Setengah Abad Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Semangat Kebangsaan
1
2
Tidak Diperjualbelikan
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All Rights Reserved
Cetakan Pertama April 2006
Naskah & Penyelaras : Zaenal Abidin EP & Lisa Suroso Foto-foto : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Dokumentasi Pribadi, Eric Satyadi Foto & Desain Sampul : Eric Satyadi Setting Layout & Percetakan : Sugeng Santoso Imam, Percetakan Sumber Agung
3
Setengah Abad Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Semangat Kebangsaan
Diterbitkan untuk memperingati Setengah Abad Jimly Asshiddiqie
Didukung oleh :
Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Perhimpunan INTI)
Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN)
4
Konstitusi adalah dasar sebuah negara. Bila dasar itu kokoh, kita bisa berharap di atasnya dapat dibangun sebuah bangsa dan negara yang kokoh pula. Namun bila konstitusinya rapuh, maka sudah dapat dipastikan bangunan di atasnya akan rapuh pula. Budi S. Tanuwibowo
Tidak satu pun negara di dunia yang membangun landasan demokrasi, membiarkan konstitusi menjadi barang mati. Alm. Munir
5
Lihatlah jalan setapak di pegunungan, Kalau jarang dilewati akan tertutup alang-alang, Kalau sering dilewati, akan menjadi jalan yang lapang… Jangan biarkan alang-alang menutupi hatimu, Belajarlah tanpa kenal capai dan jemu, Bawalah Kebajikan dalam setiap tarikan nafasmu…
6
SAMBUTAN
Indonesia adalah negara yang sangat plural. Kemajemukan itu praktis meliputi semua hal : suku, etnis, adat, budaya, agama, bahasa dan lainnya. Dalam masyarakat yang sangat bhinneka seperti Indonesia, potensi terjadinya benturan secara horizontal relatif lebih besar ketimbang benturan vertikal. Untuk itu diperlukan adanya aturan main bersama, yang nantinya akan menjadi pegangan dasar bagi semua. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar merupakan pegangan dasar sebuah negara, yang memuat semua komitmen awal dan mendasar dari para pendiri bangsa. Dari sinilah semua undang-undang dan peraturan lainnya yang dibuat harus sinkron dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Mengingat konstelasi politik setiap saat bisa berubah sesuai hasil pemilihan umum, tidak bisa dipungkiri bahwa pendulum politik juga terus bergeser dan bukan
mustahil
bertentangan
dengan
Undang-Undang
Dasar.
Disinilah
Mahkamah Konstitusi (MK) memainkan peran yang sangat penting, karena ia mempunyai wewenang untuk menganulir undang-undang yang bertentangan tersebut. Dari uraian diatas, menjadi jelas bahwa peranan MK sangat vital untuk menjaga keutuhan bangsa yang sangat majemuk seperti Indonesia. Ia harus mampu mewakili rasa keadilan dan keterwakilan setiap warga negara, meskipun itu hanyalah suara satu orang warga negara saja. MK adalah lembaga baru dalam negara kita. Bagaimana MK berperan ke depan, tentu tidak bisa dilepaskan dari kiprah dan visi orang-orang yang menjadi anggota di jam-jam pertama, terutama visi dan figur Ketua MK yang pertama, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. Pada merekalah kita berharap agar bisa merasakan nafas dan semangat hidup di hati para pendiri bangsa. Jangan
7
sampai negara yang lahir karena kesamaan nasib dan cita-cita ini kelak melenceng dari komitmen bersama yang terpatri kuat sejak awal. Buku “Setengah Abad Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Semangat Kebangsaan” ini tidak saja menggali apa dan bagaimana MK yang begitu vital perannya, tapi juga sekaligus mengenal lebih dalam sosok Prof. Jimly sebagai pribadi. Dengan mengenal latar belakang, cita-cita dan komitmen seorang Jimly, maka kita bisa menaruh harapan dan memperkirakan arah MK ke depan. Terimakasih kami haturkan kepada semua pihak yang telah mendukung suksesnya pembuatan buku ini. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH
beserta
keluarga yang telah sangat ramah menerima kedatangan panitia, para sahabat ‘Pak Jimly yang bersedia diwawancara dan menulis kesan dan harapan dalam buku ini, seluruh Tim Media MK dibawah arahan Rofiqul Umam Ahmad yang membantu segala persiapan, Zaenal Abidin Aep dan Lisa Suroso sebagai penulis yang dalam waktu singkat telah berhasil menyusun buku ini, Eric Satyadi sebagai photografer dan desainer cover, percetakan Sumber Agung, dan semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.
Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Panitia Penerbitan
8
PRAKATA Buku ini dengan bahasa yang sederhana mencoba memperkenalkan sebuah Lembaga Negara Republik Indonesia yang baru dan sosok pemimpinnya, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.
Sebuah lembaga yang sangat vital dalam
menjaga kemurnian berjalannya hukum dan demokrasi sesuai Undang-Undang Dasar 1945. Dengan menengok perjalanan pertama MK dan kiprahnya dalam penyelesaian beberapa masalah, latar belakang kehidupan Ketua MK dan juga visi semangat kebangsaannya, kita akan digiring untuk melihat dari dekat bagaimana komitmen MK sebagai penjaga konstitusi dan pengawal demokrasi. Buku ini bukanlah buku ilmiah yang membahas hukum dan ilmu politik. Juga bukan buku otobiografi dari Ketua MK sendiri. Buku ini hanya memperkenalkan kulit luar MK dan pandangan-pandangan ketua MK akan visinya terhadap bangsa ini, yang digali melalui pengalaman hidupnya yang menginjak setengah abad. Disini dicoba digambarkan posisi MK sebagai lembaga yang baru dalam konstelasi yudisial Republik Indonesia. Tentang sejarah kemunculannya, fungsi dan kewenangannya, keterbatasan dan kendala-kendalanya, juga beberapa pandangan dari para Hakim Konstitusi dan sahabat-sahabat ketua MK sendiri. Dengan segala keterbatasan yang ada, dari sudut pandang itulah penulis menyusun buku ini. Kami menyadari segala kekurangan yang ada dan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kami harap buku ini dapat bermanfaat. Selamat menikmati. Zaenal Abidin Aep & Lisa Suroso
9
Pengantar Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Jika saya menengok ke belakang, waktu akan terasa berjalan begitu cepat. Masa lima puluh tahun seolah hanya beberapa kejap dan belum banyak yang telah saya lakukan dibanding dengan besarnya karunia Tuhan berupa kesehatan,
kekuatan,
dan
pengetahuan
yang
telah
dilimpahkan-Nya.
Seandainya Allah Yang Maha Kuasa menentukan usia saya adalah enam puluh tahun, maka tinggal sepuluh tahun lagi waktu saya untuk mengabdi dan memenuhi tugas kemanusiaan saya sebagai hamba-Nya. Sepuluh tahun adalah waktu yang sangat singkat dibanding lima puluh tahun yang telah dikaruniakan kepada saya. Apalagi jika usia saya ditentukan kurang dari itu, lima puluh lima, lima puluh satu, atau bahkan lima puluh tahun lebih beberapa hari.
Namun, sesingkat apapun kehidupan seseorang, tentu memiliki arti tersendiri sesuai dengan kualitas hidup dan kehidupan yang dijalaninya. Kualitas hidup ditentukan oleh pemaknaan diri sebagai makhluk Tuhan, sebagai manusia di antara manusia lainnya, dan sebagai anggota dari komunitas bangsa. Kualitas tersebutlah yang menentukan bagaimana manusia dapat menjalani peran sebagai wakil Tuhan di muka bumi untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam, mengembangkan peradaban umat manusia, dan menjalankan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Kualitas tersebutlah yang coba saya capai dan saya perankan dalam perjalanan lima puluh tahun kehidupan saya. Serpihan-serpihan kehidupan dari yang bersifat pribadi masa kecil hingga aktivitas saya sebagai salah seorang hakim konstitusi adalah bagian dari kehidupan saya yang direkam dalam buku ini oleh sahabat-sahabat dari Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).
10
Saya telah cukup lama bersentuhan dengan masyarakat Tionghoa baik sebagai anggota masyarakat pada umumnya maupun dalam bentuk organisasi seperti Perhimpunan INTI dan MATAKIN. Interaksi dengan etnis Tionghoa tersebut adalah suatu kewajaran karena keberadaan etnis Tionghoa telah menjadi bagian utuh dan melekat dengan keberadaan masyarakat bangsa Indonesia, seperti halnya beragam etnis-etnis dan penganut agama yang lain. Karena itulah UUD 1945 menjamin adanya persamaan dan di sisi lain melarang adanya diskriminasi berdasarkan suku, ras, agama, dan keyakinan politik. Interaksi dengan masyarakat Tionghoa semakin kerap saya lakukan sebagai upaya untuk mengembalikan hak-hak sipil dan politik mereka yang pada masa lalu banyak dilanggar dan diperlakukan secara diskriminatif.
Mungkin karena interaksi tersebutlah, kemudian kawan-kawan dari INTI dan MATAKIN memiliki inspirasi untuk menulis buku ini walaupun baru dua bulan sebelum terbit baru disampaikan kepada saya. Buku ini adalah hadiah sangat berharga bagi saya untuk dapat melihat kembali apa yang telah terjadi dan apa yang telah saya lakukan pada masa lalu serta belajar dan bekerja dengan lebih baik di masa datang. Untuk itu saya sampaikan terima kasih kepada INTI dan MATAKIN serta pihak-pihak lain yang berperan hingga terbitnya buku ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada kawan-kawan dan kolega yang telah berkenan menulis kesan dan harapannya dalam buku ini. Semoga saya mampu bercermin dan mengambil kearifan dari buku ini, dan semoga serpihan kehidupan saya yang terekam dalam buku ini juga bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya.
Jakarta, April 2006 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
11
DAFTAR ISI Sambutan Panitia Prakata Pengantar Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH Bab I : Tentang Diri 1. Pergulatan Masa Kecil 2. Kesialan Mengantar Takdir 3. Tak Ada Kata Henti untuk Belajar 4. Tak Pernah Mencari Calon Istri Bab II : Gagasan dan Pemikiran Keindonesiaan 1. Pluralitas di Indonesia 2. Pergaulan Sebagai Sarana Pembauran di Indonesia 3. Pendidikan di Indonesia Bab III : Mahkamah Konstitusi 1. Munculnya Mahkamah Konstitusi dalam Hukum Tata Negara RI 2. Visi dan Misi Mahkamah Konstitusi 3. Kedudukan Mahkamah Konstitusi 4. Apa Fungsi Mahkamah Konstitusi? 5. Apa Wewenang dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi? 6. Integritas Hakim Konstitusi 7. Suka Duka Memimpin Mahkamah Konstitusi 8. Sosialisasi Mahkamah Konstitusi Bab IV : Harapan Para Sahabat 1. Wakil Ketua MK Prof. Dr. H. Mohamad Laica Marzuki, S.H. 2. Hakim Konstitusi Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., MS 3. Hakim Konstitusi Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LLM 4. Hakim Konstitusi Letjen TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H. 5. Hakim Konstitusi Dr. Harjono, S.H., MCL 6. Hakim Konstitusi Soedarsono, S.H. 7. Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, S.H. 8. Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. 9. Anggota DPD dari Prov. DKI Jakarta Ir. Sarwono Kusumaatmadja 10. Mantan Ketua Komisi Konstitusi Prof. Dr. Sri Soemantri S, S.H. 11. Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar 12. Panitera MK Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum 13. Ketua Umum Perhimpunan INTI Rachman Hakim 14. Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) Ws. Budi Santoso Tanuwibowo 12
15. Mantan Ketua Umum PGI Pdt. Natan Setiabudi 16. Mantan Ketua Umum MATAKIN Dr. Chandra Setiawan 17.Ketua Badan Kehormatan DPR RI dan Wakil Ketua Forum Konstitusi, Slamet Effendi Yusuf 18. Ketua Bidang Humas Perhimpunan INTI Harris Chandra Bab V : Penutup
13
BAB 1 TENTANG DIRI Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Nama yang tidak asing di telinga masyarakat Indonesia, terlebih lagi bagi para pemerhati hukum. Nama ini dikenal lama sebagai akademisi hukum. Kepakarannya di bidang Hukum Tata Negara pun tidak hanya diakui di almamaternya, Universitas Indonesia, tetapi juga di lingkungan pakar hukum ketatanegaraan Indonesia. Namanya terus meroket ketika Mahkamah Konstitusi (MK) berdiri. Dialah orang pertama yang dipercaya menjabat sebagai Ketua MK. Perannya sebagai Ketua MK, telah menempatkan ia dan lembaga yang dipimpinnya sebagai pintu terakhir bagi pencari keadilan perihal konstitusi di Indonesia. Masih segar dalam ingatan, orang pernah dibuat tercengang saat MK menyampaikan surat peringatan kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Saat itu MK dianggap sangat berani. Di bawah bayang-bayang keangkeran RI-1 warisan Orde Baru, langkah MK dianggap sesuatu yang baru. Surat itu tak lain mengingatkan
agar
pemerintah
mematuhi
putusan
MK
terkait
dengan
dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 55 tahun 2005, tentang harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri. Sebenarnya, apakah Mahkamah Konstitusi (MK) itu? Apa bedanya dengan Mahkamah Agung (MA) yang sudah jauh lebih dulu berdiri? Serta siapa sebenarnya Jimly Asshiddiqie?
Pergulatan Masa Kecil “Uang jajan saya hasil berjualan plastik…”
14
Menjadi hakim? Pertanyaan ini hanya dibalas sesungging senyuman dari yang ditanya. Jujur diakui, profesi seorang hakim tidak pernah singgah di kamus cita-cita Jimly Asshiddiqie kecil. Apalagi sering ia dengar sindiran melalui ceramah-ceramah agama di masa belianya, bahwa bila ada 3 orang hakim, maka 4 orang yang akan masuk neraka. Sebab itu, tak pernah ia bayangkan bahwa dalam kurun puluhan tahun berikutnya, ia akan menjadi hakim dan ketua salah satu lembaga negara bergengsi di Indonesia. Jimly Asshiddiqie lahir di Palembang, 17 April 1956. Ia bungsu dari 12 bersaudara pasangan Asmuni Almansur dan Siti Nasaroh. Kedua orangtua ini mengharuskan anak-anaknya belajar mengaji dan membantu orangtuanya. Ibunda
Jimly
berjualan
kecil-kecilan
keliling
kampung.
Setiap
barang
dagangannya habis, berangkatlah ke Yogyakarta untuk membeli peralatan rumah tangga yang terbuat dari perak, tembaga dan sebagainya. Kesan hidup mewah memang jauh dari keluarga yang tinggal di Dusun Baturaja, Ogan Komering Ulu ini. Sebagai guru, ayah Jimly berpendapatan paspasan saja. Karena itu selain mengajar juga bertani. Tidak cukup dengan itu, H. Asmuni Almansur masih mencoba peruntungan dengan mendirikan usaha kemasan bungkus plastik. Peralatan mesin press belum begitu canggih waktu itu, sehingga plastik-plastik itu hanya direkatkan dengan api lilin. Jimlylah yang membawanya pagi-pagi sekali ke pasar. Di situ, para penjual roti sudah menunggunya. Karenanya walaupun bungsu, sikap manja jauh dari keseharian Jimly. Malahan sebaliknya hidup mandiri dan kerja keras sudah menjadi menu harian masa kecilnya. Setiap hari Jimly kecil bangun jam 5 pagi, menggenjot sepeda kayuhnya kuat-kuat ke pasar dan menjual bungkus plastik ke tukang-tukang roti. Selesai berjualan ia pergi ke Madrasah Ibtidaiyah (MI) , sekolah setingkat sekolah dasar. Sejak menjelang akhir MI hingga menginjak sekolah di Madrasah Tsanawiyah, rutinitas pagi ini tidak pernah ditinggalkan.
15
Namun begitu, Jimly tidak lantas meninggalkan hobi berorganisasinya. Organisasi yang digelutinya adalah Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Kepanduan atau lebih dikenal dengan Pramuka. Entah yang ini terpaksa atau karena suka tantangan, Jimly pun masih menyempatkan diri menjajakan koran, es dan empek-empek, makanan khas daerahnya. Yang terakhir ini merupakan masakan kegemaran dan masih disantapnya sebagai sarapan pagi dari kecil hingga kini. “Saya nggak terlalu tergantung dengan orangtua, apalagi kalau untuk urusan jajan, nggak pernah minta, karena dapat sendiri, dari jualan itulah..” kenangnya. Saat menginjak Madrasah Tsanawiyah, Jimly makin sibuk dengan berbagai macam kegiatan. Selain masih berjualan dan berorganisasi, ia tertarik ikut kursus bahasa Inggris. Toh, kesibukannya yang menguras waktu dan tenaga ini tidak mengganggu prestasi belajarnya. Peringkat tiga besar masih selalu disandangnya. Bahkan di sekolah yang setara dengan SMP itu Jimly terkenal pandai berbahasa Inggris. Khusus untuk keahlian barunya ini, Jimly memiliki kiat tersendiri. Kebiasaan uniknya tiap akhir pekan adalah mencari bule-bule sekitar hotel di Palembang untuk diberi servis gratis sebagai pemandu wisata. Alasannya bukan uang, tapi memuaskan hobinya bercakap dalam bahasa Inggris. Para bule itu tentu saja senang, mendapatkan guide unik seorang bocah yang gratis pula. Keputusan Jimly untuk tidak memungut bayaran atas jasanya itu ternyata membuahkan hasil yang jauh lebih berharga. Saat masuk Madrasah Aliyah yang setingkat SMU, Jimly menyandang predikat siswa berbahasa Inggris terbaik dan dipercaya untuk mengajar di sebuah SMP. Selain itu, ia juga diminta mengajar di sebuah lembaga kursus Bahasa Inggris yang bernama Syailendra. Lembaga Kursus ini terletak di Palembang. Bahkan, belum lulus dari bangku SMU, tawaran sebagai asisten
16
dosen Bahasa Inggris di salah satu perguruan tinggi di Palembang sudah menunggunya. “Muridnya saya di Syailendra itu antara lain kakak-adik TantowiHelmy Yahya itu!” kenangnya sambil tersenyum.
Kesialan Mengantar Takdir “Saya kecopetan.. uang yang tersisa hanya Rp. 75,- di saku” Sama seperti ribuan tamatan SMU di Palembang pada umumnya, cita-cita Jimly adalah pergi ke kota Yogyakarta untuk kuliah. “Pokoknya orang satu Palembang itu impiannya kuliah ke Yogya, bukan Jakarta. Mereka anggap peradaban maju itu ya Yogya,” kata pria penggemar Ikan Patin ini. Namun ibarat sebuah skenario film action, paling seru bila pahlawannya kalah duluan. Belum sampai ke Yogyakarta, cobaan sudah menghadang. Saat ia tertidur di tengah perjalanan sesampai di Stasiun Kereta Api di Kawasan Panjang, belum menyeberang ke Pulau Jawa, Jimly kecopetan. Habislah seluruh uangnya. “Yang tersisa hanya Rp. 75,- di saku dan surat-surat saja,” kenangnya. Uang sejumlah itu hanya cukup untuk menyeberang ke Merak. Namun kesialan itu tidak menyurutkan langkahnya, ia pantang pulang ke rumah. Berbekal niat teguh dan bantuan seorang polisi yang baik hati, Jimly berhasil menyeberang ke Merak dengan gratis dan tibalah ia di ibukota, Jakarta. Tanpa uang saku untuk melanjutkan sisa perjalanan ke Yogyakarta, Jimly singgah di rumah kerabat keluarganya di Kawasan Cililitan. Di sanalah tanpa sengaja ia membaca koran bekas yang memuat lowongan pekerjaan sebagai staf
penerjemah
di
Kedutaan
Pakistan.
Dengan
terburu-buru,
karena
wawancaranya berakhir hari itu juga, Jimly tiba agak terlambat di tempat wawancara. Ternyata modal fasih berbahasa Inggris dan Arab membuatnya
17
langsung diterima kerja. “Gaji pertama saya Rp. 35.000,- per bulan, bagi anak daerah macam saya saat itu, sudah lumayan banyak itu,” kenangnya sambil tertawa. Tak lama di Kedutaan Pakistan, Jimly pindah ke Kedutaan Mesir dengan gaji Rp. 75.000,- per bulan. Di masa perantauan awal inilah ia menerima kabar bahwa ibundanya meninggal. Belum hilang sedihnya kehilangan sang ibunda, tak lama kemudian ayahnya juga meninggal. Dua tahun belum genap di Jakarta, dua orang yang paling dicintanya pergi untuk selamanya. Cobaan terberat dialami dalam hidupnya. Niatan kuliah pun tertunda karena terbentur biaya. Baru setelah memutuskan bekerja di LP3ES, setelah keluar bekerja dari Kedutaan Mesir, ia mulai merancang secara serius rencana untuk
kuliah.
Ia
pun
mulai
mengumpulkan
uang
untuk
mewujudkan
cita-citanya. Kala masih bekerja di Kedutaan Besar Mesir, Jimly sesekali berdiskusi dengan sang Duta Besar. Kebetulan, latar belakang ambassador itu adalah seorang lawyer (pengacara). Di situlah ia mulai mengenal dunia hukum. Namun, keputusan mengambil kuliah di Fakultas Hukum di UI setelah itu, lebih didasari pada kebetulan semata. “Saya kan harus bekerja untuk hidup, jadi waktu untuk kuliah ya bisanya sore. Dan harus kuliah di Universitas Negeri kan? Nah di UI itu kalau sore adanya hanya Fakultas Hukum. Ya, akhirnya saya ambil hukum…,” ujarnya dengan santai. Entah kebetulan semata atau memang keberuntungan, Jimly merupakan generasi pertama dari lulusan Madrasah yang diperbolehkan mendaftar di perguruan tinggi dan mengikuti ujian SKALU (Sekretariat Kerjasama Antar Lima Universitas, sebuah ujian masuk ke UI, ITB, UNAir, IPB dan UGM). Penandatangan Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Pendidikan
dan
Kebudayaan
memutuskan
bahwa
mulai
tahun
itu
18
sekolah-sekolah yang berada di bawah koordinasi Departemen Agama diperbolehkan melanjutkan ke Perguruan Tinggi di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta mengikuti ujian SKALU. Walaupun dirinya hanya lulusan Madrasah dan sudah dua tahun tidak menyentuh buku pelajaran, Jimly tidaklah minder. Keberaniannya terbukti setelah dirinya termasuk dalam 200 calon mahasiswa yang lulus dari 3000 pendaftar ujian SKALU tahun 1977. Di pertengahan tahun itu mulailah hari-hari Jimly berkutat dengan masalah hukum. Ternyata semakin mendalami hukum, pelan tapi pasti, ia makin tertarik dengan studi hukum tata negara. Walaupun saat itu bidang ini paling tidak diminati karena dianggap tidak ekonomis dan berbahaya secara politis, Jimly tidak berpindah ke jurusan lain. Ia telah menemukan cita-citanya.
Tiada Kata Henti Untuk Belajar Dunia hukum dan tata negara kini bukan barang baru bagi Jimly. Tak lama setelah lulus sebagai Sarjana Hukum UI tahun 1982, Jimly langsung dipercaya menjadi dosen tetap di almamaternya. Tentu saja hal itu sematamata dikarenakan kemampuannya yang di atas rata-rata dibanding mahasiswa lain. Sebagai akademisi yang selalu dahaga ilmu, Jimly ingin terus belajar. Keinginan belajarnya membawanya untuk menyelesaikan studi S2 dan S3 di kampus yang sama. Program S3-nya merupakan program Sandwich yang adalah kerja sama antara UI dengan Rechtssfaculteit Rijks-Universiteit dan VanVolenhoven Institute, Leiden, Belanda. Program itu berhasil diselesaikannya di tahun 1990.
19
Puncak prestasi akademik pakar hukum tata negara ini tercapai saat dipercaya menjadi Guru Besar Penuh Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI di tahun 2000. Tak hanya mengabdi pada almamaternya, Jimly pun membagi waktunya menjadi Guru Besar Luar Biasa Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sriwijaya,
Universitas
Islam
Palembang;
Asy-Syafiiyah,
Universitas Jakarta;
Muhammadiyah,
Universitas
Islam
Jakarta; Indonesia,
Yogyakarta; dan Universitas Islam, Riau. Jimly memang dikenal sebagai sosok yang tak henti belajar. Minatnya terhadap masalah hukum dan konstitusi terbaca dalam sejumlah studi yang dilakoninya bersama dengan pakar-pakar hukum tata negara dalam dan luar negeri. Sebut saja pelatihan On Peace Research di United Nations University, Tokyo tahun 1985 dan studi komparatif tentang Education in the United States dalam rangka International Visitor Programme di 15 kota Amerika Serikat tahun 1987. Selain itu di bawah supervisi Prof. Dr. Daniel S. Lev. ia juga menjadi peserta Visiting Researcher di School of Law, University of Washington, Seattle, USA tahun 1989. Tahun 1994, Jimly tercatat sebagai peserta Post Graduate Summer Refreshment Course on Legal Theories and Legal Philosophy Program of Instruction for Lawyers, Harvard Law School Cambridge Massachussett, di bawah pengawasan Dr. Austin Wakeman Scott, Prof. Dr. Charles Davies dan Prof. Dr. Roberto Mangabera Unger. Akhir tahun 2003, giliran Kyoto University Jepang menerima kedatangannya sebagai visiting reseacher.
Di tahun yang sama pula, ia mendatangi undangan Pemerintah
Perancis untuk melakukan studi komparatif di Mahkamah Konstitusi Perancis. Setelah itu, ia pun menyempatkan studi di Mahkamah Konstitusi Austria. Pria berwajah teduh ini juga kerap kali menjadi anggota delegasi Indonesia dalam berbagai forum internasional. Antara lain ia menjadi anggota delegasi Indonesia ke sidang UNESCO di Paris tahun 1994 dan sidang Southeast Asian Ministry of Educational Conference di Kamboja tahun 1995, yang diteruskan pada sidang yang sama di Malaysia tahun berikutnya. Ia juga
20
menjadi anggota delegasi ke sidang Committe on Science and Technology, The Organization of Islamic Conference (OIS) di Islamabad, Pakistan. Pada tahun 1998, ia menjadi salah satu perwakilan Indonesia dalam sidang 8 negara berkembang (D-8) di Teheran, Iran. Lembaga-lembaga kenegaraan juga memanfaatkan keahliannya di bidang hukum. Jabatan sebagai staf ahli dipercayakan padanya oleh Dewan Perwakilan Rakyat di tahun 1988-1993 dan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional tahun 1985-1995. Ia juga ditunjuk sebagai Senior Scientist Bidang Hukum BPP Teknologi
tahun 1990-1997 dan Dewan Riset Nasional Menteri Perindustrian
dan Teknologi tahun 1996-1998. Kerap pula ia membantu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), di antaranya dalam Bidang Hukum dan Administrasi Pendidikan Depdikbud tahun 1993-1998, Kelompok Kerja Pengembangan Kebijakan Pendidikan Nasional tahun 1994-1998, dan Tim Pengarah Pembangunan Kebijakan Link and Match di Perguruan Tinggi tahun 1995. Jabatan sebagai Asisten Wakil Presiden Republik Indonesia Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan dipercayakan padanya saat era Wakil Presiden B.J. Habibie. Pada saat B.J. Habibie menjadi presiden, ia pun diserahi tanggungjawab sebagai Sekretaris Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum Nasional RI. Tibalah saatnya gaung reformasi terdengar bertalu-talu. Semua anak bangsa menghendaki perubahan. Mereka menginginkan ke-sumpeg-an di berbagai bidang segera terobati. Kegeraman telah memuncak. Mahasiswa yang selalu berperan paling besar terhadap perubahan kekuasaan, rela berceceran darah demi terjadi perubahan. Puncaknya pada 21 Mei, Presiden Soeharto pun lengser. Angin reformasi mulai bergulir. Saat itulah Jimly Asshiddiqie menjadi satu di antara orang yang paling getol meneriakkan amendemen (perubahan) UUD 1945. Pemikirannya mengenai perubahan UUD 1945 disampaikannya
21
melalui berbagai seminar dan diskusi di tingkat instansi pemerintah, lembaga negara, organisasi kemasyarakatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Keinginannya ini mulai terealisasi saat ia menduduki jabatan sebagai Ketua Tim Reformasi Hukum Nasional Menuju Masyarakat Madani dan menjadi Penanggung Jawab Panel Ahli Pembaruan Konstitusi di Sekretariat Negara di tahun 1998-1999.
