perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SIMBOL-SIMBOL KOMUNIKASI KELOMPOK PENGEMIS (Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Simbol-Simbol Komunikasi VerbalNonverbal Oleh Kelompok Pengemis Di Pasar Klewer Surakarta Tahun 2011)
SKRIPSI
Oleh :
DINA SUCI ROHMATUL AWWAL D1209027
Diajukan Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO Jangan mabuk karena sukses, Dan jangan terpuruk karena gagal -Aristoteles-
Bila tekad seseorang kuat dan teguh, Tuhan akan bergabung dalam usahanya -Aeschylus-
DUIT! Kunci penting yang berarti : Do’a, Usaha, Istiqomah, Tawakal -Shofa Al farisi-
Tidak ada alasan untuk menunda pekerjaan Lakukan Sekarang! -Penulis-
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kedua orang tuaku tercinta: Setiyadi (alm) dan Ratna Hidayati Semoga Allah SWT selalu menyayangi kalian seperti kalian menyayangiku sepanjang masa
Adik-adikku : Muhammad Rozi Syafi’i, Muhammad Zaki Aditama, Robiatul Azizah, dan Muhammad Hikam Maulana, Aku Sayang kalian
Shofa Al Farisi Latief Semoga dan Selalu Ammiin
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Alhamdulillah segala puji hanya milik Allah SWT rabb semesta alam, sholawat beserta salam kepada Nabi dan Rasul Muhammad SAW atas kelancaran yang hamba peroleh dan nikmat yang selalu diberikan tanpa alpa hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi dengan judul SIMBOL-SIMBOL KOMUNIKASI KELOMPOK PENGEMIS ( Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan SimbolSimbol Komunikasi Verbal-Nonverbal Oleh Kelompok Pengemis Di Pasar Klewer Surakarta Tahun 2011) ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Jurusan Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari sepenuhnya keberhasilan penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1.
Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D dan Drs. Hamid Arifin, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan, serta kemudahan yang diberikan dalam penulisan skripsi ini. Semoga Allah membalas dengan kelimpahan berkah dan dipermudah segala urusan.
2.
Drs. Surisno Satrijo Utomo, M.Si selaku pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menempuh masa studi.
3.
Prof. Drs. Pawito. Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.
4.
Semua narasumber (pengemis Pasar Klewer) yang telah bersedia untuk berbagi dan
menceritakan tentang dirinya dan kehidupannya untuk
kelengkapan data skripsi. 5.
Bapak dan Ibu Dosen semua, terimakasih untuk ilmu yang diberikan selama kuliah, semoga bermanfaat. commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
6.
digilib.uns.ac.id
Semua staf pengajaran, administrasi dan sebagainya, terimakasih untuk segala bantuan pelayanannya selama ini.
7.
Ibu Ratna Hidayati, selaku ibu dari penulis terimakasih untuk setiap do’a, harapan, nasehat, bimbingan dan kesabarannya selama ini.
8.
Bapak Setiyadi (alm), selaku bapak dari penulis, semoga Allah SWT memberi tempat yang terindah untukmu, terimakasih untuk pengorbanan selama hidupmu padaku hingga akhir hayatmu, dan bapak selalu ada dalam hatiku selamanya.
9.
Ozik, Zaki, Azizah, Hikam, aku bangga punya adik seperti kalian, terimakasih
untuk
kesabaran
kalian
dengan
ke-usilan
dan
ke-
bawelanku.heheh.. 10. Shofa Al farisi Latief, terimakasih untuk segalanya, suka dukanya, pengalamannya, motivasinya, nasehatnya yang tak henti-henti agar aku “tidak mudah menyerah”, semoga Allah menjawab do’a kita. Amin. 11. Situk Marituk, terimakasih untuk ide dan buku-buku yang sangat mendukung dan membantu skripsi ini, juga semua pihak yang terlibat dalam pembuatan skripsi, terimakasih banyak. 12. Semua teman senasib dan seperjuangan jurusan ilmu komunikasi non-reguler angkatan 2009 kelas A, terimakasih untuk kebersamaan dan kekompakannya selama ini.
Surakarta, Oktober 2011 Penulis,
Dina Suci RA
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman JUDUL.....................................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................
iii
MOTTO ...................................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN...............................................................
v
KATA PENGANTAR ..... .......................................................................
vi
DAFTAR ISI ...........................................................................................
viii
DAFTAR TABEL....................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………...
xiv
ABSTRAK …………………………………………………………….
xv
ABSTRACK …………………………………………………………...
xvi
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................
1
1. Latar Belakang Masalah ....................................................
1
2. Rumusan Masalah ..............................................................
4
3. Tujuan Penelitian ................................................................
5
4. Manfaat Penelitian ………………………………………
5
5. Telaah Pustaka ...................................................................
5
A. Komunikasi ................................................................
6
B. Komunikasi Verbal dan Nonverbal ........................... commit to user
10
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Simbol Verbal …………………………………..
11
2 . Simbol Nonverbal ………………………………
12
A. Klasifikasi Pesan Nonverbal ……………......
12
1. Perilaku Tubuh ……………………….......
13
a. Penampilan ……………………………
13
b. Pakaian atau Busana …………………..
13
c. Ekspresi Wajah ………………………..
13
d. Kontak Mata ………………………….
14
e. Sentuhan ……………………………...
15
f. Parabahasa …………………………….
16
g. Gerakan Badan (Kinesics) ……………
17
2. Ruang Lingkup………………………….
18
a. Tampat atau Ruang ……………...........
18
b. Waktu ………………………………...
19
c. Diam ………………………………….
19
B. Fungsi Komunikasi Nonverbal ……………..
19
C. Kerangka Teori ……………………………………
20
1. Dramaturgis Erving Goffman ………………….
20
a. Presentasi Diri Goffman ……………………..
21
b. Panggung Depan dan Panggung Belakang …..
24
c. Pengelolaan Kesan …………………………….
27
d. Penggunaan Tim ………………………………
28
6. Kerangka Berpikir ………………………………………. commit to user
30
ix
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II
BAB III
digilib.uns.ac.id
7. Batasan Konsep …………………………………………
31
A. Komunikasi …………………………………………
31
B. Simbol Verbal dan Nonverbal ………………………
32
C. Pengemis ……………………………………………
38
8. Metodologi Penelitian …………………………………
38
A. Jenis penelitian ……………………………………..
38
B. Lokasi Penelitian ……………………………………
38
C. Sumber Data ………………………………………..
39
D. Teknik Pengumpulan Data …………………………..
40
E. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel …………...
42
F. Teknik Analisis Data …………………………………
45
DESKRIPSI LOKASI ……………………………………
49
A. Pasar Klewer Surakarta ……………………………….
49
B. Sejarah Berdirinya Pasar Klewer ……………………..
50
C. Visi dan Misi Pasar Klewer …………………………..
52
D. Denah dan Kondisi Fisik Pasar Klewer ………………
53
E. Struktur Organisasi ……………………………………
53
F. Perkembangan Pasar Klewer ……………………….
53
G. Pengemis di Pasar Klewer ………………………….
59
SAJIAN DAN ANALISIS DATA ……………………..
62
A. Identitas Informan …………………………………..
62
B. Pengelolaan Kesan Pengemis ………………………
64
1. Pengelolaan Kesan Melalui Simbol Verbal …….. commit to user
65
x
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV
digilib.uns.ac.id
2. Pengelolaan Kesan Melalui Simbol Nonverbal …
73
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………..
93
A. Kesimpulan …………………………………………
93
B. Saran ………………………………………………..
94
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Daftar Nama Pengemis ……………………………………
commit to user
xii
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Kerangka Pikir …………………………………....
30
Gambar 2. Analisis Data Interaktif Milles dan Huberman ……....
48
Gambar 3. Struktur Organisasi Pasar Klewer ……………………
53
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian Lampiran 2. Interview Guaide dan Transkip Wawancara Lampiran 3. Foto-foto Pengemis
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah Penelitian ini dilatar belakangi oleh menjamurnya jumlah pengemis di setiap kota termasuk Surakarta. Seperti yang peneliti temukan jumlah pengemis beberapa di antaranya, mangkal di selatan RS Panti Waluyo, dan di perempatan Jalan RM Said, Manahan, Surakarta. Di persimpangan Jalan RM Said, sebelah utara stadion Manahan, sejumlah pengemis mengharap iba dari pengendara yang berhenti saat lampu merah menyala. Kondisi yang nyaris sama, juga terjadi di persimpangan kawasan RS Panti Waluyo, di mana pengemis berpakaian kumal menengadahkan tangan pada pengendara yang berhenti. Sosok pengemis dengan berbagai macam atributnya telah melahirkan sebuah persepsi kurang menyenangkan baik dari sisi sosial, maupun ekonomi. Fenomena mengemis merupakan masalah sosial dari nilai dan norma-norma yang berlaku. Mereka adalah orang sehat dengan kondisi tubuh tidak kurang apapun. Pengemis adalah suatu gejala sosial yang terwujud di perkotaan dan telah menjadi suatu masalah sosial karena beberapa alasan, pertama, di satu pihak menyangkut kepentingan orang banyak (warga kota) yang merasa wilayah tempat hidup dan kegiatan mereka sehari-hari telah di kotori oleh pihak pengemis dan dianggap dapat menimbulkan ketidaknyamanan harta benda, menurut harian Kompas Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Dinsosnakertrans) Kota Surakarta, commit to user
1
Singgih
Yudoko,
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengatakan, permasalahan pengemis, (gepeng) merupakan permasalahan yang cukup kompleks, dan memerlukan peranan dari banyak pihak. Menurutnya,
Satpol
PP
sudah
berupaya
melakukan
razia
dengan
menempatkan beberapa personelnya di beberapa titik. Saat ada petugas, para gelandangan dan pengemis tidak ada yang datang. Tetapi, ketika petugas pergi mereka bermunculan.”Kita juga menempatkan petugas di beberapa titik,” katanya. Perkembangan kota di segala bidang tampaknya tidak hanya memberikan nuansa positif bagi kehidupan masyarakat. Namun juga melahirkan persaingan hidup, sehingga muncul fenomena kehidupan yang berujung pada kemiskinan. Mengemis sebenarnya tidak diinginkan oleh para pengemis sendiri. Karena para pengemis tidak tau lagi apa yang harus mereka lakukan, mencari pekerjaan apa, seperti apa, tidak mudah untuk mereka yang rata-rata tidak mengenyam pendidikan cukup. Menjadi pengemis adalah jalan satu-satunya bagi mereka untuk mempertahankan hidup di kota dengan berbagai banyak tuntutan hidup yang mau tidak mau harus mereka hadapi. Hanya dengan bermodal muka memelas, dan menengadahkan tangan, mereka bisa mendapatkan uang, yang penting halal. Mungkin ini hanya pendapat peneliti saja bahwa mereka yang mengemis itu telah menjadikan itu sebagai pekerjaan yang mudah bagi mereka karena sulitnya mencari pekerjaan di zaman sekarang. Alasan pengambilan judul ini, karena peneliti melihat dari sisi lain dari diri pengemis adalah mereka telah melakukan kegiatan komunikasi dengan cara verbal maupun nonverbal dan mungkin tanpa mereka sadari. Secara commit to user
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
verbal, yaitu dengan cara berbicara dengan menggunakan lisan dan bahasa mereka.
Secara
nonverbal
pengemis
bisa
berkomunikasi
dengan
menyampaikan pesan lewat pakaian, ekspresi wajah, gerakan tubuh, nada suara dengan berbagai macam intonasinya, tatapan mata, dan lain sebagainya. Pengemis
mempunyai
cara
komunikasi
yang
unik
dimana
proses
komunikasinya bisa terjadi bukan hanya melalui komunikasi verbal tetapi mereka juga bisa berkomunikasi berdasarkan simbol-simbol komunikasi nonverbal. Karena, menurut peneliti hal ini lebih menarik untuk dibahas, sebab jika setiap melihat pengemis berhadapan dengan calon dermawannya, sikap dan ekspresi mereka berbeda. Pengemis mengatur bagaimana supaya dirinya terlihat benar-benar sangat membutuhkan belas kasihan dari orang lain. Mereka (pengemis) berupaya menampilkan dirinya dengan mengatur setting, appearance, dan mannernya. Semuanya dilakukan untuk mengelola kesan bahwa dirinya layak di sebut pengemis. Pada umumnya, pengemis selalu berpakaian compang-camping, lusuh, kumal, serta memasang muka memelas meminta belas kasihan, suara lirih, bergetar-getar, dilakukan pengemis untuk memberi kesan bahwa dia sedang dalam kesusahan dan karenanya layak untuk diberi sedekah. Akan tetapi, peneliti pernah melihat dan menyaksikan ketika pengemis sudah tidak berhadapan lagi dengan target sasaran atau para dermawan mereka berinteraksi dengan teman sesama pengemis tampak biasa saja dan berubah seketika yang tadinya bermuka memelas menjadi tidak memelas lagi, yang tadinya suaranya lirih menjadi lantang penuh canda. commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Di Surakarta, tepatnya di Pasar Klewer, peneliti mendapati sekelompok pengemis yang melakukan aksinya di tempat tersebut. Mereka ada yang berkeliling di sekitar pasar, ada yang hanya duduk di tempat terus menerus selama menjalankan aksinya dan tidak berpindah tempat, ada pula yang berkeliling, setelah itu berganti dengan duduk di tempat yang nyaman menurut mereka. Selain itu, pengemis ada yang menjalankan aksinya di depan Masjid Agung, yang terletak didekat Pasar Klewer. Peneliti mengambil lokasi di Pasar Klewer, karena menurut peneliti, pengemis yang menjalankan aksinya di Pasar Klewer, mudah untuk diteliti dan bisa di wawancarai untuk memperoleh data yang peneliti butuhkan, juga lokasi yang mudah untuk di jangkau. Dengan demikian, dengan adanya simbol-simbol komunikasi yang unik pada diri kelompok pengemis tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang bagaimana simbol-simbol komunikasi tersebut digunakan oleh kelompok pengemis di Pasar Klewer, dengan mengangkat topik “ Simbol-Simbol Komunikasi Dan Pencitraan Kelompok Pengemis Di Pasar Klewer Tahun 2011”.
2.
Rumusan Masalah Bagaimana penggunaan simbol-simbol komunikasi verbal-nonverbal dalam pengelolaan kesan pengemis di Pasar Klewer tahun 2011?
commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3.
Tujuan Penelitian Untuk menggambarkan atau mendeskripsikan serta menganalisis bagaimana penggunaan simbol-simbol komunikasi kelompok pengemis di Pasar Klewer tahun 2011.
4.
Manfaat Penelitian a.
Dapat menjadi acuan penelitian selanjutnya, serta mengaplikasikan teori ke dalam sebuah permasalahan yang di angkat dalam penelitian. Dan diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya dan menambah rangkaian deskripsi dan analisa tentang komunikasi dalam kaitannya dengan citra kelompok terpinggirkan.
b. Dapat memperoleh akurasi ketepatan yang mendalam, kaitannya dengan kemampuan akademis peneliti dengan maksud untuk menerapkan teori dan konsep yang peneliti peroleh selama kuliah. c.
Dapat mengetahui bagaimana pengemis menggunakan simbol-simbol komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal.
5.
Telaah Pustaka Banyak studi tentang pola komunikasi namun masih sedikit yang membahas tentang pola komunikasi pengemis khususnya tentang bagaimana mereka (pengemis) mengelola kesan melalui simbol verbal dan nonverbal untuk memperlihatkan citra diri mereka sebagai pengemis. Karena itu definisi untuk mengemukakan suatu pandangan untuk menjelaskan tentang pola commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
komunikasi serta ruang lingkup komunikasi yang merupakan suatu proses informasi yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. A. Komunikasi Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi merupakan medium penting bagi pembentukan atau pengembangan pribadi untuk kontak sosial. Melalui komunikasi seseorang tumbuh dan belajar, menemukan pribadi kita dan orang lain, kita bergaul, bersahabat, bermusuhan, mencintai atau mengasihi orang lain, membenci orang lain dan sebagainya. Berdasarkan berbagai arti kata communicare yang menjadi asal kata komunikasi, maka secara harfiah komunikasi berarti pemberitahuan, pembicaraan, percakapan, pertukaran pikiran atau hubungan (Hardjana, 2003:10). Komunikasi sendiri berasal dari gagasan yang ada pada seseorang. Gagasan itu diolahnya menjadi pesan dan dikirim melalui media tertentu kepada orang lain sebagai penerima. Dari proses terjadinya komunikasi itu, secara teknis pelaksanaan, komunikasi dapat dirumuskan sebagai “ kegiatan seseorang dimana seseorang menyampaikan pesan melalui media tertentu kepada orang lain dan sesudah menerima pesan serta memahami sejauh kemampuannya, penerima pesan menyampaikan tanggapan melalui media tertentu pula kepada orang yang menyampaikan pesan itu kepadanya “ (Hardjana, 2003:11).
commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa tidak akan bisa lepas dari proses komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, disadari maupun tidak disadari. Dalam proses komunikasi tersebut, masing-masing individu, masing-masing tempat ataupun komunitas tidaklah sama. Komunikasi adalah kegiatan pengoperan lambang yang mengandung makna atau arti. Arti ini perlu dipahami bersama oleh pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan komunikasi (Susanto,1985 : 1). Johnson (1981) sebagaimana dikutip oleh Supratiknya (1995:30) mengatakan, bahwa pengertian komunikasi secara luas adalah setiap bentuk tingkah laku sesorang baik verbal maupun non verbal yang di tanggapi oleh orang lain, komunikasi mencakup pengertian yang lebih luas dari sekadar wawancara, setiap bentuk tingkah laku yang mengungkapkan peran tertentu, sehingga juga merupakan sebentuk komunikasi. Secara sempit, komunikasi juga diartikan sebagai pesan yang dikirimkam seseorang kepada satu atau lebih penerima dengan dengan maksud secara sadar untuk mempengaruhi tingkah laku si penerima, dalam setiap bentuk komunikasi setidaknya dua orang saling mengirimkan
lambang-lambang
yang
memiliki
makna
tertentu.
