SINTESIS NANOPARTIKEL EKSTRAK SIRIH MERAH (Piper crocatum) DAN KAJIAN SISTEM PENGANTARANNYA
KUN TANTI DEWANDARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sintesis Nanopartikel Ekstrak Sirih Merah (Piper Crocatum) dan Kajian Sistem Pengantarannya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013 Kun Tanti Dewandari NRP F251100111
RINGKASAN KUN TANTI DEWANDARI. Sintesis nanopartikel ekstrak sirih merah (Piper crocatum) dan Kajian Sistem Pengantarannya. Dibimbing oleh SEDARNAWATI YASNI dan SRI YULIANI. Sirih merah merupakan salah satu tanaman obat yang dapat dimanfaatkan sebagai minuman fungsional, karena mengandung senyawa fitokimia dari golongan alkaloid, flavonoid, dan tanin yang berkhasiat sebagai antihiperglikemik dan antioksidan. Rasa ekstrak daun sirih merah yang pahit dan rendahnya bioavailabilitas bahan aktif suatu ekstrak tanaman merupakan kendala yang perlu dicarikan solusinya. Upaya meningkatkan bioavailabilitas dapat dilakukan dalam bentuk nanopartikel, karena bentuk nanopartikel akan memperluas permukaan sehingga aktivitasnyapun akan meningkat. Tujuan utama dalam merancang partikel nano sebagai suatu sistem pengantaran senyawa aktif adalah untuk (1) mengontrol ukuran partikel, sifat permukaan dan pelepasan agen farmakologi aktif untuk mencapai target senyawa pada tingkat optimal; (2) meningkatkan stabilitas senyawa; dan (3) mengontrol sifat pelepasan senyawa aktif. Penelitian ini merupakan salah satu alternatif untuk diversifikasi produk pangan fungsional berbasis sirih merah guna meningkatkan efektivitas penggunaan daun sirih merah serta biovaibilitasnya. Peluang pengembangan teknologi nano melalui teknik enkapsulasi formula ekstrak berbasis sirih merah dalam matrik nano diharapkan dapat meningkatkan sifat fungsionalnya, agar penggunaannya sebagai fitofarmaka menjadi lebih optimal. Penelitian diawali dengan ekstraksi senyawa aktif sirih merah menggunakan metode maserasi dan refluks. Pada ekstrak yang diperoleh dilakukan uji fitokimia dan analisis yang meliputi rendemen, kapasitas antioksidan, total fenol, concentration providing 50% inhibition (IC50) dan analisis komponen volatil senyawa aktif. Tahap kedua adalah sintesis nanopartikel menggunakan metode gelasi ionik dengan 4 konsentrasi kitosan yaitu 0,1%, 0,2%, 1% dan 2%. Pada masing-masing konsentrasi ditentukan ukuran partikel dengan menggunakan Particle Size Analyzer (PSA), pengujian aktivitas fungsionalnya dan pengukuran kestabilannya. Tahapan ketiga adalah pengeringan semprot untuk mendapatkan nanopartikel dalam bentuk bubuk dengan bahan pengisi maltodekstrin (M) dan kombinasi antara maltodekstrin dan isolat protein kedelai (MISP). Tahapan keempat adalah pengkajian sistem pengantaran produk enkapsulasi berdasarkan uji disolusi dan uji bioaccessibility. Ekstrak sirih merah diketahui mengandung senyawa polifenol, tanin dan flavonoid. Ekstraksi menggunakan metode maserasi memberikan hasil yang lebih baik daripada metode refluks, yaitu rendemen 7,2 ± 0,25%, kapasitas antioksidan 10892,86 ± 6,06 AAE ppm dengan IC50 46,51 ± 0.05 dan kadar total fenol 2388,37 ± 0,3 mg/100gr. Komponen volatil dari ekstrak sirih merah dengan cara maserasi dan refluks didominasi oleh golongan monoterpen, yaitu sabinen dan mirsen. Formula nanopartikel dengan konsentrasi 0,2% masih memiliki nilai kapasitas antioksidan yang tinggi dan mempunyai ukuran partikel terkecil, yaitu sebesar 197,20 ± 11,68 nm dengan nilai indek polidispersitas sebesar 0.235 ± 0.03
dan kestabilan yang baik ditunjukkan oleh nilai zeta potensial sebesar 32.75±2.11 mV. Pengeringan semprot yang dilakukan terhadap konsentrasi ekstrak terpilih menggunakan bahan pengisi maltodekstrin dan isolat protein kedelai menunjukkan bahwa bahan pengisi kombinasi isolat protein kedelai 20% dan maltodekstrin 80% memberikan hasil yang baik, nilai aktivitas antioksidan lebih tinggi dibanding perlakuan bahan pengisi maltodekstrin 100% (M), walaupun terjadi peningkatan ukuran partikel hingga menjadi 8266,9 ± 1134,9 nm, Dari hasil foto Scanning Electron Microscopy, morfologi nanopartikel menyerupai bentuk bola dengan permukaan kasar dan berkerut. Hasil uji stabilitas pada beberapa pH selama 7 hari penyimpanan menunjukkan bahwa kerusakan senyawa fenol pada pH tinggi (6, 7 dan 8) lebih banyak dibandingkan pada pH rendah (2, 3 dan 4). Hasil pengujian bioavailabilitas dengan metode disolusi menunjukkan bahwa pelepasan senyawa fenol pada medium basa berjalan lebih cepat dibandingkan pada medium asam. Pada medium basa pelepasan maksimal terjadi pada menit ke 180 untuk sampel nanopartikel dan MISP, sedangkan pada medium asam, pelepasan terbesar pada sampel ekstrak sebesar 96,51% diikuti oleh sampel maltodekstrin 49%, sampel nanopartikel 42,78% dan sampel MISP 39%. Hasil pengujian bioacessibility menunjukkan bahwa kandungan total fenol masih dapat ditemukan di dalam lambung, tetapi tidak semua dapat digunakan hingga ke dalam usus karena sebagian terbuang dan masuk ke dalam kolon. Semua sampel yang diujikan mempunyai potensi sebagai inhibitor enzim alfa glukosidase dengan nilai penghambatan ekstrak, nanopartikel, M, MISP dan acarbose berturutturut 83,44±0,494 %; 28,21±1,124 %; 16,49±0,330 %; 15,36±0,202% dan 65,76±2,362%. Nanopartikel sirih merah dapat digunakan sebagai salah satu alternatif produk nutraseutikal yang lebih tahan pada kondisi asam. Pelepasan senyawa fenol terkendali pada kondisi asam, sedangkan pada kondisi basa terlepas lebih cepat. Formula nanopartikel kitosan konsentrasi 0,2% yang dikeringkan dengan bahan pengisi maltodekstrin 80% dan isolat protein kedelai 20% memberikan sifat fungsional yang baik serta tahan terhadap kondisi asam. Kata kunci : sirih merah, nanopartikel, kitosan, disolusi, bioacessibility
SUMMARY KUN TANTI DEWANDARI. Synthesis of Nanoparticles of Extracts of Red Betel (Piper Crocatum) and Its Delivery System . Supervised by Sedarnawati Yasni and Sri Yuliani Red betel plant is one of medicinal plants that can be used as an ingredient of functional drinks, because it contains phytochemical compounds such as alkaloids, flavonoids, and tannins having antihyperglycemic and antioxidant properties. Bitter flavors of red betel leaf extract and its low bioavailability are a problem. To improve the bioavailability can be done in the nanoparticles, because the surface of the nanoparticles will expand so the activity will increase. The main goals in designing nanoparticles as a delivery system for the active compound is (1) to control the particle size, surface properties and release of active compounds to achieve a target compounds at optimum levels, (2) increase the stability of the compound, and (3 ) to control the release of active compounds. This study provides diversification product of red betel-based functional food to increase its effectiveness and bioavailability. Development of nanoencapsulation of extracts of red betel is expected to improve its functional properties. The first stage of this study is extraction of active compounds of red betel using maceration and reflux method. The extract was analysed for its phytochemical compounds, yield, antioxidant capacity, total phenol, concentration providing 50% inhibition (IC50) and the profile of volatile components. The second stage is the synthesis of nanoparticles using ionic gelation method with four concentration of chitosan (0.1%, 0.2%, 1% and 2%) with 10% extract. At this stage, product characterization includes particle size, functional activities and stability are measured. The third stage is encapsulation using spray drying with two different encapsulants, i.e.maltodextrin (M) and a combination of maltodextrin and soy protein isolate (MISP). The fourth stage is examining delivery system by using dissolution technique and bioaccessibility assay. Red betel extracts contain polyphenols, tannins and flavonoids. Maceration method gave better results than the reflux method (yield of 7.2 ± 0.25%, ± 6.06 10892.86 antioxidant capacity AAE ppm with IC50 46.51 ± 0.05, and total phenolic content of 2388.37 ± 0.3 mg/100g). Volatile components of red betel extracts were dominated by the monoterpenes, which were sabinene and myrcene. Nanoparticles with a concentration of chitosan 0.2% still had a high antioxidant capacity values with smallest particle size (197.20 ± 11.68 nm), polydispersity index of 0.235 ± 0.03 and zeta potential of 32.75 mV ± 2.11 Spray drying using maltodextrin 80% and soy protein isolates 20% gave higher antioxidant activity but increased particle size value (8266.9 ± 1134.9 nm). Nanoparticle morphology showed spherical shapes with rough and wrinkle surface. The pH during storage showed more destabilization of phenolic compounds at high pH (6, 7 and 8) than in low pH (2, 3 and 4). Dissolution assay showed that the release of phenolic compounds in alkaline medium was faster than that in acidic medium. In the alkaline medium, the maximum release occurred at the 180th minute for both nanoparticles solution and MISP capsule powder, whereas in the acidic medium, the highest release was
observed at free extract (96.51%) followed by maltodextrin capsule powder (49%), nanoparticle solution (42.78%). Bioacessibility analysis show that phenolic content was found in the stomach, with some part was wasted. All samples had alpha-glucosidase inhibitor properties (83.44 ± 0.494%, 28.21 ± 1.124%, 16.49 ± 0.330%; 15.36 ± 0.202% and 65.76 ± 2.362%) for nanoparticle solution, maltodextrin capsule powder, MISP capsule powder and acarbose, respectively. Red betel nanoparticles can be used as an alternative nutraceuticals products that are more resistant to acidic conditions. The release of phenolic compounds in acidic conditions can be controlled, but under alkaline conditions more faster than in acidic concentration. The best formula is encapsulate with maltodextrin 80% and soy protein isolate 20% and contains nanoparticle of 0.2% chitosan provide good functional properties. Nanoparticle powder with maltodextrin 80% and soy protein isolate 20% provide good functional properties and resistant to acidic conditions. Keywords: red betel, nanoparticles, chitosan, dissolution, bioacessibility
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
SINTESIS NANOPARTIKEL EKSTRAK SIRIH MERAH (Piper crocatum) DAN KAJIAN SISTEM PENGANTARANNYA
KUN TANTI DEWANDARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Didah Nur Faridah, STP, MSi
Judul Tesis Nama NIM
: Sintesis Nanopartikel Ekstrak Sirih Merah (Piper Crocatum) dan Kaj ian Sistem Pengantarannya : Kun Tanti Dewandari : F2511 00 111
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
~rC
Prof Dr Ir Sedarnawati Yasni, MAgr Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi llmu Pangan
\
Tanggal Ujian: 20 Mei 2013
TanggaJ Lulus:
1 9 AUG 2013
Judul Tesis Nama NIM
: Sintesis Nanopartikel Ekstrak Sirih Merah (Piper Crocatum) dan Kajian Sistem Pengantarannya : Kun Tanti Dewandari : F251100111
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Sedarnawati Yasni, MAgr Ketua
Dr Ir Sri Yuliani, MT Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 20 Mei 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 ini mengenai sirih merah dan kajian sistem pengantarannya dengan judul Sintesis Nanopartikel Ekstrak Sirih Merah (Piper Crocatum) dan Kajian Sistem Pengantarannya. Tesis ini merupakan hasil penelitian yang didanai oleh Proyek KKP3T (Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi) tahun anggaran 2012. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof.Dr.Ir. Sedarnawati Yasni, MAgr selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Sri Yuliani, MT selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis selama melakukan penelitian dan memberikan kritik serta saran selama penyusunan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr.Ir. Didah Nur Faridah yang telah bersedia menjadi penguji luar pada ujian tesis dan memberikan saran-saran untuk perbaikan tesis. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Badan Litbang Pertanian yang telah memberi beasiswa belajar, Bapak Ir. Rudy Tjahjohutomo, MT selaku kepala balai, bapak dan ibu peneliti di Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, yang tidak dapat disebut satu persatu yang telah memberikan dorongan moril selama penulis melaksanakan tugas belajar. Ucapan terima kasih ditujukan juga kepada laboran dan teknisi di Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian : Citra, Idris, Ibu Dini, Ibu Pia, Mas Tri, Dwi, Mas Yudi yang telah membantu selama pelaksaan penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada laboran dan teknisi laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Ungkapan terima kasih ditujukan pula kepada teman-teman IPN 2010, Komang, Pipit, Ratna, Tika, Ame, Mbak Maria, Mbak Rara, Sadek, Pak Cecep, Umi, Mbak Farah dan yang lainnya yang tidak dapat disebut satu persatu yang bersedia membantu dan berbagi suka duka selama kuliah dan penelitian. Terakhir, terima kasih tak terhingga kepada suami tercinta Diner Y.E Saragih, SP, MSE dan anakku tersayang Theresia Ayuditha Saragih atas hilangnya waktu dan kebersamaan serta doa dan kasih sayangnya. Kepada bapak ibu tercinta, Bapak KRT.Prodjoharjono, SH dan Ibu Sumijati, SIP atas doa, kasih sayang, perhatian yang tak ternilai. Kepada mbak Anik, mbak Nuning, mas Bowo dan mas Anto atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013 Kun Tanti Dewandari
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
xi xii xii xii
1 PENDAHULUAN Dasar Pertimbangan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Sirih Merah Nanopartikel kitosan Nanoteknologi pada produk pangan Bioaccessibility 3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi Sirih Merah Rendemen, Kapasitas Antioksidan dan Total fenol Ekstrak Analisis Komponen Volatil Ekstrak Sirih Merah Sintesis Nanopartikel Stabilitas Nanopartikel Sifat Fungsional Nanopartikel Pengeringan Semprot (Spray Drying) Nanopartikel Ekstrak Sirih Merah Stabilitas pada Penyimpanan Kapasitas Antioksidan serta Total Fenol Struktur mikrokapsul Uji disolusi in vitro pada medium asam dan basa Uji bioaccessibility secara in vitro Penghambatan enzim α-glukosidase 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1 3 3 3 3 3 4 5 6 7 7 7 8 12 12 14 15 16 19 20 21 22 24 25 26 28 30 31 31 32 33 40
DAFTAR TABEL 1. Uji fitokimia ekstrak sirih merah 2. Data rendemen, kapasitas antioksidan dan total fenol ekstrak sirih merah 3. Profil senyawa volatil ekstrak sirih merah yang teridentifikasi dengan GC-MS 4. Ukuran nanokitosan sirih merah pada berbagai konsentrasi 5. Hasil analisis sifat fungsional nanopartikel 6. Konsentrasi total fenol pada pH asam selama penyimpanan 7 hari 7. Konsentrasi total fenol pada pH basa selama penyimpanan 7 hari 8. Hasil pengujian sifat fungsional 9. Penghambatan enzim α-glukosidase
13 14 16 18 20 23 23 24 31
DAFTAR GAMBAR 1. Interaksi kitosan dengan TPP (a) deprotonasi, (b) ikatan silang ionik 2. Sampel nanokitosan sirih merah 3. Bubuk nanopartikel (A) kombinasi 80% maltodekstrin,20% Isolat Protein Kedelai dan (B) Maltodekstin 100% 4. Struktur nanopartikel hasil foto SEM 5. Hubungan waktu terhadap pelepasan total fenol pada medium basa 6. Hubungan waktu terhadap pelepasan total fenol pada medium asam 7. Skema penyerapan senyawa fenol dalam tubuh 8. Hasil uji bioaccessibility nanopartikel sirih merah
17 18 22 25 26 27 29 29
DAFTAR LAMPIRAN 1. Skema penelitian 2. Analisa dengan GC-MS 3. Prosedur Analisa 4. Uji anova total fenol, IC50 dan kapasitas antioksidan nanopartikel 5. Uji anova indeks polidispersitas, ukuran partikel dan zeta potensial 6. Uji statistik pengaruh perlakuan terhadap pH selama penyimpanan 7. Uji statistik rendemen dan sifat fungsional ekstrak 8. Hasil uji ukuran nanopartikel dengan PSA 9. Hasil uji zeta potensial nanopartikel
40 41 43 45 47 49 50 51 53
1 PENDAHULUAN Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya hayati terbesar kedua setelah Brazil dengan lebih dari 30.000 spesies tanaman, walaupun hanya sekitar 300 spesies tanaman yang terdaftar pada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang telah digunakan untuk bahan obat tradisonal (jamu) oleh industri obat tradisional (Depkes 2007). Menurut laporan BPS (2004) sejumlah 7.000 spesies merupakan tanaman obat, dan 4.500 spesies diantaranya berada di Pulau Jawa. Tanaman obat dan rempah asli Indonesia menjadi salah satu keunggulan komparatif bagi daya saing Indonesia, khususnya untuk mengembangkan produk pangan fungsional, karena senyawa fitokimia yang terkandung di dalam tanaman obat dan rempah asli Indonesia memiliki khasiat tertentu yang bermanfaat untuk menjaga kesehatan tubuh. Pengembangan produk pangan fungsional berbahan dasar tanaman obat dan rempah asli Indonesia yang memiliki aktivitas antihiperglikemik sangat diperlukan untuk menunjang upaya pemerintah mengurangi peningkatan jumlah penderita diabetes. Indonesia menduduki peringkat keempat sebagai negara dengan penderita diabetes mellitus terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat, Cina dan India. Penderita diabetes saat ini berjumlah 13,7 juta orang, dan dapat meningkat menjadi 20,1 juta pada 2030 (Antara 2011). Hal ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang terjadi sebagai akibat dari ketidakmampuan pankreas untuk memproduksi insulin yang cukup atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin yang diproduksinya dengan efektif. Salah satu tanaman obat Indonesia yang potensial yang diketahui memiliki aktivitas antihiperglikemik adalah daun sirih merah (P. crocatum). Sirih merah merupakan salah satu tanaman obat yang mengandung senyawa fitokimia dari golongan alkaloid, flavonoid, dan tanin yang berkhasiat sebagai antihiperglikemik dan antioksidan. Dari penelitian Batubara (2011), komponen utama dalam sirih merah adalah monoterpen dan sesquiterpen yang dapat meningkatkan aktivitas monofenolase dan difenolase pada enzim tirosinase. Pemberian air rebusan sirih merah dosis 20 g/kg BB pada tikus jantan galur Sprague dawley dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan cara memperbaiki kelenjar eksokrin pankreas tikus yang rusak akibat aloksan (Safithri et al. 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun sirih merah dapat menghambat oksidasi asam lemak dengan daya hambat terbesar 80,40% pada konsentrasi 200 ppm dan sebagai radical scavenger dengan nilai IC50 85,82 ppm (Alfarabi et al. 2010). Saat ini, kecenderungan penggunaan tanaman herbal untuk pengobatan terus meningkat. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, hampir separuh orang Indonesia mengkonsumsi jamu (obat herbal). Data dari Departemen Kesehatan (2010) menyatakan bahwa sebanyak 49,53 persen penduduk Indonesia berusia 45 tahun ke atas mengkonsumsi jamu. Oleh karena itu, daun sirih merah berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk pangan fungsional. Umumnya masyarakat dengan mudah mengkonsumsi air rebusan daun sirih merah, tetapi karena rasanya yang pahit hanya kalangan tua (usia 50 th ke atas) yang menyukai. Penelitian Nedovic et al. (2011) menyatakan bahwa keefektifan senyawa polifenol sangat tergantung pada stabilitas, bioaktivitas dan bioavailability. Selain
2 rasa yang kurang disukai, hanya sedikit senyawa polifenol yang terdapat dalam sistem pencernaan, karena waktu tinggal di dalam lambung tidak cukup lama, permeabilitas serta kelarutan dalam usus yang rendah. Selain itu, senyawa polifenol tidak stabil pada proses pengolahan pangan dan penyimpanan (suhu, oksigen dan cahaya) atau dalam saluran pencernaan (pH, enzim) merupakan faktor pembatas bagi aktivitas maupun manfaat polifenol bagi kesehatan. Salah satu teknologi yang mulai banyak digunakan, adalah teknologi nano karena dalam bentuk partikel nano luas permukaan meningkat, dan aktivitas senyawa aktif akan meningkat juga. Nanoenkapsulasi menunjukkan partikel dengan diameter dari 1 hingga 1000nm (Fang 2010). Tujuan utama dalam merancang partikel nano sebagai suatu sistem pengantaran senyawa aktif adalah (1) mengontrol ukuran partikel, sifat permukaan dan pelepasan agen farmakologi aktif dalam rangka mencapai tindakan situs-spesifik senyawa pada tingkat optimal; (2) meningkatkan stabilitas senyawa ; dan (3) memiliki sifat pelepasan terkontrol. Keuntungan menggunakan partikel nano sebagai sistem pengantaran senyawa aktif meliputi hal-hal berikut: (1) ukuran partikel dan karakteristik permukaan partikel nano dapat dengan mudah dimanipulasi, (2) partikel nano dapat mengontrol dan mempertahankan pelepasan senyawa aktif selama transportasi sehingga mengurangi efek samping, (3) pelepasan senyawa aktif terkontrol dan karakteristik partikel degradasi dapat dengan mudah dipengaruhi oleh pilihan konstituen matriks. Kandungan senyawa aktif dapat dimasukkan ke dalam sistem tanpa reaksi kimia, hal ini merupakan faktor penting untuk menjaga aktivitas senyawa (Hirano S et al 1990 ). Aplikasi nanoteknologi di bidang pangan cenderung semakin meningkat, karena keunggulannya dalam meningkatkan bioavailabilitas senyawa aktif, pengendalian pelepasan senyawa aktif serta memperbaiki sifat sensori. Dalam ukuran nano, partikel senyawa aktif lebih mudah diabsorpsi oleh dinding usus halus sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya. Absorpsi senyawa aktif meningkat karena kelarutan partikel meningkat akibat dari luas permukaan partikel yang lebih besar. Dalam ukuran nano, partikel juga memiliki waktu tinggal yang lebih panjang karena terjerap dalam lapisan mukosa usus. Penerapan teknologi nano dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan aktivitas fungsional dan bioavailabilitas dari senyawa-senyawa fitokimia daun sirih merah. Mengacu kepada beberapa hasil penelitian nano partikel nutraceutical, seperti propolis, teh hijau maupun curcuma yang menunjukkan bahwa bioavailabilitas dan sifat fungsional lainnya meningkat secara signifikan dalam bentuk nanopartikel. Penelitian ini merupakan salah satu alternatif untuk diversifikasi produk pangan fungsional berbasis sirih merah, meningkatkan efektivitas penggunaan daun sirih merah dan meningkatkan biavaibilitasnya. Peluang pengembangan teknologi nano ekstrak sirih merah diharapkan dapat meningkatkan sifat fungsionalnya agar penggunaannya sebagai fitofarmaka menjadi lebih optimal. Selain itu, penelitian ini dapat mendorong semakin berkembangnya penelitian tanaman biofarmaka agar dapat meningkatkan potensi tanaman biofarmaka asli Indonesia.
