SERI TERANG ILAHI
Bangkit dari Debu
Kehadiran Tuhan dalam Derita Ayub
BILL CROWDER
pengantar
Bangkit dari Debu: Kehadiran Tuhan dalam Derita Ayub
H
ukum tabur-tuai” tidak sulit untuk dimengerti. Yang ditabur, itulah yang dituai. Ini seperti yang Rasul Paulus tuliskan kepada jemaat di Galatia pada abad pertama, “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (Galatia 6:7). Ide yang sama telah terungkap jauh sebelumnya dalam kitab Ayub. Salah seorang sahabat Ayub, yang menganggap bahwa Ayub layak menanggung segala bencana yang menerjangnya, bertanya, “Camkanlah ini: siapa binasa dengan tidak bersalah dan di manakah
[1]
orang yang jujur dipunahkan? Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang membajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga” (Ayub 4:7-8). Namun seperti yang terjadi kemudian, ternyata hukum tabur-tuai dapat menjadi salah satu pemikiran yang paling menyesatkan. Oleh karena itu, saya berharap agar tulisan Bill Crowder, Associate Bible Teacher Our Daily Bread Ministries, berikut ini dapat dibaca khalayak luas dan membangkitkan kembali minat terhadap salah satu kisah terkuno dan terpenting dalam Alkitab tersebut.
Mart DeHaan Our Daily Bread Ministries
[ 2 ] BANGKIT DARI DEBU
daftar isi satu
Jawaban Sukar untuk Pertanyaan Sulit
. . . . . . . . . .
5
dua
Hati yang Hancur Lebur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9 tiga
Perang Menghadapi Dua Kubu
. . . . . . . . . . . . . . . . .
15
empat
Hikmat yang Diperoleh Melalui Penderitaan . . . . 25 lima
Pelajaran Hidup
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
29
Pemimpin Editor: Tim Gustafson Perancang Sampul: Terry Bidgood Foto Sampul: iStockPhoto Penerjemah: Natalia Imanuel Editor Terjemahan: Heri Marbun, Dwiyanto Penyelaras Bahasa: N. Endah, Bungaran, Juni Liem, Charles Perancang Interior: Steve Gier Penata Letak: Mary Chang (Indonesia) Gambar Interior: iStockPhoto (hlm.1); (p.5) Nadjib Aktouf/Stock.xchng (hlm.5); John Nettleship/ Stock.xchng (hlm.9); Muris Kuloglija Kula/Stock.xchng (hlm.15); Troy Stoilkovski/Stock.xchng (hlm.25); J. Purymski/Stock.xchng (hlm.29). Petikan ayat dikutip dari Alkitab Terjemahan Baru, Lembaga Alkitab Indonesia © LAI 2003. Naskah dilindungi oleh Hak Cipta © 2014 Our Daily Bread Ministries, Grand Rapids, Michigan. Dicetak di Indonesia. Indonesian Discovery Series “Out of the Ashes”
satu
Jawaban Sukar untuk Pertanyaan Sulit
D
engan nada yang ironis, Woody Allen pernah menyatakan, “Hidup ini penuh kesengsaraan, kesepian, dan penderitaan, dan sayangnya berakhir terlalu cepat.” Yang dinyatakan Allen bukanlah hal yang asing untuk kita. Rasa sakit dan penderitaan sudah mendarah daging dalam pengalaman manusia pada umumnya. Penderitaan meletup di berbagai penjuru dunia melalui perang, gempa bumi, tsunami, banjir, dan angin topan. Penderitaan juga dialami secara pribadi: putusnya hubungan, merosotnya kesehatan, kepergian anak, kandasnya pernikahan, kehilangan pekerjaan. Penderitaan biasanya menerjang kita dengan cara-cara yang tidak terduga. Kita tercekam oleh kesakitan yang tak terlukiskan. Derita itu mempengaruhi tubuh, jiwa, [5]
dan hubungan kita dengan sesama maupun Tuhan. Dalam penderitaan, kita menghadapi musuh yang tak bernama, tak berwajah, dan tak berperasaan. Dan musuh tersebut memunculkan beragam pertanyaan yang tidak sanggup kita jawab. Namun, sesulit apa pun pertanyaanpertanyaan tersebut, kita didesak untuk mencari jawaban yang lebih baik. Kita membaca buku. Kita mencari tahu apa kata para pemikir, filsuf, teolog, dan guru. Kita berargumentasi dan memperdebatkan penjelasan-penjelasan mengenai pergumulan dengan penderitaan. Namun, setinggi apa pun ekspektasi kita, seberapa pun menjanjikannya sumber-sumber itu, yang tersisa bagi kita tetaplah pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab—misteri-misteri menggelisahkan yang dapat menjauhkan kita dari Allah atau justru mendekatkan kita kepada-Nya. Dalam buklet ini, kita hanya bisa membahas beberapa pertanyaan yang menyelimuti isu yang pelik itu. Seperti apakah penderitaan itu? Bagaimana seharusnya respons kita ketika mengalami penderitaan? Bagaimana menemukan Allah di tengah masa-masa hidup yang terkelam? Dalam memandang penderitaan, tidak ada titik awal yang lebih baik daripada melalui pengalaman seseorang bernama Ayub. Kisahnya dipaparkan lewat kitab tertua dalam Alkitab. Ayub tinggal di tanah Us pada masa-masa terawal dari catatan sejarah umat manusia. Ia diperkenalkan sebagai seorang yang hidup dekat dengan Allah dan digambarkan sebagai orang yang “saleh”, “jujur”, dan “menjauhi kejahatan” (Ayub 1:1). Ia berusaha melakukan yang benar dan menyenangkan Allah. Namun serangkaian peristiwa bencana yang datang beruntun menghancurkan dunianya dan mengancam relasinya dengan Allah. [ 6 ] BANGKIT DARI DEBU
Dalam penderitaan, kita menghadapi musuh yang tak bernama, tak berwajah, dan tak berperasaan. Dan musuh tersebut memunculkan beragam pertanyaan yang tidak sanggup kita jawab. Sungguh luar biasa, kitab tertua dalam Alkitab menyoroti akar permasalahan yang dialami seluruh umat manusia, yaitu pergumulan dengan rasa sakit dan penderitaan. Meski kisah Ayub telah dikenal banyak orang, tetap saja masih banyak hal yang dapat kita pelajari, baik tentang dunia kita, tentang diri kita, maupun tentang Allah.