Lambang-lambang tersebut bisa bersifat verbal berupa kata-kata atau bersifat nonverbal berupa ekspresi atau ungkapan tertentu dan gerak tubuh. Dalam pengertian lain, Riswandi (2009:5) berpendapat bahwa komunikasi komunikasi adalah suatu proses. Artinya bahwa komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
barurutan (ada tahapan atau sekuensi) serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu. Sebagai suatu proses, komunikasi tidak statis, melainkan dinamis dalam arti akan selalu mengalami perubahan dan berlangsung terus menerus. Proses komunikasi melibatkan banyak faktor atau komponen. Faktor-faktor atau unsur yang dimaksud antara lain meliputi komunikator, komunikan, pesan, saluran atau media. Selain itu, komunikasi juga bisa didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang. Lambang yang paling umum digunakan dalam komunikasi antar manusia adalah bahasa verbal dalam bentuk kata-kata, kalimat, angka-angka, atau tanda-tanda lainnya. Bahasa verbal yang digunakan untuk keperluan membujuk atau meminta tolong, tentunya akan berbeda dengan bahasa verbal yang digunakan untuk tujuan memerintah atau memaksa. Selain verbal, juga ada lambang-lambang yang bersifat nonverbal yang dapat digunakan dalam komunikasi seperti gesture (gerakan tangan, kaki, atau bagian tubuh lainnya), warna, sikap duduk, berdiri, dan bentuk lambang lainnya (Riswandi, 2009:6). Definisi lain diungkapkan oleh Colin Cherry sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin (1990 :11) ”komunikasi merupakan pembentukan satuan sosial yang terdiri dari individu-individu melalui penggunaan bahasa dan tanda. Memiliki kebersamaan dalam peraturan-peraturan untuk barbagai aktivitas pencapaian tujuan”.
commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Wiryanto (2005:19) juga mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses, suatu bentuk kegiatan yang berkelanjutan tidak mempunyai titik awal dan titik. Hal ini juga menunjukan bahwa komunikasi bersifat dinamis dan transaksional, dimana kemudian akan terjadi perubahan dalam setiap diri peserta komunikasi tersebut. Karena dalam proses komunikasi, para peserta komunikasi saling mempengaruhi, seberapa kecil pun pengaruh itu, baik lewat komunikasi verbal, maupun lewat komunikasi nonverbal (Mulyana, 2004:19). Pengaruh-pengaruh tersebut akan menimbulkan pengetahuan dan perilaku yang baru. Pemolaan (patterning) terjadi pada semua tingkat komunikasi : masyarakat,
kelompok,
komunikasi
biasanya
dan
individu.
berpola
dalam
Pada
tingkat
bentuk
masyarakat
fungsi
kategori
ujaran(categories of talk), dan sikap konsepsi tentang bahasa dan penutur. Komunikasi juga berpola menurut pesan tertentu dan kelompok tertentu dalam suatu masyarakat, tingkat pendidikan, wilayah geografis, dan ciri-ciri organisasi sosial yang lain. Kemudian komunikasi juga berpola pada tingkat individual, pada tingkat ekspresi dan interprestasi kepribadian. Komunikasi yang terjadi pada tingkat kelompok juga melibatkan komunikasi antar pribadi. Karena itu kebanyakan teori komunikasi antar pribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok (Ibrahim, 1994:12-13). Pola adalah sebuah sistem maupun cara kerja sesuatu yang memiliki bentuk dan struktur tetap pada tingkat masyarakat. Komunikasi biasanya berpola dalam bentuk-bentuk, fungsi, kategori, ujaran dan sikap commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konsepsi tentang bahasa. Komunikasi berpola menurut pesan tertentu dan kelompok tertentu dalam suatu masyarakat, tingkat pendidikan, wilayah geografis dan ciri-ciri organisasi lainnya. Pada tingkat individual, komunikasi berpola pada tingkat ekspresi, dan interprestasi kepribadian dalam bentuk fungsi, bahasa yang ditunjukan (Ibrahim, 1994:15).
B. Komunikasi Verbal dan Nonverbal Simbol atau lambang adalah salah satu kategori tanda. Salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti yang telah di sampaikan oleh Susanne K. Langer adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang lain. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non-verbal dan objek yang maknanya disepakati bersama (Mulyana, 2000:83). Sifat-sifat lambang atau simbol adalah : a. Sembarangan, Manasuka, dan Sewenang-wenang. Apa saja bisa dijadikan lambang, tergantung pada kesepakatan bersama. Kata-kata, isyarat anggota tubuh, tempat tinggal, jabatan, hewan, peristiwa, gedung, bunyi, waktu, dan sebagainya bisa dijadikan lambang. b. Lambang pada dasarnya tidak mempunyai makna, akan tetapi manusialah yang member makna. Makna sebenarnya dari lambang ada dalam kepala kita, bukan terletak pada lambang itu sendiri.
commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Bervariasi Lambang itu bervariasi dari suatu budaya ke budaya lain, dari suatu tempat ke tempat lain, atau dari suatu konteks ke konteks lain (Riswandi, 2009:26).
1.
Simbol Verbal Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang kita sadari termasuk kedalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan (Mulyana, 2001). Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan
berbagai
aspek
realitas
individual
kita.
Konsekuensinya kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu. Bahasa verbal juga dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan di pahami suatu komunitas (Mulyana, 2000:238). Bahasa adalah seperangkat kata yang di susun secara berstruktur sehingga menjadi suatu kalimat yang mengandung makna. Menurut Larry L. Barker sebagaimana dikutip oleh Riswandi (2009:60), bahasa memiliki 3 fungsi, yaitu : commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Penamaan (naming/labeling) Penamaan
atau
penjulukan
merujuk
pada
usaha
mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. b. Fungsi Interaksi Fungsi interaksi menekankan pada berbagai gagasan dan emosi yang dapat menghubungkan antara orang dengan orang lainnya, atau kelompok orang dengan kelompok orang lainnya. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. c. Fungsi Transmisi Informasi Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Melalui bahasa,kita menerima informasi setiap hari dari orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2.
Simbol Nonverbal Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi diluar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol nonverbal. A. Klasifikasi Pesan Nonverbal Banyak klasifikasi membagi pesan nonverbal ke dalam dua kategori komprehensif (Samovar, dkk, 2010:299):
commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1.
Perilaku Tubuh a.
Penampilan Komponen penting dari penampilan adalah persepsi mengenai hal yang menarik dan cantik. Ruben menuliskan
bahwa
penampilan
seseorang
dapat
menunjukan “kepandaian, gender, usia, pendekatan, kemampuan, ekonomi, kelas, selera, nilai, dan latar belakang budaya”. b. Pakain/Busana Pakaian di samping berfungsi sebagai pelindung, juga merupakan suatu bentuk komunikasi. Di Amerika Serikat, seperti yang dinyatakan oleh Adler dan Rodman,”pakaian dapat digunakan untuk menampilkan status ekonomi, pendidikan, status sosial, standar moral,
kemampuan
atletik/ketertarikan,
system
kepercayaan (politik, filosofi, agama), dan tingkat kepuasan. c.
Ekspresi Wajah Ada tiga macam tentang wajah. Pertama, adalah wajah “yang sebenarnya”, wajah yang dibawa sejak lahir. Kedua, wajah yang kita manipulasi bila kita mau, misalnya tersenyum, berkedip, cemberut, dan lain sebagainya. Ketiga, kita memiliki wajah yang berubah oleh sekeliling kita dan pesan yang kita terima. Ferraro commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lebih lanjut menekankan pentingnya ekspresi wajah dengan menyatakan bahwa wajah merupakan pusat dari proses komunikasi, sehingga manusia kadang berbicara “wajah ke wajah”. d. Kontak Mata Pengaruh kontak mata dalam komunikasi juga dapat dilihat dalam karya dan musik mengenai mata yang ada selama ratusan tahun. Emerson menuliskan, ”Mata mencerminkan jiwa”. Alasan lain dari pentingnya mata dalam proses komunikasi adalah bahwa pesan yang kita kirimkan dengan mata kita tak terbatas jumlahnya. Kita telah mendengar beberapa kata berikut untuk menjelaskan mata orang: kontak mata langsung, dalam banyak budaya
merupakan hal tabu dan menghina. Kontak
mata yang lama, dianggap kasar, mengancam, tidak menghargai, dan bahkan tanda menantang. Di Amerika utara, tatapan mata yang lama merupakan kode nonverbal yang digunakan oleh subkultur gay. Tatapan mata menyolok, untuk menyatakan rasa marah. Tatapan mata berbinar-binar, untuk menyatakan ketulusan, kebahagiaan, kebanggaan. Kedipan, sangat umum di Spanyol dan Prancis untuk menyatakan konspirasi. commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gerakan mata mengedipkan berkali-kali, digunakan perempuan untuk membujuk. e.
Sentuhan Disentuh dan menyentuh juga merupakan sarana komunikasi. “Sentuhan merupakan perasaan yang paling tua, paling primitif dan mendarah daging. Sentuhan merupakan perasaan pertama yang kita alami ketika masih dalam kandungan dan yang terakhir kita hilangkan sebelum kematian. Dengan demikian, arti suatu sentuhan dan alasan kita menyentuh orang lain, memberikan pengetahuan mengenai komunikasi yang kita lakukan. Menurut bentuknya, sentuhan badan dibagi atas 4 macam (Riswandi , 2009:75-76) : 1. Kinesthetic Ialah
isyarat
yang
ditunjukan
dengan
bergandengan tangan satu sama lain, sebagai simbol keakraban atau kemesraan. 2. Sosiofugal Ialah isyarat yang ditunjukan dengan jabat tangan atau saling merangkul.
commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Thermal Ialah isyarat yang ditunjukan dengan sentuhan badan
yang
terlalu
emosional
sebagai
tanda
persahabatan yang begitu intim. Misalnya menepuk punggung karena sudah lama tak bertemu. 4. Paralanguage Ialah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama suara sebagai penerima pesan dapat memahami sesuatu di balik apa yang diucapkan. Misalnya kata “ datang-datanglah ke rumah” bisa diartikan betul-betul mengundang kehadiran kita atau sekedar basa-basi.
f.
Parabahasa Parabahasa atau vokalika (vocalics) mengacu pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami, misalnya : 1. Kualitas Vokal, meliputi : volume, intonasi (cepatlambat), dialek, nada suara ( tinggi-rendah), tempo, gema. 2. Karakteristik Vokal, misalnya :
tertawa,
menangis, merintih, merengek, menguap, suitan, erangan,
desahan,
gumaman,
gerutuan,
terputus-putus, suara gemetar, dan sebagainya. commit to user
suara
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Pembeda Vokal, seperti :
“uh-huh,”uh”,”ooh”,
“mmmh”, “huuuu..” Meskipun aspek-aspek parabahasa ini berkaitan dengan komunikasi verbal, aspek-aspek tersebut harus dianggap sebagai dari komunikasi nonverbal yang menunjukan
kepada
kita
bagaimana
perasaan
pembicara. Mengenai pesannya, apakah ia percaya diri, gugup, sedih, senang, menggerutu, atau menunjukan aspek-aspek emosional lainnya.
g.
Gerakan Badan (Kinesics) Menurut Cangara sebagaimana dikutip oleh Riswandi
(2009:73-74),
Gerakan-gerakan
badan
(Kinesics) bisa dibedakan atas 5 jenis, yaitu: 1. Emblem Ialah isyarat yang punya arti langsung pada simbol yang dibuat oleh gerakan tubuh. Misalnya mengangkat jari V yang artinya victory atau menang. 2. Illustrators Ialah isyarat yang di buat dengan gerakangerakan badan untuk menjelaskan sesuatu. Misalnya tinggi rendahnya objek yang dibicarakan. commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Affect displays Ialah syarat yang terjadi karena adanya dorongan emosional sehingga berpengaruh pada ekspresi
muka.
Misalnya
tertawa,
menangis,
senyum, mencibir, sinis,sinis, dan sebagainya. 4. Regulators Ialah gerakan-gerakan tubuh yang terjadi pada daerah kepala. Misalnya mengangguk tanda setuju atau menggeleng tanda menolak. 5. Adaptory Ialah gerakan-gerakan badab yang dilakukan sebagai tanda kejengkelan. Misalnya menggerutu, mengepalkan tinju ke atas meja.
2.
Ruang Lingkup a.
Tempat/Ruang Edward T. hall dalam Riswandi (2009:77), mengemukakan istilah proxemics sebagai studi yang mengkaji persepsi manusia atas ruang (pribadi dan sosial), yaitu cara manusia menggunakan ruang dalam berkomunikasi.
commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Waktu Banyak orang menyadari bahwa waktu adalah gambaran pemikiran. Refleksi diri akan menyatakan apa yang dikomunikasikan waktu mengenai kehidupan profesional dan kehidupan pribadi kita. c.
Diam Peribahasa Afrika menyatakan, “Dalam diam kita dapat berkata-kata”. Samovar, dkk berpendapat bahwa sikap diam dapat mengirimkan petunjuk nonverbal mengenai
situasi
komunikasi
di
mana
kita
berpartisipasi.
B. Fungsi Komunikasi Nonverbal Dalam buku Riswandi (2009:70), menjelaskan dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut : 1.
Perilaku nonverbal dapat mengulangi/repetisi perilaku verbal. Misalnya kita sering menggunakan kepala ketika kita mengatakan ‘ya’ atau menggelengkan kepala ketika mengatakan ‘tidak’.
2.
Memperteguh, menekan, atau melengkapi perilaku verbal. Misalnya
dengan
melambaikan
tangan
seraya
mengucapkan’selamat jalan’, ‘sampai jumpa’, atau ketika commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berpidato kita melakukan ‘gerakan tangan’, atau ‘nada suara tinggi’ atau ‘nada suara merendah’. 3.
Perilaku nonverbal dapat menggantikan/substitusi perilaku verbal. Misalnya menggoyangkan tangan dengan telapak tanganmenghadap ke depan (sebagai pengganti kata “tidak”).
4.
Perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal. Misalnya anda sebagai pembaca mengenakan jaket atau membereskan buku-buku, atau melihat anda ketika waktu kuliah sudah berakhir, sehingga dosen segera menutup kuliah.
C. Kerangka Teori 1.
Dramaturgis Erving Goffman Perspektif dramaturgis dari Erving Goffman, sebenarnya merupakan salah satu model pendekatan interaksi simbolik selain teori penjulukan dan etnometodologi (Mulyana, 2007 : 37). Goffman begitu terilhami oleh teori interaksi simbolik dari Mead. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self) menjadi bagian dari perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Bahkan menurut Mead : “sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi orang lain dengan harapanharapan orang lain dan mencoba memahami apa yang diharapkan orang itu”.
commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Intinya, hanya dengan menyerasikan diri dengan harapanharapan orang lain, maka interaksi menjadi mungkin. Karena itulah lewat pendekatannya terhadap interaksi sosial, Goffman sering dianggap sebagai salah satu penafsir ‘teori diri’ dari Mead dengan menekankan sifat simbolik dari manusia. Goffman menganggap individu (bukan struktur yang lebih besar) sebagai satuan analisis. Untuk menjelaskan tindakan manusia, Goffman memakai analogi drama dan teater. Hal itulah yang menjadikannya sebagai seorang dramaturgis. Goffman tidak memusatkan perhatiannya pada struktur sosial. Ia lebih tertarik pada interaksi tatap muka atau kehadiran bersama (co-presence). Menurut Goffman : Biasanya terdapat suatu arena kegiatan yang terdiri dari serangkaian kegiatan individu-individu yang saling mempengaruhi tindakan mereka satu sama lain ketika masing-masing berhadapan secara fisik. Para aktor adalah mereka yang melakukan tindakan-tindakan atau penampilan rutin. Pendekatan
dramaturgis
Goffman
khususnya
berintikan
pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin mengelola kesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. a. Presentasi Diri Goffman Diri dari Mead diinterpretasikan dan dikembangkan oleh Goffman dalam bukunya
yang paling berpengaruh, The
Presentation of Self in Every Day Life (1959). Jika Mead commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menganggap diri pada dasarnya bersifat sosial, lebih-lebih lagi Goffman. Bagi Goffman, individu tidak sekadar mengambil peran orang lain, melainkan bergantung pada orang lain untuk melengkapkan citra diri tersebut. Presentasi
diri,
seperti
yang
ditunjukkan
Goffman,
bertujuan memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi para aktor dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada. Konsep diri Goffman sangat dipengaruhi oleh pemikiran Mead, khususnya dalam diskusi mengenai ketegangan antara diri spontan, “I” dan “me”, diri yang dibatasi oleh kehidupan sosial. Ketegangan itu tercermin dalam pemikiran Goffman tentang apa yang disebutnya “ ketidaksesuaian antara diri manusiawi kita dan diri kita sebagai hasil proses sosialisasi”. Ketegangan ini disebabkan perbedaan antara apa yang ingin kita lakukan secara spontan dan apa yang diharapkan orang lain untuk kita lakukan (Ritzer, 2007 : 297). Menurut Goffman, diri bukan milik aktor tetapi lebih sebagai hasil interaksi dramatis antara aktor dan audien. Diri adalah pengaruh dramatis yang muncul dari suasana yang ditampilkan. Karena diri adalah hasil interaksi dramatis, maka mudah terganggu selama penampilannya. commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Konsep cermin diri Cooley (dalam Ritzer, 2007 : 295) dapat dirinci menjadi tiga komponen. Pertama, kita membayangkan bagaimana penampilan di mata orang lain. Kedua, kita membayangkan apa yang seharusnya mereka nilai berkenaan dengan penampilan kita. Ketiga, kita membayangkan semacam perasaan diri tertentu seperti rasa harga diri atau rasa malu, sebagai akibat dari bayangan kita mengenail penilaian oleh orang lain. Konsep cermin diri ini berkaitan dengan presentasi diri dari Goffman. Goffman
mengasumsikan
bahwa
ketika
orang-orang
berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan kesan” (impression management), yakni teknikteknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Goffman, kebanyakan atribut, milik atau aktivitas manusia digunakan untuk presentasi diri ini, termasuk busana yang kita pakai, tempat kita tinggal, rumah yang kita huni, cara kita melengkapinya (furniture dan perabotan rumah), cara kita berjalan dan berbicara, pekerjaan yang kita lakukan dan cara kita menghabiskan waktu luang kita. Segala sesuatu yang terbuka mengenai diri kita sendiri dapat digunakan untuk memberitahu orang lain siapa kita. Pendeknya, kita mengelola informasi yang commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kita berikan kepada orang lain. Goffman menyebut aktivitas untuk mempengaruhi orang lain itu sebagai pertunjukan.
b. Panggung Depan dan Panggung Belakang Presentasi diri Goffman dalam interaksi sosial mereka dimainkan
ibarat
pertunjukan
teater
di
atas
panggung.