3 Dasar Pertimbangan 1.
2.
3.
4.
Peningkatan jumlah penderita diabetes mellitus merupakan tantangan dan peluang bagi pengembangan tanaman biofarmaka terutama dalam bentuk pangan fungsional berbasis sirih merah sebagai alternatif pengobatan alami. Tanaman sirih merah sudah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai obat tradisional antihiperglikemik secara empirik. Pemanfaatan daun sirih merah yang banyak dihasilkan di Indonesia sebagai bahan alami yang memiliki senyawa antioksidan dan khasiat antihiperglikemik akan meningkatkan nilai tambah tanaman sirih merah dan penghasilan masyarakat Penerapan teknologi nanoenkapsulasi dapat meningkatkan aktivitas, kestabilan, keamanan, serta sifat fungsional ekstrak daun sirih merah. Tujuan Penelitian
1. 2. 3. 4.
Mengkaji kondisi proses ekstraksi daun sirih merah Mengembangkan formulasi nanopartikel ekstrak sirih merah dengan teknik gelasi ionik Mengkaji karakteristik fisik dan sifat fungsional nanopartikel ekstrak sirih merah Mengkaji sistem pengantaran nanopartikel formula terpilih secara in vitro Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk memperluas pemanfaatan daun sirih merah sebagai alternatif bahan alami pencegahan/pengobatan penyakit diabetes
2 TINJAUAN PUSTAKA Sirih Merah (Piper crocatum) Tanaman sirih merah termasuk dalam famili Piperaceae, tumbuh merambat dengan bentuk daun menyerupai hati dan bertangkai. Sirih merah (Piper crocatum) adalah salah satu tanaman obat potensial yang sejak lama telah diketahui memiliki berbagai khasiat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Potensi sirih merah sebagai tanaman obat multi fungsi perlu dikembangkan dan ditingkatkan pemanfaatannya sebagai bahan obat modern. Kandungan kimia lainnya yang terdapat dalam daun sirih merah adalah minyak atsiri, tanin, flavonoid, polifenol dan saponin. Secara umum daun sirih mengandung minyak atsiri sampai 4,2% (Kartasapoetra 1992), senyawa fenil propanoid, dan tanin (Mahendra 2005). Karena banyaknya kandungan senyawa kimia bermanfaat inilah
4 daun sirih merah memiliki manfaat yang sangat luas sebagai bahan obat diantaranya bersifat antikanker, desinfektan dan anti jamur. Pada awalnya sirih merah merupakan tanaman hias tetapi akhirnya melihat potensinya yang besar mulai banyak dikembangkan sebagai biofarmaka. Konsentrasi ekstrak etanol 30% daun sirih merah sebanyak 0, 1000, dan 200000 ppm memiliki aktivitas sebagai inhibitor enzim glukosa oksidase sebesar 0,1421, 0.2255, dan 12.4452 μmol/mL.menit (Agustanti 2008), suspensi ekstrak etanol sirih merah dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus putih jantan (rattus norvegicus l.) galur wistar hingga 67,45% dengan dosis 105mg/kg berat badan (Robianto. 2009). Selain itu, ekstrak etanolik daun sirih merah (Piper crocatum) pada konsentrasi 7,8125-500 μg/mL dapat menghambat proliferasi sel kanker dengan nilai IC50 123,18 μg/mL sehingga berpotensi sebagai antikanker (Yulianti 2010). Ekstrak methanol daun sirih merah dapat menghambat proliferasi sel kanker payudara (T47D) (Wicaksono 2009). Penelitian terhadap ekstrak etanol daun sirih menunjukkan bahwa ekstrak tersebut memiliki aktivitas antioksidasi, yaitu dapat menghambat oksidasi asam lemak dengan daya hambat terbesar 80,40% pada konsentrasi 200 ppm dan sebagai radical scavenger dengan nilai IC50 85,82 ppm (Alfarabi et al 2010). Nanopartikel kitosan Nanopartikel merupakan salah satu jenis modifikasi bentuk kitosan, tergantung metode yang digunakan. Pembuatan nanopartikel kitosan dapat dilakukan dalam berbagai cara diantaranya (1) Nanopartikel kitosan dengan basis taut silang kovalen (modifikasi kitosan taut silang dengan glutaraldehid), (2) berbasis taut silang ionik (metode gelasi ionik dengan natrium tripolifosfat), (3) pembuatan dengan metode desolvasi, (4) metode emulsion-droplet coalescence, (5) metode reverse micellar dan (6) metode self-assembly melalui modifikasi kimia (metode grafting menggunakan polietilen glikol). Beberapa hasil penelitian penggunaan nanopartikel menyatakan nanopartikel kitosan dapat meningkatkan efisiensi protein Bovine Serum Albumin (BSA) tersalut kitosan hingga 90%. Ukuran nanopartikel kitosan-BSA yang dihasilkan mencapai 110-118nm. Efisiensi nanoenkapsulasi meningkat seiring bertambahnya konsentrasi BSA (Xu et al. 2003). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat-obatan dalam ukuran nanometer mampu meningkatkan kelarutan dan penyerapan oleh tubuh. Selain itu penggunaan obatobatan dalam skala nano dapat mengurangi dosis obat yang dapat mengakibatkan efek samping pada beberapa pasien (Malsch 2005). Kitosan banyak digunakan untuk mencegah pendarahan tentara Amerika Serikat pada saat perang di Irak (Wedmore et al. 2006). Sebanyak 97% kasus pendarahan dapat dihentikan dengan penggunaan kitosan sebagai pengganti obat anti pendarahan. Nanopartikel kitosan sebagai pengantar obat mata juga menunjukkan adanya peningkatan efisiensi penyerapan. Pada tikus yang mengalami inflamasi sel kornea yang diberi nanopartikel kitosan setiap 30 menit selama 6 jam menunjukkan tidak adanya efek samping (Enriquez et al. 2006). Proses enkapsulasi senyawa antioksidan dari ekstrak Ilex paraguariensis (teh Paraguay) menggunakan kitosan dengan metode gelasi ionik yaitu kitosan tertaut silang dengan tripolifosfat menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan masih baik dan selanjutnya diaplikasikan pada kosmetika
5 (Harris et al. 2011). Nanopartikel kitosan terisi ekstrak katekin dari teh telah berhasil dilakukan dan menunjukkan aktivitas antioksidan yang cukup tinggi (Tang et al. 2013). Nanopartikel dengan metode gelasi ionik banyak dikembangkan. Gelasi ionik merupakan sifat interaksi gel kitosan dengan polianion khusus. Proses ini membentuk taut silang inter dan intra dalam rantai polimer yang dimediasi oleh polianion. Salah satu polianion yang sangat banyak digunakan sebagai senyawa taut silang adalah natrium tripolifosfat. Natrium tripolifosfat (STPP) seringkali dibandingkan dengan glutaraldehid sebagai pentaut silang kitosan karena penggunaan keduanya sangat banyak. STPP lebih menguntungkan penggunaannya sebagai pentaut silang kitosan dalam pembentukan sistem pengantar obat daripada glutaraldehid, karena metode modifikasi kitosan menggunakan agen taut silang glutaraldehid berbahaya bagi kesehatan manusia bila digunakan sebagai sistem pengantar obat secara oral terutama karena glutaraldehid memiliki efek toksik yang tinggi (Hritcu et al. 2009). Penelitian YuHsin Lin et al. (2008) menyatakan bahwa digunakannya natrium tripolifosfat sebagai salah satu pasangan ion kitosan, akan membentuk nanopartikel menjadi lebih stabil dan memiliki penembusan membran yang lebih baik. Pada nanopartikel sambung silang multi ion, tripolifosfat berperan sebagai salah satu komponen anion multivalent yang akan membentuk ikatan sambung silang dengan kitosan yang bersifat kationik. Nanoteknologi pada produk pangan Menurut National Nanotechnology Initiative (2006),nanoteknologi dipahami sebagai ilmu yang mempelajari karakterisasi dan manipulasi bahan biologi dan mikrobiologi yang berukuran lebih kecil dari 100 nanometer, termasuk juga fenomena unik dan sifat fungsional baru yang akan timbul. Beberapa sistem pangan dan pertanian dapat memanfaatkan nanotekologi untuk meningkatkan ketahanan pangan, mengembangkan alat baru di bidang biologi molekular dan seluler, bahan baru untuk deteksi patogen, dan delivery system bahan pangan fungsional. Dewasa ini, nanoteknologi dalam bidang pangan difokuskan pada pengembangan bahan pengemas baru, nutraceutical, dan bahan antimikroba serta pengawetan dan penyimpanan bahan pangan Keuntungan menggunakan nanopartikel sebagai sistem pengantaran obat/senyawa aktif dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Ukuran partikel dan karakteristik permukaan nanopartikel dapat dengan mudah dimanipulasi sehingga dapat tepat menuju sasaran bagian tubuh yang akan diterapi b. Dapat mengontrol dan mempertahankan pelepasan obat selama transportasi dan di lokasi target c. Pengontrolan pelepasan partikel dan karakteristik degradasi partikel degradasi dipengaruhi oleh matrik pembawa. Pemasukan obat ke dalam sistem tubuh tanpa melewati reaksi kimia sehingga dapat mencegah kerusakan obat (Hirano et al. 1990). Bahan baku fungsional seperti obat-obatan, vitamin, antimikroba, antioksidan, flavor, pewarna dan pengawet merupakan komponen esensial yang diperlukan oleh berbagai industri, termasuk industri farmasi, produk perawatan
6 kesehatan, kosmetik, agrokimia, dan pangan. Sistem pengantaran (delivery system) harus memenuhi sejumlah persyaratan agar fungsinya terpenuhi. Pertama, dapat berfungsi sebagai kendaraan yang membawa bahan fungsional ke tempat yang dituju (site of action). Kedua, sistem tersebut harus mampu melindungi bahan fungsional dari kerusakan kimia atau biologi selama pengolahan, penyimpanan dan penggunaan. Dengan kata lain, sistem pengangkutan dapat menjaga bahan fungsional tetap berada dalam keadaan aktifnya. Ketiga, sistem tersebut harus dapat mengakomodasi pelepasan bahan fungsional secara terkendali (controlled realese) atau memiliki kondisi tertentu yang memicu pelepasan (pH, kekuatan ionik atau suhu). Keempat, delivery system harus sesuai dengan komponen lain dalam sistem, misalnya kompatibel dengan sifat fisikokimia dan atribut kualitatif (penampakan, tekstur, rasa dan masa simpan) produk akhir (Weiss et al. 2006). Selain itu, sebagian besar senyawa bioaktif bersifat lipofilik dan menunjukkan kelarutan yang rendah. Kelarutan yang rendah, mengakibatkan penyerapan yang rendah pada sistem pencernaan dan ketersediaannya yang rendah dalam tubuh. Pada industri pangan, hal ini akan mengurangi ketersediaan senyawa aktif untuk dienkapsulasi, menjaga dari kerusakan dan pelepasan senyawa aktif dalam pengembangan pangan fungsional. Nanoenkapsulasi didefinisikan sebagai suatu teknologi untuk mengemas suatu zat yang mengacu pada pengemasan bioaktif pada skala nano, teknik pembuatannya meliputi nanokomposit, nanoemulsifikasi dan nanostrukturisasi (Quintanilla et al. 2009). Fungsionalitas produk akhir (termasuk pelepasan bahan inti) dapat dipertahankan selama penyimpanan. Dalam bidang rekayasa pangan, perlindungan senyawa bioaktif seperti vitamin, antioksidan, protein, lemak, dan karbohidrat dapat dicapai dengan menggunakan nanoenkapsulasi untuk menghasilkan pangan fungsional dengan fungsi dan kestabilan yang optimal (Quintanilla et al. 2009). Selain itu, nanoenkapsulasi efisien untuk mengatasi berbagai hambatan seperti kehilangan fungsionalitas selama pemrosesan atau penyimpanan, ketidakcocokan antara inti dan bahan dinding (pelapis), menutupi rasa dan bau tidak enak, kerusakan tekstur, dan kehilangan aktivitas enzim. Sistem pengantaran senyawa bioaktif diartikan sebagai senyawa bioaktif yang diletakkan di dalam zat pembawa untuk mengatur laju pelepasan zat bioaktif. Zat pembawa nano (nanocarriers) dapat melindungi senyawa bioaktif dari lingkungan yang kurang kondusif. Zat pembawa nano memiliki luas permukaan yang dapat meningkatkan kelarutan, bioavailabilitas, dan memperbaiki target pelepasan bahan pangan yang dienkapsulasi, bila dibandingkan dengan zat pembawa ukuran mikro (Ahmed et al. 2012). Aplikasi nanoteknologi dalam bidang pangan menunjukkan peningkatan, karena teknologi nano dapat meningkatkan bioavailabilitas bahan aktif, mengendalikan pelepasan bahan aktif, dan memperbaiki sifat sensori. Bioaccessibility Bioaccessibility dapat diartikan sebagai pelepasan senyawa dari matriks makanan ke dalam cairan pencernaan dalam saluran pencernaan. Bioaccessibility secara khusus mengacu pada jumlah senyawa (dapat berupa antioksidan) yang dilepaskan dari matriks makanan menuju perbatasan usus untuk diangkut ke dalam sel, sedangkan bioavailabilitas mengacu pada jumlah senyawa (misalnya
7 antioksidan) yang telah melalui membran sel dan tersedia untuk digunakan dalam sel. Pencernaan merupakan proses fisiologis yang memungkinkan ekstraksi makronutrien (misalnya karbohidrat, protein), bahan penyusun (misalnya monosakarida, asam amino), mikronutrien (vitamin dan mineral, seperti Zn, Fe dan Na) dan fitokimia (misalnya polifenol) dari matriks makanan, untuk penyerapan yang berlanjut. Tiga langkah prosedur simulasi proses pencernaan dalam mulut, perut dan usus kecil, merupakan bagian paling mungkin untuk menentukan bioaccessibility. Saluran usus besar tidak diperhitungkan, karena dalam pencernaan makanan secara in vivo penyerapan senyawa terutama terdapat pada usus kecil (Alishahi et al. 2011). Hasil yang diperoleh pada metode in vitro didasarkan pada pembentukan produk pencernaan yang larut atau terdialisis (dialyzable). Nilai fraksi yang bioaccessible merupakan konsentrasi elemen yang larut dalam media pencernaan. Prosedur in vitro melibatkan simulasi lambung dan kondisi pencernaan usus yang dilakukan di laboratorium. Sebagai percobaan yang dilakukan di bawah kondisi pencernaan, disebut pula dengan istilah 'simulasi', hasilnya mungkin tidak akurat seperti yang diperoleh dalam studi in vivo. Enzim yang berbeda biasanya ditambahkan secara berurutan untuk mensimulasikan tahapan yang berbeda dari proses pencernaan. Sebagai contoh, banyak model in vitro didasarkan pada inkubasi berturut-turut dengan pepsin untuk mensimulasikan perut dan kemudian pankreatin untuk mensimulasikan usus kecil. Komposisi enzim dari cairan pencernaan tertentu dapat disimulasikan dengan mencampurkan bersama-sama dalam jumlah yang tepat dari enzim murni. Juga harus dicatat bahwa enzim sering membutuhkan komponen tambahan dalam cairan pencernaan agar berjalan secara efisien, misalnya, lipase pankreas membutuhkan keberadaan kalsium dan garam empedu (Liang et al. 2012).
