SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN (Studi Kasus Dresscode Sebagai Alat Komunikasi Pada Kelompok Arisan TheBeauty, Mojokerto) Ratnaningrum Zusyana Dewi (Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Majapahit) ABSTRAK Gaya hidup dan busana adalah bagian integral dari kehidupan sosial seorang wanita. Keduanya merupakan satu paket yang saling melengkapi. Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat berpengaruh terhadap gaya hidup wanita. Gaya hidup yang berlandaskan kapitalisme ini banyak terbawa dalam kehidupan sosial. Salah satunya dalam bentuk arisan. Arisan bukan lagi sekedar wadah silaturahmi, tapi sudah menjadi arena eksistensi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari makna dari dresscode yang dipakai ketika arisan. Metode yang dipakai adalah metode kualitatif. Analisa yang digunakan adalah analisa semiotika. Semiotika dipakai untuk menganalisa makna dresscode sebagai alat komunikasi dalam penelitian ini. Sumber data yang dipakai adalah observasi, wawancara, diskusi, dan studi literatur. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, fungsi dresscode tidak sekedar busana , tapi juga menjadi tempat aktualisasi para peserta arisan. Kebutuhan aktualisasi ini justru menjadi kebutuhan utama anggota arisan, mengalahkan besarnya jumlah uang yang menjadi obyek arisan. Kedua, dresscode dipakai sebagai penanda identitas kelompok. Anggota merasa tersanjung bisa diterima sebagai anggota kelompok ini. Karena mereka mempunyai identitas sebagai anggota kelompok tertentu. Ketiga, kohesivitas tinggi antar anggota dapat terjadi karena rasa kebersamaan antar anggota yang dimediakan oleh dresscode. Keempat, bertambahnya jaringan dan relasi yang membuat keuntungan sosial, ekonomi, dan politik. Kata Kunci : Semiotika, Dresscode, Gaya Hidup PENDAHULUAN Perkembangan masyarakat dari waktu ke waktu cenderung konsumtif. Tingkat konsumsi masyarakat sangat tinggi, yaitu 1,09 kali lebih banyak dari rata-rata pendapatan total masyarakat. Artinya, anggaran belanja yang mereka keluarkan lebih besar daripada penghasilannya, sehingga hampir seluruh pendapatan mereka habis untuk dikonsumsi. Hal ini berdasar temuan Priyonggo Suseno, ketua tim peneliti
PPS-LP UII dalam penelitiannya tentang Pola Konsumsi Masyarakat : Faktor yang Mempengaruhinya dan Kaitannnya dengan Inflasi (Kompas, 24 Nop 2005). Dalam penelitian itu dikatakan bahwa profesional memiliki tingkat konsumsi tertinggi, diikuti pegawai, pensiunan, dan mahasiswa. Di sisi lain, buruh, manajer, dan wiraswasta, tingkat konsumsinya lebih rendah. Meningkatnya pola hidup yang cenderung konsumtif ini mengubah
perilaku sosial masyarakat. Kaum wanita dan anak muda adalah sasaran empuk. Kedua kelompok tersebut adalah pasar yang setiap saat selalu berkembang. Kaum wanita merupakan sasaran utama bagi kapitalisme. Dalam mengambil keputusan pembelian, seringkali mereka lebih mengandalkan emosi daripada rasionya. Hidup dalam riuhnya pola konsumerisme memaksa mereka untuk mendapatkan barang yang belum dimilikinya. Feel need lebih penting daripada real need. Sedikit banyak perilaku konsumtif ini dipengaruhi oleh globalisasi industri media. Globalisasi media didukung oleh globalisasi ekonomi. Menjamurnya pusat-pusat belanja yang menyediakan berbagai keperluan adalah salah satu contohnya. Gaya promosi yang dikemas dalam bentuk sinetron, talkshow, fashion show, adalah makanan kita sehari-hari. Kemajuan teknologi menjadikan nilai materialistik mendominasi kehidupan keluarga modern. Secara sosiologis, Featherstone mengatakan bahwa gaya hidup (lifestyle) adalah tata cara hidup yang khas pada kelompok tertentu (Featherstone, 2001). Tetapi dalam budaya kontemporer (masyarakat modern) istilah gaya hidup mengkonotasikan tentang individualisme, ekspresi diri, serta kesadaran diri untuk bergaya (stylistic). Tubuh, busana, cara bicara, hiburan saat luang, pilihan makanan dan minuman, kendaraan, bahkan pilihan sumber informasi, dan lain-lain, dipandang sebagai indikator dari gaya dan selera perseorangan (Featherstone, 2001). Gaya hidup dilukiskan sebagai ruang yang bersifat plural, anggota yang berada di dalamnya membangun kelompok sosial, lengkap dengan
kebiasaan-kebiasaan sosial mereka (Bourdieu, 1994). Dari berbagai pemaknaan tersebut, gaya hidup dilihat sebagai wujud paling ekspresif dari cara manusia menjalani dan memaknai kehidupannya. Gaya hidup dipahami sebagai cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu dari kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbolis. Dengan demikian, gaya hidup menjadi cara untuk mengidentifikasi diri sekaligus membedakan diri dalam relasi sosial. Gaya hidup juga menjadi cara bermain dengan identitas (Ibrahim, 2011, 307) Dalam abad gaya hidup, penampilan adalah segalanya. Urusan penampilan bukan lagi menjadi perbincangan sosiologis. Penampilan sudah bisa menjadi alat komunikasi yang efektif. Erving Goffman bahkan mengemukakan bahwa kehidupan sosial merupakan penampilan teatrikal yang diritualkan. Kita bertindak seolaholah di atas sebuah panggung. Penggunaan ruang, barang, bahasa tubuh, merupakan ritual interaksi sosial untuk tampil dalam memfasilitasi kehidupan sosial sehari-hari (Erving Goffman dalam Chaney, 2004, 194). Dalam abad gaya hidup pula, penampilan diri banyak mengalami estetisasi. Penampilan menjadi sebuah proyek yang menggiurkan. Ibaratnya, semakin gaya penampilan seseorang, semakin berkualitas hidup mereka. Artinya, “penampakan luar “ menjadi indikator keberadaan diri. Substansi dikalahkan oleh penampilan diri. Kulit mengalahkan isi. Chaney juga mengatakan bahwa semua yang kita miliki akan menjadi budaya tontonan. Semua orang ingin menjadi penonton sekaligus ditonton. Ingin melihat sekaligus dilihat. Di titik ini, gaya mulai menjadi modus keberadaan manusia modern.
