Sifat Mekanik Balok Gelagar Bambu Laminasi (LBL) yang Dibuat dengan Menggunakan Palupu I.
Latar Belakang Masalah Keterbatasan suplai bahan kayu gergajian berukuran besar telah membuka jalan
baru kearah pengembangan produk-produk laminasi yang dapat memanfaatkan kayu gergajian yang relatif pendek dan kecil. Hal ini juga telah membuka jalan kearah pengembangan hasil hutan bukan kayu menjadi produk-produk unggulan menggantikan kayu. Hasil hutan bukan kayu seperti bambu dan tumbuhan monokotil lainnya telah menjadi salah satu alternatif bahan baku untuk kebutuhan konstruksi dalam rangka pemanfaatan hasil hutan secara ekonomis dan lestari. Selain hasil hutan, hasil sampingan dari perkebunan seperti aren, kelapa, dan kelapa sawit juga telah lama dan sampai sekarang masih diteliti (Barly. 1989, Chauf, K. A., 2008, Darwis, A., et al., 2014), walaupun tidak sebanyak yang dijumpai pada bambu, guna mencari alternatif pengganti kayu sekaligus pemanfaatan limbah perkebunan. Tumbuhan monokotil yang kurang dikenal secara luaspun seperti gewang (Budiana, I. G. P., dan Y. A. Pranata, 2013) dan sagu (Kusumah, S. S., at al., 2013), telah diteliti mulai dari sifat dasar hingga sifat kekuatan secara struktural. Penelitian-penelitian mengenai sifat-sifat produk laminasi bambu dimulai dengan penelitian sifat-sifat fisik (Basri, E. dan Saefudin, 2006) dan mekanik dasar dalam hubungannya dengan perekat dan jenis bambu yang digunakan (Misdarti, 2006, Sulastiningsih, I. M., 2008, Suryana, J., et al, 2011). Selain itu, sifat kimia dinding sel dari berbagai jenis bambu dan juga adanya buku bambu terhadap sifat mekanik bambu (Nugroho, N., et al, 2013, Sulastiningsih, I. M., at al., 2013b) juga telah diteliti guna lebih memahami sifat struktural dari produk laminasi bambu. Hasil-hasil penelitian tersebut telah banyak memberi solusi terhadap pemilihan jenis perekat, cara perekatan, geometri bahan, bahan pengawet (Sulastiningsih, I. M., at al., 2013a, Cahyono, T. D., at al., 2014) yang dapat dipergunakan untuk memproduksi bambu laminasi. Selain itu, penelitianpenelitian tersebut juga ada banyak yang telah menunjukkan bahwa pemilihan bahan baku, perekat, metoda dan geometri sudah mencapai standar dari segi sifat fisik maupun mekanik yang ditetapkan, walaupun masih beragam standar yang menjadi rujukkan. Penelitian sifat mekanik atau kekuatan struktural bahan laminasi bambu tersebut diatas masih sebatas ukuran kecil (small size specimen), atau skala laboratorium, dengan ukuran dimensi panjang contoh uji berkisar antara 40-120 cm, dibanding penelitian dengan
2 menggunakan ukuran sebenarnya (full-size specimen) dengan panjang bentangan hingga 210 cm degan rasio bentangan terhadap tinggi (L/d) = 30, untuk menghitung kekuatan lentur contoh uji (Sarikusuma, R., 2010). Penelitian dengan menggunakan ukuran dimensi geometri contoh uji seperti yang akan dipakai pada konstruksi atau ukuran sebenarnya akan memberikan hasil yang lebih representatif dan dapat diandalkan. Cara pembuatan bahan laminasi bambu ada yang menggunakan teknologi yang tidak sederhana dan mahal karena harus melalui proses pemanasan dan kempa atau pengepresan yang membutuhkan biaya peralatan, energi dan operasional yang