Semiotika Filosofis: Perspektif Umberto Eco Abdul Rahman & Tommy F. Awuy1 Program Studi Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya ABSTRAK Umberto Eco adalah semiotikawan yang berusaha meletakkan teori semiotika, sebagai teori membaca tanda, melalui unit-unit kultural. Secara garis besar teorinya mengacu pada sebuah proses yang disebut semiosis, yang mana itu adalah sesuatu yang dapat berpengaruh, beraksi, dan digambarkan, dan itu semua adalah hasil dari kerjasama antara tanda, objeknya, dan interpretannya. Teori itu sangat dipengaruhi oleh pemikiran Charles Sanders Peirce, yang mana jika ditarik lebih jauh akan jatuh pada teori Kantian Legacy. Unit-unit kultural itu dapat kita andaikan sebagai kategori-kategori Kant yang ada dalam pikiran sebagai alat untuk melakukan interpretan. Namun, ada hal yang paling penting dari penemuan Umbertio Eco dalam bidang semiotika adalah dia berhasil memisahkan semiotika signifikasi, sebagai semiotika umum, dengan semiotika komunikasi melalui unit-unit kultural, walaupun landasan acuan utamanya masih bersifat signifikasional yang bekerja pada medan semantik. Kata Kunci: interpretan; medan semantik; semiotika; tanda; unit kultural ABSTRACT Umberto Eco is semiotician who tries to put the theory of semiotics, as theory of reading sign, through the cultural units. Broadly speaking, semiotics refers to a prosess called semiosis, in which it’s an influence, an action, and that all involve in a cooperation of three subjects, such as sign, its object, and its interpretant. His theory is strongly influenced by Charles Sanders Peirce’s thought, which if his theory is pulled further will fall in the Kantian Legacy theory. The cultural units can be assumed as Kant’s categories on our mind as a tool for interpret. However, there is the most important thing of discovery Umberto Eco in semiotics is he successfully to differentiate the signification semiotics, as general semiotics, with the communication semiotics through the cultural units, although its main reference is still significational working on semantic field. Kata Kunci: interpretant; semiotics; semantic field; sign; the cultural units
1 Abdul Rahman adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang telah mempertahankan skripsinya dihadapan Dewan Penguji dalam sidang skripsi tanggal 16 Juli 2013. Tommy F. Awuy adalah Dosen Progam Studi Ilmu Filsafat yang memberikan bimbingan kepada Abdul Rahman dalam menulis skripsi yang berjudul “Semiotika Filosofis: Perspektif Umberto Eco”. Tulisan ini adalah ringkasan dari skripsi yang dimaksud. 1
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
A. PENDAHULUAN Pada dasarnya proses semiotika secara umum, yang mencakup semiotika signifikasi dan komunikasi, dilandaskan hanya pada sebuah proses yang tidak berkesudahan, yaitu proses semiosis, sehingga semiosis tidak bisa tidak menjadi inti dalam semiotika. Semiosis menjadi dasar semiotika karena dapat menuntun pembaca tanda untuk menemukan sebuah arah kebenaran yang lebih rasional. Akan tetapi, kita harus tetap membayangkan bahwa di dalam semiotika, kita tidak akan pernah menemukan apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri sebagai jalan keluarnya. Ini dapat dibayangkan setelah kita berhasil memecahkan satu kode, maka kita akan langsung dihadapkan pada kode lainnya yang siap untuk dipecahkan, dan proses tersebut tidak akan pernah berhenti. Eco sesungguhnya cenderung mengikuti penjelasan semiotika yang diungkapkan oleh Peirce dibandingakan dengan Saussure. Ini dapat dimengerti jika Eco menganggap Peirce adalah orang yang membuka lahan untuk semiotika, yang mana doktrin yang dimilikinya sangat esensial dan fundamental terhadap semua kemungkinan terjadinya proses semiosis. Kita mengikuti definisi Peirce, semiosis adalah sesuatu yang dapat berpengaruh, beraksi, dan digambarkan, yang mana itu semua adalah hasil dari kerjasama antara tanda, objeknya, dan interpretannya.2 Argumen Peirce dapat penulis tarik bahwa proses semiosis adalah relasi trikotomi bagaimana subjek dapat melakukan interpretasi dalam interpretan dari suatu tanda melalui objeknya. Dalam semiosis, tanda dipahami sebagai citra dari benda konkret, kemudian citra tersebut direpresentasikan ke dalam sistem kognisi menjadi objek. Dalam sistem kognisi tersebut tanda akhirnya dapat dicari jejaknya secara rasional melalui unit-unit kultural. Dengan demikian semiotika adalah aktivitas mental, sehingga berbicara tanda itu seperti berbicara abstraksi logis dalam memaknai suatu tanda. Berbicara tanda, Eco sangat gigih dalam mendekonstruksi maksud tanda. Umumnya banyak pemikir yang memaknai tanda sebagai sesuatu yang berada pada ranah ekspresi, dan berdasarkan konvensi itu dapat dikaitkan ke dalam ranah isi. Dengan begitu, tanda mempunyai kestabilan dalam pemaknaan. Di sini seolah-olah ada suatu sifat teologis dalam 2 Eco mengutip pengertian semiosis Peirce, “By semiosis I mean an action, an influence, which is, or involves, a cooperation of three subjects, such as a sign, its object and its interpretant, this trirelative influence not being in anyway resolvable into actions between pairs. (1931, 5484)” Emberto Eco, A Theory of Semiotics, hlm 15.
