SISTEM KEPEMIMPINAN PADA KOMUNITAS ADAT KARAMPUANG DI KABUPATEN SINJAI THE LEADERSHIP SYSTEM OF KARAMPUANG CUSTOM COMMUNITY IN SINJAI REGENCY $EGXO+D¿G Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 883748/885119, Faksimile (0411) 883734 DEGXOKD¿G#\DKRRFRP Diterima: 20 Januari 2014; Direvisi: 5 Maret 2014; Disetujui: 12 Mei 2014 ABSTRACT This study aims to describe the system of traditional leadership in Karampuang custom community, including its leadership structure and the role of custom leader. Leadership in a tribal community is based on custom which has been a tradition. This study is a descriptive with a qualitative approach. Techniques of collecting data DUHLQWHUYLHZREVHUYDWLRQDQGOLWHUDWXUH7KH¿QGLQJVKRZVWKDW.DUDPSXDQJFXVWRPFRPPXQLW\LVOLIHLQDQ DUHDZKLFKLVIXO¿OOHGE\VWDQGDUGFXVWRPDU\UXOHV7KHVHFXVWRPDU\UXOHVKDYHERXQGWKHPLQDQDGKHUHQFH to the custom leader (Arung/Tomatoa). In daily life, Arung or Tomatoa as custom leader is always strive to stay abreast for the habits outlined by the ancestors. The Activities and leadership community in a custom institution of Karampuang are in the hand of Ade’Eppae’ (the four traditional leaders), such as: Arung, Ade’, Sanro and Guru. Ade’Eppae’ is in a central position in the implementation of life in Karampuang, either in the implementation of ritual process or the traditional governance. Keywords: Traditional leadership, custom community, Karampuang ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan sistem kepemimpinan secara tradisional oleh komunitas adat Karampuang, termasuk struktur kepemimpinan dan peran pemimpin adatnya. Kepemimpinan dalam suatu kelompok masyarakat adat didasarkan pada adat istiadat yang telah menjadi tradisi. Tulisan ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data berupa wawancara, pengamatan, dan studi pustaka. Hasil temuan menunjukkan bahwa komunitas adat Karampuang hidup dalam suatu kawasan adat yang dilengkapi dengan aturanaturan adat yang baku. Aturan-aturan adat tersebut telah mengikat mereka dalam suatu kepatuhan kepada pemimpin adatnya (Arung/Tomatoa). Dalam kehidupan sehari-hari, Arung atau Tomatoa sebagai pimimpin adat selalu berusaha untuk tetap mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang telah digariskan oleh leluhur atau nenek moyangnya. Aktivitas dan kepemimpinan masyarakat dalam lembaga adat Karampuang berada di tangan Ade’Eppae’ (empat tokoh adat), yaitu: Arung, Ade’, Sanro dan Guru. Ade’Eppae’ memiliki posisi sentral dalam pelaksanaan kehidupan di Karampuang, baik dalam pelaksanaan proses ritual maupun pemerintahan tradisional. Kata kunci: Kepemimpinan tradisional, komunitas adat, Karampuang
PENDAHULUAN Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah mampu untuk hidup seorang diri tanpa ada orang lain, dalam keadaan apapun manusia cendrung untuk hidup berkelompok. Menurut Merlina (2008:642), dalam tulisanya diungkapkan bahwa pengelompokan sosial antara lain dilandasi oleh adanya persamaan kepentingan antarsesama anggota kelompok. Kelompok manusia dengan
kepentingan yang sama itulah yang dinamakan dengan sebutan masyarakat. Manusia dalam hidupnya selalu berupaya menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kelompok budayanya masing-masing di mana mereka hidup. Indonesia merupakan bangsa yang heterogen atau multi etnis, dalam arti terdiri atas beberapa suku bangsa dan adat istiadat. Keragaman ini merupakan aset atau kekayaan yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. Dengan keanekaragaman ini tentunya 77
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 77—91 menimbulkan beberapa kelompok masyarakat sebagai pendukung kebudayaan, yang satu sama lain akan berbeda dalam tata cara dan kebiasaan dari kelompok masyarakat tersebut, di antaranya adalah masyarakat adat atau disebut dengan istilah komunitas adat. Kelompok masyarakat seperti tersebut di atas, dapat pula disebut dengan istilah komunitas adat. Komunitas adat ini merupakan kesatuan sosial yang sudah ada sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan biasanya memiliki sistem pemerintahan sendiri (pemerintahan tradisional). Keberadaan komunitas-komunitas adat tersebut masih dapat kita temukan dalam masyarakat dengan budaya dan adat istiadat yang sangat khas atau unik, di antaranya adalah sistem religi. Dalam mewujudkan kepentingan bersama suatu kelompok masyarakat, manusia mengorganisir dirinya serta menciptakan perangkat aturan dan sistem pengendalian sosial yang sesuai dengan lingkungan tempat mereka hidup dan bergaul bersama. Dalam melaksanakan peraturan dan sistem pengendalian sosial tersebut diperlukan seorang pemimpin. Sehingga kehidupan kelompok masyarakat adat dapat berlangsung teratur dan teroganisir karena dipimpin oleh seorang ketua adat (Merlina, 2008:643) Lanjut Merlina mengemukakan, bahwa dalam suatu kelompok masyarakat, terdapat dua jenis pemimpin yakni pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal adalah pemimpin yang diangkat dan ditunjuk oleh pemerintah secara resmi, di mana kepemimpinan tersebut tersimpul dalam suatu jabatan, misalnya dalam lingkungan pemerintahan (kepala desa). Sementara pemimpin informal atau disebut juga headship yang merupakan tipe yang tidak mendasarkan pada pengangkatan serta tidak terlihat pada struktur organisasi resmi. Namun HIHNWL¿WDVNHSHPLPSLQDQLQIRUPDOWHUOLKDWSDGD pengakuan nyata dan penerimaan bawahan dalam praktek kepemimpinannya. Tipe kepemimpinan informal ini diakui oleh sebagian masyarakat karena dianggap orang terbaik atau dituakan di lingkungan masyarakatnya. Orang-orang seperti ini memiliki kemampuan menjaga amanah serta memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakatnya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat (1992:199) bahwa 78
seorang pemimpin informal dianggap berhasil mendekati masyarakat karena kedekatannya, keluwesannya dan atau kharismanya. Kedua tipe pemimpin tersebut, baik pemimpin formal maupun pemimpin informal akan mencapai pengakuan dari pihak yang dipimpin. Pemimpin sejati mencapai status mereka karena pengakuan sukarela dari pihak yang dipimpin. Seorang pemimpin harus mencapai serta mempertahankan kepercayaan orang lain. Dengan sebuah surat keputusan, maka seseorang dapat diberikan kekuasaan besar tetapi hal tersebut tidak secara otomatis membuatnya menjadi seorang pemimpin dalam arti yang sebenarnya. Berdasarkan uraian seperti tersebut di atas, daerah Sulawesi-Selatan khususnya di daerah pedesaan terdapat beberapa kelompok masyarakat yang masih teguh memegang tradisi warisan para leluhurnya. Salah satu kelompok masyarakat yang masih menjunjung tinggi dan patuh terhadap aturan-aturan atau norma-norma dan pengetahuan lokalnya adalah komunitas adat Karampuang. Mereka ini adalah sekelompok orang yang PHQJLGHQWL¿NDVL GLUL VHEDJDL SHQGXNXQJ DGDW Karampuang, yang mendiami wilayah Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai. Hingga saat ini masyarakatnya masih sangat terikat dan patuh terhadap nilai-nilai budaya lokalnya (tradisi) serta terhadap ketua adat atau pimpinan adatnya yang disebut dengan nama Arung atau Tomatoa. Dalam hal ini Arung sebagai pemimpin informal, sangat berpengaruh dalam mengatur berbagai kehidupan pada mayarakat adat Karampuang. Sehubungan dengan itu, maka tulisan ini menjadi penting untuk dilakukan secara sistematis guna mengkaji mengenai ”Sistem kepemimpinan tradisional dalam komunitas adat Karampuang, yang merupakan khazanah budaya bangsa dan menjadi dasar pembentukan karakter dan jatidiri bangsa. Dalam kondisi yang demikian, maka perumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: ”Bagaimana sistem kepemimpinan tradisional pada komunitas adat karampuang”. Adapun tujuan penulisan artikel ini pada intinya adalah untuk memberi gambaran secara komprehensip mengenai sistem kepemimpinan tradisional pada komunitas adat Karampuang. Artikel ini diharapkan pula dapat
