SOSOK
Jepretan Rianto Warnai BPK Dunia dokumentasi sudah digeluti oleh Riyanto sejak lama. Berbagai pengalaman mengabadikan aktivitas ketua BPK menjadi bagian penting dalam hidupnya. Mengapa sampai dia dipanggil oleh J.B Sumarlin?
72
72 - 73 sosok.indd 72
JUlI 2011
S
etelah lulus STM (Sekolah Teknik Menengah) Jurusan Listrik pada tahun 1978, Rianto muda bekerja di sebuah perusahaan produksi film. Sebagai asisten kameramen dan asisten penata cahaya. Di sinilah dia mulai mengenal dunia dokumentasi. Sekitar setahun kemudian, dia mencoba peruntungan dengan mendaftar ke BPK. Lembaga negara ini membuka pendaftaran pegawai baru bagi lulusan sekolah lanjutan tingkat atas kejuruan teknik. Pada Warta BPK
8/26/2011 12:31:43 PM
1980, dia diterima sebagai pegawai honorer. Ditempatkan di Biro Umum. Setahun kemudian, diangkat calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang akhirnya status resmi pegawai negeri sipil pun diraihnya. Pada saat bertugas di Biro Umum, pria kelahiran 7 Februari 1957 ini mengikuti berbagai pendidikan, diantaranya pendidikan verifikatur, penilik dan pemeriksa muda. Pendidikan tersebut masih diikutinya setelah ia tidak lagi di Biro Umum. “Pendidikan itu hanya untuk tenaga teknis saja, tetapi saya tidak berminat untuk ke bidang pemeriksanya, walau saya ditawari untuk menjadi pemeriksa. Saya cinta dengan profesi saya sebagai fotografer. Jadi, profesi saya tetap sebagai kameramen dan fotografer,” ucap Rianto. Pada 1983, dia ditempatkan di Biro Humas. Nah, dari sinilah dunia dokumentasi tak lagi bisa menjauh. Setelah menjalani pendidikan sinematografi dan fotografi, pekerjaannya sehari-hari mendokumentasikan kegiatan BPK dengan kamera video dan kamera foto. Namun, secara berangsur-angsur, penggunaan kamera video dikurangi, kamera foto lebih dominan sampai saat ini. Sayangnya, pekerjaan yang disukainya itu tak berjalan mulus. Pada masa kepemimpinan M. Jusuf, ia terpinggirkan, karena M.Jusuf membawa juru dokumentasi sendiri dari Departemen Pertahanan dan Keamanan, institusi yang dipimpin sebelumnya. Ia hanya sebagai asisten saja. Dengan situasi dimana tidak dipercaya penuh sebagai juru dokumentasi, akhirnya Rianto memutuskan mencari pekerjaan sambilan. Dengan sertifikat sinematografi yang didapat selama pendidikan di TVRI, dia diterima di sebuah production house, sebagai pekerja paruh waktu. Setelah M. Jusuf digantikan J.B. Sumarlin pada 1993, apa yang diharapkannya terwujud. Dia menjadi juru dokumentasi utama di BPK. Kemana-mana, selalu mengikuti kegWarta BPK
72 - 73 sosok.indd 73
iatan B.J. Sumarlin, dan kegiatan BPK lainnya. Meski begitu, Rianto pernah merasa terkejut ketika suatu saat dipanggil menghadap Sumarlin. Di satu sisi, panggilan ini sebagai bentuk kepercayaan penuh dari Ketua BPK, di sisi lain, dirinya bertanyatanya, ada apa sampai diminta untuk menghadap pimpinan BPK. Ternyata panggilan itu terkait dengan ketidakhadirannya dalam mendokumentasikan kegiatan Ketua BPK di Istana Negara. Alhasil, setelah kejadian itu, dia tidak pernah lagi absen dari kegiatan dokumentasi di BPK pada era J.B. Sumarlin. Tidak hanya kegiatankegiatan BPK, dia juga diminta untuk mendokumentasikan acara pernikahan tiga anak J.B. Sumarlin. Suatu kepercayaan yang membuat bangga dirinya.