Jawaban Sukar untuk Pertanyaan Sulit
[7]
[ 8 ] BANGKIT DARI DEBU
dua
Hati yang Hancur Lebur
A
da sejumlah pelajaran yang lebih suka kita biarkan tetap teoretis dan abstrak. Namun jika kita biarkan demikian, pelajaran-pelajaran itu tidak akan pernah kita mengerti sepenuhnya. Profesor Howard Hendricks pernah berujar bahwa berenang tidak mungkin dipelajari lewat kursus jarak jauh. Demikian juga, penderitaan tidak dapat dipelajari dari jarak jauh—hanya pengalaman pribadi yang mendalam dan tidak terelakkanlah yang dapat mengajar kita. Ketika berada dalam cengkeraman penderitaan, hal apakah yang menjadikan beban itu begitu sulit kita tanggung? Berikut adalah beberapa pemahaman yang bisa kita tarik dari pengalaman Ayub.
Penderitaan Terasa Misterius (Ayub 1:1-12) Primo Levi pernah menceritakan pengalamannya sebagai seorang tawanan di kamp konsentrasi Auschwitz selama Perang Dunia II. Didorong oleh rasa sesak di dalam barak dan [9]
kehausan yang menggerogotinya, ia menjulurkan tangan melalui jendela untuk meraih sebongkah es yang dapat melembabkan mulutnya yang kering. Namun belum sempat ia membasahi bibirnya yang pecah, seorang penjaga merampas es tersebut dan mendorongnya hingga jauh dari jendela. Terkejut dengan sikap yang begitu kejam itu, Levi menanyakan alasan si penjaga melakukannya. Penjaga tersebut menjawab, “Di sini tidak perlu ada alasan.” Terkadang hidup pun terasa begitu kejam. Seakan kita menderita tanpa menerima jawaban yang masuk akal bagi kita yang meminta alasannya. Yang kita terima hanyalah keheningan yang seolah-olah mencemooh kita. Ayub pasti merasakan hal tersebut saat ia masuk dalam kancah penderitaannya. Ia tidak tahu apa-apa tentang pergulatan spiritual yang berlangsung di balik pengalaman hidupnya. Bahkan Ayub tidak hadir pada adegan pembuka dari kisahnya sendiri. Ayub 1 menceritakan tentang pertemuan makhluk surgawi, termasuk Iblis, di hadapan takhta Allah. Kemudian sesuatu yang luar biasa terjadi: “Lalu bertanyalah Tuhan kepada Iblis: ‘Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.’ Lalu jawab Iblis kepada Tuhan: ‘Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah?’” (Ayub 1:8-9). Allah menanyai Iblis, musuh jiwa kita, mengenai pengamatannya terhadap manusia di atas bumi dengan Karena kejatuhan manusia dalam dosa, penderitaan merupakan suatu pengalaman yang dialami oleh semua orang. Meski kita semua mengalaminya dalam kadar dan bentuk yang berbeda-beda, penderitaan merupakan pengalaman manusia yang universal. Itulah mengapa kita suka mendengarkan kisah-kisah tentang ketabahan dan perjuangan manusia.
[ 10 ] BANGKIT DARI DEBU
Terkadang hidup pun terasa begitu kejam. Seakan kita menderita tanpa menerima jawaban yang masuk akal bagi kita yang meminta alasannya. Yang kita terima hanyalah keheningan yang seolah-olah mencemooh kita. menyorot, bahkan membanggakan tentang Ayub. Namun Iblis membalikkan pujian Allah. Ia mempertanyakan motivasi Ayub dalam mengasihi Allah dengan menyiratkan: “Tentu saja ia menyembah-Mu. Kau memberinya segalanya!” Maka Allah mengizinkan Iblis untuk menguji iman Ayub. Demikianlah Ayub menjadi bagian dari eksperimen kosmis, dan penderitaan akan menjadi variabel dalam menguji kemurnian pengabdiannya serta relasinya dengan Allah. Perbincangan Allah dengan Iblis menunjukkan secara jelas bahwa hidup kita terhubung dengan alam spiritual yang baka. Namun itu juga menunjukkan bahwa Ayub sama sekali tidak mengetahui alasan dari penderitaannya—ia hanya mengalami penderitaan itu. Penyebabnya merupakan suatu misteri. Os Guinness pernah mengatakan, “Hidup tidak hanya sulit. Hidup juga ternyata tidak adil, dan ketidakadilannya begitu amat mengerikan. Setelah itu, keyakinan kita pun mulai goyah.” Ketika rasa sakit, duka, dan kehilangan menimpa Ayub bertubi-tubi, hatinya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.