Kamu bergaya, maka kamu ada! Kalau kamu tidak gaya, siap-siaplah untuk dianggap “tidak ada”. Diremehkan, diabaikan, bahkan mungkin dilecehkan. Itulah sebabnya, jaman sekarang orang gemar sekali bersolek. Bersolek atau merias diri menjadi hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Jadilah kita menjadi masyarakat pesolek (dandy society). (Chaney, 2004, 179183) Dalam hal solek-menyolek, wanita adalah jagonya. Di semua lini, wanita senantiasa suka memamerkan dirinya. Baik di ruang privat ataupun ruang publik. Eksistensi wanita seolaholah menebarkan tanda. Baudrillard mengatakan bahwa ruang publik sekarang sudah penuh dengan “tanda”. “Tanda” memicu lahirnya keresahan baru tentang hilangnya ruang publik yang harusnya independen, menjadi arena bebas guna mengaktualisasikan diri atas masalah-masalah sosial. Tak ada lagi batas mana yang privat dan mana yang publik. Masyarakat telah terjebak dalam lautan panggung yang tidak memisahkan antara yang riil dan tidak riil.(Baudrillard, 2006, 13-18). Fenomena Baudrillard sedang berlangsung. Fenomena sosialita marak di berbagai daerah. Sosialita, makna sesungguhnya adalah orang yang berasal dari kalangan bangsawan, atau orang yang sudah kaya karena keturunannya, atau orang yang berpengaruh dan memiliki kemampuan untuk mengorganisir/menggerakkan masyarakat. Di Amerika atau Eropa, makna sosialita mengacu pada sekelompok orang kaya yang senang mengadakan kegiatan sosial, guna membantu orang yang sedang kesusahan. Misal : membantu korban gempa bumi, banjir, dan lain-lain. Sosialita berbeda dengan jetset. Golongan jetset berisi manusia kelas atas juga, tetapi kehidupannya tidak
bersentuhan dengan kegiatan sosial sama sekali. Golongan ini hanya hidup untuk dirinya sendiri, hidup dalam kemewahan, foya-foya, dan gaya hidup hedon lainnya. Di Indonesia fenomena sosialita banyak mengalami pergeseran makna. Di kota-kota besar, istilah sosialita mendekati arti asli dari sosialita. Golongan kelas atas yang mempunyai gaya hidup serba mewah dan penuh dengan foya-foya. Golongan inipun terbagi dua, sosialita yang berkontribusi terhadap kegiatan sosial, dan sosialita yang tidak sedikitpun merambah dunia sosial. Di daerah yang kotanya tidak terlalu besar, ada juga fenomena sosialita. Meski tidak semewah sosialita kota besar, istilah sosialita di daerah/kota kecil lebih mengacu pada sekelompuk orang yang mapan strata ekonominya, pejabat daerah, wiraswasta, atau professional, dengan gaya hidup lebih tinggi daripada umumnya gaya hidup penduduk di daerah tersebut. Di kelas lokal, “persaingan” antar sosialita tidak seekstrim anggota sosialita di kota besar. Norma-norma sosial masih berlaku kental di kelompok ini. Mereka tidak semena-mena menghabiskan uang sekian puluh juta hanya untuk sepasang sepatu atau sebuah tas. Mereka lebih „sopan‟ dalam mengatur pengeluaran untuk benda-benda konsumsi. Kelompok ini biasanya mepunyai agenda bulanan dalam bentuk arisan. Linda Darmajanti, sosiolog Universitas Indonesia mengatakan, arisan adalah mekanisme kumpul-kumpul sebuah komunitas. Yang penting bukan arisannya, tapi komunitasnya. Pasalnya, komunitas adalah konsep paling konkret dari society.(Dalam Joy Risma, 2013, 27) Sebuah komunitas dibentuk karena kesamaan visi, misi,
needs, sense of belonging, dan karakter. Itulah sebabnya mengapa arisan merupakan kumpulan orang-orang sejenis. Dalam arti orang-orang yang mempunyai persamaan. Misal, berdomisili di komplek yang sama, bekerja di tempat yang sama, mempunyai profesi yang sama, dan lain-lain. Dalam perkembangannya, arisan mengalami pergeseran fungsi. Kalau dahulu arisan hanya sekedar mengumpulkan uang, dikocok, kemudian pulang. Kemudian berkembang tidak hanya sekedar uang, tapi berupa barang. Misalnya lemari es, emas, sepeda motor, dan lain-lain. Akhir-akhir ini marak pula arisan umroh. Entah bagaimana perhitungannya, nyatanya arisan jenis ini banyak pula pengikutnya, dan bisa berjalan sampai beberapa putaran. Belakangan arisan banyak mengalami mutasi. Selain sebagai sarana investasi, arisan juga dianggap sebagai sarana refreshing. Sebagai arena pelepas penat ketika lelah menghadapi rutinitas sehari-hari. Juga sebagai ajang pamer eksistensi. Para arisan ladies, demikian sebutan modern untuk anggota arisan, menginginkan kemasan arisan yang lebih segar, kreatif, dan ceria. Mereka mencari terobosan agar arisan tidak lagi menjadi acara yang monoton. Dan, dresscode adalah jawabannya. Fenomena dresscode marak lima tahun terakhir sebagai salah satu alat untuk memperkuat ikatan antar anggota. Dresscode diterjemahkan secara bebas sebagai instruksi mengenai pakaian yang dikenakan ketika menghadiri suatu acara. Biasanya dicantumkan di undangan. Hal ini dimaksudkan agar para undangan bisa menyesuaikan antara baju yang dikenakan dengan suasana acara, sehingga tercipta nuansa acara seperti yang diinginkan oleh si
