Sidik Cepat Degradasi Sub DAS i
ii
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS iii
iv
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
KATA PENGANTAR Dalam mendukung kebijakan Departemen Kehutanan di bidang Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan mencanangkan program kerjanya dalam program Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Rehabilitasi Lahan Kritis. Salah satu hasil dari program tersebut adalah diterbitkannya buku “Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS)”, yang diharapkan bisa dimanfaatkan untuk membantu dalam pengelolaan Sub DAS, terutama untuk mendukung pelaksanaan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Dengan menggunakan acuan buku yang tersusun ini semoga alur kerja antara Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan, dengan Pemerintah Kabupaten bisa terbangun lebih harmonis dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS dengan basis kegiatan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Buku yang disusun ini baru merupakan awal dan hanya sebagian dari sistem pengelolaan DAS yang perlu disusun secara komprehensif. Diharapkan dukungan teknologi sistem pengelolaan DAS lainnya segera disusun dan diterbitkan secara bertahap setelah hasil penelitian yang dilakukan cukup layak terbit. Penyempurnaan akan terus dilakukan dengan memperhatikan kritik membangun yang disampaikan kepada penulis serta seiring dengan permasalahan dan teknologi yang berkembang. Kepada peneliti terkait diucapkan terima kasih dan diharapkan terus bersemangat dan berkarya untuk bisa memandu pembangunan kehutanan, terutama dalam pengelolaan DAS.
Bogor, April 2006 Kepala Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam
Ir. Anwar. M.Sc. NIP. 080057955
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS v
PRAKATA PENYUSUN Buku ini disusun sebagai upaya untuk membantu para pihak yang berkecimpung dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) pada tingkat Sub DAS yang secara administrasi pemerintahan setara dengan tingkat kabupaten. Dalam penyusunannya telah diusahakan agar kebutuhan data telah banyak tersedia pada instansi kabupaten sehingga akan memudahkan dalam pemakaiannya. Buku yang tersusun bersifat Pedoman sehingga apabila diperlukan hal teknis yang lebih rinci akan dituangkan dalam Petunjuk Teknis. Dengan tersusunnya buku ini disampaikan penghargaan yang setinggitingginya atas kontribusi pemikiran dalam penyempurnaan buku ini kepada Drs. Irfan Budi Pramono, M.Sc., Drs. Ugro Hari Murtiono, M.Si., Ir. Wardojo, Drs. Agus Wuryanta, M.Sc., S. Andy Cahyono, S.P., M.Si., Nana Haryanti, S.Sos., Agung B. Supangat, S.Hut., M.Si., M.T., Ir. Nining Wahyuningrum, M.Sc., dan Ir. Beny Harjadi, M.Sc. Kepada para peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengembangan DAS Indonesia Bagian Timur (BP2TPDAS-IBT), antara lain Ir. Gunardjo T., M.Sc., Wuri Handayani, S.Si., M.P., dan Kristian M., S.Hut., dan peneliti BP2TPDAS-IBB diucapkan terima kasih atas kontribusi pemikirannya. Kepada Kepala BP2TPDAS-IBB, yang mendukung penyusunan buku dan penyelenggaraan penelitian, diucapkan terima kasih. Demikian juga kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam diucapkan terima kasih atas saran dan arahan yang telah diberikan dalam pelaksanaan UKP (Usulan Kegiatan Penelitian) dalam penyusunan buku ini. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam bentuk apapun kami mengucapkan terima kasih. Disadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan sehingga kritik dan saran membangun sangat diharapkan demi kesempurnaannya.
Surakarta, April 2006
Tim Penyusun
vi
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
PRAKATA PENYUSUN (CETAKAN KEDUA) Penelitian sistem karakterisasi daerah aliran sungai (DAS) dinyatakan selesai pada tahun 2009 sesuai dengan berakhirnya Program Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2003-2009. Dalam kurun waktu tahun 2006-2009 telah dilakukan uji aplikasi formula degradasi Sub DAS yang tersusun dalam buku Sidik Cepat Degradasi Sub DAS. Berdasarkan hasil uji lapang serta saran dan pendapat dari pengguna teknologi tersebut maka perlu dilakukan revisi atau penyempurnaan terhadap buku yang telah disusun. Formula degradasi Sub DAS yang telah direvisi dapat dimanfaatkan untuk penelitian lanjut dalam sistem pengelolaan Sub DAS, terutama dalam aspek perencanaan serta monitoring dan evaluasi. Dalam proses aplikasinya untuk penelitian sistem pengelolaan Sub DAS, perbaikan formula yang tersusun masih memungkinkan. Oleh karena itu kritik konstruktif dari para pihak sangat diharapkan. Dengan disempurnakannya buku ini, kami sampaikan penghargaan setinggitingginya kepada para peneliti pendukung atas kontribusi pemikirannya dan kepada jajaran manajemen yang telah mendukung dan membantu penyelenggaraannya. Kepada semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu demi satu, kami mengucapkan terima kasih atas bantuan dalam bentuk apapun. Semoga buku ini bermanfaat bagi para penggunanya.
Surakarta, Agustus 2010
Tim Penyusun
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS vii
viii
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ..................................................................................... v PRAKATA PENYUSUN ................................................................................ vii DAFTAR ISI ................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ........................................................................................... x DAFTAR GAMBAR....................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xi I.
PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. Latar Belakang .................................................................................. 1 B. Tujuan................................................................................................ 2 C. Ruang Lingkup ................................................................................. 2 D. Pengertian-Pengertian ....................................................................... 3
II. KARAKTERISTIK DAS DAN DEGRADASI DAS .............................. 4 III. PENILAIAN DEGRADASI SUB DAS .................................................. 11 A. Formulasi Sistem Karakterisasi ........................................................ 11 B. Penilaian Degradasi Sub DAS .......................................................... 16 IV. TEKNIK PENYIDIKAN ......................................................................... 17 V. PENUTUP ............................................................................................... 22 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 23 LAMPIRAN .................................................................................................. 25
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3.
Klasifikasi Tanah Longsor........................................................... 7 Klasifikasi Tingkat Kerentanan/Degradasi Sub DAS.................. 16 Pemanfaatan Peta dan Data Sekunder Untuk Karakterisasi Sub DAS...................................................................................... 18
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3.
x
Faktor-Faktor Karakteristik DAS - Tersusun Dalam Sistem DAS..................................................................... 4 Faktor Dasar Rumusan Karakterisasi Sub DAS.......................... 11 Proses Penyidikan (Diagnose) Degradasi Sub DAS................... 17
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
DAFTAR LAMPIRAN Tabel A.l. Formulasi Kerentanan Potensi Banjir dan Daerah Rawan Banjir............................................................................ 25 Tabel A.l .a. Teknik Penyidikan Parameter-Parameter Kerentanan Potensi Banjir........................................................................... 27 Tabel A.1.b. Teknik Penyidikan Parameter-Parameter Daerah Rawan Banjir ........................................................................... 28 Tabel A.1.a.1. Bentuk-bentuk DAS................................................................. 29 Tabel A.1.a.2. Kerapatan Drainase.................................................................. 30 Tabel B.1. Formulasi Kerentanan Kekeringan dan Potensi Air................. 31 Tabel B.2. Teknik Penyidikan/Inventarisasi Parameter-Parameter Kerentanan Kekeringan dan Potensi Air.................................. 32 Tabel C.l. Formulasi Kekritisan dan Potensi Lahan................................. 33 Tabel C.2. Teknik Penyidikan Kekritisan Lahan....................................... 35 Tabel D.l. Formulasi Kerentanan Tanah Longsor..................................... 36 Tabel D.2. Teknik Penyidikan Parameter Kerentanan Tanah Longsor...... 37 Tabel D.2.1. Ilustrasi Tanda-Tanda Rawan Longsor pada Peta Geologi ..... 38 Tabel E.l. Formulasi Kerentanan dan Potensi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan..................................................................... 39 Tabel E.2 Teknik Penyidikan Parameter Soseklem.................................. 41
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS xi
I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pola produksi dan konsumsi yang agresif, eksploitatif, dan ekspansif terhadap sumberdaya alam vegetasi, tanah dan air telah menurunkan daya dukung dan fungsi lingkungan daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan ekosistem dalam tatanan DAS di Indonesia telah teridentifikasi seperti ditunjukkan dengan sering terjadinya bencana banjir, erosi, sedimentasi, dan tanah longsor. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 (PP No.7 Tahun 2005) disebutkan bahwa DAS berkondisi kritis semakin meningkat dari 22 DAS (1984) menjadi 39 DAS (1994), dan kemudian 62 DAS (1999). Pada tahun 2004 diperkirakan sekitar 282 DAS dalam kondisi kritis. Sementara itu Sheng (1986) menyatakan bahwa permasalahan DAS tumbuh seiring dengan pertambahan penduduk dan waktu, sehingga tugas pengelolaannya hampir tanpa akhir. Dengan demikian pengelolaan DAS bersifat sinambung (continuous) dan lentur (flexible), tidak bisa diselesaikan dengan sekali selesai tuntas, karena masalah baru selalu timbul, baik oleh aktivitas manusia maupun oleh proses alam. Semakin memburuknya kondisi DAS di Indonesia menunjukkan masih lemahnya sistem pengelolaan dimana dinamika kondisi DAS kurang terdeteksi secara dini dan periodik sehingga penanganannya kurang bertumpu pada masalah utamanya. Sistem karakterisasi DAS dapat digunakan sebagai alat diagnosis atau penyidikan secara cepat terhadap degradasi DAS, baik letak/tempat, penyebab, ataupun tingkat degradasinya. Karaktetristik DAS terbangun sebagai hasil menyeluruh dari interaksi atau hubungan timbal balik antar unsur-unsur sumberdaya alam sendiri dan antara unsur alam dengan manusia. Oleh karena itu setiap DAS di Indonesia memiliki sifat atau karakteristik sendiri-sendiri, baik sifat alami maupun sifat yang terbangun sebagai hasil intervensi manusia. Karakteristik DAS yang dimiliki merupakan tumpuan dasar pendekatan pengelolaan DAS, baik dalam perencanaan, pengorganisasian/ kelembagaan, implementasi maupun monitoring dan evaluasi. Sistem karakterisasi tingkat Sub DAS memberikan informasi tingkat degradasi untuk mendukung perencanaan pengelolaan Sub DAS yang lebih bersifat operasional (jangka lima tahunan), yang kemudian dijadikan dasar penyusunan rencana kerja tahunan. Berdasarkan tingkat hirarki pengelolaan yang lebih operasional tersebut maka penyelenggaraan penyidikan degradasi tingkat Sub DAS dapat disetarakan dengan tingkat kabupaten.