Hati yang Hancur Lebur
[ 11 ]
Penderitaan Terasa Begitu Membebani Kita (Ayub 1:13-19) Dalam karya Shakespeare, Hamlet, Claudius berkata, “Lara datang, tidak satu demi satu, tetapi berbondong-bondong.” Itu benar-benar dialami oleh Ayub, ketika satu demi satu pembawa pesan mengabarkan berita kehilangan yang meremukkan hati. Pada suatu hari, ketika anak-anaknya yang lelaki dan yang perempuan makan-makan dan minum anggur di rumah saudara mereka yang sulung, datanglah seorang pesuruh kepada Ayub dan berkata: “Sedang lembu sapi membajak dan keledai-keledai betina makan rumput di sebelahnya, datanglah orang-orang Syeba menyerang dan merampasnya serta memukul penjaganya dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.” Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: “Api telah menyambar dari langit dan membakar serta memakan habis kambing domba dan penjaga-penjaga. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.” Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: “Orang-orang Kasdim membentuk tiga pasukan, lalu menyerbu unta-unta dan merampasnya serta memukul penjaganya dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.” Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: “Anak-anak tuan yang lelaki dan yang perempuan sedang makan-makan dan minum anggur di rumah saudara mereka yang sulung, maka tibatiba angin ribut bertiup dari seberang padang gurun; rumah itu Yang dapat dikatakan kepada orang yang menderita: “Aku tak tahu...” “Aku ikut prihatin...” “Aku juga tak bisa memahaminya...” “Aku mengasihimu...” “Allah tetap peduli.”
[ 12 ] BANGKIT DARI DEBU
dilandanya pada empat penjurunya dan roboh menimpa orang-orang muda itu, sehingga mereka mati. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan” (Ayub 1:13-19, penekanan ditambahkan). Serentetan laporan tentang kehilangan yang besar itu begitu mengoyak hati Ayub. Para pelayannya susul-menyusul dalam menyampaikan kabar demi kabar yang semakin buruk. Pada zaman Ayub, kekayaan seseorang diukur dari jumlah pelayan dan harta miliknya. Kedua hal ini bagaikan pedang yang menghunjam hati Ayub. Pertama, kabar peristiwa perampasan keledai dan lembu serta kematian para penjaganya (1:14-15). Kemudian berita tentang “api telah menyambar dari langit” yang membakar habis kambing domba dan lebih banyak lagi penjaga (1:16). Selanjutnya datang berita tentang orangorang Kasdim yang telah merampas unta-unta dan membunuh lebih banyak lagi penjaga (1:17). Kabar demi kabar datang dengan laporan kehilangan yang semakin besar. Namun kehilangan terbesar dialami Ayub saat seorang pelayan datang dengan berita yang menghancurkan hati: anak-anak lelaki dan perempuannya telah mati terbunuh (1:18-19). Ketika sakit hati menerjang kita, bagaikan gelombang yang datang satu demi satu atau bahkan berbondong-bondong, besarnya terjangan yang menindih tanpa ampun itu bisa terasa begitu menyesakkan. Penderitaan memang begitu membebani kita.
Hati yang Hancur Lebur
[ 13 ]
Penderitaan Itu Dialami Seorang Diri (Ayub 2:13) Lalu mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat, bahwa sangat berat penderitaannya (Ayub 2:13) Serangan terakhir Iblis adalah terhadap kesehatan Ayub (2:1-8). Setelah itu, Ayub duduk di tengah-tengah abu, menggaruk-garuk lukanya yang pedih, sambil merenungi hidupnya yang telah dijungkirbalikkan. Istri dan para sahabat Ayub memang menemaninya, tetapi pada kenyataannya, ia sendirian dalam penderitaannya—seorang diri kecuali di hadapan Allahnya. Simone Weil, seorang filsuf Prancis dari abad ke-20, menulis, “Kesengsaraan membuat Allah seakan tidak hadir untuk sementara waktu, lebih hening daripada orang mati, lebih sunyi daripada seberkas cahaya di tengah pekatnya kegelapan sebuah sel. Suatu kengerian yang menyelimuti seluruh jiwa.” Perasaan terabaikan di tengah masa-masa penderitaan itu disuarakan dalam ratapan menyayat hati yang keluar dari bibir Kristus di atas kayu salib: “Eli, Eli, lama sabakhtani? . . . AllahKu, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46). Pasti itu juga menjadi jeritan hati Ayub, ketika duduk di tengah abu dalam kedukaan atas kehilangannya yang dahsyat. Selama ribuan tahun, sifat maupun penyebab dari penderitaan tidak pernah berubah. Bagi sebagian orang, penderitaan mereka tidak akan pernah semengerikan pengalaman Ayub. Bagi yang lain, mungkin penderitaan mereka lebih pedih daripada yang dialami Ayub. Namun demikian, penderitaan yang kita alami masing-masing mempunyai bebannya tersendiri dan kita merasakan beratnya derita itu karena sifatnya yang begitu misterius, membebani, dan akhirnya harus dialami seorang diri. [ 14 ] BANGKIT DARI DEBU
tiga
Perang Menghadapi Dua Kubu
P
ara sejarawan perang mengaitkan kekalahan Adolf Hitler di Perang Dunia II sebagian besar dengan keputusannya untuk menyerang Rusia di saat ia masih berperang melawan Inggris. Para pemimpin militer biasanya menentang keputusan untuk berperang menghadapi dua kubu sekaligus, karena hal itu hampir selalu berujung dengan kekalahan. Terpecahnya sumber daya, energi, strategi, dan perhatian membuat peperangan melawan dua kubu hampir tidak mungkin dimenangi. Ayub terseret masuk dalam peperangan menghadapi dua kubu. Peperangan yang Ayub alami bukan untuk memperebutkan wilayah atau sebuah pertempuran bersenjata. Yang dialaminya merupakan peperangan rohani yang [ 15 ]
berkecamuk di atas perasaan hatinya yang hancur. Pertempuran pertamanya adalah melawan “ketiga sahabatnya” soal integritas dirinya. Konflik kedua dan yang lebih menyakitkan adalah pergumulannya dengan Allah yang dipercayai dan disembahnya. Yang menarik dari kisah Ayub adalah cara penyampaian kisahnya. Sering kali fokus kita tertuju pada penderitaan yang Ayub alami. Begitu mengerikannya penderitaan Ayub hingga rasanya tidak masuk akal. Namun demikian, Alkitab menceritakan tragedi-tragedi tersebut hanya dalam 2 pasal (1–2) dan menggunakan 40 pasal selanjutnya dari kitab Ayub untuk menceritakan pergumulan Ayub dengan para sahabatnya dan dengan Allah mengenai alasan dari penderitaannya.
