Seorang Penyair Persia menyatakan: Alunan nada musik adalah bidadari yang tinggal di kerajaan para Dewa. Bidadari itu jatuh cinta pada manusia. Lalu ia turun ke bumi menemui manusia. Namun ketika para Dewa mengetahuinya, mereka menjadi murka dan mengutus angin topan. Maka topan pun memburu sang bidadari. Menaburkannya di awang-awang. Menebarkannya di lorong-lorong bumi. Tapi jiwa musik tidak mati begitu saja, dan tinggal di sudut-sudut pendengaran manusia. Kahlil Gibran – Musik Dahaga Jiwa.
1
kolkjoij
2
DI SUDUT PIKIRAN Apa hebatnya perayaan Valentine? Setiap sudut toko menjual bunga, boneka dan pernakpernik lain yang berwarna pink. Kartu ucapan yang sekedar mengumbar kata cinta dan puisi kacangan dengan aneka gambar pasangan yang sedang berpelukan dengan mesra. Benar-benar menjual impian. Hei… bangun, sadar… kita ini tinggal di kehidupan yang nyata, dan jaman telah membelit kita dengan berbagai kasusnya. Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kemajuan teknologi yang tidak bertanggung jawab, virus baru yang belum ditemukan penangkalnya, semakin cerdiknya ulah kaum kriminal apalagi masih harus ditambah dengan masalah bangsa yang sukar dientaskan yaitu kemiskinan dan banjir. Lihatlah berita di TV, beberapa wilayah di tanah air terendam banjir akibat hujan yang turun cukup deras semalam. Seorang anak
3
perempuan yang saat disorot kamera mengenakan seragam sekolah duduk termenung memandangi kawan-kawannya yang bermain luapan air itu dengan ceria. Gambaran itu seakan mengisyaratkan sebuah pesan pada kita bahwa mereka –yang katanya adalah masa depan bangsa seharusnya dapat menikmati pendidikan tanpa terganggu oleh masalah perubahan cuaca dari musim kemarau ke musim hujan. Nyatanya sekolah mereka tidak bisa digunakan karena terendam air setinggi lutut. Jangankan di TV, di depan mataku saja hujan tidak berhenti-berhenti mengguyur kotaku. Sayatan petir membelah langit dalam hitungan 3 second. Tapi untungnya kotaku bukanlah sebuah kota metropolis. Di sini belum pernah terjadi banjir yang mengganggu sarana dan prasarana umum. Tiga jam sudah aku menunggu angkot di depan pintu sebuah café yang telah tutup. Hanya sekedar perayaan Valentine, hingga mampu menahanku berdiri berjam-jam di sini, melindungi tubuhku dari basah kuyup air hujan sampai larut malam. Biasanya aku tidak pernah sanggup untuk diam, maklum posisi center pada tim basket sekolah tidak menghendaki begitu. Diam
4
mematung dan hanya berdiri saja memandang bola. Pikiran itu bergelanyut dalam benakku. Hujan masih deras dan semakin sedikit mobil yang lalu-lalang di jalan ini. Sementara itu angkota E yang sejak tadi kutunggu belum juga tampak. Kubuka tas sekolahku yang sedari tadi terpanggul di bahu. Kulihat isinya, dan berharap semoga ada sesuatu yang bisa menghiburku dari kebosanan menunggu angkota yang belum lewat-lewat itu. Kebanyakan buku sekolah yang membukanya saja aku sudah jenuh. Bayangkan sudah empat lima kali kubolak-balik dan kuhafalkan isinya. Biologi rasanya sudah aku hafal di luar kepala bagaimana proses pembelahan sel dari morula ke bastrula kemudian menjadi gastrula hingga menjadi sel yang tripoblastik. Aku menemukannya. Kotoran Maxi ternyata sudah penuh, dan ia terlihat lapar. Aku membersikannya, memberinya makan dan mengajaknya bermain. Kulempar bola itu sejauh delapan kaki lalu ia akan berlari ke sana dan mengambil bola tersebut dengan giginya, kemudian berlari ke arahku dan memberikan
5
bola itu kepadaku. Kejadian yang berulang dan hujan masih juga belum mau reda. “Hei, kamu mau pulang?” Sapa seorang cewek dari dalam mobil sambil menurunkan kaca jendelanya. Secepat kilat aku kembali menyembunyikan Maxi ke dalam tas. Aku melihat sekelilingku, tidak ada orang. Aku memandangnya kembali, sambil menengadahkan tangan ke arah samping. Membaca bahasa tubuhku, cewek itu tidak ingin ketinggalan dalam menggunakan bahasa tubuh, ia menunjuk aku. “Aku.” kataku sambil mengarahkan jari telunjuk ke dadaku sendiri. “Iya kamu!” Aku menjawabnya dengan anggukan mantap. Ia membuka pintu mobilnya. Sebuah isyarat yang mengatakan bahwa cewek yang belum aku kenal ini menawarkan tumpangan gratis. Dengan berlari kecil menuju mobil yang pintunya sudah sedikit terbuka itu kugunakan tas untuk melindungi kepala dari rintihan hujan. “Kenalkan saya Maria.”
6
“Erlan.” Balasku singkat sambil menutup kembali kaca jendela yang sedari tadi terbuka. Penasaran juga kalau malam-malam begini ada cewek yang belum dikenal tiba-tiba memberi tumpangan gratis. Tapi daripada mati kebosanan berdiri di depan pintu café, lebih baik aku terima saja tawarannya. Yang penting aku bisa sampai di rumah. Aku mencoba mengamati wajah cewek yang menolongku ini selagi dia memasukkan kaset pada mulut tape mobil. Mencari gambaran yang tepat apakah aku pernah mengenalnya atau tidak. Aghhh… rasanya sukar juga mengenali wajahnya, sebab intensitas cahaya di dalam mobil sangat kurang. Kurasa dia mengenaliku. Kalau tidak mana mungkin ada cewek yang keluar naik mobil sendirian berani memberi tumpangan pada cowok yang tidak dikenalnya? Memang begitu di dalam mobil aku sempat was-was, jangan-jangan cewek ini adalah anggota penculik atau hantu perempuan yang mati penasaran. Tapi dengan cepat aku segera menepis anggapan tersebut. Dengan alasan apa cewek ini yang mau menculik atau menakut-nakuti anak sekolah ingusan seperti aku?
7
“Aku sudah tahu, kamu anak SMU 1 kan? Rumahmu yang di dekat rumah Bu Junah itu ya? Rumah yang pagarnya bercat biru dan kuning. Mirip Blueband!,” tanyanya memecah kesunyian di antara kami, namun sebelum aku sempat menjawab pertanyaan itu dia berkata lagi sambil menyalakan mesin dan melaju. ”Sampai di mana tadi?” “Rumahku, dan itu benar. Tapi kamu kok tahu?” “Tenang saja aku sudah mengamatimu sejak lama, anggap saja aku adalah salah satu pengagum rahasiamu yang baru sekarang ini kau temukan.” ***** Aku susah tidur, masih terbayang dalam memoriku cewek misterius yang mengantarku pulang. Dia tahu banyak tentang diriku, tapi dia tidak memberiku kesempatan untuk tahu tentang dirinya. Hanya sebuah nama Maria dan sebuah janji bahwa aku akan segera bertemu kembali dengannya. Tanpa jam dan tanggal pertemuan. Memang seisi sekolah banyak yang mengenal aku sebab aku adalah anggota tim basket, tapi bukan berarti ketenaranku akan menembus sampai seisi
8
dunia. Apalagi dilihat dari gaya bicaranya, Maria sepertinya dia bukan orang sini. Pikiranku yang masih mengembara di sebuah samudra tak berbatas dikalahkan oleh keletihan sekujur badanku. Tiga perayaan hari besar secara bergantian diadakan di café. Dan karena aku bekerja di sana otomatis seluruh tenagaku terkuras habis untuk menyukseskan acara tersebut. Hari raya Imlek, Idul Adha dan Valentine. Dua di antaranya belum pernah dan tidak mungkin pernah diadakan di jaman pemerintahan sebelumnya. Baru tahun ini pemerintah memberi kebebasan bagi perayaan tersebut. Sehingga agar tidak kehilanggan moment yang sangat langka ini di café tempatku bekerja menyelenggarakan ketiganya. Kunikmati ngilu dan linu yang terasa pada persendian tubuh sampai akhirnya akupun tertidur. ***** Aku berangkat sekolah. Seperti biasa aku menjemput Galih. Sahabatku yang satu ini kalau tidak dijemput bisa-bisa tidak sekolah. Terkadang sewaktu aku datang untuk menjemputnya, eeehhh…. Galih masih mengerjakan PR, kadang baru masuk kamar mandi,
9
susahnya lagi dia belum bangun tidur. Untungnya setiap aku datang ke sana, ibunya dengan hangat menyapaku dan menawariku untuk menikmati secangkir teh yang sulit kudapatkan di rumah. Jadi walaupun mengesalkan, ternyata juga ada untungnya menunggu Galih. Eittt….jangan berpikir negatif dulu! Bukannya Mama tidak perhatian kepadaku. Tetapi semua ini disebabkan karena kami harus bertahan hidup. Dan untuk bertahan hidup itu kami harus bekerja lebih keras dan melupakan acara minum teh di pagi hari yang disertai dengan sedikit cengkrama. Setelah berpamitan kami menyusuri lorong kecil sebagai jalan pintas menuju halte bus. “Le, kenapa kau tidak mengingatkanku!” bentakku pada saat kami akan menaiki bus yang telah lama kami tunggu. “Kenapa?” tanyanya enteng. Aku menggeretnya turun, dan mempersilahkan bus tersebut berangkat dahulu. “Aku tidak pakai celana” “Aku kira kamu memang berniat menciptakan mode tersebut.”
10
“Mode-mode, mode apaan? Memangnya aku sudah gila! Tunggu ya, aku pulang dulu.” Kami menunggu satu jam lagi untuk mendapatkan bus berikutnya. Dan sekarang aku sudah memeriksa seragamku. Semuanya sudah lengkap. Oh, Maxi di mana kamu? Maxi tertinggal. “Le, Maxi tertinggal. Kamu tunggu lagi ya, aku akan menggambil Maxi dulu.” Satu jam lagi untuk menanti bus. Kali ini semuanya lengkap, seragam juga Maxi. Kami naik bus dan tiba di sekolah pada saat waktu yang tepat. Tepat bel tanda pelajaran pertama dimulai. Galih sudah masuk ke kelasnya, aku akan masuk juga ke kelasku. Mereka semua tertawa, teman-temanku tertawa. Bahkan Bu Endah, guru Biologiku yang sedari tadi memandangku sinis karena aku datang hampir terlambat ikut tertawa. Ada apa denganku? Kuperiksa lagi seragamku dan tasku tempat aku menaruh Maxi. Semuanya hilang. Dan aku telah berdiri telanjang di depan kelas. Keringat mengalir deras di tubuhku. Tempat tidurku menjadi basah karenanya. Oh, rupanya aku bermimpi. Untung aku tidak sampai mengompol. Entah karena kecapaian
11
atau karena aku terobsesi untuk mendapatkan nilai yang baik saat ulangan esok sehingga membawanya ke dalam mimpi. ***** “Biar Paman ada kegiatan, apalagi kamu dan Rio kan bisa membantu Paman,” katanya w ak tu aku menanyakan tentang rencana pembangunan Reno Café kepada Paman Jaya setahun yang lalu. “Bisa jalan ya syukur, kalau nanti bisa dapat untung ya tambah syukur.” Paman sebenarnya orang yang cukup berada. Dari ketiga anaknya hanya Rio yang masih kuliah. Usia kami pun hanya terpaut satu tahun. Rio adalah kakak kelasku sewaktu kami masih sama-sama bersekolah di SMU Negeri 1 Probolinggo. Selepas SMU, kegemarannya pada seni lukis telah menuntunnya mendapat beasiswa dari Institut Kesenian Jakarta. Putra pertama Paman Jaya bernama Anto. Anto bekerja sebagai seorang dosen jurusan Sastra di Universitas Airlangga Surabaya. Ia sudah berkeluarga. Istrinya berasal dari Madura. Mereka mempunyai seorang putra yang masih berumur lima tahun. Berikutnya adalah Susi. Susi bekerja di sebuah perusahaan
12
swasta yang ada di Batam. Dengan statusnya yang masih bujang, gajinya di perusahaan itu sangat lebih dari cukup untuk biaya hidupnya sehari-hari. Selama menjadi remaja kehidupanku wajar-wajar saja. Sepulang sekolah sering aku membantu Paman Jaya untuk melayani tamutamu di café. Malam hari aku mengerjakan PR dan berlajar. Paman Jaya selalu memberikan aku kelonggaran bila ada kegiatan sekolah yang membutuhkan perhatian ekstra. Sehingga meskipun aku sekolah sambil bekerja, aku masih sempat menikmati masa-masa remajaku. Liburan pun, seperti remaja lainnya aku juga hang out bareng temen-temen. Mimpi yang aneh-aneh jika aku sedang tegang menghadapi ujian atau hal penting lainnya itu juga dapat dikategorikan dalam bentuk kewajaran kan? Kadang aku yang kelewatan, karena terlalu terobsesi untuk bersikap “wajar” – menjadi pegawai yang professional, aku malah merugikan diriku sendiri. Kejadian kemarin malam, di mana aku tidak bisa pulang karena langit masih memuntahkan kekesalannya pada bumi sebetulnya tidak perlu terjadi seandainya saja aku mau menerima ajakan Paman Jaya untuk mengantarku pulang
13
dengan mobilnya. Namun begitulah penyesalan, selalu datang terlambat. Lagi pula kalau aku ikut Paman Jaya malam itu, aku tidak mungkin bisa bertemu dengan Maria, si cewek misterius itu. Namun sejak malam di mana aku bertemu Maria aku merasakan ada sesuatu yang lain, sesuatu yang misterius yang membawaku melampaui dunia di mana aku berada sekarang ini. Sesuatu dari masa silam. Sesuatu yang tidak dapat kuingat kembali kapan hal itu terjadi? Sesuatu yang hanya dapat kulihat di dalam mimpi dan terlupa ketika bangun. Sesuatu yang juga tidak dapat dikatakan mimpi, sebab sesungguhnya aku masih terjaga. Antara impian dan kenyataan di mana aku dan Maria selalu terlibat di dalam setiap kisahnya. Pertanda apakah ini? Apakah ini suatu petunjuk yang sempat dia bicarakan? Apa hubungan mimpi-mimpi ini dengan Maria dan juga diriku? ***** Istirahat sekolah, kantin selalu penuh sesak oleh lidah-lidah yang lapar. Sehingga dari aroma makanan saja kami sudah tahu jenis makanan apa yang dijual. Kami berdesak-
14
desakan dan saling sikut untuk mendapatkan pelayanan lebih dulu dari Pak Su’ud. Pak Su’ud adalah pengelola kantin. Orangnya santun dan ramah. Badannya berwarna gelap, mungkin karena terlalu sering terkena sinar matahari. Maklumlah, selain bekerja sebagai pengelola kantin, Pak Su’ud juga bekerja sebagai penarik becak. Banyak guru-guru di sekolahku yang abonemen untuk mengantarkan putra-putri mereka ke sekolah. Dan tak lepas dari ciri-ciri Pak Su’ud adalah kopiah yang selalu ia kenakan. Katanya kopiah itu adalah satu-satunya kenangan dari putrinya yang sudah meninggal. “Es teh Pak.” Kataku. “Berapa Lan?” “Le, kamu mau nggak?” Tanyaku pada Galih yang hanya dijawab dengan gelengan kepala. “Satu saja Pak.” Ujarku kembali pada Pak Su’ud. Sebenarnya aku sudah tahu apa yang sedang dipikirkan Galih. Sebentar lagi pelajaran Sejarah dan dia belum mengerjakan tugas rumahnya. Galih memintaku agar dengan segera menghabiskan es teh yang kupesan. Dalam perjalanan kembali ke kelas, aku masih sibuk
15
memikirkan mimpi-mimpi itu, dan aku ragu apakah sahabatku ini bisa dipercaya? Apakah aku tidak dianggap orang gila nantinya. “Le, kamu ingat waktu dulu aku cerita kalau aku diantar pulang sama gadis misterius?” “Ya.” Jawabnya malas-malasan. Sebab Galih saat ini masih berkonsentrasi mengerjakan PR Sejarah yang diberikan Bu Maryati. “Sudah sebulan belakangan ini aku mengalami mimpi-mimpi yang aneh. Gadis itu selalu datang di setiap mimpiku.” “Hei, kamu tidak sedang menceritakan pengalaman mimpi basah kan?,” Tiba-tiba Galih menjadi bersemangat ingin mengetahui mimpiku secara rinci. “Memangnya kamu belum pernah mimpi basah?” Enak saja, saat itu umurku masih 12 tahun dan aku duduk di kelas II SLTP. Pada suatu malam, aku tidur seperti biasa. Tidak ada suatu perasaan apapun yang kurasakan kecuali cape’ dan ngantuk. Malam itu aku bermimpi sedang bermesraan dengan seorang gadis, kami melakukan hubungan badan. Dan saat itulah aku mengalami ejakulasi untuk pertama kalinya. Walaupun terasa nikmat, hal
16
ini sangat kusesali. Sebab gadis yang kugauli adalah Emil. Teman sekelasku yang bertubuh gendut dan mukanya penuh dengan “bintang”. Aku sendiri heran kenapa bisa dia? Padahal kami berdua tidak pernah bertegur sapa dan saat itu aku lagi mengalami apa yang dinamakan orang cinta monyet pada Fira. Kuceritakan semuanya pada Galih. Tentang masuknya gadis itu dalam mimpimimpiku. Kisah cinta kami, menjelajahi jaman dan tempat-tempat yang berbeda dan kematian yang menjadi akhir ceritanya. “Kamu percaya pada Galih.
reinkarnasi?”
tanyaku
“Tidak. Sebab bagaimana seseorang dapat bertanggung jawab terhadap perbuatannya pada kehidupan yang telah ia jalani jika dia selalu mengalami reinkarnasi?” “Bisa jadi wujud di kehidupan mendatang adalah bentuk tanggung jawab yang diberikan oleh “suatu ketiadaan” dari kehidupan masa lalu yang telah kita jalani.,” Galih tampak berpikir “Bagaimana dengan Avatar, apakah kamu percaya?” “Tunggu…Tunggu…Kau tidak bermaksud mengatakan bahwa Maria adalah seorang
17
Avatar karena dia hidup dalam ruang dan waktu yang sama dengan kita dan dia berada diluar ruang dan waktu yang telah kita lalui, saat ini dan masa mendatang? Dan kau adalah kunci menuju dunianya bukan?,” Galih menarik nafas panjang. “Sudahlah Erlan, kurasa itu hayalah bunga tidur. Dan kau tahu, mengapa semua kisah itu berakhir kematian?” Aku menggelengkan kepala. “Kamu masih merasa takut untuk kembali berhubungan, setelah kamu putus dengan Ratna.” Kini giliran aku yang terdiam. Meskipun aku sudah bisa menerima kenyataan bahwa Ratna sebenarnya tidak mencintaiku, tetapi aku tidak suka jika hal ini diungkit-ungkit kembali. ***** “Hai kamu tahu tidak kalau nanti sekolah kita akan didatangi oleh siswa pertukaran pelajar?” “Dari mana?” “Aku sih kurang tahu, tapi kabar burungnya sih homestay-nya akan dipilih di rumahnya Hendra.” “Asik, kita nanti punya adik kelas bule.”
18
“Kuharap orangnya tampan, biar bisa jadi pacarku.” Kabar-kabar itu terus berkembang dari anak yang satu ke anak yang lainnya. Terutama di tempat siswi-siswi berkumpul beritanya semakin menjadi-jadi. Memang ini baru pertama kalinya sejak krisis moneter melanda negeri ini dan juga tragedi bom Bali, sekolah ini diperbolehkan menerima siswa pertukaran pelajar kembali. Jadi wajar kalau kami –siswa yang belum pernah sama sekali ketemu anak bule sangat mengharapkannya seperti mengharapkan durian runtuh.
19
20
HOPLITON & HESTIA Athena. Kota terindah yang dikelilingi oleh lautan biru dan pulau-pulau kecil yang mengapung bagaikan mutiara yang tersebar di lautan. Dengan kemegahan Parthenon melengkapi keanggunannya di antara citadel dan horos. Bangsa pertama yang mendiami daerah ini adalah Mycenae. Mereka mendirikan citadel, berkelana ke Mediterania untuk membuka daerah baru sehingga mengilhami Homer dalam menulis puisi. Iliad dan Odyssey. Seperti saat ini, negeri ini pun tak luput dari pengamatanku. Negeri ini bukanlah tanah pertanian yang subur sebab sangat sedikit hujan pada musim panas serta dikelilingi oleh pegunungan. Tetapi penduduk masih dapat menanam barley dan gandum di sela-sela pohon zaitun pada ladang mereka atau mengusahakan angur di lereng bukit yang dibuat bertingkat-tingkat.
21
Sejak kalah melawan Sparta dalam perang Peloponnesia, Athena memperoleh suatu penghinaan besar dengan dibentuknya Dewan Tiga Puluh Tiran oleh Lysander. Kekuasaan tirani pun ditandai dengan adanya teror terhadap lawan-lawan politik mereka. Karena takut, banyak pendukung demokrasi yang lari keluar dari Athena. Hanya orang orang yang tetap terkukung dalam keadaan jiwa tidak bahagia, tidak menyadari kebaikan sejati, mereka akan memilih penguasa yang sama kelirunya. Namun bagaimanapun juga ketika rasio kita terbuka, jalan yang benar untuk hidup akan terlihat. Kekuasaan tirani digulingkan dan sistem demokrasi mulai deperbaiki, namun masih tetap mengecewakan. Terutama hukuman mati terhadap Socrates yang dilakukan oleh Meletos atas tuduhan melawan institusi agama dan mempengaruhi anak muda dengan buruk. Tapi siapapun tahu skandal apa yang sebenarnya terjadi 1 .
1
Ketika meletus perang saudara. Tiran sangat menyadari bahwa posisi mereka mengundang sakit hati. Itulah sebab‐ nya, mereka sangat ingin melibatkan sebanyak mungkin orang dalam kegiatan teror dalam rangka berbagi kesalah‐ an. Sokrates adalah kandidat yang bagus, bersama empat
22
Mereka menatapku dengan pandangan yang aneh. Seorang wanita yang berjalan-jalan di sekitar stoa 2 . Padahal biasanya wanita hanya tinggal di dalam rumah atau pergi ke agora di pagi hari. Mereka selalu saja menyisihkan wanita. Padahal Athena juga seorang wanita. Tidak hanya dalam menyalurkan pendapat yang melibatkan warga kota, namun dalam hal pengajaran hanya murid pria yang diperbolehkan untuk sekolah. Sedangkan aku hanya belajar bagaimana mengurus rumah. Heterae 3 , adalah sosok yang kukagumi sekaligus kubenci pada saat yang sama, sebab kegiatan seperti membaca dan memainkan alat musik dengan bebas mereka lakukan.
orang lainnya ia diberi tugas melakukan perjalanan ke P. Salamis dan menangkap Leon, tokoh oposisi demokratik terkemuka. Sokrates menolak dan pulang ke rumahnya tanpa mempedulikan konsekuensi yang harus ia tanggung. 2
Bangunan panjang terbuka dengan tiang‐tiang besar dimana para pria membicarakan bisnis dan gagasan mereka. Di tempat seperti ini pula para filsuf Yunani seperti Socrates dan Plato berdebat dalam kelompok kecil mahasiswa untuk mencoba dan mencari kebenaran tentang sebuah masalah yang mereka pikirkan. 3
Gadis yang menemani tamu dalam symposium, semacam wanita penghibur papan atas. Banyak diantaranya yang berpendidikan sangat baik dan bisa membaca serta bermain musik.
23
Mungkin mereka yang dengan bangga bisa mendapatkan kebebasan tubuh dan pikirannya juga merasa sedih dan terkurung apabila diperhadapkan dengan cinta. Pemuda mana yang akan memberikan cintanya secara tulus kepada mereka? Lantas manusia seperti apa yang benarbenar bebas? Untunglah ada orang-orang seperti Plato yang tidak kolot amat dalam hal ini. Meskipun masih berasumsi bahwa pria rata-rata lebih baik daripada wanita dalam segala hal, namun ia berpikir perbedaan mutlak antara pria dan wanita hanyalah yang sifatnya biologis, pria menurunkan anak dan wanita melahirkannya. Wanita juga bisa memiliki talenta mengagumkan memimpin kelas masyarakat. Entah kepada siapa aku harus menumpahkan rasa marah, jengkel dan cemas ini? Kepada masyarakat, kepada aturan yang mereka buat atau kepada Athena? Dengan masalah yang tidak bisa aku temukan jalan keluarnya, sebuah alunan musik lira membuat perasaan yang semula dipenuhi ketidakjelasan menjadi sedikit lebih tenang. Kupandangi sekelilingku mencari siapa yang memainkannya.
24
Seorang pemuda yang tengah bediri di dekat salah satu tiang stoa. Jari-jarinya menari dengan lincah di atas dawai-dawai lira. Kadang anggun dan mantap, kadang menyayat, kadang nada-nada tersebut berlompatan oleh emosi. Menyedot jiwa-jiwa kami pada magnet perasaan yang tak berdasar. ‐ Siapa yang bermain lira? Tanyaku pada orang di sebelahku. ‐ Dia anak Alevaro, kau belum kenal dia ya? Dia itu sangat sombong. ‐ Aku memandangnya heran, perasaan bukan itu pertanyaanku. ‐ Siapa namanya? Kuulangi pertanyaanku. ‐ Hopliton. ‐ Perisai pelindung. Semoga ia seperti namanya. Hidup ini sangat aneh, kadang menyenangkan tapi tak jarang pula menyedihkan. Mungkin ini akibat dari kotak Pandora 4 . Ketika kita terhimpit kita merasa paling susah, kita merasa orang lain tidak memahami kita, dan tidak tidak ada yang mau menolong kita. Tapi di saat kita mampu keluar dari
4
Kotak bersegel berisi kejahatan –penyakit, perang, kesedihan, kematian, dsb yang dikirimkan Zeus bersama Pandora sebagai mas kawin kepada Epimetheus.
