ISBN : 978 – 602 – 96622 – 1 – 4
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN FISIKA DAN FISIKA 2010 “Problematika Pendidikan Indonesia dan Perkembangan Fisika Akan Datang”
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA 2010
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN FISIKA DAN FISIKA
“PROBLEMATIKA PENDIDIKAN INDONESIA DAN PERKEMBANGAN FISIKA AKAN DATANG”
Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
i
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN FISIKA DAN FISIKA “Problematika Pendidikan Indonesia dan Perkembangan Fisika Akan Datang”
Hak Cipta Dilindung Undang-Undang © all right reserved 2010
Penyunting Dr. Moh. Toifur, M.Si. Drs. Ishafit, M.Si.
Design Cover Ngadimin Setting – layout Toni Kus Indratno
ISBN: 978 – 602 – 96622 – 1 – 4
Penerbit HMPS Pendidikan Fisika Universitas Ahmad Dahlan Jln. Prof. Dr. Soepomo, Janturan, Yogyakarta e-mail :
[email protected] http://www.pf.uad.ac.id/
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Isi diluar tanggung jawab percetakan ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................
i
HALAMAN ..............................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ...............................................................................................
iii
DAFTAR ISI .............................................................................................................
iv
CERAMAH UMUM FISIKA : “TINJAUAN PERKEMBANGAN DAN KEHIDUPAN SOSIAL” Ridwan, Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional ........ 1
MAKALAH-MAKALAH YANG DISAJIKAN A. RESEARCH ON ANALYTICAL STUDY FOR LOW BETA AND ISOTHERMAL CORONAL MAGNETIC ARCADE TO PROVIDE INITIAL MHD SIMULATION IN LAPAN WATUKOSEK 2010 : WARNINGS TO HELMET STREAMER FORMATION Bambang Setiahadi, LAPAN ................................................................................ 17
B. ANALYSIS OF LARGE MAGNETIC STORMS ASSOCIATED TO SHOCKS OF SOLAR WIND L. Muhammad Musafar K., LAPAN ................................................................... 25
C. EFFECTS OF FAST FORWARD SHOCKS TO THE LOW LATITUDE MAGNETIC FIELD VARIATIONS L. Muhammad Musafar K., LAPAN ................................................................... 34
D. EXTRACTION OF SUNSPOT GROUPS FROM THE SOHO FULL-DISK IMAGES TO STUDY SUNSPOT ACTIVITY Bachtiar Anwar, LAPAN ...................................................................................... 40
E. STUDI ANALITIK DAN KOMPUTASIONAL KESEGARISAN BENDA-BENDA TATA SURYA (Analytical
DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONDISI FISIS BUMI
and
Computational
Study
its Effects on Earth)
iii
of
Planets
Alignment
and
Rina Dewi Mayasari, Ibnu Jihad, Rafika Sari, M. Irsyad Ismi, Irkham Huda, M.F. Rosyid, Universitas Gadjah Mada .................................................................. 50
F. OPTIMASI SISTEM ELEKTROOSMOSIS DENGAN VARIASI POLA PULSA PADA PROSES PENGURANGAN KANDUNGAN AIR UNTUK PELESTARIAN CAGAR BUDAYA (Optimization of Electro-osmosis System with Pulse Pattern Variation in Dehydrating Process for Preservation of Cultural Heritage) Akrom Khasani, Ar Rohim, Detiza Goldianto, Octensi Hernowo, Didik Nur Huda, Universitas Gadjah Mada ............................................................................. 66
G. PENGUKURAN KONSENTRASI GAS ETILEN PADA BENIH KEDELAI MENGGUNAKAN TEKNIK SPEKTROSKOPI FOTOAKUSTIK (The Measuring Of Ethylene Concentration of Soybean Seedlings Using Photoacoustic Spectroscopy Technique ) Rudyanto, Universitas Sanata Dharma ................................................................... 73
H. PENGARUH
WAKTU
KARAKTERISTIK
KARBONASI
PEMBAKARAN
DAN
DIMENSI
BIOBRIKET
TERHADAP
DARI
LIMBAH
PENGGILINGAN PADI (SEKAM) (The Effect of Carbonation Duration to the Burning Characteristics of Biobricket From Chaff) Laifa Rahmawati, Rizky Stiyabudi, Christin Lita Agustiani, Universitas Negeri Yogyakarta .............................................................................................................. 89
I. PERANAN PENDIDIKAN DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN BAGI KESEJAHTERAAN MANUSIA (The Role of Education in Increasing the Quality of Education for Human Welfare) Nur Hidayah, Universitas Ahmad Dahlan .............................................................. 97
J. UPAYA MENINGKATKAN
MINAT DAN PRESTASI BELAJAR
FISIKA
MELALUI METODE PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE (TTW) (The Effort to Improve Achievement and Interest Physical Learning Through Think Talk Write (TTW)) Hidayati, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa...................................................106
iv
K. PERANAN KELOMPOK DALAM MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF JIGSAW DAN STAD (STUDENT TEAM ACHIEVMENT DIVISION) DITINJAU DARI PRESTASI BELAJAR POKOK BAHASAN GERAK LURUS PADA SISWA KELAS VII SMP MUHAMMADIYAH 4 YOGYAKARTA (Role Model in Group Cooperative Learning Jigsaw And Stad (Achievment Student Team Division) Viewed From The Review of Learning Achievement on Student's Motion Straight Class VII Junior Muhammadiyah 4 Yogyakarta ) Betha Ugahari, Supriyadi, Dian Artha Kusumaningtyas, Pendidikan Fisika Universitas Ahmad Dahlan ................................................................................... 129
L. PENTINGNYA PEMANFAATAN PERMAINAN TRADISIONAL SEBAGAI MEDIA ALTERNATIF DALAM PEMBELAJARAN FISIKA
(The Importance of use of
Traditional Games as Alternative Media in Physics Learning ) Bella Nurfadilah, Adhani Prima Syarafina, M. Reza Primadi, Sri Maiyena, Pendidikan Fisika Universitas Ahmad Dahlan ...................................................... 140
v
KATA PENGANTAR Assalamualaikum W. W.
Alhamdulillah, dengan rahmat Allah SWT, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika dengan tema Problematika Pendidikan Indonesia Dan Perkembangan Fisika Akan Datang telah disusun.
Seminar ini diselenggarakan dengan tujuan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap permasalahan pendidikan di Indonesia, memberikan masukan untuk perbaikan sistem pendidikan di sekolah, khususnya dalam bidang Fisika dan menjadi sarana promosi dalam rangka meningkatkan daya tarik Fisika di tengah-tengah masyarakat.
Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan prosiding ini, kami juga mengharap kritik dan saran untuk penyempurnaan dimasa yang akan datang.
Wassalamualaikum W. W.
Yogyakarta,
Mei 2010
Dian Artha Kusumaningtyas, M.Pd.Si.
vi
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Fisika : “Tinjauan Perkembangan dan Kehidupan Sosial” Ridwan Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional Kawasan PUSPIPTEK, Serpong 15314 Tangerang e-mail :
[email protected]
Abstrak. Fisika adalah salah satu cabang dari ilmu dasar (basic science) yang membahas tentang fenomena alam berdasarkan data-data hasil pengamatan untuk dapat menjelaskan bagaimana alam ‘bekerja’. Makalah ini sebagian merupakan studi literatur mengenai perkembangan fisika dari sejak zaman Yunani kuno, yang ikuti dengan pembahasan tentang penguasaan Muslim Arab terhadap science dan technology. Tinjauan mengenai perkembangan fisika dimasa depan dibahas dengan mengaitkan pada kemajuan di bidang nanoscience dan nanotechnology terutama dalam ruang lingkup magnetisme. Kepekaan fisikawan terhadap kehidupannya ditantang dengan mengambil contoh respons Mimosa pudica terhadap gangguan dari luar. Relevansi fisika terhadap fenomena kehidupan sosial telah dicoba juga dikaitkan dengan perubahan sifat bahan setelah mengalami perlakuan mekanik. Kata kunci : Fisika, sejarah, kehidupan sosial, nanoscience dan nanotechnology, magnetisme
I.
Pendahuluan Fisika dalam bentuk keilmuan berkembang dari suatu cabang ilmu filsafat,
philosophy dan physics yang dalam bahasa Yunani ditulis φύσις dibaca physis yang berarti alam, nature sehingga sering disebut sebagai filsafat mengenai alam (natural philosophy), yakni sesuatu bidang study yang berkaitan dengan bagaimana alam ini bekerja. Sehingga pemahaman yang mendasar mengenai hubungan antara penyebab (cause) dan akibat (effect) adalah kunci untuk memecahkan segala permasalahan dalam fisika [1]. Sebagai contoh, pertanyaan mengenai “mengapa air mendidih?’. Jika suatu wajan berisi air diletakkan di atas tungku dan seseorang menyalakan apinya, maka hal ini dapat dipandang sebagai penyebab air mendidih. Namun apabila diperhatikan lebih mendalam lagi, air dapat juga mendidih apabila tekanan atmosfir sekitar air diturunkan. Selain itu faktor gravitasi juga menentukan sehingga air tetap berada di dalam wajan dan temperatur air itu sendiri juga ikut merupakan faktor penentu. Sehingga dalam usaha kita untuk menjelaskan suatu kejadian fenomena alam, maka kita harus benar-benar memperhatikan tidak hanya yang mudah terlihat juga hal-hal lain yang bersifat abstrak. Pemisahan yang lebih
1
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
gamblang mengenai penyebab dan akibat ini adalah seperti terlihat pada kasus mekanika Newton, gaya yang bekerja pada suatu benda merepresentasikan penyebab dan percepatan adalah menyatakan akibat seperti secara kuantitatif dijelaskan oleh hukum ke-dua Newton. Namun demikian dalam penentuan faktor penyebab dan akibat untuk suatu keadaan ditinjau dengan teori fisika yang berbeda mungkin saja tidak sama. Sehingga untuk menentukan apa yang disebut sebagai penyebab dan apa yang disebut akibat sangat bergantung pada keadaan keseluruhan dari sistem yang ditinjau [2]. Walaupun dalam kenyataan banyak sekali kita temukan individu-individu yang berpikir praktis dan tidak dapat membedakan penyebab dan akibat, yakni lebih mementingkan memperoleh “hasil” tanpa berupaya untuk memenuhi terlebih dahulu kondisi-kondisi yang diperlukan agar apa yang diharapkan tercapai. Sehingga banyaklah kasus-kasus berkaitan dengan “pajak’/markus yang saat ini marak dibicarakan orang.
II.
Sejarah Fisika Seperti telah disinggung di depan, bahwa fisika adalah suatu ilmu dasar yang
membahas tentang bagaimana alam ini bekerja. Pemahaman mengenai kejadian di alam terlepas dari pengaruh “supernatural” telah dimulai sejak periode Achaic di Yunani ( 650 SM - 480SM ) yakni pre-filosof Socratic. Salah satunya Filosof Thales (abad ke-7 dan ke-6 SM) , kemudian disebut sebagai “Father of Science” karena telah mengenyampingkan aspek-aspek supernatural, kepercayaan dan mistik untuk menjelaskan fenomena alam yang terjadi, yang menyatakan bahwa setiap sesuatu pasti ada faktor penyebabnya yang dapat diterima secara logika [3]. Aristotle (384SM - 322SM) seorang murid dari Plato, mengenalkan suatu konsep tentang hubungan bahwa pengamatan mengenai suatu fenomena fisika dapat melahirkan suatu hukum alam bagaimana fenomena tersebut terjadi. Aristotle adalah orang pertama yang menulis hasil kerjanya yang dapat digolongkan sebagai hasil study dari fisika (Fisika Aristotle) [4]. Dari sejak itu berkembang banyak cabang ilmu pengetahuan yang mencoba untuk menjelaskan fenomena alam, seperti mengenai sistem matahari serta peredaran planet bumi dengan matahari sebagai titik pusat. Teori fisika terus berkembang dengan waktu mulai dari era klasik hingga masuk pada periode fisika modern. Ketersedian fasilitas analitik yang semakin canggih saat ini, maka membuka peluang yang sangat besar atau boleh dikatakan tak terbatas di bidang fisika untuk menelaah prinsip universal terkait dengan gerak, energi, dan hal lain yang sangat mendasar mengenai fenomena alam.
2
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Menjelang abad ke-21 ini, prinsip-prinsip fisika semakin luas teraplikasikan dalam bidangbidang kelistrikan, areospace, dan materials engineering.
III. Perkembangan Fisika Dalam Dunia Islam [5] Membahas perkembangan Fisika dari sisi Islam di Indonesia sangat relevan, selain karena sebahagian besar masyarakatnya pemeluk Islam, namun yang jauh lebih penting lagi Islam mewajibkan pemeluknya untuk mengejar ilmu pengetahuan. Sebagaimana Firman Allah mengatakan :
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S 17:36) Seperti telah disinggung di depan, ilmu fisika sepenuhnya berlandaskan percobaan dan pengukuran yang akurat guna dapat diturunkan kaedah (hukum-hukum) dan teori untuk menjelaskan fenomena alam yang selanjutnya digunakan untuk kemasalahatan umat manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa fisika menolong kita untuk memahami dunia di sekeliling kita, selain fisika itu sendiri merupakan fondasi dari ilmu ketekhnikan (technological science). Penjelasan fisika terhadap suatu fenomena alam haruslah bersandar pada logika, bukan sesuatu bersifat supernatural ataupun mistik, sangat sesuai dengan Islam. Muslim Arab mulai memperdalam fisika sejak mereka menterjemahkan buku dari Aristotle berjudul “Physics” dan “Spiritual Tricks and Weight Lifting” serta literatur lain dari Archimedes, Hayron dan mengembangkan teori-teori tersebut dan ide-ide mekanik yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan bangsa Yunani yang menekankan pada halhal yang bersifat abstrak filosofis, ilmuwan bangsa Muslim Arab mengandalkan pada percobaan (experimentation) dan mengadopsi metode ilmiah dalam penelitiannya serta mengembangkannya. Bersandarkan pada kemampuan riset terapan, mereka benar-benar dapat memahami bagaimana suatu kaedah ilmiah bekerja sehingga mereka dapat bergerak maju dan kreatif di bidang fisika, kimia, kesehatan dan obat-obatan dan berbagai bidang keilmuan lainnya. Kemampuan yang sangat menonjol dari cendekiawan muslim adalah penguasaan sistem penunjuk arah dan penentuan waktu serta optik. Arah dan waktu merupakan secara eksplisit di sebutkan di Al-Quran, yakni berkaitan dengan penentuan arah kiblat (Q.S. 2:115,142,150) dan waktu-waktu sholat (Q.S. 17:6, :30:18). Oleh sebab itu sangat
3
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
beralasan mengapa pengembangan peralatan untuk penentuan arah menjadi sangat menonjol. Sejarah mencatat di bidang Astronomi, cendekiawan Muslim telah menemukan banyak peralatan untuk menentukan posisi benda-benda langit, navigasi diantaranya oleh al Khawarismy. Demikian juga peralatan penunjuk waktu, cendekiawan muslim Abdul Hassan Ali adalah yang pertama melaporkan secara detail bagaimana bekerjanya sistem penunjukkan waktu dan sistem penanggalan. Arah dan waktu seperti kita ketahui merupakan satuan besaran yang sangat penting di dalam fisika, terutama dalam eksperimen fisika. Penutup pada bagian ini dapatlah ditarik pelajaran, bahwa penguasaan bidang fisika eksperimen yang ditunjukkan oleh cedekiawan Muslim pada beberapa dekade yang lalu karena mereka mendalami secara utuh ilmu yang terkandung di dalam Al Qur’an dan berusaha untuk dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sangat sesuai dengan fisika yang mengandalkan pada unsur logika, eksperimen dan analisa serta perumusan terhadap fenomena yang diamati.
IV. Perkembangan Fisika Penelusuran mengenai perkembangan awal Fisika di Indonesia cukup sulit. Banyak alasan mengapa kita sulit menemukan literatur tersebut diantaranya sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kita sangat malas untuk menulis, apalagi materi yang akan ditulis cukup meminta pemikiran. Selain itu Fisika dan juga ilmu-ilmu dasar lainnya belum menjadi primadona di banding bidang ilmu keteknikan dan lainnya. Di awal tahun ’80-an untuk menarik siswa berprestasi untuk masuk ke jurusan IPA (ITB,UI,UGM) harus diimingi dengan tanpa tes masuk serta diberikan beasiswa jurusan langka (BJLK). Baru pada tahun ‘90-an diawali oleh kebijakan Menristek (Prof. Dr. B.J. Habibie) untuk menyiapkan tenaga profesional dengan pemberian beasiswa untuk belajar keluar negeri dari S1 hingga S3, jumlah peminat di bidang ilmu dasar meningkat. Hal ini bersamaan dikembangkannya kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK), Serpong. Di kawasan PUSPIPTEK ini terdapat lembaga penelitian seperti Batan, LIPI, BBPT, Pusarpedal, yang membutuhkan banyak tenaga profesional. Beberapa waktu yang lalu pada suatu media cetak nasional dilansir bahwa data publikasi ilmiah ilmuwan Indonesia menurut Thomson Scientific (2004) pada jurnal internasional hanya sebanyak 522 jauh di bawah Malaysia mencapai 1.428, Thailand (2.397) dan Singapura (5.781). Dari jumlah tersebut yang terkait dengan penelitian fisika akan lebih kecil lagi. Hal ini juga terkait dengan masih rendahnya alokasi dana Pemerintah
4
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
untuk riset, dana R&D untuk tahun anggaran 2010 hanya sebesar Rp1,9 T. Bandingkan dengan dana-dana riset perguruan tinggi di Inggris (lihat Tabel).
Alokasi dana yang rendah tentunya akan sangat berpengaruh pada luaran dari hasil penelitian. Perkembangan yang pesat di bidang nanoscience dan nanotechnology, tidak terlepas dari tersedianya sistem peralatan untuk proses sintesis dan karakterisasi bahan. Untuk uji -9
dan karakterisasi bahan dalam skala nanometer (10 m) dibutuhkan sistem peralatan dengan keakurasian yang tinggi. Sifat-sifat fisika, kimia, kelistrikan dan kemagnetan bahan dalam ukuran nanometer dapat jauh berbeda di bandingkan bahan yang sama dalam ukuran yang besar (bulk). Jumlah fraksi atom dipermukaan untuk bahan dalam ukuran nano jauh lebih besar dari atom-atom di bagian dalam. Oleh sebab tiu bahan nanostruktur sangat reaktif. Perbandingan benda dilihat dari ukurannya terlihat pada Gambar 1.
5
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
Gambar 1. Perbandingan ukuran partikel nano dengan sel biologi [6]
Penelaahan tentang mekanisme interaksi yang terjadi di dalam bahan dalam ukuran nano juga berbeda untuk bahan dalam ukuran bulk. Interaksi yang terbentuk sangat mungkin melebihi sistem jarak interatomic. Sebagai contoh, peningkatan nilai koersivitas magnet (H ) yang sangat tinggi dalam bahan nanomagnetic tidak memadai dengan ci
menggunakan teori yang telah dikebangkan oleh Stoner-Wohlfarth [7]. Pada waktu ke depan perkembangan penelitian ke arah nanoscience dan nanotechnology sudah mulai masuk ke dalam tahap implementasi. Dengan demikian kerjasama antar beberbagai disiplin keilmuan sangat dibutuhkan. Sebagai contoh, penggunaan bahan partikel nano magnet untuk tujuan aplikasi medis [8,9]. Metode wet chemistry banyak digunakan untuk memperoleh partikel nano magnet, dalam ukuran skala nanometer dengan bentuk yang seragam. Bagaimana mengontrol mekanisme reaksi agar diperoleh hasil akhir yang optimal, maka pengetahuan kimia sangat dibutuhkan, lihat Gambar 2. Namun untuk memahami sifat bahan partikel nano magnet diperlukan penjelasan dari sudut fisika, lihat Gbr. 3 .
6
Gambar 2. Partikel nano
Gambar 3. Kurva hysteresis
magnet Fe3O4 hasil proses
magnet partikel nano magnet
presipitasi [9]
Fe3O4 hasil proses presipitasi [9]
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Apabila partikel nano magnet tersebut akan digunakan sebagai contras agent untuk diagnosa bagian dari tubuh yang terserang tumor, dengan menggunakan metoda Magnetic Resonance Imaging (MRI), maka partikel magnet tersebut haruslah diusahakan tidak menggumpal. Proses penggumpalan pada bahan magnet ini, dapat disebabkan gaya elektrostatik. Untuk itu dibutuhkan bahan pembungkus partikel sehingga terbentuk sistem ferro fluid yang stabil. Bahan pembungkus ini juga haruslah dapat diterima oleh sistem tubuh, kalau tidak akan diterjemahkan sebagai benda asing oleh sistem pertahanan tubuh ataupun bersifat racun. Untuk ini diperlukan pengetahuan ilmu kedokteran dan farmasi, lihat Gbr. 4
Pemanfaatan partikel nano magnet sebagai contrast agent ternyata memberikan perbaikan pada citra dari hasil scan menggunakan MRI. Hal ini dapat diperoleh dengan memberikan pengaruh terhadap waktu relaksasi magnetisasi mikroskopik ( T1 dan atau T2) dari proton (H) dalam medan magnet (B), setelah mendapat diekspos dengan gelombang RF [13]. Keuntungan lain dalam pemanfaatan bahan partikel nano magnet untuk tujuan medis selain pada tahap diagnosa juga pada tahap terapi. Pada permukaan bahan partikel nano magnet dapat dicangkokkan senyawa kimia lain yang berfungsi untuk menyembuhkan sel-sel yang rusak (drug delivery), karena bahan bersifat magnet maka obat yang dimasukkan dapat diarahkan hanya pada sel-sel tubuh yang tidak sehat saja. Sehingga metode terapi menggunakan bahan partikel nano magnet ini menjadi lebih efisien dibandingkan dengan metode chemotraphy, karena efek samping dari terapi yang digunakan menjadi sangat terbatas. Sehingga pada saat ini proses fungsionalisasi
7
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
permukaan partikel nano merupakan salah satu topik yang banyak dibahas. Kombinasi berbagai gugus fungsional yang dicangkokkan pada permukaan partikel nano magnet, menyebabkan bahan ini dapat berfungsi sekaligus sebagai sensor, bioctalysis, targeted infection, magnetic resonance imaging, drug delivery dsb.[14], lihat Gambar 6.
Seperti terlihat pada Gbr. 2 dan 3, partikel nano magnet bersifat superparamagnetik artinya bahan ini akan bersifat magnet hanya selama dibawah pengaruh medan magnet luar. Dalam ukuran nanometer, bahan magnet dapat mendekati kondisi domain tunggal. Pada keadaan demikian momen magnet partikel secara keseluruhan bebas untuk bergerak di bawah pengaruh termal, namun momen magnet atom secara individual tetap dalam keadaan relatif teratur satu sama lain [15]. Fenomena superparamagnetik yang terbentuk pada bahan magnet dalam ukuran nanometer (domain tunggal) dapat dijelaskan dengan model Néel-Brown yang secara eksperimen teramati bahwa pembalikan magnetisasi (magnetization reversal) terjadi bila energi termal aktivasi lebih besar dari energi ambang yang dibutuhkan untuk pembalikan spin momen magnet, dimana energi aktivasi secara eksperimen terukur sama dengan volume partikel dalam rentang 15-30 nm [16]. Namun dalam pemanfaatan bahan superparamagnet untuk tujuan medis, paramater yang penting dipertimbangkan adalah waktu relaksasi, τ dari magnetisasi total partikel terhadap waktu pengamatan τ . Apabila τ « τ maka partikel nampak seolah-olah bersifat paramagnet. Jika m
m
τ » τ pembalikan momen spin magnet terlihat lambat sehingga nampak seakan-akan m
2
dalam keadaan statis. Oleh sebab itu dalam banyak eksperimen τ dipilih sekitar 10 detik m
-1
-5
untuk magnetisasi menggunakan DC dan 10 -10 detik untuk suseptibilitas AC [8]. Magnetisasi setiap bahan ferromagnet, antiferromagnet, termasuk ferrimagnetik dapat berubah terhadap pengaruh medan magnet luar (applied field), mengikuti suatu bentuk loop tertutup (M-H) berupa kurva histeresis. Untuk itu dibutuhkan energi yang
8
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
cukup untuk menggerakkan domain wall, yang berasal dari anisotopi intrinsik dan ketidakteraturan struktur mikro serta batas butir di dalam bahan. Besar energi yang berasal dari medan magnetisasi ini tercermin dari luas daerah yang dibatasi oleh kurva histeresis. Oleh sebab itu apabila pada bahan ferromagnet ataupun ferrimagnet dikenakan suatu medan magnet yang bervariasi terhadap waktu, maka energi yang diterima bahan magnet ini akan diubah menjadi suatu energi termal. Energi termal dapat berasal dari a) magnetic losses terkait pergerakan domain wall (di dalam sistem multi-domain particles) yang disebut Néel losses; dan b) energy loss akibat rotasi mekanik partikel, melawan gaya viscous dari media cairan (Brown losses) [17,18]. Prinsip bahwa energi magnet dapat diubah menjadi energi termal ini yang kemudian dimanfaatkan dalam terapi medik dengan perlakuan hyperthermia. Disini partikel nano magnet diarahkan pada bagian tubuh yang terserang tumor, kemudian secara eksternal diberikan medan magnet bolak-balik. Energi termal yang dihasilkan dapat mencapai suhu yang cukup untuk menghentikan pertumbuhan sel-sel tumor [19]. Metode hyperthermia ini lebih baik dibandingkan dengan menggunakan teknik penyinaran menggunakan radioisotop, karena partikel magnet hanya terlokalisasi pada tumor, lihat Gbr.7 Modifikasi permukaan partikel nano magnet dengan komponen bahan yang dapat berinteraksi secara spesifik terhadap sel biologis, memberikan kemungkinan untuk dapat memisahkan sel-sel yang terinfeksi di dalam cairan tubuh dengan metode separasi. Partikel nano magnet yang telah dimodifikasi
permukaannya
dengan
gugus
molekul yang dapat mengikat sel-sel yang terinfeksi dapat dipisahkan dari sel-sel yang masih sehat. Metode ini sangat efisien karena partikel
magnet
ini
dapat
digunakan
kembali
setelah
dilakukan
pencucian.
Pemisahan sel terinfeksi dengan sistem penyaringan mekanik dipandang kurang praktis dan mahal. Karena saringan akan sangat sulit untuk dibersihkan dan sangat mudah rusak, lihat Gambar 8 [8].
9
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
Sistem separator magnet ini juga dapat digunakan untuk memisahkan unsur polutan dari limbah cair dari industri, misalnya limbah industri tekstil
yang
banyak
mengandung
zat
warna,
electroplatting yang banyak mengandung logam, bahkan dapat juga digunakan untuk pengambilan kembali unsur-unsur logam berharga hasil proses penambangan.
Hal
ini
dilakukan
dengan
memodifikasi permukaan nano partikel magnet dengan bahan yang bersifat adsorbent [20]. Prinsip fisika dalam bidang magnet dapat terlihat juga dalam proses penyerapan gelombang elektromagnet dalam banhan anti RADAR. Penyerapan/pelemahan energi gelombang pendek berkaitan dengan dielectric loss dan/ atau magnetic loss dari bahan absorber. Dielectric loss berhubungan dengan komponen imajiner dari permitivitas kompleks terkait medan listrik, E dan magnetic loss terdapat pada komponen imajiner permeablitas dan terkait dengan medan magnetik, H. Oleh sebab itu bahan penyerap gelombang pendek yang baik adalah yang mempunyai permeabilitas magnet dan konstanta dielektrik yang tinggi. Hal ini dapat ditempuh dengan membuat suatu susunan lapisan
10
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ferro atau ferrimagnet di atas bahan bersifat konduktor atau berupa sistem komposit, seperti terdapat pada pesawat tempur AS, stealth. Sistem absorbsi yang mengandalkan dielectric loss umumnya tebal, dan bersifat penghantar listrik. Sehingga berpotensi menyebabkan hubungan pendek bila ditempatkan dekat rangkaian RF, radio frequency. Sedangkan bahan absorber magnet lebih tipis karena kompoen riil dari permitivitas dan permeabilitasnya yang tinggi. Bahan ferromagnet atau ferrimagnet yang mempunyai damping factor (α) dan saturasi magnet (M ) yang besar dapat berfungsi sebagai absorber s
yang baik, sesuai dengan model magnetisasi Landau-Lifshitz-Gilbert (LLG)[210]. Penerapan prinsip-prinsip fisika yang spektakuler adalah dalam usaha mewujudkan pembangkit energi dengan fusi nuklir. Beberapa data menunjukkan bahwa persediaan energi dunia berasal dari bahan bakar fosil total (minyak bumi, gas, batu bara) paling lama 220
tahun,
itupun
tergantung
pada
perkembangan kebutuhan dunia yang saat ini terus meningkat. Sehingga persediaan energi sangat mungkin semakin pendek. Oleh sebab itu
sumber
energi alternatif
merupakan
jaminan itu untuk keberlangsungan umat manusia. Fusi nuklir merupakan solusi yang ideal, karena besarnya energi yang dapat dihasilkan
dan
tanpa
effek
lingkungan.
Sebagai contoh untuk mendapatkan listrik 1 GW/hari maka PLTB mengkonsumsi batu bara 10.000 ton/hari, sedangkan untuk fusi nuklir hanya membutuhkan 1 kg (D+T)/hari [21]. Peranan magnet dalam sistem fusi nuklir ini, adalah bagaimana mengungkung plasma yang merupakan partikel bermuatan dengan 8
suhu > 10 _C tidak menabrak dinding akselerator [24]. Medan magnet ditimbulkan dari suatu lilitan kawat high temperature superkonduktor (HTS) seperti Bi-Sr-Cu-Ca-O (Bi2223) yang didinginkan dengan Helium. Untuk menjaga sistem plasma tetap dengan kerapatan dan suhu tinggi, maka konfigurasi medan magnet di sekeliling plasma merupakan kombinasi medan magnet toroidal (toroidal magnetic field ) dan juga medan magnet helicoidal. Besar medan magnet yang ditimbulkan oleh sistem lilitan HTS ini adalah sekitar ≈ 13 Tesla, dengan berat total HTS sekitar 500 kg untuk sistem yang di bangun di Massachusetts Institute of Technology (MIT) [25,26].
11
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
V.
ISBN : 978-602-96622-1-4
Fisika dalam Kehidupan Sehari-Hari Seperti telah disinggung di depan, dari sejak zaman Yunani kuno fisika sudah mulai
di ekspolarasi secara intensif. Karena dengan fisika kita dapat memahami bagaimana bekerjanya alam disekitar kita dan kemudian menyusun faktor-faktor berpengaruh dan kemudian memformulasikannya untuk menopang kehidupan. Pemahaman yang mendalam seperti ini dituangkan oleh Eric Drexler dan Chris Peterson [27] dalam bukunya “Unbounding the Future : the Nanotechnology Revolution”, menggambarkan bagaimana teknologi saat ini sangat tidak efisien dan merusak keseimbangan ekosistem dibandingkan dengan bagaimana sistem molecular mechines yang bekerja di dalam tumbuh-tumbuhan yang demikian presisi memproduksi bahagian dari tumbuh-tumbuhan seperti kayu, daun (mungkin saja bunga dan buah), memanfaatkan sumber alam (mineral, sinar matahari) tanpa menghasilkan limbah. Efisiensi yang sangat tinggi terbukti dengan produk yang dihasilkan mempunyai harga yang sangat murah dengan rasa, warna, dan ukuran ideal sesuai struktur tumbuh-tumbuhan. Pemahaman yang mendalam sampai tingkat molecular, menurut Drexler akan mendorong revolusi teknologi dimasa depan. Ini merupakan tantangan.!! Sebagai contoh mungkin kita semua mengetahui tanaman semak ‘Putri Malu’ (Mimosa pudica) yang bereaksi jika mendapat gangguan dari luar. Namun sampai sekarang belum banyak dipahami orang bagaimana mekanisme tanaman tersebut dapat mengenali ‘shock mechanic’ yang diberikan, bagaimana mekanisme kerja ‘sensor’ di dalam tumbuhan tersebut bekerja dan apakah ada pusat kendali yang mengolah informasi yang masuk, masih belum diketahui dengan baik!!! Beberapa penelitian yang telah dilakukan masih terbatas pada senyawa kimia yang terdapat di dalam tumbuhan ini [28]. Namun bagaimana sistem biomolecular di dalam tumbuhan ini bekerja untuk mengatisipasi respons luar masih dalam perdebatan. Mekanisme gerak motorik yang terdapat pada keluarga Mimosa pudica, menjadi titik perhatian apakah relevan dengan apa yang disebut molecular machines oleh Eric Drexler dalam bukunya “Unbounding the Future : the nanotechnology Revolution” tsb, bagaimana proses penjalaran sinyal dan pemrosesannya ini adalah fisika!!!