Mendapat Teguran
Pekerjaannya sebagai fotografer kepercayaan pimpinan ternyata kembali terusik. Ketika J.B. Sumarlin digantikan Satrio Budihardjo Joedono. Pasalnya, BPK tak banyak mengadakan kegiatan. Kalaupun ada hanya lebih banyak pada kegiatan kehumasan dan kegiatan pimpinan BPK. Kondisi ini, kurang lebih sama saat masa kepemimpinan M. Jusuf. Hanya berbeda cerita. Satrio Budihardjo Joedono dikenal sebagai orang yang tak banyak neko-neko. Tidak terlalu tertarik dengan dokumentasi dan tak banyak kegiatan seremonial. Ini berimbas pada pekerjaan utama Rianto. Dia lebih banyak ‘menganggur’. Oleh karena itu, diapun kembali mencari kerja sambilan. Kembali, pria asli Sukabumi ini diterima sebagai tenaga lepas di sebuah production house. Mengisi hari-hari dengan kegiatan plus menambah penghasilan. Rupanya, pekerjaan sampingan ini membuat waktu kantornya tersita. Dia seolah-olah lupa bahwa dirinya pegawai negeri. Namun, memang tak banyak yang bisa dilakukan di BPK. Rianto pun sibuk dengan
pekerjaan sambilannya di production house. Absen dari kantor sering dilakukan. Akhirnya, ia mendapat teguran. Bahkan, dipaksa harus memilih satu pekerjaan: tetap di BPK atau keluar dari BPK. Tak mau kehilangan status pegawai negeri, ia akhirnya memilih untuk tetap bekerja di BPK. Tempat kerja menyambinya pun ditinggalkan. “Saya keluar dari kerja sampingan, karena mendapat teguran. Selama 58 hari nggak masuk. Saya disuruh menentukan pilihan, mau di BPK atau tidak. Setelah berpikir, saya memilih untuk tetap di BPK. Akhirnya pekerjaan di luar, saya tinggalkan,” kenang Rianto. Masa ‘menganggur’ tak lama kemudian berlalu. Anwar Nasution masuk menggantikan Satrio Budihardjo Joedono. Pada masa Anwar Nasution, ia kembali dipercaya penuh menjadi fotografer BPK. Bahkan, Sekjen BPK pada saat itu, Dharma Bahkti, untuk pertama kali, membelikannya kamera DSLR. Walau banyak berkutat dengan kamera SLR manual, tetapi dia tak canggung dengan kamera DSLR. Sebab, Rianto banyak belajar pada rekan sejawatnya, sesama fotografer instansi pemerintah yang lebih dulu memiliki dan menggunakan DSLR. Selain menjadi fotografer kepercayaan pimpinan, dia juga kerap diminta untuk mendokumentasikan kegiatan-kegiatan di luar kegiatan dinas. Tak jauh beda dengan kondisi pada masa kepemimpinan J.B. Sumarlin. Kepercayaan BPK kepadanya untuk mendokumentasikan kegiatankegiatan terus berlangsung hingga masa kepemimpinan Hadi Poernomo saat ini. Mungkin, pada masa Hadi Poernomo inilah Rianto terakhir mengabdi sebagai fotografer BPK. Pasalnya, tahun depan dia memasuki masa pensiun. Namun, setelah pensiun pun, dunia fotografi tak akan ditinggalkannya. “Saya jalan terus, nggak mau pensiun,” canda Rianto. and JULI 2011
73
8/26/2011 12:31:44 PM
Resensi Buku
Sisi Humanis The Smiling General
G
erakan 30 September 1965 (G 30 S) merupakan peristiwa terkelam yang pernah terjadi sejak Indonesia merdeka. Pembunuhan tingkat tinggi, sampai pemusnahan masyarakat yang terkait dengan PKI. Ujungnya, Presiden Soekarno dilengserkan. Namun, bagi Pangkostrad Mayjen Soeharto, ini bagai blessing in disguised. Beberapa atasannya, seperti Letjen. Ahmad Yani termasuk korban gerakan itu, sementara Jenderal A.H. Nasution tak punya kekuasaan lagi. Rekan yang sama kedudukannya, malah diberangus. Sementara, Soeharto terus naik menjadi jenderal dalam tempo sangat singkat. Mulai menapak tangga kekuasaan setelah Presiden Soekarno memberikan