25
himpitan itu, kita merasa menjadi orang yang hebat, dan perasaan kita menjaadi lega. Untung dalam kotak tersebut masih tersisa pengharapan, karena seseorang yang tidak mundur dari masalah akan menuju takdirnya. Apakah yang kulakukan ini hal yang salah? Aku berusaha dengan keras agar mereka mau memahami jiwaku. Cobalah untuk mendengarkan kata hatiku sekali ini saja. Aku juga bisa melakukan yang dilakukan oleh anak laki-laki seperti menulis, membaca, dan bermain musik. Tapi kenapa hal tersebut justru membuat kalian malu. Ayah, kehidupan bukan hanya milik laki-laki, aku seharusnya juga berhak untuk menentukan kegiatan apa yang kusenangi. Aku nantinya juga akan menjadi wanita seperti Ibu, dan nantinya juga aku akan melayani suamiku dan mengurus anak-anakku dengan baik. Permainan liranya sudah selesai. Tepuk tanganku memecah keheningan, walaupun orang yang duduk di sebelahku menatapku heran, namun kali ini ia bangkit juga dari tempat duduknya dan memberikan salam penghormatan.
26
- Hai, sapaku, namun sapaanku tidak menimbulkan reaksi. Hallo, bolehkah aku berkenalan denganmu? Ia tetap diam, mungkin benar yang dikatakan orang tadi bahwa ia sombong. Permainan liramu sangat menawan. Kenalkan namaku Hestia sapaku untuk terakhir kalinya, namun ia tetap tak bergeming. Kurebut lira yang ia pegang. Saat busur penggesek mulai memainkan irama, kulihat Hopliton sangat kaget, namun selanjutnya hal ini mungkin menimbulkan ketakjuban. Semua orang yang berada di dalam stoa sepertinya juga tersihir dalam alunan lira yang kumainkan. ‐ Itu dia! Teriak Maximus. ‐ Hestia di sana! Kata Nicholaus sambil menunjuk ke arahku. Oh gawat mereka datang! Maximus dan Nicholaus adalah kakakku. Mereka pasti bermaksud untuk mengembalikan aku ke dalam istananya. Tak lama keadaan pun berubah menjadi kacau. Permainan terhenti orang-orang yang tadinya tersirir oleh alunan musik kini bingung melihat aku dikejar-kejar. ‐ Biarkan aku, jangan ganggu aku. Teriakku.
27
‐ Hentikan! Teriakan Hopliton yang tibatiba menghentikan mereka. ‐ Memangnya kau siapa? Menyingkirlah, jangan ganggu urusan kami. Mereka mendorong Hopliton sampai ia jatuh terjerembam mencium tanah. Kemudian mereka menyeretku. **** Mungkin inilah sebabnya mengapa mereka melarangku, sebab ternyata menjadi manusia itu tidak mudah. Kita tidak bisa bertindak sesuai dengan keinginan kita, penuh normanorma yang membatasi bahwa tindakan kita adalah sesuatu tindakan yang pantas dan terpuji bila dilakukan. Kehidupanku yang sekarang adalah kehidupan yang terangkai dengan kehidupan orang lain. Dan peraturan bertujuan menyajikan keindahan rangkaian utuh dari bunga kehidupan. Meskipun pada kenyataannya aturan itu sangatlah relatif. Suara ketukan yang berasal dari luar jendela kamar mengakhiri lamunaku. ‐ Siapa? Tanyaku dengan suara berbisik. Tak ada suara dari luar. Dengan sangat hatihati aku membuka pengait jendela, dan kubuka
28
pelan-pelan. Hopliton, bagaimana kamu bisa sampai ke sini? Tetap dalam suara pelan - Apakah kau mau ikut denganku? Aku mengangguk, dengan bantuan Hopliton aku meloncat keluar dari jendela kamar. ‐ Kita mau ke mana? ‐ Menonton teater. Sungguh tak biasa, ini pertama kalinya aku menonton teater. Sebuah festival keagamaan besar yang melibatkan beberapa penulis saling bersaing untuk mendapatkan hadiah. Kami mendapatkan tempat duduk terdepan, lagi-lagi karena kekuasaan keluarganya yang mampu mengendalikan hal-hal kecil macam ini. ‐ Kamu sudah pernah menontonnya? Hopliton bertanya kepadaku, aku hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban. Itu, mereka yang berdiri di panggung disebut dengan aktor, sementara orang-orang banyak yang berdiri di tengah dinamakan chorus. Tugas mereka menyanyikan lagu-lagu atau menceritakan latar belakang cerita. - Tapi bagaimana…?
29
- Sssssttt! Hopliton sudah lebih dulu menempelkan jari telunjuknya di mulut. Pertunjukan dimulai. **** ‐ Permainanmu bagus. ‐ Terima kasih. ‐ Aku mengikutimu. Mengapa orang-orang itu membawamu dengan paksa dan menguncimu di kamar? ‐ Mereka kakakku. Kau tahu sendiri kan, orang tua yang malu punya putri yang sangat aneh. Aneh karena suka bermain lira daripada mengatur rumah, aneh karena mengikuti akademi daripada belajar memasak, aneh karena tampil di depan umum. Aku ingin seperti dirimu, bebas menentukan pilihan. ‐ Mulai detik ini kau bebas, aku akan membelimu. ‐ Kau akan menjadikanku budak, itu sama saja tidak membebaskanku! Sahutku. ‐ Kembalilah, kau tidak seperti budak yang terlalu bodoh untuk melihat jalan masukmu kan. Jendelamu ada di sana! Tunjuk Hopliton sambil berlalu pergi meninggalkanku. Tinggal aku sendiri menatapnya dengan heran. ****
30
‐ Kereta yang dikirim Hopliton sudah menunguku di depan rumah. Sementara itu, Ibu sangat terkejut ketika mendengar bahwa keluarga Alevaro mengundangku untuk makan malam di rumahnya. ‐ Bagaimana bisa ia mau berbicara denganmu, apalagi mengundangmu? ‐ Perasaanku juga sama terkejutnya denganmu, Bu! Kadang-kadang ia sangat perhatian, dan mau banyak bicara, tapi sementara aku mencoba ramah kepadanya ia malah terkesan dingin. Sambil menberi penjelasan aku menggenakan terompah terbaik pemberian ibu dan berpamitan padanya. Selain makan malam, rupanya Hopliton merencanakan sebuah kejutan kecil terhadapku. Ia mengajakku mengikuti acara symposium 5 yang diselenggarakan oleh ayahnya dan para undangan pria. Mereka juga mengundang heterae.
5
Pesta minum pria‐pria kaya Yunani yang dilakukan sehabis makan malam. Acara ini juga merupakan tempat yang tepat untuk berkenalan dengan orang baru. Mereka berbaring di dipan, kepala mereka sering dihiasi bunga‐bungaan. Dalam acara ini makanan yang disajikan lebih baik dari pada maka‐ nan sehari‐hari, begitu juga dengan perabot makan yang digunakan. Setelah makan biasanya para tamu bersaing dalam bernyanyi, memainkan lira, membaca puisi dan kottabos.
31
‐ Ayah, dia Hestia. Kata Hopliton, memperkenalkan aku pada ayahnya. ‐ Oh. Hanya itu ucapan ayahnya. ‐ Silahkan. Ia mempersilahkanku masuk ke ruang symposium. Kau bisa merasakan tugas heterae. ‐ APA? ‐ Maksudku temani aku. Para pria duduk mengelilingi ruangan symposium, sementara para budak sibuk menari dan menyajikan makanan kepada tamutamu. Inilah kesempatan yang kutunggu. Aku juga mendapat kesempatan bermain lira. Saat dawai-dawai bergesekan dengan tongkat penggesek, alangkah merdu suaranya. ‐ Hestia, ayo! Aku akan mengantarmu pulang sebelum acara ini menjadi acara yang memuakkan. **** ‐ Tak kupungkiri aku mencintaimu Hopliton, jika itu pertanyaanmu. Perlahan-lahan aku semakin mengetahui apa yang membuat Hopliton gundah. Rupanya hal itu tidak berbeda denganku. Seberapa besar usaha yang kami lakukan untuk meyakinkan orang tua kami bahwa diri kami
32
sendirilah yang berhak mengatur jalan hidup kami, bukan mereka. Mereka telah membuat kami menjadi orang yang tertutup dan pasrah dengan keadaan. Menyerah begitu saja ketika harus menerima seorang wanita yang dipilih Alevaro untuk menjadi istrinya. Inilah sebuah harga yang harus kami bayar. Tak seorang pun yang menjadi manusia yang utuh. Tak seorang pun yang merdeka. Seiring waktu, kami berkeyakinan bahwa satusatunya jalan agar dapat menempuh kehidupan milik sendiri adalah dengan kematian. Dengan maut kami terbebas dari beban masa silam. Melepaskan jiwa kami yang resah dengan jalan meminum semangkok racun seperti Socrates yang membebaskan diri dari hutangnya kepada Asklepios 6 . Begitulah, yang fana pun menaklukkan yang baka, jutaan nasihat dan teguran akhirnya menyerah pada keheningan.
6
Dewa kedokteran dan penyembuhan yang mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan jiwa seseorang dari penyakit dunia, sebagai persiapan menjalani dunia berikut‐ nya atas harapan agar jiwanya selamat memasuki dunia setanjutnya. Dan Sokrates percaya tentang keabadian jiwa.
33
34
RUMOR & SEDKI Seribu hari atau seribu tahun sama artinya bagi kami. Menyatu bersama partikel dan debu pada galaksi. Sampai saatnya kami harus kembali di Mesir pada hari Ideas. Mesir adalah pusat kebudayaan yang hebat, terutama Giza. Sampai sekarang pun keindahan piramid dapat dinikmati bahkan sangat diminati dan terpelihara dengan baik. Memang siapa yang mau menyentuh harta yang tersembunyi dibawahnya jika kau tahu harta tersebut dilindungi oleh kekuatan sihir yang sangat dasyat. Sungguh aku sangat mengaguami Cleopatra, putri Plotemi XI. Tak salah bila dia mengakungaku sebagai anak Amon Ra. Ia putri yang hebat, ia juga mati untuk cintanya. Bagi Mesir dan Mark Anthony, bukan karena menyerah pada Octavianus. Hal tersebut yang membuatku tertarik untuk kembali, meskipun Mesir di bawah pemerintahan Roma. Sedki, itulah namaku. Aku adalah keturunan ke-13 Zuanhad, keturunan seorang penyihir. Dan sebagai keturunannya tentunya aku mewarisi bakatnya. Bakat yang kukira
35
dapat membantu mempertahankan cinta, ternyata tidak berfungsi sama sekali. Malah karena darah yang mengalir pada tubuhku inilah yang membuat bencana. Mereka menilai bahwa kami mengadakan perjanjian dengan setan dan menggadaikan jiwa kami kepadanya. - Pangeran Rumor, Sedki sudah datang. Seorang punggawa menyampaikan kabar dengan badan yang tertunduk tanpa menatap sebagai tanda penghormatan. - Bawa dia kemari! Memasuki ruangan ini, terasa sekali perbedaannya. Di lantainya terhampar permadani yang indah, dinding yang dihiasi oleh ukiran kayu papyrus dan emas. Gadis-gadis cantik dengan pakaian yang indah mengelilingi Rumor. Sementata vizier berdiri di sebelahnya. Lalu para prajurit yang sedari tadi mengawalku, menendang tungkai kakiku dari belakang dan membuat tubuhku yang terikat secara tak sadar bersujud padanya. - Aduh! Erangku. Aku mencoba menguasai suasana, sedangkan mereka memastikan bahwa aku mengambil sikap berlutut. Ia bangkit dan berjalan mendekat, ia mengangkat wajahku, mengendusku seakan aku
36
adalah kucing yang tidak pernah mandi. Lalu ia menjungkirkan kepalaku sambil berdiri dan menunjukkan tangannya dengan tegas ke arah luar. Apa lagi yang akan menimpaku? Apakah aku akan terpanggang hidup-hidup dalam api seperti yang dialami oleh kedua orang tuaku? Sebuah titah yang mengaburkan bukti kebenaran. Para prajurit kembali mengangkatku dan menggeret aku meninggalkan singgasana. Kami kembali meliwati lorong-lorong istana yang megah, sepertinya mereka akan membawaku ke tempat yang gelap dan pengap. **** - Sedki, Sedki bangunlah! Seseorang menampar ringan pipiku. Begitu aku membuka mata aku terlonjak kaget hingga terjatuh. Mereka rupanya belum membawaku ke dalam penjara, ini sebuah kamar yang indah. Rumor, ia menatapku tapi kali ini kembali pada tatapannya yang hangat. Aku tidak akan menyakitimu. Aku akan melepaskan ikatanmu, tapi kumohon jangan membuat kegaduhan. Katanya, sementara aku hanya mengangguk. Setelah ikatanku terlepas seluruhnya aku mengambil
37
jarak darinya, menyandarkan diri pada dinding kamar. - Kau aman sekarang. Cepatlah tinggalkan Mesir. Tanpa memandangku ia mengatakannya. Ketakutan membuktikan adanya kegelapan, ketidaktahuan dan sesuatu yang tidak dipahami oleh manusia. Gelap mengha-dirkan kembali sesuatu yang tidak dikenal. Mengaburkan kejernihan pikiran menjadi emosional. ‐ Mengapa Rumor? Mengapa? Yang dapat kulakukan saat ini adalah menangis. Menangis karena aku hidup dalam pelarian dan dikerjar oleh rasa bersalah yang tidak pernah kulakukan. ‐ Tumpahkan semuanya di sini. Rumor membawaku dalam pelukannya. ‐ Rumor, Aku capek. ‐ Bagi seorang Firaun perkataannya adalah hukum. Dan yang dapat kulakukan adalah menunda bukannya mengganti hukum itu. Kumohon Sedki tinggalkan negeri ini. Berjanjilah kepadaku bahwa kau akan menjaganya. Tak hanya ucapan selamat tinggal, tapi juga ciuman yang mengiringi kepergianku.
38
‐ Semoga Hathor 7 menyertaimu. Meski beribu ribu mil jarak yang kutempuh untuk berusaha lepas dari hukum firaun, namun tetap tak mampu mengubah takdirku, mereka selalu saja mengetahui keberadaanku. Hingga aku kembali mempertanyakan keyakinanku. Benarkah Kekuatan Agung itu ada? Kehamilanku sudah tidak bisa ditutupi dan aku semakin lelah untuk berpindah-pindah menemukan tempat persembunyian yang aman. Aku tertangkap. ***** Ini sangat tidak adil. Walaupun Rumor sadar bahwa ada hukum yang lebih tinggi dari hukum dunia, lebih tinggi dari hukum yang diciptakan oleh sabda raja. Tetapi, kebiasaan yang diciptakan firaun-firaun terdahulu dan pengaruh para pendeta tidak bisa ditentang oleh satu pangeran saja. Seandainya aku bisa memilih, lebih baik aku menikmati kebahagiaanku yang sesaat bersama Rumor dan penjara sebelum mereka mambakarku hidup-hidup seperti yang mereka lakukan pada orang tuaku.
7
Dewi yang menjaga wanita dan anak‐anak dan melindungi mereka dari kejahatan.
39
Firaun mengeluarkan perintah untuk membunuh semua orang yang mempunyai kemampuan sihir dan meramal. Ia merasa terancam akan hasil ramalan penafsir mimpi yang mengatakan bahwa –akan lahir seorang anak dari golongan kami yang akan mengalahkan engkau dengan permberontakan dan tidak akan mengakui engkau sebagai Tuhan. Malam itu juga ia langsung membunuh penafsir mimpi itu. - Bunuh semua penyihir! Bantai seluruh keluarganya! Perintah Firaun kepada prajuritnya. Ketamakannya akan kekuasaan membuat keluarga kami yang sebelumnya hidup tentram menjadi seorang pelarian. Pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Gelisah dalam persembunyian hingga akhirnya tertangkap. ‐ Hentikan Ayah, bukankah ketamakanmu sendirilah yang nantinya melahirkan kehancuran. ‐ Kau tahu apa Rumor?! Serunya. Kau harus belajar untuk tidak menggunakan perasaan ketika berhadapan dengan ancaman. ‐ Tetapi itu bukan ancaman Ayah. Itu mimpi! Sedangkan yang mengancam Ayah adalah perasaan ketakutan ketika perkataan peramal itu menjadi kenyataan.
40
‐ Sebelum eksekusi Rumor melihat keadaan penjara, mungkin sekedar ungkapan keprihatinan yang tidak dapat ia ucapkan dengan kata. Ia memandangku. ‐ Tenanglah anakku kau akan selamat. Ia akan menyelamatkanmu, ia akan jatuh cinta kepadamu dan dari rahimmu akan lahir seorang raja. Bisik Ibu. ‐ Aku mencintaimu Bu. Kupeluk Ibu, dalam dekapannya aku menangis. ‐ Kumohon Pangeran selamatkan putri kami. Pinta Ayah. Aku tidak tahu apa maksud perkataan Ibu. Ibu, satu hal yang kurasakan adalah debaran jantungku. Rumor memenuhi permintaan terakhir Ayah. Dengan menempuh bahaya ia menyelamatkanku, membawaku keluar ke perbatasan Mesir. ***** Kupu-kupu terbang melayang, hal aneh yang terjadi di daerah gurun. Sebuah isyarat bahwa kekasimu akan datang. Menyatu dalam hening malam antara desahan nafas dan detak jantung.
41
Hanya ada sunyi sebab kata telah tercekat di tebing kerinduan. Hanya ada tatapan akan kekaguman pada bintang di langit malam. Hanya ada tangis bahagia yang mengiringi pertemuan. Hanya ada pelukan lunasi campuran rasa hati yang meluluhkan segalanya. Cinta, bahagia, kerinduan. Hanya kau yang mampu melakukannya. Kunikmati segalanya hanya dalam tatapanmu. - Sedki, ternyata kamu lebih cantik dari apa yang kulihat selama ini. - Apa kau terbiasa melakukan hal ini untuk menyenangkan orang yang mau tidur bersamamu? 8 - Meskipun kemewahan istana telah mengundang kecantikan mereka, namun istana tidak menarik perhatian kupu-kupu yang hanya memerlukan setetes madu. Kemarilah biar kubantu kau untuk menggenakan kohl. ***** Aku kembali menjalani kehidupan yang berat. Sekarang aku tinggal di sebelah barat Gaul. Rumor, aku akan memegang janjiku
8
Bagi pria Mesir, mempunyai banyak istri adalah hal yang penting. Bahkan firaun memiliki ratusan istri.
42
kepadamu untuk menjaga anak ini sampai ia dilahirkan. Walaupun kau tidak pernah mengatakannya, namun aku tahu bahwa kau mencintaiku. Bunga lotus seakan mengundang ketertarikan sepasang kupu-kupu. Suatu isyarat…. ***** Ini benar-benar penjara. Penjara yang pengap dan lembab. Tempat yang mengingatkanku akan ajalku yang datang setelah sang fajar membuka pintu gerbangnya bagi matahari. Namun saat ini perasaanku menjadi sangat lega. Aku sudah memegang janjiku untuk menyelamatkan anak kita. Biarkan waktu yang mengatakan semua yang tak sempat kita katakan. Dan menjawab semua yang tidak sempat kita jawab. Kadangkala, kenyataan jauh lebih aneh dan lebih menakutkan dibanding dengan khayalan itu sendiri. Rumor memelukku dengan tangan yang masih memegang ankh. 9
9
Tanda yang berarti “kehidupan” ini hanya dipegang oleh dewa dan para raja yang memiliki kekuasaan atas kehidu‐ pan dan kematian.
43
- Sedki terima kasih. Baru kali ini aku melihat air mata mengalir dari kedua matanya. - Ramor, aku takut. Peluklah aku lebih erat. Tanpa disadari ankh tersebut menyentuh tubuhku. Dan aku menang. Mene, mene, tekel, ufarsin. 10
10
Tulisan yang terletak di dinding istana pada waktu raja Belsyazar berkuasa di Babylonia (Daniel 5:25). Pada saat itu raja mengundang seluruh ahli jampi, Kasdim dan ahli nujum untuk menerjemakan arti dari tulisah aneh tersebut, dan tak seorangpun yang dapat memberitahukan maknanya kecuali Daniel.
44
BHAGAVAD & POOJA Sejak kapan peradapan manusia itu dimulai? Siapakah manusia pertama? Banyaknya perdebatan membuat kita semakin ragu, membuat kita lari dari hakiki kebenaran. Bahkan aku yang semula yakin bahwa segala sesuatu di bumi bergerak menurut irama tarian dewata pun meragukan keyakinanku itu. Namun suatu kepastian yang membawa diriku memperoleh pencerahan diri, bahwa pencip-taan di dunia ini adalah tiada akhir. Hindhustan, negeri yang percaya akan kekuatan Brahma, Wisnu dan Shiva. Entah dari mana awalnya, mengapa kami percaya kepada para Rsi kuno yang menurut cerita telah mencapai muni? Yang mengajarkan suatu kepercayaan sacara esoteris hanya kepada kelompok-kelompok tertutup di bawah bimbingan mereka. Apakah mereka yang telah tahir bisa berbicara dengan ketiga dewa itu sehingga mencapai suatu kesepakatan tentang segala aturan bagi manusia dan dunia?
45
Kekuatan Hinduisme didasarkan pada sebuah cara bertindak daripada sebuah “teks dasar” untuk menggambarkan prinsip filsafat Hindu yang tepat, pilihan terbaik adalah prinsip-prinsip yang terdapat dalam Upanishad. Saat Angin Shishira berhembus lembut menebar kesejukan, kuil-kuil Shiwa dipadati orang yang yang akan memberi persembahan dan penghormatan kepada Shiva dengan tebaran bunga. Apakah mereka juga yang memerintahkan kita untuk berlaku demikian? Membawa dan menabur bunga pada setiap acara doa. Juga dengan ajaran kasta, apakah Shiwa yang berbicara melalui para Rsi membuat perbedaan ini? Ataukah mereka sendiri yang tidak ingin kekuasaannya terguling membuat suatu peraturan ini dengan menempatkan Brahmana di atas tiga kasta yang lain? Dimanakah Shiwa ketika aku membutuhkan bantuannya? Gadh chhod Rukman bahar aaee. Ghuri chhayae tere sajna.
- Apa yang aku lakukan ini?
46
Tambatan hatiku telah terbujur kaku di atas bara api yang sebentar lagi akan mengubah mayatnya menjadi abu. Upacara Grhasha Asrama dimana engkau memegang tanganku sambil mengitari api suci dan membaca mantra hanya bersisa impian sebelum putaran itu genap. **** Kehidupan di Benares menjadi sepi sejak kepergian kakakku. Ayah telah mengusirnya karena Poori dianggap bukanlah seorang anak yang bisa dibanggakan. ‐ Sungguh memalukan! Keluarga Krisnaraj adalah keluarga yang taat beragama dan menaati kuil. Berdoa di kuil adalah kewajiban tiap anggota keluarga ini. Belum pernah seorang pun yang melanggar aturan itu. Apa yang kau lakukan benar-benar menghina kuil! Kata ayahku begitu mengetahui kelakuan Poori saat ia dengan sengaja menghindari setiap kesempatan untuk pergi. ‐ Pooja, kakak akan pergi. Jaga dirimu baik-baik ya. Suatu saat kau akan mengerti kegundahan apa yang kakak alami. Jika kau sudah menemukan sesuatu yang membuat hidupmu lebih berguna, jangan hiraukan
47
sekitarmu. Kau harus berani untuk mewujudkan mimpimu itu. Kata-kata tersebut adalah pesan terakhir kakak sebelum meninggalkan rumah. **** Saat aku dan Channa pergi ke kuil. Tibatiba seseorang datang dan menyerangku. Tentu saja aku menjerit dan melawan. Chana membantuku, memukul tengkuknya dengan balok kayu hingga dia terkapar pingsan. Beberapa orang pemuda yang mendengar jeritanku datang berbondong bondong. - Dia menyerang Pooja. Kata Channa. Tanpa disuruh, beberapa pemuda tersebut berbalik dan memukuli pemuda yang sudah tidak berdaya itu. ‐ Channa, tolong hentikan mereka. Channa, Channa! ‐ Biarkan saja Pooja, bukankah dia hampir membunuhmu. ‐ Tolong hentikan anak muda. Tiba-tiba seorang kakek melindungi tubuh pemuda itu. Kontan saja, kakek yang berusaha menolong
48
pemuda itu kini juga menjadi sasaran amukan beberapa pemuda. Hentikan. Tolong hentikan. Aku melepaskan genggaman Channa. Kuambil kayu yang dipakai salah seorang anak muda itu untuk memukul mereka berdua. - Hentikan! Teriakku. Meraka berhenti memukulinya dan pergi meninggalkan kami. ‐ Terima kasih anakku. Aku yang merawatnya sejak dia menjadi gila. Namaku Arvind. Anakku… ‐ Pooja. ‐ Nama yang bagus. Sekarang mata kakek itu beralih pada pemuda yang telah terbujur lemas bersimbah darah. Kasihan dia. Namanya Bhagavad namun kami telah mengganti namanya dengan Suraj. Ibunya meninggalkan rumah karena ia tidak tahan akan perlakuan ayahnya yang kasar. Tak lama setelah itu, jenasah ibunya ditemukan mengambang di sungai. Diduga ia meninggal karena bunuh diri. Sejak itu Raj merasa tidak ada seorangpun di dunia ini yang menyayanginya. Dia ditelantarkan oleh ayahnya. Ia lebih menyayangi saudara-saudara tiri Suraj.
49
Tak bisa kupungkiri bahwa hatiku juga terenyuh mendengar kejadian yang memilukan itu. Mataku yang selama ini tertutup kini terbuka. Selama ini aku selalu hidup dalam kelimpahan. Tak pernah menderita karena kegerahan atau kedinginan. Menjalani hidup yang serbah mudah dan jauh dari segala macam pemandangan dan suara yang umum terjadi di kalangan bawah. Dan kini Raj telah mengubahku. Secara diam-diam aku mengunjunginya. Pada permulaan Raj menolakku, namun aku berusaha menunjukkan rasa simpati yang dalam padanya. ‐ Rupanya kau membawa perubahan yang besar bagi Raj. ‐ Oh kakek. Selama ini aku hanya berusaha untuk memahaminya. Lagipula yang akulah yang menyebabkan ia dipukuli oleh gerombolan pemuda desa. ‐ Jangan kau berbicara seperti itu anakku. Semua ini adalah karunia yang diberikan Dewa kepada Raj. Dengan beriringnya waktu akhirnya Suraj sembuh. Tentunya aku sangat senang. Simpati itu telah menjadi cinta.