12
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
VI.
Matematika dan Fisika Fenomena
fisika
tidak
cukup
hanya
deskripsikan,
namun
perlu
untuk
diformulasikan. Dalam bentuk formulasi inilah dibutuhkan bahasa matematika. Oleh sebab itu pemahaman operasi matematika yang berlaku sangat diperlukan apabila agar penyusunan formula yang dilakukan tidak keliru. Lebih jauh lagi matematika walaupun bersifat abstrak namun dapat membuka kemungkinan untuk prediksi sesuatu yang belum dapat dibuktikan karena teknologi untuk itu belum tersedia. Seperti sistem tata surya kita, secara model matematis diturunkan oleh Copernicus [29], dengan mengambil batasan bahwa matahari adalah pusat dari sistem. Penjelajahan matematika kadang-kadang melampaui capaian zamannya, namun menurut Poincaré (29 April 1854 – 17 July 1912) seorang ahli matematika, fisika teori dan seorang philosopher of science, dari Francis bahwa setiap model di dalam matematik haruslah berhubungan dengan alam nyata [30]. Lebih jauh lagi, berdasarkan catatan sejarah tentang kemajuan yang telah dicapai Muslim Arab dengan menterjemahkan abstraksi fenomena fisis dari filsuf Yunani kuno ke dalam suatu formula berupa rumus-rumus fisika adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri. Aljabar (algebra) tidak lain adalah salah satu karya dari Muhammad ibn Mūsā alKhwārizmī (780-850) seorang cendikiawan Muslim [31]
VII.
Relevansi Fisika dengan Pola Kehidupan Sosial Karena hukum-hukum fisika bersifat universal, maka apakah fenomena fisika dapat
diberlakukan pada kehidupan sosial manusia. Tinjau bagaimana struktur kristal suatu bahan, yang secara sederhana seperti terlihat pada Gambar. 14. Walaupun terdiri dari bermacam-macam atom (warna berbeda), namun tersusun mengikuti aturan tertentu. Kondisi seperti ini ekivalen dengan kondisi masyarakat, terdiri dari berbagai suku, agama, status sosial dsb. Namun apabila semua tunduk pada aturan hukum yang berlaku maka akan terwujud suatu kristal harapan yang indah. Namun demikian fisika selalu tertarik dengan kondisi dinamis, yakni dengan memberikan gangguan (pertubasi) misalnya menaikkan suhu, substitusi dan intertisi atom atau memberikan medan (listrik atau magnet), tekanan maupun tarikan. Sebelum hal ini dilakukan maka haruslah dengan seksama dipahami karakter dari masing-masing atom atau molekul di dalam struktur kristalnya. Artinya, sebelum ditetapkan suatu kebijakan menyangkut masyarakat, maka pengambil keputusan sudah melakukan riset yang
13
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
mendalam mengenai struktur sosial masyarakatnya. Jika para pemimpin sudah benar-benar menguasai struktur masyarakatnya, maka tidak perlu ragu-ragu menerapkan kebijakan yang walaupun pada awalnya menyebabkan kegoncangan sosial. Kondisi demikian mungkin sangat relevan dengan eksperimen modifikasi sifat bahan magnet hexaferrite, BaO.6Fe O dengan metoda hig energy milling [33], lihat Gambar 15 dan 16. 2
3
Pada Gambar 15, jelas terlihat bahwa struktur kristal bahan magnet hexaferrite, BaO. 6Fe O mengalami deformasi namun tidak berupa fasa setelah mendapat perlakuan 2
3
mekanik (milling selama 30 jam), terlihat juga sifat magnet setelah milling juga menurun, Gambar 16. Namun setelah dilakukan re-annealing pada suhu 1000_C/3jam, struktur kristal kembali tersusun namun dengan ukuran kristalit yang lebih kecil. Terlihat dari kurva hysteresis sifat magnet bahan hasil re-annealing semakin baik dibandingkan tanpa perlakuan ditandai oleh nilai koersivitas magnet intrinsik (H ) meningkat hampir 2 (dua) ci
kali lebih besar dari bahan tanpa perlakuan. Dari eksperimen ini mungkin dapat ditarik pelajaran, bahwa kebijakan apapun yang diambil mungkin pada awalnya akan menyebabkan distorsi dimasyarakat, namun apabila ada trigger yang tepat maka hasil akhir yang diperoleh akan jauh lebih baik dari kondisi awal. Parameter apa saja yang berpengaruh dapat ditentukan dengan menganalisa data-data hasil pengukuran yang dilakukan, menggunakan formulasi yang tepat. Sebagai contoh untuk kasus ini telah dianalisa dengan menggunakan metoda Jiles-Atherton [34,35], yang disusun dalam perangkat lunak komputer maka parameter yang berpengaruh dapat ditentukan. Oleh sebab itu pendekatan fisika mungkin dapat digunakan untuk mencari solusi dalam mengatasi problema sosial dengan ongkos yang murah dengan parameter yang terukur, karena fisika juga merupakan bagian dari budaya [36]. Sehingga sebelum suatu kebijakan besar diterapkan, maka perlu dilakukan terlebih dahulu suatu proses simulasi dan eksperimen terbatas dan ini adalah salah satu cara fisika dalam mempelajari fenomena alam semesta.
VIII. Penutup Pembahasan fisika dalam tulisan ini terasa masih sangat terbatas dan bersifat umum, karena pembahasan fisika tidak lain adalah membahas bagaimana hubungan antara manusia dengan alam sekelilingnya. Pemahaman fisika tidak cukup hanya pada tataran filosofi, namun yang lebih penting lagi adalah implementasinya agar terwujud suatu tatanan kehidupan yang seimbang dengan alam sekitarnya.
14
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Daftar Pustaka 1. http://en.wikipedia.org/wiki/Hystory_of_physics 2. http://en.wikipedia.org/wiki/causality_(physics) 3. http://en.wikipedia.org/wiki/Archaic_Greece 4. http://en.wikipedia.org/wiki/Aristotelian_physics 5. http://english.islamstory.com/article 6. http://www.pharmainfo.net/reviews/nanomedical-devices-overview 7. Stoner, E. C., and Wohlfarth, E. P., A mechnism of magnetic hysteresis in heterogeneous alloys, Philos. Trans. R. Soc. London. Ser., A240, 1949 8. Pankhurst,Q.A, Connoly,J.,Jones,S.K.,and Dobson,J., Applications of Magnetic Nanoparticles in Bio-medicine, J.Phys. D:Appl. Phys.36,2003,R167-R181 9. Pankhurst,Q.A, Thanh,N.K.T., Jones,S.K.,and Dobson, J., Progress Applications of Magnetic Nano-particles in Biomedicine, J.Phys. D:Appl.Phys.42, (2009) 15pp 10. Grace Tj. Sulungbudi, Mujamilah dan Ridwan, Variasi Komposisi Fe (II)/Fe(III) pada Proses Sintesis Spion dengan metode Prepitasi, Jurnal Sains Materi Indonesia,volume 8, No. 1, Oktober 2006, hal 31-34 11. Mc Neil, J. Leuk. Biol., 78, pp. 585-594 12. Hyon Bin Na, et al., Advanced Materials, Vol 21, 21,(2009) 2133-2148 13. http://www.biac.duke.edu/education/courses/fall05/fmri/handouts/2005_Week2_Basic Physics_files/frame.htm 14. Berry, C.C., Progress Functionalisation of Magnetic Nanoparticles for Applications in Biomedicine, J. Phys. D: Appl. Phys.42(2009) 9pp 15. Willard, M.A., Kurihara, L.K., Carpenter, E.E., Calvin, S., and Harris, V.G., Chemically Prepared Magnetic Nanoparticles, International Materials Reviews, Vol.49,No.3-4(2004) 125-170 16. Wernsdorfer,W.,Bonet Orozco,E., Hasselbach, K.,Benoit,A., Barbara,B., Demoncy,N., Loiseu,A., Pascard,H., and Mailly,D., Experimental Evidence of The Neel-Brown Model of Magnetization Reversal, Physc. Rev. Lettr. Vol. 78, number 9(1997)17911794 17. Andreas Jordan, Regina Scholz, Peter Wust, Horst Fahling, Roland Felix, Magnetic Fluid Hyperthermia (MFH): Cancer Treatment with AC Magnetic Field Induced Excitation Biocompatible Superparamagnetic Nanoparticles, J. Magn. Magn. Mater 122(1993)374
15
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
18. Hilger,I., Hergt,R., and Kaiser,W.A., Use of Magnetic Nanoparticle Heating in the Treatment of Breast Cancer, IEE Proc. Nanobiotechnol.,Vol. 152,No. 1,2005,33-39 19. Andreas Jordan, et.al, J. Magn. Mag. Mater.225(2001) 118-126 20. Ridwan dan Azwar Manaf, Riset dan Pengembangan Nanopartikel Magnetik untuk Pengolahan Limbah Cair, di Presentasikan dalam Seminar Nasional Magnet2009, 11 November 2009. 21. Ramprecht, J.,Sjoberg,D., Biased Magnetic Materials in RAM Applications, Progress In Electromagnetics Research, PIER 75,2007,85-117 22. Vandenplas, Controlled Magnetic Nuclear Fusion, www.kbr.be/~capas/Propos/ Controlled_Fusion.pdf 23. http://www-fusion-magnetique.cea.fr/gb/accueil/ index.htm 24. Garabedian, P.R., McFadden, G.B., Design of the DEMO Fusion Reactor Following ITER, J. Res. Natl. Inst. Stand. Technol. 114(2009) 229-236 25. Salisbury, W.W., Scottsdale, Ariz, Magnetic Confinement Nuclear Energy Generator, US Patent, Number 4,618,470. 1987 26. www.phys.washington.edu/users/sharpe/486/pasko_f.pdf 27. Eric Drexler and Chris Peterson, Unbounding the Future : the Nanotechnology Revolution, William Morrow and Company, Inc, New York, 1991 28. Minoru Ueda,et al., Int. J. Mol. Sci. (2001),2, 156-164 29. http://scienceworld.wolfram.com/biography/Copernicus.htm
30. http://en.wikipedia.org/wiki/Henri_Poincar%C3%A9 31. http://en.wikipedia.org/wiki/Algebra 32. www.physorg. com/news11433.html 33. Ridwan, Akmal Johan, Mujamilah dan Wisnu AA., Efek High Energy Milling Terhadap
Koersivitas
Magnet
Intrinsik
BaO.6Fe2O3,
Jurnal
Sains
Materi
Indonesia,volume 7, No. 1, Oktober 2005, hal 37-41 34. Jiles, D.C., and Atherton,D.L., J. Magn.Magn.Mater. 61, 48 (1986) 35. Ridwan, Mujamilah, Johan,A.,The Semi-quantitative Study of Magnetization Process on Milling and Reannealing of Barium Hexaferrite (BaO.6Fe2O3), Atom Indonesia Vol. 35, No.2(2009)105-113 36. Stephan Hartmann and Jurgen Mittelstraβ,Physics-Physics Research : Topics, Significance and Prospects, (2002), 195-198
16
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
RESEARCH ON ANALYTICAL STUDY FOR LOW BETA AND ISOTHERMAL CORONAL MAGNETIC ARCADE TO PROVIDE INITIAL MHD SIMULATION IN LAPAN WATUKOSEK 2010: WARNINGS TO HELMET STREAMER FORMATION
Bambang Setiahadi Indonesian National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) Watukosek, Gempol P.O. Box 04, Pasuruan 67155 Fax: 0343-851-887. Tel: 0343-851-569 e-mail:
[email protected]
Abstract. Analytical algebraic solution is innovated by assuming isothermal solar coronal environment. The magnetohydrostatic balance is entered to the physical differential equation that rely on the plasma pressure gradient and the magnetic Lorentz force in equally balance each other. The solution approaches the solar coronal helmet streamer structure in low height corona. This solution may provide further study for dynamical solar corona and solar activity warnings. Keywords: Analytical expressions, low beta isothermal corona, helmet streamer
I.
Introduction The solar corona has physical characteristic such that the magnetic topology and
plasma dynamics meets ideal interactions. This physical situation is kept by high temperature so that material existing in the corona is only sub-atomic structure inhibited by protons and electrons. High temperature and sub-atomic material makes the solar corona behaves as perfect conductor that it is impossible to construct in ground-based laboratory. Analytical study of solar coronal magnetic field topology is important since this study provides analytical initial condition for a magnetohydrodynamics numerical computer simulation (see e.g. Setiahadi, 2005, 2009d) An initial condition of an assumed initial solar coronal magnetic topology has to be assigned correctly before any coronal model disturbance is applied in a magnetostatic initial topology. This paper is not addressed for extensive numerical study; instead it is directed to discuss analytical efforts to have some algebraic expressions for assumed solar coronal environment before any eruption may occur in a coronal magnetic topology. Even though, signs of evolution towards non-equilibrium are also considered as an analytical guide-line
17
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
to any possibilities that a coronal magnetic topology may become lost the magnetostatic equilibrium.
II.
Magnetohydrostatic Balance A magnetohydrostatic environment in solar corona may be constructed from an
equation of magnetohydrodynamics when all dynamical forces are in balanced, or definitively the equation of magnetohydrodynamic momentum transfer attains zero condition (see e.g. Setiahadi, 2007) is expressed below, V . V V 2 V P ( B ) B G 0 t
(2.1)
Where all symbols in equation (2.1) has their usual standard meanings in mathematical physic texts. The equation becomes essentially an equation of magnetohydrostatic differential equation as written below
2 V P ( B) B G 0
(2.2)
Further assumption by considering the magnetostatic solar coronal environment for a relatively low solar corona, one may ignore the first term in equation (2.2) as follow,
2 V 0 ,
(2.3)
Since by our assumption, in magnetohydrostatic coronal environment the velocity vector of plasma motions is approximately zero every where in space under our consideration.
The next assumption we consider is a relatively low solar coronal height may further ignore the gravitational stratification in the magnetohydrostatic differential equation, such that equation (2.3) becomes
P ( B) B 0
(2.4)
Since the last term of equation (2.2) is approximately zero. The over all structure of the solar coronal may be represented by magnetohydrostatic balance differential equation as expressed below,
P ( B ) B or it may be manipulated to attain the expression below,
18
(2.5)
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
1 P B . B B . B 2
(2.6)
The situation may further simplified by assuming that the coronal structure under consideration is in isothermal magnetohydrostatic balance, since from ideal gas relation we have
P T
(2.7)
In isothermal solar coronal situation the temperature is assumed constant everywhere and takes its values to the solar coronal ambient temperature 2 10 6 Kelvin (or
0
K ). So that in a constant temperature one may still have algebraic solutions with
variation on P and in a way that the temperature is kept constant as T P / .
III.
Low Beta Corona Consider next a potential and unsheared arcade evolving in response to changes in
the magnetic flux F , the ambient base pressure Pe 0 , the ambient temperature Te , and the footpoint positions of magnetic field lines, as sketched in Figure 1 in the left side. The magnetic arcade is, in general, in equilibrium under a balance between Lorentz and pressure forces due to equation (2.5), and has magnetic field components (see e.g. Setiahadi, 2009a),
A A ( Bx , By , Bz ) , , Bz ( A) y x
Which are independent of the coordinate
(3.1)
z along the arcade axis, so that equation
(2.5) reduces to the form (e g., Low 1981)
2 A
d 1 2 Bz ( A) P( A) dA 2
(3.2)
The familiar solution is
B x B0 cos lxe ly
B y B0 sin lxe ly
(3.3)
(3.4)
19
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
where A
B0 cos lxe ly l
(3.5)
The arcade is assumed to be bounded by the magnetic flux surface A A0 , which meets the base ( y 0 ) at x x0 such that
cos lx0
A0 l B0
(3.6)
The arcade is contained by an ambient isothermal medium with a plasma pressure P Pe0e y / H
(3.7)
Where
H
P T e G G
(3.8)
is the scale height.
Total pressure balance, the plasma pressure plus magnetic pressure at the interface ( A A0 ) gives Pe 0e y / H
1 2 2ly B0 e 2
(3.9)
So that 2l 1 / H
(3.10)
And Pe 0
1 2 B0 2
(3.11)
For this model the maximum arcade width that is possible is 2 x0
2H l
(3.12)
Or roughly 6 times the external coronal scale height. Adopting a temperature of 106 K, gives a scale height of 50,000km and a maximum arcade width of 300,000 km .
The height ( y0 ) of the arcade is given by putting x 0 x = 0 in equation (3.3) by A0
20
B0 ly 0 e l
(3.13)
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Or, using equations (3.6) and (3.10) to eliminate A0 and l e y 0 /( 2 H ) cos
x0 2H
(3.14)
Thus, as x0 increases from 0 to H , the arcade’s height ( y0 )increases from zero to infinity. We may also inspect the magnetic flux F through the arcade’s base as adopted below
0
F
B sin lxdx 0
x0
B0 A0 l (3.15)
Or after using equation (3.6) and (3.10) to eliminate A0 and l , we have
cos
x0 F 1 2H 2 HB0
(3.16)
Equation (3.16) determines the arcade height and width evolution by three parameters. First is the magnetic flux-growth F on the base. Second is the external base pressure Pe 0 12 B02 . Third is the coronal scale-height H .
IV.
Evolution Toward Eruption Suppose that Pe 0 and H are held constant, while F and the foot point, and
therefore x0 change in such a way that the arcade evolves through a series of equilibriums of the above form. Then, as F increases from 0 to 2HB0 , so x0 increases from 0 to H , while the arcade height y0 increases from 0 to infinity (see figure 1). Thus, there is a maximum possible flux F 2HB0 at which the arcade has erupted to infinity. A second possibility is to keep H and F fixed, while changing Pe 0 and x0 . As the external pressure Pe 0 decreases from infinity to Pe 0 F 2 / 8 H 2 ,so B0 decreases from infinity to F / 2 H , while x0 increases from 0 to H and the arcade height y0 increases from 0 to infinity. In this case a minimum critical external pressure makes the arcade erupt to infinity.
21
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
A third possibility is to keep B0 and F fixed, but to change the external temperature Te , and therefore scale height H together with x0 . For large values of H , x0 approaches infinity like (4 FH / B0 )1/ 2 , whereas for H close to F / 2 B0 , x0 approaches F / 2 B0 with a slope of ( 2) . As H decreases from infinity to F / 2 B0 , so x0 decreases to F / 2 B0 and y0 increases from 0 to infinity. Thus, if the external temperature is low enough the arcade erupts to infinity.
Figure 1: The solar coronal magnetic arcade model in balance and isothermal environment. The left hand side is the magnetic arcade in potential balance and the right hand is in magnetohydrostatic balance.
V.
Discussions It is obvious that a solar coronal structure may evolve from initially potential un-
disturbed to a situation that equilibrium may not be attained. Even this study is not addressed to the evolution approaches the instability condition, but we still arrived natural situation that instability and eruption may at least will enter the model. From the solar observation it is obvious that the solar coronal can not be considered as in magnetostatic for relatively longer time scale. The solar corona is slowly ever expanding magnetic structure and plasma flow into its surrounding the interplanetary space. The structure we have derived may serve as initial and boundary condition for a full magnetohydrodynamics computer simulation implemented to follow highly non-linear evolution of solar coronal magnetic structure that erupted due to some model of disturbance applied in it.
22
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
The helmet streamer structure before an escaping of a solar coronal mass ejection has a magnetic structure similar to the solution in this work as long as the structure is still low in the corona (see e.g. Setiahadi, 2009b,c). The structure evolves to a cusp type streamer as slowly growing up and enter higher coronal layer. Warnings to this structure when entering higher corona is worth since this is the sign of a launch of extensive solar coronal mass ejection.
References Low, B.C. (1981), Astronomical Journal, 251, p. 352. Setiahadi, B. (2005), Simulasi Pembentukan Struktur Helmet Streamer di Lapisan Korona Matahari, Seminar Nasional Matematika dan Informatika, Universitas Sebelas Maret Surakarta, p. 337. Setiahadi, B. (2007), Magnetohydrostatic and Magnetohydrodynamic Structure of Magnetic Arcade to Study the Solar Coronal Helmet Streamer, SNASTI, p. 214 Setiahadi, B. (2009a), Coronal Magnetic Arcade Dis-Equilibrium as The Cause of Solar Coronal Mass Ejection, UNPAR, p. 118. Setiahadi, B. (2009b), Magnetic Topology Dynamics During Solar Flares as Observed at LAPAN Watukosek, UNPAR, p. 123. Setiahadi, B. (2009c), Cavity-Produced Acceleration by Magnetic Arcade Eruption on Two-Ribbon Flare Studied at LAPAN Watukosek 2009, UKSW, p. 182. Setiahadi, B. (2009d), Numerical Scheme for Non-Linear and Non-LTE MHD Solar Physics and Astrophysics developed at LAPAN Watukosek 2009, UKSW, p. 189.
Tanya Jawab Nirva Diana, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD : ?
Ketika bumi mengalami kenaikan suhu (pemanasan global) maka matahari akan mengalami perubahan. Perubahan apa yang terjadi?
?
Bumi memiliki pelindung (medan magnet) tetapi meengapa benda – benda langit (meteor) bisa menembus bumi?
23
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Bambang Setiahadi, LAPAN @ Pemanasan global terjadi karena pelepasan gas rumah kaca (contoh CO2) berlangsung secara perlahan. Jika berlangsung terus akan terjadi pencairan es di kutub utara ataupun selatan yang mengakibatkan naiknya muka laut. Efek siklus musim kemarau atau hujan karena sudut jatuh sinar matahari terhadap bumi. @ Medan magnet bumi menahan atau menangkis elektron dari matahari. Benda padat atau meteor tidak dapat ditahan oleh medan magnet bumi.
Teguh Budi Prasetyo, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD : ?
Bapak tadi makalahnya mengenai matahari. Bagaimana tentang gejala badai matahari di tahun 2012?
Bambang Setiahadi, LAPAN @ Badai Matahari melepaskan elektron dan medan magnet. Medan magnet bumi mempunyai kemampuan menahan Badai Matahari. Tahun 2012 tidak memberikan efek terhadap kehidupan kita di permukaan bumi.
24
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
ANALYSIS OF LARGE MAGNETIC STORMS ASSOCIATED TO SHOCKS IN SOLAR WIND
L. Muhammad Musafar K. Division of Applied Geomagnetism and Space Electromagnetism, National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN), Jl. Dr. Djundjunan No. 133, Bandung, 40173 email:
[email protected]
Abstract. Magnetic storm is classified into large, intermediate and small storm where it is related with magnitude of Dst (Disturbance Storm Time). This paper describes analysis on three large magnetic storms on April, August and September, 2000 and their relation with shock waves in the interplanetary space. The shock waves were identified by using data of solar wind plasma and interplanetary magnetic field recorded by ACE (Advanced Satellite Explorer) satellite. We observed that duration of expansion phase of magnetic storm depend on duration of southward turning of interplanetary magnetic field and magnitude of a storm maybe depend on shock type of solar wind and energy of particle that injected into Earth’s magnetosphere during the magnetic storm. Keywords: magnetic storm, interplanetary shock, solar wind, Dst index
I.
Introduction Magnetic storm is a manifestation of ring current growth where the ring current is a
largest magnetic disturbance in Earth’s magnetosphere current system. According to its strength magnetic storm is classified into small, intermediate and large storm. Strength of the storm could be measured by using Dst (Disturbance Storm Time) index where the index were derived from averaging of global magnetic field observed by ground-based stations that uniform distributed at mid and low latitude. Large, intermediate and small magnetic storm can be identified according to magnitude of Dst index in the range between 30 < Dst <50 nT, 50 < Dst <100 nT and > 100 nT, respectively. Time evolution of a magnetic storm is divided into 3 phases: initial, main and recovery phase. Initial phase is a period when the storm is initiated until the Dst value decreased monotonically. Main phase starts at the end of initial phase until the Dst index reached its minimum value and recovery phase is started when Dst reached it minimum value until Dst back to its initial value before the storm. According to its initiation type magnetic storms are distinguished into gradual and commencement storm. A gradual storm is a storm that associated with high speed
25
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
recurrent stream solar wind that origin of coronal hole. While commencement storm is usually initiated by a storm sudden commencement that associated with solar transient phenomena such as solar flares that accompanied by coronal mass ejection (CME) and/or shock in the solar wind. In this paper we analyzed large commencement storm with magnitude of Dst index larger that 150 nT. Analysis is performed by looking at solar wind plasma and direction of interplanetary magnetic recorded by ACE (Advanced Satellite Explorer).
II.
Observational Data To analyzed magnetic storms that associated with shock in the solar wind the Dst
index has been used to identify occurrence of the storms. We selected magnetic storm with magnitude of Dst index larger that 150 nT during January to December, 2000. Four magnetic storm has been identified with magnitude larger that 150 nT where the storms were occurred on April, August and September, 2000. The storm events were selected according to whether data of solar wind plasma and interplanetary magnetic field recorded by ACE satellite or not. We only analyzed the large storms if the ACE data of all parameters of solar wind are available.
Figure 1: Dst Index on April 2000 where red-line represents zero level of Dst index.
Figure 2: Dst Index on August, 2000 where red-line represents zero level of Dst index.
26
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
First magnetic storm, is shown in Figure 1, was identified on April 2000. This storm was initiated by a sudden commencement with magnitude -6 nT at 16:00 UT on 6 April, 2000. Its main phase also was starting at the sudden commencement and the storm reached its minimum value of Dst is -288 nT at 00:00 UT on 7 April, 2000. Second storm, is shown in Figure 2 identified on August, 2000. The storm was initiated by sudden commencement with magnitude -46 nT at 00:00 UT on 12 August, 2000. The minimum Dst of the storm is -235 nT at 09:00 UT on 12 August, 2000 and the end of its recovery phase at 00:00 UT on 15 August, 2000. The last storm, is shown in Figure 3, was identified on September 2000. It is initiated by sudden commencement with magnitude 28 nT at 19:00 UT on 17 September, 2000, reached it minimum -193 nT of Dst at 00:00 UT on 18 September 2000 and the storm end at 00:00 UT on 22 September, 2000.
Figure 3: Dst Index on September, 2000 where red-line represents zero level of Dst index.
III.
Analyses and Discussion First we summarized information which associated to the storms mentioned above
as follow : Storm
SSC (nT)
Min. Dst
Duration (Hours)
April, 2000
-6
-288
8
August, 2000
-46
-235
9
September, 2000
28
-193
4
27
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Figure 4: Interplanetary magnetic field on 6 April, 2000
The sudden commencement of the first storm was associated with shock of solar wind at 16:00 UT as shown in Figure 4 and 5. The shock of solar wind plasma was identified as fast-shock (Musafar, L. M., 2010a; Musafar, L. M., 2010b). The interplanetary of magnetic field orientation during expansion phase of the storm are in southward during 16:00 to 23:30 UT on 6 April 2000. This means that reconnection between interplanetary magnetic field and magnetosphere was effective during in the period where high speed and energetic of solar wind was injected into the Earth’s magnetosphere.
28
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Figure 5: Plasma parameters of solar wind on 6 April, 2000
Second storm was associated with two shocks in the solar wind at 01:30 and 04:50 UT on 12 August 2000, as shown in Figure. The first shock is called as fast shock where it is characterized with increasing of temperature, velocity and magnetic field but decreasing of density of proton. While, second shock is a slow-shock where all parameters of solar wind plasma were decreased except interplanetary magnetic field. After the first shock the Bz component of interplanetary magnetic field were in southward direction as well as after the second shock. Long duration of southward interplanetary magnetic field support for entry of amount high energy particles injected into magnetosphere then caused ring current to grow. The development of magnetic storm also supported by interplanetary coronal mass ejection (ICME) that reach Earth’s magnetic field after the second shock. The ICME was characterized by low temperature of proton after the second shock during 05:10 to 24:00 UT on 12 August, 2000. The presence of this ICME and longer duration of Bz in southward could be a reason why the storm on August was longer than on April, 2000 even magnitude of Dst on April larger that on August, 2000.
29
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Figure 6: Interplanetary magnetic field on 12 August, 2000.
Figure 7: Plasma parameters of solar wind on 12 August, 2000.
30
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Figure 8: Interplanetary magnetic field on 17 September, 2000.
Figure 9: Plasma parameters of solar wind on 17 September, 2000.
The third storm was initiated by fast shock of solar wind where all parameters of plasma were increased, as shown in Figure 8 and 9. After the shock, Bz component of interplanetary magnetic field were in southward direction during 19:00 to 21:30 UT on 17 September, 2000 or in other word the main phase of third storm associated with southward
31
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
turning of Bz-component of interplanetary magnetic field during about 2h:30min. This caused duration of expansion phase of the magnetic storm about 4 hours. By comparing duration of southward turning of Bz-component that associated to the magnetic storms, the storm on August associated with longest duration of southward and storm on September associated with shortest duration of southward orientation of interplanetary magnetic field. This is the reason why the third storm has smallest magnitude of Dst between the storms. Why the first storm has magnitude larger than second storm even its southward orientation of interplanetary magnetic field shorter than second storm? This maybe associated with the type of shock that initiated of the storm, as well as the particles of solar wind plasma that associated with the first storm were more energetic than that associated with the second storm. As shown in Figure 5 for storm on April and in Figure 7 for storm on August, 2000 the proton temperature that associated with first storm were higher that second storm, as well as their density as shown in Figure 6 and 8 for storm on April and August, respectively.
IV.
Concluding Remarks Three magnetic storms that occurred on April, August and September, 2000 has
been analyzed. The storm (i) on April with magnitude -288 nT was initiated by fast shock with duration expansion phase about 8 hours, (ii) on August with magnitude -235 nT was initiated by fast shock then followed by slow shock and its expansion phase during 9 hours and (iii) on September, 2000 with magnitude -193 nT was initiated by fast shock and its expansion phase during 4 hours. Duration of expansion phase of the storms were depend to how long Bz-component of interplanetary magnetic field turning into southward and magnitude of storm depend on the energy of solar wind that injected into Earth’s magnetosphere.
References
Musafar, L. M., 2010a, Methods for Identifying Discontinuity and Shock Wave in the Solar Wind, Seminar Nasional HFI, Universitas Diponegoro, Semarang, 10 April 2010.
Musafar, L. M., 2010b, Awan Magnetic Tanggal 6-10 April 2000 dan Pengaruhnya terhadap Medan Magnet Bumi, Seminar Nasional Fisika dan Pendidikan Sains, Universitas Sebelas Maret, 8 Juni 2010.
32
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Tanya Jawab
Teguh Budi Prasetyo, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD : ?
Apakah siklus badai matahari mempunyai rentang waktu dan apakah posisi matahari berpengaruh dalam peristiwa badai matahari itu sendiri.
L. Muhammad Musafar K, LAPAN @ Badai magnet dibedakan menjadi dua yaitu badai Gradual dan badai Commencement. Badai Gradual terjadi karena pengaruh partikel matahari yang berasal dari lubang korona. Badai ini terjadi dengan periodisitas tertentu mengikuti pola rotasi dan siklus matahari sedangkan badai Commencement terjadi karena peristiwa transien di matahari seperti lontaran massa korona. Badai Gradual umumnya memiliki kekuatan kecil.
Purnomo Hadi Santoso – UAD ?
Bagaimanakah goncangan dari badai matahari bergantung pada berbagai panjang gelombang dan berbagai kaitannya dengan terjadinya gempa dan akan bagaimana kerja ataupun keadaan magnetnya.
L. Muhammad Musafar K, LAPAN @ Badai matahari menghasilkan atau melontarkan partikel bermuatan energi tinggi yang bergerak dengan kelajuan tinggi dan membawa medan magnet kuat. Ketika partikel tersebut menuju ruang antar planet dan bertemu dengan aliran berkelajuan rendah maka terjadi shock. Hingga saat ini belum terpikirkan gagasan untuk menyelidiki hitungan peristiwa shock dan gempa bumi. Angin Surya menyebabkan aliran arus listrik di lingkungan bumi, tetapi terlalu kecil atau lemah untuk menggerakkan lempeng bumi.