Dengan Sahabat-Sahabat Macam Ini . . . Ketika kabar tragedi tersebut pertama kalinya diterima oleh Ayub, ia merespons dengan iman dan keyakinan yang teguh: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” (Ayub 1:21). Namun pernyataan iman yang kuat itu segera memudar menjadi ucapan-ucapan yang lebih pedih dan kelam. Ucapan yang pertama kali mendesak Ayub ke dalam jurang keputusasaan datang dari istrinya, yang tentunya juga tengah berduka atas kepergian anak-anaknya. Dengan sinis dan marah, ia mendesak suaminya dengan ucapan, “Kutukilah Seperti sahabat-sahabat Ayub, kita cenderung bicara terlalu banyak dalam upaya kita untuk menghibur orang yang menderita. Dalam masa-masa penderitaan, kita sepatutnya menolak godaan untuk “berbicara atas nama Allah” meskipun niat kita memang tulus. Di tengah penderitaan yang berkecamuk, justru kata-kata tidak akan banyak menolong.
[ 16 ] BANGKIT DARI DEBU
Allahmu dan matilah” (2:9). Meski Ayub menolak, perkataan pembuka Ayub di pasal 3 menunjukkan beratnya beban penderitaan itu dan pengaruhnya pada iman dan keteguhan Ayub: “Sesudah itu Ayub membuka mulutnya dan mengutuki hari kelahirannya” (Ayub 3:1). Iman Ayub yang teguh telah dilemahkan oleh duka dan derita yang menyerbu kehidupannya. Ratap tangisnya bertambah keras dalam kepedihan ketika ia menyatakan: “Mengapa terang diberikan kepada yang bersusah-susah, dan hidup kepada yang pedih hati; yang menantikan maut, yang tak kunjung tiba, yang mengejarnya lebih dari pada menggali harta terpendam?” (Ayub 3:20-21). Yang datang kemudian bukanlah kematian, melainkan pengalaman yang sangat kelam— beragam masalah dan ketakutan yang bahkan merampas harapannya untuk mengalami damai sejahtera (ay.22-26). Kepedihan Ayub yang tak tertahankan itu semakin diperparah oleh sikap orang-orang yang sinis dan menghakimi terhadap ratapan Ayub. Saat berada di hadapan orang banyak, Ayub tak mampu, bahkan mungkin tak mau, menyembunyikan rasa duka dan kepedihannya. Pada saat itulah tuduhan dan kecaman, bukan simpati dan penghiburan, diterimanya dengan bertubi-tubi—persis seperti tragedi-tragedi yang ia alami sebelumnya. “Saran” istrinya belumlah seberapa. Selama tujuh hari, ketiga sahabat Ayub (Elifas, Bildad, dan Zofar) duduk membisu
Perang Menghadapi Dua Kubu
[ 17 ]
dan mengamati kesengsaraan Ayub (Ayub 2:13). Pada hari ke-8, mereka melontarkan serentetan kritikan (Ayub 4–31). Perbincangan mereka punya pola yang umum: tuduhan para sahabat, lalu diikuti respons Ayub. Ketiga sahabat itu menerapkan pandangan teologis mereka terhadap pengalaman Ayub. Taktik mereka? Masing-masing dari mereka mencurigai integritas Ayub yang mengaku telah menjalani hidup yang benar. Kau pasti menutup-nutupi perbuatan dosamu yang keji, kata mereka. Lagipula, Tuhan tidak akan menghukum orang yang tak bersalah. Ketika Ayub dengan gigih mempertahankan ketidakbersalahannya dan menampik tuduhan-tuduhan ketiga sahabatnya, mereka terus menyerang dan menyudutkan dirinya yang sudah terluka secara emosi, rohani, dan jasmani. Kedua belah pihak pun dibuat lelah oleh serangan-serangan tanpa ampun itu dan terkuras oleh pertempuran yang tidak menghasilkan apa-apa. Yang lebih mengherankan, setelah Ayub menerima tuduhan dari istri dan ketiga sahabatnya, masih ada sahabat keempat yang melancarkan serangannya, yakni Elihu (Ayub 32–37). Sama seperti yang lain, Elihu melihat suatu bukti dalam penderitaan Ayub bahwa ia telah bersalah kepada Tuhan. Bahkan, argumen Elihu jauh lebih tajam daripada ucapan rekan-rekannya yang lain. Ayub 32:2 menggambarkan kemarahan Elihu yang mendalam. Tuduhan Elihu yang penuh amarah menegaskan kontradiksi yang sepertinya terdapat antara pernyataan Ayub yang yakin tidak bersalah dengan penderitaan yang pasti merupakan hukuman dari Allah. Orang-orang biasanya mengambil salah satu dari dua langkah berikut ini dalam menghadapi seseorang yang tengah menderita. Langkah pertama bersifat filosofis—mencoba untuk memberikan jawaban. Langkah kedua lebih bersifat pastoral/ penggembalaan—mencoba untuk memberikan penghiburan.