tinggi. Hal ini banyak terkait jenis perekat yang digunakan karena setiap perekat memerlukan cara aplikasi yang berbeda. Selain itu, penggunaan bahan baku bambu menjadi tidak efisien karena bambu harus diproses menjadi bilah kemudian diserut pada dua permukaan sehingga akan membuang banyak sekali daging bambu hanya untuk mencapai bentuk panampang lintang yang persegi empat. Pembuatan bambu laminasi yang lebih mengoptimalkan penggunaan bahan baku secara efisien dimana batang bambu dibelah dua kemudian digiling dengan penggiling berbentuk silinder untuk meratakan lengkungan permukaan bambu, yang disebut zephyr bambu (Nugroho, N., dan N. Ando, 2001), telah menunjukkan hasil yang memuaskan. Penelitian lanjutan oleh Mahdavi, M., et al., (2012) yang ditujukan untuk mencari alternatif pembuatan bambu laminasi menggunakan teknik zephyr bambu yang lebih eknomis dan tepat guna dan dapat dibuat oleh masyarakat luas, terutama di negara-negara berkembang seperti di Benua Asia, dengan peralatan dan teknologi yang sederhana, menunjukkan bahwa teknik zephyr bambu dapat disesuaikan dengan peralatan sederhana yang dioperasikan dengan tangan (hand tools) untuk digunakan dalam pembuatan bambu laminasi struktural. Walaupun teknik ini memerlukan tenaga kerja yang banyak tetapi hal ini cocok dengan negara berpenduduk padat dengan tingkat ketersediaan lapangan pekerjaan yang rendah seperti Indonesia. Produk bambu laminasi untuk kebutuhan konstruksi atau struktural disebut LBL (Laminated Bamboo Lumber) memiliki sifat-sifat mekanik seperti mudulus elastisitas (MOE) dan kekuatan lentur (MOR), yang tidak jauh berbeda dengan produk berbasis kayu lainnya seperti LVL dan PSL (Mahdavi, M., et al. 2012). Produk LBL yang diteliti oleh peneliti yang sama walaupun sudah meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, serta menekan biaya energi dan produksi, masih memiliki keterbatasan yang mendasar dalam hal proses pembuatan lembaran laminasi. Proses pembuatan lembaran menggunakan palu sehingga menyebabkan bambu retak atau pecah menurut garis lurus yang kontinyu
3 sepanjang batang bambu. Hal ini telah diakui mengurangi kekuatan geser daripada LBL. Jalan keluar untuk mengatasi hal ini yaitu dengan cara memberi ikatan benang nilon sebelum dikempa akan tetapi sangat menyulitkan jika diaplikasikan pada proses produksi secara masal. Untuk itu dianjurkan pengempaan secara horisontal, selain vertikal, untuk mempersempit celah bukaan akibat pengetukan dengan palu. Penduduk asli di Indonesia Timur seperti Maluku dahulunya membuat rumah panggung dari bambu dimana dinding dan lantai dibuat dari produk bambu yang disebut palupu. Palupu dibuat dengan cara membersihkan bagian luar batang bambu dari sisa-sisa cabang pada bagian buku kemudian memotong batang bambu dengan ukuran panjang sesuai tinggi dinding atau panjang lantai kemudian dibuat retakkan kecil-kecil tetapi dalam pada seluruh permukaan batang bambu dengan pola acak memakai ujung parang (semacam golok pendek) yang tipis serta tajam. Pembuatan retakan ini dilanjutkan hingga silinder bambu sudah lembek dan dapat dipipihkan dan sesudah itu dibelah menjadi satu lembaran yang disebut palupu sesudah dibersihkan dari bagian