33
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
EFFECTS OF FAST FORWARD SHOCKS TO THE LOW LATITUDE MAGNETIC FIELD VARIATIONS
L. Muhammad Musafar K. Division of Applied Geomagnetism and Space Electromagnetism, National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN), Jl. Dr. Djundjunan No. 133, Bandung, 40173 email:
[email protected]
Abstract. Fast forward shock is governed by conditions where all plasma parameter such as density and temperature of proton, speed of solar wind and interplanetary magnetic field have positive jump from downstream to upstream side of the shock. In this paper we analyzed effects of fast forward shock on 11 January, 2000 to the low-latitude magnetic field variations. We used solar wind plasma parameters and magnetic field recorded by ACE (Advanced Satellite Explorer) satellite and SYM-H index or magnetic field variation recorded by ground-based magnetometer at Biak (BIK) during 2000. We observed positive sudden impulse in the low latitude magnetic field variation that associated by the fastforward shock. Keywords: Fast-Forward Shock, Solar Wind, Magnetic Field, Positive Sudden Impulse
I.
Introduction The magnetopause is the boundary that separates the region of space where plasmas
are dominated by the Earth’s magnetic field (the magnetosphere) from the region where the interplanetary magnetic field (IMF) predominates. This interface contains a current sheet or the Chapman-Ferraro current (Nishida, 1978; Russell, 1990). The magnetopause position is determined through a pressure balance. The solar wind dynamic pressure is balanced by the geomagnetic field pressure at the magnetopause location. Interplanetary shocks are observed as sudden variations in solar wind plasma and magnetic fields. They occur when the relative difference between a fast solar wind stream and the slow, background solar wind stream is higher than the solar wind magnetohydrodynamics (MHD) characteristic speed – magnetosonic (Burgess, 1995; Echer et al., 2003). When the disturbance has a larger velocity than the fast mode MHD wave, a fast shock can be formed. Shock can be of the forward type, propagation away from the Sun (Gosling et al., 1990; Burlaga, 1995). In this paper we will describe effect of fast forward shock to Earth magnetic field by analyzing magnetic field variation recorded by low-latitude magnetometer.
34
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
II.
ISBN : 978-602-96622-1-4
Observational Data and Methods Dalam studi ini digunakan data plasma angin surya dan medan magnet antar planet
hasil rekaman satelit ACE. Data plasma angin surya diukur dalam koordinat GSE meliputi temperatur dan kerapatan plasma serta kecepatan proton. Instrumen SWEPAM yang dipasang pada satelit ACE mengukur tiga komponen kecepatan yaitu dalam arah X, Y dan Z. Sumbu X terletak pada garis penghubung matahari-Bumi, sumbu Y tegak lurus terhadap sumbu-X dan terletak pada bidang ekliptik matahahari sedangkan sumbu-Z ortogonal terhadap bidang ekliptik dan mengikuti aturan tangan-kanan, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.
Figure 1. Definition of the GSE (Geocentric Solar Ecliptic) coordinate system and the angles theta and phi with respect to Sun and Earth
The interplanetary magnetic field is measured in nT with time resolution 1-second and plasma parameters such as density, temperature and velocity are measured in number of particle per cm3, Kelvin and km/second, respectively with time sampling 64-seconds. We extracted 1-minute resolution of each parameter of solar wind plasma and interplanetary magnetic field by averaging the data for 1-minute segment. To analyzed the effect shock in the solar wind to the Earth’s magnetic field we also used SYM-H data that represent magnetic field at mid-latitude as well as magnetic field variation recorded by ground-based magnetometer at Biak station at low-latitude of geomagnetic. The SYM-H has time-resolution 1-minute. Magnetic field recorded at Biak
35
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
with resolution 1-second, thus we extracted 1-minute data with same procedure as described above.
III.
Discussions Shock in the solar wind plasma occurs when supersonic flow comes into subsonic
flow. Type of shock depends to changing of the plasma parameters from downstream to upstream side of the shock (Musafar, 2010). Fast-forward shock in the plasma of solar wind is governed by conditions where speed, density, temperature of plasma and its magnetic field increased from downstream side and upstream side of the shock.
Figure 2. Fast-forward shock on 11 January, 2000 that observed from solar wind plasma recorded by ACE.
36
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
During 11 January, 2000 we observed condition of solar wind which appropriate for fast-forward shock as shown in Figure 2. From top to bottom panels represent thermal speed of particles, proton temperature, proton density and total magnetic field, respectively. The data are plotted in the UT (Universal Time) during 13:00 to 15:00. On 13:38 UT as shown by red-vertical line in the figure we observed there are sharp increasing of all solar wind parameters where it is associated to fast-forward shock as mentioned above. Post the shock of plasma position of ACE satellite in the GSE coordinate system is (1513616.25, 189398.70, 60380.04) km where it is measured from center of the Earth. And velocity of particle is (445.78964, -445.19843, -4.47019) km/second. The position of ACE satellite is illustrated in Figure 3. By approximating that speed of particles or shock propagation to the ground is linear we approximate its time propagation to reach the ground about 56.3 minutes where the radius of Earth is taken 6700 km in the calculation.
Figure 3. Illustration of ACE Satellite position.
Figure 4. SYM-H index on 11 January, 2000
37
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Figure 5. Magnetic field variation recorded at BIK stations on 11 January, 2000
From SYM-H index that associated with the fast-forward shock we observed an increasing of magnetic field variation and then, it is called as positive sudden impulse at 14:26 UT as indicated by arrow in Figure 4. As well, in the low latitude the positive sudden impulse were observed in H-component of magnetic field variation at BIK station on 14:26 as indicated by arrow in Figure 5. The positive sudden impulse due to forward shocks occurs as a result of the compressed magnetosphere and intensified magnetopause current, which cause a positive variation in the magnetic field observed at ground level. The delay time between fast-forward shock in solar wind and the positive sudden impulse in SYM-H and magnetic field variation recorded at BIK station about 48 minutes. Thus, difference between linear-approximation of shock propagation to the ground and delay time of the shock to positive sudden impulse are about 8 minutes. This could be interpreted that there was an acceleration of solar wind due to the fast-forward shock. This maybe be associated to compression of Earth’s magnetosphere caused by the fast-forward shock.
IV.
Concluding Remarks We analyzed a fast-forward shock on 11 January, 2000 by using solar wind plasma
and magnetic field recorded by ACE satellite. An increasing in all parameters of solar wind and interplanetary magnetic at upstream to downstream which associated to the shock. Effect of fast-forward shock to the Earth magnetic field at the ground was observed as positive sudden impulse at low-latitude magnetic field variation. Time propagation of the shock from interplanetary space to ground that estimated by using linear speed approximation is about 56.3 minutes. However, delay time between the shock of solar wind in interplanetary space and time rise of sudden impulse that recorded at low-latitude is about 48 minutes. This means that there was particles
38
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
acceleration associated with the fast-forward shock during compression of the Earth’s magnetosphere.
Acknowledgment I always acknowledge Prof. Kiyohumi Yumoto who setup ground-based magnetometer at BIK stations. Also thanks to ACE Team and WDC Kyoto for data sharing.
REFERENCES
Burgess, D.,. Collisionless Shocks. In: Kivelson, M. G. & Russell, C. T. (Ed.). Introduction to Space Physics. Cambridge, University Press, 129–163.
Burlaga, L. F., 1995, Interplanetary Magnetohydrodynamics, Oxford University Press, New York. 250 pp.
Gosling, J. T., Bame, S. J., McComas D. J. & Phillips, J. L. 1990. Coronal mass ejections and large geomagnetic storms, Geophys. Res. Lett., 17: 901–904.
Iyemori, T., Araki, T., Kamei, T. & Takeda, M, 1999, Mid-latitude geomagnetic indices ASY and SYM. Data analysis center for geomagnetism and space magnetism. Graduate School of Science, Kyoto University, October 19, 2005.
Nishida, A. A., 1978, Geomagnetic diagnosis of the Magnetosphere, Physics and Chemistry in Space, V. 9, Springer-Verlag, New York. 256 pp.
Russell, C. T., 1990, The magnetopause, in AGU Geophysical Monograph, 58: 439– 453.
39
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
EXTRACTION OF SUNSPOT GROUPS FROM THE SOHO FULL-DISK IMAGES TO STUDY SUNSPOT ACTIVITY
Bachtiar Anwar Division of Solar Physics and Space Environment National Institutes of Aeronautic and Space (LAPAN) E-mail:
[email protected]
Abstract. Sunspot groups are intersection of magnetic flux tubes with the photosphere. The dark appearance of sunspot groups resembles a lower temperature compared to the surrounding photosphere. The magnetic field of sunspot groups is the source of energy which it is eventually released suddenly as an explosion at the Sun, namely flare or coronal mass ejection (CME). In order to study the evolution of sunspot group, a utility program has been developed using Interactive Data Language (IDL) to extract the sunspot groups automatically based on the SOHO/MDI observations. To achieve this task, Join USAF/NOAA Solar Region Summary is used to obtain the locations of sunspot groups in daily basis. Based on this position, the sequence of sunspot groups are extracted partially from the full-disk images taken by SOHO/MDI. The extraction methods are applied to active region NOAA 10242 during period of January 03 – 11, 2003. It is concluded that activity in NOAA 10242 was caused by magnetic flux emergence that formed BetaGamma magnetic type. No large flare was occurred as the size of active region was relatively small. Key words: sunspot groups, magnetic field, solar flare, coronal mass ejection.
I.
Introduction Dark areas of the Sun or sunspots are intersection of magnetic flux tubes with the
photosphere. They are seen dark as their temperature (4800oK) lower than the surrounding photosphere (5800oK). Sunspot groups store magnetic energy that eventually will be released as an explosion namely solar flare. The solar flare suddenly emits an intense electromagnetic radiation to interplanetary space and toward the Earth. A large flare may disrupt satellite communication, HF communications using ionosphere and may damage satellites in orbits [9, 10, 13]. Other solar event that may have great effects on the Earth’s space environment is coronal mass ejection [1,2,3,4,5]. Sunspot group usually evolves from a single tiny black spot that will gradually become a pair of sunspots with positive and negative polarities. The size of spots and the number of spots in group will increase, with additional new spots in between or close to main sunspots. The magnetic type may also change to a complex one such as ‘delta’
40
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
sunspot, where the positive and negative polarities are surrounding the same penumbra. This is a most critical condition preferable to produce a major solar flare. After reaching the peak, the sunspot group will gradually decay by decreasing the area and number of spots, and finally the sunspot disappears. This work aims to develop some routines in image processing to ease in data analysis. The methods used are applied to active region NOAA 10242 to study its evolution and flare occurrences. It is expected that this work will support and improve our understanding on evolution of active region toward flare. Some flares may be accompanied with a coronal mass ejection. It is important to know whether flares in NOAA 19242 were related to CME events or not. CME is magnetized plasma that may threat technologies in orbits and ground-based facilities as well as human life, understanding this event is very important [6,7,8, 11,12]. Section 2 explains the observation data used in this work. Methods and data processing are described in section 3, while the results and discussions are provided in section 4. Finally, conclusions of this work are given in section 5.
II.
Observation Data The full-disk images from the Michelson Doppler Imager (MDI) aboard Solar and
Heliospheric Observatory (SOHO) are utilized in this work. The images represent the condition of solar photosphere where dark regions (sunspot groups) can be recognized. To study the activity of an active region, the images taken by the Extreme-ultraviolet Imaging Telescope (EIT) are compared with the photospheric data. The activity level of the active region can be studied from flares list compiled by NOAA. Example of SOHO/MDI Continuum image and EIT195Å image is shown in Figure 1. The active region to be extracted and studied its activity is NOAA 10242. The corresponding solar region map constructed by Mees Solar Observatory based on Join USAF/NOAA solar region summary is given in Figure 2. On January 03, 2003, the active region was evolved to magnetic type ‘Beta’.
41
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Figure 1. Comparison MDI Continuum (left) and EIT195Å (right) images to show active region NOAA 10242 (box) in early stage of evolution.
III.
Methods and Data Processing In order to perform extraction of sunspots the following steps have been done:
1. Compile the SOHO/MDI Continuum images from SOHO web site. 2. Compile the data from Join USAF/NOAA observations on solar active regions. 3. Create IDL scripts to read active region summary and store to a structure variable. 4. Extract the date and time of observation and location of sunspot groups. 5. Based on this information, extract the sunspot groups from the first MDI Continuum image. 6. For other MDI Continuum images taken on the same day, use the observation time to shift location of active region to the West and extract the sunspot groups. 7. Analyze the activity of sunspot group by comparing the extracted sunspot groups, corona images and flare occurrences.
42
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Figure 2. Active region map of January 03, 2003, generated by Mees Solar Observatory based on Joint USAF/NOAA Solar Region Summary.
We have developed IDL scripts to process SOHO images as well as USAF/NOAA Solar Region Summary. The IDL scripts are used to read MDI and EIT images in GIF or JPEG format. The date and time of each image are extracted from the filename. Extraction of sunspot groups from the full-disk MDI images is performed using information in solar region summary of USAF/NOAA. The extraction of EIT images is conducted manually by clicking at the center of sunspot group for each full disk images. The size of MDI and EIT partial images is 128x128 pixels. The partial images are then displayed to study the morphological changes in photosphere and corona to find its relationship with activity in NOAA 10242.
IV.
Results and Discussions Active region NOAA 10242 appeared at the East solar limb on January 01, 2003.
Two days later, it was recognized as sunspot of magnetic type ‘Beta’. MDI images of the active region extracted from the full-disk images are given in Figure 3. In the early stage of evolution, the leading sunspot (West spot) of the main sunspot was larger than the trailing (following) sunspot (East spot). Gradually, the following sunspot developed in area comparable to the leading sunspot. There were magnetic flux emergences in between the
43
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
main sunspot. The sunspot evolved to Beta-Gamma on January 05-06 as there was magnetic flux emergence at the southern region from the main sunspot. The active region changed to Beta type again on January 07-08. In the following three days, the magnetic type of NOAA 10242 changed to Beta-Gamma to indicate a more complex magnetic configuration. The area of sunspot group was not greater than 400 of the solar hemisphere or categorized as small sunspot group. As the sunspot represent intersection of magnetic flux with the photosphere, the area of sunspot indicates the magnetic energy. Larger area means larger magnetic energy. Solar flare is a process of sudden release of magnetic energy into electromagnetic radiation from radio to X ray or γ ray. Based on GOES observations of X ray flux, 17 flares from NOAA 10242 were B or C-class, indicating small flares (Table 2). The reason is that the size of sunspot group was small and therefore its magnetic energy also small. A complexity of magnetic configuration (Beta-Gamma) caused by magnetic flux emergence in between or close to the main sunspots leads to triggering the magnetic flux of main sunspot. Evolution of NOAA 10242 from January 03 – 11, 2003 is given in Table 1. Example of evolution of NOAA 10242 in EUV is shown in Figures 4. These partial images are extracted from the full-disk images of size 512x512 pixels. The EIT images normally were taken more frequent than the MDI images. If an active region evolves slowly as the case of NOAA 10242, there is no remarkable change in corona over the active region during a short period of time. With a time cadence of 12 – 30 minutes between EIT images, it is difficult to find the coronal changes in NOAA 10242. This is supported by the fact that all flares that occurred in NOAA 10242 were small (B or Cclass).
44
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Figure 3. Sequence of images showing evolution of active region NOAA 10242 based on extraction of SOHO/MDI Continuum from January 3 at 00:52UT to January 6 at 18:28UT, 2003.
45
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
Figure 4. Evolution of active region NOAA 10242 during six hours starting from January 05, 2003 at 14:36UT.
Table 1. Evolution of NOAA 10242 in daily basis from USAF/NOAA Solar Region Summary.
46
McIntosh
Date
Area
2003-01-03
30
Cso
Beta
2003-01-04
90
Dai
Beta
2003-01-05
180
Dai
Beta-Gamma
2003-01-06
190
Dai
Beta-Gamma
2003-01-07
190
Dac
Beta
Class
Magnetic Type
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
2003-01-08
190
Dac
Beta
2003-01-09
370
Dac
Beta-Gamma
2003-01-10
370
Dac
Beta-Gamma
2003-01-11
190
Dai
Beta-Gamma
Table 2. Flare activities in NOAA 10242 from January 03 – 11, 2003.
V.
Conclusions We have described the methods to extract sunspot groups from the full-disk images
taken by SOHO spacecraft. The extracted partial images in Continuum and EUV wavelengths were compared to find any relationship between magnetic configuration in photosphere and the changes in corona based on EUV images. Combining with flare occurrences based on GOES X ray flux, it is concluded that activity in NOAA 10242 was caused by magnetic flux emergence to form Beta-Gamma magnetic type. The fact that no large flare of M or X-class seems to be caused by the fact that the active region was never to evolve to a larger sunspot group such as E or F type in optical class.
47
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
ACKNOWLEDGEMENTS Author acknowledges the use of SOHO data, USAF/NOAA solar region summary and the flares list from GOES observations. This is a series of studies dedicated to establish space early warning at LAPAN.
REFERENCES 1.
Anwar, B. 2009h Identifying the Source Disturbance of Geomagnetic Storm, Digital Information & System Conference (DISC), Maranatha Christian University, October 3, 2009, Bandung.
2.
Anwar, B. 2009g The Response of Magnetosphere to Coronal Mass Ejection at the West Solar Limb, SIPTEKGAN, LAPAN, October 11, 2009, Jakarta.
3.
Anwar, B. 2009f Analyzing Coronal Mass Ejection of July 10, 2005 and Its Effect on the Earth’s Magnetosphere, DISC 2009, Maranatha Christian University, October 3, Bandung.
4.
Anwar, B. 2009d Determination of Final Speed of Coronal Mass Ejection, Proc. National Seminar in Mathematics, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Surabaya State University (UNESA), June 20, 2009, Surabaya.
5.
Anwar, B. 2009c Identifying the Source Region of Coronal Mass Ejection, Proc. National Seminar in Mathematics and Natural Sciences, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Satyawacana Christian University (UKSW), June 13, 2009, Salatiga.
6.
Anwar, B. 2009b Automatic Detection of Coronal Mass Ejection, Proc. National Seminar in Mathematics and Natural Sciences, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, May 16, 2009, Yogyakarta State University, Yogyakarta.
7.
Anwar, B. 2009a Monitoring the Sun for Space Weather, Proc. National Seminar in Education Mathematics (LSM XVII), April 4, 2009, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Yogyakarta State University.
8.
Anwar, B. 2008 Development of Database System for Space Early Warning, Proc. National Seminar in Science and Technology II, 17-18 November 2008, Lampung University, p.18.
9.
Bothmer, V. and Daglis, I.A. Space Weather, Physics and Effects, Springer-Praxis Publishing, 2007.
10. Lanzerotti, L.J. Space Weather Effects on Technologies, in “Space Weather”, Song, P., Singer, H.J. and Siscoe, G.L. (Eds), Geophysical monograph, 125, 2001, p.11.
48
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
11. Setiahadi, B. Problems of Equilibria and Instabilities on Solar Coronal Magnetic Fields and Its Evolution Towards Energetic Energy Liberation: Effect to Interplanetary Space, Proc. National Seminar in Mathematics, FMIPA UNDIP, 2005, E1., p.1. 12. Setiahadi,
B.,
Sakurai,
T.,
Miyazaki,
H.,
and
Hiei,
E.
Research
on
Magnetohydrodynamic Transport Phenomena in Solar-Terrestrial Space at LAPAN Watukosek 2006, Proc. National Seminar in Space Science III, 2006, p. 17. 13. Singer, H.J., Heckman, G.R. and Hirman, J.W. Space Weather Forecasting: A Grand Challenge in “Space Weather”, Song, P., Singer, H.J. and Siscoe, G.L. (Eds), Geophysical monograph, 125, 2001, p.11
Tanya Jawab Dwi Wahyu B., Pend. Fisika JPMIPA FKIP – UAD : ?
Apakah ada dampak buruk yang terjadi dengan adanya sunspot pada matahari untuk bumi ataupun untuk alam semesta, sebut dan jelaskan!
Bachtiar Anwar, LAPAN : @ Dampak adanya sunspot yang melepaskan ledakan atau lontaran massa korona adalah pada teknologi-teknologi di antariksa (satelit) dan teknologi di permukaan bumi seperti jaringan listrik di kutub-kutub bumi. Dampak ke manusia tidak secara langsung, misal alat komunikasi terganggu, navigasi pesawat terbang yang melintas dekat kutub. Dampak untuk alam semesta tidak ada.
49
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
STUDI ANALITIK DAN KOMPUTASIONAL KESEGARISAN BENDA-BENDA TATA SURYA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONDISI FISIS BUMI Rina Dewi Mayasari1, Ibnu Jihad1, Rafika Sari1,M. Irsyad Ismi2, Irkham Huda3, M.F. Rosyid4 1 Program 2 Program 3 Program 4Kelompok
Studi Fisika, Jurusan Fisika, FMIPA, UGM
Studi Matematika, Jurusan Fisika, FMIPA, UGM
Studi Ilmu Komputer, Jurusan Fisika, FMIPA, UGM
Penelitian Kosmologi, Astrofisika, dan Fisika Matematik, Jurusan Fisika, FMIPA, UGM
Intisari. Makalah ini membahas kesegarisan benda-benda tata surya. Pembahasan dibedakan atas dua hal, yaitu waktu terjadinya kesegarisan dan pengaruh kesegarisan terhadap kondisi fisis Bumi. Kesegarisan benda-benda tata surya diartikan secara sederhana ketika benda-benda tata surya mengelilingi pusat massa di dalam inti Matahari berada pada posisi segaris membentuk suatu barisan planet. Kesegarisan ini terbagi menjadi dua kondisi, yaitu kesegarisan kuat dan kesegarisan lemah. Dengan tinjauan masalah dua benda, sistem orbit tiap planet mengedari Matahari di tata surya identik dengan sistem orbit Bumi mengedari Matahari. Sistem orbit tiap planet dapat dinyatakan dalam enam unsur orbit Kepleran yang berupa A, e, i, ω, Ω, T. Orbit-orbit planet dinyatakan dengan persamaan Kepler untuk mendapatkan nilai yang akan menentukan posisi planet sebenarnya. Persamaan tersebut dikomputasikan dalam suatu program simulasi grafik sudut vs waktu t dan simulasi gerak tiga dimensi planet mengedari Matahari. Pengaruh kesegarisan ditinjau dalam tiga hal, yaitu pergeseran pusat massa, pasang surut air laut dan medan magnet. Batasan tinjauan efek ini adalah saat kesegarisan berada pada posisi kesegarisan kuat. Kata Kunci: kesegarisan, tata surya, persamaan Kepler Analytical and Computational Study of Planets Alignment and its Effects on Earth
Abstract. This paper discusses the alignment of the planets of our solar system. There are three problems which are solved in this work, i.e. the possibility of the alignments, the time of the alignments and the effects of the alignments on Earth. An alignment of the planets of our solar system is defined simply as the configuration of our solar system in which the eight planets and the sun are in a same plane perpendicular to ecliptical plane. More rigorously, there are two kind of alignment of the planets of our solar system, namely strict or strong alignment and weak alignment. With reviews of the two-body problem, in solar system, the orbit of each planet around the Sun is identical to the earth’s orbit around the Sun. The orbit of each planetary system can be expressed in six Keplerian orbital elements: A, e, i, ω, Ω, T. Planetary orbits are expressed with Kepler equation to get the value that would determine the actual position of the planet. The equations were computed in a graphical simulation programs, with the axes of the graph is the angle vs
50
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
time t and three-dimensional simulation of planetary motion around the Sun. The effects of the alignment are studied in three cases, the shifting of the center of mass of our solar system, the tide of sea level and the magnetic field effect. Keywords: alignment, the solar system, Kepler's equations
I.
Pendahuluan Tata surya kita, dengan sejumlah planet dan satelitnya, meteor serta benda langit
lainnya, saling berinteraksi satu dengan yang lain. Masing-masing mempunyai perilaku yang berbeda-beda, namun saling melengkapi membentuk tatanan yang harmonis dan seimbang sehingga tatanan yang ada saat ini tetap bertahan dan diperkiraan akan terus bertahan untuk jangka waktu yang cukup lama. Masing-masing unsur dalam tata surya mempunyai keteraturan yang serasi dan saling memengaruhi. Keteraturan satu planet berbeda dari keteraturan planet lainnya. Planet Jupiter misalnya, mempunyai jarak orbit yang berbeda dari bumi dan juga memiliki kala revolusi dan rotasi yang berbeda. Hal ini berlaku pula untuk ketujuh planet lainnya, masing-masing saling berinteraksi dan kesemuanya berinteraksi dengan Matahari membentuk yang kita sebut tata surya. Sejauh ini, penelitian mengenai posisi kesegarisan benda-benda di tata surya belum menjadi fokus para ilmuwan. Penelitian tersebut hanya sebatas kapan terjadinya gejala kesegarisan planet-planet yang sudah terjadi di masa lalu dan asumsi-asumsi akan dampak yang akan terjadi di Bumi. Karena alasan tersebut, makalah ini menjelaskan tentang posisi kesegarisan benda-benda di tata surya untuk mendapatkan fakta ilmiah mengenai gejala kesegarisan planet, prediksi waktu terjadinya dan bagaimana dampaknya terhadap keadaan fisis Bumi kita. Kesegarisan itu sendiri memiliki pengertian bahwa planet-planet dan benda tata surya lainnya berada pada posisi segaris dengan pusat massa. Kesegarisan dibagi atas dua kondisi, yaitu kesegarisan kuat dan kesegarisan lemah. Dalam menentukan posisi kesegarisan benda-benda tata surya, acuan yang dipakai adalah besarnya sudut , yaitu sudut antara posisi planet dengan garis radial dari Matahari yang melalui Bumi sebagai acuannya. Kesegarisan benda-benda tata surya dikatakan kuat saat sudut n , sedangkan kesegarisan lemah terjadi saat posisi benda-benda tata surya berada pada daerah toleransi yang dibatasi oleh daerah yang masih terpengaruh oleh efek2 kesegarisan yang ditinjau.
51
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan waktu terjadinya kesegarisan bendabenda tata surya melalui grafik dan simulasi tiga dimensi. Selain itu, peninjauan pengaruh kesegarisan benda-benda tata surya diberikan dengan hasil perhitungan yang dikaji secara ilmiah. Batasan penelitian ini adalah kesegarisan kuat (strong / strict alignment), karena untuk mencari pengaruh kesegarisan lemah akan lebih mudah ketika pengaruh kesegarisan kuat telah diketahui.
II.
Kajian Analitik
II.1. Anomali Rata-rata dan Persamaan Kepler
Gambar 3. Penurunan persamaan Kepler [Karttunen, 2007]
Anomali rata-rata (M) didefinisikan sebagai sudut antara perihelion dan vektor posisi, dengan asumsi bahwa planet bergerak dengan kecepatan sudut tetap. Persamaan anomali rata-rata dituliskan sebagai : M 2
t n( t ) P
(1)
dengan P adalah periode orbital planet dan n = 2π/P. Bilangan n disebut gerak rata-rata atau kecepatan sudut rata-rata. Berdasarkan hukum kedua Kepler yang menyatakan bahwa kecepatan luasan adalah tetap, maka luasan bagian bayangan pada Gambar.3 adalah : A ab
52
t P
(2)
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Luasan A juga dapat ditulis A
b (luasan FP ' F ) a
(3)
b (luasan bagian CP ' X luasan segitiga CP ' F ) a b1 1 a (aE ) (ae)(a sin E ) a2 2 1 ab( E e sin E ) 2
Dua pernyataan ((2) dan (3)) luasan itu memberikan persamaan : A
1 t 1 1 ab( E e sin E ) ab abn(t ) ab M 2 P 2 2
(4)
atau
E e sin E M
(5)
Persamaan (5) dinamakan persamaan Kepler. Persamaan ini memberikan hubungan antara anomaly eksentrik (E) dan anomaly rata-rata (M) yang bertambah secara tetap terhadap waktu.
II.2. Penyelesaian Persamaan Kepler Anomali rata-rata diperoleh dengan mudah karena langsung sebanding dengan waktu. Anomali eksentrik (E) diselesaikan dari persamaan Kepler yang transeden. Hal ini karena pada persamaan Kepler, tidak terdapat pernyataan posisi sebagai fungsi waktu. Penyelesaian diperoleh secara numerik atau dihitung dengan deret. Namun, terdapat metode sederhana untuk menyelesaikan persamaan Kepler, yaitu dengan iterasi (komputasional). Jika eksentrisitas sangat besar, maka anomali eksentrik (E) tidak berbeda dengan anomali rata-rata, sehingga dapat dituliskan sebagai EMx
dengan x adalah koreksi yang kecil. Subsitusi persamaan ini ke persamaan Kepler memberikan
M x e sin( M x ) M
(6)
atau
x e sin( M x)
53
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Dengan menerapkan rumus penjumlahan sinus dan mengganti sin x dan cos x dengan suku pertama deret Taylor ( sin x x dan cos x 1 ), didapat
x e(cos M sin x sin M cos x ) dan x ex cos M e sin M
Dari sini persamaan pertama dapat diselesaikan untuk x, x (1)
e sin M 1 e cos M
Subsitusi persamaan ini ke persamaan (6), dan merupakan pendekatan penyelesaian yang lebih baik untuk x : x ( 2) e sin( M x (1) ) Kemudian iterasi ini diteruskan sampai nilai-nilai x berurutan yang tidak berubah lebih dari akurasi yang diperlukan. Seluruh algoritma dapat dijumlahkan sebagai berikut : e sin M 1 e cos M e sin( M x (1) )
x (1) x ( 2)
x (3) e sin( M x ( 2) ) : : x ( n) e sin( M x ( n 1) ) Iterasi ini dapat diakhiri ketika x(n) x(n 1) , dengan ε adalah akurasi yang diperlukan. Akurasi secara absolut diperlukan untuk menyatakan sudut dalam radian. Untuk eksentrisitas kecil, metode ini mengerucut (konvergen) sangat cepat.
II.3. Hasil Simulasi Perhitungan Komputasi Perhitungan ini diselesaikan oleh metode komputasi dengan memasukkan data-data astronomi sebagai berikut: Tabel 1. Data Planet, jarak, waktu revolusi dan eksentrisitas Planet
54
Jarak planet ke
Waktu revolusi
Matahari (AU)
planet (hari)
Eksentrisitas
merkurius
0,387
87,969
0,206
venus
0,723
224,701
0,0167
Bumi
1,000
365,256
0,01671
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
mars
1,524
686,980
0,093
jupiter
5,203
4332,590
0,048
saturnus
9,359
10746,940
0,05555
uranus
19,181
30685,400
0,04718
neptunus
30,058
60190,300
0,009
pluto
39,500
90465,000
0,2488
(Sumber: Karttunen, H. dkk, Fundamental Astronomy, p 499 (2007))
Tabel 2. Data Perihelion dan Apehelion Planet Planet
Jarak (mega mil)
Waktu Kejadian Selanjutnya
Perihelion
Apehelion
Perihelion
Apehelion
Merkurius
28.6
43.4
16 Oktober 1995
29 November 1995
Venus
66.8
67.7
11 Agustus 1995
1 Desember 1995
Bumi
91.4
94.5
21 Desember 1995
21 Juni 1996
Mars
128.4
154.9
19 Februari 1996
28 Januari 1997
Jupiter
460.3
507.2
5 Mei 1999
29 Maret 2005
Saturnus
837.6
936.2
26 Mei 2003
8 Februari 2018
Uranus
1699.0
1868.0
1 Maret 2050
17 April 2008
Neptunus
2771.0
2819.0
Maret 2030
Februari 2112
(Sumber: http://www.astronomycafe.net)
Perhitungan dimulai pada tanggal 19 Februaari 1996, yaitu pada saat planet Mars berada pada posisi perihelion. Hasil kajian analitik dan komputasional ini kemudian disimulasikan dalam grafik dan simulasi tiga dimensi untuk melihat waktu dan kondisi peristiwa kesegarisan benda-benda tata surya. Berikut adalah hasilnya:
55
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Gambar 3. Grafik simulasi kesegarisan empat planet dalam tata surya (Merkurius, Venus, Bumi dan Mars)
Gambar 4. Simulasi 3D pergerakan planet dalam yang dimulai pada tanggal 19 Februari 1996
56
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Gambar 4. Simulasi 3D pergerakan planet luar yang dimulai pada tanggal 19 Februari 1996
Melalui grafik dan simulasi tiga dimensi di atas, kita dapat menentukan waktu terjadinya kesegarisan benda-benda tata surya. Simulasi keduanya akan berhenti secara otomatis saat delapan planet dan Matahari berada dalam posisi satu garis. Selain itu, simulasi ini juga telah dapat memerlihatkan waktu terjadinya kesegarisan benda-benda tata surya dan posisi planet pada saat itu.