2
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
mengkhultuskan sebuah tanda. Padahal jika mengacu pada Greimas, tanda dapat dibaca sesuai pemaknaannya dari persepasi masing-masing pembaca. Tidak bisa seorang subjek melarang orang lain untuk menginterpretasikan tanda dengan cara yang berbeda. Sehingga Eco sangat terlihat berusaha mengeluarkan makna tanda dalam semiotika pada korespondensi antara penanda dan petanda, yang mana tanda diartikan sebagai sesuatu entitas fisik yang memiliki struktur yang rigoristik. Pola pikir mainstream yang telah mengurung makna tanda berimplikasi pada kemunculan berbagai argumentasi, salah satunya adalah Hjemslev. Dia mengatakan bahwa korespondensi antara petanda dan penanda itu bukanlah sesuatu yang dimaksud dengan tanda itu sendiri, karena itu lebih tepat menjadi fungsi dari sebuah tanda, atau fungsi-tanda. Melalui argumentasi Hjemslev, kita dapat membuktikan bahwa tesis mengenai tanda sebagai sesuatu yang stabil pun sebenarnya sudah terpatahkan. Terjadilah sebuah dekonstruksi mengenai apa yang dimaksud dengan tanda3 oleh Eco. Eco meyakini bahwa yang lebih tepat untuk memaknai sebuah tanda hanyalah hal-hal objektif yang ada di dunia, yang mana ekspresi suatu tanda dapat dilihat sama oleh semua orang, tetapi isi-nya dapat dibaca berbeda melalui masing-masing pembaca. Eco pun berargumentasi bahwa tanda adalah sesuatu yang hadir di dunia, tidak ada hubunganya dengan ide-ide idealis Platonis, yang mana dapat dipahami layaknya sebuah foto mekanis. Itu membantu kita melihat citra, yang sebenarnya adalah ‘representasi’ dari kumpulan titik hitam dan putih yang tersusun sedemikian rupa membentuk garis-garis horizontal tak punya arti, berada di antara kehadiran dan ketidakhadiran, serta memiliki intensitas posisi dan kromatis. Lalu penulis melihat ada penekanan yang paling orisinil dari penjabaran Eco adalah landasan kerja semiosisnya yang berbasis pada unit-unit dari konvensi kultural4, yang mana tanpa unit kultural pembaca disyaratkan tidak akan pernah membaca isi dari sebuah ekspresi wahana-tanda. Karena itu, kita tidak bisa tidak terseret pada pembacaan suatu tanda yang disandarkan pada entitas kultural. Unit-unit kultural yang Eco ajukan tidak akan pernah lepas dari teks yang menggunakan simbol-simbol bahasa, dan rasanya kurang tepat jika kita 3 Eco berpendapat bahwa,“Signs are not empirical object. Emprical objects become signs (or they are looked at as signs) only from the point of view of philosophical decision.” Emberto Eco, Semiotics and The Philosophy of Language, hlm 10. 4 Eco menjabarkan makna term dari sudut pandang semiotika,“What, then, is the meaning of a term? From a semiotic point of view it can only be a cultural unit. In every culture “a unit... is simply anything that is culturally defined and distinguished as an entity. It may be a person, place, thing, feeling, state of affairs, sense of foreboding, fantasy, hallucination, hope or idea.” Umberto Eco, A Theory of Semiotics, op.cit, hlm. 67. 3
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
menyebutkan teks tersebut dengan simbol-simbol linguistik, karena term yang digunakan dalam medan semantik masih berupa simbol-simbol sederhana yang masih terbatas penggunaannya dalam satu atau dua kata saja. Di dalam penjabaran semantik, penulis mendapatkan suatu observasi dari Eco bahwa setiap pembaca dapat memilah dan menganalisa tanda dengan sangat rinci, tetapi juga mengalami tumpang tindih yang tidak sama, seperti penggunaan kata ‘arbre’ dan ‘Baum’ dalam bahasa Prancis dan Jerman. Kondisi tersebut justru membuat semiotika meraba jalan yang sangat rumit untuk menebak apakah ‘x adalah y’ atau justru ‘x bukan y’. Proses merabaraba sebuah jalan itu akhirnya jatuh pada sebuah penyimpulan bahwa semiotika adalah sebuah jalan yang hanya menolong pembaca untuk mendapatkan pemaknaan tanda yang lebih transparan tanpa harus mengetahui bahwa itu adalah kebenarannya. Sehingga banyak sekali semiotikawan, dan Eco sendiri, menganggap bahwa semiotika menjadi alat untuk berbohong dalam menjelaskan sebuah tanda. Kemudian Eco melalui unit-unit kulturalnya akhirnya berhasil mengungkap sebuah jenis semiotika baru yang disebutnya dengan semiotika komunikasional.5 Meskipun kita tahu bahwa itu banyak ditentang oleh para semiotikawan yang bersandar penuh pada semiotika signifikasi, tetapi penulis justru sangat mengagumi pemikiran Eco yang terlihat sangat maju, bahkan melibihi dari zamannya, yang mana proses pembacaan tanda sudah tidak lagi menggunakan kesadaran manusia, melainkan bertumpu pada cara kerja mesin. Mesin dapat mengenali tanda-tanda tertentu melalui unit-unit kultural yang sudah manusia kodekan dalam penggunaannya. Tentu ini berguna bagi penerapan dalam kehidupan manusia di zaman perkembangan teknologi yang serba maju. Sehingga penulis melihat perkembangan semiotika akhirnya dapat berbanding lurus dengan perkembangan teknologi. a.) Rumusan Masalah Berdasarkan pendahuluan di atas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut: • •
Apa yang dimaksud dengan konsep semiotika Eco? Siapa saja yang mempengaruhi pemikiran semiotika Eco? Dan bagaimana penjelasan konsep pemikirannya?
5 Sesungguhnya Eco mengakui bahwa model semiotika komunikasionalnya juga dipinjam dari teori De Mauro (1966), yang menurutnya Mauro sangat jelas memperkenalkan bagaimana peran dari kode semiotik. Ibid, hal. 46. 4
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
•
Bagaimana cara kerja proses semiotika signifikasi dan semiotika komunikasi dalam konsep Eco?
b.) Tujuan Penelitian Penulisan ini diarahkan untuk menjelaskan proses pembacaan tanda melalui semiosis yang didasarkan pada unit-unit kultural dalam medan semantik.
B. TUJUAN TEORITIS Penulisan ini bertujuan untuk mengkaji semiotika berdasarkan perspektif Umberto Eco, yakni bagaimana subjek melalui semiosis dapat membaca tanda di dalam wahana-tanda. Ini menjadi kajian yang menarik karena adanya daya tarik-menarik dalam pikiran subjek untuk mencari makna tanda di dalam unit-unit kulturalnya. Untuk melihat bagaimana proses itu terjadi maka kita harus menggunakan penjelasan Eco di dalam ranah bahasa (language), yaitu melalui medan semantik. Dalam medan semantik, kita akan mengetahui apa yang dimaksud dengan tanda, objek, dan interpretannya, yang mana ketiganya adalah satu kesatuan utuh, sehingga jika kita tidak menggunakan salah satu komponen tersebut maka proses pembacaan tanda tidak dapat dimungkinkan. Selain kita melihat cara kerja semiotika umum tersebut, atau disebut semiotika signifikasi, di dalam medan semantik, kita harus melihat juga salah satu keunikan dari pemikiran Eco, yaitu kemunculan semiotika komunikasi. Sampai saat ini semiotika komunikasi masih cukup diragukan oleh para semiotikawan, karena pada dasarnya proses pembacaan tanda masih sangat bertumpu dengan semiotika signifikasi. Lebih lanjut Eco akhirnya juga memaklumi bahwa kehadrian semiotika komunikasi sangat dipengaruhi oleh semiotika signifikasi.
C. METODE PENELITIAN Ada tiga metode yang digunakan penulis dalam penulisan penulisan ini, yaitu semiotika, fenomenologi, dan hermeneutika. Karena penekanan yang dilakukan penulis adalah bagaimana subjek sebagai pembaca tanda dapat dipengaruhi oleh wahana-tanda, maka buku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Semiotics and The Philosophy of Language dan A Theory of Semiotics karya Umberto Eco. Selain itu, ada juga beberapa 5
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
literatur, jurnal, maupun sumber dari internet yang membahas tentang semiotika sebagai bahan pemenuhan dalam analisa materi. Metode pertama yang digunakan adalah semiotika, ini digunakan karena jelas kajian skripsi ini mengacu pada permasalahan semiosis, yakni bagaimana subjek dapat membaca dan memproduksi kode dalam wahana-tanda. Jadi, analisa yang ditekankan adalah menjabarkan cara pemaknaan subjek saat melakukan pembacaan wahana-tanda. Metode kedua yang digunakan adalah fenomenologi, karena permasalahan yang ditekankan adalah pemaknaan tanda yang bersifat subjektif, yaitu subjek harus mampu membaca kode untuk dirinya sendiri, maka penulis harus mampu terlebih dulu memahami makna subjektif dalam diri terhadap wahana-tanda sebagai penguat penyusunan materi. Terakhir sebagai metode ketiga adalah penggunaan konsep hermeneutika sebagai pisau tafsir dalam menganalisa semua materi semiotika.