3 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan April 2012 hingga Oktober 2012 bertempat di Laboratorium Kimia Pangan dan Laboratorium Biokimia, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Pusat Teknologi Farmasi BPPT Serpong, Balai Inkubator BPPT Serpong, Pusat Teknologi Bahan dan Industri BATAN Serpong serta Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun sirih merah yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah bahan kimia untuk ekstraksi, kitosan dengan Derajat Deasetilasi (DD) 85% yang diperoleh dari Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB, natrium tripolifosfat (STPP), asam asetat akuades serta bahan-bahan kimia untuk analisa dan karakterisasi partikel nanoemulsi formula berbasis sirih merah.
8 Peralatan yang digunakan adalah peralatan ekstraksi, peralatan sintesis nanopartikel meliputi stirrer bar, magnetic stirrer dan hot plate, syringe, sentrifuse, ultra turrax homogenizer serta instrument untuk analisis meliputi Gas Chromatography (Agilent 7890A USA), Particle Size Analyzer (DelsaNano C Beckman Coulter USA) dan Scanning Electron Microscopy (SEM-EDS JEOLJSM 6510 AL, Jepang) serta peralatan gelas. Metode Pelaksanaan penelitian secara umum dapat dibagi menjadi beberapa tahapan. Tahap pertama adalah ekstraksi sirih merah menggunakan pelarut etanol 96%. Tahap kedua adalah sintesis nanopartikel terisi ekstrak sirih merah serta karakterisasi fisik dan sifat fungsional yang dilanjutkan dengan proses enkapsulasi dan karakterisasi enkapsulat. Tahap ketiga adalah uji stabilitas serta uji pelepasan senyawa fenol dan bioacessibility secara in vitro. Pelaksanaan penelitian secara rinci dapat disimak pada Lampiran 1 dan dapat dijelaskan sebagai berikut : Ekstraksi sirih merah Ekstraksi daun sirih merah dilakukan untuk mendapatkan ekstrak yang akan digunakan sebagai bahan aktif dalam sintesis nanopartikel. Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi (metode dingin) dan refluks (metode panas) menggunakan etanol 96%. Pada metode maserasi, bahan baku sebanyak 50 gram yang telah kering digiling dengan ukuran partikel 50 mesh, selanjutnya direndam menggunakan pelarut etanol 96% dengan perbandingan bahan dan pelarut 1:4. Selama perendaman dilakukan pengadukan menggunakan shaker selama 6 jam, kemudian didiamkan hingga 24 jam. Setelah itu dilakukan penyaringan untuk mendapatkan filtrat. Filtrat yang diperoleh kemudian dievaporasi menggunakan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak pekat. Pada metode refluks, pelarut panas akan mengekstrasi senyawa volatil sebagai senyawa murni dan kemudian terdinginkan dalam kondensor dan masuk ke dalam wadah penampung. Proses ini berlangsung secara berkesinambungan sampai penyaringan sempurna selama 3 jam, dengan suhu 45oC. Filtrat yang diperoleh dari masing-masing metode ekstraksi dikumpulkan dan dievaporasi menggunakan rotary evaporator pada suhu 40-50oC sampai dihasilkan ekstrak kental dengan total padatan terlarut 30o brix. Pada ekstrak yang diperoleh kemudian dilakukan uji fitokimia sebagai skrining awal dan dilanjutkan dengan identifikasi komponen aktif menggunakan GC-MS (Lampiran 2). Selanjutnya dilakukan penghitungan rendemen serta pengukuran total fenol, kapasitas antioksidan dan IC50. Pada tahapan ini, ekstrak terpilih berdasarkan rendemen, sifat fisik, sifat kimia, sifat fungsional serta analisis secara visual meliputi bau dan warna yang kemudian digunakan untuk sintesis nanopartikel.
Sintesis nanopartikel terisi ekstrak sirih merah (Alishahi et al., 2011) Sintesis nanopartikel dilakukan dengan metode gelasi ionik. Nanopartikel kitosan sebagai panyalut ekstrak sirih merah dibuat dengan mencampurkan STPP,
9 larutan kitosan dan ekstrak. Konsentrasi kitosan dibuat dengan beberapa konsentrasi yaitu 0,1%, 0,2%, 1% dan 2%. Pembuatan larutan kitosan dengan konsentrasi 0,1% dilakukan dengan cara melarutkan 0,1g kitosan ke dalam asam asetat 0,1% (b/v), demikian pula dengan konsentrasi 0,2%, 1% dan 2%. Pencampuran dilakukan dengan cara diaduk selama 24 jam agar campuran larut sempurna, kemudian disaring dengan kertas Whatman no 40. Larutan STPP 0,2% dibuat dengan mencampurkan 0,2 g natrium tripolifosfat ke dalam 100ml air suling dan diaduk selama 2 jam. Pada sintesis nanopartikel, ekstrak sirih merah ditimbang sebanyak 30g larutan kitosan, lalu diaduk dengan magnetic stirrer pada kecepatan 350 rpm sampai homogen. Penambahan larutan STPP dilakukan sebanyak 6 g dengan cara setetes demi tetes hingga habis dan dibiarkan selama 15 menit. Setelah pencampuran sempurna, ditambahkan ekstrak sirih merah sebanyak 1 g dengan cara setetes demi tetes menggunakan syringe. Larutan campuran diaduk kembali hingga ekstrak tercampur sempurna dan pengadukan dilanjutkan selama 15 menit untuk mendapatkan larutan yang homogen. Dari masing-masing konsentrasi dilakukan karakterisasi fisik meliputi ukuran partikel, kestabilan, indeks polidispersitas serta sifat fungsional (aktivitas antioksidan, IC50, total fenol). Pemilihan nanopartikel terbaik berdasarkan ukuran dengan rentang nilai terkecil, kestabilan serta indeks polidispersitas yang menunjukkan keseragaman ukuran partikel. Selain itu juga dipertimbangkan sifat fungsionalnya meliputi aktivitas antioksidan, IC50 serta total fenol. Karakterisasi nanopartikel Karakterisasi nanopartikel dilakukan terhadap sifat fisik dan sifat fungsional nanopartikel. Karakterisasi sifat fisik nanopartikel meliputi ukuran, indeks polidispersitas dan kestabilan (zeta potensial). Karakterisasi sifat fungsional meliputi aktivitas antioksidan, total fenol dan IC50. Penentuan ukuran nanopartikel dan indeks polidispersitas dilakukan dengan Particle Size Analyzer (PSA) Delsa Nano C Beckman Coulter, yang pada alat ini menggunakan metode dynamic light scattering. Sampel nanopartikel dimasukkan ke dalam kuvet, kemudian dilakukan pengukuran dengan menentukan intensitas, volume maupun number distribusi. Enkapsulasi nanopartikel ekstrak sirih merah dan karakterisasi (Desai dan Park 2005) Proses enkapsulasi dilakukan dengan menggunakan pengering semprot (spray drying) pada suhu inlet 150-170oC, suhu outlet 70-110oC dan bahan pengisi maltodekstrin dan isolat protein kedelai. Pemilihan bahan pengkapsul yang berbeda bertujuan untuk mendapatkan nanopartikel dengan sistem pengeluaran senyawa aktif secara terkontrol, terutama penggunaan protein dan jumlah penambahan bahan pengisi hingga total konsentrasi 20% pada larutan sebelum dikeringkan. Komposisi bahan pengkapsul yang digunakan adalah 100% maltodekstrin (M) dan campuran 80% maltodekstrin dan 20% isolat protein kedelai (MISP). Kemudian dilakukan penghitungan rendemen serta ukuran partikel pada sampel yang sebelumnya telah direkonstitusi. Produk hasil enkapsulasi kemudian dianalisis meliputi ukuran partikel, struktur morfologi
10 aktivitas antioksidan, total fenol, IC 50 serta uji kestabilan dalam beberapa pH yang dilakukan selama 7 hari penyimpanan dalam suhu ruang.
Proses rekonstitusi Pada sampel yang telah dilakukan pengeringan semprot, dilakukan rekonstitusi untuk mendapatkan kembali nanopartikel dalam bentuk cairan. Rekonstitusi dilakukan dengan penambahan akuades sejumlah tertentu sehingga dihasilkan kembali larutan dengan kandungan total padatan terlarut sebesar 20% atau sama dengan kondisi sebelum dilakukan pengeringan. Setelah itu dilakukan pengujian kembali terhadap ukuran dan diameter partikel yang terbentuk. Struktur partikel enkapsulat Pengukuran struktur partikel dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM-EDS JEOL-JSM 6510 AL), dengan tujuan untuk mengetahui bentuk struktur dan morfologi nanopartikel yang diperoleh. SEM adalah mikroskop yang menggunakan hamburan elektron dalam membentuk bayangan sehingga sampel dapat diobservasi dan dikarakterisasi pada skala mikrometer. Sebelum dilakukan analisa, sampel dengan ukuran 2 mm diberi lapisan emas menggunakan alat gold sputter coater pada kondisi vakum. Sampel tersebut ditempatkan pada mikroskop SEM dan diamati pada voltase akselerasi 20 KV. Gambar yang diperoleh kemudian direkam dan dicetak. Stabilitas nanopartikel dalam berbagai pH (Tsai et al., 2011) Pengujian stabilitas nanopartikel dilakukan untuk mengetahui kestabilan nanopartikel pada berbagai pH (2-8) selama penyimpanan 7 hari pada suhu ruang (28oC). Pengaturan pH dengan menggunakan buffer fosfat dan buffer klorida. Buffer fosfat dibuat dengan menambahkan Na2HPO4 sebanyak 0,89 g dan NaH2PO4.sebanyak 0,69 g untuk membuat 100 ml larutan. Buffer khlorida dibuat dengan mencampur 0,2M KCl dan 0,2M HCl hingga 200 ml . Nanopartikel disimpan di dalam botol plastik sebanyak 30 ml. Pengujian kestabilan dilakukan dengan mengukur kandungan total fenol yang terlepas ke dalam medium penyimpanan. Pengujian kandungan total fenol dilakukan menggunakan FolinCiocalteau dengan persiapan ekstraksi senyawa fenol mengunakan metanol dilanjutkan sonikasi selama 20 menit. Semakin banyak total fenol yang terdeteksi dalam medium penyimpanan menunjukkan kestabilan yang rendah karena bahan penyalut tidak dapat melindungi senyawa aktif. Uji pelepasan senyawa fenol dan bioaccessibility secara in vitro Pengujian pelepasan senyawa fenol (in vitro release) (Departemen Kesehatan 1995) Uji pelepasan senyawa aktif secara in vitro dilakukan dengan alat tipe dayung (metode dayung Hansen) pada medium asam pH 1,2 (tiruan cairan lambung) selama 3 jam dan medium basa pH 7,4 (tiruan cairan usus) selama 6 jam
11 pada suhu (37±0,5)oC. Konsentrasi senyawa aktif dalam larutan aliquot setiap 15 menit diambil dan diukur kandungan total fenolnya menggunakan spektofotometer UV pada panjang gelombang 750nm. Medium asam dibuat dengan mencampurkan 0,2M HCl dan 0,2M KCl dilarutkan dalam aquadest. Medium basa dibuat dengan mencampurkan 0,89 g Na2HPO4 dan 0,69 NaH2PO4 Uji Bioacessibility (simulasi pencernaan secara in vitro) (Liang et al. 2012) Simulasi pencernaan dilakukan pada fase gastric (lambung) dan fase small intestine (usus kecil). Pada tahap awal dibuat larutan yang menyerupai kondisi di lambung, dengan mengatur pH larutan melalui penambahan HCl 4 N agar didapatkan pH 2. Selanjutnya larutan sampel sebanyak 2,5 ml ditambah dengan 20 ml larutan kondisi lambung diinkubasi di penangas air bergoyang selama 2 jam pada 37oC. Setelah 1 jam diinkubasi, diambil cuplikan dari fraksi sampel, kemudian diukur total fenolnya (fraksi lambung). Sisa larutan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse yang berisi 20 ml NaHCO3 0,1 M, kemudian ditambahkan larutan yang terdiri dari campuran pankreatin dan ox bile hingga pH 7,5. Larutan campuran diinkubasi kembali dalam penangas air bergoyang pada suhu 37oC selama 2 jam, diasamkan hingga pH 2 dan disentrifuse. Fraksi yang terpisah kemudian diuji kandungan total fenolnya, baik fraksi supernatan (fraksi bagian atas/digesta) maupun fraksi pelet (fraksi bagian bawah/dialisat). Fraksi di atas sebagai fraksi yang terserap sedangkan fraksi di bawah sebagai fraksi yang masuk ke dalam kolon. Pengukuran total fenol dilakukan pada fraksi lambung, fraksi digesta dan fraksi dialisat menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 750nm. Analisis Penghambatan Aktivitas Enzim Alfa Glukosidase (Matsumoto et al. 2002) Enzim alfa glukosidase adalah enzim golongan hidrolase yang berfungsi mengkatalisis reaksi akhir dari proses penyerapan karbohidrat di usus. Enzi mini mengkatalisis hidrolisis ikatan α-1,4 sehingga menghasilkan α-D-glukosa. Terhambatnya kerja enzim α-glukosidase menyebabkan berkurangnya glukosa yang diserap oleh usus sehingga berkurangnya sumber glukosa yang masuk ke dalam aliran darah. Hal ini mampu membantu menurunkan keadaan hiperglikemia sehingga penderita diabetes dapat mengatur kadar glukosa darahnya. Prosedur analisa data dilihat pada Lampiran 3.
Analisis Statistik Seluruh data yang diperoleh dilakukan analisis perhitungan nilai rata-rata dan standar deviasi serta ANOVA (Analysis of Varianc e) pada tingkat kepercayaan 95% (taraf α 0,05). Nilai P<0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap respon yang diukur dan dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan.