III. Pengaruh Kesegarisan Terhadap Kondisi Fisis Bumi Pengaruh kesegarisan ditinjau dalam tiga hal, yaitu pergeseran pusat massa tata surya, pasang surut air laut, dan medan magnet. Tiga hal tersebut yang memberikan pengaruh terbesar di Bumi jika terjadi perubahan kondisi pada sistem tata surya. Batasan pengkajian pengaruh kesegarisan ini adalah saat terjadi kesegarisan kuat. Pada posisi kesegarisan kuat, benda-benda tata surya (khususnya Bumi) merasakan pengaruhnya paling besar. Sehingga, dengan mengetahui pengaruh kesegarisan kuat, pengaruh yang ditimbulkan oleh kesegarisan posisi lain akan lebih mudah dicari dan diprediksi.
57
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
III.1. Pergeseran Pusat Massa Pada kondisi normal, benda-benda tata surya mengelilingi pusat massa tata surya yang terletak di dalam Matahari. Akibatnya, semua benda tata surya terlihat mengelilingi Matahari dan bahkan Matahari pun berotasi karena mengelilingi pusat massanya. Pada saat kondisi kesegarisan kuat terjadi pergeseran pusat massa ke kanan sejauh 1968758,52 km. Angka tersebut diperoleh dengan memasukkan data-data planet berikut: Tabel 3. Jarak dan massa planet Planet
Jarak Planet
Massa Planet
dari Matahari (km)
(kg)
57910000
3,00 x 1023
Venus
108200000
4,87 x 1024
Bumi
149600000
5,98 x 1027
Mars
227940000
6,42 x 1023
Jupiter
778330000
1,90 x 1027
Saturnus
1426940000
5,96 x 1026
Uranus
2870990000
8,69 x 1025
Neptunus
4497070000
1,02 x 1026
Merkurius
(Sumber: Karttunen, H. Dkk, Fundamental Astronomy (2007))
ke dalam persamaan pusat massa :
x
m1 x1 m2 x 2 m3 x3 ... m n x n m1 m2 m3 ... m n
y
m1 y1 m2 y 2 m3 y 3 ... mn y n m1 m2 m3 ... mn
z
m1 z1 m2 z 2 m3 z 3 ... mn z n m1 m 2 m3 ... mn
Jika nilai pergeseran pusat massa tata surya tersebut dibandingkan dengan jari-jari Matahari (posisi awal pusat massa pada titik tengah Matahari) sebesar 695500,00 km, maka pusat massa bergeser ke kanan sejauh tiga kali jari-jari Matahari. Hal ini akan mengakibatkan adanya hentakan gerak orbital semua planet yang mengalami rekonfigurasi orbit. Matahari yang awalnya terlihat hanya berputar mengelilingi porosnya akan berputar mengelilingi pusat massa tata surya dan mempunyai garis edar sendiri. Jika Matahari berputar mengelilingi pusat massa dan memiliki orbit sendiri, maka kekhawatiran yang
58
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
muncul adalah planet Merkurius tertabrak oleh Matahari. Jarak planet Merkurius ke Matahari sejauh 57910000,00 km, sedangkan pergeseran pusat massa sejauh 1968758,52 km, maka dapat disimpulkan Matahari tidak akan menabrak Merkurius.
III.2. Pengaruh Pasang Surut Sesuai dengan hukum Newton bahwa dua benda yang mempunyai massa dan jarak akan saling tarik menarik satu sama lain, begitu juga dengan Bumi dan Bulan yang saling mempengaruhi dengan gaya gravitasi masing-masing. Gravitasi Bulan lebih kecil daripada gravitasi Bumi, yaitu sekitar 0,16 = (1/6) gaya gravitasi Bumi. Akibat gaya gravitasi Bumi ini, Bulan lebih bersifat seperti satelit alami yang beredar mengelilingi Bumi yang ukurannya lebih besar dari Bulan. Bulan yang beredar mengelilingi Bumi hanya berukuran seperempat ukuran Bumi dan beredar mengelilinginya setiap 27,3 hari, pada jarak rata-rata 384.400 kilometer di bawah tarikan gravitasi Bumi. Bulan yang ditarik oleh gaya gravitasi Bumi tidak jatuh ke Bumi disebabkan oleh gaya sentrifugal yang timbul dari orbit Bulan mengelilingi Bumi. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi. Besarnya gaya sentrifugal Bulan adalah sedikit lebih besar dari gaya tarik-menarik antara gravitasi Bumi dan Bulan. Pada dasarnya, hal ini bukan hanya akan menimbulkan tabrakan antara Bumi-Bulan, sebaliknya menyebabkan Bulan semakin menjauh dari Bumi dengan kecepatan sekitar 3,8 cm/tahun. Di masa yang akan datang, ilmuwan memprakirakan bahwa kecepatan Bulan menjauh dari Bumi ini akan semakin besar hingga akhirnya Bulan terlepas dari orbit Bumi. Gravitasi Bulan menarik kandungan yang ada di Bumi seperti lautan atau material yang ada di Bumi. Akibat Bumi berbentuk bulat maka terjadi perbedaan kekuatan gaya tarik pada setiap sisi diBumi. Gaya tarik terbesar terdapat pada sisi Bumi yang dekat dengan Bulan dan terlemah pada sisi yang jauh dari Bulan. Hal ini terjadi karena efek gaya gravitasi tergantung jarak. Perbedaan tarikan gravitasi pada sisi Bumi, yaitu ada yang kuat dan ada yang lemah, menyebabkan ada efek pasang surut air laut. Selain itu pasang surut juga disebabkan adanya gaya sentrifugal.
59
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Gambar 5. Terjadinya pasang surut air laut
Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah Bulan dan Matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut. Sementara itu, di Bulan tidak mengalami tonjolan karena di Bulan tidak ada air dan udara. Yang ada hanyalah kawah yang terbentuk akibat hantaman komet. Selain itu efek pasang surut juga dipengaruhi oleh adanya gravitasi Matahari. Hanya saja gaya tarik gravitasi Matahari hanya setengah dari gaya tarik gravitasi Bulan. Matahari dan Bulan keduanya akan bersama-sama mempengaruhi efek pasang surut pada Bumi. Terlihat ketika Matahari, Bulan dan Bumi berada dalam satu kesegarisan maka akan timbul efek pasangsurut yang lebih besar. Efek pasang surut ini dikategorikan menjadi dua macam yaitu spring tide dan neap tide. Selain dipengaruhi oleh Matahari dan Bulan, Bumi juga dipengaruhi oleh gaya gravitasi planet lain. Hanya saja kuat tarik gravitasi dan pengaruh pasang surut tergantung pada massa dan jarak planet tersebut dari Bumi. Kekuatan gaya tarik masing-masing planet dapat kita cari dengan membandingkan dengan gaya tarik Bulan terhadap Bumi. Adapun dengan persamaan: g
2GM r2
Terlihat bahwa efek pasang surut masing-masing planet sangat jauh perbandingannya dengan Bulan. Tentunya hal tersebut tidak akan mempengaruhi apa-apa terhadap kondisi Bumi. Namun ketika terjadi suatu kesegarisan dengan planet-planet lain maka gaya tarik yang dialami Bumi akan berbeda. Kita bisa meninjau ketika terjadi kesegarisan paling ekstrem dimana semua planet berada pada satu garis lurus dengan Matahari berada di ujung. Dengan melihat masing-masing gaya tarik tiap planet, maka gaya tarik yang dialami
60
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
Bumi adalah jumlahan dari gaya tarik tiap planet. Berikut hasil perhitungan perbandingan gaya gravitasi Bumi dan planet lain serta Bulan: Benda-benda Tatasurya
Jarak planet terhadap Matahari (km)
Massa
delta g
(kg)
(km/s2)
Merkurius
57.910
3,30 x 1023
2,2577 x 10-9
Venus
108.200
4,87 x 1024
3,61897 x 10-7
Bumi
149.600
5,98 x 1024
-
Mars
227.940
6,42 x 1023
7,0424 x 10-5
Jupiter
778.330
1,90 x 1027
4,03179 x 10-8
Saturnus
1.426.940
5,69 x 1026
1,43989 x 10-9
Uranus
2.870.990
8,69 x 1025
2,27395 x 10-11
Neptunus
4.497.070
1,02 x 1026
6,546786 x 10-12
Matahari
0
2,0 x 1033
0,46
150.000
7,3 x 1025
2,1739
Bulan
(Sumber: Karttunen, H. Dkk, Fundamental Astronomy (2007))
Gambar 8. Gaya tarik antar planet
Terlihat pada tabel hasil perhitungan, gaya gravitasi yang dari Bulan memberikan pengaruh paling besar diantara planet-planet yang lain. Meskipun besar gravitasi Bulan lebih kecil dari pada planet lain, tetapi jarak Bulan yang paling dekat dengan Bumi memberikan pengaruh terhadap pasang surut air laut. Gaya gravitasi yang dirasakan oleh Bumi akibat gaya gravitasi planet lain hanya berpengaruh sangat kecil bahkan dalam menghitung gaya total gravitasi yang dialami Bumi pada saat terjadi kesegarisan kuat,
61
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
nilai-nilai gaya gravitasi planet lain dapat diabaikan karena sangat kecil. Sehingga, gaya gravitasi total yang dirasakan Bumi saat kesegarisan kuat benda-benda tata surya sebesar 1,7139 km/s2. Nilai gaya gravitasi total yang besarnya 1,7139 km/s2 menyimpulkan bahwa saat kesegarisan benda-benda tata surya, Bumi tidak merasakan pengaruh apapun jika ditinjau dari gaya gravitasi. Hal ini dikarenakan pada kondisi normal Bulan yang memberikan efek pasang surut hanya memberikan pengaruh gaya gravitasi sebesar 2,1739 km/s2. Kesegarisan kuat tidak akan menyebabkan adanya pasang surut ekstrem dan atau tsunami.
III.3. Pegaruh Medan Magnet Kedua planet yang memiliki medan magnet dan berdekatan akan saling berinteraksi jika keduanya berada dalam jangkauan medan magnet. Setiap planet, seperti halnya Bumi, memiliki medan magnet yang mengintari seluruh permukaan dan memiliki kutub utara dan selatan (lihat gambar 7).
Gambar 7. Medan Magnet Bumi (Sumber: http://www.greatdreams.com/biomag.htm)
Namun, akibat adanya angin matahari, medan magnet tersebut seperti tersapu hingga terbentuklah dua bagian medan magnet pada setiap planet, yaitu bow shock yang posisinya pada bagian depan planet yang menghadap Matahari dan ekor medan magnet (magnetotail) (lihat gambar 8). Jika magnetotail planet yang lebih dekat dengan Matahari mencapai planet yang lebih jauh dari Matahari, maka planet yang di belakangnya akan
62
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
terkena imbas pula. Planet yang di depan akan terkena dampak jika bow shock planet yang di belakangnya mempunyai jangkauan yang cukup jauh hingga ke planet depan.
Gambar 8. Bow shock dan ekor magnet akibat angin dan sinar Matahari (Sumber: http://www.inilah.com/news/read/teknologi/2008/12/18/69602/lubang-di-medanmagnet-bumi/)
Pada kondisi normal, planet-planet dalam memiliki medan magnet terlalu kecil, sehingga sangat kecil pengaruhnya terhadap Bumi. Namun, yang mungkin memberikan dampak adalah bow shock dari Jupiter karena medan magnetnya cukup besar dan kuat. Kekhawatiran lain adalah mencapainya bow shock Jupiter hingga ke Bumi. Jangkauan bow shock Jupiter adalah sejauh 5.361.900 km, yaitu 75 kali radius Jupiter (71492 km), sedangkan jarak antara Jupiter dengan Bumi sejauh 628730000 km. Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa jangkauan bow shock Jupiter tidak akan sampai ke Bumi meskipun Bumi dan Jupiter berada pada kondisi segaris (strong alignment).
IV. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil kajian analitik dan komputasional beserta kajian pengaruh kesegarisan benda-benda tata surya, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kesegarisan benda-benda tata surya dapat dicari waktu terjadinya dengan menggunakan persamaan Kepler dan dibuat dengan simulasi tiga dimensi serta grafiknya untuk menentukan kesegarisan secara lebih mudah
63
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
2. Pengaruh kesegarisan kuat terhadap kondisi fisis Bumi adalah pergeseran pusat massa tata surya yang menyebabkan keterkejutan gerakan orbital (shock orbital motion) tiaptiap planet, sehingga terjadi rekonfigurasi tata surya 3. Pengaruh kesegarisan kuat yang ditinjau dari medan magnet dan pasang surut air laut akibat gravitasi planet hanya memberikan pengaruh sangat kecil terhadap kondisi fisis Bumi.
Pengembangan lebih lanjut atas kajian ini dapat dilakukan dengan: 1. Meninjau semua jenis kesegarisan, baik kesegarisan kuat dan kesegarisan lemah beserta pengaruhnya terhadap kondisi fisis Bumi 2. Nilai inklinasi setiap planet dimasukkan pada simulasi tiga dimensi, sehingga memerlihatkan kejadian yang sesungguhnya
Daftar Pustaka Eales, S., 2009, Planet and Planetary Systems, First Edition, John Wiley & Sons, Ltd, Singapore. Karttunen, H., Kröger, P., Oja, H., Pautanen, M., Donner, K. J., 2007, Fundamental Astronomy, Fifth Edition, Springer Berlin Heidelberg, New York. Valtonen, M., dan Kartunen, H, 2005, Three Body Problem, Cambrige University Press, New York. http://www.astronomycafe.net http://www.greatdreams.com/biomag.htm http://home.hiwaay.net/~krcool/Astro/moon/moontides/ http://www.inilah.com/news/read/teknologi/2008/12/18/69602/lubang-di-medan-magnetbumi/
Tanya Jawab
Agusta Danang Wijaya, Jember ?
Bagaimana efek kesegarisan planet-planet jika ada gangguan benda-benda angkasa asing lainnya seperti asteroid dan meteorid?
64
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
?
ISBN : 978-602-96622-1-4
Bagaimana efeknya jika jupiter berpengaruh terhadap mars, apakah mars akan berpengaruh juga terhadap bumi, lalu apakah bumi berpengaruh terhadap planetplanet sebelumnya?
Rina Dewi Mayasari, FMIPA – UGM @ Belum ada benda-benda angkasa lain selain planet yang mampu memberi pengaruh signifikan ke bumi ( kecuali kalau menabrak langsung). @ Dalam hal medam magnet,medan magnet planet merkurius, venus, mars sangat kecil bahkan hampir 0. Dan yang cukup besar hanya jupiter dan jovian planet lain, yang paling dekat adalah jupiter. Jadi yang paling memungkinkan mempengaruhi adalah jupiter. Karena mars tidak mempunyai medan magnet maka tidak ada efek sampai ke bumi.
Deden Herdiana, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD : ?
Dari penelitian efek kesegarisan dapatkah diprediksi kapan terjadinya?
?
Apa kesimpulan dari paparan yang telah dijelaskan?
?
Dari efek kesegarisan dapatkah efek sockh bour planet terdekat berpengaruh terhadap bumi?
Rina Dewi Mayasari, FMIPA – UGM @ Sesuai simulasi grafik yang dihasilkan dapat ditentukan kapan terjadi, hanya saja ketika semua planet akan membutuhkan waktu yang sangat lama. @ Kesimpulan efek yang ada belum mempengaruhi kondisi fisis bumi. Ditinjau dari pusat massa, medan magnet dan pasang surut ketika kesegarisan paling ekstrem. @ Efek medan magnet planet-planet tata surya berbeda-beda. Hanya planet jupiter yang mempunyai medan magnet tersebar yang mempengaruhi terhadap bumi. Setelah dilakukan penelitian ternyata madan magnet yangt ditimbulkan jupiter tidak akan mencapai bumi karena jarak yang jauh. Sedangkan planet lain mempunyai medan magnet yang kecil.
65
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
OPTIMASI SISTEM ELEKTROOSMOSIS DENGAN VARIASI POLA PULSA PADA PROSES PENGURANGAN KANDUNGAN AIR UNTUK PELESTARIAN CAGAR BUDAYA
Akrom Khasani, Ar Rohim, Detiza Goldianto Octensi Hernowo, Didik Nur Huda Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Intisari. Cagar budaya seperti candi merupakan warisan sejarah yang perlu dijaga dari kerusakan. Faktor utama yang menyebabkan kerusakan ini adalah terjebaknya air di poripori dan sela-sela batu candi. Elektroosmosis merupakan salah satu metode pengeringan media berpori dengan memanfaatkan medan listrik. Prinsip kerja dari elektroosmosis adalah dengan melewatkan medan listrik pada media berpori sehingga molekul air akan bergerak mengikuti arah medan listrik, yaitu dari anoda ke katoda. Telah dilakukan penelitian yang membandingkan antara metode elektroosmosis pulsa dan tanpa pulsa dengan metode pengeringan lain seperti penjemuran, pemanggangan, dan didiamkan di tempat teduh. Keunggulan metode elektroosmosis dibandingkan metode pengeringan dengan pemanasan adalah tidak mengubah suhu media yang dikeringkan sehingga media tersebut lebih aman dari kerusakan. Volume air yang diangkut pada elektroosmosis pulsa lebih banyak daripada elektroosmosis tanpa pulsa. Kata kunci : elektroosmosis, pola pulsa, metode pengeringan
Optimization of Electro-osmosis System with Pulse Pattern Variation in Dehydrating Process for Preservation of Cultural Heritage
Abstract. Cultural heritages such as temples are historical heritages that need to be protected from damage. The main factor that causes this damage is the entrapped water in the gaps and pores of the stone temple. Electro-osmosis is a method of dehydrating porous material by using Electric field. The principle of electro-osmosis is applying an electric field in the porous medium so that the water molecules will move according to the direction of the applied field, i.e. from anode to cathode. We have done a research that compare electro-osmosis pulse and no pulse with other dehydrating methods such as sunbathing, roasting, and hushed in the shade. The advantage of electro-osmosis compared to other dehydrating methods is that it does not change the temperature of the medium so that the medium is safe from damage of heating. The amount of water transported by electro-osmosis pulse is greater than the water transported by electro-osmosis with no pulse. Keywords : electro-osmosis, pulse pattern, dehydrating method
66
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
I.
ISBN : 978-602-96622-1-4
Latar Belakang Masalah Candi Borobudur adalah salah satu karya besar nenek moyang bangsa Indonesia
yang memerlukan pemeliharaan, perawatan, dan upaya pelestarian. Usaha untuk pemeliharaan, perawatan, dan upaya pelestarian adalah dengan monitoring secara kontinu. Selain kegiatan monitoring, sangat diperlukan juga kegiatan konservasi. Konservasi candi Borobudur dengan cara modern salah satunya menggunakan metode pengeringan yang tak merusak yaitu elektroosmosis. Elektroosmosis adalah pergerakan air pada media berpori karena pengaruh medan listrik (McInerney dkk., 2002). Sistem elektroosmosis membutuhkan beda potensial antara dua titik pada sebuah obyek, yaitu dengan memasang anoda pada media berpori dan memasang katoda pada tanah. Beda potensial dihasilkan dari tegangan DC atau tegangan konvensional AC yang dihubungkan dengan dioda pada sistem elektroosmosis (Bjerke dan Olson, 2005). Elektroosmosis banyak mengalami kemajuan dalam aplikasi di antaranya pemberian pulsa pada sistem elektroosmosis yang lebih dikenal dengan nama elektroosmosis pulsa. Pulsa yang digunakan adalah pulsa tegangan DC. Penggunaan pulsa ini dimaksudkan agar waktu pemindahan air lebih lama karena gaya osmosis tidak mudah berbalik arah. Apabila gaya elektroosmosis arahnya membalik maka air akan mengalir dalam obyek. Penelitian ini merupakan kajian lanjutan dari penelitian awal yang menggunakan pasir sebagai media penelitian, sedangkan media yang digunakan dalam penelitian ini berupa susunan batuan yang menyerupai susunan batuan pada candi Borobudur.
II.
Metode Pelaksanaan Data diambil dengan dua cara, yaitu simulasi dan elektroosmosis dengan variasi pola
pulsa. Adapun pada simulasi digunakan empat metode yaitu pemanggangan, penjemuran, didiamkan di tempat teduh dan kering, dan elektroosmosis tanpa ada pulsa dengan beda potensial 12 volt. Keempat metode ini dilakukan dengan rentang waktu yang sama. Sedangkan cara elektroosmosis digunakan satu metode yaitu variasi pola pulsa dengan jarak elektrode yang sama. Penelitian ini seluruhnya dilaksanakan di laboratorium fisika zat padat FMIPA UGM. Secara garis besar, teknik pengumpulan data dapat dituliskan dalam bentuk diagram alir sebagai berikut :
67
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
Persiapan alat dan bahan
Pengeringan dengan pemanggangan, penjemuran, dan peneduhan
Pengeringan dengan elektroosmosis pulsa dan tanpa pulsa
Pengolahan dan analisis data
Penyimpulan hasil
1) Hasil Penelitian 1) Metode Pemanggangan Kode Batu
Volume air yang terangkut (ml)
B1
6,372
B2
7,686
B3
6,267
B4
5,393
Volume total
25,718
Rata-rata
6,43
2) Metode Tempat Teduh
68
Kode Batu
Volume air yang terangkut (ml)
C1
1,859
C2
1,412
C3
1,698
C4
1,915
Volume total
6,884
Rata-rata
1,721
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
3) Metode Penjemuran Kode Batu
Volume air yang terangkut (ml)
D1
12,01
D2
11,358
D3
11,39
D4
10,973
Volume total
45,731
Rata-rata
11,433
4) Metode Elektroosmosis tanpa pulsa ( V = 12 Volt ) Kode Batu
Volume air yang terangkut (ml)
A1
0,387
A2
0,287
A3
0,175
A4
0,452
Volume total
1,301
Rata-rata
0,325
5) Metode Elektroosmosis Pulsa [ Pulsa: (+, -, 0) = (85, 5, 10) detik ] 1) Penelitian Pertama
600
500
400
300
200
100 0
100
200
300
400
500
Waktu (menit)
69
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
2) Penelitian Kedua
800
700
600 500
400 300
200
100 0
100
200
300
400
500
Waktu (menit)
3) Penelitian Ketiga
120
100
80
60
40
20
0 0
50
100
150
200
250
300
350
Waktu (menit)
III. Kesimpulan 1)
Elektroosmosis dapat digunakan sebagai salah satu metode untuk mengeringkan air pada batu candi (media berpori).
2)
Semakin tinggi tegangan yang digunakan, semakin cepat proses pengeringan.
3)
Elektroosmosis pulsa lebih efektif daripada elektroosmosis tanpa pulsa.
70
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Daftar Pustaka Bjerke, E. dan H. Olson. 2005. Method for Dehydrating a Porous Material. U.S.Patent No. 6 866 761 B2. McInerney, M. K., S. Cooper, P. Malone, C. Weiss, M. Brady, S. Morefield, J. P. Bushman, J. Taylor, V. F. Hock. 2002. Electro-osmotic Pulse Technology for Control of Water Seepage in Concrete Structures. U.S.Army Construction Engineering Research Laboratories. Campaign IL. Morefield, S., V. F. Hock, M. K. McInerney, O. S. Marshall, C. Marsh, S. Cooper. 2005. Control of Water Mitigation Through Concrete Using Electro-osmosis. U.S.Army Engineer and Development Center Contruction Engineering Research Laboratories. Campaign IL.
Tanya Jawab
Rina Dewi Mayasari, FMIPA – UGM ?
Bagaimana aplikasi dari penelitian ini untuk pelestarian cagar budaya, Contohnya Candi Borodudur dan candi-candi yang lain atau cagar budaya yang lain.
Akrom Khasani, FMIPA – UGM @ Untuk candi Borobudur sudah ada pelat-pelat baja di dasarnya, sehingga tinggal set-up alat.
Rafika Sari, FMIPA – UGM ?
Apakah ini suatu penelitian yang baru? Karena sebelumnya presentator menyatakan bahwa ada LPPT yang sudah menangani?
Akrom Khasani, FMIPA – UGM @ Baru dalam hal optimasi pola tegangan atau pulsa listrik.
Ibnu Jihad, FMIPA – UGM ?
Medan, berapa tenaganya?
?
Dari segi efektif dan efisiensinya? Dari segi finansial?
71
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
?
ISBN : 978-602-96622-1-4
Bagaimana jika batunya besar?
Akrom Khasani, FMIPA – UGM @ V= 40 Volt @ Kelebihan elektro-osmosis yaitu menggunakan suhu normal sehingga tidak merusak. Cukup murah dalam fabrikasinya karena hanya perlu elektroda dan generator tegangan @ Jika batunya besar maka butuh tenaga yang lebih besar pula.
72
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
PENGUKURAN KONSENTRASI GAS ETILEN PADA BENIH KEDELAI MENGGUNAKAN TEKNIK SPEKTROSKOPI FOTOAKUSTIK
Rudyanto Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Intisari. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur konsentrasi gas etilen pada benih kedelai dengan menggunakan teknik spektroskopi fotoakustik. Sumber radiasi spektroskopi fotoakustik yang digunakan pada penelitian ini adalah laser CO2. Benih kedelai yang digunakan dalam penelitian ini adalah kedelai varietas Baluran kelas benih pokok, benih sebar, dan benih konsumsi selama perkecambahan. Selain dilakukan pengukuran konsentrasi, juga dilakukan pengamatan kondisi fisik benih kedelai yang diteliti. Telah diperoleh pola konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh masing-masing kelas selama berkecambah dan ternyata terdapat perbedaan konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh kelas-kelas yang berbeda. Terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi fisik benih dengan konsentrasi gas etilen. Kata kunci : Spektroskopi Fotoakustik, Konsentrasi Gas Etilen, Benih Kedelai
THE MEASURING OF ETHYLENE CONCENTRATION OF SOYBEAN SEEDLINGS USING PHOTOACOUSTIC SPECTROSCOPY TECHNIQUE
Abstract. The aim of this research is to measure ethylene concentration of soybean seedlings using photoacoustic spectroscopy technique. The spectroscopy radiatian source is CO2 laser. The soybean seeds used in this research are registered seed, extension seed, and consumption seed class of Baluran variety during germination. Besides measuring the ethylene concentration, the physical condition of the seeds is also observed. The ethylene concentration patterns have been obtained for each class during germination and they show that the ethylene concentrations are different for each class. There is a significant relation between physical condition and ethylene concentration. Keyword : Photoacoustic Spectroscopy, Ethylene Concentration, Soybean seed
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Spektroskopi fotoakustik adalah suatu teknik spektroskopi yang berdasarkan pada efek fotoakustik (wikipedia.org). Sebelumnya, untuk mengukur konsentrasi gas digunakan Gas Chromatography (GC). Namun GC memiliki kelemahan, yaitu kurang sensitif untuk pengukuran gas yang konsentrasinya sangat kecil (ppt) dan waktu tanggapnya lambat
73
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
sehingga tidak dapat digunakan secara online. Oleh karena itu, teknik untuk mengukur konsentrasi gas beralih ke teknik spektroskopi fotoakustik. Keunggulan spektroskopi fotoakustik adalah spektroskopi fotoakustik dapat mengukur konsentrasi gas dengan sangat sensitif dan waktu tanggapnya relatif cepat sehingga dapat digunakan secara online (Santosa dalam Watini, 2008: 1). Spektroskopi fotoakustik dapat mengukur produksi gas etilen dengan interval waktu yang singkat dengan batas terendah 0,006 mikroliter per liter sedangkan Gas Chromatography memerlukan waktu minimal 20-30 menit dengan batas minimal 0.1 mikroliter per liter dari satu gram jaringan tumbuhan (reeis.usda.gov). Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia telah ditegaskan dalam Undangundang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan yang dirumuskannya sebagai usaha mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rurnah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu (Krisnamurthi dalam Jurnal Ekonomi Rakyat, 2003). Di Indonesia kedelai merupakan komoditas pangan yang strategis sehingga upaya untuk berswasembada tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga mendukung agroindustri dan menghemat devisa serta mengurangi ketergantungan terhadap impor.(Baharsjah dalam Supadi, pse.litbang.deptan.go.id) Benih kedelai digolongkan menjadi benih penjenis (breeder seed), benih dasar (foundation seed), benih pokok (registered seed atau stock seed), benih berlabel (certified seed). Perbedaan antara kelas benih satu dan yang lain adalah tingkat kemurnian genetik dan kemurnian fisik, serta ketentuan khusus sesuai dengan jenis tanamannya. Benih berlabel ini secara langsung dipasarkan kepada para konsumen/petani sehingga sering disebut sebagai benih sebar (extension seed) (fp.unud.ac.id).
1.2
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana pola konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh benih kedelai saat berkecambah untuk benih pokok, benih sebar, dan benih konsumsi?
b.
Apakah ada perbedaan konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh benih kedelai saat berkecambah untuk benih pokok, benih sebar, dan benih konsumsi?
1.3. Tujuan Penelitian a.
Untuk mengetahui pola konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh benih kedelai saat berkecambah untuk benih pokok, benih sebar, dan benih konsumsi.
74
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
b.
Untuk mengetahui apakah ada perbedaan konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh benih kedelai saat berkecambah untuk benih pokok, benih sebar, dan benih konsumsi.
II.
LANDASAN TEORI
2.1. Spektroskopi Fotoakustik Bidang spektroskopi terkait dengan karakter atom atau molekul. Secara sederhana hal ini dapat ditunjukkan pada warna lampu lucutan yang tergantung gas isiannya. Karena itu, bidang ini banyak digunakan untuk mempelajari atom dan molekul. Selain itu, bidang ini juga menghasilkan metode-metode pengukuran yang banyak diterapkan di berbagai bidang seperti kimia, biologi, dan lingkungan. Spektroskopi fotoakustik berdasar pada proses serapan cahaya. Penyerapan cahaya tergantung pada beberapa parameter antara lain koefisien serapan dan konsentrasi penyerap. Pada teknik serapan yang konvensional, dilakukan pengukuran intensitas cahaya sebelum dan sesudah melewati sampel. Dari pengukuran tersebut dapat dihitung intensitas cahaya yang diserap dan selanjutnya dapat ditentukan konsentrasi penyerapnya (Santosa, 2008:2).
2.2. Teori Efek Fotoakustik pada Gas Selama
abad
ke
sembilan
belas,
peneliti
efek
fotoakustik
memusatkan
penyelidikannya pada cupilikan gas, oleh karena eksperimen fotoakustik dengan cuplikan gas lebih mudah dilakukan dan dipahami. Bahkan di abad ke dua puluh pun masih banyak penerapan teknik fotoakustik ditujukan pada cuplikan gas (Rosencwaig dalam Mitrayana, 2002:18) Dalam spektroskopi fotoakustik modern untuk gas, cuplikan gas yang diselidiki diletakkan di dalam sel fotoakustik, kemudian disinari oleh radiasi dengan intensitas termodulasi baik berupa radiasi laser maupun dari pancaran sumber radiasi konvensional. Sebagian tenaga radiasi yang datang diserap oleh gas tersebut sehingga dihasilkan variasi tekanan terhadap waktu, yang tampil sebagai bunyi yang dapat dideteksi oleh mikrofon. Serapan radiasi oleh suatu molekul gas terjadi apabila radiasi tersebut bertalun dengan transisi antar tingkat-tingkat tenaga molekul itu (Harren; Rosencwaig; Pao dalam Mitrayana, 2002:18). Jika molekul gas berpeluang menyerap radiasi foton, maka molekul yang menduduki tingkat tenaga dasar E0 (ground state) akan tereksitasi ke tingkat tenaga
75
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
yang lebih tinggi E1 (excited state), dengan E E1 E0 h merupakan perbedaan selisih tenaga antara dua tingkat tenaga tersebut, sedang merupakan frekuensi radiasi foton yang diserap. Molekul yang tereksitasi tadi berada dalam keadaan tidak stabil sehingga cenderung kembali ke keadaan dasar yang stabil dengan cara membuang tenaga E (proses deeksitasi). Proses deeksitasi molekul tersebut berlangsung melalui berbagai
cara (Rosencwaig; Pao dalam Mitrayana, 2002:18) a.
