kembali setelah disimpana Jenis sayurInstalasi penyimpanan dingin Gudang sayuran 1 hari 2 hari 1 hari 2 hari Wortel 23 (100.0) 22.5 (100.0) 12.5 (100.0) 11 (88.0) Selada 14 (100.0) 13.5 (90.0) 2 (66.7) 1.5 (50.0) Bawang daun 6.75 (96.4) 6.5 (92.9) 1.5 (60.0) 0 (0.0) Pak choy 3 (100.0) 2 (66.7) 0.5 (50.0) 0 (0.0) Kubis 5 (100.0) 4 (80.0) 2.5 (71.4) 1 (28.6) Kentang 13 (100.0) 13 (100.0) 9.5 (100.0) 9.5 (100.0) a Angka di luar tanda kurung menyatakan berat sayur-sayuran dalam kg dan angka di dalam kurung menyatakan persen. Kehilangan pascapanen berdampak langsung pada penghasilan perusahaan. Bila kehilangan pascapanen tinggi maka biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan sayur-sayuan akan meningkat dan akan terjadi pula hal sebaliknya. Hal lain yang juga berpengaruh terhadap pendapatan perusahaan yaitu pengembalian sayur-sayuran oleh perusahaan rekanan. Sayur yang dikembalikan sudah tidak memiliki nilai finansials lagi karena pada umumnya kondisi sayur-sayuran sudah rusak. Disamping itu, produksi sayur-sayuran sangat ditentukan oleh cuaca sehingga harga sayur juga dipengaruhi oleh faktor ini. Pada saat cuaca baik, produksi baik dan melimpah tetapi harga yang diperoleh petani turun, demikian pula sebaliknya. Berdasarkan pada kontrak kerjasama, saat ini unit harus menyediakan 58 jenis sayur-sayuran untuk perusahaan rekanan. Menyiapkan 58 jenis sayur-sayuran merupakan pekerjaan sulit. Disamping itu keuntungan yang diperoleh dari setiap jenis sayur tidak terlalu besar dan keuntungan yang akan diperoleh semakin berkurang untuk digunakan menutup biaya pengadaan. Jadi tidak semua jenis sayur-sayuran memberikan keuntungan yang berarti kepada unit. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk menganalisis sumbangan jenis sayur-sayuran terhadap kelayakan usaha dengan mempertimbangkan jenis sayur-sayuran yang dipesan oleh perusahaan rekanan.
222 Lebih lanjut, pengaruh variabel finansial dalam berusaha sayur-sayuran perlu dipelajari. Variabel finansial yang menyebabkan ketidakpastian dalam berusaha perlu diteliti untuk menentukan resiko yang harus dipikul. Jadi analisis sensitivitas perlu dilakukan untuk mengkaji ketidakpastian yang timbul berdasarkan pada beberapa skenario variabel finansial. Bila unit sudah memanfaatkan instalasi penyimpanan dingin maka minimal ada dua keuntungan yang diperoleh unit. Sementara ini, berdasarkan pada jumlah pesanan sayur-sayuran, unit baru memanfaatkan sebagian kecil dari volume ruang instalasi penyimpanan dingin. Ruang instalasi yang belum digunakan dapat disewakan untuk penyimpanan dingin sayur-sayuran petani atau pengusaha sayur lainnya. Kelebihan lainnya adalah dengan menyewakan ruang instalasi yang tidak terpakai maka unit dapat mengurangi biaya penyimpanan dingin dan juga mendapat pendapatan tambahan dari penyewaan ruang. Analisis Finansial Menurut Stoecker (1989) kajian kelayakan menunjuk pada kemungkinan suatu investasi dipilih untuk dilaksanakan. Suatu investasi mungkin layak untuk dilaksanakan, atau mungkin pula tidak layak karena ketiadaan investasi modal, tanah, tenaga kerja, atau hal-hal lain yang tidak mendukung. Oleh karena itu Newnan et al. (2004) menyatakan bahwa dalam membuat suatu keputusan investasi dibutuhkan evaluasi terhadap pilihan investasi yang realistik. Wreston dan Brigham (1981) menyatakan ada banyak cara melakukan evaluasi rencana investasi, tiga diantaranya adalah dengan melakukan analisis payback period (PbP), net present value (NPV), dan internal rate of return (IRR). Menurut Cohen et al. (2003) analisis NPV memungkinkan investor membandingkan alternatif investasi yang ada. Metode ini memperlihatkan apakah investasi memenuhi pendapatan yang diinginkan. Selanjutnya dikatakan bahwa analisis payback period digunakan untuk menentukan pengembalian modal yang diinvestasikan secara tepat. Net Present Value (NPV). NPV menurut Purba (1997) merupakan selisih antara manfaat dengan biaya ditambah dengan investasi. Wreston dan Brigham
223 (1981) menyatakan NPV menggambarkan nilai sekarang dari pendapatan masa depan yang didiskon pada tingkat bunga dan dikurangi dengan biaya investasi awal. Selanjutnya dikatakan bahwa metode NPV mempertimbangkan nilai waktu dari uang. Dengan demikian uang yang diperoleh sekarang berbeda harganya dengan uang yang akan diperoleh di masa depan. Untuk memperhitungkan nilai waktu dari uang digunakan teknik discounted cashflow (aliran tunai terdiskon) (Wreston dan Brigham 1981). Hal yang serupa dikemukakan oleh Sunaryo (2001) bahwa NPV menghitung semua pendapatan dan biaya yang bersifat periodik ke masa sekarang dengan mendiskon dengan faktor diskon yang relevan karena uang lebih berharga sekarang daripada di masa depan. NPV kemungkinan merupakan alat ukur analisis kelayakan investasi yang paling populer. Analisis NPV membutuhkan dua hal, yaitu investasi dan perkiraan penerimaan (McAfee 2006). Rumus untuk menghitung NPV diberikan oleh Wreston dan Brigham (1981), Hasnan dan Suwarsono (1994), Sunaryo (2001), dan Mishan dan Quah (2007) dengan bentuk seperti pada persamaan (379). Menurut Hasnan dan Suwarsono (1994), tingkat suku bunga sesungguhnya (k) adalah merupakan selisih antara bunga komersial dengan tingkat inflasi. n
NPV t 1
Ft I 1 k t
(378)
Pemilihan suatu investasi dari beberapa alternatif investasi didasarkan pada nilai NPV tertinggi (Uzunöz dan Akçay 2006). Suatu investasi dianggap layak untuk dilakukan bila NPV proyek bernilai positif (Hasnan dan Suwarsono (1994) dan bila bernilai negatif ditolak (Wreston dan Brigham 1981). Investasi akan dilakukan kalau NPV bernilai positif karena NPV yang positif akan menambah nilai netto dari perusahaan (Wreston dan Brigham 1981; McAfee 2006). Purba (1997) memberikan penjelasan lebih rinci tentang arti dari hasil analisis NPV, yaitu: 1) bila nilai NPV lebih besar daripada 0 berarti manfaat lebih besar daripada biaya ditambah investasi dan usaha yang akan dilakukan memberikan keuntungan, 2) bila NPV sama dengan 0 menunjukkan bahwa manfaat yang akan diperoleh hanya cukup untuk menutupi biaya dan investasi selama umur finansials usaha, dan 3) bila NPV lebih kecil daripada 0, berarti manfaat
224 tidak cukup untuk menutupi biaya dan investasi yang berarti investasi yang akan dilaksanakan tidak memberikan keuntungan. Internal Rate of Return (IRR). Menurut Uzunöz dan Akçay (2006) IRR penting dalam menentukan keuntungan relatif dari suatu investasi. Cohen et al. (2003) menyatakan bahwa IRR berkaitan dengan nilai sekarang dari pendapatan masa depan dengan investasi awal. Wreston dan Brigham (1981), Purba (1997), Sunaryo (2001) dan CETC (2004) mendefinisikan IRR sebagai tingkat discount rate pada saat nilai investasi sama dengan nilai NPV atau tingkat suku bunga pada saat NPV bernilai nol. Purba (1997) menambahkan bahwa IRR diperoleh pada saat perbandingan manfaat dan biaya sama dengan satu. Rumus berikut menyamakan antara nilai NPV dengan investasi awal. n
NPV t 1
Ft I 1 r t
(379)
Bila r sama dengan k maka hasil dari investasi hanya mampu untuk membayar dana untuk melakukan investasi. Bila r lebih besar dari k akan diperoleh keuntungan dari investasi yang dilakukan. Apabila r lebih kecil dari k disimpulkan bahwa dengan melakukan investasi, perusahaan akan mengalami kerugian (Wreston dan Brigham 1981). Benefit Cost Ratio (BCR). BCR menunjukkan angka perbandingan antara manfaat (B, benefit) dengan biaya (C, cost) dan investasi (Purba 1997). Uzunöz dan Akçay (2006) mengatakan BCR merupakan aliran nilai keuntungan sekarang dibagi dengan nilai sekarang aliran biaya. Baik aliran keuntungan dan aliran biaya dikenakan discount rate. CETC (2004) menyebutkan BCR adalah pernyataan keuntungan relatif (relative profitability) yang dihitung sebagai ratio nilai sekarang (PV, present value) dari pendapatan tahunan dikurangi biaya tahunan. Subagyo (1995) memberikan batasan tentang kelayakan suatu investasi berdasarkan nilai BCR, yaitu bila nilai BCR lebih kecil daripada 1 investasi tidak layak dilaksanakan dan bila nilai BCR lebih besar daripada 1, investasi layak didanai. Purba (1997) memberikan penjelasan tentang hasil analisis BCR sebagai
225 berikut: 1) bila BCR bernilai lebih besar daripada 1 maka akan diperoleh manfaat dari investasi yang akan dilakukan selama umur finansial usaha. Usaha yang dibiayai bersifat menguntungkan dan dapat dilaksanakan, 2) bila BCR bernilai 1 maka manfaat yang akan diperoleh selama umur finansial dari usaha yang dibiayai hanya cukup untuk menutupi biaya dan investasi, sehingga usaha yang direncanakan tidak perlu dipertimbangkan untuk dilaksanakan, dan 3) bila BCR bernilai lebih kecil daripada 1, berarti manfaat yang akan didapat tidak akan cukup menutupi biaya dan investasi yang dikeluarkan dan investasi tergolong tidak menguntungkan dan investasi tidak dapat dilaksanakan. Kodoatie (1995) memberikan batasan yang lebih rinci tentang hasil analisis BCR suatu investasi, yaitu: bila BCR bernilai lebih besar dari 2 berarti bagus sekali, bila bernilai 1.4 bagus, bernilai 1.1 hampir marjinal, bernilai 1.0 marjinal dan bila bernilai lebih kecil daripada 1 investasi tergolong jelek. Investasi dengan nilai lebih kecil daripada 1 memberikan dampak negatif kepada usaha bila investasi itu merupakan upaya perluasan usaha. Payback Period (PbP). Menurut Wreston dan Brigham (1981) PbP merupakan jumlah tahun yang dibutuhkan untuk mengembalikan investasi. PbP juga berarti jumlah tahun yang dibutuhkan untuk mengembalikan investasi awal dari aliran tunai bersih. PbP digunakan sebagai indikator tentang berapa lama investasi berada dalam resiko. Hien (2002) sependapat dengan Wreston dan Brigham (1981) bahwa dalam menghitung PbP digunakan aliran tunai bersih. Purba (1997) berpendapat agak berbeda dalam hal aliran tunai bersih. Menurut Purba (1997) PbP merupakan lama waktu yang diperlukan manfaat dan penyusutan untuk mengembalikan investasi. PbP menunjukkan perbandingan antara investasi dengan manfaat dan penyusutan. PbP dapat dihitung dengan dua cara yaitu dengan: 1) manfaat, 2) manfaat dikurangi biaya (B – C). Nilai PbP terbaik untuk suatu investasi adalah PbP terpendek karena uang lebih berharga sekarang daripada tahun depan. Walaupun PbP sangat mudah dihitung dan mudah diterapkan tetapi metode ini tidak mempertimbangkan ketidakpastian setelah periode pengembalian modal tercapai. PbP tidak memperhi-
226 tungkan nilai uang terhadap waktu dan mengabaikan pendapatan setelah periode tercapai (Wreston dan Brigham 1981). Return on Investment (ROI). Setiap investor pada umumnya menghendaki supaya dana (modal) yang digunakan untuk membiayai kegiatan investasinya dapat segera cair kembali supaya dapat digunakan untuk tujuan lain, atau untuk mengembangkan usaha. Salah satu cara untuk memperoleh gambaran tentang pengembalian modal yang diinvestasikan adalah dengan menghitung ROI yang dinyatakan dalam persen (persamaan 380). Manfaat dari menghitung ROI sebelum usaha dilakukan adalah: 1) untuk mengetahui tingkat (dalam persen) pengembalian modal yang akan digunakan, 2) untuk merumuskan apakah pembiayaan investasi akan menggunakan modal sendiri atau dengan memanfaatkan modal dari luar perusahaan (Purba 1997). Secara ringkas Gorny dan Kitinoja (1999) menyatakan ROI menggambarkan pemulihan investasi yang akan dilakukan. ROI
P In
x
In
(380)
I
Wreston dan Brigham (1981) menyimpulkan bahwa secara umum, perusahaan yang berhubungan dengan komoditas yang secara relatif mudah rusak diharapkan memiliki nilai penggantian modal (turnover) yang tinggi dengan marjin keuntungan (profit margin) rendah. Purba (1997) menjelaskan tindakan yang harus diambil berkaitan dengan nilai ROI dengan bunga modal dari luar usaha, dengan rincian: bila nilai ROI lebih besar dari suku bunga modal luar maka lebih baik menggunakan modal dari luar karena selisih ROI dengan suku bunga modal luar akan menambah manfaat yang diperoleh perusahaan. Sebaliknya, bila ROI lebih kecil daripada suku bunga modal luar maka lebih baik menggunakan modal perusahaan. Selisih antara ROI dengan suku bunga menjadi kerugian yang harus ditanggung perusahaan. Penyusutan. Stoecker (1989) menyatakan bahwa penyusutan merupakan pengeluaran tahunan dalam perhitungan pajak untuk memungkinkan pengelola proyek mengganti fasilitas di akhir umur finansialnya. Menurut Wreston dan Brigham (1981) ada empat metode menghitung nilai penyusutan suatu fasilitas
227 dan satu diantaranya adalah metode garis lurus. Dengan menggunakan metode garis lurus pengeluaran dalam jumlah seragam diperoleh dengan cara membagi investasi awal fasilitas dikurangi perkiraan nilai akhir fasilitas dengan umur finansialnya, seperti diperlihatkan dalam persamaan berikut. Dt
B SV n
(381)
Berkaitan dengan nilai penyusutan suatu fasilitas, berikut dikutip bebarapa fasilitas usaha dengan umur finansialnya. Kutipan bersumber pada NAVFAC (1993) dan Henderson dan Perry (1976).
Tabel 47 Umur finansial beberapa fasilitas Jenis fasilitas NAVFAC (1993) Bangunan 1. Permanen 2. Semi-permanen, tanpa kayu Semi-permanent dengan kayu 3. Sementara atau direhabilitasi Peralatan operasi Refrigerator (kompresor)
Umur Jenis fasilitas (tahun) Henderson dan Perry (1976) Bangunan pertanian 25 Peralatan pangan 25 Mesin dan peralatan pertanian 20 Mesin: pompa, kipas, mesin kantor dll. 15 Penggilingan biji-bijian
Umur (tahun) 25 12 10 10 17
10 15
Analisis Sensitivitas. Menurut CETC (2004) analisis sensitivitas mengaitkan indikator finansial dengan parameter kunci finansial dan teknis. Misal analisis sensitivitas digunakan mengetahui tingkat pengaruh parameter seperti biaya energi, biaya bahan bakar, biaya awal, biaya tahunan seperti operasi dan pemeliharaan, suku bunga, dan jangka pinjaman terhadap NPV, ROI dan PbP. Menurut Uzunöz dan Akçay (2006) analisis sensitivitas merupakan metode untuk mengukur pengaruh perubahan nilai input kunci penyebab ketidakpastian terhadap kelayakan suatu investasi. Beberapa hasil kajian tentang kelayakan investasi sudah dilaporkan oleh peneliti diantaranya Tastra dan Gatot (2002) melaporkan hasil modifikasi alat
228 pengering untuk dapat menggunakan briket batubara. Analisis kelayakan finansial diasumsikan hanya memperhitungkan biaya modifikasi sebesar Rp 16 juta/satuan. Asumsi berikutnya berupa penggunaan alat pengering kedelai brangkasan setara dengan penghematan 0.5 hari orang kerja yaitu Rp 17500/ton kedelai brangkasan. Dengan asumsi ini dan dengan upah dua orang operator Rp 50000/hari dan kapasitas pengeringan 2.3 ton/jam dan dengan menganggap umur finansial alat 5 tahun diperoleh NPV Rp 3.47 juta, BCR 1,3 dan IRR 97.7%, biaya pokok pengeringan Rp 11.8/kg. Berdasarkan pada hasil analisis finansial tersebut disimpulkan alat layak digunakan. Sarjono et al. (2002) menyebutkan bahwa hasil analisis finansial untuk alat mesin hortikultura yang dikembangkan adalah sebagai berikut: BCR 1.80-3.46 dan NPV Rp 303195451-Rp 378635177. Analisis finansial menunjukkan bahwa penggunaan alat mesin-mesin hortikultura menguntungkan untuk digunakan. Dyah (2004) juga melaporkan bahwa dibandingkan dengan menggunakan lamporan dalam mengeringkan cengkeh, pemanfaatan alat pengering tipe efek rumah kaca (ERK) lebih menguntungkan. Prasetyo (2009) melakukan analisis finansial menggunakan tiga metode yaitu NPV, IRR, BCR dalam menentukan kelayakan usaha pengeringan gabah. Ketiga analisis ini dilakukan dengan menggunakan hasil analisis biaya-biaya pengeringan gabah. Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan salah satu komponen biaya. Dengan menggunakan tingkat bunga 15% per tahun diperoleh hasil perhitungan NPV, IRR dan BCR berturut-turut Rp 8 186 391, 31.19% , dan 1.82. Berdasarkan pada hasil analisis sensitivitas diketahui terjadi penurunan NPV, IRR, dan BCR bila harga gabah meningkat. Demikian pula bila kapasitas alat diturunkan maka nilai ketiga parameter tersebut juga menurun (Prasetyo 2009).
