Bab. II. TEORI BAHASA RUPA 2.1. Landasan Teoretik 2.1.1. Kajian tentang konstelasi teori/pemikiran tentang pembacaan rupa Sebenarnya pengkajian tentang pembacaan rupa telah banyak dibahas oleh para ahli atau pakar perupaan, khususnya dengan yang dimaksud sebagai analisis visual terhadap berbagai wujud rupa tersebut. Biasanya pada kajian-kajian bahasa rupa selalu dihadapkan pada berbagai persoalan yang berhubungan dengan terminologi bahasa rupanya. Oleh karena itu dalam konstelasi pemikiran tentang pembacaan rupa, dijelaskan lebih lanjut sehubungan dengan pemahaman tentang bahasa rupa itu sendiri.
Sehubungan dengan penjelasan sebelumnya, yang dimaksud dengan analisis visual ini antara lain, estetik, kritik seni, linguistik, fenomenologi, psikoanalisis, proxemics, semiotik dan hermeneutik, yang semuanya ini biasa disebut ‘pendekatan visual’. Sedangkan yang dimaksud dengan kajian kerupaan (yang terus berkembang) yang relevan dengan aspek kerupaan adalah hermeneutik, psikoanalisis, reception theory, textual analysis, discourse analysis dan geneologi. Hal ini dapat dilihat dari skema relasi antara bahasa rupa yang ditawarkan Primadi dengan kajian-kajian lain yang relevan:
estetis
Efek/Tindakan
Simbolis Bercerita
Denotasi Konotasi
Semiotik
Mitologis
Semantik
Analisis Wacana
textual Analysis
Skema: ruang lingkup bahasa rupa dengan kajian-kajian lain yang relevan. (.Piliang AY. 2005) Skema: 2.1.
Hermeneutika Fenomenologi Psikoanalisis
26
Sehingga dapat dijelaskan dari skema tersebut bahwa kajian bahasa rupa yang dikembangkan oleh Primadi memiliki hubungan yang jelas dengan kajian semiotika, khususnya persinggungan dengan aspek denotasi (denotation) dari semiotika sebagai sebuah ilmu (Piliang Y.A 2005). Sebagaimana diketahui, didalam kajian semiotika, ada tingkat kajian/tanda, yaitu: 1) tingkat denotasi (denotation), 2) tingkat konotasi (konotation), dan 3) tingkat mitos dan metalanguage. Pada tingkat denotasi, secara khusus, dibicarakan, relasi antara sebuah tanda (sign) dengan apa yang ditandainya (signification). Nelson Goodman (Piliang, Y.A 2005), di dalam Language of Art menjelaskan denotasi sebagai relasi di antara yang merepresentasikan dengan obyek yang direpresentasikan (sign). Yang merepresentasikan itu mewakili (stand for), merujuk (refer to), menyerupai (resemblace) atau mendeskripsikan apa yang direpresentasikan. Sebuah gambar kerbau menunjuk, mewakili, merujuk atau meniru obyek kerbau di dalam realitas. Sebuah gambar adalah sebuah ikon (icon) dari apa yang direpresentasikan.
Untuk mempermudah penjelasan dari bahasa rupa yang disusunnya, Primadi telah berhasil menciptakan segitiga limas gambar representatif ,
Segitiga limas representatif: Rusuk-rusuk tegak limas ini terdiri dari: Ekspresif (A-D), stilasi (B-D), deskriptif (CD). Sedangkan rusuk-rusuk alas limas ini terdiri dari: Simbolik (A-B), estetis (A-C), bahasa rupa (B-C). (lihat skema 2.2)
Skema: ‘Segitiga Limas Representatif’ (Tabrani, P. 2005) Skema 2.2
27
Dapat dilihat pada skema ini, terdapat empat hubungan sistem kerja, baik dari rusukrusuk tegak maupun rusuk-rusuk alas, 1) hubungan Estetis – Simbolis – Bahasa Rupa, 2) hubungan Estetis – Ekspresif – Deskriptif, 3) hubungan Simbolis – Ekspresif – Stilasi, 4) hubungan Deskriptif – Stilasi – Bahasa Rupa (Tabrani, P. 2005).
Kemudian pada perkembangannya, limas gambar-gambar representatif menjadi lebih luas dengan tambahan-tambahan rusuk.
Skema: Limas representatif
Skema: ‘Limas Representatif’ (Tabrani, P. 2005) Skema 2.3
Rusuk-rusuk tegak dari limas ini, merupakan ‘teknik’nya atau segi penggambarannya yakni: deskriptif, stilasi, ekspresif dan geometris. Sedangkan rusuk-rusuk alas dari limas ini merupakan segi pe’makna’nya yakni: Bahasa Rupa, Estetis, Simbolik, dan Semiotik. Limas representatif ciptaan Primadi Tabrani (skema 2.3) Jadi dapat dijelaskan bahwa yang semula segitiga limas representatif, kemudian menjadi segiempat limas representatif, adalah dengan adanya tambahan rusuk tegak yakni, penggambaran secara teknis geometris, dan rusuk alas adalah pemaknaan semiotik. Hal ini dapat dijelaskan pula bahwa, kajian denotasi dari keilmuan semiotik merupakan bagian dari analisis aspek gambar sebagai representasi (bahasa rupa). Sehingga penggambaran teknis geometris dapat masuk di dalam limas representatif sebagai bagian dari gambar-gambar representatif
28
Meskipun demikian, walaupun kajian bahasa rupa dapat dimasukkan ke dalam kajian denotasi, aspek khusus yang dikaji Primadi yang tidak dikaji oleh semiotika dan semantika, yakni aspek bercerita (story telling) masih tetap harus mengacu pada teori dasar kajian bahasa rupa. Karena aspek bercerita telah dilupakan oleh kajian rupa, baik di Indonesia maupun di Barat. Dijelaskan lebih lanjut oleh Yasraf A. Piliang (2005), bahwa pada semiotika kajian tanda pada tingkat denotasi (denotation), sebagaimana yang dilakukan Barthes, merupakan kajian yang juga tidak dianggap utama yang hanya dikaji secara sepintas, karena yang diutamakan adalah kajian pada tingkat konotatif (connotative) yaitu bagaimana sebuah gambar memiliki ‘makna’ atau ‘konsep’ tertentu yang bersifat ideologis.
Jadi dapat dipahami, sebagai kajian yang berkonsep dasar pada aspek bercerita, lebih menekankan pada aspek representasi obyeknya. Tetapi tidak menutup kemungkinan dalam mengkaji aspek bercerita, dapat diperluas kajiannya dengan menggunakan kajian pemaknaan lain, misalnya kajian semiotik, estetik, dan simbolik
Pada konteks yang bukan berupa analisis gambar-gambar, misalnya dalam kajian teks dalam bahasa verbal atau bahasa tulis dalam konteks sastra, yang termasuk aspek bercerita adalah, komik (cerita bergambar), cerita pendek (cerpen), novel, roman, dan sejenisnya. Sama halnya dengan ‘gerak’ wayang kulit pada saat dipagelarkan merupakan aspek bercerita pada konsep bahasa rupa dalam bentuk bahasa non verbal (gesture).
Kemudian kajian teks dalam bahasa verbal atau bahasa tulis dalam konteks sastra, dengan kajian pendekatan semiotik adalah, puisi, prosa, syair, pantun, dan kidung, dengan melalui analisis konotasi dan mitologis. Bahkan dapat pula menggunakan analisis wacana yang lebih luas, antara lain melalui pendekatan semantik, textual analisys, hermeneutika, fenomenologi, bahkan psikoanalisis. Karena kajian sastra jenis ini memiliki makna simbolis dan kaidah estetis.
29
Demikian pula dengan istilah ‘sastra visual’ yang digunakan Edy Sedyawati sehubungan dalam konteks bahasa rupa. Pengertian ‘sastra visual’ yang dimaksudnya adalah, sastra, atau khususnya cerita, yang dituangkan ke dalam citraan visual. Untuk mempermudah pemahaman, digunakannya contoh misalnya, relief candi, gambar berseri/berangkai seperti pada wayang beber maupun lontar bergambar dari Bali, serta komik dijaman modern sekarang (Sedyawati, E. 2005).
Dalam ulasannya disebutkan bahwa makna dramatik dari ekspresi visual wayang beber yang telah ditemukan Primadi yang dituliskan dalam disertasinya, adalah penempatan tokoh yang sama dalam satu ‘bingkai’ adegan, misalnya harus diinterpretasikan sebagai representasi sequence. Sejumlah kaidah pencitraan secara visual sebagaimana dapat dilihat pada relief candi dan sejumlah peninggalan purbakala lain.
Pada penjelasan ini dapat diuraikan bahwa, yang dimaksud dengan makna dramatik dari ekspresi visual, adalah ‘tata ungkapan dalam’ dan ‘tata ungkapan luar’ untuk kajian bahasa rupa yang di teliti oleh Primadi. Melalui ‘tata ungkapan dalam’ dapat diketahui cara menyusun berbagai obyek dan cara obyek tersebut digambar agar dapat diceritakan, dan perpindahan gambar tunggal yang satu ke gambar tunggal yang lain disebut ‘tata ungkapan luar’. Dalam studi sebelumnya telah dibahas oleh Edy Sedyawati (2005) sejumlah kaidah, khususnya berkenaan dengan 1) pada tipologi karakter cerita (penandaan visual), yakni perbedaan perangkat busana dan dandanan rambut, pada tokoh bangsawan dan rakyat biasa, atau golongan tokoh ’halus’ dan tokoh ’gagah’, 2) tandatanda sikap tubuh, misalnya kepala terkulai, atau tangan ke arah bahu dan disangga tangan yang lain, menandakan kesedihan. Kedua kaidah ini dalam pembahasan kajian bahasa rupa Primadi termasuk dalam pembahasan ‘tata ungkapan dalam’.
Kemudian pada sejumlah kaidah berikutnya yakni, 3) kode-kode untuk pergantian adegan. Misalnya, adanya penggambaran sekelompok orang yang sedang saling membelakangi, diantara punggung yang satu dengan yang lain merupakan pembatas antara adegan yang satu dengan yang lain, 4) ciri-ciri visual penanda yang lain, misalnya lingkungan keraton ditandai dengan tempat-tempat duduk yang ditinggikan. Atau pohon-
30
pohon untuk lingkungan alam yang terbuka. Kedua kaidah tesebut dalam kajian bahasa rupa Primadi, termasuk dalam pembahasan ‘tata ungkapan luar’ yang masing-masing kaidah tersebut memiliki ruang dan waktunya sendiri-sendiri. Seperti yang dituliskan Primadi dalam bukunya, bahwa tiap benda di alam memiliki ruang dan waktu sendirisendiri, yang tidak persis sama satu dengan yang lain, tapi mereka bisa bersama-sama dalam satu tema (Tabrani. 2005).
2.1.2. Kajian atas hasil disertasi Primadi Tabrani Sehubungan dengan penelitian aspek ‘gerak’ dalam bentuk bayangan wayang kulit di saat pergelaran, digunakan pendekatan analisis bahasa rupa. Oleh karena itu penelitian ini perlu dukungan dari sumber-sumber penelitian bahasa rupa yang pernah diteliti sebelumnya. Kajian bahasa rupa merupakan subyek dari penelitian disertasi ini dan pembahasan penelitiannya tentang pencarian bahasa rupa dua dimensi aspek ‘gerak’ dalam bentuk bayangan wayang kulit merupakan topik utama. Maka perlu dicari aspek bahasa rupa pada gambar-gambar dua dimensi ‘diam’ yang representatif sebelum mempelajari aspek gerak pada gambar-gambar dua dimensi bayangan. Penelitian bahasa rupa gambar-gambar dua dimensi ‘diam’ yang representatif, sudah diteliti oleh Primadi Tabrani dalam bentuk disertasi (1991). Melalui tinjauan pada wayang beber ‘Jaka Kembang Kuning’ dari telaah ‘cara wimba’ dan ‘tata ungkapan’ bahasa rupa sebagai media ruparungu (media audiovisual) statis yang modern. Dalam hubungannya dengan bahasa rupa gambar prasejarah, primitif, anak, cerita wayang beber dan relief cerita Lalitavistara Borobudur.
Penelitian serupa yang juga diperlukan untuk melengkapi aspek bahasa rupa pada gambar-gambar bahasa rupa media ruparungu dua dimensi ‘diam’, adalah penelitian Lampion Damarkurung (Ismoerdijahwati. 2001), tentang bahasa rupa gambar-gambar lampion damarkurung asal Gresik Jawa Timur, karya Mbah Masmundari1 (alm). Penelitian ini membahas tentang pencarian subtansi dari keberadaan lampion dan bahasa 1
Mbah Masmundari meninggal dunia tanggal 26 Januari 2006 dalam usia 102 tahun. Beliau dilahirkan ditahun 1904 dan merupakan anak ke 3 bersaudara. Mempunyai seorang putri bernama ibu Rohayah, dan ibu Rohayah tidak mempunyai ketrampilan menggambar seperti ibunya. Sehingga tidak terjadi regenerasi dalam keahlian menggambar di lampion tersebut. Untunglah secara diam-diam, salah seorang cucunya mempelajari teknik menggambar tersebut, dan akhirnya kepunahan bisa terhindarkan.
31
rupa gambar-gambar penutup lampion damarkurung. Pendekatan yang digunakan adalah teori bahasa rupa Primadi, dari hasil penelitian berupa gambar-gambar 2 dimensi representatif gambar ‘diam’ yang ‘hidup’ sekaligus memiliki dimensi waktu. Gambargambarnya menggunakan teknik ’en profil’ sekaligus ’en face’ mirip wayang kulit dengan penggambaran bentuk wajah ke samping/tampak sisi. Hanya saja tokoh-tokoh yang digambarkan ini tidak menggunakan kostum wayang, tetapi menggunakan kostum masa kini, jeans bagi lelaki dan para kaum mudanya, dan penggunaan kerudung dan kain bagi para wanitanya. Melalui bahasa rupa akhirnya diketemukan, bahwa cerita pada gambar-gambar lampion damarkurung, mirip dengan gambar-gambar wayang beber ‘Jaka Kembang Kuning’, dan relief ‘Lalitavistara’ Borobudur. Misalnya, seorang ‘Raja’, ‘tuan rumah’, ‘pemilik’, ‘penjual’, ‘petugas’, ‘penunggu’, diposisikan sebelah kanan gambar. Sedangkan seorang ‘tamu’, ‘pengunjung’, ‘pembeli’, diposisikan sebelah kiri. Arah ‘datang’ dari kiri-ke kanan (masuk ke dalam suatu ruang), arah ‘pergi’ dari kananke kiri (keluar dari suatu ruang). Juga merupakan gambar dua dimensi ‘diam’ tapi ‘hidup’, seperti pada gambar pra sejarah, primitif, anak, relief candi ‘Lalitavitara’ Borobudur, Wayang Beber ‘Jaka Kembang Kuning’.
Pada perkembangan selanjutnya, untuk mempermudah kajian, Tabrani, P. (2005) menjadikan gambar-gambar tersebut menjadi satu pemahaman, yakni bahasa rupa gambar-gambar tradisi. Untuk selanjutnya lebih sering ditemui istilah bahasa rupa gambar-gambar tradisi pada penulisan disertasi ini. Bahasa Rupa gambar-gambar tradisi adalah kesemua gambar mulai dari gambar-gambar tunggal, yakni bahasa rupa gambar pra sejarah, gambar primitif, gambar anak-anak, kemudian gambar-gambar tunggal yang dirangkai yakni bahasa rupa gambar relief candi “Lalitavistara” Borobudur, gambar wayang beber “Jaka Kembang Kuning” dan gambar lampion Damarkurung, yang dirangkum dengan sebutan bahasa rupa gambar tradisi. Sesuai dengan pernyataan Tabrani P. (2005), bahwa hal ini disebabkan, bahasa rupa pendahulu kemudian berkembang sesuai latar belakang masing-masing menjadi bahasa rupa tradisi pada gambar tradisional… oleh sebab itu bahasa rupa gambar prasejarah, primitif, anak dan tradisi penulis rangkum sebagai bahasa rupa gambar tradisi, karena semuanya menggunakan bahasa rupa yang lebih dekat dengan RWD.