Sistem Kepemimpinan pada Komunitas... $EGXO+D¿G
memberikan informasi atau masukan kepada berbagai kalangan yang berkepentingan demi terpeliharanya kelestarian nilai-nilai budaya dalam kepemimpinan tradisional pada umumnya dan komunitas adat Karampuang pada khususnya. Selain itu, juga dapat menjadi bahan apresiasi bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam pengembangan dan pembinaan kebudayaan nasional. Serta dapat pula memberikan bahan refrensi bagi peneliti, para praktisi hukum adat dan pemerhati pluralisme hukum, dan kepada para decision maker khususnya pemerintah dan legislatif dalam mengambil kebijakan. Dalam mengkaji permasalahan pada tulisan ini, terlebih dahulu dijelaskan beberapa konsep atau pengertian oleh para ilmuawan yang terdapat di dalamnya, guna menjadi acuan atau kerangka pemikiran untuk kepentingan operasional. Konsep atau pengertian yang dimaksud dalam tulisan ini, adalah konsep tentang kepemimpinan dan komunitas. Menurut Weber dalam Fatimah (2011:76) bahwa ada tiga tipe kepemimpinan umat manusia, yakni tradisional, rasional-legal, dan kharismatik. Lanjut beliau mengemukakan bahwa kepemimpinan tradisional adalah orde sosial yang bersandar kepada kebiasaan-kebiasaan kuno dengan nama status, dan hak-hak pemimpin juga sangat ditentukan oleh adat kebiasaan. Berbeda dengan tipe kepemimpinan rasional-legal, di mana semua peraturan tertulis dengan jelas dan diundangkan dengan tegas, maka batas wewenang para pejabat ditentukan oleh aturan main, kapatuhan dan kesetian tidak ditujukan kepada pribadi para pejabat melainkan kepada lembaga yang bersifat impersonal. Sedangkan kepemimpinan ’karismatik’ adalah seorang pemimpin atau raja yang mempunyai sifat keramat. Selanjutnya, Merlina (2008:645) bahwa kepemimpinan itu tidak akan lepas dari masalah kekuasaan dan wewenang, karena keduanya sangat berpengaruh terhadap kepemimpinan. Kekuasaan mempunyai pengaruh yang dapat menentukan nasib berjuta-juta manusia. Kekuasaan senantiasa ada di dalam setiap masyarakat, baik pada masyarakat yang masih bersahaja atau sederhana, maupun pada masyarakat yang sudah kompleks susunannya. Kekuasaan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan wewenang
adalah suatu hak yang telah ditetapkan dalam satu tata tertib sosial untuk menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan-keputusan mengenai masalah penting dan untuk menyelesaikan SHUWHQWDQJDQSHUWHQWDQJDQ DWDX NRQÀLNNRQÀLN yang terjadi Sebagaimana halnya dengan kekuasaan, maka wewenang juga dapat dijumpai di manamana, walaupun tidak selamanya kekuasaan dan wewenang berada dalam satu tangan atau satu orang. Dengan kata lain, seseorang yang mempunyai wewenang bertindak sebagai orang yang memimpin atau membimbing orang banyak. Jadi wewenang yang dimaksud itu, adalah hak yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang. Hal tersebut tanpak dengan jelas perbedaan antara kekuasaan dengan wewenang, adalah setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan. Sedang wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat. Dari kekuasaan dan wewenang inilah yang menjadikan seorang pemimpin eksis pada kelompoknya. Dalam suatu kelompok masyarakat yang hendak hidup dengan teratur, maka kekuasaan dan wewenang yang ada harus dibagi dengan teratur pula, sehingga jelas bagi setiap orang di tempat mana letaknya kekuasaan dan wewenang dalam organisasi secara vertikal dan horizontal. Demikian halnya dengan kelompok sosial tertentu seperti komunitas adat mempunyai sistem kepemimpinan dengan otorisasi tradisional yang dimiliki sekaligus wewenang muncul secara alami pula. Sejalan dengan itu, kepemimpinan adalah suatu kemampuan untuk mengajak atau mengarahkan orang-orang tanpa memakai wibawa atau kekuatan formal jabatan (Malik dikutip oleh Manda, 2008:59). Lanjut beliau mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah sebagai tipe khusus hubungan kekuasaan yang ditandai oleh pandangan anggota kelompok, bahwa anggota kelompok lain memiliki hak untuk menentukan pola perilaku supaya memperhatikan terlebih dahulu aktivitasnya sebagai anggota kelompok. Selanjutnya, Farid dikutip oleh Manda, (2008:59) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah pengendali, pengarah, pembimbing dan penentu corak human relation didasarkan pada landasan-landasan etika sehingga 79
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 77—91 keteraturan dalam kepemimpinan adalah tepat jika dirumuskan dalam keetika-an kepemimpinan. Bagi pemimpin yang beretika adalah pemimpin yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Sementara itu, konsep tentang komunitas adat atau sering pula disebut dengan istilah masyarakat adat, merupakan istilah umum untuk dipergunakan menyebut suatu kelompok masyarakat yang teguh memegang adat istiadat dan aturan adat. Dalam konteks tertentu, komunitas adat merupakan suatu kelompok sosial yang dapat dinyatakan sebagai masyarakat setempat, dan suatu kelompok yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu dengan bataa-batas tertentu pula serta dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, memiliki peraturan adat yang menjadi pedoman pratikal dalam kehidupan mereka, memiliki pranata sosial dan mempunyai jati diri yang membedakan dengan masyarakat lainnya, serta dikuatkan keberadaannya dengan produk hukum (Bustamin, 2011:12). Lanjut menurut Taneko (1984:78) bahwa komunitas adat merupakan suatu kelompok sosial yang dapat dinyatakan sebagai masyarakat setempat, suatu kelompok yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu dengan batas-batas tertentu pula dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dilingkupi oleh perasaan kelompok yang kuat diantara anggotanya. Sedangkan masyarakat adat adalah merupakan gabungan dari komunitas-komunitas adat yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang dipimpin oleh salah seorang ketua adat (Rosyadi, 2011:334). %HUGDVDUNDQ EHEHUDSD GH¿QLVL WHQWDQJ kepemimpinan dan komunitas adat, maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan dalam komunitas adat adalah kemampuan seseorang, baik melalui kharisma maupun otoritas tradisional yang dimiliki untuk mengatur atau mengarahkan segala aspek yang berhubungan dengan kehidupan suatu kelompok manusia dalam lokalitas tertentu termasuk kawasan adat.