Molekul memancarkan radiasi foton yang sering disebut deeksitasi radiatif atau proses fluoresensi.
b.
Molekul memulai reaksi secara kimia, atau pengaturan ikatan kimia, yang dinamakan proses fotokimia.
c.
Molekul satu membentur melekul lain yang berspesies sama yang berada pada keadaan dasar E 0 kemudian mengeksitasi molekul tersebut ke keadaan eksitasinya E1 . Proses demikian disebut sebagai pemindahan tenaga antar sistem.
d.
Molekul gas saling berbenturan dan sewaktu itu tenaga eksitasi diubah menjadi tenaga translasi atau tenaga kinetik yang mengakibatkan tenaga translasi dua molekul sesudah benturan lebih besar dari pada sebelum benturan. Hal ini akan menimbulkan pemanasan medium gas.
Proses fotokimia terjadi bila tenaga radiasinya cukup tinggi. Pada tenaga rendah, proses yang saling berkompetisi adalah fluoresensi dan pererasan (decay) dengan cara benturan. Pada panjang gelombang 10m , pererasan tak radiatif jauh lebih cepat dari pada laju pererasan radiatif. Efek fotoakustik sangat ditentukan oleh banyaknya proses pererasan tak radiatif sedangkan proses yang terjadi pada serapan radiasi oleh melekul dapat diatur sesuai yang dikehendaki. Dengan demikian, untuk radiasi laser yang mempunyai riak gelombang di sekitar 10m , proses pererasan yang terjadi hampir seluruhnya berwujud deeksitasi tak radiatif. Adapun panjang gelombang pada daerah ini dimiliki oleh radiasi inframerah yang dihasilkan oleh sumber radiaisi laser CO2 (Sigrist; Harren dalam Mitrayana 2002:20) Radiasi inframerah menyebabkan molekul tereksitasi ke arah rotasi-vibarsi. Dari arah vibrasi tersebut, tenaga dialihkan kepada derajat kebebasan translasi melaui proses benturan molekul satu dengan yang lain. Kenaikan tenaga kinetik rerata molekul gas yang timbul akibat benturan tersebut mengakibatkan suhu cuplikan naik. Pada volume tertutup sesuai dengan persamaan keadaan yang berlaku pada gas,
76
kenaikan suhu akan
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
mengakibatkan kenaikan tekanan. Jika berkas radiasi yang datang pada cuplikan gas dimodulasi intensitasnya secara periodik pada frekuensi audio , maka akan didapatkan kenaikan dan penurunan tekanan secara periodik pula yang membangkitkan bunyi pada frekuensiya pula. Gelombang akustik yang terbentuk dapat dideteksi dengan mikrofon (Pao; Rosencwaig; Sigrist; Harren dalam Mitrayana, 2002:20). Pada tahun 1982, laser CO2 mulai dipakai dalam spektroskopi fotoakustik sebagai sumber radiasi. Laser CO2 terus dipakai sebagai sumber radiasi dalam spektroskopi fotoakustik, hingga kepekaannya mencapai orde ppt (1:1012). Menurut Mitrayana, dkk (dalam Andrianto, 2008: hal 33) kelebihan laser CO2 sebagai sumber radiasi spektroskopi fotoakustik antara lain: a.
Batas pengukuran sangat sensitif, yaitu orde ppb (part per billion) hingga ppt (part per trilliun).
b.
Panjang gelombangnya yang dapat ditala (Holohan, dkk. dalam Andrianto, 2008:33)
c.
Daya sangat besar (untuk konfigurasi intra, orde daya keluaran hingga ratusan watt).
d.
Efisiensi Laser CO2 mencapai 30%, hal ini melampaui semua jenis laser, yang efisiensinya hanya 2%.
e.
Berinteraksi dengan banyak molekul gas
2.3. Detektor Fotoakustik Detektor fotoakustik berbasis laser mempunyai bagian-bagian yang terdiri dari laser, sel fotoakustik, mikrofon, lock-in amplifier, powermeter, dan PC. Laser digunakan sebagai sumber cahaya. Laser diarahkan ke sel fotoakustik tempat sampel gas berada. Di dalam sel fotoakustik ini akan terjadi penyerapan tenaga laser oleh gas yang mengakibatkan kenaikan suhu dan tekanan di dalam sel fotoakustik. Tekanan dalam sel fotoakustik dibuat berubah secara periodik untuk menghasilkan bunyi dalam sel fotoakustik dengan memodulasi lasernya. Modulasi laser dilakukan oleh chopper. Bunyi yang dihasilkan ditangkap oleh mikrofon dan keluaran mikrofon akan diperkuat oleh lock-in amplifier. Daya laser yang digunakan diukur dengan powermeter. Selanjutnya sinyal akustik dan daya laser tersebut akan dimasukkan ke komputer melalui ADC-card. Dari data tersebut akan dapat diperoleh nilai konsentrasi gas penyerapnya. Komputer yang sama juga digunakan untuk mengendalikan laser CO2 (Santosa,2008:4).
77
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
2.4. Etilen Etilen adalah sebuah komponen fitohormon-kompleks yang penting yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (Khan, 1977:157). Etilena termasuk salah satu hormon utama yang berhubungan dengan fisiologi benih selain giberelin, asam absisat, siktokinin, dan auksin. Selain berfungsi untuk mempercepat pemasakan buah, etilena juga berfungsi untuk mengatur pemekaran bunga, pengguguran daun dan juga memegang peranan penting dalam perkecambahan benih. Proses biokimia dan fisis dalam perkecambahan dikendalikan oleh etilen. Indikasi awal bahwa etilen dihasilkan secara alami oleh benih dilaporkan oleh Denny dan Miller pada tahun 1935. Sesuatu yang dihasilkan dari perkecambahan benih kacang lima dan kacang polong mengakibatkan pengguguran daun kentang diperkirakan sebagai etilen. Penemuan oleh Beyer (1975) menunjukkan bahwa metabolisme dan aksi etilen mungkin berkaitan erat dengan pertumbuhan benih kacang polong (Khan, 1977:175). Penelitian-penelitian lain yang telah dilakukan menunjukkan bahwa etilen dapat mengakhiri masa tidur benih, diproduksi secara alami oleh benih, dapat mempertahankan dan meningkatkan kekuatan beberapa benih dan merangsang metabolisme benih (Khan, 1977:158). Etilen juga memiliki kemampuan untuk melawan penghambat proses perkecambahan seperti asam absisat dan penghambat-penghambat lainnya (Khan, 1977:175). Biosintesis etilen dimulai dari pengubahan asam amino methionine menjadi Sadenosyl-L-methionine (SAM) oleh enzim Met Adenosyltransferase. SAM kemudian diubah menjadi 1-aminocyclopropane-1-carboxylic-Acid (ACC) oleh enzim ACC synthase (ACS). Langkah terakhir memerlukan oksigen dan melibatkan enzim ACC-oxidase (ACO) yand dulunya dikenal sebagai Ethylene Forming Enzyme (EFE) (wikipedia.org). Konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh tumbuhan atau benih umumnya sangat rendah (sub-ppb). Oleh karena itu, Spektroskopi Fotoakustik Laser merupakan teknik yang cocok untuk memonitor konsentrasi yang sangat rendah ini. Penelitian yang dilakukan dalam daerah panjang gelombang inframerah dengan sumber laser CO2 telah menunjukkan bahwa Spektroskopi Fotoakustik Laser dapat digunakan untuk memonitor gas dengan sensitivitas yang sangat tinggi (Harren dalam Wasono:2). Garis laser yang digunakan adalah 10P14 dan gas etilen mempunyai koefisien serapan 32 cm-1. (Henningsen, dkk; Muadzin, dalam Andrianto, 2008:34).
78
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
III. METODOLOGI PENELITIAN 1.
Persiapan
a.
Botol-botol dicuci dengan menggunakan sedikit deterjen dan pasir. Setelah kering, botol dibilas dengan Metanol Pro Analisis.
b.
Tutup botol dan karet dicuci dengan menggunakan sedikit deterjen. Setelah kering, tutup botol dan karet dibilas dengan Metanol Pro Analisis.
c.
Semua benih direndam secara terpisah sesuai kelasnya dalam aquades selama kurang lebih 7 jam
d.
Satu jam menjelang waktu perendaman berakhir, dilakukan persiapan botol yang akan dijadikan kuvet. 2 helai kapas dengan panjang 6 cm, lebar 6 cm, tebal (tanpa tertekan) 0,5 cm dimasukkan ke masing-masing botol. Setelah itu, kapas dibasahi dengan aquades 52 ml aquades.
e.
Setelah proses perendaman selesai, 100 biji BP dimasukkan ke dalam botol pertama dan diberi label BP, 100 biji BR dimasukkan ke botol kedua dan diberi label BR, dan 100 biji BK dimasukkan ke dalam botol ketiga dan diberi label BK. Semua biji diratakan di atas kapas dan diusahakan tidak ada biji yang saling menumpuk.
f.
Setelah semua benih selesai dimasukkan dan diratakan, karet direkatkan pada mulut botol dengan lem silikon. Setelah itu, ketiga botol beserta karet yang telah direkatkan didiamkan selama 36 jam.
g.
Setelah 36 jam, mulut botol kemudian ditutup erat dengan tutup botol yang telah disiapkan. Setelah ditutup, pengambilan data dimulai.
2.
Pengambilan Data
a.
Langkah pendahuluan sebelum mengukur konsentrasi etilen dari sampel adalah melakukan kalibrasi dengan mengalirkan gas etilen murni 10 ppm ke dalam sel fotoakustik
b.
Setelah itu, sel fotoakustik dibersihkan dari sisa-sisa gas etilen murni dengan mengalirkan udara tekan ke dalam sel fotoakustik. Sel fotoakustik telah bersih jika sinyal akustik yang diterima dari mikrofon menunjukkan nilai minimal. Setelah sinyal yang diterima dari mikrofon tidak mengalami kenaikan lagi, sinyal ini dicatat sebagai sinyal latar. Setelah diperoleh data kalibrasi dan data sinyal latar, langkah berikutnya adalah mengukur konsentrasi etilen sampel.
79
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
c.
ISBN : 978-602-96622-1-4
Botol dengan label BP dihubungkan dengan selang yang terhubung dengan scrubber CaCl2 dan sel fotoakustik dengan cara menancapkan ujung selang yang berupa jarum ke karet melalui lubang pada tutup botol.
d.
Setelah itu, udara tekan dialirkan ke dalam botol melalui selang yang terhubung dengan botol.
e.
Perekaman data dilakukan selama 45 menit dengan menggunakan program sfa4win.
f.
Setelah pengukuran berakhir, selang dicabut dari botol dan dilakukan pembersihan kembali sel fotoakustik.
g.
Setelah sel fotoakustik bersih, dimulai pengukuran konsentrasi gas etilen untuk sampel dalam botol BR. Kemudian, langkah c) sampai f) diulang kembali.
h.
Langkah c) sampai f) diulang untuk sampel dalam botol BK.
i.
Setelah proses pengukuran konsentrasi gas etilen untuk semua sampel selesai, dilakukan pengamatan kondisi fisik dari masing-masing sampel.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kedelai Varietas Baluran Kelas BP 1)
80
Grafik Sinyal/Daya Vs Waktu
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
2)
ISBN : 978-602-96622-1-4
Grafik Konsentrasi Vs Waktu
4.2. Kedelai Varietas Baluran Kelas BR 1)
Grafik Sinyal/Daya Vs Waktu
81
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
2)
Grafik Konsentrasi Vs Waktu
4.3. Kedelai Varietas Baluran Kelas BK 1)
82
Grafik Sinyal/Daya Vs Waktu
ISBN : 978-602-96622-1-4
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
2)
Grafik Konsentrasi Vs Waktu
1.4
Perbandingan Konsentrasi Etilen Awal Kelas BP, BR, dan BK BP Sinyal/Daya
(Sinyal/Daya) Latar
Konsentrasi
ppm (1000ppb)
0,0165
5,72E-05
9,36E-06
9,36
Sinyal/Daya
(Sinyal/Daya) Latar
Konsentrasi
ppm (1000ppb)
0,017
5,72E-05
9,64E-06
9,64
Sinyal/Daya
(Sinyal/Daya) Latar
Konsentrasi
ppm (1000ppb)
0,011
5,72E-05
6,23E-06
6,23
KELAS
KONSENTRASI (ppm)
BP
9,36
BR
9,64
BK
6,23
BR
BK
83
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
1.5. Perbandingan Konsentrasi Etilen Flat Kelas BP, BR, dan BK BP Sinyal/Daya
(Sinyal/Daya) Latar
Konsentrasi
ppm
1,11E-03
5,72E-05
5,99E-07
0,60
Sinyal/Dayal
(Sinyal/Daya) Latar
Konsentrasi
ppm
0,00403
5,72E-05
2,26E-06
2,26
Sinyal/Daya Total
(Sinyal/Daya) Latar
Konsentrasi
ppm
0,00188
5,72E-05
1,04E-06
1,04
BR
BK
84
KELAS
KONSENTRASI (ppm)
BP
0,6
BR
2,26
BK
1,04
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
1.6. Kondisi Fisik Kedelai KELAS
KONDISI FISIK o Semua
BP
biji
mulai
berkecambah
yang dilihat
dari
tumbuhnya akar. Tapi, akar masih belum menembus kulit ari. o Semua
biji
mulai
berkecambah
yang dilihat
dari
tumbuhnya akar. o Jumlah biji yang akarnya masih belum menembus kulit ari: 56 biji BR
o Jumlah biji yang akarnya sudah menembus kulit ari dengan panjang 5 mm: 18 biji o Jumlah biji yang akarnya sudah menembus kulit ari dengan panjang 10 mm: 26 biji o 98 biji mulai berkecambah yang dilihat dari tumbuhnya
BK
akar. Tapi, akar masih belum menembus kulit ari. o 2 biji tidak berkecambah
85
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Dalam penelitian ini telah diperoleh pola konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh benih kedelai kelas BP, BR, dan BK saat berkecambah. Selain itu, grafik perbandingan konsentrasi etilen awal dan grafik perbandingan konsentrasi etilen flat dari ketiga kelas, menunjukkan bahwa adanya perbedaan konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh ketiga kelas tersebut. Dari grafik perbandingan konsentrasi etilen awal dan grafik perbandingan konsentrasi etilen flat dari ketiga kelas, tampak bahwa kelas BR menghasilkan gas etilen paling banyak. Jika hanya memperhatikan grafik perbandingan konsentrasi etilen awal maka hasil perolehan data menunjukkan bahwa konsentrasi gas etilen berkaitan dengan kelas benih. Walaupun konsentrasi gas etilen kelas BP sedikit di bawah kelas BR, hal ini adalah wajar karena kelas BP diukur terlebih dahulu. Dengan demikian, untuk kelas BR terjadi akumulasi 45 menit lebih lama dibandingkan dengan kelas BP. Pada grafik perbandingan konsentrasi gas etilen flat konsentrasi gas etilen kelas BP lebih kecil dari kelas BR dan BK. Faktor yang mungkin memperngaruhi adalah kebocoran. Kebocoran mungkin terjadi karena selama 45 menit, udara tekan yang dialirkan ke dalam botol dapat mendorong tutup karet. Jika memang terjadi kebocoran maka hasil pengukuran seharusnya lebih tinggi dan data yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin tinggi kelas benih semakin tinggi konsentrasi gas etilen. Jika tidak terjadi kebocoran maka data yang diperoleh tidak menunjukkan adanya kaitan antara konsentrasi gas etilen dengan kelas benih. Dengan anggapan bahwa tidak terjadi kebocoran, maka penelitian ini tidak menunjukkan adanya kaitan antara konsentrasi gas etilen dengan kelas benih. Hasil pengamatan kondisi fisik benih menunjukkan bahwa benih kelas BR mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan kelas BP dan BK. Konsentrasi awal dan flat untuk kelas BR adalah lebih tinggi dari kelas BP dan BK. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara kondisi fisik dengan konsentrasi gas etilen yang dihasilkan selama perkecambahan.
V.
Kesimpulan dan Saran
a.
Kesimpulan
(1)
Dalam penelitian ini berhasil diperoleh pola konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh benih kedelai kelas BP, BR, dan BK saat berkecambah. Untuk kelas BP diperoleh konsentrasi awal 9,36 ppm dan konsentrasi flat 0,6 ppm. Untuk kelas BR diperoleh konsentrasi awal 9,64 ppm dan konsentrasi flat 2,26 ppm. Untuk kelas BK diperoleh konsentrasi awal 6,23 ppm dan konsentrasi flat 1,04 ppm.
86
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
(2)
Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa terdapat perbedaan konsentrasi gas etilen yang dihasilkan oleh benih kedelai kelas BP, BR, dan BK saat berkecambah.
b.
Saran Pengukuran sebaiknya dilakukan beberapa kali untuk memperkuat data.
Daftar Pustaka Andrianto. 2008. Optimalisasi Daya Laser CO2 Tipe Semi Sealed-Off sebagai Sumber Radiasi Spektroskopi Fotoakustik Melalui Variasi Komposisi Gas CO2, N2, dan He. Yogyakarta: USD (Skripsi S-1) Harrison dan Miksovska. 2007. Kinetic Analysis of Plant Ethylene Production Using Photoacoustic Spectroscopy. diunduh pada tanggal 1 November 2009 dari http://www.reeis.usda.gov/ web/crisprojectpages/ 204242 .html
Khan, A. A..1977. The Physiology and Biochemistry of Seed Dormancy and Germination. NewYork.: North-Holland Publishing Company Krisnamurthi, Bayu. 2003. dalam Jurnal Ekonomi Rakyat. diunduh pada tanggal 1 November 2009 dari http://www.ekonomirakyat.org/index5.php Mitrayana. 2002. Ultra Sensitive Intracavity Photoacoustic Spectrometer with Sealed-off CO2 Laser Source Applied to The Determination of Insect Trachea Volume Via Its Respiration Mode Study. Yogyakarta: UGM (Tesis S-2) Santosa, I. E..2008. Spektroskopi Fotoakustik. dalam Diskusi Forum Bersama Mahasiswa Fisika Se-DIY, 20 September 2008 di USD, Yogyakarta. Supadi,.2009. Dampak Impor Kedelai Berkelanjutan terhadap Ketahanan Pangan. dalam analisis kebijakan pertanian volume 87 hal 105 diunduh pada tanggal 1 November 2009 dari http://pse.litbang.deptan.go.id Watini, Katarina. 2008. Optimalisasi Detektor Fotoakustik dengan Menentukan Frekuensi Resonansinya. dalam Diskusi Forum Bersama Mahasiswa Fisika Se-DIY, 20 September 2008 di USD, Yogyakarta. Ethylene. diunduh pada tanggal 2 Oktober 2009 dari http://en.wikipedia.org/wiki/ethylene Photoacoustic
Spectroscopy.
diunduh
pada
tanggal
2
Oktober
2009
dari
http://en.wikipedia.org/wiki/photoacoustic_spectroscopy
87
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Tanya Jawab Detiza Goldianto Octensi H. , FMIPA – UGM ?
Apakah laser yang digunakan hanya laser CO2? Apa alasan memilih laser CO2 pada penelitian?
?
Apakah ada sumber radiasi lain yang dapat digunakan untuk penelitian saudara selain laser CO2?
Rudyanto, Pend.Fisika – USD @ Laser CO2 memilikki efisiensi mencapai 30%, hal ini melampaui semua jenis laser, yang efisiensinya hanya 2%. @ Tidak ada yang lebih efisien dibandingkan laser CO2 . Efi Mufliani, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD : ?
Apakah ada kelemahan dari metode Spektroskopi Foto Akustik?
?
Mengapa perbandingan etilen pada BR di awal selalu lebih tinggi dibandingkan BP/BK?
Rudyanto, Pend.Fisika – USD @ Tanpa memperhatikan perangkaian alat, metode spektroskopi fotoakustik tidak ada kelemahan dibandingkan dengan Gas Chromatograph ( GC ). Tetapi jika memperhatikan perangkaian alat, metode spektroskopi dengan menggunakan laser CO2 sebagai sumber radiasinya membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan pelurusan laser. @ Perbandingan etilen pada BR pada kondisi flat dan awal selalu lebih tinggi dibandingkan BP dan BK karena pertumbuhan benih kedelai BR lebih cepat deibandingkan dengan BP dan BK.
88
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
PENGARUH WAKTU KARBONASI TERHADAP KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET DARI LIMBAH PENGGILINGAN PADI (SEKAM) Laifa Rahmawati1, Rizky Stiyabudi2, Christin Lita Agustiani3 1 2
Pend. IPA, FMIPA, UNY;
[email protected]
Pend. Fisika, FMIPA, UNY;
[email protected] 3
Fisika, FMIPA, UNY;
[email protected]
Intisari. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh waktu karbonasi terhadap karakteristik pembakaran biobriket dari limbah penggilingan padi (sekam). Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan waktu karbonasi dan dimensi sebagai variabel bebas.Waktu karbonasi, meliputi variasi waktu karbonasi 90 menit, 120 menit, dan 150 menit. Pengaruh variabel tersebut terhadap karakteristik pembakaran bioriket dari sekam dianalisis dari nilai uji pembakaran. Dari penelitian ini didapati kesimpulan bahwa pengaruh waktu karbonasi terhadap karakteristik pembakaran biobriket sekam berupa semakin lama waktu karbonasi biobriket sekam, semakin baik karakteristik pembakaran yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari semakin lama waktu karbonasinya, waktu pembakaran yang diperlukan untuk pengurangan massa semakin sedikit; bahwa semakin lama waktu karbonasinya maka laju pembakarannya akan semakin besar; serta adanya kenaikan temperature akhir yang sebanding dengan waktu karbonasi yang semakin lama. Kata kunci : waktu karbonasi, biobriket ,sekam THE EFFECT OF CARBONATION DURATION TO THE BURNING CHARACTERISTICS OF BIOBRICKET FROM CHAFF Abstract. This reseach is aimed to study about the effect of carbonation duration to the burning characteristics of biobricket from chaff. This research is an experimental research with carbonation duration as a independent variable. Carbonation duration includes variety of carbonation duration, 90 minutes, 120 minutes, and 150 minutes. The effect of these variables to the burning characteristics of biobricket from chaff is analyzed from the result of burning test. From this research, it can be concluded that the effect of carbonation duration to the burning characteristics of biobricket from chaff is in the form of in a longer carbonation duration, better burning characteristics is resulted. This can be seen from longer carbonation duration, less burning time is needed; in a longer carbonation duration, the burning velocity value is bigger; and there is a staraight comparison between carbonation duration and the increasing of the final temperature. Keywords : carbonation duration, biobricket, chaff
I.
Pendahuluan Melonjaknya harga minyak dunia per Juli 2009 hingga menyentuh 73US$/barel
merupakan persoalan yang dihadapi dunia beberapa tahun terakhir. Konsumsi BBM yang
89
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
mencapai 1,3 juta/barel tidak seimbang dengan produksinya 1 juta/barel sehingga dapat defisit yang dipenuhi melalui impor. Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar (Kompas, 12 Juni 2009) menyatakan bahwa cadangan minyak bumi Indonesia saat ini semakin menipis dan tersisa bagi pemanfaatan selama 23 tahun, cadangan batu bara di Indonesia tersisa 146 tahun,dan cadangan minyak bumi 23 tahun, tetapi yang lebih ditekankan cadangan energi fosil pasti akan habis cepat atau lambat. Persoalan lain dari penggunaan energi fosil ini adalah menjadi penyebab perubahan iklim dan pemanasan global. Energi fosil ini banyak menghasilkan gas yang dapat menyebabkan efek rumah kaca (Kompas, 12 Agustus 2009). Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif pengganti bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak. Peraturan tersebut kemudian diikuti dengan penerbitan Instruksi presiden No 1 tahun 2006 tertanggal 25 Januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel), sebagai energi alternatif. Indonesia memiliki beberapa sumber energi alternatif terbarukan yang berpotensi besar, antara lain : energi hidro dan mikro hidro, energi biotermal, energi biomassa, energi surya, dan energi angin. Potensi sumber – sumber energi tersebut sebagai berikut (pranaka, 2006): Tabel 1. Potensi energi terbarukan di Indonesia Jenis
Sumber Potensi
Kapasitas Terpasang
Energi Hidro
75,67 GW
4200 MW
Mikrohidro
712 MW
206 MW
Geothermal
27 GW
807 MW
Biomassa
49,81 GW
302,4 MW
Surya
4,8 kWh/m²/day
6 MW
Angin
3 – 6 m/sec
0,6 MW
(Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, 2006 )
90
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Salah satu sumber energi alternatif terbarukan yang cukup menjanjikan adalah biobriket. Hal ini mengingat bahwa Indonesia mempunyai potensi energi biomasa yang cukup besar. Terutama penekanan pemerintah terutama dalam pemanfaatan energi hijau. Pemanfaatan energi hijau telah dirancang sejak 2003, yang menjadi pertimbangan pemerintah adalah Indonesia merupakan negara agraris dan berbagai tumbuh – tumbuhan dapat tumbuh subur ( menteri ESDM, 2008). Diperkirakan potensi keseluruhan energi biomasa setara 50.000 MW. Biomasa juga mempunyai kadar sulfur yang rendah (kurang dari 1%). Karakteristik pembakaran bahan bakar briket dan bahan bakar lain dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.Berbagai jenis bahan bakar dan karakteristiknya
Biobriket dapat merupakan bahan bakar padat yang terbuat dari bahan baku biomassa dengan campuran sedikit perekat. Terdapat beberapa jenis biobriket yang telah dikembangkan, beberapa diantaranya adalah biobriket dari tebu, jerami, sisa gergajian kayu, sabut kelapa, serta sekam. Biobriket terutama dikembangkan berdasarkan kelimpahan bahan baku serta karakteristik pembakaran yang dihasilkan; salah satu bahan baku biobriket yang sering digunakan adalah sekam padi. Padi merupakan sumber makanan pokok orang Indonesia. Untuk dapat dikonsumsi, padi harus diolah melalui beberapa proses terlebih dahulu, yang pada setiap pengolahan padi selalu menghasilkan limbah sisa hasil pengolahan, termasuk limbah hasil penggilingan beras. Pada saat penggilingan, dihasilkan limbah yang biasa disebut dengan sekam. Dari catatan pada tahun 1995-2001, produksi sekam padi di Indonesia dapat mencapai 4 juta ton per tahunnya. Oleh masyarakat, sekam pada umumnya hanya dibuang percuma, kalaupun dimanfaatkan lebih jauh, sekam dijadikan sebagai media tanam ataupun bahan bakar biomassa. Namun, pembakaran sekam dalam bentuk biomassa dinilai kurang dari segi efektifitas pembakarannya.
91
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Dari penjelasan di atas maka akan dikaji mengenai pengolahan sekam menjadi bioriket. Selama ini, telah banyak pembuatan biobriket dari sekam, namun perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam tentang faktor-faktor yang berpengaruh pada kualitas biobriket tersebut. Dengan pengkajian mendalam yang dilakukan setelah percobaan yang ditujukan untuk menguji faktor yang berpengaruh, maka diharapkan dapat diketahui pengaruh faktor-faktor tesebut terhadap kualitas akhir biobriket. Kualitas biobriket ditunjukkan dengan karakteristik pembakaran biobriket, yaitu nilai kalor pada pembakaran briket dari sekam ini. Percobaan ini selanjutnya akan memberikan kontribusi terhadap kajian kelaikan sekam sebagai biobriket maupun sebagai kajian mengenai variasi perlakuan pada faktor
yang berpengaruh pada kualitas akhir biobriket dari sekam,
sehingga dapat dihasilkan satu kajian mengenai variasi faktor, terutama waktu karbonasi, yang akan memberikan kualitas pembakaran biobriket sekam yang terbaik. Penelitian serta kajian ini dipandang penting terutama karena keduanya mendukung upaya untuk menemukan sumber bahan bakar lain dengan memanfaatkan sumber daya yang melimpah dan kurang bernilai ekonomis, sehingga penggunaan bahan bakar fosil dapat dikurangi.
II.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Penelitian ini dilaksanakan dalam
tiga tahapan mayor; yaitu tahap pembuatan biobriket sekam, tahap pengujian karakteristik pembakaran biobriket sekam, serta analisis hasil pengujian. Tahapan pembuatan biobriket sekam meliputi observasi serta pengumpulan bahan dan alat, karbonasi / pengarangan sekam, pencetakan biobriket, serta pengeringan biobriket sekam. Variabel-variabel untuk membatasi penelitian ini supaya tidak melebar, dimana variabel bebas yang digunakan adalah waktu karbonasi, waktu karbonasi yang digunakan yatu 90 menit, 120 menit, dan 150 menit. Untuk mengkontrol variabel-variabel tadi digunakan variabel kontrol yaitu tekanan 3 ton, massa sebelum pengarangan 50 gram, dengan suhu pengarangan 250 ◦C, massa biobriket 5 gram, diameter 15 mm. Tahapan selanjutnya adalah tahap pengujian karakteristik pembakaran biobriket sekam. Tahapan ini meliputi tahap pengujian nilai kalor
biobriket.
Pengujian kharakteristik pembakaran
juga dilakukan beberapa
pengontrolan terhadap laju pembakaran 0,6 m/s dan temperatur awal pembakaran 200 ◦C. Tahap selanjutnya adalah menganalisis hasil pengujian tersebut, dimana dari hasil pengujian dapat diketahui efisiensi pembakaran yang dari biobriket sekam dengan biobriket yang telah ada sebelumnya.
92
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
III. Hasil dan Pembahasan Untuk mengetahui kharakteristik pembakaran suatu bahan bakar padat atau biomassa dilakukan uji pembakaran yang nantinya dihasilkan data yang lengkap terkait dengan efisiensi bahan bakar.
Grafik 1. Pengurangan massa pembakaran Lama waktu karbonasi membuat tingkat kearangan semakin pekat dan semakin lama tingkat karbonasi maka ukuran partikel biobriket sekam yang dikarbonasi akan semakin kecil. Hal itu dikarenakan ketika dikarbonasi kandungan air yang ada di dalam biobriket sekam semakin lama semakin berkurang. Pada grafik di atas, ditunjukkan bahwa bahwa semakin lama waktu karbonasi maka waktu pembakaran yang diperlukan untuk pengurangan massa biobriket sekam akan semakin berkurang akan semakin cepat terbakar. Hal itu disebabkan karena partikel penyusun biobriket sekam dan kadar air di dalam biobriket sekam juga semakin berkurang.
Grafik 2. Laju pembakaran
93
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Laju pembakaran pada grafik diatas di dapatkan berupa grafik berbentuk polymonial, dimana dapat diketahui bahwa suatu ketika laju pembakaran mencapai titik maksimun, tetapi titik maksimum laju pembakaran dari setiap biobriket sekam yang diuji berbedabeda, tergantung pada kadar air dan partikel penyusun biomasaa. Semakin renggang partikel maka titik puncak laju pembakaran dari biobriket sekam akan semakin rendah. Jadi dapat dikatakan bahwa dari grafik diatas dapat digambarkan bahwa titik puncak paling tinggi berada pada waktu karbonasi 150 menit. Setelah mencapai titik puncak paling tinggi dengan waktu karbonasi yang dibutuhkan 150 menit maka grafik akan mengalami peluruhan hingga pada titik terendah yang berarti bahwa semakin besar waktu pembakaran maka laju yang dibutuhkan semakin besar. Apabila dibandingkan dari ketiga waktu karbonasi maka didapatkan hasil bahwa semakin lama waktu karbonasinya maka laju pembakarannya akan semakin besar.