32
Untuk lebih jelasnya perlu dituliskan juga bahwa, pada gambar-gambar tradisi terdapat persamaan-persamaan dalam bahasa rupanya, termasuk ciri-cirinya. Karena pelaku dari masing-masing pencipta gambar tersebut memiliki latar yang sama, yakni budaya tulis belum dikenal atau budaya tulis belum membudaya atau kemampuan menulis masih terbatas. Maka bahasa rupa gambar pra sejarah berlaku pula pada bahasa rupa gambar primitif dan gambar anak-anak, karena memiliki ciri-ciri yang sama: bila seekor mammut digambar belalainya lebih dari satu. Pesannya adalah, sang mammut sedang menggerakkan belalainya. Bila seekor binatang digambar dengan bentuk dan garis yang relatif statis, maka binatang itu relatif sedang diam. Bila suatu obyek digambar “lebih besar” dari sekelilingnya, maka pesannya obyek tersebut lebih penting dari yang lainnya.
Oleh karena itu besar kecilnya obyek tidak ada hubungannya dengan ‘frame’. Maka dapat disimpulkan hingga saat itu, belum dikenal apa yang disebut dengan istilah ‘ukuran pengambilan’. Umumnya tiap benda, selalu digambar dari kepala sampai kaki, jadi gambar lebih berbicara dengan ‘gesture’ daripada dengan ‘ekspresi wajah’. Bila suatu obyek ‘penting untuk dikenali’, maka binatang (obyek) itu akan digambar dari arah paling karakteristik hingga binatang itu mudah dikenali. Misalnya, ayam lebih sering digambar tampak sisi daripada tampak muka, begitu pula binatang kaki empat juga digambar tampak sisi. Karena bila tampak depan, akan tampak sulit dikenali jenis binatang yang digambarkan. Bila suatu kejadian di dalam ruang dianggap penting untuk diceritakan, maka dibuat gambar ‘sinar x’, hingga kejadian tersebut tampak dari luar dan dapat diceritakan. Bila pada suatu gambar, suatu obyek digambar beberapa kali (cara kembar), pesannya benda tersebut sedang ‘bergerak’, berada pada aneka waktu dan tempat yang sedikit berbeda. Bila pada suatu gambar terdapat obyek-obyek yang ’jungkir balik’ (dilihat dengan cara ruang angkasa), maka pesannya ada ruang yang berkeliling (orang prasejarah, primitif dan anak-anak mampu ‘membaca’ gambar-gambar tersebut dengan tanpa kesulitan). Kemudian pada gambar-gambar tertentu, terkadang tampil dalam bentuk berlapis-lapis latar. Tiap latar mempunyai waktu dan ruangnya sendiri yang tidak sama persis satu dengan yang lain. Misalnya, lapisan latar paling bawah, maksudnya terjadi lebih dahulu, lapisan berikutnya terjadi kemudian, dan begitu
33
selanjutnya. Tapi bagi manusia prasejarah, primitif dan anak-anak, ruang dan waktu tidak harus ‘dibaca’ kronologis, bisa dengan flashback atau siklus. Maksudnya, tak penting mana yang ‘dibaca’ terlebih dahulu, mana yang ‘dibaca’ kemudian. Setelah semua dibaca, maka lengkaplah maknanya. Walaupun latarnya bisa berlapis-lapis, namun semua obyek di suatu latar ‘digeser’ baik sebagian maupun seluruhnya, supaya tampak dan dapat diceritakan.
Perlu diketahui, bahwa penelitian-penelitian tersebut, merupakan penelitian dengan bahasa rupa, khusus mengenai gambar representatif pada gambar-gambar dengan teknik penggambaran deskriptif. Artinya kajian dari penelitian-penelitian bahasa rupa tersebut menggunakan gambar-gambar yang mewakili aslinya, dan sekaligus bercerita. Bila pada suatu gambar, suatu obyek digambar dengan menggunakan imaji gerak, maka bentuk penggambarannya adalah, bila suatu obyek digambar beberapa kali (cara kembar), tampil dalam bentuk berlapis-lapis latar, dan flashback atau siklus. Kesemua bentuk penggambaran tersebut merupakan bentuk gambar gerak yang ’statis’ (’stop motion’) yang merupakan penggambaran animasi.
Oleh karena itu, penelitian-penelitian tersebut dapat menjadi panduan untuk membantu menemukan bahasa rupa gambar-gambar dua dimensi aspek ‘gerak’ pada bayangan wayang kulit pada saat dipergelarkan melalui kelir, dengan sinar dari lampu blencong.
Penelitian media audio visual diperlukan juga untuk membantu penelitian bahasa rupa ‘gerak’ wayang kulit dalam bentuk bayangan. Karena wayang kulit merupakan media audio visual tradisional dalam bentuk bayangan dua dimensi yang bergerak dari arah kelir melalui sinar lampu blencong. Dalam media Audio Visual, informasi yang masuk melalui penglihatan bersifat dominan. Penelitian/tulisan mengenai The Grammar of film/TV bertitik tolak, bagaimana membuat film/TV semata dari segi visualnya tanpa merepotkan diri dengan bunyi dan sastra serta latar belakang budayanya. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa pada media audio visual, segi visualnya yang memberikan informasi terbesar, dibandingkan dengan informasi yang diberikan melalui media lainnya.
34
Seperti yang dituliskan oleh Subroto DS (1994), ……..yang berkenaan dengan pandang dengar, dengan kamera, mikrofon serta video kabel yang membawa sinyalnya dan seperti yang diketahui bahwa kita menerima berbagai informasi melalui panca indra kita, mata, telinga, hidung, mulut dan kulit. Berbagai informasi ini justru informasi melalui mata yang paling besar prosentasenya, sampai 75% dari seluruh informasi yang dapat diterima, hal ini dapat kita rasakan bahwa sebagian besar informasi ini diterima dengan jalan melihat…itu artinya bahwa tidak salah lagi dan lagi biasanya kita tidak mengetahui sesuatu karena belum pernah melihatnya.
Informasi melalui indera mata sebagian merupakan informasi yang kongkrit, sehingga didapatkan informasi yang cukup jelas, baik warna, bentuk serta ukurannya, karena itu media audio visual sangat bermanfaat untuk mengkomunikasikan suatu gagasan.
Bahkan oleh Dwyer (1978) dikemukakan untuk mengenal informasi secara lengkap, indera penglihatan merupakan aspek utama dalam menerima informasi bahkan prosentasenya sampai 83%, seperti yang dikemukakan melalui tabel 2.1, The effectiveness of Visualization. WE LEARN 1 % Through Taste 1,5 % Through Touch 11 % Through Hearing 83 % Through Sight
The Grammar of Film/TV Language, adalah usaha agar rangkaian gambar tunggal bisa bercerita. Oleh karena itu, dari kegiatan serupa pada Film/TV, diharapkan pula pada penelitian pagelaran wayang kulit. Melalui gambar-gambar hasil rekaman video, berusaha diketemukan bahasa rupa ‘gerak’ pada gambar-gambar ‘gerak’ wayang kulit.
Akhirnya dari usaha ini diperoleh The Grammar of Wayang Kulit Purwa (bahasa rupa wayang kulit purwa). Menggunakan istilah ‘grammar’, karena untuk merangkai gambargambar hingga terjadi kesinambungan cerita diperlukan grammar. Untuk sementara boleh dianggap ‘grammar’, tapi perlahan akan terungkap, bukan hanya ‘grammar’. Dari usaha ini pula tampaklah bahwa penelitian bahasa rupa mengikuti pola penelitian bahasa rupa film/TV – The Grammar of Film/TV Language.
35
Pada bahasa rupa barat, terdapat banyak istilah kamera misalnya, istilah kamera MLS (Medium Long Shot). Pada gambar-gambar sistem NPM, istilah kamera MLS, selalu merupakan bingkai/frame pada suatu bidang gambar, seakan merupakan ‘cara’ pengambilan gambar dari kepala-kaki pada bahasa rupa pendahulu. Namun pada bahasa rupa pendahulu, meskipun menggunakan gambar dengan cara pengambilan dari kepalakaki, selalu tanpa bingkai (frame). Pada bahasa rupa pendahulu, seluas apapun bidang gambar, seluas apapun bidang cadas, sebesar apapun gambarnya, tidak ada hubungannya dengan ‘Frame’, gambarnya tetap dari kepala sampai kaki.
Penelitian Yumarta, Y (2004) tentang bahasa rupa ‘gerak’ pergelaran wayang golek purwa, juga menggunakan konsep dasar dari hasil penelitian Primadi yakni bahasa rupa gambar teori RWD (Ruang – Waktu – Datar), telah disusun dalam bentuk tabel sebagai berikut:
TABEL 2.2. BAHASA RUPA MENURUT TEORI RUANG WAKTU DATAR (RWD) BAHASA MEDIA RUPA Gambar Cadas Relief cerita Wayang Statis Beber Damarkurung Lukisan Kaca Gambar Anak Wayang Kulit
DIMENSI
Dwimatra
Dwimatra dinamis
Wayang Golek
Trimatra
POSISI
Seperti diam
DIARTIKAN
Bergerak
Dalam keadaan Sebagai diam, tidak “gambar dimainkan diam” tidak mati Dalam keadaan Sebagai “gambar bergerak hidup” karena dimainkan Dalam keadaan Dianggap diam tidak “gambar Dimainkan/tidak diam” tidak digerakkan mati Dalam keadaan Dianggap “gambar bergerak hidup” karena dimainkan
KETERANGAN
Digambar dengan blabar yang mengekspresikan gerak sehingga terkesan hidup Jejer, wayang dan gunungan ditancapkan. Gerakan-gerakan dalam sabetan
Jejer, wayang dan gunungan ditancapkan Gerakan-gerakan dalam sabetan
36
Pada wayang kulit (dwimatra) dan wayang golek (trimatra) terdapat persamaan sebagai media dinamis. Bila wayang kulit dan wayang golek tidak dimainkan, posisi mereka dalam keadaan ‘diam’, dan diartikan sebagai ‘gambar diam’ tidak mati (wayang dan gunungan dalam keadaan jejer, ditancapkan). Bila posisi wayang kulit dan wayang golek dalam keadaan bergerak karena dimainkan, diartikan sebagai “gambar hidup” (melalui gerakan-gerakan dalam sabetan).
Kemudian disertakan pula tabel cara baca bahasa rupa wayang golek purwa dalam posisi statis dan tabel cara baca bahasa rupa wayang golek purwa dalam posisi dinamis (2004). Tabel-tabel tersebut, perlu ditampilkan dalam penelitian ini, sebab dapat dipakai sebagai bahan pembanding dengan bahasa rupa wayang kulit dua dimensi dalam bentuk bayangan dari arah kelir melalui sinar lampu blencong.
Tabel 2.3 Cara Bahasa Rupa Wayang Golek Purwa dalam Posisi Statis. No Catatan 1. Posisi kayon
Cara Memainkan Ditancap diam
Tata Ungkapan Tata Ungkapan Luar
Posisi wayang statis “mati”
Diam, wayang ditancapkan
T.U. Dalam, adegan keraton susunan jejer tanpa gerak.
2.
Blocking
Pengadegan/ jejer
3.
Yang ke kiri
penting
4.
Identifikasi
Atribut/ ciri
Dialog, gerak isyarat tangan Tempat di latar depan kiri bicara dengan gestikulasi + gesture
5.
Lapisan latar + Lt. depan, tengah Latar depan kiri yang daerah pentas kiri + belakang, daerah disebut lebih dulu, kanan. pentas kiri, kanan kemudian latar tengah kanan, berikut latar belakang kanan Dilihat dari Tampak Dinyatakan dengan samping karakteristik atribut/ hiasan kepala
6.
7.
Skala normal wayang panggung
Wayang ditancap Tampak MLS, dan dipegang dalam jejer, gerak isyarat tangan, badan, kepala.
Makna Kehidupan belum Dimulai Kiri: berpangkat, penghuni, baik. Kanan: pangkat rendah, jahat, tamu. Yang berbicara lebih awal. Yang dihormati, tuan rumah, baik, berpangkat tinggi, pemeran utama Persidangan, rembugan, bercerita banyak kejadian dalam durasi waktu dan ruang. Dikenali sebagai tokoh satria, ponggawa, putri, dan lain-lain.
Tokoh sedang berbicara dalam jejer (gestikulasi, gesture, sabet)
37
Tabel 2.4. Cara Bahasa Rupa Wayang Golek Purwa Dalam Posisi Dinamis. No
Catatan
Cara Memainkan Gerak dengan gestikulasi, gesture
1.
Posisi wayang dinamis “hidup”
2.
Blocking
3.
Penting
4.
Identifikasi
5.
Lapisan latar + Gerak sabetan daerah pentas kiri gesture + kanan
6.
Cara melihat
Pengadegan/ jejer Dipegang tangan kanan Gerak tari
Kiri, kanan, tengah
Tata Ungkapan
Makna
T.U Dalam & T.U Kiri. Latar Luar, jejer keraton, depan: berbicara jejer dengan gerak lebih dulu, latar tengah diberi tugas. Dialog, gerak Yang berbicara isyarat tangan lebih dulu. Selalu berada di Yang akan kiri,memperlihatkan menang dalam gerak karakteristik perang,memperkenalkan diri, menunjuk kan lama waktu perjalanan. Gerakan ke kiri, Imajinasi ruang dan kanan, atas, bawah, waktu. muka, belakang. Latar tengah kanan, latar belakang. Menggambarkan peristiwa dalam bahasa rupa pertunjukkan.
Perlu diperhatikan, ada perbedaan yang signifikan: -
Pada posisi tokoh dari gambar-gambar relief candi Borobudur dan seni hias Damarkurung bahwa, posisi tokoh Raja, tuan rumah, atau tokoh baik, berada di posisi kanan gambar, dan tokoh di bawah raja, tamu atau tokoh jahat, berada di posisi kiri gambar.
-
Pada wayang beber dan wayang golek, posisi tokoh Raja, tuan rumah, atau tokoh baik, berada di tangan kanan dalang, berarti berada di posisi kiri dari arah para penonton. Sedangkan posisi tokoh di bawah Raja, tamu atau tokoh jahat berada di tangan kiri dalang, berarti berada di posisi kanan dari arah para penonton.
38
Tabel 2.2, 2.3, 2.4, tersebut merupakan parameter untuk membantu menganalisis bahasa rupa gerak wayang kulit purwa gaya Yogyakarta. Sehingga perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan yang signifikan antara wayang golek purwa dan wayang kulit purwa dapat diketahui nantinya pada bahasa rupa gerak wayang kulit dari arah bayangan.
Bahasa rupa sistem RWD dan NPM telah dicobakan dan digunakan pada gambar-gambar tradisi, dan gambar-gambar modern dari penelitian-penelitian bahasa rupa sebelumnya, baik gambar tunggal maupun gambar rangkai. Sebagai contoh ‘cara membaca’ gambar dua dimensi bahasa rupa tradisi, baik gambar tunggal, maupun gambar-gambar yang dirangkai akan dipaparkan dalam tulisan ini, yang merupakan hasil penelitian-penelitian sebelumnya.