80
METODE Untuk mewujudkan tulisan ini, diperlukan pula adanya suatu metode dalam pengumpulan datanya. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam tulisan ini yaitu melalui studi kepustakaan, pengamatan atau observasi, dan wawancara. Studi pustaka merupakan langka awal atau studi pendahuluan untuk mengumpulkan data skunder yang berkenaan dengan masalah yang akan diteliti. Data dan informasi yang diperoleh melalui studi pustaka digunakaan untuk latar belakang dan juga sebagai bahan rujukan atau referensi dengan kenyataan yang ada di lokasi penelitian. Pengamatan (observasi), dilakukan secara langsung di lapangan baik terhadap berbagai aktivitas dan perilaku komunitas adat Karampuang, maupun terhadap kondisi daerah penelitian dan hal-hal yang relevan dengan tujuan penelitian tersebut. Wawancara yang dilakukan secara mendalam (indepth interview) terhadap informan yang terdiri dari ketua adat serta perangkat adat lainnya, tokoh masyarakat baik yang tinggal dalam kawasan Karampuang maupun yang tinggal di luar kawasan, budayawan dan pemerintah setempat. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data mengenai sistem kepemimpinan tradisional yang berlaku dalam masyarakat adat Karampuang di Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai. PEMBAHASAN 3UR¿O:LOD\DK.RPXQLWDV$GDW.DUDPSXDQJ Karampuang adalah nama sebuah kampung yang terletak sekitar 31 kilometer arah barat Ibu Kota Kabupaten Sinjai yang memiliki sejarah panjang serta beberapa keunikan yang disandangnya. Kampung Karampuan ini berada dalam wilayah Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai, dan sekaligus desa ini dijadikan lokasi penelitian dengan melalui berbagai pertimbangan, di antaranya bahwa desa ini adalah tempat bermukimnya sekelompok PDV\DUDNDW \DQJ PHQJLGHQWL¿NDVL GLUL VHEDJDL komunitas adat Karampuang. Secara etimologi, Tompobulu berasal dari dua kata yaitu tompo dan bulu. Tompobulu berasal dari bahasa daerah Makassar dialek Konjo yang berarti puncak sedangkan bulu berarti gunung atau bukit. Jadi
Sistem Kepemimpinan pada Komunitas... $EGXO+D¿G
Tompobulu berati puncak gunung atau bukit ( 2009 ). Desa Tompobulu J ilo eter waktu jarak ilo eter i perjalanan s
waktu Secara administratif wilayah Desa Tompobulu terletak pada batas wilayah yaitu : Sebelah utara berbatasan dengan Sungai Tangka Kecamatan Bonto Cani Kabupaten Bone. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Bulu Tellue Kacamatan Bulupoddo. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Duampanuae Kecamatan Bulupoddo. dan Sebelah barat berbatasan dengan Desa Turungan Baji Kecamatan Sinjai Barat. Kawasan rumah adat Karampuang yang lokasinya berada di tengah bukit berbatu, dapat dilalui dengan dua pintu gerbang. Masuk dan keluar dari kawasan rumah adat tidak ada ketentuan pintu yang harus dilewati, tergantung dari jalur yang mau dilewati pada saat orang datang. Bila kedatangannya melalui jalur Desa BulutelluE dapat melalui pintu II (pintu barat). Sedangkan bila orang yang datang melalui Desa Tompobulu, bisa lewat melalui pintu I (pintu utara) maka jalur masuk dan keluar biasanya lewat pintu utara (pintu I). Namun, karena kondisi sarana jalan Desa Tompobulu rusak saat ini, sehingga umumnya pengunjung melalui Desa BulutelluE.
Gambar. Pintu Gerbang I
Untuk memasuki kawasan rumah adat Karampuang dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat, namun hanya bisa sampai sekitar 1 kilometer dari pintu gerbang. Kemudian untuk menjangkau rumah adat dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 500 meter dari tempat memarkir kendaraan, karena kondisi jalanan menuju rumah adat berupa gundukan batu gunung. Setelah berjalan kaki sekitar 500 meter, maka yang tampak pertama adalah rumah adat Gella, selanjutnya rumah adat Tomatoa (Arung) dengan jarak 100 meter dari rumah adat Gella, yang terletak di lembah batu dengan ke dalaman sekitar 10 meter dari bukit bebatuan. Lihat gambar berikut:
Foto. 3 Rumah adat Gella Foto. 1 Pintu gerbang II
81
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 77—91 sepanjang jalan atau berjejer mengikutu sisi sebelah menyebelah jalanan, menuju ke lokasi rumah adat.