12 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi Sirih Merah Ekstraksi sirih merah dilakukan dengan metode maserasi (ekstraksi cara dingin) dan refluks (ekstraksi cara panas) menggunakan pelarut etanol 96% yang merupakan pelarut polar. Dasar pertimbangan pemilihan kedua metode adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan panas pada proses ekstraksi terhadap kandungan senyawa aktif ekstrak. Kedua metode dibandingkan berdasarkan rendemen serta sifat kimia untuk mendapatkan proses ekstraksi optimum yang akan digunakan pada tahap selanjutnya. Pemilihan pelarut didasarkan pada senyawa yang diharapkan akan terekstrak, apakah bersifat polar, semi polar atau non polar. Ekstraksi dilakukan berdasarkan prinsip kepolaran, yaitu pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, pelarut semi polar akan melarutkan senyawa semi polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar. Berdasarkan tingkat kepolaran dapat digunakan berbagi macam pelarut, misalnya hexane untuk non polar, etil asetat semi polar dan metanol untuk polar (Marlina 2008). Penggunaan pelarut untuk aplikasi pada bahan pangan perlu mempertimbangkan toksisitas (Prasad et al. 2009). Daun sirih merah mengandung senyawa polar, terutama flavonoid, alkaloid dan tanin. Senyawa polar banyak mengandung gugus OH, oleh karena itu, penggunaan etanol merupakan pelarut yang tepat untuk mengekstrak senyawa aktif pada daun sirih merah. Selain etanol, pelarut lain yang dapat digunakan untuk mengekstrak senyawa polar adalah metanol dan aseton, namun tingkat toksisitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan etanol (Harborne 1987, Prasad et al. 2009). Selain penggunaan pelarut yang tepat, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah pengecilan ukuran bahan agar mempermudah proses ekstraksi. Pada penelitian ini, daun sirih merah yang akan digunakan dicuci terlebih dahulu, kemudian dikeringkan pada suhu 40-50oC, digiling hingga didapatkan bubuk berukuran 50 mesh. Proses penggilingan bertujuan untuk meningkatkan peluang terlarutnya senyawa-senyawa yang ingin diekstrak dengan etanol karena rusaknya dinding dan membran sel akan memudahkan etanol berinteraksi dengan senyawa-senyawa yang ingin diekstrak. Maserasi adalah ekstraksi senyawa aktif dengan cara merendam jaringan atau organ tumbuhan di dalam suatu larutan yang tepat untuk mendapatkan senyawa yang diinginkan (Marlina 2008). Metode maserasi memiliki keuntungan, yaitu cara pengerjaannya yang lebih mudah, alat-alat yang digunakan sederhana, dan cocok untuk bahan yang tidak tahan pemanasan. Perbandingan yang digunakan antara bahan dan pelarut adalah 1 : 4 kemudian dishaker selama 6 jam dengan kecepatan 131 rpm, lalu sampel didiamkan selama 24 jam, kemudian larutan sampel disaring menggunakan kertas saring dan diambil filtratnya. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Ekstraksi dengan cara panas (refluks) menggunakan pelarut dengan perbandingan 1 : 4. Pada proses ekstraksi dengan refluks, pelarut panas akan mengekstrasi senyawa volatil sebagai senyawa murni dan kemudian didinginkan dalam kondensor, lalu masuk ke dalam wadah. Proses ekstraksi berlangsung secara berkesinambungan sampai semua senyawa volatil teruapkan dengan sempurna yang ditandai tetesan ekstrak berhenti dengan waktu ekstraksi
13 selama 3 jam pada suhu 45oC. Filtrat yang diperoleh dari masing-masing metode ekstraksi, dievaporasi menggunakan rotary evaporator dengan suhu 40-50oC sampai dihasilkan ekstrak kental dengan total padatan terlarut 30o brix. Pada ekstrak yang diperoleh dilakukan uji fitokimia (Suratmo 2008) sebagai skrining awal untuk analisis yang akan dijadikan dasar prosedur tahap selanjutnya. Uji fitokimia dilakukan untuk menentukan kandungan golongan senyawa aktif dari ekstrak tumbuhan, meliputi uji polifenol, saponin, tanin dan flavonoid (Tabel 1). Tabel 1 Uji fitokimia ekstrak sirih merah Parameter Polifenol Saponin Tanin Flavonoid
Metode Ekstraksi Maserasi Refluks +++ ++ + + ++ +
Keterangan : +/positif : senyawa teridentfikasi , -/negatif : senyawa tidak teridentifikasi
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak sirih merah baik dengan metode maserasi maupun refluks mengandung polifenol, tanin dan flavonoid. Pada ekstrak dengan metode maserasi warna merah pada uji polifenol lebih pekat dibandingkan dengan metode refluks, begitu juga dengan warna merah pada uji flavonoid secara visual terlihat lebih pekat. Skrining total fenol dan tanin menggunakan pereaksi dengan memanfaatkan sifat tanin yang bereaksi dengan protein menghasilkan kopolimer yang tidak larut air. Reaksinya menjadi lebih sensitif dengan penambahan NaCl untuk meningkatkan salting out dari kompleks protein-tanin (Gobalakrishnan et al. 2013). Adanya total fenol ditunjukkan dengan timbulnya warna merah pada sampel, sedangkan adanya tanin pada ekstrak sirih merah menunjukkan perubahan warna dari kuning menjadi hijau kehitaman dengan penambahan FeCl3. Ekstrak sirih merah yang positif mengandung flanovoid ditandai dengan terbentuknya warna merah jingga hingga hijau setelah dilakukan penambahan HCl pekat. Terbentuknya warna merah menunjukkan adanya flavon, warna jingga menunjukkan adanya flavanol dan warna hijau menunjukkan adanya aglikon. Flavonoid-o-glikosida memiliki molekul gula, yang diketahui memiliki gugus hidroksil sehingga akan mudah larut dalam pelarut dengan kepolaran tinggi. Semakin banyak gugus monosakarida yang berikatan dengan senyawa flavonoid (ikatan glikosida) maka akan semakin bersifat polar karena semakin bertambahnya gugus hidroksil. Rendemen, Kapasitas Antioksidan dan Total Fenol Ekstrak Penghitungan rendemen ekstrak diperlukan untuk mengetahui efisiensi dari proses ekstraksi yang dilakukan. Selain itu penghitungan rendemen dapat digunakan untuk mengetahui banyaknya komponen antioksidan yang terekstrak dibandingkan jumlah sampel yang digunakan. Rendemen diperoleh dari proses ekstraksi dengan membandingkan berat ekstrak dengan berat bahan kering dikali
14 100%. Rendemen yang diperoleh dari proses ekstraksi maserasi dan refluks berturut-turut adalah 7,2 ±0,25% dan 9,8±0,35% (Tabel 2). Tabel 2 Data rendemen, kapasitas antioksidan dan total fenol ekstrak sirih merah Parameter Rendemen (%) Kapasitas antioksidan (AAEµg/ml) IC50 (AAEµg/ml) Total fenol (mg/100gr)
Metode Ekstraksi Maserasi Refluks 7,2 ± 0,25a 9,8 ± 0,35b 10892,86 ± 6,06a 9971,43 ± 6,06b 46,51 ± 0.05a 49,57 ± 0,27b 2388,37 ± 0,3a 2257,22 ± 0,9a
Keterangan : Data merupakan rerata dari 3 kali ulangan (rata-rata ± SD) Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P < 0,5 (uji selang berganda Duncan)
Rendemen pada metode maserasi lebih rendah dibandingkan dengan metode refluks. Pemanasan pada metode refluks dapat meningkatkan jumlah rendemen oleoresin karena suhu yang dibutuhkan oleh suatu pelarut untuk mencapai titik didihnya dapat melarutkan komponen oleoresin yang tidak terekstrak dengan perlakuan tanpa pemanasan. Pemanasan yang lama dapat menyebabkan sejumlah komponen oleoresin rusak dan menguap, sehingga jumlahnya lebih rendah dibandingkan dengan tanpa pemanasan. Selain itu salah satu antioksidan yaitu flavonoid, merupakan golongan senyawa fenol yang memiliki sistem aromatik terkonjugasi yang mudah rusak pada suhu tinggi. Panas menyebabkan terjadi degradasi dinding sel sehingga semakin memudahkan keluarnya fenol, dan pemanasan berfungsi pula untuk inaktivasi enzim polifenol oksidase sehingga kerusakan fenol semakin kecil, dan stabilitas fenol terjaga (Susanti 2008). Penelitian Prasad et al. (2009) menunjukkan bahwa ekstraksi dengan etanol memberikan rendemen yang lebih tinggi dibanding dengan air dan etil asetat. Begitu juga ekstraksi oleoresin kayu manis dengan etanol memiliki rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan metanol maupun air, dan minyak atsiri dapat teresktrak lebih tinggi dengan pelarut etanol (Solehuddin 2001). Etanol memiliki polaritas 0,68 sedangkan air >0,73. Peran polaritas pelarut dalam mengekstrak oleoresin sangat besar karena sebagian besar komponen oleoresin bersifat polar. Oleh karena itu, ekstraksi dengan konsentrasi etanol yang tinggi dapat mengekstrak lebih banyak senyawa aktif pada sirih merah dibandingkan etanol dengan konsentrasi lebih rendah. Hasil pengukuran kapasitas antioksidan ekstrak sirih merah dengan metode maserasi dan refluks berturut-turut adalah sebesar 10892,86 ± 6,06 AAEµg/ml dan 9971,43 ± 6,06 AAEµg/ml yang setara dengan nilai IC50 sebesar 46,51µg/ml dan 49,57 µg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa metode maserasi memberikan nilai kapasitas antioksidan dan total fenol yang lebih tinggi, karena metode maserasi tidak menggunakan panas sehingga senyawa fenolik tidak mengalami kerusakan. Dari hasil analisa statistik menunjukkan bahwa kapasitas antioksidan kedua metode berbeda nyata, sedangkan nilai IC 50 tidak berbeda nyata. Antioksidan adalah senyawa yang dapat menetralisir radikal bebas dan dapat mencegah kerusakan yang ditimbulkan radikal bebas pada sel normal,
15 protein, lemak dengan cara melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas sehingga senyawa stabil dan mencegah pembentukan rantai radikal bebas. Pengukuran kapasitas antioksidan bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak menahan reaksi oksidasi yang tergantung dari banyaknya komponen antioksidan dan komponen prooksidan. Kapasitas antioksidan diukur dengan standar asam askorbat. Kapasitas antioksidan pada penelitian ini berbanding lurus dengan total fenol, karena senyawa antioksidan alami pada tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik yang termasuk ke dalam golongan flavonoid. Oleh karena itu, kandungan total fenol dapat dijadikan sebagai dasar atau indikasi awal pendugaan besarnya kapasitas antioksidan suatu bahan (Prasad et al. 2009). Hasil analisis total fenol dan kapasitas antioksidan menunjukkan metode maserasi lebih baik dibandingkan dengan metode refluks sehingga pada tahap selanjutnya ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode maserasi. Selain itu, maserasi lebih efisien dalam penggunaan energi, cara pengerjaan lebih mudah serta alat yang digunakan sederhana. Analisis Komponen Volatil Ekstrak Sirih Merah Komponen volatil dalam bahan pangan sangat penting untuk diketahui. Senyawa volatil sebagian besar tedapat dalam minyak atsiri. Minyak atsiri adalah kelompok senyawa berbau, larut dalam alkohol, terdiri dari campuran eter, aldehid, keton dan terpen. Komponen bahan aktif suatu bahan pangan banyak terdapat di dalam minyak atsiri. Pada penelitian ini, ekstrak yang diperoleh merupakan oleoresin yang didalamnya terdapat resin dan minyak yang diekstrak menggunakan pelarut etanol yang bersifat polar. Senyawa fungsional yang penting pada ekstrak sirih merah adalah golongan fenol dan terpen. Pengukuran senyawa volatil dengan GC-MS diperlukan sebagai data pendukung yang menujukkan kandungan senyawa aktif dalam ekstrak sirih merah. Hasil kromatogram dengan GC-MS ekstrak sirih merah dapat dilihat pada Tabel 3. Secara umum, senyawa yang teridentifikasi baik pada metode maserasi maupun metode refluks hampir sama. Senyawa yang teridentifikasi dengan luas area paling besar adalah sabinena dan mirsena (Lampiran 2) yang merupakan senyawa golongan monoterpen. Monoterpen merupakan alkohol primer pada tanaman yang berperan dalam pengurangan kolesterol dan merangsang terjadinya apoptosis. Monoterpen dapat meningkatkan kadar enzim hati yang mempunyai peran dalam mendetoksifikasi karsinogen. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak sirih merah mempunyai potensi sebagai antioksidan. Hampir sama dengan penelitian yang dilakukan Utami (2011), komponen-komponen yang teridentifikasi dari minyak atsiri sirih merah dengan analisis GC-MS, terdiri dari 3 golongan terpena yaitu monoterpena (sabinena, mirsena, alpha tuhyena, alpha terpinena, gamma terpinena), monoterpena alkohol (linalool dan 4-terpineol) dan sesquiterpena (alpha kopaena, trans kariofillena dan germakrena D).
16 Tabel 3 Profil senyawa volatil ekstrak sirih merah yang teridentifikasi dengan GC-MS
Senyawa Alpha Tujena Sabinen Beta pinena Mirsena L Linalool Alpha terpineol Beta Caryopilena Germacrena D Delta Guaien Sesquisabinena
Metode Maserasi Waktu retensi Area (%) (menit) 4,10 1,28 4,74 35,24 4,81 1,28 4,93 9,33 6,94 3,07 9,01 1,30 14,54 1,80 16,01 2,06 16,59 0,83 18,54 2,03
Metode Refluks Waktu retensi Area (%) (menit) 4,73 4,80 4,92 6,93
21,4 1,87 6,58 2,71
14,53 16,01 16,58 18,53
1,54 1,01 2,35 1,73
Komponen monoterpena dan sesquiterpena minyak atsiri sirih merah memiliki kemampuan untuk meningkatkan aktivitas enzim monofenolase dan difenolase tirosinase, sedangkan pada penelitian Suratmo (2008) yang melakukan ekstraksi daun sirih merah menggunakan beberapa pelarut menunjukkan bahwa senyawa yang terekstrak meliputi senyawa fenol, flavonoid dan alkaloid yang berpotensi sebagai senyawa antioksidan. Dari pengujian dengan menggunakan GC-MS, ekstrak sirih merah berpotensi sebagai antioksidan dengan terdeteksinya senyawa yang merupakan golongan monoterpen. Sintesis Nanopartikel Nanopartikel ekstrak sirih merah disintesis dengan modifikasi fisik menggunakan metode gelasi ionik dengan bantuan magnetic stirrer dan memanfaatkan sodium tripolifosfat (STPP) untuk membentuk ikatan silang ionik dengan molekul kitosan sehingga dapat digunakan sebagai bahan penjerap (Mi et al. 1999). Penggunaan TPP untuk mencampurkan polimer kitosan dengan polianion sodium tripolifosfat yang menghasilkan interaksi antara muatan positif pada gugus amino kitosan dengan muatan negatif tripolifosfat (Chattopadhyay and Inamdar 2010). Kitosan dengan pKa 6,5 merupakan polikationik, ketika dilarutkan dalam asam, amin bebas akan terprotonasi menghasilkan –NH+. Natrium tripolifosfat (Na5P3O10) larut dalam air hingga diperoleh ion hidroksil dan ion tripolifosfat yang akan bergabung dengan struktur kitosan. Derajat taut silang kitosan dengan natrium tripolifosfat dipengaruhi oleh keberadaan sisi kationik dan senyawa anionik sehingga pH dari natrium tripolifosfat memiliki peran penting selama proses taut silang. Reaksi sambung silang kitosan dengan tripolifosfat secara ionik terjadi lebih banyak pada pH rendah dibandingkan pada pH tinggi. Pada pH rendah atau asam, tripolifosfat lebih banyak terionisasi dalam bentuk ion -P3O105- dibandingkan bentuk ion -OH-, sedangkan pada pH yang lebih tinggi atau basa, tripolifosfat lebih banyak terionisasi dalam bentuk ion -OH- dibandingkan dalam bentuk ion -
17 P3O105-. Reaksi sambung silang secara ionik terjadi antara ion -P3O105- dari tripolifosfat dengan ion -NH3+ dari kitosan, sedangkan reaksi antara ion -OH- dari tripolifosfat dengan ion -NH3+ dari kitosan terjadi secara deprotonasi (Ko et al. 2002; Bhumkar dan Pokharkar 2006) (Gambar 1).
A
B
Gambar 1. Interaksi kitosan dengan TPP (a) deprotonasi, (b) ikatan silang ionik (Bhumkar dan Phokarkar 2006) Sintesis nanopartikel dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya komposisi material dan metode yang digunakan. Komposisi material yang sesuai akan menghasilkan nanopartikel dengan ukuran kecil dan morfologi seragam. Nanopartikel akan terbentuk pada komposisi tertentu antara kitosan dan TPP. Metode pembuatan nanopartikel juga sangat mempengaruhi terbentuknya ukuran dan keseragaman partikel selain komposisi material. Semakin banyak terjadi ikatan silang antara kitosan dengan STPP akan meningkatkan jumlah pori yang terbentuk sehingga semakin banyak zat aktif yang akan terjerap. Hasil pengujian terhadap ukuran dan distribusi nanopartikel pada beberapa konsentrasi kitosan (0,1%, 0,2%,1% dan 2%) dengan menggunakan PSA dapat dilihat pada Tabel 4. Data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 4 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi kitosan yang ditambahkan terjadi peningkatan ukuran partikel karena akan terjadi penggumpalan (aglomerasi) pada molekul kitosan (Wahyono 2010). Semakin besar konsentrasi kitosan dengan jumlah STPP yang tetap juga akan memperbesar ukuran nanopartikel karena adanya kecenderungan untuk beraglomerasi. Pada konsentrasi yang tinggi, partikel-partikel yang terbentuk dari reaksi antara kitosan dan TPP sangat banyak dan padat, sehingga bergerombol membentuk agregat menjadi partikel berukuran mikro (Mardliyati et al. 2012). Konsentrasi 0,2% memberikan ukuran partikel yang paling kecil, sedangkan pada konsentrasi 0,1% tidak terdeteksi adanya partikel. Hal ini kemungkinan karena konsentrasi yang terlalu kecil atau karena terlarut sempurna sehingga tidak terdeteksi adanya partikel. Meningkatnya ukuran partikel serta kecenderungan partikel untuk beragregasi dipengaruhi juga oleh rasio kitosan dengan TPP serta kondisi pH. Pada konsentrasi kitosan 1% dan 2% terjadi peningkatan ukuran partikel
18 dikarenakan jumlah kitosan yang tinggi sehingga pada saat pencampuran dengan STPP ukuran partikel menjadi lebih besar. Pada konsentrasi 2% partikel yang terbentuk berukuran mikro, karena tingginya penambahan kitosan sehingga rasio antara STPP dan kitosan menjadi semakin besar sehingga meningkatkan ukuran partikel yang terbentuk (Mardliyati et al. 2012). Dari hasil uji statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata antara konsentrasi kitosan 0,2% dan 1%, tetapi dengan pertimbangan ukuran yang lebih kecil serta efisiensi proses, maka konsentrasi kitosan 0,2% yang dipilih untuk proses enkapsulasi menggunakan spray dryer. Dari penampakan secara visual menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi kitosan semakin keruh penampakan larutan (Gambar 3). Semakin tinggi konsentrasi kitosan maka terjadi peningkatan ukuran partikel yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kekeruhan. Tabel 4. Ukuran nanokitosan sirih merah pada beberapa konsentrasi Konsentrasi kitosan 0,1% 0,2% 1% 2%
Indeks Polidispersitas ttd 0,141 ± 0.15a 0,185 ± 0.05a 0,235± 0.03a
Ukuran partikel (Zaverage) nm ttd 197,20 ± 11,68a 467,17 ± 101,17a 1148,03 ± 481,78b
Zeta potensial (mV) 19,99 ± 0,06a 32.75 ± 2,11c 34,51 ± 0,17c 27,57 ± 0,65b
Keterangan : data merupakan rerata dari 3 ulangan (rata-rata ± SD) ttd = tidak terdeteksi Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P < 0,5 (uji selang berganda Duncan)
2%
1%
0,2%
0,1%
Gambar 2. Sampel nanokitosan sirih merah Analisis dengan Particle Size Analyzer (PSA) dapat menentukan nilai indeks polidispersitas (IP) yang menunjukkan distribusi ukuran partikel. Semakin kecil nilai indeks polidispersitas menunjukkan distribusi ukuran droplet semakin sempit, yang berarti ukuran diameter droplet semakin homogen (Yuan et al. 2008). Nilai IP yang lebih kecil dari 0,3 mendekati angka 0 menunjukkan sampel uji memiliki distribusi sempit dan menunjukkan formula nanopartikel yang seragam (Yen et al. 2008). Indeks polidispersitas lebih besar dari 0,5
19 menunjukkan heterogenitas yang tinggi (Avadi et al. 2010). Dari keempat konsentrasi yang diuji, semua konsentrasi memiliki nilai IP kurang 0,3 sehingga dapat dikatakan masih seragam dan semua masih dalam kisaran rentang ukuran nanopartikel (Patel et al. 2009). Stabilitas Nanopartikel Stabilitas nanopartikel dinyatakan dengan menggunakan zeta potensial. Zeta potensial adalah muatan pada permukaan partikel yang dapat mempengaruhi kestabilan partikel di dalam larutan dengan gaya elektrostatik diantara partikel atau dapat dikatakan merupakan ukuran kekuatan tolak menolak antar partikel (Qi et al. 2004). Sebagian besar sistem koloid dalam air distabilkan oleh gaya tolak eletrostatik, semakin besar gaya tolak menolak maka semakin kecil kemungkinan partikel untuk bergabung dan membentuk agregat. Pada pengukuran zeta potensial dapat diketahui ada tidaknya kecenderungan partikel saling beraglomerasi sehingga akan memperbesar ukuran partikel atau sebaliknya. Selain ukuran partikel, nilai zeta potensial juga sangat penting pada saat merancang suatu partikel yang bersifat pengiriman terkendali (Konecsni et al. 2012). Semakin tinggi nilai zeta potensial, kemampuan mencegah terjadinya flokulasi (peristiwa penggabungan koloid dari yang kecil menjadi besar) semakin baik. Koloid dengan nilai zeta potensial tinggi diatas 30 mV adalah elektrik stabil, sedangkan koloid dengan nilai potensial rendah cenderung akan mengental flokulasi. Suatu partikel dinyatakan stabil bila memiliki nilai zeta potensial di atas |30mV| (Mardliyati et al. 2012). Penelitian Mohanraj dan Chen (2006) menyatakan , bahwa nanopartikel dengan nilai zeta potensial lebih dari +/- 30 mV telah terbukti stabil dalam suspensi untuk mencegah agregasi. Dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa konsentrasi 0,2% dan 1% memiliki rentang nilai yang menunjukkan kestabilan dibanding konsentrasi 0,1% dan 2% (Tabel 4 dan Lampiran 5). Pada konsentrasi 0,1% nanopartikel tidak terbentuk dan cenderung tidak stabil, pada konsentrasi kitosan 2% mengalami kecenderungan berflokulasi karena jumlah kitosan yang lebih banyak dan menjadi tidak stabil (Fan et al. 2012) Konsentrasi kitosan dapat mempengaruhi zeta potensial nanopartikel. Konsentrasi kitosan yang tinggi menyebabkan NH3 ternetralkan pada permukaan sehingga mengakibatkan kekuatan elektrostatik antara partikel lebih kuat dan menjadi tidak stabil (Li et al. 2012). Pada konsentrasi rendah dengan berat molekul rendah, nanopartikel lebih stabil karena kecenderungan untuk membentuk partikel yang kecil karena rantai kitosan yang lebih pendek sehingga lebih mudah untuk membentuk komplek kitosan dan TPP yang lebih rapat. Selain itu, nilai positif pada zeta potensial menunjukkan adanya gugus amino dari kitosan pada permukaan partikel. Sifat mukoadhesive kitosan disebabkan adanya muatan positif pada permukaan nanopartikel (Alishahi A et al. 2011).