Menggunakan metafor teater, Goffman (dalam Mulyana, 2007 :38) membagi kehidupan sosial ke dalam dua wilayah yaitu : Pertama, Wilayah Depan (front region), yaitu tempat atau peristiwa sosial yang memungkinkan individu menampilkan peran formal atau bergaya layaknya aktor yang berperan. Wilayah ini disebut juga ’panggung depan’ (front stage) yang ditonton khalayak. Kedua, Wilayah Belakang (back region), yaitu tempat untuk mempersiapkan perannya di wilayah depan, disebut juga ’panggung belakang’ (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai mempersiapkan diri atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan. Goffman membagi panggung depan menjadi dua bagian : front pribadi (personal front), dan setting. Setting yakni situasi fisik yang harus ada ketika aktor harus melakukan pertunjukan. Sebagai contoh, seorang dokter bedah umumnya memerlukan kamar operasi. commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Front pribadi terdiri dari alat-alat yang dapat dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting. Dokter bedah misalnya, diharapkan memakai jubah putih. Goffman kemudian membagi front personal ini menjadi penampilan dan gaya. Penampilan meliputi berbagai jenis barang yang mengenalkan kepada kita status sosial aktor. Sedangkan gaya mengenalkan pada penonton, peran macam apa yang diharapkan aktor untuk dimainkan dalam situasi tertentu (contoh menggunakan gaya fisik, sikap. Tingkah laku kasar dan yang lembut menunjukkan jenis pertunjukan yang sangat berbeda. Umumnya kita mengharapkan penampilan dan gaya saling bersesuaian (Ritzer, 2004 : 299). Sedangkan panggung belakang biasanya berbatasan dengan panggung depan, tetapi bersembunyi dari pandangan khalayak. Ini dimaksudkan untuk melindungi rahasia pertunjukan, dan oleh karena itu, khalayak biasanya tidak diizinkan memasuki panggung belakang, kecuali dalam keadaan darurat. Suatu pertunjukan akan sulit dilakukan bila aktor membiarkan khalayak berada di panggung belakang. Goffman berpendapat bahwa karena umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang diidealisasikan dalam pertunjukan mereka di panggung depan, mereka merasa bahwa mereka
harus
pertunjukan
menyembunyikan
mereka. Pertama, commit to user
hal-hal aktor
tertentu
dalam
mungkin
ingin
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyembunyikan kesenangan-kesenangan tersembunyi, seperti meminum minuman keras, yang dilakukan sebelum pertunjukan atau kehidupan masa lalu sebagai pecandu alkohol. Kedua, aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat persiapan pertunjukan, juga langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Ketiga, aktor mungkin merasa perlu menunjukan hanya produk akhir dan menyembunyikan proses
memproduksinya.
Keempat,
aktor
mungkin
perlu
menyembunyikan “kerja kotor” yang dilakukan untuk membuat produk akhir itu dari khalayak. Kelima, dalam melakukan pertunjukan tertentu, aktor mungkin harus mengabaikan standar lain. Akhirnya, aktor mungkin perlu menyembunyikan hinaan, pelecehan, atau perundingan, yang dibuat sehingga pertunjukan dapat
berlangsung.
Umumnya
aktor
berkepentingan
menyembunyikan semua fakta itu dari khalayak. Aspek dramaturgi lain di front stage adalah aktor sering mencoba menyampaikan kesan bahwa mereka lebih akrab dengan audien ketimbang dalam keadaan yang sebenarnya. Contoh, aktor mungkin mencoba menimbulkan kesan bahwa pertunjukan di mana mereka terlibat di saat itu adalah satu-satunya pertunjukan mereka. Untuk melakukan ini, aktor harus yakin bahwa audien mereka
dipisahkan
sedemikian
rupa
sehingga
pertunjukan tidak ditemukan (Ritzer, 2004 : 300). commit to user
kepalsuan
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Pengelolaan Kesan (Impression Management) Goffman menutup bahasan Prensentation of Self in Every Day dengan pemikiran tambahan mengenai seni mengelola kesan. Pada umumnya, pengelolaan kesan mengarah pada kehati-hatian terhadap serentetan tindakan yang tak diharapkan, seperti gerak isyarat yang tak diharapkan, gangguan yang tak menguntungkan dan kesalahan bicara atau bertindak maupun tindakan yang diharapkan seperti membuat adegan. Goffman tertarik pada berbagai metode yang menjelaskan masalah seperti itu. Pertama, ada sekumpulan metode yang melibatkan tindakan yang bertujuan menciptakan loyalitas dramaturgis, misalnya dengan memupuk kesetiakawanan dalam kelompok. Kedua, Goffman menunjukkan berbagai bentuk disiplin
dramaturgis,
seperti
menjaga
kesadaran
untuk
menghindari kekeliruan (Ritzer, 2007 : 302). Penonton juga perlu menjadi bahan pertimbangan oleh aktor atau tim aktor dalam mengelola kesan yang berhasil. Penonton sering bertindak membantu pertunjukan melalui muslihat seperti memberikan menghindarkan
perhatian ledakan
besar emosional,
terhadap
pertunjukan,
tidak
menghiraukan
kekeliruan, dan memberikan perhatian khusus terhadap aktor pendatang baru. Goffman mengakui bahwa orang tidak selamanya ingin menunjukan peran formalnya dalam panggung depannya. Orang commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mungkin memainkan suatu peran, meskipun ia enggan akan peran tersebut, atau menunjukkan keengganannya untuk memainkannya padahal ia senang dengan peran tersebut. Salah satu pemikiran Goffman adalah bahwa jarak peran adalah fungsi status sosial seseorang. Orang yang berstatus sosial tinggi lebih sering menunjukkan jarak sosial karena alasan yang berbeda pada posisi status lebih rendah. Dalam jarak peran (role distance), Goffman memusatkan perhatian pada derajat pelaksanaan peran tertentu oleh individu (aktor). Menurut pandangannya, karena banyaknya peran, maka hanya sedikit individu yang benar-benar terlibat sepenuhnya dalam peran-peran tertentu. Role distance menerangkan derajat pemisahan antara individu dengan peran-peran yang diharapkan dimainkannya.
d. Penggunaan Tim Penggunaan tim atau pembentukan tim harus ada dalam proses dramaturgi. Tanpa sebuah tim, maka suatu fenome na sosial tidak bisa diteropong oleh teori dramaturgi Goffman. Fokus perhatian Goffman sebenarnya bukan hanya individu, tetapi juga kelompok atau tim. Selain membawakan peran dan karakter secara individu, aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain terhadap kelompoknya, baik itu keluarga, tempat kerja, partai politik, atau organisasi lainnya yang mereka wakili. Semua commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
nggota itu adalah apa yang Goffman sebut sebagai ”tim pertunjukan”(performance team) yang mendramatisasikan suatu aktivitas. Kerjasama tim sering dilakukan oleh para anggota dalam menciptakan dan menjaga penampilan dalam wilayah depan (Mulyana, 2008 :122). Para anggota tim sering melakukan latihan (rehearsel) terlebih
dahulu,
tanpa
kehadiran
khalayak,
agar
dalam
pertunjukan yang sebenarnya semua kesan yang baik dan berwibawa perlengkapan
terpelihara. pertunjukan
Mereka dengan
harus matang
mempersiapkan dan
jalannya
pertunjukan, memilih pemain inti yang layak (siapa melakukan apa), dan melakukan pertunjukan secermat dan seefisien mungkin, dan kalau perlu juga memilih khalayak yang sesuai. Setiap anggota saling mendukung dan bila perlu memberi arahan lewat isyarat nonverbal, seperti isyarat tangan atau isyarat mata, agar pertunjukan berjalan mulus. Goffman menekankan bahwa pertunjukan yang dibawakan suatu tim sangat bergantung kesetiaan setiap anggotanya. Setiap anggota tim memegang rahasia tersembunyi bagi khalayak yang memungkinkan kewibawaan tim tetap terjaga. Seperangkat tehnik harus diciptakan dan diterapkan untuk menjaga kewibawaan dan kekompakan pertunjukan kelompok, membatasi kontak antara anggota kelompok dengan khayalak, dan melakukan pertunjukan commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
agar khalayak secara periodik, agar khalayak tidak banyak tahu tentang tim pertunjukan.
6.
Kerangka Berpikir Komunikasi Verbal : Bahasa, Intonasi, Nada Suara, Pengelolaan Kesan
Pengemis Komunikasi Nonverbal : Isyarat dan gerakan tubuh,, Penampilan, Ekspresi wajah,
Presentasi diri
Mendapat Sedekah
Gambar 1. Kerangka Pikir
Skema diatas menjelaskan mengenai pengemis sebagai pelaku komunikasi, atau bisa disebut sebagai komunikator, apa yang dibayangkan dan dipikirkan pengemis untuk mengelola kesan bagi orang lain, awalnya terjadi pada diri sendiri. Pengemis dapat menyadari dirinya sendiri, mengevaluasi
dirinya
sendiri.
Proses
selanjutnya,
terjadinya
proses
komunikasi verbal dan nonverbal yang dilakukan oleh pengemis atau bisa disebut sebagai pengiriman pesan dari komunikator (pengemis) kepada komunikannya, yaitu calon dermawan. Dari proses komunikasi tersebut, terjadilah apa yang dinamakan management impressions atau pengelolaan user dermawan (komunikator). Dalam kesan ketika akan berhadapancommit dengantocalon
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengelolaan kesan tersebut, pengemis berupaya sedemikian rupa untuk mengolah pesan yang akan disampaikan agar pesan tersbut dapat tersampaikan dengan baik. Proses selanjutnya adalah mempresentasikan diri atau self presentation kepada calon dermawannya. Dari situlah pesan tersebut tersampaikan dan menimbulkan efek timbal balik dalam bahasan disini yaitu “mendapatkan sedekah” atau sebaliknya jika pesan yang dikemas dan dipresentasikan tidak sampai pada sasaran maka tidak akan mendapat efek tersebut atau “tidak mendapat sedekah”.
7.
Batasan Konsep A. Komunikasi Berdasarkan berbagai arti kata communicare yang menjadi asal kata komunikasi, maka secara harfiah komunikasi berarti pemberitahuan, pembicaraan, percakapan, pertukaran pikiran atau hubungan (Hardjana, 2003:10). Komunikasi sendiri berasal dari gagasan yang ada pada seseorang. Gagasan itu diolahnya menjadi pesan dan dikirim melalui media tertentu kepada orang lain sebagai penerima. Dari proses terjadinya komunikasi itu, secara teknis pelaksanaan, komunikasi dapat dirumuskan
sebagai
“
kegiatan
seseorang
dimana
seseorang
menyampaikan pesan melalui media tertentu kepada orang lain dan sesudah menerima pesan serta memahami sejauh kemampuannya, penerima pesan menyampaikan tanggapan melalui media tertentu pula kepada orang yang menyampaikan pesan itu kepadanya “ (Hardjana, 2003:11).
commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Simbol Verbal dan Nonverbal 1.
Simbol Verbal Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang kita sadari termasuk kedalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan (Mulyana, 2001). Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan
berbagai
aspek
realitas
individual
kita.
Konsekuensinya kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu. Bahasa verbal juga dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan di pahami suatu komunitas (Mulyana, 2000:238). Bahasa verbal dapat diungkapkan dalam beberapa macam : a.
Ungkapan hiperbola, yaitu suatu gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebihan.
b. Ungkapan redudensi, yaitu suatu gaya bahasa yang diucapkan secara berulang. c.
Ungkapan litotes, yaitu semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Ungkapan metafora, yaitu semacam analogi yang menimbulkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat.
2.
Simbol Nonverbal a.
Perilaku Tubuh 1.
Penampilan Komponen penting dari penampilan adalah persepsi mengenai hal yang menarik dan cantik. Ruben menuliskan bahwa
penampilan
“kepandaian,
gender,
seseorang usia,
dapat
menunjukan
pendekatan,
kemampuan,
ekonomi, kelas, selera, nilai, dan latar belakang budaya”.
2.
Pakaian/Busana Pakaian di samping berfungsi sebagai pelindung, juga merupakan suatu bentuk komunikasi. Di Amerika Serikat, seperti yang dinyatakan oleh Adler dan Rodman,”pakaian dapat digunakan untuk menampilkan status ekonomi, pendidikan, status sosial, standar moral, kemampuan atletik/ketertarikan, system kepercayaan (politik, filosofi, agama), dan tingkat kepuasan.
3.
Ekspresi Wajah Ada tiga macam tentang wajah. Pertama, adalah wajah “yang sebenarnya”, wajah yang dibawa sejak lahir. commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kedua, wajah yang kita manipulasi bila kita mau, misalnya tersenyum, berkedip, cemberut, dan lain sebagainya. Ketiga, kita memiliki wajah yang berubah oleh sekeliling kita dan pesan yang kita terima. Ferraro lebih lanjut menekankan pentingnya ekspresi wajah dengan menyatakan bahwa wajah merupakan pusat dari proses komunikasi, sehingga manusia kadang berbicara “wajah ke wajah”.
4.
Kontak Mata Pengaruh kontak mata dalam komunikasi juga dapat dilihat dalam karya dan music mengenai mata yang ada selama
ratusan
tahun.
Emerson
menuliskan,”Mata
mencerminkan jiwa”. Alasan lain dari pentingnya mata dalam proses komunikasi adalah bahwa pesan yang kita kirimkan dengan mata kita tak terbatas jumlahnya. Kita telah mendengar beberapa kata berikut untuk menjelaskan mata orang: kontak mata langsung, dalam banyak budaya merupakan hal tabu dan menghina. Kontak mata yang lama, dianggap kasar, mengancam, tidak menghargai, dan bahkan tanda menantang. Di Amerika utara, tatapan mata yang lama merupakan kode nonverbal yang digunakan oleh subkultur gay. Tatapan mata menyolok, untuk menyatakan rasa marah. Tatapan mata berbinar-binar, untuk menyatakan commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ketulusan, kebahagiaan, kebanggaan. Kedipan, sangat umum
di
Spanyol
dan
konspirasi.
Gerakan
mata
Prancis
untuk
menyatakan
mengedipkan
berkali-kali,
digunakan perempuan untuk membujuk.
5.
Sentuhan Disentuh dan menyentuh juga merupakan sarana komunikasi. “Sentuhan merupakan perasaan yang paling tua, paling primitif dan mendarah daging. Sentuhan merupakan perasaan pertama yang kita alami ketika masih dalam kandungan dan yang terakhir kita hilangkan sebelum kematian. Dengan demikian, arti suatu sentuhan dan alasan kita menyentuh orang lain, memberikan pengetahuan mengenai komunikasi yang kita lakukan. Menurut bentuknya, sentuhan badan dibagi atas 3 macam (Riswandi , 2009:75-76) : 1. Kinesthetic Ialah isyarat yang ditunjukan dengan bergandengan tangan satu sama lain, sebagai simbol keakrabanatau kemesraan. 2. Sosiofugal Ialah isyarat yang ditunjukan dengan jabat tangan atau saling merangkul. commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Thermal Ialah isyarat yang ditunjukan dengan sentuhan badan yang terlalu emosional sebagai tanda persahabatan yang begitu intim. Misalnya menepuk punggung karena sudah lama tak bertemu. 4. Paralanguag Ialah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama suara sebagai penerima pesan dapat memahami sesuatu di balik apa yang diucapkan.