[ 18 ] BANGKIT DARI DEBU
Istri Ayub sering digambarkan sebagai orang yang kurang beriman. Namun bagaimana respons kita jika berada dalam posisinya? Seperti Ayub, ia telah kehilangan anak-anak dan kekayaannya. Sekarang ia terpaksa harus menyaksikan suaminya menderita karena ditimpa penyakit.
Sayangnya, argumen semacam itu sangatlah umum. Itulah sudut pandang yang biasanya muncul ketika seseorang menderita. Itulah dasar dari tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh para “penghibur” Ayub. Argumen tersebut sering disebut Doktrin Retribusi: bahwa Allah hanya memberkati orang benar dan selalu menghakimi/menghukum orang jahat. Orang-orang biasanya mengambil salah satu dari dua langkah berikut ini dalam menghadapi seseorang yang tengah menderita. Langkah pertama bersifat filosofis—mencoba untuk memberikan jawaban. Langkah kedua lebih bersifat pastoral/penggembalaan—mencoba untuk memberikan penghiburan. Istri Ayub sering digambarkan sebagai orang yang kurang beriman. Namun bagaimana respons kita jika berada dalam posisinya? Seperti Ayub, ia telah kehilangan anak-anak dan kekayaannya. Sekarang ia terpaksa harus menyaksikan suaminya menderita karena ditimpa penyakit. Prasangka itu, seperti yang digaungkan di Mazmur 34 dan 37, memberikan pembenaran bagi tuduhan tanpa ampun yang dilontarkan oleh ketiga sahabat tersebut kepada Ayub. Melawan serangan-serangan itu adalah usaha yang sia-sia, bagaikan bertarung di medan yang
Perang Menghadapi Dua Kubu
[ 19 ]
asing dengan sumber daya yang tak memadai. Peperangan itu tidak akan dapat Ayub menangi, dan terbukti dari sikap Ayub terhadap tuduhan Elihu . . . ia hanya terdiam membisu. Peperangan Ayub dimulai dengan menghadapi serangan tanpa henti dari keluarga dan sahabatsahabatnya, tetapi masih ada kubu kedua yang harus dihadapinya.
Di Manakah Allah? Di sepanjang perdebatan dengan para sahabatnya, Ayub membela integritasnya dan menegaskan ketidakbersalahannya. Namun pembelaannya juga mengandung serangan saat ia mencanangkan tuduhan-tuduhannya sendiri. Namun, target Ayub bukanlah istri dan sahabat-sahabatnya. Sasaran Ayub adalah Allah sendiri, lewat berbagai pertanyaan, keraguan, kerisauan, bahkan tuduhan yang dilontarkannya. Bantahan yang Ayub berikan dipenuhi amarah dan cemoohan. Keterbukaan Ayub merupakan salah satu alasan yang membuat pengalamannya begitu dapat dipahami dan relevan bagi kita. Kita ikut merasakan duka dan rasa sakitnya; kita mulai memahami betapa dalam kepedihan batinnya dan kebingungannya, serta alasan ia merasakan semua itu. Oleh karena itu, ratapan Ayub sebenarnya menggemakan seruan kebingungan yang juga kita alami. Pergumulan Ayub mengusung setidaknya tiga pertanyaan yang tersirat—pertanyaan yang juga sering terucap oleh kita pada saat menderita.
Pertanyaan tentang Ketakutan kepada Allah Sumber Penghiburan “Maka takutlah aku kepada segala kesusahanku; aku tahu, bahwa Engkau tidak akan menganggap aku tidak bersalah” (Ayub 9:28). [ 20 ] BANGKIT DARI DEBU
Ada sesuatu yang begitu menyimpang di alam semesta ini, dan kita tidak tahu harus berbuat apa. Ini . . . semakin diperkuat ketika kita melihat hal itu dialami oleh kaum yang lemah, tak bersalah, dan juga anak-anak. Kita bergumul dengan penderitaan kita dan juga dengan Allah yang seolah mengizinkan terjadinya penderitaan itu, lalu hati kita merasa ketakutan setengah mati. Terkadang, alih-alih menemukan penghiburan dalam relasi kita dengan Allah, kita justru mempertanyakan relasi itu sendiri. Tiba-tiba kita tidak lagi memiliki pijakan yang kokoh untuk mendaki keluar dari jurang kepedihan kita, dan kita bertanya-tanya mengapa Allah sumber penghiburan itu telah membiarkan kita merasa begitu tersiksa.