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 1
Buku yang tersusun ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk membantu penyelenggara pengelola Sub DAS di tingkat kabupaten, khususnya untuk mendukung program Rehabiltasi Hutan dan Lahan atau Konservasi Tanah dan Air. B. Tujuan Penerbitan buku ini bertujuan untuk memberikan metode penyidikan secara cepat terhadap degradasi Sub DAS yang berbasiskan pada sistem karakterisasi, untuk kemudian digunakan sebagai salah satu unsur utama dalam penyusunan perencanaan pengelolaan Sub DAS yang rasional dan aplikatif. Mempertimbangkan hasil penelitian yang diperoleh maka buku ini perlu direvisi sesuai dengan temuan yang dihasilkan. C. Ruang Lingkup Luas setiap DAS di Indonesia sangat beragam, mula dari <100.000 ha sampai dengan >4 juta ha, sehingga pemahaman istilah DAS atau Sub DAS menjadi rancu dan menimbulkan multi-tafsir. Menyadari kondisi demikian perlu adanya kesepakatan pengertian dalam penerapan peristilahan tersebut. Dengan mengacu bahwa perencanaan pengelolaan Sub DAS diarahkan pada perencanaan jangkan menengah (5 tahunan) sebagai dasar perencanaan tahunan dimana secara operasional implementasi diselenggarakan oleh tingkat kabupaten, serta pertimbangan kewenangan penyelenggaraan daerah otonom kabupaten, maka wilayah Sub DAS yang dimaksudkan adalah Daerah Tangkapan Air (DTA) yang dapat disetarakan dengan satuan wilayah kabupaten dominan. Artinya wilayah Sub DAS mungkin memotong lebih dari satu kabupaten tetapi hanya satu kabupaten yang wilayahnya dominan pada Sub DAS tersebut. Sedangkan DAS yang wilayahnya hanya berada pada satu kabupaten dominan maka sistem penyidikannya menggunakan formula sistem Sub DAS ini. Hal ini akan berimplikasi pada kisaran luas yang sangat berbeda antara Sub DAS di Jawa yang berpenduduk padat dan luar Jawa dengan kepadatan penduduk jarang. Apabila Sub DAS berada pada dua wilayah kabupaten dengan luas seimbang maka yang dominan adalah wilayah yang berada di bagian hulu atau yang lebih rentan terhadap degradasi. Sedangkan apabila wilayah administrasi terpisah/terbagi oleh sungai yang bersangkutan, maka bagian Sub DAS dapat dikelola dalam wilayah kabupaten masing-masing. Dalam sistem pengelolaan DAS, buku ini dapat digunakan sebagai alat (metode) untuk mengetahui perwatakan atau karakteristik Sub DAS, atau dapat dimanfaatkan untuk menilai kinerja Sub DAS yang ditunjukkan dari tingkat kerentanan atau degradasi dan potensinya. Informasi tingkat degradasi Sub DAS 2
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
dapat digunakan sebagai salah satu dasar penyusunan perencanaan pengelolaan. Namun dalam buku ini, sistem perencanaan untuk pengelolaan Sub DAS itu sendiri tidak dibahas. D. Pengertian-Fengertian 1. Daerah Aliran Sungai (DAS): suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. 2. Karakteristik DAS: gambaran spesifik mengenai DAS yang dicirikan oleh parameter yang berkaitan dengan keadaan morfometri, topografi, tanah, geologi, vegetasi penggunaan lahan, hidrologi dan manusia. 3. Degradasi DAS: hilangnya nilai dengan waktu, termasuk menurunnya potensi produksi lahan dan air yang diikuti tanda-tanda perubahan watak hidrologi sistem sungai (kualitas, kuantitas, waktu aliran) yang akhirnya membawa percepatan degradasi ekologi, penurunan peluang ekonomi, dan peningkatan masalah sosial. 4. Banjir: suatu aliran berlebih atau penggenangan yang datang dari sungai atau badan air lainnya dan menyebabkan atau mengancam kerusakan. Pembeda antara debit normal dan aliran banjir ditentukan oleh tinggi aliran air dimana banjir ditunjukkan aliran air yang melampaui kapasitas tampung tebing/tanggul sungai sehingga menggenangi daerah sekitarnya. 5. Kekeringan: suatu periode dimana kekurangan air yang menurunkan atau menjadikan kegagalan pertumbuhan dan hasil akhir dari tanaman utama suatu wilayah. 6. Degradasi Lahan: penurunan atau kehilangan seluruh kapasitas alami untuk menghasilkan tanaman yang sehat dan bergisi sebagai akibat erosi, pembentukan lapisan padas (hardpan) dan akumulasi bahan kimia beracun (toxic), disamping penurunan fungsi sebagai media tata air.
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 3
II. KARAKTERISTIK DAS DAN DEGRADASI DAS Istilah karakterisasi bisa diartikan sebagai kegiatan atau proses pengkarakteran; sedangkan karakteristik adalah sifat, atau ciri, atau kualitas yang khas. Karakteristik DAS dapat diartikan sebagai gambaran spesifik mengenai DAS yang dicirikan oleh parameter-parameter yang berkaitan dengan keadaan morfometri, topografi, tanah, geologi, vegetasi, tata guna (penggunaan) lahan, hidrologi, dan manusia (Seyhan, 1977). Dengan demikian untuk memperoleh karakteristik suatu Sub DAS diperlukan suatu cara atau prosedur, yang disusun dalam suatu formula, sebagai dasar untuk melakukan kegiatan atau proses pengkarakteran Sub DAS tersebut secara menyeluruh. Faktor Yang Mempengaruhi Karakter DAS
Faktor Relatif Sulit Dikelola (Statis)
Faktor Relatif Mudah Dikelola (Statis)
MANUSIA
HUJAN (Masukan)
MORFO METRI
GEO LOGI
TANAH
RELIEF MAKRO
DAS = PROSESOR
VEGE TASI
KESUBURAN TANAH
RELIEF MIKRO
PENGGUNAAN LAHAN - HUTAN - NON HUTAN
Sosial Ekonomi IPTEK Kelemba gaan (Masukan)
PRODUKSI, LIMPASAN, SEDIMEN TANAH LONGSOR, JASA (Luaran)
Gambar 1. Faktor-Faktor Karakteristik DAS - Tersusun Dalam Sistem DAS Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu dan hilir dalam suatu DAS adalah siklus/daur hidrologi (Dixon dan Easter, 1986) dimana laju siklusnya dipengaruhi oleh kondisi atau karakteristik DAS-nya. Karakteristik DAS tersusun dari faktor-faktor yang bersifat alami dan relatif sulit dikelola (relatif statis) dan 4
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
faktor yang mudah dikelola (dinamis) secara menyeluruh dari hulu sampai hilir. Satuan DAS dapat dipandang sebagai sistem pengelolaan sehingga komponen DAS bisa dipilah dalam faktor-faktor masukan, prosesor, dan luaran. Secara skematis parameter karakteristik DAS yang tersusun dalam sistem pengelolaan DAS dapat digambarkan seperti Gambar 1 (Paimin, 2004). Di Indonesia karakteristik DAS sangat beragam sebagai interaksi dari seluruh faktor (Gambar 1) dimana masing-masing faktor bisa terdiri dari beberapa sub-faktor. Sebagai contoh, interaksi alam dari vegetasi, tanah, dan air (hujan) disertai dengan intervensi manusia akhirnya membentuk berbagai karakteristik penggunaan lahan yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam memberikan tanggapan terhadap air hujan yang jatuh di atasnya. Penggunaan lahan dalam wilayah DAS tidak hanya lahan pertanian atau non hutan tetapi seluruh bentuk penggunaan lahan termasuk hutan. Dengan demikian karakteristik DAS tidak bisa digeneralisasi tetapi setiap DAS memiiiki watak sendiri yang merupakan hasil interaksi seluruh faktor dalam ekosistem DAS, baik yang menunjukkan sifat kerentanan maupun potensi. Dalam perencanaan pengelolaan DAS, Sheng (1990) menyarankan melalui pendekatan yang berorientasi permasalahan yakni melalui identifikasi tujuan dan permasalahan utama serta rencana dan rekomendasi yang harus dipusatkan pada pemecahan atau penguraian masalah; tanpa mengabaikan seluruh potensi DAS. Pendekatan ini menunjukkan bahwa karakteristik DAS dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan perencanaan dan pengelolaan DAS karena karakteristik DAS memberikan informasi tentang sifat kerentanan yang merefleksikan permasalahan dan sifat yang menunjukkan potensi. Karakteristik DAS mencerminkan kondisi air, lahan, dan sosial ekonomi yang dapat diringkaskan dalam sifat DAS terhadap: (1) aliran air banjir dan daerah rawan banjir, (2) kekeringan, (3) kekritisan lahan, (4) tanah longsor, dan (5) sosial ekonomi dan kelembagaan. Dalam pengertian umum, banjir adalah debit aliran air sungai yang secara relatif lebih besar dari biasanya/normal akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat tertentu secara terus menerus, sehingga tidak dapat ditampung oleh alur sungai yang ada, maka air melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitamya (Tim PKPS, 1997). Banjir adalah suatu peristiwa alam biasa, kemudian menjadi suatu masalah apabila sudah mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia serta mengancam keselamatannya. Oleh karena itu perlu dipilah antara pemahaman potensi air banjirnya sendiri dengan daerah rentan/rawan banjir. Debit air banjir yang sama bisa mengakibatkan kerusakan berbeda karena perbedaan karakteristik daerah yang terkena banjir. Penyebab banjir meliputi faktor: (1) meteorologis, (2) karakteristik DAS, dan (3) manusia (Seyhan, 1977). Faktor meteorologis akan terkait dengan kondisi presipitasi atau hujan yang terjadi yang
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 5