empunya acara. Dresscode banyak macamnya, mulai dari aneka warna, batik, kebaya, bahkan yang diambil dari karakter film (Superman, Nyi Iteung, Barbie, dll). Anggota arisan tanpa berkeberatan mematuhi dresscode yang ditentukan. METODE PENELITIAN Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, diskusi, dan studi literatur. Sementara itu, tekhnik analisa yang digunakan adalah analisa semiotika. Tekhnik analisa ini dipakai untuk menganalisa makna dresscode sebagai alat komunikasi. PEMBAHASAN 1. Gaya Hidup Budaya dan masyarakat adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya pun tidak bisa dijauhkan dari komunikasi. Inovasi budaya banyak membawa perubahan dalam berkomunikasi. Gaya hidup populer yang sekarang sedang terjadi merupakan hasil dari kita berkomunikasi dan berinteraksi. Bentuk-bentuk budaya jaman sekarang menjadi semakin simbolik, kompleks, dan dinamis. Gaya hidup mengacu pada frame of reference (kerangka acuan) yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku. Dua aspek pentingnya adalah, pertama individu berusaha membuat seluruh aspek hidupnya berhubungan dalam suatu pola tertentu dan mengatur strategi bagaimana ia ingin dipersepsi oleh orang lain. Kedua, tiap individu punya kebebasan untuk mengatur cara dia berkomunikasi dengan orang lain. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan batasan struktural yang
diinginkannya, seperti kelas sosial, usia, jenis kelamin, dan kelompok tertentu. Gaya hidup sering dihubungkan dengan kelas sosial ekonomi dan citra seseorang. Fenomena gaya hidup dalam masyarakat (Ibrahim, 2007, 133135) bisa dijelaskan sebagai berikut. Pertama, masyarakat konsumen Indonesia tumbuh seiring dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan, industri waktu luang, industri mode dan fashion, industri kecantikan, industri gossip, industri kuliner, kawasan hunian mewah, gencarnya iklan barang-barang luks, berdirinya sekolahsekolah mahal, kegemaran terhadap merek-merek asing (branded), makanan serba instan (fast food), pemakaian telepon genggam canggih, dan tidak ketinggalan pula serbuan gaya hidup melalui media yang mengusik ruang pribadi setiap orang. Kedua, globalisasi industri media dari mancanegara yang bermodal besar, berupa serbuan majalah-majalah mode dan gaya hidup edisi bahasa Indonesia. Majalahmajalah tersebut menawarkan gaya hidup yang pada awalnya serasa tidak terjangkau oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Terpaan media semakin menjadi ketika TV kabel sudah tidak eksklusif lagi. Dengan harga relatif terjangkau, TV kabel sudah bisa menjadi makanan sehari-hari rakyat Indonesia kelas menengah. Ketiga, munculnya gaya hidup alternatif, yaitu gaya hidup “kembali ke alam”. Gaya hidup ini adalah representasi sebagian orang untuk kembali hidup sederhana, semacam kerinduan akan kampung halaman, dengan skala spiritualisme yang lebih besar. Gaya hidup ini seolah-olah
menjadi antitesis dari gaya hidup glamour para kaum borjuasi, OKB (orang kaya baru), yang tanpa malumalu memperlihatkannya di depan umum. Dengan kesadaran tertentu, biasanya orang rela bergabung dalam sebuah kelompok gerakan gaya hidup yang tidak bersifat formal, dan mengidentifikasikan diri mereka dalam “komunitas makna” sebagai cara mereka mengekspresikan “politik gaya hidup”(Featherstone, 2001, 199). Kontribusi media dan konsumsi sebagai partisipan dalam kelompokkelompok sosial kontemporer/gaya hidup sangat kentara di tengah-tengah budaya konsumen yang dimediakan (mediated consumer culture). Kelompok-kelompok tersebut oleh Featherstone disebut sebagai stylization-of-life form of lifestyle. Ciri khas dari kelompok ini adalah adanya kode-kode simbolik dan praktik konsumsi yang tinggi. Simbol, identitas, dan status, membentuk satu garis linier yang saling mempengaruhi. Dalam tingkatan yang lebih tinggi, merek sebagai simbol status seseorang memunculkan harapan untuk “naik kelas”. Pakaian, sepatu, tas, adalah merupakan bahasa diam yang berkomunikasi melalui tanda-tanda nonverbal. Goffman (dalam Yusuf, 2001, 82) menyebut simbol-simbol semacam itu sebagai sign-vehicles atau cues yang menyeleksi status seseorang dan tata cara orang lain memperlakukan mereka. Busana adalah sarana komunikasi nonverbal, karena tidak menggunakan lisan ataupun tulisan. Meskipun secara teoritis komunikasi nonverbal dipisahkan dari komunikasi verbal, tetapi dalam kenyataannya kedua jenis komunikasi itu jalin menjalin dalam komunikasi setiap hari.