Tujuan
Dengan mempertimbangkan kewajiban finansial yang harus dipikul antara pengelola Unit Sayur Mayur dengan perusahaan induknya, maka dilakukan perhitungan dan kajian tentang:
229 1. Analisis finansial terhadap kelayakan usaha penjualan sayur-sayuran yang dilakukan unit, 2. Analisis sensitivitas terhadap beberapa faktor finansial dan penentuan biaya penyimpanan dan biaya penyewaan ruang instalasi penyimpanan dingin.
Metode
Analisis Finansial Harga Sayur-sayuran. Harga beli dan harga jual sayur-sayuran diperoleh dari unit untuk periode usaha dari bulan Januari 2002 sampai dengan bulan Agustus 2002. Harga beli dan harga jual sayur-sayuran yang digunakan dalam analisis ini merupakan harga rata-rata periode tersebut. Jumlah dan Jenis Sayur-sayuran. Sayur-sayuran yang dijual unit pada saat ini berdasarkan pada kontrak kerjasama pengadaan dengan salah satu pasar swalayan terkemuka di Denpasar. Di dalam kontrak kerjasama ini disebutkan jumlah dan jenis sayur-sayuran yang harus disiapkan oleh unit. Masa berlaku kontrak kerjasama tersebut adalah tiga bulan dan dapat diperpanjang melalui perundingan kedua belah pihak. Berdasarkan pada data di dalam lampiran, rata-rata sebanyak 4l4 kg dari seluruh 58 jenis sayur-sayuran yang dikirim unit setiap hari. Resiko Usaha. Sayur-sayuran yang dikembalikan oleh perusahaan rekanan merupakan resiko yang harus ditanggung unit. Salah satu penyebab sayur-sayuran dikembalikan karena tidak memenuhi kriteris mutu yang disyaratkan perusahaan rekanan. Pengembalian sayur-sayuran merupakan kerugian bagi unit karena perusahaan rekanan tidak membayar sayur-sayuran yang dikembalikan. Skenario Analisis. Untuk melakukan analisis finansial dibuat beberapa skenario. Skenario ini mencakup kegiatan usaha yang sedang dijalankan dan kemungkinan pengembangan usaha berdasarkan pada fasilitas yang dimiliki unit. Fasilitas yang memungkinkan untuk mengembangkan usaha unit berupa bangunan
230 instalasi penyimpanan dingin. Bunga pinjaman komersial diasumsikan bernilai 16% per tahun. Sudah dijelaskan didepan bahwa unit memiliki lahan dan petani penggarap yang melakukan kegiatan budidaya pertanian di lahan unit. Tetapi untuk analisis finansial, semua kegiatan prapanen yang meliputi penyediaan bibit, peralatan dan sarana produksi, pemeliharaan tanaman, gaji staf penanggung jawab produksi tidak tercakup dalam analisis. Analisis finansial dilakukan dengan berdasarkan hanya pada kegiatan jasa penjualan sayur-sayuran. Berikut ini skenario-skenario analisis finansial yang digunakan: 1. Analisis finansial untuk kondisi perusahaan saat ini. Pengelola unit menanggung biaya operasional seperti gaji staf, rekening-rekening yang meliputi rekening air PDAM, listrik dan telepon, ATK, biaya bahan bakar minyak untuk kendaraan unit yang berupa satu buah truk kotak. Biaya pemeliharaan menjadi tanggung jawab perusahaan induk. 2. Analisis finansial dilakukan seperti diatas ditambah pengelola unit menanggung biaya pemeliharaan. 3. Analisis finansial dilakukan dengan kondisi seperti butir 1 ditambah pengelola unit menggunakan instalasi penyimpanan dingin. 4. Analisis finansial dilakukan menggunakan butir 2 ditambah pengelola unit mengoperasikan instalasi penyimpanan dingin. 5. Analisis finansial dengan butir 3 dan pengelola unit menggunakan pendinginan noturnal 6. Analisis finansial dengan butir 4 dan pengelola unit menggunakan pendinginan noturnal 7. Analisis finansial dengan butir 3 dan pendinginan pendahuluan sayur-sayuran. 8. Analisis finansial dilakukan dengan butir 4 dan pendinginan pendahuluan sayur-sayuran. 9. Analisis finansial berdasarkan pengelompokan sayur-sayuran berdasarkan tingkat keuntungan yang diberikan, seperti sayur-sayuran dengan keuntungan tinggi (di atas Rp 2000/kg), sedang (antara Rp 1000-Rp 2000/kg) dan rendah (di bawah Rp 1000/kg).
231 Analisis Sensitivitas Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat diketahui ada beberapa parameter finansial yang mempengaruhi ketidakpastian dalam berusaha. Parameterparameter yang dipilih dalam analisis sensitivitas adalah: 1. Jangka waktu kontrak kerjasama 2. Bunga pinjaman 3. Gaji staf 4. Penyewaan ruang instalasi penyimpanan dingin
Hasil dan Pembahasan
Analisis Finansial Di dalam Tabel 48 dicantumkan hasil perhitungan analisis finansial dengan berdasarkan pada skenario yang dibuat. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa kedelapan skenario memenuhi persyaratan kelayakan untuk dilaksanakan yaitu NPV bernilai positif, IRR dan ROI lebih besar daripada bunga pinjaman komersial (16%), BCR lebih besar daripada satu, dan PbP relatif singkat. Bila dibandingkan antara unit tidak menanggung biaya pemeliharaan (skenario #1) dengan unit diharuskan menanggung biaya pemeliharaan (skenario #2), maka akibat dari memasukkan pengeluaran untuk pemeliharaan adalah sebagai berikut: Net Present Value unit bernilai sepertiga NPV bila unit tidak menanggung biaya pemeliharaan. Juga IRR dan ROI menjadi setengah dari harga bila tidak menanggung biaya pemeliharaan. Demikian pula BCR hanya bernilai 0.95 dari nilai semula dan payback period naik menjadi hampir dua kali payback period bila unit tidak memasukkan biaya pemeliharaan di dalam aliran tunainya. Perbandingan antara skenario #3 (pengelola unit menggunakan instalasi penyimpanan dingin tapi biaya pemeliharaan ditanggung oleh perusahaan induk) dengan skenario #1 maka nilai NPV, IRR, ROI, BCR, dan PbP berturut-turut menjadi 1.25, 1.19, 1.18, 1.03, dan 0.85 kali nilai parameter-paremeter ini bila unit tidak menggunakan instalasi penyimpanan dingin (skenario #1). Hal ini disebab-
232 kan pendapatan unit meningkat karena kehilangan pascapanen dapat ditekan. Penurunan kehilangan pascapanen berarti unit membeli lebih sedikit sayur. Kelayakan finansial usaha unit semakin bertambah baik dengan memanfaatkan pendinginan nokturnal (skenario #5), dibandingkan dengan skenario #1. Dengan melaksanakan skenario #5 maka nilai NPV, IRR, ROI, BCR, dan PbP berturut-turut 1.31, 1.22, 1.22, 1.03, 0.82 kali nilai indikator finansial skenario #1. Begitu pula bila unit melakukan pendinginan pedahuluan selain menggunakan instalasi penyimpanan dingin, pendinginan nolturnal (skenario #7) maka nilai indikator finansial, NPV, IRR, ROI, BCR, dan PbP, usaha unit menjadi 1.34, 1.24, 1.24, 1.04, dan 0.81 kali indikator finansial skenario #1. Terlihat bahwa resiko yang harus dipikul unit dalam berusaha semakin kecil dengan memanfaatkan instalasi penyimpanan dingin, pendinginan nokturnal, dan pendinginan pendahuluan. Penggunaan instalasi penyimpanan dingin dalam menyimpan sayur-sayuran unit (skenario #4) juga mampu memperbaiki kelayakan unit, walaupun unit harus menanggung biaya pemeliharaan. Demikian pula bila pendinginan nokturnal (skenario #6) dan melakukan pendinginan pendahuluan (skenario #8) menyebabkan kelayakan usaha unit semakin bertambah baik meskipun nilai parameter-parameter ini lebih kecil daripada unit tidak diharuskan menanggung biaya pemeliharaan.
Tabel 48 Hasil analisis finansial berdasarkan pada beberapa skenario Skenario #1 #2 #3 #4 #5 #6 #7 #8
NPV(x107) 19.96 7.31 25.05 7.74 26.08 8.26 26.66 8.84
IRR 71.77 35.22 85.15 36.45 87.83 37.93 89.35 39.58
BCR 1.08 1.03 1.11 1.03 1.11 1.03 1.12 1.04
ROI 72.32 37.48 85.48 38.59 88.14 39.93 89.64 41.43
PbP 1.38 2.67 1.17 2.59 1.13 2.50 1.12 2.41
Keuntungan yang diberikan sayur-sayuran tidak sama untuk semua jenis sayur yang disetor kepada perusahaan rekanan. Sayur-sayuran dapat dikelompokkan berdasarkan pada keuntungan yang diberikan ke dalam kelompok sayur-sayuran yang memberikan keuntungan besar, sedang, dan kecil. Unit setiap hari
233 menyetor rata-rata 414 kg dari 58 jenis sayur-sayuran. Bila semua sayur memberikan keuntungan besar, atau semua sayur memberikan keuntungan sedang, atau keuntungan kecil, maka hasil analisis finansial terlihat di dalam Tabel 49. Bila unit hanya mampu menjual sayur-sayuran yang memberikan keuntungan kecil maka, walaupun unit tidak menanggung biaya pemeliharaan, usaha unit tetap tidak layak. Nilai NPV, IRR, BCR, ROI dan PbP masing-masing -Rp 45480000, -4.17%, 0.97, 8.93%, dan 11.20 tahun. Kelayakan usaha unit semakin buruk bila unit juga menanggung biaya pemeliharaan. Bila unit tidak menanggung biaya pemeliharaan tetapi hanya mampu menjual sayur-sayuran dengan keuntungan sedang, menyebabkan nilai parameterparameter kelayakan finansial, NPV, IRR, BCR, ROI dan PbP, menjadi Rp 211100000, 74.8%, 1.09, 75.29%, dan 1.33 tahun. Usaha unit masih layak walau harus menanggung biaya pemeliharaan. Bila unit mampu menjual 414 kg sayur dari kelompok sayur-sayuran dengan keuntungan besar maka kelayakan usaha unit semakin tinggi dan resiko berusaha semakin kecil. Tabel 49 Kontribusi sayur-sayuran terhadap penghasilan unit Indikator NPV(x107) IRR BCR ROI PbP
Tanpa pemeliharaan besar sedang kecil 116.7 21.11 -4.548 322.56 74.80 -4.17 1.29 1.09 0.97 322.57 75.29 8.93 0.31 1.33 11.20
Dengan pemeliharaan besar sedang kecil 115.6 19.96 -5.704 317.50 69.76 -16.04 1.29 1.09 0.97 317.47 70.19 3.83 0.31 1.42 26.13
Analisis Sensitivitas Unit sementara ini sudah memiliki perusahaan rekanan yang menerima sayur yang dijualnya. Dengan adanya kewajiban unit untuk mengelola utang membuat usaha unit dalam ketidakpastian. Untuk memperoleh kepastian berusaha, unit semestinya sudah menetapkan jangka waktu kerjasama yang akan dijalin. Jangka waktu kerjasama menjadi faktor ketidakpastian usaha unit seperti
234 ditampilkan dalam Tabel 50. Penyebab usaha unit dalam keadaan beresiko adalah ketidakpastian unit dalam mengembalikan pinjaman. Bila unit tidak memasukkan biaya pemeliharaan dalam aliran tunainya, maka usaha unit layak mulai dari pemberlakuan kerjasama selama 3 tahun. Tetapi bila unit harus menanggung biaya pemeliharaan maka kerjasama selama 3 tahun menyebabkan usaha unit tidak layak dan unit dalam resiko tidak mampu mengembalikan pinjaman dengan payback period 4.15 tahun. Faktor penyebab ketidakpastian berusaha adalah bunga pinjaman komersial. Pada skenario ini ditetapkan bunga uang komersial sebesar 16% per tahun. Bila unit tidak menanggung biaya pemeliharaan, maka sampai bunga pinjaman mencapai 20%, usaha unit masih layak (Tabel 51). Tetapi pada tingkat bunga yang sama, usaha unit tidak layak bila unit menanggung biaya pemeliharaan. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai NPV negatif, IRR lebih kecil daripada bunga pinjaman komersial, dan BCR lebih kecil dari satu. Tabel 50 Pengaruh jangka waktu kontrak kerjasama unit dengan perusahaan rekanan tanpa mengoperasikan instalasi penyimpanan dingin terhadap indikator kelayakan usaha unit Indikator NPV (x108) IRR BCR ROI PbP
Tanpa pemeliharaan 3 thn 6 thn 9 thn 12 thn 1.332 1.865 2.207 2.426 66.71 71.35 72.14 72.29 1.07 1.08 1.09 1.09 72.32 72.32 72.32 72.32 1.38 1.38 1.38 1.38
Dengan pemeliharaan 3 thn 6 thn 9 thn 12 thn -0.081 0.099 0.286 0.362 6.92 17.78 23.01 24.29 1.00 1.00 1.01 1.01 24.12 24.12 24.12 24.12 4.15 4.15 4.15 4.15
Bahkan pada tingkat bunga yang lebih rendah (15%) usaha unit sudah tidak layak bila unit memperhitungkan biaya pemeliharaan. Pada tingkat bunga ini nilai NPV negatif, IRR lebih kecil daripada bunga pinjaman dan BCR bernilai 1, meskipun ROI bernilai lebih besar daripada bunga pinjaman komersial. Gaji juga menciptakan ketidakpastian usaha bila unit juga menanggung biaya pemeliharaan. Usaha unit menjadi tidak layak bila kondisi ini harus dilakukan oleh unit dan ketidaklayakan terjadi bila gaji staf ditingkatkan 20% dari gaji semula. Bahkan peningkatan gaji dengan tingkat yang lebih kecil (15%) sudah membuat usaha unit tidak layak dilaksanakan. Bila biaya pemeliharaan
235 tidak dimasukkan oleh unit maka dengan meningkatkan gaji staf sampai 20% tidak mempengaruhi usaha unit. Kondisi ini terangkum dalam Tabel 52. Tabel 51 Pengaruh tingkat bunga pinjaman komersial terhadap indikator kelayakan usaha unit Indikator NPV (x108) IRR BCR ROI PbP
Tanpa pemeliharaan 5% 10% 15% 20% 3.05 2.144 1.492 1.009 77.88 72.79 67.67 62.52 1.10 1.09 1.07 1.06 78.32 73.32 68.32 63.32 1.28 1.36 1.46 1.58
Dengan pemeliharaan 5% 10% 15% 20% 0.816 0.297 -0.066 -0.327 26.78 20.72 14.25 7.11 1.03 1.01 1.00 0.98 30.12 25.12 20.12 15.12 3.32 3.98 4.97 6.61
Tabel 52 Pengaruh peningkatan gaji staf terhadap indikator kelayakan usaha unit Indikator NPV (x108) IRR BCR ROI PbP
Tanpa pemeliharaan 5% 10% 15% 20% 1.959 1.921 1.883 1.846 70.77 69.77 68.77 67.77 1.08 1.08 1.08 1.08 71.35 70.37 69.40 68.42 1.40 1.42 1.44 1.46
Dengan pemeliharaan 5% 10% 15% 20% 0.177 0.139 0.101 0.063 18.22 16.96 15.68 14.38 1.01 1.01 1.00 1.00 23.14 22.17 21.19 20.22 4.32 4.51 4.72 4.95
Hal positif lainnya yang diperoleh unit bila memanfaatkan fasilitas instalasi penyimpanan dingin, yaitu ruang instalasi yang tidak digunakan dapat disewakan kepada petani atau pengusaha sayur-sayuran setempat. Sekarang dengan berat sayur yang dijual mencapai 414 kg per hari, yang berarti baru 8% dari volume ruang instalasi penyimpanan dingin yang dimanfaatkan dan 92% ruang masih bisa disewakan. Bila unit mampu menyewakan 40% ruang instalasinya maka nilai NPV, IRR, BCR, ROI dan PbP berturut-turut 2.02, 1.82, 1.09, 1.80, dan 0.56 kali nilai parameter penyewaan pada tingkat 10%. Bila kemampuan pendinginan mesin pendingin kompresi uap terlampaui maka unit harus melakukan investasi berupa memasang satu unit mesin pendingin kompresi uap dengan kemampuan pendinginan sama dengan unit mesin pendingin kompresi uap yang sudah dipasang. Konsekuensi finansial yang juga harus dipikul unit bila melakukan re-investasi satu unit mesin pendingin kompresi uap adalah
236 unit harus meningkatkan daya listrik untuk memberi daya kepada mesin pendingin yang baru dipasang. Untuk penyimpanan dingin sayur-sayuran sebanyak 414 kg, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh pengelola unit, maka biaya penyimpanan dalam sehari adalah Rp 442.71/kg. Tabel 53 memperlihatkan bahwa penyewaan ruang instalasi penyimpanan dingin meningkatkan kelayakan usaha unit. Dengan menyewakan ruang instalasi yang tidak digunakan, biaya penyimpanan per kg sayur berkurang dengan semakin besarnya persentase ruang instalasi yang disewakan. Dalam Tabel 54 terlihat bahwa terjadi peningkatan harga sewa atau biaya penyimpanan pada tingkat penyewaan 20%. Hal ini terjadi karena unit harus melakukan investasi satu unit mesin pendingin kompresi uap. Selanjutnya pada level penyewaan yang lebih tinggi harga sewa atau biaya penyimpanan per kg sayur menurun. Bila unit mampu menyewakan ruang instalasi pada tingkat 30% dari kapasitas ruang maka biaya penyimpanan dingin turun sebesar 26.14% bila dibandingkan dengan biaya penyimpanan pada tingkat penyewaan 20%. Penurunan mencapai 41.45% bila unit mampu menyewakan ruang instalasi sebesar 40%. Tabel 53 Pengaruh penyewaan ruang instalasi penyimpanan dingin terhadap indikator kelayakan usaha unit Indikator NPV (x108) IRR BCR ROI PbP
10% 2.496 82.93 1.10 83.14 1.20
Dengan pemeliharaan 20% 30% 4.349 4.703 131.08 140.27 1.17 1.19 131.05 140.22 0.76 0.71
40% 5.058 149.45 1.20 149.39 0.67
Tabel 54 Biaya penyimpanan dan harga sewa ruang instalasi penyimpanan dingin (Rp/kg) Biaya Penyimpanan Penyewaan
Volume yang disewakan 10% 20% 30% 40% 198.86 243.69 180 142.67 230 270 210 170
237 Kesimpulan
1. Analisis finansial terhadap kedelapan skenario yang dibuat menghasilkan NPV positif, IRR lebih besar dari bunga pinjaman komersial (16%), BCR lebih besar dari satu, ROI lebih besar dari bunga pinjaman komersial dan PbP relatif singkat. Dengan kondisi seperti ini, usaha yang dijalankan unit tergolong masih layak. 2. Bila unit tidak menanggung biaya pemeliharaan maka usaha yang dijalankan unit tergolong layak dengan nilai NPV Rp 199600000, IRR 71.77%, ROI 72.32%, BCR 1.08, dan PbP 1.38 tahun. 3. Bila unit harus menanggung biaya pemelihaan maka nilai NPV, IRR, ROI, BCR, dan PbP berturut-turut menjadi 0.36, 0.5, 0.5, 0.95, dan 2 kali nilai parameter tersebut bila unit tidak menanggung biaya pemeliharaan. 4. Penggunaan instalasi penyimpanan dingin menyebabkan kelayakan usaha unit bertambah baik. Nilai NPV, IRR, ROI, BCR, dan PbP berturut-turut 1.25, 1.19, 1.18, 1.03, dan 0.85 kali nilai parameter-paremeter ini bila unit tidak menggunakan instalasi penyimpanan dingin. 5. Pemanfaatan pendinginan nokturnal mengakibatkan kelayakan usaha unit semakin baik dengan nilai NPV, IRR, ROI, BCR, dan PbP berturut-turut 1.31, 1.22, 1.22, 1.03, 0.82 kali nilai parameter finansial bila unit tidak menggunakan instalasi. 6. Dengan melakukan pendinginan pendahuluan disamping pendinginan nokturnal dan penyimpanan dingin, maka kelayakan usaha unit semakin baik dengan nilai NPV, IRR, ROI, BCR, dan PbP, usaha unit menjadi 1.34, 1.24, 1.24, 1.04, dan 0.81 kali nilai parameter finansial bila unit tidak menggunakan instalasi penyimpanan dingin. 7. Bila unit hanya mampu menjual sayur-sayuran dengan keuntungan kecil maka walaupun unit tidak menanggung biaya pemeliharaan, usaha unit tetap tidak layak. Nilai NPV, IRR, BCR, ROI dan PbP masing-masing -Rp 45480000, 4.17%, 0.97, 8.93%, dan 11.20 tahun. Kelayakan usaha unit semakin buruk bila unit juga menanggung biaya pemeliharaan.