20 Sifat fungsional nanopartikel Nanopartikel dengan beberapa konsentrasi diuji sifat fungsional meliputi kapasitas antioksidan, total fenol dan IC50. Pengujian ini diperlukan untuk mengetahui apakah terjadi perubahan sifat fungsional selama proses sintesis nanopartikel. Kapasitas antioksidan merupakan kemampuan suatu senyawa antioksidan dalam menghambat paparan radikal bebas. Kapasitas antioksidan juga dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bahan pangan untuk menahan reaksi oksidasi tergantung dari banyaknya komponen antioksidan dan komponen prooksidan yang dikandungnya. Pengukuran kapasitas antioksidan dilakukan menggunakan metode DPPH dengan prinsip reaksi reduksi dan oksidasi antara DPPH dan senyawa antioksidan. Semakin banyak radikal DPPH yang tereduksi, akan menunjukkan semakin besar nilai kapasitas antioksidan dan penghitungan didasarkan pada jumlah asam askorbat sebagai standar. Hasil pengujian kapasitas antioksidan menunjukkan bahwa diantara konsentrasi yang lain, nanopartikel dengan perlakuan konsentrasi 0,2% memberikan nilai yang tertinggi, yaitu sebesar 560,00±5,65 ppm. Tingginya nilai aktivitas antioksidan pada konsentrasi 0,2% karena ukuran partikel yang kecil akan meningkatkan sifat mukoadhesiv dan permeabilitas sehingga ketersediaannya di dalam tubuh meningkat. Selain itu, nilai total fenol juga paling tinggi karena ukuran partikel yang sangat kecil sehingga senyawa fenol yang terjerap lebih banyak dibandingkan perlakuan lain yang ukuran partikelnya lebih besar. Dengan semakin meningkatnya jumlah antioksidan maka semakin banyak radikal DPPH yang tereduksi. Secara umum, aktivitas antioksidan suatu senyawa berkaitan dengan kandungan total fenol karena antioksidan alami pada tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik termasuk di dalamnya golongan flavonoid. Hal ini sejalan dengan nilai total fenol yang tinggi. Penelitian Meenakshi et al. (2009) menyatakan adanya hubungan antara total fenol dan aktivitas antioksidan dimana jika didalam suatu bahan memiliki konsentrasi senyawa fenol yang tinggi maka aktivitas antioksidan dalam bahan tersebut juga tinggi. Nilai IC50 juga sangat berhubungan dengan nilai total fenol. Semakin tinggi kandungan total fenol menunjukkan nilai IC50 yang semakin rendah. Golongan senyawa polifenolik yang berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, tokoferol bersifat multifungsional dan dapat beraksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkelat logam dan peredam terbentuknya singlet oksigen (Meenakshi et al. 2009). Tabel 5. Hasil analisis sifat fungsional nanopartikel Konsentrasi kitosan 0,1% 0,2% 1% 2%
Aktivitas antioksidan (AAEµg/ml) 365,36 ± 5,05a 560,00 ± 5,65d 471,43 ± 0,25b 532,77 ± 0,37c
Nilai IC 50 (AAEµg/ml) 934,98 ± 4,68d 676,84 ± 3,20a 862,61 ± 5.55c 780,67 ± 1,88b
Total fenol (mg/100gr) 399, 87 ± 0.03a 568,76 ± 3,0d 437,188 ± 3,0b 470,18 ± 0,6c
Keterangan : Penambahan ekstrak sebesar 10% data merupakan rerata dari 3 ulangan (rata-rata±SD) Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P < 0,5 (uji selang berganda Duncan)
21 Pengeringan semprot (spray drying) nanopartikel ekstrak sirih merah Pengeringan semprot banyak digunakan untuk sampel yang mengandung partikel yang larut dalam air, memiliki sifat kristalinitas dan mudah berdifusi. Selain itu, sampel yang dikeringkan dengan pengering semprot harus mampu bertahan terhadap panas (Patel et al. 2009). Penggunaan bahan pengkapsul yang berbeda bertujuan untuk mendapatkan nanopartikel dengan sistem pengeluaran senyawa aktif terkontrol, terutama penggunaan protein. Maltodekstrin merupakan salah satu bahan yang banyak digunakan untuk enkapsulasi senyawa polifenol. Ekstrak etanol wortel hitam yang mengandung antosianin tinggi dikeringkan dengan menggunakan maltodekstrin sebagai bahan pembawa dan pengkapsul (Ersus 2007). Maltodekstrin memiliki kelarutan yang tinggi di dalam air, bersifat membentuk film, berikatan dengan flavor dan lemak, serta dapat mengurangi permeabilitas terhadap oksigen (Richana et al. 2007). Selain maltodekstrin, bahan pengkapsul nanopartikel dari protein juga dapat digunakan, karena sifatnya yang unik diantaranya membentuk gel yang memungkinkan sebagai bahan yang ideal untuk enkapsulasi senyawa aktif. Protein merupakan salah satu bahan yang sangat potensial digunakan sebagai enkapsulan serta pembawa senyawa aktif dan obat, dan dapat mengoptimalkan pengantaran yang spesifik dan sesuai target (Gunasekaran et al. 2006). Pengkapsulan dengan protein dapat juga digunakan untuk bahan-bahan nutrasetikal yang sensitif di dalam saluran pencernaan. Protein dapat digunakan bersama-sama dengan bahan lain seperti beta-laktoglobulin yang mengkapsul kitosan nanopartikel (ukuran 100nm) dengan gelasi ionik dan sodium tripolifosfat. Selain itu, protein juga akan melindungi senyawa-senyawa yang sensitif terhadap kondisi di dalam saluran pencernaan (Chen et al. 2006). Menurut Zhang et al. (2012), protein merupakan salah satu bahan dengan sifat fungsional yang unik, diantaranya kemampuan untuk membentuk gel dan emulsi dan kemampuan dalam sistem pengantaran tersebut untuk senyawa aktif yang bersifat lipofilik maupun hidrofilik. Selain dapat berikatan dengan beberapa jenis senyawa aktif karena struktur ikatan polipeptida yang dapat melindungi senyawa aktif. Isolat protein kedelai digunakan sebagai bahan pengkapsul karena ketersediaannya yang melimpah, murah dan merupakan bahan yang dapat didaur ulang (Tapal and Purnima 2012). Pada penelitian ini, hasil terbaik yang diperoleh dari sintesis nanopartikel dan berdasarkan sifat fungsionalnya adalah kitosan konsentrasi 0,2% selanjutnya dilakukan pengeringan semprot dengan penyalut maltodekstrin dan isolat protein kedelai. Hasil pengeringan semprot menunjukkan bahwa rendemen yang diperoleh untuk sampel MISP (maltodekstrin 80%, isolat protein kedelai 20%) dan M (maltodekstrin 100%) berturut-turut adalah 8,80% dan 10,05%. Rendemen yang rendah dimungkinkan karena perbedaan DE (dextrose equivalent), yaitu nilai DE yang tinggi (15-20) sehingga pada saat dilakukan spray dryer dengan suhu tinggi terjadi karamelisasi dan banyak yang menempel pada tabung spray yang mengakibatkan penurunan rendemen (Richana et al. 2007).
22
A
B
Gambar 3. Bubuk nanopartikel (A) kombinasi 80% maltodekstrin 20% isolat protein kedelai dan (B) Maltodekstrin 100% Proses rekonstitusi perlu dilakukan untuk ujicoba aplikasi apakah terjadi perubahan ukuran pada nanopartikel. Rekonstitusi dilakukan dengan penambahan sejumlah air sehingga total padatan yang diperoleh sama dengan sebelum dilakukan spray dryer, yaitu sebesar 20%. Ukuran partikel yang terbentuk setelah rekonstitusi dengan pengisi maltodekstrin (M) sebesar 8,9 ± 2,6 µm dan campuran maltodekstrin dan isolat protein kedelai sebesar 8,2 ± 1,1µm. Sampel dengan penyalut maltodekstrin mempunyai ukuran partikel yang cukup besar, karena proses rekonstitusi yang kurang sempurna sehingga yang terdeteksi adalah partikel enkapsulat yang berukuran mikro. Hasil pengukuran PSA sampel yang telah direkonstitusi menunjukkan peningkatan ukuran partikel, karena adanya penambahan senyawa pengisi yang mempunyai rantai panjang dengan ukuran partikel yang besar. Selain itu adanya kitosan juga member kontribusi terhadap peningkatan ukuran partikel menjadi lebih besar (Peres et al. 2011). Akibat proses rekonstitusi yang kurang sempurna akan menyebabkan yang terukur adalah bahan pengisi yang ukuran partikelnya besar, serta penggunaan panas pada proses spray dryer membuat partikel saling beraglomerasi. Gulseren (2012) melaporkan akibat adanya panas pada proses spray drying mengakibatkan nanopartikel dengan penyalut isolat whey protein mengalami agregasi. Stabilitas pada penyimpanan Pengujian stabilitas nanopartikel dilakukan pada beberapa kondisi pH penyimpanan selama 7 hari pada suhu 28oC. Nilai pH awal sampel berada pada kisaran 4-5. Kondisi asam penyimpanan adalah pada pH 2, 3, dan 4 dan kondisi basa pada pH 6, 7, dan 8. Parameter yang menjadi tolok ukur kestabilan nanopartikel adalah jumlah total fenol yang terlepas dari matrik nanopartikel. Semakin banyak total fenol yang terdeteksi menunjukkan kestabilan yang rendah karena bahan penyalut tidak dapat melindungi senyawa aktif. Pengujian total fenol dilakukan pada medium penyimpanan pada akhir penyimpanan hari ke 7 dan hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 6.
23 Tabel 6. Konsentrasi total fenol pada pH asam selama penyimpanan 7 hari Perlakuan pH NP M MISP 141,94 125,22 124,80 Total fenol hari ke 0 2 31,72 ± 0,34d 29,09 ± 0,28c 33,87 ± 0,12f 3 31,60 ± 0,42d 26,24 ± 0,20b 36,07 ± 0,06h 4 32,43 ± 0,29a 24,76 ± 0,33a 34,58 ± 0,23g Keterangan: data merupakan rerata dari 3 ulangan (rata-rata±SD) Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P < 0,5 (uji selang berganda Duncan) NP=nanopartikel tanpa penyalutan, M=maltodekstrin 100%, MISP=maltodekstrin 80%+isolat protein kedelai 20%
Tabel 7. Konsentrasi total fenol pada pH basa selama penyimpanan 7 hari Perlakuan pH NP M MISP 141,94 125,22 124,80 Total fenol hari ke 0 6 52,01 ± 0,07 a 43,81 ± 0,22 a 52,80 ± 0,20 a 7 51,43 ± 0,16 a 47,28 ± 0,38 a 52,51 ± 0,47 a 8 50,65 ± 0,00 a 46,35 ± 0,36 a 50,29 ± 0,74 a Keterangan: data merupakan rerata dari 3 ulangan (rata-rata±SD) Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P < 0,5 (uji selang berganda Duncan) NP=nanopartikel tanpa penyalutan, M=maltodekstrin 100%, MISP=maltodekstrin 80%+isolat protein kedelai 20%
Pada Tabel 6 dan 7 dapat dilihat bahwa pada kondisi asam terdapat perbedaaan nyata pada semua perlakuan, sedangkan pada kondisi basa, tidak berbeda nyata Pada pH basa, nanopartikel cenderung tidak stabil dan mengalami perubahan dibandingkan pada pH asam. Kondisi pH mempengaruhi kehilangan fenol pada nanopartikel. Pada kondisi asam, fenol akan terhindar dari kerusakan dibanding pada kondisi basa karena pada kondisi basa senyawa fenol lebih mudah mengalami reaksi seperti deprotonisasi pada quinon (Caillet et al. 2011). Nanopartikel kitosan termodifikasi tripolifosfat setelah disimpan selama 7 hari pada pH yang lebih tinggi (5,5, 7,5 dan 9) mengalami peningkatan ukuran partikel, dan akan mudah berubah akibat terjadi perubahan pH lingkungan serta kekuatan ionik larutan (Tsai et al. 2011). Nanopartikel selama penyimpanan mengalami penurunan persentase total fenol terbesar pada pH basa dibandingkan pada kondisi asam. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada pH yang semakin meningkat, nanopartikel cenderung mengalami kerusakan, dan senyawa fenol yang terkandung di dalam sirih merah juga akan mengalami kerusakan. Pada pH rendah, molekul kitosan melebar karena tingginya protonasi, sedangkan pada pH tinggi molekul mengkerut akibat rendahnya protonasi dan atau karena perubahan ikatan hidrogen (Tsai et al. 2011). Hal ini kemungkinan disebabkan nanopartikel kitosan merupakan gel yang metastabil, disamping strukturnya mudah berubah akibat perubahan pH dan kekuatan ionik larutan. Fenomena ini tergantung pada polikation dari nanopartikel kitosan. Seperti penelitian yang dilakukan Deladino et
24 al. (2008), enkapsulasi menggunakan kitosan dan alginat menunjukkan bahwa pelepasan polifenol sebesar 50% setelah 3,5 jam. Kapasitas antioksidan serta total fenol Pada nanopartikel yang telah dienkapsulasi dilakukan pengujian sifat fungsionalnya untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama proses pengeringan. Kapasitas antioksidan merupakan kemampuan suatu senyawa antioksidan dalam menghambat paparan radikal bebas. Kapasitas antioksidan juga dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bahan pangan untuk menahan reaksi oksidasi tergantung dari banyaknya komponen antioksidan dan komponen prooksidan yang dikandungnya. Tabel 8. Hasil pengujian sifat fungsional Konsentrasi
Larutan kitosan tanpa ekstrak Ekstrak etanol 96% (1g) Sampel MISP (0,08g) Sampel M (0,1g) Keterangan :
Kapasitas antioksidan (AAEµg/ml) 5032,86 ± 6,06
Nilai IC50 (AAEµg/ml)
Total fenol (mg/100g)
263,30 ± 1,04
394,74 ± 6,0
10892,86 ± 6,06 2528,00 ± 16,97 2442,00 ± 8,49
46,51 ± 0,05 375,61 ± 1,88 431,27 ± 0,76
2388,37 ± 0,3 560,27 ± 3,0 509,34 ± 3,0
data merupakan rerata dari 3 ulangan (rata-rata±SD) M = maltodekstrin 100% dengan ekstrak sirih 10% MISP = maltodekstrin 80%, isolat protein kedelai 20% dengan ekstrak sirih 10%
Pada Tabel 8, terlihat adanya penurunan aktivitas pada sampel nanopartikel, tetapi pada perhitungan ini, konsentrasi ekstrak yang digunakan hanya 10% ekstrak etanol. Pada masing-masing sampel, erhitungan kesetaraan menunjukkan ekstrak etanol sebanyak 1gr, sedangkan pada sampel MISP ekstrak sebanyak 0,08 gr dan sampel M sebanyak 0,1gr. Perhitungan berdasarkan peresntase rendemen hasil spray drying yang dikalikan dengan konsentrasi ekstrak. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perubahan bentuk menjadi nanopartikel memberikan pengaruh yang cukup besar pada kemampuan antioksidan suatu senyawa. Suatu senyawa memiliki kemampuan antioksidan bila mampu memberikan elektron pada radikal bebas. Nilai IC50 ekstrak etanol menunjukkan nilai paling kecil diikuti oleh sampel larutan kitosan tanpa ekstrak, sampel MISP dan M. IC50 merupakan konsentrasi sampel yang mampu memberikan persen penangkapan radikal sebanyak 50% dibanding kontrol melalui suatu persamaan garis, sehingga semakin kecil nilai IC50 berarti semakin kuat daya antioksidannya. Hal ini menyatakan bahwa ekstrak etanol mempunyai aktivitas penangkapan radikal bebas paling tinggi dibandingkan sampel yang lain, tetapi pada sampel yang lain jumlah penambahan ekstrak hanya sebesar 0,08 dan 0,1 gram. Hal ini dapat menjadi pertimbangan penggunaan nanopartikel dengan jumlah yang sedikit mampu memberikan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Semakin kecil nilai IC50, maka semakin besar aktivitas penangkal radikal bebas DPPH (Dungir et al. 2012). Senyawa fenol pada ekstrak sirih merah sangat efektif sebagai antioksidan
25 karena adanya gugus hidroksil fenolik, dengan menukar radikal bebas dengan memberikan atom H. Pada Tabel terlihat juga bahwa larutan kitosan tanpa ekstrak juga mempunyai aktivitas antioksidan, sedangkan bahan pengkapsul yang digunakan yaitu isolat protein kedelai diketahui juga memiliki kemampuan sebagai peredam radikal bebas (Gunawan SA, 2009) sehingga memberikan kontribusi terhadap aktivitas antioksidan sampel MISP. Struktur mikrokapsul Struktur dan morfologi mikrokapsul yang terbentuk kemudian diamati dengan Scanning Electron Microscopy (SEM). Pengamatan dilakukan untuk mengamati morfologi dan menentukan ukuran mikrokapsul serta gambar permukaan spesimen. Hasil foto menunjukkan bahwa bubuk partikel memiliki bentuk bola dengan permukaan kasar dan berkerut, baik sampel M dan MISP menunjukkan bentuk morfologi yang tidak berbeda. Dari gambar dapat terlihat ukuran partikel pada kisaran dibawah 10µm dengan perbesaran 2000x.