r
. Bentuk pada komunitas
, umumnya Foto. 4 Rumah adat Arung/Tomatoa
Kedua rumah adat yang berarsitektur Bugis kuno seperti tersebut di atas, adalah rumah adat yang didiami oleh pemangku adat, seperti Arung/ Tomatoa (pemimpin adat) dan satu di antaranya lagi didiami oleh Gella (pelaksana tugas Arung). Rumah adat Karampuang yang dimiliki bersama tentunya akan dipelihara secara bersama-sama, karena bangunan tersebut selain sebagai tempat kediaman jabatan para pemangku adat, juga difungsikan untuk keperluan yang sifatnya ritual lainnya atau keagamaan, termasuk kegiatan yang sifatnya ritual keislaman, seperti pada perayaan kelahiran Nabi Muhammad swt, perayaan Isro Mi’raj (miraje) dan kegiatan adat lainnya. Bahkan pada masa lampau, di mana kedua rumah adat tersebut, baik rumah adat Arung maupun rumah adat Gella dapat fungsikan untuk dilaksanakan shalat hari raya (shalat Idul Fitri dan shalat Idul Adha). Namun karena saat ini, jumlah penduduk di Karampuang makin bertambah, sehingga pelaksanaan hari raya dilaksanakan di mesjid atau di lapangan. Adapun pelaksanaan ritual yang bernuansa kepercayaan tradisional akan dipimpin oleh Sanro, dan ritual yang bernuansa keagamaan dipimpin oleh Guru. Kedua perangkat adat tersebut di atas, akan melakoni perannya sesuai dengan tugas masing-masing. Sanro dipercayakan untuk menyiapkan dan mengatur makanan, khususnya sesaji yang akan digunakan dalam ritual serta mantra-mantra yang dimilikinya. Sedangkan Guru bertugas memimpin doa yang bernuansa Islam pada setiap diadakan ritual Pola permukiman komunitas adat Karampuang umumnya membangun rumah di 82
Posisi rumah penduduk Komunitas adat Karampuang letaknya tidak satu pun ada yang mendekat pada ke dua rumah adat. Hal ini GLVHEDENDQNDUHQDNRQGLVLJHRJUD¿VGLNDZDVDQ rumah adat berupa pegunungan yang tidak merata, sehingga sangat tidak memungkinkan untuk dijadikan sebagai tempat mendirikan bangunan rumah yang berdekatan dengan rumah adat Karampuang. Untuk menunjang sarana kehidupan dan penghidupan, masyarakat adat Karampung memiliki sarana dan prasarana ekonomi berupa pasar tradisional, dibangun tepatnya di tengah pemukiman mereka dan bahkan pasar tersebut berada di perbatasan Dusun Karampuang yang menuju ke rumah adat. Demikian halnya sarana tempat ibadah berupa mesjid, dimana tempat ibadah ini terdapat dalam kawasan adat Karampuang yang dianggap bagi mereka sebagai tempat yang strategis, agar mereka mudah dijangkau oleh semua anggota masyarakat adat Karampuang. Latar Belakang Sosial Budaya. Masyarakat yang tergolong dalam etnis Bugis-Makassar, hingga saat ini tampak masih mewarisi oleh nilai-nilai kultural dari masa lalu. Salah satu warisan dari struktur sosial itu adalah adanya sistem pelapisan sosial yang masih tampak dan nyata di kalangan mereka, yaitu terdiri dari
Sistem Kepemimpinan pada Komunitas... $EGXO+D¿G
tiga tingkatan, pertama keturunan bangsawan dengan sapaan Puang atau Andi (Bugis), Karaeng (Makassar), sementara tingkatan kedua adalah keturunan orang biasa yang dikenal dengan sapaan tau sama, yang terakhir adalah tingkatan yang paling rendah atau budak/hamba sahaya, dalam pengistilahan bahasa Bugis dikenal dengan istilah ata. Untuk kelompok masyarakat tingkatan ketiga saat ini sulit untuk diketahui, sekalipun mereka masih ada dalam kehidupan masyarakat tetapi mereka cendrung menutupinya dan lebih senang menyebut diri sebagai orang biasa saja. Namun demikian, struktur sosial seperti yang telah disebutkan di atas, tidak dikenal dalam komunitas adat Karampuang. Kelompok komunita adat ini hanya mengenal dua strata sosial yaitu Tomatoa dan Gella dan masyaraakat umum (to biasa atau to sama) dan tidak dikenal adanya ata (hamaba sahaya) seperti yang ada dalam struktur sosial masyarakat lainnya yang ada di Sulawesi-Selatan. Semua warga komunitas adat Karampuang posisinya sama tidak ada yang berbeda, semua dianggap anak oleh Tomatoa sebagai pimpinan adat. Adapun istilah struktur sosial pada kawasan adat Karampuang, yaitu disebut dengan istilah jiji (susunan). Jiji terdiri atas dua kelompok masyarakat, yaitu jiji Tomatoa dan jiji Gella. Yang termasuk dalam rumpun jiji Tomatoa yaitu Sanro,dan Guru karena jabatan itu hanya dibolehkan dari garis keturunan mereka. Sedangkan jiji Gella terdiri atas rumpun Gella dan rakyat biasa, jabatan Gella dapat dari keturunan Gella atau dari kalangan rakyat lainnya (Manda, 2008:148). Jabatan Tomatoa dan Gella itu bukanlah predikat kebangsawanan seperti raja dalam masyarakat Bugis dan Makassar pada umumnya. Tomatoa dan Gella adalah kepemimpinan politik dan spiritual yang tidak ditularkan melalui hubungan darah. Anak seorang Tomatoa tidak akan memiliki gelar, sebagaimana layaknya dengan anak-anak/keturunan raja yang diberi gelar kebangsawanan seperti Andi, Petta, Opu, Karaeng, Daeng dan sebagainya. Anak Tomatoa dan anak Gella tidak berbeda dengan anak-anak lainnya. Ini terjadi karena sistem pemilihan kepemimpinan komunitas adat Karampuang (Tomatoa) selain berdasarkan keturunan atau darah mereka, baik itu secara horizontal maupun secara pertikal,