238 8. Bila unit mampu menjual sayur-sayuran dengan keuntungan sedang maka usaha unit tergolong layak dengan atau tanpa keharusan membiayai pemeliharaan. Kelayakan usaha unit semakin besar dengan resiko semakin kecil bila unit mampu memasarkan sayur-sayuran yang memberikan keuntungan besar. 9. Berdasarkan pada hasil analisis sensitivitas, usaha unit tergolong layak untuk jangka waktu kerjasama selama 3 tahun bila unit tidak menanggung biaya pemeliharaan. Tetapi bila unit harus menanggung biaya pemeliharaan maka kerjasama selama 3 tahun menyebabkan usaha unit tidak layak dan unit dalam resiko tidak mampu mengembalikan pinjaman dengan payback period 4.15 tahun. Kerjasama dengan jangka waktu di atas 3 tahun menyebabkan usaha unit menjadi layak. 10. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa usaha unit tidak layak dengan nilai NPV –Rp 657500000, IRR 14.25%, BCR 1.0, ROI 20.12, dan PbP 4.97 tahun untuk bunga pinjaman komersial 15% per tahun dan unit menanggung biaya pemeliharaan. 11. Dengan menanggung biaya pemeliharaan, usaha unit tidak layak bila gaji staf dinaikkan sebesar 15% karena NPV bernilai negatif, yakni –Rp 1011000000. Bila unit tidak memasukkan biaya pemeliharaan maka peningkatan gaji staf sampai 20% tidak mempengaruhi kelayakan usaha unit. 12. Penyewaan ruang instalasi menyebabkan kelayakan usaha unit semakin baik. Nilai NPV, IRR, BCR, ROI dan PbP pada tingkat penyewaan 40% dari ruang instalasi masing-masing 2.02, 1.82, 1.09, 1.80, dan 0.56 kali nilai parameter penyewaan pada tingkat 10%. 13. Biaya penyimpanan untuk sayur-sayuran sebanyak 414 kg per hari adalah Rp 442.71/kg. 14. Bila unit mampu menyewakan ruang instalasi pada tingkat 30% dari kapasitas ruang maka biaya penyimpanan dingin turun sebesar 26.14% bila dibandingkan dengan biaya penyimpanan pada tingkat penyewaan 20%. Penurunan mencapai 41.45% bila unit mampu menyewakan ruang instalasi sebesar 40%.
239
8 PEMBAHASAN UMUM Potensi Pendinginan Nokturnal Untuk dapat menghitung dengan tepat potensi pendinginan nokturnal di Candikuning, contoh lokasi dataran tinggi, dan di Denpasar, sebagai contoh lokasi dataran rendah, maka perlu ditetapkan komponen-komponen penting penyusun persamaan atur yang berupa kesetimbangan panas air di dalam kolam atap. Bila dilihat dari persamaan atur di bawah ini, sebagaimana ditulis di dalam Lampiran 2 persamaan L14: dTw A Tw4 Ts4 hA(Ta Tw ) h D A( H i H a ) h fg (382) dt maka terlihat perubahan panas total air di dalam kolam atap ditentukan oleh panas m w c pw
radiasi netto, panas konveksi dan panas evaporasi atau kondensasi. Berdasarkan pada hasil penelitian diketahui bahwa kemampuan pendinginan nokturnal dipengaruhi oleh pindah panas, khususnya pindah panas radiasi dan konveksi. Penelitian yang ada menunjukkan bahwa untuk menduga secara tepat kemampuan pendinginan ini, dari sisi pindah panas radiasi membutuhkan pendugaan suhu langit, sedangkan untuk pindah panas konveksi diperlukan nilai koefisien pindah panas konveksi yang akurat. Koefisien pindah panas konveksi bersifat empiris sehingga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Persamaan empiris dan analitis rata-rata sebagai persamaan penduga koefisien pindah panas konveksi yang berhasil dibuat dari penelitian yang dilakukan adalah h = 5.513V1/2 dan h = 5.277V1/2. Disamping ditentukan oleh nilai koefisien pindah panas konveksi, ketepatan dalam menghitung panas radiasi netto ditentukan oleh ketepatan dalam menentukan suhu langit. Demikian pula ketepatan dalam menentukan panas konveksi ditentukan oleh koefisien pindah panas konveksi. Dengan demikian kedua parameter ini ditentukan dalam penelitian ini. Dengan terlebih dahulu dilakukan pendugaan emisivitas efektif langit malam, dengan menggunakan model-model empiris dan analitis, maka suhu langit dapat diduga. Dari 14 buah model empiris dan analisis penduga emisivitas efektif langit yang hampir semuanya dapat digunakan
240 sebagai penduga setelah dikoreksi dengan memasukkan pengaruh awan dalam bentuk regresi non-linier dan linier. Performansi pendugaan dari model-model ini sangat tinggi dengan nilai rata-rata MBE, RMSE, dan % kesalahan pendugaan masing-masing 0, 0.02, dan -0.003 dengan perkecualian model empiris Niemelä yang lebih besar dari nilai-nilai tersebut untuk dataran tinggi. Sedangkan untuk pendugaan emisivitas efektif langit di dataran rendah diperoleh nilai rata-rata MBE, RMSE, dan % kesalahan berturut-turut 0, 0.02 dan 0.02 dengan perkecualian model Prata (1996). Berdasarkan pada hasil pendugaan emisivitas efektif langit maka suhu langit dapat diduga. Semua model penduga memiliki performansi pendugaan suhu langit yang baik dengan nilai rata-rata MBE, RMSE dan % kesalahan 0, 1.72 dan -0.25 untuk dataran tinggi dan 0, 1.92 dan -0.15 untuk dataran rendah. Dengan demikian suhu langit dapat diduga dengan kesalahan 0.25% dari nilai hasil penetapan. Model empiris sebagai penduga koefisien pindah panas konveksi sudah banyak diajukan. Tetapi dengan menggunakan model-model penduga ini maka kisaran nilai h rata-rata dan nilai RMSE adalah 9.22-17.51 W/m2oC dan 3.6712.52 W/m2oC. Hasil pendugaan nilai h dengan menggunakan pendekatan analitis dan empiris yang dilakukan dalam penelitian ini untuk nilai h rata-rata adalah 7.17 dan 7.27 W/m2oC, dan untuk RMSE masing-masing 0.75 W/m2oC. Dari hasil perbandingan antara model-model yang diuji diketahui bahwa model penduga yang diajukan Duffie dan Beckman (1980) yang paling mendekati nilai ini. Potensi pendinginan nokturnal diperlihatkan oleh kemampuan pendinginan radiasi dalam menurunkan panas radiasi netto dan suhu air. Panas radiasi netto menyatakan kemampuan pendinginan dari pendinginan nokturnal. Jika langit dianggap sebagai pembenam panas (heat sink) maka beban panas yang bersumber dari panas konveksi dan panas evaporasi atau kondensasi akan terakumulasi pada panas radiasi netto. Sumbangan rata-rata dari ketiga mode pindah panas ini untuk kedua lokasi percobaan ditampilkan dalam Gambar 57 di bawah. Di dataran tinggi perubahan panas total air di dalam kolam atap didominasi oleh panas radiasi netto dan sebanyak 95% dari perubahan panas total air ditentukan oleh panas radiasi netto. Sumbangan panas konveksi dan panas evaporasi atau kondensasi sangat kecil dan tidak melebihi nilai 5%. Di dataran rendah
241 sumbangan panas konveksi dan panas evaporasi atau kondensasi lebih besar yaitu sebesar 25% dari perubahan panas total air. Sebanyak 75% dari perubahan panas total air ditentukan oleh panas radiasi. Dengan kondisi seperti ini maka suhu air di dalam kolam atap di dataran tinggi (Candikuning) dapat mencapai 7 oC di bawah suhu lingkungan. Sementara itu, suhu air kolam dangkal di dataran rendah (Denpasar) hanya mampu diturunkan 1 oC di bawah suhu lingkungan. Hasil seperti ini kemungkinan berkaitan kemampuan pendinginan dari pendinginan nokturnal yang lebih kecil di dataran rendah daripada kemampuan pendinginan dari pendinginan nokturnal di dataran tinggi. Dugaan ini berkaitan dengan hasil penetapan suhu langit yang dilakukan berdasarkan pada persamaan (382) bahwa suhu langit di dataran rendah bernilai lebih tinggi daripada suhu langit di dataran tinggi. Suhu langit rata-rata di dataran tinggi mencapai 7.7 oC, sedangkan di dataran rendah rata-rata 16.8 oC. Jadi suhu langit rata-rata di dataran tinggi bernilai 0.46 kali suhu langit rata-rata di dataran rendah. Sejalan dengan suhu langit, radiasi langit rata-rata di dataran tinggi dan di dataran rendah bernilai 353.95 dan 394.06 W/m2. Jadi radiasi langit rata-rata di dataran tinggi 10% lebih rendah daripada radiasi langit di dataran rendah. Gambar 58 memuat nilai suhu langit di dataran tinggi dan di dataran rendah.
3% 2%
14% 11%
Rad Conv Cond
75%
95%
(a)
(b)
Gambar 57 Sumbangan rata-rata panas radiasi, panas konveksi dan panas evaporasi atau kondensasi terhadap panas total air rata-rata di dalam kolam atap di dataran tinggi (a) dan di dataran rendah (b).
242
30
o
Suhu langit ( C).
25 20 15 10 Ck
5
Dps
0 -5 -10 280
285
290
295
300
Suhu lingkungan (K)
Gambar 58 Suhu langit malam hari di dataran tinggi dan di dataran rendah. Disamping itu, di dataran tinggi terjadi pendinginan konveksi dan sebaliknya di dataran rendah terjadi pemanasan secara konveksi. Berdasarkan pada potensi pendinginan nokturnal yang tercermin dalam bentuk kemampuan pendinginan dan potensi lainnya seperti terjadi pendinginan secara konveksi maka daerah dataran tinggi, dalam hal ini Desa Candikuning, sesuai digunakan sebagai lokasi penerapan penyimpanan dingin dengan sistem pendinginan nokturnal hibrida. Dengan demikian, pendinginan nokturnal akan memberikan sumbangan positif pada sistem penyimpanan yang dikembangkan.
Performansi Penyimpanan Dingin dengan Pendinginan Nokturnal Hibrida Instalasi penyimpanan dingin di Desa Candikuning dilengkapi dengan saluran udara untuk mendukung penerapan sistem pendinginan nokturnal hibrida. Pendinginan nokturnal di Desa Candikuning sebagai salah satu komponen utama dari
243 sistem pendinginan memperlihatkan performansi yang menjanjikan dan secara nyata memberikan sumbangan pada sistem pendinginan secara keseluruhan. Bangunan instalasi dan sistem pendinginan nokturnal dapat bekerja dengan baik dengan sebaran suhu dan kelembaban relatif udara di dalam ruang penyimpanan dingin merata di setiap lokasi pengukuran. Kecepatan angin pada saat ruang instalasi tidak dibebani rata-rata 0.27 m/s dengan simpangan baku rata-rata 0.07 m/s. Pada saat ruang instalasi dibebani dengan sayur-sayuran maka suhu udara ruangan rata-rata ruangan adalah 11.1 oC dengan simpangan baku 2.5 oC dan kelembaban relatif udara ruangan mencapai 85.9% dengan simpangan baku 1.17%. Suhu udara di dalam ruang penyimpanan berkecenderungan lebih besar di sekitar sayur-sayuran. Hal ini berkaitan dengan pernapasan sayur-sayuran yang menghasilkan panas pernapasan. Kelembaban realatif udara juga memiliki kecenderunan yang sama, yaitu bernilai lebih besar di sekitar sayur-sayuran. Hasil pengukuran RH yang berbeda disebabkan sayur mengandung 90% air yang sebagian besar mudah sekali diuapkan. Udara di sekitar sayur menjadi lebih lembab karena air bahan menguap dan tertampung di udara. Model matematika untuk sistem pendinginan nokturnal hibrida semula memiliki kinerja berupa kesalahan pendugaan cukup besar dengan nilai 25.4%. Performansi sistem dapat diperbaiki dengan dengan memasukkan beban panas surya dan hasil validasi menunjukkan bahwa nilai rata-rata MBE, RMSE, dan kesalahan pendugaan model menjadi 2.1oC, 2.3 oC, dan 20.03% dengan koefisien determinasi 0.95. Gambar 59 menyajikan hasil pendugaan suhu ruang selama percobaan. Dalam gambar dengan jelas terlihat bahwa penyimpangan hasil pendugaan secara umum terjadi pada siang hari. Hasil pendugaan suhu ruang instalasi lebih besar daripada nilai pengukuran sebagai akibat dari penggunaan model penduga radiasi surya untuk langit cerah. Pendugaan radiasi surya yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendugaan radiasi surya pada kondisi langit cerah. Model radiasi surya untuk langit cerah yang sesuai untuk kondisi di Candikuning adalah model penduga yang diajukan Lunde (1980). Penggunaan alat pelembab udara dingin mampu meningkatkan kelembaban relatif udara dingin Alat pelembab udara dingin mampu meningkatkan kelembab-
244 an relatif udara dingin dengan nilai rata-rata 82.6% dengan simpangan baku 4.3%. Walaupun mampu meningkatkan kelembaban relattif udara dingin tetapi efisiensi alat baru mencapai 18.9%.