Untuk mudahnya, dikemukakan terlebih dahulu, penggunaan teori bahasa rupa hasil penelitian Primadi pada penelitian-penelitian serupa, melalui ‘cara membaca’ jenis gambar-gambar tunggal yang memiliki sistem menggambar RWD: gambar pra sejarah, primitif, dan gambar anak. Setelah itu dipaparkan pula ‘cara membaca’ gambar-gambar yang cara pembuatan gambarnya dirangkai, sistem menggambar RWD: gambar-gambar wayang beber, gambar-gambar relief Borobudur dan seni hias Damarkurung. Kemudian yang terakhir ditampilkan pula jenis gambar-gambar tunggal yang memiliki sistem menggambar NPM.
Contoh-contoh ‘membaca’ bahasa rupa jenis gambar tunggal: Contoh cara membaca bahasa rupa jenis gambar-gambar tunggal ini, dipakai pula untuk membaca pada saat analisis gambar pergelaran wayang kulit purwa gaya Yogyakarta dalam bentuk bayangan gerak. Cara membaca ini disusun dalam bentuk tabel-tabel agar supaya mempermudah cara membacanya.
39
Tabel 2.5. Contoh bahasa rupa pada gambar prasejarah
Foto 2.1. Kuda Berderap Dipanah- Lascaux, Perancis, Eropa (Howell dalam Tabrani, 2005)
CARA WIMBA TATA UNGKAPAN Tampak karakteristik
Dari kepala sampai kaki Skala normal
Bentuk tubuh relatif dinamis Kejadian
Aneka tampak
MEMBACA BAHASA RUPA Kuda digambar dari tampak khas hingga mudah dikenali. Tidak hanya sebagai kuda, tapi pula kuda bunting. Gesturenya mudah dikenali sebagai kuda, tubuh tidak kaku, larinya tersendat karena keberatan oleh kandungan Skala kuda ini nyaris 1:1 dan digambar lebih besar dari kuda lainnya pada gambar yang sama. Jadi kuda ini penting dalam cerita tersebut. Walaupun tubuh besar dan keberatan oleh kandungan, ia masih bisa berlari. Bukan still picture, tapi ada matra waktu dalam gerak kuda dan panah yang berhamburan kearahnya dari belakang. Pesannya, kuda itu berpindah tempat. Badan tampak samping, kuku tampak muka
40
Tabel. 2.6. Contoh bahasa rupa pada gambar primitif
Foto 2.2. Merupakan satu bentuk lukisan burung pada media kulit kayu suku Aborigin (Aboriginal bark paintings) (Repro gambar: .Ucko. J.P. 1977)
CARA WIMBA Ukuran Pengambilan: Dari kepala - kaki Sudut Pengambilan: Sinar X
TATA UNGKAPAN
Skala normal/sama dengan aslinya
TUD Menyatakan Penting: Tampak Khas (berkarakteristik) Sinar X
Penggambaran: Aneka tampak
MEMBACA BAHASA RUPA Badan tampak samping dan kaki tampak atas. Sehingga bisa diceritakan bentuk burungnya Badan burung seolah-olah tembus pandang, sehingga organ-organ didalam tubuh burung dapat diceritakan Skala burung ini nyaris 1:1 dan digambar secara khas dari arah yang paling mudah dikenali. Sekaligus juga ditampakkan pula organ-organ tubuh burung yang dianggap penting untuk diceritakan. Digambar tampak samping, dari arah yang paling mudah dikenali, yang merupakan gambar burung, lengkap dengan organorgannya. Jadi penggambarannya bukan still picture.
41
Tabel 2.7. Contoh bahasa rupa pada gambar anak
Foto 2.3. Karya Arbitha Mirdyana, 4 tahun, Perempuan, Jakarta. (Hardi Y S. 2004)
CARA WIMBA
TATA UNGKAPAN MEMBACA ‘BAHASA RUPA’ DALAM Ukuran Semua wimbanya digambar dari kepala Pengambilan: sampai kaki agar dapat dikenali Dari kepala – kaki ‘gesture’nya. Bunga digambar lebih besar, artinya bunga itu penting. Ada yang diperbesar Sudut pengambilan: Wimba tampak wajar, sejajar dengan Sudut wajar pandangan mata Skala: Lebih kecil Semua wimba digambar lebih kecil dari dari aslinya aslinya Penggambaran: Wimba dapat dengan mudah dikenali. Naturalis Terbatas Penggambaran dengan cara ekspresif Ekspresif dengan garis yang jelas dan blabar yang Blabar jelas. Sehingga dapat mengungkapkan Garis perasaan, suasana dan gerak. Warna Warna digunakan pada wimba. Aneka Tampak Manusia tampak depan, kakinya tampak atas, bunga tampak atas, daunnya tampak samping Kejadian Bukan still picture, bukan momen opname tapi ada matra waktu, terlihat
42
Menyatakan Ruang Garis Tanah Digeser Menyatakan Gerak Garis-garis ekspresif Bentuk dinamis Menyatakan Penting: Tampak khas Diperbesar
dari obyek seperti sedang berjalan Wimba berdiri pada garis tanah yang digambar seperti rumput. Wimba digambar dengan cara digeser agar dapat diceritakan semuanya. Bentuk digambar dinamis dengan garisgaris yang ekspresif, sehingga terlihat sedang bergerak. Semua Wimba digambar dari tampak yang paling mudah dikenali Bunga digambar lebih besar, artinya bunga itu penting.
Pembahasan gambar-gambar Tradisi yang berbentuk gambar rangkai. Pembahasan berikutnya adalah gambar-gambar yang dirangkai yang memiliki sistem cara menggambar bahasa rupa RWD. Gambar-gambar tersebut adalah gambar relief candi “Lalitavistara” Borobudur, gambar wayang beber “Jaka Kembang Kuning” dan seni hias lampion Damarkurung. ‘Cara-baca’ bahasa rupa yang dikemukakan pada penelitian ini, merupakan hasil dari penelitian sebelumnya. Cara membacanya juga dipakai untuk membaca gambar-gambar bayangan gerak wayang kulit purwa gaya Yogyakarta.
Penulisan cara membaca bahasa rupa dari gambar-gambar tersebut disusun dalam bentuk tabel-tabel, yang merupakan hasil kajian dan bersifat keseluruhan langsung dikutib dari buku sumber. Tabel-tabel tersebut sekaligus berfungsi sebagai parameter (pedomanpedoman) untuk menganalisis gambar-gambar bayangan gerak wayang kulit purwa gaya Yogyakarta. Sedangkan pilihan gambar yang ditampilkan merupakan salah satu gambar yang dapat dianggap mewakili, dari keseluruhan gambar-gambar yang dipakai sebagai obyek kajian.
43
Bahasa rupa gambar relief candi Lalitavistara Borobudur. TABEL 2.8. MEMBACA BAHASA RUPA BOROBUDUR (SISTEM RUANG-WAKTU-DATAR)2 NO 1.
CATATAN DATA OBYEK -Bergerak -Gerak Berulang -Penting Dikenali
2.
-Dalam Ruang CARA LIHAT -Pradaksina -Tiap Panil -Pergi -Tuan Rumah -Tamu -Jagongan
3.
-Memusat SEKUEN -Adegan-Film -Latar-Film
-Di Tiap Latar
4.
-Dipadukan A NATURALIS -Urat & Mimik
GAMBAR
MEMBACA BAHASA RUPA
-Bentuk Dinamis & Blabar Ekspresif -Imaji Jamak -Sedikit Diperbesar -Tampak Karakteristik -Sinar X
-Sedang Bergerak
-Urutan Panil Kanan-Kiri -Yang di kanan terjadi lebih dulu, lalu ke kiri. Dst. -Dari kanan ke kiri Menghadap ke kiri. -Di Belahan Kanan -Di Belahan Kiri -Tokoh Utama Tuan Rumah/ Tamu Di Tengah, Tuan Rumah Di Kanan, Tamu Di Kiri. -Tokoh Utama Di Tengah. TANPA KISI-KISI -Beberapa Adegan-Film -Beberapa Latar Film -Latar Belakang Terjadi Lebih Dulu, (Latar Depan Dianggap Belum Ada). Latar Depan Terjadi Kemudian -Obyek/ Tokoh Bisa Digambar Lebih Dari Satu -Dengan Hitech Dismix DI STILIR -Tidak Ditampakkan
Bahasa Rupa ini dimaksudkan agar gambar dapat dibaca. Sungguhpun tanpa sastra/Teks -Gmb. Prasejarah -Gmb. Primitif -Relief Candi
Penting Untuk di ketahui dalam cerita
Bahasa Rupa Ini Agar Gambar Mampu Bercerita tentang banyak Kejadian Alam Rentang Waktu, Pindah Tempat, Dsbnya.
Bahasa Rupa
2
Tentang panel 49 ‘Lalitavistara’ relief Borobudur dapat dipelajari lebih lanjut pada Tabrani, P. (2005), Primadi Tabrani, dkk, (1986); Disertasi Tabrani, P. 1991.
44
5.
6.
-Identifikasi -Kepala-Kaki
-Melalui Atribut Ciri-ciri -Gesture & Ruang
A PERSPEKTIF
CANDERA + CERITA
-Digeser -Aneka Sudut -Aneka Jarak
-Semua Kelihatan -Tampak Samping/Muka -Yang Penting Diperbesar
A MOMEN OPNAME
BERDIMENSI WAKTU
Borobudur berbicara dengan gesture dan kesan ruang Hingga Bisa Diceritakan Bukan Hanya Mencandera, Tapi Bercerita Dengan Apa Yang Digambar. ANEKA ARAH/JARAK/WAKTU
Foto 2.4. Contoh Panil 49 Lalitavistara Borobudur ‘Sayembara Memanah’. (repro Tabrani, P. 2005)
Sehubungan dengan itu dijelaskan pula ‘cara baca’ bahasa rupa relief cerita Borobudur asal tahun 800 Masehi, dengan cerita sebagai berikut (perhatikan gambar relief “Lalitavistara” Borobudur di atas): Panel 49 menggambarkan sayembara memanah. Di belahan kanan (orang penting/ tuan rumah) ada seseorang dengan atribut bangsawan dan bermahkota, duduk di podium yang lebih tinggi dari lapangan. Pesannya: tokoh itu seorang raja dan tuan rumah sayembara itu, dan sedang menyaksikan jalannya sayembara tersebut. Ada dua latar, di latar belakang (terjadi lebih dulu) para peserta sedang sibuk memanah (latar depan, dianggap belum ada). Sementara itu di latar muka ada seorang peserta dengan atribut bangsawan, memakai mahkota, berdiri dengan kedua kaki berlandaskan 45
batu (ciri Bodhisatwa), di belahan kanan panel (penting) di sebelah kiri raja dekat podium. Pesannya: tokoh itu tentunya peserta utama dan untuk latar muka posisi ini terjadi lebih dulu. Di latar muka agak ke tengah, sebelah kiri peserta utama tadi, ada peserta dengan atribut sama dengan peserta utama dan diteduhi payung (satu-satunya payung) serta juga berdiri dengan kakinya berlandaskan batu (ciri Bodhisatwa). Pesannya: Bodhisatwa sebagai peserta utama mulai dengan berdiri di kirinya raja dekat podium di belahan kanan panil, kemudian maju ke tengah dan bersiap-siap melaksanakan gilirannya. Tokoh yang baru saja selesai memanah di latar muka, di sebelah kiri tokoh yang di tengah tadi, atributnya sama dan juga berlandaskan batu. Pesannya: Bodhisatwa kemudian maju dan melaksanakan gilirannya, anak panahnya (diperbesar agar tampak) melesat dan ujungnya tampak menembus tujuh pohon lontar yang berada di belahan kiri panel dan merupakan adegan terakhir.
Jadi dalam panel ini, Bodhisatwa digambar 3 kali dalam posisi dan waktu yang sedikit berbeda. Saat latar muka ‘muncul’ maka latar muka di ‘disolve’ dan pada saat yang tepat, latar belakang dan latar muka di ‘dismix’ (dissolve & mix) hingga semua tampak dan dapat diceritakan. Tampak pula semua tokoh digeser (penuh atau sebagian) agar tampak dan bisa diceritakan.
Cara membaca bahasa rupa gambar wayang beber ‘Jaka Kembang Kuning’ menggunakan teknik bercerita dari sequence ke sequence. Masing-masing sequence dibatasi oleh gambar tokoh-tokoh yang saling memunggungi, untuk membedakan ruang dan waktu dari masing-masing kisah. Pada masing-masing sequence dari pembatasan tersebut, dapat dianggap sebagai masing-masing panil seperti yang terdapat pada relief-relief candi, dalam penyampaian cerita (tiap sequence) dibatasi oleh panil-panil. Cara penyampaian cerita dengan menggunakan pembatasan panil ini dimaksudkan agar dapat dibaca tanpa sastra/teks. Satu sequence tokoh yang sama digambar lebih dari satu kali, bisa terdapat beberapa adegan, bisa beberapa latar, latar belakang diceritakan duluan (latar depan bisa
46
diceritakan kemudian). Hal ini dimaksudkan agar gambar mampu bercerita tentang banyak kejadian dalam rentang waktu, pindah tempat dan sebagainya.
Bahasa rupa gambar Wayang Beber ‘Jaka Kembang Kuning’
TABEL 2.9. CARA BACA BAHASA RUPA WAYANG BEBER – JAKA KEMBANG KUNING (SISTEM RUANG –WAKTU- DATAR) NO. 1
2
CATATAN DATA OBYEK • Bergerak • Penting • Dikenali
BAHASA RUPA
•
Bentuk Dinamis & Blabar • Sedang Bergerak Ekspresif Gerak Kaki. -Sinar X Kain - Agar gesture tampak -Sedikit diperbesar penting diketahui Dalam -Tampak karakteristik alur cerita
CARA LIHAT • Kiri-Kanan • Tiap Panil -Tuan Rumah -Tamu -Jagongan
3
GAMBAR
• Urutan SQ KiriKanan • Di belahan Kiri • Di Belahan Kanan • TokohUtama,TuanRumah/ Tamu • Di Tengah TIAP SEKUEN Tanpa kisi-kisi • Di 1 sequen • Tokoh yang sama digambar lebih dari satu kali. • Adegan • Bisa beberapa adegan • Latar • Bisa beberapa latar, latarbelakang diceritakan duluan (latar depan dianggap belum ada). Latar depan diceritakan kemudian. • Di Tiap Latar • Tokoh yang berada di tengah diceritakan duluan, baru yang dibelakangnya • Dipadukan • Dengan hitech dismix
Bahasa Rupa ini agar gambar dapat dibaca tanpa sastra/ teks. • Gmb. Prasejarah • Gmb. Primitif • Gmb. Anak • Relief candi/WB
Bahasa Rupa Wayang beber JKK Agar gambar mampu bercerita tentang banyak kejadian dalam rentang waktu, pindah tempat dan sebagainya.
47
4
A-NATURALIS • Kepala-Kaki • Malu/Marah
DI STILIR • Gesture & Ruang • Memalingkan muka atau kaki bersilang • Melalui atribut ciri-ciri
Bahasa Rupa Wayang Beber JKK berbicara dengan gesture dan kesan ruang.
A – PERSPEKTIF • Digeser • Aneka Sudut • Aneka Jarak • Yang dipentingkan
CANDERA + CERITA • Semua terlihat walau sebagian • Tampak samping/muka • Diperbesar
Bukan hanya mencandera, tapi bercerita dengan yang di gambar
A-MOMEN OPNAME
Berdimensi waktu
Aneka arah/jarak/waktu
•
5
6
Identifikasi
apa
Untuk bahan kajian penulisan di sini dipilih gulungan yang dianggap ceritanya paling menarik dan merupakan kisah akhir yang berbahagia dari perjalanan kisah Jaka Kembang Kuning sebagai tokoh utamanya, yakni gulungan ke 6 dari enam gulungan cerita Jaka Kembang Kuning.