meliputi jumlah, intensitas dan sebarannya. Faktor karakteristik DAS terkait dengan kondisi topografi, tanah, geologi, vegetasi (penutupan lahan dan pada saluran), dan kerapatan drainase. Faktor manusia terkait dengan struktur hidrolik, keteknikan pertanian dan urbanisasi. Kekeringan adalah suatu keadaan di mana curah hujannya lebih rendah dari biasanya/normalnya. Sebagai contoh menurut BMG, bulan mulai kering jika jumlah curah hujan selama satu dasarian (10 harian) kurang dari 50 milimeter dan diikuti oleh dasarian berikutnya atau kurang dari 150 mm/bulan yang merupakan nilai impasnya dengan laju evapotranspirasi rata-rata bulanan. Istilah kering disini juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan di mana curah hujannya sedikit. Sementara yang disebut tahun kering, yaitu tahun di mana kejadian kekeringan/ kering di Indonesia terjadi sebagai akibat kuatnya tekanan udara di Benua Australia. Sedang istilah tahun ENSO (El Nino Southern Oscillation), yaitu tahun di mana kekeringan akibat fenomena global ENSO terjadi, seperti kekeringan pada tahun 1965, 1969, 1972, 1977, 1982, 1987, 1991, 1994, dan terakhir tahun 1997 (Haryono dan Utomo, 2002). Changnom (1987) dalan Kodoati (2002) mendefinisikan kekeringan pertanian adalah sebagai suatu periode dimana air tanah tidak cukup memenuhi kebutuhan air tanaman sehingga pertumbuhannya tetap, atau tanamannya mati. Berkaitan dengan produksi pertanian, Troeh, dkk. (1980) mendefinisikan kekeringan sebagai suatu perliode dimana kekurangan air yang menurunkan atau menjadikan kegagalan pertumbuhan dan hasil akhir dari tanaman utama suatu wilayah. Definisi kekeringan hidrologi adalah suatu periode dimana bila untuk sungai aliranya di bawah normal dan atau bila untuk waduk tampungan air tidak ada (habis). Kekeringan sosial ekonomi adalah hasil proses fisik yang terkait dengan aktivitas manusia yang terkena dampak kekeringan. Menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2001 (Dep. Hut-b, 2001) lahan kritis adalah lahan yang keadaan fisiknya demikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai peruntukannya sebagai media produksi dan maupun sebagai media tata air. Kondisi lahan menjadi kritis demikian sebagai hasil proses degradasi. Somasiri (1998) memberikan pengertian degradasi lahan sebagai pengurangan atau kehilangan keseluruhan kapasitas sumberdaya alam untuk memproduksi tanaman yang bergisi dan sehat sebagai akibat erosi, pembentukan lapisan kedap, dan akumulasi zat kimia beracun, dll. Degradasi lahan merupakan hasil dari kesalahan pengelolaan lahan. Interaksi ekosistem alami dan ekosistem sosial (manusia) dalam suatu pengelolaan akan menentukan keberhasilan atau kegagalan program pengelolaan sumberdaya (Eswaran dan Dumanski, l998). Interaksi ini oleh Wischmeyer dan Smith, (1978) dikuantifikasikan dalam formula Universal Soil Loss Equation (USLE) yang bisa dipilah menjadi faktor alami yang terdiri dari hujan dan tanah (erodibilitas), dan faktor manajemen yang meliputi pengelolaan tanaman dan pengelolaan lahan 6
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
(lereng dan konservasi tanah mekanis). Tabel l. Klasifikasi Tanah Longsor Jenis
Deskripsi
Terbentuk oleh
Penyebab
Jatuhan (falls)
Gerakan udara: melambung, memutar, menggelinding; sangat cepat
Pengangkatan atau lereng curam, patahan batuan, kurangnya ketahanan vegetasi
Pemindahan daya dukung, penjepit dan pengumpil, gempa, kelebihan beban
Longsor (slide)
Material yang bergerak tidak banyak berubah bentuk: bergerak sepanjang bidang luncur; lambat-cepat
Zona masif diatas zone lunak, adanya lapisan dasar yang kedap, buruknya sementasi, atau sedimen yang tak terkonsolidasi
Terlalu curam, Penurunan friksi internal
Aliran (flows)
Bergerak dalam bentuk cairan lumpur; lambat cepat
Penurunan friksi internal karena kandungan air
Rayapan (creep)
Gerakan lambat kearah lereng bawah;beberapa cm/th
Bahan tak terkonsolidasi, perubahan permeabilitas, sedimen halus yang kedap pada batuan dasar Tingginya perubahan temperatur harian, perubahan periode kering-hujan, siklus kembang-kerut
Goyangan pohon, penjepit dan pengumpil, pemotongan tebing atau erosi jurang
Bandang (debris, torrents)
Gerakan cepat Saluran curam, lapisan Debit aliran tinggi, dari air yang tipis dari material yang tanah jenuh air, bermuatan tanah, tak terkonsolidasi di atas sering ditandai oleh batu dan batuan induk di dalam longsor tanah/batu, material organik saluran, lapisan penggundulan hutan di saluran partikel-partikel liat dari sungai. bidang luncur jika basah Sumber: Swanston dan Swanson( 1980) dalam Brook dkk. (1991).
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 7
Tanah longsor (landslide) yaitu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat secara tiba-tiba dalam volume yang besar (sekaligus). Tanah longsor (Brook dkk., 1991) merupakan salah satu bentuk dari gerak masa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan oleh gaya gravitasi dan meluncur di atas suatu lapisan yang kedap yang jenuh air (bidang luncur). Tanah longsor terjadi jika dipenuhi 3 (tiga) keadaan, yaitu: (1) lereng cukup curam, (2) terdapat bidang peluncur dibawah permukaan tanah yang kedap air, dan (3) terdapat cukup air dalam tanah di atas lapisan kedap (bidang luncur) sehingga tanah jenuh air. Klasifikasi jenis tanah longsor disajikan pada Tabel l. Hirmawan (1994) mengelompokkan ciri-ciri tanah longsor atas pengaruh batuan/tanah, tektonik/kegempaan, morfologi, dan hujan/musim. Karena tanah longsor adalah sebuah phenomena alam dimana masa tanah berada diatas lapisan kedap (seperti liat), tanda gerakan yang lambat disebabkan karena adanya pengaruh pengangkatan kandungan air tanah. Suatu saat gerakan landslide berhenti karena berkaitan dengan kondisi topografi yang semakin landai sehingga terbentuk kestabilan tanah yang baru. Tanah tebal dan atau massa batuan sedimen yang berlapis dengan batu liat kembang kerut (jenis montmorilonit) memiliki ketahanan yang lemah. Ketahanan dari jenis tanah ini semakin menurun kondisinya pada musim penghujan. Parameter-parameter untuk menilai stabilitas lereng, menurut Swanston dan Swanson (1980) dalam Brook dkk. (1991), adalah: a. Karakter lahan: (1) landform - merupakan indikator kualitatif untuk menilai potensi landform yang tidak stabil, misal bidang dasar yang paralel dengan lereng lahan dan lembah berbentuk U, (2) konfigurasi lereng konveksi/konkav, dan (3) kemiringan lereng. b. Karakter tanah : (l) keberadaan dan laju gerakan tanah, batuan induk dengan sifat-sifat kohesifnya, (2) adanya sementasi-kompaksi- lapisan tanah bawah (subsoil) yang kedap air (impermeable) sebagai penciri bidang runtuh (3) adanya konsentrasi air bawah tanah sebagai indikator zone tempat dengan kelembaban tanah tinggi seperti mata air dan bocoran atau rembesan air (seepage), dan (4) sifat-sifat tanah lainnya seperti kedalaman, tekstur, jenis mineral liat, sudut gesek, dan kohesivitas c. litologi dan struktur batuan dasar : (1) tipe batuan - seperti abu volkan, breksi dan batupasir berdebu peka terhadap aliran lumpur, (2) tingkat pelapukan, (3) bidang dasar parallel dengan lereng, dan (4) lipatan dan patahan - lokasi dan arah berkaitan dengan lereng lahan. d. Karakter vegetasi: (l) distribusi akar dan tingkat penetrasi akar pada lapisan tanah bawah (subsoil), dan (2) tipe dan distribusi vegetasi-kerapatan penutupan dan umur 8
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
e. Karakter hidrologi: (1) konduktivitas hidrologi jenuh, dan (2) tekanan air pori f. Iklim: (1) kejadian dan distribusi hujan serta (2) fluktuasi suhu Kepadatan penduduk yang melebihi daya dukung lahan akan menimbulkan ketidak seimbangan ekologi. Menurut Riyadi dan Brantakusumah (2003) daya dukung adalah tingkat kemampuan lahan untuk mendukung segala aktivitas manusia yang ada di wilayahnya. Sedangkan menurut McCall (1995), daya dukung merupakan alat analisis penggunaan lahan dan populasi penduduk. Di perkotaan kelebihan penduduk (over populated) telah menimbulkan disekonomi eksternal (Henrick dan Kindelberger 1977) seperti pencemaran lingkungan dan penutupan lahan oleh perkembangan infrastruktur. Kondisi ini diperburuk oleh kesadaran lingkungan yang rendah seperti pembangunan perumahan dan tempat usaha di bantaran sungai dan pembuangan sampah di alur-alur sungai yang menimbulkan tersumbatnya saluran sehingga daya tampung sungai menjadi rendah. Di pedesaan kelebihan penduduk (over populated) telah menyebabkan penguasaan lahan (land tenure) menjadi sempit akibatnya pengelolaan lahan dilakukan menjadi sangat intensif sehingga sering menimbulkan disekonomi eksternal seperti terjadinya erosi melebihi tingkat yang diperkenankan dan akhirnya menimbulkan sedimentasi yang akan mengganggu saluran sungai dan bangunan air lainnya. Disamping itu pertumbuhan penduduk cepat di pedesaan, yang sebagian besar penduduk penghidupannya dari bertani, akan menimbulkan lapar lahan. Kondisi ini apabila tidak disertai dengan kesadaran hukum maka akan terjadi penyerobotan lahan, illegal logging dan gangguan lingkungan lainnya sehingga disinyalir telah menyebabkan bencana alam seperti banjir dan longsor. Disamping parameter kependudukan, parameter budaya juga dikembangkan dalam karakteritisasi DAS. Budaya adalah akal budi, adat istiadat, atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar dirubah (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991). Parameter budaya terdiri dari perilaku konservasi dalam pengelolaan lahan, hukum adat dan nilai-nilai tradisional. Perilaku konservasi oleh masyarakat dipilih untuk mengetahui jenis praktek konservasi tanah yang dilakukan penduduk sebagai indikasi kecenderungan kelestarian lahan dalam suatu DAS. Pada karakteristik ekonomi, parameter ketergantungan penduduk terhadap lahan digunakan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi sektor pertanian terhadap total pendapatan keluarga. Semakin besar kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan rumah tangga penduduk maka ekploitasi terhadap lahan akan semakin tinggi dan kerusakan lingkungan akan semakin meningkat.