D. PEMBAHASAN Sebelum kita lebih dalam membahas konsep semiotika, penulis akan menjabarkan perkembangan semiotika terlebih dahulu guna memahami landasan dasar semiotika di dalam sistematika pengetahuan. Secara umum konsekuensi kehadiran semiotika yang dibangkitkan oleh filsafat jatuh ke dalam cabang epistemologi, bukan cabang filsafat praktis. Ini dikarenakan kita memainkan konseptualisasi dalam pikiran untuk memahami sebuah penandaan. Dari alasan itu kita dapat mengetahui bahwa banyak semiotikawan yang cenderung hanya menafsirkan semiotika ke dalam semiotika signifikasi. Bahkan sebagian semiotikawan berani melakukan konsensus untuk menetapkan definisi semiotika tersebut melalui pembenaran komunitas semiotikawan. Namun sayangnya, argumentasi yang mereka lontarkan masih berada dalam argumen yang memutar, yang mana jika kita ringkas argumen tersebut tidak bersifat kekal di dalam konsensus. Secara filosofis, di dalam epistemologi semiotika lebih menonjolkan proses semiosis guna mendapatkan pengetahuan, yang mana pembaca harus menekankan proses signifikasi, yaitu menggunakan mental pikirannya, dalam mencari kebenaran secara terus menerus, tak berkesudahan, atau disebut juga dengan open-ended semiosis. Sehingga pengetahuan atau knowledge dalam semiotika itu bersifat ‘abstrak’ dan ‘non-fundasional’. Jadi, tidak heran kebenaran dalam mengodekan sebuah tanda selalu disandarkan pada subjek pembaca. Sebagai 6
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
contoh kata ‘beras’ dan ‘nasi’ dalam Bahasa Indonesia hanya dikodekan melalui satu kata dalam Bahasa Inggris, yaitu ‘rice’. Ini terjadi karena secara kultural orang berbahasa Indonesia lebih dekat dengan ‘rice’ dibandingkan dengan orang berbahasa Inggris, sehingga orang berbahasa Indonesia mampu mengode ‘rice’ ke dalam beberapa kode yang lebih rinci. Setelah ditelusuri lebih jauh ternyata proses pembacaan kode menurut Eco, yang mengacu pada Peirce, itu sangat kental dengan nuansa Kantian Legacy. Proses signifikasi terhadap pembacaan sebuah tanda yang disandarkan pada unit-unit kultural itu semacam kategori-kategori dalam pikiran subjek ketika melakukan pengodean terhadap sebuah tanda. Sebagai contoh, kita dapat mengatakan ‘majalah adalah buku’ dan ‘kitab suci adalah buku’, karena kita sudah mengetahui terlebih dahulu unit kultural dari apa yang disebut dengan ‘buku’. Tidak mungkin kita menyamakan konsep ‘majalah’ atau ‘kitab suci’ dengan konsep ‘lemari’. Sehingga ada ide besar, atau disebut setting, ketika pembaca mencari pengetahuan yang open-ended dalam mengodekan sebuah tanda. Kategori-kategori yang digunakan Eco hanya sebatas ‘unit-unit kultural’ guna mendapatkan pengetahuan yang lebih transparan. Eco tidak banyak membahas apa yang dimaksud dengan ‘unit-unit kultural’ secara teoritis. Lebih lanjut pada mulanya terjadi perdebatan untuk menetapkan apakah konsep semiotika umum berada dalam term ‘semiologi’ atau ‘semiotika’. Ini terjadi karena belum jelasnya perumusan terhadap kedua bidang kajian tersebut. Awalnya, semiologi Saussure memang dikenal sebagai disiplin yang mengkaji sistem tanda-tanda, bahkan kajian ‘tanda linguistik’ hanya menjadi salah satu cabang kajiannya. Kemudian Roland Barthes muncul melalui penafsirannya terhadap Saussure, hingga membalikan definisi semiologi sebagai translinguistik, yaitu membahas sistem tanda dengan mengacu pada hukum-hukum linguistik.6 Hal tersebut yang akhirnya membuat semiotika Peirce berkembang sebagai kajian sistem tanda yang tidak terlalu bergantung pada linguistik. Eco dapat melihat bahwa konsep semiotika umum yang bercirikan semiotika signifikasi mempunyai beberapa batasan. Namun, batasan alamiah yang dikaji melalui dua definisi semiotika yang paling penting untuk penulis angkat. Kita akan mengacu pada batasan definisi yang dibuat oleh perintis atau penyusun bidang kajian ini, yaitu Saussure dan Peirce. Eco mengatakan bahwa definisi yang dijelaskan oleh Saussure sangat penting untuk 6 Meskipun begitu, sebenarnya masih banyak orang yang memaknai semiologi pada makna aslinya, yaitu mengacu langsung pada Saussure. Karena itu, dibuatlah keputusan Internasional untuk menggunakan kata ‘semiotika’ pada bulan Januari 1969 di Paris dalam Asosiasi Studi Semiotika Internasional. Emberto Eco, A Theory of Semiotics, op.cit, hlm 30. 7
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
meningkatkan kesadaran semiotis. Definisi tanda Saussure dikukuhkan dalam korelasi petanda (signifiant; signifier) dan penanda (signifié; signified), yang mana itu semua berada dalam satu sistem bernama ‘la langue’. Alasan tersebut yang menyebabkan semiologi Saussure sering dianggap sebagai semiotika signifikasi. Baginya, petanda bukanlah sesuatu yang konkret, melainkan sesuatu yang berada di antara citra mental, yaitu suatu konsep dan realitas psikologis. Kemudian petanda yang berkerja dalam aktivitas mental akan menciptakan sebuah penanda. Dengan demikian, Saussure secara implisit memandang tanda sebagai sarana komunikatif dari dua orang manusia yang sedang mengekspresikan sesuatu satu sama lain. Berbeda dengan Saussure, Eco menegaskan bahwa definisi semiotis yang diungkapkan oleh Peirce justru lebih menyeluruh, sehingga Peirce pantas meyandang pencetus kemunculan kajian semiotika.7 Peirce mengatakan semiotika adalah kajian alamiah yang fundamental dari berbagai kemungkinan terjadinya proses semiosis. Semiosis adalah sistem operasi kognitif yang berbasis pada korelasi tiga subjek, atau biasa disebut dengan trikotomi. Itu difungsikan untuk melihat suatu tanda, seperti gambar, ikon, token, kata, dsb, dalam proses abstraksi yang hasilnya berupa makna ketika ‘tanda’, ‘objek’, dan ‘interpretan’ diasosiasikan secara bersama-sama dalam satu waktu. Sebagai contoh, kata ‘kucing’ yang merupakan tanda verbal ditangkap oleh panca indra menjadi representamen atau ‘things’. Lalu things masuk ke dalam kognisi menjadi ‘objek representasi’ dari kucing. Terciptalah korelasi antara things dengan objek yang memunculkan sebuah ‘ruang’ untuk menafsir, yang mana kita dapat mengerti bahwa kucing adalah hewan mamalia yang jinak. Mengikuti Peirce, “ruang” yang menciptakan korelasi trikotomi antara ‘things’ dengan ‘objek’ disebut sebagai interpretan.8 Interpretan bersifat individual dalam relasi trikotomi, begitu juga dengan tanda dan objek. Sebelum lebih lanjut mengupas kemunculan semiotika komunikasi, ada baiknya terlebih dahulu kita mendalami konsep semiotika signifikasi dari ‘tiga subjek’ yang berasosiasi secara bersamaan dalam semiosis, yaitu tanda, objeknya, dan interpretannya:
7 Bahkan Peirce menganggap dirinya sebagai pembuka jalan semiotika, “I am, as far I know, a pioneer, or rather a backwoodsman, in the work of clearing and opening up, what I call semiotic, that is a doctrine of the essensial nature and fundamental varities of possible semiosis. (1931, 5.488)” Ibid, hlm 15. 8 Kata Pengantar Marcel Danesi:Thomas A. Sebeok and The Science of Signs, di dalam buku Thomas A. Sebeok, An Introduction to Semiotics, hlm. viii 8
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
1) Tanda Semiotis Permasalahan tanda adalah permasalahan dasar semiotika yang cukup kompleks. Ini disebabkan karena semiotika umum mempunyai pendekatan antara tanda dan semiosis, padahal keduanya tidak pernah dapat didamaikan. Eco berusaha melakukan dekonstruksi pada permasalahan pemaknaan tanda secara umum yang lebih mengacu pada relasi pasangan petanda dan penanda, padahal permasalahan tanda itu bukan permasalahan semiosis ke dalam relasi tiga subjek, yaitu tanda, objeknya, dan interpretannya. Dekonstrusi permasalahan tanda dapat dimengerti melalui pengertian dasarnya. Eco memulai dekonstruksinya pada permasalahan tanda karena selalu berada dalam elemen ranah ekspresi, yang kemudian berdasarkan konvensi dapat dikaitkan ke dalam elemen ranah isi.9 Ini berarti dalam melihat tanda pembaca harus sudah mengetahui kestabilan sebuah tanda, padahal di sini sama sekali belum terjadi proses semiosis. Korelasi itu ternyata cocok dengan definisi Saussure yang menyatakan bahwa suatu tanda adalah korespondensi antara penanda dan petanda. Kemudian anggapan itu memunculkan beberapa konsekuensi. Pertama, tanda bukan suatu entitas fisik, sehingga tanda sudah terstruktur dalam elemen ekspresif yang berasal dari hal-hal konkret. Kedua, tanda bukanlah entitas semiotis yang baku, karena tanda adalah tempat pertemuan berbagai elemen independen dalam korelasi pengodean. Mengikuti Hjemslev, kita akan lebih tepat jika menyebut tanda sebagai fungsi-tanda. Pada dasarnya semiotika hanya menginginkan suatu wacana tanda yang lebih sempit dalam proses semiosis. Eco mengatakan wujud aslinya dapat kita kenal dalam suatu kumpulan saluran kimiawi, yang mana itu disebut things dalam tampilan luar, dan diandaikan memiliki jejaring unit-unit yang lebih elementer dibelakangnya. Sebenarnya semiotika sudah memudahkan kita untuk mengerti tanda melalui sebuah foto mekanis dalam semiosis. Itu membantu kita melihat citra, yang sebenarnya adalah ‘representasi’ dari kumpulan titik hitam dan putih yang tersusun sedemikian rupa membentuk garis-garis horizontal tak punya arti, berada di antara kehadiran dan ketidakhadiran, serta memiliki intensitas posisi dan kromatis. Eco menambahkan berbicara tanda itu seperti berbicara not-not dan interval nada pada kumpulan formant, atau rentang frekuensi nada dengan nada lain, dalam teori musik. 9 Pengertian yang Eco berikan mengikuti definisi Hjemslev, “Hjemslev’s definition, which assumes the sign-function as a mutual correlation between two functives (expression-plane and contentplane), can be taken as a more rigorous development of the Saussurean concept.” Umberto Eco, Semiotics and The Philosophy of Language, op.cit, hal 14. 9
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
2) Objek Semiotis Dalam memahami peran dan posisi dari objek, mengikuti Eco, penulis akan memperlihatkannya melalui pembacaan Fregean secara “sempit” mengenai konsep Sinn (Sense; Makna) dan Bedeutung (Reference; Referensi). Konsep Sinn dimaksudkan sebagai cara untuk memandang suatu isi melalui konvensi kultural. Sedangkan konsep Bedeutung dipahami sebagai ‘tipe’ objek yang real dan aktual, yang mana itu dirujuk oleh tanda, sehingga Bedeutung merupakan sebuah isi dari sebuah penandaan. Tentunya konsep isi tersebut tidak sama seperti konsep tanda Saussure.
Gambar 1. Perbandingan Segitiga Frege dan Peirce
Jika kita menganggap Bedeutung sebagai keadaan aktual yang dapat memverifikasi validitas tanda, maka kita akan mempersoalkan keadaan dunia yang didefinisikan atau ditunjukkan oleh pembacaan ekspresi tanda. Peirce mengatakan bahwa tanda hanya dapat dijelaskan dari tanda yang lain, sehingga untuk mengetahui adanya Bedeutung kita harus melihat sejumlah ekspresi tanda yang sudah terekam di dalam Sinn. Sayangnya, argumen ini sering dipandang bahwa Sinn baru dapat diakui jika berhubungan dengan Bedeutung, padahal sebaliknya Bedeutung yang harus didefinisikan oleh Sinn.10 Kemudian dalam teori kode, ternyata objek tidak perlu menggunakan konsep ekstensi, layaknya referensi, untuk memperhitungkan kemungkinan pembacaan ekspresi tanda. Sebagai contoh, secara ontologis kode yang tidak aktual dan bersifat kemungkinan, seperti konsep unicorn dan centaur, masih dapat kita kodekan selama berada dalam “dunia kultural”. Tentu jika kita menggunakan referensi, kata unicorn dan centaur, tidak dapat kita maknai karena hal tersebut tidak mempunyai acuan. Sehingga Eco menjabarkan bahwa keberadaan kode sangat 10 Mengikuti argumentasi Eco mengenai Sinn dan Bedeutung,“Thus the Bedeutung is grasped through a series of its Sinn, and in this sense its very imprudent to assume that the Sinn can be recognized as appertaining to the same Bedeutung, since it is the Bedeutung which is defined by the Sinn and not vice versa.” Umberto Eco, A Theory of Semiotics, op.cit, hal 61. 10
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
erat dengan pola pikir masyarakat yang berkembang, seperti teks-teks estetis dan pernyataan ideologis, yang mana itu digunakan untuk menyentuh isi dari suatu fungsi tanda. Jadi, objek semiotis adalah isi, representasi, bukan referensi, yang didefinisikan sebagai unit kultural.