Tahun 2001 ia menjadi salah seorang Tim Ahli Panitia
Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI, suatu alat kelengkapan MPR yang membahas rancangan perubahan UUD 1945. Bersamaan dengan itu, ia menjadi Ketua Tim Pengkajian Akademik atas Perubahan UUD 1945 Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Kesibukannya makin bertambah seiring berbagai jabatan diembannya. Jabatan itu masih terkait pada lembaga-lembaga pemerintahan dan kampus. Jimly juga menjadi Ketua Dewan Pembina Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) sejak 2002 hingga kini dan Wakil Ketua Dewan pembina Habibie Center. Tetapi di tengah deraan kesibukannya, sebagai akademikus ia sisihkan waktu untuk menulis buku. Sudah terbit 23 buku yang ditulisnya mengenai hukum, amandemen UUD 1945, pendidikan, dan lain-lain. Hobinya menulis ini makin terkanalisasi begitu menjabat sebagai Ketua MK. Hasil renungan dan pemikirannya mengenai konstusi ia publikasikan secara simultan melalui sebuah penerbit yang dikelola profesional. Tercatat ada 9 buku mengenai konstitusi yang sudah terbit sejak ia menjabat Ketua MK. Kala ditanya mengenai pembagian waktunya, dengan setengah bercanda ia hanya berujar, “Bila makin tinggi jabatan kita, makin banyak waktu kita, apalagi bila kita kurangi jatah tidur kita, hahaha..” Perannya dalam mendesak dalam bidang aturan ketatanegaraan tidaklah bertepuk sebelah tangan. Segudang pengalaman dan latar pendidikan yang dimilikinya, membuat dirinya menjadi salah satu kandidat calon hakim
22
konstitusi yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 1999-2004. Ia pun akhirnya lolos verifikasi untuk selanjutnya menduduki jabatan hakim konstitusi di MK. Selain dirinya, yang diangkat sebagai hakim konstitusi berdasarkan Keppres Nomor 147/M tahun 2003 pada tanggal 15 Agustus 2003 antara lain Prof. Dr. Laica Marzuki, SH Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, SH., MS., Letjend (Purn) Achmad Roestandi, SH., Prof. H.A.S. Natabaya, SH., LLM, dan Dr. H. Harjono, SH., MCL.. selain itu juga I Dewa Gede Palguna, SH., MH., Maruarar Siahaan, SH., dan Soedarsono, SH. Pada tanggal 16 Agustus 2003, kesembilan hakim konstitusi itu dilantik Presiden Megawati di Istana Negara. Pada proses pemilihan Ketua Mahkamah Konstitusi yang memakan waktu 3 jam, tiga hari setelah dilantik di Istana Negara, Jimly Asshiddiqie terpilih langsung pada putaran pertama dengan perolehan lima suara dari kesembilan hakim MK yang menerima SK Presiden. Maka, sejak 19 Agustus 2003 itu, dimulailah hari-hari pertamanya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Pantang Mencari Calon Istri “Istri dicari, malah tidak ketemu..” Ikhwal
mengenai
romantisme
anak
muda,
Jimly
tidak
terlalu
bersemangat. Pacaran bagi dirinya tidak lebih penting dari mengejar prestasi. Di luar kuliah dan kerja, ia lebih memilih aktif berorganisasi. Tempat organisasinya jatuh pada Al-Azhar. Di lembaga peninggalan Buya Hamka ini, Jimly sempat menjadi Ketua Umum Youth Islamic Student Confederation (YISC) Al-Azhar tahun 1977. Lingkungan pulalah yang membuatnya memiliki prinsip seperti ini. Doktrin yang melekat dalam dirinya serta rekan sesama aktifis di organisasi itu
23
begitu kuat. Bunyi doktrin itu kira-kira begini, “Tidak usah mencari istri, sebab kalau dicari malah tidak akan segera ketemu. Akibatnya, tidak akan segera kawin. Karenanya harus dibalik. Bagaimana caranya supaya menjadi suami yang baik untuk sang calon istri”. Dalam pemahaman Jimly, saat memulai pernikahan, suami dan istri mulai berkenalan dari awal lagi. Tidak sedikit yang akhirnya kecewa, karena impiannya selama pacaran tidak terwujud dalam pernikahan. Bagi Jimly, suami maupun istri sering menuntut satu sama lain sempurna. Padahal kesempurnaan adalah hal yang mustahil, kecuali di masa bayang-bayang era kepalsuan, yaitu pacaran. Karenanya, lebih baik bagaimana menjadikan diri sendiri ideal bagi sang pasangan. Untuk mewujudkan sesuatu yang ideal itu, selayaknya masingmasing saling menyesuaikan diri. Berkat doktrin ini, proses pernikahannya dengan Tutty Amalia, adik suami mantan Menteri Peranan Wanita Tutty Alawiyah ini pun berlangsung singkat tanpa bumbu-bumbu pacaran terlebih dulu. “Hanya seminggu saja, saya tembak dia, mau kawin dengan saya tidak? Cuma seminggu saja,” katanya sambil tersenyum. Seminggu sejak ia menyatakan cintanya, Jimly pun langsung menikahi Tutty. Dari pernikahan ini lahirlah 5 orang putera-puteri, Robbie Ferliansyah (19 tahun), Sherra Maulidya (17 tahun), Afida Nurulfajria (13 tahun), Miska Alia Farhana (10 tahun), dan Rafie Fahrazi (2 tahun). Keutuhan keluarga adalah hal yang sangat penting bagi Jimly. Sampai-sampai ia menyetujui status dwi-kewarganegaraan seseorang. Hal ini terjadi bila demi mempertahankan keutuhan sebuah keluarga. “Negara tidak berhak memaksakan warganya untuk memilih
kewarganegaraan tertentu,”
katanya.
24
Apa gerangan hobi ketua MK ini? Ya. Ia tidak bisa berlama-lama meninggalkan bidak catur. Buah catur dan bidak catur. Lalu main catur. Keluarga besarnya memang mengakrabi jenis olahraga satu ini. Kakaknya bahkan pernah juara PON. Demikian pula keponakannya, Zuherman Edi juga pernah menjuarai PON, bahkan kini ia menjadi master nasional. Karena lekat dengan dunia percaturan inilah, keberadaannya tercium oleh Utut Adianto. Oleh Utut, Jimly pun diminta menjadi Ketua Dewan Pembina Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi). Bagi Jimly, “Wuh, keringat, kalau lagi serius. Apalagi kalau sudah mau kalah gitu, makin banyak itu keringat. Kalau mau menang itu baru nggak keluar keringat, hahaha…”, ujarnya bergurau.
25
BAB II GAGASAN DAN PEMIKIRAN KEINDONESIAAN
Pluralitas Indonesia “Kampung saya miniatur Indonesia” Konsep Jimly tentang pluralitas Bangsa Indonesia banyak dipengaruhi kondisi kampung halamannya. Ia merasa sejak dulu hidup dalam kemajemukan. Walaupun mayoritas penduduk kampungnya beragama Islam, namun tidak berarti semua mempunyai satu suara. Bahkan sempat terjadi friksi antar organisasi
umat
Islam
mainstream,
yaitu
Nahdlatul
Ulama
(NU)
dan
Muhammadiyah. Seperti hal mana terjadi sejak mula berdirinya, hingga saat itu pun nuansa ketegangan antar pengikut organisasi yang berbeda di kampung Jimly kecil sangat terasa. “Di kampung saya ada dua masjid, satu milik NU satu milik Muhamadiyah. Tidak ada orang yang shalat di sini (masjid komunitas NU) bisa diterima shalat di sana (masjid komunitas Muhammadiyah). Begitu sebaliknya,” katanya kala mengingat kenangan masa kecil di kampung halamannya. Ternyata masalah yang cukup sensitif di kampungnya itu tidak menjadi beban keluarganya. Bahkan keluarga ini mampu bergaul baik dan diterima oleh dua kelompok berbeda itu, “Satu-satunya yang boleh khotbah di dua masjid itu hanya Bapak saya” ujarnya. Begitu pula pada sebuah masjid yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Setiap tahun pengurus takmir selalu berganti. Pergantian pengurus ini berarti pula pergantian pandangan arus utama kedua ormas Islam tersebut. Akibatnya tata cara ibadah seperti tarawih pun berganti-ganti mengikuti kebijakan pengurus yang sedang menjabat.
26
Secara lebih luas, konsep kemajemukan agaknya memang sudah mendarah daging di Palembang. Sejarah nenek moyang orang Palembang yang berorientasi ke laut menjadi penyebabnya. Karena infrastruktur jalan antar kota saat itu belum banyak, masyarakat menggunakan sembilan sungai besar di daerah itu dan laut di sekitarnya sebagai sarana transportasi. Hal ini menyebabkan terjadinya pengelompokan etnis. Ditambah lagi, di Sumatera Selatan terdapat suku-suku yang sangat beragam. Sebut saja Komering, Lahat, dan sebagainya. Hal ini juga membawa akibat selanjutnya, yakni pada keanekaragaman bahasa. Tidak itu saja, dialeknya pun terdengar aneh. Untuk pertanyaan “ke mana?” saja, bisa muncul beragam dialek, seperti ada dialek “ka mano?” untuk orang Palembang. Kabupaten lain melafalkannya dengan “ke mani?” atau “ke mena?”, dan seterusnya. Perbedaan bahasa dan dialek sangat beragam ini sampai antarsuku yang hidup bersama di Palembang tidak bisa saling mengerti bahasa masingmasing, misalnya antara suku Komering, Okan dan Ranau. Keragaman terpilah dalam kesejajaran itu membuat penduduk wilayah Sumatera Selatan sering mengalami konflik horisontal ketimbang vertikal. Hal ini, untuk lebih gampang menyebutnya, berbeda dengan wilayah Sumatera Barat misalnya yang berkultur homogen. Masyarakat dengan kultur yang homongen lebih kompak melayangkan suara kritis pada penguasa. Berbeda dengan masyarakat yang berkultur beragam. Merka lebih sering mengalami konflik horisontal ketimbang vertikal. Jimly sendiri belum bisa melupakan, seringnya terjadi perang antarkabupaten di Sumatera Selatan dan bahkan memakan korban dalam jumlah ratusan jiwa. “Inilah miniatur dari Indonesia,” ujar Jimly menggambarkan kota kelahirannya. Indonesia dalam pandangan Jimly, merupakan sebuah bangsa paling majemuk di dunia. Dengan jumlah sebanyak 665 bahasa daerah, maka wajarlah
27
jika terbentuk cara berpikir dan kultur yang berbeda-beda. Terutama menyangkut etnisitas, hukum adat dan sebagainya. Posisi geografis Indonesia di peta dunia pun membawa banyak pengaruh dalam kemajemukan. Pergaulan Indonesia dengan banyak budaya dunia seperti India, China, Arab, Eropa membawa pengaruh besar bagi terciptanya banyak budaya dan kehidupan beragama. Sejarah mencatat bahwa nenek moyang Indonesia telah mendapat siraman dari semua agama besar dunia, mulai dari Budha, Hindu, Islam dan Kekristenan. Jimly juga tidak lupa mengutip sebuah penelitian yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia terbentuk dari 25 persen kata-kata berasal dari Bahasa India, 25 persen dari Bahasa China dan 25 persen dari Bahasa Arab. Adapun 25 persen sisanya adalah campuran dari berbagai sub-kultur lokal. Berdasarkan kenyataan inilah, tutur Jimly, terbentuk Indonesia. Di satu sisi menjadi bangsa dengan karakter pluralistik dan menjadi bangsa yang reseptif di lain sisi. Karakter bangsa ini terbentuk melalui pengalaman sendiri menjadi bangsa yang toleran. Karena itu kondisi ini hanya bisa bertahan bila bangsa ini menonjolkan sikap moderat. Sejarah juga telah mencatat, saking moderatnya, orang Indonesia hampir bisa menerima apapun bentuk gagasan. Parahnya dengan bekal asumsi berbeda, para orientalis Barat sering memberi label sinkretisme atas apa yang berkembang dari kemajemukan di Indonesia ini. Hal ini pula yang memicu munculnya fenomena gerakan radikalisasi yang tidak bisa dihindarkan. Sebagai sikap reseptif bangsa, Jimly memandang hal tersebut sebatas romantika hidup. “Karena tidak mungkin sifat dan pendapat manusia
bisa lembut semua, pasti ada yang keras”, ujarnya. Yang perlu
ditekankan baginya adalah kelompok-kelompok ini tidak akan menjadi faktor penentu (determinant factor) karena mereka berada di tengah kemajemukan.
28
“Sebab di tengah kemajemukan tidak mungkin efektif untuk memaksakan satu ide saja”, sambungnya.
Pergaulan Sebagai Sarana Pembauran di Indonesia “Strategi perkawinan silang itu efektif…” Penyadaran dan komunikasi bagi seluruh anak bangsa seharusnyalah terus dibangun, baik oleh komponen masyarakat maupun pemerintah. Konsep bahwa perbedaan itu merupakan kekayaan Bangsa Indonesia harus dikelola dan dimanfaatkan demi kepentingan seluruh bangsa. Oleh karena itu keragaman harus terus menjadi landasan berpikir dan pengambilan keputusan. Mengelola perbedaan ini memang tidak mudah. Jimly sendiri mematok 50 tahun untuk menyelesaikan masalah multikultural di Indonesia. Untuk menggapai cita-cita itu, dialog multikultural, komunikasi terbuka, ataupun pembauran disengaja lewat pergaulan harus terus disebarluaskan. Khusus mengenai poin terakhir Jimly mempunyai ide unik yaitu, membuat ‘Indonesia kecil’ di perusahaan-perusahaan. Misalnya perusahaan bisa merekrut pegawainya dari berbagai latar belakang etnis, agama dan suku, serta menghindari budaya mengangkat orang-orang dari satu latar belakang berdasarkan almamater kampus maupun kesukuan. Upaya lain menurut Jimly yang agak berat namun efektif, adalah perkawinan silang. Bagi banyak orang hal ini dirasa berat karena menyangkut masalah emosional dan perasaan. Ide perkawinan ini menurutnya bukan lantas menghalalkan perkawinan antar agama yang berbeda, namun dipandang dari sudut toleransi antar budaya, suku atau etnis. Akan tetapi baginya, ada peluang dengan sedikit memainkan unsur kesengajaan. Bersengaja dalam hal tidak membatasi pergaulan antar suku, etnis, budaya dan bahkan agama. Untuk
29
urusan agama, ia mengakui tidaklah mudah. “Sebuah keluarga lebih baik menganut kepercayaan yang sama, kalau tidak akan menimbulkan konflik psikologis pada anak-anaknya,” sahutnya. Ide tentang unsur kesengajaan dalam masalah pergaulan ini pernah ia wujudkan dengan mengundang sahabatnya Pendeta Natan Setiabudi, yang kala itu menjabat sebagai Ketua Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Jimly meminta Pendeta Nathan untuk memberikan ceramah mengenai puasa ala umat Kristiani saat pengajian bulan puasa di rumah dinasnya. Semula reaksi peserta pengajian agak kaget, tetapi mereda setelah Jimly memberi penjelasan. Bahwa semua agama sebetulnya mempunyai konsep tentang puasa, karena itu tidak ada salahnya bila mendengar dari perspektif agama yang berbeda. Di sini Jimly berpendapat bahwa bila keimanan seseorang sudah kuat, justru tidak perlu takut menghadapi perbedaan. Orang yang imannya kuat sudah bisa mengukur kemampuan dirinya sendiri. Bagi Jimly sikap multikultural yang seperti ini adalah tiket untuk bergabung dalam dunia yang makin global saat ini. Semakin seseorang bergaul, semakin teranglah pola pikirnya dan sikap plural dan toleran akan menjadi kenyataan. Jimly juga memandang sudah waktunya orang Indonesia terbiasa dengan kemajemukan. Begitu pula sudah waktunya orang Indonesia bergaul dengan peradaban besar dunia serta mengambil peran lebih dalam era globalisasi ini. Untuk sukses menuju kesana salah satu syaratnya adalah sukses mengelola perbedaan di dalam negeri sendiri.
30
Pendidikan di Indonesia “Kita harus berani mencontoh Taiwan” Sebagai seorang guru besar, tentu masalah pendidikan di Indonesia juga menyita perhatian Jimly. Pria berkacamata ini pernah mengusulkan pemerintah supaya mencontoh kebijakan anggaran negara Taiwan. Taiwan sangat ekstrim dalam mengutamakan pendidikan terutama mengenai anggarannya. Bagi Jimly, pendidikan Indonesia sedang menghadapi ancaman fatal. Arena persaingan bebas yang makin terbuka di era globalisasi dan perdagangan bebas menjadi tantangan nyata di tahun-tahun mendatang. “Pendidikan di Indonesia sudah sangat tertinggal, sehingga sudah waktunya pendidikan harus menjadi prioritas utama pembangunan di Indonesia yang perwujudannya antara lain adalah pemberian prioritas di bidang anggaran,” kata Jimly. Pertimbangan inilah yang membuat MK pada tanggal 19 Oktober 2005 yang lalu, memutuskan bahwa pemenuhan pendanaan pendidikan tidak dapat dilakukan secara bertahap oleh pemerintah. MK menekankan agar pemerintah segera memenuhi pendanaan pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara secara langsung, minimal 20 persen. “Kita dapat belajar dari Taiwan yang bahkan menentukan porsi anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan di dalam konstitusinya. Di tinggat pusat mereka menyisihkan 15 persen dari total anggaran, di tingkat provinsi 25 persen dan di tingkat kabupaten sebesar 35 persen dari keseluruhan anggaran pembangunan di masing-masing tingkatan pemerintahan. Dengan begitu ada jaminan pasti dan seragam bahwa di seluruh wilayah Republik Taiwan, program pendidikan dijamin dengan dukungan anggaran yang merata. Karena itu tingkat pertumbuhan dan pemerataan masyarakat Taiwan luar biasa berhasil”, ujar Jimly menggariskan betapa seharusnya pendidikan bangsa dipikirkan secara serius.
31
Jimly memandang permasalahan diskriminasi di Indonesia yang tidak selesai sampai ke tahap grass root adalah juga karena faktor pendidikan yang tidak merata. “Ada tiga level dalam pendidikan. Pertama textually, yaitu orang mengetahui ada peraturan atau kebijakan tertulis mengenai sesuatu. Kedua cognitively, bahwa orang yang tahu itu betul-betul mengerti”, katanya. Karena itu ia juga maklum, kebijakan yang ditulis itu belum tentu sama dengan yang dimengerti, yang dipahami oleh warga negara. Baik warga negara yang menjabat dalam jabatan penyelenggara negara maupun warga negara yang di luar jabatan negara. Jarak antara teks dengan pengetahuan kognitif ini, lanjut Jimly, adalah persoalan sosialisasi, persoalan kewarganegaraan, persoalan civil education (pendidikan sipil) dan pendidikan multikultural. “Nah ini butuh waktu”, ujarnya pendek. Adapun level ketiga dari pendidikan adalah behaviour, atau perilaku sehari-hari. Ia memandang wilayah ini kedudukannya lebih jauh lagi, yakni di wilayah budaya. Dalam wilayah budaya inilah, menurut Jimly, berbagai macam cara harus ditempuh. Sebab sekalipun orang sudah mengetahui bahwa diskriminasi adalah hal yang salah, namun dalam berpikir dan bertindak, orang itu masih menunjukkan sikap diskriminatif. Jimly juga menekankan bahwa masalah ini tidak hanya terjadi di Indonesia, negara yang paling getol mengampanyekan demokrasi seperti Amerika Serikat saja sampai saat ini masih menyisakan persoalan diskriminatif antara penduduk kulit putih dan kulit hitam. Menyangkut persoalan diskriminasi, Jimly memandang waktu yang akan menjadi penawarnya. Ia mengatakan hal tersebut, tidak lain karena sebetulnya di tingkat kebijakan pusat sudah tidak ada masalah lagi. Tingkat kesadaran
32
masyarakat dan petugas lapanganlah yang belum penuh dan menyebabkan masih tersisanya persoalan. Sejauh yang sudah dirumuskan dalam konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi, kebijakan negara bersifat non diskriminasi. Jadi keragaman yang dimiliki Indonesia justru harus dipelihara, dipupuk, dan didayagunakan. Idealnya, terang Jimly, dalam konteks bernegara, semua warga negara adalah sama, apapun latar belakang politik, agama, bahasa, gender, etnisnya dan lainlain. Dengan demikian, semua fungsi negara harus memberikan jaminan, yakni jaminan sikap anti diskriminasi di semua tingkat pengambilan keputusan. Di sinilah, jelas Jimly, kesempatan bagi semua orang untuk belajar. Belajar dari fakta, ada jurang pemisah yaitu psikologi dan budaya. Jembatan harus dibangun dengan upaya sadar dari kedua belah pihak, walaupun ini adalah usaha yang tidak mudah. “Ini kesempatan buat semua pihak untuk belajar,” katanya. Maraknya sekolah-sekolah mahal, Jimly juga memandangnya miris. Apalagi sekolah-sekolah mahal itu muncul secara ekslusif dengan menonjolkan bahasa asing. Seharusnya, sekolah-sekolah itu tidak dibebaskan sebebasbebasnya. “Semacam ekonomi pasar, harus ada intervensi, ” katanya. Apalagi bila muridnya hanya dari kalangan berada saja. Dirinya lebih setuju bila bahasa asing masuk ke sekolah-sekolah negeri mulai dari jenjang yang paling dasar sekalipun. Memandang China yang menjadi raksasa ekonomi saat ini, Jimly sangat setuju bila Bahasa Mandarin dapat diberlakukan di sekolah-sekolah negeri. “Kalau saya mungkin akan membuat kurikulum tiga bahasa, nanti kalau mau skrispsi hanya bisa ikut ujian bila sudah mendapat TOEFL dan level Bahasa
33
Mandarin tertentu. Otomatis mahasiswa akan ambil kursus. Makin banyak orang Indonesia bisa berbahasa asing itu makin baik.” Bahkan dirinya sangat antusias bila ada banyak program beasiswa untuk mengirim anak-anak Indonesia belajar ke China. “Kita ambil anak dari setiap provinsi di Indonesia dan kita sebar di seluruh provinsi di China,” katanya “Jadi kiblat pendidikan kita tidak melulu ke Amerika saja, bukannya tidak boleh mencontoh negara maju, tapi kita perlu juga sumbangan pendidikan dari China, India atau Korea.” Hobi
caturnya
ternyata
juga
membawa
kesan
tersendiri.
Catur
sebenarnya menekankan pentingnya pendidikan berpikir. “Mestinya pendidikan kita ini pendidikan berpikir, pendidikan berhitung, pendidikan bekerja, dan pendidikan merasa,” sambungnya. Ia meyakini bahwa pendidikan yang baik harus membuat orang untuk terus berpikir. Mengambil contoh Rusia yang mempunyai budaya main catur, negara itu menjadi negara dengan budaya berpikir yang tinggi. “Coba bayangkan. Kalau di setiap rukun tangga (RT) itu diberdayakan main catur, dengan metode yang benar, itu mencerdaskan sekali. Pendidikan di sekolah sifatnya memberikan informasi. Tapi untuk mengajarkan metode berpikir paling tepat dengan memajukan permainan catur,” tambahnya lagi.
34
BAB III MAHKAMAH KONSTITUSI (CONSTITUTIONAL COURT)
Mahkamah Konstitusi dalam Hukum Tata Negara RI Reformasi tahun 1998 menggelinding ke segala aspek kenegaraan, tidak kecuali sektor tata negara, hukum dan perundangan. Peluang perubahan mendasar juga terjadi pada Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang disakralkan oleh Pemerintah Orde Baru. Sakralitas berlebihan ini membuat UUD 1945 tidak pernah direvisi. Semangat perubahan mendorong terbangunnya struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis. Hasilnya boleh dibanggakan. Sejak perubahan itu, konstitusi dasar Indonesia telah mengalami perubahan dalam satu rangkaian empat tahap, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 dan terus mengalami penyempurnaan. Salah satu perubahan dari UUD RI 1945 adalah dengan telah diadopsinya prinsip-prinsip
baru
dalam
sistem
ketatanegaraan,
antara
lain
prinsip
pemisahan kekuasaan dan 'checks and balances' sebagai pengganti sistem supremasi parlemen. Ini berarti kesetaraan antar lembaga negara yang satu dengan yang lainnya pun terjadi. Di mata Jimly, perbaikan di bidang hukum inilah yang konon bersifat mutlak sebagai syarat sebuah negara hukum. Apa pasal? Proses legislagi yang terjadi di DPR adalah proses politik. Karena proses politik, terkadang pembentukan
sebuah
produk
perundang-undangan
tidak
ditentukan
35
berdasarkan norma-norma yang lebih tinggi, yaitu konstitusi, tapi lebih banyak ditentukan oleh kekuatan mayoritas yang memaksakan diri untuk menyetujui undang-undang tersebut. “Bahkan tidak jarang UU menyimpang dari UndangUndang Dasar (UUD). Karena itu dalam negara yang demokratis, perlu sebuah mekanisme untuk menguji dan mengecek -dalam rangka check and balancesproduk-produk yang dihasilkan DPR, apakah produk itu secara konstitusional bisa dibenarkan atau tidak”, papar Jimly. Berangkat dari sinilah, menurut Jimly, mengapa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) lahir. Sistem pemerintahan model Orde Baru yang mengebiri lembaga legislatif dan lembaga yudikatif telah dikoreksi lewat Amandemen UUD 1945. salah satu produk amandemen itu adalah dibentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) ini. MK di sini sebagai puncak kekuasaan peradilan bersama-sama Mahkamah Agung (MA). Ide pembentukan MK sendiri, lanjut Jimly, merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20 dan sudah diadopsi di 78 negara, semenjak Hans Kelsen merancang Undang-Undang Dasar Austria dan memasukkan lembaga ini dalam konstitusi Austria. Sedikit menengok ke belakang, setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD
RI
1945,
maka
dalam
rangka menunggu
pembentukan
MK,
MPR
menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK. MA menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. Fungsi MK sudah harus berjalan sejak disahkannya Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil Perubahan Keempat, 10 Agustus 2002. Problemnya sekarang, bagaimana teknis pelaksanaannya?
36
Untuk mempersiapkan pengaturan secara terperinci mengenai MK, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah membahas Rancangan UndangUndang (RUU) tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui terbitnya UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. RUU ini disahkan menjadi UU oleh DPR pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu juga. Bagaimana rekruitmen para hakim konstitusi ini? Proses rekruitmen calon hakim konstitusi ini juga sudah diatur menurut Pasal 18 ayat (1) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003. Pasal 18 ayat (1) itu berbunyi, “Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden”. Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara yang untuk sementara waktu dikerjakan MA. Selanjutnya 14 perkara itu diproses sendiri oleh MK. Setelah pelimpahan itu selesai, tanggal 15 Oktober 2003 dianggap sebagai hari pertama mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945. Menyimak data yang ada, Indonesia merupakan negara ke-78 yang mengadopsi sistem Mahkamah Konstitusi secara internasional. Daftar 78 negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi antara lain Afrika Selatan, Afrika Tengah, Albania, Aljazair, Andorra, Angola, Armenia, Austria, Azerbaijan, Bahrain, Belarussia, Belgia, Benin, Bolivia, Bosnia-Harzegovina, Bulgaria, Burundi, Cambodia, Chile, Colombia, Comoros, Croatia, Cyprus, Czech, Djibouti, Ekuador, Gabon, Georgia, Guatemala, Hongaria, Indonesia, Italia, Jerman, Kazakhstan, Korea Selatan, Kongo,
Kuwait, Kyrgystan, Latvia, Lebanon,
Lithuania,
Madagaskar,
Luxemburg,
Macedonia,
Mali,
Malta,
Maroko,
Mauritania, Mesir, Moldova, Mongolia, Mozambique, Nepal, Pantai Gading, Prancis, Peru, Polandia, Portugal, Romania, Russia, Rwanda, Senegal, Slovakia,
37
Slovenia, Spanyol, Sri Lanka, Sudan, Suriname, Syria, Tajikistan, Thailand, Togo, Tunisia, Turki, Ukraina, Uzbekistan, Venezuela, dan Yugoslavia.
Visi dan Misi Mahkamah Konstitusi Sesuai tertulis dalam Buku Blue Print internal Mahkamah Konstitusi (MK), MK mempunyai visi untuk menegakkan konstitusi dalam rangka mewujudklan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Adapun misi dari MK terbagi menjadi dua yaitu mewujudkan diri sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang modern dan terpercaya, serta membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakah salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan MK sekarang ini sejajar dengan organ konstitusi lainnya. MK juga sejajar dengan Mahkamah Agung (MA). Apalagi paska dilakukannya amanden UUD 1945, Indonesia tidak lagi mengenal lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Setelah dilakukannya amandemen itu, kedudukan antar lembaga tinggi berbeda. Bila di masa lalu lembaga tertinggi adalah MPR, kemudian lembaga tinggi negara adalah DPR, Presiden, BPK dan seterusnya, sekarang hanya dikenal dengan sebutan lembaga saja.
38
Karena tidak ada lagi lembaga tertinggi, maka selanjutnya lembaga negara
memiliki
pos
masing-masing.
Lembaga
konstitusional
dalam
menyelenggarakan fungsi makro pemerintahan Indonesia terbagi dalam Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di ranah legislatif. Di ranah eksekutif terdiri dari Presiden dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Adapun di ranah yudikatif adalah Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Di mata Jimly, dalam hubungan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, dapat dibedakan antara pengawal undang-undang versus Undang-Undang Dasar (UUD). “Di sini bedanya. Setiap pelanggaran undangundang diadili oleh pengadilan di dalam lingkungan Mahkamah Agung (MA). Ini berarti, setiap peraturan di bawah undang-undang yang dinilai bertentangan dengan undang-undang juga diuji langsung oleh Mahkamah Agung. Selain itu MA juga membawahi peradilan yang mengadili tindak pidana, perdata dan tata usaha negara”, jelasnya. Tetapi, masih lanjut Jimly, andai kata ada pelanggaran UUD, termasuk apabila undang-undang dinilai bertentangan dengan UUD, maka yang menilai atau mengadilinya adalah Mahkamah Konstitusi. “Karena itu, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung adalah pengawal undang-undang (the guardian of the law), sedangkan Mahkamah Konstitusi merupakan pengawal Undang-Undang Dasar (the guardian of the constitution)”, terangnya mengenai perbedaan MK dan MA. Menurut Jimly, penjelasan pembagian wewenang diatas dapat diperinci sebagaimana berikut ini. Dalam pembuatan keputusan, negara berhak membuat tiga macam keputusan. Keputusan yang pertama adalah keputusan yang bersifat mengatur yang tertuang dalam peraturan. Peraturan yang paling tinggi dalam sebuah negara adalah undang-undang. Undang-undang ini dibuat oleh badan legislatif bersama dengan eksekutif. Di bawah undang-undang terdapat
39
subordinate legislation. Yang termasuk dalam wilayah ini contohnya keputusan presiden (keppres), peraturan menteri, peraturan daerah (perda), dan lain sebagainya. Peraturan-peraturan ini dianggapnya mempunyai norma umum, artinya berlaku bagi semua orang dan tidak menunjuk pada orang tertentu. Peraturan-peraturan yang dihasilkan ini juga tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang.