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 9
lndikator tingkat pendapatan digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan penduduk. Kegiatan dasar wilayah (LQ) digunakanu untuk mengetahui sektor ekonomi yang dominan dalam suatu wilayah. Riayadi dan Bratakusumah (2003) menyatakan bahwa LQ merupakan metode yang membandingkan kemampuan sektor-sektor pembangunan dalam suatu wilayah dengan sektor-sektor pembangunan yang ada di wilayah yang lebih luas. Jika pertanian manjadi sektor dominan maka kecenderungan terjadinya kerusakan lingkungan akan semakin tinggi. Berkaitan dengan rendahnya pendapatan penduduk sementara kegiatan ekonomi bertumpu pada sektor pertanian maka eksploitasi terhadap sumber daya alam akan semakin meningkat. Indikator kelembagaan digunakan untuk mengetahui tingkat dukungan kelembagaan non formal di tingkat petani maupun lembaga formal dalam praktek konservasi tanah. Semakin tinggi dukungan secara kelembagaan dalam praktek konservasi tanah diasumsikan kondisi suatu DAS akan baik. Untuk memperoleh karakteristik DAS diperlukan suatu formulasi sistem karakterisasi untuk masing-masing komponen sifat DAS tersebut. Formulasi yang dibangun untuk setiap tingkatan hirarki pengelolaan DAS akan berbeda sesuai dengan strukturnya yakni tingkat nasional, DAS, dan Sub DAS. Dengan mengacu bahwa karakteristik DAS dapat menginformasikan potensi dan kerentanan DAS, maka kondisi rentan suatu DAS dapat disetarakan dengan kondisi DAS yang mengalami degradasi.
10
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
III. PENILAIAN DEGRADASI SUB DAS A. Formulasi Sistem Karakterisasi Rumusan dasar sistem karakterisasi tingkat Sub DAS disusun berdasarkan alur pikir seperti pada Gambar 2. Sifat alami DAS yang relatif tidak berubah akan memberikan karakteristik dasar/alami Sub DAS yang merupakan ciri khas dari Sub DAS. Dengan adanya intervensi manusia yang berupa manajemen terhadap sumberdaya alam dalam DAS, terutama masukan teknologi, akan memberikan karakter yang ada pada saat tersebut atau disebut karakteristik aktual. Dapat dikatakan bahwa karakteristik aktual adalah karakteristik dasar ditambah masukan manajemen. Hasil penilaian terhadap karakter DAS dapat memberikan justifikasi terhadap karakter kerentanan dan potensi Sub DAS. Kerentanan menunjukkan mudahnya terkena degradasi, dan potensi merupakan kemampuan atau kekuatan sumber daya Sub DAS yang mempunyai kemungkinan untuk dapat dikembangkan.
Karakteristik DAS Faktor Alami Iklim (Hujan & Suhu) Morfometri, Geologi Bentuk Lahan, Lerang Makro, Tanah
Faktor Manajemen Penggunaan Lahan,Teknik KTA, Limpasan Sedimen, Evapotrans, Kondisi Sosek, sll
Karakteristik Dasar DAS
Karakteristik Aktual DAS
Ketentuan Alami (Potensial) DAS: 1. Kekeringan 2. Banjir 3. Kekritisan/Erosi 4. Longsor
Kerentanan Aktual DAS: 1. Kekeringan 2. Banjir 3. Kekritisan/Erosi 4. Longsor 5. Sosial Ekonomi
Potensi Alam DAS: 1. Air 2. Lahan
Potensi Aktual DAS: 1. Air 2. Lahan 3. Sosial Ekonomi
Gambar 2. Faktor Dasar Rumusan Karakterisasi Sub DAS
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 11
Sistem penilaian dalam formulasi sistem karakterisasi tingkat Sub DAS yang disusun untuk menyatakan tingkat kerentanan dapat digunakan untuk menilai tingkat degradasi suatu Sub DAS, yang kemudian digunakan sebagai basis perencanaan pengelolaan. Degradasi, yang diukur dari kerentanan suatu Sub DAS mencakup aspek/komponen: (1) banjir dan daerah rawan banjir, (2) kekeringan, (3) kekritisan lahan, (4) tanah longsor, dan (5) sosial ekonomi. Formulasi potensi tidak berbeda dengan formulasi kerentanan, dimana nilai kategori yang membedakannya yakni pada nilai kategori tinggi berarti kerentanan, sebaliknya pada nilai kategori rendah menunjukkan potensi. Setiap aspek karakteristik Sub DAS dibedakan antara sifat alami dan sifat dari hasil pengelolaan (manajemen) sebagai bentuk intervensi manusia terhadap sumber daya alam. Pemilahan demikian untuk membantu dalam melakukan analisis masalah yang timbul sehingga diperoleh dasar pendekatan pengelolaan Sub DAS yang lebih rasional. Masing-masing parameter penyusun setiap komponen/aspek tersebut selanjutnya diklasifikasi dalam 5 (lima) besaran yang dinyatakan dalam ketegori ‘tinggi’ – ‘agak tinggi’ – ‘sedang’ – ‘agak rendah’ – ‘rendah’, dimana kategori ‘rendah’ menunjukkan kondisi ‘tidak rentan’ dan kategori ‘tinggi’ menunjukkan kondisi ‘sangat rentan’ terhadap komponen yang dilihat. Setiap parameter dalam komponen/aspek diberi bobot berdasarkan pertimbangan besarnya peran dalam aspek tersebut. Formulasi sistem karakterisasi Sub DAS pada masing-masing komponen disajikan dalam Lampiran Tabel A.1 sampai dengan E.1. 1. Banjir dan Daerah Rawan Banjir Dalam memformulasikan kerentanan banjir, parametcr-parameter yang terkait tersebut dibedakan antara karakteristik potensi air banjir dan kerentanan daerah rawan banjir. Potensi banjir terkait dengan sumber (asal) penyebab air banjir yang berkaitan dengan faktor meteorologis dan karakteristik Sub DAS nya. Sehingga parameter-parameter yang digunakan untuk memformulasikan kerentanan potensi air banjir dilakukan melalui : (a) estimasi berdasarkan kondisi alami dan manajemen daerah tangkapan airnya, atau (b) pengukuran langsung dari nilai debit spesifik maksimum tahunannya. Pada formulasi estimasi, parameterparameter yang dipakai yaitu: (1) hujan harian maksimum rata-rata pada bulan basah (mm/hari), (2) bentuk DAS, (3) gradien sungai, (4) kerapatan drainase, (5) lereng rata-rata DAS (%), untuk parameter alami, dan (6) jenis penggunaan lahan untuk parameter manajemen. Pada karakteristik daerah rawan banjir parameter-parameter alaminya meliputi : (1) bentuk lahan, (2) meandering, (3) pembendungan oleh percabangan sungai/air pasang, (4) lereng lahan kiri kanan sungai; sedangkan parameter manajemen yaitu (5) bangunan air. Masing-masing 12
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
parameter diberi bobot dan diklasifikasi menjadi lima besaran yang masing -masing diberi nilai kategori dan skor yaitu: nilai 5 untuk tinggi dan 4,3,2, dan 1 masing-masing untuk agak tinggi, sedang, agak rendah, dan rendah atau kategori lain yang setara. Formulasi karakteristik banjir dan daerah rawan banjir secara rinci disajikan pada Lampiran Tabel A.1. Perlu dicatat bahwa untuk banjir yang diukur langsung (Tabel A.1Bagian LB), penilaian berdasarkan hasil pengukuran langsung; bukan estimasi. Parameter alami diberi bobot lebih tinggi dari pada bobot manajemen dengan pertimbangan bahwa dengan pengendalian banjir pada daerah tangkapan air secara maksimal, seperti penghutanan, kemungkinan banjir masih bisa terjadi karena sifat alaminya yang tidak mungkin untuk bisa dikendalikan melalui pengelolaan DAS. 2. Kerentanan Kekeringan dan Potensi Air Seperti telah diuraikan pada formulasi karakteristik banjir, maka pada penentuan formula kekeringan dan potensi air juga didasarkan atas parameterparameter yang bersifat alami antara lain: (1) hujan tahunan, (2) evapotranspirasi aktual tahunan, (3) bulan kering, (4) geologi, dan parameter terkait dengan aspek manajemen yaitu: (5) kebutuhan air (Indeks Penggunaan Air), dan (6) debit minimum spesifik tahunan. Masing-masing parameter tersebut diberi bobot berdasarkan bobot perannya, serta dilakukan klasifikasi besaran dan pemberian nilai kategori yang dikelompokkan dalam lima nilai skoring. Formulasi karakteristik Sub DAS pada aspek kekeringan dan potensi air dalam Sub DAS disajikan pada Lampiran Tabel B.l. 3. Kekritisan dan Potensi Lahan Faktor yang digunakan untuk memformulasikan karakteristik lahan atau tingkat kekritisan lahan maupun potensinya terdiri dari 5 (lima) faktor alami dan 2 (dua) faktor manajemen yang diterapkan terhadap lahan. Faktor alami mencakup parameter kedalaman/jeluk solum tanah, lereng, batuan singkapan, morfoerosi, dan kepekaan tekstur tanah terkait dengan erosi. Sedangkan faktor manajemen dipilah antara majemen untuk kawasan budidaya pertanian, yang umumnya merupakan tanaman semusim, dan kawasan hutan dan perkebunan yang dominannya tanaman tahunan. Walaupun parameter pada kedua kawasan sama yakni vegetasi penutup dan perlakuan konservasi tanah, tetapi besaran penyusunnya berbeda. Masing-masing parameter dibedakan dalam 5 (lima) kategori yakni tinggi, agak tinggi, sedang, agak rendah, dan rendah, atau dengan kategori lain yang setara. Kekritisan lahan dan potensi lahan disifatkan oleh faktor yang sama, sehingga
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 13