48
49
SQ. 21
SQ. 22
Foto 2.5. Gulungan 6, sequence 21 sampai sequence 24
SQ. 23
SQ. 24
Perlu diketengahkan pula, bahwa untuk gambar wayang beber ‘Jaka Kembang Kuning’ yang berupa gulungan-gulungan, keseluruhannya berjumlah 1 sampai dengan 6, dan yang ditampilkan adalah gulungan ke 6, merupakan repro dari transparasi milik Primadi Tabrani yang diambil dari data karya R.A Kern 1909: 338-356. Sedangkan untuk penyusunan Ringkasan Cerita ‘Jaka Kembang Kuning’ hasil penelitian menggunakan foto-foto yang diambil dari hasil repro Gambar-gambar Kalender ASTRA 1983 (Tabrani, P. 1982). Ringkasan Cerita Jaka Kembang Kuning Hasil Penelitian3 Melalui hasil penelitian jangka panjang tersebut umumnya, khususnya mengenai lakon ‘Jaka Kembang Kuning’, studi identifikasi tokoh-tokoh, studi ringkasan cerita, studi pergelaran dalang Ki Sarnen Gunacarita di tahun 1981, serta studi bahasa rupa dan tabel cara bahasa rupa Jaka Kembang Kuning di atas sebagai pedoman. Untuk contoh ‘cara baca’ pada ringkasan cerita Jaka Kembang Kuning, digunakan gulungan ke 6, yang merupakan episode terakhir yang paling menarik (sequen 21 – 24), karena berakhir bahagia. Dapat disimpulkan ringkasan cerita hasil penelitian ‘Jaka Kembang Kuning’, sebagai berikut,
SQ. 21, ‘Gandarepa Berunding Dengan Jaka Kembang Kuning’ Wanita-wanita Klana yang diboyong dibawa Gandarepa (tamu = belahan kanan) menghadap ke Jaka Kembang Kuning (tuan rumah = di belahan kiri) di perkemahannya.
3
Ringkasan cerita Jaka Kembang Kuning hasil penelitian, tabel, cerita gulungan 6, SQ 21-24 ditulis kembali untuk penelitian ini dari buku karya Primadi Tabrani (2005).
50
Foto 2.6. Jaka Kembang Kuning, Sequence 21
Di belahan kanan selain Gandarepa, Naladerma, dan Tawang Alun, ada patih Arya Deksa Negara. Gesture di SQ ini menarik. Jaka Kembang Kuning ditempatkan di ujung paling kiri dan para wanita boyongan memenuhi SQ ini dan gesturenya seakan berebutan menyembah Jaka Kembang Kuning. Retno Tegaron kembali berada paling depan langsung berhadapan dengan Jaka Kembang Kuning.
SQ. 22‘Persidangan di Istana Kediri’ Tampak di belahan kiri (lebih berpangkat, tuan rumah) raja Kediri (di latar tengah) duduk di singgasana. Di Latar Belakang tampak para pengiring, sedang di latar muka tampak Gandarepa. Di Belahan kanan (tamu, pihak yang kalah, baru datang), di latar belakang tampak patih Arya Deksa Negara paling depan, di ikuti para perwira. Di latar muka paling depan tampak Retno Tegaron sedang menyembah, selanjutnya antara lain Jaka Kembang Kuning, Tawang Alun dan Naladerma. Artinya, Raja dan pengiringnya masuk lebih dulu (dari sebelah kiri), kemudian patih dan para perwira (dari sebelah kanan) yang melaporkan terlebih dulu bahwa para wanita rampasan perang akan dihadapkan ke baginda. Gandarepa yang sebenarnya datang bersama rombongan, segera menyelinap ke dalam istana dan muncul kembali dari dalam istana (dari sebelah kiri) kali ini dengan atribut bangsawan lengkap sebagai putra raja: bermahkota, sumping keemasan, hiasan leher dan kumis (hanya di SQ ini Gandarepa memakai kumis!) Gandarepa tampak duduk di latar depan langsung berhadapan dengan Retno Tegaron.
51
Foto 2.7. Jaka Kembang Kuning, Sequence 22
Rupanya tafsiran ada asmara antara ke duanya diperkuat lagi di SQ – 22 ini. Jaka Kembang Kuning kemudian melaporkan hasil perang besar, pihak Klana kalah, Klana tewas dan wanita-wanita Klana, telah diboyong di hadapan baginda. Raja Kediri gembira mendengar hal itu dan menepati janjinya untuk menjodohkan Sekartaji dengan pria yang berhasil menemukannya. Raja memerintahkan agar pesta pernikahan Sekartaji dan Jaka Kembang Kuning segera disiapkan.
SQ. 23. ‘Persiapan Perkawinan’ Di belahan kiri (tuan rumah) tampak di latar belakang Sekartaji paling depan diikuti Kili Suci, dukun pengantin yang adalah kakak Raja Kediri; di latar muka para dayang. Di belahan kanan (tamu) tampak Gandarepa di latar belakang dengan pengiringnya di latar muka. Walaupun dirias sebagai pengantin kerajaan, namun Sekartaji tetap tidak memakai mahkota, sumping keemasan dan hiasan leher. Namun dukun pengantin Kili Suci berhasil memunculkan kecantikan alami Sekartaji dengan rambut terurai. Kepala mengenakan jaring rambut (haarnet) dihiasi bintang-bintang, begitu pula rambutnya yang menjuntai kebawah.
52
Foto 2.8. Jaka Kembang Kuning, Sequence 23
Yang menarik adalah apa gerangan yang dibicarakan Gandarepa dengan Sekartaji dan Kili Suci? Apakah sekedar menasehati adiknya yang segera menikah, ataukah ada hubungannya dengan yang terjadi di SQ-21, dan SQ-22. Tampak kedua pengiring Gandarepa gesturenya seakan bingung.
SQ. 24, ‘Perkawinan Jaka Kembang Kuning – Sekartaji’ Di belahan kiri tampak Jaka Kembang Kuning (Tamu – menantu) di latar belakang, jadi seharusnya di belahan kanan. Di belahan kanan tampak Kili Suci dan Sekartaji (tuan rumah) seharusnya di belahan kiri. Setidaknya ada dua latar: latar belakang di Istana Kediri, dan latar depan (terjadi kemudian) di Istana Jenggala, Jaka Kembang Kuning tuan rumah, agar efisien, maka Jaka Kembang Kuning di SQ-24 ini, ditempatkan di belahan kiri. Di latar belakang (yang terjadi lebih dulu) tampak upacara temon di istana Kediri dipimpin dukun pengantin Kili Suci.
53
Foto 2.9. Jaka Kembang Kuning, Sequence 24
Setelah sekian lama di keluarga pengantin wanita di Kediri, maka setelah saatnya tiba, pada hari yang baik Sekartaji diboyong Jaka Kembang Kuning ke Jenggala. Di latar muka (di Jenggala) tampak Tawang Alun, Naladerma, dan para dayang Jenggala di belahan kiri (tuan rumah) sedang para dayang Sekartaji yang dibawa dari Kediri berada di belahan kanan di latar muka. Sekartaji sendiri yang bisa dikenali dengan kepala yang menunduk, sikap malu-malu (memalingkan muka) dan kedua kaki bersilang, kali ini memakai sumping keemasan dan hiasan leher seperti layaknya wanita bangsawan, berdiri di tengah sedang menggendong naga-nagaan yang melambangkan ia sedang mengandung…
Kemudian pada akhir penjelasannya, Primadi menuliskan pada bukunya, bahwa para penyungging wayang di masa lalu begitu ahli membuat gesture, hingga para dalang yang jeli juga bisa merasakannya dalam dialog-dialog dan narasi-narasi cerita. Sehingga dengan ‘cara’ yang demikianlah wayang beber dapat di ‘baca’ melalui bahasa rupanya.
54
Bahasa rupa seni hias lampion Damarkurung. Bungkus Lampion apabila dibuka, terdapat 4 bidang gambar, dan masing-masing gambar memiliki cerita yang kadang berurutan, kadang juga berbeda-beda, dengan arah lihat berkeliling. Lampion tersebut umumnya digantungkan di teras rumah usai senja. Tetapi ada kemungkinan lain, dengan cukup diletakkan begitu saja di atas meja, karena lampion tersebut memiliki kaki untuk diletakkan di meja sebagai penghias ruang atau sebagai penerang ruang. Ukuran benda beragam, yang paling besar, tingginya 40 cm, dengan masing-masing sisi berukuran sekitar 20 cm. Sedangkan yang paling kecil tinggi sekitar 20 cm, dengan sisi-sisinya berukuran 15 cm.
Menurut asumsi masyarakat setempat, awal keberadaan lampion ini menggunakan kertas singkong, yang juga dipergunakan anak-anak untuk main layang-layang, karena jenis kertasnya sangat ringan. Kemudian pada perkembangannya digunakan kertas HVS, seperti yang terdapat pada lampion yang ada di tulisan ini, adalah karya mbah Masmundari di tahun 1970an berasal dari Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Untuk lebih jelasnya dapat dipelajari dari gambar-gambar berikut,
Foto 2.10. Lampion Damarkurung Bungkus lampion terbuat dari kertas.
Diputar dari kiri ke kanan (Prasawya)
Gambar motif Damarkurung ini terdapat pada lampion berkerangka bambu dengan menggunakan media kertas berbentuk segi empat. Mengamati gambar-gambarnya dengan 55
cara diputar. Karena gambar pada lampion terdapat jenis cerita sakral, maka arah lihatnya dari atas – ke bawah dan diputar dari kiri ke kanan (Prasawya). (Repro gambar & penjelasan: Ismoerdijahwati. 2001).
1
2
3
4
dari atas ke bawah Membaca ceritanya dari kiri – ke kanan (prasawya) Foto 2.11. Penutup lampion dibuka, sehingga tampak keseluruhan gambar.
Cara membaca lampion ini, Dimulai dengan melihat dari gambar 1 (atas dan bawah), pada manusia, badan dan kaki tampak samping, sekaligus ‘gesture’nya. Gambar dibuat dengan tampak khas, sehingga mudah dikenali kegiatannya. Pada gambar 2 (atas – bawah), cara penggambaran dengan sinar X, terdapat gambar atap, yang menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut ada di dalam rumah (indoor). Gambar 3 bagian atas, ada gambar-gambar tanaman di stilasi yang menyatakan penting dan bermakna simbolis. Gambar 3 bagian bawah, kegiatan ada di luar rumah (outdoor). Pada gambar 4 (atas – bawah), cara penggambaran dengan sinar X, terdapat gambar atap. Gambar atas terdapat gambar lauk karena dianggap penting, maka cara penggambarannya digeser ke atas, supaya dapat diceritakan dibalik tumpeng ada ikan di piring (Ismoerdiahwati. 2001). Gambar bawah, kesibukan di dapur, dan kesibukan di kamar tuan rumah.
56
Untuk mempermudah pemahaman tentang membaca bahasa rupa lampion ada beberapa tabel yang perlu diketahui antara lain,
Tabel 2.10. klasifikasi tema cerita berdasarkan jenis ceritanya yang diamati dari rekaman video. Jenis cerita Sakral
-
Profan
-
Tema cerita Hari Raya Idul Pengajian Ikan Duyung Lelang Bandeng Pertunjukan ‘Rajamina’ Syukuran Kegiatan seputar rumah Kegiatan di pasar Pasar Malam (terdapat kegiatan permainan anak-anak di sini)
Tabel 2.11. urutan cerita berdasarkan jenis cerita, setelah proses menggambar selesai, yang diamati dari rekaman video. Jenis Cerita Pada Damarkurung
Cara Wimba Arah Lihat
Sakral
Atas – Bawah Kiri - kanan Urutan Bercerita Kanan – Kiri Raja, Tuan rumah, pemilik, penjual, petugas, penunggu. Tamu, pengunjung, pembeli Pergi / keluar (hadap dari kanan – kiri) Datang / masuk (hadap dari kiri – kanan)
Profan
Bawah – Atas Kanan – Kiri Urutan Bercerita Dari arah mana saja Dimulai dari mana saja
Tata Ungkapan Dalam Menyatakan Penting Prasawya
Posisi kanan
Posisi kiri Posisi Kanan - kiri Posisi Kiri - kanan
Pradaksina
Dream Time
57
Tabel 2.12. ciri-ciri khusus obyek seni hias Damar Kurung Masmundari Isi Wimba
Cara Wimba
Manusia Pohon Titik-titik
Stilasi Stilasi Ekspresif
Tata Ungkapan Menyatakan Gerak Naturalis stilasi Naturalis stilasi -
Tanda-panah
Ekspresif
Menyatakan gerak
Garis zigzag
ekspresif
Menyatakan gelap
Cara Baca Bahasa Rupa Masmundari Kesan mengungkapkan suasana perasaan/suara Kesan mengungkapkan Suasana gerak/angin/udara Kesan mengungkapkan perbedaan waktu
Ada yang spesifik dari karya seni hias Damarkurung untuk mengungkapkan suasana, misalnya suara/bunyi, keriuhan orang yang bergerak kesana-kemari bercakap-cakap, atau suara udara/angin yang menderu atau berdesir. Yang diwujudkan dalam bentuk gambargambar visual, misalnya tanda panah, titik-titik, garis-garis zigzag.
Bahasa rupa gambar-gambar 2 dimensi dengan sistem menggambar NPM (Naturalis-Perspektif-Momenopname). Penelitian-penelitian di atas terbukti bahwa gambar-gambar 2 dimensi ‘diam’ ataupun ‘dinamis’ semuanya merupakan gambar-gambar yang bercerita. Kemudian pembahasan berikutnya adalah, membahas gambar-gambar dengan sistem menggambar NPM. Sebabnya adalah perbendaharaan bahasa rupa yang telah diketemukan, juga mengacu pada asal kata istilah perbendaharaan bahasa rupa gambar-gambar 2 dimensi dengan sistem menggambar NPM (Naturalis-Perspektif-Momenopname). Gambargambar dengan sistem NPM, merupakan gambar Naturalis dengan sistem perspektif, dan merupakan gambar ‘mati’. Artinya, memiliki dimensi ruang, tapi tidak memiliki dimensi waktu. Itulah sebabnya gambar-gambar tersebut dikenal dengan sebutan “still picture”, yang ditampilkan dalam bentuk, lukisan, foto dan gambar, seperti yang tercantum di bawah ini.
58
Foto. 2.12. Merupakan contoh lukisan asli karya Winslow Homer (Repro: www. Gallery Primitive Art -Prints)
Foto 2.13. Contoh Foto ‘still picture’. (Repro: www.cookies.common.js)
Foto. 2.14. Contoh ilustrasi komik karya Scott Mc Cloud. (Repro: Scott Mc Cloud; 2001)
59
Setelah diperoleh perbendaharaan bahasa rupa 2 dimensi gabungan melalui penelitianpenelitian sebelumnya, maka pembahasan dilanjutkan dengan bahasa rupa gambargambar RWD + Gerak dan bahasa rupa gambar-gambar NPM + Gerak. Kedua jenis gambar-gambar ini, masih merupakan gambar 2 dimensi, tetapi ditambah dengan unsur ‘gerak’ dalam adegan-adegan yang ‘bergerak’. Bahasa rupa gambar-gambar RWD + Gerak, adalah gambar-gambar bayangan dari wayang kulit pada saat dipagelarkan, dengan menggunakan kelir melalui lampu blencong. Sedangkan bahasa rupa gambargambar NPM + gerak, adalah gambar-gambar dari film, TV dan Video.