Misalnya kalau kita menyatakan pelindung, busana juga mempunyai ketidaksetujuan atas sesuatu hal, fungsi kesopanan. biasanya secara otomatis kita akan menggelengkan kepala. 2. Semiotika Busana sering dipakai sebagai Ilmu tentang tanda (semiotika) penunjukan nilai sosial seseorang atau mempelajari tentang hakikat status, dan orang kerap membuat keberadaan suatu benda. Oleh karena penilaian status seseorang berdasarkan itu, salah satu cara untuk membaca pakaian yang dikenakannya. Status dan realitas (budaya, sosial, media) adalah nilai sosial merupakan perkembangan dengan memahami konteksnya. Lewat dari berbagai sumber, misalnya jabatan, konteks, orang dapat memahami ras, ataupun keturunan keluarga. Dalam masalah yang ada dan pemecahannya abad gaya hidup, penampilan adalah tidak berlaku untuk konteks yang lain. segalanya. Perhatian terhadap urusan Dalam kasus pemberitaan di sebuah penampilan bukan barang baru dalam media, jurnalis dapat menuangkan abad ini. Erving Goffman (dalam „madu‟ dan „racun‟ secara bersamaan Chaney, 2004, 194) mengatakan bahwa atau bergantian menurut konteksnya. kehidupan sosial terutama terdiri dari Sebuah berita buruk bisa diperhalus penampakan teatrikal yang diritualkan, untuk meminimalisir efek yang terjadi. yang dikenal dengan pendekatan Sebaliknya , berita bagus bisa berakibat dramaturgi (dramaturgical approach). runyam bila tidak pandai mengolahnya. Artinya bahwa dalam keseharian kita Dengan demikian, konteks menjadi alat seolah-olah berada di atas sebuah penting dalam memahami realitas. panggung. Berbagai penggunaan ruang, Preminger (dalam Burhan Bungin, barang-barang, bahasa tubuh, ritual 2007, 173) mengatakan bahwa semua interaksi sosial, tampil untuk semua fenomena sosial dan memfasilitasi kehidupan sosial sehari- kebudayaan itu adalah tanda-tanda. hari. Semua orang ingin menjadi Semiotika bertugas mempelajari penonton sekaligus ditonton. Ingin sistem-sistem, aturan-aturan, konvensimelihat tetapi sekaligus juga dilihat. konvensi yang membuat tanda-tanda Penampakan luar menjadi barang tersebut mempunyai arti. penting bagi gaya hidup. Pakaian dan Charles Sanders Pierce fashion menjadi komoditas utama menjelaskan bahwa semiotika dapat untuk ditonjolkan. Para pekerja seni, diklasifikasikan dengan keterangan politisi, dan orang-orang yang sering sebagai berikut : berhadapan denga audiens akan terus 1. Hubungan penalaran dengan jenis berusaha memanipulasi penampakan penandanya, luar mereka. Citra diri mereka a. Qualisigns. ditempelkan pada pakaian yang Qualisigns adalah tanda dikenakannya. . berdasarkan suatu sifat. Pentingnya peran busana, Contohnya sifat kuning. Kuning dandanan, dan perhiasan dalam merupakan tanda karena komunikasi insani selalu mendapat mengacu pada perilaku tertentu. perhatian tersendiri. Busana dipandang Agar benar-benar berfungsi, memiliki fungsi komunikatif. Sebagai kuning harus memperoleh bentuk komunikasi, pakaian bisa bentuk. Maka, kuning dipakai menyampaikan pesan artifaktual yang sebagai tanda. Misalnya, bersifat nonverbal. Selain sebagai alat sebagai pengungkap rasa
senang, sebagai tanda peringatan dalam rambu-rambu lalu lintas, sebagai warna kebangsan Golkar. Dan bentuknya adalah papan lalu lintas, pita pesta pora kemenangan, dan sebagai jaket kebangsaan Golkar. b. Sinsigns Sinsigns adalah tanda dalam kenyataan. Misalnya, gertakan bisa berarti kekagetan, ancaman, kemarahan. Bentuk dari gertakan adalah suara keras dan disertai sentakan. c. Legisigns Legisign adalah tanda atas suatu peraturan berlaku umum, konvensi. Contoh : tanda-tanda lalu lintas, cara berjabat tangan, mengangguk untuk mengatakan ya, dan lain-lain. 2. Hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya a. Icon, sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya (adanya kemiripan). Misal : foto dengan peta b. Index, sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya. Misal, asap adalah tanda adanya api c. Symbol, sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang berlaku umum di masyarakat (konvensi) 3. Hubungan pikiran dengan jenis petandanya a. Rheme/seme, adalah tanda yang memungkinkan orang untuk menafsirkan berdasar pilihan. Missal, mata merah dapat menandakan bahwa orang Inter tersebut barusaja menangis, tau preta n