Dan
undang-undang
yang
dibuat
tidak
boleh
bertentangan dengan UUD. Bila bertentangan maka berpeluang untuk bisa dibatalkan. Inilah yang disebut judicial review. Jadi, peraturan yang bertentangan dengan undang-undang diuji dan diadili oleh MA, sedangkan undang-undang yang bertentangan dengan UUD diuji dan diadili oleh MK. Dengan
mekanisme
yudisial
saat
ini,
seseorang
diperbolehkan
mengajukan usulan pembatalan sebuah keppres misalnya, yang dianggap merugikannya. Namun karena peraturan yang merugikan itu bukanlah undangundang, melainkan hanya peraturan dibawah undang-undang, maka ia tidak bisa membawa kasus ini kepada MK. Kasus ini, yang dalam bahasa hukum disebut constitutional complaint akan ditangani MA. “Jadi kesimpulannya, walaupun pelanggaran peraturan yang terjadi bersifat konstitusional yaitu pendiskriminasian, namun karena yang digugat adalah peraturan dibawah undang-undang, maka MK tidak berhak menguji peraturan tersebut”, jelas Jimly. Pengujian dan pembatalan itu tidak akan dilakukan MK, melainkan akan dilakukan oleh MA yang mengadili peraturan itu berdasarkan undang-undang, bukan berdasarkan konstitusi. Padahal, sesungguhnya wilayah yang dilanggar adalah wilayah konstitusi, yaitu jaminan konstitusi negara terhadap setiap warganya. Bahwa negara tidak bisa mendiskriminasi warganya. Inilah menurut Jimly, kelemahan dari sistem yudisial di Indonesia. Bahwa terjadi dualisme dalam menangani masalah pelanggaran konstitusional, karena
40
berdasarkan UUD, wewenang untuk menguji peraturan yang berada di bawah undang-undang belum termasuk dalam kewenangan MK. Jimly mengakui bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap bila constitutional complaint ini juga menjadi kewenangan MK. “Memang harus perlahan-lahan. Di banyak negara lain, constitutional complaint juga terjadi secara bertahap seiring dengan praktek. Saya berharap dalam kurun waktu sepuluh tahun mendatang, masalah ini sudah bisa diperluas ke wilayah MK,” ujarnya. Untuk selanjutnya, keputusan kedua yang dibuat oleh negara adalah keputusan yang bersifat administratif. Keputusan ini dianggap mempunyai norma konkrit dan individual. Misalnya, keputusan negara dalam mengangkat pejabat negara, mulai dari pejabat tinggi sampai camat. “Bisa juga keputusan dalam menunjuk pemenang tender. Apabila keputusan administratif ini dirasa cacat hukum, maka keputusan ini bisa di gugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang ada di setiap kota”, tambah Jimly. Sementara keputusan ketiga yang dibuat negara adalah keputusan hakim. Keputusan hakim juga terbuka untuk digugat. Bila tidak puas dengan keputusan hakim, maka orang yang bersengketa dapat mengajukan naik banding ke tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi sampai ke tingkat Pengadilan Kasasi. Dengan
bahasa
sederhana,
bila
Mahkamah
Konstitusi
berwenang
mengadili undang-undang, Mahkamah Agung mengadili peraturan di bawah undang-undang serta membawahi peradilan pidana, perdata dan peradilan tata usaha negara. Dengan kata lain MA mengadili juga subjeknya. Pengecualian diberikan kepada MK. MK berwenang mengadili khusus untuk dua manusia yang menjabat sebagai presiden dan wakil presiden (impeachment). Jika presiden dan wakil presiden diduga melakukan pelanggaran,
MK-lah yang berhak
memutuskan nasib akan diberhentikan atau tidaknya presiden dan atau wakil presiden. Sementara dalam masalah etika, Komisi Yudisial
mempunyai
41
wewenang untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, menetapkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Dengan kata lain komisi yudisial adalah komisi kehormatan para hakim-hakim. “Inilah tiga pilar yudikatif yang diharapkan bisa menjaga proses demokrasi Indonesia yang sesuai jalur hukum”, Jimly menyimpulkan. Mengacu pada pasal 24 (2) UUD RI 1945 tentang Kekuasaaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “MK adalah salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”, di sinilah MK dan MA menjadi sederajat. Bedanya terletak pada fungsi dan wewenang seperti yang dijabarkan diatas. MK juga kehakiman
merupakan
bersifat merdeka. Kemandirian kekuasaan
prasyarat
sebuah
negara
demokratis.
Karena
kedudukannya setara dengan MA, maka kemandirian MK juga dijamin konstitusi sebagaimana tertera dalam Pasal 2 UU No. 24 2003. Sebagai lembaga baru yang secara logika tidak sempat terkontaminasi penyakit kronis lembaga negara dan lembaga pemerintahan lainnya, MK mempunyai modal politik kuat untuk dapat menjadi penjuru bagi penegakan hukum dan ketaatan kepada hukum. Apa Fungsi Mahkamah Konstitusi? Ketika ditayakan hal ini kepada Jimly, dirinya menjelaskan sebagai berikut. Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution), pengawal demokrasi (the guardian of democracy) dan penafsir konstitusi (the intepreter of constitution). Artinya lembaga ini harus melaksanakan apa saja yang ada di dalam konstitusi, menjaga demokrasi dan harus menafsirkan ketentuan yang tidak jelas di konstitusi.
42
Bagaimana penjelasannya? Sebagai pengawal konstitusi, MK berfungsi sebagai penjamin pelaksanaan UUD. UUD yang selama kurun waktu beberapa dekade yang lalu hanyalah sebuah kertas kosong yang tidak dikawal dan ditegakkan, kini mempunyai penjamin untuk melaksanakannya. Jadi konstitusi tidak lagi sepenuhnya berada dibawah wewenang penguasa tertentu. “UUD kita sekarang ini bersifat enforceble, harus dijalankan, dan harus tercermin dalam kebijakan peraturan perundang-undangan di bawahnya. UU yang bertentangan dengan UUD bisa dibatalkan”, terang Jimly. Menurutnya, dulu belum ditemukan mekanisme seperti ini. Artinya, policy yang sudah diadopsi dalam konstitusi paling tinggi sudah dilaksanakan. Tinggal yang jadi masalah menurutnya, jarak antara policy di atas dengan policy yang di bawah. “Inilah yang harus terus dipantau supaya konsisten”, paparnya. Terlebih di negara demokrasi, MK adalah penyeimbang demokrasi. Hakhak yang diakui dalam UUD RI 1945 dan tata cara pelaksanaan demokrasi di dalamnya
menjadi
rambu-rambu
bagi
pelaksanaan
demokrasi,
karena
demokrasi tanpa hukum akan mengarah menjadi anarki. "Demokrasi yang berdasarkan hukum adalah demokrasi konstitusi. Oleh karenanya supremasi konstitusi harus ditegakkan," Jimly menambahkan. Di mata Jimly, sifat dari demokrasi yang tunduk pada suara terbanyak seringkali tidak berorientasi pada kualitas. Ia mencontohkan, dalam pemilihan presiden, seorang Profesor Doktor bersaing dengan seorang yang tidak lulus Sekolah Dasar. Tapi bila orang yang disebut kedua ini adalah pilihan suara mayoritas rakyat, maka sesuai demokrasi ia adalah presiden terpilih. Hemat
Jimly,
inilah
demokrasi.
Demokrasi
bersifat
matematis
dalam
pengambilan keputusan. Masalahannya kebenaran dan keadilan belum tentu matematis, suara mayoritas rakyat belum tentu adil bagi semua rakyat, dan
43
suara mayoritas belum tentu kebenaran. “Di sinilah demokrasi mempunyai cacat bawaan, dimana keputusan yang didasarkan pada suara mayoritas rakyat belum tentu kehendak seluruh rakyat. Maka MK mengawal undang-undang supaya tidak lahir kembali sebuah tirani mayoritas” imbuhnya. Kondisi demikian ini, pandang Jimly, yang menjadi polemik di Indonesia. Bahwa putusan 9 hakim MK dapat membatalkan undang-undang yang dihasilkan oleh 550 orang anggota legislatif bersama presiden hasil pemilu. Undangundang yang dihasilkan memang cermin dari mayoritas kehendak rakyat. Namun mayoritas kehendak rakyat belum tentu kehendak seluruh rakyat. Kehendak seluruh rakyat ada di Undang-Undang Dasar atau konstitusi. Demikian ini adalah kontrak sosial yang harus dipatuhi oleh semua unsur negara. Melalui sudut pandang ini, maka undang-undang yang tidak sesuai dengan UndangUndang Dasar bisa dibatalkan, terlepas dari kenyataan bahwa undang-undang itu adalah hasil kerja 550 anggota legislatif bersama presiden hasil pemilu. Dalam hal penafsir undang-undang, MK berfungsi mengatasi kekurangan dan kelemahan yang ada di dalamnya.
Undang-Undang Dasar dibuat oleh
manusia dan dirumuskan dalam forum politik dengan prosedur politik, karena itu di dunia ini tidak ada Undang-Undang Dasar yang sempurna. Atas dasar Inilah
mengapa
diperlukan
penyempurnaan-penyempurnaan
terhadap
konstitusi. Salah astu cara menyempurnakan konstitusi bisa dengan mengubah Undang-Undang Dasar tersebut, melakukan konvensi ketatanegaraan ataupun melakukan penafsiran hakim (judicial interpretation). Judicial Intrepretation inilah yang dibuat melalui putusan Hakim Mahkamah Konstitusi. Putusan Hakim MK ini adalah penterjemahan atau tafsir dari Undang-Undang Dasar. Dalam wilayah inilah MK berfungsi sebagai the intepreter of constitution. Hal ini diperkuat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
44
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Keputusan MK mengikat dan harus dilaksanakan.
Apa Wewenang dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi? Mengenai kewenangan dan kewajiban MK, dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD RI 1945 yang kemudian dipertegas dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Di situ disebutkan, Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban. Empat kewenangan itu adalah, pertama menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review), kedua, memutus sengketa kewenangan antar lembaga, ketiga, memutus pembubaran partai politik, dan keempat memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Adapun satu kewajiban MK adalah, memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa presiden dan atau wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum yang ditimpakan kepada presiden dan wakil presiden berupa penghianatan terhadap negara, tindak korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden, sebagaimana dimaksud dalam UUD RI 1945. Lebih lanjut Jimly menegaskan, proses pelengseran presiden kini harus melibatkan tiga lembaga negara, yaitu dimulai DPR yang melakukan proses pendakwaan. Dakwaan ini kemudian dibawa ke Mahkamah Konstitusi yang dalam jangka waktu paling lama 90 hari harus memutuskan apakah dakwaan DPR tersebut tepat atau tidak dari segi hukum. Di sinilah peran signifikan MK, yaitu memutuskan apakah dakwaan DPR tersebut bisa dibenarkan atau tidak. Jika MK akhirnya menyatakan bahwa dakwaan DPR terhadap presiden itu tepat, maka DPR akan mengundang MPR untuk menggelar Sidang Umum atau Sidang
45
Istimewa untuk memberhentikan presiden. Namun bila MK menyatakan bahwa dakwaan DPR itu tidak terbukti maka proses impeachment tidak dapat dilanjutkan. Apabila pelanggaran presiden itu juga menyangkut perbuatan pidana, maka akan dimulai lagi proses hukum peradilan pidana biasa. Misalnya bila tuduhannya menyangkut masalah korupsi, pengadilan secara politik terhadap diri presiden diberhentikan. Untuk membuktikan kesalahannya itu, maka proses peradilan melalui peradilan biasa. Kewenangan dan kewajiban yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga Peradilan oleh UUD RI 1945 ini, mencerminkan semakin kuatnya penerapan prinsip negara hukum dalam UUD RI 1945 setelah amandemen dan berjalannya sistem check and balances antar lembaga negara. Dalam melaksanakan kewenangan lembaga-lembaga negara, sangat mungkin
terjadi
suatu
lembaga
negara
menggunakan
kewenangannya
melampaui batas kewenangan yang diberikan kepadanya sehingga berpotensi melanggar kewenangan lembaga lain. Mahkamah Konstitusi-lah yang berperan sebagai lembaga peradilan untuk memutus sengketa antar kewenangan lembaga negara ini. Menurut Jimly, hubungan antarlembaga pemerintah selanjutnya diikat dengan prinsip checks and balances, di mana lembaga-lembaga tersebut diakui sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat dari mekanisme
sederajat
itu,
timbul
kemungkinan
dalam
melaksanakan
kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD. Jika timbul persengketaan semacam itu, diperlukan organ tesendiri yang diberi tugas untuk memutus final akan hal tersebut.
46
Lembaga-lembaga
negara
itu
bukan
tidak
mungkin
berpeluang
melakukan pelanggaran konstitusi. Sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas, meskipun anggota DPR yang dipilih dalam pemilihan umum dan presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat mempunyai dasar legitimasi perwakilan aspirasi rakyat, namun produk dari dua lembaga ini secara potensial dapat menyimpang dari UUD 1945. Di sini wewenang Mahkamah Konstitusi diperlukan, yaitu sebagai payung hukum untuk melakukan uji undang-undang dan menjaga menegakkan konstitusi bilamana terjadi pelanggaran konstitusi lembaga eksekutif dan legislatif sebagai pembuat undang-undang. MK juga harus menerima bila gugatan tentang suatu produk undangundang datang hanya dari satu orang saja. Produk undang-undang yang dibuat oleh presiden bersama dengan 550 orang di DPR memang seharusnya sudah mencerminkan suara mayoritas rakyat, tapi masih terbuka kemungkinan ada salah seorang warga yang merasa dirugikan oleh undang-undang tersebut. “Produk undang-undang tidak boleh menimbulkan ketidakadilan, tidak boleh melanggar hak konstitusional warga negara walaupun satu orang,” tambah Jimly lagi. Namun demikian Jimly menuturkan, keinginan masyarakat Indonesia untuk berperkara di lembaga-lembaga hukum masih tergolong lemah, akibatnya banyak persoalan yang diselesaikan secara politis. Salah satu penyebab lemahnya keinginan berperkara itu karena kultur bangsa dan belum terbiasanya masyarakat. “Berurusan dengan polisi dan pengadilan masih dianggap tabu oleh masyarakat kita,” ujarnya. Jimly mengakui bahwa membangun keinginan masyarakat untuk tidak alergi berperkara memakan waktu yang lama. Itulah sebabnya pembelajaran berdemokrasi harus diimbangi dengan pembelajaran hukum. “Demokrasi tidak
47
akan jalan jika sistem hukum tidak tegas. Dan tegaknya sistem hukum membutuhkan pembelajaran dari masyarakat,” ujarnya. Disinilah peran aktif dari para penegak hukum seperti jaksa, polisi, dan hakim untuk terus menjaga integritas dan memperbaiki citra diri juga diperlukan.
Integritas Hakim Konstitusi “Biaya perkara ke MK gratis..” Para hakim konstitusi yang diangkat berdasarkan Keppres 147/M tahun 2003 adalah para pakar hukum yang diyakini mempunyai tingkat pengetahuan mendalam menyangkut permasalahan konstitusi. Dalam pengamatan Jimlyk, inilah ujian bagi para Hakim MK untuk membuktikan bahwa lembaga MK adalah lembaga yang secara independen dapat menjalankan fungsi peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketika
ditanya
tentang
bagaimana
proses
sembilan
hakim
ini
menentukan sebuah putusan, Jimly hanya menjawab, “Kalau perdebatan mengambil keputusan, bisa setengah mati. Sembilan orang itu pendapatnya sembilan, dan ahli ngotot semua karena sudah senior. Tidak pernah ada sekali perdebatan langsung jadi, nggak ada. Apalagi masing-masing 9 hakim itu independen, kan? Dalam setiap perkara pasti kita memanggil presiden, memanggil DPR dan menteri. Walaupun status menteri itu hanya memberikan keterangan, tapi dia itu harus menerangkan, mengapa UU ini dibikin kayak begini atau begitu.” Hakim Konstitusi juga harus aktif dalam kepasifannya. Artinya, hakim ini harus aktif mencari kebenaran dengan memberikan penafsiran dalam uji materiil UU yang merefleksikan kondisi sosial yang berkembang di masyarakat. Ia juga harus aktif bila sebuah perkara datang kepadanya. Saat itulah ia harus betul-betul aktif dalam menegakkan keadilan. Prinsip judicial
48
activism inilah yang menjadi alasan Jimly ketika ia melayangkan surat peringatan kepada Presiden perihal kenaikan harga BBM. “Di negara berkembang yang hukumnya masih simpang siur seperti Indonesia, judicial activism sangat diperlukan,” tambahnya. Hal lain yang dilakukan MK demi menjaga integritasnya adalah menghapuskan biaya perkara karena setiap pengujian materi dibiayai negara. “Ini dimaksudkan supaya hakim konstitusi tidak berhubungan dengan uang,” kata Jimly. “Itulah sebabnya semua biaya perkara 14 permohonan judicial review ke MA kita kembalikan. Ini penting untuk menjaga supaya Mahkamah ini betul-betul untuk kepentingan umum. MK tidak mengadili orang-perorang, tapi mengadili kepentingan umum. Jadi kita ndak boleh terima uang apapun,” lanjut Jimly lagi. Atas prinsip ini pula, dalam setiap kunjungan kerja ke daerah-daerah, pihaknya menampik pemberian uang dari pejabat daerah. Di saat diundang sebagai pembicara seminar pun, atas nama Ketua MK, Jimly selalu menolak honor yang diberikan panitia. Agaknya, citra buruk lembaga yudikatif seperti adanya mafia peradilan di masa lampau adalah pekerjaan rumah yang harus ditanggung MK dan para hakimnya. Citra itu pelan-pelan tampaknya sudah mulai dibersihkan. Setidaktidaknya kini dengan mudahnya masyarakat dapat mengakses putusan-putusan MK. Bahkan informasi tentang prosedur dan putusan perkara ini dapat dipantau setiap saat melalui website. Khusus mengenai sosialisasi hasil putusan, MK menyiapkan tim media khusus. Hasil putusan akan muncul 30 menit dalam website setelah putusan dibacakan. Satu hari berikutnya, putusan ini dimuat di koran-koran nasional, dan dalam waktu 3 hari putusan ini disebar ke lembaga-lembaga negara dan pengadilan di seluruh Indonesia.
49
Jimly sengaja memperkuat tim media guna mempertegas putusanputusan sidang yang kerap masih dilanggar. Karena tiadanya sanksi atas ketidakpatuhan terhadap putusan MK, maka MK harus memperkuat tim media untuk dapat menyiarkan pelanggaran tersebut dan membantu rakyat untuk menekan pelanggar putusan.
Suka Duka Mengemudikan Mahkamah Konstitusi, “Kita Harus Menjadi Contoh..” Tak ada yang menyangka bahwa awal mula lembaga yang sangat strategis ini terbentuk hanya bermodalkan tiga lembar kertas. Bahkan sampai saat ini, gedung permanen pun belum dimiliki MK. “Sebagai Ketua MK, saya mulai dari nol. Saya hanya dikasih modal tiga lembar kertas. Pertama UUD 1945 hasil kerja MPR, kedua Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi hasil kerja DPR dan pemerintah dan yang ketiga adalah Keppres pengangkatan Hakim MK yang diterbitkan tanggal 15 Agustus. Tanpa kantor, tanpa uang, tanpa pegawai, belum digaji. Bahkan mesin ketik saja tidak ada. No Nothing. Kayak zaman revolusi saja, hahaha….” kenang Jimly. Walaupun Jimly berpendapat selayaknyalah lembaga setinggi MK perlu ada persiapan integral yang menyeluruh, baik institusi, kantor, pegawai, dan sebagainya, namun ketiadaan sarana dan prasarana itu tidak menyurutkan langkahnya. “Saya hanya bilang pada rekan-rekan hakim, bahwa kita harus menjadi contoh, ” katanya. MK memulai kantornya dengan menyewa ruangan di Hotel Santika Jakarta dengan sistem bayar di belakang. Keputusan ini diambil Jimly karena enam dari sembilan hakim yang menjabat bertempat tinggal di luar kota. Walaupun Jimly tahu ia bisa saja mendapat ruangan di bekas kantor Dewan Pertimbangan Agung dan Sekretariat Negara, ia mempertimbangkan faktor
50
psikologis, bahwa MK harus mengambil jarak dengan kekuasaan. Jimly berkilah, “Demi kepentingan sejarah, rasanya kurang elok bila kami menempati ruang sekretariat negara atau kantor pemerintahan, apalagi kalau MK berada di lingkungan istana meskipun hanya untuk sementara. Sebab salah satu sifat yang diperlukan dari MK ini adalah independensi, netralitas, dan bertanggungjawab sesuai konstitusi.” MK pun menulis surat perkenalan pertamanya kepada Presiden, MPR, BPK, MA dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dengan kop surat karangan sendiri dan beralamat nomor handphone pribadi Jimly karena belum punya kantor. “Saya dulu suka diledek karena kop surat dan alamat nomor handphone itu. Itu bersejarah sekali”, ujarnya Jimly sambil tertawa lebar. Alhasil
semangat
ini
menghasilkan
keputusan-keputusan
yang
menjanjikan dalam tahun pertama MK berdiri. Tengok saja tiga putusan penting dikeluarkan tidak lama. Pertama putusan MK untuk mengadili semua undangundang tanpa dibatasi waktu. Putusan MK yang progresif ini membuka peluang dikoreksinya kesalahan-kesalahan yang dikandung dalam banyak perundangan di masa pemerintahan sebelum tahun 1999. Kedua, putusan yang berkait dengan komunisme. MK berpendapat bahwa pasal 60 g UU Pemilu Legislatif yang melarang warga yang terlibat dalam Partai Komunis Indonesia untuk menjadi calon anggota legislatif ini bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang dijamin UUD. Tak ayal lagi, putusan ini merupakan langkah historis MK mengakhiri politik balas dendam. MK di sini memulai perlunya rekonsiliasi di antara anak bangsa. Walaupun mendapat banyak tantangan, MK tetap berpegang teguh pada putusannya. “Tentara ‘ngamuk, umat Islam ‘ngamuk, tapi (itu sudah) kita putuskan..” ujarnya.
51
Ketiga adalah keputusan tentang Bom Bali. MK berpendapat bahwa konstitusi melarang pemberlakuan hukum retroaktif dalam keadaan apapun. Walaupun keputusan terakhir dengan komposisi 5 berbanding 4 hakim konstitusi ini dirasakan tidak adil bagi korban bom Bali, namun MK berpegang teguh pada azas positifisme. “Saya mengerti,” kata Jimly, “Kita juga tidak suka terhadap teroris, tapi tidak boleh membuat undang-undang retroaktif. Misalnya si-A melakukan tindak pidana. UU-nya belum ada. Begitu kemarin dia bikin begini, hari ini ayo kita kumpul, kita buat undang-undang, supaya dia masuk penjara. Enggak boleh dong, itu retroaktif namanya. Undang-undang itu harus ada lebih dulu sebelum perbuatan dilakukan. Tidak boleh berlaku surut, kecuali urusanurusan yang bukan pidana. Misalnya perdata, boleh. Tapi kalau untuk tindak pidana, itu tidak boleh, itu sudah menjadi hukum universal.” Sampai saat ini, menginjak 3 tahun usia MK, sebanyak 80 Undang-Undang yang diuji MK. Dari 80 undang-undang itu, sebanyak 77 UU telah diputuskan. Dari jumlah sekian, tercatat 23 dikabulkan, 47 ditolak. Sedangkan 2 UU dianggap bukan wewenang MK dan 6 permohonan ditarik kembali. “Kalau dibandingkan dengan 550 anggota DPR yang hanya menghasilkan -kalau tidak salah- 18 undang-undang selama tahun 2005, produktifitas sembilan orang hakim ini jauh lebih banyak ‘kan.. haha..” katanya bergurau. Dalam dua setengah tahun mendatang MK menargetkan mempunyai gedung tersendiri yang akan menjadi gedung kebanggaan Republik Indonesia, simbol supremasi konstitusi. Lokasinya berada di sebelah Gedung Radio Republik Indonesia (RRI), Jalan Medan Merdeka Barat, dan kini sudah hampir selesai dibangun.
52
Sosialisasi Mahkamah Konstitusi “Sebentar lagi akan ada UUD dalam Huruf Braile..” Sosialisasi Mahkamah Konstitusi merupakan hal yang gencar dilakukan Jimly selama dua setengah tahun pertama usia Mahkamah Konstitusi. Selain itu, sampai saat ini MK aktif berjejaring dengan 30 perguruan tinggi
yang
mendirikan
pusat-pusat
kajian
tentang
konstitusi.
Jimly
mengharapkan semua universitas yang memiliki fakultas hukum mempunyai jaringan dengan MK untuk mengadakan penelitian, kajian, pelatihan, civil education untuk guru, dosen, mahasiswa, ulama, pesantren dan pejabat daerah. Temu wicara dan penyuluhan-penyuluhan tentang perubahan UUD 1945 juga kerap dilakukan di kalangan guru-guru. Para guru ini diundang untuk mengikuti seminar dan tanya jawab, diberi uang pengganti ongkos, snack, makan siang, piagam serta setumpuk buku-buku terbitan MK, termasuk buku pedoman UUD 1945 yang lama, UUD 1945 yang sudah diamandemen beserta penjelasan-penjelasan perubahannya. Semuanya difasilitasi gratis oleh MK. Fasilitas yang diberikan MK ini tak lain agar para pengajar juga memberikan informasi yang up-to-date dan benar kepada murid-muridnya tentang perkembangan perubahan yudisial di Indonesia. Pernah ada sebuah kejadian miris. Kejadian ini dialami oleh anak dari salah seorang Hakim Konstitusi. Saat menjawab pertanyaan dalam ulangannya tentang apa saja lembaga-lembaga negara, ia menulis bahwa MK adalah salah satu lembaga negara RI. Jawabannya ini dinyatakan salah oleh gurunya. Anak ini bahkan berdebat dengan gurunya yang ngotot bahwa tidak ada lembaga negara bernama Mahkamah Konstitusi. Padahal sekolah dan guru ini berada di Jakarta, ibukota negara yang notabene seharusnya paling tanggap dengan perubahan yang terjadi di pemerintahan.
53
Jimly juga mendorong pemerintah daerah setempat untuk membuat anggaran masing-masing sebagai pengganti anggaran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan PancasilaAnggaran baru ini bisa saja menempati pos anggaran Pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan Konstitusi. Hal ini dipandangnya perlu supaya para penegak hukum yang berada di daerah jangan sampai ketinggalan berita. “Mereka sebagai penegak hukum belum tentu tahu. Ada kejadian polisi menangkap orang menggunakan pasal yang sudah kami batalkan. Atau yang paling kacau bila hakim di Pengadilan Negeri memutus atau menghukum menggunakan pasal yang sudah tidak berlaku lagi.” tambahnya. Di samping berbagai kerjasama nasional, Jimly juga memanfaatkan kerjasama luar negeri. Dalam tahun 2006 ini Mahkamah Konstitusi mendapat kesempatan mengirim beberapa orang ke Amerika untuk partnership bekerja di Mahkamah Agung selama 3 bulan. Beberapa orang lagi bekerja di Library of Congress; Australia, di Pengadilan Tinggi Australia, India, Prancis dan Ukraina. “Sumber daya di MK sedikit, jadi saya manfaatkan dari perguruan tinggi. Mereka akan menjadi jaringan MK.” katanya. Sejauh
ini,
strategi
cukup
mendasar
yang
dilakukan
MK
yaitu
menyebarluaskan informasi. Selain rajin menerbitkan buku, majalah, serta jenis penerbitan lainnya, MK juga mentransliterasi UUD RI 1945 dalam bentuk skrip etnik. Hingga sekarang ini UUD tersebut terbit dalam bahasa daerah Bali, Jawa, Melayu, Aceh, Papua, Dayak dan Nusa Tenggara Timur. Tidak hanya bahasa dan huruf lokal, naskah UUD dalam Huruf Braile pun akan segera diluncurkan. “Saudara kita yang tuna netra itu berjumlah 4 juta di seluruh Indonesia,” katanya. “Berarti 2 persen dari seluruh penduduk. Bayangkan bila mereka sama sekali tidak tahu-menahu tentang undang-undang,” lanjut Jimly. Hal-hal yang dilakukan MK diatas merupakan bagian dari persiapan untuk para penerus MK nantinya. “Nanti penerus kita sudah siap semuanya itu,
54
gedung sudah jadi, kegiatan dalam negeri oke, jaringan luar negeri juga oke” lanjut pria yang baru-baru ini menerima gelar Tuanku Imam Basa Suri Dirajo dari Masyarakat Minang ini. Hal lain yang menjadi target Jimly Asshiddiqie sebagai ketua Mahkamah Konstitusi yang pertama adalah kerinduan agar UUD 1945 dapat menjadi living constitution dan pegangan bernegara, sehingga seluruh warga negara tahu hak dan kewajibannya menurut dan sesuai dengan konstitusi. Konstitusi merupakan bagian dari kesadaran publik dalam kehidupan bernegara, sehingga konstitusi haruslah membumi. Rekonsiliasi harus dilakukan untuk membangun ruang publik yang menyadari akan hadirnya konstitusi, demi menata kehidupan bernegara yang lebih baik. “Kita semua harus sadar bahwa UUD kita sudah baru meskipun namanya masih menggunakan yang lama, karena itu, sistem penyelenggara negara dan warga negara harus memahami sistem konstitusi dengan kacamata yang baru.” Inilah sebab mengapa perlu adanya pendidikan konstitusi bagi semua warga di berbagai lapisan. “Inilah yang menjadi
tugas
moral
MK,”
kata
Jimly
mantap,
yakni
“Pendidikan
berkonstitusi!”.