Pertanyaan tentang Ketidakadilan kepada Allah yang Mahaadil “Sesungguhnya, aku berteriak: Kelaliman!, tetapi tidak ada yang menjawab. Aku berseru minta tolong, tetapi tidak ada keadilan” (Ayub 19:7). Ketika penderitaan kita semakin misterius dan seakan tak beralasan, semakin hal itu terasa tidak adil. Ada sesuatu yang begitu menyimpang di alam semesta ini, dan kita tidak tahu harus berbuat apa. Memang itu reaksi yang wajar terhadap penderitaan, dan
Perang Menghadapi Dua Kubu
[ 21 ]
semakin diperkuat ketika kita melihat hal itu dialami oleh kaum yang lemah, tak bersalah, dan juga anak-anak. Seperti Ayub, kita bertanya-tanya, bagaimana mungkin kita percaya bahwa keadilan itu masih ada di saat hidup terus-menerus terasa tidak adil?
Pertanyaan tentang Kelemahan kepada Allah Sumber Kekuatan “Allah telah membuat aku putus asa, Yang Mahakuasa telah membuat hatiku gemetar” (Ayub 23:16). Ketika penderitaan menimpa, kita diingatkan pada kecilnya diri kita dan besarnya dunia ini. Pada saatsaat seperti itu, kita sangat membutuhkan kekuatan dari Tuhan, tetapi di sisi lain sepertinya Tuhan sendirilah yang membiarkan berlangsungnya segala sesuatu yang telah menguras daya hidup kita itu. Kengerian yang diungkapkan Ayub dapat juga kita alami, yaitu ketika kita merasa tidak berdaya justru pada saat kita sangat membutuhkan kekuatan. Pertanyaan-pertanyaan Ayub terdengar seperti tuduhan demi tuduhan yang membungkus kekecewaan, kecurigaan, dan keraguannya; dan semua pertanyaan itu (seperti juga pertanyaan-pertanyaan kita) tidak terjawab oleh siapa pun— sampai ia berada di hadapan Allah yang hidup. Ayub hendak berhadapan langsung dengan Allah, berharap untuk didengarkan, dan ingin pertanyaannya dijawab. Dan Allah pun menampakkan diri (Ayub 38:1)! Ketika dari dalam badai Allah menjawab tuduhan Ayub yang sedang jengkel, Orang-orang di zaman Alkitab pada umumnya meyakini bahwa penderitaan dan penyakit terkait langsung dengan dosa pribadi. Dalam Injil, murid-murid Yesus bertanya, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yohanes 9:2)
[ 22 ] BANGKIT DARI DEBU
frustrasi, dan menderita, Dia menantang Ayub dengan serentetan pertanyaan juga: “Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau
Dalam bahasa Ibrani, ayat 4 secara harfiah tertulis, “Di manakah engkau (Ayub) ketika Aku (Allah) menegakkan bumi?” mempunyai pengertian! Siapakah yang telah menetapkan ukurannya? Bukankah engkau mengetahuinya? —Atau siapakah yang telah merentangkan tali pengukur padanya? Atas apakah sendi-sendinya dilantak, dan siapakah yang memasang batu penjurunya pada waktu bintang-bintang fajar bersorak-sorak bersamasama, dan semua anak Allah bersorak-sorai?” (Ayub 38:4-7). Ayub diperhadapkan langsung dengan Sang Pencipta yang pikiran-Nya tak terselami dan yang hikmat dan maksud-Nya tercermin lewat keagungan karya ciptaan-Nya. Apakah hak Ayub untuk mempertanyakan hikmat Sang Pencipta? Akankah ia menuduh Sang Pemberi hidup? Akankah ia berani menyatakan kelayakannya sendiri di hadapan Allah yang kudus? Pengalaman Ayub itu serupa dengan pengalaman Asaf sang pemazmur, yang tidak menerima jawaban atas pergumulannya sampai ia masuk ke dalam tempat kudus Allah (Mazmur 73:17). Dalam hadirat Allah, Ayub
Perang Menghadapi Dua Kubu
[ 23 ]
menemukan bahwa sekalipun ia tidak menerima jawaban atas pertanyaannya dan kelepasan dari penderitaannya, ia telah mendapatkan segala yang dibutuhkannya karena Allah telah memberikan Diri-Nya sendiri kepada Ayub: Maka jawab Ayub kepada Tuhan: “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal. Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui. Firman-Mu: Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman; Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku. Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (Ayub 42:1-6). Tanpa menjelaskan misteri penderitaan Ayub atau menuntaskan kepedihannya, Allah mengingatkan Ayub bahwa kuasa dan hikmat-Nya jauh melebihi kuasa dan hikmat yang dimiliki Ayub. Solusi terhadap penderitaan dan keraguan yang timbul dari pengalaman itu tidaklah ditemukan dalam penjelasan. Solusi diperoleh lewat kerelaan untuk belajar bersandar pada anugerah Allah dan mengandalkan kuasa-Nya—bahkan pada saat penderitaan itu begitu misterius dan membebani kita.
[ 24 ] BANGKIT DARI DEBU
empat
Hikmat yang Diperoleh Melalui Penderitaan
M
asa-masa penderitaan merupakan masa yang sukar, tetapi sayang jika disia-siakan. Penderitaan dapat mengajar dan mendidik kita, seperti yang pernah dikatakan Benjamin Disraeli, “Banyak melihat, banyak menderita, dan banyak belajar merupakan tiga sokoguru dari pembelajaran.” Penderitaan bukanlah guru yang menyenangkan. Namun apa yang Ayub pelajari dalam perjalanannya menyusuri lorong gelap yang berupa pengalaman kehilangan, kedukaan, dan kepedihan?
Penderitaan Itu Tak Terelakkan “Karena bukan dari debu terbit bencana dan bukan dari tanah tumbuh kesusahan; melainkan manusia menimbulkan [ 25 ]
kesusahan bagi dirinya, seperti bunga api berjolak tinggi” (Ayub 5:6-7).