kekuasaan penuh menjaga kondisi sosial, politik, dan keamanan melalui Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang kemudian menjadi kontroversial itu. Akhirnya, Sang Jenderal naik tahta menggantikan Presiden Soekarno pada 1967 melalui Sidang Istimewa MPRS. Sekitar setahun kemudian, dia resmi diangkat sebagai Presiden. Begitu cepatnya karier Jenderal Soeharto sampai memegang tampuk pemerintahan, tak lain karena adanya peristiwa G 30 S tersebut. Dari sini pula, terjadi pembersihan massal terhadap masyarakat yang terkait dengan PKI, partai yang dianggap pada waktu itu menjadi dalang G 30 S. Tak heran, jika setelah lengser, banyak orang yang menduga bahwa Soeharto ada di balik peristiwa itu. Atau, setidaknya, terkait langsung dengan peristiwa tersebut. Pada masa akhir kepemimpinannya, menjadi masa kelabu bagi per-
74
JULI 2011
74 - 75 resensi buku.indd 74
jalanan hidupnya. Berbanding terbalik ketika tahun 1965-an. Demonstrasi besar-besaran pada periode 1997-1998 menuntut reformasi total. Kemudian hal inilah yang membuat dia lengser keprabon. Tuntutan reformasi total pun bercabang. Presiden Indonesia yang berkuasa paling lama ini juga dituntut karena praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sudah berurat akar sejak kepemimpinannya, yang juga melibatkan keluarganya sendiri.
Belum lagi masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Jika sebelumnya ia diibaratkan from zero to hero, pasca reformasi dia malah menjadi from hero to zero. Sosok yang pernah berjuang di samping Panglima Besar Soedirman di awal kemerdekaan, Panglima Trikora pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, pada saat pembebasan Irian Barat dari tan-
Warta BPK
8/26/2011 12:33:02 PM
gan Kolonial Belanda, kini dilupakan karena kekuasaan lama yang melenakan. Seperti halnya manusia umumnya, Soeharto tentu memiliki dua sisi yang bertolak belakang. Di satu sisi terdapat hal yang buruk. Di sisi lain, menampilkan sisi yang baik. Sungguh elok jika sisi baik yang lebih dimunculkan. Walau tetap membumi, tanpa maksud mendewa-dewakan. Ini pula yang coba digambarkan buku berjudul: Pak Harto, The Untold Story. Buku yang muncul atas insiatif anak pertama Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana ini, menampilkan sosok penguasa yang humanis yang sudah nampak di sampul depan buku! Jika Anda melihat sampul depan buku ini, sisi humanis seorang Soeharto sudah mulai ditonjolkan. Seorang penguasa yang tengah duduk berselonjor di atas tanah. Punggungnya menyandar pada pagar kayu. Menerawang jauh, sambil menikmati cerutu yang terselip di antara jari tengah dan telunjuk tangan kirinya. Foto semacam itu, akan banyak ditemui dalam isi buku. Buku yang disusun oleh lima penulis ini menampilkan serpihan-serpihan cerita pendek dari 113 narasumber yang pernah secara langsung maupun tak langsung, berhubungan dengan Soeharto. Terangkum membentuk satu melodrama tebal yang tak pernah diceritakan sebelumnya. Isinya memunculkan citra Soeharto seorang pemimpin negara yang luar biasa, ramah, bersahabat dan tetua di kawasan Asean seperti yang diakui mantan Perdana Menteri Malaysia Tun Mahathir bin Mohamad, mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, Sultan Haji Hassanal Bolkiah, dan mantan Presiden Filipina Fidel Valdez Ramos. Atau, ayah yang mencintai negara dan keluarga, serta selalu menanamkan nilai-nilai kebajikan kepada anakanaknya, seperti yang diungkapkan Siti Hediati Hariyadi, Siti Hutami Endang Adiningsih, dan putri sulung, Siti Hardiyanti Rukmana dalam kata pengantarnya. Warta BPK