dalam pemilahanya adalah bahwa lahan dalam kondisi kritis dinyatakan dengan atau dicirikan oleh kisaran nilai pada kategori ‘tinggi’ –’sedang’, sedangkan lahan yang memiliki potensi memadai dicirikan oleh nilai pada kategori ‘sedang’‘rendah’. Dalam pemberian bobot, faktor alami diberi bobot lebih rendah (45%) dibanding faktor manajemen (55%) dengan pertimbangan bahwa : 1. Apabila tanpa intervensi manusia, alam berubah secara dinamis untuk mencapai keseimbangannya tanpa menimbulkan degradasi. Intervensi manusia terhadap alam sangat besar pengaruhnya terhadap keseimbangan alaminya, dan sering melampaui batas toleransinya 2. Pertambahan penduduk yang terus meningkat tanpa keseimbangan lapangan kerja mengakibatkan tekanan penduduk terhadap lahan semakin besar dengan praktek pengelolaan lahan yang melampaui batas kemampuannya. Dengan demikian kekritisan dan potensi lahan sangat di pengaruhi sekali oleh tingkat intervensi manusia (manajemen) terhadap lahan. Formulasi kekritisan dan potensi lahan seperti disajikan pada lampiran Tabel C.1 4. Kerentanan Tanah Longsor Dalam penentuan formulasi kerentanan tanah longsor, parameter penyusunnya dibedakan antara parameter alami dan manajemen. Faktor alami yang berperan dalam tanah longsor adalah: (1) hujan harian kumulatif 3 (tiga) hari berurutan, (2) lereng lahan, (3) geologi/batuan, (4) keberadaan sesar/patahan/gawir, (5) kedalaman tanah (regolit) sampai lapisan kedap; sedangkan aspek manajemen meliputi: (1) penggunaan lahan, (2) infrastruktur, dan (3) kepadatan pemukiman. Masing-masing parameter tersebut diberi bobot serta diklasifikasikan dalam 5 (lima) besaran dengan nilai kategori dan skor seperti pada Lampiran Tabel D.1. 5. Kerentanan Soaial Ekonomi dan Kelembagaan Dinamika karakteristik Sub DAS mencerminkan dinamika keseimbangan alami serta dinamika karakteristik kependudukan, sosial, ekonomi, dan kelembagaan (kepsoseklem) masyarakatnya. Disadari bahwa dinamika permasalahan soseklem sangat komplek, sehingga penyusunan formula karakteristik soseklem Sub DAS disesuaikan dengan kebutuhan sistem pengelolaan Sub DAS yang meliputi tiga aspek yakni sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Karakteristik kependudukan tersusun dari parameter: (1) kepadatan geografis, dan (2) kepadatan agraris. Kepadatan geografis adalah jumlah penduduk yang mendiami suatu wilayah (orang/km2) sedangkan kepadatan agraris adalah jumlah petani yang menggarap lahan per satuan luas (orang petani/ha). Karakteristik sosial lainnya terdiri dari parameter: (1) tingkah laku konservasi masyarakat, (2) hukum adat dalam kegiatan 14
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
konservasi, dan (3) kearifan atau nilai-nilai tradisional dalam konservasi. Karakteristik ekonomi mencakup parameter: (1) ketergantungan terhadap lahan, dinyatakan dalam persen kontribusi pendapatan usaha tani terhadap pendapatan total, (2) tingkat pendapatan, dan (3) kegiatan dasar wilayah (LQ); sedangkan aspek kelembagaan mencakup: (l) keberdayaan lembaga formal dalam konservasi tanah yang dinyatakan dalam tingkat pelembagaan kegiatan konservasi tanah, dan (2) keberdayaan lembaga nonformal dalam konservasi tanah yang menunjukkan peran kelembagaan pada kegiatan konservasi. Ketergantungan penduduk terhadap lahan merupakan kontribusi pendapatan dari kegiatan pertanian terhadap total pendapatan keluarga. Tingkat pendapatan masyarakat adalah pendapatan keluarga/tahun dan kegiatan dasar wilayah merupakan proporsi jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian dibandingkan jumlah penduduk yang bekerja pada seluruh sektor. Tingkat pendapatan masyarakat merupakan rata-rata pendapatan masyarakat. Rata-rata pendapatan masyarakat tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai garis kemiskinan. Ada beberapa pendekatan untuk kegiatan dasar wilayah antara lain: tenaga kerja sektoral (LQ), ketersediaan sarana-prasarana wilayah, kontribusi lokasi terhadap pertumbuhan wilayah (location shift share), dll. Dalam Pedoman penyelenggaraan pengelolaan DAS (DepHut-b, 2001), dipakai LQ tenaga kerja sektoral. LQ menunjukkan dominansi tenaga kerja sektor i pada suatu lokasi dibandingkan dengan dominansi tenaga kerja sektor i pada seluruh wilayah pengamatan. Data ketenagakerjaan dapat diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) setempat. Rumus yang dipakai adalah sebagai berikut: Mi/M LQ = dimana, Ri/R LQ = Koefisien lokasi Mi = Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor i pada satu wilayah pengamatan M = jumlah tenaga kerja di satu wilayah pengamatan Ri = jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor i di seluruh wilayah pengamatan R = jumlah tenaga kerja yang ada di seluruh wilayah pengamatan R = Rl +R2+R3+....+Rn Karena analisis kelembagaan tidak dapat langsung dikuantifikasikan dan akan lebih valid apabila dilakukan dengan analisis kualitatif maka kelembagaan dalam pengelolaan Sub DAS disederhanakan menjadi dua sub parameter yaitu: keberdayaan kelembagaan nonformal terhadap konservasi dan, b) keberdayaan
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 15
lembaga formal pada kegiatan konservasi. Setiap kriteria diberi bobot berdasarkan tingkat peran dan fungsinya yakni kriteria sosial sebesar 50%, ekonomi 40%, dan kelembagaan 10%. Setiap parameter tidak selalu diklasifikasi dalam 5 (lima) kategori tapi sebagian hanya dipilah dalam 3 (tiga) kategori yakni ‘tinggi’, ‘sedang’, ‘rendah’ atau yang setara. Agar pemilahan kategori ini kompatibel dengan klasifikasi kategori aspek/ komponen lainnya, maka pemberian nilai pada setiap kategori menjadi 5 untuk ‘tinggi’, 3 untuk ‘sedang’, dan 1 untuk ‘rendah’. Formulasi karakteristik soseklem seperti pada Lampiran Tabel E. 1 B. Penilaian Degradasi Sub DAS Penghitungan nilai setiap aspek/komponen karakteristik Sub DAS dilakukan dengan cara menjumlahkan seluruh hasil kali dari skor dan bobot pada setiap parameter dibagi 100. Berlandaskan parameter penyusun formula karakteristik Sub DAS maka pada bobot dengan skor (nilai kategori) tinggi menunjukkan Sub DAS dalam kondisi rentan terhadap degradasi. Kategori tingkat karakter setiap komponen dinyatakan berdasarkan hasil perhitungan nilai bobot tersebut, dengan menggunakan klasifikasi peringkat pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi Tingkat Kerentanar/Degradasi Sub DAS Kategori Tinggi Agak Tinggi Sedang Agak Rendah Rendah
Nilai > 4,3 3,5 - 4,3 2,6 - 3,4 1,7 - 2,5 < 1,7
Tingkat Kerentanan/Degradasi Sangat Rentan/Sangat terdegradasi Rentan/Terdegradasi Agak Rentan/Agak Terdegradasi Sedikit Rentan/Sedikit Terdegradasi Tidak Rentan /Tidak Terdegradasi
Penilaian terhadap karakteristik lahan dilakukan pada setiap satuan (unit) lahan, sedangkan nilai lahan dalam keseluruhan Sub DAS atau Sub-sub DAS dihitung secara tertimbang dari seluruh satuan lahan yang ada. Demikian juga penilaian terhadap tanah longsor dilakukan seperti pada karakteristik lahan. Untuk menperoleh sumber penyebab degradasi pada setiap aspek/komponen karakteristik Sub DAS dilakukan dengan menelusuri parameter yang memiliki nilai/skor tinggi, sehingga rekomendasi penanganannya akan disesuaikan dengan tingkat masalah yang dihadapi. Bertolak dari DAS sebagai sistem maka karakteristik banjir merupakan bentuk luaran (outputs) dari masukan (inputs) hujan dan intervensi manusia serta kondisi lahan sebagai prosesor. Dengan demikian apabila degradasi DAS dari komponen ‘banjir’ termasuk kategori ‘tinggi’ maka secara rasional kondisi lahan dan sosek pada daerah tangkapan airnya juga dalam kategori ‘tinggi’. Informasi rinci karakteristik lahan dan sosek akan menunjukkan lokasi, penyebab, dan tingkat degradasinya. 16
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
IV. TEKNIK PENYIDIKAN Mengacu pada sistem pengelolaan DAS, penyidikan degradasi DAS/Sub DAS dilakukan dengan mengikuti proses sistem pengelolaan DAS secara terbalik yakni dimulai dari luaran (outputs), seperti pada diagram Gambar 3
Mofometri DAS Luas Bentuk Kemiringan Sungai DAS Kerapatan Dll
Hidrologi
Produksi
Limpasan Sedimen Air Tanah Pencemar
Pertanian Hutan Perkebunan Jasa dll
Kondisi Lahan Lereng Tanah Erosi Penggunaan Lahab Geologi
SUB DAS/SUB-SUB DAS
Pengelolaan Lahan & Air
Teknologi Imput Usaha Tani Pola & Sistem Tanah Konservasi Tanah Bangunan Air
Diagnose Awal
hujan
Diagnose Lanjut Masyarakat Sosial-Penduduk Budaya Ekonomi-Pendapatan, Ketergantungan, LQ KelembagaaKeberdayaan, Lemb. Non Normal
Tk Kerentanan/Degradasi Sub DAS Jenis & Penyebab Kerusakan Tempat (Asal) (Banjir), Kekeringan, Kekritisan Lahan. Tanah Longsor, Soseklem) Alternatif/Rencana Pengelolaan Sub DAS
Terapi
Gambar3. Proses Penyidikan (Diagnose) Degradasi Sub DAS Penyidikan degradasi suatu DAS/Sub DAS mirip dengan prosedur diagnose kesehatan manusia atau hewan yakni melalui tahap diagnose awal dan diagnose lanjut sebagai dasar untuk melakukan terapi. Dalam sistem pengelolaan Sub
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 17
DAS, kondisi hidrologi dan produksi merupakan luaran yang bisa memberikan indikasi awal kondisi kesehatan/degradasi (diagnose awal) suatu DAS/Sub DAS. Berdasarkan pengalaman, parameter produktivitas lahan dan jasa lingkungan sulit dievaluasi. Data produktivitas komoditi pertanian tersedia di BPS setiap tahun tetapi produktivitas komoditi pertanian tersebut sangat dipengaruhi oleh luas lahan yang ditanami, teknologi yang digunakan dan iklim, sehingga sulit digunakan sebagai indikasi degradasi lahan. Disamping itu data produksi yang diperoleh pada lahan terdegradasi, data sekunder, sering bias dan kurang memberikan indikasi nyata terhadap lahan yang terdegradasi karena tingkat produksi masih bisa dipertahankan melalui peningkatan masukan, khususnya pada tanah bersolum tebal. Demikian juga parameter jasa lingkungan juga dipengaruhi oleh kondisi Sub DAS dan kebijakan pemerintah setempat sehigga belum bisa menentukan kinerja Sub DAS sesungguhnya. Diagnose/penyidikan lanjut pada daerah tangkapan air (catchment area) baik biofisik maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (sosesklem) dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut tentang: (1) jenis penyakit/degradasi, (2) faktor penyebab degradasi, (3) tempat (sumber) terjadinya degradasi. Hasil penyidikan (awal dan lanjut) dapat digunakan sebagai awal penyusunan alternatif rencana pengelolaan (terapi) Sub DAS yang sesuai dengan penyakitnya serta kondisi biofisik dan sosesklem setempat. Untuk memperoleh data dan informasi parameter penyusun karakteristik Sub DAS dapat menggunakan dan memanfaatkan data dan peta yang tersedia (data sekunder dan analisis) serta dengan melakukan survai lapangan (data primer). Pemanfaatan dan penggunaan data sekunder dan peta serta institusi sumber data secara ringkas disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Pemanfaatan peta dan data sekunder untuk karakterisasi Sub DAS No
Sumber Data/Peta
Data Yang Diperoleh
Karakteristik DAS
1
2
3
4
1.