55
BAB IV HARAPAN PARA SAHABAT Sembilan Hakim, Sembilan Pintu Kebenaran Prof. Dr. H. Mohamad Laica Marzuki, SH. Hakim Konstitusi
Masih teringat pada diri saya ketika awal 2003, sebelum MK terbentuk, ada semacam kesepakatan atau komitmen saya dengan Prof. Jimly. Bahwa pada suatu ketika kami akan berkiprah di MK apabila kami terpilih sebagai Hakim Konstitusi. Namun begitu, kami belum dicalonkan oleh masing lembaga pengusul. Saya sendiri pada waktu itu belum dicalonkan MA. Tetapi saya berpendapat bahwa baik saya maupun Prof. Jimly habitatnya adalah sama, yaitu MK. Menurut kami, penegakan hukum baru efektik tatkala konsitusi selaku perundang-undangan tertinggi itu ditegakkan. Artinya, puncaknya adalah pada konstitusi itu sendiri. Perkenalan saya dengan Prof. Jimly sudah lama. Karena sejak saya masih di Universitas Hasanuddin, saya acapkali bertemu dengan Beliau di UI. Kebetulan kami adalah sama-sama Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Tata Negara. Kajian kami pada Hukum Tata Negara. Salah satu bagian utama dari padanya adalah mengkaji konstitusi. Dalam pembicaraan dengan Beliau dan juga marak di masyarakat waktu itu, ada semacam dukungan supaya segera dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Oleh karena seperti yang dimaklumi bersama, kami melihat keberhasilan Mahkamah Konstitusi di negeri lain. Kami berpendapat bahwasanya konstitusi itu adalah berada pada puncak tata urutan peraturan perundang-undangan di Republik ini. Sehingga, penegakan hukum baru akan efektif apabila konstitusi itu dikawal
56
dan ditegakkan secara tidak kepalang tanggung. Di sinilah hakikat Mahkamah Konstitusi. Seperti yang saya kemukakan pada pidato guru besar saya di Universitas Hasanuddin, April 2005, saya katakan Prof. Jimly adalah salah satu pakar Hukum Tata Negara di negeri ini. Menurut saya masa depan Hukum Tata Negara di negeri ini itu dapat berkembang melalui pemikiran-pemikiran Prof. Jimly. Orangnya masih muda. Sementara generasi saya cenderung menjadi outgoing generation. Namun, saya optimis karena ke depan, masih ada beberapa pakar Hukum Tata Negara, utamanya saya mengandalkan Prof. Jimly. Saya merasakan satu tim dengan Beliau, tidak menemukan ganjalan atau ketegangan sedikitpun. Karena ada satu yang mengemuka dari pribadi Beliau. Bahwa Beliau sangat menghargai pendapat koleganya. Utamanya Beliau menghargai orang tua. Beliau selalu membuka wacana dalam setiap diskusi guna untuk dijadikan diskursi. Dalam dalam diskursi itu berkembang perdebatan. Saya ingat ucapan Prof Jimly pada sebuah kesempatan, bahwa kesembilan hakim konstitusi itu adalah sembilan pintu kebenaran. Beliau menghargai perbedaan
pendapat.
Itu
saya
lihat
dalam
setiap
rapat-rapat
Rapat
Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam beberapa perkara, hakim-hakim itu bebas menentukan sikap berbeda, bahkan menyatakan dissenting opinion. Terakhir, harapan saya, ke depan Indonesia membutuhkan tenaga dan pemikiran Prof. Jimly. Beliu adalah Indonesia di hari esok. Beliau bukan hanya gambaran kekinian Indonesia, tetapi Indonesia di hari esok, ketika generasi saya sudah menepi, outgoing generation.
57
Mengupayakan MK sebagai the Guardian of Constitution Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, SH., MS. Hakim Konstitusi Dalam perjalanan MK yang hampir tiga tahun, sembilan hakim konstitusi ini tentu membawa catatan-catatan tersendiri. Bahwa ternyata dari sembilan hakim yang direkrut dari tiga jalur; DPR, Presiden, dan MA itu mayoritas berusia di atas 60 tahun. Hanya tiga hakim yang usianya di bawah itu, yaitu Prof. Jimly, Pak Palguna, dan Dr. Haryono. Kesan secara umum hubungan kami alhamdulillah berjalan dengan baik. Bahkan ketika kami memilih Ketua MK, pilihan jatuh pada hakim konstitusi yang usianya relatif muda, saat itu berusia 47 tahun, yaitu Prof. Jimly. Jatuhnya pilihan itu tentu banyak pertimbangan waktu itu. Pertama, Prof. Jimly secara objektif tinggal di Jakarta. Sementara banyak dari kami datang dari daerah. Tentulah orang daerah kurang menguasai medan. Kedua, secara objektif Beliau sudah terlibat sejak awal dalam reformasi konstitusi; merubah UUD dan juga menggagas kelahiran MK. Kebetulan Beliau termasuk salah satu pakar atau penasehat di MPR kala itu. Inilah di antara pertimbangan objektifnya. Ternyata pilihan itu tidak keliru. Karena Prof. Jimly sangat menguasai bidangnya, yaitu konstitusi. Beliau menurut saya orang yang banyak mempunyai gagasan dalam usia mudanya itu. Selain itu juga sangat bersemangat. Saya kira itu modal yang sangat penting bagi MK. Tentu saja sebagai manusia, Beliau tetap memiliki kekurangan dan itu sangat manusiawi. Gagasan Beliau yang perlu dicatat adalah bagaimana menjadikan MK sebagai the guardian of Constitution yang dapat dipercaya. Ini penting karena 58
sebagai sebuah lembaga baru gagasan dan semangat itu menjadi sangat penting untuk menjaga eksistensinya. Tanpa itu sebuah lembaga baru bisa kehilangan arah ke mana lembaga itu menuju. Kami menyadari kami adalah perintis MK. Sebagai perintis tentu sangat menentukan MK selanjutnya. Karena itu langkah awal yang dilakukan para hakim konstitusi adalah menyiapkan perangkat aturan maupun pedoman. Karena bekal kami hanya tiga surat yatu UUD, UU tentang MK dan Keprres. Tanpa modal apapun. Bahkan sering diungkap oleh Prof. Jimly, alamat pertama MK di HP Beliau. Tetapi kami menyadari kami harus meletakkan dasar yang kokoh. Kami harus memilih langkah yang tepat untuk dilakukan. Saat itu kami tengah menghadapi 14 perkara limpahan dari MA. Perkara-perkara itu sudah satu tahun di tangan MA. Saat itu UU MK belum ada, sehingga perkara banyak masuk ke MA yang melaksanakan fungsi sementara MK. Kami harus mengambil alih apa yang tadinya ditampung MA itu. Di samping itu, Prof. Jimly sebagai ketua terpilih dengan pengalaman dan posisinya
terus
melakukan
pendekatan.
Akhirnya
kami
bisa
berkantor
sementara, dan mendapat dana talangan. Untuk selanjutnya yang pertama kami susun adalah kode etik hakim konstitusi. Kami anggap hal ini penting karena MK sebagai salah satu kekuasaan kehakiman. Kondisi ini berlangsung tiga bulan terakhir tahun 2003. Padahal tahun 2004 kami sudah harus menghadapi pemilu dan salah satu tugas MK adalah menyelasaikan sengketa pemilu. Dengan kondisi compang-camping; kantor belum punya, gaji belum jelas dan juga kami masih mencari penginapan sendiri, tetapi toh bisa berbuat bagaimana menunjukkan lembaga ini bisa berfungsi. Setelah berusia tiga tahun ini kami di MK sudah bekerja semaksimal mungkin, biar masyarakatlah yang menilai.
59
Sekarang ini kami tengah melakukan kajian UU yang mengatur MK kepada DPR. Barangkali sekadar untuk perbaikan terutama pasca sembilan hakim sekarang ini. Kira kira pada tahun 2008 yang akan datang, para hakim itu akan habis masa jabatannya. Kami dibatasi lima tahun dan usia maksimal 67 tahun. Sembilan hakim konsitusi itu hanya tiga hakim yang memungkinkan untuk dipilih kembali untuk maksimum satu jabatan lagi. Itupun tentu tidak ada jaminan karena rekruitmen itu harus melalui tiga jalur. Pada tahun 2008 itu dari sembilan hakim, enam orang dari segi usia harus berhenti. Hanya tiga yang memenuhi syarat. Sekali lagi, itupun tidak ada jaminan. Bagaimana kalau para hakim ini berhenti serentak? Bagaimana dengan keberlanjutan dari institusi ini? Tetapi karena lembaga negara yang sudah diatur
dalam
konsitusi
dan
ada
undang-undangnya,
kekhawatiran
itu
sebenarnya tidak perlu. Meskipun mungkin rekruitmen yang pertama masih terbilang baru, mudah-mudahan rekruitmen ke depan lebih baik dan para hakimnya lebih muda. Seperti juga kami tidak mengetahui persis nalarnya, bagaimana dalam UU MK disebutkan batasan waktu tiga tahun Ketua dan Wakil MK. Bahwa masa jabatan kami lima tahun sebagai hakim, tetapi anehnya jabatan ketua dan wakil ketua hanya tiga tahun. Sehingga dengan ini, nanti pada Bulan Agustus akan diadakan pemilihan lagi. Ini agak aneh. Meskipun pilihan itu bisa saja jatuh pada orang yang sama. Untuk hal satu ini masih terlalu dini dan kami belum membicarakannya. Tetapi menurut saya pribadi, mengapa tidak dibuat saja lima tahun sekaligus? Persoalan-persoalan ini juga persoalan lain, kami usulkan supaya adanya perubahan untuk perbaikan MK ke depan.
60
MK BERUSAHA TEGAKKAN HAM Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LLM. Hakim Konstitusi
Tanpa terasa, Mahkamah Konstitusi (MK) hampir berusia tiga tahun. Bila diibaratkan dengan siklus hidup manusia, MK masih balita yang merangkak. Tapi bila dilihat dari hasil kerjanya, MK sudah mampu memposisikan dirinya baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini tentu tidak lepas dari peran Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua MK. Jimly
adalah
manajer
yang
gigih
memajukan
MK.
Dengan
gaya
kepemimpinannya yang selalu enerjik, beliau mampu membawa MK untuk bisa tampil sebagai lembaga yudisial yang independen, transparan dan accountable. Strateginya membentuk seperangkat sumber daya manusia yang didukung sistem teknologi terkini juga merupakan langkah tepat dalam memudahkan akses masyarakat untuk mengawasi kinerja MK. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia sebagai negara yang sedang bangkit memperbaiki diri, memerlukan tiga garis besar komponen untuk menjamin hukum dapat berjalan dengan baik. Yang pertama adalah legal substance, atau produk hukumnya sendiri, seperti undang-undang, peraturan-peraturan, dan sebaginya.
Yang
kedua
adalah
legal
institution,
atau
lembaga
yang
melaksanakannya. Legal institution ini harus didukung oleh software dan hardware yang tersinergi. Perangkat hardware terdiri dari gedung dan sistem, peralatan dan perlengkapan yang modern. Sementara software-nya adalah para hakim dan aparaturnya, termasuk semua pengertahuan, pengalaman dan penguasaannya terhadap masalah hukum. Yang ketiga adalah legal culture atau budaya hukum. Legal culture mempunyai peranan penting bagi masyarakat, yaitu gerakan penyadaran masyarakat agar tahu, sadar, taat dan patuh pada hukum. Dalam hidup bernegara, etika untuk sadar hukum harus betul-betul
61
dikenalkan, karena tidak mungkin lagi harus ada ‘orang kuat’ yang memaksakan hukum harus ditegakkan. Hal ini juga berkaitan erat dengan sistem dan etika pemerintahan, bagaimana pemerintah dapat menjadi contoh positif yang tegas dalam melaksanakan hukum itu, termasuk putusan-putusan yang sudah dihasilkan MK, sehingga rasa percaya warga negara kepada pemerintah kembali solid. Rakyat dapat memastikan bahwa negara menjamin hak-hak warganya termasuk hak-hak asasi manusianya. MK memang tidak secara eksplisit mempunyai kaitan dengan hak asasi manusia, apakah hak seseorang dilanggar atau tidak. Namun dalam judicial review, MK berwenang untuk mengadili apakah pemohon yang kemungkinan warga negara, masyarakat hukum, badan hukum, badan privat atau badan negara dilanggar hak konstitusionalnya akibat undang-undang yang dihasilkan. Dalam pelanggaran ini mungkin saja yang dilanggar menyangkut wilayah hak asasi manusianya. Ketentuan bahwa hak asasi tidak boleh didiskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, bahasa, keyakinan politik dan agamanya harus benar-benar ditegakkan. Dalam hal inilah MK berfungsi sebagai salah satu landasan hukum untuk menegakkan hak asasi manusia. Memang MK belum mempunyai wewenang untuk menguji produk-produk hukum yang berada di bawah undang-undang. Masalah ini diperumit dengan banyaknya
peraturan
yang
diciptakan
dengan
tidak
merujuk
pada
undang-undang tertentu. Maka bila peraturan ini dirasa melanggar hak konstitusional, harus dibandingkan langsung dengan Undang-Undang Dasar, dimana itu masuk dalam wilayah MK. Sementara yang berhak mengadili peraturan di bawah undang-undang adalah Mahkamah Agung (MA). Hal inilah yang dalam bahasa hukum dikenal dengan istilah constitutional complaint. Dalam masa mendatang, agaknya baik bila mulai dipikirkan bagaimana constitutional complaint ini bisa masuk juga ke dalam wilayah kewenangan MK. Bila ini disetujui, tentu akan merubah beberapa tatanan peraturan mendasar
62
termasuk mengamandemen UUD 1945 kembali. Karenanya harus dipikirkan masak-masak dan dipersiapkan dengan baik. Dengan masuknya constitutional complaint dalam kewenangan MK, maka warga yang merasa dirugikan oleh produk-produk hukum baik oleh legislatif, eksekutif, yudikatif mempunyai tempat untuk membela hak kostitusionalnya.
63
Dissenting Opinion Untuk Ingatkan Yang Muda Letjend (Purn.) H. Achmad Roestandi, SH. Hakim Konstitusi
Saya sebetulnya orang yang semula tidak setuju dengan adanya MK. Bahwa ada badan yudikatif yang mengoreksi atau melahirkan judisial review terhadap UU yang dibuat oleh dua lembaga, presidan dan DPR. Waktu saya menjabat Ketua Fraksi TNI, selama itu saya tidak setuju. Bagaimana mungkin suatu UU yang dibikin oleh dua lembaga itu lalu diuji oleh hanya satu lembaga Negara. Dalam benak saya berkecamuk, apa hal itu bisa diterapkan. Walaupun di negara-negara lain bisa, tetapi apakah di negara kita bisa. Akan tetapi tahutahu saya dipilih dan dipercaya untuk duduk di MK. Saya selalu berpegang pada hadits Rasulullah SAW. yang mengatakan jangan sekali-kali kamu itu mencari jabatan. Karena kalau kamu mencari jabatan, nanti kalau ada persolan akan diselesaikan oleh kamu sendiri. Tetapi kalau engkau diminta menduduki jabatan, maka terimalah, karena engkau akan dibantu oleh berdua, yaitu kamu sendiri dan Tuhan. Lebih dari itu, saya kebetulan lagi paling tua. Saya sudah dua tahun pensiun dari TNI kemudian dari DPR juga, tetapi saya kemudian dipercaya di MK. Lalu barulah setelah saya di sini. Karena lembaga ini baru, oleh karena itu saya hanya bisa menerka-nerka dan membayangkan saja. Ternyata setelah saya jalani, bayangan saya waktu itu dengan sekarang ada perubahan. Bahwa ternyata setelah di sini saya menyadari memang antara demokrasi dan negara hukum itu kadang-kadang bisa berselisih. Jadi bahwa tidak selalu yang demokratis itu sesuai konstitusi. Misalnya saya melihat contoh lama tentang Tap III tahun 1963 mengatakan bahwa presiden diangkat seumur hidup. Keputusan itu demokratis karena diputuskan oleh lembaga yang berwenang 64
yaitu MPRS. Tetapi secara konstitusional bertengangan, sebab presiden hanya boleh diangkat satu kali dan boleh diangkat satu kali lagi. Di situ saya agak terbuka bahwa memang kadang-kadang terjadi demikian. Sebab itu memang harus dilakukan oleh lembaga yang bukan hanya lembaganya independen, tetapi orang-orangnya pun juga harus independen. Berdasarkan hal ini barangkali salah satu syarat yang tidak ada persayaratan untuk anggota lembaga-lembaga negara lain ada di sini, yaitu negarawan. Syarat untuk calon presiden misalnya saja tidak ditemukan persyarat itu. Di situlah saya bertambah mengerti akan pentingnya MK. Setelah terlibat di sini saya harus mengakui bahwa saya underdog dibanding rekan-rekan lain. Artinya, dibandingkan delapan hakim yang lain, saya harus menganggap saya underdog. Memang saya berpengalaman di legislatif, demikian pula di militer, tetapi di MK lain sekali. Di sinilah saya berpendapat dan meniru kata-kata Sayidina Ali, orang yang tahu bahwa dia tahu itu adalah alim oleh karena itu jadikanlah dia guru. Tapi saya menganggap saya itu tahu bahwa saya tidak tahu. Oleh karena itu saya harus belajar dan saya harus diperlakukan sebagai murid. Jadi, di sinilah saya belajar. Belajar untuk berpengalaman.
Sejujurnya
dibandingkan
yang
lain,
rekan-rekan
lebih
berpengalaman karena ada yang dari hakim karir maupun pakar Tata Negara fi berbagai perguruan tinggi. Di situlah perlunya saya belajar dengan rekan. Saya juga mengagumi Pak Jimly. Pertama, dia muda. Karena mudanya pikirannya cerdas dan masih energik. Kemudian juga jika dikaitkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi dia adalah figur yang tepat. Di samping banyak ide karena mudanya itu, sehingga semangatnya tinggi. Di samping itu juga mempunyai bekal pengetahuan yang cocok. Dia juga berkiprah di sana. Selain ilmunya cocok, semangatnya juga tinggi. Kemampuan ada, kemauan besar, sehingga dapat saya katakan bahwa ide-ide yang datang itu bukan hanya ketika sudah di MK, tetapi ide itu datang sejak belum menjabat di MK. Karena dia juga
65
termasuk orang yang memperhatikan MK karena diaggap bagian dari Tata Negara. Dia juga banyak dimintai pendapatnya ketika undang-undang MK itu digodog. Bahkan ia juga memberikan pendapat mengenai MK ketika hendak dirumuska dalam UUD 1945 hasil amandemen itu. Maka dari itu, menurut hemat saya dia sangat cocok untuk menjadi ketua di sini. Karena MK mengalami masa-masa masih mencari bentuk. Di saat itulah diperlukan orang-orang yang bukan hanya semangatnya besar, dan juga kemauan, tetapi juga ide-ide matang. Didukung pula aksesnya sangat kuat di kalangan pejabat, perguruan tinggi dan LSM. Kondisi inii menguntungkan untuk menyosialisasikan dan mempublikasikan MK. Tetapi terkadang saya sebagai orang tua, saya pikir perlu mengingatkan yang muda, misalnya dengan menyatakan dissenting opinion dalam memutus suatu perkara.
66
Kita Memulai dari Nol Dr. Haryono, SH., MCL Hakim Konstitusi Saya menjadi hakim konstitusi berdasarkan rekomendasi presiden saat itu. Mengenai peran saya secara normatif di MK ini paling tidak sebagai hakim dari hakim konstitusi. Karena berkiprah di lembaga baru, peran normatif ini tidak cukup hanya dengan melakukan peran normatif saja. Maka dari itu institutional building menjadi salah satu bagian yang mau tidak mau harus diterapkan oleh hakim-hakim konstitusi pemula yang berjumlah 9 hakim ini. Hal pertama yang dilakukan adalah meletakkan dasar menyangkut visi dan misi. Meskipun fungsi MK sudah tercantum dalam konstitusi, akan tetapi visi dan misi tetap diperlukan untuk memberi arah bagaimana institutional building itu dibangun. Di situ karena kita terdiri dari sembilan orang, paling tidak ada satu proses sinergi pikiran. Tidak mungkin MK dipikirkan oleh seorang hakim saja, apalagi dalam fungsinya sembilan orang ini akan melakukan fungsinya bersama-sama. Karena itu visi dan misi dalam sebuah institutional building menjadi satu kebutuhan ketika melakukan fungsi-fungsi normatif. Di
luar
institutional
building
dalam
arti
kelembagaan,
kita
juga
memerlukan sebuah proses yang agak applied. Tingkatannya bukan lagi pada middle range, bahkan ke tingkatan praktis sekalipun, kita juga dituntut untuk berperan. Jika boleh flash back sejak berdiri dulu, Pak Jimly juga sering mengulang, bahwa modal kita hanya 3 lembar kertas; UUD 1945, UU Mengenai MK, dan SK Presiden. Lalu oleh Pak Jimly sering ditambahkan handphone Beliau. Tetapi dari situ justru membutuhkan segi praktisnya. Misalnya gedungnya di mana, bagaimana pegawai dilengkapi, dan sebagainya. Dalam tataran itu meskipun tidak praktis betul, kita sudah harus memikirkan sesuatu yang mestinya kalau 67
itu bagi institusi yang sudah terbangun, ia tinggal masuk dan semua kebutuhannya sudah disiapkan sebelumnya. Sementara kita semua masih mengadakan. Oleh sebab itu, hal ini salah satu bagian yang mau tidak mau sembilan hakim harus turut serta di situ. Kita juga mendapat informasi ketika MK Thailand terbentuk, mereka juga tidak mempunyai kantor. Karena itu seperti kita, kantornya juga berpindahpindah. Kita pernah berkantor di Centris, sementara tempat sidangnya meminjam tempat di Gedung MPR. Beruntung kita dibantu oleh pelaksana kesekjenan waktu itu, karena memang belum ada struktur definitif, hingga berbeda saatnya sekarang karena sudah definitif. Melihat riwayat ini kita seperti Thailand. Apalagi kita masuk di pertengahan Agustus 2003. Anggaran juga belum terplotting. Karena kemampuan-kemampuan staf kita saja akhirnya bisa ditempelkan waktu itu ke MPR. Di samping ada kekurangan-kekurangan, bagi saya dengan komposisi hakim konstitusi yang beragam ini justru mempunyai keunggulan. Pertama, kita lebih fleksibel. Tidak terkekang sebuah persepsi peradilan itu harus begini. Karena hakim konstitusi lebih banyak berakar dari akademisi, ini juga melahirkan pengalaman tersendiri. Dapat kita lihat misalya dalam set up persidangan. Set up-nya dibuat lain, tidak seperti set up peradilan yang sudah ada. Kedua, kesembilan hakim itu memang harus bekerja, tetapi dalam kesembilan itu memiliki otonomi untuk menentukan sikapnya sendiri-sendiri. Dalam proses ini jangan terjebak pada proses bahwa orientasinya hanya bebas berpendapat sesuai pendapat masing-masing. Kesembilan hakim ini tetap harus membuat satu putusan. Putusan di sini berbeda dengan satu keputusan politik seperti putusan DPR umpamanya. Karena kita adalah sebuah lembaga hukum, putusannya harus memiliki sifat-sifat lembaga hukum. Hukum itu hanya
68
mempunyai dua pilihan saja; bertentangan atau tidak. Bukan interpretable. Tentu ini sebuah pengalaman baru dalam sistem peradilan kita. Selain itu kita belum memiliki pengalaman praktis dalam situasi ini. Karena itu kami banyak belajar apa yang ada di luar negeri. Sekali lagi, bahwa proses pengambilan keputusan itu jangan dilihat pasti kita semua setuju. Kita semua tidak ada persoalan. Di balik tirai sidang yang tidak boleh dibuka untuk umum, terjadi sebuah proses yang sangat dinamis. Selalu ada pro-kontra. Malah kalau sidang kita satu dua kali, satu pendahuluan, pemeriksaan, dan mungkin nanti terakhir pembacaan putusan, sidang-sidang di balik tirai ini memakan energi kita sepuluh kali dari sidang yang dibuka. Atas kondisi ini pulalah, semua hakim dituntut harus mengetahui semua perkara. Karena majelis kita besembilan, tidak satu-satu, ataupun dibagidibagi. Dalam persidangan itu pula sering terjadi ketegagan otot leher. Ada juga tensi tinggi. Tetapi, memang begitulah perbedaan pendapat. Catatan saya terhadap Pak Ketua MK. Kalau boleh sya katakana, Ketua sangat berandil besar dalam membangun institution building. Bukan saja sisi hardware, lebih-lebih pada sisi software-nya. Dalam penglihatan saya, Ketua memiliki kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan untuk membangun institusi dan memiliki intuisi tinggi untuk membangun insitusi ini ke depan. Sering kali kita dapat melihat bahwa ketimbang institusi lain, atas kepekaan Pak Ketua ini, kita dapat katakan mungkin tidak hanya one step ahead, tetapi more than one step ahead. Kondisi fleksibel inilah yang mendorong demikian ini. Sebagai institusi baru kita lebih memiliki ruang terbuka berkreasi dan tidak dibebani masa-masa lalu. Karena kita memang mulai dari nol.
69
PEMIMPIN YANG TEPAT UNTUK MENGAWAL DEMOKRASI Soedarsono, S.H. Hakim Konstitusi Prof. Jimly Asshiddiqie adalah sosok yang tepat untuk memimpin MK. Dengan modal pengetahuan yang cukup, beliau mempunyai pengalaman mulai dari memimpin kampus sampai menjadi penasihat ahli DPR. Dan hal paling penting adalah semangatnya untuk bagaimana membuat suatu mekanisme ketatanegaraan menjadi lebih baik. Yaitu bagaimana negara hukum yang berciri demokratis bisa tetap eksis untuk dapat menyejahterakan masyarakat. Demokrasi
haruslah
diikuti
dengan
penegakan
hukum.
Gagasan
demokrasi yang dikembangkan oleh pendiri bangsa ini adalah demokrasi yang utuh dan menyeluruh, yaitu mencakup demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi sosial. Disinilah salah satu peran MK sebagai pengawal demokrasi. Demokrasi yang dibangun dan dikembangkan di Indonesia adalah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Hal ini adalah suatu tantangan yang harus dipegang oleh mereka yang mempunyai semangat tinggi dan peduli akan hal tersebut. Keberhasilan Prof. Jimly juga terlihat di dalam perjalanan MK yang relatif masih baru tapi berani, sehingga mampu menyejajarkan diri dengan MK di negara lain. Semangat pembaharuan, kepandaian, dedikasi dan kemampuan mewujudkan yang tidak ada menjadi ada inilah yang harus dimiliki oleh Hakim Konstitusi. Hakim konstitusi bukan hanya harus mempunyai kearifan dengan karakter yang tidak tercela serta adil, namun juga harus bertindak sebagai negarawan yang adil. MK dengan segala keyakinannya harus mampu menyatakan bahwa sebuah UU yang bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum
70
yang mengikat. Kini siapapun warga negara baik yang tergolong minoritas maupun mayoritas berdasarkan etnis, agama, gender, ekonomi, kelompok, keyakinan politik dan lain sebaginya mempunyai hak yang sama dan terlindungi. Bangsa Indonesia yang pluralis dalam beragam kemajemukan tersebut memiliki cita-cita bersama dalam falsafah yang tertuang dalam Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945. Di masa yang akan datang, diharapkan MK makin maju dengan banyaknya generasi muda ahli ketatanegaraan yang baru. Dengan kader-kader muda yang ahli dan pandai, niscaya MK akan menjadi sebuah lembaga yang berkembang dan bisa dirasakan fungsinya oleh masyarakat, serta dapat mengajar masyarakat untuk sadar berkonstitusi.
71
Bukan Memprovokasi Orang Berperkara Maruarar Siahaan, SH. Hakim Konstitusi
Dari sudut pandang kami yang boleh jadi agak subjektif, MK telah berbuat secara optimal dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Pengalaman dan pengamatan saya pribadi, semua hakim konstitusi dan staf telah mencoba memberikan yang terbaik dalam melaksanakan kewenangan konstitusional yang dimiliki dalam rangka mewujudkn visi dan misi MK. Seperti dalam mempertimbangkan setiap permohonan yang masuk, kami telah berjuang keras untuk mewujukan konstitusionalisme dan rule of law dengan meletakkan UUD 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi puncak dalam hierarkhi tata urutan perundang-undangan Indonesia. Upaya untuk menjadikan UUD 1945 sebagai suatu Konsitusi yang hidup (living constitution), yang menjadi pedoman bagi seluruh lembaga negara dan pejabat publik dalam menyelenggarakan pemerintahan negara sesuai cita-cita founding fathers. Upaya tersebut tentu akan makin kompleks dengan diadopsinya Hak-Hak Asasi Manusia ke dalam UUD 1945, yang akan menjadi bagian dari ukuran konstitusionalitas keputusan DPR dan Pemerintah dalam bentuk undang-undang. Menurut kami yang mungkin agak subjektif, we have done our best. Namun, penilaian yang paling pas tentu datang dari masyarakat, maupun dari fihak Pemerintah dan DPR serta lembaga negara yang pernah menjadi fihak di depan MK. Meskipun secara umum jejak pendapat yang pernah dilakukan tentang performa MK tidak buruk, harus diakui ada putusan MK yang dikritik tajam terutama putusan tentang pengujian UU nomor 30 tahun 2002 tentang wewenang KPK untuk mengambil alih perkara secara retroaktif. Putusan tersebut dipandang memiliki pertentangan antara amar yang menolak 72
permohonan Pemohon, bahwa tidak terdapat ketentuan yang berlaku secara retroaktif, tetapi dalam pertimbangan ada bagian yang menyatakan bahwa KPK tidak boleh memperlakukan wewenangnya secara retroaktif. Kami sendiri sebagai hakim karir dari peradilan umum, yang sebelumnya berkecimpung dengan perkara-perkara yang berkaiatan dengan hak individu atau perorangan, meskipun tidak jarang juga berkaitan dengan perselisihan yang melibatkan pemerintah sebagai penguasa. Karena background demikian, meskipun mendapatkan pendidikan Hukum Tata Negara atau constitution law, akan tetapi secara riil menghadapinya sebagai hakim, baru setelah berada di MK. Dinamika dan mekanisme yang berlangsung di MK yang berhadapan dengan perselisihan menyangkut kepentingan publik, tentu memerlukan kesiapan tertentu yang sedikit berbeda. Terutama sekali dibading dengan rekan sejawat kami yang secara khusus telah mendalami bidang constitutional law tersebut, memaksa kami untuk mengejar ketertinggalan kami dengan metode learning by doing. Hal itu memerlukan kemauan ekstra keras untuk dapat mengimbagi para akademisi yang menjadi hakim konsitusi. Tetapi kami juga memiliki keuntungan komparatif karena pengalaman dalam praktik dan hukum acara, sehingga tampaknya hal itu dapat mengimbangi kekurangan kami. Salah satu keistimewaan Pak Jimly adalah tingkat intelektualitas yang tinggi dan kemampuan beradaptasi yang tinggi dalam usia yang sesungguhnya relatif muda dibanding dengan sebagian besar dari kami. Ia telah menunjukkan kemampuannya untuk memimpin hakim-hakim konstitusi yang jauh lebih tua. Saya mengagumi itu karena demikian tidak terjadi di peradilan umum. Jenjang kepemimpinan berkaitan erat dengan senioritas kepangkatan, yang berjalan seiring dengan usia. Pangkat yang secara teratur naik regular dalam jangka waktu tertentu, menyebabkan di tingkat leadership usia akan menentukan kecuali di Mahkamah Agung. Di situ dimungkinkan hakim non karir terpilih sebagai hakim agung seperti halnya juga di MK.