50
‐ Kumohon Raj, jangan mendekatiku lagi. Kau tidak mau mati dibunuh ayahku kan? ‐ Bagi seorang pecinta, mati bagi cintanya adalah suatu kebanggaan. Hey, mengapa kau bersedih? ‐ Aku mencintaimu, tapi…. ‐ Sejak kuputuskan untuk mencintaimu. Aku sadar akan setiap rintangan yang akan aku hadapi. Seharusnya kau juga memikirkannya dampaknya sejak kau mengambil sikap untuk menolong menyembuhkanku. Percintaan bukanlah milik ayahmu ataupun hartanya. Dengan ucapan Suraj yang seperti ini, kata-kata kakak tergiang kembali. **** Apakah kini aku juga akan mengikuti jejaknya? Mencari kebenaran sejati tanpa peduli karmaku akan berakhir pada atman yang mana. Cinta memang egois. Ia tidak pernah mau mengalah, ia tidak peduli pada perasaan orang lain, nasib orang lain bahkan keselamatan diri sendiri. Yang ia inginkan hanya bersatu dengan bagian jiwanya.
51
Jalan-jalan masih dipenuhi dengan hiasan ketika aku memutuskan untuk keluar dari Arama Khoti. Mungkin Ayah menghiasnya untuk Priya. Namun semua kemewahan itu sudah tidak menarik minatku. Kini aku menyadari bahwa penderitaan adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan. Dan sebelum aku mengalaminya –terserang penyakit, menjadi tua renta, keriput dan berjalan tertatih-tatih serta kematian, aku akan mengabdikan diriku untuk kebahagiaannya. ‐ Siapa yang berdoa bagi kebahagian orang lain, wajahnya akan memancarkan sinar. Sedangkan bila ia berdoa bagi dirinya sendiri maka wajahnya akan terlihat gelisah. ‐ Channa …! Bagaimana setiap orang bisa menjalani hidupnya dengan mencari-cari hal yang menyenangkan dan mengabaikan semua kepastian yang menunggui mereka di masa mendatang? Kebenaran adalah sesuatu yang lebih daripada sekedar fakta intelektual yang dapat diingat. Kebenaran harus dialami. Kebenaran mengancam cara hidup yang telah terbiasa kita jalani. Akan tetapi ketidaktahuan tentang suatu
52
hakikat kebenaran telah menyebabkan penderitaan yang tidak perlu.
53
54
DARIUS & LUMEI Mungkin orang di masa mendatang akan meragukan tentang keberadaan kami. Apakah kalian pernah mendengar tentang Machu Picchu? Puncak Tua. Seringkali disebut sebagai Kota Inca yang Hilang. Bertengger mengangkangi punggung gunung yang sempit antara dua puncak menjulang pada ketinggian 600 meter di atas lembah sungai Urubamba. Satusatunya jalan menuju ke sana adalah sebuah jalan sempit yang berliku-liku sepanjang puncak pegunungan Andes. Meski disebut sebagai kota, Machu Picchu hanya berfungsi sebagai tempat tetirah keagamaan tempat keluarga kerajaan. Dibangun antara tahun 1460 dan 1470 oleh Inca 11 Pachacutec. Machu Picchu tidak memiliki kegunaan administratif, militer ataupun komersial, melainkan hanya
11
Inca mempunyai dua pengertian. Sebagai nama bangsa dan sebutan bagi penguasa, semacam Raja atau Kaisar.
55
urusan agama. Sekitar 200 bangunan dan 1200 orang tinggal di dan sekitar Machu Picchu terutama wanita, anak-anak dan pendeta. Tapi aku tidak tinggal di sana. Keluargaku dan beberapa anggota keluarga lain tinggal di Cuzco. Berada 3.400 meter di atas permukaan air laut. Cuzco adalah daerah yang dirancang menyerupai bentuk seekor puma. Dengan benteng Sacsayhuaman sebagai kepalanya. Di pusat kota Cusco juga terdapat Qorikanca 12 yang dibangun oleh Inca pertama, Manco Capac sekitar abad ke-11. Namaku Lumei…. Lumei kecil tumbuh menjadi anak yang taat. Cukup taat hingga usiaku dianggap cukup untuk dinikahkan. Tiga kata yang cukup tepat untuk menggambarkan diriku adalah lugu, polos dan sederhana. **** ‐ Tolong, tolong! Teriakku. Turunkan aku! Siapa kau? Apa yang akan kau lakukan? Darius tolong aku! Teriakan-teriakanku telah memecah keheningan malam. Namun tidak seorangpun di Cuzco yang mendengarnya bahkan orang-
12
Kuil Matahari.
56
orang bertopeng yang menculikku ini tetap tenang seakan seluruh teriakanku adalah sebuah kidung persembahan bagi Virakocha 13 atau kidung pujian bagi Kristus. Mereka membawaku menuju sebuah rumah. Dalam keadaan terikat seperti ini, kepanikan telah melampaui keindahan yang ditawarkan rumah tersebut. Mereka membawaku ke dalam sebuah kamar dan melemparku di sebuah ranjang. Orang-orang bertopeng yang menculikku itu kini keluar, tinggal seorang yang tersisa di kamar ini. ‐ Ampuni aku, Tuan. Tolong lepaskan aku! Ia berjalan mendekatiku. Tidaaaaakk…. Anda mau apa? Aku mengerang sendirian menahan sakit di perutku. Sedang orang yang akhirnya kuketahui namanya Santiago tertawa puas setelah memperkosaku. Ia meninggalkanku menangis sendirian dalam kamar mewah ini. Apakah ini bagian dari Gospel yang kalian paksa untuk diajarkan kepada kami? 14
13
Dewa yang dipercayai oleh masyarakat Inca sebagai dewa pencipta. 14 Gerakan 3G yang dibawa oleh misionaris dan petualang juga menyebar sampai ke wilayah Amerika Selatan. Kali ini, dibawah komando orang‐orang Spanyol. Mereka menghan‐
57
Setidaknya kami lebih menaati aturan alam. Sebab begitulah alam mengajarkan segala sesuatunya. ***** Meski ia tidak pernah memperkosaku lagi, Santiago tidak pernah melepasku. Tidak akan pernah. Ia memperlakukanku dengan baik di dalam istananya. Entah Spanyol itu ada di mana? Yang ku tahu ternyata Santiago adalah seorang saudagar berkebangsaan Spanyol yang kini menguasai daerah ini. Aku terlalu bodoh untuk memikirkannya. Yang aku tahu sekarang ialah bahwa aku ingin pulang. Aku ingin kembali ke dalam pelukan orang tuaku. Aku ingin kembali dalam pelukan Darius, kekasihku yang akan segera menjadi suamiku seandainya drama penculikan ini tidak terjadi. Yang aku tahu saat itu aku tengah berusaha mengambil air di sumur yang berada di pinggiran desa. - Pakailah baju ini! Perintahnya kepadaku untuk mengenakan baju sutra bertahtah mutiara itu. Tetapi aku menolaknya. Mungkin
curkan imperium Inca sekaligus menghancurkan Qorikancha yang dinilai sebagai suatu bentuk kesesatan dan memba‐ ngun Gereja Santo Domingo.
58
kamu belum tahu, aku Santiago Santibanez, saudagar terkaya di daerah ini. Aku menculikmu untuk kujadikan permaisuriku. Kau tak perlu menangis, tidak perlu menjerit. Apa yang kau tinggalkan di Cuzco tadak layak kau tangisi. Mungkin kau belum punya pandangan, hidup di istana itu seperti apa. Santiago seakan yakin bahwa sekali aku masuk ke dalam istana, aku akan begitu mudahnya melupakan Darius. Ia salah! Ia sangat salah! Aku tidak tergoda oleh kemewahan yang dia berikan. ‐ Lumei, aku tidak akan menyentuhmu, sampai suatu ketika kau berhenti mengeluh dan menjadi permaisuriku. Rupanya semua perlakuannya kepadaku hanya karena nafsunya untuk memiliki aku. Aku ditempatkan di bagian istana yang termewah. Dilayani oleh belasan pembantu dan pelayan, disuguhi makanan terlezat dan diberi pakaian termewah. Aku tetap menolaknya. Santiago mengambil cara lain. Ia memenjarakan aku. Ia kira dengan memenjarakan aku, ia dapat memperlunak keras kepalaku. Ia kira dengan menyiksa aku, ia dapat memper-
59
lunak hatiku. Hatiku adalah Itihuatana 15 yang tidak akan tergoyahkan ataupun tergoda karena seringnya gempa yang terjadi di Machu Picchu. ***** Entah sudah berapa lama aku berada dalam tahanan ini. Hngga suatu malam seseorang bertopeng membuka pintu selku. Aku mengira ia akan membebaskanku dan membantu mengembalikanku ke Cuzco. Tapi perkiraanku salah besar. Ia juga ingin memperkosaku. Aku kembali berteriak. Tetapi aku tidak berdaya, aku berada di ruang bawah tanah yang tidak mungkin didengar oleh siapapun dan secara fisik penjara ini telah membuatku lemah. Teriakkanku telah tercekat dan tertahan. - Berpisah dari Cuzco, Darius, dan orang tuaku, hidup ini sungguh tidak berarti. Ucapku lirih. Apabila aku sampai mati dalam tahananmu, tolong kirimkan jasadku ke Cuzco. Ucapku lirih. Tunggu…! Pikiran sehatku kembali bekerja. Sepertinya aku mengenal tubuh orang
15
Tiang batu di kawasan Machu Picchu yang berarti tempat mengikat matahari.
60
ini. Aku mengenal bau keringatnya. Dan tahi lalat di lehernya. ‐ Kau…. Kau. Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, bunyi tembakan terdengar memekakkan telinga. Pemerkosa ini telah roboh di tanah karena timah panas. ‐ Dasar bajingan! Biadab! Maki orang di kejauhan. Tangannya terlihat memegang pistol dan samar-samar kuketahui kalau dia Santiago. ‐ Tolong jelaskan semua ini! Apa maksud semua ini?! Pekikku kebingungan setelah aku mengetahui bahwa dugaanku tentang siapa yang tega memperkosaku kali ini benar. Dia Wannabe. ‐ Kau sudah tidak kuperlukan lagi perempuan anjing! Aku sudah jijik untuk kembali menyentuhmu. Keluar kau dari rumahku! Santiago mengusir aku. Dlam hati aku merrasa lega meskipun kali ini aku diperlukan sepeti anjing. Darius dan Wanabe adalah sepasang sahabat. Dan ketika cinta menyapa hati mereka, bayangan cinta –derita turut menampar dan membuat memar. Dan akulah yang
61
seharusnya bertanggung jawab atas penderitaan yang menimpa mereka. Darius dan Wanabe, dua orang di antara yang mencintai dan ingin menikah denganku. Status sosial Wanabe yang lebih tinggi, tapi baik orang tua maupun aku sendiri merasa Darius yang lebih baik untuk menjadi pendampingku. Ternyata Wanabe tidak bisa menerima kenyataan ini. Ia patah hati. Kalau aku tidak menjadi istrinya, ia pun tidak rela aku menjadi istri orang lain. Selama berhari-hari, Wanabe mencari jalan untuk menggagalkan pernikahan kami. Ia berangkat ke Lima, dibantu beberapa orang kerabatnya ia berhasil menemui Santiago. Perempuan adalah kelemahan utama sang saudagar, telah menjadi rahasia umum. Wanabe memanfaatkan kelemahan itu. Ia menceritakan bahwa ada seorang gadis di Cuzco yang kecantikannya melebihi kecantikan bidadari. Gadis itu adalah diriku. Lumei. ***** Aku terbakar dalam api yang menantang kesucianku. Aku tahu Darius mencintaiku dengan tulus, namun sebeblum sang gadis kembali pada pelukan kekasihnya, ia harus
62
membuktikan kesuciannya. Adat telah menggariskan, namun, baik aku maupun Darius tidak berani menentang. Yang melempar aku ke dalam api suci tidak memahami aku. Mereka bodoh. Mereka tidak bisa disalahkan. Namun, ia yang melempari aku dengan bunga ini tahu persis. Ia memahami betul apa yang terjadi pada diriku, apa makna ucapan-ucapanku. Aku menangisi kelemahannya. Aku menangisi dia.
63
64
FAN LI & WU DAN Satu hal yang sangat erat hubungannya dengan kebudayaan kuno adalah lembah sungai. Di Cina, peradaban bermula dari lembah sungai Huang Ho. Lembah Sungai Huang Ho yang selalu membeku di musim dingan dan mendatangkan air bah ketika musim semi tiba adalah tantangan tersendiri bagi masyarakat. Mereka yang tinggal di sekitar lembah sungai tersebut menangani gangguan alam ini dengan sangat serius. Tanggul-tanggul didirikan, dan sarana irigasi lainnya yang dibangun untuk mengari wilayah pertanian adalah bukti keseriusan. Dari titik inilah semuanya berawal. Cina menjadi salah satu peradaban tertinggi di dunia. Kondisi alam telah membiasakan masyarakat Cina menjadi masyarat pemikir. Maka tidak mengherankan berjuta-juta kaum terpelajar tampil dalam setiap seleksi pegawai pemerintahan.
65
Bahkan satu-satunya benda yang sangat berguna bagi penyebaran ilmu pengetahuan kertas lahir di Cina. Cina juga lahan yang subur bagi perkembangan ajaran Budha. Anehnya meskipun Sidharta lahir di India, tetapi ia lebih mendapat tempat di hati masyarakat. Ia mampu bersahabat dengan politheisme yang telah lama dianut oleh masyarakat. Bahkan akhirnya Sidharta memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding para dewa, sebab dewadewa tersebut masih memiliki nafsu dan ketamakan yang sama bahkan kadang melebihi dibanding manusia. “Mereka” –satu sama lain berusaha untuk mengatur, bersaing dan tidak mau mengalah demi kedudukan dan mempertontonkan kehebatan “mereka”. Demi mendapatkan sekawanan itik yang mengoceh dihadapan rupang. Siapa yang harus di atas siapa? Kayangan jungkir balik. Tidak hanya kayangan yang jungkir balik, bumi pun demikian. Saat seperti ini Syang Ti 16 muncul laksana angin segar. Namun bumi dan langit memiliki aturannya sendiri. Di bumi,
16
Tuhan Yang Maha Esa. Yang kedudukannya tentu saja dianggap lebih tinggi dibandingkan Sidharta maupun para dewa.
66
bagaimana pun kekuatan Syang Ti ia tak ada apa-apanya dibanding Kang Xi. Kaisar tetaplah putra langit, wakil para dewa, mutlak dialah yang berwenang menentukan segala sesuatu yang berada di bawah kolong langit. ‐ Tidak! Tidaaaaaakkkkk! Teriakku. Katakan itu tidak benar Paduka. Kau tidak sedang mengarang kisah ini hanya untuk menarik simpati dariku. Kataku gemetar dipenuhi penyesalan dan rasa bersalah. ‐ Begitulah adanya. Jawab Kang Xi. ‐ Aku membencimu Kang Xi! Dan akan selalu membencimu. Teriakku sambil berlari meninggalkan istana. Ketamakan “mereka” telah mempermainkan dan membunuh sekian banyak jiwa yang tidak berdosa. Mereka membuat ayah, suami dan kekasihku menderita. Aku menyesal. Aku sangat menyesal. Kenapa dengan begitu mudahnya aku untuk menuruti semua nafsu. Aku terperangkap. ***** Bagiku Kang Xi tak ubahnya seperti ular beludak yang berlindung di balik kebesaran nama Nur Ha Chi. Orang yang telah membuat
67
kehancuran dalam keluargaku. Ayah bunuh diri dengan menggantungkan diri pada pohon cemara di taman belakang istana. Ibu meminum racun. Dan sejak saat itulah hidupku tidak menentu. Untunglah Wu San Kuei, yang saat itu masih menjadi panglima perang Dinasti Ming menolongku dengan mengangkat aku sebagai putrinya. Sebagai penerus tahtah Dinasti Ming dan balas jasa terhadap ayah angkat, tentu saja aku mendukung idenya. Dengan turut mengirim aku ke medan perang diharapkan ketika pemberontakan kami terhadap Kang Xi menghadapi jalan buntu, ayah akan menyerahkanku sebagai selir Kang Xi. Kekuatan Pasukan Panji-Panji memang bukan tandingan kami. Tetapi dengan strategi perang, kemungkinan perjuangan Ayah untuk kembali menegakkan kembali kekuasaan Dinasti Ming dapat terlaksana. Setelah aku berhasil menyusup ke dalam istana,. Aku akan melaporkan semua kegiatan yang akan dilakukan Kang Xi terhadap ayah, terutama yang menyangkut usahanya untuk melumpuhkan berbagai pemberontakan yang menentang berdirinya Dinasti Qing. ‐ Gong Shi, kemarilah! ‐ Ya Tuan Putri
68
‐ Lihatlah pemuda itu. Kataku seraya membuka tabir perkemahan kami lebih lebar. Gong Shi mengisi kekosongan ruang antara tabir perkemahan dan diriku. Aku memperhatikannya. Lihatlah dia! Sangat tampan! Siapa namanya? ‐ Fan Li ‐ Kau mengenalnya? ‐ Tentu saja Tuan Putri! Saya mengenalnya dengan baik. Dia adalah putra tertua keluarga Fan Chow. Turun-menurun seluruh keluarganya mengabdi untuk Dinasti Ming. Tapi sebaiknya Tuan Putri menjauhinya 17 . ‐ Kau boleh keluar Gong Shi! ‐ Salam Tuan Putri. Malam ini aku sengaja keluar dari perkemahan. Aku ingin mengenal Fan Li lebih dekat. Kenapa aku harus menjauhi pengawal-
17 Dalam sistem permerintahan tradisional China, yang juga tetap dipertahankan pada masa kejayaan Dinasti Qing, masyarakat dibagi dalam beberapa lapisan sosial berdasar‐ kan kelompok‐kelompok kekaryaan. Kaum tentara yang dinilai berkaitan dengan pembunuhan dan perampasan menduduki lapisan terbawah, sejajar dengan budak. Sedangkan kaum intelektual –sarjana dan sastrawan menduduki lapisan sosial teratas.
69
pengawalku? Apalagi dia panglima perang, sudah sepantasnya untuk bersikap baik. Dengan mengendap-endap, aku berusaha masuk ke dalam kemah Fan Li. Kulihat ia tengah terbaring tidur. Jantungku berdegup sangat kencang. Apakah ini yang disebut cinta? Ketika pesona fisik merupakan awal ketertarikannya. Pantaskah aku larut dalam cinta? Sehingga aku bisa menolak semua label yang melekat dalam diriku. Membangkitkan kekuatan yang luar biasa, keberanian yang tidak tertandingi, sehingga bisa menolak dunia. Tanpa diduga Fan Li menyerangku yang malam itu menggenakan jubah hitam. ‐ Siapa kau?! ‐ Wu Dan. ‐ Maafkan saya Tuan Putri. Sambil berlutut ia memberi salam. Apa yang membuat Tuan Putri berjalan keluar sendirian pada malam ini? ‐ Bangunlah Fan Li. Ia segera bangkit berdiri. Aku terpesona oleh keindahan bintang. Bujukku. Tetapi setelah kuputuskan untuk kembali, aku tidak tahu di mana letak kemahku.
70
‐ Biar kuantar Tuan Putri ke sana. Fan Li mengantarku kembali ke perkemahan. Karena rasa ketertarikanku padanya, aku mempersilahkannya mampir dan berbincang sebentar di dalam tendaku. Tetapi ia tidak bersedia. Banyaknya tugas yang harus ia emban memang merupakan alasan yang cukup bagus bagi seorang panglima untuk menghindari acara ramah tamah. Keesokan harinya aku mulai memperhatikannya kembali. Beginilah rasanya seperti tidak ada kata yang bisa diucapkan untuk menggambarkan jiwa seorang pecinta yang sedang tumbuh. Bahkan aku merasa ia pun menyadarinya dan menaruh perhatian yang sama. Ia memahami arti tatapanku. Aku ingin menyelaminya. Namun sepertinya ia tidak mengijinkanku. Ia tetap saja dingin. ‐ Ayahku telah mendukungmu. Kataku pada Fan Li. Ia tampak tertunduk lalu ia memberanikan diri menatapku. Banyak hal bisa berubah? ‐ Banyak. Tetapi tidak semuanya bisa berubah. ‐ Fan Li! Teriakku ketika ia beranjak pergi meninggalkanku. Berhenti ini perintah.
71
Fan Li berhenti kemudian berlutut. Biar kulihat wajahmu, kau tampak gundah. ‐ Aku kehilangan banyak orang. ‐ Kau bohong. Aku bisa tahu kau bohong karena kau memang tidak mahir berbohong. ‐ Aku tidak bisa melakukannya sepertimu. ‐ Memang! Tapi kau tak pernah perlu berbohong. Hidup serdadu lebih sederhana. Apa menurutmu aku tidak berarti? ‐ Kau berbakat dalam bertahan hidup. Maafkan aku aku harus segera berangkat. Tuan Putri. Ujar Fan Li tegas. Sebelum naik ke kudanya, ia berbalik. Maju ke medan perang tidak hanya berbekal tujuan untuk memenangkan pertempuran. Ada yang lebih penting dari itu, kemenangan yang diperoleh melalui peperangan seharusnya mampu menunjukan bahwa sang pemenang memiliki keunggulan, pandangan dan wibawa. Dalam pertempuran merebut daerah di selatan Yun Nan, Fan Li luka parah. Sebuah anak panah tertancap di pudaknya. Beberapa prajurit telah gugur di medan perang. Pasukan Panji-Panji semakin mendesak pertahanan kami.
72
‐ Fan Li, kau baik-baik saja? ‐ Tuan Putri tidak perlu lagi mengkhawatirkan keadaan saya. ‐ Sepertinya sekarang sudah saatnya kau menyerahkan diriku kepada Kang Xi. ‐ Tidak Tuan Putri, dengan kekuatan yang kita miliki kita masih bisa mendesak mundur Pasukan Panji-Panji dan mengalahkan Dorgan. ‐ Jangan bodoh, Fan Li! Kau kira aku rela menyerahkan kau ke dalam cengkraman kematian. Sekarang tataplah mataku, Fan Li. Aku tahu kau adalah prajurit yang jujur. Pada saat malam keberangkatanku, Fan Li semakin tidak banyak bicara. Ketika Gong Shi meriasku, aku tahu Fan Li berusaha mencuri-curi kesempatan untuk menatapku. Namun ketika aku menatapnya, seketika matanya berubah menjadi begitu dingin. Seakan ia tidak memiliki perasaan apapun terhadapku. Kini kereta sudah siap di depan kemahku. Aku meniti tangga kereta itu perlahan-lahan supaya ia memiliki kesempatan untuk menya-takan perasaannya. Aku berharap agar dia mau mencegahku. Tetapi apa yang kuharapkan hanyalah sebuah pengharapan yang hampa.