3) Interpretan Relasi antara tanda dan objek memunculkan suatu ‘ruang’ untuk melakukan pemaknaan, yang mana ide dari pemaknaannya disebut sebagai interpretan. Namun sayangnya, banyak orang yang menyamakan konsep interpretan sebagai penginterpretasi atau orang yang menerima pesan, padahal tanpa adanya penginterpretasi, interpretan akan tetap ada untuk menjamin validitas tanda. Peirce telah memposisikan pentingnya objek representasi di dalam pembahasan interpretan, karena objek representasi yang akan direpresentasi menjadi interpretan. Kemudian interpretan tersebut akan diposisikan lagi sebagai objek representasi untuk direpresentasikan menjadi interpretan berikutnya, dan berulang seterusnya. Pada titik ini dimulailah sebuah proses yang disebut semiosis tak berkesudahan.11 Gagasan interpretan tersebut membuat signifikasi menjadi kajian yang sangat ketat dalam fenomena kultural. Dalam konsep Peirce, interpretan memang diartikan sebagai diskursus yang sangat kompleks, sehingga tidak hanya menerjemahkan tanda tertentu, melainkan juga mengembangkan semua kemungkinan logis yang ditarik dari tanda. Dengan kata lain, interpretan dapat berupa keseluruhan silogisme yang dideduksikan dari premispremis atau ide-ide. Namun, Eco menyadari definisi interpretan Peirce terlalu luas, sehingga dia harus mencari definisi yang lebih sempit, yang mana interpretan didefinisikan sebagai properti intensional dari sebuah ‘isi yang sudah terkodekan’, sehingga dapat diartikan juga sebagai respons dari perilaku kebiasaan yang ditentukan dalam sebuah tanda. Karena itu, interpretan juga dapat memproduksi sebuah tanda baru. Kemudian proses semiotis itu erat hubungannya dengan sistem semantik dalam filsafat bahasa. Proses semiotis, khususnya melalui konsep pemikiran Eco, adalah pembacaan tanda yang didasarkan pada unit-unit kultural, sehingga kita harus mengetahui bagaimana permasalahan proses semiotis pada permasalahan semantik. Konsep dasarnya seperti yang sudah dijelaskan, sebagai contoh jika kita membaca kata ‘garam’, maka persepsi pikiran kita 11 Eco berasalan terjadinya ‘semiosis tak berkesudahan’ dikarenakan di dalam proses interpretan terdapat banyak kategori, sehingga dapat terjadi pergeseran makna secara terus-menerus yang merujuk pada tanda-tanda yang lain. Ibid, hal. 71. 11
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
akan langsung tertuju kepada ‘NaCl’, atau ‘bumbu dapur’ atau ‘zat yang terasa asin jika dicap oleh lidah’. Hal tersebut membuktikan bahwa unit dari kata ‘garam’ telah menjadi salah satu unit kultural yang dapat kita ketahui hubungannya dengan unit-unit lainnya di dalam interpretan, seperti ‘bumbu’, ‘dapur’, ‘asin’, dsb. Hematnya, melalui unit-unit lain, suatu unit dapat diperlawankan atau justru mengondisikannya. Eco berusaha mencontohkan bagaimana suatu unit dapat diposisikan dengan unit-unit lainnya. Sebagai contoh, unit dari kata ‘pohon’ yang diartikan menjadi kata ‘arbre’ dalam Bahasa Prancis dapat disamakan dengan kata ‘Baum’ dalam bahasa Jerman. Kemudian kata ‘bois’ yang berarti ‘kayu’ dalam bahasa Prancis dapat disamakan dengan kata ‘Holz’ yang berarti ‘kayu’ dan kata ‘Wald’ yang berarti ‘hutan’ dalam Bahasa Jerman. Pada dasarnya kita tidak bermaksud untuk mencari kesamaan ide, entitas psikis, ataupun referensi antara satu kata dengan kata lainnya, tetapi kita hanya melihat bahwa adanya nilai dari unit sebuah kata yang berkorespondensi dengan unit kultur. Tidak mungkin bagi orang Prancis menyebut kata ‘bois’ yang berarti ‘kayu’ disamakan dengan kata ‘forêt’ yang berarti ‘hutan’ dalam Bahasa Prancis. Padahal kata ‘bois’ dapat dimaknai secara sejajar dengan kata ‘Wald’ yang berarti ‘hutan’ dalam Bahasa Jerman.12 Semantik struktural sebenarnya sudah berusaha mencari penyebab hal tersebut terjadi, yaitu karena adanya serangkaian asosiasi dalam pengertian ‘makna’ sebagai ‘unit kultural’.13 Sebagai contoh kata ‘pengajaran’ dapat ditarik ke dalam suatu rangkaian kasus menjadi ‘mengajar’, lalu itu ditarik ke dalam kasus lain yang melahirkan rangkaian asosiasi ‘pendidikan’, dan jika itu ditarik kembali ke dalam kasus lainnya akhirnya melahirkan rangkaian asosiasi ‘perubahan’. Pergeseran bentuk kata ‘pengajaran’ hingga menjadi ‘perubahan’ itu bukan karena berhadapan dengan medan struktural, melainkan adanya kapasitas suatu kata yang diasosiasikan dengan kata lainnya melalui analogi yang bersifat fonetik, yaitu melalui homologi klasifikasi kultural. Sebenarnya hal semacam itu tidak hanya terjadi pada ‘term kategorematis’ saja, melainkan juga pada ‘term sinkategorematis’. Sebagai contoh, adanya kata ganti yang menandai makhluk hidup di dalam benda mati, seperti kata ‘you’ yang berarti ‘kamu’ dalam Bahasa Inggris. Eco menyadari bahwa semantik struktural
12 Eco melihat perbedaan kata-kata tersebut berada pada ranah ekspresi dan isi, yang mana keduanya mempunyai hubungan mutualistik dari dua jenis heteregonitas. Ibid, hal. 23. 13 Eco, mengikuti Greimas,“ Since all of these representasions concern coded sequence of actions. Relationships between agents (actors or abstract actants), they can be rerraced together to the idea of frame.” Ibid, hal 73. 12
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
sebenarnya ingin menetapkan suatu ruang semantik dalam totalitasnya, akibatnya kita harus menghadapi dua kendala, yaitu ‘yang bersifat empiris’ dan ‘yang melalui proses semiosis’. Kendala pertama, hanya dapat dilakukan pada kajian yang penstrukturannya berada pada subsistem-subsistem terbatas, seperti subsistem warna, klasifikasi botani, istilah-istilah meterologi, dsb. Kendala kedua, berkaitan dengan kenyataan bahwa kehidupan medan semantik itu lebih pendek dibandingkan sistem fonologi, yang mana model-model struktural terus berupaya mendeskripsikan bentuk-bentuk agar tidak berubah dalam jangka waktu lama di dalam kesejarahan bahasa. Sebagai contoh, dalam suatu masa kata ‘x’ mempunyai makna ‘A’, tetapi seiring berjalannya waktu justru kata ‘y’ yang paling tepat menempati makna ‘A’. Akhirnya penggunaan kata ‘x’ harus dirubah dengan penggunaan kata ‘y’, walaupun kata ‘x’ tetap dipertahankan di dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Kita mengetahui bahwa nilai dari unit sebuah kata dapat bergeser, tetapi permasalahan utamanya adalah bagaimana jika dua medan semantik diperbandingkan melalui dua bahasa yang berbeda, seperti contoh Bahasa Prancis dan Bahasa Jerman, yaitu kata ‘bois’ dalam Bahasa Prancis dapat disamakan maknanya dengan kata ‘Holz’ dan ‘Wald’ dalam Bahasa Jerman. Padahal dalam Bahasa Jerman kata ‘Holz’ dan ‘Wald’ mempunyai makna yang sangat berbeda, tetapi jika keduanya diperbandingkan dengan kata ‘bois’ dalam Bahasa Prancis, mereka menjadi mempunyai makna yang sama. Eco pun membuat sebuah rumusan untuk kata ‘Holz’ sebagai X1 dan untuk kata ‘Wald’ sebagai X2, sedangkan untuk kata ‘Bois’ sebagai X1+2.