juga lebih menekankan kepada kualitas dan kemampuan pribadi dan pengabdiannya kepada adat. 6HVXDLGHQJDQNRQGLVLJHRJUD¿VZLOD\DK Desa Tompobulu, penduduk umumnya menggantungkan hidupnya dengan mengolah lahan pertanian di sekitar pemukimannya. Lahanlahan pertanian yang terletak pada dasar jurang yang curam, pengolahannya dilakukan dengan mengandalkan tenaga manusia. Untuk lahan persawahan ditanami padi (ase) sebanyak dua kali dalam setahun, yang diselingi tanaman jagung (bata) sekali dalam setahun. Sebagai wilayah adat, penduduk dalam mengolah lahan pertaniannya tidak mengenal sistem buruh yang diupah, tetapi dilakukan dengan sistem saling membantu terutama pada musin tanam dan panen hasil. Rasa solidaritas diantara mereka masih terjaga sampai saat ini. Menurut puang Mangga bahwa bagi warga komunitas adat Karampuang yang dianggap tidak mampu akan diberi kesempatan menggarap tanah adat (Galung accapengngeng) selama 3 tahun, kemudian dipindahkan ke warga lainnya. Pengaturan pengolahan lahan tanah adat (persawahan atau perkebunan) ditentukan oleh Gella. Sebagian dari hasil pengolahan lahan persawahan dan perkebunan diserahkan ke rumah adat untuk keperluan upacara-upacara adat (Hasil wawancara, 13 September 2013) Dalam ritual adat senantiasa pula menyertai VHWLDSWDKDSDQDNWL¿WDVGDODPSHUWDQLDQEDKNDQ sistem kepercayaan pun masih tetap hidup dalam jiwa mereka. Yang menjadi pemimpin dalam VHWLDSDNWL¿WDVWDKDSDQEHUWDQLDWDXXUXVDQXUXVDQ ritual adalah para pemangku adat. Misalnya, ritual yang berhubungan dengan masalah pertanian serta kehidupan rakyat banyak, maka yang menjadi penanggung jawab atau pemimpin adalah Gella (seperti upacara sebelum menanam padi diadakan ritual mappatinro henne (menidurkan benih), upacara mabbissa lempu (setelah menanam padi) dan ritual ammanre ase lolo (dilakukan setelah panen selesai). Gella-lah yang menjadi pemimpin atau komando dalam memulai pelaksanaan setiap ULWXDODGDW\DQJ\DQJEHUNDLWDQDNWL¿WDVSHUWDQLDQ baru kemudian diikuti petani lainnya. Selain yang berpofesi sebagai petani, juga terdapat penduduk di desa ini yang bermata pencaharian di sektor lain, seperti pegawai negeri, 83
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 77—91 TNI, wiraswata, tukang kayu, tukang batu dan pedagang kelontongan. Namun warga komunitas adat Karampuang hanya sebagian kecil bekerja sebagai pegawai negeri atau keluar mencari pekerjaan di tempat lain. Mengingat mereka pada dasarnya hanya cukup mengandalkan lahan yang ada di sekitar mereka yang ia miliki. Namun hal tersebut tidak dapat dilakukan dengan mudah, mengingat keterampilan yang mereka miliki cukup terbatas hanya relevan dalam dimensi pertanian. Khususnya pada wanita yang tidak memiliki anggota keluarga yang dapat mencari nafkah, mereka memilih menjadi buruh pemecah kemiri. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki, maka pekerjaan sebagai buruh pemecah kemiri merupakan pekerjaan yang relevan untuknya. Karampuang sebagai dusun yang ada sejak ribuan tahun yang lalu, dan merupakan sebuah perkampungan tua yang menyimpang banyak peninggalan-peninggalan purba. Peninggalanpeninggalan purba tersebut tetap dijaga dan dipertahankan sebagai bahagian dari kehidupan, bahkan dijadikan sebagai bagian dari ritual mereka. Meskipun warga komunitas adat Karampuang seluruhnya menganut agama Islam dan memiliki sikap terbuka terhadap penerapan ajaran dan syariat Islam, akan tetapi tidak seluruhnya dipraktekkan secara konsisten dan konsekuen, terutama pada halhal yang bersifat gaib atau unsur kepercayaan pada nenek moyang mereka yang masih melekat dalam diri mereka. Hal ini terbukti dalam kehidupan mereka, tetap diwarnai oleh ritual-ritual adat pra Islam. Dan sampai saat ini, komunitas adat Karampuang tetap mempertahankan tradisi atau ritual-ritual yang ditransmisi dari leluhurnya, dan hampir setiap aktivitas selalu diwarnai dengan ritual-ritual tertentu. Oleh karena itu, para pemangku adat di Karampuang memiliki posisi yang sangat sentral dalam pelaksanaan kehidupan komunitas adat Karampuang, baik memiliki peran sebagai pelaksana pemerintahan tradisional, maupun memiliki tanggung jawab terhadap terlaksananya prosesi ritual yang nantinya akan menjadi pemimpin dalam urusan-urusan ritual tersebut. Misalnya, pada pelaksanaan pesta adat mappagau hanua, di mana pesta adat ini merupakan sebagai ritual yang berkaitan dengan hal-hal sakral, 84
dewa-dewa atau orang-orang suci, keramat dan sekaligus untuk mengenang leluhur mereka, maka yang menjadi penanggung jawab adalah Arung. Sedang ritual yang berhubungan dengan masalah tanah dan pertanian, maka yang menjadi penanggung jawab adalah Gella. Kemudian Sanro memiliki tanggung jawab yang berhubungan dengan kesejahteraan, kesehatan warga (seperti mappalesso ase, mabbali sumange), sementara itu upacara keagamaan seperti ritual maulu dan ritual miraj, yang menjadi tanggung jawab adalah Guru. Sinkretisme antara kepercayaan animisme dengan ajaran Islam pada komunitas adat Karampuang saat ini berjalan beriringan, dan disatu sisi mereka menganut agama Islam, dan di sisi lain mereka tetap melakukan ritual-ritual leluhurnya pada zaman pra Islam. Sistem Kepemimpinan Tradisional dalam Komunitas Adat Karampuang Tomanurung: Cikal bakal pemimpin di Karampuang Tomanurung di Karampuang, tampaknya sangat kurang sumber sejarah yang dapat menjelaskan, penulis hanya saja menelusuri beberapa hasil penelitian/tulisan terdahulu tentang Komunitas adat Karampuang. Diantaranya adalah Sanusi dikutip oleh Manda (2008:23), bahwa Turunnya To Manurung berawal pada bagian puncak Bukit Carapo atau secara khusus disebut cimbo, di tempat inilah pertama kali To Manurung menampakkan diri. Kehadiran sosok yang tidak dikenal di puncak sebuah bukit tersebut, diyakini sebagai leluhur orang-orang Karampuang, yakni disebut dengan nama To Manurung. To artinya orang sedangkan Manurung artinya yang turun atau yang tiba-tiba muncul dan tak diketahui asal-usulnya. Kehadirannya yang secara misterius tersebut memberikan kesan luar biasa, sehingga membuat bulu roma merinding yang dalam bahasa Bugis karampulue. Kemudian orang ini dikenal dengan Manurungnge ri Karampulue, dari kata ini kemudian diadopsi menjadi nama Kampung Karampuang. Muhannis dalam tulisannya (2013:4Manurung 5) mengemukakan bahwa s KarampuluE langkah awal dari kepemimpinannya