18
14
o
Suhu ruang ( C).
16
Tr
12
Tr-e
10 8 6 4 0
20
40
60
80
100
120
140
160
Waktu pengamatan (jam)
Gambar 59 Hasil pendugaan dan hubungannya dengan siang hari selama penyimpanan sayur-sayuran di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin. Untuk mengurangi beban pendinginan yang bersumber dari beban panas surya, bangunan instalasi diberikan selasar dengan lebar 0.5 m di sisi kanan, kiri dan belakang bangunan dan 1 m pada bagian depan bangunan. Dengan kebar selasar seperti ini mampu mengurangi beban panas surya sebanyak 30% dari beban maksimum.
Keuntungan Ekonomi Meningkatkan Kelayakan Usaha Unit Dengan menggunakan sistem pendinginan nokturnal hibrida maka usaha yang dijalankan unit semakin layak. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa dengan memanfaatkan instalasi penyimpanan dingin nilai NPV, IRR, ROI, BCR, dan PbP pada kondisi sekarang (tanpa menanggung biaya pemeliharaan dan tanpa
245 mengoperasikan instalasi penyimpanan) berturut-turut bernilai Rp 199600000, 71.77%, 72.32%, 1.08 dan 1.38 tahun menjadi Rp 266600000, 89.35%, 69.64%, 1.12, dan 1.12 yahun. Penurunan Payback Period dari 1.38 tahun menjadi 1.12 tahun berarti mengurangi resiko ketidakpastian berusaha. Demikian pula peningkatan nilai NPV dan BCR mengindikasikan bahwa usaha penjualan sayur-sayuran yang dilakukan unit akan semakin menambah keuntungan dan usaha unit semakin layak untuk dilaksanakan. Mengurangi Biaya Total Sistem Pendinginan Nokturnal Hibrida Penyempurnaan rancang-bangun penyimpanan dingin di instalasi penyimpanan dingin di Candikuning Bali dengan menggunakan sistem pendinginan nokturnal hibrida, memberikan beberapa keuntungan ekonomi diantaranya berupa penurunan biaya yang dibutuhkan untuk investasi komponen sistem dan biaya total sistem. Penambahan luas permukaan bidang pindah panas air sebesar 100% dapat dilakukan dengan menggunakan semprotan nozel dan performansi penggunaan alat ini untuk meningkatkan kemampuan pendingian nokturnal sudah diteliti oleh Marpaung (2002). Nilai investasi untuk di luar biaya pengadaan komponen sistem mencapai Rp 55000000. Rincian biaya investasi di luar pengadaan komponen sistem adalah sebagai berikut: bangunan instalasi Rp 30000000, biaya saluran udara Rp 5000000, biaya isolator dinding bangunan dan saluran udara Rp 3000000, biaya mesin pendingin kompresi uap Rp 15000000 per satuan dan biaya pengadaan nozel, pompa air dan saluran air untuk semprotan air Rp 2000000. Biaya komponen sistem merupakan hasil dari optimisasi biaya invesatasi awal instalasi. Optimisasi biaya investasi dilakukan untuk beban pendinginan 2000, 3000, 4000, dan 5000 kg dan dengan suhu penyimpanan 5 dan 10oC Biaya total investasi sistem pendinginan nokturnal hibrida dapat diperkirakan sebagaimana dirangkum dalam tabel berikut. Di dalam Tabel 55 terlihat bahwa biaya untuk pengadaan komponen sistem menentukan biaya investasi total untuk penyimpanan dingin dengan sistem nokturnal hibrida. Suhu penyimpanan yang lebih tinggi membutuhkan biaya investasi
246 yang lebih rendah karena biaya pengadaan untuk komponen sistem, terutama alat penukar panas dan mesin pendingin kompresi uap, lebih rendah dan untuk beban penyimpanan 2000, 3000, 4000, dan 5000 kg pada suhu penyimpanan 10oC masing-masing membutuhkan investasi sebesar 99.8, 78.0, 70.4, dan 39.3% dari biaya total investasi untuk penyimpanan pada suhu 5oC. Tabel 55 Biaya total investasi sistem pendinginan nokturnal untuk penyimpanan dingin sayur-sayuran Suhu ruang (oC) 5 5 5 5 10 10 10 10
Beban (kg) 2000 3000 4000 5000 2000 3000 4000 5000
Biaya komponen sistem (juta Rp) 2.855 19.276 27.543 94.121 2.764 2.951 3.113 3.582
Biaya total (juta Rp) 57.855 74.276 82.543 149.121 57.764 57.951 58.113 58.582
Mengurangi Daya Listrik untuk Pendinginan Ruang Pemanfaatan air dingin hasil pendinginan nokturnal untuk menurunkan suhu udara pendingin ruang instalasi penyimpanan dingin dapat mengurangi kebutuhan daya listrik. Tabel 56 menyajikan sumbangan pendinginan nokturnal dalam mengurangi kebutuhan daya listrik pada beberapa suhu air dingin (Twp) yang diperoleh dari pendinginan nokturnal untuk mencapai suhu penyimpanan 10oC. Bila pendinginan nokturnal mampu menghasilkan air dingin dengan suhu 10, 11, 12, 13, dan 14oC maka sumbangan pendinginan nokturnal dalam mengurangi biaya listrik untuk penyimpanan dingin sayur-sayuran berturut-turut 2.2, 2.0, 1.8, 1.6, dan 1.4% dari total biaya listrik sebesar Rp 57.71/kg. Sumbangan pendinginan nokturnal semakin kecil bila dalam perhitungan biaya penyimpanan dimasukkan ongkos tenaga kerja yang dipekerjakan di instalasi penyimpanan dingin. Bila setiap pekerja diberi upah Rp 20000/hari maka biaya total penyimpanan keseluruhan yang mencakup biaya penyusutan dan biaya variabel adalah sebesar Rp 442.71/kg untuk penyimpanan 414 kg sayur-sayuran per hari. Untuk suhu air
247 dingin 10, 11, 12, 13, dan 14oC maka sumbangan nokturnal terhadap biaya total penyimpanan adalah 0.81, 0.75, 0.68, 0.61, dan 0.54% dari Rp 442.71/kg. Tabel 56 Sumbangan pendinginan nokturnal dalam mengurangi daya listrik untuk mencapai suhu penyimpanan 10oC Suhu Air (Twp, oC) 10 11 12 13 14
Tanpa nokturnal Dengan nokturnal Beda (kW) (kW) (kW) 3.902 3.213 0.69 3.902 3.265 0.64 3.902 3.32 0.58 3.902 3.38 0.52 3.902 3.445 0.46
% Sumbangan nokturnal 17.7 16.3 14.9 13.4 11.7
Mengurangi Biaya untuk Pendinginan Pendahuluan Air dingin dengan suhu 10 oC sebanyak 0.45 m3 yang diperoleh dari pendinginan nokturnal dapat dimanfaatkan untuk menyiapkan air dingin yang akan digunakan untuk pendinginan pendahuluan (precooling) sayur-sayuran. Bila harga air PDAM Rp 420/m3, es balok Rp 500/kg dan untuk 414 kg sayur-sayuran yang akan didinginkan membutuhkan 0.45 m3 maka biaya precooling ditampilkan dalam tabel berikut ini. Dengan menggunakan air dingin hasil pendinginan nokturnal maka biaya pembuatan air dingin untuk pendinginan pendahuluan sayur-sayuran dapat dikurangi dengan persentase yang sangat signifikan. Untuk menyiapkan air dingin bersuhu 10 oC dan dengan menggunakan air dingin hasil pendinginan nokturnal maka biaya penyiapan air dingin untuk pendinginan pendahuluan dapat ditekan sampai mencapai hampir 100%. Persentase sumbangan pendinginan noktunal menjadi 43.6% bila volume air dingin yang dibutuhkan meningkat menjadi 1 m3 dan hanya 27.2% untuk suhu air dingin untuk pendinginan pendahuluan sebesar 5oC. Air dingin dengan suhu 10oC sangat mungkin dapat dihasilkan dari pendinginan nokturnal di Candikuning. Hasil pengukuran suhu air dingin hasil pendinginan nokturnal menunjukkan bahwa suhu air rata-rata mencapai 9.8oC dengan nilai minimum 7.4oC dan maksimum 11.2 oC, pada pengamatan tanggal 11 sampai dengan tanggal 17 Juli 2007.
248 Tabel 57 Biaya precooling dengan dan tanpa air dingin yang diperoleh dari pendinginan nokturnal No Cara membuat air Volume Suhu dingin (m3) air (oC) 1 Air dan es tanpa air 0.45 10 dingin pendinginan 1 10 nokturnal 1 5 2 Air dan es dengan air 0.45 10 dingin pendinginan 1 10 nokturnal 1 5
Biaya (Rp) 17170 38130 67270 484 21494 48964
Biaya per % Sumbangan kg (Rp/kg) nokturnal 41.47 0 46.05 0 81.24 0 1.17 97.18 25.96 43.62 59.14 27.20
Keuntungan Teknis
Sistem Sederhana Penyimpanan dingin dengan sistem pendinginan nokturnal hibrida yang dikembangkan di Candikuning Bali sangat sederhana. Semua komponen sistem dapat dibuat dan diperbaiki bila rusak di bengkel-bengkel lokal. Demikian pula dengan mesin pendingin kompresi uap dapat dibeli di pasar lokal dan dapat dipasang dan diperbaiki oleh bengkel-bengkel lokal. Mengurangi Pengaruh Lingkungan Beban panas surya sepanjang siang hari merupakan beban pendinginan yang penting yang harus diatasi. Beban panas surya tahunan terlihat di dalam Gambar 60. Dengan beban panas seperti itu bila suhu di dalam ruang penyimpanan ratarata 11oC maka suhu ruang rata-rata akan meningkat sebesar 3oC. Beban panas surya terbesar terjadi pada atap dengan nilai rata-rata tiga kali lipat nilai radiasi pada bagian lain instalasi. Oleh karena itu untuk mengurangi beban panas dari arah atap maka dapat dilakukan dengan menutup kolam atap. Penutupan kolam dapat dilakukan dengan mengunakan lembaran yang tidak tembus sinar surya seperti tikar anyaman bambu atau kain terpal yang tidak dipasang secara permanen.
249
6 10
500
Waktu 14 (jam)
18 M J P
6 10
Waktu 14 (jam) 18
0 ON A S J J AM
4000 3000 2000 1000 0
D
Bulan
M J P
N ASO J J AM
D
Bulan
(a)
6000
4000
5000
2000
Waktu 14 (jam)
1000
Radiasi (W)
5000
3000 6 10
18
M MA J P
J J
4000
D
3000 2000 1000 0
6 10
Waktu 14 (jam) 18
0 ON AS
(b)
Bulan
M MA J P
(c)
A SO J J
Radiasi (W)
1000
Radiasi (W)
1500
5000
Radiasi (W)
6000
2000
ND
Bulan
(d)
15000 10000 6 10 Waktu 14
(jam)
5000
Radiasi (W)
20000
0 18 M J P
AS J J AM
ON
D
Bulan
(e)
Gambar 60 Besar radiasi surya yang mengenai permukaan dinding tembok dan atap instalasi dalam satu tahun. Dinding Selatan (a), Timur (b), Utara (c), Barat (d), dan atap (e).
Pada senja hari penutup ini dipindahkan dari kolam atap dan kolam atap difungsikan sebagai kolam air dangkal. Untuk mengurangi radiasi surya yang mengenai dinding dapat digunakan awning yang dipasang permanen atau krei
250 yang digantungkan pada pinggir kolam atap. Dengan cara sederhana ini, beban panas surya dapat dikurangi dan hal ini adalah salah satu keunggulan teknis dari bangunan instalasi. Mengurangi Kehilangan Berat Sayur-sayuran yang Disimpan Dari hasil penelitian penyimpanan sayur-sayuran (Bab 5) diketahui bahwa kehilangan berat sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin cukup tinggi, walaupun lebih rendah daripada kehilangan berat sayur-sayuran yang disimpan di dalam gudang. Sebagai wadah sayur-sayuran yang akan disimpan dingin, ada dua pilihan wadah yang biasa digunakan yaitu keranjang sayur dan tong penyimpanan sayur (Gambar 61). Penggunaan tong penyimpanan sayur tidak baik untuk penyimpanan sayursayuran karena dua hal. Pertama, pindah panas yang terjadi pada sayur yang disimpan di dalam tong sayur didominasi perpindahan panas secara konduksi.
Gambar 61 Sayur-sayuran disimpan di dalam tong-tong sayur yang ditumpuk di dalam instalasi penyimpanan dingin. Tong penyimpanan sayur terbuat dari bahan fiberglass dengan nilai koefisien pindah panas konduksi rendah yaitu 0.036 W/moC (Lunde 1980) sehingga
251 pendinginan sayur berjalan lambat. Kedua, pengembunan air yang terjadi pada permukaan tutup bagian dalam tong akan menetes dan mengenai sayur-sayuran yang disimpan yang menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme pembusuk bertambah cepat. Untuk mengurangi kehilangan berat sayur-sayuran yang disimpan dapat dilakukan dengan menutup tumpukan keranjang sayur paling atas dengan plastik. Dengan cara seperti ini permukaan sayur dalam keranjang paling atas tidak terkena langsung udara dingin. Tindakan selanjutnya adalah udara dingin dilembabkan dengan menggunakan alat pelembab udara.
Otomatisasi proses Keunggulan teknis lainnya dari sistem yang dikembangkan adalah dapat dilakukan otomatisasi proses untuk memberikan kenyamanan operator dan ketepatan pengaturan suhu di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin. Logika fuzzy memiliki kelebihan dalam mengontrol proses dan metode ini sudah banyak diterapkan untuk kontrol proses. Logika fuzzy sudah banyak dimanfaatkan sebagai alat untuk melakukan pendugaan, pemutuan, kontrol proses (Suhardiyanto et al. 2001; Setiawan 2001; Setiawan et al. 2001; Bambang, Mahbub dan Abas 2001; Bambang, Fatih dan Abas 2001), dan kontrol otomatis (Zhang dan Reid 2001). Bila sayur-sayuran dengan berat 414 kg disimpan di dalam ruang instalasi bersuhu rata-rata 10oC, tanpa dilakukan pengaturan suhu, seperti hasil penelitian yang dilakukan, maka panas pernapasan dan panas sensibel yang harus dihilangkan oleh sistem pendinginan nokturnal hibrida masing-masing sebesar 18.14 kW dan 21.14 kW untuk penyimpanan selama 144 jam (Gambar 62). Panas pernapasan dan panas sensibel yang dihilangkan dalam 12 jam penyimpanan rata-rata 1.51 kW dan 1.76 kW. Bila suhu penyimpanan dikendalikan dengan menggunakan logika fuzzy maka panas yang harus dihilangkan dalam 12 jam adalah 0.81 kW dan 1.63 kW (Gambar 63). Pengontrolan suhu menyebabkan nilai panas pernapasan sayursayuran berkurang hampir setengahnya (1.51 kW berbanding dengan 0.81 kW),
252 tetapi pengurangan panas sensibel sayur tidak terlalu besar. Hal ini menandakan bahwa dengan pengontrolan suhu penyimpanan terjadi pula penghematan penggunaan energi tidak terbarukan. Hasil pengaturan dengan logika fuzzy diperlihatkan di dalam Gambar 64.
Beban pendinginan (kJ) .
8000 7000 6000 5000
Qs
4000
Qr
3000 2000 1000 0 0
24
50 79 Waktu pengamatan (jam)
109
144
Beban pendinginan (kJ) .
Gambar 62 Perubahan panas pernapasan (Qr) dan panas sensibel (Qs) selama penyimpanan sayur-sayuran di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin tanpa pengaturan suhu penyimpanan.
700 600 500 400
Qs
300
Qr
200 100 0 0.0
2.4
4.8
7.2
9.6
12.0
Waktu pengamatan (jam) Gambar 63 Perubahan panas pernapasan (Qr) dan panas sensibel (Qs) selama penyimpanan sayur-sayuran di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin dengan pengaturan suhu penyimpanan.
253
Energi listrik (kWh) .
o
Suhu ruang ( C) .
18 16 14 12 10 8 6
14 12 10 8 6 4 2 0 0
0
2 4 6 8 10 12 Waktu pengamatan (jam)
2
4
6
8
10
12
Waktu pengamatan (jam) Wref
Wfan
Wtot
Gambar 64 Perubahan suhu di dalam ruang penyimpanan dengan pengaturan logika fuzzy (kiri) dan perubahan daya kipas, mesin pendingin kompresi uap dan daya total dengan pengaturan logika fuzzy (kanan).