73
Satu
lagi
kemampuannya
kemampuan untuk
Pak
Jimly
memetakan
yang
agaknya
keragaman
istimewa,
pendapat
yaitu dengan
mengelompokkannya sedemikian rupa sehingga ketika perdebatan memanas dan sedikit kehilangan arah, ia mampu mengembalikan dalam peta pendapat tersebut dengan mengukurnya kembali dari sudut relevansi konstitusional. Hal tersebut tampaknya berhasil mengembalikan suasana kembali normal dan akrab, meskipun tadinya terasa tegang dan kikuk. Tetapi banyak juga kritik diarahkan pada Pak Jimly, antara lain karena terlalu sering muncul di mass media. Kadang-kadang timbul kesan seakan-akan dia memprovokasi orang berperkara. Tetapi dia menerima kritik dengan lapang dada, dan menganggap hal itu sebagia bagian dari demokrasi. Hanya saja, kami melihat banyak hal itu terjadi karena semangatnya untuk membangun kesadaran konsitutusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga kesan demikian ini timbul. Kepribadiannya yang luwes dan mudah bergaul dengan siapa saja merupakan modal besar baginya untuk membangun network yang secara kelakar rekan-rekan menganggapnya sebagai modal untuk lebih jauh merebut jabatan publik lain yang dianggap lebih prestisius. Selamat Ulang Tahun ke-50, dan semoga semakin maju lagi!
74
Figur Penting di Era Transisi I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Hakim Konstitusi MK merupakan sebuah lembaga negara baru yang lahir di masa transisi. Pada titik ini, walaupun keberadaan MK menjadi arus besar pemikiran di abad ke-21,
di
mata
masyarakat
Indonesia
keberadaannya
belum
dikenal
sebagaimana layaknya lembaga peradilan seperti Mahkamah Agung (MA), misalnya. Oleh karena itu dibutuhkan sosialisasi akan keberadaan MK secara lebih luas. Bukan hanya kepada warga negara tetapi juga kepada pejabat dan lembaga-lembaga negara yang bahkan banyak dari mereka belum memahami betul keberadaan Mahkamah Konsitusi. Bahwa MK adalah sebuah lembaga negara yang menurut UUD 1945 melaksanakan salah satu kekuasaan kehakiman dan kedudukannya setara dengan MA. Hanya saja masalah yang menjadi yurisdiksinya berbeda. Jika MK lebih banyak bersifat mengadili Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD, sedangkan MA bersifat mengadili kasus. Oleh karena itu keberadaan yang cukup penting ini memang kemudian menuntut
prasyarat.
mengatasnamakan
Bahwa
lembaga,
walaupun tetapi
kita
Ketua
MK
memerlukan
itu
tidak
figur
yang
dapat bisa
mengomunikasikan kebutuhan itu dalam keadaan emergency, yaitu situasi yang transisional. Untuk figur itu saya kira Prof. Jimly cukup pas untuk merepresentasikan kebutuhan itu. Beliau di samping memang pengajar pada Hukum Tata Negara, cara berkomunikasinya juga cukup bagus dan juga ditopang oleh pengalamannya berorganisasi. Kesan sangat positif saya tujukan pada Beliau. Saya harus jujur mengatakan, banyak idenya yang bahkan staf MK sendiri kewalahan kalau harus menjalankan semua ide itu. Banyak gagasan-gagasannya yang kemudian penting untuk ditindaklanjuti. Hal itu hanya bisa diikuti oleh orang yang juga memiliki 75
visi yang sama tentang MK ini ke depan. Tidak heran, dalam waktu singkat sudah disusun buku blue print, cetak biru MK. Di situ disebutkan arah yang dituju, visi lembaga dan apa yang akan kita kerjakan, sehingga terbayang gambaran-gambaran pada tahun sekian nanti. Selain itu juga bisa dilihat dari gedung MK yang sekarang tengah dibangun. Gedung itu merepresentasikan bukan hanya filosofi dari keberadaan MK, tetapi juga mengandung lambang-lambang dari unsur mahkamah seperti unsur kharismatik, mewakili unsur sembilan hakim, serta prinsip kemandirian tetapi sekaligus harus ramah dengan pencari keadilan. Waktu merancang gedung itu pun sembilan hakim terlibat berdebatan tak kalah sengitnya. Di situlah banyak juga pemikiran Pak Ketua yang menurut saya bagus. Kemudian dicerminkan dalam bentuk bangunan fisik seperti yang sekarang tengah dibangun. Misalnya juga ide-ide untuk memodernisasi perpustakaan melalui E Library. Demikian juga gagasannya untuk meningkatkan kesadaran berkonstitusi bagi warga negara, terutama menjalin jejaring dengan berbagai elemen termasuk perguruan tinggi. Pun menghidupkan pusat-pusat kajian konsititusi di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Saya rasa semua itu bagus. Hal-hal seperti ini yang barangkali kalau kita melihat dari sisi kelaziman hakim itu mungkin tidak perlu, tetapi justru di tengah transisi sekarang ini menjadi penting. Selain itu, yang perlu dicatat di sini juga diadakannya acara Mimbar Konstitusi di RRI. Melalui acara itu kita banyak menerima masukan dari masyarakat. Ada dua hal penting kita dapatkan, pertama, bahwa RRI ternyata masih didengar. Artinya, ia masih cukup efektif sebagai media komuniasi. Kedua, bagi MK sendiri juga penting. Karena banyak sekali problem sosial yang terjadi di masyarakat. Umpamanya satu hal saja, kita sudah memutuskan
76
bahwa syarat tidak terlibat G 30 S PKI sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam UU tentang Pemilu. Tapi ternyata ada satu keluhan dari seorang calon kepala desa di Sumatera Utara, ternyata syarat demikian masih berlaku untuk mereka. Artinya apa? Bahwa putusan MK memang harus disosialisasikan. Ada banyak gagasan yang sifatnya terobosan dan tidak terduga dari Beliau yang menurut saya sangat konstruktif untuk membangun brand image MK. Misalnya, belum genap setahun kita berdiri, kita langsung menjadi tuan rumah penyelenggaraan the first conference of Asian Constitutional Court. Konferensi itu dihadiri delegasi dari Korsel, Mongolia, Thailand, Kamboja, dan beberapa negara lain. Terwujudnya kegiatan ini terus terang sebagian merupakan kontak Pak Ketua. Begitu pula baru satu tahun kita berdiri, ratusan perkara pemilu sudah menunggu dan harus diputus dalam waktu 30 hari. Walaupun itu tidak seluruhnya menjadi porsi ketua, tetapi saat itu kalau tidak dipimpin manajer yang baik kita tidak bisa menjalani dengan relatif aman. Bahkan putusan kita dijadikan acuan dalam menangani pemilu. Karena itu tidak heran Jimmy Charter tertarik untuk berkunjung ke sini. Padahal bagi kami semua itu sudah seharusnya. Tidak lain karena kita disumpah untuk taat kepaa konsitusi.
Begitu
pula
menyangkut
putusan
kita
membatalkan
UU
Ketenagalistrikan. Meskipun dikatakan tidak populer, tetapi karena menyalahi konstitusi kemudian kita batalkan. Singkatnya saya katakan untuk masa transisi yang membutuhkan figur yang mampu
mengkomunikasikan
apa
sesungguhnya
MK
dalam
struktur
ketatanegaraan yang baru ini, figur Pak Jimly di mata saya cukup memenuhi.
77
JIMLY DI TENGAH GESEKAN PERUBAHAN Hamid Awaludin Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Mahkamah Konstitusi adalahsebuah fenomena baru di Republik Indonesia. Ia bukan hanya melahirkan institusi baru, tetapi mengubah paradigma dan perilaku konstitusionalitas warga negara dalam kehidupan di republik. Lebih dari itu, dalam keberadaannya, Mahkamah Konstitusi selama beberapa tahun terakhir ini, tampil meneguhkan prinsip independensi lambaga judiciary terhadap kekuasaan politik. Dalam tataran praktis, sejak mulai beroperasinya sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman 13 Agustus 2003, Mahkamah Konstitusi telah dan sedang menangani lebih dari 80 perkara pengujian undangundang. Beberapa di antaranya adalah keputusan yang mengalahkan eksekutif yang untuk sekian lama, dianggap dan dipresepsikan sebagai pemegang monopoli
kebenaran
hukum.
Mahkamah
Konstitusi
telah
menunjukkan
kemandirian judiciary ini. Keputusan Mahkamah Konstitusi menyangkut dibolehkannya anak mantan aktivis Gerakan 30 September PKI menjadi calon dan punya hak pilih dalam pemilihan umum, misalnya adalah sebuah terobosan yang melawan arus publikketika dalam banyak hal di era reformasi ini, arus publik juga dianggap, bahkan dimitiskan sebagai pemenang hak monopoli kebenaran. Kita tahu bersama, dalam era transisi ini, entitas atas nama “kepentingan publik” cenderung menjadi klaim kebenaran. Ironisnya, klaim seperti itu acapkali didesakkan. Maka rakyat pun seolah-olah, sekali lagi, tidak diberi pilihan, kecuali keharusan untuk menetapkan pilihannya, yakni mengikuti arus publik tersebut. Dan ini tentu saja sebuah ironi bagi perjalanan bangsa yang sedang berjuang menegakkan prinsip demokrasi. Dalam situasi seperti ini,
78
Mahkamah Konstitusi tetap meneguhkan kemandirian eksistensinya; tak teroleng oleh arus klaim kebenaran atas nama kepentingan publik tadi. Mahkamah Konstitusi kerap berdiri melawan klaim-klaim kepentingan publik tadi. Tentu tidak mudah mengambil keputusan ini. Dalam perspektif inilah, kita melihat sosok Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Ketua Mahkamah Konstitusi saat ini. Ia menjadikan konstitusi dipahami dan menjadi wacana publik bagi khalayak awam di Indonesia –sesuatu yang sudah lama didahagakan, dan memang semestinya ditunaikan- mengingat konstitusi mengatur roda hidup bernegara. Dan ikhtiar itu, lagi-laghi bukanlah sesuatu yang mudah, mengingat Jimly memulainya dari kecambah. Baru sekitar tiga tahun. Di tengah situasi yang baru ini, Mahkamah Konstitusi hadir. Selain itu, Mahkamah Konstitusi mendidik khalayak menjalankan praktek demokrasi dengan berpegang teguh pada konstitusi. Di situlah sosok Jimly Asshiddiqie hadir dan memberi arti. Ia memimpin lembaga yang, selain harus mengawal laju perjalanan demokrasi dan perubahan, ia juga harus tetap menjaga prinsipprinsip konstitusi. Demokrasi tanpa konstitusi adalah anarkis. Karena itulah Mahkamah Konstitusi pada akhirnya tidak sekadar garda penjaga konstitusi, ia juga sebuah contoh kerja profesional sebuah lembaga dengan kewenangan besar dan strategis. Di tengah tertatihnya lembaga peradilan lain menyelesaikan perkara lantaran rasio jumlah perkara yang masuk dengan jumlah hakim yang menangani tak seimbang, sejauh ini Mahkamah Konstitusi
menyelesaikan
perkara-perkara
uji
materiil
dan
sengketa
kewenangan lembaga negara secara sigap, cepat dan teguh. Mahkamah Konstitusi bahkan memulai kerjanya dengan warisan perkara 14 permohonan judicial review dari Mahkamah Agung.
79
Mahkamah Konstitusi tidak mengadili orang-per-orang, tapi mengadili kepentingan umum. Itu pula sebabnya ia tidak mungkin menggembirakan semua orang, sebagaimana ia juga tak mampu memupus kekecewaan semua kalangan. Dengan kinerja seperti itu, pada akhirnya kewibawaan hukum akan tegak pada landasannya. Di dalam tubuh Mahkamah Konstitusi sendiri berkiprah sembilan hakim yang di mata saya adalah para empu hukum. Pada orang-orang ini, integritas konstitusi negeri ini dipertaruhkan. Mereka bukan sosok biasa. Mereka adalah sosok-sosok kawakan yang pada dirinya melekat pemahaman tentang hukum dan kearifan seorang garda dan penafsir konstitusi. Mereka mengambil jarak dengan kekuasaan. Tidak mudah memimpin orang-orang ini. Dan sejauh ini sebagai guru besar hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie dapat mengendalikan kemudi dan mengarahkannya ke pulau impian. Akhirnya secara pribadi, sebagai mantan aktivis, Jimly tentu memahami betul arti suara-suara orang tertindas –suara-suara dari merekaa yang tak bergema karena kekuasaan. Di separuh usianya, Jimly hidup di alam demokrasi yang disalahgunakan. Ia kenyang dengan aneka peristiwa, suasana dan gerakan yang setiap zaman akan bersalin rupa. a mengalami masa-masa republik ini dalam perubahan spektakuler ketika Indonesia berpindah keluar dari cengkeraman rezim yang berkuasa tanpa batas lalu berupaya mencari bentuk negara demokrasi yang sebenarnya. Masa ketika konstitusi negeri ini bebas ditafsirkan oleh pemegang hegemoni kekuasaan tanpa memberi ruang bagi kebebasan berpendapat. Masa ketika berbagai peraturan dikeluarkan untuk mengukuhkan kekuasaan rezim dan kerabat-kerabatnya. Masa ketika hukum dan tafsirnya berjalan searah dalam suasana monolog yang tidak memberi tempat bagi debat yang sehat. Masa
80
ketika para pencari keadilan seakan berjalan meraba-raba dalam gulita ketidakpastian. Itulah semua yang terlihat membantuk karakter Jimly berikut impianimpiannya. Berbekal pengalaman internal serta obsesi penegakan hukum yang ideal dalam benaknya, Tuhan memberi kesempatan kepada Jimly Asshiddiqie untuk memimpin Mahkamah Konstitusi, lembaga yang telah membalikkan paradigma bernegara. Kini, ia mengambil peran utama dalam mengawal perjalanan demokrasi yang konstitusional sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran. Kita berharap penuh, kemudi Mahkamah Konstitusi yang dilayarkan Jimly akan setia mengarungi jalan lurus koridor hukum tanpa oleng oleh terjangan badai zaman. Jakarta, 13 April 2006 Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Hamid Awaludin
81
DIA MENGEMBAN MISI SEJARAH BANGSA Ir. Sarwono Kusumaatmadja Anggota DPD RI Daerah Pemilihan DKI Jakarta Dia mengemban misi sejarah bangsa. Kalimat inilah yang bagi saya paling tepat untuk menyebut peran yang sedang dijalani Jimly Asshiddiqie. Mengapa demikian? Karena, Jimly memimpin sebuah lembaga yang punya mandat sebagai pengawal perjalanan berbangsa dan bernegara agar sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Lembaga ini punya posisi yang amat crucial, terlebih di saat bangsa kita tengah membangun kelembagaan, dan kultur demokrasi, yang boleh dikata masih dalam tahap awal. Kita sudah dan sedang mengalami, bagaimana dalam proses membangun demokrasi ini telah mengorbankan sedemikian banyak anak bangsa. Juga dalam proses itu bersemi pemikiran, aspirasi dan faham yang sedemikian beragam, bahkan di antaranya ada yang bertentangan dengan konstitusi. Barangkali itulah proses yang perlu kita jalani untuk sampai pada tahap lanjut berdemokrasi. Namun, tentu saja proses itu tak boleh dibiarkan berjalan tanpa panduan dan kontrol. Tanpa tuntunan, arah pembelajaran demokrasi menjadi liar. Tanpa kontrol, proses itu akan berujung pada anarki. Di sinilah arti pentingnya Mahkamah Konstitusi (MK), seperti yang Jimly katakan, ”Demokrasi yang berdasarkan hukum adalah demokrasi konstitusi. Oleh karenanya, supremasi konstitusi harus ditegakkan”. Jimly
terbukti
konsisten
dengan
pernyataannya
tersebut.
Meski
eksistensi lembaga MK masih terbilang “bayi”, namun Jimly telah berhasil memposisikan MK pada alur yang tepat sebagai pengontrol proses berdemokrasi
82
bangsa, dengan panduan UUD 45 yang sudah menjadi kesepakatan dasar bangsa kita.
Keberhasilan ini didasarkan pada fakta bahwa: 1. Keputusan MK dalam menangani setiap perkara benar-benar didasarkan pada konstitusi. 2. Keputusan
MK
dapat
diterima
oleh
semua
pihak,
terbukti
tak
menimbulkan masalah berikutnya, atau gejolak. 3. MK menangani perkara dengan efisien, murah, dan cepat. Padahal dalam usia belum genap tiga tahun, Jimly dan delapan hakim MK telah menangani 80 perkara uji materi, yang sebanyak 23 (28,7 persen) di antaranya dikabulkan MK. Berdasarkan fakta-fakta tersebut saya berani mengatakan bahwa MK sebagai institusi baru telah mendapatkan legitimasi politis dan riil di masyarakat, dan di mata lembaga-lembaga negara lainnya. Singkat kata, MK telah hadir sebagai lembaga yang berwibawa. Dibandingkan lembaga-lembaga negara baru lainnya yang dihasilkan dari amandemen UUD 45, MK-lah yang paling cepat mendapat predikat semacam itu. Beberapa lembaga negara baru lainnya, termasuk DPD RI, bahkan masih bersusah-payah membangun eksistensinya. Pencapaian
Mahkamah
Konstitusi
tersebut
tentu
tak
lepas
dari
kemampuan dan dedikasi orang-orang yang berada di dalamnya. Dan dalam konteks hubungan eksternal, terlebih hubungan dengan lembaga-lembaga negara lainnya dan masyarakat, tentu saja sang nahkodanya-lah yang amat berperan.
83
Kita sudah pernah mengalami problem politik besar gara-gara relasi yang jelek antar pemimpin lembaga negara. Banyak kesia-siaan terjadi. Padahal kemubaziran itu terjadi lebih disebabkan oleh masalah cara berkomunikasi, bukan substansi dari yang dikomunikasikan. Pada sisi ini Jimly punya keunggulan. Pribadinya santun, hangat, dan terbuka. Keunggulan pada pribadinya inilah yang menjadi salah satu point penting sehingga relasi MK dengan lembaga negara lainnya dapat terjalin dengan baik. Dia tahu benar bagaimana berkomunikasi dengan orang dari beragam latar belakang. Kewibawaan yang sudah berhasil dibangun MK dengan modal kejujuran, kerja keras, dan dedikasi para hakim MK tersebut jelas merupakan awal yang sungguh menggembirakan dalam proses pendewasaan kita berbangsa dan bernegara. Mahkamah Konstitusi bisa menjadi obor pengharapan di tengah kemerosotan kewibawaan banyak lembaga negara lainnya, serta menguatnya gejala yang disebutkan oleh kalangan pakar tata negara sebagai faham majoritarian democracy. Tentang kemerosotan citra atau wibawa sejumlah lembaga negara, gampang kita ketahui dari opini yang berkembang di media massa dan masyarakat. Dalam kesempatan bertemu dengan orang dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat, saya selalu mendapatkan kesan serupa dari masukan yang disampaikan mereka. Saya khawatir, jika keadaan semacam ini berlangsung terus tentu sangat tidak sehat bagi kelangsungan demokrasi kita. Di sisi lain, dari angka perkara yang dikabulkan MK sebanyak itu, jelas mengisyaratkan bahwa ada yang tidak beres dalam proses pembuatan undangundang. Dari angka itu bisa dimaknai bahwa pembuatan UU lebih didasarkan pada kepentingan pragmatis, sempit, dan sarat dengan faham majoritarian democracy, alias segala keputusan haruslah berpihak pada pemilik suara
84
terbanyak, tanpa melindungi hak-hak mereka yang berjumlah kecil, yang terasing, dan yang termarjinalisasi. Jelas bahwa prinsip tersebut amat tidak sehat dalam kita membangun keadaban bangsa. Faham tersebut menihilkan substansi. Arah dari faham semacam ini nyata-nyata berbeda dengan prinsip demokrasi yang sudah disepakati bersama dalam UUD 1945, yang lebih mengedepankan kesetaraan, dan kebersamaan. Maka saya sangat mendukung langkah Jimly yang dalam pertemuannya dengan Ketua DPR Agung Laksono secara khusus menyampaikan ajakan agar DPR lebih mengedepankan faham konstitusionalisme. Imbauannya kepada Ketua DPR sangat tepat, karena di lembaga inilah produk UU digodok, dan di lembaga inilah faham majoritarian democracy bersemi. Di sinilah misi sejarah yang dijalankan Jimly. Ia tak sekadar sebagai hakim yang menangani perkara, tetapi juga sebagai penyuara tuntunan. Inilah misi yang justru teramat penting, yang menuntut determinasi dan dedikasi personal yang luar biasa untuk menjalankannya. Saya sebagai salah seorang warga bangsa yang merindukan demokrasi konstitusi
jelas
sangat
mendukung
langkah
Jimly
untuk
tiada
henti
menyuarakan misi tersebut. Langkahnya dalam menyosialisasikan kesadaran berkonstitusi -antara lain membangun jaringan dengan 30 perguruan tinggi, mendorong pemerintah daerah agar menyediakan anggaran untuk pendidikan kewarganegaraan, dan mencetak UUD 1945 dalam berbagai bahasa daerah dan huruf Braile– sungguh bernilai bagi perkembangan bangsa ini ke depan. Ia mengambil langkah yang sangat mendasar, yang sesungguhnya juga menjadi kewajiban para pemimpin lembaga-lembaga negara lainnya.
85
Karena itulah, saya secara pribadi, dan dalam kapasitas sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah RI dari daerah pemilihan DKI Jakarta, merasa dalam satu jiwa dengan dia dalam mencitakan dan mengupayakan melek dan sadar konstitusi pada rakyat dan pemimpin kita.
86
TIGA TAHUN USIA MK Prof. DR. R. Sri Soemantri M., S.H. Mantan Ketua Komisi Konstitusi Memasuki usianya yang ketiga, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang baru sudah mempunyai banyak harapan. Keterbukaan MK dalam sidang-sidang dan mudahnya masyarakat mengakses proses sidang MK patut mendapat pujian. Biaya perkara yang gratis juga membantu MK untuk bersikap lebih profesional dan independen. Surat yang dilayangkan MK kepada Presiden mengenai BBM juga menandakan MK yang proaktif dan makin dinamis dalam menangani suatu masalah. Hal yang dilakukan MK dalam menerjemahkan UUD 1945 ke dalam bahasa-bahasa daerah dan huruf Braile juga sangat baik untuk memberi penyadaran pada semua komponen bangsa. Mereka yang memahami aspek konstitusui harus menjelaskan pada semua komponen bangsa tentang UUD 1945 sebagai konstitusi. Hal yang sama juga bisa dilakukan oleh para pemimpin partai politik untuk dapat memberi pembelajaran bagi anggota partainya sampai ke seluruh pelosok tanah air. Yang jelas setiap organisasi politik dan kemasyarakatan mempunyai kewajiban menyosialisasikan UUD 1945 sampai pada substansinya, sehingga seluruh warga negara Indonesia bisa belajar mengenai hak-hak dasarnya, dan mempunyai pemahaman bilamana hak dasarnya dilanggar dan mekanisme apa yang ditempuh untuk bisa menyuarakan pengaduannya. Kinerja MK yang seperti sekarang harus dipertahankan dan dikembangkan. Namun demikian ada hal-hal yang kiranya perlu dipertimbangkan di masa yang akan datang. Yang pertama adalah kenyataan bahwa MK perlu didampingi oleh staf-staf handal yang memahami masalah-masalah konstitusi. Melihat banyaknya perkara MK yang harus diuji, maka satu-satunya jalan adalah merekrut banyak staf ahli. Dilihat dari jumlah penduduk, Indonesia berada di urutan keempat paling padat di dunia, karena itu tidaklah berlebihan bila
87
jumlah hakim di MK ditembah menjadi 15 orang dengan komposisi 5 dari DPR, 5 dari pemerintah dan 5 dari MA. Hal kedua adalah mengenai constitustional complaint yang belum termasuk
dalam
kewenangan
MK.
Warga
negara
yang
merasa
hak
konstitusionalnya dilanggar, baik oleh warga negara lain maupun oleh peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga negara kini berada dalam posisi yang tidak mempunyai tempat mengadu. Karena kewenangan MK tidak meliputi perujian terhadap peraturan dibawah uandang-undang, maka perlu dikembangkan konsep constitusional complaint melalui konvensi, dimana MK akan menjaga UUD dengan cara apapun agar jangan terlanggar. MK juga harus menjaga kepekaan dirinya, yaitu peka terhadap keadilan rakyat. Semua hakim MK harus terus belajar dan belajar agar putusan yang dihasilkannya benar-benar bisa dirasakan adil bagi kepentingan seluruh rakyat. Karena banyak sekali sumber permasalahan di Indonesia muncul karena tidak adanya keadilan, dan ini seringkali harus dibayar dengan mahal. Contoh sudah banyak, misalnya pergolakan di Aceh dan yang terbaru adalah kasus Freeport di Irian Jaya. Keputusan MK yang bersifat final tanpa ada lagi kasasi dan peninjauan ulang juga harus membuat semua hakim MK untuk berhati-hati, jangan sampai membuat keputusan yang dilandaskan pada dokumen-dokumen palsu. Ketua MK pun harus ekstra hati-hati dalam bertindak, karena bagaimanapun ia memimpin suatu lembaga yang tidak boleh memihak. Melihat bahwa MK kini berkutat pada banyaknya permohonan judicial review, maka sesungguhnya pemerintah dan DPR harus lebih jeli dalam membuat dimohonkan
undang-undang. Bila undang-undang yang telah disahkan seringkali untuk
diuji
dan
ternyata
terbukti
bertentangan
dengan
Undang-Undang Dasar, berarti pemerintah dan DPR telah kurang jeli dalam
88
proses pembuatannya, dimana proses ini tidak boleh terpisah dari dua landasan dasar yaitu tidak boleh menyimpang dari konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD 1945. Pengalaman saya secara pribadi dengan sosok Prof. Jimly memberikan sebuah kesan bahwa Jimly adalah orang yang selalu mempunyai kemampuan keras untuk mengembangkan diri dan mendalami sesuatu. Terlihat dari pengalaman masa lalunya dalam kehidupan dan pekerjaannya, juga sewaktu saya menjadi co-promotor saat Jimly mengambil S3. Kini Prof. Jimly telah membawa MK berhasil menjadi sebuah lembaga pengawal konstitusi tanpa terdengar suara-suara sumbang. Kiranya ini tetap dapat dipertahankan dalam kiprah MK di masa yang akan datang.
89
PAK JIMLY, “BUKU YANG BELUM SELESAI” *Setangkai kehidupan bersama Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Oleh Janedjri M. Gaffar1
Saat itu masih dalam awal-awal era reformasi. MPR menjadi tumpuan harapan dimulainya perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan dan arah kehidupan bangsa ke depan. Lembaga tertinggi negara itu dituntut mengisi masa transisi secara tepat, cepat, dan benar dari era otoritarian menuju era demokrasi. Harapan dan tuntutan itu dipenuhi MPR terutama melalui agenda perubahan UUD 1945. Sejak 1999 sampai dengan 2002 saya sebagai staf Sekretariat Jenderal (Setjen) MPR terlibat dalam memberikan dukungan, baik bersifat teknis administratif maupun substantif terkait dengan agenda perubahan UUD 1945 bersama teman-teman staf lainnya. Ketika itu saya sebagai Kepala Pusat Pengkajian Kemajelisan yang dilanjutkan sebagai Kepala Biro Majelis. Pada tahun 2001 saya dapat mengenal lebih dekat Pak Jimly, panggilan akrab Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., karena beliau menjadi salah satu anggota Tim Ahli Bidang Hukum yang dibentuk oleh Panitia Ad Hoc I (PAH I) Badan Pekerja (BP) MPR, sementara saya mengorganisir tim Setjen MPR yang memberikan dukungan kepada PAH I BP MPR.2 Sebelumnya saya lebih banyak mengenal Pak Jimly melalui pikiran dan pendapatnya sebagai pakar hukum tata negara yang dimuat di berbagai media cetak atau ditayangkan di media TV. Dari berbagai rapat PAH I BP MPR yang melibatkan para Tim Ahli, termasuk Pak Jimly, saya dapat menangkap bahwa beliau tergolong sistematis dalam berfikir serta memiliki pemikiran yang cemerlang dan visioner. 1
Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi RI. Beberapa nama anggota lain Tim Ahli Bidang Hukum lainnya antara lain Prof. Dr. Sri Soemantri S, Prof. Dr. Ismail Suny, S.H., MCL, almarhum Prof. Dr. Suwoto Mulyosudarmo, dan Satya Arinanto, S.H. M.H. (sekarang telah bergelar profesor doktor).