Sistem Kepemimpinan Pada Komunitas... $EGXO+D¿G
bersama dengan rakyatnya. Lahan sawah yang dibuka oleh To Manurung sampai saat ini masih tetap terpelihara dan dijadikan sebagai sawah adat Pada saat To Manurung berkuasa ia berpesan kepada rakyatnya, bahwa eloka tuo, tea mate, eloka madeceng, eloka madeceng, tea maja (saya mau hidup, tidak mau mati, saya inginkan kebaikan, tidak mau keburukan). Ungkapan
.S ia menyampaikan pesan tersebut menghilang (mallajang), tak lama kemudian To Manurung
muakkelo kuakkeloriyo
. Dengan adanya pesan bernada ancaman tersebut, a Ellung Maangenre, Bonglangi, Bontona barua, Carimba, Lante Amuru dan Tassese. untuk memperlancar jalannya pemerintahan pada keenam kerajaan tersebut, To Manurung Karampuang (pemimpin Karampuang pada masa itu) menganjurkan untuk membentuk masing-masing dua Gella. bentuk gella Gell bulu, Biccu, Salohe, Tanete, Maroanging, Anakarung, Munte, Siung, Sulewatan Salohe, Gella Pengepena Satengna. Satengnga,
To Manurung mallajang To M anurung
Batu lappa’e
To Manurung nonnono makkale lembang, numaloppo kuallinrungi, numatanre kuaccinaungi, makkelo kuakkelori, ualai lisu
) Lanjut beliau mengemukakan bahwa u kan
kan
dan sampai saat ini masih tersimpan di rumah adat Karampuang. Kelak benda inilah yang dijadikan sebagai arajang. Menurut Basrah (2005:73), Istilah arajang dalam konteks warga Karampuang adalah sebagai suatu simbol kebesaran yang harus dipertahankan sebagai bagian dan hidup dengan tradisinya. Dalam kesehariannya, fungsi arajang bukanlah untuk disembah dengan berbagai cara yang tidak rasional, tetapi hanyalah sebagai simbol dari kekuasaan dan sekaligus sebagai tongkat komando dari pemimpin mereka. arajang To Manurung arajang berupa atau galung. Menurut Muhannis bahwa untuk arajang berupa sawah-sawah yang berhak mutlak mengelolanya adalah di tangan Arung yang disebut dengan akkinannrena arungnge, s lari tana dan dikelolah Gella yang disebut dengan Galung Accapengngeng. Adapun p tersebut,
85
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 77—91 S
komunitas
(Hasil wawancara, 13 September 2013). Untuk menghormati To Manurung leluhur orang-orang Karampuang pada masa itu, di mana bentuk 3:5 cikal bakal To Manurung di Karampuang yang diyakini sebagai leluhur orang-orang Karampuang atau sebagai pemimpin pada masa itu, kemudian diwarisi kepada pemimpin generasi berikutnya, dan kini disebut dengan nama Arung (Tomatoa) artinya orang yang dituakan atau pemimpin dalam komunitas adat Karampuang. Struktur Kepemimpinan dalam Kelembagaan Adat Karampuang. Salah satu problematika yang ditemukan pemerintah saat ini adalah lemahnya daya dukung antara satu lembaga dengan lembaga lain setelah sistem monoloyalitas dicabut. Dengan lemahnya daya dukung di atas cendrung mengakibatkan kontrol menjadi longgar dan membuka peluang untuk terjadinya penyimpangan. Namun demikian aliran pesimistik yang ada di tengah masyarakat mengakui bahwa masih banyak pemimpin yang memiliki hati nurani dan mendapat tempat di hati warganya, termasuk pemimpin-pemimpin tradisional. Salah satu contoh pemimpin tradisional yang masih bertahan hingga dewasa ini adalah Lembaga Adat Karampuang (Manda, 2008:121). komunitas
D
Arung/Tomatoa
oleh peran Arung/Tomatoa dalam statusnya sebagai tokoh masyarakat yang memiliki kharisma yang punya nilai lebih dibanding yang lainnya. Aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemimpin formal dengan berbagai programnnya dipatuhi dan dilaksanakan, sepanjang ada koordinasi dengan Tomatoa (Arung). Jadi koordinasi antara Arung dan para pemimpin formal menjadi kata kunci dalam mengatur roda kehidupan masyarakat Desa Tompobulu terutama komunitas adat Karampuang. Hal ini dilakukan dalam rangka mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. L Tomatoa i
Arung Ade
Ade’Eppa’e Tomatoa Gella
Sanro
Guru Arung Tomatoa Ade gella
Guru Sanro n
Arung Tomatoa api tettong arung tana tudang ade rekko sanro wae euju guru oa eppa aliri tetteppona hanuae, dari Lontara Karampuang
86
K
annya
arung anging sanro guru
Sistem Kepemimpinan Pada Komunitas... $EGXO+D¿G
atas, Arung yang f Tomatoa, Gella Sanro Gella a
Guru
. Berdasarkan informasi dari salah seorang pemangku adat yang bernama Puang Mangga (Gella),
.M Gella dia
Sanro
Guru
v Arung
akan
K Adapun Struktur Kelembagaan Adat Karampuang adalah sebagai berikut:
teppa raungna
ajukkajue, akan tetapi
Adapun ( ) Engka hubungang
darana Struktur Lembaga Adat Karampuang Sumber : Hasil wawancara Gella dan Muhannis
Arung Tomatoa , memiliki Arung
Arung (
)
Gelar Tomatoa dan Gella dipakai pada saat kedua pemangku adat tersebut berperan sebagai pengadilan dan pengambil keputusan dalam suatu sengketa, sedangkan kata Arung dan Ade dipakai pada saat mereka berperan sebagai pelaksana pemerintahan tradisional Karampuang tersebut di
. (2) Mabbali pangngara . (3). Deggaga lahanna . (4) De’na . (5) makkara-kara Maummuru . (6). Paissengi ri ade . (7). Paisseng ri gau . (8). Nacoe taue . (9). dan (10). Mappakatau Mappalece (Muhannis, 2003:8). Meskipun dalam kebiasaan orang-orang Karampuang mensyaratkan calon pemimpin harus berasal dari kasta yang sama dengan yang akan diganti, namun kualitas pribadi tetap menjadi acuan pertama sehingga jabatan dalam masyarakat tidak boleh diwariskan begitu saja sebelum ditetapkan oleh lembaga musyawarah serta seluruh warga yang disebut dengan istilah mabbahang (wawancara Muhannis, 13 September 2013).