73
Kereta meluncur perlahan meninggalkan wilayah Yun Nan dengan dikawal beberapa orang prajurit. ‐ Fan Li… Aku menangis, dengan semerta-merta kulihat arah di belakang. Ia memandang kepergianku dan berusaha terlihat tegar seperti seharusnya seorang panglima dalam memimpin prajuritnya ketika mengalami kekalahan. Namun sebelum Fan Li berbalik terlihat olehku tampak rahangnya menegang menahan kucuran air mata. ***** Kang Xi tidak menyentuhku. Aku merasa dia berusaha bersikap baik hanya untuk menarik simpatiku karena sejak awal kedatanganku ke istana aku dengan terang-terangan menunjukkan sikap tidak suka kepadanya. Dengan begini penyamaranku tidak terbongkar. Berbekal peluit aku memanggil merpati dan membeberkan rencana-rencana berikut Kang Xi kepada Ayah. Hingga pada suatu hari pengawal istana membawa kabar bahwa di balik pemberontakan-permberontakan yang Ayah lakukan, ternyata Ayah memploklamirkan dirinya sebagai kaisar Dinasti Chou. Kali
74
ini tentara panji-panji dikerahkan dengan kekuatan penuh untuk mengejarnya. ‐ Ijinkan hamba menghadap Paduka. Ujarku dengan mata bersimbah air mata. Pikiran dan perasaanku kini begitu kalut. ‐ Baiklah Wu Dan. Ujar Kang Xi sambil memerintahkan semua pengawal dan punggawanya meninggalkan ruangan. Kini hanya ada kami berudua. Apakah yang menyebabkan hatimu begitu sedih hari ini? Apakah pelayan istana atau selir-selirku yang lain tidak bertindak baik padamu? ‐ Bukan Paduka. Paduka, katakanlah bahwa pesan yang dibawa oleh pengawal paduka tidak benar. ‐ Rupanya kau telah mendengarkannya. ‐ Paduka, katakan bahwa ayahku tidak bertindak seperti itu. Ia bukanlah orang yang haus kekuasaan dengan mendirikan Dinasti Chou. Tanpa berkata apapun, Kang Xi tetap menatapku dengan tenang. Kang Xi,… Kataku sambil menatapnya tajam. Sejak awal kedatanganku kamu tahu bahwa aku amat membencimu. Kau telah membunuh ayahku. Kaisar Chung Jeng. Kang Xi agak terkejut mendengar bahwa aku adalah anak kaisar Chung Jeng,
75
mungkin ini disebabkan karena aku sekarang bermarga Wu. Di bawah pimpinan Dorgan, Pasukan Panji-Panjimu juga telah menumpas habis kedua saudaraku. Wu San Kuei, mengangkatku sebagai anaknya. Semenjak aku mengetahui kalau aku adalah putri Kaisar Chung Jeng, aku berusaha merebut kembali apa saja yang seharusnya menjadi hakku. Dinasti Ming adalah milikku. Aku menyusup kemari sebagai mata-mata agar aku bisa mengetahui semua rencanamu untuk menghancurkan Ayah. ‐ Aku sudah mengetahuinya dari awal. Ujarnya dengan sikap yang tetap tenang. ‐ Lalu kenapa kau membiarkanku? Sekarang kau bisa saja memanggil pengawalmu untuk menangkap dan memenjarakan aku. Bahkan kau berkuasa memerintahkan kepada algojo untuk memenggalku. Kataku penuh emosi. ‐ Aku mencintaimu. Sejak semula aku bahkan berkuasa untuk memperkosamu, Wu Dan. Tetapi itu tidak kulakukan sebab sejak pertama kali kamu menginjakkan kaki di Bejing, hatiku mengisyaratkan bahwa kaulah ladang yang tepat untuk untuk menabur benihku. Kau wanita yang berani, berkarakter
76
dan sangat mandiri. Kang Xi menarik nafas panjang. Setelah itu ia melanjutkan informasinya mengenai masalah negara khususnya sejarah berdirinya Dinasti Qing. Kaisar Chung Jeng meninggal gantung diri pada pohon cemara di halaman belakang istana bukan oleh Dorgan, tetapi oleh Li Zi Cheng. Pimpinan pemberontak di Propinsi Shan Xi, ‐ Setelah tahu Kaisar Chung Jeng meninggal, Wu San Kuei melarikan diri ke Shan Hai Kuan. Semula Wu San Kuei cenderung memenuhi tuntutan Li Zi Chen untuk menyerah. Namun ketika ia mengetahui bahwa selirnya dibunuh, ia memutuskan untuk mengajukan tawaran kepada Dorgan untuk bersama-sama memerangi Li Zi Chen. Wu Dan, ada satu pangeran lain pada masa kekuasaan Dinasti Ming. Ia sepupumu. Namanya Pangeran Kwei, cucu dari kaisar Wan Li. Pada saat Dinasti Ming runtuh, ia mencoba melanjutkan kelangsungan hidup Dinasti Ming di wilayah barat daya, ‐ Baru sepuluh tahun kemudian Mahkota Qing percaya untuk menugaskan Wu San Kuei untuk membuatnya menyerah. Wu San Kuei sendiri yang memburunya sampai ke Burma dan membawanya kembali ke Kuen Ming
77
untuk dihukum gantung. Dan atas jasajasanya itu, Ayah memberi dia kekuasaan di Propinsi Yun Nan. Selanjutnya kau tahu sendiri bagaimana tindakannya ketika aku menghapus Daerah Gaduhan Guang Dong 18 , ‐ Wu Dan, kau memiliki hak untuk menaruh dendam pada kekuasaan Dinasti Qing. Tetapi akupun memiliki hak yang sama untuk membunuhmu sebab Ayah, Kakek dan Kakek Buyutku dibunuh oleh penguasa Dinasti Ming. Tetapi aku tidak melakukannya. Cinta telah membawaku untuk selalu mengambil sikap positif dengan melupakan semua dendam.
18
Menurut catatan sejarah, pada tahun 1673, Kang Xi yang telah memegang kekuasaan negara mulai menghapus sistem Daerah Gaduhan Guang Dong dan memerintahkan Shang Ko Shi untuk meletakkan jabatannya dan pulang ke tempat asalnya di Liang Dong. Hal ini dilakukannya karena Kang Xi merasa ulah penguasa Daerah Gaduhan itu tidak dapat dikendalikan lagi oleh Pemerintah Pusat. Wu San Kuei sebagai penguasa Daerah Gaduhan Yun Nan mencoba menjajaki maksud Kang Xi dengan mengajukan saran agar Daerah Gaduhan Yun Nan juga dihapus dan agar dia diperkenankan pindah ke daerah di sekitar Shan Hai Goan bersama pasukannya. Para penasehat Kang Xi memohon perhatiannya, sebab daerah tersebut tidak terlalu jauh dari istana dan merupakan ancaman terhadap keselamatan Kang Xi. Di luar dugaan, Kaisar Kang Xi mengabulkannya. Tetapi sebelum perintah kaisar itu dilaksanakan, pada tanggal 28 Desember 1673, Wu San Kuei menunjukkan sikap sebenar‐ nya, yaitu dengan menyatakan berdirinya Dinasti Chou.
78
***** Malam ini aku kembali merenungkan semua perkataan Kang Xi. Cinta seharusnya telah membawa manusia mengambil sikap positif dengan melupakan semua dendam. Dendam telah membuatku terkurung dalam istana ini. Dendam telah membuat diriku berpisah selamanya dari Fan Li. ‐ Fan Li….., Kang Xi….., Ayah….., maafkan aku! Cinta maafkan aku, sebab belati yang berkilau ini lebih menarik hatiku.
79
80
HASSAN & ZULEIKA Sekali lagi kami tidak bisa bersatu, sebab sudah tidak mungkin bagi kami untuk kedua kalinya menghianati ketauhidan yang sudah kami bangun dengan tulang-tulang pikiran kami sendiri. Rupannya Tuhan telah memilih Mekkah sebagai holiland. Ironis memang, terik matahari yang panas dan padang pasir yang gersang memanggil beribu-ribu umat manusia di bumi ini untuk turut menyaksikan kekuasaanNya. Begitupun ayahku, Ghazali bin Zueb ia terpanggil untuk dilahirkan di negeri ini. Dewasa bersama kerasnya kehidupan gurun. Menikah dengan perempuan yang paling ia cintai dan melahirkan aku –Zuleika sebagai tanda dari buah cinta mereka. Terus terang aku merasa bangga padanya. Pengusaha yang berhasil, muslim yang taat dan peduli dengan sesama. Hingga suatu hari, panas bertahun-
81
tahun lenyap oleh hujan sehari. Aku mulai membenci ayahku. ‐ Ada saatnya seorang perempuan harus rela untuk diduakan oleh suaminya. Pria memang suka begitu, selalu saja ingin menang sendiri. Tapi kita sebagai perempuan harus bisa menerimaya. Kita harus sabar. Abah adalah imam di rumah ini. Dan seorang Imam tidak boleh dilawan. Kata Umi kepadaku setiap kali aku mengeluh tentang kelakuan Abah. Umi bodoh, kalau aku jadi Umi aku tidak akan membiarkan suamiku mencintai orang lain. Tanpa sebab, tanpa alasan Abah menikahi perempuan lain. Ibu tiriku. Kini mereka tengah menantikan kehadiran putra pertama mereka. Dalam waktu yang lama aku tak dapat bertahan. Jiwaku memerlukan ruang untuk dapat bebas. Dan kebebasan itu terpancar dari sebuah keluarga yang dengan tulus menawarkan kasih. Kasih yang sabar, murah hati, tidak cemburu. Kasih yang tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Kasih yang tidak melakukan hal yang tidak sopan dan tidak mencari
82
keuntungan atas diri sendiri. Kasih yang tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Kasih yang tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Kasih yang menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Di sanalah sayap-sayap patahku mengepak kembali. Dan ketika pokok itu kuat, kuputuskan jalinan yang telah lama kurajut dengan Muhammad. ***** Hassan, anak seorang petani yang tidak sedikitpun terlintas dalam otaknya untuk memperbaiki perekonomian keluarganya, namun beruntung dia memiliki seorang ibu yang terpelajar. Saat berumur sepuluh tahun ia bermigrasi ke Amerika untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. Lima tahun setelahnya ia kembali ke kampung halaman untuk memperdalam minat di bidang kesussastraan arab kuno dan sufisme. Belajar dari banyak kitab dan perkamen, mengendapkan dalam neuron-neuron otak, kemudian membanding-bandingkannya dan mengukur dengan ketepatan rasio. Hassan
83
mengutarakan tentang kelahirannya untuk kedua kalinya. Hassan terlahir dalam keadaan yang bebas. Tak pernah terkukung oleh jeruji-jeruji peraturan masa silam. Dan cahaya hikmat telah menyentuhnya yang tengah terkurung di antara kitab-kitab Paulus. Mengalirlah ia melintasi salib-salib yang selama ini telah membebaninya dengan darah dan air mata. Keluar dari rombongan umat manusia yang menuju Galilea. ***** Bukit di hadapan kami tampak berkilau keemasan ketika sang fajar menyapanya. Nasib yang mempertemukan kami, diriku dan Hassan. Kami sama-sama orang yang terbuang dari lingkungan kami. Masuk dalam kehidupan baru yang kami anggap lebih mampu untuk mendamaikan jiwa kami. Hassan adalah tempatku bertukar pikiran. Ia cerdas, menawan dan penuh empati. Kami sering bertemu pada saat seperti ini sebab meskipun nasib berpihak kepada kami tetapi tidak demikian dengan kesempatan. ‐ Apakah kamu tidak pernah menanyakan perasaan guru-gurumu? Mereka membim-
84
bingmu merasakan kesejukan kalimatkalimatNya, menuntunmu melalui jalanNya hingga tiba waktunya bagi mereka untuk melepaskanmu mengikuti jalan yang menjadi pilihan bagimu. Mereka adalah wali-waliNya yang sampai saat tertentu ikut menyusut pada hakikat ketanahan mereka. Mereka merasa kecewa, berdosa pada kepercayaannya dan menutupi wajah mereka dengan kitab-kitab ketika mereka mendongak ke angkasa. Dan apa yang dinamainya neraka akan bersiap melahap mereka dalam keadaan telanjang sampai kering. Tanya Hassan kepadaku. ‐ Semua itu pernah terlintas dan aku merasa gelisah karenanya. Namun ada kemarahan lain, kesangsian lain yang membuat nilai kebenaran itu menjadi samar. Untuk apa kau menanyakannya? ‐ Kebebasan yang selama ini selalu menyertai pengembaraanku tidak pernah memberiku kedamaian jiwa. Hatiku terasa kosong meski emas dan permata ada di hadapanku. ‐ Aku tidak ingin repot, aku memilih keyakinan mana yang aku yakini benar dan kebenaran mana yang benar-benar kuyakini dan kewajiban mana yang lebih mudah bagiku
85
untuk dijalani sebagai umat yang percaya atas eksistensi Tuhan. ‐ Bila semua manusia selalu mengambil jalan pintas dan berpikir menurut kehendaknya, dimanakah letak keagunganNya. Memang manusia dan kebudayaannya telah membuat Tuhan menjadi begitu Maha Tak Sempurna. ‐ Hassan, semua telah kupikirkan secara masak-masak sama sepertimu yang dengan tekun membongkar pasang antara kitab Muhammad dan Paulus. Aku mengosongkan hati dan pikiranku di mana titik netral berada. Berusaha agar emosi tidak turut serta dalam keputusan yang aku ambil. Aku merasa lemah, tak berdaya di hadapan kuasa Tuhan yang begitu misterius dan membuat bingung manusia seluruh dunia. Dan aku juga tidak ingin terjebak untuk mempertuhankan dunia. ‐ Tidakkah kau merasa takut dengan cengkraman cakar-cakar maut? Sebab bila Dia yang kau yakini sekarang salah maka Dia akan serta merta menceburkanmu ke dalam api ‐ Itu konsekuensi yang harus aku tanggung. Keyakinan akan eksistensi Tuhan adalah hak kita. Dan kewajiban kitalah untuk memenuhi
86
syarat-syarat sebagai umantNya untuk lebih mendekatkan diri kepadaNya. Ketika kau lihat kembali ke belakang, di sana tampak penghina, penjajah bahkan peperangan yang diakibatkan oleh orang-orang seperti kita. Karena emosi dan ketidakpuasan kita pada realitas, menggunakan sarana apa saja untuk mendukung pendapat kita, termasuk agama. Pengetahuan kita sangat sempit untuk mengetahui keberadaan Sang Pencipta. Tetapi kita terlalu sombong, kita merasa bahwa Tuhan lebih menyayangi diri kita dibanding orang lain. Tuhan lebih mencintai keyakinan yang kita pilih dibandingkan dengan keyakinan yang dipilih oleh orang lain. Sehingga kita tidak ragu untuk semena-mena menghina mereka. ‐ Hassan terdiam, seakan merenungkan apa yang baru saja aku ucapkan, kegalauanku selama ini. Abah, Umi dan saudara-saudaraku sekarang tidak lagi menganggapku sebagai bagian dari keluarga. Aku sadar bahwa semua itu adalah akibat yang harus aku tanggung karena keputusan yang telah aku ambil. Tapi Abah dan Umi tidak menyadari bahwa tindakanku juga merupakan akibat dari keputusan mereka.
87
‐ Kau tidak merasa ada yang mengikutmu Zuleika? Tiba-tiba suara Hassan memecah keheningan yang kami buat. Entah mengapa kali ini aku merasa ada seseorang yang mengikuti kita dan memata-matai pertemuan kita. Itulah kata-kata terakhir yang aku dengar dari sosok mulia yang bernama Hassan. Sebab tak lama setelahnya hanya rintihan-rintihan kesakitan yang terdengar. Lemparan ludah dan sumpah serapah dari orang-orang di pinggir jalan bagaikan doa yang diucapkan untuk menghantar kepergian seorang sahabat yang meninggal. Bunyi sayatan pedang telah memenggal kepala Hassan. Sedangkan aku hanya bisa menangis tertahan meratapi kepergiannya. Swing… bunyi sayatan pedang yang memenggal kepala kini terdengar sekali lagi. Kini tak ada yang dapat kulihat. Aku telah mati rasa.
88
EDITH & OLIVIA Sementara kebanyakan orang Berlin berjuang untuk tetap hidup di tengah perkelahian di jalanan dan kekurangan makanan, orang-orang yang tangkas bergabung dengan para turis yang berjiwa petualang dan seniman yang berjiwa bebas untuk menyulap Jerman – khususnya Berlin menjadi kota kenikmatan yang paling panas. Di seluruh Eropa, pesta topeng Berlin termasuk paling mempesonakan, hiburan malamnya paling berani, perdagangan seks dan obat biusnya paling terbuka. Di seluruh kota, main bugil-bugilan berkembang. Bukan hanya bagi para pelayan wanita dalam pesta pribadi yang hanya mengunakan cawat tipis yang dibayar untuk dibelai- belai, tetapi juga para pecinta alam yang meluncur di es hanya dengan penghangat telingga. Anita
89
Barber 19 adalah salah satu pengikut “trend” ini. Begitu juga yang terjadi di Fribourg. Dua orang pria yang sedang bercakap-cakap di café pada siang hari sambil mempriduksi “sampah”. Kepulan asap keluar dari rongga masingmasing. Mengumbar hawa dalam candu tanpa merasa bersalah apalagi takut akan penegakan hukum. Sesuatu yang Zarathustra 20 sendiri merasa kesulitan untuk hidup dengan berbahaya dan mati pada usia 29 tahun karena TBC. Apa jadinya dunia ini di masa-masa mendatang bila setiap detik demi kesenangnan kita, kita menghasilkan sampah dan menimbunnya dalam perut bumi? Asap pabrik dan kendaraan, pembungkus makanan dan permen, koran bekas, keringat juga tahi. Sekarang aku dan mereka masih dapat menikmati kesenangan namun kami tidak sadar bahwa kami adalah sampah dari produk-produk masa depan.
19
Salah seorang penari Jerman pada tahun 1920‐an yang tampil bugil dalam kabaret “Tikus Putih” adalah pujaan kebanyakan para gadis remaja. 20 Superman ciptaan Nietzche.
90
Seseorang menciptakan nilai-nilainya sendiri dengan hidup tanpa kekangan apa pun. Tidak ada yang dinamakan sangsi, akhirat, atau apapun yang serupa dengan itu. Sebab Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan mereka telah membunuhnya. Bagaimanakah pembunuh dari segala pembunuh menenangkan dirinya? Tanpa pernah lagi berdoa, tanpa pernah lagi memberi persembahan, tanpa lagi tunduk pada keyakinan tanpa batas. Di tempat yang sama, lima tahun yang lalu aku berkenalan dengan seorang pria yang ternyata “pengepul”, sudah menikah dan mempunyai anak. Ia mengundangku untuk makan siang di café, tentunya tidak sekedar koktail apricot. ‐ Ini badai pertamaku! Gila, malam pertamaku tidak ada apa-apanya dibanding sex makan siang kita. ‐ Badai berlangsung singkat dan mengagetkan. Sebentar lagi orang juga akan lupa dan kembali pada kehidupan mereka yang normal di mana musim panas, salju, semi dan gugur saling mengisi. ‐ Tapi manusia tidak pernah bisa melupakan dampak badai dalam kehidupannya.
91
Aku terjebak oleh kata-kata manisnya. Sepertinya kami saling membutuhkan. Ia akan membantu kekurangan finansialku jika mau dijadikan simpanan. Seperti itulah transaksi yang terjadi di antara kami. Ia membutuhkan tubuhku dan aku membutuhkannya agar aku bisa meneruskan pendidikanku. Bulan-bulan pertama hubungan kami “sehat”, namun segalanya cepat berubah dan aku tidak bisa melepaskan diri darinya. Ia menjualku, menjadikanku sebagai budak pemuas nafsu. ‐ Olivia, sudah mau pulang? ‐ Ya! Aku pun tersenyum kepada pemilik kafe. Orang beruntung selalu hidup di jaman yang benar. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang, aku berjalan kearah luar untuk menemui seorang pria. Bukan menemuinya tapi memenuhi janji dengannya. Seharusnya Edith Schaeffer sudah berada di sini dan aku tinggal menyekapnya. ***** Lima belas menit berlalu kesabaranku habis sudah. Aku memutuskan untuk kembali menuju apartemenku. Aneh, lima tahun aku sanggup menunggu, namun kenapa lima belas
92
menit ini terasa panjang. Sejujurnya, aku merasah bodoh karena masih mengharapkan dapat menemukan cinta sejati. Kurebahkan tubuhku pada lantai kamar mandi, menunggu air di bath up penuh. Pikirku menerawang. ‐ Wanita jalang pengganggu suami orang! ‐ Sudah reyot tak tahu diri, dasar wanita penggoda! ‐ Penjerat cinta perjaka, jauhkan dia dari anakku! ‐ Perempuan penyeleweng, petualang cinta, pantas saja kau sudah tiga kali menikah! Kuamati langit-langit. Seekor laba-laba berdiam pada sudut dinding. Jaring-jaringnya yang halus sungguh memikat, dan hati serangga dapat dipastikan terjerat di sana bila mendekat. Serangga itu pun tak dapat lolos dari sekapannya, diselimuti oleh racun perak yang tak akan pernah terlepas sampai mati. Aku tidak pernah serendah itu tetapi paradigma-paradima tersebut tidak pernah terlepas dari masyarakat. Wanita selalu rapuh, wanita selalu menjadi objek penderita. Kalau
93
aku pria pasti aku dianggap pria yang hebat, pria yang perkasa. Suara ketukan pintu membuatku tersadar untuk segera muncul dari dalam air. Walaupun pikiran-pikiran itu masih bergelanyut namun kini aku mulai merasa tenang. Kukenakan piyamaku dan aku mulai melangkah keluar. ‐ E…. Edith. Kataku terbata-bata, aku belum sempat berpikir mengapa ia bisa kemari namun saat ini kami tengah berciuman dengan mesra. ‐ Sejak saat ini aku tidak peduli tentang segala macam aturan-aturan. Aku mencintaimu Olivia. Mulai malam itu kami menikmati malam bersama. Berlayar di danau Thun dalam kehangatan bulan Juli, memandang puncak-puncak Alpen yang bermandikan cahaya matahari, berpelukan di jembatan Nydegg dan menatap dengan pehuh harapan sungai di bawahnya. ***** Tak terasa lima tahun beralu sudah dari masa itu, namun kesegaran aroma nafasmu masih terasa. Edith Schaeffer, pria yang
94
begitu mencintaiku, pria yang rela berkelana sejauh tigapuluh kilometer dari Berne menuju Fribourg untuk menyelamatkan hak-hak wanita kini terbaring lemah pada salah satu ruang rumah sakit. Ia menderita kanker, dan dua bulan terakhir ini kanker tersebut telah menyebar dari tenggorokan ke liver, pancreas, dan otaknya. ‐ Aku mencintaimu Edith. Kucium keningnya dengan lembut dan kugenggam tangannya, Edith membalasnya walaupun dengan genggaman yang lemah. Kucoba menahan air mata yang ingin segera mengalir. Aku teringat ketika suatu malam Edith pulang ke rumah dengan gumpalan daging di tenggorokannya, muntah-muntah kembali dan semakin lemah dan semakin lemah hingga terbaring di tempat ini. ‐ Edith sekaranglah saatnya bagi kita untuk mensyukuri dan mempertanyakan keberadaan alam semesta. Menangisi apa yang hilang dalam kehidupan kita. Manusia mungkin telah membunuhNya, namun Ia tidak pernah mati dalam hati kita. Aku semakin mendekatkan wajahku padanya. Berjanjilah kepadaku, bila waktu
95
terulang kembali kau hanya akan menjadi milikku selamanya, selamanya. ***** Orang-orang yang sama dengan takdir yang berbeda. Dalam waktu terdapat ketidakterbatasan dunia. Apa gunanya bagi kita untuk melihat keajaiban kalau setiap hari kita sudah mengalami keajaiban dalam diri kita, cuma sayingnya karena hal itu sering terjadi dalam diri kita maka kita melihat hal itu sebagai sesuatu yang biasa. Banyak manusia yang merasa bangga atau bahkan hebat bila ia mampu melihat suatu keajaiban dalam hidupnya, sehingga ritual kehidupan seperti bernafas dianggap hal yang biasa. Padahal bagi orang yang sekarat itu merupakan suatu keajaiban. Aku ingin merasakan suatu keajaiban. Keajaiban yang dapat mempersatukan cinta kita. Hanya karena sesuatu hal tampak mustahil, tidak berarti tidak ada seorang pun yang tidak mau mencoba melakukannya.
96
PHILIP & NURAHMI Namaku Nurahmi, seorang perawat dadakan yang muncul akibat perang. Memang perang menimbulkan dampak yang besar pada kehidupan kami. Bangkai manusia yang berserakan pada ruas-ruas jalan, langit dan tanah menebarkan aroma mesiu, sawah bapak yang sebelumnya adalah tempat menanam padi sekarang malah menjadi tempat latihan militer, hutan pada berlubang seakan hilang keperawanannya akibat perkosaan altileri militer dan laut tercemari oleh tumpahan darah. Sisi baiknya, rakyat sangat kompak, rakyat mau belajar memperhatikan orang lain, kaum elite politik lebih mengutamakan kepentingan bangsa, dan pejuang tak lagi menganggap dirinya pahlawan meskipun mereka memang pahlawan. Di tengah-tengah para pejuang yang sibuk karena berperang, aku menemukannya.
97
‐ Nur, pacarmu datang. Ujar Mbak Utami. ‐ Suruh dia nunggu dulu Mbak, aku masih ngobatin pasien. Jawabku sambil mengoleskan antiseptik di kaki pasien. Pasien yang sedang aku tangani ini tertembak dua buah peluru nyasar saat bertempur, segera ia dilarikan di barak-barak bantuan. Setelah melewati operasi kini ia terbaring. Hanya melihat, membaca dan mendengar perjuangan kawan-kawannya di medan perang. Ia menangis jika salah seorang kawannya mati. Atau tertawa bila musuh menyerah. Cuma itu yang bisa ia lakukan, karena kondisinya tidak memungkinkan untuk berjuang. Bukan hanya dua buah luka tembak di kedua kakinya tapi juga sebuah luka batin ketika melihat kakinya harus diamputasi karena luka yang membusuk. ‐ Alat untuk mengoperasi kurang steril. Jawab dokter dengan enteng ketika itu. Terus terang aku sangat prihatin. Dengan mengandalkan nyali yang sudah seminggu ini aku tabung, kurawat orang ini baik-baik. Walaupun ia tidak memiliki kaki kuharap hatinya tidak ikut hilang seperti kakinya. Setelah selesai merawat pasien tersebut, kutemui Mas Djoko yang sedari tadi menunggu
98
di luar. Ia mengajakku keluar jalan-jalan. Kami melintasi daerah pertanian yang dirampas rakyat Semarang dari tangan VOC dengan sepeda. Setelah merasa menemukan tempat yang cocok untuk berteduh dan ngobrol, Mas Djoko menepikan sepedanya. ‐ Nur, apakah kamu mencintaiku? Tanya Mas Djoko membuka percakapan kami. Aku hanya terdiam tak tahu harus kujawab apa, memang aku terkesan padanya. Ia seorang kopral, kulitnya hitam sebab terbakar cahaya matahari menambah kesan tegas kalau dia adalah seorang prajurit sejati. Semua gadis mungkin mendambakan untuk menjadi pendampingnya. Begitupun orang tuaku, saat Mas Djoko melamar, mereka langsung setuju tanpa bertanya dulu kepadaku. ‐ Ya Mas. Jawabku dengan pasrah, karena aku sendiri tidak tahu apa yang aku rasakan. Aku memang sering merasa kuatir ketika Mas Djoko berangkat perang. Aku takut dia kembali dalam keadaan terbujur kaku di dalam tandu seperti saat-saat melepas burung kenari kesayangan yang tak tahu ia akan kembali atau tidak.