Gambar 2. Rumusan Perbandingan Sebuah Kata dalam Medan Semantik
Kita telah mengetahui bahwa X1 dan X2 mempunyai eksistensi makna yang terpisah dari nama-nama yang diberikan di dalam bahasa, yang mana keduanya dapat dianalisa berdasarkan properti dan fungsinya. Eco mengatakan kita harus berhati-hati pada titik ini, sebagai sebuah studi atas kode, kita tidak perlu terlalu memfokuskan diri pada X1 dan X2 yang tidak lain hanyalah referen. Kita hanya cukup membuktikan bahwa keduanya adalah jenis tumbuhan yang mempunyai daun-daun, batang pohon, dan akar. Perbedaannya adalah untuk 13
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
para penutur Prancis akan memandang ‘Holz’ mempunyai kesamaan makna dengan ‘Wald’, padahal keduanya berbeda di dalam kultur para penutur Jerman. Jika penulis ingin mencontohkan secara lebih jelas adalah penggunaan kata ‘beras’ dan ‘nasi’ dalam Bahasa Indonesia itu dipandang sama penggunaannya dengan kata ‘rice’ dalam Bahasa Inggris. Hal yang menarik dalam sudut pandang semiotika adalah bagaimana suatu medan semantik, pada suatu tingkat tertentu berfungsi menyediakan ruang bagi medan semantik lainnya, kemudian bagaimana dua atau lebih medan semantik dapat sama-sama saling memposisikan tetap dan saling tumpang tindih. Dari permasalahan tersebut. Eco akhirnya menarik 3 hal penting mengenai medan semantik dalam semiotika.14 Pertama, di dalam sebuah kebudayaan bisa terdapat medan-medan semantik yang saling berlawanan. Sebagai contoh kita temukan melalui kata ‘atheis’ yang dimaknai oleh orang-orang Indonesia sebagai sesuatu yang sangat tidak baik. Bagi semiotika, kemunculan kultural yang ganjil harus dipertimbangkan kembali, tidak dibuang begitu saja. Kedua, sebuah unit kultural dapat menjadi bagian dari medan semantik komplementer dalam sebuah kebudayaan. Ini dapat dicontohkan melalui kata ‘whale’ yang berarti ‘ikan paus’ dalam Bahasa Inggris dapat menempati posisi yang berbeda dalam dua medan semantik, yang mana dia masuk ke dalam dua klasifikasi yang tidak dapat diperbandingkan, yaitu sebagai ‘binatang mamalia’ dan ‘binatang air’. Ketiga, dalam suatu kebudayaan suatu medan semantik dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang kecil-kecil dan disusun ulang menjadi sebuah medan yang baru. Di dalam proses medan semantik, yang paling sering diperdebatkan adalah permasalahan denotasi dan konotasi pada proses pembacaan tanda. Di sini akan disinggung dengan apa yang dimaksud marka semantik dan sememe. Secara definitif, Marka semantik adalah tanda-tanda berupa morfem, baik yang bebas maupun yang terikat, yang mana itu dapat menunjukkan fungsi-fungsi gramatika dari kata maupun kalimat yang ditandainya. Misalnya dalam Bahasa Inggris tanda ‘s’ dalam kata ‘cats’ digunakan untuk menunjukkan pengertian jamak, atau dalam Bahasa Jerman tanda ‘s’ dalam kata ‘rotes langes Kleid’ digunakan untuk menunjukkan pengertian gender netral terhadap sebuah objek. Sedangkan sememe adalah unit makna yang diekspresikan oleh sebuah morfem, misalkan sememe jamak dalam Bahasa Inggris ditunjukkan oleh morfem ‘s’, atau sememe netral dalam Bahasa Jerman ditunjukkan oleh morfem ‘s’ atau ‘es’. Eco menegaskan bahwa sememe adalah gambar atau 14
“As we have seen, the ‘actual’ experience which the author could feel from looking at the sky, the sea, or a horse is here mediated by recourse to given cultural units, and his world vision is determined by the cultural units which he finds at his disposition.” Umberto Eco, A Theory of Semiotics, op.cit, hal 23.
14
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
teks potensial, yang mana teks tersebut adalah perluasan dari sememe-sememe lainnya di dalam proses semiosis.15 Lalu kita akan mempertanyakan bagaimana fungsi isi dari sebuah pemungsi tanda. Sebelumnya kita tahu bahwa wahana-tanda adalah unit semantik yang ditempatkan di sebuah ruang tertentu dalam sistem semantik, yana mana kita akan bermain dengan mengacu pada kejelasan representasi ensiklopedia.16 Sebagai contoh, isi dari wahana-tanda ‘tikus’ adalah sememe ‘tikus’, yang pastinya itu berbeda dengan sememe-sememe yang lain dalam medan semantik. Tidak mungkin sememe ‘tikus’ itu sama dengan sememe ‘kuda’ ataupun ‘harimau’. Tentunya contoh tersebut dapat menimbulkan pertanyaan, mengapa satu fonem harus dilawankan dengan fonem yang lain. Eco berpendapat bahwa definisi fonem sebagai entitas oposisional paling minimal memberikan jalan bagi definisi yang lebih analitis. Akan tetapi, kita tidak memfokuskan pada bagaimana bunyi suatu bahasa atau hasil dari jejaring kehadiran dan ketidakhadiran, melainkan lebih menitikberatkan pada ciri-ciri khusus yang bersifat analitis, sehingga dapat membedakan posisi dan oposisi secara langsung. Eco menjelasakan ada jejaring internal yang sama, namun mempunyai ciri-ciri yang saling berlawanan. Ini yang kemudian digunakan untuk mengatur perbedaan antara dua sememe. Sebagai contoh, kata ‘tikus’ dalam Bahasa Inggris ditandai dengan ‘mouse’ dan ‘rat’, yang mana kedua tanda tersebut mempunyai jejaring internal yang sama, yaitu samasama ‘tikus’, tetapi keduanya juga mempunyai ciri-ciri yang dapat berlawanan, yaitu satu ukurannya ‘kecil’ dan satu ukurannya ‘besar’. Dari sini kita dapat menarik acuan sebuah posisi yang membentuk marka semantik dari sememe, yaitu ‘ada suatu jaringan posisi dalam sistem semantik yang sama’ dan ‘ada suatu jaringan posisi di dalam sistem semantik yang berbeda’, dan perbedaan marka semantik dalam sememe inilah yang dikenal dengan ‘denotatif’ dan ‘konotatif’. Eco benar-benar menegaskan pada permasalahan denotasi dan konotasi itu tidak dapat diartikan sebagai ekstensi dan intensi, 17 yang mana denotasi lebih dikhususkan pada hal-hal yang dapat berubah, sedangkan konotasi yang lebih dikhususkan pada hal-hal yang selalu 15 “In the Role of The Reader, I have insisted of the fact that a sememe is a virtual or potential text and that a text is expansion of one or more sememes.” Ibid, hal 69. 16 “The encyclopedic representation of the sememe has been reinforced with the reference to frames, scripts, and other instructions concerning coded circumstantial and contextual occurrences.” Ibid. 17 Eco sangat menekankan “We use this distinction because the couple denotation/conotation is equivocal, since ‘denotation’ is used by extensional semantic theories in order to refer to truthvalue.” Ibid, hal 36. 15