Debit Aliran SPAS (Puslitbang Air dan Dinas PU Propinsi)
a. Qmaks spesifik b. Qmin spesifik c. Koefisien rejim sungai (KRS)
18
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
Banjir Kekeringan Tata Air DAS
2.
3.
Hujan Harian - 10 tahun terakhir (Dinas PU, Kecamatan, Instansi Lain)
a. Harian maksimum b. Rata-rata 2 tahunan c. Jumlah bulan kering (<150mm/bln) d. Harian kumulatif 3 hari berurutan
Banjir Kekeringan + IPA Kekeringan
Peta topografi & RBI (Bakosurtanal, DEM, dan Jatop TNI AD)
a. Morfometri DAS - Luas wilayah Sub DAS - Bentuk Sub DAS - Gradien sungai - Lereng rata- 2 Sub DAS - Kerapatan drainase b. Kelas Lereng
Banjir
c. Penggunaan/ penutupan lahan
4.
Peta geologi (Puslitbang Geologi)
d. Jaringan jalan e. Meandering f. Percabangan sungai g. Estimasi bentuk lahan a. Jenis bantuan b. Garis Gawir / patahan sesar a. Jenis tanah/tekstur b. Estimasi solum tanah c. Estimasi regolit Jenis dan persen penutupan lahan
5.
Peta Tanah (Puslitanak)
6.
Peta penutupan lahan (Baplan/ Dephut, Pemda)
7.
Peta sistem lahan (RePPProT)
a. Bentuk Lahan/ fisiografi b. Jenis tanah c. Geologi
8.
Peta penggunaan lahan
a. Pemilahan pengelolaan b. Luas lahan pertanian
Tanah Longsor
Tanah Longsor Kekritisan Lahan Banjir Kekeringan (IPA) Tanah Longsor Kekritisan Lahan Tanah Longsor Daerah Rawan Banjir Daerah Rawan Banjir Daerah Rawan Banjir Kekeringan Tanah Longsor Tanah Longsor Kekritisan Lahan Kekritisan Lahan Tanah Longsor Banjir Kekeringan (IPA) Tanah Longsor Kekritisan lahan Banjir Kekritisan Lahan Kekeringan Tanah Longsor Kekritisan Lahan Kepadatan Agraris
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 19
9.
Foto Udara
a. Penutupan Lahan
b. Morfoerosi c. Jaringan Jalan d. Meandering e. Percabangan sungai f. Bentuk lahan g. Kelas lereng h. Morfometri 10.
Citra Satelit
a. Penutupan lahan
b. Meandering c. Percabangan sungai 11.
Kabupaten/Kec. Dalam Angka 5 tahun terakhir (BPS, Pemda)
a. Penduduk- jumlah, mata pencaharian, pertumbuhan b. Pendapatan Masyarakat c. Ketenagakerjaan
Banjir Kekeringan (IPA) Tanah Longsor Kekritisan Lahan Kekritisan Lahan Tanah longsor Daerah rawan banjir Daerah rawan banjir Daerah rawan banjir Kekritisan Lahan Tanah Longsor Banjir Banjir Kekeringan (IPA) Tanah Longsor Kekritisan Lahan Daerah Rawan banjir Daerah Rawan banjir Kepadatan Penduduk TK. Pendapatan masyarakat. Kegiatan dasar wil.
Data primer yang diperlukan mencakup data sumberdaya lahan serta sosial ekonomi dan kelembagaan. Penyidikan sumberdaya lahan dilakukan melalui prosedur inventarisasi sumberdaya lahan dengan menggunakan pendekatan satuan peta (map unit) atau satuan lahan (land unit). Prosedur penyusunan peta satuan lahan dan inventaris sumberdaya lahan dapat diringkas sebagai berikut: • Mendeliniasi wilayah Sub DAS menjadi daerah tangkapan air lebih kecil (Subsub DAS) pada peta RBI atau peta topografi • Membagi setiap Sub-sub DAS dalam satuan peta/lahan yang menunjukan kesamaan dari parameter lereng, tanah, dan penggunaan lahan • Membuat garis transek pada beberapa Sub–sub DAS dimana garis tersebut dapat memotong sebagian terbesar satuan peta yang ada sebagai sampel pewakil untuk ceking lapangan. • Menginventarisasi sumberdaya lahan (survei lapang) pada setiap satuan peta yang terpotong oleh garis transek
20
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
Penyusunan satuan peta (lahan) dilakukan dengan tumpang susun (overlay) peta penggunaan lahan, peta tanah, dan peta kelas lereng yang dideliniasi pada peta RBI atau peta topografi. Untuk mempermudah pekerjaan ini perangkat sistem informasi geografis (Geographic Information System/GIS) bisa digunakan. Informasi geologi dapat diinventarisasi pada satuan peta ini dengan menumpang susunkan peta geologi pada peta satuan lahan. Parameter dalam satuan peta ini dikoreksi pada kegiatan survai lapang. Survei lapang dilakukan untuk memperoleh data parameter : solum tanah, kedalaman regolit, bantuan singkapan, morfoerosi, kondisi dan jenis vegetasi penutup tanah, praktek konservasi tanah dan air, drainase air, bentuk lahan, keberadaan sesar/patahan/gawir, pembendungan oleh pencabangan sungai atau air pasang, dan infrasruktur (jalan, pemukiman, bangunan air). Seluruh data dihimpun pada masing-masing satuan lahan. Survei sosial dapat dilakukan secara sensus untuk populasi masyarakat yang kecil tetapi untuk populasi yang besar akan membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang banyak sehingga terkadang malah tidak akurat datanya karena tingkat ketelitiannya menjadi rendah. Untuk itu perlu dilakukan dengan menggunakan sampel yang representatif. Kegiatan survei untuk penyusunan rencana pengelolaan Sub DAS dilakukan dengan cara diskusi kelompok dalam bentuk focus group discussion dengan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki pola pengelompokan tertentu. Tingkah laku masyarakat dalam mengelola lahan ditentukan oleh kondisi lingkungan lahan yang dikelolanya atau agroecozone atau zona ekologi pertanian sehingga pola pengelolaan lahan akan berbeda-beda dari gunung ke arah pantai. Pola pengelolaan lahan ini sebenarnya merupakan hubungan aksi-reaksi (interaksi) antara masyarakat dengan kondisi lingkungan, terutama lahan dan iklim, agar lahan produksi maksimal. Syarat diskusi kelompok: 1. Peserta diskusi mewakili masyarakat (petani, penyewa, kelompok, tani, perangkat desa dll) 2. Peserta tidak melebihi 20 orang agar hasil dikusi dapat terfokus. 3, Diskusi partisipatif 4. Pimpinan diskusi harus mengarah agar pembicaraan dapat menghasilkan informasi yang diharapkan. Teknik penyidikan setiap parameter penyusunan karakteristik DAS secara ringkas disajikan pada lampiran A.2, B.2, C.2, D.2, dan E.2, sedangkan kategori masing-masing parameter mengacu pada klasifikasi pada Lampiran A.1, B.1, C.1, D.1, dan E.1.
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 21
V. PENUTUP Karakteristik Sub DAS hanya dibatasi pada lima aspek/komponen yaitu karekteristik banjir dan daerah rawan banjir, kekeringan dan potensi air, kekritisan lahan, tanah longsor, serta sosial ekonomi dan kelembagaan. Formulasi sistem karakterisasi DAS yang tersususn dapat digunakan untuk membantu melihat tingkat degradasi yang dialami oleh Sub DAS. Karakteristik hidrologis yang ditunjukkan oleh banjir akan selaras dengan karakteristik lahan dalam Sub DAS sebagai prosesor air hujan yang jatuh diatasnya serta merupakan cerminan karakteristik sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat di dalam Sub DAS. Dengan melakukan deteksi pada setiap parameter penyusun formula karakteristik Sub DAS akan diketahui penyebab degradasi dan potensi yang dimiliki, sehingga permasalahan dan strategi penanganannya bisa diformulasikan. Perencanaan pengelolaan Sub DAS dapat disusun berdasarkan hasil penyidikan degradasi Sub DAS ini. Parameter penyusun formula karakteristik diupayakan agar mudah difahami dan mudah didapat dan tersedia pada instansi terkait dan para pihak, sehingga memudahkan aplikasinya bagi pengguna, terutama di tingkat kabupaten. Dengan kemudahan prosedur kerja tersebut diharapkan pelaksanaan kegiatan penyidikan dapat dilakukan lebih cepat, tepat dan akurat.
22
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
DAFTAR PUSTAKA Brook, K.N., P. F. Ffolliot, H.M. Gregesen, dan J.K. Thames. 1991. Hydrology and The Management of Watersheds. Iowa State University Press, Ames USA. 392 pp. Departemen Kehutanan – a. 2001. Eksekutif. Data Strategis Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan. Jakarta. 159 pp. Departement Kehutanan – b. 2001. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Ditjen. RLPS. Dit RLKT. Jakarta. 31 pp. Dixon, J.A., K. W. Easter. 1986. Integrated Watershed Management : An Approach to Resource Management. Hlm. 3-15. Dalam. K. W. Easter, J.A. Dixon, and M.H. Hufschimidt. Eds. Watershed Recources Management. An Integrated Framework with Studies from Asia and the Pasific. Studies in Water Policy and Management, No. 10. Westview Press and London. Honolulu. Eswaran, H., dan J. Dumanski. 1998. Land Degradation and Sustainable Agriculture : A Global Perspective. Hlm. 208 – 226. Dalam. Bhushan, L.S., I.p. Abrol, M. S. Rama Mohan Rao. Eds. Soil and Water Conservasion. Challenges and Opportunities. 8th International Soil Conservation Conference. Vol. 1. Indian Assc. Of Soil & Water Cons. Deha Dun. India. Haryono dan P. Utomo. 2002. Kekeringan di Jatim Berkaitan dengan Kerusakan Lingkungan. Kompas (Jawa Timur), 27 Juli 2002, PT. Gramedia, Jakarta. Herrick, B. dan C.P. Kindleberger. 1997. Economic Development. McGraw Hill, Inc. New York. Hirmawan, F. 1994. Pemahaman Sistem Dinamis Kestabilan Lereng Untuk Mitigasi Kebencanaan Longsor. Makalah Penunjang No. 17 Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam. Kerjasama F–Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan Bencana, Yogyakarta. Kodoati, R. J. 2002. Kekeringan dan Kampanye Hemat Air. Suara Merdeka 11 Juli 2002 McCall, MK. 1995. Penaksiran Sumberdaya Dalam Perencanaan Wilayah. LANDSE. Jakarta. MOF, UNDP, FAO. 1985. Assistance to Watershed Management Programmes. Indonesia. Applied Research Needs and Soil Conservation Techniques for Field Trial in the Outer Islands. Ag : DP/INS/83/034. Field Doc. 2. Solo. 125 pp.