99
Seseorang tiba-tiba datang mengganggu kemasyukan kami menyaksikan kuasa Allah yang terhampar di depan kami. Ia naik sepeda dengan tergesa-gesa, dan membuang sepedanya begitu saja untuk menghampiri Mas Djoko. - Gawat Mas! Gawat! Sambil berusaha mengatur nafas orang tersebut menyampaikan berita kepada Mas Djoko Belanda besok akan menyerang Semarang. Mereka memperkirakan ada tiga basis pertahanan kita di sana. ‐ Dari mana kamu dapat informasi ini? ‐ Mata-mata kita Mas, dan saya diperintahkan komandan untuk menjemput Mas Djoko. ‐ Nur, kamu pulang sendiri naik sepedaku ya! Mas Djoko membuyarkan lamunanku sebab sedari tadi aku hanya memperhatikan percakapan mereka, dan cemas kegiatan apa lagi yang akan mereka lakukan. Aku mengangguk mantap. Baik kita berangkat! Orang dari kesatuan yang baru kali ini aku melihatnya membawa Mas Djoko pergi, mungkin ia anggota mata-mata. Kupandangi punggung mereka berdua saat berlalu meninggalkan aku sendiri di sini. ****
100
Kudengar mereka mengadakan penggempuran malam ini. Mereka menyebutnya perang gerilya, tapi aku merasa pertempuran ini tidak adil. Mereka menggempur lawan pada saat lawan sedang tertidur lelap. Apalagi mata orang Belanda itu kan tidak bisa melihat dalam gelap. Entahlah, perang memang selalu tidak adil. Ia mengambil semua yang kita cintai. Ia membuat kita berkorban demi sebuah arti kemenangan yang sia-sia. Apa yang mereka harapkan dari keserakahan mereka menguasai negeri ini? Apa yang kami harapkan dari makna nasionalisme ini? ‐ Nur, ayo lekas tidur. Sudah malam. Kudengar suara ibu menyuruhku tidur. Setiap orang yang berperang merasa bahwa dirinya yang paling benar. Namun ia tidak menyadari bahwa peperangan telah memperalatnya untuk mengorbankan sesuatu yang berharga. **** Aku sangat terkejut melihat banyak sekali prajurit yang terbaring. Tubuh mereka semua berlumuran darah. Yang ditaruh di lantai adalah mereka yang sudah terbujur kaku.
101
Sedangkan yang masih bernafas terbaring di atas ranjang. ‐ Nur, ayo jangan melamun saja, cepat kamu rawat pasien ini. Ujar Mbak Utami. Segera kuraih perban dari tangan Mbak Tutik. Kubalut tangan pasien yang ada di hadapanku. Lalu kusanggah tanggannya untuk menghentikan pendarahan. Tak hanya dia, kuhampiri juga pasien-pasien lain yang membutuhkan pertolonganku. ‐ Mbak bagaimana dengan mereka? Tanyaku sambil menunjuk pasien yang kulitnya berbeda dengan kulit kami. ‐ Biarkan saja dulu, kita rawat anggota kita. ‐ Tapi… keadaan mereka kan lebih parah Mbak! ‐ Nggak usah pake tapi-tapi, memangnya kamu naksir sama mereka? Hati nuraniku tergerak untuk meno-long. Meskipun mereka adalah musuh negeri ini, namun aku merasa bahwa manusia harus diperlakukan sama. Tidak peduli itu kawan atau lawan. Kuhampiri salah seorang di antara mereka yang sudah tidak berdaya. Ia terkena tembakan punggung dan perut.
102
‐ Tenanglah, aku akan meminta dokter untuk menolongmu. Kukatakan itu kepadanya sebagai harapan walaupun sekarang mungkin ia sudah tidak dapat mendengarkan perkataanku lagi. **** Selama tiga hari ia tak sadarkan diri karena terserang demam pasca operasi. Sementara empat orang lainnya yang lukanya tidak serius sudah dibawa ke markas oleh TNI. Mereka menganiaya orang putih ini untuk mendapatkan informasi tentang musuh. Itulah namanya tawanan perang yang selalu disiksa untuk mendapatkan informasi penting mengenai lawan. Setelah mereka mendapat-kan informasi itu dan merasa tawanan itu tidak berguna maka mereka akan membunuh para tawanan itu. Semoga yang terjadi pada mereka tidak terjadi pada orang ini. ‐ Aaaaaggh… ‐ Hei, kamu sudah sadar ya? Namaku Nurahmi, tapi cukup panggil aku Nur saja. Syukurlah kamu sudah siuman. ‐ Waar ben ik? Wie ben ye? Tanyanya. Terus terang aku sendiri tidak tahu arti katakata itu. Mungkin karena aku telalu lama
103
menjawab pertanyaanya ia mengulangi sekali lagi pertannyaannya itu. Di mana aku? Terus terang aku merasa kaget. Pertama karena ia sudah siuman dan yang kedua karena ternyata pasien ini bisa bahasa kami. Kuceritakan padanya bahwa ia dibawa ke sini oleh anggota PMI kami, dan aku yang memohon pada dokter untuk membantu mengeluarkan peluru dari tubuhnya. Lalu ia bangkit dari ranjangnya, entah kekuatan dari mana yang ia dapatkan. Ia menyerangku dan mencekik aku. ‐ Mengapa, mengapa tidak kau biarkan aku mati ? Mana kawan-kawanku ? Aku meringis antara takut dan sakit. Lalu genggamannya yang erat tiba-tiba melemah. Ia ambruk. Belakangan kuketahui namanya Philip. Nama itu tertera pada seragam militer yang ia kenakan. Sejak Philip siuman, ia tidak pernah lagi berbicara dan ia akan menyerang orang yang berusaha merawatnya. Aku tidak pernah putus asa untuk mencoba bersahabat dengannya. Aku selalu menceritakan apa yang terjadi di luar sana. Ia tetap dingin dan angkuh, namun tidak hari ini.
104
‐ Nur, maafkan aku. Aku harus menghindari percakapan dengan orang. Aku takut salah bicara. ‐ Aku paham. Kataku singkat. Kupandangi ia yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi tak jadi ia katakan. ‐ Bagaimana keadaan kawanku? Tanyanya. ‐ Maaf, aku tidak tahu mereka di mana sekarang. Mungkin mereka sudah dipindahkan. Ia kelihatan sedih, seperti ada perasaan bersalah dan penyesalan dalam dirinya ketika ia tidak bersama kawan-kawannya. ‐ Mungkin sebentar lagi nasibku akan sama dengan mereka. Kata Philip kemudian. Tak ada yang dapat kulakukan dalam situasi semacam ini, aku hanya menghiburnya. Mengapa aku begitu lemah dan tak berdaya. Sedangkan minggu depan pernikahanku dengan Mas Djoko akan dilangsungkan. Aku sangat mengharapkan mukjizatMu Tuhan. **** Di mana dia, di mana Philip? Aku menemukan ranjangnya sudah kosong, siap untuk diisi pasien lainnya. Langit dihadapanku mendadak menjadi kelam, kemana mereka membawa
105
pangeranku? Aku menghampiri Mbak Utami, karena sebagai kepala perawat ia pasti tahu banyak segala sesuatu yang terjadi di dalam barak ini. Aku mencoba menyanyakan hal itu dengan ekspresi yang kubuat sedatar mungkin agar ia tidak curiga kepadaku. ‐ Tadi malam anggota TNI membawanya. Mungkin ia, eh… siapa namanya? ‐ Philip. ‐ Oh ya, Philip. Mungkin mereka membawanya ke basis dan mengintrograsi-nya. Aku mencoba untuk tenang. Aku harus memberi kesan bahwa aku tidak gelisah. Bagaimanapun mencintai musuh dalam situasi perang yang genting menurut mereka adalah salah. Tapi begitulah cinta itu, kau tak akan pernah tahu panahnya akan bersarang pada hati siapa. Aku memutuskan untuk pergi melihat Philip. Hatiku berdebar kencang ketika aku melewati pengawalan ketat anggota TNI di sekeliling basis, namun aku berhasil masuk tanpa terlihat oleh mereka. Penerangan yang remang ini seharusnya diganti dengan yang lebih terang kalau mereka tidak mau basis ini dimasuki oleh penyusup macam aku. Kucari
106
Philip di setiap ruang. Hatiku berdebar makin kencang ketika aku membuka pintu ruangan terakhir. Aku tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi dengan Philip. Kutemukan dua prajurit tengah tertidur di meja dan Philip terikat di kursi yang posisinya tak lagi tegak. Seluruh tubuhnya babak belur akibat hantaman dan cambukan. Kulihat luka di punggung dan perutnya kembali terkuak, dan setengah liter darah yang sudah mengering keluar dari sana. Sebelum menolong Philip aku harus memastikan bahwa dua orang ini memang tertidur pulas. Kupukul pipi mereka pelan-pelan, tapi mereka hanya mengeliat dan kembali tidur. Sekarang saatnya kubebaskan ikatan di tubuh Philip. Kubelai dengan lembut wajahnya agar ia tidak terkejut melihat kedatanganku. Perlahan matanya terbuka. Apa yang kukhawatirkan benar-benar terjadi. Ia terkejut melihat diriku. Maka dengan sigap aku membekapkan tanganku di mulutnya. ‐ Kamu bisa berdiri? Tanyaku kepadanya. Ia mengangguk lemah. Tenanglah akan kubawa kau keluar dari sini. ****
107
‐ Pergilah! Kataku ketika kami berada lima meter di depan basis militer Belanda. ‐ Tidak Nur, aku tidak ingin satu lagi orang yang kusayangi menjadi korban karena ia melepaskan seorang musuh bangsanya. Lebih baik kau biarkan aku mati di sana. Ujarnya gusar. ‐ Tenanglah, mereka tidak mungkin menyakitiku. Kataku meyakinkan dirinya, meskipun aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku keesokan harinya. Dan aku tidak mungkin melihatmu lagi kalau kamu terbunuh. Aku akan memikirkan cara lainya agar kita dapat bertemu kembali. ‐ Nur, aku mencintaimu. Aku akan datang lagi untuk memintamu ikut ke negeriku. Secepatnya. Philip memberi penekanan pada kata secepatnya. Aku mengangguk. Ia men-ciumku. Dan entah kenapa aku merelakan begitu saja bibirku dicium oleh laki-laki padahal sebelumnya aku tidak pernah mau meskipun oleh pacarku, Mas Djoko. ‐ Pergilah sebelum mereka menemukan kita.
108
Kutahu ada keraguan terpancar dari wajahnya. Ia memandangku lama, sangat lama sebelum berlalu ditelan tembok pembatas. **** Sementara pernikahanku dengan Mas Djoko terundur beberapa minggu sebab keadaan negara belum aman. Mungkin juga itu disebabkan karena aku melepaskan Philip. Mas Djoko dan ibuku sempat terpukul ketika mendengar pengakuanku. Sementara rekanku mencibir aku sebagai gadis murahan, kecuali Mbak Utami. Karena perang juga, Mbak Utami harus berpisah dengan suaminya yang tak lain adalah serdadu Jepang. Toyoda namanya. Ia harus kembali ke kampung halaman setelah sekutu menundukkannya dengan bom atom di Nagasaki dan Herosima. ‐ Nduk, ayahmu mati dibunuh kompeni. Kamu kok malah membebaskan kompeni. kata ibuku dengan penuh emosi dan diiringi dengan tangisan ‐ Maafkan aku, aku mencintainya Bu. Kataku sambil bersujud di kaki Ibuku. Namun kemarahan ibu kali ini ternyata benar-benar telah mencapai puncaknya. Ia menepis permintaan maafku.
109
Aku berusaha mengingat kembali kenangan ketika Philip mencium bibirku. Wajahku sempat memerah. Ia mengatakan kalau ia mencintaiku. Sementara Mas Djoko meskipun ia tidak marah kepadaku, namun kutahu ia menyimpan dendam tersendiri kepada Philip yang telah mencuri hati kekasihnya ini. Karena itu ia mengundur pernikahan kami setelah rencananya untuk menggempur mundur pasukan Belanda terwujud. **** Langit kembali menghitam, dengan kilatan petir memecah keheningannya. Mas Djoko membawa kabar gembira untuk dirinya. Orang yang dulu menjemput Mas Djoko ketika kami sedang menikmanti pemandangan sawah, mengatakan kepadaku bahwa Mas Djoko telah membunuh Philip di medan pertempuran. Bagai mendapatkan sumber kekuatan dan keberanianku kembali, aku berlari melintasi runtuhan tembok dan kepingan kaca yang hancur akibat perang. Kutampar mukanya dengan sangat keras ketika Mas Djoko menahanku untuk melihat kondisi Philip. Kembali kulihat ia tergeletak tak berdaya, sebab berondongan peluru tengah menembus tuhuhnya.
110
Philip membuka matanya ketika aku mengangkat tubuhnya ke atas pangkuanku. Kemudian tangannya berusaha meraih wajahku. Aku membantunya, kuraih tangannya dan kutempelkan ke wajahku. Seakan mendapatkan kelegaan itu bahwa aku disisihnya lalu Philip menghembuskan nafasnya yang terakhir. Penjajahan telah menorehkan luka yang mendalam pada bangsa kami Dan sebuah kepediahan juga ketika kami harus kehilangan kekasih jiwa hanya karena ia berasal dari bangsa penjajah. Ia berbeda. Seharusnya keanekaragaman yang dimiliki oleh bangsa ini mampu menyatukan apa yang memang sudah beragam dalam hati kami.
111
112
BUNGA ASMARA BERSEMI KEMBALI SMU Negeri 1 Probolinggo adalah sekolah favorit. Itu angggapan masyarakat, tapi bagi kami yang sudah menginjak tahun ketiga, sekolah ini tak ada bedanya dengan sekolahsekolah negeri lainnya. Di sini bukan saja tempat lahirnya professor dan pemimpin masa depan, namun juga sampah masyarakat, tikus politik dan mafia kelas kakap di masyarakat. Liar dan begal masih saja tumbuh dengan subur. Sekolah favorit bukanlah jaminan bagi siswa untuk menemukan eksistensinya, ia hanyalah prasarana yang harus didukung oleh kreatifitas individu. Meskipun sudah hampir tiga tahun berlalu, aku masih ingat sewaktu aku baru lulus dari sekolah menengah pertama, Mama berharap kalau aku tidak mau meneruskan sekolah di sekolahku yang lama, aku bisa
113
masuk di sekolah ini. Aku sendiri merasakan bahwa hal tersebut bukan saja keinginan orang tuaku, tetapi juga keinginan seluruh orang tua yang anak-anaknya baru lulus dari sekolah menengah pertama. Bahkan tak jarang dari mereka banyak yang menggunakan jalur-jalur cepat saji agar putra-putrinya dapat bersekolah di tempat ini. Pandangan masyarakat mengenai sekolahku, tak jauh dari pandangan mereka terhadap profesi pegawai negeri. Mereka mengatakan bahwa menjadi pegawai negeri itu enak. Tidak ada target bulanan ataupun perasaan waswas akan diadakannya penyusutan pegawai. Sebenarnya hal terpenting yang diharapkan masyarakat ialah bahwa dengan menjadi pegawai negeri mereka merasa tidak perlu pusing-pusing untuk memikirkan nasib mereka di hari tua, sebab mereka pastinya akan mendapatkan tunjangan hari tua. Tapi mereka lupa bahwa dengan gaya kerja yang santai dan hanya mengharapkan gaji bulanan telah menghambat perkembangan sel-sel otak mereka. Lagipula mana ada seorang pegawai negri “murni” yang menjadi orang terkaya di Indonesia? Sekolah bekas peninggalan Belanda yang terletak di Jalan Soekarno-Hatta ini merupa-
114
kan salah satu saksi bisu pahit getirnya dunia pendidikan di Probolinggo. Berita pahit terakhir yang sempat aku alami adalah tentang tertangkapnya guru Sejarah sekolah kami pada salah satu kamar Hotel Tampiarto karena berjualan ineks. Kini satu tahun sudah berlalu sejak peristiwa itu. Gedungnya sendiri saja sudah berulang kali direnovasi tanpa berusaha untuk menghilangkan unsur lama yang eksotik. Kami, seluruh siswa berkumpul di lapangan upacara. Tapi bukan dengan tujuan mengadakan upacara bendera, karena memang saat ini bukan hari Senin di mana kami harus mengadakan upacara bendera, tetapi kami akan menyambut “tamu kehormatan” sekolah. Exchange Youth Students. “Asalamualaikum Wr. Wb.” Pak Darto, kepala sekolah kami memberi salam. Di usianya yang sudah menginjak limapuluhan, wajah Pak Darto masih memancarkan pesona ketampanan dirinya di usia muda. Dengan sorot mata tajam dan kumis lebat yang kini ia pelihara, Pak Darto tampak berwibawa di depan seluruh siswa. “Walaikumsalam Wr. Wb.” Jawab anakanak dengan serempak.
115
“Selamat pagi anak-anak. Salam sejahtera, semoga kasih dan karunia Tuhan selalu menyertai kita semua. Bapak rasa kalian semua sudah mengetahui alasan Bapak untuk mengumpulkan kalian semua di tempat ini. Tanpa memperpanjang waktu lagi, Bapak akan memperkenalkan kalian pada siswa tamu di sekolah ini. Dia adalah siswa pertukaran pelajar yang berasal dari Yunani. Marilah kita sambut dia. Please welcome Miss Maria Jose Arevalo.” Orang yang dipanggil Maria Jose Arevalo keluar dari balik barisan guru-guru dan dia melangkah menuju podium dengan diiringi oleh sorakan dan tepuk tangan khas anak ABG. “Oh Tuhan….” “What up man! Jangan sekali-sekali kamu menganggu dia. Dia itu jatahku.” Ungkap Galih yang sepertinya mau menggojlok aku. Matanya menyapu barisan murid-murid dan kami semua diam. Sesaat mata kami saling bertatapan, dia tersenyum entah itu ditujukan kepadaku atau orang lain. Yang pasti saat ini aku tertunduk. Tuhan, ini tidak mungkin.
116
“Terima kasih. Selamat Pagi teman-teman semuanya. Nama saya Maria Jose Arevalo and you just call me Maria. As you know, I’m from Greece and I believe that all of you can open your hand for me. Thank you.” ***** Di tengah situasi politik dunia dan nasional yang panas, berani juga anak ini datang ke Indonesia. Baru dua minggu ekspansi militer Amerika terhadap rezim Saddam Husein digelar. Belum lagi wabah SARS yang melanda wilayah Asia. Lagipula Indonesia kan sudah dianggap sebagai sarang teroris sama dunia internasional sejak tertangkapnya Amrozi, pelaku pengeboman kawasan Legian di Kuta, Bali. Belum lagi otak pengeboman itu, Imam Samudra, terkait dengan Jamaah Islamiah. Apa nggak takut nih anak kena bom seperti saudara-saudara bulenya itu? Tapi peduli amat, sebentar lagi aku harus latihan untuk turnamen bola basket Piala Walikota. Pertandingan ini adalah pertandingan basket terakhir yang bisa aku ikuti. Bukan aku saja, ini ambisi tim, seluruh sekolah dan para guru. Kami dituntut agar bisa mempertahankan gelar juara umum yang telah kami raih tahun lalu. Terus terang seluruh masyarakat
117
sekolah mendukung kami, bahkan mereka mengamati perkembangan latihan kami. Maria juga di sana, menonton kami dari tepi lapangan bersama teman sekelasnya dari kelas II C. Kelas yang sama ketika aku masih duduk di kelas II. Kelas tersebut adalah kelas khusus para murid unggulan. Aku tidak pernah menyukai untuk ditempatkan di sana. Aku lebih suka berada di kelas reguler. Lebih berwarna dan meriah daripada berkumpul bersama para “kutu buku”. Memang tidak semua “kutu buku”, tapi umumnya mereka memiliki sifat individual yang tinggi. Saat melakukan layout, Fandi berhasil menghalau lemparanku. Bola itupun terlepas dan melayani ke luar lapangan, menggelinding dan berhenti tepat di depan Maria. Maria mengambil bola itu dan memberikannya kepadaku. “Hai,” Sapaku. “Terima kasih.” Ucapku ketika Maria berdiri dan menyerahkan bola itu kepadaku. “Hanya itu?” Aku tidak tahu apa yang dimaksudkannya dengan kata “hanya itu” namun kata-kata
118
tersebut sudah membuat gaduh teman-teman di lapangan. “Jong, aku capek. Gantikan aku ya!” kataku pada Jojong. Ia segera berlari masuk ke dalam lapangan. Maria memberikan tempat yang kosong agar aku bisa duduk. “Erlan, kamu masih ingat aku?” “Kamu…kamu bisa berbahasa Indonesia?” Tanyaku takjub. “Just a little.” Jawab Maria “Kamu yang mengantarku ketika aku tidak bisa pulang karena kehujanan.” Kataku ragu-ragu, Maria hanya menganggukan kepala. “Sudah tiga bulan aku berada di Indonesia. Sebelum masuk, aku melakukan observasi terhadap seluruh siswa di sekolah mana aku akan ditempatkan nantinya.” “Termasuk aku?” “Terutama. Kan aku sudah bilang kalau aku pengagummu. Hari Sabtu depan kau ada acara?” “Tidak.” “Kita keluar yuk!”
119
“Tapi….” “Sudahlah, biar aku yang mentraktir.” ***** Aku berulang kali melihat jam dinding. Sambil berharap semoga hujan turun sehingga aku bisa menghindar dari bule satu ini. Namun semua itu sia-sia. Hujan tak kunjung juga turun dan jarum panjang perak itu tetap bergerak lambat teratur. Mama yang sedang menikmati secangkir teh hangat memperhatikanku. Bingung karena putranya kini berjalan mondar-mandir di sekeliling ruangan bak setrikaan. “Kenapa kamu Lan?” “Nggg... nggak pa-pa Ma, cuma nunggu hujan.” “Hujan kok ditunggu?” Tanyanya heran. “Galih mau ngajak aku nonton Chicago di Wijaya Kusuma 21. Mama tau sendiri kan aku malas nonton bioskop.” Aku berbohong kepada Mama. Aku malu kalau ketahuan diajak kencan sama Maria. Jangankan diajak kencan, ada teman cewek yang mau ke rumahku saja aku malu. Alasan-
120
nya: Pertama, aku tidak tahu bagaimana menjalin hubungan yang baik dengan perempuan. Bagaimana caranya agar romantis? Kedua, karena pengalaman berpacaran yang aku alami untuk pertama kalinya –cinta monyet sangatlah menyakitkan. Ini sangat bertentangan dengan hatiku. Sebagai remaja kamu tau sendiri kan kalau perasaan suka begitu saja muncul dengan tibatiba tanpa diundang. Tapi selalu saja aku berusaha untuk menepiskannya. Di mata temantemanku, aku terkesan antipati terhadap perempuan –mereka berkata hatiku dingin. Tapi semuanya itu terselamatkan karena pernyataan retorik bahwa aku belum merasa mantap secara finansial. Aku masih mendompleng pada ketiak Mama. Kalian bisa bayangkan, waktu aku masih berpacaran dengan Ratna kami memilih backstreet. Padahal kalau mau terang-terangan, pasti tidak akan terjadi masalah di antara kami. Tak lama kemudian suara mobil taft memasuki halaman. Itu pasti Galih. Awas ya kalau dia ngomong sama Mama. Aku segera
121
keluar. Turun dari mobil tuh anak sudah senyum-senyum penuh maksud. “Sore Tante...” Galih menyapa Mama. Galih berusaha sekuat tenaga agar aku mau pergi. Galih juga membocorkan “rahasia” kepada Mama kalau Maria, si murid baru di sekolah kami mau mengajak aku makan malam. Berbagai alasan kukatakan. Mulai dari alasan kuno “Aku harus belajar.” sampai yang paling lugu “Aku nggak punya baju buat pergi.” seakan terkapar tanpa daya di hadapan Galih. Galih sudah mempersiapkan semuanya. Malah Mama bertanya pada Galih perihal siapa Maria? Kok ada anak cewek mau traktir makan cowok? Galih pun menjelaskan kalau Maria adalah gadis dari Yunani yang ikut pertukaran pelajar di Indonesia. Dan dia adalah penggemar beratku. Mama malah sekarang berbalik menyerangku. “Duh yang punya fans anak bule! Ayolah Lan, kamu berangkat. Pria sejati tidak pernah menolak permintaan perempuan. Tentu saja selama permintaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.” Aku tak punya pilihan lain... *****
122
Aku sudah tiba di depan Restauran Sumber Hidup. Kulihat Maria melambaikan tangannya ke arahku. Dia mengenakan gaun biru muda. Rambutnya yang berwarna emas itu dibiarkan tergerai, namun dia menyisakan sedikit kelabang di samping kedua telinganya yang ditautkan ke belakang. Galih tersenyum dan mengacungkan jempol ke arahku. “Erlan, semoga ini bisa melunasi permohonan maafku.” “Sialan kau!” “Good luck!” Taft hitam itu ngeloyor pergi. Menyisakan diriku dan keputusan. Kumantapkan langkaku menghampiri Maria yang sudah menanti di depan pintu masuk. Dia mengait tanganku. Semua pengunjung dan pelayan restauran seakan memperhatikan kami. Pangeran dan Cinderella. Maria akrab sekali dengan “tradisi” restauran, sementara aku sangat kikuk dengan kondisiku. Namun untunglah Maria banyak memberi bantuan sehingga mendekadensi nervous yang kualami.
123
Kami menempati meja yang sudah dipesan. Dalam hatiku, ada yang kusimpan Rasa yang tak terungkap Bila selangkah di depanmu Mengapa semua hanya jadi membisu Ragu mengetuk relung hatiku Adakah satu tempat di hatimu Sungguh ku ingin kamu
Suara Uthe yang mengalun dalam ruang dansa mengiringi langkah-langkah kami. Aku juga sedikit tidak yakin bahwa syair lagu tersebut menyuarakan kata hatiku. “Maaf!” Aku menarik wajahku sebelum bibir kami bersentuhan. “Aku tidak pernah melakukannya.” Aku berjalan ke meja kami, kutinggalkan Maria sendiri di lantai dansa. “Erlan... ,” Maria menjajari langkahku. “Kau mencintaiku?” Tanyanya. Aku berhenti dan memandangnya. “Maafkan aku. Aku pulang sekarang!”
124
Bunga asmara bersemi kembali. Namun aku masih ragu. Kenapa harus aku yang kau pilih? “I’m ride with you.” “Thanks.” ***** Kehidupan tidak hanya menawarkan kebahagian dan kesedihan, tetapi hidup juga menawarkan kekosongan. Perjalanan cinta sangatlah rumit. Kebudayaan Timur menjunjung tinggi norma agama dan sosial sementara dunia Barat menawarkan kebebasan yang selama ini dicari orang-orang Timur. Hak Asasi Manusia. Sementara aku berdiri di tengah keduanya, tak ingin melangkah mundur tetapi takut untuk maju.