sedang sakit mata, atau baru saja kemasukan serangga. b. Dicent/decisign, adalah tanda sesuai kenyataan. Penanda yang menampilkan informasi tentang petandanya. Missal, bila di suatu tikungan sering terjadi kecelakaan, maka disitu dipasang rambu lalu lintas yang menyatakan bahwa di tempat itu sering terjadi kecelakaan. c. Argumen, adalah tanda yang yang langsung memberi alasan tentang sesuatu (kaidah) Pierce lebih jauh mengatakan bahwa tipe-tipe tanda seperti ikon, indeks, dan simbol, memiliki nuansanuansa yang dapat dibedakan. Ikonis adalah sesuatu yang dapat dilihat berupa gambar, lukisan, patung, foto. Indeksial adalah sesuatu yang dapat mengisyaratkan sesuatu hal melalui suara, langkah-langkah, bau, dan gerak. Sesuatu yang bersifat simbol adalah tanda yang dapat diucapkan, baik oral maupun dalam hati, yaitu makna dari gambar, bau, lukisan, gerak. Tanda dan makna memiliki konsep dasar dari semua model makna dan dimana secara luas memiliki kemiripan. Masing-masing memperhatikan tiga unsur yang selalu ada dalam kajian tentang makna. Ketiga unsur itu adalah; (a) tanda, (b) acuan tanda, dan (c) pengguna tanda. Berikut adalah model makna dan tipe tanda meurut Pierce. Ta nd a
Gambar1.1. Unsur Makna dari Pierce
O bj ek
Ik on
Inde ks
Si m Gambar 1. 2. Kategori Tipe Tanda dari Pierce bo ll Agar dapat dideskripsikan secara jelas, rinci, dan mampu mendapatkan data yang mendalam, maka penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatfi .Pemilihan pendekatan kualitatif, didasarkan atas karakteristik tema penelitian yang lebih banyak menghadirkan makna-makna dibalik suatu peristiwa atau proses yang berlangsung. Data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu data utama dan data pendukung ( Moleong, 2011). Data utama adalah kata-kata dan pernyataan responden berkaitan dengan fenomena dresscode sebagai alat komunikasi. Sedangkan data pendukungnya adalah data yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan penelitian, seperti profil kelompok arisan ini, visi dan misi, data anggotat, sarana dan prasarana, program kegiatan atau acara arisan dan juga peraturan yang dibuat dan berlaku dalam kelompok arisan ini. 4. Pembahasan Arisan adalah bagian dari budaya pop Indonesia yang sesungguhnya sudah ada sejak lama. Arisan pada dasarnya adalah sekelompok orang (umumnya kaum hawa) yang berkumpul dan mengumpulkan uang secara teratur tiap periode tertentu. Setelah uang
terkumpul, akan diundi nama yang dinyatakan sebgai pemenang. Periode putaran arisan berakhir bila semua anggota telah mendapatkan undian. Tujuan awal arisan adalah menjalin silaturahmi antar keluarga besar. Seiring berjalannya waktu, keberadaan arisan banyak mengalami perubahan. Dari sekedar wadah silaturahmi, menjadi sarana pengakuan sosial, sarana bertemu antar tetangga yang dililit kesibukan bekerja, sampai sarana bergunjing ibu-ibu kompleks. Sosiolog Universitas Indonesia, Linda Darmayanti (dalam Nadia dan Joy, 2013, 28) mengatakan bahwa arisan adalah mekanisme berkumpul sebuah komunitas. Yang dipelajari dan dianggap penting dalam sosiologi bukan arisannya, tetapi komunitasnya. Sebab komunitas adalah konsep paling konkret dari society. Sebuah komunitas terbentuk karena kesamaan visi, misi, karakter, kebutuhan, dan perasaan saling memiliki. Itulah sebabnya mengapa arisan pada umumnya adalah kumpulan orang-orang sejenis. Artinya anggota arisan adalah orang-orang yang punya persamaan. Misalnya, mempunyai profesi yang sama, bertempat tinggal di lingkungan yang sama, maupun anak-anak yang bersekolah di tempat yang sama. Linda menambahkan, komunitas itu pada dasarnya bervariasi. Ada yang primordial, seperti paguyuban atau arisan keluarga besar. Ada juga yang berdasarkan profesi, gaya hidup, sampai spasial seperti di lingkungan RT atau RW. Dalam perkembangannya, konsep arisan yang sederhana ini membuat arisan dipakai untuk dijadikan instrumen mengembangkan komunitas. Departemen Kesehatan melakukan sosialisasi di daerah-daerah untuk meningkatkan fasilitas sanitasi dan perilaku sehat warga dari strata sosial
menengah ke bawah di desa-desa. Setiap kepala keluarga atau beberapa rumah tangga diminta menyumbangkan sedikit uang setiap bulan. Mereka yang mendapat arisan bulan tersebut akan dibangunkan toilet di rumahnya. Berkat sistem ini, terjadi peningkatan pengguna WC di Sulawesi Selatan , dari 45% di tahun 2008, menjadi hampir 80% di tahun 2011. (Nadya, Joy, 2013, 30) Praktik arisan tidak hanya ada di Indonesia. Di Malaysia, arisan dikenal dengan istilah “main kutu”. Para pelaku “main kutu” di Malaysia tidak berbeda dengan di Indonesia. Mereka akan dengan senang hati mendatangi tempat-tempat dimana “main kutu” diadakan. Di Vietnam arisan dikenal dengan sebutan “ho”.Praktik “ho” dilakukan dengan mengumpulkan iuran beras, bukan uang atau emas. Di Filipina, arisan dikenal dengan nama “paluwagan”, yang diartikan sebagai media/sarana untuk merangkul jejaring. Di Amerika , arisan dikenal denan istilah saving club. Secara ekonomis, peserta banyak mendapat keuntungan dari arisan ini. Peserta yang menang di awal adalah peserta yang banyak mendapat keuntungan. Layaknya mendapat pinjaman tanpa bunga. Ini sangat berarti bagi mereka yang memerlukan modal bisnis atau dana saat kebutuhan mendesak, seperti biaya sekolah anak. Selain itu, mengacu pada inflasi, nilai uang yang didapat lebih berharga daripada yang menang terakhir, apalagi bila kocokannya besar. Sementara yang mendapat belakangan tidak mendapat apa-apa, yang berarti yang bersangkutan kehilangan opportunity cost. Tetapi setiap orang mempunyai pertimbangan dan justifikasi sendiri. Sebagai contoh, ibu A menginginkan
agar arisannya ditarik saat ia membutuhkan dana tambahan untuk liburan atau untuk uang pangkal masuk sekolah anak, sehingga ia akan merasa bahagia bila mendapat arisan bulan Mei. Lain halnya ibu B yang lebih menginginkan mendapat arisan saat penutupan, agar tidak ada lagi kewajiban membayar iuran. Dresscode adalah salah satu kecenderungan busana yang sedang ramai saat ini. Pentingnya peran busana dalam proses komunikasi insani telah mendapat sorotan dari banyak pakar. Busana dipandang memiliki suatu fungsi komunikatif. Busana, kostum, dan dandanan adalah bentuk komunikasi artifaktual. Dalam bukubuku komunikaasi, komunikasi artifaktual biasanya didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung melalui pakaian dan berbagai artefak. Misalnya dandanan, perhiasan, furniture, dekorasi rumah, dan lain sebagainya. Busana yang kita pakai bisa menampilkan berbagai fungsi. Sebagai bentuk komunikasi, pakaian bisa menyampaikan pesan artifaktual yang bersifat non verbal. Pakaian bisa melindungi kita dari cuaca buruk. Pakaian juga membantu kita menyembunyikan bagian-bagian tubuh, sehingga pakaian mempunyai fungsi kesopanan. Desmond Morris (dalam Ibrahim, 2007, 242) mengatakan bahwa pakaian juga menampilkan peran sebagai pajangan budaya (cultural display) karena ia mengkomunikasikan budayanya. Pakaian bisa menunjukkan identitas nasional dan kultural pemakainya. Orang membuat kesimpulan tentang kita sebagian bisa juga dilihat dari apa yang kita pakai. Kelas sosial kita, keseriusan kita, afiliasi politik kita, sedikit banyak bisa dilihat dari cara kita berbusana. Dengan kata lain, pakaian bisa dimetaforakan sebagai kulit sosial dan
budaya kita (Ibrahim, 2007, 245). Pakaian merupakan ekspresi identitas pribadi. Oleh karena itu, “memilih pakaian, baik di toko, di rumah, maupun di jalan, berarti mendefinisikan dan menggambarkan diri kita sendiri” (Lurie dalam Ibrahim, 2007, 244). Yang dimaksud disini adalah gaya busana sebagai indikator status yang jelas, tidak termasuk seragam yang dipakai sebuah institusi tertentu. Busana adalah salah satu dari seluruh rentang penandaan yang paling jelas dari penampilan luar. Dengannya orang menempatkan diri mereka terpisah dari yang lain. Selanjutnya mereka diidentifikasi sebagai suatu kelompok tertentu. Di dalam TheBeauty, dresscode hanyalah patokan. Anggota tidak boleh terbebani dengan kostum yang ditentukan. Anggota wajib memakai busana yang sudah ada di rumah. Misal, apabila bulan ini ditentukan drescode yang dipakai adalah kuning, maka anggota boleh memakai kuning muda, kuning tua, kembang-kembang kuning, atau garis-garis kuning. Pendeknya, tidak harus kuning polos. Itulah sebabnya mengapa mereka menyebut kata „nuansa‟ pada setiap warna yang dijadikan dresscode. Berikut adalah beberapa contoh dresscode yang pernah dipakai TheBeauty dalam rentang kegiatan 3 tahun. 1. Busana bernuansa warna putih Putih adalah warna yang banyak dimaknai secara positif. Dalam bendera Indonesia, putih artinya suci. Merah artinya berani. Warna putih sangat bagus untuk menampilkan kesucian, kesederhanaan, kebersihan, dan keamanan. Banyak anggota yang menyukai warna ini karena memberi kesan bersih dan