Grafik 3. Temperatur Pembakaran Pada grafik di atas ditampilkan hasil grafik hubungan antara waktu pembakaran dengan temperatur akhir pembakaran. Dari hasil analisis grafik, didapatkan grafik yang berbentuk linier untuk waktu karbonasi 90 menit dengan temperature akhir pembakaran 80 0 . Setelah mencapai temperature 800, maka grafik akan berbentuk polynomial dengan variasi laju aliran 90 menit, 120 menit, dan 150 menit. Dari hasil juga terlihat bahwa pada waktu karbonasi 150 menit maka temperatur akhir mengalami kenaikan pada temperatur 1200. Sehingga dapat dikatakan bahwa temperatur akhir akan mengalami kenaikan sebanding dengan waktu karbonasi yang semakin lama. Ketiga analisis di atas, digunakan untuk mengetahui pengaruh waktu karbonasi terhadap karakteristik pembakaran, yang didasarkan pada uji pembakaran yang dilakukan pada ketiga sampel biobriket sekam yang divariasikan waktu karbonasinya, yaitu 90 menit, 120 menit, serta 150 menit. Pada grafik pertama, grafik yang menunjukkan hubungan
94
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
antara waktu karbonasi dengan pengurangan massa pembakaran, diketahui bahwa semakin lama waktu karbonasi maka waktu pembakaran yang diperlukan untuk pengurangan massa semakin berkurang akan semakin cepat terbakar. Pada grafik kedua, yang menunjukan hubungan antara waktu karbonasi dengan laju pembakaran, diketahui bahwa semakin besar waktu pembakaran maka laju yang dibutuhkan semakin besar. Dan apabila dibandingkan dari ketiga waktu karbonasi maka didapatkan hasil bahwa semakin lama waktu karbonasinya maka laju pembakarannya akan semakin besar. Pada grafik ketiga, yang menggambarkan hubungan antara waktu karbonasi dengan temperatur pembakaran, diketahui bahwa temperature akhir akan mengalami kenaikan sebanding dengan waktu karbonasi yang semakin lama.
IV.
Kesimpulan Dari penelitian ini, dapat diketahui bahwa pengaruh waktu karbonasi terhadap
karakteristik pembakaran biobriket sekam berupa semakin lama waktu karbonasi biobriket sekam, semakin baik karakteristik pembakaran yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari semakin lama waktu karbonasi, waktu pembakaran yang diperlukan untuk pengurangan massa semakin sedikit; semakin lama waktu karbonasi maka laju pembakarannya akan semakin besar; dan adanya kenaikan temperatur akhir yang sebanding dengan waktu karbonasi yang semakin lama.
Daftar Pustaka Agus Rasidi. Briket Limbah Menghilangkan Sampah. 03 Januari 2008. Borman,G.L.and Ragland,K.W.1998. Combusting.Engineering. McGraw-Hill Book Co. Singapore. Bungay,Henry. R.1981. Energi: The BiomassOptions, John Wilay & Sons, New York. Chin, O.C, Siddiqui. 1999. Characteristic of some biomass briquettes prepared under modest die pressure. Biomass dan Bioenergi 18,223 – 228. Pergoman. Demibas., A.1997. Physical
properties of briquettes from waste paper and wheat
strawmixtures. Energi conversion & Managemant journal, 40, 437-445, Elsevier. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral ( DESDM). 2006. Statistika Energi Indonesia. Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral ( DESDM). 2006. Pemanfaatan Energi.
95
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Husein, M.Z.M. 2006. Semangat Berhemat Energi: Belajar dari Negara Maju, Inovasi Vol 7. Kementrian Negara Riset
dan Teknologi(KNRT).2006. Buku Putih Penelitian,
Pengembangan dan Penera[pan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2005 – 2—25. Jakarta. Kompas, 12 juni 2009, Harga Minyak Dunia Dekati 73 Dollar AS. Kompas, 12 Agustus 2009, Puluhan Ribu Kilometer Persegi Es Arktik Meleleh. Lu Hong. 2006. Comprehensive Study of Biomass Priicle Combustion,
Annual
ACERC Conference, February 22. M. Syamsiro dan Harwin Saptoadi. 2007. Pembakaran Briket Biomassa Cangkang Kakao: Pengaruh Temperatur Udara Prehea.Yogyakarta : Seminar Nasional Teknologi 2007. Pranaka P. 2006. Ultilization of Biomass Sources In Indonesian : challanges & Opportunity for the Development, Biomassa Asia Forum. Tokyo. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomer 5 tahhun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional Rita Kartika Sari, Adi Setiadi, Patria Kusumadiya. 2007. Pembuatan Briket Arang. Sofyan. Pembuatan Briket Arang. 31 Desember 2008 Sri Widowati.2008. Pemanfaatan Hasil Samping Penggilingan Padi dalam Menunjang Sistem Agroindustri di Pedesaan. Bogor : Agrobio. Vest.H. 2003. Small Scale Briquetting and Carbonasation of Organic Residus for Fuel. Infogate. Eschbrown, Germany.
Tanya Jawab Cicilia Wamman T.D. – USD ?
Bahan apa yang digunakan untuk perekat sekam tersebut? Dan komposisi campurannya?
Rizky Stiyabudi, Laifa Rahmawati, Cristin – UNY @ Amilum ( pati ) Sekam
( 91% )
Amilum ( 5% ) Air
96
( 4% )
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
PERANAN PENDIDIKAN DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN BAGI KESEJAHTERAAN MANUSIA
Nurhidayah Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta e-mail :
[email protected]
Intisari. Menurut Comenius, pendidikan yang layak bagi anak didik atau peserta didik tidaklah dengan mencekoki berbagai kata-kata, kalimat dan ide-ide dalam kepala mereka yang diulurkan bersama beragam pengarang, tapi melainkan pendidikan harus mampu membuka pemahaman mereka terhadap dunia luas sehingga aliaran kehidupan bisa mengalir dari pikiran mereka. Pendidikan yang terjebak pada kebutuhan teknis dan melayani industri biasanya akan terjebak pada upaya menjawab pertanyaan mendasar tentang fungsi dan hakikat pendidikan. Jika pendidikan bertujuan menciptakan kesadaran, selain pengetahuan dan keterampilan teknis, maka hal ini memang berhadapan dengan dominasi ideologi yang membuat kebanyakan orang kehilangan daya kritisnya. Setiap transisi melibatkan perubahan, namun tidak setiap perubahan melahirkan transisi (Paulo Frire, 1967, terjemahan Alois A. Nugroho: 1984:7). Perubahan- perubahan ini tampak pada kemajuan pemikiran yang mendalam dan ini terlihat pada diri manusia ketika manusia menggapai cita-cita penuntutan terhadap mutu pendidikan untuk mencapai citacita tersebut. Oleh sebab itu semakin kompleks pula jiwa manusia karena didorong oleh tuntutan hidup yang semakin meningkat pula. Itulah sebabnya pendidikan beserta lembaga-lembaganya harus menjadi cermin dari cita-cita kelompok manusia disatu pihak dan pada waktu bersamaan dan sekaligus mampu mengubah dan meningkatkan cita-cita hidup kelompok manusia agar tidak terbelakang dan statis. Kata kunci : pendidikan, mutu pendidikan
THE ROLE OF EDUCATION IN INCREASING THE QUALITY OF EDUCATION FOR HUMAN WELFARE
Abstract. According to Comenius, a decent education for our students or learners are not with fed a variety of words, sentences and ideas in their heads that was offered with a variety of authors, but the other hands must be able to open their understanding to wide world so that life can flows from their minds. Education that is trapped on the technical needs and serving the industry commonky wich would trapped in an effort to answer fundamental questions about the function and education nature. If education aims to create awareness, besides knowledge and technical skills, so in this ceses actually face with the dominant ideology that makes most of people lose their critical power. Each transition involves a change, but not every change in birth transition (Frire Paulo, 1967, translate of Alois A. Nugroho: 1984:7). These changes appear on the progress of intended paradigm and it is seem in humans seft when humans get the dreams to ward the quality of education to achieve that goal. There fore the human soul is more complex because is supported by
97
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
demands of life which is more increase too because of that educations and its institutions must be mirror of the ideals of the human groups in one side. At the same time also be able change and increase the ideals of life, of the human groups in order that not back word and static. Keywords: education, quality of education I.
Pendahuluan Pendidikan merupakan tempat untuk membuktikan adanya perbedaan tingkat
kemampuan seseorang. Melalui pendidikan, suatu bangsa akan mampu menciptakan kader-kader atau generasi-generasi pencetus yang berkualitas. Oleh sebab itu, hanya pendidikanlah yang bisa menjawab “apakah bangsa kita akan mampu menghadapi persaingan intelektualitas di kancah internasional?”. Memang pendidikan merupakan investasi yang sangat berharga untuk menjadikan masa depan kita menjadi lebih baik dan ini terbukti dengan banyak orang yang berlombalomba menuntut ilmu setinggi-tingginya bahkan sampai keluar negeri sekalipun. Namun terlepas dari hal tersebut masih banyak saudara-saudara kita yang tidak bisa merasakan indahnya pendidikan karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu salah satunya faktor kemiskinan. Menurut Comenius dalam karyanya yang berjudul Didactica Magna (“Seni Pengajaran yang Agung”) menyatakan bahwa prinsip terpenting adalah “education for everyone” (pendidikan untuk semua), ini menunjukan Comenius berprinsip bahwa tidak hanya orang kaya atau yang punya kekuasaan saja yang bisa merasakan pendidikan, melainkan semua orang harus bisa merasakan pendidikan. Oleh karenanya masalah pendidikan merupakan wahana yang sangat penting untuk mencapai kemerdekaan. Dimana sejarah telah membuktikan hal itu ketika para pemimpin perjuangan kemerdekaan diberbagai Negara jajahan memulai kegiatan mereka dari bidang pendidikan.
II.
Deskripsi Konsep Pendidikan Pendidikan bagi kehidupan umat manusia adalah suatu kebutuhan mutlak yang harus
dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa adanya pendidikan maka mustahil dan tidak mungkin seseorang atau kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (citacita) untuk maju, berkembang, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Oleh sebab itu, pendidikan menjadi sarana utama yang perlu dikelola secara sistematis dan konsisten berdasarkan berbagai pandangan teorikal dan praktikal sepanjag waktu sesuai dengan lingkungan hidup manusia itu sendiri. Kerena pendidikan sangat
98
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
berperan penting dalam pembangunan suatu bangsa, maka ini dijadikan suatu pacuan untuk mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Definisi pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli antara lain: (1) Dirkarya mengatakan bahwa : Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia ketaraf insani itulah yang disebut mendidik (Ditjen Dikti, 1983/1984:19). (2) Dictionary of education menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya didalam kehidupan bermasyarakat, proses sosial dimana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum (Ditjen Dikti, 1983/1984:19). (3) Crow and crow menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke gerasi (Suprapto, 1975). (4) Ki Hadjar Dewantara dalam Kongres Taman Siswa yang pertama pada tahun 1930 menyebutkan bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran, intelek dan tubuh anak. Dari uraian diatas, maka pendidikan dapat diartikan sebagai : (1) Suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan. (2) Suatu pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada anak dalam pertumbuhannya. (3) Suatu usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang dikendaki oleh masyarakat. (4) Suatu pembentukan kepribadian dan kemampuan anak dalam menuju dewasa (Fuad Ihsan, 2003). Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan keterampilan saja, namun perlu diperluas sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan. Dari paparan tersebut maka implikasi konsep pendidikannya adalah (a) Semua tenaga pendidikan baik pada jalur formal, nonformal maupun informal yang mencakup manajer atau administrator pendidikan, pengawas pendidikan atau supervisor, guru, dosen, eksper, dan narasumber serta tenaga penunjang akademik harus memiliki pengertian yang benar tentang pendidikan, paham akan tujuan pendidikan, menyiapkan segala sesuatu, serta melaksanakan tugasnya masing-masing sesuai dengan prinsip pendidikan dan mengarah kepada pencapain tujuan pendidikan. Ada tiga macam pendidikan, yaitu: (1) Pendidikan yang dipakai oleh masyarakat umum, yang
99
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
tidak ilmiah melainkan diwariskan secara turun temurun; (2) Teori umum pendidikan yang mirip dengan filsafat pendidikan, yang menekankan pada prinsip-prinsip mengajar atau didakti; (3) Ilmu pendidikan, suatu pendidikan yang bersifat ilmiah, yang utuh sebagai satu kesatuan ilmu. (b) Mendidik adalah suatu upaya untuk membuat peserta didik mau dan dapat belajar atas dorongan diri sendiri untuk mengembangkan bakat, pribadi dan potensipotensi lainnya secara optimal kearah yang positif. (c) Tujuan mendidik adalah membantu anak untuk mengembangkan semua potensi jiwa dan jasmaninya secara berimbang harmonis dan terintegrasi sehingga menjadi manusia yang berkembang seutuhnya yang diwarnai oleh sila-sila pancasila. Untuk mengatasi praktik-praktik pendidikan yang bersumber dari konsep-konsep pendidikan luar negri dan yang mengutamakan pengembangan kognisi, perlu segera dipikirkan untuk mewujudkan ilmu pendidikan yang bercorak Indonesia. Serta penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan sebagai bagian yang terpenting dalam mengsukseskan misi pendidikan, sebab cara ini lebih menjamin dari pada nonsistem.
III. Pembahasan 1.
Fungsi pendidikan Pendidikan sangat berperan penting terhadap perkembangan seseorang maupun
sekelompok orang. Dengan pendidikan seseorang dapat merubah dirinya sendiri baik dari segi tingkah laku maupun dari segi pemikirannya. Tidak heran bahwa banyak peserta didik menuntut ilmu setinggi-tingginya sampai keluar negeri sekalipun untuk mencapai cita-cita yang ingin digapainya. Fungsi pendidikan dapat diartikan secara sempit maupun secara luas. Fungsi pendidikan secara sempit adalah membantu secara sadar perkembangan jasmani dan rohani peserta didik, sedangkan pengertian secara luasnya adalah sebagai alat pengembangan pribadi, perkembangan warga Negara, budaya dan bangsa (Fuad Ihsan, 2003). Melalui pendidikan yang diberikan seseorang atau sekelompok orang dapat mengetahui apa yang belum diketahui dan menambah wawasan pemikirannya sehingga menjadi manusia yang seutuhnya. Suatu bangsa dikatakan maju apabila mutu pendidikannya bagus sehingga dapat menciptakan kader-kader anak bangsa yang cerdas.
100
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
2.
ISBN : 978-602-96622-1-4
Tujuan pendidikan Tujuan pendidikan di Indonesia tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia
(UURI) nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturanperaturan pemerintah yang bertalian dengan pendidikan. Dalam peraturan pemerintah republik Indonesia (PPRI) nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 26 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan dasar : kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, keterampilan untuk hidup mandiri, mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dari urain tersebut dapat dikatakan bahwa peranan pendidikan dari mulai SD, SMP, SMA dan pendidikan tingkat lanjut mempunyai tujuan yang sama, hanya saja dalam pendidikan dasar dinyatakan dalam peletak dasar, sedangkan pendidikan umum disebutkan untuk meningkatkan apa yang telah dicapai pada pendidikan dasar. Masih dalam pasal yang sama yaitu ayat 4 pada PP itu menyatakan bahwa tujuan pendidikan tinggi adalah untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, terampil, mandiri, mampu menemukan, mengembangkan dan menerapkan ilmu, teknologi, serta seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Tujuan pendidikan tinggi ini sudah komprehensif, sebab sudah mencakup ranah afeksi, kognisi, dan psikomotor, serta dilengkapi dengan kemampuan mandiri dan menjadi ilmuwan. Jika tujuan pendidikan diatas dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional yang tertulis dalam UURI No. 20 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional berupaya untuk dapat mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Secara umum tujuan-tujuan pendidikan di Indonesia, baik tujuan-tujuan sekolah, perguruan tinggi, maupun tujuan nasional sudah mencakup tiga ranah perkembangan manusia, seperti yang tertulis dalam teori-teori pendidikan, yaitu perkembangan afeksi, kognitif, dan psikomotor. Melalui sistem pendidikan nasional diharapkan setiap rakyat Indonesia mempertahankan hidupnya, mengembangkan dirinya dan secara bersama-sama membangun masyarakatnya. Dengan demikian tujuan pendidikan di Indonesia yang sudah komprehensif yang mencakup afeksi, kognitif, dan psikomotor hendaklah dikembangkan secara berimbang, optimal, dan integrative. Berimbang artinya perkembangan ketiga ranah tersebut diatas dilakukan dengan intensitas yang sama, yang professional dan tidak berat sebelah. Optimal artinya setiap ranah itu dilayani perkembangannya sesuai dengan besar
101
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
potensinya masing-masing. Sedangkan integrative menunjukan perkembangan ketiga ranah itu dikaitkan satu dengan yang lain sehinggan menjadi kebulatan.
3.
Faktor-faktor Pendidikan Ada beberapa faktor pendidikan yang dapat membentuk pola interaksi atau saling
mempengaruhi diantaranya adalah sebagai berikut : (1) Faktor Tujuan; Menurut Langeveld dalam bukunya Beknopte Teoritische Pedagogik bahwa macam-macam tujuan pendidikan dibedakan sebagai berikut yaitu tujuan umum, tujuan tak sempurna/ tak lengkap, tujuan sementara, tujuan perantara dan tujuan insidental. (2) Faktor Pendidik; ini dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu: (a) pendidik menurut kodrat yaitu orang tua; Maksudnya pendidik pertama dan utama karena secara kodrati anak manusia dilahirkan oleh orang tuanya yaitu ibu. Hubungan orang tua dan anaknya dalam edukatif mengandung dua unsur dasar yaitu unsur kasih sayang pendidik terhadap anak dan unsur kesadaran dan tanggung jawab dari pendidik untuk menuntun perkembangan anak. (b) Pendidik menurut jabatan yaitu guru; Maksudnya guru sebagai pendidik menerima jabatan dan tanggung jawab dari tiga pihak yaitu orang tua, masyarakat dan Negara. Tanggungjawab dari orang tua diterima guru atas dasar rasa kepercayaan bahwa guru mampu memberikan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan perkembangan peserta didik dan diharapkan pula dari pribadi guru memancar sikap-sikap dan sifat-sifat yang normative baik sebagai kelanjutan dari sikap dan sifat orang tua pada umumnya yaitu kasih sayang pada peserta didik dan tanggungjawab pada tugas pendidik. (3) Faktor Peserta Didik; Seiring dengan perubahan dan kemajuan pendidikan dimana pendidikan dulu memandang peserta didik sebagai organisme yang pasif dan hanya menerima informasi dari orang dewasa. Kini paradigma itu bergeser sejalan dengan komunikasi antara manusia berkembang amat cepat. Hal ini ditinjau dari konteks yang mendorong perkembangan seseorang yaitu : (a) Lingkungan dimana peserta didik secara kebetulan dan kadang-kadang belajar secara tidak terprogram; (b) Lingkungan belajar dimana peserta didik belajar secara sengaja dan dikehendaki; (c) Sekolah dimana peserta didik belajar mengikuti program yang ditetapkan; (d) Lingkungan pendidikan optimal, di sekolah yang ideal dimana peserta didik dapat melakukan cara belajar siswa aktif (CSBA) sekaligus menghayati / mengimplisitkan nilai-nilai.
102
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Secara teoritis peserta didik bisa berkembang secara optimal dalam arti kata mampu berkembang kreatif optimal: (a) Faktor Isi / Materi Pendidikan ialah segala sesuatu yang berasal dari pendidik yang diberikan secara langsung kepada peserta didik dalam rangka untuk mencapai tujuan pendidikan. Adapun materi yang disampaikan yaitu harus materi yang sesuai dengan tujuan pendidikan dan peserta didik; (b) Faktor Metode Pendidikan; Hal ini ditandai dengan adanya interaksi edukatif. Agar interaksi ini dapat berlangsung secara efektif dan efesien dalam mencapai pendidikan dan tujuannya maka dibutuhkan pemilihan bahan / materi pendidikan yang tepat. Oleh sebab itu, perlu menentukan suatu metode agar mempunyai patokan yang bersumber dari beberapa faktor dan faktor utama yang menetukan adalah tujuan yang akan dicapai; (c) Faktor Situasi Lingkungan; Faktor lingkungan ini juga mempengaruhi pendidikan yaitu meliputi lingkungan fisis, lingkungan teknis maupun lingkungan sosial. Dimana faktor ini dapat berefek negarif terhadap pendidikan maupun peserta didik baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
IV. Kesimpulan Pendidikan adalah suatu hasil peradaban bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri. Dan sekaligus juga menunjukan sesuatu bagaimana warga negaranya berfikir dan berperilaku secara turun temurun hingga kepada generasi berikutnya yang dalam perkembangan akan sampai pada tingkat peradaban yang maju atau meningkatnya nilai-nilai kehidupan dan menghasilkan pembinaan kehidupan yang sempurna. Melalui usaha yang dilakukan tersebut akan tertanam nilai-nilai dan normanorma pada diri manusia dan hal itu dapat diwariskan pada kader-kader bangsa untuk mengembangkannya dalam hidup dan kehidupan yang terjadi dalam suatu proses pendidikan. Ditinjau dari tujuan pendidikan Paulo Freire mengemukakan bahwa pendidikan hendaklah membuat manusia menjadi transitif yaitu suatu kemampuan menangkap dan menanggapi masalah-masalah lingkungan serta kemampuan berdialog tidak hanya dengan sesama, tetapi juga dengan dunia beserta segala isinya (Freire, 1984). Selanjutnya ia mengatakan bahwa pendidikan harus pula membekali manusia dengan kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap kecenderungan semakin kuatnya kebudayaan industri meskipun kebudayaan itu dapat menaikan standar hidup manusia. Seperti yang dikemukan oleh Alvin Toffler (1987) yang menyatakan bahwa masa sekarang tidak sama dengan masa yang akan datang. Oleh sebab itu peranan pendidikan terhadap kemajuan suatu bangsa sangat berperan penting untuk mengembangkan diri secara alami atau wajar dalam arti
103
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
memberi kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan potensi-potensi mereka seperti apa adanya. Namun cita-cita tersebut tidak mungkin dapat dicapai jika manusia itu sendiri tidak berusaha keras meningkatkan kemampuannya seoptimal mungkin melalui pendidikan, karena proses kependidikan adalah suatu kegiatan secara bertahap berdasarkan peranannya yang matang untuk mencapai tujuan dan cita-cita tersebut.
Daftar Pustaka Barnadib, Ny. Soetari. 1985. Pendidikan Sistematis.Yayasan Penerbit FIP-FKIP: Yogyakarta. Freire, Paulo. 1984. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. PT Gramedia: Jakarta. Ihsan, Fuad. 2003. Dasar-dasar Kependidikan. PT Rineka Cipta: Jakarta. Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan. PT Rineka Cipta: Jakarta. Soyomukti, Nurani. 2008. Metode Pendidikan Marxisme Sosialis. Ar-Ruzz Media: Yogyakarta. Undang-undang Nomor 2/1989. 1990. Tentang Sistem Pendidikan Nasional.Departemen Penerangan. Zubaedi. 2007. Pendidikan Berbasis Masyarakat. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Tanya Jawab Hendra Agus S. , Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD : ?
Bagaimana mutu pendidikan di Indonesia
?
Standar mutu pendidikan yang baik
?
Bagaimana pendidikan nonformal bisa mendukung dari pendidikan formal itu sendiri
Nur Hidayah – UAD @ Mutu pendidikan di Indonesia, pemerintah tidak bisa seutuhnya menjadi penentu dari mutu pendidikan, banyak faktor lain yang terkait. @ Peningkatan standarisasi mutu pendidikan dengan perkembangan kurikulum (KBK, KTSP) @ Pendidikan nonformal bisa mendukung adanya pendidikan formal karena banyak halhal yang bisa dicapai/prestasi dari pendidikan non formal Contoh: homeschooling
104
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Rusli Irwanto, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD : ?
Bagaimana pandangan anda tentang pendidikan yang terdapat unsur ketidakjujuran?
?
Bagaimana pola pendidikan yang benar dan bagus untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi kesejahteraan manusia?
Nur Hidayah – UAD @ Kejujuran dalam pendidikan itu sebenarnya dapat dicapai dengan kesadaran diri dan menanamkan pola-pola pendidikan yang ada. @ Dengan ranah kognitif dan psikomotor dari diri sendiri kemudian baru kepada orang lain.
105
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
UPAYA MENINGKATKAN MINAT DAN PRESTASI BELAJAR FISIKA MELALUI METODE PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE (TTW)
Hidayati Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Intisari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan minat dan prestasi belajar fisika melalui metode pembelajaran Think Talk Write (TTW) mahasiswa Program Studi Pendidikan IPA FKIP UST tahun akademik 2009/2010. Selain itu juga untuk mengetahui respon mahasiswa terhadap pelaksanaan pembelajaran TTW. Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah ada peningkatan minat dan prestasi belajar fisika melalui metode pembelajaran TTW. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan secara kolaboratif. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan IPA FKIP UST yang menempuh mata kuliah fisika sebanyak 27 mahasiswa. Obyek dalam penelitian ini adalah pelaksanaan proses pembelajaran melalui metode TTW, minat belajar fisika dan prestasi belajar fisika. Penelitian dilakukan selama 6 bulan, mulai bulan September 2009 sampai Februari 2010. Teknik pengumpulan data dengan teknik observasi, wawancara, catatan lapangan, angket dan tes. Angket untuk menjaring data minat belajar dan tes untuk menjaring data prestasi belajar fisika. Validitas instrumen angket dan tes dicari dengan korelasi Produk Moment dari Pearson. Reliabilitas instrumen angket dan tes dicari dengan Alpha Cornbach. Analisis data angket partisipasi mahasiswa dicari dengan kriteria Sukardi (2006:147). Analisis prosentase keberhasilan menggunakan rumus Suharsimi Arikunto (2006:214). Penentuan skor peningkatan individu dan kelompok dicari dengan kriteria Muslimin Ibrahim (2006:57). Hasil penelitian menunjukan bahwa ada peningkatkan minat mahasiswa dalam pembelajaran fisika melalui metode TTW dari kriteria sedang menjadi kriteria tinggi atau dari skor rata rata siklus I sebesar 58,62 menjadi 77,33 pada siklus II. Selanjutnya ditemukan bahwa ada peningkatan prestasi belajar fisika setelah diajar melalui metode TTW. Hal ini dapat dibuktikan dari nilai awal rata rata sebesar 48,43 kemudian pada siklus I menjadi 65,89 dan pada siklus II menjadi 80,78. Ditinjau dari respon mahasiswa diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran melalui metode TTW lebih menarik minat dan lebih menyenangkan sebab jika ada kesulitan dapat ditanyakan kepada kelompok dan mendapat penghargaan.
THE EFFORT TO IMPROVE ACHIEVEMENT AND INTEREST PHYSICAL LEARNING THROUGH THINK TALK WRITE (TTW) Abstract. This research have a purpose to improve interest and achievement of physical learning through Think Talk Write (TTW) learning method university student IPA FKIP UST academic year 2009/2010. Else to know student respond about realization of TTW learning. Action hypothesis in this research is there are interest and achieve to learn physic through TTW learning method. This research is a action research that done collaboratively. Subject in this research are 27 students of Science Education study program of FKIP UST that have physics subject. Object in this research is learning process execution with TTW method, interesting and achieve to learn physic. This research is done for 6 months, start
106
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
from September 2009 until Februari 2010. Collecting data method and observation technical, interview, field notes, questionnaire and exam. Questionnaire for filter study interest data and exam for filter study physic achievement data. Validity of questionnaire instrument and exam are searched by moment product correlation from Pearson. Reliability of questionnaire instrument an exam are searched by Alpha Cornbach. Questionnaire data analysis of student university participation are search by Sukardi criteria (2006:147). Achievement percentage analysis use Suharsimi Arikunto method (2006:214). Determination of increment of individual and groups are search by Muslim Ibrahm Criteria (2006:57). The result of this research show that there are increment of student interest in studying physic by TTW method from medium criteria to high criteria or from average score cycle 1 about 58,62% to 77,33% on cycle II. Then founded that there are increment in learning physic achievement after taught by TTW method. It can be proved from average first score about 48,83 then in 1st cycle become 65,89 and in 2nd cycle become 80,78. Viewed from university student respond, can be concluded that learning by TT method more intrigue and more pleasant because if there are some difficulties can be asked in groups and get reward. Keyword : Think Talk Write Learning Mathod, Interest and Achievement.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sarana penting untuk mencetak manusia yang berkualitas.
Untuk mewujudkan hal tersebut peran pendidik sangat besar, antara lain dalam hal peningkatan mutu pendidikan dan keberhasilan mahasiswa. Ini berarati dosen sebagai pendidik dituntut untuk dapat menyelenggarakan proses pembelajaran dengan baik. Berhasil tidaknya suatu pembelajaran yang diterapkan pendidik di kampus salah satunya tergantung dari metode dan strategi yang digunakan. Pendidik sebagai agen pembelajaran harus mampu menyajikan proses pembelajaran secara kontekstual dengan melibatkan keaktifan mahasiswa secara langsung. Sebaik apapun substansi materi, tetapi jika pendidik tidak mampu mengemas secara baik dalam penyampaiannya, maka substansi materi tersebut tidak akan sampai kepada mahasiswa. Dalam arti mahasiswa akan menjadi bosan karena kurangnya respon dan antusiasme mereka. Untuk itu pendidik harus mampu meramu sistem pembelajaran dan mampu menyampaikannya secara menarik, efektif dan inovatif sehingga dapat mendorong kreatifitas mahasiswa dan menumbuhkan minat belajarnya, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan prestasi belajar fisikanya. Fisika sebagai salah satu mata kuliah yang harus ditempuh oleh mahasiswa program studi pendidikan IPA FKIP UST pada semester I, dengan bobot 2 sks teori dan 1 sks praktikum. Berdasar pengamatan yang ada diperoleh data bahwa prestasi belajar fisikanya
107
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
masih di bawah rata rata. Hal ini disebabkan karena selama ini dalam
pelaksanaan
pembelajarannya masih menggunakan metode konvensional dan ceramah, sehingga mahasiswa cenderung pasif, menghafal seperangkat fakta dan konsep yang dijelaskan dosen. Hal lain yang turut andil melatar belakangi masalah ini adalah adanya asumsi siswa dari tingkat SD sampai PT yang menganggap bahwa fisika merupakan mata pelajaran yang paling membosankan, sulit dimengerti dan bahkan menakutkan. Untuk menanggulangi hal tersebut tidaklah mudah, namun dibutuhkan strategi yang jitu agar dapat menarik minat dan keinginan mahasiswa untuk belajar, yang pada akhirnya akan
dapat meningkatkan prestasi belajar fisikanya. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan memilih metode pembelajaran yang dapat memberi kesempatan seluas luasnya kepada mahasiswa, sehingga mahasiswa dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Salah satu metode pembelajaran yang dapat diterapkan adalah metode Think Talk Write (TTW) Melalui metode pembelajaran Think Talk Write (TTW) mahasiswa mempunyai peran yang sangat dominan, yaitu terjadinya kerja sama dalam kelompok dengan ciri utama berfikir, berbicara dan menulis atau mempresentasikan hasil pekerjaannya di depan kelas, sehingga semua mahasiswa akan berusaha untuk dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi. Hal ini berarti mahasiswa mempunyai kesempatan yang luas untuk bekerja sendiri dan bekerja bersama orang lain untuk memecahkan masalah dengan cara berdiskusi. Hasil akhirnya adalah mahasiswa dapat mengkomonikasikan pengetahuan yang telah diperoleh kepada orang lain baik secara lisan maupun tulisan. Jika metode TTW ini dibiasakan akan dapat membantu mahasiswa yang berkemampuan rendah untuk dapat meningkatkan kemampuannya, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan minat dan prestasi belajar fisikanya.
B.
Pembatasan Masalah. Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada upaya meningkatkan minat dan
prestasi belajar fisika melalui metode Think Talk Write (TTW) Mahasiswa Program Studi Pendidikan IPA FKIP UST Tahun Akademik 2009/2010. C.
Perumusan Masalah.
1.
Bagaimanakah proses pembelajaran dengan menggunakan metode Think Talk Write (TTW) sehingga dapat meningkatkan minat belajar fisika mahasiswa Program Studi Pendidikan IPA FKIP UST Yogyakarta Tahun Akademik 2009/2010?.
108
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
2.
Bagaimana metode pembelajaran TTW sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar fisika mahasiswa Program Studi Pendidikan IPA FKIP UST Yogyakarta Tahun Akademik 2009/2010?.
3.
Bagaimana respon mahasiswa Program Studi Pendidikan IPA FKIP UST Yogyakarta Tahun Akademik 2009/2010 setelah mengikuti pembelajaran fisika dengan menggunakan metode TTW?.
D.
Tujuan Penelitian.
1.
Untuk mengetahui peningkatan minat belajar fisika mahasiswa Program Studi Pendidikan IPA FKIP UST Yogyakarta Tahun Akademik 2009/2010 melalui metode Think Talk Write (TTW)
2.
Untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar fisika mahasiswa Program Studi Pendidikan IPA FKIP UST Yogyakarta Tahun Akademik 2009/2010 melalui metode TTW .