125
126
TAHI KUCING RASA COKLAT Bu Niken masih saja berjalan dengan congkaknya menuju kelas kami padahal baru kemarin dia eh... beliau kena batunya. Gaya berjalan Bu Niken yang selalu menatap ke atas membuat ia lupa melihat daratan di sekitarnya. Dan tak salah kalau seekor batu menghadangnya dan beliau pun jatuh terjungkal. Kontan saja seluruh siswa yang melihatnya tertawa lepas tanpa berusaha untuk menolongnya. Rasain lu! Namun aku salut padanya. Bu Niken adalah salah satu pengajar Bahasa Inggris di sekolah kami. Ia sangat cerdas, tegas serta disiplin. Dia sangat cantik dan belum memiliki pendamping hidup. Dalam hal pedagogi, seakan dia memiliki magnet yang dapat menarik hati para siswa, terutama siswa cowok. Dengan tungkai jenjang dan suara yang ditimbulkan oleh benturan antara sol sepatu dengan lantai ia berjalan ke sekeliling kelas. Gerakan tubuh-
127
nya saat berjalan di sela-sela bangku kami adalah tarian kehidupan. Apa arti kehidupan? Apa yang bisa aku berikan kepada kehidupan? Aku sadar bahwa aku tidak bisa sendirian menilai arti kehiduan. Arti kehidupan muncul ketika kita berinteraksi dengan Tuhan dan seluruh ciptaanNya. Sebuah sinergi. Bahkan cinta yang memberi arti kehidupan pun tak berjalan searah. Hidup adalah persembahan yang menuntut jalinan kepalan tangan manusia dan nafas yang saling mengisi juga berbagi. Meskipun aku bukan Bill Gates atau Larry Ellison yang menyumbangkan otaknya demi kemajuan teknologi umat manusia, pasti ada yang bisa aku berikan. Pasti kehadiranku di dunia ini memiliki makna tersendiri. Aku yakin penciptaan tidak semata-mata karena Tuhan iseng dan ingin bermain-main dengan perasaan kita. Namun suatu tujuan mulia dari tugas yang tidak bisa dilakukan sendiri yaitu memuji dan menyembahNya. Aku mengeluarkan buku Bahasa Inggris dari dalam tas dan meletakkannya di meja. Entahlah, hari ini aku tidak berminat
128
terhadap buku-buku pelajaran. Perhatianku tertuju pada jendela dan jarum jam. “Silahkan keluar kalau kamu tidak suka dengan pelajaran saya!” Suara Bu Niken membuatku tersentak kaget, segera saja kufokuskan pandanganku kembali ke papan tulis. “No. Madam.” “Gimana tadi malam?” tanya Galih. “Biasa saja.” Getaran itu terasa ketika semalam kau berada di dekatku. Itulah yang aku rasakan ketika Maria berada di dekatku.
Setahun yang lalu, Galih masih teman biasa. Setahun yang lalu, Galih salah membuat keputusan. Ia berkata bahwa segala sesuatu yang dimulai dengan persahabatan tidak akan berlanjut pada percintaan. Galih dan Ratna bersahabat, namun Ratna ternyata memendam perasaan khusus kepada Galih. Lalu masuklah aku dalam persahabatan mereka. Entah dari mana datangnya keberanian ini, aku menembak Ratna. Dan Ratna menerimaku. Namun Ratna mempunyai syarat, dan aku mau mene-
129
rima syarat itu karena aku juga merasa berkepentingan dengan dengan syarat itu. Kami merahasiakan status kami di depan publik. Termasuk pada sahabatku sendiri, Galih. Suatu hari Galih berkata kepadaku ingin mengajak Ratna jalan. Ia ingin bilang ke Ratna bahwa ada perkecualian untuk dia bagi keputusannya. Tentu saja aku cemburu hingga kami berkelahi. Di tengah situasi ini tiba saatnya bagi Ratna untuk mengambil keputusan. Dan... kalian bisa menebak sendiri keputusan apa yang diambilnya. Ratna tentu memilih Galih, orang yang selama ini ia nantikan cintanya. Tak salah Dr. Carol Spar pernah mengatakan “Karena begitu dekat, seringkali dua orang sahabat menyukai orang yang sama.” Di sinilah persahabatan kami diuji. Di sinilah persahabatan kami menuju kedewasaan. Lagi pula Ratna kan memang ditakdirkan untuk Galih. Bukan untuk Erlan, nggak cocok lagi!
Bel berbunyi dua kali tanda jam pelajaran berakhir. Keputusanku sudah bulat, aku harus menemui Maria. Akan aku katakan kalau aku mencintainya. Aku tidak ingin kesalahanku
130
terulang kembali. Dengan segera kumasukkan catatan dan buku paket ke dalam tas. Setelah memberi salam, tanpa menunggu Bu Niken keluar lebih dahulu aku segera menyambar tas dan berlari keluar. “Lan, mau kemana?” Suara teriakan Galih. “Urusan penting.” Begitu mendekati kelas II C aku melambatkan langkahku dan mulai mengatur nafas. Rupanya masih ada test. Aku menunggu sepuluh menit hingga mereka satu-persatu keluar. “Hai!” “Erlan, maafkan Seharusnya aku....”
aku.
Semalam…
“Ssssssstt. Kau ada waktu?” “Maaf,” Maria menggelengkan kepalanya. “Aku harus pulang dengan Hendra, kami harus menghadiri pesta pernikahan anak Walikota. Kuharap kau tidak kecewa.” “Tidak... Tidak apa-apa.” ***** “Erlan, ada telepon buat kamu.” “Dari siapa Paman?”
131
“Maria.” Segera kucuci tangan yang penuh dengan tepung dan minyak, lalu kulepas celemekku. “Hallo” “Erlan. Maukah kau menjemputku. Please. Aku bosan harus tersenyum dan beramah-tamah dengan semua tamu yang tidak pernah kukenal sebelumnya disini.” “Tapi aku sedang bekerja.” “Katakan pada penjaganya bahwa kamu mengantar makanan.” Klik. Gagang telepon di seberang sudah tertutup. Aku tidak ingin membuang kesempatan. Aku segera meminta izin kepada Paman Jaya untuk dua hal. Pulang lebih awal dan meminjam sepeda motor. Untunglah saat ini Reno Café sedang sepi pengunjung sehingga Paman Jaya menyetujuinya. Detik berikutnya aku sudah menyalakan mesin Supra menuju kediaman walikota yang juga terletak di Jalan Soekarno-Hatta. Agar berhasil meloloskan diri dari pengawalan yang super ketat, aku harus punya strategi tempur yang diatur secara detail dan dilaksanakan secara mantap sehingga menghilangkan
132
kecurigaan petugas terhadapku.
pengawalan
walikota
Maria sudah berganti pakaian dan menungguku di dapur. Agar rencana kami sukses, Maria harus menyamar. Untuk sementara aku harus melepaskan pakaian kebangsaan café. Maria berpura-pura menjadi diriku, si pengantar kue. Sedang aku keluar melompati pagar. Drama Penculikan Sang Putri berlangsung lancar. Ada perasaan bangga dan lega bergelora di hati kami masing-masing. Sepanjang perjalanan kami tertawa lebar. Menertawakan kebodohan dan ketololan security, patung-patung pesta, dan penganut paham ABS –Asal Bapak Senang. “Kita mau ke mana?” “Aku ingin ke rumahmu” “Kalau begitu pegangan yang erat.” Kataku meniru adegan Fast and Farious. “Akhirnya aku bisa merasakan kembali saat-saat seperti ini.” “Apa?” Teriakku. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas ucapan Maria. “Erlan, kau tahu dengan pasti apa yang akan kukatakan kepadamu.”
133
Kuhentikan laju kendaraan. “Maria, aku… kurasa a…ku menyukaimu –kata terakhir ini tak sempat terucap.” “Pardon?” Rupanya suara-suara mesin truk yang melintas telah menenggelamkan suaraku. “Sudahlah. Kurasa sepeda motornya baikbaik saja. Kita ke rumahku sekarang.” ***** Satu bulan kemudian... Aku pergi ke Tanjung Tembaga dengan beberapa orang teman Maria. Memancing dan berenang itulah tujuan mereka. Maria mengajak aku. Katanya cuma aku saja orang yang dia kenal dengan baik. Tanjung Tembaga tak bisa dikatakan sebagai tempat yang indah sebab kota di mana aku dilahirkan bukanlah kota wisata. Namun Tanjung Tembaga bisa dijadikan tempat melepas stress bagi warganya. Pergi ke sana, memandangi matahari terbenam, memancing, membeli ikan atau berenang di air laut yang sedikit tercemar oleh limbah kapal merupakan keasyikan tersendiri.
134
“You see that!” Aku memandang ke arah yang ditunjuk oleh Maria. “Aku ingin seperti mereka.” Di sana tampak anak-anak nelayan yang tinggal sangat dekat dengan tempat ini. Mereka berlompatan dengan berbagai gaya untuk terjun ke dalam air. Dan ketika terdengar peluit kapal datang mereka menepi. Maria membuka bajunya, tinggal pakaian renang minim yang melekat di tubuhnya. Bukan aku saja yang terperanjat melihatnya, sejenak waktu seakan berhenti dan semua mata memandang ke arahnya. Mungkin mereka berpikir apa yang akan dilakukan anak bule ini atau mereka sedang menikmati keindahan tubuh Maria. Terus terang aku tidak suka orang-orang itu memperhatikan tubuh Maria. Sedang Maria, tanpa peduli dengan keadaan sekelilingnya ia berlari menuju tepian dan terjun ke laut. Byurrrr..... Untung bukan Rhoma Irama dan kronikroninya yang melihat. Kasihan Inul, akhirakhir ini dia mengalami tekanan yang hebat. Inul Daratista, penyanyi dangdut asal desa Jampanan, Pasuruan yang menjadi besar dan
135
terkenal karena “goyang ngebor”nya. Namun goyang itu juga yang menyebabkan ia dihujat dan ditekan sana-sini. Parahnya lagi ia dimusuhi oleh “sesepuh” dangdut yang sok suci. Hasil wawancara sebuah infotainment dengan Ayu Utami mengenai tanggapannya terhadap kasus Inul, Ayu mengatakan: “Dan pantat Inul tidak akan menghancurkan sendisendi bangsa.” Memang dangdut adalah bagian dari budaya posmo. Berlagu amat mesra, romantis, sering dengan ratapan yang memilukan tetapi tetap saja erotis dan menggoda. Elvy Sukaesih lupa bagaimana “tampang” dirinya ketika ia melantunkan lagu dangdut dengan goyang yang katanya goyang Jaipongan. Rhoma Irama juga lupa bahwa setidaknya dirinya pernah berbuat salah. Rhoma bukanlah orang suci yang tahan akan godaan wanita. Memang belum ada bukti yang kuat yang menyatakan bahwa Rhoma selingkuh atau beristri lebih dari satu. Tapi tetap saja Rhoma adalah penganut aliran yang mengatakan bahwa beristri lebih dari satu adalah sunah Rasul.
136
Galih pernah memberitahuku bahwa Muhammad tidak pernah menyarankan kepada umatnya untuk melakukan praktek poligami. Muhammad pun marah besar ketika mendengar bahwa putrinya, Fatimah akan dipoligami oleh Ali. Ia langsung masuk masjid, naik mimbar, dan berkhotbah di depan banyak orang. Kalau aku tidak salah ingat, hadis yang menyangkut hal ini diambil dari Jami’al Ushul, juz XII, 162, nomor hadis: 9026. Beberapa Bani Hasyim bin Al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Sabda Rasullulah: Saya tidak akan mengizinkan. Sama sekali, saya tidak akan izinkan. Sama sekali, saya tidak akan izinkan, kecuali bila anak Abi Thalib –Ali menceraikan anakku dulu. Fatimah adalah bagian dari diriku. Apa yang meresahkan dia, akan meresahkan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya, akan menyakiti hatiku juga. “Erlan, sekarang giliranmu!” Teriaknya dari bawah sana membuyarkan lamunanku. Semua orang yang menyaksikan aksi Maria bertepuk tangan dengan meriah. Sekarang mereka berbalik menyoraki aku
137
supaya terjun memenuhi permintaan Maria. Apalagi teman-teman cewek Maria. Gila nih cewek. Tuhan adakah pilihan lain? Aku terpojok. Aku melepas kemeja yang aku kenakan dan melompat terjun. Byurrrr.... Sekarang kami berdua telah berada di air. Sementara itu tepukan di atas semakin bergemuruh. “Aku tidak suka kau melakukan ini. Jangan pernah kau ulangi lagi.” Aku menuntunnya menaiki tangga. Aku menutupi badannya dengan kemeja yang tadi kutanggalkan ketika kami sudah kembali berada di atas. Maria menyentuh punggungku. “Aku hanya ingin menghiburmu, akhirakhir ini kau….,” aku menatap Maria dengan tajam. Ia tahu bahwa sekarang aku serius. Bahwa aku tidak menyukai tindakan bodohnya. “Kau yang selama ini kucari.” Katanya. Maria mencoba mengalihkan perhatian sambil menyentuh tanda lahir di punggungku. Aku tak pernah melihat tanda lahirku sendiri, lagi pula untuk apa aku memperhatikannya? Kata Ibu tanda lahir itu berbentuk
138
seperti burung Phoenix. Teman-temanku yang pernah melihatnya bahkan mengira aku menggunakan tattoo. Waktu aku masih duduk di sekolah dasar aku pun pernah dihukum karena tanda lahir ini. Aku tidak boleh pulang sampai gambar di punggungku ini terhapus. “Maria, apa maksudmu? Selama ini tidak cukupkah investigasimu terhadap diriku?” Aku menghela nafas panjang. “Sudah satu bulan kita bersama, tidak bisakah kau hentikan kegilaanmu itu?” “Erlan, negaramu sangat kaya ya! Coba lihat berapa ton ikan yang diambil dari dalam lautnya per hari. Sungguh ironis.” “Aku tahu Maria, kau berusaha mengalihkan topik pembicaraan!” ***** Sesampainya di rumah, kunyalakan televisi. Rupanya siaran ulang sidang kasus Amrozy. Aneh melihat dia masih disidang dan dibela setelah serangkaian tindakan keji yang dilakukannya. Sudah hilangkah pertanggungjawaban moral para pembela? Masihkah hukum berdiri di atas panji-panji keadilan?
139
Apapun keyakinan yang kita miliki, masihkah kita melihatnya sebagai sesuatau hal yang benar? Apakah Allah menyetujui tidakannya? Apakah Allah meridhoi jihadnya? Benarkah orang-orang seperti ini begitu gampangnya masuk surga? Oh.... sungguh gampangnya masuk surga kalau begitu. Aku tidur lelap malam ini, sehingga aku nggak sadar kalau aku belum mematikan lampu kamar, terus buku yang kubaca belum kututup. Terang saja, waktu bangun semua buku dan alat-alat tulis sudah tergeletak di lantai. ***** “Bajingan kamu Lan, rupanya kamu sudah semakin sibuk ya?” Suara Galih dari gagang telepon di seberang. “Pagi latihan basket, siang ada di kafe, malam keluar. Memang sih kalau orang lagi jatuh cinta, tahi kucing saja serasa coklat. Lan, bisa ketemuan nggak?”
140
KUTUNGGU DUDAMU: 5 SEBAB Memang benar perkataan Galih di telepon. Sudah lama aku tidak mampir atau berkunjung ke rumah ini. Maria dan basket sudah terlalu banyak menyita waktuku. Rumah Galih dan rumahku terletak tak begitu jauh. Itulah salah satu sebab mengapa dia menjadi sahabatku. Seperti yang pernah aku katakan, awalnya kami hanya kawan biasa yang kadang-kadang duduk sebangku. Dia murid pindahan dari Surabaya. Dan ternyata keluarga Galih pindah rumah di dekat lingkungan tempat tinggalku. Jadinya, kami berangkat sekolah naik bus bersama. Yang awalnya hanya kawan sebangku kini meningkat jadi kawan antar jemput naik bus sekolah. Dan akhirnya karena kami lebih sering menghabiskan waktu bersama dan
141
merasa saling cocok akhirnya ya…. seperti sekarang ini, kami menjadi sahabat. Sebab kedua, aku dan Galih sama-sama anak tunggal. Sama sama tidak memiliki saudara kandung. Mungkin hal ini jugalah yang membuat kami merindukan sosok saudara untuk tempat berbagi. Menjadi sahabat bukan berarti aku dan Galih tidak pernah bertengkar lho. Mungkin Galih akan menilaiku terlalu serius, egois, nggak gaul dan konservatif. Tapi bagiku aku adalah orang yang mampu menghargai diri sendiri, tepat waktu dan teguh pendirian. Sedangkan jika kau bertanya kepadaku mengenai Galih, aku pasti akan berkata dia tipe anak yang “yes man!”, santai dan tidak pernah bisa mengambil keputusan yang tepat. Dan tentu saja bila kamu konvirmasikan hal ini ke Galih, pasti dia akan berkata bahwa itu kan namanya anak gaul, ramah dan care pada orang lain. Termasuk ketika Ratna harus memilih satu di antara kami. Bersahabat dengan Galih juga banyak untungnya. Keluarganya sangat berada, sehingga dia tidak akan pernah kehabisan uang hanya karena keseringan mentraktirku makan atau mengajakku berpergian ke luar
142
kota. Sebagai sahabat pula aku mendapat rekomendasi tingkat tinggi yang membuatku dapat dengan leluasa mengunjungi rumahnya. Keluarganya sudah seperti keluargaku sendiri. Paman Arya dan Tante Siska sudah menganggapku sebagai anaknya dan aku merasa mereka juga sudah seperti orang tua kedua bagiku. “Wow… rumahnya masih sama! Masih terjaga dengan asri seperti saat terakhir kali aku melangkahkan kaki keluar dari rumah ini.” Seruku dalam hati ketika aku sampai di pelataran rumah Galih. Lain dengan halaman rumahku yang hanya ditanami pohon mangga dan sedikit pohon penghasil buah lainnya, halaman rumah Galih terlihat jauh lebih indah. Benar-benar seperti taman firdaus. Di bagian luar, di tepi jalan, ditanam sederetan pohon pakis. Masuk ke dalam, seluruh permukaan tanah di halaman dihiasi hamparan rumput gajah yang dipotong rapi, sehingga lebih tampak seperti permadani. Pada bagian kiri rumah ditanam pohon mangga, nangka, jambu biji dan sawo. Masih di bagian kiri rumah, bunga mawar aneka warna yang ditanam pada pot-pot keramik berwarna biru diletakkan dengan rapi di samping pohon mangga. Selain tanaman
143
epifit, sulur-sulur bunga melati juga dibelitkan pada pagar. Di bagian kanan rumah terdapat kolam ikan yang tidak tampak dari luar karena tertutup oleh pohon cemara. Kursi dan meja yang terbuat dari marmer juga ditempatkan di sana. Keindahan rumah ini tidak hanya terletak di halaman depan saja, halaman belakang rumahnya lebih indah lagi. Sebab Om Arya memang merancang bagian belakang rumah sebagai pusat aktivitas bagi keluarganya. Bahkan aku sempat membayangkan bagaimana serunya kalau di taman belakang rumah Galih terdapat labirin. Tapi dari semua yang ada di halaman rumah Galih, aku sangat mengagumi keindahan kebun anggrek Tante Siska. Karena sudah sering kemari, aku tidak kesulitan untuk menemukan kamar Galih yang terletak paling ujung di lantai dua. Kutemukan dia sedang menangis tanpa suara. Aku hanya melihat saja, tak berani menanyakan. Mungkin ia menyadari kehadiranku. Galih menatapku dan tertawa keras-keras. “Hei Lan, kau rupanya sudah datang! Kok bengong saja? Oh… aku tahu, pasti kau mengira aku sedang sedih karena aku tadi menagis.”
144
“Ya begitulah.” “Tenang saja, aku menangis karena hari ini aku merasa sangat bahagia. Papa mengajak Mama makan malam. Berita bahagia kan? Sebentar lagi kamu ikut aku membeli hadiah buat Papa. Kamu juga harus memberi Papaku hadiah lho, sebab kamu kan sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Masalah harga biar aku yang bayar.” “Betulkah? Hai selamat! Semoga hubungan Mama dan Papamu membaik.” Menurut Galih, kali ini Om Arya begitu lembut dan romantis terhadap Tante Siska. Ketika tadi pagi Om Arya menelpon dari Medan dan mengatakan bahwa ia akan pulang dan meminta Tante Siska sendiri yang menjemputnya ke Surabaya. Mernurut rencana, mereka akan bertemu di ShangriLa Hotel saat makan malam, sebab Om Arya ingin memberikan sebuah kejutan kepada Tante Siska. Akhirnya suatu masalah selesai dan berakhir bahagia. Pintu kamar tiba-tiba terbuka lagi. Setelah beberapa saat lalu mBok Tijah membawakan kami dua gelas sirup dingin. Kali ini ternyata Tante Siska.
145
“Erlan, dari mana saja kamu? Kamu kok sudah nggak pernah main-main lagi kemari? Kamu sakit?” Tante Siska yang saat itu sudah berdandan sangat cantik menyapaku. “Aduh Ma, yang ini lebih parah dari penyakit manapun dan nggak mungkin ada obatnya. Erlan terserang virus Ma. Virus Cinta!” Kata Galih menyela. “Oh ya, cantik nggak anaknya?” “Bukan hanya cantik Ma, anak yang suka sama Erlan itu cantiiiiik sekali. Dia anak bule. Mama tahu kan, siswa pertukaran pelajar itu. Cuma anak ini aja yang sudah buta. Gajah di pelupuk mata tidak tampak,” Galih kemudian meninju bahuku. “Jangan sampai sang gajah menyusut jadi kuman.” Aku tidak bisa membayangkan seberapa merah wajahku dikerjai oleh Galih dan Tante Siska. Kami semua bercanda dan tertawa bersama-sama. Namun tak lama setelahnya Tante Siska berhenti tertawa secara mendadak. Ia tampak cemas. “Kalian sungguh beruntung. Menjadi remaja dan merasakan apa yang dinamakan cinta merupakan hal yang sangat berharga di dunia ini. Jangan sampai seperti Mama,”
146
Tante Siska kemudian membelai pipi Galih, memeluknya dan mencium lembut keningnya. Kemudian ia juga memelukku. “Le, Lan sudah waktunya nih. Mama berangkat dulu ya” Ujarnya kemudian. “Yes Mom, take care!” “Baik Tante.” “You too, dear.” Sambil menutup pintu kamar. “Yok Lan, kita berangkat juga! Beli hadiah buat Papa.” Aku mengangguk. ***** Aku kurang ingat kapan tepatnya, tapi paling tidak delapan bulan sejak perpindahan Galih ke Probolinggo. Dan ini adalah sebab ketiga mengapa kami bisa akrab. Saat itu Galih mengajak aku ke Gamma –counter buku yang ada di Mall Graha Mulia untuk membeli beberapa buku yang ia perlukan. Semakin lama bersahabat dengan Galih, tentunya aku semakin tahu bagaimana karakter dan kepribadiannya. Namun sedikit sekali kesimpulan yang dapat aku ambil
147
mengenai bagaimana keluarganya. Awalnya aku tidak ingin bertanya macam-macam, sebab siapakah aku? Keluarganyapun bukan. Aku tidak suka bila Galih menilaiku suka mencampuri urusan orang lain. Tetapi lama-kelamaan itu membebani pikiranku juga, kenapa pandangan Om Arya kepada Tante Siska begitu dingin? Semula aku mengira mereka hanya bertengkar biasa. Rumah tangga tanpa pertengkaran bagaikan sayur tanpa bumbu, begitu hambar. Itu menurut pendapat orangorang kuno. Tapi aku terlampau sering melihat gelagat ini. Aku berharap ini hanya perasaanku saja. Entah mengapa, masih di dalam perasaanku, aku merasa Tante Siska sepertinya ingin mengucapkan sesuatu yang sudah terlalu lama ia simpan sendiri. Sepertinya itu sebuah beban, beban yang sangat berat di mana dia ingin agar seseorang datang dan berkata “Dapatkah aku membantumu untuk sedikit meringankan bebanmu itu?” Meskipun ia selalu mencoba bersikap tegar dan menampilkan senyum manis terhadapku. “Le, boleh aku tanya sesuatu?” “Yap”
148
“Maaf, kalau sekiranya pertanyaanku ini nantinya menyinggungmu,” Aku berhenti sejenak mencoba berpikir untuk mencari katakata yang tepat. “Mengapa pandangan Papamu kepada Mamamu selalu dingin?” “Akhirnya kamu menanyakannya juga. Aku….” Galih berkata seraya menggambil tempat duduk di area food court. “Kamu tidak perlu menjawab kalau kamu tidak suka.” Ujarku cepat. “Bukan, bukan itu maksudku. Aku sudah menganggapmu sebagai sahabatku, lebih dari itu bahkan. Aku sudah menganggapmu sebagai keluargaku sendiri. Cuma aku tidak tahu harus mulai dari mana menjelaskan permasalahan ini sama kamu sebab aku sendiri tidak pernah tahu apa penyebab semua ini.” Galih menarik nafas panjang. “Maksudnya?” Kataku ragu-ragu. “Sudah sejak lama. Sedari aku kecil tepatnya, aku mengetahui bahwa ada yang tidak beres dengan keluargaku. Papaku memperhatikanku dan rasa sayangnya sangat luar biasa besarnya terhadapku. Mamaku juga demikian. Jadi bisa dipastikan aku bukanlah anak yang kurang kasih sayang orang tua. Aku tidak
149
terkait dalam masalah tersebut, melainkan mereka berdua. Mama dan Papa. Mereka tidak pernah akur. Papa tidak pernah sekalipun memperhatikan Mama. Ia lebih peduli pada pekerjaannya. Sementara Mama berusaha segala cara untuk menunjukkan rasa cintanya kepada Papa, tapi tak sekalipun Papa menghargai jerih payah Mama. Di hadapan Papa, Mama tak ubahnya seperti patung porselin yang menghiasi sudut rumah kami. Bahkan Papa tidak pernah menganggap Mama ada.” “Tapi kenapa itu semua bisa terjadi? Aku lihat Om Arya dan Tante Siska adalah pasangan yang serasi.” “Aku tahu kamu terlalu pandai untuk ditipu. Tapi dengan sangat menyesal kawan, aku tidak dapat memberitahumu penyebabnya, sebab aku sendiripun tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Mengenai mereka pasangan yang serasi, itu hanya sandiwara mereka saja. Dulu merekapun berbuat hal yang sama dihadapaku.” “Apa kau tidak pernah menanyakannya?” “Berulang kali, namun tetap saja jawaban sandiwara yang aku dapatkan: Kuharap kamu tidak mengulangi kesalahan kami. Sudahlah
150
Lan, aku selalu berusaha berpikir positif, aku tidak akan merusak diriku sendiri hanya karena masalah ini. Dan aku selalu berharap masalah yang mereka hadapi akan segera menemukan jalan keluar. Tak peduli keputusan apa yang akan mereka ambil, aku hanya ingin mereka berdua bahagia.” “I hope so Lan! Paling tidak kamu masih beruntung mempunyai Ayah.” “Ayahmu sudah meninggal?” Aku menggeleng. “Aku tidak pernah tahu siapa ayahku,” aku menghela nafas. “Aku tidak tahu apakah dia sudah meninggal atau masih hidup. Sampai saat ini Mama berhasil membohongiku bahwa Papa sudah meninggal. Tetapi pernah secara tidak sengaja aku mendengar percakapan Mama dan Paman Jaya. Ternyata aku…, aku anak haram. Mama mengandung di luar nikah, dan ia diusir oleh keluarganya. Paman Jaya dan Bibi Hesti menolongnya,” aku menyandarkan punggungku pada sarndaran kursi. “Jika kamu jadi aku, apakah yang akan kamu lakukan? Perlukah bertanya kepada Mama mengenai siapa ayahku? Aku tidak ingin membuatnya semakin menderita.”