Gambar 64 menyajikan perubahan suhu di dalam ruang penyimpanan dapat dipertahan mendekati suhu penyimpanan yang diinginkan. Untuk mempertahankan suhu ruang penyimpanan maka dibutuhkan daya untuk menggerakkan kipas dan mesin pendingin kompresi uap. Untuk menghubungkan antara hasil pengaturan logika fuzzy dengan perangkat keras seperti kipas dan katup ekspansi mesin pendingin kompresi uap dibutuhkan satu perangkat elektronik. Perangkat elektronik ini berfungsi sebagai pengolah sinyal dari komputer dan umpan balik dari hasil pengaturan. Umpan balik yang digunakan dalam perancangan kontrol suhu ini adalah suhu ruang penyimpanan. Gambar 65 memperlihatkan ilustrasi tentang pengaturan yang dilakukan. Produk elektronik yang berfungsi selain sebagai pengolah mikro (microprocessor) dan juga berfungsi sebagai pengatur mikro (mikrocontroller) dalam satu unit (Anonim 2002a) sudah ada di pasaran. Unit ini dapat melakukan dua mode operasi yaitu: download mode, yaitu unit berfungsi sebagai pengolah mikro yang selalu digandengkan dengan komputer pribadi (PC). Mode operasi yang lain adalah stand alone mode, yakni unit bekerja mandiri tanpa perlu selalu berhubungan dengan komputer pribadi, setelah program dipindahkan dari komputer pribadi. Pada mode ini unit bekerja sebagai pengolah dan pengatur mikro. Pengolah
254 dan pengatur mikro membutuhkan unit pengolah sinyal AD dan DA (analog to digital dan digital to analog) untuk dapat berhubungan secara timbal balik secara tidak langsung dengan alat yang akan diatur (Anonim 2002b).
Komputer pribadi
A B
Kerangan: hubungan timbal balik hubungan satu arah A Download mode B Stand alone mode
Unit pengolah/ pengatur mikro
Pengolah sinyal AD dan DA
suhu
Kipas sentrifugal
Ruang instalasi penyimpanan
Penyesuai sinyal
Driver
Katup ekspansi mesin pendingin kompresi uap
Driver
Gambar 65 Skema pengaturan otomatis laju aliran udara dan tingkat pendinginan mesin pendingin kompresi uap. Kesimpulan 1. Potensi pendinginan nokturnal yang tercermin sebagai kemampuan pendinginan dapat ditentukan dengan tepat dengan menggunakan persamaan penduga analitis untuk pendugaan nilai koefisien pindah panas konveksi dengan persamaan h = 5.277V0.5. Ketepatan dalam menetapan kemampuan pendinginan juga ditentukan oleh ketepatan model empiris dan analitis penduga suhu langit. Model penduga suhu langit dengan performansi terbaik adalah model Martin dan Berdahl (1984), Idso dan Jackson (1969) dan Boldrin dan Sovrano (1974). Dari tiga komponen pindah panas yang membentuk persamaan kesetimbangan panas air, hanya panas evaporasi atau panas kondensasi yang tidak memberikan sumbangan nyata berdasarkan pada uji statistika. 2. Saluran udara dapat menyebarkan udara dingin sehingga ruang penyimpanan memiliki suhu dan kelembaban relatif merata. Efisiensi pelembaban alat pelembab udara mencapai nilai 18.9%. Dengan memasukkan beban panas surya
255 performansi model matematika penduga suhu ruang instalasi penyimpanan dingin menjadi lebih baik dengan rata-rata kesalahan pendugaan 20% dan dengan koefisien determinasi rata-rata 0.95. 3. Penyimpanan dingin tidak selalu memberikan hasil penyimpanan yang lebih baik daripada penyimpanan di dalam gudang. Dengan cara penutup keranjang sayur dengan kertas koran yang secara terus menerus dibasahi merupakan cara penyimpanan dingin terbaik. Penumpukan keranjang sayur juga dapat mengurangi kehilangan berat sayur-sayuran. Pengemasan sayur-sayuran yang disimpan di dalam gudang atau di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin mengalami kehilangan berat 50% lebih rendah daripada sayur-sayuran yang tidak dikemas. 4. Nilai keefektivan alat penukar panas menentukan komposisi biaya investasi komponen sistem. Peningkatan luas permukaan pindah panas air menurunkan biaya investasi. Dua komponen utama menyusun biaya total investasi komponen adalah alat penukar panas dan mesin pendingin kompresi uap. Peningkatan beban pendinginan berturut-turut 3000, 4000, dan 5000 kg membutuhkan biaya investasi untuk mesin pendingin kompresi uap sebesar 96, 97, dan 98% dari total biaya komponen. 5. Biaya investasi total untuk suhu ruang penyimpanan 5oC dengan beban sayursayuran 2000, 3000, 4000, dan 5000 kg berturut-turut Rp 2855000, Rp 19276000, Rp 27543000 dan Ro 94121000. Pada suhu penyimpanan 10oC, biaya total investasi untuk beban seperti disebutkan di atas turun menjadi 99.8, 78.0, 70.4, dan 39.3% dari biaya total investasi untuk penyimpanan pada suhu 5 oC 6. Biaya pemeliharaan menentukan dalam penentuan kelayakan usaha penjualan sayur-sayuran. Peningkatan masa kerjasama di atas 3 tahun membuat usaha yang dijalankan unit menjadi layak dengan ataupun tanpa menanggung biaya pemeliharaan. Bunga pinjaman di atas 15% membuat usaha unit tidak layak, demikian pula dengan peningkatan gaji staf. Penyewaan ruang instalasi untuk penyimpanan sayur-sayuran menekan biaya penyimpanan dingin dan menurunkan resiko yang dihadapi unit dalam menjalankan usahanya.
256 7. Pendinginan nokturnal dapat menurunkan kebutuhan daya listrik sebesar 17% untuk mendinginkan ruang instalasi penyimpanan dingin. Pendinginan nokturnal menurunkan biaya untuk pendinginan pendahuluan sayur-sayuran dengan kisaran 26-98% dari biaya tanpa menggunakan pendinginan nokturnal.
Saran
1. Pengelola unit dianjurkan untuk memanfaatkan instalasi yang ada untuk menekan kehilangan pascapanen dan menciptakan penghasilan dari penyewaan ruang penyimpanan dingin. Dengan menggunakan instalasi maka pengelola dapat memanfaatkan pendinginan nokturnal untuk membuat air dingin yang dapat digunakan sebagai precooler atau untuk pembuatan air dingin yang digunakan untuk pendinginan pendahuluan sayur-sayuran. Penghematan penggunaan daya listrik untuk penyimpanan dingin sayur-sayuran dapat dilakukan dengan memanfaatkan pendinginan nokturnal. 2. Untuk mengurangi kehilangan berat sayur-sayuran yang disimpan di dalam ruang instalasi penyimpanan dingin, pengelola unit disarankan untuk menumpuk keranjang sayur. Bila memungkinkan sayur-sayuran di dalam keranjang paling atas ditutup dengan kertas koran yang dibasahkan dengan air. 3. Kolam air dangkal pada atap bangunan instalasi sepanjang siang hari ditutup dengan penutup yang tidak tembus sinar surya, dan dipasang awning atau krei untuk melindungi dinding dari terkena sinar surya langsung. Dengan cara ini beban panas surya dapat dikurangi.
257
DAFTAR PUSTAKA Abdel-Rehim ZS, Lasheen A. 2005. Improving the performance of solar desalination systems. Renewable Energy 30:1955-1971. Abu-Hamdeh NH. 2003. Simulation study of solar air heater. Solar Energy 74:309-317. Adelard L, et al. 1998. Sky temperature modelisation and applications in building simulation. Renewable Energy 15:418-430. Adelard L. 1998. Caractérisation de bases de données climatiques proposition d’un générateur de climat Appllication en thermique de l’habitat [disertasi]. Réunion: Devant L’Universite de la Réunion. http://www.univ-reunion.fr /iut_dpt_gc/ recherche/These_LA.pdf [22 Sep 2007]. Ali AHH, Taha IMS, Ismail IM. 1995. Cooling of water flowing through a night sky radiator. Solar Energy 55(4):235 253. Alnaser WE. 1990. Estimation of the clear sky and the ground emissivity in Bahrain. Earth, Moon, Planets 48:177-181. Amarananwatana P, Sorapipatana C. 2004. An assessment of the ASHRAE clear sky model for irradiance prediction in Thailand. The Joint International Conference on “Sustainable Energy and Environment (SEE)”; Hua Hin, Thailand,1-3 Des 2004. hlm 698-703. http://Ts-3%20assessment%20 of%20the%20ashrae%20clear%%20sky%20m.pdf. Andreas EL, Ackley SF. 1982. On the differences in ablation seasons of Artic and Antartic sea ice. J Atmos Sci. 39:440-447. Anonim. 2002a. Manual Book: 89C51 Development Tools DT51 Version 3-User Guide. Surabaya: Innovative Electronics. Anonim. 2002b. Manual Book: Analog Input Output DT51 I2C ADDA-User Guide. Surabaya: Innovative Electronics. Arifin S. 1988. Pengukuran dan alternatif pemanfaatan kemampuan pendinginan malam hari di Surabaya. Seminar Perpindahan Panas dan Massa. Pusat Antar Universitas – Ilmu Teknik Universitas Gadjah Mada; Yogyakarta, 18– 19 Okt 1988. hlm 34-55. [ASAE] American Society of Agricultural Engineering. 1998. Standards 1998. St. Joseph: ASAE. [ASHRAE] American Society of Heating, Refrigerating and Air Conditioning Engineers. 1985. ASHRAE Handbook 1985 Fubdamentals. Atlanta: ASHRAE. Bacon DH. 1989. Basic Heat Transfer. London: Butterworths.
258 Bambang R, Fatih, Abas T. 2001. Inteigent temperature contrl in tea withering process using fuzzy logic: an experimetal study. Di dalam: Purwadaria HK, Widodo RJ, Seminar KB, Tjokronegoro HA, Suroso, editor. 2nd IFAC-CIGR Workshop on Intelligent Control for Agricultural Applications; Bali, Indonesia, 22-24 Agu 2001. Bali: IFAC-CIGR. hlm 254-259. Bambang R, Mahbub SF, Abas T. 2001. Application of fuzzy logic control to tea rooling process. Di dalam: Purwadaria HK, Widodo RJ, Seminar KB, Tjokronegoro HA, Suroso, editor. 2nd IFAC-CIGR Workshop on Intelligent Control for Agricultural Applications; Bali, Indonesia, 22-24 Agu 2001. Bali: IFAC-CIGR. hlm 248-253. Bárbaro EW, Oliveira AP, Soares J, Escobedo JF. 2006. Observational study of downward atmospheric longwave radiation at the surface in the city of São Paulo. Laporan penelitian. Brasilia, CNPq, FAPESP. [8 Sep 2007] Bejan A, Tsatsaronis G, Moran M. 1996. Thermal Design and Optimization. Toronto: J Wiley. Bentz DP. 2000. A Computer Model to Predict the Surface Temperature and Time-of-Wetness of Concrete Pavements and Bridge Decks. NISTIR 6551. [24 Agu 2007] Berger, X. dan B. Cubizolles. 1992. Radiative Cooling I: The sky radiation. Didalam Sayigh AAM, McVeigh JC, editor. Solar Air Conditioning and Refrigeration. Oxford: Pergamon Pr. hlm 122-150. Bevan JR, Firth C, Neicho M. 1997. Storage of Organically Produced Crops. http://orgprints.org/8241/01/Storage_organic_produce_report.pdf [17 Jan 2008]. Bird RB, Stewart WE, Lightfoot EN. 1960. Transport Phenomena. New York : John Wiley. Boon-Long P. 1992. Nocturnal Cooling. Di dalam Sayigh AAM, McVeigh JC, editor. Solar Air Conditioning and Refrigeration. Oxford: Pergamon Pr. hlm 175-202. Boyette MD, Sanders DC, Estes EA. 2000a. Postharvest Cooling and Handling of Cabbage and Leafy Greens. The North Carolina Agricultural Extension Service. http://www.bae. ncsu. edu/programs/extension/publicat/postharv /ag-413-5/index.html. [10 Okt 2008]. Boyette MD, Wilson LG, Estes EA. 2000b. Design of Room Cooling Facilities: Structural & Energy Requirements. The North Carolina Agricultural Extension Service. http://www. bae.ncsu.edu/programs/extension/publicat/ postharv/ag-414-2/index.html. [10 Okt 2008]. Boyette MD, Wilson LG, Estes EA. 2000c. Introduction to Proper Postharvest Cooling and Handling Methods. The North Carolina Agricultural Extension Service. http://www.bae. ncsu. edu/programs/extension/publicat/postharv/ ag-414-1/index.html. [10 Okt 2008]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Hortikultura. Jakarta: BPS.
259 Brecht PE, Kader AA, Morris LL. 1973. Influence of postharvest temperature on brown stain of lettuce. J Amer Soc Hort Sci 98(4): 399-402. Buiar CL, Moura LM. 2004. The sequential method apply to estimate the convection heat transfer coefficient. Inverse Problems, Design and Optimization Symposium; Rio de Janeiro. http://www.lmt.coppe.ufrj.br/ ipdo/papers/ipdo-101.pdf. [16 Mar 2008]. Cantwell M. 2001. Impact of Delays to Cool on Shelf Life of Broccoli Perishables Handling Quarterly, Issue No. 106 hlmn 17-18. http://postharvest.ucdavis. edu/ datastorefiles/234-41.pdf. [17 Jan 2008]. Cellier P. 1993. An operation model for predicting minimum temperatures near the soil surface under clear sky condition. J Appl Meteorol 32:871-883. [CEN] European Committee for Standardization. 2003. Ventilation for buildingsAir handling units-Ratings and performance for units, components and sections. [CETC] CANMET Energy Technology Centre. 2004. Solar Water Heating Project Analysis Chapter. Minister of Natural Resources Canada. Chabangborn A, Thana B, Hashizume M, Ohte N, Tanaka K, Nakapadumgrat S. 2004. Downward Longwave Radiation: Observation and Analysis under Clear Sky Condition [abstrak]. 25th ACRS 2004. Chiang Mai, Thailand. hlm 1711. Chafik E. 2002. A new seawater desalination process using solar energy. Desalination 153:25-27. www.desline.com/articoli/4898.pdf 06 April 2007 Chapman AJ. 1984. Heat Transfer. New York: Mcmillan. Chen B,Kasher J, Maloney J, Girgis GA, Clark D. 1991. Determination of the clear sky emissivity for the use in cool storage roof pond applications. ST.htm atau http://www.ceen.unomaha.edu/solar/documents/SOL_26.pdf [24 Agu 2007] Chirarattananon S. 2004. Energi management for building. School of Environment Resources and Development (SERD), Asian Institute of Technology (AIT). http://www.serd.ait.ac.th/ [8 Apr 2007]. Chow TT, et al. 2006. Use of ventilated solar screen window in warm climate. Appl Thermal Eng 26:1910-1918. Clear RD, Gartland L, Winkelmann FC. 2003. An empirical correlation for the outside convective air-film coefficient for horizontal roofs. Energy Buildings 35:797-811. Cohen JB, Zinbarg ED, Zeikel A. 2003. Investment Analysis and Portfolio Management. Boston: McGraw-Hill. Crawford TM, Duchon CE. 1999. An improved paramerization for estimating effective atmospheric emissivity for use in calculating daytime downwelling longwave radiation. J Appl Meteorol 38:474-480.
260 Culf AD, Gash HC. 1993. Longwave radiation from clear skies in Niger: A comparison of observation with simple formulas. J Appl Meteorol 32:539547. Daguenet M. 1985. Les Séchoirs Solaires: Théorie et Pratique. Paris: Unesco. Davies JA, Uboegbulam TC. 1979. Parameterization of Surface Incoming Radiation in Tropical Cloudy Conditions. Atmos Ocean 17(1):14-23. de Rooy WC, Holtslag AAM. 1998. Estimation of surface radiation and energy flux densities from single-level weather data. J Appl Meteorol 38:526-540. Dimoudi A, Androutsopoulos A. 2006. The cooling performance of a radiator based roof component. Solar Energy 80:1039–1047. Duarte HF, Dias NL, Maggiotto SR. 2006. Assessing daytime downward longwave radiation estimates for clear and cloudy skies in Southern Brazil. Agric Forest Meteorol 139:171-181. Duchon CE, Wilk GE. 1994. Field comparison of direct and component measurements of net radiation under clear skies. J Appl Meteorol 33:245551. Duffie JA, Beckman WA. 1980. Solar Engineering of Thermal Processes. New York: J Wiley. Dyah W. 2004. Kajian distribusi suhu, RH dan aliran udara pengering untuk optimisasi disain pengering efek rumah kaca [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dzivama AU, Bindir UB, Aboaba FO. 1999. Evaluation of pad materials in construction of active evaporative cooler for storage of fruits and vegetables in arid environments. Agric Mec Asia, Africa Latin Amer 30(3):51-55. Elizondo D, Hoogenboom G, McClendon RW. 1994. Development of a neural network model to predict daily solar radiation. Agric Forest Meteorol 71:115-132. Erell E, Etzion Y. 2000. Radiative cooling of buildings with flat-plate solar collectors. Building Environ 35:297-305. Estournel C, Vehil R, Guedalia D, Fontan J, Druilhet A. 1983. Obersevations and modeling of downward radiative fluxes (solar and unfrared) in urban/rural areas. J Clim Appl Meteorol 22:134-142. Exell RBH. 1979. Solar and atmospheric radiation. Renewable Energy Rev J 1:320. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2000. Food and Agriculture Organization. FAOSTAT. http:/www.fao.org/. [20 Apr 2003]. Ferrarese S, Qian M, Bertoni D, Cassardo C, Forza R, Georgiadis T, Longhetto A, Nardino M, Pangia M. 2002. Parameterization of shortwave, longwave and net radiation fluxes over the Hell Gate ice shelf (Antartica). Di dalam: Colacino editor: Italian Research on Artartic Atmosphere. Conference Preceeding vol 80. SIF Bologna 2002, hlm 187-206.