74 - 75 resensi buku.indd 75
Ada cerita menarik yang diutarakan Sjafrie Sjamsoeddin, pada 1995, Soeharto berkunjung ke Bosnia Herzegovina, negara pecahan Yugoslavia yang tengah dilanda peperangan. Waktu itu, Sjafrie menjabat Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden. Sesuai standar keamanan internasional, sebelum menuju Sarajevo, ibu kota Bosnia, semua harus memakai rompi dan helm antipeluru. Sjafrie yang secara tidak langsung menawar-
kan rompi dan helm ternyata ditolak secara halus oleh Soeharto. Dia tetap mengenakan jas dan kopiah. Walau situasi peperangan mencekam, Sang Presiden tetap tenang. Waktu itu, dengan memberanikan diri, Sjafrie menanyakan kenapa beliau mendatangi Bosnia padahal situasi sangat berbahaya bagi keselamatannya. Pak Harto menjawab,” Ya, kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin negara-negara Non-Blok, tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah (Bosnia), kita tidak bisa membantu dengan uang, ya kita datang saja. Kita tengok.” Lalu, Sjafrie memberanikan untuk bertanya kembali, ”Tetapi ini kan risikonya besar.” Dijawablah pertanyaan itu,” Ya, itu kita bisa kendalikan. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik, mereka menjadi tambah semangat.” Ketenangan memang menjadi cerminan dalam diri Soeharto. Dia selalu menghadapi sesuatu walau dalam kondisi apapun dengan tenang. Ini diakui Sjafrie Sjamsoeddin sendiri yang pernah bertugas menjadi pengawalnya.
Banyak orang di lingkar Ring I Kepresidenan mengaku bahwa Soeharto tidak satu kalipun beliau marah. Kalau ada yang ia tidak setuju, beliau tak pernah mengatakan “Tidak”, tetapi kalau beliau kurang berkenan hanya mengatakan, “apa perlu?”. Dia sosok yang lebih banyak tersenyum dengan penuh ketenangan, walau sebagian yang mengenalnya melihat sosok Soeharto sebagai seorang yang pendiam dan serius. Pada 1969, sekitar tiga tahun Jenderal Soeharto dilantik sebagai pejabat Presiden menggantikan Soekarno, seorang orientalis Barat, O.G. Roeder mengeluarkan buku setebal 209 halaman. Buku biografi mini itu, dia beri judul The Smiling General: President Soeharto of Indonesia. Banyak praktisi keilmuan dan jurnalis Barat yang concern terhadap kondisi Indonesia waktu itu melihat Jenderal Soeharto sebagai sosok petinggi militer yang banyak tersenyum. Senyuman kerap berkait dengan sisi humanisme. Dan, buku ini mencoba mengurai cerita “Sang Jenderal” yang tak pernah diungkap sebelumnya. Buku ini akan sedikit mengusik hati bagi pembaca yang melihat Sang Presiden dari citra negatifnya. Selamat membaca! and Tiga tahun setelah Jenderal Soeharto dipilih MPRS sebagai Presiden RI kedua, karya O.G. Roeder beredar. The Smiling General, begitu orientalis asing menjuluki Presiden kedua Indonesia: Soeharto. Judul : Pak Harto, The Untold Stories Penulis : Anita Dewi Ambarsari, dkk
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit : 2011 Jumlah hlm : 603 hlm
JULI 2011
75
8/26/2011 12:33:02 PM
SERBA-SERBI
Mendaki Gunung bukan Sekadar Refreshing
Tim Korsapala (Komunitas Pemeriksa Pencinta Alam) BPK
Siapa sangka hobi mendaki gunung di lingkungan BPK begitu semarak. Terbukti sudah tiga gunung dilahap oleh anggotanya sejak berdiri Mei tahun ini. Bahkan, esensi bagi pengembangan kepegawaian lebih riil daripada outbound.