6.
Parabahasa Apa yang sedang kita bicarakan adalah merupakan bagian kecil dari apa yang disebut dengan parabahasa. Pertama, kualitas vocal (volume, nada suara, tempo, gema); kedua, karakteristik vokal (tertawa, menangis, merintih, merengek, menguap); dan ketiga, pembeda vokal (“uhhuh,”uh”,”ooh”, “mmmh”)
7.
Gerakan Badan atau Tubuh Menurut Cangara sebagaimana dikutip oleh Riswandi (2009:73-74), Gerakan-gerakan badan (Kinesics) bisa dibedakan atas 5 jenis, yaitu:
commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a.
Emblem Ialah isyarat yang punya arti langsung pada simbol yang dibuat oleh gerakan tubuh. Misalnya mengangkat jari V yang artinya victory atau menang.
b.
Illustrators Ialah isyarat yang di
buat dengan gerakan-gerakan
badan untuk menjelaskan sesuatu. Misalnya tinggi rendahnya objek yang dibicarakan. c.
Affect displays Ialah syarat yang terjadi karena adanya dorongan emosional sehingga berpengaruh pada ekspresi muka. Misalnya
tertawa,
menangis,
senyum,
mencibir,
sinis,sinis, dan sebagainya. d.
Regulators Ialah gerakan-gerakan tubuh yang terjadi pada daerah kepala. Misalnya mengangguk tanda setuju atau menggeleng tanda menolak
e.
Adaptory Ialah gerakan-gerakan badab yang dilakukan sebagai tanda kejengkelan. Misalnya menggerutu, mengepalkan tinju ke atas meja.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
38 digilib.uns.ac.id
C. Pengemis Seseorang yang mencari penghasilan dengan cara meminta-minta. Biasanya mereka melakukan pekerjaannya itu dengan alasan sulitnya mencari pekerjaan di zaman sekarang karena sempitnya lapangan pekerjaan.
8.
Metodologi Penelitian A. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian deskriptif dan jenis penelitian kualitatif. Krik dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Moleong, 2005:13). Oleh karena itu, strategi penelitian ini terarah pada penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Bogdan dan Taylor mengatakan metode kualitatif sebagai prosedur-prosedur penelitian yang digunakan untuk menghasilkan data deskriptif yang ditulis atau yang di ucapkan orang dan perilaku-perilaku dapat diamati. Studi deskriptif kualitatif adalah suatu gejala-gejala sosial atau berusaha mendeskripsikan fenomena sosial tertentu secara terperinci (Pawito, 2007:84).
B. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah wilayah atau daerah dimana data dikumpulkan. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil daerah di commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
wilayah Pasar Klewer Surakarta. Adapun pengambilan daerah penelitian ini didasarkan atas pertimbangan : a.
Lokasi penelitian yang letaknya di Pasar Klewer Surakarta, merupakan salah satu tempat perdagangan pakaian dan sejenisnya di kota Surakarta, yang terdapat banyak pengemis yang menjalankan ‘pekerjaannya’di sekitar daerah tersebut.
b.
Lokasi tersebut, walaupun sedikit jauh untuk peneliti tempuh,tetapi terjangkau dan akses jalannya mudah.
C. Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kualitatif yang bukan merupakan angka-angka nominal melainkan berupa kalimat-kalimat bermakna derkriptif dan dilengkapi dengan penjelasanpenjelasan. Menurut Lofland dan Lofland, sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Moleong, 2005 :157). Berdasarkan asal perolehannya, data kualitatif dapat dibagi menjadi : 1.
Data Primer Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari informan, melalui wawancara dan pengamatan. Dalam penelitian ini diambil informan yaitu pengemis yang mampu memberikan informasi, bersedia di wawancarai,dan yang tidak menutup diri.
commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.
Data Sekunder Data Sekunder, adalah data yang dikumpulkan untuk mendukung dan melengkapi data primer berkenaan dengan masalah penelitian. Data ini diperoleh melalui pemanfaatan sumber data yang telah tersedia seperti dokumen dan arsip-arsip yang dimiliki.
D. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan teknik : 1.
Wawancara Mendalam (In-depth Interview) Menurut Moleong (2005 : 186), wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(interviewee)
yang
memberikan
jawaban
atas
pertanyaan itu. Untuk memperoleh data, peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam. Wawancara mendalam adalah teknik pengumpulan
data
dimana
peneliti
mengajukan
pertanyaan-
pertanyaan tentang segala sesuatau kepada informan untuk memperoleh informasi yang di harapkan. Wawancara dalam metode ini tidak mengunakan struktur yang ketat namun menggiring pertanyaan yang makin memusat sehingga informasi yang di kumpulkan cukup memadai. Wawancara mendalam disebutkan oleh Mulyana bahwa wawancara mendalam ini sama atau serupa dengan wawancara
tak
berstruktur, wawancara commit to user
intensif,
wawancara
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kualitatif, wawancara terbuka, dan wawancara etnografis (Mulyana, 2004:80).
2.
Observasi Dalam
konteks
ilmu
komunikasi,
penelitian
dengan
pengamatan atau observasi biasanya dilakukan untuk melacak secara sistematis dan langsung gejala-gejala komunikasi terkait dengan persoalan-persoalan sosial, politis, dan kultural masyarakat. Di sini kata ‘langsung’ memiliki pengertian bahwa peneliti hadir dan mengamati kejadian-kejadian di lokasi. Kemudian kata’sistematis’ menunjuk pada karakter (Pawito, 2007:111). Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk melakukan observasi tidak terlibat (nonparticipant observation). Artinya, peneliti tidak ikut terlibat langsung dalam sebuah komunitas tertentu melainkan hanya mengambil data yang hanya diperlukan (Pawito, 2007:114).
3.
Dokumentasi Dokumentasi tertulis atau arsip merupakan sumber data yang sering memiliki posisi penting dalam penelitian kualitatif, teruma bila sasaran dan kajian mengarah pada latar belakang atau berbagai peristiwa yang terjadi di masa lampau yang sangat berkaitan dengan kondisi atau peristiwa masa kini yang sedang diteliti (Sutopo, 2002:69).
commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 1.
Sampel Sampel adalah wujud kongkrit yang terjadi pada suatu populasi atau individu yang merupakan sebagian dari keseluruhan yang menjadi bagian dari suatu penelitian (Arikunto, 2002:112). Sampel yang diambil dalam penelitian ini bukan sesuatu yang mutlak, artinya sampel yang diambil disini menyesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Dalam penelitian kualitatif, sampel bukan mewakili populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif. Tetapi informan mewakili informasi. Dan sampel juga berfungsi untuk menggali beragam informasi serta menemukan sejauh mungkin sebagai informasi penting. Dalam memilih sampel yang lebih utama adalah bagaimana menentukan sampel sevariatif mungkin, dan berikutnya dan dipilih untuk memperluas dan menambah informasi yang telah diperoleh terlebih dahulu sehingga dapat dipertentangkan. Dengan demikian dapat mengisi kesenjangan informasi.
2.
Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode snowball sampling. Artinya cara pengambilan sampel ini mengaplikasi jumlah sampel yang semakin membesar seiring dengan perjalanan waktu pengamatan. Peneliti berangkat dari seorang informan
untuk
mengawali.
Kepada
informan
ini
peneliti
menanyakan siapa lagi berikutnya atau siapa saja orang yang commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
selayaknya diwawancarai, kemudian peneliti beralih menemui informan berikutnya sesuai disarankan oleh informan pertama, dan begini seterusnya hingga peneliti yakin merasa yakin bahwa data yang dibutuhkan sudah didapatkan secara memadai. Cara ini dapat membawa bias, yakni hanya orang (atau tokoh-tokoh) yang memiliki kedekatan hubungan saja yang direkomendasi oleh informan. Kemungkinan informan menyarankan peneliti untuk menemui tokoh yang berlawanan pendapat atau memiliki hubungan kurang harmonis dengannya sangat kecil. Untuk mengatasi hal ini, Lindlof menyarankan agar agar peneliti meminta kepada informan yang tergolong awal didatangi untuk menyebutkan beberapa nama yang disarankan untuk di datangi. Dengan daftar nama ini, peneliti kemudian membandingkan daftar satu dengan yang lainnya sehingga dapat mengetahui nama-nama informan berikutnya yang lebih banyak disarankan untuk ditemui (Pawito, 2007:92). Adapun kriteria informan yang peneliti ambil adalah :
3.
1.
Pengemis yang mengemis tetap di Pasar Klewer
2.
Pengemis yang tergolong dewasa usia minimal 17 tahun
3.
Pengemis yang bisa memberikan informasi dengan jelas
Validitas Data Triangulasi adalah tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagaimana dikutip dalam Moleong (2005 : 330), membedakan empat macam triangulasi sebagai tehnik pemeriksaan yaitu : a.
Triangulasi Sumber
b.
Triangulasi Peneliti
c.
Triangulasi Penyidik
d.
Triangulasi Teori Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi sumber
yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh pada waktu dan alat yang berbeda. Hal ini dapat dilakukan dengan cara : 1.
Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2.
Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
3.
Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.
4.
Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat orang lain dengan latar belakang berbeda seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, pemerintahan, dan lain sebagainya.
5.
Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
F. Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis kerja (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis kerja itu (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2005 :280). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2005 : 248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistensiskannya, mencari, dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Menurut Miles dan Huberman dalam Sutopo (2002:91), ada tiga komponen pokok dalam tahap analisis data, yaitu : a.
Reduksi Data (Data Reduction) Komponen pertama dalam analisis yang merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data kasar dari fieldnote. Reduksi data berlangsung sejak peneliti mengambil keputusan tentang kerangka kerja konsetual, melakukan pemilihan kasus,
penyusunan
pertanyaan
penelitian,
dan
juga
waktu
menentukan cara pengumpulan data yang akan digunakan. Dengan kata lain reduksi data adalah bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting, dan mengatur data sedemikian rupa sehingga commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data kasar yang muncul dari catatancatatan
lapangan.
Langkah-langkah
yang
dilakukan
adalah
menajamkan analisis, menggolongkan atau pengkategorisasian ke dalam tiap permasalahan melalui uraian singkat, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sehingga kesimpulan- kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Adapun data yang direduksi antara lain seluruh data mengenai permasalahan penelitian dan kemudian dilakukan penggolongan ke dalam beberapa bagian. Kemudian dari masing-masing bagian tersebut dikelompokkan lagi berdasarkan sistematisasinya. Adapun perolehan data mengenai hal-hal yang tidak relevan dengan penelitian, sebaiknya tidak dimasukkan dalam penyajian hasil, namun tetap disimpan untuk masa yang akan datang jika diperlukan. Dengan demikian, data yang direduksi akan memberikan gambaran
yang lebih spesisifk dan mempermudah peneliti
melakukan pengumpulan data selanjutnya serta mencari data tambahan jika diperlukan. Semakin lama peneliti berada di lapangan, jumlah data akan semakin banyak, semakin kompleks dan rumit. Untuk itulah diperlukan reduksi data sehingga data tidak betumpuk dan mempersulit analisis selanjutnya.
commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Penyajian Data (Data Display) Setelah data direduksi, langkah analisis selanjutnya adalah penyajian (display) data. Penyajian data merupakan analisis merancang deretan dan kolom sebuah matriks untuk data kualitatif dan menentukan jenis serta bentuk data yang dimasukkan ke dalam kotak-kotak matriks (Miles, 1992:17-18). Penyajian data diarahkan agar data hasil reduksi terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga makin mudah dipahami. Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian naratif, bagan, hubungan antar kategori, diagram alur (flow chart), dan lain sejenisnya. Penyajian data dalam bentuk- bentuk tersebut akan memudahkan peneliti memahami apa yang terjadi dan merencanakan kerja penelitian selanjutnya. Pada langkah ini, peneliti berusaha menyusun data yang relevan sehingga menjadi informasi yang dapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Prosesnya dapat dilakukan dengan cara menampilkan dan membuat hubungan antar fenomena untuk memaknai apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk mencapai tujuan penelitian. Penampilan atau display data yang baik dan jelas alur pikirnya merupakan hal yang sangat diharapakan oleh setiap peneliti. Display data yang baik merupakan satu langkah penting menuju tercapainya analisis kualitatif yang valid dan handal. Penyajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi atau deskripsi dalam bentuk narasi yang commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Penyajian data merupakan komponen analisis kedua yang penting sehingga kegiatan perencanaan kolom dalam bentuk matriks bagi data kualitatif dalam bentuknya yang khusus sudah membawa peneliti memasuki daerah analisis penelitian. Kedalaman dan kemantapan hasil analisis sangat ditentukan oleh kelengkapan sajian datanya.
c.
Penarik Kesimpulan (Conclution Drawing and Verifying) Kesimpulan yang diambil akan ditangani secara longgar dan tetap terbuka sehingga kesimpulan yang semula belum jelas kemudian akan meningkat menjadi lebih rinci.dan kokoh (Glaser dan Strauss dalam Moleong, 1992 : 19). Kesimpulan – kesimpulan ini nantinya diverifikasi selama penelitian berlangsung untuk menguji kebenarannya, kekokohannya, kecocokannya, yang merupakan validitasnya. Miles dan Huberman menggambarkan keterkaitan komponenkomponen analisis data pada gambar berikut : Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Kesimpulan commit to Interaktif user Gambar 2. Analisis Data Milles dan Huberman
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II DESKRIPSI LOKASI
A.
Pasar Klewer Surakarta Secara geografis, Surakarta berada pada 110o 45’15’’-110o 45’35’’ Bujur Timur dan 7o 36’ 00’’-7o 56’ 00’’ Lintang Selatan, dengan ketinggian 92 meter di atas permukaan air laut, merupakan daerah dataran rendah. Kota Surakarta juga mempunyai
akses sarana transportasi darat maupun
transportasi udara yang mudah dijangkau, sehingga Surakarta tumbuh dan berkembang sebagai kota strategis yang sarat dengan berbagai asset potensi perdagangan. Adanya pasar-pasar yang cukup ternama di Surakarta membuktikan hal ini, apalagi keberadaan pasar merupakan salah satu asset andalan yang memberi kontribusi bagi PAD (Pendapatan Asli Daerah) kota Surakarta. Beberapa Pasar tradisional yang terbesar di wilayah Surakarta, cukup memiliki peran sebagai pusat perdagangan yang legendaris, seperti Pasar Klewer, yang merupakan salah satu pasar sandang terbesar di Indonesia dan menjadi asset terhandal yang cukup memiliki jaringan bisnis terluas sebagai penyangga ekonomi kota Surakarta. Posisi Pasar Klewer sendiri menghadap ke utara, yang berada di daerah jalur pusat kota, dan tidak jauh dari pusat pemerintahan baik pada masa kerajaan maupun pada masa sekarang. Bangunan Pasar Klewer menempati tanah seluas 13.456 m2, yang menempel pada tembok Keraton Kasunanan Surakarta, di antara sudut sebelah barat dan utara keraton, berseberangan dengan Masjid Agung commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Surakarta, tepatnya melekat dengan pintu gerbang atau gapura keraton sebelah barat. Gapura ini merupakan akses penting ke wilayah pusat pemerintahan keraton Surakarta, dan sekarang gapura tersebut lebih dikenal dengan nama gapura Klewer. Secara administratif teritorial (kewilayahannya) Pasar Klewer masuk dalam wilayah kalurahan Gajahan, Kecamatan Pasar Kliwon. Kecamatan Pasar Kliwon terletak diantara 110o-111o Bujur Timur, 7,6o8o Lintang Selatan, sedangkan batas wilayahnya sebagai berikut : Utara
: Kecamatan Banjarsari dan kecamatan Jebres
Selatan
: Kecamatan Serengan dan Kabupaten Sukoharjo
Barat
: Kecamatan Serengan dan Kecamatan Banjarsari
Timur
: Kabupaten Sukoharjo
Secara administratif, pengelolaan Pasar Klewer berada pada wilayah IV (empat) dibawah Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) kota Surakarta. Beberapa pasar yang masuk dalam wilayah ini adalah, Pasar Gading, Pasar Hardjodaksimo, Pasar Besi Semanggi, dan Pasar Kliwon. Keberadaan Pasar Klewer, berdekatan pula dengan bangunan bersejarah seperti Sitihinggil Keraton, Alun-alun, Masjid Agung Kauman dan bangunan sepanjang Coyudan (Setjoyudan).