Maltodekstrin (M)
Maltodekstrin+isolat protein kedelai (MISP)
Gambar 4 Struktur nanopartikel hasil foto SEM Hasil penelitian menunjukkan, pada sampel M dan MISP terjadi pengkerutan, kemungkinan akibat adanya penggunaan panas pada proses spray drying serta pengaruh komposisi penyalut yang digunakan. Senyawa fenolik terperangkap di dalam bola-bola dimana pada bola yang mengkerut kemungkinan senyawa fenolik terlepas akibat pemanasan (Peres et al. 2011). Pada sampel MISP, partikel yang terbentuk lebih banyak sehingga senyawa fenol yang terperangkap juga semakin banyak. Hal ini sejalan dengan nilai kapsitas antioksidan dan nilai IC50 pada Tabel 7. Pengkerutan pada sampel M dan MISP dapat pula diakibatkan laju evaporasi pelarut pada proses pengeringan spray (Harris et al. 2011). Suhu pemanasan pada proses pengeringan mengakibatkan kehilangan senyawa aktif sehingga permukaan menjadi lebih padat (Deladino et al. 2008). Kerusakan partikel atau terjadinya pengkerutan tergantung pada ketebalan dan sifat mekanik dari cangkang. Penambahan TPP pada kitosan tidak akan mempengaruhi morfologi permukaan nanopartikel yang dihasilkan karena
26 TPP hanya membentuk ikatan ionik antar molekul kitosan (Desai and Park. 2005). Morfologi nanopartikel berbentuk bola berongga dengan permukaan halus merupakan bentuk optimal yang dapat diperoleh jika cangkang kaku kuat dan tidak terlipat (Peres et al., 2011).
Uji disolusi in vitro pada medium asam dan basa Uji disolusi merupakan suatu metode fisikokimia yang digunakan dalam pengembangan produk dan pengendalian mutu sediaan obat berdasarkan pengukuran parameter laju pelepasan dan melarutnya zat berkhasiat dari sediaannya. Proses disolusi diawali dengan masuknya larutan bufer ke dalam permukaan mikrokapsul sehingga mikrokapsul membengkak dan membentuk pori, kemudian bufer berinteraksi dengan zat aktif sehingga terjadi pelarutan dan pelepasan zat aktif secara bertahap. Uji disolusi diterapkan pada sediaan obat padat yang bertujuan mengukur dan mengetahui jumlah zat aktif yang terlarut dalam medium cair yang diketahui volumenya pada suatu waktu, suhu, dan peralatan tertentu. Uji disolusi dapat menunjukkan laju pelepasan zat aktif (senyawa fenol) yang tersalut nanopartikel kitosan dalam model tubuh manusia. Pelepasan senyawa fenol pada medium basa berjalan lebih cepat dibandingkan pada medium asam. Sampel ekstrak mengalami pelepasan yang paling cepat dibanding sampel lain, sedangkan pelepasan senyawa fenol pada sampel nanopartikel, M dan MISP lebih lambat dan terkendali (Gambar 7 dan 8).
Keterangan = NP: nanopartikel tanpa penyalut MISP : maltodekstrin+isolate protein kedelai M : maltodekstrin
Gambar 5 .Hubungan waktu terhadap pelepasan total fenol pada medium basa Secara umum, pelepasan senyawa fenol dalam medium asam pH 1,2 (kondisi lambung) adalah terkendali, sedangkan pada medium basa pH 7,4 (kondisi usus) terlepas maksimum. Pelepasan maksimal senyawa fenol di dalam medium basa pada sampel ekstrak, nanopartikel, M dan MISP berturut-turut
27 terjadi pada menit ke 120,180,150 dan 180. Pada medium asam, pada akhir pengujian yaitu di menit ke 180 sampel ekstrak sudah mengalami pelepasan sebesar 96,51% diikuti oleh sampel M sebesar 49%, sampel nanopartikel sebesar 42,78% dan sampel MISP sebesar 39%. Berdasarkan hasil tersebut, maka nanopartikel dengan bahan penyalut dapat dikembangkan karena pelepasannya dalam medium asam (kondisi lambung) lebih terkendali dan lebih kecil sehingga pelepasan pada target (usus) akan lebih banyak. Pada penelitian Gunasekaran et al. (2007), nanopartikel menggunakan whey protein sebagai pengkapsul yang diisi dengan kafein menunjukkan pada pH basa (7,5) pelepasan kafein berjalan lebih cepat dibandingkan pada pH asam (1,8).
Keterangan = NP: nanopartikel tanpa penyalut MISP : maltodekstrin+isolate protein kedelai M : maltodekstrin
Gambar 6 .Hubungan waktu terhadap pelepasan total fenol pada medium asam Pelepasan lambat pada pH asam berkaitan dengan muatan dan gerakan elektrostatik. Fenomena ini sejalan dengan sifat pembengkakan dan sensitivitas terhadap pH. Penurunan pelepasan senyawa fenol disebabkan oleh adanya peran TPP sebagai zat penaut-silang yang memperkuat matriks nanopartikel. Ketika konsentrasi TPP semakin besar, matriks nanopartikel menjadi semakin rapat sehingga senyawa fenol yang terperangkap akan sulit terlepas. Selain itu, pada pembentukan nanopartikel, tripolifosfat yang merupakan multivalent anion non toksik dapat membentuk gel dengan reaksi sambung silang ionik antara gugus anion dari tripolifosfat dengan gugus amin bebas bermuatan positif dari kitosan. Meningkatnya jumlah asam dan menurunnya pH larutan tripolifosfat mengakibatkan gugus negatif tripolifosfat yang mengalami sambung silang ionik dengan gugus positif dari kitosan semakin banyak sehingga memperlambat pelepasan obat. Menurut Berger et al. (2004) mekanisme pelepasan obat atau senyawa dari sistem pembawa sangat dipengaruhi oleh pH. Matriks kitosan tertaut silang secara ionik akan mempengaruhi respon terhadap sifat pH medium yang tergantung pada
28 kerapatan taut silang. Semakin tinggi kerapatan taut silang akan menurunkan pembengkakan dan sensitivitas pH dengan peningkatan stabilitas ikatan dan akan menurunkan kemampuan pelepasan. Kitosan tertaut silang secara ionik tidak hanya mengalami pembengkakan pada medium asam, tetapi juga pada medium basa. Jika pH menurun, kerapatan taut silang akan menurun dan terjadi pembengkakan. Proses pembengkakan akan didukung oleh protonasi dan tolakan pada gugus ammonium bebas. Jika pH semakin menurun lebih besar lagi, disosiasi ikatan ionik dan pelepasan ikatan dapat terjadi dan mengarah pada pelepasan. Apabila pH meningkat, protonasi kitosan akan menurun dan akan terjadi penurunan kerapatan taut silang yang diikuti pembengkakan. Jika pH menjadi lebih tinggi lagi, gugus amino kitosan ternetralkan dan taut silang ionik terhambat. Jika kerapatan taut silang mengecil, interaksi taut silang ionik tidak cukup kuat untuk mencegah/menghindari disosiasi dan kemudian zat aktif terlepas lebih cepat bila dibandingkan pada pH asam. Harris et al. (2011) menyatakan bahwa pelepasan senyawa aktif polifenol teh Ilex paraguariensis pada nanopartikel kitosan terjadi pada pH basa dan tertinggi pada pH 5,7 dibanding pada pH 6,5 dengan sifat antioksidan yang masih baik. Pada umumnya pelepasan obat/senyawa aktif terbagi menjadi dua cara yaitu dengan cara difusi dan erosi. Jika lapisan terhidrasi mampu dipertahankan selama waktu tertentu, maka pelepasan dikendalikan oleh proses difusi. Sebaliknya jika lapisan terhidrasi tidak mampu dipertahankan selama waktu tertentu, maka kecepatan pelepasan dikendalikan oleh proses erosi matrik. Sediaan yang lepas terkendali merupakan target utama pembuatan nanopartikel karena beberapa faktor diantaranya dapat menghasilkan efek terapi jangka panjang, penggunaan obat yang lebih efisien, memperkecil efek samping akibat fluktuasi kadar obat dalam plasma darah serta mengurangi frekuensi pemberian obat (Sutriyo et al. 2005). Pada penelitian ini, pelepasan nanopartikel lebih banyak terjadi secara difusi karena adanya lapisan pelindung matrik berupa larutan kitosan dan bahan pengisi maltodekstrin dan isolat protein kedelai. Kurva yang terlihat pada Gambar 7 menunjukkan pelepasan fenol pada medium asam lebih kecil dan terkendali daripada ekstrak tanpa penyalutan. Hasil tersebut membuktikan perlunya bahan penyalut sebagai sistem pengantar dalam tubuh agar tidak banyak terdegradasi di dalam lambung, dalam hal ini adalah penyalut kombinasi maltodekstrin dan isolat protein kedelai. Uji bioaccessibility secara in vitro Bioaccessibility dapat diartikan sebagai pelepasan senyawa dari matriks makanan ke dalam cairan pencernaan di dalam saluran pencernaan. Bioaccessibility secara khusus mengacu pada jumlah senyawa (dapat berupa antioksidan) yang dilepaskan dari matriks makanan menuju perbatasan usus untuk diangkut ke dalam sel. Bioavailabilitas mengacu pada jumlah senyawa (misalnya antioksidan) yang telah dicerna, diserap dan tersedia untuk metabolisme normal atau senyawa yang telah melalui membran sel dan tersedia untuk digunakan dalam sel (Carlos et al. 2011). Uji bioaccessibility untuk mengetahui kelarutan nanopartikel di dalam suatu sistem pencernaan yang melibatkan beberapa enzim. Sistem pencernaan
29 menggunakan simulasi dan kondisi yang dimodifikasi sehingga menyerupai kondisi saluran pencernaan. Tiga langkah prosedur simulasi proses pencernaan dalam mulut, perut dan usus kecil merupakan bagian paling dapat menentukan bioaccessibility. Saluran usus besar tidak diperhitungkan, karena dalam pencernaan makanan secara in vivo penyerapan senyawa terutama terdapat pada usus kecil (Alishahi et al. 2011).
Mulut
Senyawa fenol Gula
Perut
Usus halus
Limpa dan sistem peredaran darah
Usus besar
Gambar 7. Skema penyerapan senyawa fenol dalam tubuh (Carlos et al. 2011) Hasil yang diperoleh dari metode in vitro didasarkan pada pembentukan produk pencernaan yang larut atau terdialisis (dialyzable). Nilai fraksi yang bioaccessible merupakan konsentrasi elemen yang larut dalam media pencernaan. Pada prinsipnya penyerapan fenol sangat dipengaruhi oleh adanya gula dalam senyawa tersebut (Gambar 6).
Gambar 8. Hasil uji bioaccessibility nanopartikel ekstrak sirih merah Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan total fenol pada lambung dari keempat sampel mengalami penurunan, sejalan dengan hasil uji disolusi. Konsentrasi total fenol pada lambung menunjukkan bahwa konsentrasi senyawa fenol paling tinggi (70,45%) dengan jumlah ekstrak sebesar 0,08gr pada sampel
30 MISP, diikuti oleh sampel M (71,66%) dengan jumlah ekstark 0,1gr dan sampel NP sebesar 70,45% dengan jumlah ekstrak 0,1gr. Pada sampel ekstrak yaitu dengan jumlah 1 gr menunjukkan nilai paling rendah yaitu 66,25%. Hal ini menunjukkan adanya proses enkapsulasi dapat memberikan perlindungan terhadap kandungan senyawa fenol. Pada uji ini, penyerapan senyawa aktif selain akibat pengaruh pH juga disebabkan oleh adanya aktivitas enzim-enzim. Pada kondisi pH netral, pelepasan senyawa aktif terjadi secara difusi dan erosi. Pada pH basa, pelepasan lebih banyak disebabkan oleh interaksi non elektrostatik seperti ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik antara kitosan dan senyawa fenol (Alishahi et al. 2011). Akibat interaksi non elektrostatik yang rapuh, pelepasan senyawa fenol berjalan lebih cepat. Pada tahap ini, penurunan senyawa fenol yang terjadi lebih besar akibat adanya aktivitas enzim-enzim dalam saluran pencernaan Enzim-enzim yang terdapat di dalam saluran pencernaan akan membantu pemecahan protein dan karbohidrat (Acosta 2009). Pada sampel MISP, penyerapan senyawa fenol lebih besar dibandingkan sampel lainnya. Hal ini dikarenakan adanya protein dapat meningkatkan penyerapan dalam sel epitel usus melalui mekanisme transitosis. Selain itu, adanya protein dapat melindungi tidak terjadi degradasi enzimatis dengan meningkatkan waktu retensi dinding mukosa dan senyawa aktif (Kammona et al., 2012). Nanopartikel menempel pada lapisan mukus dan melepaskan protein/peptida melewati sel epitel secara parallel. Penyerapan nutrisi dalam sistem pencernaan secara umum melalui dua mekanisme, yaitu transport aktif dan transport pasif. Senyawa yang memiliki kelarutan rendah terserap di dalam tubuh melalui mekanisme pasif, sedangkan senyawa yang memiliki kelarutan tinggi terserap melalui mekanisme aktif. Senyawa fenol masih dapat ditemukan di dalam lambung, tetapi tidak semua dapat digunakan hingga ke dalam usus. Secara umum, pelepasan fenol pada sampel ekstrak lebih banyak dibandingkan pada perlakuan lain. Senyawa fenol yang terdeteksi di dalam usus pada sampel ekstrak lebih sedikit dibandingkan sampel lain yang menggunakan penyalut karena secara alami bahan penyalut yang digunakan bersifat adhesive. Selain itu, dengan ukuran nano senyawa fenol dapat melewati membran sel epitel inter dan intraseluler karena muatan positif nanopartikel dapat berinteraksi dengan muatan negatif membran sel epitel. Interaksi antara membran sel epitel dengan nanopartikel dapat terlepas kembali sehingga nanokitosan sirih merah tidak memiliki pengaruh negatif terhadap fungsi utama membran sel (Alishahi et al. 2011). Penghambatan enzim α-glukosidase Enzim α-glukosidase adalah enzim yang dapat mengkatalisis pemecahan ikatan 1,4 α-glukosida dan ikatan 1,6 α-glukosida. Kerja enzim ini adalah melanjutkan kerja dari enzim α-amilase, yakni menghidrolisis α-limit dekstrin menjadi glukosa. Keberadaan enzim α-glukosidase digunakan untuk mengetahui potensi tumbuhan sebagai antidiabetes secara in vitro dengan mekanisme penghambatan dan penundaan penyerapan glukosa ke dalam darah (Elya et al. 2012). Semakin besar potensi tumbuhan sebagai antidiabetes, semakin tinggi pula penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase (Azizah 2005). Fungsi α-glukosidase dalam sistem pencernaan di usus sebagai katalis tahap terakhir dalam proses
31 pemecahan karbohidrat. Pada kondisi diabetes, kerja enzim α-glukosidase dalam proses penyerapan makanan di usus harus dicegah. Kadar glukosa dalam darah penderita diabetes akan semakin tinggi akibat banyaknya pemecahan karbohidrat menjadi glukosa. Oleh karena itu, kerja enzim tersebut dalam usus harus dihambat, baik dengan menggunakan obat alami maupun obat komersil (Murray et al. 2009). Pada penderita Diabetes Mellitus (DM), inhibisi terhadap enzim ini menyebabkan penghambatan absorpsi glukosa sehingga menurunkan keadaan hiperglikemia setelah makan. Sampel ekstrak mengandung polifenol, tanin dan flavonoid, yang ketiga senyawa tersebut merupakan metabolit sekunder yang mempunyai khasiat bagi kesehatan. Tabel 9. Penghambatan enzim α-glukosidase Sampel Ekstrak (1g) Nanopartikel (0,10g) MISP (0,08g) M (0,10g) Obat Acarbose Keterangan :
% Penghambatan 83,438 ± 0,494 28.205 ± 1,124 16.494 ± 0,330 15.359 ± 0,202 65.762 ± 2,362
data merupakan rerata dari 3 ulangan (rata-rata±SD) MISP : maltodekstrin 80% dan isolate protein kedelai 20% M : maltodekstrin 100%
Nilai persentase penghambatan enzim α-glukosidase pada sampel ekstrak, NP, M dan MISP adalah sebesar 52,40%, 28,20%, 15,35% dan 16,49%, sedangkan acarbose sebesar 65,76% (Tabel 9). Nilai penghambatan tertinggi pada sampel ekstrak sirih merah dan terendah adalah sampel M. Hasil ini menunjukkan bahwa semua sampel yang diujicobakan mempunyai potensi untuk digunakan sebagai obat bagi penderita diabetes, tetapi pada sampel nanopartikel, M dan MISP penghambatan masih dibawah acarbose yang merupakan obat komersial penderita diabetes. Namun penggunaan acarbose memiliki efek samping yaitu kembung, diare dan kram usus (Hartika, 2009). Nanokitosan sirih merah memiliki daya hambat yang lebih rendah dibandingkan ekstrak karena pada nanopartikel telah ada penambahan senyawa lainnya yang dapat menurunkan kemampuan ekstrak.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ekstrak sirih merah diketahui mengandung senyawa polifenol, tanin dan flavonoid. Ekstraksi dengan metode maserasi memberikan hasil yang lebih baik daripada metode refluks dengan komponen volatil didominasi oleh golongan monoterpen, yaitu sabinen dan mirsen. Formula nanokitosan sirih merah pada konsentrasi 0,2% masih memiliki nilai kapasitas antioksidan yang tinggi dan mempunyai ukuran partikel terkecil, yaitu sebesar 197,20 ± 11,68 nm.Pengeringan semprot dengan bahan pengisi kombinasi isolat protein kedelai 20% dan maltodekstrin 80% (MISP) memberikan hasil yang baik yaitu nilai aktivitas
32 antioksidan lebih tinggi dibanding perlakuan maltodekstrin 100% (M) walaupun terjadi peningkatan ukuran partikel hingga menjadi 8266,9 ± 1134,9 nm. Morfologi nanopartikel menyerupai bentuk bola dengan permukaan kasar dan berkerut. Hasil uji stabilitas pada beberapa pH selama penyimpanan menunjukkan bahwa kerusakan senyawa fenol pada pH tinggi (6,7,8) lebih banyak dibandingkan pada pH rendah (2,3,4). Hasil uji disolusi menunjukkan bahwa pelepasan senyawa fenol pada medium basa berjalan lebih cepat dibandingkan pada medium asam. Pada medium basa pelepasan maksimal terjadi pada menit ke 180 untuk sampel nanopartikel dan MISP, sedangkan pada medium asam, pelepasan terbesar adalah pada sampel ekstrak sebesar 96,51% diikuti sampel M sebesar 49%, sampel nanopartikel sebesar 42,78% dan sampel MISP sebesar 39%. Uji bioacessibility menunjukkan bahwa kandungan total fenol masih dapat ditemukan di dalam lambung tetapi tidak semua dapat digunakan hingga ke dalam usus karena sebagian terbuang dan masuk ke dalam kolon. Semua sampel yang diujikan mempunyai potensi sebagai inhibitor enzim alfa glukosidase dengan nilai penghambatan ekstrak, nanopartikel, M, MISP dan acarbose berturut-turut adalah sebesar 83,44±0,494 %; 28,21±1,124 %; 16,49±0,330 %; 15,36±0,202% dan 65,76±2,362%. Sintesis nanopartikel ekstrak sirih merah konsentrasi kitosan 0,2% sangat potensial dikembangkan sebagai alternatif pemanfaatan sirih merah. Perubahan bentuk menjadi nanopartikel hingga < 200nm dapat meningkatkan sifat fungsional dan berpotensi sebagai antihiperglikemik dilihat dari aktivitas penghambatan terhadap enzim α-alfaglukosidase serta meningkatkan ketersediaannya di dalam tubuh. Nanopartikel terbukti lebih tahan terhadap kondisi lambung dengan pH asam dibandingkan dalam bentuk ekstrak. Dalam bentuk nanopartikel, jumlah ekstrak lebih sedikit dengan sifat fungsional yang masih dapat dipertahankan.