sisa-sisa buku bambu pada bagian dalamnya. Sebelum digunakan, palupu ini kemudian direndam dalam air laut beberapa hari untuk mengawetkan guna menghindari serangan bubuk dan rayap pada waktu digunakan. Kearifan lokal ini memberi jalan kepada kemungkinan pembuatan LBL secara lebih unggul ditinjau dari segi sifat mekanik LBL karena palupu memiliki lebih sedikit pecahan horisontal yang kontinyu menurut garis lurus sepanjang batang bambu dibandingkan jika digiling dengan silinder penggiling atau diketuk dengan palu. Penelitian-penelitan skala laboratorium sudah membuktikan bahwa LBL memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi produk bahan konstruksi atau struktural sejajar dengan bahan kayu seperti balok glulam, PSL, LVL, dan lain-lain. Akan tetapi penelitianpenelitian tersebut juga menggunakan configurasi pembebanan (load configuration) dan rasio bentangan terhadap tinggi balok (L/d) yang berbeda-beda selain rujukan standar yang berbeda-beda pula, seperti yang sudah disinggung diatas. Penelitian menggunakan ukuran sebenarnya (full sizes) dengan configurasi pembebanan serta rasio L/d yang konsisten perlu dilanjutkan untuk meneliti sifat-sifat mekanik, seperti MOE dan MOR pada pembebanan lentur (bending), tarik (tension) dan tekan (compression) sehingga hasilnya dapat dibandingkan dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh produk-produk comparative berbahan dasar kayu yang sudah disebutkan diatas. Balok gelagar memikul beban lentur (bending) dimana panjang bentangan atau rasio bentangan terhadap tinggi balok (L/d) dan configurasi pembebanan yang berbeda
4 akan memberikan nilai MOR dan MOE yang berbeda pula. Madsen, B., (1992) mengemukakan bahwa MOR tergantung dari configurasi pembebanan dan akan menurun jika panjang bentangan atau L/d dinaikkan. Oleh sebab itu, faktor ukuran (size effect) perlu juga diukur agar dapat digunakan untuk mengkonversi nilai MOR jika terdapat beda ukuran dimensi contoh uji. II.
Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk: 1) Menyelidiki serta mengembangkan teknik palupu sebagai teknologi tepat guna dalam pembuatan LBL sebagai bahan balok gelagar struktural dalam ukuran besar (full sizes). 2) Determinasi sifat fisik dan mekanik LBL yang diproduksi dengan teknik palupu terhadap pembebanan lentur (bending). 3) Determinasi pengaruh ukuran (size effect) daripada LBL yang diproduksi terhadap kekuatan lentur (MOR).
III. Manfaat Penelitian 1) Sebagai teknologi tepat guna teknik palupu dapat digunakan untuk memproduksi LBL yang lebih ekonomis dan terjangkau oleh masyarakat luas terutama di daerah-daerah yang memiliki potensi bambu melimpah selain memanfaatkan hasil hutan bambu. 2) Menyediakan nilai-nilai rekayasa (design values) guna keperluan standarisasi (design standard) daripada LBL dengan teknik palupu. IV. Bahan dan Metoda 1) Bahan dan Alat Bahan bambu dari hutan ataupun tanaman perkebunan yang berumur tua atau masak tebang dapat digunakan. Perekat yang digunakan adalah perekat dengan proses kempa dingin. Bahan pengwet larut air seperti boron. Mesin serut dan ampelas listrik tangan (portable), parang, gergaji tangan, mistar, kaliper, dan alat tulis-menulis. Kerangka besi/baja dan baut untuk alat kempa dingin serta peralatan pelabur bahan perekat. Mesin uji kekuatan bahan untuk bentangan 3 m. 2) Metoda