B. Sejarah Berdirinya Pasar Plewer Pasar Klewer dirintis sejak jaman penjajahan Jepang, dimana kehidupan warga Surakarta banyak mengalami kesulitan. Keadaan serba sulit ini karena harga-harga berbagai kebutuhan masyarakat termasuk sandang relatif mahal. commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kehidupan yang serba sulit ini menjadikan sejumlah orang berinisiatif untuk berjualan pakaian dan kain. saat itu lokasinya terletak disebelah timur Pasar Legi atau kawasan kantor Air Minum dan Pasar Burung. Sejumlah orang ini menjajakan pakaian dan kain dengan cara menggantungkannya dipundak, dan berjalan hilir mudik dilingkungan tersebut, yang tentu saja barang dagangannya menjuntai kebawah tidak beraturan atau istilah orang jawa “kleweran”. Komunitas tersebut belum ada nama, maka disebutlah dengan Pasar Klewer. Pada tahun 1970, pertama kali Pasar Klewer disebut Pasar Slompretan, karena daerah tersebut bernama Kampung Slompretan. Pada saat itu, kondisi pasar tidak memenuhi persyaratan ekonomis dan kesehatan, maka dilakukan perkembangan fisik, sarana, dan prasarana pasar.Pada tahun 1971, Pasar Slompretan dibangun dan para pedagang dipindahkan sementara di alun-alun utara Keraton Surakarta. Pemerintah kemudian merenovasi pasar hingga mencapai bentuk seperti yang sekarang ini, dengan pelaksana PT. Sahid yang bermitra dengan Bank Bumi Daya dan pada tanggal 8 juni 1971 pasar tersebut telah selesai dibangun dan diresmikan oleh Presiden RI , Soeharto. Pada tahun 1971 ini, juga terjadi pergantian nama dari Pasar Slompretan menjadi Pasar Klewer. Pergantian nama ini terjadi karena banyaknya pedagang yang berjualan kain yang diletakkan (bahasa jawa : disampirke) di pundak dan kain tersebut berkibar (bahasa jawa: nglewernglewer) akhirnya disebut dengan Pasar Klewer. Pasar Klewer di bangun di atas tanah seluas 10.000 m, dengan bangunan sebanyak kurang lebih 642 kios, 134 los, dan 310 pedagang kaki lima (PKL). commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, keberadaan Pasar Klewer semakin dikenal sebagai pusat tekstil di Jawa Tengah. Hal ini mengakibatkan orang dari berbagai penjuru daerah, tidak hanya dari Pulau Jawa tetapi juga dari Sumatra, Lombok, Kalimantan, dan sebagainya berdatangan ke Surakarta untuk mencari barang dagangan. Melihat keadaan Pasar Klewer yang berkembang sangat pesat, akibatnya memancing animo pedagang
untuk
berjualan
dilingkungan
Pasar
Klewer,
sehingga
keberadaannya sangat mengganggu kelancaran arus lalu lintas dan menganggu pedagang yang mempunyai Surat Ijin Penempatan (SIP). Untuk mengatasi hal tersebut oleh Pemerintah Kota Surakarta waktu itu, R. Hartomo pada tahun 1985 membangun Pasar Klewer Timur yang letaknya berhimpitan dengan Pasar Klewer lama, dan peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah, H.M Ismail pada 17 Desember 1986.
C. Visi dan Misi Pasar Klewer 1.
Visi Terwujudnya citra pasar yang bersih, tertib dan aman bertumpu pada perekonomian Kota.
2.
Misi a. Meningkatkan kesempatan bekerja dan berusaha b. Meningkatkan ketertiban dan keamanan pasar c. Meningkatkan pelayanan kepada pedagang d. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D.
Denah dan Kondisi Fisik Pasar Klewer Denah Pasar Klewer terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian induk untuk lantai atas, bagian induk lantai bawah, dan bagian timur, dengan perincian sebagai berikut : Luas tanah
: 14.000 meter persegi
Jumlah Kios
: 2.210 kios Dengan pengkodean huruf kapital tunggal untuk kios lantai bawah sedangkan huruf dobel kapital untuk kios lantai atas.
Jumlah Pedagang : 1.804 pedagang Kios yang memiliki SHP dan kurang lebih 650 pedagang pelataran (pedagang di dalam kios maupun pedagang di pelataran)
E.
Struktur Organisasi Srtuktur Organisasi Dinas Pengelolaan Pasar (termasuk Pasar Klewer) diatur dalam Peraturan daerah nomor 1 tahun 1987. Adapun susunan organisasi tersebut, sebagai berikut : Kepala Pasar
Staf Administrasi
Pemungut Retribusi
Bagian Keamanan
Teknisi Listrik
commitOrganisasi to user Pasar Klewer Gambar 3. Struktur
Pembersih Pasar
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan : 1. Kepala Pasar Sebagai pelaksana teknis di lapangan yang bertugas memimpin segala kegiatan pengelolaan pasar, dalam rangka menjalankan kebijakankebijakan pemerintahan kota melalui Dinas Pengelolaan Pasar (DPPKS). 2. Bagian Administrasi Membantu kelancaran pelaksanaan administrasi pasar, khususnya penerimaan retribusi dan penyetoran hasil pungutan retribusi tersebut pada pemerintah melalui kas daerah. 3. Pemungut Retribusi Bertugas menjalankan kegiatan pemungutan retribusi pasar kepada pedagang yang selanjutnya disetorkan ke kas daerah yang selanjutnya menjadi sumber (Pendapatan Asli daerah) PAD Kota Surakarta. 4. Bagian Keamanan Membantu kepala pasar dalam rangka mewujudkan pasar yang tertib, aman, dan nyaman dari gangguan Kantibmas. 5. Teknisi Listrik Membantu kepala pasar dalam pemonitoran instalasi listrik, mengadakan perbaikan-perbaikan dan pelaporan-pelaporan agar selalu terjaga dari bahaya kebakaran. 6. Pembersih Pasar Membantu kepala pasar dalam rangka mewujudkan pasar yang berseri. commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Daftar nama staf Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta (untuk Pasar Klewer), sebagai berikut : 1. Totok Supriyanto
10. Sunyono
2. Agus Putradi
11. Dwi Adi Prihutomo
3. Sunarto
12. Darmawan Yulianto
4. Nur atika
13. Sugiyanto
5. Andri Hendrawan
14. Agus Siswoyo
6. Pardi Istanto
15. Muh. Syaebani
7. Sigit Purnomo
16. Martha Ariwibowo
8. Sudirna
17. Fajar Susilo
9. Sarno
F.
Perkembangan Pasar Klewer Pasar Klewer merupakan pusat sandang, baik berupa bahan tekstil dan produk tekstil dengan ciri khas unggulan kain batik. Pasar ini tidak hanya menjadi kegiatan usaha masyarakat kota Surakarta, tetapi telah menjadi pusat kegiatan usaha berskala nasional. Keberadaannya cukup terkenal sampai mancanegara, sehingga tidak salah jika Pasar Klewer mendapat
julukan
sebagai Pasar Proyek Tekstil Nasional. Selain itu, Pasar Klewer merupakan mata rantai perdagangan tekstil dan produk tekstil yang memiliki jaringan kegiatan dengan pusat-pusat perdagangan kain atau tekstil. Berbagai wilayah jaringan perdagangan itu tersebar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, dan kawasan lain di luar Pulau Jawa. commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pembangunan pertama kali Pasar Klewer, dikerjakan oleh kontraktor utama Sukamdani S. Gitosardjono, melalui perusahaan patungan ( Joint Venture), Antara New Sahid Builders milik Sukamdani dan perusahaan Negara Pembangunan Perumahan (PNPP) yang merupakan badan usaha milik Negara. Peletakan batu pertama sebagai dimulainya pembangunan dilakukan pada 8 Juni 1970, kemudian purna bangun Pasar Klewer diresmikan pertama kali pada tanggal 9 Juni 1971 oleh Presiden Soeharto yang pada saat itu, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke 50 tahun. Pembangunan Pasar Klewer tersebut, membutuhkan waktu kurang lebih 11 bulan. Pertama kali Pasar Klewer dibangun
terdiri dari sejumlah 1.370 kios sebagai lahan
berdagang dan sekarang, telah berkembang menjadi 2.114 kios di Pasar Klewer. Awal mula perkembangan sejarah Pasar Klewer, dimulai ketika masa pendudukan penjajahan Jepang di Indonesia. Keterpurukan akibat panjajahan berakibat hancurnya kondisi perekonomian bangsa. Masyarakat berada pada kondisi kekurangan, karena harga segala kebutuhan menjadi mahal, demikian pula akan kebutuhan sandang dan pangan sangat sulit di dapat. Akibat kondisi ekonomi buruk, maka sejumlah penduduk secara serabutan berjualan kain maupun pakaian jadi. Dimana saat itu, lokasi berjualannya masih di Stabelan, sebelah timur Pasar Legi ( Banjarsari). Asal kata “Klewer” sebagai nama Pasar berasal dari perilaku unik pedagang sandang di dalamnya. Klewer secara etimologi berasal dari bahasa jawa “ Kleweran” yaitu tergantung menjuntai karena memang awal cara menjajakan (menawarkan) dagangannya, para pedagang sandang ini commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menggantungkan dagangan di bahunya. Gantungan sandang tersebut dibuat menjuntai kedepan, sehingga berjuntaian dari beberapa dagangannya yang di gantungkan dalam ucapan kalimat bahasa jawa di sebut “pating klewer”, kemudian kalau menawarkan, ujung juntaian (kleweran) tersebut di kibaskan untuk menunjukkan dagangan pada pembeli yang lewat dan begitulah hilir mudik pedagang ketika menawarkan dagangan kepada calon pembeli. Juntaian dagangan terlihat terlihat “kleweran”, kata tersebut kemudian terabadikan menjadi penanda jaman menjadi Pasar Klewer hingga jaman sesudahnya. Demikianlah perjalanan dan perkembangan Pasar Klewer mengukuhkan diri sebagai pasar yang legendaris dan cukup berpengaruh bagi pertumbuhan ekonomi perdagangan. Pasar Klewer tumbuh menjadi salah satu icon Pusat Tekstil Nasional dengan omset penjualan mencapai milyaran rupiah setiap hari. Pasar Klewer telah berkembang dari komoditas tekstil tradisional sebagai unggulan, dan kini sudah menambah pada tren kebutuhan sandang maupun tekstil yang mengacu pada jamannya. Pasar Klewer menawarkan berbagai kebutuhan tekstil yang sangat lengkap dengan harga yang murah dibanding dengan pasar tekstil lain. Pasar Klewer sempat mengukuhkan diri sebagai pasar sandang di Asia Tenggara, khususnya tradisional. Laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan ekonomi berubah pesat, Pasar klewer menjadi daya tarik ekonomi masyarakat untuk mencari penghidupan di dalamnya. Kapasitas pasar sangat terbatas secara fisik, hingga kegiatan semakin padat dan terkesan overload. Bangunan fisik seakan tidak commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menampung lagi kegiatan di dalamnya dan persoalan berkembang semakin komplek karena mengalami polarisasi problem yang sulit terkendali. Beberapa tahun terakhir ini kondisi dan situasi Pasar Klewer sangat memprihatinkan baik di dalam pasar maupun di luar pasar. Setiap sudut pasar akan terlihat pemandangan yang terkesan sumpek, dan awut-awutan. Persoalan keamanan, kemacetan, meupun penyakit masyarakat lain mulai melingkupi dan menjadi problem keberadaan pasar, sehingga pasar terkesan kumuh, rawan macet dan kehilangan daya tarik penggunanya, karena kurang didukung oleh kenyamanan dan keamanan dalam berbelanja. Klewer telah menjadi economic space yang handal dan cukup diperhitungkan. Sehingga memiliki nilai ekonomi yang menjadi magnit pengusaha untuk berusaha dan berinvestasi di sana. Peluang ini dimanfaatkan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kota Surakarta. Sebagai upaya mengurangi problem keberadaan Pasar Klewer, untuk menciptakan kondisi dan situasi lebih nyaman dengan berubahnya jaman yang semakin modern, pemerintah kota Surakarta menggulirkan rencana renovasi Pasar Klewer dengan menggandeng investor. Keberadaan Pasar Klewer dan persoalannya bukan lagi sekedar persoalan pasar sebagai ruang ekonomi. Pasar Klewer sudah menjadi wilayah sosial dan budaya kota Surakarta. Upaya renovasi total oleh pemerintah dipahami belum memiliki kajian komperhenship oleh beberapa kalangan, bahkan mendapat reaksi penolakan cukup keras dari pedagang Pasar Klewer, sehingga sosialisasi yang dilakukan pemerintah tidak berjalan efektif, karena commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memiliki beberapa kekurangan implementatif hingga apa yang ada sekarang, Pasar Klewer masih bertahan sebagaimana kondisinya.
G.
Pengemis di Pasar Klewer Pengemis di Pasar Klewer, tidak tergabung dalam suatu organisasi tertentu, atau tidak terikat dengan suatu kelompok tertentu. Mereka mengemis secara individu, dan hasilnya pun untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, mereka (para pengemis) tersebut saling mengenal satu sama lain, dan ketika tidak sedang malakukan aksinya mereka berkumpul, istirahat, saling bercanda, bercerita, bertukar pengalaman. Dari situ peneliti melihat bahwa dari segi pendapatan, bisa dikatakan pengemis di Pasar Klewer mencari penghasilan sendiri-sendiri, dengan kata lain tidak diberikan pada ketua kelompok pengemis atau sejenisnya. Apa yang mereka dapat, seberapa besar yang mereka dapat, itulah hasil pendapatan yang mereka dapat. Tetapi, di sisi lain, mereka tidak jarang berkumpul bersama, bergerombol, ketika sedang tidak mengemis, atau bisa di sebut jam istirahat mereka. Pada saat istirahat itulah mereka gunakan untuk berkumpul bersama dengan sesamanya. Maka dari itulah diantara mereka saling mengenal satu sama lain. Selain itu, jika pengemis sedang beristirahat dan berkumpul dengan sesamanya, mereka tidak akan meminta sedekah pada orang yang lewat ketika itu. Mereka meminta sedekah pada calon dermawannya ketika mereka memulai kembali berkeliling.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
Pengemis di Pasar Klewer, ada yang mengemis tetap, dan ada yang tidak tetap, atau berdasarkan hari yang mereka tentukan sendiri. Misalnya pada hari Jum’at, pengemis yang datang melebihi hari biasanya. Pada hari biasa, peneliti mendapat informasi dari bagian kemanan pasar, serta dari pengurus Masjid Agung Surakarta yang setiap harinya berada di Pasar Klewer dan mengetahui keadaan sekitar pasar, bahwa pada hari biasa terdapat sekitar 10 hingga 20 pengemis tetap yang selalu mengemis tetap di Pasar Klewer. Pada hari Jum’at, pengemis yang datang bisa mencapai 50 orang bahkan lebih. Para pengemis di Pasar Klewer ada yang berasal dari dalam kota Surakarta, dan ada pula yang berasal dai luar kota Surakarta, seperti Klaten, Boyolali, Sragen, Kartosuro, dan Wonosegoro. Mengenai usia pengemis, rata-rata mereka berusia 50 tahun ke atas, yang kebanyakan didominasi oleh pengemis wanita. Dari jumlah pengemis tetap tersebut, biasanya dari mereka datang ke lokasi pada pagi hari, atau saat pasar buka, dan mereka pulang pada sore hari, saat pasar tutup. Pengemis tidak tetap, biasanya hanya mengemis sampai siang saja, dan sisa waktunya digunakan untuk mengemis di tempat lain. Pengemis yang dari pagi hingga sore menetap di pasar, mereka memulai aksinya di pagi hari, berkeliling, dan siangnya mereka gunakan untuk istirahat, setelah itu mereka kembali berkeliling kembali untuk mengemis. Dari hasil pengamatan peneliti, juga berdasarkan keterangan dari bagian keamanan Masjid Agung, bahwa pengemis tetap, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan pengemis yang tidak tetap. Paneliti mendapatkan 15 orang pengemis tetap, dengan menanyakan nama beserta asal mereka, dan dari 15 pengemis tetap tersebut peneliti mengambil 4 commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
orang yang menurut peneliti masuk pada kriteria informan, juga dapat memberikan informasi yang jelas untuk memperkuat data. Adapun daftar nama pengemis yang peneliti dapat dari masing-masing pengemis : No.
NAMA
ASAL
1.
Kasiman
Boyolali
2.
Ngatiyem
Kauman
3.
Sunarni
Sragen
4.
Sulasmi
Nusukan
5.
Slamet
Klaten
6.
Juminah
Kaliwingko
7.
Isah
Dawung
8.
Kusmiyati
Wonosegoro
9.
Sugiman
Boyolali
10.
Parinah
Kartosuro
11.
Waluyo
Kauman
12.
Sugeng
Ledoksari
13.
Lastri
Sragen
14.
Wartinah
Ledoksari
15.
Sajinem
Jebres
Tabel 1. Daftar Nama Pengemis
commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III SAJIAN DAN ANALISIS DATA
A.
Identitas Informan Dalam penelitian ini, tidak hanya mengambil informan dari pengemis saja akan tetapi calon dermawan. Dari semua pengemis yang di data, hanya 4 orang pengemis yang bisa mewakili semua pengemis yang ada di Pasar Klewer. Dibawah ini adalah identitas informan yang terdiri dari 4 orang pengemis dan 3 orang yang bukan pengemis. 1.
Informan Pengemis a.
b.
Nama Informan
: Slamet
Usia
: 56 tahun
Asal
: Klaten
Alamat Rumah/Tinggal
: Kauman
Status
: Duda (Cerai)
Jumlah Anak
:5
Nama Informan
: Sulasmi
Usia
: 51 tahun
Asal
: Minapade, Nusukan, Surakarta
Alamat Rumah/Tinggal
: Minapade, Nusukan, Surakarta
Status
: Janda (Cerai mati)
commit to user
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c.
d.