Saran 1. Untuk mengetahui penyerapan senyawa aktif secara in vivo, perlu dilakukan pengujian mengggunakan hewan percobaan seperti tikus Sprague dawley. 2. Penggunaan bahan penyalut turunan protein yang lain dengan kombinasi penyalut yang lebih bervariasi 3. Analisa morfologi perlu dilakukan menggunakan Transmission Electron Microscopy (TEM) yang memiliki perangkat lebih modern dan dapat digunakan untuk sampel yang berbentuk cairan.
33
DAFTAR PUSTAKA [Antara]. 2011. Penderita diabetes meningkat 2-3 kali pada tahun 2030. http://www.antaranews.com/berita/284670/penderita-diabetes-meningkat-23-kali-pada-2030 (23 Januari 2012). Agustanti L. 2008. Potensi sirih merah (Piper crocatum) sebagai activator enzim glukosa oksidase [Skripsi] Bogor: Institut Pertanian Bogor. Ahmed K, Yan L, David Julian M, Hang X. 2012. Nanoemulsion and emulsion based delivery systems for curcumin: Encapsulation and release properties. Food Chemistry 132:799-807. Alasalvar C, Taylor Y. 2002. Seafoods-Quality, Technology and Nutraceutical Applications. New York. Springer Alfarabi M. 2010. Kajian antidiabetogenik ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) in vitro [tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Alishahi A. 2011. Chitosan nanoparticle to carry vitamin C the gastrointestinal tract and induce the non-specific immunity system of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Carbohydrat Polymers 86 : 142-146 Alishahi A, Mirvaghefi A, Tehrani MR, Farahmand H, Shojaosadati, SA, Dorkoosh, FA, Elsabee, MZ. 2011. Shelf life and delivery enhancement of vitamin C using chitosan nanoparticles. Food Chem 126:935–940. doi: 10.1016/j.foodchem.2010.11.086 Andayani R, Lisawati Y, Maimunah. 2008. Penentuan aktivitas antioksidan, kadar fenolat total dan likopen pada buah tomat (Solanum lycopersicum L). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. 13(1): 1-9. Apak R, Guclu K, Demirata B, Ozyurek, Celik SE, Bektasoglu B, berker KI, Ozyurt. 2007. Comparative evaluation of various total antioxidant capacity assays applied to phenolic compunds with the CUPRAC assay. Review Molecules. 12:1496-1547 Atanassova M, Georgieva K, Ivancheva. 2011. Total phenolic and total flavonoid contents, antioxidant capacity and biological contaminants in medicinal herbs. Journal of the University of Chemical Technology and Metallurgy 46(1): 81-88. Avadi MR, Assal MMS, Nasser M, Saidah A, Fatemeh A, Rassoul D and Morteza R. 2010. Preparation and Characterization of Insulin nanoparticle using chitosan and Arabic gum with ionic gelation method. Nanomedicine: Nanotechnology, Biology and Medicine 6:58-63 Azizah T. 2005. Pengaruh decocta daun lidah buaya (Aloe vera L) terhadap kadar glukosa darah kelinci yang dibebani glukosa. Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi 6:26-34. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Statistik Tanaman Obat-obatan dan Hias. Badan Pusat Statistik. Jakarta Batubara I, Rahminiwati M, Darusman LK, Mitsunaga T. 2011. Tyrosinase activity of piper beetle and piper crocatum essential oil. Proceeding of International Conference on Basic Science. Malang : Faculty of Science, University of Brawijaya. 50-53. Berdanier CD, Dwyer J, Feldman EB. 2006. Handbook of Nutrition and Food Second Edition. USA : CRC Press.
34 Berger J, Reist M, Mayera JJM, Felt O, Gurny R. 2004. Structure and interactions in chitosan hydrogels formed by complexation or aggregation for biomedical applications. Eur.J.of Pharm&Biopharm 57:35-52 Bhumkar DR, Phokarkar VB. 2006. Studies on Effect of pH on crosss-linking of chitosan with sodium tripolyphosphate : a technical note. APPS PharmSciTech 7(2):1-6 Caillet S, Cote J, Doyon G, Sylvain J, Lacroix M. 2011. Antioxidant and antiradical properties of cranberry juice and extracts. Food Research International 44: 1408–1413. doi:10.1016/j.foodres.2011.02.019 Calero N, Jose R, Pablo R, Antonio G. 2010. Flow behaviour, linear viscoelasticity and surface properties of chitosan aqueous solutions. Food Hydrocolloids 24: 659-666 Carlos, HP, Jesus Fernando Ayala Z and Gustavo A. 2011. The role of dietary fiber in the bioaccessibility and bioavailability of fruit and vegetable antioxidants. Journal of Food Science 76 (1) R6-R15 Chattopadhyay DP, Inamdar MS. 2010. Aquoeus behavior of chitosan. Int J Poly Sci ID 939536:1-7. doi:10.1155/2010/939536 Chen L, Gabriel EM, Muriel S. 2006. Food protein-based materials as nutraceutical delivery systems. Trends in in Food Science and Technology 17:272-283. Deladino L, Anbinder PS, Navarro AS and Martino MN. 2008. Encapsulation of natural antioxidants extracted from Ilex paraguariensis. Carbohydr Polym 71 (1):126-134. doi: 10.1016/j.carbpol.2007.05.030 Desai KGH, Park HJ. 2005. Recent developments in microencapsulation of food ingredients. Dry Tech 23:1361-1394. doi:10.1081/DRT-200063478 [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia. Ed. Ke-4. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Badan Litbang Kesehatan. Kementerian Kesehatan RI. Dungir SG, Dewa GK dan Vanda, SK. 2012. Aktivitas antioksidan ekstrak fenolik dari kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.). Jurnal MIPA Unsrat Online 1(1):11-15 Elya B, Katrin B, Abdul M, Wulan Y, Anastasia B, dan Eva KS. 2012. Screening of α-glucosidase inhibitory activity from some plants of apocynaceae, clusiaceae, euphorbiaceae, and rubiaceae. Journal of Biomedicine and Biotechnology 2012 : 1-6. Enriquez de Salamanca A et al. Chitosan nanoparticles as a potential Drug Delivery System for the Ocular Surface: Toxicity, Utake Mechanism and In Vivo Tolerance. Investigative Ophthalmology & Visual Science 47:14161425. Ersus S, Yurdagel U. 2007. Microencapsulation of anthocyanin pigments of black carrot (Daucus carota L.) by spray drier. J Food Eng 80:805-812.doi: 10.1016/j.jfoodeng.2006.07.009 Fan Wen, Wei Yan, Suzhun Xu and Hong Ni. 2012. Formation mechanism of monodisperse, low molecular weight chitosan nanoparticles by ionic gelation technique. Colloids and Surfaces B:Biointerfaces 9:21-27. doi: 10.1016/j.colsurfb. 2011
35 Fang Zhongxiang, Bhesh B. 2010. Encapsulation of polyphenols - a review. Trends in Food Science and Technology 21:510-523. doi: 10.1016/j.tifs.2010.08.003 Gan Wang T, Cochrane C, McCrron P. 2005. Modulation of surface charge, particle size and morphological properties of chitosan-TPP nanoparticles intended for gene delivery. Colloids and Surfaces B: Biointerfaces 44:65-7. Gulseren I, Yuan Fang, Milena C. 2007. Zinc incorporation capacity of whey protein nanoparticles prepared with desolvation with ethanol. Food Chem 135 (2): 770-774.doi: 10.1016/j.foodchem.2012.04.146 Gunasekaran S, Sanghoon Ko, Lan Xiao. 2007. Use of whey protein foe encapsulation and controlled delivery applications. J Food Eng 83:31-40 doi:10.1016/j.jfoodeng.2006.11.001 Gunawan S A. 2009. Studi Sifat Fisikokimia, Sifat Fungsional, Nutrisi dan kapasitas antioksidan konsentrat protein tempe kacang komak ([ablab {Jllr{Jurells (L.) sweet). Tesis. Institut Pertanian Bogor Gobalakrishnan R, M Kulandaivelu, R Bhuvaneswari, D Kandavel, L Kannan. 2013. Screening of wild plant species for antibacterial activity and phytochemical analysis of Tragia involucrata L.Journal of Pharmaceutical Analysis.AcceptedManuscript Grenha A,Seijo B, Remunan-Lopez C. 2005. Microencapsulated chitosan nanoparticles for lung protein delivery. Eur J Pharm Sci 25:427-437.doi: 10.1016/j.ejps.2005.04.009 Harborne JP. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern menganalisis Tumbuhan . K Padmawinata, I Sudiro. Penerjemah. Bandung : ITB. Terjemahan dari : Phytochemical Method. Harris R, Lecumberri E, Mateos-Aparicio I, Mengibar M, Heras.A. 2011. Chitosan nanoparticles and microsphere for the encapsulation of natural antioxidants extracted from Ilex paraguariensis. Carbohydrate Polymers 84:803-806. doi: 1016/j.carbpol.2010.07.003 Herinnen WJ. 1996. Chitosan Natural Fat Blocker. Salt Lake City: Woodland Publishing Inc. Hirano S, Seino H, Akiyama saya, Nonaka I. 1990. Chitosan: bahan biokompatibel untuk pemberian oral dan intravena. Gebelein CG Dunn RL eds. Kemajuan Polimer Biomedis. 283 289. Pleno Tekan New York. Hirano S. 1996. Chitin biotechnology application. Dalam: El-Gewely MR. 1996. Biotechnology Annual Review. Canada: Elsevier Hritcu D, Popa MI, Popa N, Badescu V, Balan V. 2009. Preparation and characterization of magnetic chitosan nanosphere. Turk J Chem 33:785-796 Hu B, Chenliang P, Sun, Y, Zhiyun H, Hong Y, Bing Hu and Xiaoxiong Z.2008. Optimizationof fabrication parameters to produce chitosan-tripolyphosphate nanoparticles for delivery of tea catechins. J Agric Food Chem 56:74517458.doi: 10.1021/jf801111c Kammona O dan Costas K. 2012. Recent advances in nanocarrier-based mucosal delivery of biomolecules. Journal of Controlled Release 161: 781-794. doi: 10.1016/j.jconrel.2012.05.040
36 Kartsapoerta G. 1992. Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat. Cetakan kedua. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Konecsni K, N.H. Low, M.T. Nickerson. 2012. Chitosan–tripolyphosphate submicron particles as the carrier of entrapped rutin. Food Chemistry 134:1775–1779. Kubo, I. N. Mastuda, P. Xiao, dan H. Haraguchi. 2002. Antioxidant Activity of Deodecyl Gallate. J. Agr Food Chem, 50: 3533-3539 Lee DW, Shirley SA, Lockey RF, Mohapatra SS. 2006. Thiolated chitosan nanoparticles enhance anti-inflammatory effect of intranasally delivered theopyhlline. BioMed Central 7:1-10 Lee, ST, Mi FL, Shen, YJ, Shyu SS. 2001. Equilibrium and kinetics studies of copper (III) ion uptake by chitosan-tripolyphosphate chelating resin. Polymer 42:1879-1892 Li Ji, Qingrong Y. 2012. Rheological properties of chitosan–tripolyphosphate complexes: From suspensions to microgels. Carb Polymers 87: 1670– 1677. doi: 10.1016/j.carbpol.2011.09.074 Liang, Linghong, Xiangyang Wu, Ting Zhao, Jiangli Zhao, Fang Li, Ye Zou, Guanghua Mao and Liuqing Yang. 2012. In vitro bioaccessibility and antioxidant activity of anthocyanins from mulberry (Morus antropurpurea Roxb.) following simulated gastro-intestinal digestion. Food Research International 46:76-82. doi: 10.1016/j.foodres.2011.11.024 Mahendra B. 2005. Jenis Tanaman Obat Ampuh. Jakarta: Penebar swadaya Malsch NH. 2005. Biomedical Nanotechnology. New York: Taylor & Francis Group Manoi, F. 2007. Sirih Merah Sebagai Tanaman Obat Multi Fungsi. Warta Puslitbangbun. Vol.13(2) Mardliyati E, Sjaikhurrizal EM, Damai RS, Idah R dan Sriningsih. 2012. Preparasi Dan Aplikasi Nanopartikel Kitosan Sebagai Sistem Penghantaran Insulin Secara Oral. Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT. http://insentif.ristek.go.id/PROSIDING/RT-2012-0071.htm Marlina PW. 2008. Konsentrasi flavonoid dan lethal concentration 50 (LC 50) ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum). [Skripsi]. Bogor. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Meenakshi S, Gnanambigai DM, Mozhi ST, Arumugam M, Balasubramaniam T. 2009. Total flavonoid and in vitro activityof two seaweeds of Rameswarahm Coast. Global Journal of Pharmacology 3(2):59-62 Mi FL, Sung HW, Shyu SS, Su CC, Peng CK. 2003. Synthesis and characterization of biodegradable TPP/genipin co-crosslinked chitosan gel beads. Polymer 24:6521–6530 Moeljanto RD & Mulyono. 2003. Khasiat & Manfaat Daun Sirih: Obat Mujarab Dari Masa ke Masa. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka. Mohanraj YJ, Chen Y. 2006. Nanoparticle – A Review. Tropical Journal of Pharmaceutical Research 5(1):561-573. Mu’nim, A., Aziziahwati dan Ayu Fimani. 2010. Pengaruh pemberian infusa daun sirih merah (Piper cf fragile Benth) secara topical terhadap penyembuhan luka pada tikus putih diabet. Departemen Farmasi FMIPA. Universitas Indonesia
37 Nedovic V, Kalusevic A, manojlovic V, Levic S, Bugarski B. 2011. An overview of encapsulation technologies for food applications. Procedia Food Science : 1806-1815. doi: 10.101/j.profoo.2011.09.266 Patel JK, Jivani MP. 2009. Review Article: Chitosan based nanoparticles in drug delivery. Int.J.of.Pharm. Sci & Nano 2(2):517-522 Poovi G et al. 2011. Preparation and characterization of repaglinide loaded chitosan polymeric nanoparticles. Research Journal of Nanoscience and Nanotechnology 1(1):12-24. Prasad KN, En Y, Chun Y, Mouming Z, Yueming J. 2009. Effects of high pressure extraction on the extraction yield, total phenolic content and antioxidant activity of longan fruit pericarp. Inn Food Sci Emer Tech 10:155–15.doi: 10.1016/j.ifset.2008.11.007 Qi L, Xu Z, Jiang X, Hu C,Zou X.2004. Preparation and antibacterial activity of chitosan nanoparticles. Carbohydrate Research 339(16):2693–2700. Quintanilla-Carvajal M.X, B.H. Camacho-Diaz. 2010. Nanoencapsulation: A new trend in food engineering processing. Food Eng Rev 2 : 39-50 Richana N, Fiena S, Pujoyuwono, Heti H. 2007. Optimasi Proses Produksi Maltodextrin Dan Tapioka Menggunakan Spray Drying. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen Untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Hal 313-322 Robianto, Dede. 2009. Pengaruh ekstrak daun sirih merah (piper crocatum) terhadap kadar glukosa darah tikus putih jantan (rattus norvegicus l.) galur wistar dengan uji toleransi glukosa oral. Skripsi. Fakultas Farmasi.Universitas Ahmad Dahlan. Yogyakarta Rodrigues S, Ana M. Rosa da Costa, Ana Grenha. 2012. Chitosan/carrageenan nanoparticles: Effect of cross-linking with tripolyphosphate and charge ratios. Carb Polymers 89 : 282-289 doi:10.1016/j.carbpol.2012.03.010 Safithri M, Fahma F. 2005. Uji fitokimia dan toksisitas akut ekstrak air daun sirih merah (Piper crocatum) [abstrak]. Di dalam; Mulijani et al., editor. Prosiding Simposium Nasional Kimia Bahan Alam XV; Bogor, 13-14 September 2005. Bogor. Himpunan Kimia Bahan Alam Indonesia, hlm 300. Safithri M, Setiyono A, Permata DA. 2006. The potency Piper crocatum decoction on pancreas restoration in hyperglicemic white rats [abstrak]. Di dalam: Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Perhimpunan Biokimia dan Biologi Molekular Indonesia ke- XVIII; Jakarta, 6 Des 2006. PBBMI Cabang Jakarta dan Universitas Al-Azhar Indonesia, Hlm 59. Safithri M, Bintang M, Setiyono A, Widyagiri A. 2007. Potensi Hepatoprotektor Air Rebusan Daun Sirih Merah (Piper crocatum) pada Tikus Putih Hiperglikemia. [Prosiding]. Di dalam: Seminar Kimia Bersama ITB-UKM ke-VII; Bandung, 12-13 Des 2007. FMIPA ITB dan Pusat Pengajian Sains Kimia dan Teknologi Makanan Fakulti Sains Teknologi dan Makanan Universiti Kebangsaan Malaysia; 2007. Hlm 116. Safithri M, Fahma F. 2008. Potency of Piper crocatum decoction as an antihiperglycemia in rat strain Sprague dawley. Hayati Journal of Bioscience 15(1) Shu XZ and Zhu KJ. 2008. A novel approach to prepare tripolyphosphate/chitosan complex beads for controlled release drug delivery. Int J Pharm 201:51–58. doi:10.1016/S0378-5173(00)00403-8
38 Solehudin, M. 2001. Ekstraksi Minyak dan Oleoresin dari Kulit Kayu Manis (Cinnamomum burmanii Blume). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor Sudewo, B., 2005. Basmi Penyakit dengan Sirih Merah, Agro Media Pustaka, Jakarta Sugita P, Sjahriza A, Wahyono D. 2006. Sintesis dan optimasi gel-kitosan alginate. J Sains dan Teknologi 3:133-137 Sugita, Sjahriza A, Rachmanita. 2007. Sintesis dan optimasi gel-kitosan karboksimetilselulosa. Prosiding Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia 437-443 Sugita P, Wukirsari T, Sjahriza A, Wahyono, D. 2009. Kitosan Sumber Biomaterial Masa Depan. Bogor. IPB Press Suratmo, 2008. Potensi ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) sebagai antioksidan. Tesis. Jurusan Kimia Universitas Brawijaya Malang Susanti D Y. 2008. Efek suhu pengeringan terhadap kandungan fenolik dan kandungan katekin ekstrak daun kering gambir. Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta Sutriyo, Joshita, D, and Indah, R. 2005. Perbandingan pelepasan propanolol hidroklorida dari matriks kitosan, etil selulosa (Ec) dan hidroksi propel metal selulosa (HPMC) Majalah Ilmu Kefarmasian 2 (3)145–153. Syukur C & Hermani. 2002. Budidaya Tanaman Obat Komersial. Jakarta:Penerbit Penebar Swadaya. Tang et al. 2013. Characterization of tea catechins-loaded nanoparticles prepared from chitosan and an edible polypeptide. Food Hydrocolloids 30:33-41 Tapal A and Purnima K T. 2012. Complexation of curcumin wiyh soy protein isolate and its implications on solubility and stability of curcumin. Food Chemistry 130 : 960-965 Tiyaboobchai W. 2003. Chitosan Nanoparticle: A promosing system for drug delivery. Noresuan University Journal 11(3):51-66. Tsai ML, Rong HC, Shi WB, Wei YC.2011. The storage stability of chitosan/tripolyphosphate nanoparticles in a phosphate buffer. Carb Polymers 84:756-761.doi:10.1016/j.carbpol.2010.04.040 Utami, M.R. 2011. Fraksinasi senyawa aktif minyak atsiri daun sirih merah (Piper cf.fragile.Benth) sebagai pelangsing aromaterapi secara in vivo. Tesis. Program studi Kimia.Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian. Bogor Wahyono D. 2010. Ciri Nanopartikel kitosan dan Pengaruhnya pada Ukuran Partikel dan Efisiensi Penyalutan Ketoprofen. Tesis. Program studi Kimia. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian. Bogor Weiss, Jochen, Paul Takhistov, D. Julian McClements. 2006. Functional materials in food Nanotechnology. Journal of Food Science Vol. 71, No. 9 [WHO]. 2006. Definition, and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate hyperglycemia. Geneva: WHO Press Wu Yan et al. 2005. Chitosan nanoparticles as a novel delivery system for ammonium glycyrrhizinate. International Journal of Pharmaucetics 295:235-245 Xu Y, Du Y, Huang R, Gao L. 2003. Preparation and modification of N-(2hydroxyl) propyl-3-trimethyl ammonium chitosan chloride nanoparticle as a protein carrier. J Biomaterials 24:5015-5022
39 Xu Yongmai, Du Yumin. 2003. Effect of molecular structure of chitosan on protein delivery properties of chitosan nanoparticles. Int J Pharm 250:215226.doi: 10.1016/S0378-5173(02)00548-3 Yen FL, Wu TH, Lin LT, Cham TM, Lin CC. 2008. Nanoparticle formulation of cuscuta chinesis prevents acetaminophen –induced hepatoxicity in rats. Food Chem Tox 46:1771-1777. doi:1 0.1016/j.fct.2008.01.021 Yuan Y, Gao Y, Zhao J, Mao L. (2008). Characterization and stability evaluation of β-carotene nanoemulsions prepared by high pressure homogenization under various emulsifying conditions. Food Res Intl 41:61–68. doi: 10.1016/j.foodres.2007.09.006 Yulianti E, Tutik R dan Ixora SM. 2010. Potensi Ekstrak Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) Sebagai Antikanker. Jurnal Penelitian dan Pengembangan (II) 2. Zhang NJ, Yang Y, Tang K, Hu X, Zhou G. 2007. Physicochemical characterization and antioxidant activity of quercetin-loaded chitosan nanopparticles. J.Appl.Polym.Sci 107:891-897 Zhang J, J. Zhang, L. Liang, Z. Tian, L. Chen and M. Subirade. 2012. Preparation and in vitro evaluation of calcium-induced soy protein isolate nanoparticles and their formation mechanism study. Food Chemistry 133: 390-399
40
Lampiran 1. Skema penelitian
Ekstraksi senyawa aktif sirih merah : maserasi dan refluks
Karakterisasi : uji fitokimia, rendemen, identifikasi senyawa volatil Karakterisasi sifat fungsional : kapasitas antioksidan, total fenol dan IC50 Ekstrak terpilih
1. Rendemen, bau, warna (visual) 2. Total fenol,kapasitas antioksidan, IC50
Sintesis nanopartikel kitosan dengan metode gelasi ionik. Konsentrasi kitoasan 0,1%, 0,2%, 1% dan 2% dengan STPP 0,2% dengan ekstrak sebanyak 10%
Karakterisasi fisik: ukuran, indeks polidispersitas, kestabilan (zeta potensial) Karakterisasi fungsional : aktivitas antioksidan, total fenol dan IC50
Nanopartikel terpilih
1. Total fenol,kapasitas antioksidan, IC50 2. Ukuran partikel, kestabilan, indeks polidispersitas
Enkapsulasi nanopartikel terpilih : pengisi maltodekstrin dan kombinasi maltodekstrin+ isolat protein kedelai
Karakterisasi enkapsulan : ukuran partikel, morfologi, aktivitas antioksidan, total fenol, IC50 serta uji kestabilan pada pH.