5 Batang bambu dibersihkan dan dipotong sepanjang 140, 200, 260 dan 320 cm, setelah dibersihkan bagian kulit luar (silika) dengan ampelas kemudian dibuat palupu. Sisa-sisa bagian dalam buku bambu dibersihan dengan parang kemudian diserut tipis (< 1,0 mm) dan diratakan dengan amplas. Palupu kemudian diawetkan dengan larutan boron 5-7% dan dibiarkan sampai mencapai kadar air kering udara. Satu demi satu
lembaran palupu dilaburi perekat PVAc secukupnya,
gunanya untuk menutupi celah–celah yang terbuka, kemudian diletakan satu diatas lainnya dengan diberi stiker kertas koran bekas. Selanjutkan susunan ini dikempa secara horisontal dengan takanan yang cukup untuk merapatkan celah-celah yang diberi perekat sambil ditekan secara vertikal untuk mencegah lembaran menggelembung. Setelah perekat PVAc kering, lembaran-lembaran palupu diangkat dan diamplas untuk membersihkan permukaan dari sisa-sisa kertas koran dan perekat PVAc. Untuk mendapatkan tinggi balok 10 cm, palupu dipotong memanjang dengan lebar 11 cm
untuk setiap ukuran panjang diatas dan melintang dengan
panjang 11 cm sebagai bahan pengisi lapisan vertikal bagian dalam. Lembaran palupu kemudian direkat dengan perekat (misalnya isosianat) dengan pola dua lembaran vertikal bagian dalam posisi muka dengan muka dan tiga lembar masing-masing disisi kiri dan kanan dengan posisi muka dengan belakang untuk mendapatkan balok dengan penampang lintang kurang lebih 5 cm x 11 cm seperti pada gambar disebelah: Balok LBL kemudian dikempa dingin dengan tekanan dan durasi sesuai persyaratan perekat yang digunakan. Sesudah itu, balok diketam pada empat sisi untuk mendapatkan ukuran panampang nominal 5 cm x 10 cm. Balok LBL kemudian diuji pada mesin uji kekuatan untuk mengukur MOE dan MOR dengan konfigusai pembebanan sepertiga bentangan (third point loading) seperti pada gambar berikut:
6 V.
Analisis Data Nilai-nilai MOE dihitung pada batas proporsi linier kurva tegangan-regangan
sedangkan MOR pada batas beban patah (failure load). Setiap bentuk kerusakan contoh uji dicatat untuk dianalisis. Menurut teori kekuatan secara statistika (statistical strength theory) jika dua buah contoh uji dengan bahan, bentuk geometri dan konfigurasi pembebanan yang sama tetapi berbeda volume dan diasumsikan memiliki peluang kegagalan (probability of failure) yang sama maka kekuatan (strength) keduanya dapat dinyatakan dengan persamaan: . Parameter k merupakan harga pengaruh ukuran (size effect) dan menurut Madsen, B., (1992), sangat relevan jika ditaksir secara empiris dari hasil uji mekanik menggunakan sampel dengan ukuran panjang yang berbeda-beda dimana rasio sampel terpanjang terhadap yang terpendek adalah sekitar 4-5 kali. Dengan mengganti volume V dengan panjang L maka, persamaan diatas dapat ditulis kembali sebagai:
. Dengan demikian, jika data MOR dan panjang
bentangan (L) setiap contoh uji dengan model pengujian yang diajukan diatas ditransformasikan kedalam skala logaritma kemudian dengan menggunakan
metoda
regresi sederhana harga k dapat dihitung sebagai harga mutlak dari kemiringan kurva garis regresi.