2
90
Selanjutnya hubungan saya dengan Pak Jimly semakin dekat ketika guru besar FH UI itu diangkat sebagai Penasehat Ahli Setjen MPR sekitar tahun 2002. Pengangkatan beliau dipandang penting mengingat pasca perubahan UUD 1945 (tahun 2002), MPR tetap mendapat amanat mengimplementasikan perubahan UUD 1945 dalam sistem ketatanegaraan kita. Dan Setjen MPR sebagai organ pemerintah yang memberikan dukungan teknis administratif dan substantif kepada MPR bertugas mempersiapkan berbagai telaahan staf sebagai bahan masukan/pertimbangan kepada Pimpinan MPR dalam mengambil putusan kenegaraan. Agar telaahan staf yang dibuat mempunyai bobot ilmiah yang besar, dipandang penting meminta pertimbangan berupa gagasan dan pemikiran ketatanegaraan dari ahlinya. Pilihan akhirnya jatuh pada Pak Jimly yang sebelumnya aktif terlibat dalam pembahasan perubahan UUD 1945 bersama-sama anggota Tim Ahli lainnya di PAH I BP MPR. Sejak saat itu Pak Jimly sering terlibat diskusi intensif dengan saya membahas berbagai isu dan masalah ketatanegaraan, khususnya yang terkait dengan pelaksanaan tugas MPR. Pada saat berbagai referensi dan paradigma lama mengenai tata negara tak lagi mampu menjelaskan – apalagi memberi masukan terhadap – perubahan sistem ketatanegaraan RI, lebih-lebih ketika saya harus menyusun telaahan terhadap materi Rancangan Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta merumuskan rancangan Tata Tertib (Tatib) DPD, masukan-masukan dari Pak Jimly sangat berarti bagi saya. Pendek kata, Pak Jimly menjadi “tempat bertanya” yang selalu siap memberikan penjelasan kepada saya. Bagi saya saat itu, Pak Jimly adalah “referensi” yang tidak ternilai harganya. Beliau adalah “guru” yang selalu terpanggil untuk memberikan pengetahuannya kepada saya secara tulus. Pak Jimly selalu bersedia berdiskusi baik melalui telepon maupun bersemuka secara langsung di ruang kerja saya di Gedung Nusantara III Lantai 7 Komplek MPR/DPR Senayan. Hasil diskusi itu kemudian saya tuangkan ke dalam
91
sebuah naskah Telaahan Staf untuk diteruskan oleh Sekjen MPR kepada para pimpinan MPR, termasuk Ketua MPR Bapak Prof. Dr. Amien Rais. Telaahan Staf inilah yang kemudian menjadi salah satu bahan masukan dan pertimbangan Pak Amien dan pimpinan MPR lainnya ketika membahas dan mengambil putusan berbagai isu dan masalah terkait dengan tugas MPR. Karena aktivitasnya yang sangat padat, baik mengajar maupun sebagai pembicara di berbagai forum seminar/diskusi, kadangkala Pak Jimly baru bisa “mampir” ke ruangan saya untuk berdiskusi pada sore hari di atas jam 16.00 atau bahkan baru datang setelah matahari tenggelam. Tradisi kami setelah berdiskusi panjang lebar adalah melahap hidangan makan malam, walaupun biasanya sudah lewat jam makan karena asyik berdiskusi. Dari berbagai diskusi itulah saya makin memahami tidak hanya jalan fikiran dan berbagai pemikiran serta gagasannya mengenai ketatanegaraan, tetapi juga mulai mengenal watak, sifat dan kepribadiannya. Dari caranya berdiskusi, saya berkesimpulan bahwa Pak Jimly adalah figur intelektual yang demokratis. Walaupun beliau seorang profesor dan doktor di bidang hukum tata negara, namun beliau bersedia mendengar dan menghargai pendapat-pendapat saya. Meskipun kadang-kadang pendapat saya berseberangan dengan pendapatnya sendiri, beliau tetap memberikan apresiasi selagi saya dapat mengemukakan argumentasi. *** Waktu persisnya saya lupa, tetapi kemungkinan besar sekitar minggu kedua Agustus 2003. Saat itu Pak Jimly sempat singgah sebentar di ruang kerja saya di lantai 7 Gedung Nusantara III sebelum mengikuti fit and proper test di Gedung Nusantara I DPR sebagai salah satu calon hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi. Jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar 200 meter saja
92
karena memang satu komplek, yaitu Komplek MPR/DPR, Senayan. Seingat saya beliau berangkat setelah shalat Dzuhur di ruangan saya. Pak Jimly mengikuti fit and proper test karena beliau menjadi calon hakim konstitusi melalui jalur DPR. Setahu saya selain diusulkan DPR, sebenarnya beliau juga diusulkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Tetapi Pak Jimly memilih melalui jalur DPR dibanding Presiden.3 Mungkin saja ada pertimbangan mendasar mengenai pilihan beliau ini, namun saya tidak tahu persis tentang hal itu. Sekembalinya dari fit and proper test di DPR, Pak Jimly kembali ke ruangan saya dan ngobrol-ngobrol dengan saya mengenai proses dan dinamika fit and proper test. Beliau sempat menyatakan bahwa fit and proper test calon hakim konstitusi jauh lebih berat bila dibanding dengan ujian desertasi. Bagi saya, pernyataan itu mengandung konotasi bahwa beliau sungguh-sungguh serius baik dalam persiapan maupun ketika menghadapi fit and proper test, sehingga bagi beliau fit and proper test calon hakim konstitusi tidak bisa dibandingkan dengan sekedar ujian desertasi. Beberapa hari kemudian hasil fit and proper test diumumkan oleh DPR dan seperti saya duga sebelumnya, Pak Jimly lulus sebagai salah satu hakim konstitusi usulan DPR.4 Seingat saya, beberapa hari setelah pengumuman hasil fit and proper test tersebut, Pak Jimly ke ruangan saya. Saya beserta temanteman staf yang lain mengucapkan selamat atas keberhasilannya lulus dari fit and proper test di DPR yang tentu saja tidak mudah tersebut. Pada saat itulah beliau banyak bertanya mengenai seluk beluk sekretariat jenderal yang kelak akan membantu Mahkamah Konstitusi. Sebagai staf yang sudah lama mengabdi di Setjen MPR – sekitar 17 tahun – saya menjawab dan menguraikan berbagai hal tentang Setjen. Pada saat itulah Pak Jimly meminta saya untuk
3
Sesuai ketentuan UUD 1945, jumlah hakim konstitusi sebanyak sembilan orang di mana tiga orang diusulkan oleh DPR, tiga orang oleh Presiden, dan tiga orang lainnya diusulkan oleh Mahkamah Agung. Selanjutnya Presiden menetapkan kesembilan hakim tersebut menjadi hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi dengan masa jabatan selama lima tahun. 4 Selain Pak Jimly, hakim konstitusi usulan DPR adalah Bapak Letjen TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Keduanya bukan orang asing bagi DPR karena Pak Roestandi terakhir menjabat sebagai Ketua Fraksi ABRI di MPR dan Pak Palguna juga anggota MPR.
93
membantunya di MK. Dalam hati, saya merasa senang diminta membantu di sebuah lembaga negara baru hasil perubahan UUD 1945, namun pada saat yang sama saya merasa bingung, bukan saja karena saya tengah menjabat sebagai Kepala Biro Persidangan di Setjen MPR5, tetapi juga karena saya masih merasa miskin pengalaman dan belum cukup kemampuan. Hubungan pribadi dan kerja yang telah lama terjalin serta kecocokan gaya kerja dan pikiran antara saya dan Pak Jimly akhirnya membawa saya membantu MK. Saya masih ingat betul saat menjelang pelantikan hakim konstitusi 16 Agustus 2003 Pak Jimly mengutarakan pentingnya pengucapan sumpah bagi hakim konstitusi yang pada saat itu belum tersedia draft-nya. Maka, saya bersama teman-teman staf MK segera menyiapkan naskah sumpah hakim konstitusi, sehingga ketika tiba waktunya pelantikan, seluruh hakim konstitusi bisa mengucapkan sumpahnya. Pada saat itu MK memang belum mempunyai apa-apa kecuali sembilan hakim. Kantor tidak ada, sarana dan prasarana belum ada, staf atau pegawai tidak punya. Pokoknya betul-betul tidak punya apa-apa kecuali tiga lembar kertas sebagai dasar hukum pembentukan MK, yaitu UUD 1945, UU tentang MK, dan Keppres penetapan hakim konstitusi. Tidak heran apabila pada saat itu “kantor” MK adalah nomor HP Pak Jimly karena memang MK belum mempunyai kantor. Beruntung pimpinan saya di MPR mendukung saya untuk membantu MK. Tidak hanya memberi izin kepada saya, tetapi pimpinan Setjen MPR juga memberi izin “pengiriman” beberapa pegawai Setjen MPR untuk menjadi pegawai sementara MK sampai terbentuknya Setjen dan Kepaniteraan MK. Status mereka adalah Tenaga Perbantuan. Beberapa hari setelah pengucapan sumpah jabatan, dilangsungkan pemilihan pimpinan MK. Lokasi
rapat pemilihan di ruang rapat Ketua MA
5
Saat itu saya menjabat sebagai Kepala Biro Persidangan, nomenklatur baru pengganti Kepala Biro Majelis Setjen MPR.
94
karena memang saat itu MK belum mempunyai kantor di manapun juga. Dalam rapat hakim tersebut terpilih Pak Jimly sebagai Ketua dan Pak Laica sebagai Wakil Ketua. Untuk kantor sementara, MK menempati Hotel Santika di Jl. KS Tubun, Slipi, Jakarta Barat. Tetapi tak lama setelah itu kantor MK berpindah ke Plaza Centris di Jl. HR Rasuna Said di Kuningan, Jakarta. Uniknya, karena keterbatasan ruang di gedung tersebut, ruang kantor untuk para pegawai MK adalah lahan parkir kendaraan yang disulap dalam waktu singkat, hanya beberapa minggu, menjadi ruang kantor yang modern. Seiring dengan itu saya diangkat menjadi Plt. Sekjen MK oleh Ketua MK pada tanggal 4 September 2003. Sebagai lembaga negara baru sudah tentu diperlukan kerja ekstra keras dalam pemberian dukungan karena segalanya memang belum ada, atau kalau tokh ada masih sangat minim. Sejak awal dibentuknya MK, langsung dirintis pembentukan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK yang bertugas memberikan dukungan dan pelayanan segala kebutuhan pelaksanaan tugas hakim konstitusi. Dalam konteks ini Pak Jimly karena kedudukannya sebagai Ketua MK sangat banyak terlibat dalam pembentukan organisasi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan yang mendukung lembaga negara tersebut. Pak Jimly sering memberikan arahan dan gagasan bagaimana membentuk birokrasi Setjen dan Kepaniteraan MK yang modern dan terpercaya. Modern dalam pengertian
menggunakan
sarana
dan
prasarana
yang
canggih
sesuai
perkembangan iptek, efisien dan efektif dalam bekerja, dan menerapkan manajemen sesuai perkembangan teori dan praktek lembaga perkantoran. Terpercaya dalam artian transparan dan akuntabel kepada publik serta jujur dan tidak koruptif. Untuk mewujudkan gagasan Pak Jimly tersebut, siang malam para staf bekerja keras. Rata-rata para staf baru keluar kantor ba’da Maghrib, tapi tidak sedikit pula yang baru bisa pulang sekitar pukul 21.00, bahkan kadang-kadang menjelang tengah malam. Hari libur Sabtu dan Minggu pun sering dipakai untuk
95
bekerja di kantor. Kerja keras yang sangat berat tersebut saya tempuh dengan penuh keyakinan bahwa suatu saat suatu
birokrasi yang benar-benar sesuai
dengan gagasan dan cita-cita Pak Jimly akan terbentuk. Apabila kemudian sosok, kinerja, dan performance para pegawai Setjen dan Kepaniteraan MK dewasa ini adalah seperti yang terlihat oleh publik, maka di dalamnya banyak memantulkan gagasan dan pemikiran Pak Jimly. Di tengah situasi demikian saya melihat kepiawaian Pak Jimly memimpin MK. Walaupun dukungan berbagai aspek (antara lain SDM, kantor dan peralatannya, dana/finansial) saat itu masih sangat kurang, tapi para hakim konstitusi terus bekerja di bawah kepemimpinan Pak Jimly selaku ketua dibantu
Pak
Laica
selaku
wakil
ketua.
Para
hakim
konstitusi
terus
menyelenggarakan berbagai rapat untuk menyusun serangkaian peraturan sebagai pedoman dalam pelaksanaan wewenang dan kewajibannya. Dalam waktu singkat berbagai peraturan telah berhasil disusun sehingga tugas MK dapat dilaksanakan. Dalam konteks ini saya memandang – selain keberhasilan seluruh hakim konstitusi – hal itu sebagai bagian dari bukti keberhasilan kepemimpinan Pak Jimly. Pertimbangannya sudah tentu sangat berat dan sulit sekaligus rumit memimpin sebuah organisasi baru yang belum ada sebelumnya. Oleh karena harus menyusun berbagai peraturan dan konsep-konsep lain yang belum ada sebelumnya sama sekali serta melaksanakan tugas di tengah semua serba dari nol, dari tidak ada sama sekali menjadi ada. Dalam waktu singkat MK mulai dikenal publik dan setelah melalui serangkaian rapat permusyawaratan hakim, sebuah perkara telah berhasil diputus sebelum tahun baru 2004 datang. Padahal perkara itu baru diterima MK pertengahan Oktober 2003 dari MA, tetapi dalam waktu sekitar tiga bulan telah berhasil diputus satu perkara. ***
96
Pada November 2003, turunlah Keppres tentang pengangkatan Sekjen MK. Dari tiga orang yang dicalonkan, termasuk saya di dalamnya, Ibu Megawati selaku Presiden mengangkat Pak Oka Mahendra, S.H., staf ahli Menteri Kehakiman dan Perundang-undangan (sekarang Hukum dan HAM). Uniknya walaupun tidak terpilih dan tentunya secara logis harus segera kembali ke instansi sebelumnya (MPR), saya diminta Pak Jimly untuk tetap berada di MK dengan jabatan staf khusus MK. Ketika saya meminta pengertian beliau bahwa tidak mungkin saya tetap berada di MK karena telah ada Sekjen definitif, Pak Jimly bersikeras menginginkan saya tetap membantu beliau. Pada saat itu beliau sempat menasihati saya yang pada intinya menyatakan bahwa seseorang yang bekerja tidak perlu mengejar kedudukan atau status, karena masih ada hal yang lebih penting daripada kedudukan, yakni peran. Dari nasihat tersebut saya semakin mengenal kepribadian Pak Jimly, termasuk prinsip-prinsipnya dalam bekerja, bahwa ketika bekerja untuk negara yang dibutuhkan adalah totalitas peran tanpa harus memperhitungkan pamrih. Akhirnya saya kembali ke MPR pada awal tahun 2004 dan kembali menekuni bidang tugas yang menjadi tugas pokok dan fungsi sebagai Kepala Biro Persidangan Setjen MPR yang saat itu merangkap memberi dukungan kepada lembaga negara baru DPD. Walau sudah pisah kantor, namun kami tetap saling berkomunikasi. Demikian pula dengan para staf MK, saya masih sering kontak melalui telepon. Bahkan, ketika pelantikan Pak Oka sebagai Sekjen MK di Pusaka Loka Komplek MPR/DPR, saya masih mengorganisir acara tersebut dengan sepenuh hati. Di sela-sela kesibukan saya di MPR, saya menghadiri acara peringatan ulang tahun MK yang pertama pada tanggal 13 Agustus 2004. Pada acara tersebut saya bertemu dengan Pak Jimly dan para hakim konstitusi lainnya berikut para staf MK. Tidak ada pembicaraan istimewa antara saya dengan Pak Jimly pada saat itu. Namun pada tanggal 14 Agustus 2004, beliau menghubungi saya supaya datang ke kediamannya. Ketika saya menemuinya, beliau meminta
97
kesediaan saya menjadi Sekretaris Jenderal MK menggantikan Pak Oka. Akhirnya saya dilantik sebagai Sekretaris Jenderal MK pada 19 Agustus 2004. Hari-hari selanjutnya saya kembali bersama para hakim konstitusi, termasuk Pak Jimly dan bersama para staf memberikan dukungan kepada para hakim konstitusi. Hubungan dengan Pak Jimly makin dekat dan akrab. Boleh dikatakan hampir setiap hari kami bertemu di mana saya melaporkan berbagai kesiapan Setjen dalam memberikan dukungan, dan Pak Jimly menyampaikan berbagai arahan dan gagasan. Hari-hari terus berlalu, banyak pengalaman suka dan duka, pahit dan manis menyertai pelaksanaan dukungan saya dan seluruh staf kepada para hakim konstitusi, termasuk Pak Jimly. Interaksi yang intens antara saya dan Pak Jimly – dan para hakim konstitusi lainnya – memberi banyak pelajaran kepada saya, lebih mematangkan sikap dan kepribadian saya, serta mendewasakan pemikiran dan pandangan saya, termasuk dalam hal mengambil putusan terkait dengan ruang lingkup saya sebagai Sekjen MK. Dari interaksi yang intens selama hampir tiga tahun di MK ini dan interaksi yang cukup dekat beberapa tahun sebelumnya di MPR, saya melihat beberapa hal menonjol dari dalam diri Pak Jimly. Pertama, beliau seorang pemimpin yang visioner. Mungkin ada pemimpin yang menonjol tetapi belum tentu memiliki pemikiran yang visioner menembus ruang dan waktu. Dengan kepemimpinan yang visioner tersebut, banyak hal yang belum difikirkan oleh sebagian besar orang, telah menjadi concern Pak Jimly dan beliau berupaya mewujudkannya lebih cepat dibanding jika harus melalui rentang waktu yang alamiah. Banyak sekali gagasan Pak Jimly yang belum menjadi pemikiran banyak orang, atau kalau tokh sempat mampir di fikiran orang, tidak sempat dikembangkan secara sistematis. Kalau selama ini saya – dan sebagian besar orang – melihat Pak Jimly sebagai pakar di bidang ketatanegaraan, sebenarnya gambaran itu belum
98
cukup. Setelah lama bersama beliau, ternyata Pak Jimly tidak hanya memiliki aneka gagasan di bidang ketatanegaraan yang sering menjadi acuan berbagai kalangan, tetapi lebih dari itu juga berbagai gagasan yang cerdas dan visioner di bidang kenegaraan, bahkan sampai pada reformasi birokrasi yang kemudian diterapkan di Setjen dan Kepaniteraan MK.6 Kedua, sekalipun menjadi pemimpin, tetapi Pak Jimly sering langsung turun ke bawah mengawal pelaksanaan berbagai gagasan dan pikirannya. Beliau langsung menjadi pengawal atas berbagai gagasan dan pemikirannya yang visioner ketika diterapkan di lapangan. Apabila dirasa pelaksanaannya kurang tepat, Pak Jimly langsung mengarahkan ulang agar perwujudan cita-cita itu tetap berada di koridor yang dikehendakinya. Beliau juga tidak hanya berhenti pada gagasan dan pemikiran yang bersifat makro, tetapi detailnya pun dipahami dan diuraikannya. Sesuatu hal yang menurut pandangan saya pribadi berbeda dengan sebagian pemimpin lainnya yang biasanya berhenti pada lontaran gagasan dan pemikirannya saja dan itu pun biasanya masih bersifat makro. Ketiga, Pak Jimly seorang yang “gila kerja” dalam konotasi positif. Sudah terbiasa bagi beliau untuk terus bekerja sampai sore hari di kantor dan biasanya diteruskan di rumah sampai larut malam. Sering kali saya dipanggil mendadak pada malam hari ke rumah beliau atau dihubungi via telepon untuk membicarakan berbagai gagasan dan pikiran beliau terkait dengan ikhtiar agar 6
Beberapa contoh reformasi birokrasi di MK antara lain: (i) setiap putusan MK yang dibacakan hakim langsung ditayangkan di layar screen di ruang sidang sehingga pemohon dan pihak-pihak terkait serta pengunjung sidang dapat langsung mengikuti alur dan narasi putusan; (ii) sidang yang beragendakan pembacaan putusan MK ditayangkan secara langsung oleh stasiun TV dan RRI; (iii) setiap putusan langsung diberikan kepada pemohon dan pihak-pihak terkait begitu dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum; (iv) pemuatan putusan MK dalam situs MK sekitar 30 menit setelah selesai dibacakan sehingga setiap orang di ujung dunia manapun juga dapat membaca dan men-down-load-nya; (v) pemuatan putusan MK dalam beberapa surat kabar nasional satu hari setelah diputuskan; dan (vi) pencetakan putusan MK dalam ukuran buku dengan oplag besar untuk kemudian disebarluaskan kepada berbagai kalangan, termasuk pimpinan lembaga tinggi negara, departemen dan lembaga pemerintah non departemen, DPRD provinsi, MA dan pengadilan tingkat banding serta tingkat pertama seluruh Indonesia, dan kalangan media massa. Selain itu berperkara di MK tidak dipungut biaya apapun juga (cuma-cuma) dan setiap orang dapat memperoleh kutipan putusan MK secara cuma-cuma dengan cara menghubungi Kepaniteraan MK. Juga diterapkan sistem manajemen perkara dan persidangan yang modern di mana peralatan canggih digunakan seoptimal mungkin.
99
pelaksanaan tugas MK dapat lebih baik. Berbagai gagasan beliau meluncur dengan cepat yang sering kali tidak bisa diimbangi oleh para staf dalam mewujudkannya. Kalau dibuat kuantifikasi, Pak Jimly bekerja dengan “speed 100” sementara para staf, termasuk saya, bekerja dengan “speed 60” bahkan kurang dari itu, mungkin 50 atau 40.7 Bahkan untuk hari Sabtu-Minggu yang biasanya digunakan untuk istirahat dan liburan, biasanya digunakan oleh Pak Jimly ke daerah-daerah melakukan temu wicara dengan berbagai kalangan. Berangkat Sabtu pagi dan pulang ke Jakarta Minggu sore atau malam. Cara ini menyebabkan lebih cepat dan lebih banyak lagi kalangan di daerah yang mengetahui tentang MK. Keempat, Pak Jimly adalah tokoh intelektual yang sangat mencintai dunia pengetahuan. Hampir tidak ada waktu senggang yang tidak digunakannya untuk membaca atau menulis. Dalam jagad intelektual Indonesia, Pak Jimly termasuk tokoh yang sangat produktif menuangkan gagasan-gagasan briliannya ke dalam bentuk tulisan, baik berupa artikel ilmiah maupun buku. Di sela-sela kesibukannya selaku Ketua MK, beliau masih berusaha menyempatkan diri menulis buku. Hingga saat ini, buku-buku karya Pak Jimly tak kurang dari 12 judul. Kelima, Pak Jimly memiliki kepercayaan diri yang besar. Walaupun memimpin sebuah lembaga negara baru – yang tentu saja belum dikenal semua pihak dan warga masyarakat – namun tidak segan-segannya Pak Jimly menemui begitu banyak kalangan untuk memperkenalkan dan memberi pemahaman orang tentang berbagai hal tentang MK. Banyak forum publik diorganisir oleh MK sebagai wahana untuk kepentingan itu.8 Dalam berbagai forum publik 7
Saya sering berseloroh kepada beliau dengan mengatakan bahwa “saya sudah gila kerja, tetapi kalah gila dibanding Bapak.” 8 Sebagai contoh live show Forum Konstitusi yang secara rutin di TVRI, Kuliah Udara di Pro 3 RRI, dan berbagai temu wicara di mana Pak Jimly bertatap muka secara langsung dengan berbagai kalangan, seperti pejabat dan tokoh masyarakat, Kepolisian Daerah, para hakim di pengadilan tingkat banding dan tingkat pertama, civitas akademika perguruan tinggi, dan kalangan pesantren (sekolah agama).
100
tersebut, Pak Jimly dengan percaya diri yang besar bertatap muka dan berdialog dengan berbagai kalangan yang ada. Tidak cukup di dalam negeri, Pak Jimly juga memberi presentasi materi tentang keberhasilan MK mengawal demokrasi di Indonesia melalui putusannya yang menyelesaikan sengketa hasil Pemilu 2004 di Kiev, Ukraina. Dari dialog dengan peserta forum internasional yang terdiri dari para hakim lembaga MA dan MK se-dunia tersebut, dapat diperoleh kesimpulan bahwa para peserta kagum dengan prestasi MK Indonesia karena dalam usia sangat muda telah berhasil menyelesaikan sengketa hasil pemilu secara mulus dan tertib. Lebih hebatnya lagi, tugas itu pertama kalinya dilakukan MK! *** Waktu terus berlalu. Pada usia memasuki 50 tahun, energi Pak Jimly masih sangat besar dan nampaknya masih banyak ruang pengabdian yang menanti beliau. Ibarat buku, telah banyak halaman yang telah digoreskan dengan tinta emas oleh Pak Jimly, namun masih banyak pula halaman kosong yang telah siap untuk diukir dengan tinta emas oleh beliau. Memang Pak Jimly adalah “buku yang belum selesai ditulis” sehingga belum bisa “diresensi” secara utuh dan final. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kekuatan dan perlindungan kepada beliau untuk dapat mengisi lembar-lembar halaman buku yang masih kosong itu dengan pengabdian demi pengabdian yang makin tinggi dan luhur pada masa datang. Amin ya Robbal Alamin. Cilandak, awal April 2006
101
Riwayat Saya di MK dan Kesan Terhadap Pak Jimly Drs. H. Ahmad Fadhil Sumadi, S.H., M.Hum. Panitera Mahkamah Konstitusi Secara kronologis, saya mengenal Pak Jimly pertama kali lewat organisasi. Beliau pernah aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Remaja Masjid. Saya juga pernah aktif di PII, sehingga saya kenal Beliau. Namun sampai di sini, saya belum mengenal secara pribadi. Kedua, saya mengenal lebih dekat lagi melalui pikiran-pikiran Beliau. Terutama ketika saya menyelesaikan tesis S-2 Ilmu Hukum di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Tesis saya mengenai Tata Negara. Di antara literatur yang saya pakai, beberapa merupakan karangan Pak Jimly. Ketika itu, teman-teman saya yang kebetulan hakim tinggi di Peradilan Agama mempertanyakan mengapa mengambil Tata Negara. Mengapa tidak mengambil bidang Syariah atau Hukum Islam saja? Saya jawab, “suka aja!”. Lebih dari itu, saya menyukai tulisan-tulisan Pak Jimly dan juga Prof. Sri Sumantri. Tulisan kedua pakar Hukum Tata Negara ini banyak mengilhami pengertian saya tentang Hukum Tata Negara. Akhirnya saya memutuskan mengangkat Hukum Tata Negara dalam tesis S-2 saya. Perkenalan saya dengan Pak Jimly lebih intens lagi belakangan setelah saya menyelesaikan S-2. Kebetulan, waktu itu saya bekerja sebagai Sekretaris Wakil Ketua MA. Ketika MK mulai berdiri, saya ditugaskan oleh Mahkamah Agung untuk membantu Pak Jimly di MK. Bolehlah dikatakan, saya bertemu Pak Jimly karena latar belakang saya juga Tata Negara. Saya ingat pada suatu Jumat pagi, saya datang menemui Pak Jimly. Ketika itu Kantor MK masih di Hotel Santika. Saya memang bertemu Pak Jimly. Tetapi 102
saya kaget karena Pak Jimly bertanya, “Mana rekomendasi dari Ketua MA (Bagir Manan)?” Sebenarnya, sebelumnya setahu saya sudah ada kontak dari pimpinan MA dengan pimpinan MK. Namun, sebatas lisan. Rekomendasi tertulis belum ada. Dalam benak saya, tidak mungkin saat itu minta rekomendasi dari Ketua MA. Sebab saya tahu, Ketua MA tengah berada di Bandung. Saya pun maklum, Pak Jimly ingin segera memperoleh SDM yang diperlukan. Adapun saya, saya merasa tidak memenuhi kriteria yang diinginkan. Tipislah harapan saya. Kemudian beberapa minggu berikutnya, ketika saya tengah berlibur bersama keluarga, tiba-tiba saya ditelepon oleh Pak Janed (Janedjri M. Ghaffar, kini Sekjend MK). “Pak Fadhil, kapan bisa bertemu untuk urusan MK? Kalau bisa segera!”. Kontan, saya kelabakan. Di tengah liburan itu, saya terbayang belum melengkapi surat-surat rekomendasi yang diminta Pak Jimly. Saya tidak tahu harus bagaimana. Tanpa pikir panjang, saya pun langsung pergi ke MA. Saya mencari file-file SK yang diperlukan. Setelah saya dapatkan, saya pergi ke Hotel Santika untuk menemui Pak Janed. Ternyata saya tidak menjumpainya. Namun, saya bertemu dengan Pak Cahyono, seorang yang membantu MK dalam Bidang Administrasi Kepegawaian waktu itu. Maka selanjutnya urusan saya serahkan kepada Pak Cahyono. Pada suatu kesempatan berikutnya. Hari itu kebetulan Minggu. Saat itu saya sebetulnya hendak pergi ke Riau. Karena Senin besok paginya saya sudah mempunyai jadwal acara di Riau. Tetapi, ketika hendak berkemas, telepon kembali berdering. Suaranya masih sama dari penelepon di atas. Si penelepon bertanya, “Kapan bisa bertemu Pak Jimly?” Saya agak kaget. Akhirnya saya mengurungkan pergi ke Riau.