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 23
Paimin. 2004. Usulan Kegiatan Penelitian Sistem Karakterisasi Daerah Aliran Sungai (DAS). Revisi Juli 2004. Badan Litbang Kehutanan. 20 pp. Paimin, Sukresno, Purwanto, A. Wuryanto, Wardojo, U.H. Murtiono, A. Cahyono, dan N. Haryanti. 2004. Laporan Kajian Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) di Jawa dan Sumatera. Kegiatan Kajian dan Penerapan Hasil Penelitian Kehutanan. BP2TPDAS-IBB. Surakarta. 180 pp. Peraturan Pemerintahan (PP) No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009, tanggal 19 Januari 2005. Riyadi dan D.S. Bratakusumah. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Somasiri, S. 1998. Land Degradation : Causes and Impacts. Hlm. 67-69. Dalam Bhushan, L.S., I.P. abrol, M.S. Rama Mohan Rao. Eds. Soil and Water Conservation. Challenges and Opportuties. 8th Internasional Soil Conservation Conference. Vol. I. Indian Assc. of Soil & Water Cons. Deha Dun. India. Seyhan, E. 1977. Fundamentals of Hydrology. Terjemahan. S. Subagyo. 1993. Dasar-Dasar Hidrologi. Cetakan kedua. Gajah Mada Univ. Press. Yogyakarta. 380 pp Sheng, T.C. 1986. Watershed Management Planning : Practical Approaches. Hlm. 124-146. Dalam Strategies, Approaches, and System In Integrated Watershed Management. FAO Conservation Guide 13/6. FAO, UN. Rome Sheng, T.C. 1990. Watershed Management Field Manual. Watershed Survey and Planning. FAO Conservation Guide 13/6. FAO, UN. Rome. 170 pp. Tim PKPS. 1997. Kamus Pertanian Umum. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.287 pp. Troeh, F.R., J.A. Hobbs, dan R.L. Donahue. 1980. Soil and Water Conservation for Productivity and Environmental Production. Prentice-Hall, Inc. New Jersey. 717 pp Wischmeier, W.H. dan D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. A Guide to Conservation Planning. Agr. Handbk No. 537. USDA, Washington, D.C.
24
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
LAMPIRAN Tabel A.1.
Formulasi Banjir dan Daerah Rawan Banjir
No
Parameter/Bobot
Besaran
Skor
I A
POTENSI BANJIR ESTIMASI (100%) ALAMI (60%) Hujan harian maksimum rata-rata pada bulan basah (mm/ hari) (35%)
Kategori Nilai
< 20 21-40 41-75 76-150 >150
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
Lonjong Agak Lonjong Sedang Agak Bulat Bulat
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
1 a
b
Bentuk DAS (5%)
c
Gradien Sungai (%) (10%)
< 0,5 0,5-1,0 1,1-1,5 1,6-2,0 > 2,0
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
d
Kerapatan drainase (5%)
Jarang Agak Jarang Sedang Rapat Sangat Rapat
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
e
Lereng rata-rata DAS (%) (5%)
<8 8-15 16-25 26-45 > 45
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
2
MANAJEMEN(40%)
a
Penggunaan lahan (40%)
Hutan Lindung/ Rendah Konservasi (Alam)* Hutan Prod/Perkeb** Agak Rendah Pek/Semak/Blk Sedang Sawah/Tegal-teras Agak Tinggi Tegal/Pmk-kota Tinggi *) dan **) dalam kondisi normal atau tidak dalam kondisi kritis
1 2 3 4 5
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 25
B
PENGUKURAN (100%)
a
Debit puncak spesifik (m3/dt/km2) (100%)
II
DAERAH RAWAN BANJIR
1
ALAMI (55%)
a
Bentuk lahan (10%)
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
Pegunungan dan Perbukitan Kipas & Lahar, Dataran dan Teras-teras Dataran Aluvial, Lembah Aluvial, Jalur Kelokan
Rendah
1
Sedang
3
Tinggi
5
1 – 1,1 1,2 – 1,4 1,5 – 1,6 1,7 – 2,0 >2
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
b
Meandering Sinusitas (P) = panjang/jarak sungai sesuai belokan : jarak lurus (5%)
c
Pembendungan oleh percabangan sungai/air pasang (10%)
Tidak ada Anak Cab S Induk Cab S Induk S Induk/Bottle neck Pasang Air Laut
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
d
Lereng lahan kirikanan sungai (%) (30%)
>8 (Sangat Lancar ) 2 – 8 (Agak lancar) <2 (Terhambat)
Rendah Sedang Tinggi
1 3 5
2
MANAJEMEN (45%) Bangunan air (45 %)
Waduk+Tanggul tinggi dan baik Waduk Tanggul/Sudetan/ Banjir Kanal Tanggul buruk Tanpa Bangunan, Penyusutan Dimensi Sungai
Rendah
1
Agak Rendah Sedang
2 3
Agak Tinggi Tinggi
4 5
a
26
< 0,58 0,58-1,00 1,01-1,50 1,51-5,00 > 5,00
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
Tabel A.1.a. Teknik Penyidikan Parameter – Parameter Kerentanan Potensi Banjir No 1.
2.
Parameter Hujan Harian Maksimum Rata – rata (mm/hari) Bentuk DAS
Teknik Inventarisasi • Data hujan harian dari stasiun hujan di DAS • Pilih hujan maksimum • Ditetapkan secara kualitatif • Bentuk DAS : Bulatlonjong • Menghitung jarak lereng salutan antara 10% dan 85% dari outlet • a= (h85-h10) (0,75 Lb)
3.
Gradien Sungai (%)
4.
Kerapan Drainase
5.
Lereng Rata2 DAS (%)
6.
Manajemen
• Dari jenis penutupan lahan aktual di DAS ybs.
7.
Debit Spesifik Maks Tahunan
• Dari data SPAS/Stasiun Pos Duga Air
• Diklasifikasi dari bentuk & tingkat pencabangan sungai (dissection factor) • Pencabangan sungai banyak → sangat rata; sedikit → jarang • Secara Otomatis dg peta RBI digital, DEM & Program Arcview • Lereng rata-rata tertimbang DAS
Keterangan • Data 10 th terakhir • Dihitung Rataratanya, jika > 1 stasiun hujan dengan poligon Thiessen • Diperoleh dari peta DAS • Contoh pada Tabel A.1.a.1. • Menggunakan metode Benson (1962) • Lb = Panjang sungai Utama • h10 & h85 = evaluasi pd (0,1)Lb & (0,85)Lb • Menggunakan metode kualitatif • Peta jaringan sungai • Contoh pada Tabel A.1.a.2. • Lereng dihitung pada setiap unit lahan
• Peta RBI • Citra satelit/foto udara • Survei Lapangan • Data 10 tahun terakhir
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 27
Tabel A.2.b. Teknik Penyidikan Parameter-Parameter Daerah Rawan Banjir No 1.
Parameter Bentuk Lahan
Teknik Inventarisasi • Didasarkan klasifikasi bentuk lahan di Indonesia
Keterangan • Peta geomorfologi • Citra satelit/foto udara • Peta RePPProT
2.
Meandering
• Bentuk dan perkembangan meander
3.
Pembendungan • Tingkat dan keberadaan oleh percabangan percabangan sungai sungai/air pasang • Jarak dari suatu badan air/ muara/ pantai
• Peta top/citra satelit /foto udara • Survei lapangan • Peta topografi • Citra satelit/ foto udara • Survei lapangan
4.
Drainase atau lereng kiri-kanan sungai
28
• Lereng lahan <2% • Tingkat kekedapan tanah
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
• Peta topografi/ landuse • Peta tanah • Peta RePPProT • DEM
Tabel A.1.a.1. Bentuk-bentuk DAS
Lonjong
Agak Lonjong
Sedang
Agak Bulat
Bulat
Agak Lonjong
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 29
Tabel A.1.a.2. Kerapatan Drainase
Sangat Rapat
Rapat
Sedang
Agak Jarang
Jarang
30
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
Tabel B.1. Formulasi Kerentanan Kekeringan dan Potensi Air No A a
Parameter/Bobot ALAMI (60%) Hujan tahunan (mm) (20%)
Besaran
Kategori Nilai
Skor
> 2000 1501-2000 1001-1500 500-1000 < 500
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
b
Evapotranspirasi aktual tahunan (mm) (17.5%)
< 750 751-1000 1001-1500 1501-2000 > 2000
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
c
Bulan kering (< 100 mm/bl) (12.5%)
<2 3-4 5-7 7-8 >8
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
d
Geologi (10%)
Vulkan Cmp Vulk-Pgn Lpt Pgn Lipatan Batuan Sedimen Batuan Kapur
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
B a
MANAJEMEN 40% Kebutuhan Air (Indeks Peng Air) IPA = Kebutuhan Air (m3) -------------------3
< 0,3 0,3-0,49 0,5-0,79 0,8-1,0 > 1,0
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
> 0,035 0,022-0,035 0,015-0,021 0,010-0,014 < 0,010
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
Potensi Air (m )
(25%) b
Debit minimum spesifik (m3/dt/km2) (15%)
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 31
Tabel B.2. Teknik Penyidikan/Inventarisasi Parameter Kerentanan Kekeringan dan Potensi Air No
Parameter
Teknik Inventarisasi
Keterangan
1.
HujanTahunan (mm)
• Data hujan tahunan
2.
Evapotranspirasi (ET) Aktual Tahunan (mm)
3.
Bulan Kering
4.
Geologi
• Data jenis & luas penutupan lahan di DAS • Data jumlah bulan kering rata2 per tahun • Jenis bahan / bantuan induk
5.
Indeks Penggunaan Air (IPA)
• IPA = kebutuhan/ potensi
• Data Hujan tahunan • Data ET • Data Kebutuhan air
6.