Nama Informan
: Isah
Usia
: 70 tahun
Asal
: Tanjung Anom, Pasar Dawung, Surakarta
Alamat Rumah/Tinggal
: Tanjung Anom, Pasar Dawung, Surakarta
Status
: Janda (Cerai mati)
Jumlah anak
:3
Cucu
:5
Nama Informan
: Juminah
Usia
: 69 tahun
Asal
: Kaliwingka
Alamat Rumah/Tinggal
: Kaliwingko
Status
: Janda (cerai mati)
Jumlah Anak
:1
2.
Informan Bukan Pengemis a.
b.
Nama Informan
: Supriyadi
Usia
: 48 tahun
Asal
: Joyotakan
Alamat Rumah/Tinggal
: Joyotakan
Pekerjaan
: Pedagang Pakaian di Pasar Klewer
Nama Informan
: Nur Hayati
Usia
: 43 tahun commit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c.
B.
Asal
: Madiun
Alamat Rumah/Tinggal
: Mojosongo
Pekerjaan
: Swasta
Status
: Pengunjung Pasar Klewer
Nama Informan
: Warsono
Usia
: 40 tahun
Asal
: Boyolali
Alamat Rumah/Tinggal
: Jayengan
Pekerjaan
: Keamanan Pasar Klewer
Pengelolaan Kesan Pengemis Apabila pengemis diberi sejumlah identitas, maka pengemis merupakan subjek yang melakukan suatu tindakan sosial, pengemis adalah aktor kehidupan, pengemis memiliki hidup yang penuh dengan makna simbolik, dan pengemis memerankan sebuah panggung drama kehidupan . Fenomena pengemis yang ada di Pasar Klewer, memang tidak jauh berbeda dengan pengemis yang ada di tempat-tempat lain, berciri yang khas, yakni berpakaian kusam, lusuh, compang-camping, serta dengan raut wajah yang jelas dibuatbuat supaya menimbulkan kesan yang pantas untuk dikasihani dan diberi sedekah. Di sisi lain, terlihat bagaimana ketika pengemis di Pasar Klewer berhadapan dengan calon dermawannya, dan meminta sedekah sangat berbeda dengan sebelum berhadapan, maka dari itu kejadian ini dianggap unik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
Sebagai tindakan sosial, perilaku pengemis secara subjektif memiliki karakteristik yang unik seperti apa yang digambarkan sendiri oleh pengemis, mereka mempunyai harapan sekaligus mereka memiliki cara, pandangan dan bentuk sendiri dalam mengkontruksi realitas mereka, seperti apa yang mereka inginkan. Pada sisi lain, interaksi diantara pengemis dan orang lain yang bukan pengemis, dibangun oleh sistem simbol atau lambang dengan makna tersendiri. Secara intersubjektif pengemis memilih lambang yang dapat digunakan untuk dapat berinteraksi di dalam sistem sosial mereka. Komunikasi yang dilakukan oleh pengemis di Pasar Klewer dibagi menjadi ke dalam dua pembahasan, yaitu bagaimana pengemis mengelola kesan secara verbal dan mengelola kesan secara nonverbal. Pengelolaan kesan menjadi topik penting dalam komunikasi yang dilakukan oleh pengemis, karena pada dasarnya pengelolaan komunikasi tiada lain adalah pengelolaan pesan melalui kesan (makna) yang disepakati bersama. Pengelolaan kesan didasarkan pada upaya yang secara sengaja dilakukan pengemis agar perilakunya diberi makna oleh orang lain seperti apa yang mereka inginkan.
1.
Pengelolaan Kesan Melalui Simbol Verbal Goffman mengasumsikan bahwa ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain, dia ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Upaya tersebut sebagai pengelolaan kesan, yaitu teknik yang digunakan pengemis untuk memupuk kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan wawancara commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan pengemis dan pengamatan atas perilaku mereka dengan sesama pengemis dan (calon) dermawan, maka komunikasi verbal menjadi penting juga dalam pengelolaan kesan yang mereka lakukan. Simbol verbal yang dikelola pengemis dalam melakukan aktivitasnya, dapat dibagi ke dalam dua peristiwa : a.
Peristiwa Komunikasi Dengan Sesama Pengemis Dan Anggota Komunitas Lainnya a.1. Bahasa Verbal Yang Digunakan Semua pengemis yang diteliti, menyatakan bahwa mereka tidak memiliki bahasa khusus ketika berkomunikasi dengan sesamanya, namun demikian, apabila diamati ketika mereka berbicara lebih dominan menggunakan bahasa daerah, seperti diungkapkan oleh Slamet, ketika diwawancara : “Nggih ngagem Jawa no mbak…wong bendinane ngageme Jawa…” (Ya pakai Jawa mbak, orang setiap harinya memakai Jawa) (Wawancara dilakukan dengan Slamet, di Pasar Klewer, pada tanggal 17 Juli 2011)
Mereka pada umumnya mengakui memakai bahasa daerah
sendiri,
yaitu
bahasa
Jawa,
karena
dengan
menggunakan bahasa daerah, tampaknya mereka lebih dapat mengekspresikan secara utuh apa yang mereka rasakan dan pikirkan.
Penggunaan bahasa daerah asal (Bahasa Jawa)
menjadi lebih dominan ketika bersama komunitas mereka. Berbeda dengan Sulasmi yang mempunyai alasan berbeda. commit to user
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Ngagem Jawa ngaten, biasa mawon, kula niku mboten saget kok mbak ngagem bahasa napa-napa, sagete nggih naming Jawa, sekolah mawon mboten rampung naming SD, kula niku mboten mudheng napa-napa mbak,”(memakai bahasa Jawa begitu, biasa saja, saya tidak bisa mbak memakai bahasa apa-apa, bisanya ya hanya Jawa, sekolah saja tidak selesai hanya sampai SD, saya itu tidak tau apa-apa mbak) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Sulasmi mengakui tidak tahu menahu tentang bahasa selain bahasa Jawa, karena SD pun dia tidak lulus, jadi, ketika mengemis dia menggunakan bahasa Jawa yang halus, tetapi ketika
berkomunikasi
dengan
teman
sesamanya,
dia
menggunakan bahasa Jawa yang biasa. Terlihat rata-rata pengemis di Pasar Klewer menggunakan bahasa Jawa karena tidak ada yang berasal dari luar daerah Jawa, hanya berasal dari luar kota yang masih masuk kawasan Jawa Tengah. Pendapat berikutnya adalah Isah, yang tidak berbeda jauh dengan Sulasmi. “Nggih ngagem Jawa dhen, kula mboten saget yen mboten ngagem Jawa…” (Ya memakai bahasa Jawa den, saya tidak bisa kalau tidak memakai bahasa Jawa) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Dari jawaban Isah tersebut, bahwa Isah tidak bisa menggunakan bahasa lain selain bahasa Jawa. Hal yang sama juga tidak berbeda dengan informan lain, Juminah, dirinya juga tidak bisa memakai bahasa lain selain bahasa Jawa. commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari ketiga informan tersebut, dapat dikatakan bahwa sebagian besar dari mereka (pengemis) menggunakan bahasa Jawa ketika sedang bersama diantara sesama pengemis atau komunitasnya, dengan alasan mereka tidak bisa atau tidak lancar menggunakan bahasa lain selain bahasa Jawa. Seperti menurut Larry L. Barker sebagaimana dikutip oleh Riswandi (2009:60), bahwa bahasa memiliki tiga fungsi, yaitu, fungsi penamaan; fungsi interaksi; dan fungsi transmisi informasi. Melihat dari ketiga fungsi tersebut, bersangkutan dengan cara pengemis menggunakan bahasa. Misalnya
saja, fungsi
interaksi, yaitu menekankan pada berbagai gagasan dan emosi yang dapat menghubungkan antara orang dengan orang lainnya, atau antara pengemis dengan sesamanya, misalnya saja ketika mereka bercerita, bercanda. Mereka melakukan fungsi bahasa, yaitu fungsi interaksi, dimana pengemis menyampaikan
berupa
gagasan
dan
emosinya,
dan
menghubungkannya dengan teman sesamanya, dengan bahasa yang mereka pahami. Menurut mereka, mereka lebih merasa nyaman dan leluasa saat menuangkan ide, gagasan, pendapat, atau gurauan, karena dapat mudah memahami dan dipahami dengan
persamaan
bahasa
yang
mereka
pakai
saat
berkomunikasi. Fungsi berikutnya, adalah fungsi transmisi informasi, dimana informasi dapat disampaikan kepada orang lain, secara commit to user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
langsung, maupun tidak langsung. Pengemis menyampaikan informasi melalui bahasa yang mereka pahami kepada teman sesamanya, karena dengan bahasa yang mereka pahami tersebut, lebih mudah untuk menyampaikan informasi terutama saat berada pada komunitasnya.
b. Peristiwa Komunikasi Dengan Calon Dermawannya Dalam peristiwa kedua ini, pengemis melakukan komunikasi verbal dengan calon dermawannya. Peristiwa komunikasi antara pengemis dengan calon dermawannya dibagi ke dalam dua sesi. Sesi pertama, ketika mereka pertama kali menemui calon dermawan untuk mendapatkan sedekah, sedangkan sesi kedua setelah selesai bertemu dengan calon dermawannya (terlepas memberi atau menolak untuk memberi sedekah). b.1
Pilihan Kata Yang Digunakan Pengemis mempunyai pilihan kata masing-masing untuk menarik simpati
calon dermawannya, dengan bahasa atau
menggunakan pilihan kata-kata pembuka yang sopan, halus, dan lirih. Seperti yang diungkapkan oleh Isah : “Naming ngaten, kula paringi dhen, kalih ngagem mangkok niki..” (Hanya begini, saya dikasih den, menggunakan mangkok ini) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Pendapat lain juga diungkapkan oleh Sulasmi, dengan commit to berbeda user pilihan kata yang sedikit dengan Isah :
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Kula Lenggahan mawon, ngatungke adah, kalih matur nyuwun Bu..nyuwun Pak..sedekahe Bu..sedekahe Pak..ngaten mawon..” (Saya duduk saja, memberikan wadah, minta Bu..minta Pak..sedekahnya Bu..sedekahnya Pak..begitu saja) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Selain itu, Juminah mempunyai pilihan kata sendiri yang diucapkan ketika sedang meminta sedekah, seperti berikut : “Nggih ngaten, mature kulanuwun bu..assalamualaikum, mugi diparingi sehat, lancar, berkah, kula yen nyuwun ngaten kula dongani dik..” (Ya begini, bu, assalamualaikum, semoga diberi sehat, lancar, berkah, saya kalau minta begini saya doakan dik) (Wawancara dilakukan dengan Juminah, di Pasar klewer, pada tanggal 10 Agustus 2011)
Begitu pula dengan Slamet, yang juga mempunyai pilihan kata dan bahasa yang sehari-hari digunakannya, sebagai berikut : “Matur paringi bu..paringi pak…mangke sing maringi pun nyemplungi arta ten ember niki..” (Dikasih bu, dikasih pak, nanti yang memberi uang sudah memasukan uangnya di ember ini) (Wawancara dilakukan dengan Slamet, di Pasar Klewer, pada tanggal 17 Juli 2011)
Pada sesi pertama ini, pengemis mengelola kata-kata pembuka yang dipakai saat berhadapan dengan calon dermawannya, dengan harapan mereka mendapat respon dan akhirnya mendapat sedekah. Dari cara pengemis meminta pada calon dermawannya tersebut, adakalanya mendapat reaksi dari calon dermawan, dan bahkan tidak mendapat reaksi sama commit to user
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sekali dari calon dermawannya. Pada saat meminta, pengemis sebisa mungkin menata kata-kata, bahasa verbal yang digunakan secara sopan dan halus, jika mendapat respon, mereka akan sangat senang, dan sebaliknya jika mereka tidak mendapatkan respon, mereka ada yang kecewa, atau mungkin menerima dengan lapang dada. Setelah sesi pertama tersebut selesai, masuklah pada sesi kedua, yaitu ketika pengemis sudah mendapatkan sedekah dan ketika tidak mendapatkan sedekah. Seperti yang diungkapkan oleh juminah : “ Nggih matursuwun ngaten, kalih kula dongani, muga berkah, tambah rejekine, ngaten, kula niku diparingi pun alhamdulillah banget dik..”( Ya terimakasih begitu, sambil saya doakan, semoga berkah, tambah rejekinya , saya kalau diberi sudah Alhamdulillah sekali dik) (Wawancara dilakukan dengan Juminah, di Pasar Klewer, pada tanggal 10 Agustus 2011)
Pendapat lain diungkapkan oleh Sulasmi, seperti berikut “Nggih matursuwun ngaten, sok nggih matur sembah suwun bu, pak..”(Ya terimakasih begitu, kadang terimakasih sekali bu, pak) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Berbeda dengan pengemis yang tidak mendapat respon dari calon dermawan, seperti yang diungkapkan oleh Slamet : “Nggih mendel mawon, mboten napa-napa, biasa mawon, wong kula niku mboten ate mekso napa melih nesu mbak, sak paringane ngaten yen kula..”(Ya diam saja, tidak apa-apa, biasa saja orang saya itu tidak pernah commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memaksa apalagi marah mbak, sedikasihnya saja kalau saya) (Wawancara dilakukan dengan Slamet, di Pasar Klewer, pada tanggal 17 Juli 2011)
Berbeda dengan Slamet, Isah mempunyai pendapat sendiri ketika tidak
mendapatkan sedekah
dari
calon
dermawan, sebagai berikut : “Kula mendel mawon, mboten nesu..gelo niku nggih mesti enten dhen, tur nggih pripun kula nggih trima mawon..diparingi pun alhhamdulillah...” (Saya diam saja, tidak marah..kecewa itu pasti ada Den, tapi ya bagaimana saya ya terima saja di kasih sudah alhamdulillah..) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar Klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Dari
keterangan
diatas,
secara
verbal,
pengemis
mengekspresikannya melalui permintaan langsung (begging), atau secara tidak langsung melalui ucapan salam (greeting).
b.1
Bahasa verbal yang digunakan Mengacu pada fungsi bahasa seperti yang diungkapkan oleh Larry L. Barker, penggunaan bahasa verbal (berupa ucapan) yang digunakan sebagian besar adalah bahasa daerah (Jawa), baik ketika berhadapan dengan calon dermawan, atau dengan teman sesama pengemis, tergantung penempatannya. Seperti yang dikatakan oleh Supriyadi sebagai berikut : “Setahu saya ya bahasa krama mbak, Jawa krama, alus begitu, jarang saya itu dengar pengemis disini pakai bahasa Indonesia, ya kebanyakan Jawa mbak kalau commit to user minta-minta disini”.
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(Wawancara dilakukan dengan Supriyadi, di Pasar Klewer, pada tanggal 20 Juli 2011)
Menurut
Supriyadi,
ketika
sedang
berhadapan
dengannya, umumnya mereka menggunakan bahasa Jawa yang halus, agar terlihat menghormati, dan menggunakan bahasa Jawa yang biasa ketika berada pada komunitasnya. Rata-rata diantara mereka cenderung menggunakan permintaan langsung (begging) untuk meminta sedekah kepada calon dermawannya, dan tidak banyak yang menggunakan permintaan tidak langsung seperti ucapan salam (greeting), walaupun ada. Pendapat yang sama diungkapkan oleh Nur hayati, yaitu pengunjung pasar, walaupun sedikit tetapi mempunyai alasan lain dari calon dermawan sebelumnya. “Bahasanya ya bahasa Jawa mbak setahu saya, jadinya nanti lucu kalau pakai bahasa Indonesia, kalau kata saya sih begitu mbak”. (Wawancara dilakukan dengan Nur Hayati, di Pasar Klewer, pada tanggal 20 Juli 2011)
Menurut Nur Hayati, pengemis menggunakan bahasa Jawa pada umumnya, karena berada di Jawa, berhadapan dengan orang Jawa, Nur berpendapat lucu jika nanti pengemis menggunakan bahasa Indonesia.
2.
Pengelolaan Kesan Melalui Simbol Nonverbal Upaya pengelolaan kesan melalui simbol nonverbal yang dilakukan commit to user pengemis di Pasar Klewer lebih dominan daripada upaya secara verbal.
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terdapat beberapa simbol nonverbal yang ditemukan dalam konteks komunikasi
pengemis
dengan
sesama
mereka
dengan
calon
dermawannya. Terdapat beberapa simbol nonverbal yang dikelola pengemis di Pasar Klewer dalam memberi kesan kepada calon dermawannya, yaitu pada perilaku tubuh yang meliputi : a.
Isyarat dan gerakan tubuh
b.
Penampilan
c.
Ekspresi wajah
d.
Parabahasa
Keempat kelompok simbol nonverbal tersebut dapat diamati dari setting-nya baik untuk front stage (panggung depan) maupun back stagenya (panggung belakang), seperti apa yang di katakan oleh Goffman, bahwa dalam interaksi sosial mereka dimainkan ibarat pertunjukan teater di atas panggung.
a.
Isyarat dan Gerakan Tubuh Bahasa Isyarat paling banyak digunakan pengemis dalam mengelola kesan untuk sebuah permintaan sedekah, sebagai pelengkap bahasa verbal yang mereka pakai. Hal yang umum dipakai adalah dengan ‘menengadahkan tangan’, selain itu alat pendukung lain dengan menggunakan alat, seperti gelas plastik, mangkok, rantang, atau ember kecil. Slamet misalnya menjelaskan, lebih baik menggunakan ember kecil dengan diikatkan pada kursi commit to user
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rodanya, supaya orang lain bisa langsung memasukkannya ke dalam ember kecil tersebut, tanpa harus menengadahkan tangannya.