Pada gambar-gambar dari film, TV dan video mempunyai aturan yang sama pada dasar pengambilan gambar dengan kamera. Lima ukuran pengambilan 1) Close Up, 2) Medium Close Up, 3) Medium Shot, 4) Knee Shot, 5) Full Shot (Herbert 1969). 3
4
5
Gambar 2.1. Lima ukuran pengambilan dengan camera (Herbert Read, 1969)
Kemudian terdapat pula posisi dasar camera yang berbeda menurut karakteristik dari gambar yang dihasilkan yaitu sudut pengambilan 1) High Angle, 2) Straight Angle, 3). Low Angle, akan memberikan efek gambar yang berbeda (Yoichi, N. 1986)
60
Gambar 2.2. Posisi dasar kamera dengan sudut pengambilan berbeda menurut karakteristik gambar yang dihasilkan (Yoichi, N. 1986)
Pada penjelasan lebih lanjut dalam adegan drama dikenal dengan shot angle, yang dalam penayangannya biasa disebut: sudut atas, sudut normal, dan sudut bawah, dengan hasil gambar dari ketiga posisi kamera yang berbeda. Perhatikan efek kesan masing-masing gambar: Gambar diambil dari cuplikan film-film (Stanley Reed, 1952).
Foto. 2.15. Contoh gambar yang dihasilkan dari tiga posisi dasar camera (Stanley Reed, 1952)
Istilah-istilah film di atas dipakai oleh Primadi untuk penelitian Wayang Kulit di TV tahun 1997-1998. Pada penelitian ini khusus membahas tentang aspek pagelaran Wayang
61
Kulit yang ditinjau dari segi penayangan televisinya, dan belum sampai pada aspek ‘gerak’ bayangan wayang kulit.
Tabel yang telah disusun dari hasil penelitian tersebut (Primadi. 2005: 92), digunakan pula sebagai parameter dan bahan kajian perbandingan bahasa rupa antara penelitian pergelaran dalam (melalui TV) dan penelitian pergelaran luar wayang kulit dari aspek ‘gerak’ (sabetan) bayangan yang belum sempat terbahas, Tabel 2.13. Perbandingan Teknologi dan Bahasa Rupa4 Teknologi dan Bahasa Rupa Jamak/ satu arah Lihat Gerak Kamera Blocking
Basic Shot - dikenali - dalam ruang
Shot angle
Penayangan TV
Pagelaran W. Kulit “Luar” Sejumlah kamera Penonton di satu tempat duduk Aneka Penonton dari satu arah/jarak/sudut arah/sudut/waktu Pan, tilt, zi, zo, dsb. Dalang tetap di tempat Sesuai skrip, Kiri=baik, pangkat dibantu basic shot & tinggi (+). Kanan = jahat, pangkat shot angel rendah (-) Cu, mcu, ms, mls, Debog atas: mis dsbnya. (berdiri). Mengutamakan cu Debog bawah: mis & mimik wajah (duduk) Alam nyata: Mengutamakan Naturalis, perspektif gesture teater (NPM dinamis) bayangan ke kelir bukan bayangan besar & kabur Di kelir: aslinya & Tajam. Di kelir: aslinya tanpa bayangan Aneka sudut: atas, Sudut bawah: kabur normal, bawah, Sudut normal: tajam tampak burung
Pagelaran W. Kulit “Dalam’ Penonton di satu tempat duduk Penonton dari satu arah/sudut/waktu Dalang tetap di tempat Kanan=baik, pangkat tinggi (+). Kiri = jahat, pangkat rendah (-) Debok atas: mis (berdiri) Debok bawah: mis (duduk) Mengutamakan gesture teater boneka + bayangan kabur
Sudut bawah: boneka + bayangan kabur Sudut normal: tajam
4
Periksa dalam daftar istilah dari disertasi ini untuk peristilahan-peristilahan dan singkatan yang terdapat dalam daftar tabel 2.13: Perbandingan Teknologi dan Bahasa Rupa. Keterangan kode dalam tabel: + (ditambah), = (sama dengan), (+) pangkat tinggi, tokoh baik/protagonist, (-) pangkat rendah, tokoh jahat/antagonis.
62
Kesan ruang
Tiga dimensi
Dua lapis latar - dikelir: tajam - ke kelir: kabur
Fx (peralihan)
FI, cut, dissolve, Mix, FO, dsb.
Pra produksi
Naskah, kerangka, skrip, eksterior, studio, properti Pemain, sutradara, Scenario Shooting, editing, remix Rush copy
FI, dissolve, mix, FO Adegan: continuous shot; alih adegan/sekuen; saat kepyak; alih bagian: dengan gunungan pada saat suluk, janturan, sinden, gerungan. Tak selalu ada pakem, magang, turun temurun. Pentas, proporti. Dalang Latihan (gamelan, sinden, gerungan)
Produksi (musik lagu)
Pasca produksi
Tanpa bayangan Tiga dimensi Terbatas (ruang setara jangkauan tangan dalang dan kelir)
pagelaran
Perhatikan tabel tersebut, ada beberapa penjelasan tentang pagelaran wayang kulit “luar” dan pagelaran wayang kulit “dalam”. Menurut penjelasan dari penelitian “Pagelaran Wayang Kulit dengan Penayangan Televisi” (1998) antara lain, aslinya pagelaran wayang kulit disebut permainan bayangan, dengan kelir (layar merupakan ‘jagad’ penayangan dan ditempatkan di antara pendapa dengan pringgitan. Jadi pergelaran wayang kulit (WK) bisa ditonton dari belakang dalang dengan warna kulit tampak jelas, atau permainan sabetan gerak siluet wayang yang ditonton dalam bentuk bayangan. Pada saat pagelaran ini direkam, kebanyakan penonton di pendapa menyaksikan pertunjukan bayangan, sedang tamu pembesar lelaki ditempatkan di pringgitan di belakang dalang dan para nayaga. Itulah sebabnya dalam pagelaran wayang kulit ada istilah ‘dalam’ yaitu penonton dari tamu pembesar yang di dalam (pringgitan) dan ‘luar’ yaitu penonton dari masyarakat banyak yang menonton di pendapa.
Sehubungan dengan itu Wayang Kulit yang diteliti sekarang ini, adalah pagelaran wayang kulit ‘luar’ karena dilihat dari bayangannya, dimana permainan sabetan gerak siluet wayang yang ditonton. Oleh karena itu untuk kepentingan penelitian dari tabel tersebut yang bisa dipakai sebagai panduan adalah pada kolom pagelaran wayang kulit
63
“luar”. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa, pagelaran wayang kulit dari arah bayangan masih perlu diteliti lebih lanjut dalam bentuk rekaman pagelaran ‘luar’ yang masih terbatas, daripada bentuk rekaman pagelaran ‘dalam’, yang lebih banyak dan sering dijumpai (kemasan tayangan TV, Video ataupun film).
2.1.3. Gerak dan Karakterisasi Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta Kemudian untuk memperoleh data tentang sabetan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta, didapat dari buku “Javanese Shadow Theater. Movement and Characterization in Ngayogyakarta Wayang Kulit”. Buku ini ditulis oleh Roger Long (1979), yang menulis tentang gerak-gerak dan karakterisasi wayang kulit purwa Yogyakarta. Tulisan ini, merupakan keingintahuan penelitinya, mengenai istilah wayang kulit, dan wayang kulit sebagai model gaya panggung, yang terdiri dari pertunjukan, boneka dan peran. Berikut kemampuan dalang dalam menggerakkan wayang ke arah layar, baik dari pertunjukan ‘luar’ (tontonan dalam bentuk bayangan wayang) maupun pertunjukan ‘dalam’ (warna kulit dan bentuk wayang tampak jelas). Tulisan ini dibatasi pada menguji aspek gerakgerak pada wayang kulit, yang berhubungan dengan tipe-tipe peran. Gerak-gerak standard yang digunakan (khusus pada gerak-gerak baku diambil secara general, misalnya, gerak berputar, gerak masuk, gerak keluar – tanpa menyinggung atau mempengaruhi karakter atau kepribadian tertentu) adalah merupakan penggambaran umum. Sedangkan pertunjukan wayang kulit gaya Ngayogyakarta, dipelajari dari Pendidikan Dalang Habirandha, yang merupakan perguruan pedalangan khusus gaya Ngayogyakarta, sebagai bahan pembahasan tentang suatu model dari gerak-gerak wayang kulit.
Pembahasan tentang literatur-literatur, unsur dramatik, musik-musik gamelan, tembangtembang yang dilagukan para nayaga, gaya narasi dan aspek lain dari pertunjukan wayang kulit, tidak dibahas secara khusus, dan pembahasannya hanya sebagai latar belakang dalam bab performance ’Milieu’ (Chapter 1). Kajian ini juga meniadakan pembahasan tentang fungsi wayang bagi kehidupan sosial masyarakat Jawa dan fungsi dalang sebagai penghibur, pendidik dan “gudang” dari kekuatan spiritual.
64
Deskripsi dari gerak dan tipe-tipe peran wayang kulit sangat memerlukan bantuan dari terminologi Jawa, sebab tidak mungkin peneliti menggunakan terminologi Inggris, untuk petunjuk-petunjuk yang aslinya menggunakan terminologi Jawa.
Selama penelitian di Yogyakarta telah dibantu oleh perguruan pedhalangan Habirandha (di bawah naungan keraton), Yogyakarta dan bantuan kerjasama dengan Kasidi Hadiprayitno yang juga sebagai salah satu narasumbernya. Pada buku ini diperoleh secara rinci gerakan wayang yang dimainkan oleh dalang dengan teknik gapit dan tuding5 yang dilakukan dalang dalam hal memanipulasi gerakan wayang pada saat di pagelarkan.
2.1.3.1. Teknik memainkan gerak wayang. Teknik dalam memainkan gerak wayang, merupakan prinsip dasar dari kemampuan seorang dalang. Kemampuan pokok dalang adalah memiliki kekuatan, ketangkasan, penguasaan dan mengenal baik pengetahuan tentang kharakter dan tipe karakter wayang. Seorang dalang harus mempunyai, tangan, lengan dan bahu yang kuat untuk memainkan wayang, karena rata-rata wayang memiliki berat sekitar 5 kilogram. Seorang dalang ratarata memainkan satu karakter atau satu tipe karakter wayang, kurang lebih 20 menit dari keseluruhan waktu pergelaran selama 9 jam non-stop tanpa berhenti, dan harus bermain dengan stabilitas tinggi terus menerus selama pergelaran berlangsung sepanjang malam.
Ketangkasan itu sangat penting, karena wayang-wayang itu dimainkan secara bergiliran, berputar, jungkir balik, dan sekali waktu dilempar ke udara, dan kesemuanya itu dilakukan dengan penuh penguasaan, dan harus selalu dalam posisi stabil. Jadi dalang, selain harus mengontrol jalannya cerita, juga mengontrol seluruh gerak dari wayangwayang tersebut. Khusus pada adegan perang, diperlukan kemampuan lebih pada ketangkasan memainkan pengulangan-pengulangan gerak wayang, termasuk ketrampilan dan kecepatan permainan telapak tangan dalam memainkan ’gapit’ (tangkai pengontrol wayang sebagai penjepit badan) dan ’tuding’ (tangkai pengontrol wayang untuk menggerakkan lengan).
5
Gapit dan Tuding adalah teknik dalang dalam hal memegang wayang melalui permainan menggerakkan wayang. Ada beberapa teknik disini, yang dijelaskan lebih lanjut pada bab 3 dari penelitian ini.
65
Tuding Gapit Foto 2.16.Tokoh Antareja, anak dari tokoh Bima yang merupakan Salah satu anggota keluarga Pandawa,versi Yogyakarta ( foto: Lordly Shades.1984)
Ketangkasan-ketangkasan ini meliputi kemampuan melakukan adegan penyerangan dengan menggunakan tangan, kaki, pisau, keris, alat-alat pemukul dan anak panah, yang kesemuanya itu dioperasikan dalang dengan sempurna selama 9 jam pertunjukan. Kejelasan dan efektifitas gerak merupakan syarat mutlak dan menunjukkan akan ketelitian dalang dalam mengontrol gerak-gerak tokoh wayang-wayang tersebut sehingga benar-benar terkesan hidup dan penuh vitalitas.
Karakter-karakter wayang yang dimainkan sepenuhnya bersifat imajinasi, suatu karakter untuk adegan perang diperlukan kemampuan imajinatif untuk memanipulasi gerakangerakan supaya tampak dramatis. Gerakan ke muka, ke belakang, jungkir balik, dan secara bergantian menggunakan pisau panjang, belati atau keris. Memainkan anak panah dan sekaligus semburan anak panah dari beberapa tokoh wayang, semuanya dikerjakan dengan kecepatan tangan yang luar biasa, yang tentu saja dibantu dengan beberapa teknik cara memegang wayang-wayang tersebut.
66
Cara memegang wayang kulit Pada pedalangan Jawa dalam memainkan wayang, ada empat aturan pokok cara memegang wayang, dengan menggunakan gapit dan tuding untuk mengontrol gerak wayang, agar dapat bergerak dengan tepat. Ke empat aturan tersebut, disesuaikan dengan identitas dan besar kecilnya wayang dengan memegang gapit wayang. Empat macam aturan pokok tersebut adalah: mucuk, magak, ngepok, dan njagal.
Foto 2.17. Mucuk (foto pribadi)
lengkeh
Mucuk merupakan teknik memegang gapit khusus pada wayang-wayang karakter halus, lembut, kecil, dan memiliki jarak kaki dekat. Telunjuk tangan tepat dibagian lengkeh, pada gapit (foto 2.17), misalnya tokoh wayang putri atau tokoh wayang putra sejenis Arjuna. Selain itu posisi mucuk juga digunakan untuk memegang gapit gunungan (foto 2.18). Karena dari posisi mucuk diharapkan memperoleh gerakan-gerakan halus, dalam memutar, bergetar, dan bergeser dari kiri ke kanan atau dari kanan ke kiri, juga naik turun gunungan yang sedang dimainkan.
67
Foto 2.18. Posisi mucuk untuk gunungan (foto pribadi)
genuk Foto 2.19. Magak (foto pribadi)
Untuk figur-figur ukuran cukup besar, digunakan teknik memegang gapit yang disebut magak. Artinya, ibu jari terletak persis dibawah genuk (foto 2.19), dengan posisi tangan demikian, cukup kokoh dan membuat stabil dalam menggerakkan wayang yang cukup besar, misalnya: tokoh Baladewa. Melalui posisi magak, secara sekaligus diperoleh fleksibilitas dan kontrol dalam memainkan tokoh wayang, sebab, seringkali dalang mengalami kesulitan menggerakkan wayang yang berukuran cukup besar tersebut bila menggunakan teknik mucuk, kurang stabil dan kesulitan untuk bergerak bebas.
68
picisan
Foto 2.20 Ngepok (foto pribadi)
Posisi yang ke tiga, yakni posisi ngepok, cara yang digunakan dalang untuk wayangwayang besar, dengan posisi ibu jari dan ke empat jari yang lain menekan bagian dekorasi gapit yang disebut picisan, yang posisinya di atas genuk (foto 2.20). Posisi ngepok ini digunakan untuk memegang gapit dari tokoh-tokoh wayang raksasa, sehingga stabilitas, fleksibilitas dan kontrol dalam memainkan wayang-wayang besar dapat terjaga selalu dalam posisi stabil. Tetapi sesekali untuk memainkan wayang-wayang besar digunakan pula teknik kombinasi magak dan ngepok secara variatif untuk memperoleh gerak yang lebih fleksibel, terutama untuk adegan-adegan perang.