7 Daftar Pustaka Barly. 1989. Pengawetan Batang Aren dengan Bahan Pengawet Tipe CCA, CCB, dan BFCA (Preservation of Aren Timber with CCA, CCB, and BFCA Preservatives). Jurnal Penelitian Hasil Hutan (Forest Products Research Journal). Vol. 6 (4). 246249. Basri, E. dan Saefudin, 2006. Sifat Kembang-susut dan Kadar Air Keseimbangan Bambu Tali (Gigantochloa apus Kurtz) pada Berbagai Umur dan Tingkat Kekeringan (Shrinkage -Swelling Properties and Equilibrium Moisture Content of Bamboo Tali (Gigantochloa apus Kurtz)). Jurnal Penelitian Hasil Hutan (Forest Products Research Journal). Vol. 24 (3). 227-240. Budiana, I. G. P., dan Y. A. Pranata, 2013. Pemodelan Metode Elemen Hingga Nonlinier Dinding Panel Gewang Laminasi 2D terhadap Beban Lateral. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7). Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta 24-26 Oktober 2013. Cahyono, T. D., E. Novriyanti, E. T. Bahtiar dan M. Y. Massijaya, 2014. Development of Composite Beams Made from Tali (Gigantochloa apus) and Hitam Bamboo (Gigantochloa atroviolacea). Indian Academi of Wood Science . Vol. 11 (2). 156161. Chauf, K. A. 2008. Pengaruh Faktor L/d terhadap Perilaku Mekanik Balok Kayu Kelapa (Cocos nucifera). The influende of L/d Factor on the Mechanical Behaviour of Coconut Timber Beam (Cocos nucifera). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technologi). Vol. 6.(2). 43-48. Darwis, A., M. Y. Massijaya, N. Nugroho, E.M. Alamsyah dan D. R. Nurrochmat, 2014. Bond Ability of Oil Palm Xylem with Isocyanate Adhsesive. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technologi). Vol. 12.(1). 39-47. Kusumah, S. S., Ruslan, M. Daud, I. Wahyuni, T. Darmawan, Y. Amin, M. Y. Massijaya dan B. Subiyanto, 2010. Pengembangan Papan Komposit dari Limbah Perkebunan Sagu (Metroxylon sago Rottb.) (Development of Composite Board Made from Sago (Metroxylon sago Rottb.) Plantation Waste). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technologi). Vol. 8.(2). 145-154. Madsen, B., 1992. Structural Behaviour of Timber. Timber Engineering Ltd. 575 Alpine Court, North Vancouver, British Columbia. Canada VTR 2L5. Mahdavi, M., P. I. Clouston dan S. R. Arwade, 2012. A low-technology approach toward Fabrication of Laminated Bamboo Lumber. Construction and building Materials 29:257-262. Misdarti, 2006. Kualitas Bambu Laminasi Asal Kabupaten Toraja Sulawesi Selatan (Qualities of Laminated Bamboo of Toraja Regency, South Sulawesi). Jurnal Penelitian Hasil Hutan (Forest Products Research Journal). Vol. 24 (3). 183-189. Nugroho, N., dan N. Ando, 2001. Development of Structural Composite Products Made from Bamboo II: Fundamental Properties of Laminated Bamboo Lumber. J. Wood Science. 47:237-242. The Japan Wood Research Society. Nugroho, N., E. T. Bachtiar, D. P. Lestar dan D. S. Nawawi, 2013. Variasi Kekuatan Tarik dan Komponen Kimia Dinding Sel pada Empat Jenis Bambu (Variation of Tensile
8 Strength and Cell Wall Component of four Bamoos Species). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technologi). Vol. 11.(2). 153-160. Sarikusuma, R., 2010. Model Susunan Bilah Bambu Vertikal antar Sisi Bilah yang Sama Terhadap Keruntuhan Lentur (The Vertical Bamboo Lath Series Model the Same Layer over Bending collapse). Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Skripsi. Sulastiningsih, I. M., 2008. Beberapa Sifat Bambu Lamina yang Terbuat dari Tiga Jenis Bambu (Some Properties of Laminated Bamboo Board Made from Three Bamboo Species). Jurnal Penelitian Hasil Hutan (Forest Products Research Journal). Vol. 26 (3). 277-287. Sulastiningsih, I. M., S. Ruhendi, M. Y. Massijaya, W. Darmawan dan A. Santoso, 2013a. Respon Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) terhadap Perekat Isosianat (Response of Andong Bamboo (Gigantochloa pseudoarundinacea) to Isocyanate Adhesive). Jurnal Penelitian Hasil Hutan (Forest Products Research Journal). Vol. 11 (2). 140-152. -------- 2013b. Effect of Nodes on the Properties of Laminated Bamboo Lumber. Wood Research Journal. Vol. 4 (1). 19-24. Suryana, J., M. Y. Massijaya, Y. S. Hadi dan D. Darmawan, 2011. Sifat-sifat Dasar Bambu Lapis (Fundamental Properties of Ply Bamboo). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technologi). Vol. 9.(2). 153-165.