261 Goforth MA, Gilchrist GW, Sirianni JD. 2002. Cloud effects in thermal downwelling sky radiance. Proc. SPIE, Stray Light in Optical Systems, Proc. SPIE, Thermosense XXIV, Vol 4710-27, 2002. Golaka ART, Exell RHB. 2004. The downward atmospheric longwave radiation at night in Northern Thailand. Laporan penelitian. Bangkok: the Joint Graduate School of Energy and Environment, King Mingkut’s University of Technology. 4 hlm. http://www.energy-based.nrct.go.th/Article/Ts-3%20the %20downward%20atmospheric%20longwave%20radiation%20at%20night %20in%20northern%20thailand.pdf [11 Sep 2007]. Gorny JR, Kitinoja L. 1999. Capital $ Investment in Postharvest Technology & Recovery of Invested Capital. Perishables Handling Quarterly Issue No. 97 hlm 3-6. http://postharvest.ucdavis.edu/datastorefiles/234-174.pdf. [17 Jan 2008]. Goss JR, Brooks FA. 1956. Constants for empirical expressions for downcoming atmospheric radiation under cloudless sky. J Meteorol 13:482-488. Groot A, Carlson DW. 1996. Influence of shelter on night temperatures, frost damage, and bud break of white spruce seedlings. Can J Forest Res 26:15311538. Gunadnya IBP, Kamaruddin A, Oktaufik MAM, Armansyah HT. 2007a. Cost Optimization of Nocturnal Cool Storage System. Di dalam: Kamaruddin A, editor. Teknologi Berbasis Sumber Energi Terbarukan untuk Pertanian. Bogor: Pusat Pengembangan Ilmu Teknik untuk Pertanian Tropika, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian (CREATA-LPPM-IPB). hlm 293-301. Gunadnya IBP, Kamaruddin A, Armansyah HT, Purwanto YA, Nelwan LO. 2007b. Utilization of Nocturnal Cooling and Tower with Auxiliary Cooling for Vegetables Storage System in Up-land Area. Di dalam: Kamaruddin A, editor. Teknologi Berbasis Sumber Energi Terbarukan untuk Pertanian. Bogor: Pusat Pengembangan Ilmu Teknik untuk Pertanian Tropika, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian (CREATA-LPPM-IPB). hlm 302-310. Gunadnya IBP. 1993. Pengemasan salak segar (Salacca edulis) dengan kemasan “modified atmosphere” [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Hagishima A, Tanimoto J. 2003. Field measurements for estimating the convective heat transfer coefficient at building surfaces. Building Environ 38:873-881. Haque MN, Langrish TAG. 2003. The development and validation of a mathematical model for solar kilns for drying hardwood timber. 8th Int IUFRO Wood Drying Conference – 2003. hlm 57-64. http://www.unitbv.ro/ il/iufro2003modific/ postiufro/Session1.%20Modelling /Haque%20-%20 Langrish.pdf. [24 Agu 2007]. Hasnan S, Suwarsono. 1994. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
262 Heldman DR, Singh RP. 1981. Food Process Engineering. Westport: The AVI. Henderson SM, Perry RL. 1976. Agricultural Process Engineering.. Westport: The AVI. Hien PH. 2002. Research and Extention of Appropriate Drying Technologies for Developing Countries: Experience from Vietnam. Regional Workshop on Drying Technology. Organised by ASEAN Subcommittee on NonConventional Energy Research. Supported by ASEAN Foundation, 22-26 April 2002. Bangkok. Ho CD, Yeh HM, Wang RC. 2005. Heat-transfer enhancement in double-pass flatplate solar air heaters with recycle. Energy 30:2796-2817. Holman JP. 1997. Heat Transfer.New York: McGraw-Hill. Huang C. 2006. Country report: Republic of China. . Di dalam: Rolle RS (editor); Postharvest Management of Fruit and Vegetables in the Asia-Pacific Region. AG-18_PostHarvest.pdf. hlm 117-122. Insausti JL. 2000. IR exchange between a solar collector with plastic glazing and the sky [thesis]. Madison: UW University of Wisconsin. Proyecto.doc Irtwange SV. 2006. Application of modified atmosphere packaging and related technology in postharvest handling of fresh fruits and vegetables. Agricultural Engineering International: the CIGR Ejournal. Invited Overview VIII(4). Isik E, Celik E. 2006. The effect of precooling of lettuces and green beans on the ratio of weight loss and net weight after storage. Pakistan J Biol Sci 9(14):2606-2611. Janarthanan B. 2005. Transient simulation modeling of floating cum tilted-wick solar still and secondary analysis of solar radiation [disertasi]. Coimbaote: Sri Ramakrishna Mission Vidyalaya College of Art and Science. Kader AA, Lipton WJ, Morris LL. 1973. Systems for scoring quality of harvested lettuce. HortScience 8(5):408-409. Kalbasi-Ashtari A. 2004. Effects of post-harvest pre-cooling processes and cyclical heat treatment on the physico-chemical properties of “ Red Haven Peaches” and “Shahmiveh Pears” during cold storage. http://cigrejournal.tamu.edu/submissions/ volume6/FP%2004 %20003%20Kalbasi% 20final%206Dec2004.pdf. [10 Okt 2008]. Kamaruddin A, Armansyah H T, Nelwan LO, Gunadnya IBP. 2001. Kajian performansi, karekteristik dan simulasi menara pendingin. Bul Keteknikan Pertanian 15(3):175-185. Kamaruddin A, Matsumoto S, Mahendra MS. 1998. Pure Water as Cooling Medium. Laporan Penelitian. The General Exchange Program under the Cooperative Programs with Asian Countries, 29 Jan 1998. Kamaruddin A, Purwanto YA, Rofiq AN, Uyun AS. 1998. Pendinginan adsorpsi sebagai pendingin tambahan untuk penyimpanan sayuran tropis. Laporan
263 hibah Osaka Gas Foundation of International Cultural Exchange (OGFICE). Bogor: Pusat Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknik untuk Pertanian Tropika, CREATA-LPPM-IPB. Kamaruddin A, Wilujeng T, Mahendra MS. 2000. Radiative cooling for storage of vegetables in the tropics. Di dalam: Sayigh AAM, editor; World Renewable Energy Congress VI. hlm 702-705. Oxford: Elsevier Science. Kamaruddin A. 1997. Prospect of the utilisation of renewable energy resources for cool storage of tropical fruits. J ISSAAS 3:12-26. Kasmire RF Kader AA, Klaustermeyer. 1974. Broccoli shipping odors caused by poor air circulation and low oxygen levels. Hortscience. Khan WA, Culham JR, Yovanovich MM. 2006. Analytical model for convection heat transfer from tube banks. J Thermophysics Heat Transfer 20:720-727. Khelifi M, Brown RB, Lagüe C. 1993. Prediction of temperature, wind speed, and actual vapor pressure at different heights above the crop canopy. Trans ASAE 36(6):1755-1760. Kidder SQ, Essenwanger OM. 1995. The effect of clouds and wind on the difference in nocturnal cooling rates between urban and rural area. J Appl Meteorol 34:2440-2448. Kodoatie RJ. 1995. Analisis Ekonomi Teknik. Yogyakarta: Andi Offset. Kurt H, Halici F, Binark AK. 2000. Solar pond conception – experimental and theoretical studies. Energy Conv Management 41:939-951. Lhomme JP, Guilioni L. 2004. A simple model for minimum crop temperature forecasting during nocturnal cooling. Agric Forest Meteorol 123:55-68. Li DHW, Lam JC. 2001. Development of solar heat gain factors database using meteorological data. Building Environ 36:469-483. Lind RJ, Katsaros KB. 1982. A model of longwave irradiance for use with surface observations. J Appl Meteorol 21:1015-1023. Lord D. 1999. An Interactive, Web-based Computer Program for Thermal Design of Roof Ponds. Report on research performed under a grant from the Hay Fund. Architecture Department, College of Architecture and Environmental Design California Polytechnic State University. http://72.14.205.104/ search?q=cache:3QdEE62WpEUJ:suntzu.calpoly.edu/ehhf/src/resources/ma nual.pdf+&hl=id&ct=clnk&cd=16&gl=id [24 Agu 2007] Loveday DL, Taki AH. 1996. Convective heat transfer coefficients at a plane surface on a full-scale building facade. lnt J Heat Mass Transfer 39(8):1729 1742. Lunde PJ. 1980. Solar Thermal Engineering. New York: J Wiley. Magrhabi AH. 2007. Ground base measurements of atmospheric infrared radiation from clear and cloudy skies [disertasi]. Adelaide: School of Chemistry and Physics, University of Adelaide. http://digital.library.adelaide.edu.au/dspace /bitstream/ 2440/39513/3/02chapters1-5.pdf [15 Peb 2009].
264 Marafia A, Nasser S, Sayigh A. 1998. Radiative cooling potential in Qatar. Di dalam: Sayigh AAM, editor. World Renewable Energy Congress V, Part IV; Florence Italia, 20-25 Sep 1998. Oxford: Elsevier Science. hlm 2092-2096. Margolin. 1997. Radiational Cooling. Http://www.met.fsu.edu/Classes/Met4450/ reports5450/margolin1.htm. [12 Jan 2002]. Marpaung RR. 2002. Mempelajari penambahan butiran semprot terhadap peningkatan kinerja pendingin nokturnal [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Maykut GA, Church PE. 1973. Radiation climate of Barrow, Alaska, 1962-1966. J Appl Meteorol 12:620-628. McAfee RP. 2006. Introduction to Economic Analysis. http://www.mcafee.cc/ Introecon/ IEA.pdf. [10 Peb 2009]. McLauchlan R, Bagshaw J. 2001. Australian postharvest technologies for fresh fruits and vegetables. Proceedings of a Workshop held in Beijing People’s Republic of China; Beijing, 9–11 Mei 2001. hlmn 72-77. www.aciar.gov.au/web.nsf/att/ JFRN-6BN98F/$file/p105chapter1.pdf McVeigh JC. 1984. Solar Cooling and Refrigeration. Loughborough: Ambient Pr. Meir MG, Rekstad JB, Løvvik OM. 2002. A study of a polymer-based radiative cooling system. Solar Energy 73(6):403-417. Mendonça EDD, Campelo JHJr, Filho NP. 1996. Atmospheric emissivity estimate in Santo Antonio Do Leverger-Mt. Revista Brasileira Agrometeorol 4(2):6371. Mishan EJ, Quah E. 2007. Cost Benefit Analysis. London: Rougtledge. Mitcham B, Cantwell M, Kader A. 2003. Methods for Determining Quality of Fresh Commodities. Perishables Handling Newsletter Issue No. 85. http://ucce.ucdavis. edu/files/datastore/234-49.pdf [10 Okt 2008]. Morgan DL, Pruitt WO, Lourence FJ. 1971. Estimation of atmospheric radiation. J Appl Meteorol 10:463-468. Morris LL, Kader AA, Klaustermeyer. 1974. Postharvest handling of lettuce. ASHRAE Trans 80:341-349. Mrema GC, Rolle RS. 2002. Status of the postharvest sector and its contribution to agricultural development and economic growth. 9th JIRCAS International Symposium 2002 – ‘Value-Addition to Agricultural Products’, 13–20. http://www.fao.org/ag/ags/subjects/en/harvest /docs/Mrema_Rolle.pdf. [21 Okt 2008]. Müller E. 2001. Development of a test reference year on a limited database for simulations on passive heating and cooling in Chile. Seventh International IBPSA Conference; Rio de Janeiro, 13-15 Agu 2001. hlm 135-142. [NAVFAC] Naval Facilities Engineering Command. 1993. Economic Analysis Handbook. 200 Stovall Street Alexandria, Virginia 22332-2300. NAVFAC P-442 October 1993.
265 Nelwan LO. 2004. Study on solar-assisted dryer with rotating rack for cocoa beans [disertasi]. Bogor: The Graduate School, Bogor Agricultural University. Newnan DG. Eschenbach TG, Lavelle JP. 2004. Engineering Economic Analysis.. Oxford: Oxford Univ Pr. Nijegorodov N. 1996. Improve ASHRAE model to predict hourly and daily solar radiation componen in Botswanam Namibia, and Zimbabwe. Di dalam: Sayigh AAM, editor. World Renewable Energy Congress: Renewable Energy, Energy Efficiency and the Environment Vol II; Denver Colorado, 15-21 Jun 1996. Oxford: Elsevier Science. hlm 1270-1273. Nowak D, Vuilleumier L, Long CN. 2006. Cloud Effect on Surface Radiation at Payerne, Switzerland [abstrak]. Geophys Res Abstr 8. 1607-7962/gra/ EGU06-A-04614. Offerle B, Grimmond CSB, Oke TR. 2003. Parameterization of net all-wave radiation for urban areas. J Appl Meteorol 42:1157-1173. Ong KS, Chow CC. 2003. Performance of a solar chimney. Solar Energy 74:1-17. Ong KS. 2003. A mathematical model of a solar chimney. Renewable Energy 28:1047-1060. Pandey DK, Lee III RB, Paden J. 1995. Effects of atmospheric emissivity on the clear sky temperatures. Atmospheric Environment 29(16):2201-2204. Parker DS, Sherwin JR. 2007. Experimental Evaluation of the NightCool Nocturnal Radiation Cooling Concept: Performance Assessment in Scale Test Building. Laporan Penelitian. Departemen Energi Amerika Serikat. Nomor kontrak UCF/FSEC 20126034. www.fsec.ucf.edu/en/publications/ pdf/FSEC-CR-1692-07.pdf. [20 Mar 2007]. Parker DS. 2005. Theoretical Evaluation of the NightCool Nocturnal Radiation Cooling Concept. http://www2.fsec.ucf.edu/en/publications/pdf/FSEC-CR1502-05.pdf. [28 Agu 2007]. Pirazzini R, et al. 2000.Parameterization of the downward longwave radiation from clear and cloudy skies at the Ny Ålesund (Svalbard). Laporan penelitian ARTIST proyek yang didanai dari European Commission DGXII (Contract ENV4-CT97[PLN] Perusahaan Listrik Negara. 2009. Statistik listrik. http://www.pln.co.id/ InfoKorporat/Statistic/tabid/177/Default.aspx [10 Jan 2009]. Plüss C, Ohmura A. 1997. Longwave radiation on snow-covered mountainous surfaces. J Appl Meteorol 36:818-824. Prasetyo T. 2009. Kajian pengering gabah tipe resirkulasi menggunakan konveyor pneumatik dan bahan bakar campuran minyak jarak dengan minyak tanah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pretorius JP, Kröger DG. 2006. Critical evaluation of solar chimney power plant performance. Solar Energy 80:535-544. Purba R. 1997. Analisis Biaya dan Manfaat. Jakarta: Rineka Cipta.
266 Rahemi M. 2006. Postharvest management of fruits and vegetables for better food quality and safety. Di dalam: Rolle RS (editor); Postharvest Management of Fruit and Vegetables in the Asia-Pacific Region. AG-18_PostHarvest.pdf. hlm 96-100. Rahman N, Kumar S. 2006. Evaluation of convective heat transfer coefficient during drying of shrinking bodies. Energy Conv Management 47:2591-2601. Ramsey JW, Chiang HD, Goldstein RJ. 1982. A study of the incoming atmospheric radiation from a clear sky. J Appl Meteorol 21:566-578. Rasisuttha S. 2005. An investigation of methods for reducing the use of nonrenewable energy resources for housing on Thailand [disertasi]. Texas A&M University. etd-tamu-2005A-ARCH-Rasisuttha_nightskyrad.pdf Sargent SA, Ritenour MA, Brecht JK. 2000. Handling, Cooling and Sanitation Techniques for Maintaining Postharvest Quality. http://postharvest_ quality.pdf. Setiawan BI, Saptomo SK, Waspodo RSB. 2001. A model for contolling groundwater in tidal wetland agricultures. Di dalam: Purwadaria HK, Widodo RJ, Seminar KB, Tjokronegoro HA, Suroso, editor. 2nd IFACCIGR Workshop on Intelligent Control for Agricultural Applications; Bali, Indonesia, 22-24 Agu 2001. Bali: IFAC-CIGR. hlm 185-189. Setiawan BI. 2001. Designing temperature control system for mushroom cultivation. Di dalam: Purwadaria HK, Widodo RJ, Seminar KB, Tjokronegoro HA, Suroso, editor. 2nd IFAC-CIGR Workshop on Intelligent Control for Agricultural Applications; Bali, Indonesia, 22-24 Agu 2001. Bali: IFAC-CIGR. hlm 158-161. Sirivatanapa S. 2006. Packaging and transportation of fruits and vegetables for better marketing. Di dalam: Rolle RS (editor); Postharvest Management of Fruit and Vegetables in the Asia-Pacific Region. AG-18_PostHarvest.pdf. hlm 43-48. Staley DO, Jurica GM. 1972. Effective atmospheric emissivity under clear skies. J Appl Meteorol 11:349-356. Stoecker WF, Jones JW. 1996. Refrigerasi dan Pengkondisian Udara. Hara S, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Stoecker WF. 1989. Design of Thermal System. Singapura: McGraw-Hill. Stoecker, W.F. 1971. Design of Thermal Systems. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha. Subagyo A. 1995. Studi Kelayakan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Suhardiyanto H, Chadirin Y, Nuryawati T, Romdhonah Y. 2007. Analisis sudut datang radiasi matahari untuk pengembangan model pindah panas pada rumah kaca di daerah tropis. J Keteknikan Pertanian 21(1): 57-66.