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
stabil pemaknaannya. Permasalahan ekstensi dan intensi itu lebih sesuai pada permasalahan teori nilai-t, sedangkan denotasi dan konotasi adalah kategori-kategori teori kode. Oleh karena itu, denotasi dalam konteks Eco dimaksudkan sebagai properti semantik, bukan objek yang menjadi rujukan, atau dengan kata lain adalah isi dari sebuah ekspresi, sedangkan konotasi adalah isi dari fungsi tanda. Permasalahan utama pada denotasi dan konotasi adalah proper names atau nama diri itu yang erat kaitannya dengan tanda-tanda ikonik yang akan mengacu pada seseorang untuk menentukan siapa orang tersebut. Sebagai contoh jika kita belajar pelajaran sejarah, dan kita menemukan sebuah nama, yaitu ‘Ir. Soekarno’, maka pikiran kita akan langsung tertuju pada sosok Presiden Pertama Republik Indonesia. Ini terjadi karena kata ‘Ir. Soekarno’ adalah unit kultural yang sudah didefinisikan dan memiliki tempat tertentu di dalam medan semantik entitas-entitas historis. Tidak mungkin bagi seorang warga Indonesia sememe ‘Ir. Soekarno’ memiliki beraneka marka dalam bentuk sosok yang lain, kecuali dia tinggal di luar negara Indonesia mungkin saja dia akan mengatakan ‘Ir. Soekarno’ adalah seekor buaya. Lebih lanjut bagaimana jika sememe ‘Ir. Soekarno’ kita ganti dengan sememe ‘Felix’. Tentu setiap orang akan melakukan membaca ‘Felix’ sesuai medan unit kulturalnya masingmasing, mungkin saja ada yang mengartikan ‘Felix’ sebagai ‘seekor kucing’ atau bahkan ‘seorang manusia’. Jika dibandingkan dengan ‘Ir. Soekarno’, tentu saja ‘Felix’ lebih mempunyai kode yang terbatas. Saat ini yang terjadi adalah permasalahan homonimi yang muncul di dalam penggunaan bahasa. Misalnya, ‘Felix’ kita kodekan sebagai X, yang mana acuan sebagai kucing dituliskan sebagai X1, dan acuan sebagai seorang manusia dituliskan sebagai X2. Permasalahan nama diri secara linguistik sering terjadi dalam homonimi, tetapi secara semantik atau filsafat bahasa unit-unit kultural lebih pada sistem oposisi yang ketat dan jelas, maksudnya kita tahu X yang dituju adalah X1 atau X2. Oleh karena itu, Eco mengatakan ada dua kondisi menghilangnya acuan-acuan yang rigid. Pertama, objek yang diaju sedang tidak eksis, atau memang tidak benar-benar eksis. Kedua, tidak ada jaminan bahwa nama yang dikorepondensikan hanya pada satu objek, yang mana itu tidak mempunyai kesamaan karakteristik. Lalu bagaimana jika kita menemukan sebuah nama diri dari seseorang yang tidak dapat kita kenal, sebagai contoh seorang dari pedalaman Benua Afrika menemukan sebuah tanda ‘Ir. Soekarno’. Tentunya kondisi ini mirip dengan istilah ilmiah yang berlum pernah kita dengar sebelumnya, yang mana tanda itu dimaknai sebagai denotasi terbuka. Eco 16
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
mengatakan dalam menghadapi nama diri dari seseorang yang sebelumnya tidak pernah kita kenal itu berkebalikan dengan argumentasi J.S Mill yang menganggap bahwa yang ada hanya denotasi bukan konotasi.18 Di sini kita dapat jelas melihat bahwa yang ada hanyalah konotasi, karena orang dari pelosok Benua Afrika memang tahu bahwa dia sedang menerima tanda yang disebut ‘Ir. Soekarno’, tetapi dia tidak akan pernah tahu persis apa yang dimaksud dengan ‘Ir. Soekarno’, sehingga dia harus bertanya kepada orang yang mengenal ‘Ir. Soekarno’ untuk mengetahui seperti apa posisi tanda tersebut di tengah-tengah medan unitunit kultural, apakah ‘Ir. Soekarno’ itu seorang ‘petani’, ‘penjahat’, ‘presiden’, atau ‘pahlawan’. Setelah mengetahui proper names, Eco akhirnya melihat bahwa wahana-tanda selalu berdenotasi dan berkonotasi melalui unit-unit kulturalnya, yang mana sebagian besar unit-unit tersebut tidak dapat terkait antara satu dengan lainnya, karena itu dalam membentuk alternatif sememe biasanya akan terjadi perubahan pembacaan yang komplementer ataupun yang mutual hingga mengakibatkan ketidaksebandingan semantik karena medan subsistem yang berbeda-beda. Hal ini dapat kita temukan ketika seorang pembaca harus melakukan interpretasi terhadap sebuah tanda dalam medan semantik yang sangat luas. Untuk lebih jelasnya, penulis akan mencontohkannya dengan kata ‘Jerry’ pada pengalaman anak-anak. Tanda ‘Jerry’ hanya dapat disesuaiakan penempatannya ke dalam ‘tokoh kartun’ ataupun ‘nama seorang teman’. Tanda ‘Jerry’ ditempatkan sebagai ‘tokoh kartun’ akibat anak-anak sering menonton “Tom and Jerry” di televisi. Sedangkan tanda ‘Jerry’ ditempatkan sebagai ‘nama seorang teman’ karena salah satu teman bermainnya dipanggil dengan sebutan ‘Jerry’, yang mana dalam Bahasa Jerman berarti ‘manusia tombak yang kuat’. Jadi, wahana-tanda ‘Jerry’ dalam ‘A2’ dapat didenotasi ke dalam ‘tokoh kartun atau B2’ ataupun ‘nama seorang teman atau C2’. Begitupun selanjutnya di dalam aksis semantik, yang mana dalam konotasi juga dapat terpecah menjadi dua bagian lagi. Ini dapat dicontohkan pada tokoh kartun ‘Jerry’ pada film “Tom and Jerry” atau “Tom and Jerry Kids”, sehingga anak-anak dapat memaknai tokoh ‘Jerry yang berwujud biasa atau F1’ ataupun ‘Jerry yang berwujud lebih kecil atau G2’. Untuk lebih memahami bagaimana menemukan konsep ‘sememe’, ada baiknya kita melihat diagram Eco berikut.19
18 “Where proper names of unknown persons are concerned one would have to admit... reversing the opinion of J.S Mill, for whom they could denote but not connote.” Emberto Eco, A Theory of Semiotics, op.cit, hal. 88. 19 Ibid, hal 95. 17
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