P
uncak Gunung Gede belum lagi nampak. Namun, rasa panik dirasakan oleh seluruh tim Korsapala (Komunitas Pemeriksa Pencinta Alam) BPK. Betapa tidak, dalam pendakian yang perdana ini, tiba-tiba seorang pendaki pemula menghilang. Semua pun panik. Tentu yang paling merasakan kepanikan itu tak lain panitia pendakian. Hilang di gunung bukan masalah enteng. Apalagi jika yang menghilang itu adalah seorang yang baru pertama kali naik gunung. Yang belum mengerti medan yang dihadapi serta bagaimana survive menghadapi kondisi sulit. Untunglah kondisi mengkhawat-
76
JULI 2011
76 - 78 serba serbi.indd 76
irkan itu tak berlangsung lama. Si pendaki pemula berhasil ditemukan. Menurut Sulung Setyo Amboro, Pembina Korsapala, kondisi tersebut terjadi selain karena jumlah peserta yang cukup banyak yakni mencapai 30-an orang, juga banyak di antaranya adalah pendaki pemula yang belum paham benar tentang ‘aturan-aturan’ yang harus ditaati dalam pendakian. Misalnya, tidak meninggalkan kelompoknya. “Saat itu kami semua panik,” ungkap Sulung, yang juga Kepala Sub Bag Penilaian dan Pengembangan Kompetensi Biro SDM, sambil menunjuk Enda, pendaki pemula yang hilang itu. Sore itu kebetulan Endah
mendampingi Sulung saat wawancara dengan Warta BPK. Kejadian tersebut membuat pihaknya sadar betapa pentingnya pembekalan bagi pendaki pemula. “Ini pengalaman berharga bagi semua. Ke depannya kami harus lebih berhatihati lagi,” tuturnya. Berpegang pada pengalaman itu, lanjut Sulung, pengurus Korsapala memutuskan menyelenggarakan Diklat Pendakian, khususnya untuk para pendaki pemula. Dia menegaskan mendaki itu bukan sekadar minat atau hobi akan tetapi harus memiliki pengetahuan dasar tentang pendakian. Materi diklat diberikan para pendaki senior dari Stapala (komunitas pencinta alam Sekolah Tinggi Administrasi Negara). Stapala dipilih, selain komunitas tersebut sudah lama berdiri dan memiliki banyak pendaki senior, juga
Warta BPK
8/26/2011 12:36:04 PM
karena banyak pengawai BPK yang alumni STAN. Di bagian lain, dari pengalaman pendakian perdana itu, membuat me reka melakukan pembatasan jumlah peserta pada pendakian selanjutnya. “Ketika pendakian pertama, tim pendamping kami sempat kaget ketika mengetahui rombongan berjumlah 30-an orang. Menurut mereka terlalu banyak. Apalagi banyak di antaranya adalah pendaki pemula. Selanjutnya, kami memberi batasan pada jumlah,” jelas Sulung yang aktif mendaki semasa di SMA. Hal lain yang dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian, lanjutnya, me nyertakan tim pendamping dalam setiap acara pendakian, juga seorang guide setempat. Tim pendamping ini adalah pendaki-pendaki senior dari komunitas pencinta alam di luar Korsapala, seperti dari Wanadri (Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung), Stapala, dan lainnya. “Kami ingin safety dan bukan asalasalan agar mendatangkan manfaat bagi semua. Kadang karena terlalu excited menjadi tidak realistis, tidak ada persiapan. Kita tidak mau itu. Apalagi ini komunitas baru,” tuturnya.