Carl Sandburg menulis sebaris puisi yang ia nyatakan sebagai puisi tersingkat dalam kesusastraan Inggris: “Lahir. Menderita. Mati.” Ralph Waldo Emerson menulis, “Seseorang belum melihat alam semesta sepenuhnya bila ia belum pernah mengalami Penderitaan. Seperti air laut yang melingkupi lebih dari dua pertiga permukaan bumi, demikianlah dukacita menyusup ke dalam jiwa manusia yang tengah berbahagia.” Apa pun motivasi Elifas, orang Teman, saat mengucapkan perkataan dalam Ayub 5:6-7—entah dimaksudkan untuk menghibur atau menuduh—memang demikianlah kebenarannya. Penderitaan merupakan bagian yang tak terelakkan dari hidup di tengah dunia yang dicemari dosa, “seperti bunga api berjolak tinggi.” Dalam dunia yang telah rusak, penderitaan adalah hal yang umum, bukan sesuatu yang luar biasa. Justru hadirnya penderitaan, dan bukan ketiadaannya, menandakan suatu kewajaran.
Allah itu Hidup Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu (Ayub 19:25). Bagaimana kita akan menanggapi pengalaman kehilangan dan penderitaan yang tak terelakkan? Dengan menyerah pada nasib? Pasrah? Ragu? Putus asa? Beriman? Semua dari sikap tersebut? Hati dan pikiran kita sering terpecah di Kata dalam bahasa Ibrani yang diterjemahkan menjadi “Penebus” pada ayat di atas adalah gaal. Dalam kitab-kitab sejarah Perjanjian Lama, kata gaal digunakan untuk menyebut seseorang yang akan membeli kembali properti yang telah digadaikan atau membeli seorang teman/kerabat yang telah dijual sebagai budak.
[ 26 ] BANGKIT DARI DEBU
antara pilihan-pilihan tersebut. Ada kalanya kita berputus asa dan menyerah pada nasib; adakalanya kita memantapkan iman kita di tengah hati yang diliputi keraguan. Alih-alih
Dalam dunia yang telah rusak, penderitaan adalah hal yang umum, bukan sesuatu yang luar biasa. meragukan keberadaan Allah, penderitaan justru mengarahkan Ayub untuk lebih meyakini keberadaan-Nya. Dengan terus meyakini bahwa Allah hadir dan berkuasa, terutama di saat situasi yang ada tidak berjalan sesuai dengan pemahaman kita, kita akan mampu mengubah pengalaman sulit tersebut menjadi sesuatu yang lebih bernilai. Sesuatu yang lebih luhur dan berharga, karena Allah hadir di dalamnya.
Allah Peduli “Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas” (Ayub 23:10). Allah tidak hanya hidup, tetapi Dia juga sepenuhnya peduli terhadap segala tantangan yang kita hadapi. Dalam Kristus, Allah “dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita” (Ibrani 4:15). Dia mengetahui tujuan yang bisa dicapai melalui penderitaan yang kita alami. Ayub belajar bahwa Allah mempedulikan penderitaan kita; semua pengalamannya tidaklah terjadi secara acak. Masa-masa
Hikmat yang Diperoleh Melalui Penderitaan
[ 27 ]
hidup yang kelam bisa menjadi alat di tangan Tuhan untuk merancang dan membentuk kita agar menjadi seperti yang dikehendaki-Nya. Allah tidak menyia-nyiakan apa pun, termasuk masa-masa penderitaan yang membuat kita belajar lebih banyak tentang kehidupan, tentang diri kita sendiri, dan tentang Bapa kita di surga.
Allah Itu Dapat Dipercaya Katanya: “. . . Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!”(Ayub 1:21). Pada akhirnya, respons pertama Ayub menjadi responsnya yang terbaik. Ungkapan yang dinyatakannya dengan iman itu terbukti tepat. Sifat Allah yang dapat dipercaya merupakan salah satu hikmah yang paling baik dipelajari lewat tempaan penderitaan. Hikmat Allah yang tak terselami dan sifat-Nya yang dapat dipercaya menjadi jangkar yang kokoh di tengah terjangan badai hidup yang terdahsyat.