151
“Lan, maafkan aku! Aku kira hanya keluargaku yang terlilit masalah berat.” “Ya begitulah manusia. Kadang ia merasa beban dan penderitaannya saja yang lebih berat daripada beban dan penderitaan orang lain. Namun sesungguhnya Tuhan itu sangat adil.” “Kamu benar Lan.” ***** Malam ini sehabis membeli hadiah buat Om Arya, Galih memintaku untuk menginap di rumahnya. Sebelum tidur, tanpa mempedulikan bahwa besok kami harus berangkat lebih pagi ke sekolah untuk study tour di UNMMalang, kami bermain catur hingga larut malam. Sebab keempat: Kami sama-sama suka bermain catur. Tlululululut.... tlululululut... suara telepon dari lantai bawah berbunyi. Entah sudah berapa lama kami tertidur. Karena tidak ada yang mengangkat, Galih segera berlari turun. Aku melihat jam dinding, sudah pukul lima pagi. Aku masih mengantuk, tapi kulawan rasa kantukku itu dengan bangkit berdiri dan turun menghampiri Galih yang saat ini sedang berbicara dengan seseorang di telepon dengan
152
nada cemas. Rupanya dari Om Arya. Dia meminta kami untuk berangkat ke Surabaya. Tante Siska mengalami kecelakaan dan saat ini sedang koma. “Tante Siska sekarang ada di mana?” “Nginden. Papa juga meminta Tante Wanda ikut.”
Tepat pukul delapan, kami sudah tiba di pelataran International Hospital, Surabaya. Begitu memasuki lobi, Om Arya segera menyambut kami dan berbicara dengan Mama. Rasanya lama sekali kami menunggu hingga pintu ICU itu terbuka. Dokter kemudian berbicara kepada Om Arya mengenai kondisi kritis Tante Siska. Kemudian ia mengizinkan kami masuk untuk menjenguk Tante Siska. Tentunya kami harus mengganti dahulu baju kami dengan baju khusus yang disediakan pihak rumah sakit. Aku melihat Tante Siska tersenyum kepada kami semua. Senyum itu tampak manis sekali meskipun kini sekujur tubuh dan wajahnya terbalut perban. Tante Siska mengalami luka bakar yang cukup serius. Pastinya ini semua akibat dari mobil yang
153
tumpangi menabarak dan terbakar. Kemudian ia memandang Mama. “Wanda. Maafkan aku!” Mama mengulurkan tangannya dan Tante Siska menggenggamnya dengan erat. Om Arya hanya bisa menangis menyaksikan hal itu. Mungkin Om Arya merasa bersalah sebab selama ini ia sudah begitu lama mengecewakan Tante Siska. Giliran dia mau memperbaiki sikap buruknya itu, Tante Siska harus mengalami kecelakaan. “Kenapa mereka bisa begitu akrab?” Pikirku dalam hati. “Selama ini Mama terkesan menghindari keluarga Galih. Bahkan Mama sempat melarangku menerima pemberian apapun dari Om Arya.” Aku mulai curiga. “Sudah saatnya mereka tahu yang sebenarnya,” Tante Siska kemudian meman-dang ke arah Galih dan aku. Sementara Mama terlihat gemetar dan semakin kuat menggenggam tangan Tante Siska. “Aku harus menyelesaikan sandiwara kita selama ini. Aku tidak ingin meninggalkan kalian semua dengan masih memanggul beban berat di pundakku,” “Dua puluh tahun lalu Papa dan Tante Wanda adalah sepasang kekasih…..”
154
Kecurigaanku sekarang beralasan. Lecutan kilat telah menyambar otakku. Jantungku seakan berhenti berdetak. Kurasa sebentar lagi atap rumah sakit ini akan runtuh dan dindingdindingnya akan menghimpitku. Kalian pasti bisa meneruskan cerita ini sebagai sebab kelima. “Erlan……!” Kudengar suara Galih berteriak ke arahku. Aku berlari keluar dari ruangan tersebut. Aku menjadi gila. Aku masih tidak mampu menerima kenyataan ini. Berlari dan berlari terus tanpa pernah tahu ke mana arahku berlari. Semakin jauh aku berlari. Warna-warna pekat yang sedang menari-nari dibelakangku tersebut kuharap segera menyingkir. Memang ia tampak mengecil seperti tahi lalat pada tubuh, namun suara-suara yang ditimbulkannya tetap menggelegar. Aku capek, aku tidak ingat kini di mana tepatnya aku tertidur. Sekelebat aku melihat Mama tertawa puas: KUTUNGGU DUDAMU. Aku terbangun. ***** APA?? KAU BELUM PAHAM JUGA! Kalau belum bisa, mari aku teruskan apa yang dikatakan Tante Siska. Cerita berikut pasti
155
akan…. Aduh susah juga mengatakannya! Ini benar-benar membuat binggung. “….. namun keluarga mereka tidak merestui hubungan mereka sebab mereka berbeda agama. Saat itu tidak sebebas sekarang dimana Frans Mohede dan Amara bisa menikah, walaupun itu harus ke luar negeri. Belum lagi status sosial yang disandang keluarga Eyang Kakung membuat mereka menjadi sombong. Mereka tidak punya hati. Menerobos batasbatas susila masyarakat adalah hal yang abnormal,” “Lalu aku datang, dengan alasan perjodohan akhirnya aku bisa masuk ke dalam kehidupan keluarga Papa dan semakin memperbesar jurang di antara mereka. Kami menikah. Mama mencintai Papamu, tetapi dia tidak. Mama sadar akan hal itu, sebab cintanya hnyalah untuk Tante Wanda. Mama tidak peduli apa yang menimpa Tante Wanda. Entah setan mana yang merasuki jiwa Mama. Mama semakin terobsesi untuk mendapatkan Papamu. Saat itu Mama berpikir mungkin dengan memiliki anak sikap Papamu terhadap Mama akan berubah. Mama mempengaruhi Eyang Kakung untuk selalu mendesak Papa agar memiliki anak,”
156
“Kalau ingat kejadian itu, Mama sama hinanya seperti hewan. Mama selalu mendesak Papa agar menghamili Mama. Akhirnya Papa memperkosa Mama. Salah! Mamalah yang membuat Papa melakukan tindakan itu,” “Lantas siapakah kini yang pantas mendapat julukan “anak haram”? Diakah anak yang dilahirkan di luar nikah tetapi orang tuanya saling mencintai ataukah anak yang dilahirkan dengan orang tua menikah tanpa cinta,” “Menjalani bahtera kehidupan rumah tangga dengan Papamu, apalagi setelah kelahiranmu, Galih, membuat Mama semakin sadar bahwa cinta tidak dapat dipaksakan. Maafkan Mama, Le. Maafkan Tante Siska, Lan. Maafkan saya Pa. Memang benar kata orang: Darah Menuntut. Meskipun saya sudah berusaha mati-matian memisahkan kalian berdua, namun saya tetap tidak bisa melawan takdir bahwa kalian harus bertemu kembali di Probolinggo. Berjuanglah…..” Tante Siska menyatukan tangan Mama dan Om…. Entahlah aku sekarang tidak tahu akan memanggilnya siapa.
157
Tiiiiiittttttt…. Bunyi panjang dari bed set monitor. Dokter yang tadinya meninggalkan kami berlima dalam ruangan itu segera masuk. Mereka meminta kami segera keluar dari ruangan itu. Kulihat mereka berusakah keras menyelamatkan nyawa Tante Siska menggunakan desease shock. Om Arya memeluk Galih.
158
SAYAP MALAIKAT Laut adalah ibu dan deburan ombaknya yang memecah karang merupakan segenap nasehat yang dapat ia sampaikan. Ombak bergulung-gulung membawa pergi pasir dan sampah di tepi pantai. Juga penyesalan dan derita. Bagi sebagian orang –pecinta lingkungan ini merupakan erosi yang tidak termaafkan dan harus ditanggulangi. Tapi tidak bagi hati yang merana, hati yang binggung dan terluka. Ombaknya membawa pergi segenap emosi. Mengapa selama ini mereka berhasil mengelabuhiku? Aku serasa menjadi Jim Carey dalam Thruman Show. Di mana seluruh kehidupannya adalah bagian dari skenario sebuah reality show. Bahkan orang tua dan istrinya sendiri pun adalah pemerannya. Namun akhir jalan ceritanya saja yang beda. Dalam film tersebut, akhirnya Thruman menang menentang “Tuhan”-nya sedangkan aku, “zat” macam apa yang bisa
159
kutantang? Lagipula sepenuhnya aku sadar bahwa kehidupan adalah permainan, sebuah sandiwara yang naskahnya ditulis oleh Sang Sutradara Agung. Tapi aku tidak berharap mendapat peran seperti ini. Ini terlalu sulit bagiku ketika kepingan-kepingan puzzle kehidupan yang selama ini menjadi misteri bagiku, kini terhampar lengkap. Sang Sutradara Agung, tolonglah aku! Mengapa aku begitu naïf? Bukannya aku yang dulunya setiap kali berharap bisa bertemu dengan ayahku. Tetapi mengapa sekarang ketika aku bertemu dengannya, aku tidak dapat menerimanya? Bukannya aku yang dulunya menggembar-gemborkan eksistensi. Tetapi mengapa sekarang aku begitu mempedulikan apa yang akan dikatakan masyarakat nantinya? Memang, sesuatu yang belum dapat kita raih dan masih tampak di kejauhan selalu tampak lebih indah. Seperti bianglala pada perut angkasa, begitulah impian manusia. Ketika jauh tampak berwarna-warni dan indah tetapi ketika kau mendekat yang tampak hanyalah titik-titik air yang tidak menarik sama sekali. “Hidup memang tidak selalu seperti yang kita harapkan, ….” Misalkan nanti –dia (Aku
160
tidak tahu harus memanggilnya apa!) berkata seperti ini kepadaku. ..... tapi kita harus bisa menghadapinya dengan tegar. Aku sudah tahu bagaimana selanjutnya! Kau tidak perlu memberitahuku! Aku tidak bergeming menghadapi komentar seperti itu. Pandanganku tetap tertuju pada hamparan air yang sangat luas di depanku, yang hempasan gelombangnya kini sudah membasahi sekujur tubuhku. Kata-kata seperti itu sudah seringkali kudengar pada ceramahceramah pendeta di gereja atau para kyai yang sepintas lalu kusaksikan di TV. “Maafkan aku Erlan. Boleh aku duduk di sini?” Please Om, tiggalkan aku sendiri. Mingguminggu terakhir ini sudah sangat berat bagiku. Turnamen basket antar sekolah akan segera diadakan. Pihak sekolah sengaja membebani kami dengan tanggung jawab yang besar untuk mempertahankan gelar yang sudah menjadi langganan. Jadi akibatnya kami harus berlatih keras setiap hari Belum lagi ujian umum nasional yang akan aku hadapi akhir bulan ini. Eh… Kamu dengan seenaknya saja datang
161
dalam kehidupanku dan menambah beban yang harus aku tanggung. “Kumohon Erlan mengertilah aku!” Haa… mengerti? Bukankah kamu yang harus mengerti aku? Itulah sebabnya mengapa kamu terlahir lebih dahulu ketimbang aku, lagipula itulah tujuan Tuhan menciptakan manusia dengan dua telinga. Ngomong-ngomong, kalimat terakhir ini kok lebih menyerang aku sendiri ya… lebih baik nanti tidak usah digunakan. “Aku punya istri dan anak.” Kamu juga punya kekasih dan anak haram yang tidak pernah kamu akui. Dan terus terang saja, aku jadi ragu apakah kamu benar-benar mengharapkan kelahiranku? “Andai saja kesempatan itu ada” Kesempatan itu selalu ada, hanya kamu saja yang tidak mempergunakannya dengan baik. Sebab kesempatan adalah apa yang kita ambil saat ini dan detik ini. Selepasnya ia hanya akan menjadi kenangan. “Jangan pernah menyelesaikan persoalan dengan hati yang tertutup!”
162
Aku tahu kalau selama ini aku termasuk anak yang egois, keras kepala, tidak mau menerima pendapat dari orang lain dan cenderung introvert. Tapi bukankah itu satusatunya cara yang aku punya agar aku bisa bertahan hidup. Tapi bagaimana jika mama sendiri yang selama ini tidak mau memberi kesempatan kepadanya? Keadaan sudah membuat hidup mereka selama ini begitu sulit dan menderita. Andaikata aku yang menjadi –dia. Andaikan saat ini adalah kesempatan terakhirku untuk berbuat baik kepada mereka, apa yang akan aku lakukan? Membiarkan mereka bahagia. Bagaimana dengan Galih? Aku tidak mau Mama dianggap sebagai orang jahat yang tega merampas kebahagiaan orang lain. Mungkin sekarang Galih tengah berdiri di samping jenasah Tante Siska dan meratapi kepergiannya. Sang Sutradara Agung, tolonglah aku!
Senja telah lama berlalu. Tak kusangka laut sebagai ibu yang seharian ini kurasakan begitu lembut, kian larut ternyata dapat pula berubah menjadi begitu misterius. Deru angin
163
dan riuhnya ombak laut menciptakan sebuah komposisi yang syarat dengan irama magis. Seseorang tiba-tiba berdiri di sampingku. “Hidup memang tidak selalu seperti yang kita harapkan, ….” ia berkata. “Bolehkah aku duduk di sini?,” sepatu, baju dan badannya kini telah basah terkena ombak yang menghantam bibir-bibir pantai. “Erlan, maatkan ….” dengan cepat kutaruh jari telunjukku di bibirnya. Kami berdiam dalam keheningan. Tanganku bergetar. “Lebih baik kau urus saja anak dan istrimu. Lupakan aku! Aku bukan anakmu. Ayahku sudah mati.” ***** Jenasah Tante Siska sudah dikebumikan kemarin. Mungkin sebelum –dia menemuiku. Sebab ketika menemuiku –dia masih dalam pakaian berkabungnya. Masih dalam suasana berkabung, hari ini Galih tidak pergi ke sekolah. Sampai sesiang ini, ketika sepulang sekolah aku memutuskan untuk menemuinya, para pelawat masih tampak bergiliran datang memadati rumah
164
Galih. Aku ingin tahu apa yang ingin Galih bicarakan denganku. “Aden. Aden baru pulang dari sekolah toh?,” ujar Bik Tijah menyapaku ketika aku datang. “Den Galih sudah menunggu Aden di belakang.”
“Sepertinya kita harus membicarakannya,” kataku setelah aku menemukan Galih sedang duduk sendirian di halaman belakang. “Biarlah semua berjalan seperti semula. Biarlah aku mempercayai bahwa ayahku telah mati! Dan jangan pernah menganggap bahwa Mamaku mengharapkan kematian Tante Wanda!” Galih berbalik dari kursi yang semula didudukinya. Ia mencekram kerah bajuku mendesakku ke tembok. Bukk.... Kepalan tangannya telah melayang ke pipiku. Saking kerasnya, darah segar segera berlarian keluar dari hidungku dan mewarnai baju seragam sekolah yang aku pakai. “NGOMONG APA KAMU INI! Bukankah aku pernah mengatakan bahwa tidak peduli keputusan apa yang mereka ambil asal aku bisa melihat kedua orang tuaku bahagia. Dan
165
satu hal lagi, picik sekali pikiranmu. Aku tidak pernah menganggap Tante Wanda menggambil untung dari semua ini. Atas nama mama aku meminta maaf telah membuat kalian terpisah. APA PENYESALAN PAPA BELUM CUKUP?,” bentak Galih membuat ibu-ibu yang saat itu sedang mempersiapkan masakan untuk selamatan memandang heran ke arah kami. Mungkin saat itu pula Bik Tijah melapor kepada “tuan besar”, sebab tidak seberapa lama kulihat –dia meminta ibu-ibu itu meninggalkan kami sendiri. “HA! Tak kusangka di situasi yang genting semacam ini, kau masih bersikap heroik. Aku benci sikapmu yang sok berkorban atas nama mereka. Coba kau jadi aku! Kalau bukan karena Tante Siska tentunya selama tujuh belas tahun aku tidak akan menjadi anak seorang babu. Aku tidak perlu bekerja di café Paman Jaya hanya sekedar mencari uang tambahan biaya sekolahku!” “Lan,” Galih berlutut di hadapanku. “Kumohon maafkanlah Papa! Akuilah dia sebagai Papamu! Kamulah yang selama ini ia cari. Kamulah kunci kebahagiaannya. Di dunia ini harta yang paling berharga adalah keluarga yang saling menyayangi. Demi melihat Papa
166
tersenyum, demi impianku akan sebuah keluarga yang saling menyayangi, aku rela menyerahkan apa yang selama ini aku miliki untukmu. Aku rela membayar semua penderitaan yang kau alami selama tujuh belas tahun. Lan, maafkanlah Papa. Maafkanlah Mama.” “Begitulah kenyataannya dan sudah seharusnya tetap berjalan seperti itu!” Aku berjalan mengambil ranselku. Kutinggalkan mereka. “Lan, rupanya sikap keras kepalamu selama ini hanyalah untuk menutupi kelemahanmu!….” “GALIH HENTIKAN!” Bentak –dia. Jangan berlagak membelaku. “Kau tidak mampu menghadapi kenyataan. You are looser, lad!” Meskipun –dia membentak, Galih tidak menghentikan kalimatnya. Langkahku terhenti. Seperti ada magnet yang sangat kuat menahannya. Ucapan Galih benar. Ternyata selama ini aku bukanlah orang yang benar-benar kuat. Kemandirian yang aku punyai adalah imbas dari keadaan. –Dia melihat kegalauanku. Mataku sudah berkaca-kaca dan tinggal selangkah lagi air mata ini keluar. Lihat ini
167
bahkan untuk meneteskan air mata saja aku terlalu egois. –Dia berjalan ke arahku. Ia menengadahkan wajahku agar –dia dapat menatap aku. Dengan lembut –dia membersihkan darah di hidungku. –Dia mendekapku dalam pelukannya. “Menangislah. Tumpahkan semua kekesalanmu.” “Aaaaaaaaagggggghhhhhh!,” aku berteriak, memeluk sambil memukul-mukul tubuhnya. “Maafkan Papa, Erland. Kepengecutan Papa rupanya telah menimbulkan penderitaan yang cukup besar buatmu dan Wanda. Mulai saat ini kau harus tumbuh sebagai remaja normal. Kamu tidak perlu lagi menanggung beban yang seharusnya menjadi milik Papa. “Pa… Papa, aku mencintaimu!” Ia memelukku. Antara senyum, tawa dan tangis bagi kami sekarang tidak ada bedanya. Dalam pelukannya, kulihat Mama dan Galih yang tengah berdiri di seberang terharu melihat kami. Galih tersenyum sambil mengacungkan jempolnya kepadaku.
168
“Telah lama aku merindukan pelukan ini Lan!” Ia mengacak-acak rambutku dan membawaku kembali dalam pelukannya. Sangat erat. Dan kali ini tanpa kusadari aku kembali meneteskan air mata. Peluk aku lebih erat lagi Papa. Baru sekarang kusadari ternyata obat yang aku butuhkan untuk meredakan rasa sakit hati yang aku derita selama dua hari terakhir ini adalah sikap mau memaafkan kesalahan orang lain. Memaafkan, menghasilkan akhir yang indah dan melegakan batin. ‘cause when you’re in my arm you make me prouder than anything I ever could achieve and you make everything that used to seem so big seem to be so small since you arrived on angels wings, an angelical formation angels wings, like letter in the sky now I know no matter what the question love is the answer, it’s written on angles wings
Cinta adalah jawaban yang tertulis dalam sayap malaikat. Lagu yang bercerita tentang kecemasan seorang ayah dalam menantikan
169
kelahiran putranya. Sang Sutradara Agung, kuharap aku benar-benar bisa menjadi bagian dari jawaban yang tertulis dalam sayap malaikat itu. “Pa, bagaimana kau tahu bahwa malam itu aku berada di Tanjung Tembaga?” “Sudah berapa lama kau mengenal aku Lan?” tanya Galih. “Hampir dua tahun.” “Tepat! Hampir dua tahun. Dan secara tidak kita sadari ternyata kedekatan batin yang kita rasakan adalah karena kita saudara,” ujar Galih. “Bila dekat dengan seseorang, kau akan tahu apa yang disukai dan tidak disukai orang itu. Kau telah menjadi bagian dari hidupnya. Ya, seperti…. Seperti sudah lama kenal. Kakak.” “Satu pertanyaan lagi Adik. Kenapa tidak tampak sama sekali kesedihan di wajahmu dengan meninggalnya Tante Siska?” “Siapa bilang aku tidak sedih?! Tetapi seperti yang pernah kamu katakan bahwa sebetulnya yang hiduplah yang harusnya dikasihani sebab mereka belum terbangun dari
170
mimpi. Bukankah Kristus pernah mengatakan, kalau aku salah jangan dimarahi ya?,” aku mengangguk. Ada-ada saja akal “bulus” satu ini. Rupanya dia sengaja mengutip semua yang pernah aku katakan untuk menyadarkanku “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; Tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah,” “Kau ingat sajak Rabby Ben Ezra-nya Robert Browning?” Let age approve of youth, and death the same “Ya,” jawabku. “Pernah dikutip dalam novel Olenka-nya Budi Darma. Bahwa proses menjadi tua hanyalah proses jasmaniah. Sementara itu, jiwa manusia tidak mengenal mati. Kematian jasmani adalah permulaan hidup. Sama seperti pohon yang daunnya berguguran.”
171
172
LITA DAN ORANG GILA Suasana di GOR Tridharma sangat meriah. Para penonton memadati tribun di sekeliling lapangan. Mengingat inilah pertandingan basket yang paling dinantikan oleh seluruh masyarakat kota Probolinggo, terutama wali murid pelajar SMUSA. Partai puncak ini adalah penentuan apakah piala Walikota Probolinggo itu bisa kembali ke tangan kami atau tidak. Dalam final ini, lagi-lagi kali ini kami harus berhadapan dengan SMUK Mater Dei. SMU Mater Dei adalah sekolah swasta terbaik yang dimiliki oleh kota kami. Dulu aku juga bersekolah di sana. Tetapi lama-kelamaan aku bosan juga. Masalahnya teman sekelasku hanya itu-itu saja, tidak pernah berganti selama sebelas tahun aku bersekolah di sana. Menjelang kelulusan ke sekolah lanjutan atas, aku memohon kepada Mama supaya aku disekolahkan ke sekolah umum saja. Aku tidak
173
merasa perlu untuk dibentuk sebagai anak yang disiplin dan religius. Bagiku, hubungan dengan Tuhan adalah masalah pribadi. Bukan orang lain –suster ataupun pastor yang mendidik selama ini. Bukan pula sebuah lembaga. Manusia dibekali dengan akal, moral dan nafsu. Arah baik atau buruk yang akan dipilihnya merupakan tanggung jawabnya sendiri. “Inilah dia pertandingan yang Anda tunggu-tunggu. Partai Final Kompetisi Bola Basket Piala Walikota Probolinggo 2003. Tim bola basket SMUSA yang dipimpin oleh Jojong melawan Tim bola basket SMUK Mater Dei dengan Andi sebagai kapten,” Suara Mas Suyut, sang komentator pertandingan menggema dari pengeras suara. “Bermain dengan jujur dan kita dukung sportivitas.” Pesan wasit sebelum peluitnya bebunyi. Pada putaran pertama, tanpa kesulitan Jojong menghandle bola-bola atas dan mentransfernya kepada kami. Tampaknya ia benar-benar menguasai tempo permainan. Tim SMUK terlihat kelabakan, berkali-kali tim kami dapat mematahkan serangan mereka.