Awal Berdiri
Sulung menceritakan awal berdiri nya Korsapala bermula dari sejumlah staf di Biro SDM BPK yang memiliki kegemaran yang sama yakni, mendaki gunung. “Dari ngobrol-ngobrol seputar hobi, muncul ide naik gunung bersama. Ide itu kemudian berkembang sehingga tercetuslah keinginan membangun komunitas pencinta alam.” Akhirnya, semua sepakat untuk menyebarluaskan ajakan untuk mendaki bersama ini kepada pegawai BPK yang hobi naik gunung. “Lewat pamphlet, dari mulut ke mulut, berita ini menyebar di kalangan pegawai. Responsnya luar biasa, ternyata banyak pegawai BPK gemar naik gunung. Malah di antara mereka ada yang tergabung dengan klub pencinta alam di luar BPK.” Warta BPK
76 - 78 serba serbi.indd 77
Ada juga, lanjutnya, pendaki yang sudah lama ‘gantung carier’ karena sibuk bekerja. Belum lagi respons dari mereka yang belum pernah naik gunung, tetapi memiliki keinginan ikut serta. Nah, minat inilah yang kita tampung. “Kita buat rencana pendakian perdana, persiapan-persiapannya, dan lain-lain. Termasuk soal urunan biaya,” tuturnya. Dia menambahkan ternyata jumlah peserta bisa lebih banyak jika saja informasi tersebut menyebar luas. “Soalnya, ada yang protes tidak diajak padahal mereka suka naik gunung. Mereka baru tahu ada pendakian setelah acara berlangsung. Jadi ternyata banyak rekan-rekan yang juga suka mendaki,” tutur Sulung. Di puncak Gunung Gede itu dan dihiasi hujan rintik-rintik Komunitas Pendaki Pemeriksa BPK RI atau disingkat Korsapala diproklamirkan. Bersamaan dengan itu para peserta dilantik sebagai anggota. “Setelah pelantikan pertama, selanjutnya untuk menjadi anggota Korsapala, tidak cukup hanya mendaftar. Minimal telah dua kali mengikuti acara pendakian yang diselenggarakan Korsapala, baru resmi menjadi anggota,”
katanya. Sebagai komunitas baru, Korsapala tergolong produktif. Betapa tidak, di tengah load pekerjaan yang tinggi, mereka berusaha meluangkan waktu untuk mengikuti acara pendakian yang nyaris diadakan sebulan sekali. Setidaknya sejak berdiri Mei tahun ini, sudah tiga kali melakukan pendakian yakni Gunung Gede, Gunung Merbabu, dan Gunung Papandayan. Bahkan setelah Lebaran, mereka sudah memiliki rencana untuk mendaki Gunung Semeru. “Saya heran, di tengah kesibukan yang tinggi, kami bisa menyisihkan waktu untuk kegiatan ini. Untuk ukuran instansi, kami tergolong produktif juga. Bayangkan, berangkat Jumat malam, Sabtu-Minggu mulai pendakian, lalu pulang, Senin sudah bekerja kembali. Tapi karena hobi, maka enjoy saja menjalaninya,” kata Sulung yang gemar kegiatan outing.