Q min rata2 tahunan Spesifik
• Dari data SPAS/ Stasiun Pos Duga Air
• Data 10 th terakhir
32
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
• Stasiun Hujan di DAS • Peta Landuse / RBI • Citra Satelit/ Foto udara • CH < 150 mm/bl • Data 10 th terakhir • Peta Geologi DAS
Tabel C.1. Formulasi Kekritisan dan Potensi Lahan No
Parameter/Bobot
A 1.
ALAMI(45%) Solum tanah (Cm) (10%)
2.
Lereng (%) (15%)
3.
Batuan Singkapan (%) (5%)
4.
Morfoerosi (erosi jurang, tebing sungai, sisi jalan). Persen dari Unit Lahan
5.
(10%) Tekstur tanah terhadap kepekaan erosi (5%)
Besaran
Kategori Nilai
Skor
>90 60 - <90 30 - <60 15 - <30 <15 0 - <8 8 - <15 15 - <25 25 - <45 >45 <20 20 – <40 40 - <60 60 – 80 >80 0% 1 - <20 % 20 - <40% 40 - 60% >60 %
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Sand, loamy sand Silty clay, sandy loam, clay Clay loam, silty clay loam Loam, sandy clay loam, sandy clay Silt, silt loam
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi
1 2 3 4
Tinggi
5
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 33
B 1. a.
b.
Manajemen Kawasan Budidaya Pertanian (55%) Vegetasi Penutup 50 - 80% hutan/perkebunan Rendah (40%) + tanaman semusim 30 - 50% hutan/perkebunan Agak Rendah + tanaman semusim rapat 30 - 50% hutan/perkebunan Sedang + tanaman semusim jarang 10 - 30% hutan/perkebunan Sedang + tanaman semusim rapat Tanaman semusim rapat Sedang 10 - 30% hutan/perkebunan Agak Tinggi + tanaman semusim jarang Tanaman semusim jarang Tinggi Konsevasi tanah Teras bangku datar/miring Rendah mekanis (15%) ke dalam Teras bangku sedikit miring Agak Rendah ke luar Teras campuran Sedang Teras gulud, hillside ditch, Agak Tinggi tanaman terasering Tanpa teras Tinggi
2.
Kawasan hutan dan Perkebunan (55%)
a.
Kondisi vegetasi (45%)
34
Vegetasi hutan baik, Rendah Tanaman perkebunan baik + cover crop atau Tanaman perkebunan berseresah banyak Vegetasi utama <50% + Agak Rendah semak belukar Semak belukar Sedang Alang-alang Agak Tinggi Vegetasi sedikit (>50% Tinggi tanah tebuka)
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
1 2 3 3 3 4 5 1 2 3 4 5
1
2 3 4 5
Tabel C.2. Teknik Penyidikan Kekritisan Lahan No 1.
Parameter Solum Tanah
Teknik Penyidikan Keterangan • Peta Tanah • Survei Tanah/lapang • Deliniasi peta topografi/RBI • Otomatis dengan secara manual atau otomatis ArcView pd peta digital • % batu menutup tanah atau batuan tersingkap – dengan foto udara atau citra satelit resolusi tinggi atau survei lapangan • Menggunakan foto udara atau citra satelit resolusi tinggi atau survei lapangan
2.
Lereng
3.
Bantuan Singkapan
4.
Morfoerosi
5.
Jenis Tanah
• Peta Tanah • Survei Lapangan
6.
Vegetasi Penutup
• Peta RBI • Peta penggunaan lahan • Foto udara /Citra satelit • Survei lapang
7.
Praktek Konservasi Tanah
• Foto Udara/Citra satelit resolusi tinggi • Survei lapang
• Vegetasi penutup dinyatakan dalam % permukaan tanah tertutup vegetasi
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 35
Tabel D.1. Formulasi Kerentanan Tanah Longsor No Parameter/Bobot Besaran A ALAMI (60%) a Hujan harian kumulatif < 50 3 hari berurutan (mm/3 50-99 hari) 100-199 (25%) 200-300 >300 b Lereng lahan (%) <25 (15%) 25-44 45-64 65-85 >85 c Geologi (Batuan) Dataran Aluvial (10%) Perbukitan Kapur Perbukitan Granit Perbukitan Batuan Sedimen Bkt Basal-Clay Shale d Keberadaan sesar/ Tidak ada patahan/gawir Ada (5%) e Kedalaman tanah <1 (regolit) sampai lapisan 1-2 kedap 2-3 (5%) 3-5 >5 B MANAJEMEN (40%) a Penggunaan Lahan Hutan Alam (20%) Hut. Tan/Perkebunan Semak/Blkar/ Rumput Tegal/Pekarangan Sawah/Pemukiman b Infrastruktur (jika Tak Ada Jalan/ lereng <25% = skor 1) Rumah Memotong Lereng (15%) Lereng Terpotong Jalan/Rumah
36
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
Kategori Nilai
Skor
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4
Tinggi
5
Rendah Tinggi
1 5
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
Rendah Agak Rendah Sedang
1 2 3
Agak Tinggi Tinggi Rendah
4 5 1
Tinggi
5
Tabel D.2. Teknik Penyidikan Parameter Kerentanan Tanah Longsor No 1.
Parameter Hujan Harian Kumulatif 3 hari berurutan (mm/3 hari)
2.
Lereng Lahan (%)
3.
Geologi
4.
Keberadaan sesar/patahan/ gawir
5.
Kedalaman Tamah (regolit) ke lapisan kedap Penggunaan Lahan
6. 7.
Infrastruktur
Teknik Inventsrisasi • Data hujan harian stasiun hujan yang ada di DAS • Dipilih curah hujan berurutan 3 hari tertinggi • Secara Manual dengan peta topografi • Digital Elevation Model (DEM) • Secara otomatis dengan peta RBI digital & program ArcView • Jenis bahan/bantuan induk • Identifikasi sesar/ patahan/ gawir pada peta geologi
Keterangan • Data 10th terakhir • Dihitung rata – ratanya, jika >1 stasiun hujan
• identifikasi kedalaman regolit (m) pada jenis tanah yang ada di DAS • Data jenis & luas penutupan lahan di DAS • Identifikasi jenis & sebaran infrastuktur yang ada di DAS
• Peta jenis tanah • Profil tanah • Bor tanah
• Dihitung pada setiap kelas lereng pada unit lahan
• Peta geologi DAS • Peta Geologi DAS • Survei lapangan • Contoh Tabel D.2.1.
• Peta Landuse / RBI • Citra Satelit/Foto Udara • Peta Landuse / RBI • Survei lapangan
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 37
Tabel D.2.1. Ilustrasi Tanda – Tanda Rawan Longsor pada Peta Geologi No
38
Proses Geologi
1.
Sesar
2.
Patahan
3.
Gawir
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
Tanda Pada Peta Geologi
U D
Tabel L.5. Kriteria SOSIAL (50%)
Formulasi Kerentanan dan Potensi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Parameter
Besaran
Kategori
Skor
Kepadatan Penduduk: Geografis (10%)
< 250 jiwa/Km2 250-400 jiwa/Km2 > 400 jiwa/Km2
Rendah Sedang Tinggi
1 3 5
Kepadatan Penduduk: Agraris
> 0,05 ha (kepadatan agraris < 20 orang/ha) 0,025 - 0,05 ha < 0,025 ha (kepadatan agraris > 40 orang/ha)
Rendah
1
Sedang Tinggi
3 5
- Konservasi telah melembaga dalam masyarakat (masyarakat tahu manfaat konservasi, tahu tekniknya dan melaksanakan) - Masyarakat tahu konservasi tetapi tidak melakukan - Tidak tahu dan tidak melakukan konservasi
Rendah
1
Sedang
3
Tinggi
5
- Adat istiadat (custom) Pelanggar dikucilkan - Kebiasaan (folkways) Pelanggar didenda dengan pesta adat. - Tata kelakuan (Mores). Pelanggar biasanya ditegur ketua adat/ orang lain - Cara (usage) pelanggar dicemooh. - Tidak ada hukuman
Rendah
1
Agak Rendah
2
Sedang
3
Agak Tinggi
4
Tinggi
5
Rendah Tinggi
1 5
(10%) Budaya: Perilaku/ Tingkah Laku Konservasi (20%)
Budaya : Hukum Adat (5%)
Nilai Tradisional (5%)
Ada Tidak ada
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 39
EKONOMI (40%)
Ketergantungan terhadap lahan (20%) Tingkat Pendapatan (10%)
Kegiatan Dasar Wilayah (10%) KELEMBAGAAN (10 %)
Keberdayaan kelembagaan informal pada konservasi (5%) Keberdayaan lembaga formal pada konservasi (5%)
40
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
< 50% 50 – 75% > 75%
Rendah Sedang Tinggi
1 3 5
>1,5 Std. Kemiskinan (SK) 1,26 - 1,5 SK 1,1 - 1,25 SK 0,67 - 1 SK < 0,67 SK
Tinggi
1
Agak Tinggi Sedang Agk Rendah Rendah
2 3 4 5
LQ < 1 LQ = 1 LQ > 1
Tinggi Sedang Rendah
1 3 5
Ada dan berperan Ada tetapi tidak berperan Tidak berperan
Rendah Sedang
1 3
Tinggi
5
Sangat berperan Cukup berperan Tidak berperan
Rendah Sedang Tinggi
1 3 5
Tabel E.2. No
1.
Teknik Penyidikan Parameter Sosesklem Parameter
- Kepadatan Penduduk Geografis
Sumber Data
Teknik Pengumpulan Data Data Sekunder
2.
Perilaku Konservasi Tanah
BPS Kab/ Kecamatan BPS Kab/ Kecamatan Masyarakat
3.
Hukum Adat
Masyarakat
Survei / Diskusi Kelompok
4.
Nilai Tradisi
Masyarakat
Survei / Diskusi Kelompok
5.
Ketergantungan Penduduk Terhadap Lahan - Pendapatan masyarakat dari kegiatan pertanian (sawah, perkebunan, ternak, perikanan, dll) - Pendapatan masyarakat dari seluruh kegiatan usaha (pertanian, dagang, buruh, dll)
Kepala Keluarga
Survei
Kepala Keluarga
Survei
- Kepadatan Penduduk Agraris
Data Sekunder Survei / Diskusi Kelompok
6.
Tingkat Pendapatan
BPS Kab/Kec Kepala Keluarga
Data sekunder Survei
7.
Kegiatan Dasar Wilayah
BPS Kab / Kec
Data Skunder
8.
Kelembagaan
Masyarakat
Survei
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS 41
42
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS