Promosi kesehatan....................(Ahmad Erlan)
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 59-64
SEROPOSITIF TOKSOPLASMOSIS KUCING LIAR PADA TEMPAT-TEMPAT UMUM DI KABUPATEN BANJARNEGARA SEROPOSITIVE OF TOXOPLASMOSIS ON STRAY CATS IN BANJARNEGARA DISTRICT PUBLIC PLACES Tri Wijayanti*, Dewi Marbawati Balai Litbang P2B2 Banjarnegara Jl. Selamanik No. 16A Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia *E_mail:
[email protected] Received date: 3/9/2014, Revised date: 27/10/2014, Accepted date: 29/10/2014
ABSTRAK Toksoplasmosis merupakan zoonosis yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, mempunyai penyebaran yang luas pada manusia dan hewan piaraan maupun satwa liar. Penularan secara horisontal pada manusia terutama disebabkan karena daging hewan/ternak yang terinfeksi T. gondii atau ookista pada makanan atau minuman yang terkontaminasi feses kucing. Oleh karena itu, perlu diketahui kucing liar dengan seropositif T. gondii. Jenis penelitian ini adalah potong lintang dan laboratorik serologi pada bulan Mei–Oktober 2013. Sampel sebanyak 22 ekor kucing liar yang berasal dari pasar induk, rumah sakit dan kompleks pertokoan kelurahan Semampir, Banjarnegara. Pemeriksaan serologis menggunakan FELISA imunostik. Hasil penelitian menunjukkan kucing liar dengan seropositif IgG T. gondii sebanyak 40,9% (9 dari 22 ekor). Kucing liar di kompleks pertokoan Kelurahan Semampir berpeluang lebih besar memaparkan T. gondii. Kata kunci: toksoplasmosis, kucing liar, tempat umum, seropositif ABSTRACT Toxoplasmosis is zoonosis caused by Toxoplasma gondii that widespread in human, pet or wild animal. Horizontal transmission in humans is mainly caused by the flesh of animals/livestock infected T. gondii or oosista in food or drink that contaminated cat feces. So, it is necessary to know the seropositive T. gondii in stray cat. This research was cross-sectional design, a study carried out from May to October 2013. Samples were 22 cats from public places such wholesale market, hospital and Semampir Village shopping complex. Data collected by serology examination by FELISA immunostic. The results showed stray cats with IgG seropositivity of T. gondii was 40,9% (9 from 22 cats). Stray cats in Semampir village shopping complex have greater opportunities to distribute T. gondii. Keywords: toxoplasmosis, stray cat, public places, seropositive
PENDAHULUAN Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii dan dijumpai di seluruh dunia. Hospes definitif Toxoplasma adalah anggota familia karnivora Felidae seperti kucing, jaguarundi, ocelot, singa 1 gunung, kucing macan tutul, bobcat dan cheetah. Felidae penting dalam epidemiologi infeksi T. gondii karena dapat mengeluarkan ookista yang tahan di lingkungan. Prevalensi toksoplasmosis pada manusia di Indonesia berkisar antara 2 – 63%,2 sedangkan pada hewan berkisar antara 6 – 70%,3 tergantung pada iklim, geografis dan adanya kucing pada suatu daerah.4 Kucing di Kalimantan Selatan menunjukkan titer positif serologis toksoplasmosis sebanyak 41%,5
96
sedangkan di Surabaya 46,7% pada kucing di rumah 6 sakit dan 60% kucing di pasar. Ookista T. gondii mulai diproduksi oleh kucing lima hari setelah kucing diberi makan seekor tikus yang otaknya 7 positif kista T. gondii. I n f e k s i T. g o n d i i u m u m n y a t i d a k menimbulkan gejala atau subklinis. Gejala klinis utama adalah limfadenopati. Manifestasi berat toksoplasmosis antara lain ensefalitis, sindroma sepsis atau syok, miokarditis dan hepatitis, namun gejala tersebut jarang dijumpai pada manusia yang mempunyai daya tahan tubuh yang baik. 8 Toksoplasmosis pada wanita hamil dapat mengakibatkan abortus, bayi lahir mati dan kelainan pada janin, serta ensefalomilitis.
59
Seropositif Toksoplasmosis.......(Tri Wijayanti, dkk)
Faktor yang dapat meningkatkan terjadinya penularan pada manusia antara lain kebiasaan makan sayuran mentah dan buah-buahan segar yang dicuci kurang bersih, kebiasaan makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu, mengonsumsi makanan dan minuman yang disajikan tanpa ditutup sehingga kemungkinan besar terkontaminasi ookista, atau makan jaringan hewan (otak, hati, jantung, daging dan lain-lain) yang mengandung kista tanpa dimasak dengan 9 sempurna. Cara penularan dan sumber infeksi beragam antara kelompok etnik dan letak geografis yang berbeda. Umumnya penularan horisontal pada manusia disebabkan karena mengonsumsi salah satu bentuk T. gondii, yaitu kista jaringan pada daging hewan atau ternak yang terinfeksi atau ookista pada makanan atau minuman yang terkontaminasi feses kucing. 8 Pasar merupakan tempat potensial penularan toksoplasmosis. Hal ini disebabkan oleh sanitasi yang kotor oleh sisa makanan dan sampah sehingga menarik keberadaan kucing. Penelitian tentang toksoplasmosis pada kucing liar di Kabupaten Banjarnegara belum pernah dilakukan. Deteksi toksoplasmosis pada kucing liar menambah informasi dalam upaya pengendalian penularan toksoplasmosis ke manusia. Oleh sebab itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mendeteksi seropositif IgG T. gondii pada kucing liar di tempat-tempat umum di Kabupaten Banjarnegara. METODE Jenis penelitian ini adalah studi potong lintang dan laboratorik serologi. Populasi adalah seluruh kucing liar di tempat-tempat umum di Kabupaten Banjarnegara. Sampel adalah kucing liar yang tertangkap pada saat survei secara purposive sampling. Tempat umum dalam penelitian ini adalah pasar induk, rumah sakit dan kompleks pertokoan Kelurahan Semampir. Pengambilan darah kucing dilakukan pada vena femoralis. Pemeriksaan serologis menggunakan uji cepat Field ELISA (FELISA) imunostik10 menggunakan ikatan kompleks streptavidin-biotin HRP. Hasil positif jika FELISA imunostik menunjukkan minimal satu lingkaran berwarna oranye dan negatif jika FELISA imunostik tidak menunjukkan satu pun lingkaran berwarna oranye. Data dianalisis secara univariat dan bivariat. Analisis bivariat dengan chi square (÷2) atau fisher
60
exact test menggunakan derajat kepercayaan 95% untuk mengetahui adanya asosiasi. Kekuatan asosiasi diukur menggunakan Odds Ratio (OR) untuk menggambarkan peluang kucing dalam memaparkan T. gondii. HASIL Jumlah kucing liar yang tertangkap di tempat-tempat umum di Kabupaten Banjarnegara berjumlah 22 ekor. Proporsi kucing liar pada masing-masing tempat umum disajikan pada Gambar 1.
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 89-96
20. Greene W. Introduction health education. University of Texas Medical Branch; 1991. 21. Kumboyono, Setyorini I, Fransisca D. Hubungan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan minum obat pada penderita filariasis di Kelurahan Batu Gajah Kecamatan Sirimau Kota Ambon. [Diakses 30 April 2 0 1 4 ] . D i u n d u h dari:http://id.scribd.com/doc/219623692/DorsinaFransisca-Dahoklory. 22. Septriani O. Studi prevalensi dan gambaran perilaku minum obat filariasis pada pengobatan massal filariasis tahun kedua (Studi di Kelurahan Simbang Kulon Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan). Skripsi. Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP; 2010.
23. K e m e n t e r i a n K e s e h a t a n R I . P e d o m a n penanggulangan kejadian ikutan pasca pengobatan filariasis; 2007. 24. Hodmar PP. Evaluasi promosi kesehatan dalam program eliminasi filariasis di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan; 2010. 25. Anonim. Promosi kesehatan masyarakat dalam program pamsimas. [Diakses 20 April 2014]. Diunduh dari: new.pamsimas.org/index.
–
Gambar 1. Proporsi Kucing Liar yang Tertangkap pada Tempat-Tempat Umum di Kabupaten Banjarnegara
Gambar 1 menunjukkan kucing liar lebih banyak tertangkap dari rumah sakit sebanyak 9 ekor (41%) daripada di pasar induk dan kompleks pertokoan. Hasil pemeriksaan serologis FELISA imunostik terhadap kucing liar pada beberapa tempat umum di Kabupaten Banjarnegara dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Hasil Pemeriksaan Serologis T. gondii Kucing Liar Berdasarkan Lokasi Survei di Kabupaten Banjarnegara
Hasil pemeriksaan FELISA imunostik (Gambar 2) menunjukkan 9 dari 22 ekor (40,9%) positif antibodi anti T. gondii. Kucing liar positif serologi antibodi anti T. gondii paling banyak berasal dari kompleks pertokoan Kelurahan Semampir yaitu 4 dari 7 ekor (57,1%). Hasil analisis bivariat seropositif T. gondii dan peluang kucing liar terinfeksi toksoplasmosis dari masingmasing tempat umum disajikan pada Tabel 1.
95
Promosi kesehatan....................(Ahmad Erlan)
kesehatan adalah program-program kesehatan yang dirancang untuk membawa perubahan (perbaikan) baik dalam masyarakat sendiri maupun dalam organisasi dan lingkungannya (lingkungan fisik, sosial budaya, politik dan sebagainya). Atau dengan kata lain promosi kesehatan tidak hanya mengaitkan diri pada peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan saja, tetapi juga meningkatkan atau memperbaiki lingkungan (fisik dan non-fisik) dalam rangka memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat.25
6. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pengendalian filariasis. Jakarta: Direktorat Jenderal PP&&PL; 2005.
Tabel 1. Hasil Analisa Bivariat Seropositif T. gondii dan Peluang Kucing Liar Terinfeksi Toksoplasmosis di Tempat Umum
7. Adrial. Pengendalian vektor filariasis.[Diakses 26 Februari 2014].Diunduh dari:https ://4cardio.files.wordpress.com/2013/09/pengendalia n-vektor-filariasis.pdf
Pasar induk Rumah sakit Kompleks pertokoan
8. Soeyoko. Penyakit kaki gajah (filariasis limfatik) permasalahan dan alternatif penanggulangannya. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada; 2002. 9.
KESIMPULAN Faktor perilaku/kebiasaan tidak memakai kelambu, tidak memakai pakaian lengan panjang dan faktor lingkungan (rawa-rawa), serta faktor sosial budaya (pengetahuan rendah) merupakan faktor risiko terhadap kejadian filariasis. Hasil penelitian menunjukkan masih banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui cara-cara penularan filariasis, dan masih adanya kepercayaan bahwa filariasis adalah penyakit keturunan, penyakit kutukan dan penyakit karena guna-guna. Hal tersebut perlu diluruskan dengan promosi kesehatan melalui penyuluhan yang intensif dan tepat sasaran. Promosi kesehatan melalui penyuluhan kepada masyarakat dapat memberikan pengetahuan tentang cara penularan, tanda-tanda, dan gejala klinis filariasis, cara pencegahan dan kepatuhan minum obat bagi penderita. Metode penyuluhan yang tepat dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan perilaku kepada masyarakat sehingga mereka sadar dan mandiri untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya. DAFTAR PUSTAKA 1. Maulana HD. Promosi kesehatan. Jakarta: EGC; 2009. 2. Notoatmodjo S. Promosi kesehatan teori & aplikasi. Revisi. Jakarta: Rineka Cipta; 2010. 3. Uloli R, Soeyoko, Sumarni. Analisis faktor–faktor risiko kejadian filariasis. Ber Kedokt Masy. 2008; 24 (1): 44-50. 4. WHO. Regional strategic plan for elimination of lymphatic filariasis 2010-2015. New Delhi. 5. WHO. Lymphatic filariasis. [Diakses 30 April 2014]. Diunduhdari:http.who.int/media_centre/fasctsheeets /fs_102/en.
94
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 59-64
Endemisitas Filariasis. Bull Jendela Epidemiol. 2010; 1.
10. Kementerian Kesehatan RI. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012. 11. Riftiana N, Soeyoko. Hubungan Sosiodemografi Dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Pekalongan. J Kesehat Masy. 2010; 4 (1): 59-65. 12. Endang Srimurni K, Soeyoko SS. Pengobatan Filariasis dengan Target Utama Endosymbiont Bakteri Wolbachia sp. Maj Kedokt Indon. 2008; 58 (10): 377-82. 13. Mahdiniansyah. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian filariasis malayi di Kecamatan Cempaka Mulia Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2002. 14. Sigit H. Hama pemukiman Indonesia: pengenalan, biologi dan pengendalian. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor; 2006. 15. Mardiana, Lestari EW, Perwitasari D. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian filariasis di Indonesia (Data Riskesdas 2007). J Ekol Kesehat. 2011;10 (2): 83-92. 16. Sumarni S, Soeyoko. Filariasis malayi di wilayah Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, Kalimantan Tengah. Ber Kedokt Masy. 1998; XIV (3): 143-8. 17. Soeyoko. Pengembangan antibodi monoklonal spesifik terhadap antigen beredar Brugia malayi untuk diagnosis filariasis malayi. Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2002. 18. Atmadja A. Management of lymphatic filariasis. Maj Kedokt Indones. 1999; 49 (4): 144-6. 19. Haryuningtyas D, Subekti DT. Dinamika filariasis di Indonesia. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. 2004: 242–250.
Variabel
p value
OR
0,65 0,2 0,38
1,67 0,24 2,67
Seropositif T. gondii kucing liar pada tempat umum tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p>0,05). Meskipun demikian, peluang kucing liar terinfeksi toksoplasmosis paling besar terjadi di kompleks pertokoan Kelurahan Semampir dengan nilai Odds Ratio (OR) sebesar 2,67. PEMBAHASAN Hasil pemeriksaan seropositif antibodi IgG T. gondii kucing liar di Kabupaten Banjarnegara menggunakan FELISA imunostik sebesar 40,9 %. Nilai ini lebih besar dari hasil seropositif kucing di Banda Aceh yang diperiksa menggunakan Card Agglutination Test (CATT) yaitu sebesar 16%,11 namun lebih kecil jika dibandingkan dengan 12 prevalensi seropositif kucing di Jakarta (72,7%). 13 Penelitian Kamani, et al di Maiduguri, Nigeria menggunakan Latex Aglutination Test (LAT) menunjukkan seropositif kucing liar mencapai 14 42,4% dan Miro, et al di Spanyol sebesar 36,4%. Pemeriksaan Microscopic Aglutination Test (MAT) (1:25) di Durango, daerah pedesaan Meksiko diperoleh informasi bahwa 9,3% kucing positif antibodi T. gondii dan berhasil diisolasi pada 5 dari 8 15 kucing seropositif. Sedikit berbeda jenis hospesnya, kucing domestik di Kota Meksiko menunjukkan seropositif tertinggi sebesar 39,1% pada kelompok yang diberi pelet dan daging mentah. Kucing domestik di daerah perkotaan Latvia menunjukkan serologis antibodi T. gondii sebesar 51,6%. Umur dan akses keluar rumah merupakan faktor yang berhubungan dengan seroprevalensi sehingga mengindikasikan infeksi perolehan, meskipun hanya 2 dari 80 ekor yang 16 mengandung ookista dari pemeriksaan fesesnya. Penelitian di Santa Isabel Brazil menunjukkan seroprevalensi toksoplasmosis akut pada manusia sebesar 84,4% menggunakan teknik modified agglutination test (1:20). Penelitian ini berhasil mengisolasi T. gondii dari otak (7 ekor), otot skeletal 17 (9 ekor) dan hati (13 ekor). Kucing di Kolombia, Amerika Selatan
95% CI Lower 0,25 0,04 0,42
Upper 11,07 1,66 16,83
menunjukkan prevalensi sebesar 45,2%, meskipun tidak ditemukan ookista di feses maupun bioassay pada mencit, namun T. gondii dapat diisolasi dari jaringan pada 15 dari 42 ekor kucing yang menunjukkan titer 1:40 atau lebih. Toxoplasma gondii dapat diisolasi dari lidah (9 ekor), hati (8 ekor) 18 dan otak (5 ekor). Pemeriksaan serologis antibodi IgG T. gondii menggunakan LAT pada kucing di masyarakat perkotaan Laguna, Filipina secara umum adalah 46,67% yang berbeda antara kelompok kucing liar (18,33%) dan sekitar rumah (28,33%) meskipun tidak signifikan.19 Fernandez, et al.20 menyebutkan seropositif pada kucing di bagian barat Great Buenos Aires, Argentina sebesar 19,5% dan seropositif yang berbeda pada kucing yang berburu tikus dan burung atau tinggal bersama kucing lainnya. Seropositif toksoplasmosis pada kucing yang berburu tikus dan burung sebesar 48%, tidak berburu tikus dan burung 14%, sedangkan kucing yang tinggal dengan kucing lain 32% dibandingkan kucing yang tinggal sendiri 13,8%. Jenis kelamin, ada atau tidaknya tempat sampah dan ada tidaknya daging mentah dan produk komersial dalam makanan kucing tidak membedakan seropositif tersebut. Pemeriksaan serologis kucing liar di Addis Ababa, Ethiopia menggunakan teknik modified agglutination test (cut off 1:25) menunjukkan 91,7% kucing positif T. gondii. Toxoplasma gondii dapat diisolasi dari hati 26 ekor (25 ekor positif) kemudian dibioassay pada mencit, dan sebesar 19,4% positif ookista pada fesesnya yang menunjukkan pentingnya peranan kucing liar dalam epidemiologi T. gondii.21 Kompleks pertokoan Kelurahan Semampir, lokasi dengan peluang kucing terinfeksi T. gondii paling besar, merupakan daerah pertokoan yang menyatu dengan permukiman warga, sangat dekat dengan lingkungan persawahan dan kebun serta terdapat tempat pembuangan sampah sementara milik warga di belakang pertokoan. Warga di sekitar kompleks pertokoan ada yang memelihara kelinci, burung dan ayam, sehingga kucing liar yang ada di
61
Seropositif Toksoplasmosis..........(Tri Wijayanti, dkk.)
lokasi ini mempunyai peluang terinfeksi toksoplasmosis yang lebih besar, tidak hanya dari tikus liar tapi juga dari hewan lainnya. Karnivorisme pada kucing dianggap menjadi cara infeksi yang 22 paling utama. Infeksi T. gondii pada kucing di sekitar rumah merupakan hal bersifat umum dan ada kemungkinan yang tinggi terjadi serokonversi pada tahun 23 berikutnya. Seropositif pada kucing merupakan indikasi pencemaran lingkungan yang dapat 24 membahayakan kesehatan masyarakat. Kucing dapat mengeluarkan ookista 1-2 minggu setelah infeksi primer dan biasanya menjadi kebal.25 Penelitian di Brno, Republik Czech menunjukkan 357 ekor kucing usia 3 bulan hingga 16 tahun negatif feline immunodeficiency virus (FIV) dan feline leukemia virus (FeLV), tetapi menunjukkan gejala seperti anoreksia, anemia, enteritis, stomatitis dan gingivitis. Prevalensi T. gondii sebesar 61,3% positif antibodi IgG berkisar antara 10-2560 (rata-rata 247), sedangkan positif IgM dengan titer 1:40 hanya ditemukan pada seekor (0,28%) kucing yang mempunyai titer IgG 160. Kucing yang mengeluarkan ookista terjadi pada seekor kucing yang menunjukkan IgG dengan titer 1:40. Seroprevalensi ini tidak berbeda pada 33 kucing yang positif FIV dan FeLV tetapi mayoritas menunjukkan gejala anoreksia, anemia, ginjal, gangguan hati atau pernafasan, diare dan konjungtivitis, sebesar 63,6% mempunyai antibodi IgG berkisar antara 10–640 (rata-rata 101), namun tidak ada yang positif IgM dan mengeluarkan ookista. Gejala klinis toksoplasmosis yang tidak jelas, positif antibodi IgG merupakan hal yang sering terjadi pada kucing, tetapi hal itu menjadi karakter penting dari sebuah infeksi oportunistik.26 Kucing biasanya menderita toksoplasmosis, tetapi tidak menunjukkan gejala atau asimptomatik. Kejadian tersebut berlangsung subklinik, akan tetapi pada keturunannya manifestasi tersebut dapat menjadi infeksi klinik. Penularan dengan cara perolehan tersebut dapat terjadi selama periode embrionik melalui berbagai cara, misalnya per oral, melalui luka, telur cacing dan sebagainya. Penularan yang paling sering terjadi pada manusia dan hewan termasuk unggas adalah melalui makanan yang terkontaminasi oleh ookista dari feses kucing atau sejenisnya. Pada kenyataannya, infeksi pada manusia yang terjadi melalui ookista kucing kurang berperan menimbulkan toksoplasmosis jika dibanding dengan infeksi yang diperoleh melalui
62
daging yang tercemar kista. Persentase seropositif T. gondii yang tinggi diantara kucing domestik membuktikan adanya sumber permanen atau keberadaan sirkulasi parasit tersebut di lingkungan, seperti terjadi di daerah perkotaan di Olsztyn, Polandia. Serum kucing sejumlah 135 yang diperiksa menggunakan direct agglutination assay (The Toxo-Screen DA BioMerieux) menunjukkan 65,9% seropositif pada pengenceran 1:40 berarti infeksi lampau, dan 68,1% seropositif pada pengenceran 1:4000 mengindikasikan infeksi baru atau sedang berlangsung.27 Seroprevalensi T. gondii yang tinggi pada kucing liar membawa dampak terhadap kesehatan masyarakat karena kucing yang seropositif sepertinya telah mengeluarkan ookista di lingkungan seperti terjadi di Majorca, Kepulauan Balearic, Spanyol yang menunjukkan seropositif sebesar 84,7% dengan metode MAT, dengan kisaran 1:25 – 28 1:2000. Kucing merupakan hospes definitif T. gondii yang dapat mengeluarkan ookista.29 Kucing dapat terinfeksi toksoplasmosis melalui makan ookista dari lingkungan. Dalam penelitian ini hampir semua lokasi survei ditemukan kucing dengan seropositif T. gondii. Toxoplasma dalam tubuh kucing dapat berkembangbiak dengan cara seksual dan aseksual. Seekor kucing dapat mengeluarkan sampai 10 juta ookista sehari selama 2 minggu. Ookista di dalam tanah yang lembab dan teduh dapat hidup lama sampai lebih dari 1 tahun. Infeksi pada kucing dapat dihindari dengan memberikan makanan yang matang sehingga kucing tidak berburu tikus atau burung, sedangkan apabila kucing diberikan monensin 200 mg/kg melalui makanannya, maka kucing tersebut tidak akan mengeluarkan ookista dalam fesesnya, tetapi ini hanya dapat digunakan untuk kucing peliharaan. Pencegahan terjadinya infeksi dengan ookista yang berada di dalam tanah, dapat dilakukan dengan mematikan ookista menggunakan bahan kimia seperti formalin, amoniak dan iodin dalam bentuk 0 larutan serta air panas 70 C yang disiramkan pada feses kucing. KESIMPULAN Prevalensi kucing liar positif IgG T. gondii sebanyak 40,9% (9 dari 22 ekor). Peluang terbesar toksoplasmosis pada kucing liar yang berasal dari kompleks pertokoan Kelurahan Semampir. Hal ini mengindikasikan kucing liar telah mengeluarkan
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 89-96
yang sama didapatkan pada penelitian penduduk di wilayah puskesmas Cempaka Mulia Sampit, Kalimantan Tengah menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara tingkat pendidikan dalam hal pengetahuan tentang filariasis (X2=6,72, 16 p>0,05). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data bahwa frekuensi penderita berdasarkan kepatuhan minum obat pada penderita didapatkan frekuensi tertinggi pada penderita yang tidak patuh meminum obat, yaitu sebanyak 57,5% (23 orang dari 40 responden) dan frekuensi terendah adalah penderita patuh meminum obat, yaitu sebanyak 21 42.5% (17 orang dari 40 responden). Pengobatan massal filaria yang dilakukan di Kelurahan Simbang Kulon, Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan 22 hanya 23,4% responden yang minum obat filaria. Hal ini menyebabkan penularan filaria masih akan terus berlangsung karena banyak warga yang menolak minum obat. Dalam pengobatan filariasis perlu penjelasan dan pemahaman mengenai adanya kejadian ikutan pasca pengobatan filariasis kepada masyarakat sebelum pelaksanaan pengobatan. Bahwa dengan adanya kejadian ikutan sejalan dengan suksesnya pengobatan agar mereka tidak merasa takut. Kejadian ikutan tersebut akan berkurang pada pengobatan tahun berikutnya, sehingga mereka tidak menolak untuk diobati pada 23 tahun selanjutnya. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pardede mengenai evaluasi promosi kesehatan dalam program eliminasi filariasis di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan menyatakan bahwa pengetahuan masyarakat tentang filariasis masih belum mencukupi terutama pada aspek gejala, cara penularan dan cara pencegahannya. Kurangnya promosi kesehatan dan media penyuluhan yang digunakan kurang memadai sehingga perilaku masyarakat kurang mendukung dalam eliminasi filariasis juga masyarakat tidak minum obat sesuai aturan karena ketakutan efek samping obat filariasis. Lingkungan tempat tinggal masyarakat memungkinkan tempat berkembang biaknya nyamuk terutama nyamuk yang menularkan filariasis. Partisipasi masyarakat dalam eliminasi filariasis belum optimal, terutama pada aspek pemberdayaan masyarakat.24 Visi promosi kesehatan adalah kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa yang menjadi sasaran utama adalah masyarakat, khususnya perubahan perilaku.
Namun demikian karena keterbatasan sumber daya, akan tidak efektif apabila upaya atau kegiatan promosi kesehatan langsung kepada masyarakat. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pentahapan sasaran promosi kesehatan. Berdasarkan pentahapan upaya promosi kesehatan ini, maka sasaran dibagi dalam 2 tiga kelompok sasaran. 1. Sasaran Primer Masyarakat pada umumnya menjadi sasaran langsung segala upaya pendidikan atau promosi kesehatan. Sesuai dengan permasalahan kesehatan, sasaran ini terdiri dari keluarga yaitu ayah, ibu dan anak-anaknya. Upaya promosi kesehatan yang dilakukan terhadap sasaran primer ini sejalan dengan strategi pemberdayaan masyarakat. 2. Sasaran Sekunder Para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan sebagainya. Disebut sasaran sekunder, karena dengan memberikan pendidikan kesehatan kepada kelompok ini diharapkan untuk selanjutnya kelompok ini akan memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat di sekitarnya. Disamping itu, dengan perilaku sehat para tokoh masyarakat sebagin hasil pendidikan kesehatan yang diterima, maka para tokoh masyarakat ini akan menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya. Upaya promosi kesehatan yang ditujukan kepada sasaran sekunder ini adalah sejalan dengan strategi dukungan sosial. 3. Sasaran Tersier Para pembuat keputusan atau penentu kebijakan baik ditingkat pusat, maupun daerah adalah sasaran tersier promosi kesehatan. Dengan kebijakan-kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan oleh kelompok ini akan mempunyai dampak terhadap perilaku para tokoh masyarakat (sasaran sekunder), dan juga kepada masyarakat umum (sasaran primer). Upaya promosi kesehatan yang ditujukan kepada sasaran tersier ini sejalan dengan strategi advokasi. Promosi kesehatan dalam program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS), menyatakan bahwa promosi kesehatan bukan hanya proses penyadaran masyarakat atau pemberian dan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan saja, tetapi juga disertai upaya-upaya memfasilitasi perubahan perilaku. Dengan demikian promosi
93
Promosi kesehatan....................(Ahmad Erlan)
minta pertolongan dukun masih dilakukan, sehingga penularan filariasis tetap berlangsung. Faktor Sosial Budaya Upaya pengendalian vektor agar tidak kontak dengan nyamuk vektor, dapat dilakukan dengan penggunaan kelambu tanpa atau dengan insecticide impregnation seperti misalnya permethrin atau deltamethrin. Kelambu sebaiknya direndam larutan insektisida dosis 0,5 g/m2 kemudian dikeringkan, daya insektisida tersebut dapat bertahan sampai 6 bulan. Nyamuk yang hinggap pada kelambu mengandung insektisida lethal dose seperti tersebut diatas akan segera mati. Cara ini memang praktis namun tidak mudah diterima masyarakat dengan tingkat pendidikan masih rendah. Program ini pernah dilaksanakan di Flores dan tidak banyak bermanfaat, karena penduduk enggan tidur di dalam kelambu pada suhu terlalu panas. Kelambu dilepas, dilipat, dan diletakkan di sudut ruangan dan ada yang disimpan di dalam almari, atau kelambu tetap dipasang namun tidurnya di luar kelambu karena merasa lebih nyaman walaupun tetap digigit nyamuk. Penyuluhan terhadap masyarakat tentang masalah filariasis dan dampaknya perlu ditingkatkan demi keberhasilan program eliminasi filariasis. Pengalaman tersebut merupakan pengalaman berharga bagi penentu kebijakan (stakeholder) bahwa mengubah sosial budaya penduduk tidaklah semudah membalik telapak tangan dan perlu mendapatkan perhatian sungguh-sungguh jika diinginkan penanggulangan filariasis dapat berhasil 8 dengan baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian filariasis. Pengetahuan rendah akan memberi peluang dua kali lebih besar terjadi filariasis dibandingkan dengan yang mempunyai pengetahuan tinggi. Penelitian filariasis di Kecamatan Cempaka Mulia Kabupaten Kotawaringin didapatkan pengetahuan mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian filariasis 13 p=0,07 dan OR=0,49. Pengetahuan tentang penyebab filariasis yang menunjukkan hubungan yang signifikan adalah pendapat yang menyatakan bahwa filariasis disebabkan karena selalu kontak dengan dengan air dan kelebihan bekerja. Pengetahuan responden yang menimbulkan stigma bahwa filarisis adalah penyakit yang disebabkan oleh guna-guna, tidak
92
menunjukkan hubungan yang bermakna. Orang yang terinfeksi filarisis tidak seluruhnya memperlihatkan gejala dan tidak selamanya menunjukkan gejala seperti pembengkakan, gejalagejala klinis yang muncul sangat bervariasi 17 tergantung respon imun masing-masing penderita. Berdasarkan manifestasi klinis filariasis dibedakan menjadi empat tingkatan yaitu asymtomatic microfilaraemia, acute manifestations, chronic manifestations dan tropical pulmonary eosinophilia (occult filarisis).18 Penelitian terhadap illnes history variables, penyakit filariasis menjadi masalah dalam kehidupan sehari-hari p<0,01 terutama responden merasa malu dan tidak merasa nyaman jika kaki menjadi besar yang ditunjukkan dengan nilai 6 p<0,05. Pengetahuan responden mengenai gejala filariasis sudah cukup baik yaitu diatas 90% yang menjawab benar terhadap tanda-tanda filariasis. Adanya pemahaman yang menunjukkan filariasis merupakan penyakit keturunan (44,3%), akibat menginjak daerah terlarang (25,7%), dan dukun/guna-guna (17,1%) membuktikan pengetahuan masyarakat masih dipengaruhi hal-hal yang membudaya yaitu yang berkaitan dengan kepercayaan yang sudah turun-temurun, sehingga akan berpengaruh pada perubahan perilaku/kebiasaan dalam pencegahan filariasis. Pengetahuan tentang pencegahan filariasis menunjukkan hubungan tidak bermakna, tetapi nampak jelas bahwa dari pendapat responden menyatakan bahwa pencegahan yang paling tinggi adalah dengan cara penyemprotan. Untuk menghindari kontak gigitan dengan nyamuk pilihan kedua. Ini menandakan bahwa peluang terjadinya penularan filarisis masih cukup tinggi. Beberapa perilaku/kebiasaan didapatkan proporsi kasus mempunyai kegiatan di luar rumah pada malam hari antara lain kegiatan ronda keamanan lingkungan, berbincang-bincang di luar rumah, menonton di luar rumah, penjaja keliling/berjualan, berada di tempat terbuka, buang air besar di luar rumah, berkumpul di luar rumah malam hari, dan memasang obat nyamuk di luar rumah.19 Kondisi ini menggambarkan peluang kontak dengan nyamuk lebih besar. Hasil ini didukung oleh teori Greene bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku yaitu salah satunya adalah faktor-faktor penguat (reinforcing factors) yaitu faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang, meskipun seseorang tahu dan mampu untuk 20 berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Hal
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 59-64
ookista ke lingkungan yang dapat menjadi sumber infeksi bagi hewan lainnya dan berisiko menular ke manusia melalui makanan. SARAN Perlu dikaji infeksi T. gondii pada manusia (terutama wanita dan ibu hamil), sosialisasi dan penyuluhan tentang toksoplasmosis dan faktor risiko penularan toksoplasmosis pada masyarakat Kabupaten Banjarnegara. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Litbang P2B2 Banjarnegara, DR. drh. R. Wisnu Nurcahyo dan Dr. drh. Widagdo Sri Nugroho, M.P., selaku pembimbing, drh Didik Tulus Subekti, M.Sc, serta seluruh pihak yang telah memberikan dukungan dalam pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Cahaya I. Epidemiologi Toxoplasma gondii. [Diakses 22 Oktober 2014]. Diunduh dari: http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkmindra%20c4.pdf. 2. Levine ND. Protozoologi kedokteran. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 1995: 354-63. 3. Subekti DT, Arrasyid NK. Imunopatogenesis Toxoplasma gondii berdasarkan perbedaan galur. Wartazoa. 2006; 6 (3): 128-45. 4.
Hartati S. Toksoplasmosis pada kucing dan implikasinya terhadap kesehatan masyarakat. [Diakses 3 Maret 2013]. Diunduh dari: http://ugm.ac.id.
5. Soedjono R. Zoonosis. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan IPB, 2004: 44-5. 6. Sasmita R, Ernawati R, Samsudidin M. Insiden toksoplasmosis pada babi dan kambing di rumah potong hewan Surabaya. Seminar Parasitologi Nasional V dan Kongres Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasit Indonesia (P41) IV. Bogor; 1988.
30 (12-13): 1217-58. 9. Iskandar T. Pencegahan toksoplasmosis melalui pola makan dan cara hidup sehat. [Diakses 5 Maret 2013]. Diunduh dari: http://peternakan.litbang.deptan.go.id. 2012:235-41. 10. Subekti DT, Kusumaningtyas E. Perbandingan uji serologi toksoplasmosis dengan uji cepat imunostik, ELISA dan aglutinasi lateks. J Ilmu Ternak dan Vet. 2011; 1692: 224-33. 11. Hanafiah M, Kamaruddin M, Nurcahyo W, Winaruddin. Studi infeksi toksoplasmosis pada manusia dan hubungannya dengan hewan di Banda Aceh. Jurnal Kedokteran Hewan. 2010; 4 (2): 87-92. 12. Hartati S, Artama WT, Sumartono, Indarjulianto S. Identifikasi molekuler Toxoplasma gondii. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan UGM; 1994. 13. Kamani J, Mani AU, Kumshe HA, Yidawi JP, Egwu GO. Prevalence of Toxoplasma gondii antibodies in cats in Maiduguri, Northestern Nigeria. Acta Parasitol. 2010; 55 (1): 94-95. 14. Miro G, Montoya A, Jime'nez S, Frisuelos C, Mateo M. Fuentes I. Prevalence of antibodies to Toxoplasma gondii and intestinal parasites in stray, farm and household cats in Spain. Vet Parasitol. 2004;126: 249-255. 15. Dubey JP, Velmurugan GV, Alvarado-Esquivel C, Alvarado-Esquivel D, Rodriguez-Pena S, MartinezGarcia S, et al. Isolation of Toxoplasma gondii from animals in Durango, Mexico. J. Parasitol. 2009; 95 (2): 319-22. 16. Deksne G, Petrusevica A, Kirjusina M. Seroprevalenve and factors associated with Toxoplasma gondii infection in domestic cats from urban areas in Latvia. J. Parasitol. 2013; 99 (1): 48-50. 17. Dubey JP, Navarro IT, Sreekumar C, Dahl E, Freire RL, Kawabata HH, Vianna MCB, et al. Toxoplasma gondii infections in cats from Parana, Brazil: seroprevalence, tissue distribution and biologic and genetic characterization of isolates. Journal of Parasitology. 2004; 90 (4): 721-6.
Sasmita R. Toksoplasmosis penyebab keguguran dan kelainan bayi: pengenalan, pemahaman, pencegahan dan pengobatan. Surabaya: Airlangga University Press; 2006.
18. Dubey JP, Su C, Cortes JA, Sundar N, Gomez-Marin JE, Polo LJ, et al. Prevalence of Toxoplasma gondii in cats from Colombia, South America and genetic characterization of T. gondii isolates. Vet Parasitol. 2006; 141 (1-2): 42-7.
8. Tenter AM, Heckeroth AR, Weiss LM. Toxoplasma gondii: from animals to humans. Int J Parasitol. 2000;
19. Advincula JK dela C, Iewida SYP, CabanacanSalibay C. Serologic detection of Toxoplasma gondii
7.
63
Seropositif Toksoplasmosis..........(Tri Wijayanti, dkk.)
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 89-96
infection in stray and household cats and its hematogic evaluation. Scientia Medica (Porto Alegre). 2010; 20 (1): 76-82.
25. Dubey JP. Strategies to reduce transmission of Toxoplasma gondii to animals and humans. Vet Parasitol. 1996; 64 (1-2): 65-70.
dilihat dari faktor lingkungan, perilaku dan sosial budaya dari masyarakat.
20. Fernandez F, Ouvina G, Clot E, Frenandez GR, Codoni C. Prevalence of Toxoplasma gondii antibodies in cats in the western part of Great Buenos Aires, Argentina. Vet Parasitol. 1995; 59 (1): 75-9.
26. Svobodova V, Knotek Z, Svobodova M. Prevalence of IgG and IgM antibodies specific to Toxoplasma gondii in cats. Vet Parasitol. 1998; 80 (2): 173-6.
PEMBAHASAN Pada tahun 2012 jumlah Kabupaten/Kota endemis filariasis sebanyak 300 kabupaten/kota, hanya 87 kabupaten/kota yang melaksanakan Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) filariasis dan 32 kabupaten/kota yang telah selesai POMP filariasis selama 5 tahun berturut-turut. Kondisi tersebut disebabkan kurangnya komitmen pemerintah daerah dalam menyediakan biaya operasional POMP selama minimal 5 tahun berturutturut yang menjadi tanggung jawab Pemda, sedangkan tanggung jawab pemerintah pusat adalah menyediakan obat.10 Berdasarkan penelitian yang dilakukan di wilayah Kabupaten Pekalongan pada tahun 2010 terhadap 68 responden. Ditemukan hubungan yang bermakna secara biologis pada semua variabel yang diteliti, sedangkan secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara umur, jenis kelamin dan perilaku terhadap filariasis, dan terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan kejadian filariasis.11 Survei mikrofilaria pada penderita kronis dengan elefantiasis dari tiga kabupaten yaitu Cilacap, Banyumas, dan Pekalongan ternyata sudah tidak ditemukan mikrofilaria dalam darah tepi. Keadaan ini dapat disebabkan penderita telah lama (lebih dari lima tahun bahkan ada yang lebih dari 10 tahun) menderita elefantiasis sehingga cacing dewasanya 12 sudah mati dan tidak memproduksi mikrofilaria. Pada beberapa penelitian yang pernah dilakukan ada tiga faktor yang berperan dalam penularan filariasis yaitu faktor lingkungan, perilaku dan sosial budaya. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan dan penanggulangan filariasis dengan memperhatikan faktor risiko yang dominan mempengaruhi kejadian filariasis. Kebijakan kementerian kesehatan dalam pengendalian filariasis adalah pengobatan massal bagi daerah endemis dan menghindari kontak gigitan 6 nyamuk.
21. Dubey JP, Darrington C, Tiao N, Ferreira LR, Choudhary S, Molla B, et al. Isolation of viable Toxoplasma gondii from tissues and feces of cats from Addis Ababa, Ethiopia. J Parasitol. 2013; 99 (1): 56-8. 22. Jakob-Hoff MR, Dunsmore DJ. Epidemiological aspects of toxoplasmosis in Southern Western Australia. Aust Vet J. 1983; 60 (7): 217-8. 23. De Craeye S, Francart A, Chabauty J, De Vriendt V, Van Gucht S, Leroux I, et al. Prevalence of Toxoplasma gondii infection in Belgian house cats. Vet Parasitol. 2008; 157 (1-2): 128-32. 24. Gyorke A, Opsteegh M, Mircean V. Iovu A, Cozma V. Toxoplasma gondii in Romanian household cats: evaluation of serological test, epidemiology and risk factors. Prev Vet Med. 2011; 102 (4): 321-8.
27. Michalski MM, Platt-Samoraj A, Mikulska-Skupien E. Toxoplasma gondii antibodies in domestic cats in Olsztyn urban area, Poland. Wiadomosci Parazytol. 2010; 56 (3): 277-9. 28. Millan J, Cabezon O, Pabon M, Dubey JP, Almeria S. Seroprevalence of Toxoplasma gondii and Neospora caninum in feral cats (Felis silvestris catus) in Majorca, Balearic Island, Spain. Vet Parasitol. 2009; 165 (3-4): 323-6. 29. Astutik PS. Identifikasi protozoa saluran pencernaan kucing di beberapa lokasi di Bali. Skripsi. Denpasar: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana; 2005.
Faktor Lingkungan Penelitian yang dilakukan oleh Mahdiniansyah menunjukkan bahwa faktor lingkungan mempunyai pengaruh terhadap penularan filariasis. Keadaan lingkungan yang buruk mempunyai resiko 2 sampai 3 kali lebih besar tehadap penularan filariasis dengan OR=2,433.13
64
Lingkungan sekitar yang buruk dalam hal ini adanya rawa-rawa yang merupakan tempat perkembangbiakan nyamuk penular dekat pemukiman penduduk dengan jarak kurang lebih 100 meter. Jarak terbang nyamuk yang kurang dari 200 meter akan sangat memberikan peluang terjadinya penularan filariasis di daerah tersebut. Hal ini sesuai dengan teori bahwa nyamuk pada umumnya mempunyai daya terbang sejauh 50-100 meter. Dilaporkan pula beberapa jenis nyamuk antara lain nyamuk Aedes mampu terbang sejauh 320 meter. Keadaan lingkungan seperti daerah hutan, persawahan, rawa-rawa yang sering ditumbuhi tumbuhan air dan saluran air limbah dan parit adalah salah satu habitat yang baik untuk pertumbuhan nyamuk spesies tertentu.14 Perbedaan lokasi tempat tinggal responden (di perdesaan dengan perkotaan) dan saluran pembuangan air limbah rumah tangga yang terbuka, mempunyai hubungan dan pengaruh signifikan terhadap kejadian filariasis dalam 12 bulan terakhir.15 Faktor Perilaku Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor perilaku antara lain kebiasaan menggunakan kelambu, kebiasaan memakai lengan panjang dan pemakaian kasa pada ventilasi mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian filariasis dengan p<0,05. Hasil uji statistik multivariat kebiasaan menggunakan kelambu p=0,049 dengan Exp.B=9,568, kebiasaan menggunakan pakaian lengan panjang p=0,014 dengan Exp.B=2,870, pemakaian kasa pada ventilasi p=0,151 Exp.B=1,945 sehingga pemakaian kasa tidak lagi berhubungan dengan kejadian filariasis. Penelitian ini berbeda dengan penelitian filariasis di Kecamatan Cempaka Mulia yang menunjukkan bahwa pemakaian kelambu tidak mempunyai hubungan dengan kejadian filariasis dengan p=1,00, sedangkan hubungan kebiasaan penduduk berpakaian lengkap saat bekerja di hutan mempunyai hubungan yang bermakna p=0,00 dengan nilai 16 OR=0,27. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa perilaku yang berhubungan dengan pencarian pengobatan didapatkan yang ke puskesmas 102 orang (72,9%), praktik dokter 15 orang (10,7%), obat sendiri 49 orang (35%), dan dukun 32 orang (22,9%).3 Hal ini menunjukkan bahwa walaupun akses ke tempat pelayanan kesehatan sudah cukup tinggi namun usaha dalam mengobati sendiri dan
91