Foto. 2.21. Njagal (foto pribadi)
69
Posisi memegang gapit dengan menggenggam keseluruhan fungsi gapit dan ibu jari berada di atas picisan, biasa disebut njagal (foto 2.21). Cara memegang dengan posisi njagal digunakan untuk memegang gapit wayang-wayang tokoh binatang atau raksasa yang lebih besar lagi, kereta yang ditarik oleh kuda (foto 2.22). Posisi njagal ini merupakan posisi yang dirancang untuk memperoleh stabilitas dalam memainkan wayang-wayang besar dan memerlukan tenaga lebih dari dalang, terutama kekuatan pergelangan tangan. Karena memerlukan waktu 3 sampai 5 menit untuk memegang masing-masing tokoh atau wayang besar yang lain dengan posisi 180 derajat. Selain pergelangan tangan yang kuat, juga diperlukan kekuatan ibu jari untuk menahan wayang sehingga stabil dalam posisi 180 derajat tersebut dan sekaligus bebas memainkan dan menggerakkanya
Foto 2.22. Posisi njagal untuk binatang, tokoh wayang yang besar, atau kereta yang ditarik kuda. (foto pribadi)
Tuding merupakan cara memegang tangkai lengan dari tokoh wayang sehingga dapat berputar 360 derajat melalui permainan tangan dalang. Posisi gerakan lengan, dengan adanya tuding, dapat direncanakan secara tepat, melalui posisi lengan untuk karakter dan gerakan yang digunakan. Ketika satu tuding yang digunakan, maka posisi tokoh diperjelas dengan letak lengan dan posisi tangan sedemikian rupa sehingga diketahui karakternya. Tapi begitu ke dua tuding digunakan, maka karakter wayang diperjelas lagi dari cara tokoh itu bergerak berdasarkan tipenya.
70
2.1.3.2. Ragam Jenis Gerak Wayang Ragam jenis gerak wayang, sangat menentukan tipe karaktenya dan kepribadian para tokoh-tokoh wayangnya. Dikelompokkan dalam tiga bagian penting: gesture (bahasa tubuh), transisi (peralihan satu gerakan ke gerakan berikutnya) dan perang (adegan perang).
Bahasa tubuh/gesture Bahasa tubuh yang digunakan, biasanya yang diperlihatkan rata-rata disetiap adegan adalah bahasa tubuh formal. Posisi standar yang biasa digunakan dalang, pada wayang dalam posisi diam dengan gapit ditancapkan pada debog pisang. Pada posisi ini yang bergerak hanya lengan yang digerakkan melalui tuding oleh dalang. Pada gerakangerakan tersebut, dalam diam ditancapkan di debog, terdapat beberapa jenis tancap, yakni: tancep 0 (tancap di simping), tancap jejer (tancap pada awal adegan), dan tancap adegan. Pada tancap adegan ini, gerakan-gerakan lengan di saat diam (tancap pada debog) juga menentukan tipe karakter dari para tokoh wayang. Pada posisi angapurancang hingga mathentheng C, merupakan tancep jejer, sedangkan posisi malang kadhak A dan malang kadhak B merupakan tancep adegan. Malangkerik A, hingga gerakan makidhupuh dan kingkin, merupakan bentuk sabetan. Lihat pada contoh gambar-gambar posisi standar dalam keadaan diam (gambar, 2.3. ragam posisi diam ditancapkan, hal. 69)
Posisi lengan angapurancang, merupakan posisi lengan pada tipe karakter yang lebih tenang. Posisi tuding dan gapit berada pada satu tangan genggaman dalang. Biasanya bila dimainkan, gapit berada ditancapkan pada batang pisang yang direbahkan sebagai panggung, dan tuding (berupa 2 tangkai kiri dan kanan) dimainkan secara bergantian untuk menunjukkan karakter tokohnya atau sekaligus bersama gapit ditancapkan pada batang pisang (debog) sebagai panggung. Posisi lengan anjujur merupakan posisi lengan yang serupa dengan angapurancang tetapi posisi lengan ini, lebih bebas dari posisi angapurancang. Pada posisi lengan anjujur berada lurus kebawah, pada posisi anjujur ke dua tangkai tuding tidak dalam posisi di
71
tancapkan. Posisi dua tangkai tuding lebih bebas digerakkan oleh dalang untuk menunjukkan karakter tokohnya. Posisi mathentheng A (gambar 2.3, hal. 69) merupakan posisi pada salah satu lengan berada di lekuk pinggul, dengan gapit ditancapkan pada debog. Bahasa tubuh ini digunakan oleh semua tipe karakter tokoh wayang, baik tokoh berwatak halus, berwatak gagah atau tokoh berwatak kasar. Pada kasus tertentu, lengan yang di depan diletakkan di pinggul (mathentheng B) Variasi dari posisi-posisi ini biasanya digunakan untuk yang memiliki karakter keras kepala atau karakter-karakter yang sulit diajak kompromi. Untuk versi yang lain (mathentheng C), merupakan gerakan dasar untuk memulai berjalan atau bersiap-siap untuk terbang. Posisi malang kadhak (A dan B, gambar 2.3. hal. 73) merupakan posisi dasar yang diperlukan untuk gerakan berlari, berjalan, terbang atau perkelahian. Posisi malang kerik (gambar 2.3. hal 69) merupakan bahasa tubuh untuk menyatakan sikap melawan, atau posisi tangan dalam keadaan terbang (malang kerik A) sedangkan variasi yang lain (malang kerik B) kedua tangan diletakkan di pinggang, merupakan sikap bahasa tubuh untuk bersiap-siap menyerang. Pada posisi malang kerik ini, dalang menggunakan tuding untuk menggerakkan lengan-lengan tersebut dengan satu tangan, dan menggenggam gapit pada tangan yang lain. Posisi ini juga merupakan posisi untuk siap berkelahi, berjalan atau terbang dalam gerakan yang lebih cepat. Posisi makidhupuh (gambar 2.3. hal. 73) merupakan bahasa tubuh yang unik untuk posisi boneka wayang kulit duduk bersimpuh atau duduk bersimpuh sambil berjalan. Posisi siku depan dan siku belakang berada segaris dengan dasar panggung, tuding dan gapit berada dalam tangan yang terpisah dari dalang. Misalnya, tuding digerakkan di satu tangan dan gapit berada di genggaman tangan yang lain. Terutama bila tokoh tersebut dalam posisi bergerak (bersimpuh sambil berjalan) atau posisi makidhupuh sambil menyembah. Posisi kingkin (gambar 2.3, hal. 73) merupakan bahasa tubuh yang menyampaikan pesan bahwa karakter tertentu sedang dalam keadaan gelisah, kebingungan atau kesusahan. Tangan diletakkan dibahu atau kadang kala pada variasi tertentu, posisi tangan diletakkan di atas perut. Misalnya, tokoh tersebut kehilangan saudaranya di waktu perang, atau terbunuh pada perkelahian yang seru.
72
Tancep jejer
Tancep adegan
Cepengan/ sabetan
Gambar 2.3. Contoh-contoh dari bahasa tubuh (Roger Long. 1979)
73
Bahasa tubuh formal pada suatu karakter untuk menunjukkan rasa hormat dan loyalitas pada seorang raja, biasa disebut sembah. Pada umumnya bahasa tubuh sembah ini untuk segala macam karakter wayang, dengan mengarahkan tangkuban tangan ke hidung atau ke dahi. Ada lima macam gerak sembah yang biasanya digunakan untuk membina hubungan relasi terhadap raja, teman dan keluarga, yakni sembah ratu, sembah karna, sembah jaya, sembah suwunan, sembah biasa. Umumnya, yang sering digunakan adalah sembah ratu dan sembah karna, karena ke dua gaya sembah ini sering digunakan dalang pada pentas pagelarannya.
Sembah ratu (foto 2.23) adalah gerakan sembah yang ditujukan kepada raja, dengan posisi bersimpuh, tangan ditangkupkan kearah hidung atau dahi, merupakan karakter dan sekaligus menunjukkan kepribadian untuk rasa hormat kepada raja. Bahasa tubuh ini lazim digunakan keluarga yang lebih muda kedudukan dan usia dari pada raja, para bawahan, atau tamu yang lebih muda usianya.
Sembah ratu
Foto 2.23. Memperlihatkan bahasa tubuh sembah ratu, terhadap raja yang diposisikan sebelah kiri kelir Disebelah kanan kelir yang melakukan sembah, yang baru datang , keluarga yang lebih muda, atau kedudukan lebih rendah. (Video/sequence ke 5 dari transkrip Parta Krama)
74
Satu gaya lain, yakni bahasa tubuh sembah karna (foto 2.24), yang dilakukan oleh tamu raja yang lebih tua, atau sesama raja. Misalnya, biasa dilakukan oleh saudara tua Kresna, Prabu Baladewa, atau beberapa karakter dari keluarga Kurawa, salah satunya adalah adipati Karna. Posisi tubuh tetap berdiri, tidak perlu duduk bersimpuh, satu tangan digerakkan ke atas, dan tangan yang lain dalam posisi lengan di pinggang atau lurus ke bawah.
Sembah karna
Foto 2.24. Bahasa tubuh dari sembah karna, yang digunakan oleh tamu dari raja Posisi tamu sebelah kanan kelir, tapi karena tamunya adalah sesama raja dan saudara tua, Maka cukup dengan menggunakan sembah karna. (Video.sequence. ke 6 transkripsi Parta Krama).
Ada bentuk salam yang lain selain sembah karna untuk para raja, yakni salam saling berjabat tangan (foto 2.25). Untuk salam yang saling berjabat tangan, hanya digunakan oleh sedikit karakter dari para tokoh wayang. Meskipun gerak wayang kulit menggunakan latar budaya tradisional, tapi semangatnya merupakan semangat sepanjang jaman.
75
Berjabat tangan
Foto: 2.25 bahasa tubuh yang lain selain sembah karna, yakni berjabat tangan. Hanya sedikit para tokoh yang menggunakan bahasa tubuh untuk memberikan salam dengan cara berjabat tangan. Karena hanya para raja yang menggunakan bahasa tubuh untuk salam seperti ini. (Video, sequence ke 6, transkrip Parta Krama).
Biasanya sang raja merespons dengan bahasa tubuh yang bervariasi. Biasanya pula sang raja hanya menggerakkan tangan kedepan hanya beberapa centimeter dengan menutup jari-jari tangannya, kecuali ibu jari yang menonjol (foto 2.26). Bahasa tubuh ini merupakan bahasa tubuh yang biasa digunakan dalam budaya Jawa. Pada wayang kulit, memang tidak terlihat ibu jari seperti pada umumnya ibu jari manusia, tetapi gerakan dari bahasa tubuh ini merupakan gerakan yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk memberi salam kepada sesamanya.
Foto 2.26 Bahasa tubuh dari salam penghargaan raja terhadap tamunya. Salam ini merupakan gerakan tubuh yang biasa terdapat pada masyarakat Jawa, bila membalas salam dari teman, kerabat dan keluarganya. (Video, sequence ke 6, transkrip Parta Krama)
Salam penghargaan raja
76
Ketika terjadi dialog antara tokoh satu dengan yang lain, terdapat beberapa bahasa tubuh yang biasa digunakan para tokohnya berdasarkan karakternya. Gerakan baku umumnya, dengan menggerakkan tangan ke depan, hanya perbedaannya terletak pada posisi lengan yang digerakkannya. Untuk menggerakkan posisi lengan tersebut, biasanya disertai cara berbicara para tokohnya. Bila berbicara cepat, tangan dan lenganpun bergerak dengan cepat. Bila berbicara lambat atau berbicara lembut, gerakan tangan dan lengan juga cenderung melambat. Untuk gerak lengan yang tinggi atau cepat, begitu pula sebaliknya, menunjukkan tipe kepribadian para tokohnya dan juga situasi yang dihadapi. Untuk para tokoh yang berkepribadian lembut, hanya menggerakkan tangannya, sejauh tiga atau empat centimeter dari tubuhnya (foto 2.27). Tetapi untuk karakter yang lebih agresif, dapat mengangkat tangannya setinggi tubuhnya dan dengan gerakan cepat, dan kadangkala pergelangan tanganpun ikut bergerak cepat (foto 2.28)
Foto 2.27. Bila terjadi dialog, bahasa tubuh untuk tokoh yang halus, hanya menggerakkan tangan seperlunya. Pada foto ini sang raja Kresna (kiri kelir) menggerakkan tangan sedikit ketika berdialog dengan tetamunya. (Video, sequence ke 7, transkripsi Parta Krama)
Foto 2.28 Menggambarkan situasi kemarahan yang terjadi pada Prabu Baladewa (ke dua dari kiri kelir) terhadap Gathotkaca (ke dua dari kanan kelir) yang datang bertamu. (Video, sequence ke 10, transkripsi Parta Krama).
77
Bahasa tubuh karakter agresif, pada adegan tertentu bisa menimbulkan perang. Bahasa tubuh ini terkesan dinamis dan keras sekaligus kasar, dan biasanya disertai dengan bentakan-bentakan keras atau disertai pula dengan goncangan pada wajah atau tubuhnya. Terlebih pada para raksasa, bahasa tubuh mereka lebih cepat, keras dan lebih kasar.
Gerakan-gerakan transisi. Ketika seorang tokoh sedang bergerak di layar, dia akan melakukan aktivitas, misalnya dari satu ruang ke ruang yang lain atau dari suatu tempat ke tempat yang lain dari suatu negara atau suatu kerajaan atau suatu peristiwa perang. Bila seorang tokoh keluar atau masuk dari/ke layar, terdapat kelanjutan gerak dari suatu ruang misalnya dari kiri layar atau kanan layar menuju ke layar berikut dengan tanda ’jeda’ sebelum melakukan aktivitas lagi.
Standar gerak dari satu ruang ke ruang yang lain adalah, berjalan, berlari, terbang dan naik kendaraan (pada adegan ’Parta Krama’ tidak terdapat adegan tokoh naik kendaraan, misalnya berkuda atau berkereta, sehingga tidak dapat diberikan contoh dari adegan tersebut). Kemudian kesaktian tokoh dapat diketahui dari bagaimana sang tokoh bergerak, bersikap dan bertingkah-laku. Kemudian pada saat adegan perang, terdapat adegan jungkir-balik yang dilakukan pada saat berperang atau perkelahian yang dilakukan secara berkelompok atau satu lawan satu.
Berjalan. Terdapat beberapa gaya pada gaya berjalan dari wayang kulit gaya Yogyakarta, seperti pada contoh-contoh gambar di bawah ini. Ke dua gambar di bawah merupakan contoh dari gaya berjalan halus, yang biasa dilakukan oleh tokoh puteri atau satria berkarakter halus. Gambar di bawah merupakan cara berjalan dua putri yang ada di suatu kerajaan (foto 2.29 dan 2.30)
78
Foto. 2.29 Kedua putri berjalan halus dari posisi kiri layar. Merupakan contoh dari gaya berjalan halus (Video, sequence ke 3, transkripsi Parta Krama).
Foto. 2.30 Contoh cara berjalan halus, lengan dan tangan tidak banyak bergerak. (Video, sequence ke 3, transkripsi Parta Krama)
Contoh gaya berjalan yang lebih bebas, yang biasanya dilakukan pada para tokoh satria yang lebih gagah. Gerakan yang lebih cepat daripada gerakan gaya berjalan halus dengan jarak langkah antara 5 sampai 10 centimeter (foto 2.31 dan 2.32)
Foto 2.31 Contoh cara berjalan yang lebih bebas. Biasa dilakukan oleh tokoh yang berkarakter gagah.Muncul dari kiri kelir (Video, sequence ke 20, transkripsi Parta Krama)
79
Foto 2.32 Gaya berjalan ini, merupakan bahasa tubuh berjalan yang lebih aktif (Video, sequence ke 20, transkripsi Parta Krama)
Untuk gerakan bahasa tubuh dengan gaya berjalan yang lebih kasar, biasanya lebih sering dipakai oleh para raksasa atau sering dipakai oleh keluarga Kurawa, misalnya patih Sengkuni.
Gerak yang pelan sekali dengan posisi jongkok. Gerak yang pelan sekali dengan posisi jongkok dalam istilah wayang kulit disebut lampahan dhodhok. Posisi ini dilakukan bila berhadapan sekaligus berjalan di depan raja. Posisi ini menggunakan ke dua tangan untuk bergerak dengan lutut segaris dengan lantai panggung. Dalang memainkan dengan cara badan wayang bergerak ke depan terlebih dahulu, kemudian kedua tangan, lalu bagian kaki (gambar 2.4).
Gambar 2.4. Posisi lampah dhodhok dengan menggunakan 2 tangan (Roger Long. 1979)
Berjalan jongkok dengan satu tangan juga dilakukan oleh beberapa tokoh yang lain sebagai variasi. Berjalan jongkok dengan satu tangan biasanya dipakai diakhir perkelahian atau perang, sebagai pernyataan ampun dari pihak yang kalah kepada pihak
80
yang menang, dan juga sebagai variasi pula dari berjalan secara normal. Dalang memainkannya dengan badan dan tangan yang digerakkan terlebih dahulu, kemudian bagian kaki wayang (gambar 2.5)
Gambar 2.5. Variasi lampah dhodhok dengan menggunakan satu tangan (Roger Long. 1979)
Menari Sebagian besar tarian dasar dalam wayang kulit merupakan gerakan-gerakan yang berlebihan, yang dalam gerakan itu disesuaikan dengan musik gamelan terutama ketukan drumnya. Gerakan-gerakan tari ini bisa merupakan gerakan yang berputar-putar, atau gerakan-gerakan yang menyentak naik turun dan semuanya itu dilakukan di satu ruang. Gerakan-gerakan ini juga ada yang menunjukkan secara jelas, merupakan gerakangerakan melawak, seperti tarian Cangik (nama salah seorang punakawan), pada jejer satu adegan Limbukan, lakon Parta Krama.
Foto. 2.33. Adegan Cangik Menari Transkripsi Lakon Parta Krama Sequence ke 26
81
Foto. 2.34. Adegan Cangik Menari Transkripsi Lakon Parta Krama Sequence ke 26
Foto. 2.35. Adegan Cangik menari Transkripsi Lakon Parta Krama Sequence ke 26
Terbang Karakter-karakter tertentu mempunyai kemampuan untuk terbang. Mereka dari tanah dengan menghentakkan kakinya bisa langsung terbang ke udara. Posisi tangan dalam keadaan malang kerik A (gambar 2.3. hal 69). Rata-rata ketinggian jarak terbang, yang paling tinggi kurang lebih tujuh puluh lima centimeter dari atas tanah/ dasar panggung. Meskipun tidak menggunakan sayap, tetapi dengan hentakan kaki yang kuat, mereka dapat terbang tinggi di angkasa. Karakter dari tokoh yang paling terkenal dengan kemampuan terbangnya yang luar biasa adalah Gathotkaca.
Foto 2.36 Gathotkaca sedang terbang rendah disaat perang dengan Kurawa. Sequence 34 transkripsi Parta Krama.
82
Perang Pada skenario yang dibuat oleh sekolah pedhalangan Habirandha, mayoritas terdapat tiga puluh dua gerakan perang gaya wayang kulit Yogyakarta. Gerakan-gerakan tubuh itu meliputi, gerakan sergapan/terjangan, lemparan, tikaman, pembunuhan dan gerakangerakan jatuh, yang biasa terjadi pada peristiwa perang. Gerakan-gerakan dikelompokkan dalam pengelompokan umum, yakni gerakan menyerang, gerakan menghindar dan gerakan jatuh, dan ini berlaku untuk semua karakter atau semua individu.
Penyerangan Setelah terjadi konfrontasi verbal antara pihak lawan biasanya diikuti dengan gerakan penyerangan dalam suatu perang. Beberapa tipe gerakan menahan dan menyerang dengan menggunakan genggaman tangan (nyepeng). Melakukan penyerangan dengan menahan kepala (sirah)(foto 2.38), tangan atau badan (jaya), setelah menahan biasanya mereka menyerang dengan memutar-mutarkannya. Ada gerakan yang digunakan untuk menahan serangan dengan menahan tubuh lawan yang disebut nyikep (foto 2.37). Bahasa tubuh ini, biasanya digunakan untuk menahan gerakan lawan yang lebih agresif. Gerakan-gerakan menahan ini merupakan suatu upaya untuk menahan atau menghentikan gerakan lawan
Foto 2.37. Gerakan nyikep sequence 11, transkripsi Parta Krama
83
Foto 2.38. Gerakan Nyepeng sirah dalam perang ampyak, sequence 43, transkripsi Parta Krama
Beberapa karakter memiliki kemampuan untuk mengangkat lawan ke udara disebut njunjung (foto 2.39 dan foto 2.40) , setelah itu di jatuhkan dengan keras ke tanah disebut mbanting (foto 2.41), dan kemudian dilempar, gerakan melempar disebut mbucal (foto 2.42).
Foto 2.39 dan foto 2.40 Gerakan njunjung/ngangkat dalam perang ampyak, sequence 43, transkripsi Parta Krama
84
Foto 2.41. Gerakan mbanting dalam perang ampyak, sequence 43, transkripsi Parta Krama
Foto 2.42. Gerakan mbucal Dalam adegan perang ampyak, sequence 43, transkripsi Parta Krama
Kalau terdapat gerakan membanting beberapa kali, disebut gerakan mbanting binanting. Kemudian ada gerakan yang lain yang biasanya berupa sentakan yang disebut cangkletcengkah. Atau menghantamkan kepala dengan wajah kearah tanah atau lutut yang disebut nglarak.
Diantara gerakan-gerakan paling agresif di saat perang, ketika seorang tokoh menyerang ke pihak lawan, dengan menggunakan pukulan tangan yang kuat, gerakannya yang cukup agresif ini mirip pencak silat atau karate dan tai chi, disebut ngantem. Pukulan ini menggunakan tangan dengan kaki yang terangkat ke atas untuk memperlihatkan dan menambah kesan adanya kekuatan dan kekerasan. Gerakan yang disebut nyaut, adalah gerakan yang dipakai untuk membebaskan lengan bawah, dan ngepruk merupakan gerakan untuk membebaskan kedua lengan.
85
Foto 2.43 Gerakan ngantem Dalam adegan perang ampyak , sequence 45 transkripsi Parta Krama
Mungkin sebagian terbesar dari keseluruhan adegan indah dan penuh intrik dalam peristiwa perang tradisional antara para pahlawan muda dengan para raksasa dengan teknik permainan yang luar biasa mempesona terdapat pada adegan perang. Di Ngajogyakarta, biasa disebut dengan perang begal ( merupakan bagian dari pathet sanga, perang antara para pahlawan dan para raksasa, kejadian biasanya di hutan).
Dalam ketentuan perang ini untuk bergerak ke depan dan ke belakang, berputar maju dan mundur, dengan kecepatan gerak yang luar biasa, penyebab adanya gerakan-gerakan dramatis adalah tangkai tuding yang bergerak berputar-putar, dengan kemampuan imajinasi, menghasilkan gerak-gerak dramatis, persis seperti gerak tangan yang akan menyerang musuh, gerak-gerak dramatis dalam adegan ini biasa disebut perang tuding.
A
B
Gambar 2.6. Dua contoh gerak A dan B dari perang tuding (Roger Long. 1979)
86
Ada serangan yang tidak terlalu agresif, berupa tamparan yang diarahkan ke wajah dengan posisi saling berdiri yang disebut nempiling, dan apabila pelakunya wanita yang sedang sentimen disebut napuk – khusus gerakan ini biasanya dilakukan untuk karakterkarakter tertentu yang biasa melakukan tindakan berlebihan untuk menyatakan gugatan. Ada karakter-karakter bila gagal mengalahkan musuhnya, mereka menggunakan kemampuan lain dengan mengerahkan kekuatan tubuhnya dengan menabrak lawan, yang disebut nubruk. Gerakan lain yang hampir mirip dengan nubruk adalah, gerakan melompat tapi langsung mencekal pergelangan tangan lawan disebut melangkah kaping kalih, ada karakter yang melakukannya dengan melompat dan mencekal tangan dari belakang punggung lawan.
Bila banyak karakter menyerbu bersama-sama untuk menyerang tokoh lawan, gerakan ini disebut jeblosan, dan dalam satu gerakan yang spektakuler, dalang dengan ketrampilan tangannya, memainkan adegan tersebut, dan ketrampilan ini disebut jeblosan linton. Gerak lemparan ini suatu kerja yang luar biasa, karena posisi-posisi wayang kulit yang dimainkan harus selalu dalam keadaan stabil.
Dalam wayang kulit, tendangan merupakan bentuk lain dari gerakan melempar, berdiri atau jatuh, merupakan teknik yang menunjukkan kekuatan dalam perkelahian. Tendangan yang dikirim dari lantai dasar hingga seolah terbang ke udara. Karena kaki dari wayang kulit tidak mengenal bahasa, maka kaki wayang kulit ini, dapat menendang sesuka hati, hingga bisa mencapai setinggi lima puluh lima centimeter dari atas tanah. Gerakan ini disebut ndugang, sedangkan gerakan kakinya disebut binten termasuk menendang dengan menggunakan lutut. Sedangkan sebutan nendhang, bila jarak lemparannya pendek.
2.1.4. Berbagai karakter tipe yang menentukan gerak wayang. Karakter tipe dari figur (bentuk badan) wayang sangat menentukan gerak utama dan watak tokoh-tokohnya. Selain dari bentuk badan, juga: tatapan mata, cara berdiri, bentuk hidung, gaya rambut dan perlengkapan atribut yang dikenakan.
87
Pendidikan Dalang Habirandha mengklasifikasi tipe-tipe karakter wayang dalam tujuh karakter utama yang menentukan identitas pribadi masing-masing tokoh. Terdapat dua tipe alus (berbudi halus, beradap, sopan) karakter tokoh; luruh (memiliki kepribadian dengan sikap hati-hati dan sopan santun), dengan ditandai pada bentuk tubuh posisi berdiri dengan tatapan mata ke bawah, dan lanyap (memiliki kepribadian mirip luruh, hanya lebih agresif), dengan ditandai pada bentuk tubuh posisi berdiri dengan tatapan mata keluar. Karakter yang lain yakni: gagah (memiliki bentuk tubuh berotot), gusen (memiliki bentuk tubuh berotot, terlihat gusi pada gigi gerahamnya). Danawa (para raksasa), wanara/rewanda (makhluk-makhluk sebangsa monyet) dan Dhagelan (pelawak dan para pelayan). Penjelasan sebagai berikut:
Luruh dan lanyap. Pada bentuk tubuh wayang jenis karakter luruh dan lanyap, berukuran kecil, dibandingkan tokoh-tokoh karakter lain. Batang tubuh ramping dan pinggul sempit, penampilan terkesan ke-perempuan-an. Bentuk mata tipis dan sempit, serupa dengan biji padi (gabahan). Bentuk hidung juga tipis, kecil dengan ujung yang tajam (wali miring). Bentuk bibir atas-bawah sempit saling menekan ringan, dan mulut tertutup rapat (salitan).
Perbedaan fisik antara luruh dan lanyap, terletak pada kemiringan wajah. Wajah luruh, memiliki pandangan dan tatapan sopan santun ke arah bawah. Sehingga sikap tubuh demikian digunakan istilah luruh untuk karakter tipe tersebut. Untuk wajah lanyap, memiliki pandangan dan tatapan yang berlawanan dengan karakter luruh, karakter lanyap memiliki tatapan ke depan dan terkesan lebih agresif.
88
A
B
Foto 2.44. (A) dan (B): karakter luruh (A) dan lanyap (B). (foto: pribadi)
Tokoh wayang perempuan, seperti pelawak – pelayan, dan raksasa, memiliki bentuk tubuh bervariasi, sesuai dengan peran yang disandangnya. Tetapi, semua tokoh wayang putri, selalu berbadan kecil, ramping pinggang sempit, dengan tatapan luruh atau lanyap.
Foto 2.45. karakter tipe gagah (foto: pribadi)
Gagah. Wayang gagah merupakan nama karakter tipe untuk badan yang berotot. Badan berukuran sedang atau besar dan mempunyai kekuatan yang sangat sakti. Figur yang
89
gagah memiliki mata bulat besar (thelengan) dan hidung yang menyerupai kancing machete kecil (bentulan). Mulut tertutup rapat (salitan), variasi pada tatapan mata selalu dingin, arah tatapan sedang (tidak ke bawah atau ke atas) atau ke depan.
Gusen. Tokoh karakter tipe gusen, adalah karakter yang secara kejiwaan merupakan tipe karakter yang agak bodoh dengan senyuman menyeringai meng-expose gusinya yang terlihat merah (gusen). Bentuk dan ukuran tubuh sedang atau besar, tetapi kulit lebih tebal, meskipun masih termasuk tipe badan gagah. Karakter gusen memiliki mata thelengan, dan hidung menyerupai kancing machete yang lebih besar (pangotan). Wajah mereka miring ke arah langit, dengan arah tatapan seolah-olah maju yang disebut langak.
Foto 2.46. karakter tipe gusen (foto: pribadi)
Danawa. Tokoh-tokoh wayang yang memiliki tubuh besar, memiliki warna kulit yang bervariasi, hitam, coklat atau putih, dengan rambut panjang hitam. Danawa adalah bangsa raksasa, maka ia juga berbadan jangkung, penuh lemak. Mata mereka bulat besar seolah melotot (plelengan). Wajah mengarah ke atas, hidung mereka juga besar, gemuk dan bulat, mirip sebuah mangga (pelokan). Danawa memiliki mulut yang renggang dan
90
membuka lebar (prengesan), dengan gigi taring, mirip gigi anjing yang keluar dari bibirnya.
Foto 2.47. Karakter tipe danawa. (Foto: pribadi)
Foto 2.48. Karakter tipe wanara/rewanda (foto: pribadi)
Wanara/rewanda. Para monyet dengan bangsa yang lain, dapat dibedakan dari dua keistimewaan yang dimilikinya. Mereka memiliki ekor panjang melingkar di pantat mereka, dan wajah mereka yang dengan jelas merupakan wajah monyet dengan rahang
91
yang menonjol dan hidung rata yang kecil. Bentuk mulut serupa dengan para raksasa, lebar dan memperlihatkan jajaran gigi yang tajam atau bila mulut menutup terlihat gigi taring yang menonjol keluar dari rahangnya. Mata mereka bundar dan tubuh mereka berukuran sedang dan termasuk karakter tipe gagah. Dhagelan. Bagian peran untuk para pesuruh dan pelawak, juga ada dalam pengkategorian ragam peran dalam wayang kulit. Sebagai pribadi, wayang karakter tipe dhagelan berbeda dari karakter tipe yang lain. Karena tidak ada satupun bentuk yang menyerupai manusia atau bukan manusia, meskipun mereka memiliki peran sebagai pesuruh dan pelawak.
Foto 2.49. Petruk, merupakan salah satu dari karakter tipe dhagelan. (foto: pribadi)
Pelawak-pelawak aneh ini, merupakan karakter-karakter unik dari wayang-wayang dhagelan. Setiap tokoh wayang memiliki satu atau lebih karakter yang luar biasa yang bisa diketahui dari bentuk fisik pembawaannya. Semar, adalah karakter pesuruh dan pelawak yang sangat dicintai dalam pewayangan, memiliki pantat yang sangat besar dan berdada perempuan. Anak lelaki tertuanya, Gareng, berjalan pincang, bertangan bengkok, dengan bentuk hidung bulat semacam granat. Saudara muda Gareng, Petruk, bertubuh sangat tinggi, dengan gigi depan yang mencuat keluar, dan bentuk hidung yang panjang,
92
Anak yang termuda, Bagong, memiliki bentuk kepala yang sangat besar, dengan wajah yang lebar dan hidung yang rata. Karakter pesuruh dan pelawak yang lain, misalnya demikian pula dengan Togog, Sarawita, Cangik, dan Limbuk mempunyai bentuk tubuh yang unik dan aneh.