Pengembangan Pegawai
Kegiatan pendakian, nyatanya bukan sekadar ajang menyalurkan hobi dan refreshing. Namun ada manfaat lain yang bisa ditarik dari aktivitas tersebut yakni dalam hal pengembangan pegawai. Kegiatan ini bukan hanya
Sulung Setyo Amboro. JULI 2011
77
8/26/2011 12:36:07 PM
SERBA-SERBI latihan fisik tapi juga mental bagi peserta. “Saya ingin ini menjadi agenda kegiatan pengembangan pegawai. Selama ini hanya outbound, pendakian juga bisa sebagai kegiatan alternatif. Bahkan, ini lebih real dibandingkan dengan outbound. Kita sedang berusaha kegiatan ini menjadi kegiatan official seperti di Indosat yang memiliki komunitas seperti ini dan digarap khusus,” papar Sulung. Harapannya, suatu saat aktivitas Korsapala bisa masuk dalam elemen kegiatan pengembangan pegawai yang selama ini kerap diisi dengan outbound. “Dibandingkan dengan outbound, mendaki gunung lebih riil. Bukan hanya masalah ketahanan fisik semata, akan tetapi melatih mental, membangun motivasi. Di sana juga ada pembelajaran team work serta prob-
lem solving,” paparnya. Itu semua, jika dikaitkan dengan pembinaan SDM, memiliki benang merah yakni etos kerja, achievement orientation. Menurut dia, semangat menyelesaikan tugas terbangun dengan aktivitas itu. Demikian juga masalah team work. Artinya, melakui kegiatan pendakian gunung banyak hal yang bisa dicapai dalam kaitannya dengan pembinaan SDM. Ke depannya, lanjut Sulung, kegia tan Korsapala akan dikembangkan bukan hanya naik gunung. Juga aktivitas pelestarian lingkungan lainnya seperti konservasi pantai dan caving. “Kami berpikir ajang ini bukan sekadar refreshing tapi juga untuk pengembangan diri. Kami juga ingin terlibat pada sesuatu yang sifatnya social responsibility, seperti konservasi
Pengalaman Tersesat di Gunung Gede ‘Aku Nangis Ketakutan’
Ini adalah pendakian pertama Enda Nurhenti, staf Humas BPK. Tak heran kalau dia begitu bersemangat ketika memulai pendakian perdananya. Dia lupa kalau berjalan di gunung berbeda dengan jalan biasa. Menyimpang sedikit saja dari jalur yang ada bisa membawa bencana alias tersesat di belantara. Itulah yang dialami si mungil Enda. “Awalnya aku berlima berlarilari ingin cepat mencapai puncak. Di bawah masih banyak teman lainnya. Lalu temanku meminta aku jalan lebih dulu, dia akan menunggu teman lainnya. Jadi aku mendaki terus, ketika lihat kebelakang, ternyata semua teman tidak ada. Aku tersesat,” ungkap Enda mengenang peristiwa beberapa bulan lalu. Sebagai pendaki pemula, su-
78
JULI 2011
76 - 78 serba serbi.indd 78
dah tentu Enda panik luar biasa. Tersesat di gunung bukan perkara main-main. Tidak ada siapa pun yang bisa diminta pertolongan. “Aku nangis karena takut dan bingung,” ucap Enda sambil tertawa malu. Untunglah tak berapa lama, ada pendaki lain dari UI yang kebetulan melintas di jalur tempat Enda tersesat. Kepada mereka, Enda dengan berlinang air mata mengatakan dirinya tersesat. Setelah mendapat penjelasan itu, para pendaki yang baik hati itu mengantar Enda kembali pada rombongannya. Bagi Enda, pengalaman perdana yang mengerikan itu tidak membuatnya trauma dan kapok untuk kembali mendaki. Sebaliknya, dia makin bersemangat dan kerap ikut dalam
lingkungan,” tambahnya. Sulung juga menyinggung tentang rencana kegiatan selanjutnya yakni mendaki Gunung Semeru. “Semeru cukup jauh. Butuh waktu sekitar 4 hari. Jadi kami harus melihat dan mensinkronkan dengan tanggal merah atau cuti bersama,” ucapnya. Sejauh ini, tegasnya, tidak ada kendala yang berarti berkaitan dengan aktivitas mendaki gunung. Satu-satunya masalah adalah soal waktu. “Waktu adalah masalah utama kami. Kami semua pekerja dan terikat dengan aturan. Contohnya, sewaktu rencana pendakian Gunung Gede dan Merbabu. Ada teman yang sudah mendaftar, tetapi pada hari H terpaksa tidak berangkat karena mendadak mendapat tugas ke luar kota,” ujarnya. dr
setiap acara pendakian Korsapala. “Aku tidak kapok. Namun pengalaman tersesat di gunung itu merupakan pengalaman berharga. Kehati-hatian adalah faktor utama dan penting sekali,” tuturnya. dr
Warta BPK
8/26/2011 12:36:07 PM
79 - inikah indionesiaku.indd 79
8/26/2011 12:36:32 PM