103
Saat itu Kantor MK sudah pindah ke Centris. Ketika di Centris inilah, saya bertemu kawan. Ia lebih senior dari saya. Ternyata ia juga ditugaskan untuk membantu MK untuk hal yang sama. Saya berpikir, “Kalau begitu apa saya mundur saja ya?” Saya paling tidak enak bersaing dengan kawan sendiri dan ia lebih senior. Tetapi pikiran itu segera saya tepis setelah saya bertemu dengan Pak Janed. Tiba giliran berikutnya, saya ditempatkan untuk memaniterai MK bersama kawan senior tersebut. Bagi saya, hal itu tidak menjadi soal. Apalah artinya jabatan. Lebih utama bagi saya adalah, saya bisa bertemu Pak Jimly, seorang profesor di bidang Hukum Tata Negara. Akan tetapi, saya justru banyak menangani tugas-tugas kepaniteraan. Hal ini disebabkan Pak Marcel, yang diberi tanggung jawab untuk mengerjakan tugas-tugas panitera, sakit. Semua tugas kepaniteraan akhirnya saya jalankan. Hingga saat tidak memungkinkan lagi bertugas, jabatan panitera selanjutnya dibebankan ke pundak saya. Sebagai panitera, saya menangani administrasi pelaksanaan tugas-tugas substantif MK. Intinya, membantu pelaksanaan tugas-tugas pokok MK dalam mengadili perkara. Tugas itu antara lain menerima permohonan, memprosesnya kepada para hakim, hingga pengadministrasian putusan yang sudah dibuat para hakim. Kiprah paling berat justru terjadi ketika menjelang Pemilu 2004. Saat itu tugas kesekjenan dan kepaniteraan saya rangkap. Hal ini karena Sekjend definitif kala itu, Oka Mahendra, mengundurkan diri karena sakit. Lebih-lebih saat itu pimpinan MK meminta supaya diadakan Ultah pertama MK. Akhirnya saya pun merangkap tugas itu, meskipun agak kewalahan. Hal ini juga diperparah karena Sekjend pengganti definitif belum kunjung ada. Baru
104
kemudian Sekjend definitif yang ditunjuk ternyata orang yang saya kenal juga, yaitu Pak Janed. Kini setelah tiga tahun saya bekerja sama dengan Pak Jimly, jika ditanya tentang pertemuan saya dengan Pak Jimly, satu kalimat boleh saya ungkap. Kalau ada hal yang saya sesalkan saya bertemu dengan Beliau itu adalah justru ketika saya bertemu Beliau di saat usia saya di atas lima puluh tahun. Pada usia-usia di atas lima puluh tahun katanya ibarat baterai, sudah low batt. Berbeda dengan Pak Jimly yang baru lima puluh tahun. Selain masih muda, Beliau adalah orang yang sangat smart, memiliki pandangan luas, pekerja keras dan juga memiliki kemauan kuat. Jika boleh mengutip dari khasanah klasik pesantren, pribadi Pak Jimly dapat dipadankan dengan orang yang memiliki quwwatul iradah (kemauan keras), quwwatul fikr (orang yang kuat berpikir), quwwatul jism (berbadan sehat), dan quwwatul ilm (orang yang berilmu). Akhirnya, dalam benak saya, MK di bawah Pak Jimly ini akan mengarah pada terwujudnya mahkamah yang modern, terpercaya, dan berwibawa. Paling tidak, hal ini terlihat dari penekanan Beliau yang sangat menaruh perhatian besar pada perkembangan IT dan menggunakannya secara maksimal di MK. Selamat Ulang Tahun ke-50 buat Pak Jimly!
105
MENGAWAL KONSTITUSI, MEWUJUDKAN DEMOKRASI KEBERANIAN DAN KETEGUHAN Prof. DR. JIMLY ASSHIDDIQIE, SH Rachman Hakim Ketua Umum Perhimpunan INTI Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Beliau sebelumnya aktif sebagai salah seorang tim ahli pemerintah untuk penyusunan RUU Mahkamah Konstitusi. Ia juga tim ahli Badan Pekerja
MPR yang telah
memberikan pemikiran dalam proses amandemen UUD 1945. Memang, Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH, sudah dikenal sebagai seorang pengamat, pelaku dan pengajar yang sangat konsisten dengan penegakan hukum dan masalah konstitusi di Indonesia. Dengan berdirinya MK, juga tak lepas dari andil beliau. Selain itu beliau juga dikenal sebagai tokoh yang sangat peduli pada persoalan pluralisme di Indonesia, seperti yang beliau ucapkan dalam sambutan pelantikan pengurus INTI, hari senin 23 Januari 2006 yang lalu, dimana beliau mengatakan Perhimpunan INTI sebagai organisasi yang besar dan dipercaya oleh Masyarakat Tionghoa harus berupaya keras untuk mempersatukan diri dengan etnis lainnya dan turut andil dalam pembangunan negara. Beliau juga memuji perjalanan 6 tahun Perhimpunan INTI yang telah menyumbangkan berbagai macam aktifitas untuk mendukung masyarakat yang harmonis. Hasil amandemen ketiga UUD 1945, telah melahirkan sebuah lembaga yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), yaitu Mahkamah Konstitusi (Mahkamah) yang mempunyai kedudukan setara dengan
Mahkamah
Agung,
berdiri
sendiri,
serta
terpisah
(duality
of
jurisdiction) dengan Mahkamah Agung.
106
Apakah Mahkamah Konstitusi (MK)? MK merupakan salah satu lembaga negara
yang
melakukan
Kekuasaan
Kehakiman
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. MK berkedudukan di Ibukota Negara sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang posisinya sejajar dengan Mahkamah Agung. MK lahir setelah amandemen ke-3 dengan latar belakang beralihnya paradigma dari supremasi MPR ke Checks and balances. Ini merupakan konsekwensi dari demokrasi yang menganut rule of law dan rule of law yang demokratis. Diharapkan adanya konflik konstitusional yang tidak pas, diselesaikan oleh peradilan yang ada. Dalam hal ini putusan MK bersifat final, oleh karena itu dituntut untuk ekstra hati-hati. Di sini, pendapat Hakim Konstitusi belum tentu merupakan pendapat MK (dissenting opinion). Dalam menjalankan fungsinya mengawal konstitusi, berdasarkan Pasal 24C UUD Negara RI Tahun 1945 juncto Pasal 10 Undang-undang No. 24 Tahun 2003
tentang
Mahkamah
Konstitusi,
Mahkamah
mempunyai
4
(empat)
kewenangan dan 1 (satu) kewajiban dengan perincian sebagai berikut: menguji undang-undang
terhadap
UUD
(judicial
review),
memutus
sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD (disputes regarding state institution’s authority), memutus pembubaran partai politik (political party’s dissolution), dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (disputes regarding General Election’s result); dan wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (pemakzulan atau impeachment). Kehadiran MK ini telah menegaskan kembali lahirnya supremasi hukum. MK menguatkan, hukum ada di atas semua intrik politisi. Putusan MK
107
meneguhkan hukum telah menjadi panglima, bahkan atas politik yang selama ini menjadi tuannya. Adanya perbedaan interprestasi mengenai lembaga negara dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan. Oleh karena itu, lembaga ini harus membenahi diri, terutama untuk mengeluarkan sejumlah pedoman hukum acara yang terperinci. Adanya perbedaan interpretasi mengenai lembaga negara dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan. “ Kini yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan kewenangan yang dimilikinya saat ini, Mahkamah telah mampu menjalankan fungsinya untuk mengawal konstitusi termasuk di dalamnya terhadap basic rights atau fundamental rights setiap rakyat Indonesia? Terhadap hal tersebut, nampaknya masih terdapat satu hal mendasar yang masih mengganjal di benak para pencari keadilan, yaitu belum terbukanya fungsi Mahkamah selaku lembaga yang dapat menampung dan menyalurkan keluh kesah (personal grievance) atau pengaduan konstitusional sebagai upaya hukum yang luar biasa dalam mempertahankan hak-hak konstitusional bagi setiap individu warga negara, atau lebih dikenal dengan istilah constitutional complaint. Dan inilah yang kita butuhkan dari sikap keberanian dan keteguhan Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH, untuk selalu berani memperjuangkan kebenaran dan demokrasi dalam kerangka hukum. Seperti yang beliau cita-citakan dan rindukan selalu, agar UUD 1945 dapat menjadi living constitution dan pegangan bernegara, sehingga seluruh warga negara tahu hak dan kewajibannya menurut dan sesuai dengan konstitusi.
108
TAHUN EMAS : TAHUN PERTANGGUNGJAWABAN Ws. Budi S. Tanuwibowo, Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN)
Dua ribu lima ratus tahun yang lalu, Tian Zhi Mu Duo Kong Zi, Khonghucu, Khongcu atau Confusius pernah berkata, “Pada waktu berumur 15 tahun, sudah teguh semangat belajarku. Umur 30 tahun, tegaklah pendirianku. Umur 40 tahun, tiada lagi keraguan dalam pikiran. Umur 50 tahun, aku telah mengerti firman Tuhan. Umur 60 tahun, pendengaranku telah menjadi alat yang patuh untuk menerima kebenaran. Dan ketika umur 70 tahun, aku sudah dapat mengikuti hati dengan tidak melanggar garis kebenaran. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie memang bukan penganut agama Khonghucu. Beliau adalah seorang muslim sejak kecilnya. Namun seperti halnya Kong Zi, sejak usia belasan tahun ia sudah tekun belajar. Bukan sekedar teori, juga praktik. Baik praktik menjadi pemandu wisata gratis bagi turis-turis asing yang datang ke Palembang, maupun belajar berwirausaha. Mudah-mudahan dalam usia emas 50 tahun ini Prof. Jimly bisa memahami firman Tuhan. Hal ini sangat penting, mengingat posisinya yang vital dan menentukan di negeri ini. Sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, posisi Prof Jimly adalah penjaga gawang konstitusi kita. Tidak boleh ada satu produk perundang-undangan yang boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Tak boleh satu warga negara yang dirugikan hak-hak konstitusionalnya. Ini jelas bukan merupakan pekerjaan yang enteng. Tidak sekedar membutuhkan pemahaman hukum yang mendalam. Tidak sekedar perlu pemahaman menyeluruh tentang sejarah perjuangan
dan
cita-cita
pendirian
bangsa
dan
negara
Indonesia.
Juga dibutuhkan sebuah kesadaran iman bahwa Tuhan Sang Khalik Semesta
109
Alam, memang menciptakan Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang plural, majemuk dalam segala hal: suku, adat, budaya, bahasa dan agama. Konstitusi adalah dasar sebuah negara. Bila dasar itu kokoh, kita bisa berharap di atasnya dapat dibangun sebuah bangsa dan negara yang kokoh pula. Namun bila konstitusinya rapuh, maka sudah dapat dipastikan bangunan di atasnya akan rapuh pula. Konstitusi bagi sebuah negara yang bhinneka seperti Indonesia, harus bisa mewakili nafas dan semangat setiap anak bangsa. Tak boleh ada yang disisihkan. Tak
boleh ada yang diistimewakan.
Indonesia adalah sebuah negara modern. Negara yang lahir karena kesamaan visi, tujuan, dan cita-cita, bukan negara yang lahir karena kesamaan ras, bahasa atau agama. Dalam sebuah negara modern yang menghargai harkat dan martabat manusia, tidak boleh ada diskriminasi oleh negara. Tak ada dan tak boleh ada lagi istilah –dan apalagi tindakan- yang diskriminatif seperti : asli-keturunan, pribumi-non pribumi, mayoritas-minoritas, dan sebagainya. Dalam kacamata negara Indonesia hanya dikenal istilah warga negara dan bukan warga negara (orang asing). Disinilah pembedaannya. Siapapun dia, berasal dari etnis manapun, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, beragama atau tidak beragama, selama ia menjadi Warga Negara Indonesia, ia mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tak ada pembedaan. Inilah kiranya salah satu PR Prof. Jimly selaku orang yang mengemban amanat menjaga kelurusan konstitusi kita. Tanggung jawab di atas jelas tidak ringan. Namun dengan latar belakang pengalaman sejak kecil hidup di tengah-tengah masyarakat majemuk dan didasari keyakinan bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda dan berkaum-kaum, kita bisa berharap Prof. Jimly mampu mengemban amanat itu dengan sebaik-baiknya. Sosok sang ayah yang bisa diterima berbagai kalangan dan mampu menjadi rekonsiliator di kampungnya, setidak-tidaknya telah
110
terpatri dalam benak seorang Jimly sejak kecilnya. Diharapkan hal ini bisa menjadi
modal
baginya
untuk
ikut
berperan
serta
merajut
kembali
ke-Indonesia-an kita yang tengah terkoyak-koyak. Sosok Jimly kecil yang ulet menjual kantong plastik dan semangat belajarnya yang tinggi diharapkan mampu membangkitkan semangat baru bagi bangsa kita yang besar ini. Indonesia adalah bangsa yang besar, yang acap kali kurang yakin akan kebesarannya. Bangsa yang berpotensi raksasa namun acapkali mudah patah semangatnya. Ini jelas membutuhkan rekonstruksi pola rasa, pola pikir, pola juang dan pola tindak yang menyeluruh. Disini letak peluang bagi setiap pemimpin bangsa, termasuk Prof. Jimly, untuk mengambil peran. Ketika orang tuanya memberi nama Jimly Asshiddiqie, jelas bukanlah tanpa maksud. Jimly yang dalam lafal Han Yu Pin Yin mirip dengan Zhenli, sama maknanya dengan Asshiddiqie, yaitu : tahu, mengerti dan menjaga kebenaran, serta tahu, mengerti dan menjaga aturan. Tanpa disadari sejak awal, ketika sang orang tua memberi nama, Prof. Jimly sudah diharapkan agar kelak mampu menjadi orang yang tahu, mengerti dan mampu menjaga kebenaran dan aturan. Takdir kemudian menentukan bahwa yang harus
dijaganya adalah kebenaran dan
aturan yang paling mendasar bagi sebuah negara, yaitu konstitusi dari sebuah negara besar yang bernama Indonesia. Akankah Zenli Asshiddiqie ini mampu mengemban amanat orang tua dan juga harapan bangsanya? Marilah kita semua mendoakannya. Mudah-mudahan di ulang tahun emasnya ini seorang Zhenli benar-benar mampu mengerti firman Tuhan.
Mudah-mudahan
Prof.
Jimly
mampu
meyakini
bahwa
segala
kemajemukan yang dimiliki bangsanya ini adalah anugerah yang sangat besar bagi Indonesia. Mudah-mudahan ia mampu merajutnya menjadi sebuah simfoni yang indah dan megah. Sebuah nasihat bijak Kong Zi yang sudah berabad-abad lamanya, kiranya perlu menjadi bahan renungan kala usia menginjak 50 tahun. “Seorang Junzi (insan kami) tetap hidup rukun walaupun berbeda, sedangkan
111
Xiaoren (orang yang rendah budi) tidak bisa hidup rukun meskipun sama. Di empat penjuru lautan, hakikatnya semua manusia bersaudara”. Selamat ulang tahun emas saudaraku, Prof. Dr. Jimly Zhenli Asshiddiqie. Semoga ulang tahun emas ini bisa menjadi momen penting bagi sebuah pertanggungjawaban moral kepada Tuhan Sang Khalik Semesta Alam. Shanzai.
112
JADIKAN HUKUM DEKAT DENGAN RAKYAT* Pdt. Natan Setiabudi, Sth, PhD* Ketua PGI 2000-2005
Website itu dapat diakses dengan mudah. Kapan saja, dimana saja, 24 jam. Di dalamnya terdapat gambar-gambar interaktif dengan ulasan berita terbaru. Bahkan semua proses peradilan, hasil putusan dan detail gugatan bisa terbaca
dengan
jelas.
Itulah
website
Mahkamah
Konstitusi.
Dengan
mamanfaatkan teknologi terbaru, MK hadir sebagai satu-satunya lembaga negara yang paling ‘rajin’ meng-update berita seputar proses peradilan undang-undang. Sidang-sidang
MK
juga
terbuka
bagi
masyarakat
umum.
Proses
persidangannya selalu mendapat liputan pers dan putusannya dibagi-bagikan dengan bebas dan gratis. Pada awalnya banyak suara sumbang dari para ahli hukum yang tidak setuju. Mereka khawatir bahwa logika masyarakat yang tidak paham hukum dapat mencampuri proses hukum. Agaknya disini perlu kita pahami, bahwa kita hidup dalam masa serba transisi, dimana rasa keadilan pun berada dalam masa keadilan transisional. Keadilan di masa lalu telah melanggar rasa keadilan masyarakat dan karenanya menjadi jauh dari masyarakat. Rasa keadilan rakyat ini perlu dirumuskan ke dalam proses pembuatan produk-produk hukum seperti undang-undang sampai pada peraturan-peraturan lainnya. Karena itu mendengarkan suara rakyat menjadi sangat penting, supaya keadilan dapat mengembalikan rasa percaya rakyat kepada hukum. Proses persidangan yang sangat transparan dan mudahnya masyarakat memantau putusan-putusan MK, menjadi poin plus MK dalam membangun nation trust yang baru.
113
Saya sendiri mengenal Prof. Jimly pertama kali saat beliau belum menjabat sebagai ketua MK. Saat itu beliau mengatakan bahwa preambule (pembukaan) UUD 1945 harus menjadi sumber dari segala sumber hukum. Bila di dalam batang tubuh UUD 1945 ada yang tidak konsisten dengan pembukaan UUD 1945, maka hal ini harus berani diluruskan. Kala itu, saya amat terkesan dengan pendapat beliau. Saya setuju bahwa konstitusi harus dapat disesuaikan dengan perubahan zaman namun dapat tetap diandalkan menjadi satu pegangan yang tidak terseret zaman. Dengan terpilihnya Jimly sebagai Ketua MK, maka ada banyak harapan bahwa garis konstitusionalitas yang tadinya tidak tampak dalam struktur yudisial Indonesia, bisa mulai dibangun. Dengan garis konstitusional yang jelas, setiap undang-undang dan peraturan dibawah undang-undang yang sedang dan akan dibuat harus merujuk pada satu konstitusi yang disepakati bersama. Keberhasilan Prof. Jimly memenangkan suara dalam pemilihan ketua MK dan semangatnya dalam membuat sistem komunikasi massa yang sangat terbuka agaknya tidak lepas dari karakter nasionalis dan pemahaman akan pentingnya
trust
building
dalam
kehidupan
bernegara.
Dalam
sebuah
kesempatan yang unik, Prof. Jimly pernah mengundang saya untuk memberikan ceramah tentang puasa dari sudut pandang kristiani. Ceramah ini dibawakan saat pengajian berbuka puasa di kediamannya. Walaupun saya akui para peserta pengajian nampak agak kaget, namun dengan luwes Prof. Jimly memberi pengertian bahwa setiap agama juga mempunyai hari-hari puasa. Tidak ada salahnya mengetahui makna puasa dari sudut pandang yang berbeda. Saya menyambut undangan Prof. Jimly ini sebagai sesuatu hal yang baru dan berani. Hal yang sama juga beliau tunjukkan ketika saya bermaksud menerbitkan sebuah majalah bernuansa kristiani namun ditujukan untuk umum. Majalah ini
114
dimaksudkan untuk menyuarakan pandangan orang-orang Kristen terhadap berbagai permasalahan bangsa. Saya memilih judul ‘Suara Kristiani’ untuk majalah itu. Banyak rekan-rekan saya yang tidak setuju dengan judul majalah itu karena berbagai macam alasan, namun ketika saya diskusikan dengan Prof Jimly, dengan spontan beliau berkata, ”Jangan ubah judulnya. Kristen pun bagian dari negara ini, karena itu bersuaralah sepenuh-penuhnya”. Penghargaan Prof. Jimly dalam hal membangun konstitusionalitas yang benar juga tampak saat saya bersama-sama rekan pemuka agama lainnya (Pelaksana Harian Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Masdar F. Mas’udi, Sekretaris PP Muhammadiyah HM Goodwill Zubir, Sekretaris Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Sigit Pramuji, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) Budi S. Tanuwibowo, Sekjen Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) Prajnavira Mahathera, dan dari Prajaniti Hindu Indonesia, Jayamartha) menyampaikan Kerangka Kebersamaan Minimal (KKM). KKM dirumuskan menjelang pemilu untuk memberi masukan bagi capres dan cawapres tentang konsep penyelesaian bangsa ini. Dalam KKM terdapat empat butir kesepakatan yaitu tentang konstitusionalitas, simpul-simpul masalah transisional, pengukuran dan ukuran keberhasilan, dan strategi implementasi. Respon yang ditunjukkan Prof. Jimly saat itu sangat khas, dimana beliau terlihat sangat terharu dan menyatakan bahwa secara moral MK terikat dengan gagasan tersebut. Mencermati kiprah MK memasuki tahun ketiganya ini, MK telah memberi kesegaran dalam proses berdemokrasi di Indonesia. Keputusan-keputusan MK juga cukup berani, konstitusionalis dan bernuansa nasionalis. Walaupun dalam melangkah MK masih kerap terbentur dengan kewenangannya yang parsial, namun sebagai langkah awal MK sudah dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Kewenangan MK yang masih parsial dengan MA dalam hal constitusional complaint membuat ada sebuah missing link yang akan menyulitkan MK sendiri
115
untuk mewujudkan fungsinya secara penuh sebagai penjaga konstitusi. Hal yang masih kontroversi ini menjadikan hukum masih terasa asing bagi rakyat dan jauh dari rasa keadilan rakyat. Rakyat yang dalam kesehariannya lebih sering diombang-ambingkan dengan produk peraturan pemerintah, menjadi kelu saat MK
yang
mereka
percaya
tidak
berwenang
membela
ketidakadilan
konstitusional yang sampai saat ini masih dirasakan. Kiranya perlu ditekankan agar di masa yang akan datang, MK mempunyai sebuah strategic planning untuk dapat meluruskan semua produk hukum yang sudah semerawut di Indonesia ini. Karena bila prosedur yang ada seperti saat ini tetap dipertahankan tanpa memikirkan sebuah rencana jangka panjang yang lebih maksimal, MK akan menjadi tidak proaktif dalam mendekatkan hukum kepada masyarakat. Hal mendasar inilah kiranya yang perlu dipertimbangkan sebagai langkah ke depan MK untuk betul-betul menjadi penjaga dan penafsir konstitusi, penjaga demokrasi, pelindung HAM dan kerangka negara hukum.
* Dinarasikan berdasarkan wawancara dengan Pdt. Natan Setiabudi, Sth, PhD
116
SOSOK JIMLY ASSHIDDIQIE SEBAGAI KOMANDAN PENGAWAL KONSTITUSI RI Dr. Chandra Setiawan Mantan Ketua Umum MATAKIN (1998-2002) Anggota Komnas HAM Rasa penasaran saya untuk mengetahui lebih dalam sosok Jimly Asshiddiqie (JA), pertama ketika Komisi II DPR memberikan suara terbanyak kepada JA pada waktu pemilihan bulan Agustus 2003. Kemudian, ketika JA terpilih sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam hati kecil saya pasti JA tergolong istimewa. Alasannya mengapa sampai terpilih dengan suara terbanyak oleh DPR, dan mengapa JA yang dipilih
sebagai ketua MK?,
karena ditinjau dari segi usia, JA adalah termuda ke-2 di antara anggota MK yang berjumlah sembilan orang tersebut. Untuk menelusuri keistimewaan beliau itulah saya berusaha mengenalnya lebih dekat. Hal lain, saya merasa memiliki sedikit kesamaan dengan beliau, yakni setidak-tidaknya sama-sama berbintang Aries. Disamping itu tentu tugas-tugas beliau selaku Ketua MK bersinggungan pula dengan tugas saya selaku Anggota Komnas HAM. Selaku pengawal Konstitusi, beliau secara otomatis juga pengawal Hak Asasi Manusia di Indonesia agar senantiasa: dihormati, dilindungi, ditegakkan dan dimajukan. Rasa penasaran saya untuk mengenal lebih dekat dengan JA mulai terobati, ketika saya diundang oleh Mas Utomo Dananjaya agar ikut memberi ceramah bersama tokoh agama-agama dengan tema ”Puasa Perspektif Agama-Agama” di rumah dinas JA. Yaa, ketika itu bulan puasa, sehabis magrib, pada acara pengajian di bulan puasa. Saya memberikan ceramah pendek mengenai makna puasa menurut pandangan Agama Khonghucu. Tentu suatu kehormatan tersendiri bagi saya, mengingat pada waktu itu Departemen Agama belum secara terang-terangan menyatakan melayani umat Khonghucu sebagai
117
umat beragama. Beliau menyimak setiap uraian yang diberikan pemuka agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu). Dengan kedudukan beliau sebagai Ketua MK, membolehkan kegiatan tersebut dilaksanakan di rumah beliau, bagi saya merupakan keistimewaan tersendiri. Momentum tersebut mulai memberi keyakinan kepada saya, bahwa beliau tidak saja menguasai apa yang termuat di dalam konstitusi UUD 1945 secara kognitif, teoritis belaka, tetapi beliau mampu mengamalkannya. Pemahaman apa yang tersurat dan tersirat di dalam Konstitusi tentu tidak perlu diragukan dari seorang JA yang menamatkan S1, S2, S3
Fakultas Hukum di
Universitas Indonesia, tetapi pengamalannya didalam kehidupan sehari-hari yang juga bisa dilakukan dengan baik (konsisten, tanpa pandang bulu) itu merupakan keistimewaan yang tidak begitu saja dapat kita saksikan di negeri ini. Di dalam diri beliau terpancar keinginan yang kuat agar masyarakat Indonesia suatu saat dapat menjaga keseimbangan di dalam hidup ini, yakni memiliki pengetahuan yang memadai tentang Konstitusi yang berlaku di negara ini dan pentingnya menjunjung negara hukum yang ditunjukkan dengan perilaku di dalam kehidupan sehari-hari. Beliau merindukan Indonesia yang plural ini dapat saling menghargai perbedaan dan saling mencerdaskan. Beliau juga menganggap penting tentang pembudayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum dalam arti luas. Hal ini ditegaskan JA ketika memberikan sambutan tertulis pada waktu Perayaan Tahun Baru Imlek ke-2556 Tahun 2005 yang diselenggarakan oleh Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) beliau menyampaikan antara lain,”…. tiga agenda besar yang
harus
menjadi
perhatian
penting
dan
sangat
mendesak
untuk
dilaksanakan, yaitu: pembaruan dan penataan sistem hukum, pelaksanaan dan penegakan hukum, dan pembudayaan, pendidikan, dan komunikasi hukum”.
118
Untuk itu JA mengharapkan partisipasi aktif seluruh umat Khonghucu dalam pelaksanaan agenda di atas. Dalam kalimat yang lain, tetapi pada hakikatnya sama, kembali JA mengharapkan partisipasi umat Khonghucu, seperti disampaikan JA pada sambutan tertulis pada waktu Perayaan Tahun Baru Imlek ke-2557 Tahun 2006 yang
diselenggarakan
MATAKIN,
antara
lain
JA
menyampaikan,”….saya
menghimbau kepada seluruh umat Khonghucu untuk terus meningkatkan pemahamannya mengenai UUD 1945 agar dapat lebih optimal dalam menunaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai warga negara sekaligus memahami hak-hak konstitusionalnya sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Saya menyakini, jika umat Khonghucu dapat menjunjung tinggi konstitusi, maka umat Khonghucu telah memberikan sumbangsih besar dalam mewujudkan kehidupan yang damai dan penuh toleransi menuju terwujudnya Negara Hukum yang demokratis dan Negara Demokratis berdasar atas hukum”. Dapat dipastikan JA adalah sosok yang menaruh perhatian besar pada pendidikan, JA bahkan pernah berkeinginan memimpin Universitas Indonesia, walaupun belum kesampaian. Oleh karena itu, tak heran MK yang dipimpin beliau mengambil keputusan yang berani mengoreksi UU APBN, terkait dengan anggaran pendidikan dimana yang ditetapkan pemerintah untuk tahun 2006 baru-baru ini masih jauh di bawah ketentuan yang dipersyarakan konstitusi, yakni sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN (pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Saya sangat mendukung pendapat JA tentang perlunya ditegakkan 12 (dua belas) pilar utama yang harus ditegakan apabila satu negara hendak disebut sebagai Negara Hukum yang modern, yakni: •
Supremasi Hukum, pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara adalah konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi.
119
•
Persamaan dalam Hukum, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya merupakan sikap dan tindakan terlarang,
kecuali
untuk
“affirmative
actions”
bagi
kelompok
masyarakat yang benar-benar membutuhkannya. •
Asas Legalitas, bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
•
Pembatasan Kekuasaan, yakni dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain.
•
Organ-organ Eksekutif Independen, seperti Bank Sentral, organisasi kepolisian dan kejaksaan. Adanya Komnas Ham, KPU, Lembaga Ombudsman dan lain-lain.
•
Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, dalam menjalankan tugas yudisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena
kepentingan
jabatan
(politik)
maupun
kepentingan
uang
(ekonomi). •
Peradilan Tata Usaha Negara, di dalam negara hukum harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negera untuk menggugat keputusan pejabat administrasi negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara oleh pejabat administrasi negara.
•
Perlindungan Hak Asasi Manusia, adanya perlindungan konstitusional terhadap HAM dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil.
120
•
Bersifat Demokratis, dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan
kenegaraan,
sehingga
setiap
peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. •
Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara, yakni untuk meningkatkan kesejahteran umum melalui Negara Hukum.