“ Nggih pripun nggih mbak...yen tangan lak mesti saben enten sing liwat niku kudu ngatungke mbak, tapi yen ngagem adhah ngaten kaya ember ngaten tiyang lak pun ngertos piyambak, ajeng nyemplungi napa mboten ngaten, pun ngertos yen kula niki ngemis, lak ngaten tha mbak..”(Ya bagaimana mbak...kalau tangan itu pasti setiap ada yang lewat harus menengadah mbak, tapi kalau pakai wadah begini seperti ember ini orang nanti sudah tau sendiri, akan memberi sedekah atau tidak, sudah tahu kalau saya ini mengemis, kan begitu mbak) (Wawancara dilakukan dengan Slamet, di Pasar Klewer, pada tanggal 17 Juli 2011)
Pendapat lain diungkapkan oleh Sulasmi, yang tidak jauh berbeda dengan Slamet : “ Lha nggih ngaten...wong yen ngge adhah kan kajenge penak mawon mbak..” (Ya begini... kalau pakai wadah supaya enak saja mbak) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Selain itu, Isah mempunyai jawaban sendiri mengenai cara meminta sedekah pada calon dermawannya: “ Lha nggih ngaten, yen nyuwun kula ngagem tangan ngaten, terus kula cemplungke piyambak ten mriki..”(Ya begini, kalau meminta saya memakai tangan begini, terus saya masukkan sendiri ke sini) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar Klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Berbeda dengan Juminah, yang malu jika menggunakan alatalat pelengkap untuk mengemis, dia menjelaskan bahwa dia lebih commit to user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
senang jika memakai tangan atau menengadahkan tangannya, karena bisa lebih menghargai orang lain atau calon dermawannya. “Alaah…ngaten mawon dik…kula malah isin yen ngagem gelas napa adah-adah ngaten, yen ngagem tangan lak ketok ngajeni uwong,, sing sae yen nyuwun niku, sopan, nyembah nyuwun, tur nggih sing alus mature dik...” (Alaah…begini saja dik, saya malu kalau memakai gelas atau wadah-wadah begitu, kalau memakai tangan itu terlihat menghargai orang, kalau meminta itu yang baik, sopan, tapi ya yang halus bicaranya dik) (Wawancara dilakukan dengan Juminah, di Pasar Klewer, pada tanggal 10 Agustus 2011)
Pengemis di Pasar Klewer berbeda-beda dalam menampilkan dirinya, yaitu dengan cara mereka sendiri, tetapi intinya sama dengan maksud untuk mengambil simpati para calon dermawannya, dengan menampilkan ‘panggung depannya’ sedemikian rupa, sebagus mungkin. Isyarat dalam mengemis ini, menurut dramaturgi Goffman merupakan manner (gaya). Gaya ini adalah bagian dari personal front.
Jadi,
pengemis
sudah
mempersiapkan
dirinya
untuk
memerankan diri sebagai seorang pengemis melalui isyarat menengadahkan tangan atau menyodorkan sebuah wadah. Hal itu terjadi di ‘panggung depan’ yang tidak pernah mereka lakukan di’panggung
belakang’,
kepada
sesama
pengemis
atau
komunitasnya. Goffman membagi kehidupan sosial ke dalam dua wilayah, yang pertama wilayah depan (front region), yaitu tempat atau peristiwa sosial yang memungkinkan individu menampilkan peran formal atau bargaya layaknya aktor yang berperan. Wilayah ini, disebut juga ‘panggung depan’, yang kedua adalah wilayah commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
belakang (back region), yaitu tempat untuk mempersiapkan perannya di wilayah depan. Goffman membagi panggung depan tersebut menjadi dua bagian : front pribadi (personal front) dan setting. Setting yakni situasi fisik yang harus ada ketika aktor harus melakukan pertunjukan . Sebagai contoh, dokter memerlukan kamar operasi, dalam bahasan ini adalah pengemis yang memerlukan tempat dimana mereka akan melakukan aksinya, seperti Pasar Klewer, adalah tempat pengemis tersebut untuk menampilkan dirinya di depan calon dermawannya. Front pribadi yaitu terdiri dari alat-alat yang dianggap khalayak sebagai perlengkapan aktor ke dalam setting, yang dimaksudkan disini adalah perlengkapan pengemis, atau alat-alat yang digunakan oleh pengemis sebagai pelengkap setting mereka yang berupa gelas plastik, ember kecil, tongkat, kursi roda, dan lain sebagainya. Mengenai isyarat dan gerakan yang dilakukan oleh pengemis, sebagaimana yang dikatakan oleh Cangara, bahwa gerakan tubuh (kinesics) terdiri dari emblem, illustrator, affect displays, regulators, dan adaptory, yang mana kelima macam gerakan tubuh tersebut, merupakan gerakan yang sering dilakukan oleh pengemis ketika berada di ‘panggung depan’, mungkin secara sadar atau tidak sadar pengemis melakukan gerakan-gerakan tubuh tersebut ketika diamati. Gerakan yang khas dan umum yang terlihat selama pengemis di teliti adalah gerakan secara pelan-pelan, lamban, menganggukkan kepala seraya mengucapkan terimakasih, menunduk, dan sebagainya. commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Penampilan Goffman menyebutkan appearance atau penampilan bagian daripada personal front. Seperti juga bahasa nonverbal lainnya, bahasa penampilan dibagi menjadi dua, yaitu : b.1. Penampilan Karena Bukan Direncanakan Penampilan ini maksudnya adalah penampilan yang tidak dibuat-buat oleh pengemis, bersifat permanen. Misalnya : cacat dari lahir, kecelakaan yang fatal, dan sebagainya. Selama penelitian, ditemukan beberapa pengemis di Pasar Klewer berpenampilan karena bukan direncanakan, ketika ditanyakan langsung kepada salah satu informan, Slamet, dia bercerita bahwa dia mengemis menggunakan kursi roda karena kecelakaan fatal yang mengakibatkan kakinya tidak bisa untuk berjalan, maka dari itu setiap mengemis, Slamet hanya duduk terus-menerus di kursi rodanya. “Riyin pernah dhawah, tabrakan, patah tulang, pun mboten saget kerja napa-napa, dadose nggih namek ngaten, ngemis..” (dulu pernah jatuh, kecelakaan, patah tulang, sudah tidak bisa bekerja apa-apa..jadinya ya hanya seperti ini, mengemis..) (Wawancara dilakukan dengan Slamet, di Pasar Klewer, pada tanggal 17 Juli 2011)
Slamet dialaminya
semakin terbuka dengan tentang apa yang dan bagaimana kehidupannya setelah menjadi
pengemis. Memang benar dia tidak bisa berjalan, maksudnya kalaupun bisa berdiri atau berjalan, dia hanya mengandalkan commit to user apa yang ada di dekatnya untuk berpegangan agar tidak jatuh
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan untuk membantunya berdiri. Slamet
mengatakan jika
ingin turun dari kursi roda itu ketika akan tidur saja. Selama penelitian, Slamet memang cenderung lebih tenang di banding teman sesamanya yang lain, dari segi pakaian yang dikenakan ketika mengemis, dia mengakui bahwa tidak mengganti pakaiannya, karena tidak memiliki pakaian yang khusus digunakan untuk mengemis, yang dipakai untuk mengemis adalah pakaian harian yang dia miliki. Begitu pula dengan informan lain,
Juminah, tidak beda jauh dengan Slamet.
Juminah mengakui tidak memiliki pakaian khusus untuk mengemis, yang dipakai saat mengemis adalah pakaian yang sehari-harinya dia pakai. Juminah juga menceritakan kepada peneliti tentang dirinya, keluarganya, dan keadaannya yang tidak memiliki mata yang sempurna, atau bisa disebut dengan katarak. Memang, dari segi penampilan saat berada di panggung depan, atau di depan calon dermawan, Juminah berpenampilan apa adanya, dan tidak ada yang dia buat-buat. “Mboten gadhah kula, yen ngemis nggih ngaten mawon, asal sing resik mawon, mboten klumbrak-klumbruk, kula malah mboten seneng ngateniku dik, pun biasa mawon ngaten, sak gadhahe…wong gadhahe kula niku ngaten dik elek-elek ngaten, nggih napa bedhane kalih salin napa mboten..” (Saya tidak punya, kalau mengemis ya seperti ini saja, asal yang bersih saja, tidak semrawut, saya malah tidak suka seperti itu dik, sudah biasa saja, sepunyanya, orang punyanya saya itu begini dik jelekjelek begini, ya apa bedanya sama ganti atau tidak) (Wawancara dilakukan dengan Juminah, di Pasar Klewer, pada tanggal 10 Agustus 2011) commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari cerita Juminah, terlihat Juminah lebih sering mengelola kesan dengan lebih memperlihatkan bahasa verbalnya di banding dengan nonverbalnya, karena secara penampilan pun, Juminah terlihat apa adanya, bahkan tidak terlihat kumal. Menurut Juminah, kalau sedang mengemis tidak suka dengan gaya yang “klumbrak-klumbruk”, karena tidak enak jika dilihat orang lain, atau calon dermawannya, dari situlah dia berpendapat jika orang lain sudah tidak enak melihat dirinya, maka orang lain akan enggan pula memberi sedekah padanya.
b.2. Penampilan Karena Direncanakan Penampilan karena direncanakan ini maksudnya adalah penampilan yang cenderung dibuat-buat oleh pengemis ketika berada di depan calon dermawannya, atau ketika mereka sedang menampilkan dirinya layaknya seorang pengemis. Misalnya : pura-pura pincang, memakai pakaian lusuh dan kumal, jalan tertatih-tatih, diverban, dan sebagainya. Seperti informan lain, Sulasmi, ketika peneliti berbincang cukup banyak dengannya, lama-lama Sulasmi bisa membuka dirinya dan menceritakan tentang dirinya, baginya mengemis itu adalah sebuah pekerjaan yang harus memiliki ‘pakaian’ khusus untuk melakukan pekerjaan itu yaitu mengemis. Sulasmi mengatakan, tidak layak disebut pengemis atau tidak pantas commit to user
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
disebut pengemis apabila pakaian yang dikenakan itu tidak selayaknya seperti pengemis yaitu terlihat kumal dan lusuh. “Nggih, gadhah yen ra kalih nggih tiga, klambi ngge ngemis piyambak, klambi ngge arisan piyambak, klambi ngge jagong piyambak, nggih sok ganti sok mboten ngaten…”(Ya, punya kalau tidak dua ya tiga, baju untuk ngemis sendiri, baju untuk arisan sendiri, baju untuk kondangan sendiri, ya kadang ganti, kadang tidak, begitu…) (Wawancara dilakuka dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Sulasmi mengakui bahwa dia mengganti pakaiannya ketika masih dirumah atau sebelum berangkat ke Pasar Klewer, dengan alasan dia tidak enak kalau nanti terlihat orang atau diketahui oleh orang lain selain sesamanya. “Nggih ten ndalem ngaten mbak, sederenge mriki niku kula pun gantos ngagem klambi elek-elekan ngge ngemis ngaten, yen gantos ten mriki niku gantos ten pundi mbak, mengke yen ketok uwong lak kula mboten penak tha mbak..”(Ya di rumah begitu mbak, sebelum kesini saya sudah mengganti memakai baju yang jelek buat ngemis begitu, kalau ganti disini itu ganti dimana mbak, nanti kalau kelihatan orang kan saya jadi tidak enak kan mbak) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Memang, secara fisik, Sulasmi tidak ada kekurangan apapun, dia seperti orang biasa pada umumnya, badannya pun terlihat sehat. Sulasmi juga bercerita ketika berangkat menuju Pasar Klewer, dia menggunakan angkutan umum, karena rumahnya lumayan jauh dengan Pasar Klewer. Tidak jauh beda dengan Isah, yang juga mengganti pakaiannya ketika akan commit mengemis. Isah punto user membagi ceritanya, bahwa ketika
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berangkat mengemis, Isah diantar oleh cucunya dengan menggunakan becak, lalu ketika akan pulang ke rumahnya, Isah kembali di jemput oleh cucunya. “Wonten, naming gadhah kalih, yen ajeng mangkat mriki (ngemis) kula gantos riyin, mangke yen pun ten ndalem nggih gantos melih..” ( Ada, hanya punya dua, kalau mau berangkat ngemis saya ganti dulu, nanti kalau sudah di rumah ganti lagi) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar Klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Isah berpendapat, kalau mengemis itu memakai pakaian yang bagus, nanti orang lain yang melihat akan berpendapat bahwa dia tidak layak mengemis karena terlihat seperti orang yang mampu, dan tidak terlihat seperti orang yang kekurangan. Isah mengatakan juga, niatnya adalah untuk meminta sedekah, jadi bagaimanapun harus berpenampilan layaknya orang yang akan meminta sedekah agar mendapat belas kasihan dari calon dermawannya. Mengenai penampilan, dengan melihat kembali teori dramaturgi milik Erving Goffman, bahwa penampilan adalah bagian dari ‘atribut’ atau pelengkap bahkan syarat utama aktor dalam memainkan drama ketika berada di depan khalayak, begitu pula dengan pengemis. Pengemis berpenampilan bagaikan seorang aktor yang akan memainkan drama. Penampilan tersebut sebagai pelengkap setting saat pengemis berada di ‘panggung depan’ atau ketika berhadapan dengan commit to user calon dermawannya.
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Konsep cermin diri Cooley, sebagaimana dikutip oleh Ritzer (2007:295), dapat dirinci menjadi tiga komponen. Pertama, kita membayangkan bagaimana penampilan di mata orang lain. Kedua, kita membayangkan apa yang seharusnya mereka nilai berkenaan dengan penampilan kita. Ketiga, kita membayangkan semacam perasaan diri tertentu seperti rasa harga diri atau rasa malu, sebagai akibat dari bayangan kita mengenai penilaian oleh orang lain. Konsep cermin diri ini berkaitan dengan presentasi diri dari Goffman. Seperti konsep dari Cooley tersebut sebelumnya, dalam bahasan ini, pengemis mengelola kesan dalam berpenampilan dan mempresentasikan dirinya ketika berada di ‘panggung depan’, dengan tujuan orang lain dapat menangkap dan memaknai penampilan mereka sebagai pengemis, begitu pula pengemis mengharap orang lain seharusnya berpendapat apa terhadapnya. Seperti Sulasmi dan Isah, kedua informan ini, harus berganti pakaian dahulu sebelum melakukan aksinya, mengemis. Tindakan Sulasmi dan Isah
tersebut, dapat dikatakan bahwa mereka
telah mempersiapkan dirinya sebelum menampilkan dirinya di ‘panggung depan’, dengan mengganti pakaiannya. Keduanya mempunyai pakaian khusus untuk mengemis dan berbeda dengan pakaian yang dipakai sehari-hari atau ketika berada di ‘panggung belakang’. commit to user
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Konsep diri Cooley sangat tepat untuk menjelaskan apa yang dilakukan Sulasmi dan Isah. Sulasmi cenderung tidak enak hati, malu, terhadap orang lain apabila melihat dirinya berganti pakaian saat akan mengemis. Sulasmi mengakui memiliki pakaian khusus yang digunakan untuk mengemis, dan dirinya berpendapat bahwa ketika akan mengemis harus berpakaian yang selayaknya untuk mengemis, dengan tujuan supaya orang lain menangkap bahwa dirinya adalah seorang pengemis dan ini masuk pada konsep diri Cooley yang pertama. Sulasmi dalam berpenampilan sebagai pengemis bukan pakaian yang dipakai sehari-hari ketika sedang tidak mengemis, karena sulasmi berpikir bahwa orang lain akan mengatakan dirinya tidak layak menjadi pengemis jika pakaian yang dipakai terlihat bagus, seperti konsep diri Cooley yang ketiga. Sedikit berbeda dengan Isah, yang berganti pakaian dirumah karena ada yang membantunya mempersiapkan segalanya sebelum mengemis. Selain itu, Isah berpendapat sama dengan Sulasmi mengenai penampilan saat mengemis. Intinya,
keduanya
ingin
memperlihatkan
melalui
penampilannya, agar terlihat seperti pengemis dan layak untuk diberi sedekah.
commit to user
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c.
Ekspresi Wajah Ada tiga macam tentang wajah. Pertama, adalah wajah “yang sebenarnya”, wajah yang dibawa sejak lahir. Kedua, wajah yang kita manipulasi bila kita mau, misalnya tersenyum, berkedip, cemberut, dan lain sebagainya. Ketiga, kita memiliki wajah yang berubah oleh sekeliling kita dan pesan yang kita terima. Ferraro lebih lanjut menekankan pentingnya ekspresi wajah dengan menyatakan bahwa wajah merupakan pusat dari proses komunikasi, sehingga manusia kadang berbicara “wajah ke wajah”. Wajah adalah alat yang sangat penting dalam menyampaikan makna. Mengamati wajah pengemis, dalam memerankan perannya untuk dapat mengungkapkan emosi didalamnya sangatlah tidak mudah. Peneliti membatasi pengamatan, yaitu hanya melihat apa yang tampak pada diri pengemis dengan ekspresi wajahnya ketika melakukan
aktivitas
mengemis.