bercahaya bagi pemakainya. Warna putih adalah warna yang paling banyak diminta anggota.. Tetapi demi menjaga kreativitas, maka tiap satu warna hanya boleh dipakai satu kali dalam setahun. Warna ini adalah representasi kebersihan hati perempuan dalam mengelola rumah tangga. Cobaan hidup dan godaan dalam mengarungi rumah tangga dihadapi dengan kebersihan hati 2. Busana bernuansa warna merah Merah adalah warna yang melambangkan kekuatan, keberanian, dan rasa percaya diri yang tinggi. Merah adalah warna yang mempunyai banyak arti, mulai dari cinta yang menggairahkan sampai kekerasan perang. Warna ini tak cuma mempengaruhi psikologi seseorang, tapi juga fisik. Penelitian menunjukkan, menatap warna merah bisa meningkatkan detak jantung dan membuat kita bernapas lebih cepat. Banyak ragam warna merah yang dipakai sebagai dresscode, misalnya kebaya merah, jersey tim sepak bola Manchester United, bahkan baju kebesaran suku Madura garisgaris merah. Warna merah bersifat dinamis dan dramatis. Warna ini pekat dengan keberanian dan keceriaan. Pemakai warna merah merasa terbangkitkan keberanian dan optimisme dalam menghadapi hidup. Warna merah sebagai warna asesoris melambangkan keberanian yang total. Hal ini dilambangkan dengan gambar tengkorak merah pada kalung yang dipakai beberapa anggota. Secara mental, mereka menjadi bertambah berani karena banyak teman yang memakainya. Perasaan senasib sepenanggungan menjadi perekat antar anggota
3. Busana bernuansa warna hitam. Hitam adalah warna kuat, elegan, agung, sophisticated. Hitam punya reputasi buruk. Warna ini dipakai oleh para penjahat di komik atau di film. Hitam juga melambangkan duka dan muram. Di sisi lain, hitam adalah warna abadi, menyatakan sesuatu yang klasik, dan secara universal dianggap sebagai warna yang melangsingkan. Meskipun warna ini berkesan kotor, kusam, tapi banyak sekali penyuka warna ini. Kesan kuat, agung, sekaligus seksi, sangat melekat di warna ini. Warna hitam bersifat lentur, mudah dikombinasikan dengan warna lain, dan aksesori jenis apapun. Anggota merasa bahwa dengan memakai warna ini akan merasa tenang, dominan, dan berani menghadapi hidup. Hitam juga identik dengan maskulinitas, keperkasaan, ketangguhan dan keuletan. Dengan hitam, mereka siap, dan tidak takut menghadapi cobaan apapun 4. Baju Kebaya Kebaya menyimpan nila-nilai filosofi kehidupan yang tinggi. Bentuk kebaya yang sederhana bisa dikatakan sebagai wujud kesederhanaan masyarakat Indonesia. Kebaya melambangkan kepatuhan, kehalusan, dan kelembutan tindak-tanduk seorang wanita. Mengenakan kebaya mampu merubah wanita menjadi seorang yang anggun dan berkepribadian. Tetapi dalam sejarah TheBeauty belum pernah sekalipun memakai kebaya lengkap dengan kain dan setagen yang dibebat di perut. Jenis kebaya yang dipakai pada komunitas ini adalah kebaya semi modern, dengan model yang lebih simpel
dan warna yang lebih beragam. Bahkan pernah kelompok ini memakai atasan kebaya dan bawahan celana jins. Responden mengatakan bahwa hal tersebut sah-sah saja selama filosofi kebaya sebagai salah satu budaya Indonesia masih melekat. Yaitu kepatuhan, kesantunan, semeleh, dan nrimo ing pandum. Dengan feminitas kebaya, anggota tetap dapat menyelesaikan permasalahan hidup, tegar, tidak mudah menyerah 5. Baju Jins Jins adalah busana busana paling universal di dunia. Jins merepresentasikan persamaan status, derajat dan menghilangkan perbedaan. Pakaian dari jins melambangkan kebebasan, casual, santai, dan sporty. Sejarah jins justru dimulai dari pakaian kaum pekerja menengah ke bawah. Jins berkonotasi jelek, berafiliasi dengan geng motor dan kaum hippies (Barnard, 1996, 183). Pada perkembangannya semua strata sosial sangat menyukai jins beraneka warna dan desain. Jins menjadi icon manusia-manusia berjiwa muda dan trendi. Busana jins adalah busana paling sering menjadi dresscode di kelompok TheBeauty. Sifatnya yang ringan, santai, dan mudah didapat adalah penyebab busana ini menjadi busana idola. Baju ini baju “kebangsaan” semua orang. Kesan egaliter yang menempel pada bahan ini adalah alasan utama kenapa semua orang menyukainya. Serius tapi santai melekat pada kostum ini. Dalam menyelesaikan masalah, seringkali rasa putus asa lebih mendominasi. Tetapi berbekal rasa yakin, pelan tapi
pasti, hal-hal penyulit hidup pasti akan teratasi 6. Baju Batik . Batik adalah salah satu baju asli Indonesia yang banyak mengalami metamorfose. Pada jaman dahulu, batik adalah tradisi turun temurun, sehingga dari motif baju batik yang dipakainya dapat dikenali darimana orang tersebut berasal. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini beberapa motif batik tradisional hanya dipakai oleh keluarga kraton Yogyakarta dan Surakarta. Ragam corak dan warna batik banyak dipengaruhi oleh kehidupan seharihari. Corak batik pesisir berbeda dengan batik pedalaman. Batik Jogja lain dengan batik Pekalongan. Warna batik tradisional yang hanya putih, coklat, dan hitam, banyak mengalami perubahan. Batik-batik modern banyak mengekspose warna-warna cerah. Seperti merah, kuning, dan biru. Baju batik yang aslinya berasal dari dalam kraton, membuat pemakai merasa tersanjung. Sebagai orang luar, dianggap sebagai anggota keluarga kraton adalah anugerah yang luar biasa. Pemakai baju ini merasa bahwa batik mampu membuat hati terasa tentram, tidak terburu-buru, tapi tetap optimis menghadapi cobaan hidup. Batik tetap sebagai representasi kostum yang elegan, cantik, dan penuh improvisasi. 7. Baju Hippies Hippie sebenarnya adalah gerakan budaya di Amerika Serikat dan Eropa Barat di akhir tahun 1960an. Ketika itu kaum muda menentang kemapanan generasi tua yang semakin materialistis. Mereka juga menentang keinginan