•
Transparansi dan Kontrol Sosial, yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementar oleh peran serta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Kesediaan JA melalui Panitera di MK untuk menjawab surat MATAKIN
yang menanyakan eksistensi UU No. 1/PNPS/1965 jo.UU No. 5/1969 juga membawa arti tersendiri bagi saya pribadi dan umat Khonghucu Indonesia, karena selama ini seakan-akan eksistensi Khonghucu boleh diabaikan. Boleh jadi pernyataan MK yang menegaskan bahwa “UU di atas masih berlaku dan mempunyai
kekuatan
mendorong/mempercepat
hukum Menteri
Agama
mengikat”,
berkontribusi
RI
sikap
mengambil
untuk
mengeluarkan surat No. MA/12/2006, tertanggal 24 Januari 2006 yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan Nasional yang antara lain berbunyi,”…Departemen Agama melayani umat Khonghucu sebagai umat penganut agama Khonghucu”. Optimisme dan obsesi JA untuk membangun MK agar sesuai dengan harapan rakyat dan menegakkan konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam rangka perwujudan ide demokrasi dan prinsip negara hukum demi kehidupan
121
kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat, kiranya perlu didukung oleh semua elemen bangsa. Akhirnya saya menyampaikan Selamat Ulang Tahun ke-50 kepada Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H. sebagai komandan pengawal konstitusi (baca: Ketua Mahkamah Konstitusi) Republik Indonesia, semoga Tuhan Yang Maha Pengasih memberi anda berumur panjang, dan teruslah berkarya secara konsisten dengan penuh percaya diri seperti yang telah dilakukan selama ini.
122
Catatan Kecil Berinteraksi dengan Prof. Jimly Asshiddiqie Oleh Slamet Effendy Yusuf9
Sekitar tahun 80-an saya mulai mengenal Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie. Tentu saja waktu itu belum profesor dan belum doktor. Saya mulai mengetahui namanya ketika Jimly muda menjadi Ketua Pemuda Masjid Al Azhar, sebuah masjid besar dan berpengaruh yang terletak di wilayah elit Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Waktu itu tidak terlalu banyak saya ketahui fikiran dan pendapatnya, mungkin karena interaksi personal antara saya dengannya memang belum terlalu intensif. Ketika menjelang terbentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada awal 1990-an, kami sesekali bertemu termasuk ketika dia mengajak saya menjadi pengurus ICMI. Masuk menjadi pengurus ICMI buat saya tidak mudah karena Ketua Umum PBNU (saat itu) K.H. Abdurrahman Wahid (saya memanggil dia Mas Dur) pada waktu itu secara terbuka menyatakan tidak bisa ikut dalam kepengurusan ICMI. Padahal hampir seluruh tokoh
ormas Islam
dilibatkan dalam kepengurusan organisasi yang dilahirkan di Malang itu. Dalam perkembangannya ICMI kemudian dianggap sebagian kalangan mengembangkan sektarianisme. Uniknya kelahiran ICMI mendapat respon dari beberapa pihak yang secara tiba-tiba juga mendirikan organisasi sejenis, yakni organisasi cendekiawan yang berafiliasi paham nasionalis atau agama nonIslam. Seiring dengan itu organisasi cendekiawan bernafaskan agama non-Islam yang lebih dulu dari ICMI dan tidak banyak terdengar aktivitasnya, tiba-tiba muncul lagi dan berupaya bangkit lagi. Fenomena ini mengesankan adanya 9
Ketua Badan Kehormatan DPR RI dan Wakil Ketua Forum Konstitusi.
123
aspek reaktif pada diri sebagian kalangan cendekiawan kita. Mas Dur sendiri memelopori berdirinya Forum Demokrasi bersama-sama berbagai kalangan lain. Uniknya lagi tatkala ICMI secara politik redup, sayang organisasi–organisasi ini juga ikut meredup. Padahal ICMI walaupun telah tidak lagi memiliki power secara politik, tetapi tetap eksis sampai hari ini. Organisasi cendekiawan muslim ini tetap aktif menjalankan berbagai program peningkatan kualitas SDM dan pemberdayaan masyarakat sampai sekarang. Saya yang waktu itu masih menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) memilih untuk ikut bergabung di ICMI bersama dengan beberapa tokoh NU seperti Dr. Mohammad Thohir dan Ir. Salahuddin Wahid. Sebagai orang yang dengan sistematik ikut menanamkan nilai–nilai kebangsaan dan keagamaan melalui berbagai program di GP Ansor, saya sadar bahwa isu tentang adanya kelompok sektarian–eksklusif versus demokrasi–inklusif, amat tidak sehat. Tidak hanya itu, pengkategorisasian mengenai sektarian ini pun tidak tepat. Hal ini dapat dibuktikan dari visi dan misi ICMI dan berbagai program yang dijalankannya. Antara lain dikembangkan berbagai kerjasama dengan banyak organisasi keagamaan non-Islam serta program yang mencakup aspek kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan tanpa memandang perbedaan agama dan aspek primordial lainnya. Cukup banyak kegiatan yang dilakukan untuk membangun harmoni dengan berbagai kelompok agama non-Islam. Dalam konteks inilah terdapat peran yang signifikan dari Bung Jimly yang saat itu telah menjadi salah seorang motor ICMI karena banyak memiliki ide dan mengorganisir pelaksanaan ide tersebut. Pembuktian lainnya adalah pada saat ICMI berada di atas angin dan mendapat panggilan negara untuk mengirimkan beberapa tokohnya menjadi menteri. Nyatanya yang menjadi menteri justru mereka yang tidak punya latar belakang panjang dengan organisasi atau gerakan Islam, seperti Wardiman Djojonegoro, Haryanto Danutirto, dan Rahardi Ramelan. Atas dasar kenyataan
124
itu juga, anggapan dan tuduhan bahwa ICMI mengembangkan sektarianisme, sulit dicerna.
Sibuk berfikir dan bekerja Bung Jimly saya kenal sebagai orang yang tidak pernah berhenti untuk berfikir dan bekerja. Ketika menjabat sebagai Sekretaris Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Menteri Pendidikan Nasional), pekerjaannya segudang. Dengan sigap berbagai surat yang datang ke mejanya dengan cepat dia disposisi. Untuk hal–hal yang perlu arahan lebih jelas, ia panggil pejabat terkait untuk mendiskusikan masalah dan berbagai solusi atau tindak lanjutnya. Kemudian kalau sudah jelas duduk permasalahannya, dia minta segera diselesaikan. Kalau berkaitan dengan pihak di luar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional), ia dengan cepat menelepon mereka. Jika semua pekerjaan di depan matanya sudah selesai, yang sering saya lihat, ia duduk di depan komputernya. Lalu tekun menulis. Maka lahirlah secara cepat disertai doktoralnya. Sambil menyelesaikan disertasi bahkan beberapa buku juga ditulisnya. Karena itu tidak heran bila ia secara cepat merah gelar profesornya. Saya mengetahui hal ini karena sering mampir ke katornya di Dikbud. Salah satunya tempat kerja Prof. Jimly yang saya tidak sempat menginjakkan kaki adalah ketika Bung Jimly berkantor di Istana Merdeka. Ketika Prof. Jimly terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, beberapa kali saya mampir ke ruang kerjanya. Di sinipun saya menyaksikan hal yang sama: menyelesaikan tugas dan pekerjaan rutinnya, lalu setelah itu berfikir dan menuangkannya dalam buku. Itulah sebabnya, puluhan buku sudah dikarangnya. Seorang teman sering menganjurkan kepada saya untuk menulis buku tentang sesuatu momen dimana saya ikut terlibat. Teman itu juga mengatakan,
125
mengapa sampai seusia saya sekarang hanya menulis beberapa buku. Padahal kata teman saya itu tadi saya punya kebiasaan menulis. Biasanya saya menjawab: nggak sempat. Saya sibuk banget nih. Jawaban saya itu, menjadi asbun (asal bunyi) jika melihat apa yang dilakukan oleh Prof. Jimly yang sanggup membuktikan kesibukan bukan berarti kemandulan untuk punya karya cendekia : buku. Lebih membanggakan lagi, karangan–karangannya pantas dan telah menjadi buku teks di berbagai universitas.
Orang–orang Habibie Sejak pertengahan tahun 1998 reformasi bergulir setelah berhentinya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Muncul berbagai tuntutan yang arahnya adalah melakukan perubahan fundamental agar kondisi kehidupan berubah dari otoritarian ke demokrasi. Di antara banyak tuntutan itu antara lain amandemen UUD 1945; tinjau dwifungsi ABRI; dan tegakkan hukum dan hak asasi manusia. B.J. Habibie yang saat itu menjabat wapres kemudian naik menjadi presiden menggantikan kedudukan Soeharto. Pada saat B.J. Habibie menjabat presiden, ia memerintah masih dalam kerangka UUD 1945 sebelum diubah. Setidak-tidaknya menurut UUD, pada waktu itu Presiden masih memegang kekuasaan eksekutif [Pasal 4 ayat (1)] dan kekuasaan legislatif [Pasal 5 (1)]. Dengan
rumusan
pasal
yang
berbunyi
Presiden
memegang
kekuasaan
membentuk UU dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka posisi Presiden sangat kuat dalam pembentukan UU, sedangkan DPR dipandang orang sebagai “lembaga stempel”. Waktu itu, DPR diejek sebagai “stempel karet pemerintah”. Mengapa? Mungkin, pertama, karena publik melihat realitas kehidupan ketatanegaraan yang seperti itu. Tetapi yang kedua, jarang disadari oleh para
126
pengamat dan kritisi politik, bahwa keadaan itu sesungguhnya bersumber dari UUD 1945 itu sendiri. Sebagai akibatnya nyaris tidak ada inisiatif DPR dalam proses legislasi nasional. Semua RUU datang dari pemerintah dan DPR tinggal membahasnya saja. RUU seperti itu bisa dipahami pasti lebih mencerminkan kepentingan pemerintah daripada siapapun. Namun disinilah terbukti aspek kenegarawanan Presiden Habibie. Dengan memanfaatkan posisi Presiden yang kuat dalam hal legislasi itu, pemerintahan Habibie banyak mengusulkan cukup banyak RUU yang reformis dan demokratis. Dalam kaitan ini, peran orang-orang dekat Presiden Habibie pasti ikut mempengaruhi kebijakannya. Prof. Jimly dan Prof. Muladi adalah dua nama yang pantas disebut. Berbagai terobosan dilakukan. Sidang Istimewa MPR 1998 menjadi tonggak karena dari sinilah dimulai pelembagaan reformasi. Berbagai ketetapan MPR diputuskan dalam sidang MPR pertama di era reformasi, antara lain tentang Pemilihan Umum, tentang HAM, tentang Otonomi Daerah, dan tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Berbagai ketetapan MPR ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai UU. Semua tujuannya sama: menampung tuntutan reformasi dalam bentuk produk legislasi. Dengan cara begitu, tuntutan reformasi bukan hanya ada di dalam pamfletpamflet, spanduk, makalah seminar, atau teriakan di jalanan, tetapi terumuskan dalam UU yang menjadi kesepakatan kolektif dan menjadi ikatan bersama untuk dijalankan bersama.
Sebuah “krenteg” hati Salah satu milestone perubahan fundamental sebagai buah reformasi adalah dilakukannya perubahan UUD 1945. Sidang Tahunan MPR 1999 menjadi awal dari perubahan besar itu. Pada saat itu kekuasaan Presiden dikurangi, yakni ketika kekuasaan membentuk UU dialihkan dari Presiden ke DPR. Masa jabatan seorang Presiden juga dibatasi. Tidak boleh terus menerus, tetapi
127
hanya boleh memegang jabatannya maksimal dua periode saja. Hebatnya, Presiden Habibie, yang sedang berkuasa dan juga menjadi Koordinator Penasehat Partai Golkar, tidak berupaya untuk menghalangi proses perubahan yang dapat mengurangi kekuasaan Presiden. Dalam proses perubahan itu, kami yang menjadi anggota Panitia Ad Hoc I 9PAH I) Badan Pekerja (BP) MPR yang bertugas mempersiapkan rancangan perubahan UUD 1945 juga meminta masukan dari para pakar dari berbagai disiplin ilmu, termasuk hukum tata negara. Mereka kemudian kami tetapkan sebagai Tim Ahli. Masukan mereka sangat bermanfaat dan membantu kami ketika kami menyusun suatu rumusan, selain ide-ide yang kami peroleh dari studi mandiri, diskusi internal partai politik, dan studi banding. Walaupun demikian, keputusan sepenuhnya mengenai suatu rumusan perubahan UUD 1945 berada di tangan PAH I BP MPR. Salah satu pakar yang tergabung dalam Tim Ahli tersebut adalah Prof. Jimly yang “wong Baturajo” atau wong kito galo” tersebut. Masukan-masukan yang komprehensif sering disampaikan, baik dalam rapat-rapat PAH I BP MPR ataupun dalam pembicaraan informal dengan kami. Salah satu masukan yang berharga darinya adalah ketika PAH I BP MPR membahas Bab Kekuasaan Kehakiman, khususnya tentang Mahkamah Konstitusi. Prof. Jimly bukan hanya mengemukakan pendapat-pendapatnya, tetapi juga membawakan kepada kami bahan-bahan tertulis yang berisi kumpulan konstitusi berbagai negara yang memasukkan mahkamah konstitusi dalam struktur ketatanegaraannya. Ini tentu saja sangat berguna dan melengkapi pengetahuan yang sudah kami peroleh mengenai mahkamah konstitusi dalam praktek ketatanegaraan yang kami lihat di berbagai negara saat studi banding maupun yang kami dapatkan dari penelusuran pustaka secara mandiri. Ketika kami menyimak pengetahuannya yang luas mengenai Mahkamah Konstitusi, sambil merumuskannya ke dalam Rancangan Perubahan UUD 1945,
128
saya pernah membisikkan seorang teman: “nanti kalau Mahkamah Konstitusi benar-benar terbentuk, inilah orang yang pantas ada di dalamnya, bahkan memimpinnya”. Alhamdulillah, ternyata krenteg hati itu ternyata menjadi kenyataan, Prof. Jimly lulus menjadi hakim konstitusi dan kemudian terpilih menjadi ketuanya. Prof. Jimly saat itu konon mau diusulkan oleh Presiden, tetapi ia lebih memilih diusulkan oleh DPR sebagai calon hakim konstitusi. Sebagaimana kita ketahui, hakim Mahkamah Konstitusi berjumlah 9 orang terdiri dari 3 orang diusulkan oleh DPR, 3 orang diusulkan oleh Presiden, dan 3 orang lagi oleh Mahkamah Agung. Dalam hubungannya dengan DPR dan Pemerintah, sekarang MK sering membatalkan atau mengoreksi sebuah UU atau bagian dari UU. Saya sering mendengar argumentasi bagaimana 9 orang hakim konstitusi bisa menentukan nasib sebuah UU yang disetujui 550 orang anggota DPR bersama Presiden yang dipilih langsung oleh jutaan rakyat. Argumentasi itu terlalu menyederhanakan masalah seolah-olah masalahnya terletak pada jumlah orang yang memutuskan. Padahal bukan karena itu. Setiap orang, setiap lembaga negara menjalankan fungsi dan wewenangnya sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh UndangUndang Dasar dan Undang-Undang. Karena itu ketaatan terhadap keputusan suatu lembaga negara bukan disebabkan sedikit banyaknya orang yang memutuskan, tetapi dikarenakan wewenang yang dimiliki oleh si pembuat keputusan.
Selalu ada caranya Selama
saya bergaul dengan Prof. Jimly, saya sering menemukan
momen-momen yang menunjukkan ia adalah persona yang dapat merumuskan jalan keluar terhadap setiap problem. Ingin contoh? Di PAH I BP MPR sejak awal perubahan UUD tercapai kesepakatan bahwa Penjelasan UUD 1945 akan dihapus dan hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Ini
129
dilakukan atas berbagai pertimbangan dan alasan. Ada yang mengemukakan tentang asal usul Penjelasan. Ada juga yang beralasan bahwa tidak lazim UUD memiliki Penjelasan. Penjelasan atau penjabaran UUD seharusnya ada pada UU. Ada juga argumentasi karena Penjelasan mengandung problem pemikiran kenegaraan yang tidak compatible dengan demokrasi dan kepastian hukum. Walhasil, Penjelasan UUD 1945 dihapus saja dan dinyatakan tidak berlaku. Lalu di mana putusan semacam itu dicantumkan? Ada yang usul dinyatakan saja di Aturan Tambahan bahwa sesudah perubahan UUD 1945, maka Penjelasan tidak berlaku. Maka muncullah perbedaan yang cukup tajam, ada yang berpendapat kalau bahasa rumusannya seperti itu maka akan menyinggung perasaan mereka yang selama ini memahami Penjelasan UUD 1945 sebagai warisan para founding fathers yang harus dihormati.Agak lama perdebatan terjadi. Prof. Jimly sebagai anggota Tim Ahli mengusulkan agar tidak menggunakan bahasa negatif, tetapi pakai kalimat positif. Lalu iapun mengusulkan agar rumusannya berbunyi: “Setelah Perubahan Keempat UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal”. Usulan ini langsung disambut dan disetujui para anggota PAH I BP MPR. Selesailah perdebatan panjang itu. Itu hanya salah satu contoh. Terlalu panjang bila saya tulis di sini berbagai pengalaman saya dengan Prof. Jimly untuk menunjukkan kreativitas tokoh ini. Ia sering menggagas jalan keluar atas masalah yang muncul dan gagasannya itu dapat diterima oleh semua kalangan, baik yang pro maupun kontra.
MK harapan kita Mahkamah Konstitusi (MK) hari-hari ini terus melaksanakan tugasnya untuk menjaga konstitusi. Sebagai lembaga negara yang sering disebut sebagai
130
the guardian of the constitution, MK memang belum lama dibentuk. Namun demikian kiprahnya telah dirasakan dan eksistensi dirinya mulai nampak. Telah cukup banyak permohonan pengujian undang-undang yang diputus. Demikian pula telah ada perkara sengketa kewenangan antarlembaga negara yang diputus. MK juga telah memutus banyak perkara mengenai perselisihan hasil Pemilu 2004 tanpa ada gejolak berarti. Kita patut bergembira karena praktek seperti ini diharapkan akan menjadi
bagian
dari
pembentukan
tradisi
baru
dalam
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konflik dan perkara yang berbobot politik dan kenegaraan hendaknya diselesaikan melalui mekanisme hukum yang telah tersedia, yakni melalui MK. Tidak lagi diselesaikan melalui lobi-lobi politik yang bersifat memenuhi kepentingan jangka pendek atau anarki yang merusak. Seiring dengan itu, publikasi putusan-putusan MK baik di media massa maupun didistribusikan dalam bentuk cetak akan menjadikan isi putusan itu sebagai sebagai bagian dari public education, khususnya civic education, yang bermanfaat untuk mendorong peningkatan kedewasaan masyarakat dan mencerahkan pemikiran kita semua. Sebagai Ketua MK, Prof. Jimly telah membawa lembaga yang merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman menjadi institusi yang prestisius karena putusan-putusannya yang bermutu. Dan hal itu merupakan bagian dari perjuangan kita semua untuk memantapan konstitusionalisme dalam tatanan kenegaraan
dan
terwujudnya
budaya
sadar
berkonstitusi
di
kalangan
penyelenggara negara dan warga masyarakat. Oleh karena UUD 1945 sekarang pada hakekatnya merupakan sumbu utama dalam proses pembaruan menuju negara yang demokratik, maka pelaksanaan UUD 1945 menjadi hal yang penting. Ketika UU organik menjadi dasar normatif dalam memaknai konsitusi, maka MK makin besar peranannya ke depan untuk menjaga agar jiwa UUD 1945 tidak dikesampingkan dan UUD 1945
131
harus dijalankan sepenuh-penuhnya. Apalagi ketika muncul kecenderungan mulai terjadinya konsolidasi kekuatan anti reformasi di tanah air, maka MK menjadi tumpuan harapan agar transformasi dan reformasi tidak berhenti di tengah jalan. Bung Jimly, di tengan Anda dan teman-teman di MK, harapan itu diletakkan. Insya Allah untuk kebaikan, selalu ada jalan. Wallahu a’lam bisshawab.
Semarang, 8 April 2006
132
JIMLY ‘ZHENG LI’ ASSHIDDIQIE KEBENARAN YANG ARIF DAN BIJAK Haris Chandra Ketua Bidang Humas, Pemuda dan Olahraga Perhimpunan INTI
Beberapa filsuf pernah berkata, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua sudah diatur sebagaimana adanya oleh Sang Kuasa. Rasanya hal ini tepat sekali bila kita menengok perjalanan hidup Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie., S.H., M.H. Mulai dari pergulatan masa kecilnya, faktor ‘kebetulan’nya dalam mengambil mata kuliah hukum, perjalanan kariernya, sampai arti dari namanya. “Jimly” dalam Bahasa Mandarin bisa dilafalkan “Zheng Li” (baca : Ceng Li) yang berarti kebenaran yang arif dan bijak. Uniknya “Asshiddiqie” dalam Bahasa Arab juga mempunyai arti yang sama yaitu adil, jujur, dan bijaksana. Karakter-karakter inilah yang wajib dimiliki seorang hakim. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, dimana penegakan hukum kini menjadi salah satu syarat mutlak berjalannya demokrasi. Kesan pertama yang muncul saat pertama kali bertemu Jimly adalah kerendahatiannya. Walaupun kami belum saling kenal waktu itu, dan Jimly adalah pejabat tinggi negara yang super sibuk, kami disambut dengan sangat baik seperti kawan lama saja. Sama sekali tidak ada kesan ‘angker’ pejabat. Ternyata karakter beliau ini juga tercermin dalam aktivitas Mahkamah Konstitusi, yang sangat terbuka dan bebas diakses oleh masyarakat. Dalam pertemuan pertama itu kami mendiskusikan banyak hal, mulai dari masalah pendidikan, pluralisme, multikulturalisme, sampai sosialisasi lembaga yang dipimpinnya. Banyak buah pemikiran Jimly yang sangat baik
133
untuk kemajuan pendidikan dan penegakan hukum di Indonesia. Indonesia yang sedang kita perjuangkan bersama-sama untuk bangkit memang memerlukan banyak perubahan, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Dan ini memerlukan kerjasama dari semua pihak. Masyarakat Indonesia Tionghoa kini juga mempunyai banyak kesempatan untuk berperan lebih bagi kemajuan Indonesia. Kita bisa melihat banyaknya generasi muda yang terjun di bidang hukum, politik, penelitian sosial dan lain sebagainya. Selain menikmati kebebasan berekspresi dalam bidang budaya dan bahasa, masyarakat Indonesia Tionghoa kini juga mempunyai kesempatan untuk lebih banyak berpartisipasi dalam menangani pelbagai kesulitan bangsa ini. Dengan bangkitnya perekonomian China, masyarakat Indonesia Tionghoa diharapkan juga dapat memanfaatkan kelebihannya dalam kemampuan berbahasa Mandarin dan talenta bisnisnya untuk memajukan usaha kecil masyarakat dan koperasi. Seperti yang kita ketahui, Indonesia sangat berpotensi membuat berbagai kerajinan tangan dan mempunyai sumber pariwisata yang sangat indah. Dengan akses distribusi yang dimiliki pengusaha Indonesia Tionghoa, seharusnya bisa terjadi sinergi yang baik. Namun harus pula kita sadari bahwa dunia usaha dan pariwisata pun memerlukan dukungan politik dan hukum yang baik, karena kepastian hukum dan politik akan berdampak pada kestabilan dan keamanan dalam berusaha. Kita pun dapat belajar banyak dari China. Masyarakat China adalah masyarakat yang rajin, pandai berhemat dan ulet. Walaupun kepandaian mereka tidak terlalu menonjol, tapi kerja keras dan kekompakan masyarakat mereka ternyata mampu membangkitkan perekonomian China. Satu hal lagi yang mengesankan dari China adalah kepedulian mereka terhadap pendidikan rakyatnya. Bila kita melihat pelosok-pelosok China yang masih miskin dan kumuh, akan ada satu bangunan yang mewah. Itulah sekolah-sekolah yang
134
dibangun pemerintah utntuk memberi pendidikan gratis pada rakyat China sampai tingkat SMU. Bila Indonesia bisa bersatu dan bersinergi, mengutamakan kepentingan bersama dan tidak terjebak pada perbantahan tentang perbedaan, membenahi diri dari korupsi dan memanfaatkan sumber daya alam dengan benar, pasti Indonesia bisa mengejar ketinggalannya. Disini kualitas manusia memegang peranan penting. Karena kualitas manusia adalah kunci utama sebagai bangsa yang diperhitungkan. Dan membangun kualitas manusia tidak lain adalah dengan pendidikan. Mungkin bisa dikatakan bahwa kita sekarang sedang berada dalam kurun waktu pain of growth. Bangsa kita merasakan banyak rasa sakit, banyak gejolak. Namun ini adalah bangian dari pertumbuhan, air mata dari perubahan, yang kita yakini bersama akan menuju pada Indonesia yang lebih baik. Kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari perubahan itu kiranya benar-benar mampu memfungsikan seluruh kewenangannya. Demi penegakan hukum di Indonesia, Mahkamah Konstitusi harus dapat mengambil peran sebagai ‘wasit’ independen yang membuat putusan-putusan bagi rakyatnya dengan semangat yang terbaik untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu keutuhan bangsa Indonesia. Memasuki usianya yang ke-50, dengan karakter, pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya, Prof. Jimly Asshiddiqie masih bisa memberikan banyak sumbangsih bagi kemajuan Indonesia. Ibarat pepatah mengatakan, umur 50 tahun adalah awal bagi kehidupan baru seorang pria, saya yakin Prof. Jimly adalah sosok yang akan menjadi pemimpin sekaligus teman yang baik untuk menggerakkan angin baru bagi konstitusi Indonesia. Selamat Ulang Tahun ke-50, Sahabatku.
135
Penutup Membaca kisah perjalan hidup seseorang, akan banyak ditemui romantika hidup. Siapapun tidak tahu, kelumit perjalanan yang kita baca itu ternyata kadang sanggup memberi inspirasi. Di kala beban hidup memuncak, tekanan pekerjaan juga tidak mengenal kompromi, persoalan kehidupan tidak juga terurai, dengan membaca biografi, bukan tidak mungkin perlahan beban itu mencair. Sekelumit kisah perjalanan Prof. Jimly Asshiddiqie yang dengan kerelaan penuh bersedia diungkap kepada khalayak pembaca buku ini, sekalipun sedikit, bolehlah mengarah dan dimaksudkan ke situ. Sosok Jimly pantaslah dijadikan teladan. Bagi remaja yang sedang mencari jati diri, membaca kisah pada saat Jimly remaja, siapa tahu akan memberi masukan yang baik. Di usia remaja, Prof. Jimly sudah akrab dengan bule dan tidak ada sedikitpun mengenal kata minder berceloteh Bahasa Ratu Elisabeth itu. Ingat, ia bukan anak kolong yang hidupnya bergelimang fasilitas. Ayahnya hanya guru, sementara ibunya berdagang. Ia pun membantu orang tuanya dengan tekun. Setiap pagi ia selalu ditemani sepeda yang digenjotnya kuat-kuat agar segera sampai ke pasar. Di sana plastik dagangannya sudah dinanti para penjual roti. Begitu juga, bagi orang dewasa pemula yang hendak mandiri dalam arti sebenarnya, figur Jimly muda tidak ada salahnya dicontoh. Bagaimana ia dalam keterdesakannya
mampu
survive,
bekerja
sambil
giat
belajar
untuk
menyelesaikan studi. Tidak hanya itu, ia juga memiliki kiat dalam mencari pasangan hidup. Kiranya, bagi Jimly pacaran terindah adalah dengan istri dan di kala menjadi pengantin baru. Bagi individu yang gemar berorganisasi, Prof. Jimly kiranya juga bisa dijadikan salah satu model. Pun bagi para penggemar catur, sosok Ketua MK ini juga seorang penggemar catur. Keluarganya akrab dengan permaianan ini. 136
Belum lagi bicara tentang keahlian yang dimiliki Buru Besar Universitas Indonesia (UI) ini. Ia adalah salah seorang pakar Hukum Tata Negara yang ada di Indonesia. Dedikasinya yang begitu kuat dalam kajian Tata Negara, hingga membawanya secara tajam mengupas Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga kenegaraan yang sebelumnya tidak dikenal dalam ketatanegaraan RI. Dialah di antaranya yang getol menegaskan pentingnya MK eksis di negeri ini. Selain kepakarannya tidak diragukan lagi, ia adalah sosok pekerja keras. Untuk yang ini bisa disaksikan sendiri bagaimana kondisi MK sekarang ini. Sekalipun sebagai lembaga baru, MK mulai mendapat tempat tersendiri di mata pencari keadilan konstitusional. Putusan-putusannya sudah menjadi rujukan, dan minim menimbulkan kontroversi. Di samping ada kelemahan di sana-sini, posisi, kalau tidak boleh dibilang prestasi, ini sebagai lembaga baru tentu menghadirkan kesan tesendiri. Karena itu, selain untuk lebih menyebarluaskan keberadaan MK kepada lebih banyak khalayak, tidak berlebihan juga kiranya, di Ulang Tahun Prof. Jimpy yang ke-50, setengah abad ini, buku Setengah Abad Jimly Asshiddiqie ini dihadirkan. Selamat Ulang Tahun Prof. Jimly!
137
Daftar Pustaka
“Nasib Pendidikan di Daerah”, Jimly Asshiddiqie, Center of Law Information. “Peranan Mahkamah Konstitusi Sebagai Penjaga”, Azhar, Inovasi Online, Edisi Vol.5/XVII/November 2005. “Mahkamah Konstitusi Unjuk Gigi”, John Fresly, Inovasi Online, Edisi Vol.5/XVII/November 2005. “Satu Tahun Usia Mahkamah Konstitusi”, Denny Indrayana, Kompas, 12 Agustus 2004. “Mahkamah Konstitusi Bisa tentukan Nasib Presiden”, Refli Harun, Perspektif Baru, 22 November 2004. “Bermodal Tiga Lembar Kertas”, Republika, 11 Januari 2004. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2003, Profil Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Periode 2003-2008, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta _______,2003, Blue Print Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta _______, 2005, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta Wawancara dengan Jimly Asshiddiqie, tanggal 6 dan 25 Maret 2006
138