174
“Ayo penonton mana tepuk tangganmu?” Suara Mas Suyut bergema kembali dan kontan saja gempita dukungan dari penonton membahana di seluruh ruangan. “Bola dibawa oleh Arif, kini ke Jojong, direbut oleh Gerald, direbut kembali oleh Yoyok, dilempar ke Jojong. Jojong menyerahkannya kepada Erlan. Posisi yang bebas dan..... three point untuk SMUSA” Tepuk tanggan pendukung SMUSA kembali riuh sementara aku dikerubungi oleh Jojong dan Yoyok. Peluit panjang berbunyi. Babak pertama berakhir dengan angka 32-18. Kalau dihitunghitung, kami masih menang 14 angka. Angka yang cukup aman, tetapi kami masih harus terus waspada. Strategi kami berikutnya cuma mengulur waktu. Namun jika Mater Dei bermain menyerang kami harus mampu mengimbangi permainannya. Ke mana Maria, sudah setengah permainan pertandingan ini berlangsung? Pada putaran kedua, tim SMUK bermain lebih agresif. Mereka mengganti tiga orang pemain mereka. David, Michael dan Ronan kali ini masuk ke lapangan. Lewat seranganserangan yang dibangun oleh mereka, mereka berhasil membuat kami kedodoran. Kami
175
kehilangan kendali atas tempo permainan. Serangan kami ke jaring lawan masih berjalan mulus, tetapi sama saja artinya kalau serangan mereka juga tidak kalah gencarnya. Tidak seperti dalam putaran pertama di mana kami dapat dengan mudah mematahkan serangan mereka. Kali ini kami benar-benar dibuat mati kutu. Kedudukan kini 48-50 untuk SMUSA. Kami kalah satu point dan pertandingan ini sudah berjalan 23 menit. Tinggal tiga menit lagi. Kulihat Papa selalu memberi dukungan ke arahku. Itu membuat anak-anak sedikit binggung. “Masih bisa satu lemparan lagi Erland. Konsentrasi!” Ujarku memotivasi diri. “Lan, aku salut sama kamu. Papanya Galih yang sibuknya bukan main itu mau menonton pertandingan ini.” Fandi berseru ketika kami bersinggungan menempati posisi masingmasing. “Lan, mana cewek kamu? Kok dari tadi aku nggak lihat!” Tanya Jojong.
Detik terakhir.
176
Aku menerima bola yang dioperkan Fandi. Aku segera mendribelnya. Berkonsentrasi dan bersiap melakukan lompatan three point. Peluit panjang kembali berbunyi tanda pertandingan berakhir. Tetapi bola tersebut masih melayang di angkasa. Kini mendekati ring. Sreeett.... Bummm..... Bola itu kini terpelanting ke lantai, Andi, Kapten Tim Basket SMUK Mater Dai sendiri yang berhasil menampiknya. Teriakan-teriakan luapan kegembiraan dari para pendukung SMUK Mater Dei kini telah mengganti teriakan-teriakan pendukung SMUSA. Jojong, Arif, Yoyok, Gempur dan Fandi keluar dari lapangan dengan wajah tertunduk. Di tribun barisan depan, Pak Tarjo, guru olah raga sekaligus pelatih kami tampak kecewa. Tetapi aku tidak merasa kecewa karena dalam pertandingan ini Tim SMUSA harus menyerah dan hanya memperoleh juara kedua. Semua cobaan –kalau itu bisa dikatakan “cobaan” yang aku alami membuat aku semakin mampu menerima kenyataan dan bahwa hidup memang tidak selalu seperti yang kita harapkan tetapi kita harus menghadapinya dengan tegar.
177
“Hai Lan, kamu kok lama nggak main ke rumah?” Seorang cewek menegurku. “Setelah ini kamu ada acara nggak? Antarkan aku ke Graha Mulia ya.” Pintanya sambil bergelanjut manja. ***** Satu tokoh lagi yang belum aku ceritakan di sini adalah Lita. Sewaktu di sekolah dasar aku pernah menjatuhkannya dari bangku. Tentu saja hal itu mengakibatkan luka, tulang hidungnya patah dan beberapa gigi depannya tanggal. Pihak sekolah segera melarikan ia ke rumah sakit dan menghubungi keluarganya. Sejak saat itu keluarganya selalu mengawasinya agar tidak bermain denganku. Tetapi Lita anak yang baik. Ia tidak marah kepadaku. Ia tahu bahwa aku tidak sengaja menarik bangku itu sehingga menyebabkan ia terjatuh dan mengalami kecelakaan. “Mamamu tidak mau kau bermain lagi denganku. Aku harus mematuhi peringatan Suster Ana kalau aku tidak ingin dikeluarkan dari sekolah ini.” “Aku memang marah sama kamu, Lan.” “Kemarin aku kan sudah meminta maaf.”
178
“Aku mau memaafkanmu asalkan kau berjanji kalau akan selalu menjagaku dan tidak pernah lagi menjatuhkanku dari bangku.” “Baiklah, aku berjanji, aku tidak akan pernah membuatmu menangis.” ***** Lima tahun berlalu. Ia tumbuh menjadi gadis yang cantik, humoris dan disukai semua orang. Kecelakaan itu tidak menimbulkan dampak apapun pada dirinya, kecuali sifat manjanya padaku. Dan sikap itu pula yang kusukai darinya, seakan ia selalu membutuhkan kehadiranku. Keberadaannya bukan sesaat. Bahkan aku hafal apa yang disukainya ataupun tidak. “Lan, bagi-bagi buat kita dong!” Bisik Fandi. “Baru nih!” Sindir Jojong. “Memangnya ada yang lama?” tanya Lita bingung. “Oh ya, kenalkan ini temanku. Namanya Lita.” Kataku segera memperkenalkan Lita pada teman-temanku. Mereka segera bersalaman. Dan ternyata Lita mampu mengambil hati semua temanku.
179
“Lit, kamu tunggu di sini ya! Aku mau mandi dan ganti baju dulu.” “OK. Bos.” Biasanya aku selalu terbuka mengenai masalah apa pun kepada Lita, karena aku tahu bahwa Lita sangat bisa diandalkan. Meskipun manja dia bukan tipe cewek yang “bocor”. Tapi untuk kali ini, aku belum pernah bercerita apapun mengenai Maria kepada Lita. Alasannya: Aku maupun Maria belum membuat keputusan apapun mengenai hubungan kami. Sebelum mengantar Lita, aku berpamitan pada Papa dan Galih. Kami berjalan kaki karena letak Mall Graha Mulia lumanyan dekat dari GOR Tridharma. Seperti yang kuduga, dia membeli alat tulis yang nantinya akan ia gunakan saat Ujian Nasional dua minggu lagi. Alat tulis yang dipilihnya, pasti semuanya berwarna kuning. Lalu selama beberapa jam dia akan melihat kaset-kaset keluaran terbaru di Disk Tarra. Dan setelah perjalannan keliling yang melelahkan itu, dia pasti akan mengajakku ke food court. Membeli Baskin Robins Ice Cream, dan ngobrol. “Kamu tetap pinggin jadi dokter, Lan?” tanya Lita memulai percakapan.
180
Ketika Lita bertanya seperti ini, aku jadi ingat sebuah pengalaman yang membuat aku ingin menjadi dokter, dokter jiwa tepatnya. Saat itu aku ikut Paman Jaya untuk berbelanja kebutuhan café di pasar. Hari masih terlalu pagi, udara yang sangat dingin terasa menggigiti kulit. Ketika mengendarai mobil, tiba-tiba Paman Jaya harus menghentikan mobil secara mendadak dikarenakan ada orang gila yang juga secara mengejutkan melintas dihadapan kami. Ia kemudian berlari-lari, dan berteriak-teriak tak menentu di tengah jalan. Di belakang, rombongan orang dengan berbagai alat pemukul mengejarnya. Orang gila itu dipukuli habis-habisan. Tanpa ampun. Setelah kemarahan para pemukul itu mereda, secara intuitif Paman Jaya bertanya kepada salah seorang dari pemukul itu mengenai kesalahan apa yang dilakukan oleh orang gila tersebut. Ia tidak tahu, hanya asyik bisa ikut-ikutan memukul saja jawabnya. Begitu seterusnya secara bergiliran Paman Jaya menanyai satupersatu orang yang tadinya ikut memukuli orang gila itu. Dan jawabannya tetap sama. Keasikan tersendiri bisa memukul orang gila. Sampai pada orang terakhir. Paman Jaya kelihatan sudah malas menanyai orang terakhir ini. Tapi karena keingintahuannya, akhirnya
181
Paman bertanya. Orang terakhir menjawab bahwa ia pemilik toko bercat biru yang kini berada di sebelah kanan agak di belakang kami. Semalam rupanya orang gila itu tidur di depan tokonya. Tanpa ba-bi-bu pada pemilik toko biru itu Paman Jaya segera menstarter mobilnya dan meninggalkan pemilik toko biru itu. “Lan, siapa yang gila?” Tanyanya padaku ketika itu. “Mungkin.” Jawabku pada Lita. “Lho kok mungkin sih?” “Hidup penuh kemungkinan, Lit. Kita membuat keputusan, sebuah pilihan dalam hidup kita. Tetapi semua yang ada dalam kehidupan ini tetap menjadi kehendak Dia.”
Kali ini pikiranku menerawang lagi. Kali ini aku teringat puisi milik Rendra. Seonggok Jagung di Kamar:
182
Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda tamat s.m.a. Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa, hanya ada seonggok jagung di kamarnya. Ia memandang jagung itu Dan ia melihat dirinya terlunta-lunta. Begitulah mungkin jadinya, nasibku bersama berjuta-juta remaja seusiaku yang sebentar lagi tamat SMA. Tidak ada uang untuk meneruskan sekolah. Biaya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi sangat mahal, sedangkan sekolah yang berbiaya mahal itu hanya menjadikan kita sebagai pelajar berkualitas penghafal tinggi ketimbang pelajar kreatif dan inovatif. Dan bukanlah rahasia lagi sejak kehancuran pemerintahan Orde Baru, negara ini memasuki krisis moneter, kita menghadapi dampak inflasi dan kehancuran multidimensional. Orde Baru digantikan Orde Reformasi yang berjanji melakukan perbaikan-perbaikan. Tapi tetap saja perbaikan-perbaikan tersebut sampai
183
sekarang belum bisa kita rasakan. Kerusakan ini sudah terlampau parah. Sedangkan janjijanji perbaikan yang diperhatikan selalu saja terfokus pada stabilitas politik. Jarang sekali pemimpin kita memperhatikan untuk memperbaiki stabilitas pendidikan. Kita perlu belajar banyak dari Jepang.
“Kayaknya sekarang, aku pingin jadi kolomnis atau wartawan deh! Biar bisa belajar lebih banyak tentang kehidupan, menyelaminya dan menceritakannya kepada orang lain apa saja yang telah aku peroleh.” Aku berkata kemudian. “Kalau kamu, apa tetap pingin jadi guru?” “Tentu dong. Apalagi waktu aku tahu ada orang kaya Butet Manurung. Wow, cool abis deh!” “Kamu memang tidak pernah berubah.” Ketika mengatakan itu, aku sembari melihat ke arah dua cewek yang melintas di hadapan kami. “Lan, apakah terlalu agresif kalau cewek yang bilang cinta duluan ke cowok?” Tanya Lita seketika.
184
“Tidak,” ujarku sambil bercanda. “Kenapa harus begitu? Sekarang kan jamannya emansipasi. Nggak ada salahnya dong cewek bilang cinta duluan ke cowok. Lagipula ngapain terusterusan dipendam, nanti tuh cowok keburu diambil orang.” “Lan, aku serius!” “Aku duarius.” Jawabku masih cengengesan. “Kalau kamu cowoknya.” “Maksudnya?!” Aku terkejut, dan hampir menghamburkan Cola yang ada di mulutku. “Kamu....” “Aku tidak bercanda, Lan. Aku mencintaimu,” selorohnya sambil memelukku. “Sejak dulu aku mencintaimu. Jika berada di dekatmu atau ketika aku mengingatmu, aku merasa begitu nyaman dan terlindungi. Hatiku terasa hangat seakan ada sesuatu yang sedang tumbuh di dalamnya. Hanya saja ketika itu begitu bodoh. Aku belum tahu apa nama perasaan ini. Kau pikir kenapa aku tidak pernah begitu dekat dengan anak laki-laki selain kamu? Kau pikir kenapa aku bisa begitu mudah memaafkan dirimu ketika kau membuat tubuhku cacat? Asal aku bisa mendapatkan janjimu. Kamu masih ingat janjimu kan?”
185
“Ya.” Aku menarik nafas panjang dan membiarkan udara mengisi ruang kosong di paru-paruku, merasakan hangatnya kemudian menghempuskannya keluar. “Aku tidak akan pernah membuatmu menangis.” Ucapku sambil membelai rambutnya. “Apakah kau mencintaiku?” Aku hanya terdiam, dalam kondisi seperti ini aku tidak bisa berkata apa-apa. Tiba-tiba Lita melepaskan pelukannya. “Apa... apakah benar yang dibicarakan oleh temanmu tadi. Kau sudah punya pacar!,” aku menggeleng. “Tetapi kau mencintainya kan?” Cercanya. Aku tidak bisa menjawabnya. Lita berlari sambil menangis. “Maafkan aku, Lita!” Sesalku dalam hati.
186
KEBENARAN ITU KINI TERUNGKAP Kenangan manis sempat terjadi sehari sebelum pertandingan. Aku dan Maria menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan sekolah. Aku menemani Maria yang saat ini sedang sibuk memilih-milih buku tentang Sosiologi dan Antropologi untuk melengkapi tugas karya tulis yang katanya harus ia serahkan sekembalinya di Yunani. Aku mengambil buku secara sembarangan, secara sambarangan pula kubuka halamannya dan kubaca isinya. Bulan sabit akhir Juli bertolak mengombak siang jambangan berulang kosong mekar mawar kaki pagar biarkan tumbuh liar memetik janji setia
187
Maria yang saat itu sedang tidak terfokus pada pekerjaannya, memperhatikan aku. Ia memintaku untuk mengulanginya. “Puisi ini bagus ya! Siapa yang mengarang?” “Surachman R.M., judulnya Lagu Akhir Juli. Dibuat tahun 1956.” “It’s funny!” Tiba-tiba Maria tersenyumsenyum senang seorang diri. Menyadari aku melihatnya dengan heran, Maria menjelaskan. “Dalam kehidupan, manusia datang dan pergi silih berganti. Tapi puisi yang ini mungkin sengaja dibuat untuk kita. Juli nanti kita harus berpisah. Kamu mau melanjutkan sekolahmu kan?” Tanyanya. “And in the last of July, I must come back in Greece.” Ia kembali tenggelam dalam puisi itu. “Kau tahu Erlan, beruntung sekali aku bisa mengenalmu. Maafkan aku ya, akan kejadian di rumah makan dulu! Aku terlalu terbawa oleh perasaan, aku mestinya bisa menyesuaikan diri.” Maria menciptakan suasana itu mengalir begitu saja. *****
188
Satu-satunya yang membuat aku kecewa adalah mengapa bukan Maria yang datang dan menonton pertandingan itu? Dan mengapa harus Lita yang datang, menyapaku dan akhirnya mengajakku untuk menemaninya ke Graha Mulia? Laut kembali menemaniku. Ia seperti buaian bunda di mana aku merasa begitu aman dan hangat. Sebatas apapun aku melakukan kesalahan, mungkin dengan menendangnya atau menggigit puting susunya ketika aku menyusu, ia akan selalu membelaiku dengan lembut. “Kau datang tepat waktu!” Kataku ketus ketika melihat Maria datang. “Erlan, kan aku sudah beberapa kali meminta maaf.” “BERAPA KALI KAU TELAH MEMINTA MAAF?” Aku menarik nafas panjang. “Maria, kau pasti tahu aturan emas. Kalau kau tidak ingin diperlakukan secara buruk oleh orang lain, jangan berlaku buruk terhadap orang lain. Aku sendiri tidak yakin kalau aku melakukan kebaikan kepada orang lain, maka orang lain akan membalasnya dengan kebaikan pula?” Maria tetap berdiri di tempatnya, ia diam tak bergeming. “Aku kira prinsip universal berlaku sama saja di
189
berbagai negara. Kau telah berjanji padaku bahwa kau akan hadir pada pertandingan. Nyatanya kamu tidak datang pada pertandingan itu karena mengantar Hendra. Apakah aku harus percaya alasanmu kali ini?” “What wrong with you? Tidak biasanya kamu bersikap seperti ini. Erlan aku hanya… hanya mengantar Hendra menjenguk ayahnya di rumah sakit. Hanya itu tidak lebih!” Aku tidak bisa menutupi segala sesuatu dari Maria. Ia sangat pandai dalam membaca perasaan orang lain. Ia bahkan tahu kalau saat ini ada aku sedang menghadapi masalah. Bahkan seringkali aku merasa Maria sedang membaca jalan pikiranku. Maria adalah orang yang mandiri, tegas, dan berkarakter. Sehingga aku selalu merasakan setiap kehadirannya. Aku seperti orang kecanduan, aku selalu menantikan kehadiran Maria. Tetapi Maria begitu kesulitan untuk mengungkapkan sebuah perasaannya. Atau memang ia tidak ingin orang tahu jalan pikirannya atau perasaannya yang sesungguhnya.
“Tiba saatnya untuk mengatakan yang sebenarnya kepadamu. Sebab mungkin inilah kesempatan terakhir untukku.” Ujar Maria
190
setelah kami cukup lama berdiri dalam kebisuan. Maria berdiri di ujung anjungan. Ia merentangkan kedua tangannya dan terjun ke laut. Lama tidak muncul-muncul. Aku tidak akan peduli lagi pada apa yang ia perbuat kali ini? Mungkin kali ini tujuannya sama. Ia berusaha membuat aku merasa selalu membutuhkannya. Ia kembali memancingku untuk bertindak nekad. Aku membalikkan badanku dan melangkah. Aku meninggalkannya. Kali ini aku harus kuat. Aku tidak akan peduli lagi kepadanya. Langkah pertama. Langkah kedua. Langkah ketiga, “Maria, bodoh kau!” Aku memutar haluanku. Segera berlari dan melompat terjun ke dalam laut. [Hopliton meminum semangkok racun seperti Socrates membebaskan diri dari hutangnya kepada Asklepios.] [Ini benar-benar penjara bagi Sedki, pengap dan lembab. Saat sang fajar membuka pintu gerbangnya bagi matahari, ajal telah menunggunya]
191
[Kekuatan apa yang mampu membawa Suraj kembali menyelesaikan tugasnya untuk mengitari api suci?] [Lumei terbakar dalam api yang menantang kesucian. Ia tahu Darius mencintainya dengan tulus. namun ia lemah.] [Dendam telah membuat Wu Dan terkurung dalam istana. Dendam telah membuat Wu Dan berpisah selamanya dari Fan Li, dan melihat belati lebih berkilau.] [Swing… bunyi sayatan pedang yang memenggal kepala Hassan kini terdengar sekali lagi. Kini tak ada yang dapat Zuleika lihat. Ia telah mati rasa. [Suatu malam Edith pulang ke rumah dengan gumpalan daging di tenggorokannya. Kini kanker tersebut telah menyebar dari tenggorokan ke liver, pancreas, dan otaknya.] [Langit kembali menghitam, dan kilatan petir memecah keheningan ketika Philip terbunuh di tangan Mas Djoko]
192
“Aku sadar aku telah membuat banyak kesalahan. Aku hanya seorang gadis yang berdiri di hadapan seorang pria dan kini aku memintanya untuk mencintaiku. Percayalah pada kekuatan cinta. Meskipun kekuasaan dapat menghancurkannya berulang-ulang, cinta tetap berada pada hati manusia yang suatu saat nanti ia dapat menumbangkannya.”
193
194
ANGSA YANG TERPILIH Hari Ini aku bangun pagi sekali. Tujuanku adalah Taman Kota yang berada di batas kota. Aku berjalan melintasi perkampungan. Sampai di pasar, memperhatikan orang yang sibuk menurunkan berkarung-karung sayuran dari atas truk. Kuteruskan perjalanan, ketika melintasi sungai aku berhenti sejenak untuk melihat aliran air yang ketika ditempa sedikit cahaya fajar nampak berkilau seperti berlian. Kemudian sepasang angsa turun ke sungai itu. Salah seekor angsa mandi sambil melawan aliran air itu, sengan yang satunya mengikuti arus sungai. Coba tebak, angsa mana yang mandinya lebih bersih dan cepat selesai? Perjalananku berlanjut, kali ini aku berjalan memotong sebuah pematang. Aku takut pada katak. Tidak ada yang menjamin kan kalau pemain center tidak takut pada katak? Tapi kali ini kucoba untuk memberanikan diri. Kali ini aku mengambil resiko. Benar juga! Setiap
195
kali aku melangkahkan kaki, katak yang tadinya berada di tengah jalan berlompatan menyingkir. Sekarang aku sudah sampai di Taman Kota. Semalam aku telah mempertimbangkannya. Kini keputusan telah berada di tanganku. ***** “Mengapa Erlan yang kukenal dahulu selalu percaya diri sangat kesulitan menghadapi perempuan? Kamu punya segalanya. Sekarang kamu bukan hanya anak seorang babu. Kamu juga anak orang terkaya di kota ini. Kamu punya harta yang melimpah. Kamu punya Papa, Mama dan aku. Sekarang pun jika kamu mau, kamu bisa pindah kemari. Kalau kau mencintai Maria, cepat katakan kepadanya kalau kau mencintainya,” kata Gaih penuh emosi. “Urusan dengan Lita! Oh God…! Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan peduli pada janji itu.” “Le, kamu masih ingat kan waktu aku cerita tentang mimpi-mimpi aneh yang aku alami berulang-ulang kali?” Galih mengangguk. “Mimpi itu nyata. Itu bukan hanya sekedar bunga tidur.” “Kamu tidak sedang tidur kan, Lan?”
196
“Tidak,” jawabku tegas. “Semula aku sendiri pun sempat meragukannya. Tidak kusangka sungguh besar kekuasaanNya. Allah adalah Misteri Agung yang tidak mungkin kita ungkap. Ia bukanlah logika dan tidak mungkin untuk dilogikakan. Yang dapat kita lakukan dan kita butuhkan hanyalah menyelamiNya. Dengan begitu kita akan menemukan makna kehidupan ini. Dan cinta, cinta adalah alat bantuan pernafasan selama kita menyelam untuk mendekat pada hadiratNya.” “Dari mana kau mempelajarinya?” Galih tampak takjub dan tidak percaya akan perkataanku. “Dari kehidupan.” “Lan!” Seruya “Aku berubah pikiran. Sebaiknya kau pertimbangkan Lita. Dia sahabatmu sejak kecil kan? Dan kau sudah berjanji tidak akan mengecewakan dia. Ingat Lan, janji harus ditepati.” “Le,…” “Aku tahu Lan, aku tahu. Meskipun otakku belum mampu mencerna semua ini, tapi demi kamu biarlah aku ikut berpikir sinting,” Galih menatapku tajam. “Begini!” Serunya lagi. “Aduh Lan, aku ini sudah sering
197
gugup. Tapi baru kali ini aku merasakan gugup yang seperti ini. Unspeakable!” Kulihat tangannya mamang bergetar. “Maria adalah seorang dewi dan kau seorang manusia biasa yang hanya bisa membayangkannya. Jika seorang dewi jatuh cinta pada manusia, apa yang akan terjadi pada manusia itu?” Galih berhenti sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya. “He will be destroy.” ***** “Erlan aku saudaramu, aku tidak ingin kamu celaka,” ucap Galih ketika ia masih melihatku berdiri di samping jendela. Aku semakin lekat memandangi keindahan alam di luar ruangan ttidur Galih. “Tutuplah kedua matamu, Lan. Siapa yang demi dirinya kau rela mati ribuan kali? Kau hanya perlu berusaha sedikit lagi dan hilangkan rasa tidak percaya dirimu itu! Aku akan mendukung setiap keputusanmu.” Galih menghentikan kalimatnya hanya sampai di sini. Rasa kantuk dan lelah telah menyergap.
198
SEBELUM PERTEMUAN Aku melihat wajahku pada kaca yang ada di sampingku saat aku melewati pertokoan. Menjadi besar, kecil, kembali lagi menjadi besar dan mengecil lagi jika meliwati kaca yang terpatah-patah. Lalu kemudian aku berhenti di depan etalase toko sepatu. Kaca jendelanya sangat bening. Berlama-lama aku memandangi diriku sendiri. Entah siapakah aku, sebab beratusratus nama telah kugunakan. Tubuhku boleh saja terkubur jauh di dalam tanah, namun jiwaku tidak pernah binasa. Jiwaku melayang mencari tubuh baru untuk kusinggahi sebab dia masih tertinggal. Entah ini salah siapa, si Cupid yang belum mahir menggunakan panah asmara, atau kelalaian orang tuanya karena meninggalkan ia bermain busur dan anak panah sakti tanpa pengawasan.
199
Saat itu aku tengah bermain di taman dewa bersama kawan-kawanku. Aku dan beberapa kawan bersembunyi sementara Ares mencari kami semua. Dari tempat persembunyian kulihat seorang anak lelaki yang bernasib sama seperti Ares. Ia sedang mencari, namun ia tetap tidak bisa menemukannya. Ia mencarinya di gunung, di lembah, di bukit, di pantai, di tebing dan di dasar samudra namun tetap saja ia tidak pernah menemukannya. Belahan jiwanya yang hilang. Tanpa kusadari melihat kejadian tersebut sifat manusiawiku muncul, aku menitikan air mata. Air mata itu jatuh ke bumi, jatuh di sebuah telaga dan menjelma menjadi mutiara yang beraneka warna, terus melaju hingga dasar, dan pada kegelapan di dasarnya mutiara tersebut memantulkan aneka warna cahaya matahari yang merubah telaga tersebut menjadi telaga warna. Karena merasa sangat bahagia Cupid menghadiahiku sebuah panah asmara. ‐ Aku merasakan cinta! Teriakku pada saat itu sehingga Ares menemukanku lebih cepat daripada teman-teman yang lain. Sejak saat itu aku memutuskan untuk menghampiri anak lelaki itu, menunggunya hingga dewasa dan mewujudkan kisah cinta diantara kami berdua. Tanpa memperdulikan
200
wajah Ares yang kesal karena aku meninggalkan permainan, aku turun ke bumi, meninggalkan taman dewa dengan tergesagesa. Ayahku menjadi marah dan mengutuk aku. ‐ Aku akan selalu mengejarmu dengan penderitaan kemanapun kau pergi sampai kau meminta maaf dan kembali padaku. Katanya geram. Kalau perlu aku aku akan memusnahkanmu dan anak itu. Itulah perkataan terakhir yang sempat aku dengar dari Ayah sebelum meninggalkan taman dewa. Kutinggalkan jendela toko sepatu. Melewati ruas-ruas jalan di pesisir pantai. **** Sujud di hadapan tahta kearifan tertinggi adalah jalan untuk melepaskan kekangan. Tinggal selangkah lagi kami akan tiba disana. Tempat teraman di dunia. Tempat dimana siapapun, termasuk Ayah tidak dapat menjangkaunya. Kecuali Dia yang memang sejak awal telah memilikinya.
TAMAT 201