Subyek kajian-kajian pada penelitian pagelaran wayang kulit, menggunakan sejumlah penelitian pendukung, dan kesemuanya terangkum dalam skema sebagai berikut: A : gambar-gambar dua dimensi representatif, sebagai landasan teori dari penelitian pagelaran wayang kulit, untuk menemukan bahasa rupa ’gerak’ wayang kulit purwa. B : Topik gambar-gambar dua dimensi representatif, pagelaran wayang kulit dan bahasa rupa ’gerak’ wayang kulit, merupakan inti bahasan dari penelitian bahasa rupa wayang kulit tersebut. C : Pencarian bahasa rupa wayang golek, juga menggunakan landasan teori dari gambar-gambar dua dimensi representatif, sehingga diketemukan pula bahasa rupa wayang golek media audiovisual tiga dimensi. Penelitian ini digunakan untuk membantu analisis pada pagelaran wayang kulit purwa, untuk kepentingan menemukan bahasa rupa wayang kulit tersebut. D : Analisis pagelaran wayang kulit purwa juga menggunakan bantuan The grammar film/TV/Video language, (yang juga merupakan gambar-gambar dua dimensi representatif) untuk menemukan bahasa rupa wayang kulit purwa tersebut. Kedua materi yang berupa hasil penelitian bahasa rupa wayang golek purwa, dan The Grammar of Film/TV/Video languages, merupakan aspek penunjang penting dari penelitian bahasa rupa wayang kulit purwa yang sedang dilaksanakan ini. E : Dari sirkulasi kegiatan dalam pencarian teori-teori sebagai landasan teoritik yang relevan, mengacu pada gambar-gambar dua dimensi representatif dengan melalui bantuan The Grammar Film / TV Language dan bahasa rupa wayang golek 3dimensi. Sehingga dapat diketahui, bahwa penelitian bahasa rupa wayang kulit ini, bukan penelitian yang berdiri sendiri, tetapi merupakan penelitian lanjutan dari penelitianpenelitian bahasa rupa sebelumnya.
93
A Gambar 2 dimensi representatif
C
Wayang golek 3 dimensi
Pergelaran wayang kulit
Film/ TV/ Video
D
Bahasa rupa Gerak wayang kulit Teori Roger long
Inti bahasan bahasa rupa
B
Aspek penunjang penelitian bahasa rupa WK E Skema 2.4. Sirkulasi kegiatan penerapan teori-teori penunjang penelitian.
2.2. Kaji Pustaka. Penelitian yang membicarakan tentang pergelaran wayang kulit, sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Maka dari itu, untuk kepentingan studi ini, diperlukan berbagai penerbitan baik dari sudut pandang ilmiah maupun yang aktual, yang isinya tentang bahasan keterangan-keterangan yang diperlukan dan sesuai dengan obyek penelitian. Adapun buku-buku yang digunakan untuk penelitian pagelaran wayang kulit purwa tradisi gaya Yogyakarta, dengan lakon “Parta Krama” antara lain; Mengacu pada tesis Kasidi (1995) yang menulis tentang lakon ‘Palasara Rabi’ dengan judul ‘Lakon Wayang Kulit Purwa Palasara Rabi Suntingan Teks dan Analisis Struktural’. Pada tesis ini dapat dipelajari tentang penyajian pertunjukan wayang berupa pentas wayang kulit, yang merupakan salah satu gaya dan versi lakon wayang dalam 94
tradisi pewayangan gaya Yogyakarta. Tesis tersebut diperlukan untuk mengetahui tentang perlunya memperhatikan hubungan lakon wayang dengan penyangga pertunjukan seperti bahasa wayang, sulukan dan teknik penyajian (Kasidi. 1995).
Tetapi untuk kepentingan penelitian yang sedang disusun ini adalah dari aspek ‘gerak’ bayangan wayang kulit dari sinar blencong disaat pergelaran, maka yang diutamakan adalah memperhatikan teknik penyajiannya. Dari tesis Kasidi juga diperoleh rujukan tentang contoh-contoh analisis terhadap suatu lakon wayang yakni, lakon ‘Karna Tanding’, yang dilengkapi pula dengan gambar-gambar tokoh wayang gaya Yogyakarta. Materi ini diperoleh dari buku ‘On Thrones of Gold: Three Javanese Shadow Play (James Brandon 1970, dalam Kasidi.1995).
Buku penting yang lain, adalah berjudul ‘Pedhalangan Ngayogyakarta Jilid 1’, oleh Mudjanattistomo, Sangkono Tjiptowardoyo, Radyomardowo, dan Basirun Hadisumarto. Ditulis dalam bahasa Jawa gaya Yogyakarta, yang isinya tentang berbagai keterangan yang berharga tentang ‘caking pakeliran’ atau tentang tata cara pelaksanaan pementasan wayang kulit purwa berdasarkan tradisi pewayangan gaya Yogyakarta.
Dalam tulisan yang lain Kasidi juga membahas tentang estetika seni pedalangan dalam bukunya yang berjudul ‘Teori Estetika untuk Seni Pedalangan’ (2004) yang menuliskan secara umum segala hal yang berhubungan dengan estetika dan gaya pedalangan. Tapi yang dibutuhkan untuk penelitian disertasi ini adalah penjelasan tentang gaya pedalangan dan sarana pementasan wayang. Kemudian dijelaskan pula bahwa, dalam tulisan tentang sarana pementasan wayang tersebut, adalah membahas masalah dalam jagad pewayangan berupa garap lakon yang sangat ditentukan oleh garap bentuk pakem balungan (inti dari aturan-aturan baku memainkan wayang) atau garap pakeliran padat. Pada buku ini ditulis juga beberapa contoh naskah pakem balungan, meskipun tidak terdapat naskah balungan lampahan ‘Parta Krama’ yang jadi perhatian utama dari penelitian, tapi terdapat naskah balungan lampahan ‘Manikmaya Krama’ (2004). Naskah tersebut dapat dipelajari bagaimana penyajian sebuah naskah, tentang bangunan lakon wayang secara tepat, menyatu dengan unsur-unsur penyangga pementasan, meliputi pembagian pathet (bagian
95
cerita), pembagian bentuk-bentuk jejeran (adegan pertama) atau adegan, dan adegan perang. Khusus untuk penulisan naskah balungan lampahan ini ditulis dalam bahasa tutur asli, yakni bahasa Jawa Yogyakarta, dengan penjelasan dari penulisnya, bahwa seseorang bisa menjadi dalang hanya dengan mempelajari belungan lakon, dan hanya diperlukan latihan untuk memainkan karakter tokoh, sebelum pentas.
Untuk naskah balungan lampahan ’Parta Krama’ diperoleh dari buku berjudul ‘Serat Pakeliran Jangkep Lampahan Parta Krama’ (2001) yang ditulis oleh Ki Purwadi, secara lengkap dalam bahasa Jawa pada umumnya, dari pembagian pathet, pembagian bentuk jejeran atau adegan, dan adegan perang. Meskipun menggunakan pakeliran gaya Surakarta, tapi untuk penyampaian materi pakeliran jangkep-nya cukup mewakili jalan cerita yang dipergelarkan.
Kemudian buku penting lain adalah, buku tentang ‘Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang’ (2004) yang ditulis oleh Bambang Murtiyoso, Waridi, Suyanto, Kuwato, Harijadi Tri Putranto, dengan Kundharu Sadhono sebagai editor. Tulisan ini meskipun mengarah pada bahasan pagelaran pewayangan gaya Surakarta, tapi banyak juga menjelaskan secara rinci berbagai hal yang berhubungan dengan istilah pewayangan yang digunakan untuk pentas wayang pada umumnya. Groenendael (1987) dalam bukunya menyebutkan bahwa tim penulis ini, yakni Bambang Murtiyoso dan Kuwato adalah yang bertugas membantunya dalam penelitian ‘Dalang Dibalik Wayang’ (1977/1978 di Solo). Sehingga tulisan yang disusun sesuai dengan kebutuhan tentang pengetahuan mendasar yang berhubungan dengan pertunjukan wayang bagi masyarakat peminat pertunjukan seni wayang.
Pada buku berjudul “Kalangwan, A survey of Old Javanese Literature” di tulis oleh P.J. Zoetmulder, dengan buku asli yang diterbitkan Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), Translation Series 16, Martinus Nijhoff, 1974, Deen Haag.
96
Kemudian terjemahannya dengan judul buku”Kalangwan6, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang” diterbitkan oleh Jambatan tahun 1985, dengan penerjemah Dick Hartoko SJ. Dijelaskan lebih lanjut, berdasarkan tradisi carangan (gubahan) sastra Jawa Kuno, bahwa lakon carangan7 “Parta Krama” (yang dijadikan obyek kajian) merupakan gubahan dari lakon pokok Kakawin Sumbadra Wiwaha, yang mengacu dari Sastra Parwa yang pertama, yakni Adiparwa ( diterjemahkan dari bahasa Jawa Kuno ke bahasa latin oleh H.H. Juynboll – 1906) Perlu diketahui pula, untuk lakon carangan ”Parta Krama”, di lingkungan keraton Yogyakarta dan Surakarta, dibuat lakon carangan kadhapur8 (berseri) yakni: Srikandi Belajar Memanah, Abimanyu Lahir, Sembadra Larung.
Perlu dijelaskan secara ringkas, bahwa karya Adiparwa ini, merupakan bentuk prosa dari syair Mahabharata, yang terdiri 2 bagian, yang pertama, menembangkan epos Bharata, yang bercerita tentang para korban yang dipersembahkan sebagai sarana magis untuk memusnahkan para naga, atas perintah raja Janamejaya. Bagian kedua berisi silsilah para Pandawa dan Korawa, kelahiran sampai masa muda mereka, sampai pernikahan Arjuna dan Sumbhadra. Kisah pernikahan Arjuna dan Sumbhadra ini dalam lakon pewayangan, menjadi lakon carangan “Parta Krama”.
Kemudian, ada yang perlu diperhatikan, bahwa dalam sastra Jawa Kuno (dalam arti yang lebih luas), terdapat dua macam puisi yang berbeda satu dengan yang lain terutama karena metrumnya9, yaitu jenis kakawin dan kidung. Jenis yang pertama, menggunakan metrum-metrum dari India, sedangkan yang kedua metrum-metrum asli Jawa atau Indonesia. Penggunaan bahasanya pun terdapat suatu perbedaan, dalam kakawin dipakai
6
Pada jaman dahulu di pulau Jawa, seni menulis puisi dinamakan kalangwan atau kalangon, yaitu ’keindahan’, karena dengan menciptakan karya-karya satra, orang terangkat keluar dari dirinya sendiri (ekstasi – ’lango’) dan terhanyut dalam mengalami keindahan. 7 Lakon carangan istilah untuk menjelaskan tentang lakon-lakon gubahan dari lakon pokok yang kemudian dikembangkan, sehingga menjadi lakon yang berdiri sendiri. 8 Lakon carangan kadhapur istilah satu lakon yang diurai menjadi banyak cerita. 9 Metrum merupakan istilah untuk bentuk susunan tulisan semacam syair, memiliki perbedaan bahasa, lalu sering muncul pasangan-pasangan varian, akibat perubahan fonetis (misalnya disamping bentuk ’rengo’ yang lebih tua, ada juga bentuk ’rungu’), muncullah sejumlah besar kata yang tidak dipakai dalam kakawin, tapi ada kemungkinan terdapat pada kidung
97
bahasa Jawa Kuno, sedangkan bahasa pada kidung ialah bahasa Jawa Pertengahan10. Syair-syair yang digunakan dalam bahasa transkripsi, yakni janturan, kandha dan carita11, yang digunakan dalam pagelaran lakon”Parta Krama” merupakan bentuk kidung, yang mengacu pada kakawin Sumbadra Wiwaha.
Menurut buku yang berjudul ” Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum” terbitan Balai Pustaka, Jakarta, dengan editorial Edi Sedyawati dkk (2001), memperjelas makna cerita wayang kulit purwa, bahwa aspek cerita pada lakon merupakan suatu bentuk karya sastra. Kepiawaian dalang, yang kemudian diteladani oleh sastrawan, adalah dalam menjadikan tontonannya
mengharukan,
mendebarkan,
membirahikan,
dan
kocak
dengan
menggunakan segala peranti artistik verbal, maupun nonverbal, seperti narasi, diksi, dialog, dan manipulasi wayang, yang dalam bahasa wayang bisa saja disebut suluk, janturan, antawacana, dan sabetan. Unsur cerita pada karya sastra (terutama cerita rekaan yang panjang, harus memiliki unsur mengharukan, mendebarkan, membirahikan, dan lucu. Wayang Purwa, jenis teater yang paling populer di Jawa, mengandung keempat unsur itu.
Pentas wayang menyangkut keutuhan yang memuat cerita dan ajaran, musik dan seni suara, gerak (sabet), dan bentuk wayang/boneka. Unsur itu saling bertautan. Struktur cerita memuat adegan-adegan dengan tiga bagian pokok yang diikuti modus gamelan yang sesuai (pathet nem, sanga, dan manyura12). Suara tokoh-tokoh mempunyai nada dasar tertentu. Jejer13 (adegan pertama, pembuka) diiringi gendhing tertentu sesuai dengan raja/dewa yang ditampilkan. Ajaran biasa ditempatkan pada adegan pertapaan, 10
Sehingga ada kesimpulan, bahwa bahasa kakawin adalah bahasa Jawa Kuno, dan bahasa kidung adalah bahasa Jawa Pertengahan. Sebetulnya, kalimat ini kurang tepat, karena dalam bahasa Jawa Kuno juga terdapat karya-karya prosa (meskipun tidak banyak), yang memperlihatkan ciri khas bahasa kidung. Tapi untuk sementara, sebelum ada penelitian lebih lanjut, untuk mempermudah memahami ciri-ciri perbedaan kakawin dan kidung, kita gunakan kalimat ini. 11 Janturan, kandha dan carita, merupakan deskripsi cerita dalam bentuk-bentuk kidung yang ada pada masing-masing babak dari suatu lakon. Janturan, merupakan deskripsi cerita adegan lengkap pada babak awal dalam pathet Nem. Kandha merupakan deskripsi adegan tanpa diikuti iringan bunyi ricikan gamelan kecuali gender. Carita adalah pelukisan suasana adegan, tokoh wayang, dan tempat terjadinya suatu peristiwa dengan diiringi bunyi gending gamelan. 12 Penjelasan lebih lanjut mengenai pathet nem, sanga dan manyura, dapat dipelajari pada bab 3, dalam sub bab 3.3. Susunan Lakon Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta. 13 Penjelasan lebih lanjut tentang jejer, gendhing, limbukan dan panakawan, juga dapat dipelajari pada bab 3, dalam sub bab 3.3. Susunan Lakon Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta.
98
ketika seorang ksatria menghadap seorang pertapa/pendeta untuk mohon kebijaksanaan. Untuk adegan yang mengetengahkan kelucuan ditampilkan pada adegan limbukan dan panakawan.
Pada buku ini juga membahas estetika bahasa yang digunakan dalang, tampak dalam janturan, kandha dan carita14yang sarat dengan perumpamaan dan formula-formula dengan aliterasi dan asonansi (biasa disebut: purwakanthi). Estetika sabet berpedoman pada pengertian resik (bersih) dan greget (semangat). Greget ini juga harus dipenuhi dalam pocapan atau ginem (percakapan). Percakapan antartokoh harus memperhatikan ragam bahasa sesuai dengan relasi antartokoh itu. Dalam pengolahan cerita ada peluang bagi dalang untuk memunculkan kreativitasnya, yang disebut sanggit.
14
Bentuk-bentuk contoh Janturan, Kandha dan Carita terdapat pada bab 3, dalam subbab 3.4.Suntingan Teks Lakon Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta ”Parta Krama”
99