267 Suhardiyanto H, Seminar KB, Chadirin Y, Setiawan BI. 2001. Development of a pH control system for nutrient solution in EBB and flow hydroponic culture based on fuzzy logic. Di dalam: Purwadaria HK, Widodo RJ, Seminar KB, Tjokronegoro HA, Suroso, editor. 2nd IFAC-CIGR Workshop on Intelligent Control for Agricultural Applications; Bali, Indonesia, 22-24 Agu 2001. Bali: IFAC-CIGR. hlm 87-90. Sunaryo T. 2001. Ekonomi Manajerial: Aplikasi Teori Ekonomi Makro. Jakarta: Erlangga. Suryana, I.B. 2000. Mutu dan masa simpan buah tomat yang disimpan pada cold storage dengan menggunakan refrigeran air di Candi Kuning [skripsi]. Denpasar: Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa. Sutrisno. 1999. Research activities in packaging and storage system for the highland vegetables. Final Report of JSPS-DGHE Project. Bogor. Tade V. 2004. Modélisation de la variabilité spatiale et temporelle de la température de surface pour un sol homogène avec relief [disertasi]. Marseille: L’Universite de Provence. Tana B, Chabangborn A, Hashizume M, Nakapadungrat S. 2004. The comparison between long-wave solar radiation data at Sri Samrong and model. www. http://www.hyarc.nagoya-u.ac.jp/game/6thconf/html/abs_html/pdfs/ T5BT31Jul04000837.pdf. [31 Agu 2007]. Tang R, Etzion Y, Erell E. 2003. Experimental studies on a novel roof pond configuration for the cooling of buildings. Renewable Energy 28:1513–1522. Tang R, Etzion Y. 2004. On thermal performance of an improved roof pond for cooling buildings. Building Environ 39:201–209. Thanh CD. 2006. Introduction to the Postharvest Physiology of Tomato and Chilli Improving rural livelihoods through development of vegetable-based postharvest technologies in Cambodia, Lao PDR and Viet Nam. Training Manual on Postharvest Research and Technology Development for Tomato and Chilli in RETA 6208 Countries. AVRDC-ADB RETA 6208 Thompson et al. 2001. Effect of Cooling Delays on Fruit and Vegetable Quality. Perishables Handling Quarterly Issue No. 105 hlm 1-4. http://postharvest. ucdavis. edu/datastorefiles/234-8.pdf. [17 Jan 2008]. Tiba C, Ghini R. 2006. Numerical procedure for estimating temperature in solarized soils. Pesq agropec bras 41(3):533-537. Timoumi S, Mihoubi D, Zagrouba F. 2004. Simulation model for a solar drying process. Desalination 168:111-115. Toledo RT. 1981. Fundamental of Food Process Engineering. Westport: The AVI. Tomkins B. 1995. Agriculture Notes. Storage Life of Vegetables. ISSN 13298062. http://www.dpi.vic.gov.au/dpi/nreninf.nsf/9e58661e880ba9e44a256c 640023eb2e/d7505d9c878ee5a2ca256f35000a4270/$FILE/AG0280.pdf [14 Mar 2007].
268 Treybal RE. 1968. Mass-transfer Operation. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha. Trinuruk P, Sorapipatana C, Janwittaya D. 2006. Effects of Air Gap Spacing between a Photovoltaic Panel and Building Envelop on Electricity Generation and Heat Gains Through a Building. The Joint Graduate School of Energy and Environment, King Mongkut’s University of Technology Thonburi, Bangkok, Thailand, Department of Energy and Material, King Mongkut’s University of Technology Thonburi, Bangkok, Thailand. http://RBHExell_PV-sky.pdf. TANGGAL[8 Sep 2007]. Trisasiwi W. 2000. Sistem pendingin radiatif dan menara pendingin menggunakan fluida kerja air di dataran tinggi untuk penyimpanan sayuran [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ulleberg Ø.1998. Stand-alone power system for the future: optimal design, operation and control of solar-hydrogen energy systems [disertasi]. Trondheim: Department of Thermal Energy and Hydropower, Norwegian University of Science and Technology. Upmanis H, Chen D. 1999. Influence of geographical factors and meteorological variables on nocturnal urban-park temperature differences - a case study of summer 1995 in Göteborg, Sweden. Climate Res. 13:125-139 [USDA] United States Department of Agriculture. 2005. Agriculture Handbook Number 66. http://www.usda.gov/ [23 Okt 2008]. Uzunöz M, Akçay Y. 2006. A profitability analysis of investment of peach and apple growing in Turkey. J Agric Rural Dev Trop Subtrop 107(1):11-18. Wang X, Bagshaw JS. 2001. Postharvest handling systems assessment of Pak Choy and Chinese Cabbage in Eastern-central China. Proceedings of a Workshop held in Beijing People’s Republic of China; Beijing, 9–11 Mei 2001. hlm 22-25.www.aciar.gov.au/web.nsf/att/JFRN-6BN98F/$file/ p105chapter1.pdf Wang Y, Tian W, Ren J, Zhu L, Wang Q. 2006. Influence of a building’s integrated-photovoltaics on heating and cooling loads. Appl Energy 83:989– 1003. Wark, K. 1983. Thermodynamics. New York: McGraw-Hill. Welty JR. 1974. Engineering Heat Transfer. New York: J Wiley. Wibisono Y. 2002. Desain dan kineja propotipe menara pendingin tipe Induced Counter Flow pada lingkungan terkontrol [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Wills RHH, Lee TH, Graham D, McGlasson WB, Hall EG. 1981. Postharvest: An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. Kensington: New South Wales University Pr. Wilson LG, Boyette MD, Estes EA.1999. Postharvest Handling and Cooling of Fresh Fruits, Vegetables, and Flowers for Small Farms. www.ces.ncsu.edu/depts/ hort/hil/ hil-802.html
269 Wreston JF, Brigham EF. 1981. Managerial Finance. Hinsdale: The Dryden Pr. Zagory D dan Kader AA. 1988. Modified atmosphere packaging of fresh produce. Food Technol. 42(9):70-77. Zapadka T, Woźniak B, Dera J. 2007. A more accurate formula for calculating the net longwave radiation flux in the Baltic Sea. Oceanologia 49(4):449-470. Zhai Z, Chen Q. 2004. Numerical determination and treatment of convective heat transfer coefficient in the coupled building energy and CFD simulation. Building Environ 39:1001-1009. Zhang Q, Reid JF. 2001. A flexibel fuzzy controller for mobile E/H system. Di dalam: Purwadaria HK, Widodo RJ, Seminar KB, Tjokronegoro HA, Suroso, editor. 2nd IFAC-CIGR Workshop on Intelligent Control for Agricultural Applications; Bali, Indonesia, 22-24 Agu 2001. Bali: IFAC-CIGR. hlm 242247.
LAMPIRAN
270 Lampiran 1 Penurunan persamaan penduga nilai h dengan pendekatan analitis Welty (1974), Chapman (1984), Holman (1997) dan banyak penulis pustaka pindah panas lainnya membahas tentang pendekatan analitis dari lapisan batas kecepatan dan termal yang terbentuk karena hembusan angin di permukaan suatu benda. Pendekatan analitis yang dilakukan berkaitan dengan sistem aliran konveksi paksa. Dengan menggabungkan antara analisis lapisan batas kecepatan dan lapisan batas termal. y a b
x
t
x0 a = Lapisan batas kecepatan b = Lapisan batas termal
Gambar L1 Lapisan batas kecepatan dan termal pada pelat datar. Berikut ini ringkasan penurunan persamaan h berdasarkan pada pendekatan analitis pada permukaan bidang datar. Lapisan batas kecepatan. Dari lapisan batas kecepatan diperoleh persamaan d u u u udy w (L1) dx 0 y y 0
adalah densitas, u ∞ kecepatan dan kekentalan. Pendekatan dilakukan berdasarkan kondisi yang harus dipenuhi oleh fungsi kecepatan: u = 0, pada y = 0 u y 0 , pada y = u ∞ = 0, pada y = 2 u y 2 0 , pada y = Bila profil kecepatan dapat diketahui maka dengan menggunakan persamaan (L1), ketebalan lapisan batas kecepatan ( ) dapat dihitung. Bila profil kecepatan tidak diketahui maka profil kecepatan dapat didekati dengan fungsi u yang paling sederhana u C1 C 2 y C 3 y 2 C 4 y 3 (L2) dengan menerapkan empat kondisi tersebut diatas terhadap persamaan (L2) diperoleh 3
u 3 y 1 y (L3) u 2 1 2 δ setelah menyisipkan persamaan (L3) ke dalam persamaan (L1) didapat persamaan yang setelah diintegralkan menjadi d 39 3 µu ρu2 δ dx 280 2 δ
271 karena nilai dan u ∞ tetap, variabel dapat dipisahkan untuk mendapat 140 140 d dx dx 13 u 13 u
2 140 x c 2 13 u pada x = 0, = 0 maka c = 0 x atau 4.64 x 4.64 u dan
Re
(L4)
Lapisan batas termal. Jika lapisan batas kecepatan didefinisikan sebagai daerah aliran dengan penurunan gaya kekentalan, maka lapisan batas termal bisa didefinisikan sebagai daerah tempat terjadinya gradien suhu dalam aliran fluida. Gradien suhu ini akan menghasilkan proses pindah panas antara fluida dengan dinding. Suhu dinding adalah Tw, suhu fluida diluar lapisan batas termal adalah T∞ dengan ketebalan lapisan batas termal t. Pada dinding kecepatan sama dengan nol, dan pindah panas ke dalam fluida terjadi secara konduksi. Jadi fluks panas lokal per satuan luas , q”, adalah q T dan hukum pendinginan Newton: q " h Tw T q" k A dy w h adalah koefisien pindah panas konveksi dan k koefisien pindah panas konduksi. Dengan memadukan kedua persamaan tersebut didapat (L5) h k T y w Tw T Untuk menyelesaikan persamaan ini dibutuhkan gradien suhu pada dinding untuk mengevaluasi koefisen pindah panas. Sama seperti analisis momentum pada lapisan batas kecepatan, bila sebaran suhu tidak diketahui maka dapat dilakukan pendekatan yang memenuhi kondisi sbb: T T , pada y = 0 (a) T y 0 , pada y = t (b) T T , pada y = t (c) 2T y 2 0 , pada y = (d) Kondisi (a) dan (d) mungkin sesuai dengan polinomial kubik seperti pada kasus profil kecepatan, sehingga 3
T Tw 3 y 1 y (L6) T Tw 2 t 2 t manipulasi lebih lanjut dan dengan menggunakan = t/, dihasilkan d 13 3 4 x 2 (L7) dx 14 adalah difusivitas panas dan kekentalan kinematik. Berdasarkan persamaan ini diperoleh 13 3 Cx 3 4 14 bila kondisi batas yang digunakan:
272
t = 0, pada x = x0 = 0, pada x = x0 dan pada x0 = 0, C = 0 diperoleh jawaban akhir 13 1 (L8) 1.026 kembali ke persamaan k T y w 3 k 3 k (L9) h Tw T 2 t 2 dengan mensubstitusikan persamaan (L4) dan (L8) kedalam persamaan (L9) diperoleh persamaan koefisien pindah panas lokal (hx): 13 u x k h x 0.332 (L10) x nilai koefisien pindah panas konveksi rata-rata sepanjang x = L adalah
h
L
hx dx
k 0.664 L L dx
0
13
u L
(L11)
0
k h 0.664 Pr 1 3 Re1 2 L
(L12)
273 Lampiran 2 Pendugaan nilai h dari data hasil percobaan Kolam air dangkal dibuat sebagai suatu sistem pindah panas. Kolam air ditaruh pada lingkungan terbuka sehingga kolam air tidak terhalang pada percobaan yang dilakukan di sepanjang malam hari. Kolam air dangkal sebagai sistem termal yang diuji ditampilkan didalam Gambar L2 berikut ini. Va
Qs QL
Qrad
L
Gambar L2 Penampang melintang kolam air dangkal yang digunakan dalam percobaan. Asumsi yang digunakan adalah bahwa kehilangan atau peningkatan panas air didalam kolam air dangkal (Qw,tot) disebabkan oleh panas radiasi malam hari (Qrad), panas sensibel (Qs) dan panas laten (QL). Kesetimbangan energi yang terjadi didalam air adalah Qw,tot Qrad Qs QL (L13) Lebih lanjut, komponen-komponen panas air diuraikan dan diperoleh persamaan: dT m w c pw w ATw4 Ts4 hA(Ta Tw ) h D A( H i H a ) h fg (L14) dt h diketahui hD (Chapman 1984), sehingga: c pm
h
m w c pw dTw dt A Tw4 Ts4
A Ta Tw 1 c pm H i H a h fg
(L15)
274 Lampiran 3 Nilai MBE, RMSE, % kesalahan dalam menduga radiasi langit Tabel L1 Kinerja model empiris dan analisis penduga radiasi langit cerah Model Swimbank (1963) Idso dan Jackson (1969) Ångström (1918) Niemelä (2001) Brunt (1932) Brutsaert (1975) Satterlund (1979) Idso (1981) Prata (1996) Dilley dan O´Brien (1998)
Dataran tinggi MBE RMSE %error -51.3 57.6 14.5 -49.5 56.0 14.0 -37.9 46.3 10.7 -27.8 37.9 7.9 -53.5 59.4 15.1 -37.6 45.6 10.6 -29.9 39.8 8.4 -17.9 31.3 5.1 -37.2 45.4 10.5 -43.7 50.9 12.3
Dataran rendah MBE RMSE %error -30.8 37.8 7.8 -27.8 35.4 7.0 -30.7 37.3 7.8 12.2 23.2 -3.1 -23.6 30.7 6.0 -12.0 23.2 3.0 -14.6 25.3 3.7 14.5 23.9 -3.7 -14.3 24.5 3.6 -27.4 33.6 7.0
Tabel L2 Kinerja model empiris dan analisis penduga radiasi langit dengan koreksi (1 + k) Model Swimbank (1963) Idso dan Jackson (1969) Ångström (1918) Niemelä (2001) Brunt (1932) Brutsaert (1975) Satterlund (1979) Idso (1981) Prata (1996) Dilley dan O´Brien (1998)
Dataran tinggi MBE RMSE %error 136.9 157.8 -38.7 139.8 160.5 -39.5 158.6 178.4 -44.8 174.8 193.7 -49.4 133.1 153.8 -37.6 158.9 178.5 -44.9 171.6 190.8 -48.5 190.9 209.3 -53.9 159.6 179.1 -45.1 -43.7 50.9 12.3
Dataran rendah MBE RMSE %error 138.4 160.2 -35.0 143.0 164.5 -36.2 139.0 161.2 -35.2 203.0 225.3 -51.4 150.1 173.2 -38.0 166.9 189.1 -42.3 162.7 184.4 -41.2 206.6 229.1 -52.3 163.6 185.8 -41.4 -28.2 34.7 7.1
Tabel L3 Kinerja model empiris dan analisis penduga radiasi langit dengan koreksi pengaruh awan dalam bentuk non-linier di dataran tinggi dan linier di dataran rendah Model Swimbank (1963) Idso dan Jackson (1969)
Dataran tinggi MBE RMSE %error -0.06 16.28 0.02 -0.09 16.32 0.02
Dataran rendah MBE RMSE %error 0.044 8.3 -0.011 0.061 8.4 -0.015
275 Tabel L3 Kinerja model empiris dan analisis penduga radiasi langit dengan koreksi pengaruh awan dalam bentuk non-linier di dataran tinggi dan linier di dataran rendah (lanjutan) Model Ångström (1918) Niemelä (2001) Brunt (1932) Brutsaert (1975) Satterlund (1979) Idso (1981) Prata (1996) Dilley dan O´Brien (1998)
Dataran tinggi MBE RMSE %error -0.15 16.53 0.04 0.06 16.00 -0.02 0.09 16.04 -0.03 0.01 15.97 0.00 -0.11 16.30 0.03 0.03 15.92 -0.01 -0.03 15.98 0.01 -0.08 16.02 0.02
Dataran rendah MBE RMSE %error -0.056 8.4 0.014 0.203 9.2 -0.052 0.124 8.5 -0.031 0.043 7.9 -0.011 -0.024 7.9 0.006 0.104 8.5 -0.027 0.028 7.9 -0.007 0.002 7.9 -0.001