negara yang memaksa untuk menjalani Perang Vietnam. Semboyan mereka adalah “make love not war”. Mereka menginginkan perdamaian. Simbol yang mereka usung adalah gambar bunga, sehingga disebut the flower generation. Waktu itu banyak anak orang kaya yang ingin merasakan menjadi “orang miskin” dengan cara berpakaian seadanya, tumpang tindih, dan semau gue. Dengan cara inilah mereka melakukan protes terhadap kenyataan yang ada. Cara busana mereka yang terlalu seadanya, cenderung compang-camping, dan terkesan kumuh ini justru menjadi daya tarik tersendiri bagi generasi selanjutnya. Hal ini sebagai representasi kebebasan dan aktualisasi kaum muda. Baju hippies adalah representasi hidup yang penuh improvisasi. Teori kehidupan dan praktek berjalan berdampingan PENUTUP Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan hasil peneliian adalah: 1. Aktualisasi diri sebagai kebutuhan pertama manusia, oleh karena itu, perempuan mendatangi arisan dengan memakai dresscode untuk mengaktualisasikan diri. Sarana untuk pembuktian bahwa keberadaan mereka diakui oleh orang lain dan setara dengan para professional yang lain. 2. Dresscode dipakai sebagai penanda identitas, karena merupakan simbol dari individu dan kelompok tertentu. Dengan ber-dresscode, seseorang merasa menjadi anggota kelompok tertentu sehingga dapat menambah rasa percaya diri termasuk dalam mengelola rumah tangga
3. Pemakaian dresscode dapat mempengaruhi kohesivitas antar anggota karena secara psikologis, seringnya berkumpul dan bersamasama memakai busana yang senada makin memperkuat ikatan persaudaraan diantara anggota. 4. Kohesivitas yang tinggi dapat meningkatkan relasi sosial, ekonomi, dan politik antar anggota. Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian di atas, saran yang dapat dijadikan rekomendasi adalah: 1. Meminimalisir hedonisme yang selama ini melingkupi kegiatan yang diadakan oleh kelompok tersebut. Tidak bisa dipungkiri, anggapan bahwa kelompok tersebut adalah kelompok borjuis disebabkan gaya hidup sebagian anggota yang tidak bisa mengendalikan diri dalam pergaulan sosial. Penampilan mencolok yang menjadi identitas sebagian anggota hendaknya diminimalisir. Kualitas anggota hendaknya lebih ditingkatkan. Workshop dan kursus singkat yang sudah sering diadakan, akan lebih baik kalau lebih diperbanyak 2. Memperbanyak frekuensi kegiatan sosial yang selama ini sudah dilakukan. Kegiatan sosial yang biasanya 3 bulan sekali, bisa diperbanyak menjadi 2 bulan sekali Forum diskusi kecil ditingkatkan dengan mengundang pakar yang kompeten. Mini workshop perlu segera direalisasikan. 3. Membuka keanggotaan untuk masyarakat yang lebih luas. Tidak hanya untuk lingkunngan terbatas saja, supaya memperluas jaringan daan relasi bisnis, sosial, dan politis. Semakin banyak anggotanya, semakin populis kelompok ini. 4. Dresscode tidak dijadikan sebagai satu-satunya patokan eksklusivitas.
Kompetensi dan profesionalisme harus lebih diutamakan. Manfaat dari terbentuknya kelompok ini harus lebih ditingkatkan. baik dari segi personal maupun kelompok. Kajian semotik yang diteliti hendaknya dapat diambil manfaat sebesar-besarnya. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, 2010,Manajemen Penelitian, edisi Revisi, Jakarta, Rineka Cipta Lull, James 2000, Media, Komunikasi, Kebudayaan : Suatu Pendekatan Global, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia Moleong, L. J., (2011), Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Cetakan Keduapuluh sembilan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Moelyana, Deddy, 2009, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, PT Remaja Rosda Karya Moelyana, Deddy, ,2007, Komunikasi Suatu Pengantar, Edisi Revisi, Bandung, PT Remaja Rosda Karya Rahmat, Jalaludin, 2005, Psikologi Komunikasi, edisi revisi, Bandung, Remaja Roosda Karya Storey, John, 2006, Pengantar Komprehensif Teori dan Metode:Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop,Edisi Terjemahan, Cetakan 1,Yogyakarta, Jalasutra