Selama
penelitian,
dengan
mengamati tingkah-laku pengemis dengan raut wajah, atau ekspresi wajah yang penuh dengan kesedihan. Rata-rata dari apa yang terlihat, pada awalnya, sebelum pengemis bertemu dengan calon dermawannya, ekspresi wajah pengemis yang ditampilkan sangat biasa, tidak ada raut yang sedih apalagi ketika sedang berkumpul dengan teman sesamanya, terlihat jauh beda. Perbedaan ekspresi wajah tersebut sangat cepat terjadi, dan sepertinya mereka mudah membuat kesan ekspresi wajah mereka, dengan cara mereka, sesuka mereka. Salah satu informan, Juminah ketika berkeliling memintacommit to user
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
minta kepada pedagang dan penjual di Pasar Klewer, terlihat cara berjalan Juminah yang cenderung melamban, dengan menunduk, dan membuat raut mukanya sedih, seperti meminta pertolongan agar diberi sedikit sedekahnya. Setelah itu, Juminah kembali berjalan ke tempat berikutnya, dan begitu pula seterusnya. Juminah mengaku malu ketika mengemis diikuti oleh orang lain. Ketika mengikuti Juminah berjalan ke tempat berikutnya, Juminah kembali bercerita dengan ekspresi wajah yang berbeda ketika dia meminta kepada penjual dan pedagang pasar. Dia bercerita dengan raut wajah yang ceria, kadang di selingi tertawa kecil. Tetapi memang pada dasarnya Juminah mengakui bahwa dirinya tidak suka mengeluh, ataupun menggerutu. Cerita lain, ketika sedang duduk-duduk di samping salah satu informan, Slamet, dengan mengamati selama penelitian, Slamet memang cenderung pendiam dan tidak banyak bicara jika tidak ada yang mengajaknya bicara, akan tetapi pembawaan diri Slamet ramah kepada orang yang mengajaknya bicara. Terlihat perbedaan ekspresi wajah Slamet ketika sedang bercerita dengan selain calon dermawan, dan ketika di depan calon dermawan atau ketika ada orang lewat di depan Slamet. Ekspresi yang tadi didapati terlihat biasa saja, bahkan diselingi tertawa, dan ketika ada orang lain lewat di depannya, seolah orang lain yang mengajaknya bicara diacuhkan oleh Slamet dan ekpresi wajahnya menjadi memelas. Begitu mengherankan saat melihat Slamet yang begitu drastis akan perubahan ekspresi commit to user
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
wajahnya ketika berhadapan dengan selain calon dermawan. Setelah selesai
memainkan
‘panggung
depan’nya,
Slamet
kembali
berbincang kembali, dan begitu seterusnya. Selain itu, informan lain, yaitu Isah. Dari segi fisik, Isah sudah masuk kategori tua bahkan usia lanjut. Walaupun begitu, Isah tetap bisa diteliti dan mudah memberikan informasi dengan jujur dan apa adanya. Ketika melihat Isah saat berhadapan dengan calon dermawan, Isah cenderung banyak diam, dan hanya bicara sedikit ketika akan meminta sedekah. Melihat Isah saat meminta, dia mengerutkan kening, dengan mengucapkan kata-kata verbalnya yang didukung oleh ekspresi wajahnya yang memelas. Jika ditanya, mengapa demikian, Isah cenderung tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata, hanya mengatakan, “biasa mawon, nggeh ngateniki”
tetapi
Isah
tidak
menyadari
apa
yang
sedang
dilakukannya itu mengandung makna simbolik, yaitu perubahan ekspresi wajah ketika berhadapan dengan calon dermawannya, dan ketika berada diantara teman sesamanya, juga terhadap. Bukan hanya Isah saja yang demikian, bahkan informan lain mengatakan sama dengan apa yang Isah katakan. Melihat kembali teori dari Goffman, ekspresi wajah adalah salah satu pendukung dari bahasa verbal seseorang untuk mengelola kesan dan mempresentasikannya di depan orang lain. Seperti pemain drama ketika harus berakting dengan memainkan wajah yang mengandung makna tersendiri. Misalnya saja ekspresi wajah yang commit to user
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sinis, melotot, menandakan bahwa aktor tersebut berperan menjadi antagonis yang berperilaku jahat, dan apabila ekspresinya kuyu, sedih, menandakan aktor tersebut memerankan tokoh yang tertindas yang perlu dikasihani. Seperti halnya pengemis, dalam bahasan ini adalah sebagai pelaku komunikasi yang mengelola kesannya meliputi isyarat dan gerakan tubuh, penampilan, juga ekspresi wajah, yang mana sebelum mempresentasikan dirinya didepan calon dermawan (panggung depan), sudah dipersiapakan dan dikelola sedemikian rupa ketika masih berada di ‘panggung belakang’, agar bisa menampilkan dirinya dengan sebaik mungkin, dan mendapat respon dari calon dermawan.
d. Parabahasa Dalam parabahasa, jika dilihat cenderung dan identik dengan komunikasi secara verbal, karena menggunakan kata-kata, nada suara, juga intonasi. Akan tetapi , aspek-aspek tersebut harus dianggap sebagai dari komunikasi nonverbal, yang menunjukan kepada kita bagaimana perasaan pembicara. Mengenai pesannya, apakah ia percaya diri, gugup, sedih, senang, menggerutu, atau menunjukan aspek-aspek emosional lainnya, dengan mengambil salah satu dari bentuk parabahasa tersebut yang sesuai dengan apa yang peneliti lihat ketika pengemis menggunakannya, yaitu dari segi kualitas vokal, salah satunya adalah nada suara. commit to user
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d.1.
Nada Suara Nada suara, umumnya di pakai pengemis menyertai ucapan verbal ketika bertemu dengan calon dermawannya. Misalnya ketika mereka mengucapkan “assalamualaikum”, “paringi dhen”, dan sejenisnya suara mereka memelas, suara mereka biasanya menjadi lemah lembut, dan lirih. Pada penampilan panggung depan, ketika berhadapan dengan calon dermawan, hampir semua pengemis menunjukan nada suara yang lemah lembut, halus, dengan intonasi rendah dan panjang. Tetapi ketika di panggung belakang, atau sedang bersama dan berkumpul dengan teman sesama pengemis lainnya, nada memelas, halus tersebut menghilang. “Yen kula niku biasane nyuwun sing alus mbak yen nyuwun niku, kajenge uwong niku nggih maringi, lha cobi yen nyuwune kula mboten apik-apik, alus, uwong lak wegah tha mbak yen ajeng maringi, ngaten mawon..paringi sithik, radi kathah, kula tompo..”(kalau saya itu biasanya meminta yang halus mbak kalau meminta itu, agar orang mau sedekah, coba kalau mintanya tidak baik-baik, tidak halus, orang kan pasti tidak mau kalau ingin sedekah, begitu saja..diberi sedikit, agak banyak, saya terima..) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Dari wawancara tersebut Sulasmi menganggap bahwa meminta secara halus itu akan menimbulkan simpati bagi calon dermawannya, dan apabila tidak secara halus, maka calon dermawannya pun tidak akan memberi sedekah padanya. Begitu pula dengan Isah, sedikit berbeda ceritanya. commit to user
90 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“ Biasa ngaten, mboten pripun-pripun, kula niki pun sepuh, suarane nggih sok cetho, sok mboten, serak ngaten lhe dhen..dadose nggih sok meneng kalih ngatung ngaten, mengkeh tiyang niku pun dha maringi, sing pun kenal kalih kula niku pun bendinten maringi ngaten, lawong pun ngertos, pun kenal..”(biasa begini, tidak dibuat-buat, saya itu sudah tua, suaranya ya kadang jelas, kadang tidak, serak begitu dhen..jadinya ya kadang diam sambil menengadah begitu, nanti orang itu sudah memberi, yang sudah kenal dengan saya itu sudah setiap hari memberi begitu, orang sudah tau, sudah kenal..) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar Klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Isah mengakui bahwa dia sudah tua dan suaranya kadang-kadang terasa serak, dan kadang tidak jelas, jadi suaranya terdengar lirih, pelan, dan cenderung bergetar-getar, tatapi ketika suaranya normal dan tidak sedang serak, Isah mengatakan bahwa jika meminta pada calon dermawannya dengan cara yang halus. Juminah tidak jauh berbeda dengan Sulasmi dan isah, hanya perbedaanya adalah Juminah cenderung banyak bercerita dan periang daripada temanteman sesamanya. “Nggih ngaten, mature kulonuwun Bu..assalamualaikum, mugi diparingi sehat, lancar, berkah, kulo yen nyuwun ngaten kula dongani dik,nggih kaya ngaten mawon, mboten saget bahasanan dik, ngathung ngagem tangan ngaten nggean..” (Ya begini, Bu..assalamualaikum, semoga diberi sehat, lancar, berkah, saya kalau meminta begini saya doakan dik, ya seperti ini saja, tidak bisa berbahasa dik, meminta pakai tangan begini saja) (Wawancara dilakukan dengan Juminah, di Pasar Klewer, pada tanggal 10 Agustus 2011) commit to user
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari cara berbicara Juminah dapat terlihat ketika dia mengucapkan salam, mendoakan, sambil menengadahkan tangannya, karena, ucapan verbal tersebut dapat terkemas baik apabila diiringi juga dengan perilaku nonverbalnya yaitu dengan menengadahkan tangannya. Juminah mengatakan, bahwa ketika akan meminta sedekah pada calon dermawan, hendaknya dengan ucapan yang halus, perilaku yang sopan, dan menunduk. Menurutnya, jika bersikap seperti itu, dapat menghargai orang lain dan orang lain pun senang melihatnya, dan kemudian bisa memberi sedekah padanya. Tidak banyak yang dikemukakan dalam parabahasa, hanya saja yang cenderung sering dibahas adalah nada suara. Nada suara berperan sebagai pendukung yang lain dari bahasa verbal yang digunakan pengemis. Nada suara akan lebih kuat lagi apabila didukung pula oleh intonasinya. Di balik nada suara, terkandung makna tersendiri, misalnya saja nada
suara
yang
keras
dan
membentak,
umumnya
menandakan bahwa orang sedang marah, atau menyuruh, Nada suara yang lirih, pelan, dan halus, umumnya menandakan bahwa orang sedang memohon sesuatu, merayu, dan lain sebagainya. Dari segi verbal maupun nonverbalnya, sebenarnya keduanya saling mendukung satu sama lain dalam kaitannya mempresentasikan diri seseorang kepada orang commit to user
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lain, dan dikelola sedemikian rupa untuk ditampilkan di ‘panggung depan’. Selama penelitian berlangsung, didapatkan data hasil wawancara dengan pengemis di Pasar Klewer, bahwa ratarata dari mereka mengakui, nada suara yang mereka pakai saat berhadapan dengan calon dermawannya adalah dengan halus, lirih dan sopan. Membandingkan antara apa yang terlihat selama penelitian berlangsung dengan data yang didapat dari hasil wawancara, terdapat kesamaan antara keduanya. Melihat pengemis ketika berhadapan dengan calon dermawannya dan mendengar kata-kata yang mereka ucapkan dengan halus dan lirih, berbeda ketika pengemis sedang bersama dengan komunitasnya, cara berbicaranya cenderung biasa saja, tidak menunjukan dan tidak terdengar nada suara yang halus dan lirih. Kembali pada teori Goffman, mengenai
panggung
depan
dan
panggung
belakang,
pengelolaan kesan, serta presentasi diri, nada suara adalah salah satu pelengkap dari beberapa macam cara pengemis dalam mempresentasikan diri kepada calon dermawannya, yang mana semuanya saling melengkapi satu sama lain dan akhirnya terbentuk sebuah pengelolaan kesan yang akan dinilai dan dimaknai oleh orang lain ( calon dermawan).
commit to user
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Dari penelitian ini maka dihasilkan beberapa kesimpulan yaitu : 1.
Pengemis mempunyai cara untuk mengelola kesan yang akan disampaikan pada calon dermawan, yaitu dengan menggunakan simbol verbal yang berupa kata-kata, pilihan kata yang digunakan, dan bahasa yang digunakan. Simbol nonverbal, diungkapkan dengan perilaku tubuh yang meliputi : penampilan, pakaian/busana, ekspresi wajah, dan parabahasa.
2.
Pengelolaan kesan melalui simbol verbal, dibagi dalam 2 peristiwa, yaitu peristiwa komunikasi dengan sesama pengemis dan anggota komunitas lainnya dan peristiwa komunikasi dengan calon dermawannya.
3.
Peristiwa komunikasi dengan calon dermawannya terbagi dalam 2 sesi, sesi pertama adalah ketika pengemis pertama kali bertemu dengan calon dermawannya untuk mendapatkan sedekah, dan sesi kedua adalah setelah pengemis selesai bertemu dengan calon dermawannya (terlepas member atau menolak untuk memberi sedekah).
4.
Penelitian ini menggunakan teori dramaturgi milik Erving Goffman, yang membahas bagaimana manusia itu menampilkan dirinya di depan orang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
94 digilib.uns.ac.id
lain dengan mengelola kesan sedemikian rupa, sehingga orang lain dapat menilai, seperti halnya dalam pembahasan ini, pengemis sebagai aktor kehidupan, dimana mereka dapat memposisikan diri mereka ketika berada di ‘panggung depan’ saat berhadapan dengan calon dermawan , dan di ‘panggung belakang’ saat berada diantara sesamanya dan komunitasnya, serta dapat men-setting bagaimana akan menampilkan, mempresentasikan dirinya, layaknya seorang aktor yang akan tampil di atas panggung memainkan drama.
5.
Dalam teori dramaturgi Goffman mengelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu presentasi diri Goffman, panggung depan dan panggung belakang, pengelolaan kesan (impression management), dan penggunaan tim. Keempat bagian tersebut, saling melengkapi satu sama lain sehingga dapat menghasilkan kesan yang diharapkan dari penilaian orang lain.
6.
Komunikasi dengan menggunakan simbol nonverbal lebih dominan digunakan oleh para pengemis di Pasar Klewer daripada simbol verbal.
B. Saran 1.
Komunikasi yang digunakan oleh pengemis selama penelitian, cenderung menggunakan bahasa nonverbalnya daripada bahasa verbal dimana pengemis melakukan dramatisasi dalam berkomunikasi dengan calon dermawan, maka dari itu, hendaknya bisa lebih mewaspadai jangan terlalu percaya dengan dramatisasi yang mereka lakukan dan jangan commit to user sering memberi sedekah ketika bertemu dengan pengemis, karena hal
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut dapat menjadikan pengemis semakin malas dalam bekerja, dan akan terus mengandalkan orang lain.
2.
Dalam penelitian ini, belum dapat membahas secara mendalam terkait dengan bahasan tentang nada suara secara detail, maka dari itu untuk penelitian berikutnya, agar dapat melengkapi kekurangan dalam penelitian ini, dan bisa lebih detail lagi dalam pembahasannya.
3.
Untuk penelitian berikutnya, jika ingin melakukan penelitian yang sama, tidak harus pengemis yang bisa dijadikan sebagai subjek penelitian, karena masih banyak subjek penelitian yang menarik untuk diteliti terutama yang menyangkut kelompok pinggiran, misalnya : anak jalanan, pengamen, waria, homoseksual, lesbi, dan lain sebagainya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta, 2002. Effendi, O. Uchjana. Dinamika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1989. . Ilmu ,Teori, Dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Hardjana, Agus. M. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Yogyakarta : Kanisius, 2003. Ibrahim, Abdul Syukur. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya: Usaha Nasional, 1994. Jefkins, Frank. Yadin, Daniel. Public Relation. Jakarta: Erlangga, 2002. Keraf, Gorys. Diksi Dan Gaya Bahasa. Jakarta : Gramedia, 2000. Larry A. Samovar. Richard E. Porter. Edwin R. McDaniel. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika, 2010. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya., 2005. Mulyana, Deddy dan Jalaluddin, Rakhmad. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990. . Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001. . Metode Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT. Rosdakarya. 2008. Mulyana, Deddy dan Solatun. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2007. Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : PT. LKis Pelangi Aksara, 2007. Rakhmat, Jalaluddin. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1990. Riswandi. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009. commitJakarta to user: Kencana, 2007. Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ruslan, Rosady. Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi Persepsi dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.1999. Saefullah, Ujang. Kapita Selekta Komunikasi; Pendekatan Budaya Dan Agama. Bandung: Simbiosa Media Rekatama, 2007. Soeprapto, Riyadi. Interaksionisme Simbolik ; Perspektif Sosiologi Modern. Malang: Averroes press, 2002. Supratiknya. Tinjauan Psikologis; Komunikasi Antar Pribadi. Yogyakarta : Kanisius, 1995. Susanto. Astrid S. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung : Bina Cipta, 1985. Sutopo, H.B. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar Teori dan Penerapannya dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2002. Wiryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia Grasindo, 2005. Zeitlin, Irving. Terjemahan Anshori dan Juanda. Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press, 1995.
Jurnal: Roessing, Thomas. The Effects Of Verbal And Nonverbal Elements In Persuasive Communication. Journal Of Communication : 2011, vol.1, hal. 3. Brook, Donald. On Non-Verbal Representation. Journal Of Communication : 1997, Vol. 2, hal. 4
commit to user