87
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 77—91 Peranan Ade’Eppae’ dalam Komunitas Adat Karampuang Dalam suatu komunitas, tentunya sangat dibutuhkan kehadiran pemimpin sebagai tokoh yang mampu untuk mengayomi seluruh kelompoknya dalam melaksanakan aktivitasnya. Tradisi komunitas adat Karampuang, di mana kepemimpinannya diserahkan kepada empat tokoh adat dengan peran yang berbeda-beda. Sebagai seorang pemimpin adat, akan mendapat titipan amanah dari para leluhur agar selalu memelihara dan memperkuat adat istiadat setempat. Mereka bertanggung jawab terhadap implementasi adat istiadat di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Mereka mengatur, mengarahkan, dan mengendalikan kehidupan masyarakat agar senantiasa mengikuti jalur adat yang merupakan tugas utamanya. Dengan demikian, aktivitas kehidupan masyarakat yang terkait dengan adat berada di bawah garis komandonya. Ketentuan tersebut berlaku bagi warga pendukungnya pada tradisi komunitas adat Karampuang. Para pengikutnya, tidak hanya terbatas di Karampuang, melainkan juga melebar ke kampung-kampung lainnya baik yang ada di dalam maupun di luar Desa Tompobulu. Ade’Eppa’e seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa Arung ditempatkan Ade’Eppa’e perannya
Bali tudangeng Ana’ Malolo Ana’ Malolo Arung Ana’ Malolo Gella komunitas adat Karampuang seperti kerajaan Bugis, Makassar
peranan Pabbicara 88
Pattola Pattola Arung Arung Arung Tomatoa sebagai pemimpin dalam kelembagaan adat Karampuang j gella gellareng sanro guru Arung dalam menjalankan kepemimpinannya sebagai pemimpin adat mempunyai peran sebagai pembuat kebijakan terhadap pelaksanaan kehidupan masyarakat Karampuang. Selain itu, juga sebagai pengambil keputusan akhir setelah melalui pertimbangan Ade atau Gella dan Ana’ Malolo yang merupakan penentu dari persengketaan yang terjadi. Ade atau Gella mempunyai peran sebagai orang yang memperhatikan seluruh perilaku kehidupan masyarakat adat. Apabila di antara mereka ada yang bersengketa, maka Gella yang menjadi orang pertama yang menampung dan mengadilinya. Dalam proses penyidangannya, di mana peran Gella dalam menangani suatu kasus/sengketa berupaya untuk mendamaikan dengan memberikan pertimbangan-pertimbangan tertentu, dan apabila upaya Gella tidak diterima atau tidak menghasilkan perdamaian, maka diteruskan atau dilanjutkan kepada Arung atau Tomatoa sebagai keputusan terakhir yang bersifat PHQJLNDWGDQ¿QDOVHUWDWLGDNELVDGLJXJDWODJL Selanjutnya, Sanro yang merupakan satu-satunya perempuan dalam lembaga adat Karampuang mempunyai peranan yang sangat penting sebagai pelindung komunitas adat Karampuang dari segala bahaya yang akan terjadi, baik dari wabah penyakit maupun dari kekuatan supranatural. Sanro
a
dia pinati di
Karampuang ana’ malolo gella
papajo
Ana’ Malolo paggenrang
Sistem Kepemimpinan Pada Komunitas... $EGXO+D¿G
mangade’ Pemangku adat yang terakhir adalah Guru yang mempunyai peranan sebagai pengembang pendidikan baik pendidikan duniawi (umum) maupun ukhrawi (agama) Guru J
teppu batu tenrilesang
de’na lura bicara
katte J ϐ
a
Selain
Ade’Eppae’,
Guru
doja mengurus kebersihan Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Ade’Eppa’e eran Ade’Eppa’e sebagai pelaksana pemerintahan tradisional, melainkan juga memiliki peran dalam pelaksanaan prosesi ritul. Sebagai contoh pada pelaksanaan upacara adat mappugau hanua, yang menjadi penanggung jawab adalah Arung, upacara memulai tanam padi dan panen dipimpin oleh Gella. Selanjutnya, upacara adat kecil seperti mappalesso ase, mabbali sumange dipimpin oleh Sanro. Sedangkan maulu dan miraj dipimpin oleh Guru. Peranan Ade’Eppae’ sebagai lembaga adat atau lembaga musyawarah juga memiliki peran sebagai
Tomanurung Berkaitan dengan keempat tokoh adat tersebut, dalam menjalankan tugasnya masingmasing diberi fasilitas berupa kamar pada rumah adat Karampuang. Hal tersebut sudah menjadi ketentuan adat, agar dalam menjalankan tugasnya dapat dengan mudah berkoordinasi dengan sesama tokoh adat dan warga komunitas. Pada rumah adat Tomatoa terdapat empat kamar yang diperuntukkan kepada Sanro, Arung/Tomatoa, Guru, dan Ana Malolo. Sedangkan pada rumah adat Gella terdapat dua kamar yang diperuntukkan kepada Gella dan Ana Malolo. Prinsip hidup sederhana (kamasemase) tercermin pada kondisi masing-masing rumah adat. Implementasi dari hal tersebut salah satunya dapat dilihat dari setiap kamar yang berukuran sekitar 2x3 meter hanya dilengkapi dengan satu jendela, dan tempat tidurnya hanya berupa kasur dan bantal seadanya. Kamar untuk sanro selain sebagai tempat beristirahat, juga difungsikan sebagai tempat menyimpan peralatan dapur atau peralatan yang biasa digunakan dalam upacara-upacara adat, seperti, baki, bakul, baskom, piring, dan lainnya. Dari informasi yang disampaikan oleh Gella (Puang Mangga) bahwa rumah adat Karampuang itu merupakan rumah jabatan bagi Ade Eppae (Arung, Sanro Guru, Gella) dan Ana Malolo, kendati demikian mereka tetap memiliki rumah pribadi masing-masing (Hasil wawancara, 14 September 2013).