3.
Untuk mengetahui respon mahasiswa setelah mengikuti pembelajaran fisika melalui metode TTW.
II.
KAJIAN PUSTAKA DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A.
Deskripsi Teori.
1.
Prestasi Belajar Fisika. Pengertian prestasi menurut Anton Moeliono (2005:144) adalah ”upaya yang telah
dicapai atau dilakukan atau dikerjakan dan sebagainya”. Menurut Nasution (2008:35) ”belajar adalah suatu kegiatan yang membawa perubahan pada individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya mengenai jumlah pengetahuan
melainkan
juga
jumlah
kecakapan,
kebiasaan,
sikap,
pengertian,
penghargaan, minat, penyesuaian diri, pendeknya mengenai segala aspek pribadi seseorang”. Pengertian fisika menurut Tipler (2001: Vii) ”adalah pengetahuan yang paling mendasar karena berhubungan dengan perilaku dan struktur benda.” Dengan demikian fisika tidak hanya terjadi dari sekumpulan fakta berupa hukum tapi juga merupakan cara berfikir. Karena itu fisika adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengungkap rahasia alam dengan cara berfikir dan bertindak atas dasar observasi dan eksperimen. Materi fisika yang dibahas dalam penelitian ini adalah fluida statis, fluida dinamis dan gerak harmonis.
109
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian prestasi belajar fisika adalah tingkat perubahan pengetahuan, pemahaman dan ketrampilan dari diri siswa tentang materi fisika yang dikaitkan dengan alam sekitar melalui proses belajar. Tingkat perubahan ini yang digunakan sebagai informasi untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan dan kemampuan telah dicapai oleh mahasiswa pada akhir proses pembelajaran, dan hasilnya dituangkan dalam bentuk angka atau nilai.
2.
Minat Belajar Fisika Menurut Anton M. Moeliono (2005: 583) “minat adalah kecenderungan hati yang
tinggi terhadap suatu gairah, keinginan”. Selanjutnya Muhibbin Syah ( 2000 : 71) mendifinisikan bahwa “minat adalah kecenderungan, kegairahan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu, minat mempengaruhi dalam pemusatan perhatian sehingga mendorong untuk melakukan atau memperhatikan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Adapun yang dimaksud minat belajar fisika adalah aspek psikologi seseorang yang menampakkan diri dalam beberapa gejala, seperti : gairah, keinginan, perasaan suka untuk melakukan proses perubahan tingkah laku melalui berbagai kegiatan dalam belajar fisika, yang meliputi mencari pengetahuan dan pengalaman, dengan kata lain, minat belajar fisika itu adalah perhatian, rasa suka, ketertarikan seseorang (mahasiswa) terhadap pelajaran fisika yang ditunjukkan melalui keantusiasan, partisipasi dan keaktifan dalam belajar fisika.
3.
Metode Pembelajaran Think Talk Write (TTW) Think Talk Write (TTW) adalah suatu pembelajaran yang dimulai dengan berpikir
melalui bahan bacaan,
yaitu
menyimak, mengkritisi, dan alternative solusi. Hasil
bacaannya kemudian dikomunikasikan melalui presentasi dan diskusi. Dari hasil presentasi ini kemudian dibuat laporannya. Sintaksnya adalah informasi, kelompok untuk membacamencatat-menandai,
presentasi,
diskusi,
dan
melaporkan.
(http://yadirosadi.co.cc/category/pendidikan/). Strategi pembelajaran TTW dibangun melalui berpikir, berbicara dan menulis. Alur kemajuan strategi TTW ini dimulai dari keterlibatan mahasiswa dalam berpikir atau berdialog dengan dirinya sendiri setelah proses membaca, selanjutnya berbicara dan membagi ide (talking) dengan temannya dalam kelompok sebelum menulis. Suasana seperti ini lebih efektif jika dilakukan dalam kelompok yang heterogen dengan jumlah tiga sampai lima mahasiswa. Dalam kelompok
110
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
ini mahasiswa diminta membaca, membuat catatan kecil, menjelaskan, mendengarkan ide bersama teman kemudian mengungkapkannya melalui tulisan. Alur TTW meliputi :
a.
Berpikir (thinking) Aktifitas berpikir (Think) dapat dilihat dari proses membaca soal atau bacaan fisika
atau membaca kejadian alam. Misalnya: mengapa pesawat bisa terbang di awan?. Mengapa kapal laut sebesar dan seberat itu tidak tenggelam?. Mengapa dongkrak kecil bisa mengangkat mobil
yang berat?. Mengapa air bisa dialirkan naik ke gedung
bertingkat?. Mengapa kita bisa mendengar bunyi?. dan sebagainya. Jawaban dari apa yang telah dibaca dan beberapa hasil pemikiran tersebut kemudian dibuat catatannya. Dalam membuat catatan ini mahasiswa mempersatukan ide yang disarikan dari bacaan, masalah atau soal, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa sendiri, dan hasilnya dipresentasikan di depan kelas. Hal ini jika dilakukan secara rutin akan dapat merangsang aktifitas berpikir sebelum, selama dan setelah membaca, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan minat, pengetahuan dan ketrampilan berpikir mahasiswa.
b.
Berdiskusi (Talking) Pada tahap Talk atau berdiskusi atau berkomunikasi dengan kelompoknya
menggunakan kata kata dan bahasa mereka sendiri. Talking membantu pendidik untuk mengetahui tingkat pemahaman mahasiswa dalam belajar, sehingga dapat digunakan untuk mempersiapkan perlengkapan pembelajaran yang dibutuhkan. Strategi talking
ini memungkinkan mahasiswa untuk terampil berbicara. Proses
komunikasi dipelajari mahasiswa melalui kehidupannya sebagai individu yang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Misalnya mengkomunikasikan tentang ide fisika yang dihubungkan dengan pengalaman mereka, sehingga mereka mampu untuk menulis tentang ide itu. Ketrampilan berkomunikasi dapat mempercepat kemampuan mahasiswa dalam mengungkapkan idenya melalui tulisan. Selanjutnya dengan berkomunikasi dapat menkontruksi berbagai ide untuk dikemukakan melalui dialog. Dalam hal ini pendidik hanya berperan sebagai mediator dalam lingkungan belajar.
c.
Fase Write adalah menuliskan hasil diskusi yang telah dikerjakan. Aktifitas menulis berarti mengkontruksi ide, karena setalah berdiskusi atau berdialog
antar teman, kemudian mengungkapkannya melalui tulisan. Aktivitas menulis akan membantu mahasiswa dalam membuat hubungan dan memungkinkan pendidik melihat
111
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
pengembangan konsep dan memantau kesalahan mahasiswa, konsepsi mahasiswa terhadap ide yang keliru dan keterangan nyata dari prestasi mahasiswa. Kelebihan Metode Think Talk Write (TTW). Menurut Silver dan Smith yang dikutip oleh Bansu Irianto Ansari (dalam Http://pendidikanmatematika.blogspot.com/2009/03/pendekatan -think-talk-write) adalah: a.
Mengajukan pertanyaan dan tugas yang mendatangkan keterlibatan dan menantang setiap siswa untuk berpikir.
b.
Mendengarkan secara hati-hati ide siswa.
c.
Menyuruh siswa mengemukakan ide secara lisan dan tulisan.
d.
Memutuskan apa yang digali dan dibawa siswa dalam diskusi.
e.
Memutuskan kapan memberi informasi, mengklarifikasi persoalan-persoalan, menggunakan model, membimbing dan membiarkan siswa berjuang dengan kesulitan.
f.
Memonitor dan menilai partisipasi siswa dalam diskusi, dan memutuskan kapan dan bagaimana mendorong setiap siswa untuk berpartisipasi.
B.
Hasil Penelitian Yang Relevan.
1.
Hasil penelitian Yusi Maryati (2008:77) menyimpulkan bahwa metode Think Talk Write
(TTW) dapat meningkatkan kemampuan berfikir kritis siswa klas 2 SMP
Negri Bandung. 2.
Hasil penelitian Taufiq (2009) menyimpulkan bahwa penggunaan strategi TTW dapat meningkatkan hasil belajar dimensi tiga di kelas VIII SMP Negri Peukan.
C.
Kerangka Berpikir Untuk dapat meningkatkan minat dan prestasi belajar fisika adalah pendidik harus
mampu mengemas materi dengan baik dan dapat menciptakan suasana pembelajaran yang optimal. Salah satu model pembelajaran yang dapat memberi kesempatan seluas luasnya pada mahasiswa untuk berkembang sesuai dengan keinginan dan kemampuannya adalah metode Think Talk Write (TTW). Dalam metode pembelajaran TTW mahasiswa dibagi dalam beberapa kelompok heterogen yang mempunyai kemampuan sama. Dalam kelompok ini mahasiswa diberi kesempatan untuk bertindak, mengeluarkan pendapat tanpa takut salah, berdiskusi dan mengkomunikasikan hasilnya pada teman lain didepan kelas. Dengan pembelajaran TTW
112
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
ini diharapkan dapat meningkatkan aktifitas dan minat mahasiswa dalam belajar fisika yang pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar fisikanya.
D.
Pengajuan Hipotesis. Ada peningkatan minat dan pretasi belajar Fisika melalui metode pembelajaran
Think Talk Write (TTW) mahasiswa program Studi Pendidikan IPA FKIP UST Yogyakarta Tahun Akademik 2009/2010.
III. METODE PENELITIAN A.
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yang dilakukan secara
kolaboratif. Ciri utama PTK ini adalah tindakan yang berulang dan metode utamanya adalah refleksi diri yang bertujuan untuk memperbaiki pembelajaran. B.
Subyek dan Obyek Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester I Program Studi Pendidikan
IPA FKIP UST Yogyakarta Tahun Akademik 2009/2010. Obyek dalam penelitian ini adalah pelaksanaan proses pembelajaran, minat dan prestasi belajar fisika, yang diperoleh dari penggunaan metode Think Talk Write (TTW). C.
Disain Penelitian Disain dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan
menggunakan model spiral dari Kemmis dan Taggart yang dikutip oleh Sukardi (2006:214) yang terdiri dari dua siklus dan empat komponen tindakan yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. D.
Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pengamatan
(observasi), pedoman wawancara, angket minat belajar fisika dan tes prestasi belajar fisika. Untuk mencari validitas instrumen minat dan tes prestasi belajar fisika digunakan rumus korelasi produk momen dari Pearson
(Suharsimi Arikunto, 2006:104). Untuk
mencari reliabilitas instrumen minat dan prestasi belajar fisika dengan rumus Alpha Cornbah (Suharsimi Arikunto, 2006:158 ). Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa lembar observasi dalam setiap proses pembelajaran, angket mahasiswa pada akhir siklus, hasil wawancara yang dilakukan dengan mahasiswa pada akhir siklus dan tes prestasi belajar fisika.
113
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Tes penempatan bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal mahasiswa. Tes kemampuan awal ini ini untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar fisika mahasiswa sebelum dan sesudah diberikan tindakan. Dari hasil tes penempatan diperoleh data sebagai berikut: Tabel 1. Nilai Tes Awal / Penempatan dan Pembentukan Kelompok. No 1 2 3 4 5 6
Sebaran Nilai Anggota 1 2 3 54 55 57 44 40 54 56 45 41 57 55 44 42 54 55 44 44 54 56 43 43 56 54 44 44 Jumlah Rata-rata Nilai Tes Awal
1.
Kegiatan Pada Siklus I
a.
Presentasi Dosen.
Rata-rata 5 44 40 40 -
Jumlah 196 240 198 237 236 199
N 4 5 4 5 5 4 1305 48,43
49 48 49,5 47,4 47,2 49,5
Kelompok I II III IV V VI
Sebelum mahasiswa belajar secara individu, dosen memberikan materi yang akan dipelajari. Hal ini dilakukan karena dosen tetap mempunyai peran meskipun tidak terlalu dominan. Peran dosen dalam pembelajaran ini adalah mengatur dan memantau jalannya diskusi dalam belajar kelompok, saat presentasi di depan kelas dan memberi apersepsi tentang materi yang dipelajari. b.
Belajar Secara Individu. Dalam pertemuan siklus I, mahasiswa diberi lembar pertanyaan atau tugas yang
harus dikerjakan secara individu di meja masing masing. Untuk memantau jalannya kegiatan, peneliti melakukan pengamatan dengan berkeliling. c.
Belajar Secara Kelompok. Setelah mahasiswa memahami dan menjawab pertanyaan atau tugas secara individu,
hasil pemikiran tersebut selanjutnya didiskusikan dengan anggota kelompok masing masing dan dipresentasikan di depan kelas. Hasil pengamatan saat presentasi, diskusi dan pembuatan laporan secara kelompok pada siklus I, dapat disajikan seperti pada tabel 2 berikut.
114
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
Tabel 2: Nilai Presentasi, Diskusi dan Laporan Kelompok Pada Siklus I Pengamatan ke Kelompok 1 I 50 II 55 III 50 IV 54 V 50 VI 52 Jumlah 311 Rata-rata per 51,83 Pengamatan d.
Rata-rata per Kelompok
Jumlah 2 60 62 61 63 60 65 371 61,83
3 69 70 69 72 68 73 421 70,17
179 187 180 189 178 190
59,67 62,33 60,00 63,00 59,33 63,33
Pelaksanaan Tes Akhir Siklus I. Tes diberikan pada akhir siklus I, mencakup materi pembelajaran fisika yang telah
disampaikan dengan metode TTW. Tabel 3. Nilai Tes Akhir Fisika Siklus I NO Nilai Masing-Masing Anggota 3
54
Rata-rata Jumlah
5
Kelompok
N
1
2
1
80
69
60
61
-
270
4
67,50
I
2
82
67
63
61
58
331
5
66,20
II
3
80
66
61
55
-
262
4
65,50 III
4
81
67
60
62
54
324
5
64,80 IV
5
82
68
61
51
58
320
5
64,00
6
83
67
62
60
-
272
4
68,00 VI
Jumlah Rata-rata Nilai Tes Akhir Fisika siklus I
1778
V
27 65,89
Nilai tes akhir siklus I diakumulasikan dengan nilai yang didapat dalam kelompok. Setelah dirata rata maka hasilnya digunakan sebagai dasar dalam pemberian penghargaan.
e.
Perhitungan Nilai Kelompok dan Pemberian Penghargaan. Perhitungan nilai kelompok didasarkan pada nilai rata rata hasil diskusi, presentasi
dan pembuatan laporan dan nilai tes akhir fisika siklus I secara kelompok disajikan seperti pada tabel 4.
115
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
Tabel 4. Nilai Capaian Rata Rata Kelompok Sikus I. Kelompok
I II III IV V VI
Nilai Rata rata Presentasi Diskusi dan Laporan 59,67 62,33 60,00 63,00 59,33 63,33
Nilai Tes Akhir Fisika Siklus I 67,50 66,20 65,50 64,80 64,00 68,00
Jumlah
Nilai Capaian Ratarata Kelompok Siklus I 63,58 64,26 62,75 63,90 61,67 65,67
127,70 128,53 125,50 127,80 123,33 131,33
Hasil nilai capaian kelompok kemudian dibandingkan dengan nilai tes awal atau tes penempatan. Hal ini digunakan untuk menentukan kriteria penghargaan kelompok. Hasil kriteria penghargaan kelompok siklus I dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini. Tabel 5. Hasil Peningkatan Dan kriteria Penghargaan Kelompok Siklus I Kel
Nilai Rata-rata Tes
Nilai Kelompok Pening -
Poin
Kreteria
Awal / Penempatan
Capaian Siklus I katan
Perbaikan
Penghargaan
1
48,43
63,58
15,15
20
Great Team
II
48,43
64,26
15,83
20
Great Team
III
48,43
62,75
14,32
15
Good Team
IV
48,43
63,90
15,47
20
Great Team
V
48,43
61,67
13,24
15
Good Team
VI
48,43
65,67
17,24
25
Super Team
Dari tabel 5 di atas terlihat bahwa kelompok VI menjadi kelompok terbaik. Kelompok VI diklasifikasikan dalam kriteria kelompok Super Team.
f.
Data Hasil Observasi Observasi pada penelitian ini dilakukan pada tiap pertemuan. Dalam kegiatan
observasi ini peneliti menggunakan lembar observasi sebagai instrumen dalam penelitian. Tabel 6. Hasil Observasi Minat Belajar Fisika Pada Siklus I No Aspek yang diamatai
Rerata Skor Pengamatan
Capaian ∑
Ratarata
1
2
3
1 Perhatian terhadap pelajaran Fisika
57
69
75
201
67,00
2 Semangat dalam mempelajari Fisika
56
60
77
192
64,00
3 Partisipasi dalam Belajar Fisika
56
67
79
202
67,33
116
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
4 Keteraturan dalam belajar Fisika
50
69
75
194
64,67
5 Mencatat materi Pelajaran
50
65
70
185
61,67
6 Mengerjakan soal dipapan tulis
40
49
55
144
48,00
7 Mengerjakan Tes secara Individu
44
60
65
169
56,33
8 Menyimpulkan
30
40
50
120
40,00
materi
pelajaran
diakhir pertemuaan. Rata-rata Hasil Observasi minat Belajar Fisika Siklus I
58,62
Pencapaian rata rata minat belajar fisika mahasiswa siklus I dalam setiap aspeknya jika diklasifikasikan termasuk dalam kategori sedang. Namun ada yang rendah yaitu minat dalam mengerjakan soal di papan tulis dan dalam menyimpulkan materi pelajaran di akhir pertemuan. g.
Refleksi Tujuan refleksi ini adalah untuk melakukan evaluasi hasil tindakan dari penelitian
yang telah dilakukan pada siklus I. Hasil evaluasi ini kemudian digunakan sebagai acuan perbaikan dalam penyusunan rencana tindakan pada siklus selanjatnya.
2. Kegiatan Pada Siklus II a. Perencanan Tindakan Perencanaan tindakan yang telah disusun pada siklus II ini mengacu pada perbaikan perbaikan masalah yang didapat pada refleksi siklus I. Dalam hal ini peneliti dan dosen mitra bersepakat akan melakukan perubahan perubahan positip.
b. Pelaksanaan Tindakan Tahap tahap pembelajaran pada siklus II ini pada dasarnya sama dengan tahap pembelajaran pada siklus I. Perbedaannya adalah bahwa pada siklus II tidak dilakukan tes penempatan. Tes penempatan hanya dilakukan pada awal tindakan, dengan maksud menentukan pembagian kelompok mahasiswa yang sifatnya permanen. c. Presentasi Dosen Presentasi pada siklus II ini, peneliti hanya sedikit mengulang cara pembelajaran yang sudah diberikan pada siklus I, sehingga mahasiswa akan lebih jelas lagi cara dalam memahami materi.
117
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
d. Belajar Secara Individu Pada pertemuan siklus II ini sama seperti pada siklus I, setelah
peneliti selesai
presentasi, selanjutnya membagikan tugas atau pertanyaan yang harus dipikirkan dan direnungkan secara individu di meja masing masing.
e. Belajar Secara Kelompok Pada tahap ini mahasiswa sudah langsung duduk dengan anggota kelompok masing masing. Selanjutnya mendiskusikan hasil pikiran dan jawaban yang telah mereka pikirkan secara individu. Pada tahap ini semua anggota kelompok terlibat aktif berdiskusi, saling bertukar pikiran untuk merangkum dan menyatukan pandangan, untuk selanjutnya mempresentasikan dan membuat laporannya. Hasil presentasi, diskusi kelompok dan penulisan laporan pada siklus II ini terlihat pada tabel 7 di bawah.
Tabel 7. Nilai Presentasi,Diskusi dan Laporan Pada Siklus II. Pengamatan ke Kelompok
Rata-rata per Jumlah
Kelompok
1
2
3
I
70
81
86
237
79,00
II
72
80
87
239
79,67
III
70
82
83
235
78,33
IV
71
82
85
238
79,33
V
73
80
84
237
79,00
VI
75
85
90
250
83,33
Jumlah
431
490
515
Rata-rata per 71,83
81,66
85,83
Pengamatan
f. Pelaksanaan Tes Akhir Fisika Siklus II Pada pertemuan terakhir siklus II diadakan Tes akhir siklus II. Materi tes mencakup pembelajaran fluida statis, fluida dinamis dan getaran gelombang. Hasil tes akhir siklus II adalah seperti pada tabel 8 di bawah.
118
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
Tabel 8. Nilai Tes Akhir Fisika Siklus II No Nilai Masing-Masing Anggota 3
54
Rata-rata Jumlah
5
Kelompok
N
1
2
1
87
80
81
76
-
324
4
81,00
I
2
85
81
82
77
72
397
5
79,40
II
3
80
79
83
75
-
317
4
79,25 III
4
84
83
84
78
73
402
5
80,40 IV
5
82
83
82
76
74
397
5
79,40
6
92
86
87
79
-
344
4
86,00 VI
Jumlah
2181
V
27
Rata-rata Nilai Tes Akhir Siklus II
80,78
g. Perhitungan Nilai Kelompok dan Pemberian Penghargaan. Penilaian yang digunakan untuk menentukan pencapaian kelompok pada siklus II didapat dengan menjumlahkan nilai rata rata presentasi, diskusi dan penulisan laporan dan rata rata tes akhir siklus II kemudian dibagi 2. Hasil perhitungan selengkapnya tertera pada tabel 9 berikut. Tabel 9. Nilai Capaian Rata rata Kelompok Sikus II Kelompok
Nilai Rerata Presentasi Diskusi
Nilai Tes
Jumlah
Akhir Fisika
Nilai Capaian Ratarata Kel Siklus II
dan Laporan
Siklus II
I
79,00
81,00
160,00
80,00
II
79,67
79,40
159,07
75,53
III
78,33
79,25
157,58
78,79
IV
79,33
80,40
159,73
79,86
V
79,00
79,40
158,40
79,20
VI
83,33
86,00
169,33
84,66
Setelah mendapat nilai rata rata capaian kelompok siklus II, hasil ini kemudian dibandingkan dengan nilai rata rata capaian siklus I. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan kriteria penghargaan pada siklus II. Hasil perhitungan selengkapnya disajikan pada tabel 10 di bawah.
119
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
Tabel 10. Hasil Peningkatan Dan kriteria Penghargaan Kelompok Siklus II. Kel
Nilai Capaian Rata-
Nilai Capaian
Pening -
Poin
Kreteria
rata Siklus I
Rata-rata Siklus II
katan
Perbaikan
Penghargaan
1
63,58
80,00
16,42
20
Great Team
II
64,26
78,79
14,43
15
Good Team
III
62,75
78,79
16,04
20
Great Team
IV
63,90
79,86
15,06
20
Great Team
V
61,67
79,27
17,53
20
GreatTeam
VI
65,67
86,66
20,99
25
Super Team
Dari tabel 10 terlihat bahwa penghargaan diberikan lagi pada kelompok VI. Hal ini disebabkan karena kelompok VI mempunyai nilai paling tinggi dan diklasifikasikan dalam kriteria Super Team (kelompok super).
h. Data Hasil Observasi Observasi pada penelitian ini dilakukan pada tiap pertemuan. Dalam kegiatan observasi ini peneliti menggunakan lembar observasi sebagai instrumen dalam penelitian. Hasil observasi minat belajar fisika mahasiswa disajikan pada tabel 11 di bawah. Tabel 11. Hasil Observasi Minat Belajar Fisika Pada Siklus II No Aspek yang diamatai
Rerata Skor Pengamatan
Capaian ∑
Ratarata
1
2
3
1 Perhatian terhadap pelajaran Fisika
74
80
91
245
81,67
2 Semangat dalam mempelajari Fisika
70
79
86
235
78,33
3 Partisipasi dalam Belajar Fisika
76
84
90
250
83,33
4 Keteraturan dalam belajar Fisika
71
85
93
249
83,00
5 Mencatat materi Pelajaran
70
81
89
240
80,00
6 Mengerjakan soal dipapan tulis
70
74
80
224
74,67
7 Mengerjakan Tes secara Individu
75
80
89
224
74,67
8 Menyimpulkan
55
64
70
189
63,00
pelajaran
diakhir
pertemuaan. Rata-rata Hasil Observasi Minat Belajar Fisika Siklus II
120
77,33
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
Pencapaian rata rata minat belajar fisika mahasiswa pada siklus II dalam setiap aspeknya jika diklasifikasikan termasuk dalam kategori tinggi. Namun demikian ada satu yang sedang yaitu minat dalam menyimpulkan pelajaran di akhir pertemuan. Meskipun demikian bila dilihat secara keseluruhan selama tiga pengamatan pada siklus II ini, nampak bahwa minat belajar fisika
rata rata tiap aspeknya selalu mengalami
peningkatan. i. Refleksi Tujuan refleksi pada penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi terhadap hasil tindakan yang telah dilakukan selama pembelajaran pada siklus II. Dari hasil refleksi diperoleh beberapa hasil sebagai berikut. 1.
Pada pertemuan siklus II ini mahasiswa merasa sudah terkondisi dengan penerapan pembelajaran dengan metode Think Talk Write (TTW).
2.
Apabila mendapatkan permasalahan mahasiswa sudah langsung
mendiskusikan
terlebih dahulu dengan kelompok masing masing. 3.
Alokasi waktu yang disediakan sudah dilaksanakan secara konsisten
4.
Pada saat mengerjaan tes
secara individu,
mahasiswa langsung
berusaha
mengerjakannya secara mandiri. 5.
Dalam bekerja secara kelompok mahasiswa sudah terlihat antusias. Masing masing kelompok sudah mau
mendiskusikan semua permasalahan yang dihadapi dalam
mencari jawaban yang tepat kepada teman sekelompoknya. 6.
Untuk menghemat waktu sebelum pelaksanaan tindakan, mahasiswa sudah diberi rambu rambu materi atau permasalahan yang harus dipelajari. Dari hasil diskusi yang dilakukan peneliti dengan dosen mitra diperoleh kesimpulan
bahwa proses pembelajaran pada siklus II ini sudah dapat meningkatkan minat dan prestasi belajar fisika. Jika dibandingkan dengan siklus I, maka penelitian pada siklus II ini sudah mengalami banyak peningkatan. Jadi pada akhir siklus II ini peneliti yakin bahwa pembelajaran dengan metode Think Talk Write (TTW) dapat meningkatkan minat dan prestasi belajar fisika.
3. Data Hasil Angket Minat Dan Respon Mahasiswa. a. Hasil Angket Minat Belajar Fisika. Angket minat belajar fisika diberikan dua kali, yaitu setelah akhir pembelajaran pada siklus I dan siklus II. Hasil perbandingan minat belajar fisika antara siklus I dengan siklus II adalah seperti pada tabel 12 berikut.
121
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
Tabel 12. Perbandingan Prosentase Minat Belajar Fisika Siklus I dengan Siklus II. No
Aspek yang diamatati
Prosentase
Prosentase
Minat Rata-
Minat
rata Siklus I
rata Siklus II
Rata-
1 Perhatian terhadap pelajaran Fisika
67,00
81,67
2 Semangat dalam mempelajari Fisika
64,00
78,33
3 Partisipasi dalam Belajar Fisika
67,33
83,33
4 Keteraturan dalam belajar Fisika
64,67
83,00
5 Mencatat materi Pelajaran
61,67
80,00
6 Mengerjakan soal dipapan tulis
48,00
74,67
7 Mengerjakan Tes secara Individu
56,00
74,67
8 Menyimpulkan pelajaran diakhir pertemuaan.
40,00
63,00
Perbandingan Rata-rata Minat Belajar Fisika
58,62
77,33
antara Siklus I dengan Siklus II
Dari tabel dapat dilihat bahwa prosentase minat belajar fisika mahasiswa pada setiap aspeknya mengalami peningkatan. Pada aspek mengajukan pertanyaan, ikut serta diskusi, mencatat materi pelajaran dan mengerjakan tes secara individu meningkat dari sedang menjadi tinggi.
b. Hasil Angket Respon Mahasiswa Terhadap Pelaksanaan Pembelajaran Dengan Metode Think Talk Write (TTW). Data prosentase respon mahasiswa terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan metode TTW adalah sebagai berikut: Tabel 13.Data Prosentase Respon Mahasiswa Terhadap Pembelajaran TTW No Indikator yang diamati
Prosentase
Kualifikasi
1 Saya menyukai proses pembelajaran TTW
76,73
Tinggi
2 Pembelajaran TTW membuat saya lebih
90,33
Tinggi
63,67
Sedang
73,13
Tinggi
tertarik untuk belajar Fisika 3 Soal tes dan permasalahan yang diberikan terlalu sulit 4 Saya terlibat aktif dalam diskusi
122
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
5 Saya senang mengikuti pembelajaran yang
87,72
Tinggi
86,92
Tinggi
76,24
Tinggi
84,27
Tinggi
87,33
Tinggi
telah dilaksanakan 6 Model pembelajaran TTW memudahkan saya dalam memahami dan mendalami materi Fisika 7 Waktu
yang
diberikan
untuk
belajar
kelompok, mendiskusikan dan menyelesaikan permasalahan atau soal sudah cukup 8 Saya dapat bekerja sama dengan anggota kelompok 9 Adanya
penghargaan
kelompok
dapat
memotivasi saya untuk belajar lebih giat
Prosentase respon mahasiswa terhadap pelaksaan pembelajaran dengan metode TTW pada sebagian besar indikator termasuk dalam kriteria tinggi. Namun ada satu yang sedang, yaitu pada indikator yang menyatakan bahwa soal tes dan permasalahan yang diberikan terlalu sulit.
c. Hasil Wawancara. Dari hasil wawancara dengan mahasiswa pada akhir siklus II adalah sebagai berikut: a. Pembelajaran yang dilaksanakan lebih menarik, karena jika ada kesulitan dapat ditanyakan kepada kelompok atau jika sulit kepada peneliti dan ada penghargaannnya. b. Waktu yang digunakan untuk diskusi kelompok dan mengerjakan tugas sudah cukup, sebab mahasiswa dapat menyelesaikannya c. Soal yang diberikan tidak terlalu sulit dalam arti bisa diatasi dengan kelompok. d. Adanya penghargaan kelompok membuat mahasiswa lebih berminat dalam belajar fisika.
4.
Pembahasan Hasil Penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minat belajar mahasiswa dalam pembelajaran
fisika dapat meningkat. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya prosentase minat belajar fisika pada setiap indikatornya. Selain itu juga terlihat minat dan keantusiasan mereka
123
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
pada saat proses pembelajaran berlangsung. Dalam hal prestasi belajar fisikanyapun juga terlihat meningkat, yaitu dari nilai rata rata sebelum dan sesudah diberi tindakan. Pada tahap belajar kelompok, setiap anggota mendiskusikan hasil pemikiran dan pekerjaannya bersama sama, dan saling menukarkan pengetahuannya. Dalam pelaksanaan diskusi ini, peneliti memantau jalannya diskusi dan membantu kelompok yang mengalami kesulitan. Pelaksanaan belajar kelompok pada siklus I ini minat mahasiswa sebagian besar cenderung sedang dan ada tiga yang rendah, yaitu minat dalam mengerjakan tugas, mengerjakan tes secara individu, dan menyimpulkan di akhir pembelajaran. Hal ini disebabkan karena mahasiswa masih terbiasa diajar dengan menggunakan metode konvensional, yang hanya sekedar datang, duduk dan mendengarkan keterangan dosen, belum terbiasa menggunakan metode TTW yang menantang mahasiswa untuk berpikir mencari dan menemukan jawaban atas permasalahan yang dihadapi. Pada siklus II, minat mahasiswa cenderung meningkat. Setelah diskusi kelompok dianggap cukup, selanjudnya mahasiswa mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Hasil diskusi tersebut selanjutnya dituliskan di papan tulis atau ditampilkan lewat LCD. Pada siklus II ini kegiatan belajar kelompok dan diskusi dapat berjalan lebih baik dan hasilnya sudah terlihat meningkat. Hal ini disebabkan karena mahasiswa sudah terlatih menggunakan metode TTW
yang menuntut mereka untuk aktif berpikir, berdiskusi
mengemukakan dan mempertahankan pendapatnya, mempresentasikan hasilnya dan merangkum dalam bentuk laporan atau tulisan. Pada akhir siklus mahasiswa diberi tes yang dikerjakan secara individu. Skor yang diperoleh mahasiswa secara individu ini akan dijumlahkan dengan skor mahasiswa lain dalam kelompoknya untuk menentukan penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diberikan kepada kelompok yang memiliki nilai rata rata tertinggi. Rata rata nilai mahasiswa sebelum dikenai tindakan adalah 48,43. setelah dikenai tindakan pada siklus I nilai rata rata meningkat menjadi 65,89 dan nilai rata rata tes mahasiswa pada siklus II meningkat menjadi 80,78. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran melalui metode TTW dapat meningkatkan prestasi belajar fisika. Adanya peningkatan prestasi belajar fisika ini disebabkan karena dalam pembelajaran dengan metode TTW mahasiswa dapat memecahkan masalah dalam menyelesaikan kesulitan yang dihadapi secara individual. Selain hal tersebut juga disebabkan karena melalui pembelajaran ini mahasiswa dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran pada level yang lebih kongkret dan lebih memberikan tekanan pada efek sosial yang tinggi. Hal inilah yang dapat meningkatkan prestasi belajarfisika.