Gambar 3. Diagram Denotasi dan Konotasi
Eco meyakini ketika seseorang sedang membentuk sebuah definisi sememe, kompetensinya akan langsung mengarah ke berbagai arah. Itu dapat dipahami ketika orang dewasa berbicara mengenai tanda ‘Jerry’ justru akan mengacu pada ‘seorang aktor Jerry O’Connell’, tidak lagi pada ‘tokoh kartun’, karena umumnya mereka akan cenderung lebih memperhatikan tanda ‘Jerry’ sebagai ‘Jerry O’Connell’ dibandingkan ‘Jerry yang lainya’, dan untuk ‘Jerry O’Connell’ bisa saja kita kodekan sebagai B3. Hematnya, jika kita mengacu pada diagram tersebut, maka hal-hal yang mungkin terjadi adalah ‘penutur dewasa’ akan mengodekan A2 ketika mengirim dan menerima hal tersebut untuk lebih berhati-hati. Sedangkan untuk ‘penutur anak-anak’ yang memiliki pengetahuan tereduksi dan tidak utuh perihal kode akan merepresentasikannya pada B2, D1, G2, sehingga jika orang dewasa mengungkapkan pembicaraannya menggunakan kata ‘Jerry’ mereka bisa terjadi salah paham. Setelah panjang lebar membahas semiotika signifikasi dalam medan semantik, maka saatnya penulis menjelaskan apa yang dimaksud dengan semiotika komunikasi. Dalam sejarah semiotika, Eco lebih dikenal sebagai pemikir yang mengkaji semiotika struktural dan pragmatis. Ini disebabkan karena usahanya yang mengangkat ‘semiotika signifikasi dan komunikasi’ secara bersamaan. Eco melihat ketika kita menjawab suatu permasalahan kultural, seperti melakukan pembacaan tanda, kedua semiotika tersebut dapat digunakan tanpa harus mengacuhkan ‘semiotika komunikasi’ layaknya semiotikawan lainnya. Akan tetapi, Eco juga menyadari bahwa semiotika signifikasi adalah landasan dari aktivitas semiotis, sehingga tanpa itu semiotika komunikasi tidak akan muncul. Secara harfiah semiotika signifikasi diartikan sebagai proses abstraksi untuk membaca dan memproduksi suatu tanda melalui relasi trikotomi dalam semiosis, sedangkan semiotika komunikasi diartikan bahwa pembacaan tanda adalah alat komunikasi yang melibatkan subjek pengirim dengan subjek penerima. 18
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
Untuk mengetahui bagaimana komunikasi dapat berkaitan dengan signifikasi, kita harus mengetahui terlebih dahulu struktur dasar dari komunikasi. Kita tahu bahwa semiotika signifikasi adalah hasil dari konvensi kultural, sebagaimana semiosis bekerja. Sebagai contoh, jika kita mengetahui bahwa interpretan dari tanda x adalah bahaya, lalu secara kebetulan kita bertemu dengan tanda x, maka secara otomatis diri kita akan langsung merasa terancam. Namun, konvensi kultural tersebut tidak dapat diikuti oleh semiotika komunikasi yang hanya berupa rangkaian stimulus, seperti pengiriman suatu ‘informasi’ dari satu alat mekanis ke alat mekanis lainnya. Sebagai contoh, sensor bahan bakar yang ada di dalam tangki dapat mengirimkan informasi ke dalam panel pengukur bensin. Secara singkat itu dimengerti karena adanya prinsip sebab akibat mekanis, tetapi kalau itu disandarkan pada prinsip teori informasi akan menjadi proses-tanda melalui kode yang disepakati, yang mana posisi panah merah dalam panel pengukur bensin menjadi stands for atau menunjukkan. Kita tahu bahwa proses itu terjadi dikarenakan kinerja sensor yang menggerakkan panah merah dalam panel pengukur bahan bakar. Jadi, muncul pertanyaan kenapa stands for harus berada pada ‘panah merah’ bukan pada ‘sensor’? Ini disebabkan karena manusia, yang melanjutkannya ke dalam proses signifikasi, hanya melihat hasil akhir dari proses-tanda komunikasi.20 Sehingga sensor hanya menstimulasi atau menyebabkan terjadinya gerak panah tersebut. Dari alasan itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa semiotika komunikasi terjadi ketika manusia belum melihat ‘hasil akhir dari proses-tanda’, yang kemudian hasilnya menjadi titik berangkat untuk proses semiotika signifikasi.
E. KESIMPULAN Ada dua hal yang menggaris bawahi semiotika filosofis Umberto Eco. Pertama adalah proses semiosis yang menjadi landasan dari cara kerja semiotika, sehingga tanpa proses semiosis semiotika tidak akan pernah ada. Semiosis menjadi dasar semiotika karena dapat menuntun para pembaca tanda untuk menemukan sebuah arah kebenaran yang lebih rasional. Akan tetapi, kita harus tetap membayangkan bahwa di dalam semiotika, kita tidak akan pernah menemukan apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri sebagai jalan keluarnya. 20 Di sinilah posisi ambang batas terbawah yang membedakan antara semiotika signifikasi dengan semiotika komunikasi. Ibid, hal. 32. 19
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013
Kedua adalah unit-unit kultural, yang mana menjadi landasan kerja dari proses semiosis. Tanpa unit-unit kultural pembaca disyaratkan tidak akan pernah membaca isi dari sebuah ekspresi tanda. Karena itu, kita tidak bisa tidak kita terseret pada pembacaan suatu tanda yang disandarkan pada entitas kultural. Unit-unit kultural yang Eco ajukan tidak akan pernah lepas dari teks yang menggunakan simbol-simbol bahasa.
F. KEPUSTAKAAN Amir, Yasraf Pilliang. 2010. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna. Bandung: Matahari. Bronwen. Marten, and Felizitas Ringham. 2000. Dictionary of Semiotics. London and NewYork: Cassel. Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. ___________ 1984. Semiotics and The Philosophy of Language. London: The Mc Millan Press. ___________ 1997. Kant and Platypus (diterjemah oleh Alastair Mc Ewen). New York: A Harvest Book. Esbach, Aschim, dan Jürgen Trabant. 1983. History of Semiotics. Philadelphia: John Benjamins Publishing Company. Hoed, Benny. 2011. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu. Kant, Immanuel. 1929. Critique of Pure Reason (diterjemahkan oleh JMD Meiklejohn). New York: Promotheus Books. Katz, Jerrold. 1963. The Structure of a Semantic Theory. Englewood Cliffs: Pretince-Hall. Merrel, Floyd. 1997. Peirce, Sign, and Meaning. Toronto: University of Toronto Press
20
Semiotika filosofis..., Abdul Rahman, , 2013