89
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 77—91 PENUTUP Sistem kepemimpinan komunitas adat Karampuang merupakan salah satu aspek kehidupan yang didasarkan pada adat istiadat setempat. Adat istiadat itu di antaranya diekspresikan dalam bentuk tradisi, aturan, kepercayaan atau pantangan-pantangan. Hingga saat ini, hal-hal seperti itu masih hidup dan betahan dalam jiwa komunitas adat Karampuang. Komunitas adat Karampuang sangat patuh terhadap pimimpin adatnya yang disebut dengan istilah Arung (Tomatoa). Pemimpin adat serta perangka adat lainnya merupakan sosok ideal dan panutan masyarakat dalam mempertahankan adat istiadat warisan leluhurnya. Kepatuhan pemangku adat terhadap hal-hal yang terkait dengan adat diwujudkan dalam keseharian mereka. Oleh karena itu, pengaruh kedudukan dan peranan pemimpin adat terhadap warga masyarakat sangat besar dan kuat. Pada suatu sisi ditunjukkan oleh kepatuhan warga masyarakat terhadap Arung selaku pemimpin adat. Sisi lainnya, Arung menjadi panutan warga masyarakat sebagai tempat meminta pendapat dalam berbagai hal. Dalam mengatur pemerintahaannya, mereka masih menggunakan tipologi kepemimpinan tradisional yang berbentuk kesatuan empat pemangku adat yang disebut dengan istilah Ade’Eppae’ (adat empat) yaitu; Arung atau Tomatoa (raja yang dituakan), Gella (pelaksana tugas raja), Sanro dan Guru. Selain itu, mereka juga masih tetap konsisten mempertahankan tradisi yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. Struktur kepemimpinan Ade’Eppae’ dalam komunitas adat Karampuang menempatkan Arung pada posisi pemegang kekuasaan tertinggi dalam dewan adat, dan sekaligus merupakan pemegang tongkat komando pemerintahan adat. Arung dalam menjalankan roda kepemimpinannya, dibantu oleh Bali Tudangeng (pendamping atau asistem) yani Ana’ Malolo. Fungsi utama Ana’ Malolo dalam struktur dewan adat adalah sebagai Pabbicara (hakim), Pappajo (juru penerang) dan Suro (diplomat). Selain itu, Arung juga masih memiliki sejumlah pembantu yang lainnya, seperti Adekke (dewan adat) yang terdiri; Gella atau Gellareng, Sanro, dan Guru. Hingga saat ini, struktur kepemimipinan Ade’Eppae’ masih 90
mempunyai kewenangan/kekuasaan untuk menentukan dan memberikan sangsi kepada warga masyarakat yang melakukan pelanggaran adat. Meskipun saat ini sudah diatur dalam sistem pemerintahan formal, namun demikian, hubungan Arung atau Tomatoa sebagai pemimpin adat (informal) dengan pemimpin formal (pemerintah) masih tetap terjalin dengan baik dalam berbagai hal, termasuk dalam hal penyelesaian senketa adat yang terjadi di kawasan adat Karampuang. Peranan Ade’Eppae’ tidak hanya untuk terlaksananya prosesi ritual, melainkan juga sebagai pelaksana pemerintahan tradisional. Ade’Eppae’ dalam menjaga kelestarian budaya Karampuang, tetap memegang peranan penting dalam meniti dan menata kehidupan masyarakat pendukungnya melalui penerapan kontrol sosial yang lebih bijak. Dalam kondisi yang seperti ini, maka peranan Ade’Eppae’ sebagai lembaga adat atau lembaga musyawarah memiliki kedudukan tertinggi, dan juga merupakan pengambil keputusan terakhir setelah melalui pertimbangan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi dalam kawasan adat. Segala kebijakan yang akan ditempuh dilakukan secara bersamasama oleh pemangku adat tersebut, termasuk di dalamnya pelaksanaan ritual, proses peradilan dan berbagai hal yang berdimensi sosial, religius. Apabila ada diantara mereka yang tidak menerima sebuah keputusan, maka keputusan tersebut menjadi batal. DAFTAR PUSTAKA Ansaar. 2009. Makna Simbolik Arsitektur Rumah Adat Karampuang di Kabupaten Sinjai. (Makalah tidak terbit). Makassar: BPNB. Basrah, 2005. “Sistem Pengetahuan Lokal Dalam Pengetahuan Mitos Berbasis Masyarakat di Kawasan Hutan Adat Karampuang”. (Tesis). Makassar: Program Pacasarjana Universitas Hasanuddin. Bustamin, Abd. Latif 2011. Teknik Inventarisasi Kepercayaan Komunitas Adat. Makalah Dalam Kegiatan Bimbingan Teknis Kepercayaan Komunitas Adat. Bandung: Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film. Fatimah, Sitti 2011. “Kepemimpinan Tradisional
Sistem Kepemimpinan Pada Komunitas... $EGXO+D¿G
Masyarakat Minangkabau Pada Masa Pendudukan Jepang”. Dalam Jurnal Tingkap. Vol. VII No. 1. BPSNT Padang. Koentjaraningrat. 1991. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. ---------------------. 1992. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Merlina, Nina 2008. “Sistem Kepemimpinan Pada Masyarakat Kasepuhan Cicarucub Provinsi Banten”. Dalam Jurnal Penelitian Vol 40, No 2. BPSNT Bandung Manda, Darman. 2008. “Komunitas Adat Karampuang di Sinjai: Suatu Analisis Antropologi Agama”. (Disertasi). Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Muhannis. 2002. Mengenal Lembaga Adat Karampuang Kabupaten Sinjai. (Makalah). Sinjai: Yayasan Pusat Kebudayaan Sinjai. ------------- 2009. Karampuang dan Bunga Rampai Sinjai. Yogyakarta: Pustaka Timur. --------------. 2013. Karampuang dan Bunga
Raampai Sinjai. Cet. II. Yogyakarta: Ombak. --------------. 2003. Akuntabilitas Kepemimpinan D a l a m Tr a d i s i M a s y a r a k a t A d a t Karampuang Kabupaten Sinjai. Makalah, disajikan dalam rangka Tudang Siade’ Sejarah Karampuang. Rosyadi. 2011. “Komunitas Adat Kampung Mahmud di Tengah Arus Perubahan”, dalam Jurnal Patanjala Vol.3 No.2 . BPSNT Bandung. Soekanto. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. -DNDUWD375DMD*UD¿GR3HUVRGD Somantri, Ria Andayani. 2011. “Lembaga Adat Di Kasepuhan Cipta Mulya Desa Sinar Resmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat”, dalam Jurnal Patanjala Vol. 3 No. 2 . BPSNT Bandung. Taneko. 1984. Struktur dan Proses Sosial Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Jakarta: Rajawali.
91