Kajian sistem pengantaran : Uji pelepasan senyawa fenol (disolusi) Uji bioaccessibility
41
Lampiran 2. Analisa GC-MS 2a. Analisis Komponen Menggunakan GC-MS (Gas Chromatography Mass Spectrometry Sebanyak 3,5 gram sampel dalam vial SPME (Solid Phase Microextraction) 22 ml diekstrak pada 80oC selama 30 menit pada headspace vial dengan menggunakan fiber SPME jenis DVB/PDMS. Sampel kemudian diinjeksikan ke GCMS dengan kondisi berikut: suhu injektor 250oC; jenisinjektor adalah splitless, gas pembawa adalah gas helium (He) dengan laju alir 1ml/menit. Kondisi suhu MS adalah 250oC. Kondisi oven diatur dengan suhu awal 45 oC selama 1 menit kemudian meningkat 6°C/min sampai 250°C selama 25 menit. Kolom yang digunakan adalah DB-WAX (60 m x 250 µm x 0.25 µm) dengan menggunakan database NIST5a. 2b. Kromatogram ekstrak dengan metode maserasi
Luas area Waktu retensi
Senyawa Alpha Tujena Sabinen Beta pinena Mirsena L Linalool Alpha terpineol Beta Caryopilena Germacrena D Delta Guaien Sesquisabinena
Metode Maserasi Waktu retensi Area (%) (menit) 4,10 1,28 4,74 35,24 4,81 1,28 4,93 9,33 6,94 3,07 9,01 1,30 14,54 1,80 16,01 2,06 16,59 0,83 18,54 2,03
42
2c. Kromatogram ekstrak dengan metode refluks
Luas area Waktu retensi
Senyawa Alpha Tujena Sabinen Beta pinena Mirsena L Linalool Alpha terpineol Beta Caryopilena Germacrena D Delta Guaien Sesquisabinena
Metode Maserasi Waktu retensi Area (%) (menit) 4,73 4,80 4,92 6,93 14,53 16,01 16,58 18,53
21,4 1,87 6,58 2,71 1,54 1,01 2,35 Waktu retensi 1,73
43
Lampiran 3. Prosedur Analisa 3a.Analisis Penghambatan Aktivitas Enzim Alfa Glukosidase (Matsumoto et al. 2002) Analisa penghambatan enzim alfa glukosidase dilakukan untuk mengetahui potensi Sebanyak 980 l buffer fosfat 0,1 M (pH 7), 500 l 4-nitrofenil α-Dglukopiranosida 20 mM dan 20 l sampel dicampurkan dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 5 menit. Reaksi enzimatis dimulai dengan menambahkan 500 l larutan α-glukosidase. Campuran diinkubasi kembali pada suhu 37 oC selama 15 menit dan menghasilkan senyawa p-nitrofenol. Reaksi kemudian dihentikan dengan penambahan 2 ml larutan sodium karbonat 200 mM. Hidrolisis enzimatik dari substrat diamati berdasarkan jumlah p-nitrofenol yang dihasilkan pada sistem reaksi tersebut pada panjang gelombang 400 nm menggunakan spektrofotometer. Acarbose digunakan sebagai kontrol positif. Persentase penghambatan αglukosidase dihitung berdasarkan formula : Absorbansi sampel % inhibisi =
1-
x 100 Absorbansi blanko
3b. Pengukuran kapasitas antioksidan (Kubo et al. 2002) Pengukuran kapasitas antioksidan dilakukan menggunakan metode DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil atau 1,1-dyphenyl-2-picrylhydrazil) yaitu suatu radikal stabil yang bereaksi dengan radikal lain membentuk suatu senyawa stabil, atau bereaksi dengan atom hidrogen dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi (DPPH-H). Larutan DPPH berwarna ungu, sedangkan DPPH tereduksi memiliki absorpsi maksimum pada panjang gelombang sinar tampak. Analisis antioksidan diawali dengan membuat kurva standar menggunakan asam askorbat pada konsentrasi 0 sampai 250 ppm. Prosedur pembuatan larutan standar sama dengan prosedur pengujian sampel, yaitu 1.5 ml larutan buffer fosfat dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambah 2,85 ml etanol, larutan DPPH 1.5 mM sebanyak 150 l dan dikocok dengan vortex, dan ditambahkan 45 l asam askorbat. Kurva standar asam askorbat dibuat dengan memplot hubungan antara konsentrasi asam askorbat dan selisih antara absorbansi blanko dan absorbansi sampel. Prosedur pengujian sampel dimulai dengan 1.5 ml larutan buffer fosfat dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambah 2,85 ml etanol, dan larutan DPPH 1.5 mM sebanyak 150 l, divortex, dan ditambahkan 45 l sampel. Campuran didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang dan diukur absorbansinya (A sampel) pada panjang gelombang 520 nm. Absorbansi blanko diperoleh melalui prosedur yang sama kecuali tanpa ada penambahan sampel. Selanjutnya selisih absorbansi blanko dengan absorbansi sampel disubstitusi pada persamaan kurva standar asam askorbat untuk menentukan AAE (Ascorbic Acid Equivalent). Kapasitas antioksidan dihitung berdasarkan persamaan berikut : Kapasitas antioksidan (%) = (A blanko-A larutan sampel) x 100%
44 A blanko Penghitungan nilai IC50 juga dilakukan untuk mengetahui konsentrasi sampel yang mampu memberikan persen penangkapan radikal sebanyak 50% dibanding kontrol melalui suatu persamaan garis. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin kuat daya antioksidannya. Perhitungan IC50 dilakukan berdasarkan persamaan regresi linier % penghambatan radikal DPPH terhadap konsentrasi senyawa.
3c. Pengujian Total Fenol (Attanasova et al. 2011) Pengujian total fenol dilakukan dengan menggunakan Folin-Ciocalteau. Larutan standar dibuat dengan seri pengenceran 20, 30, 60, 80 dan 100mg/l. Sebanyak 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1ml reagen Folin-Cioacalteau, dicampur, diaduk dengan vortex dan didiamkan. Setelah 5 menit tambahkan 10 ml 0,7% larutan Na2CO3 dan divortex. Larutan ditepatkan hingga 25 ml dengan air suling dan dicampur merata, diamkan selama 90 menit pada suhu ruang. Setelah itu dilakukan pengukuran serapan absorbansinya pada anjang gelombang 750 nm.
45
Lampiran 4. Uji anova total fenol, IC50 dan kapasitas antioksidan nanopartikel 4a. Total fenol Sumber Ragam
DB
JK
Perlakuan
3
KT
Fh
46631.19
15543.73
74407.52
0.2089
Galat
8
1.6715
Total
11
46632.86
Koefisisen Variasi
0.1 %
LSD 5%
0.862056
LSD 1%
1.2539
Perlakuan
Rata-rata
F.05
F.01
4.07
selisih
Hasil Uji
LSR
0.1
399.8923
1
437.1873
37.295
2
470.1813
70.289
32.994
0.2
567.7656
167.8733
130.5783
7.59
a
97.5843
0.85738
b
0.89157
c
0.91261
d
4b. IC50 Sumber Ragam
DB
JK
KT
Fh 23668.76
Perlakuan
3
110762.7
36920.89
Galat
8
12.4792
1.5599
Total
11
110775.2
Koefisisen Variasi
0.15 %
LSD 5%
2.355672
LSD 1%
3.426431
Perlakuan
Rata-rata
selisih
F.05
F.01 4.07
LSR
0.2
676.8427
2
780.6773
103.8346
1
862.6152
185.7725
81.9379
0.1
934.9757
258.133
154.2984
7.59
Hasil Uji a
72.3605
2.3472
b
2.4408
c
2.4984
d
4c. Kapasitas antioksidan Sumber Ragam
DB
Perlakuan
3
JK
KT
Fh
67131.54
22377.18
9355.791
2.3918
Galat
8
19.1341
Total
11
67150.68
Koefisisen Variasi
0.32 %
LSD 5%
2.916949
LSD 1%
4.242834
F.05
F.01 4.07
7.59
46
Perlakuan
Rata-rata
selisih
LSR
0.1
365.3598
1
471.432
106.0722
2
532.7652
167.4054
61.3332
0.2
560.0003
194.6405
88.5683
Hasil Uji a
27.2351
2.90792
b
3.02388
c
3.09524
d
47
Lampiran 5. Uji anova indeks polidispersitas, ukuran partikel dan zeta potensial 5a. indeks polidispersitas
SUMMARY Groups Row 1 Row 2 Row 3 ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
Count
Sum Average Variance 3 0.424 0.141333 0.022629 3 0.556 0.185333 0.002942 3 0.707 0.235667 0.001486
SS 0.013368 0.054116 0.067484
Perlakuan 0.2 1 2
df
MS F P-value F crit 2 0.006684 0.741087 0.515668 5.143253 6 0.009019 8
Rata-rata selisih LSR 0.141333 0.185333 0.044 0.173 0.235667 0.094333 0.050333 0.179
Hasil Uji a a a
5b. Ukuran partikel SUMMARY Groups
Count
Sum
Average
Variance
Column 1
3
591.6
197.2
136.48
Column 2
3
1401.4
467.1333
10236.5
Column 3
3
3444.1
1148.033
232120.3
MS
F
P-value
F crit
8.911005
0.015978
5.143253
ANOVA Source of Variation
SS
df
Between Groups
1440573
2
720286.4
Within Groups
484986.7
6
80831.11
Total
1925559
8
Perlakuan 0.2 1 2
Rata-rata selisih 197.2 467.1333 269.9333 1148.033 950.8333
LSR
Hasil Uji a 567.9244 a 680.9 587.6212 b
48
5c. Zeta potensial SUMMARY Groups Row 1 Row 2 Row 3 Row 4
Count 3 3 3 3
ANOVA Source of Variation
SS
Between Groups Within Groups
382.1538 9.8958
Total
392.0496
Perlakuan 0.2 2 0.1 1
Rata-rata 19.99 27.57333 32.75667 34.51333
Sum Average Variance 59.97 19.99 0.0067 98.27 32.75667 4.472933 103.54 34.51333 0.045733 82.72 27.57333 0.422533
df
MS
F
3 127.3846 102.9807 8 1.236975
P-value F crit 9.89E07 4.066181
11
selisih 7.583333 12.76667 5.183333 14.52333 6.94 1.756667
Hasil Uji a 2.0864 b 2.1696 c 2.2208 c
LSR
49
Lampiran 6. Uji statistik pengaruh perlakuan terhadap pH selama penyimpanan Tabel Analisis Varians Sumber Ragam Perlakuan pH sampel pHsampel Galat Total Koefisisen Variasi LSD 5% LSD 1%
DB 17 5 2 10 36 53
JK KT Fh F.05 F.01 5215.599 306.7999 2875.351 1.908 2.496 -88225.5 -17645.1 -165371 2.466 3.548 -88225.5 -44112.8 -413428 3.248 5.222 181666.7 18166.67 170259.3 2.096 2.836 3.8401 0.1067 5219.439
0.81 % 0.540884 0.725447
Uji lanjut Duncan RataPerlakuan rata LSR pH8sampelM 24.76 pH7sampelM 26.25 1.08 pH6sampelM 29.09 1.14 pH7sampelNP 31.60 1.17 pH6sampelNP 31.73 1.20 pH8sampelNP 32.43 1.22 pH6sampelNMISP 33.87 1.24 pH8sampelMISP 34.58 1.25 pH7sampelMISP 36.08 1.26 pH2sampelM 43.82 1.27 pH4sampelM 46.36 1.28 pH3sampelM 47.28 1.29 pH4sampelMISP 50.30 1.30 pH4sampelNP 50.65 1.30 pH3sampelNP 51.43 1.31 pH2sampelNP 52.01 0.00 pH3sampelMISP 52.52 0.00 pH2sampelMISP 52.80 0.00
Hasil Uji a b c d d d e e f g h h i i ij jk jk k
50
Lampiran 7. Uji statistik rendemen dan sifat fungsional ekstrak 7a. rendemen t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances Variable 1
Variable 2
Mean
5.07
6.87
Variance
0.06
0.12
Observations
3.00
3.00
Pooled Variance
0.09
Hypothesized Mean Difference
0.00
df
4.00
t Stat
-7.22
P(T<=t) one-tail
0.00
t Critical one-tail
2.13
P(T<=t) two-tail
0.00
t Critical two-tail
2.78
7b. IC50 t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances Variable Variable 1 2 Mean Variance Observations Pooled Variance
46.51
49.575
0.0032
0.07605
2
2
0.039625
Hypothesized Mean Difference
0
df
2
t Stat
-15.3973
P(T<=t) one-tail
0.002096
t Critical one-tail
2.919986
P(T<=t) two-tail
0.004192
t Critical two-tail
4.302653
7c. Total fenol t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances Variable 1
Variable 2
Mean
2388.582343
2256.578947
Variance
0.090078145
0.810703301
2
2
Observations Pooled Variance
0.450390723
Hypothesized Mean Difference
0
df
2
t Stat
196.6936705
P(T<=t) one-tail
1.29233E-05
t Critical one-tail
2.91998558
P(T<=t) two-tail
2.58465E-05
t Critical two-tail
4.30265273
51
Lampiran 8. Hasil uji ukuran partikel dengan PSA
52
53 Lampiran 9. Hasil uji zeta potensial nanopartikel
54
55
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gunungkidul, DIY pada tanggal 7 Januari 1977 dari Bapak KRT. Prodjoharjono, SH dan Ibu Sumijati, SIP. Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara. Pada tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 9 Yogyakarta dan pada tahun yang sama masuk ke Universitas Brawijaya Malang melalui jalur PBUD (Penelusuran Bibit Unggul Daerah) pada jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian yang diselesaikan pada tahun 2000. Pada tahun 2003, penulis diterima sebagai Calon Pengawai Negeri Sipil pada Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian di Bogor. Pada tahun 2008 penulis berkesempatan mengikuti Diklat Fungsional Peneliti. Tahun 2010 penulis mendapat kesempatan tugas belajar dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, untuk melanjutkan ke jenjang S2 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Pangan.