276 Lampiran 4 Nilai MBE, RMSE, % kesalahan pendugaan emisivitas langit Tabel L4 Kinerja model empiris dan analisis penduga emisivitas langit cerah Model penduga εc = f(Tdp) Clark dan Allen (1978) Berdahl dan Fromberg (1982) Martin dan Berdahl (1984) Berdahl dan Martin (1984) εc = f(Ta) Swimbank (1963) Idso dan Jackson (1969) εc = f(Pv) Ångström (1918) Brunt (1932) Niemelä (2001) εc = f(Ta, Pv) Boldrin dan Sovrano (1974) Brutsaert (1975) Satterlund (1979) Idso (1981) Prata (1996)
Dataran tinggi MBE RMSE %error
Dataran rendah MBE RMSE %error
-0.08 -0.09
0.10 0.10
9.3 9.6
-0.07 -0.04
0.08 0.06
7.3 4.7
-0.11 -0.11
0.13 0.12
12.4 11.6
-0.05 -0.05
0.07 0.06
5.9 5.1
-0.13 -0.13
0.14 0.14
14.4 13.9
-0.09 -0.08
0.10 0.09
9.5 8.7
-0.10 -0.14 -0.07
0.11 0.15 0.09
10.6 15.0 7.8
-0.09 -0.07 0.01
0.10 0.08 0.04
9.4 7.6 -1.3
-0.12 -0.10 -0.08 -0.04 -0.09
0.13 0.11 0.09 0.07 0.11
12.7 10.5 8.3 5.0 10.4
-0.07 -0.04 -0.05 0.02 -0.05
0.08 0.06 0.06 0.04 0.06
7.6 4.8 5.4 -1.9 5.3
Tabel L5 Kinerja model empiris dan analisis penduga emisivitas langit cerah dikoreksi dengan (1 – ε)k Model penduga εc = f(Tdp) Clark dan Allen (1978) Berdahl dan Fromberg (1982) Martin dan Berdahl (1984) Berdahl dan Martin (1984) εc = f(Ta) Swimbank (1963) Idso dan Jackson (1969)
Dataran tinggi MBE RMSE %error
Dataran rendah MBE RMSE %error
0.02 0.01
0.03 0.02
-1.7 -1.5
0.005 0.017 0.018 0.024
-0.6 -1.9
0.00 0.01
0.02 0.02
-0.3 -0.7
0.026 0.030 0.016 0.022
-2.8 -1.7
-0.01 0.00
0.02 0.02
0.6 0.3
-0.01 0.020 -0.00 0.020
0.5 0.1
277 Tabel L5 Kinerja model empiris dan analisis penduga emisivitas langit cerah dikoreksi dengan (1 - ε)k (lanjutan) Model penduga εc = f(Pv) Ångström (1918) Brunt (1932) Niemelä (2001) εc = f(Ta, Pv) Boldrin dan Sovrano (1974) Brutsaert (1975) Satterlund (1979) Idso (1981) Prata (1996)
Dataran tinggi MBE RMSE %error
Dataran rendah MBE RMSE %error
0.01 -0.01 0.02
0.02 0.02 0.03
-1.1 0.9 -2.3
-0.01 0.020 0.003 0.020 0.046 0.050
0.5 -0.3 -5.1
0.00 0.01 0.02 0.03 0.01
0.02 0.02 0.03 0.04 0.02
-0.2 -1.1 -2.1 -3.5 -1.2
0.003 0.017 0.015 0.049 0.015
-0.3 -1.9 -1.6 -5.3 -1.6
0.020 0.020 0.020 0.050 0.020
Tabel L6 Kinerja model empiris dan analisis penduga emisivitas langit cerah dikoreksi dengan pengaruh awan dalam bentuk non-linier di dataran tinggi dan linier di dataran rendah Model penduga εc = f(Tdp) Clark dan Allen (1978) Berdahl dan Fromberg (1982) Martin dan Berdahl (1984) Berdahl dan Martin (1984) εc = f(Ta) Swimbank (1963) Idso dan Jackson (1969) εc = f(Pv) Ångström (1918) Brunt (1932) Niemelä (2001) εc = f(Ta, Pv) Boldrin dan Sovrano (1974) Brutsaert (1975) Satterlund (1979) Idso (1981) Prata (1996)
Dataran tinggi MBE RMSE %error
Dataran rendah MBE RMSE %error
0 0
0.02 0.02
-0.02 0
0 0
0.023 0.023
-0.010 0.005
0 0
0.02 0.02
0 0
-0 -0
0.023 0.023
0.044 0.021
0 0
0.02 0.02
-0.02 -0.02
-0 -0
0.024 0.024
0.027 0.036
0 0 0.03
0.02 0.02 0.04
-0.02 0 -3.1
0 -0 -0
0.023 0.023 0.030
-0.005 0.024 0.441
0 -0 0 -0 0
0.02 0.02 0.02 0.02 0.02
-0.01 0.01 -0.02 0.07 -0.01
0 0 0 -0 -0
0.023 0.023 0.023 0.024 0.030
-0.008 -0.005 -0.010 0.090 0.441
278 Lampiran 5 Nilai MBE, RMSE, % kesalahan pendugaan suhu langit pada pendugaan emisivitas langit terbaik Tabel L7 Kinerja model empiris dan analisis penduga suhu langit Model penduga εc = f(Tdp) Clark dan Allen (1978) Berdahl dan Fromberg (1982) Martin dan Berdahl (1984) Berdahl dan Martin (1984) εc = f(Ta) Swimbank (1963) Idso dan Jackson (1969) εc = f(Pv) Ångström (1918) Brunt (1932) Niemelä (2001) εc = f(Ta, Pv) Boldrin dan Sovrano (1974) Brutsaert (1975) Satterlund (1979) Idso (1981) Prata (1996)
Dataran tinggi MBE RMSE %error
Dataran rendah MBE RMSE %error
0 0
1.80 1.68
-0.38 -0.25
0 0
1.79 1.83
-0.11 -0.13
0 0
1.67 1.67
-0.23 -0.19
0 0
1.99 1.93
-0.17 -0.16
0 0
1.75 1.77
-0.35 -0.37
0 0
2.02 2.05
-0.17 -0.18
0 0 0
1.56 2.07 1.56
-0.22 -0.56 -0.20
0 0 0
1.82 2.00 2.15
-0.10 -0.18 -0.22
0 0 0 0 0
1.70 1.67 1.75 1.67 1.69
-0.33 -0.17 -0.38 0.46 -0.28
0 0 0 0 0
1.83 1.86 1.81 1.94 1.84
-0.13 -0.14 -0.11 -0.16 -0.13
279 Lampiran 6 Skema alat ukur suhu termokopel dengan prinsip kerja cold and hot juction.
A
B C
Op Amp Keterangan: A hot junction (sensor suhu) B wadah campuran hancuran es dengan air C cold junction
Vi
Vo
Gambar L3 Skema alat pengukur suhu termokopel dengan hot dan cold junction. Konstruksi Alat Alat pengukur suhu memiliki bagian-bagian utama sebagai berikut: sensor suhu, wadah campuran hancuran es dengan air, penguat operasional, catu daya DC, dan alat penampil keluaran. Sensor suhu berupa termokopel tipe T dan ada dua sambungan termokopel masing-masing berfungsi sebagai cold dan hot junction. Cold junction dimasukkan dan direndam di dalam wadah campuran hancuran es dan air. Hot junction diletakkan pada titik pengukuran suhu. Cold dan hot junction menghasilkan beda potensial dan untuk dapat ditampilkan pada penampil keluaran multimeter maka keluran kedua sambungan ini diperkuat dengan penguat operasonal. Penguat operasional membutuhkan catu daya DC yang stabil. Cara Kerja Alat Untuk dapat digunakan mengukur suhu, pertama-tama bagian penguat operasional di-nol-kan keluarannya. Cara meng-nol-kan penguat operasional adalah dengan memutus masukan dari sensor suhu dan bagian masukan alat penguat ditanahkan. Kenop pengatur diputar sehingga tampilan pada penampil multitester bernilai nol. Saat melakukan pengukuran, masukan dari sensor dihubungkan kembali. Suhu pengukuran ditampilkan di penampil multitester dalam satuan mV.
280 Kalibrasi Alat Kalibrasi alat dilakukan dengan menggunakan termometer air raksa standar untuk pengukuran meteorologi. Langkat pertama dalam kalibrasi alat adalah meng-nol-kan bagian penguat operasional alat pengukur suhu yang dibuat dan langkah terakhir adalah melakukan pengukuran. Pengukuran dilakukan terhadap suhu lingkungan pada pagi, siang dan sore hari. Hasil pengukuran diplotkan dan dibuat persamaan regresinyadan hasil persamaan regresi terlihat dalam Gambar L4. Persamaan regresi ini digunakan untuk mengoreksi hasil pengukuran alat pengukur suhu yang dibuat.
o
Termometer standar ( C)
.
22 21 20 19 18 17
T ts = 0.9971T alat + 0.0919
16
R = 0.9963
2
15 15
16
17
18
19
20
21
22
o
Keluaran alat yang dibuat ( C)
Gambar L4 Plot hasil pengukuran suhu termometer air raksa standar dengan hasil pengukuran alat pengukur suhu yang dibuat (Tts = suhu termometer standar, Talat = suhu hasil pengukuran alat).
Gambar L5. Foto alat pengukur suhu yang dibuat.
281 Lampiran 7 Skema, konstruksi, cara kerja dan kalibrasi alat ukur kecepatan angin
Gambar L6 Skema alat pengukur suhu dengan prinsip dasar “hot wire anemometer” dengan posisi kedua sensor tertutup saat mengatur potensial listrik keluaran (Vo) nol volt (a) dan satu sensor terbuka saat melakukan pengukuran (b). Konstruksi Alat Alat terdiri atas empat bagian utama, yaitu sensor, penguat operasional diferensial, catu daya DC yang stabil, dan penampil hasil pengukuran. Sensor terdiri atas dua sensor suhu berupa termokopel tipe T. Kedua sensor suhu ini dilekatkan pada tahanan yang berfungsi sebagai pembangkit panas yang stabil. Kedua sensor memiliki selubung penutup, satu selubung menutup sensor secara permanen, sedangkan selubung yang satunya dapat digeser sehingga sensor terkena aliran udara. Beda potensial yang terjadi dikuatkan dengan menggunakan penguat opersional diferensial. Untuk memanaskan tahanan sensor dan untuk memberikan catu daya ke rangkaian penguat dibutuhkan catu daya DC yang stabil. Untuk menampilkan hasil pengukuran digunakan multimeter. Cara Kerja Alat Alat bekerja dengan prinsip hot wire karena tahanan yang dialiri dengan aliran listrik DC yang stabil akan menjadi panas. Untuk meng-nol-kan keluaran
282 alat, yang merupakan cara untuk mengompensasi pengaruh suhu udara yang diukur, kedua sensor ditutup dengan masing-masing selubung. Kondisi ini digambarkan sebagai kondisi (a) pada skema diatas. Knop pengatur keluaran alat diatur sedemikian rupa agar keluaran alat benar-benar nol mV pada penampil keluaran. Setelah keluaran alat di-nol-kan, alat siap digunakan mengukur. Pengukuran dilakukan dengan cara: satu sensor dibuka selubungnya dan dalam kondisi terbuka (b) aliran udara mendinginkan sensor yang terbuka, sedangkan sensor yang didalam selubung tetap panas. Perbedaan kondisi ini menghasilkan beda potensial dan beda potensial yang terbentuk dikuatkan menggunakan penguat operasional diferensial untuk dapat ditampilkan pada penampil alat multitester. Kalibrasi Alat Pengukur Kecepatan Angin Kalibrasi alat pengukur yang dibuat dilakukan dengan menggunakan alat pengukur kecepatan angin anemometer standar Climomaster model A541 Kanomax Japan Inc. Alat anemometer standar menghasilkan pengukuran dalam m/s. Hembusan angin yang diukur dihasilkan dari kipas aksial 12 volt 0.125 A. Prosedur kalibrasi: 1. Pengukuran kecepatan angin dilakukan pada sisi hembusan kipas. 2. Pada kertas dibuat titik-titik pengukuran dengan jarak tertentu dari kipas, yaitu: 1, 2, 3, 5, 10, 15, dan 20 cm. 3. Kedua alat disiapkan dengan cara, khusus untuk alat yang dibuat, dilakukan peng-nol-an keluaran dengan cara seperti uraian di atas. Kemudian kedua alat digunakan berkali-kali mengukur kecepatan angin pada jarak yang tetap dari kipas, sehingga dihasilkan pengukuran dengan beda pengukuran yang berhampiran. Bila sudah dihasilkan pengukuran seperti ini, maka dikalibrasi siap dilakukan. 4. Alat anemometer standar dan alat pengukur yang dibuat digunakan untuk mengukur kecepatan angin pada jarak-jarak tertentu dari kipas secara acak sebanyak empat kali untuk setiap titik pengukuran. 5. Dibuat plot antara hasil pengukuran anemometer standar (dengan satuan m/s) dan alat pengukur yang dibuat (dengan satuan mV), seperti terlihat didalam gambar di bawah ini. 6. Dibuat persamaan regresi antara kedua hasil pengukuran alat. Persamaan regresi ini digunakan untuk mengubah hasil keluaran alat pengukur yang dibuat, dari kecepatan angin dengan satuan mV menjadi kecepatan angin dengan satuan m/s.
Keluaran Anemometer (m/s)
.
283
4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
V anemo = 0.0511mV alat - 0.0482 2
R = 0.9968
0
20
40
60
80
100
Keluaran alat pengukur yang dibuat (mV)
Gambar L7 Plot antara hasil pengukuran anemometer standar dengan alat pengukur kecepatan angin yang dibuat.
Gambar L8 Alat pengukur kecepatan udara yang dibuat.
Gambar L9 Sensor alat pengukur kecepatan udara.
284
Lampiran 8 Komposisi dinding tembok bangunan instalasi penyimpanan dingin
I
Keterangan: A. Plester semen B. Batako berlubang C. Stiroform D. Kertas aluminium foil I Radiasi surya Two Suhu permukaan dinding luar Twi Suhu permukaan dinding dalam
Two B
C
I
Twi
A
A
D
Gambar L10 Penampang melintang dinding instalasi dan aliran panas secara konduksi. Radiasi surya yang mengenai permukaan luar dinding instalasi menyebabkan suhu permukaan dinding meningkat melebihi suhu permukaan dinding bagian dalam dan menyebabkan terjadi perpindahan panas secara konduksi.
285 Lampiran 9 Beberapa jenis sayur-sayuran, metode precooling, penyimpanan yang disarankan, dan masa simpana Jenis sayursayuran
Nama Latin
Metode precooling
Kentang Bawang daun Sayuran bumbu: - Marjoram - Oregano - Peppermint - Rosemary - Sage - Tarragon Bumbu: - Basil - Ketumbar - Dill Sawi
Solanum tuberosum L. Allium porrum L.
H,V
Ocimum basilicum L. Coriandrum sativum L. Anethum graveolens L. Brassica rapa L.
<12oC <0oC <0oC H,F
Radicchio Lobak Salad: - Mizuna - Rugula Bok choy atau pak choy Rubarber Kubis
Cichorium intybus, L. Raphanus sativus
C H
Brassica rapa L. Eruca vesicaria L. Brassica campestris L. ssp chinensis Rheum rhabarbarum L. Brassica oleracea L. var. capitata L. Brassica oleracea L. Apium graveolens L. Lactuca sativa L.
V
Beta vulgaris Daucus carata L.
Brokoli Seledri Selada: - Bulat - Butterhead - Rumana Bit Wortel
Origanum hortensis Didinginkan O. vulgare L. segera di atas Mentha piperita L. 0oC Rosmarinus officinalis L. Salvia officinalis L. Artemesia dracunculus L.
Bunga kol
Brassica oleracea L., Botrytis
Parsley
Petroselinum crispum (Mill) Foeniculum vulgaris (Mill) Capsicum Annul, L. Cucumis sativus L. Brassica campestris
Fennel Paprika Mentimun Lobak cina
Penyimpanan optimum yang dianjurkan 15-20oC 0oC, RH 95-100% 0oC RH 90-95%
Masa simpan 2-3 bulan 1-2 minggu
0oC RH 95-100% 0oC RH 98-100% 3-6 bulan PE dilubangi 3-5o C Rh 90% 20-30 hari 0oC RH 90-95% 3-4 minggu
dekat 0oC
0-2o C RH 95100% 0-5o C RH 95%
H,F H
0oC RH 95-100% 2-4 minggu 0oC RH 98-100% -
H,F H,V dekat 0oC V
0oC RH 98-100% 0oC RH > 95% 5-7 minggu 0oC RH 98-100% 2 minggu Kemasan individu film PE
H,F dicuci dengan air dingin H
0oC RH > 98% 10-14 hari 0oC RH 98-100% -
-
H,F
0oC RH 95-100% 3 minggu CA O2 < 2% + 3-5% CO2 0oC RH 95-100% 1-2 bulan
H
0oC RH 90-95%
2 minggu
F H,F dicuci dengan air dingin
7oC RH 90-95% 12.5o C RH 95% 0oC RH 90-95%
2-3 minggu <14 hari 4-5 bulan
H hydro-cooling, F udara dingin bertekanan, V pendinginan vakum, C ruang dingin, a USDA (2005).
286 Lampiran 10 Tampak atas dari gambar piktorial saluran udara yang dirancangbangun
287 Lampiran 11 Gambar teknik saluran udara yang dirancang-bangun
288 Lampiran 12 Foto alat perlengkapan saluran udara dan saat dioperasikan
2
1
2
Gambar L11 Alat penukar panas. (1) untuk pendinginan okturnal, (2) evaporator.
Gambar L12 Alat penyebar udara (diffuser) saat instalasi dioperasikan.
Gambar L13 Alat penyebar udara saat instalasi dioperasikan.