[ 28 ] BANGKIT DARI DEBU
lima
Pelajaran Hidup
A
iskhilos, seorang penyair Yunani Kuno, mendasarkan filosofi pembelajarannya pada penderitaan. Robert Kennedy mengutip katakata yang ditulis Aiskhilos, ketika mengumumkan tragedi pembunuhan Dr. Martin Luther King, Jr. di depan warga Indiana pada 4 April 1968: Bahkan ketika kita terlelap, kepedihan yang tak terlupakan menetes sedikit demi sedikit dalam hati kita hingga, dalam keputusasaan kita, tanpa kita kehendaki, muncullah hikmat melalui anugerah Tuhan yang dahsyat. “Hikmat melalui anugerah Tuhan yang dahsyat.” Hikmat yang dibayar dengan mahal. Dalam keadaan yang baik-baik saja, hikmat yang Ayub pelajari mungkin terdengar klise di telinga kita. Namun pada saat kita menderita, kebenaran itu menjadi pegangan kita untuk bertahan hidup. [ 29 ]
Elie Wiesel adalah satu dari sekumpulan tawanan di kamp konsentrasi Auschwitz yang dipaksa untuk menyaksikan eksekusi terhadap seorang anak laki-laki. Ketika anak tersebut meninggal, di belakang Wiesel terdengar suara isak tangis yang tercekat, “Di manakah Allah? Di manakah Allah?” Dalam usianya yang masih 15 tahun, Wiesel hanya dapat menemukan satu jawaban dalam hatinya, “Allah ada di sana, tergantung pada tiang gantungan itu.” Pengamatan Wiesel ada benarnya. Pada akhirnya, salib merupakan jawaban Allah terhadap masalah penderitaan. Di atas kayu salib, Allah masuk dalam penderitaan bersama kita dan menebus derita itu untuk selamanya. Peter Kreeft menyatakannya dengan tepat, “Yesus adalah air mata Allah.” Henri Nouwen menyimpulkan bahwa Allah memerdekakan kita, bukan dengan mengenyahkan penderitaan, melainkan dengan menanggungnya bersama kita. Yesus adalah “Allah yang menderita bersama kita,” dan bukti paling jelasnya adalah salib Kristus. Mungkin itulah alasan George MacLeod menulis demikian: Yesus tidak disalibkan di dalam sebuah katedral di antara dua lilin, melainkan di atas kayu salib di antara dua pencuri; di tengah tumpukan sampah kota; pada persimpangan jalan yang dilalui orang dari berbagai bangsa hingga mereka perlu menulis gelar-Nya dalam bahasa Ibrani, Yunani, dan Latin;
Fredrick Nietzsche, seorang ateis yang pernah diakui sebagai filsuf yang brilian, menghabiskan masa akhir hidupnya di dalam sebuah rumah sakit jiwa. Dunia yang tidak mengenal penebusan, anugerah, dan belas kasihan menjadi suatu dunia yang terlalu kejam dan mengerikan untuk ditempati.
[ 30 ] BANGKIT DARI DEBU
di tempat para pencemooh berbicara kotor dan para prajurit berjudi. Karena di situlah Dia mati. Dan demi itulah Dia mati. Realitas dari Juruselamat yang menderita sebagai “Allah yang menderita bersama kita” telah menggugah John Stott untuk mengatakan, “Aku takkan sanggup mempercayai Allah, jika bukan karena salib. Satu-satunya Allah yang kupercaya adalah yang diolok Nietzsche sebagai ‘Allah yang tersalib.’
Di atas kayu salib, Allah masuk dalam penderitaan bersama kita dan menebus derita itu untuk selamanya. Di tengah dunia nyata yang memedihkan ini, bagaimana mungkin seseorang menyembah Allah yang tidak pernah merasakan kepedihan itu?” Allah mengasihi kita dengan kasih yang kekal. Para pengikut Kristus dapat menerima kasih itu dengan pengharapan dan keyakinan; mereka juga dapat menawarkan kasih itu kepada dunia yang menderita jauh lebih dalam daripada yang pernah terbayangkan. Kita tidak menawarkan pengakuan iman atau ideologi, tidak pula teori atau teologi. Yang terutama kita tawarkan adalah Yesus, “Allah yang menderita bersama kita.”
Pelajaran Hidup
[ 31 ]
Buku-Buku untuk Pertumbuhan Rohani Anda Penghiburan yang Menyenangkan Jiwa Dalam buku ini, Bill Crowder menyingkapkan pribadi Allah Mahakasih yang sepenuhnya memahami hati kita. Dengan menggali 10 mazmur penghiburan bagi jiwa yang terluka, Anda akan mengalami kedekatan dengan Allah untuk mendapatkan kekuatan dan hikmat dari-Nya.
Saat Segalanya Semakin Sulit Berlandaskan pada hikmat Alkitab yang kekal, Joe Stowell memaparkan kebenaran yang bisa diandalkan dalam hidup yang semakin tak pasti. Pertanyaan tajam bagi pribadi maupun kelompok dalam buku Seri Hikmat Ilahi ini akan menuntun Anda memahami kebenaran yang dipaparkan dan memberikan petunjuk untuk menerapkannya.
Dapatkan di www.dhdindonesia.com Buklet Seri Terang Ilahi “BANGKIT DARI DEBU” diterbitkan dan didistribusikan oleh PT. Duta Harapan Dunia yang merupakan anggota keluarga RBC Ministries. Buku-buku yang bisa diperoleh melalui PT. Duta Harapan Dunia: • Santapan Rohani Edisi Tahunan Panduan bersaat teduh sehari-hari selama satu tahun. • Seri Kehidupan Kristen—Pedoman Dasar Hidup Kristen Buku yang membuat Anda mengerti siapakah Allah dan memperluas pengetahuan tentang iman Kristen. • Seri Hikmat Ilahi (SHI) Bahan Pendalaman Alkitab untuk pribadi maupun kelompok. • Seri Terang Ilahi (STI) Buklet yang mengulas beragam topik yang membuka wawasan rohani. PT. Duta Harapan Dunia PO Box 3500, Jakarta Barat 11035 Tel.: (021) 7111-1430; 2902-8955 ext. 214 • Fax.: (021) 5436-0474 E-mail:
[email protected] • Situs: www.dhdindonesia.com
[ 32 ] BANGKIT DARI DEBU
Misi kami adalah menjadikan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup dapat dimengerti dan diterima oleh semua orang. Anda dapat mendukung kami dalam melaksanakan misi tersebut melalui persembahan kasih. Klik link di bawah ini untuk informasi dan petunjuk dalam memberikan persembahan kasih. Terima kasih atas dukungan Anda untuk pengembangan materi-materi terbitan Our Daily Bread Ministries. Persembahan kasih seberapa pun dari para sahabat memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup. Kami tidak didanai atau berada di bawah kelompok atau denominasi apa pun.
DONASI