124
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Penelitian yang telah dilaksanakan ini memiliki keterbatasan keterbatasan antara lain: 1. Pengamatan dalam penelitian ini hanya dilakukan oleh peneliti, sementara selama pelaksanaan pembelajaran mahasiswa banyak menuntut perhatian atau bertanya kepada peneliti pada saat observasi, sehingga dimungkinkan adanya data yang terlewatkan. 2.
Cukup sulit untuk memberikan bimbingan secara individu ke seluruh mahasiswa selama proses pembelajaran.
3.
Karena keterbatasan waktu, maka jawaban hasil diskusi tidak bisa dipresentasikan dan dibahas bersama secara maksimal.
IV. Kesimpulan dan Saran 1.
Kesimpulan Berupa Proses Dalam penelitian ini, pelaksnaan pembelajaran dengan metode Think Talk Write
(TTW) diawali dengan tes penempatan. Tes penempatan bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal mahasiswa dan sebagai bahan pertimbangan dalam pembentukan kelompok secara heterogen. Pada awal pembelajaran mahasiswa dituntut untuk berpikir (Think) mempelajari materi, tugas tugas, lembar pertanyaan yang harus dikerjakan secara individu di meja masing masing. Setelah mahasiswa memahami dan membuat catatan secara individu, kemudian mendiskusikan (Talk) dengan anggota kelompok masing masing. Dalam diskusi kelompok ini masing masing mahasiswa saling bertukar pikiran, saling mengoreksi terhadap jawaban teman lain dalam anggota kelompoknya. Perwakilan masing masing kelompok selanjutnya mempresentasikan dan mendiskusikan hasilnya di depan kelas, menuliskannya di papan tulis (Write) atau ditampilkan lewat LCD dan melaporkannya dalam bentuk tulisan. Pada akhir pertemuan mahasiswa diberi tes yang harus dikerjakan secara individu, dan skor yang diperoleh ditambahkan ke dalam skor kelompok. Selanjutnya untuk kelompok yang memenuhi ktiteria yang telah ditetapkan akan diberi penghargaan. Hal ini bertujuan agar mahasiswa lebih berminat dalam belajar fisika.
2.
Kesimpulan Berupa Hasil
a. Ada peningkatan minat belajar fisika dalam pembelajaran melalui metode TTW dari kriteria sedang menjadi kriteria tinggi atau dari skor rata rata siklus I sebesar 58,62 menjadi 77,33 pada siklus II. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil observasi bahwa:
125
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
1). Minat mahasiswa pada siklus I sebagian besar ada pada kriteria sedang. Namun ada tiga yang rendah yaitu minat dalam mengerjakan soal di papan tulis, mengerjakan tes secara individu dan dalam menyimpulkan materi pelajaran di akhir pertemuan. 2).Minat mahasiswa pada siklus II sebagian besar ada pada kriteria tinggi, berarti ada peningkatan yaitu dari kriteria sedang pada siklus I menjadi kriteria tinggi pada siklus II. Namun pada siklus II ini juga ada satu yang mempunyai kriteria sedang yaitu minat dalam menyimpulkan materi pelajaran diakhir pertemuan. Meskipun berada pada kriteria sedang tetapi sudah mengalami kenaikan bibanding pada siklus I, yaitu dari kriteria rendah pada siklus I menjadi kriteria sedang pada siklus II. b. Ada peningkatan prestasi belajar fisika setelah diajar melalui metode TTW. Hal ini dapat dibuktikan dari nilai awal rata rata sebesar 48,43 kemudian pada siklus I nilai rata ratanya menjadi 65,89 dan pada siklus II nilai rata ratanya menjadi 80,78. c. Ditinjau dari respon mahasiswa diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran dengan metode TTW lebih menarik minat dan lebih menyenangkan, sebab jika ada kesulitan dapat ditanyakan kepada kelompok dan ada penghargaannya.
2. Saran a. Dalam kegiatan pembelajaran fisika sebaiknya menggunakan metode TTW, mengingat metode tersebut dapat meningkatkan minat dan prestasi belajar yang lebih tinggi dibanding sebelumnya. b. Pembelajaran fisika yang telah dilaksanakan melalui metode TTW, belum sepenuhnya mencapai maksimal. Hal ini terlihat dari masih adanya satu aspek minat mahasiswa yang berada pada kriteria sedang. Untuk itu disarankan pada peneliti lain agar melakukan penelitian lebih lanjut hingga mencapai minat yang lebih tinggi. c. Metode pembelajaran TTW ini dapat digunakan sebagai variasi dalam pembelajaran fisika disesuaikan dengan materi yang dipelajari, mengingat tidak semua materi fisika dapat diajarkan menggunakan model ini.
DAFTAR PUSTAKA Anton W. Moeliono. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Bansu Irianto Ansari.2009. http://pendidikan_matematika.blogspot.co didownload pada tanggal 12 Januari 2010. http//yadirosadi.co.cc/category/pendidikan/ diakses 29 Januari 2010.
126
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Yusi Maryati.2008. http://one.indoskripsi.com/judulskripsi pendidikan/4018. didownload pada tanggal 24 Januari 2010. Muhibbin Syah. 2007. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nasution. 2008. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumu Aksara Suharsimi Arikunto. 2006.Dasar Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Sukardi. (2006). Metodelogi Penelitian Pendidikan. Jakarta. PT Bumi Aksara. Taufiq. 2009. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsipendidikan/4018. didownload pada tanggal 24 Januari 2010. Tipler. 2001. Fisika Untuk Sains Dan Teknik. Jakarta: Erlangga.
Tanya Jawab Hendra Agus S. , Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD : ?
Apakah prinsip dasar metode Think Talk Write (TTW) ?
?
Kendala atau masalah yang dihadapi dalam mengaplikasikan metode tersebut?
?
Adakah penyelesaian tersebut dari metode Think Talk Write (TTW)?
Hidayati, Pend.Fisika – UST : @ Think Talk Write (TTW) berusaha agar siswa berfikir memikirkan suatu masalah dengan pemecahan secara kelompok untuk didiskusikan dalam kelompok yang telah dibagi kemudian dipresentasikan. @ Membosankan, ketidakaktifan siswa dan kurang respon. @ Ada, guru harus lebih aktif dalam mengatur siswa dan adanya atau disiapkannya lembar observasi untuk pengawasan dan penyelesaian dari suatu masalah tersebut.
Rusli Irwanto, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD : ?
Keunggulan dan kelemahan metode Think Talk Write (TTW) ini?
Hidayati, Pend.FISIKA – UST @ Kelebihan atau keunggulan Bisa belajar secara mandiri Berlatih bersosialisasi dengan kawan
127
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Kelemahan Pendidik harus intens mengobservasi dan memotivasi kelompok yang pasif.
Farah Robithoh, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD : ?
Apakah metode pembelajaran Think Talk Write (TTW) akan mampu atau bisa efisien dalam proses pendidikan di daerah terpencil (pembelajaran fisika)?
Hidayati, Pend.Fisika – UST @ Dituntut kekreatifitasan guru untuk membimbing siswa dan inovatif.
128
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
PERANAN KELOMPOK DALAM MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF JIGSAW DAN STAD (STUDENT TEAM ACHIEVMENT DIVISION) DITINJAU DARI PRESTASI BELAJAR POKOK BAHASAN GERAK LURUS PADA SISWA KELAS VII SMP MUHAMMADIYAH 4 YOGYAKARTA
Betha Ugahari, Supriyadi, Dian Artha Kusumaningtyas Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Intisari. Fisika merupakan salah satu pelajaran yang dianggap sulit dan menjenuhkan oleh siswa dibanding dengan mata pelajaran lain. Untuk meningkatkan prestasi belajar Fisika diperlukan model pembelajaran yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan ada tidaknya perbedaan antara model pembelajaran kooperatif jigsaw dan STAD dan untuk mendapatkan model pembelajaran yang lebih baik antara model pembelajaran kooperatif jigsaw dan STAD. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII semester genap SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Sebagai sampelnya adalah kelas 7A dan 7B. Untuk prasarat analisis data dalam penelitian ini dilakukan uji normalitas dengan menggunakan rumus Chi-Kuadrat dan uji homogenitas dengan menggunakan uji Bartlett. Uji hipotesis digunakan rumus uji-t. Dalam penelitian diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan prestasi belajar Fisika pada pokok bahasan gerak lurus antara pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jigsaw dan model pembelajaran kooperatif STAD. Perolehan skor rata-rata posttest untuk kelas eksperimen sebesar 17,4 dan skor rata-rata posttest untuk kelas kontrol sebesar 13,7 sehingga hipotesis yang diajukan dapat diterima. Kata kunci : jigsaw, STAD (Student Team Achievment Division), Prestasi belajar.
ROLE MODEL IN GROUP COOPERATIVE LEARNING JIGSAW AND STAD (ACHIEVMENT STUDENT TEAM DIVISION) VIEWED FROM THE REVIEW OF LEARNING ACHIEVEMENT ON STUDENT'S MOTION STRAIGHT CLASS VII JUNIOR MUHAMMADIYAH 4 YOGYAKARTA
Abstract. Physics is one lesson that is considered difficult and saturated by the students compared with other subjects. To increase the academic Physics achievement required an appropriate learning model. This study aimed to find whether there is any difference between the model STAD cooperative learning and jigsaw and for getting a better learning model between the STAD cooperative learning and jigsaw. The population in this study were all students of class VII semester 4 SMP Muhammadiyah Yogyakarta. As the sample is a class 7A and 7B. To requrement data analysis in this study normality test using the formula and Chi-Square test of homogeneity using the Bartlett test. The hypothesis testing used a t-test formula. In the study conclude that there are differences in academic
129
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
achievement in Physics on the subject of straight-line motion between the study by using a model of cooperative learning jigsaw cooperative learning model and STAD. Obtaining the average posttest score for the experimental class at 17.4 and posttest mean scores of 13.7 for the control class, so the hypothesis can be accepted. Keywords : jigsaw, STAD (Student Team Achievment Division), Achievement of learning.
I.
Pendahuluan Kemajuan ilmu dan teknologi perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber
daya manusia Indonesia, yaitu dengan meningkatkan mutu pendidikan. Dalam KTSP, metode dan teknik pelaksanaan pembelajaran di sekolah dituntut untuk lebih menekankan kepada penggunaan strategi yang dapat mengaktifkan siswa yakni orientasi pembelajaran yang terpusat kepada siswa sehingga prestasi belajar siswa dapat meningkat. Karena tuntutan tersebut, maka guru harus berlomba-lomba dan menggali informasi sebanyakbanyaknya mengenai berbagai model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengaktifkan siswa. Pemilihan model pembelajaran yang tepat sangat penting agar dalam proses belajar mengajar dapat terjadi interaksi antara guru dan murid sehingga pembelajaran tidak hanya terpusat pada guru.(Susilo, Joko 2007). Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dan dianjurkan para ahli pendidikan untuk digunakan. Slavin (2008) mengemukakan dua alasan, pertama, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar Fisika sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua, pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berfikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan. Pendekatan-pendekatan dalam model pembelajaran kooperatif yaitu: tipe STAD (Student Team Achievment Division), tipe jigsaw, tipe investigasi kelompok, dan tipe pendekatan struktural (Slavin, 2008: 11). Jigsaw merupakan salah satu pendekatan model pembelajaran kooperatif. Belajar ala jigsaw merupakan teknik yang paling banyak dipraktikkan. Teknik ini serupa dengan pertukaran kelompok dengan kelompok, namun ada satu perbedaan penting yakni tiap siswa mengajarkan sesuatu. Ini merupakan alternatif menarik bila ada materi belajar yang bisa disegmentasikan (dibagi-bagi) dan bagian-bagian tersebut harus diajarkan secara
130
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
berurutan. Setiap siswa mempelajari sesuatu yang bila digabungkan dengan materi yang dipelajari oleh siswa lain akan membentuk kumpulan pengetahuan atau keterampilan yang padu (Siberman, 2006: 180). Slavin (2008) mengemukakan bahwa model pembelajaran kooperatif STAD (Student Team Achievment Division) merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari 5 tahap pembelajaran, yaitu presentasi kelas, belajar kelompok, kuis, peningkatan individu, dan penghargaan kelompok. Setiap anggota kelompok terdiri dari 45 anggota. Dalam kegiatan kelompok ini, para siswa bersama-sama mendiskusikan masalah yang dihadapi, membandingkan jawaban, atau memperbaiki miskonsepsi. Kelompok diharapkan bekerja sama dengan sebaik-baiknya dan saling membantu dalam memahami materi pelajaran. Setelah melihat pada latar belakang masalah yang ada, maka penelitian ini mengambil tujuan: 1.
Untuk mendapatkan ada tidaknya perbedaan antara model pembelajaran kooperatif jigsaw dan STAD (Student Team Achievment Division) ditinjau dari prestasi belajar siswa.
2.
Untuk mendapatkan model pembelajaran yang lebih baik antara model pembelajaran kooperatif jigsaw dan STAD (Student Team Achievment Division).
II. Kajian Pustaka 1.
Model Pembelajaran Kooperatif Menurut Slavin (2008) metode kooperatif merupakan sebuah pengembangan belajar
bersama. Belajar bersama berarti melakukan sesuatu bersama, saling membantu dan bekerja sama sebagai sebuah tim (kelompok). Jadi, metode kooperatif berarti belajar bersama, saling membantu dalam pembelajaran agar setiap anggota kelompok dapat mencapai tujuan atau menyelesaikan tugas yang diberikan dengan baik. Fase-fase pembelajaran kooperatif Model pembelajaran kooperatif ditandai dengan 6 fase atau langkah utama dalam pembelajaran kooperatif. Keenam fase tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Fase Pembelajaran Kooperatif Fase
Kegiatan Guru
Fase 1
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang
Menyampaikan tujuan dan ingin memotivasi siswa
dicapai
pada
pelajaran
tersebut
dan
memotivasi siswa.
131
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
Fase 2
Guru menyampaikan informasi kepada siswa, baik
Menyampaikan informasi
dengan peragaan atau teks materi ajar.
Fase 3
Guru
Mengorganisasi dalam
siswa
menjelaskan
ke caranya
kepada
membentuk
siswa
kelompok
bagaimana belajar
dan
kelompok-kelompok membantu setiap kelompok agar melakukan
belajar
perubahan yang efisien.
Fase 4
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar
Membantu kerja kelompok pada saat mereka mengerjakan tugas mereka. dalam belajar Fase 5
Guru
memberikan
Evaluasi
kelompok
evaluasi
menyajikan
pelajaran
hasil-hasil
atau
pekerjaan
mereka. Fase 6
Guru memberikan cara-cara untuk menghargai
Memberikan penghargaan
baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok. (Ibrahim, 2000: 11)
Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Model pembelajaran kooperatif dapat memberikan efektifitas yang dapat memberikan motivasi dan sikap belajar diantaranya ialah teknik jigsaw. Teknik jigsaw merupakan model pemnbelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Elliot Aronson (1997), dan setelah itu dikembangkan lagi oleh Slavin (1998). Teknik jigsaw merupakan model pembelajaran yang mendorong siswa beraktifitas dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi maksimal ( Isjoni, 2008: 155). Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli menurut Ibrahim (2007) digambarkan sebagai berikut:
Kelompok Asal
Kelompok Ahli Gambar 1. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli
132
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Model Pembelajaran Kooperatif STAD (Student Team Achievment Division) Menurut Slavin (2008) pada pembelajaran kooperatif STAD terdapat lima komponen utama, antara lain: a.
Presentasi Kelas (Class Presentation) Materi yang akan dipelajari dalam kegiatan pembelajaran diperkenalkan kepada siswa dalam presentasi kelas.
b.
Belajar Kelompok (Teams) Kelompok tim terdiri dari empat atau lima siswa yang heterogen. Setelah guru mengenalkan materi, anggota kelompok berkumpul untuk mempelajari materi yang sudah diberikan oleh guru dengan menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS).
c.
Kuis (Quizzes) Setelah presentasi kelas dan belajar kelompok, siswa melaksanakan kuis individu. Tes individu ini digunakan untuk menilai sejauh mana siswa telah memahami materi yang telah dipelajari serta untuk mengetahui hasil belajar siswa dengan pembelajaran kooperatif STAD.
d.
Peningkatan Nilai Individu (Individual Improvement Scores) Setelah dilakukan kuis, guru mengemukakan nilai individu, skor kelompok dan memberikan penghargaan (hadiah) pada kelompok yang memperoleh skor tertinggi. Peningkatan nilai individu siswa dalam STAD adalah nilai yang diperoleh berdasarkan kriteria tertentu, dengan membandingkan perolehan nilai tes terbaru dan nilai tes sebelumya.
e.
Penghargaan Kelompok (Teams Recognition) Kelompok mendapatkan penghargaan sesuai dengan yang telah ditentukan. Pemberian penghargaan pada tiap kelompok dapat ditentukan berdasarkan skor kelompok yang didapat dengan menjumlah nilai peningkatan anggota kelompoknya.
Dalam STAD (Student Team Achievment Division), para siswa dibagi dalam tim belajar yang terdiri atas empat orang yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran. Selanjutnya, semua siswa mengerjakan kuis secara sendiri-sendiri, dimana saat itu mereka tidak diperbolehkan untuk saling membantu (Slavin, 2008:11).
133
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
2.
Gerak Lurus
a.
Pengertian Gerak
ISBN : 978-602-96622-1-4
Benda dikatakan bergerak terhadap benda lain jika kedudukan antara kedua benda itu berubah. Titik acuan adalah titik awal pengukuran.Gerak bersifat relatif artinya benda dapat dikatakan bergerak terhadap benda tertentu, tetapi belum tentu bergerak terhadap benda yang lainnya. b.
Jarak dan Perpindahan Jarak menyatakan panjang lintasan yang dilalui oleh benda yang bergerak. Jarak merupakan besaran skalar, artinya memiliki besar dan tidak memiliki arah. Perpindahan adalah perubahan posisi benda ( x 2 x1 ) karena adanya perubahan waktu. Perpindahan termasuk besaran vektor, artinya memiliki besar dan arah. Jadi, perubahan x ditulis x :
x = x 2 x1 c.
(1)
Kelajuan dan Kecepatan Kelajuan merupakan besaran yang tidak bergantung pada arah, sehingga kelajuan termasuk besaran skalar. Kelajuan rata-rata adalah perbandingan jarak total yang ditempuh terhadap waktu total yang dibutuhkan. Kecepatan merupakan besaran yang bergantung pada arah, sehingga kecepatan termasuk besaran vektor. Untuk perpindahan dalam satu dimensi sepanjang sumbu X, kecepatan rata-rata ( v ) dapat dinyatakan dengan persamaan
v d.
x x 2 x1 t t 2 t1
(2)
Gerak Lurus Beraturan (GLB) Gerak lurus beraturan adalah gerak dari benda dengan lintasan lurus dan kecepatan tetap.
e.
Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB) Gerak lurus berubah beraturan adalah gerak benda dengan lintasan lurus dan percepatannya konstan. Percepatan konstan artinya baik besar maupun arahnya tetap.
f.
Percepatan Percepatan adalah perubahan kecepatan setiap satuan. Satuan percepatan adalah m/s². Percepatan dapat dinyatakan dalam bentuk rumus seperti di bawah ini: a
134
v t
(3)
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Hipotesis Dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H 0 : Pembelajaran Fisika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jigsaw tidak berbeda dengan model pembelajaran kooperatif STAD di tinjau dari prestasi belajar siswa.
H 1 : Pembelajaran Fisika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jigsaw berbeda dengan model pembelajaran kooperatif STAD ditinjau dari prestasi belajar siswa.
III. Metode Penelitian Adapun desain penelitian yang digunakan dalam bentuk tabel dapat disajikan sebagai berikut: Tabel 2. Desain penelitian Kelompok
Perlakuan
Tes
Eksperimen Menggunakan model pembelajaran kooperatif T1 jigsaw Kontrol
Menggunakan model pembelajaran kooperatif T2 STAD (Student Team Achievment Division)
Metode Analisis Data a. Uji normalitas data Dalam penelitian ini menggunakan rumus Chi-Kuadrat sebagai berikut: k
2
i E1 2 E1
i 1
b. Uji homogenitas Untuk menguji homogenesis data dapat digunakan uji Bartlett dengan rumus sebagai berikut:
2 (ln 10) B (n1 1) log si 2
dengan harga s 2 dan B ni 1s1 s 2 ni 1
2
B log s 2 n1 1
135
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
c. Uji Hipotesis Pasangan hipotesis nol (H0) dan tandingannya (H1) yang akan di uji adalah H0 : µ1 = µ2 H1 : µ1 ≠ µ2 Hipotesis nol (H0) dan tandingannya (H1) pada penelitian ini adalah sebagai berikut: H 0 : Pembelajaran Fisika dengan model pembelajaran kooperatif jigsaw tidak berbeda dengan model pembelajaran kooperatif STAD (Student Team Achievment Division) ditinjau dari prestasi belajar siswa H1 :
Pembelajaran Fisika dengan model pembelajaran kooperatif jigsaw berbeda
dengan model pembelajaran kooperatif STAD (Student Team Achievment Division) ditinjau dari prestasi belajar siswa Rumus uji-t yang digunakan adalah: t
x1 x 2 1 1 s n1 n2
dengan s2
n 1
1 s 12 n 2 1 s 22 n1 n 2 2 (Sudjana, 2002: 273)
IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan a. Uji normalitas data Uji normalitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui distribusi atau sebaran data normal atau tidak. Setelah dilakukan tes kemampuan akhir siswa, maka diperoleh ringkasan hasil uji normalitas pada tabel sebagai berikut: Tabel 4.Ringkasan hasil uji normalitas nilai kemampuan akhir Sampel Kelas eksperimen Kelas kontrol
136
Taraf
2
hitung
Signifikan
2 tabel
dk
Distribusi
5%
6,82
11,070
5
normal
5%
2,89
11,070
5
normal
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
b.
Uji homogenitas Setelah dilakukan tes kemampuan akhir siswa, maka diperoleh ringkasan hasil uji homogenitas dengan menggunakan uji Bartlet dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 6. Uji homogenitas kemampuan akhir berupa nilai posttest Ringkasan hasil uji homogenitas variabel Y Taraf
Variabel
Signifikan
Y
c.
5%
2
hitung
3,09
2 tabel
db
Distribusi
3,481
1
homogen
Uji Hipotesis Apabila sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen, maka dapat dilakukan uji hipotesis. Untuk analisis uji-t digunakan hasil dari posttest.. Ringkasan hasil analisis uji-t antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Tabel 7. Ringkasan hasil uji-t antara kelas eksperimen dan kelas kontrol dk
Taraf Signifikan
60
5%
t hitung
t tabel
Kesimpulan
3,4206
2,000
H0 ditolak
Ringkasan hasil perolehan skor adalah sebagai berikut: Tabel 8.Deskripsi Hasil Penelitian Kelompok Eksperimen Kontrol
Treatment
X1 X2
Posttest
x 17,4 x 13,7
keterangan:
X 1 = pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jigsaw X 2 = pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif STAD
137
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
V.
ISBN : 978-602-96622-1-4
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan maka dapat
diambil kesimpulan bahwa: 1.
Ada perbedaan prestasi belajar Fisika pada pokok bahasan gerak lurus antara pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jigsaw dan model pembelajaran kooperatif STAD (Student Team Achievment Division) siswa kelas VII semester genap SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta
2.
Model pembelajaran kooperatif jigsaw lebih baik digunakan untuk mencapai meningkatkan prestasi belajar siswa dibandingkan dengan model pembelajaran kooperatif STAD (Student Team Achievment Division) yang ditunjukkan dengan perolehan skor rata-rata posttest untuk kelas eksperimen sebesar 17,4 dan skor ratarata posttest untuk kelas kontrol sebesar 13,7.
Daftar Pustaka Ibrahim, Muslimin. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Isjoni, dkk. 2008. Model-Model Pembelajaran Mutakhir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Joko Susilo, Muh. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Kanginan, Marthen. 2002. IPA Fisika untuk SMP kelas VII. Jakarta: Erlangga. Lie, Anita. 2007. Cooperative Learning : Mempraktikan Cooperative Learning di RuangRuang Kelas. Jakarta: Grasindo. Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Siberman, Melvin L. 2006. Active Learning : 101 Cara Siswa Aktif. Bandung : Nusa Media. Slavin, Robert E. Cooperatif Learning : Teori, Riset dan Praktik. Bandung : Nusa Media. Sudjana. 2002. Metoda Statistik, Bandung: Tarsito. Suharsimi Arikunto. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi , Jakarta: Bumi Aksara.
138
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Tanya Jawab Hapizan, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD : ?
Bagaimana solusi dari teori ketika kelompok yang dibentuk oleh guru ternyata tidak sesuai dengan apa yang kita tuju, seperti kelompoknya tidak sesuai diantara masingmasing individu.
Dian Artha K. – UAD @ Dipilih kelompok – kelompok yang heterogen sehingga kemampuannya beragam. Komunikasi terjalin dengan baik di kelompok dan kelompok ahli bertanggung jawab oleh sharing hasil diskusi kelompok ahli ke kelompok asal. Siswa tidak memilih sendiri menurut teori jig saw melainkan guru yanng mengelompokkan dan memilahmilah dengan siapa kelompok tersebut mendapatkan anggota. Rasa tanggung jawad lebih besar, akan dialami oleh setiap kelompok.
139
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
PENTINGNYA PEMANFAATAN PERMAINAN TRADISIONAL SEBAGAI MEDIA ALTERNATIF DALAM PEMBELAJARAN FISIKA
Bella Nurfadilah, Adhani Prima Syarafina, M. Reza Primadi, Sri Maiyena Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan
Intisari. Siswa sering mengalami mengalami kejenuhan belajar di sekolah. Hal ini akan berdampak pada mutu pendidikan yang dihasilkan. Salah satu penyebabnya adalah media pembelajaran yang kurang variatif. Media variatif lain yang bisa digunakan adalah permainan tradisional. Pemanfaatan permainan tradisional sangat penting digunakan sebagai salah satu media alternative dalam pembelajaran fisika. Permainan tradisional memberikan nilai-nilai pengetahuan kepada peserta didik, menumbuhkan pemahaman dan pemaknaan terhadap apa yang dipelajari. Kata kunci : mutu pendidikan, jenuh, media pembelajaran, permainan tradisional
THE IMPORTANCE OF USE TRADITIONAL GAMES MEDIA AS AN ALTERNATIVE LEARNING IN PHYSICS Abstract: Saturation of the students have learned in school. This will impact on the quality of education being produced. One possible cause is a lack of varied instructional media. Another variety of media that can be used is a traditional game. Utilization of the traditional game is very important to use as one of the alternative media in learning physics. Traditional games provide the values of knowledge to students, fostering understanding and the meaning of what is learned. Keywords : quality of education, saturated, learning media, traditional games I.
Pendahuluan Pendidikan merupakan suatu proses untuk menciptakan kehidupan yang cerdas,
damai, inovasi, terbuka dan demokrasi. Dimana pendidikan itu sebagai penentu bagi kualitas kehidupan bangsanya. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan harus segera dilakukan untuk mencapai kualitas pendidikan yang nantinya dapat menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu dan mampu bersaing di dunia internasional. Peningkatan mutu pendidikan hanya akan terjadi secara efektif bilamana dikelola melalui menejemen yang tepat, salah satu contoh nyata dari peningkatan mutu pendidikan tersebut dengan penyediaan media pembelajaran yang dapat mendukung kelancaran proses sistem pembelajaran. Fisika adalah bagian dari ilmu pengetahuan alam yang mempelajari
140
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
tentang benda, gejala-gejala kebendaan dan saling antar aksinya. Faktor media dalam pembelajaran fisika sesuai dengan kerucut pengalaman Edgar Dale, memiliki peran besar dalam memberikan pengalaman langsung kepada siswa sehingga memungkinkan untuk memperoleh pengetahuan, ketrampilan, maupun hasil yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang dirumuskan. Namun demikian mutu pendidikan di Indonesia mengalami ketertinggalan dari Negara-negara lain. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Human Development Indeks (HDI) oleh UNDP (2007) bahwa pada tahun 2005, Indonesia berada pada peringkatan 110 dari 177 negara dengan indeks 0,697 peringkat ini turun dari posisi sebelumnya diurutan 102 dengan indeks 0,677 pada tahun 1999. Posisi ini cukup jauh dibandingkan dengan Negara-negara tetangga seperti Malaysia pada urutan ke-61 dengan indeks 0,796; Thailand pada urutan ke-73 dengan indeks 0,778; Vietnam pada urutan ke84 dengan indeks 0,704. Dari hasil uraian data diatas menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan Negara-negara lainnya. Jika kita melihat pada era 50-an, Malaysia mengimport guru dari Indonesia. Namun, saat ini keadaan tersebut menjadi terbalik. Mutu pendidikan Malaysia sekarang menjadi lebih unggul dibanding Indonesia. Bahkan saat ini pelajar Indonesia berbondong-bondong untuk menempuh pendidikan ke Negeri Jiran dengan alasan mutu pendidikan Indonesia yang mulai menurun. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilaksanakan proses pembelajaran yang dirasakan bermakna bagi siswa sehingga tumbuh pemahaman dan kesan yang mendalam pada diri siswa dan mengurangi kejenuhan dalam belajar. Kajian dalam makalah ini membahas tentang Pentingnya Pemanfaatan Permainan Tradisional Sebagai Media Alternatif Dalam Pembelajaran Fisika.
II.
Landasan Teori
Media Pembelajaran Putra (2005) menyatakan bahwa media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “medium” yang secara harfiah berarti “perantara” atau “pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Sedangkan menurut Nasution (2005), media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar terjadi.
141
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Beberapa ahli memberikan definisi tentang media pembelajaran. Latuheru (1998) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Sementara itu, Briggs (Sudrajat, 2008) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaiakan isi atau materi pembelajaran seperti: buku, film, video dan sebagainya. Sedangkan, National Education Association (Sudrajat, 2008) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras. Dari ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik. Brown (Sudrajat, 2008) mengungkapkan bahwa media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektivitas pembelajaran. Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu guru untuk mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar pertengahan abad ke-20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat audio, sehingga lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif, seperti adanya komputer dan internet. Namun, tidak ada satu alatpun yang memiliki kesempurnaan untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan beberapa alat saling mengisi, sehingga dalam penggunaan media pengajaran dikenal istilah multimedia. Namun juga perlu disadari bahwa sebuah media dapat berbicara banyak apabila digunakan secara tepat oleh pengajar (Susilo, 2006).
Permainan Tradisional Permainan digunakan sebagai istilah luas yang mencakup jangkauan kegiatan dan prilaku yang luas serta mungkin bertindak sebagai ragam tujuan yang sesuai dengan usia anak. Menurut Pellegrini (1991: 241) dalam Naville Bennet (1998: 5-6) bahwa permainan didefinisikan menurut tiga matra sebagai berikut: (1) Permainan sebagai kecendrungan; (2) Permainan sebagai konteks; dan (3) Permainan sebagai prilaku yang dapat diamati. Menurut Mulyadi (2004: 30) bermain secara umum sering dikaitkan dengan kegiatan anak-anak yang dilakukan secara spontan yang terdapat lima pengertian bermain; (1) sesuatu yang menyenangkan dan memiliki nilai intrinsik pada anak; (2) tidak memiliki tujuan ekstrinsik, motivasinya lebih bersifat intrinsik; (3) bersifat spontan dan sukarela,
142
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
tidak ada unsur keterpaksaan dan bebas dipilih oleh anak serta melibatkan peran aktif keikutsertaan anak; dan (4) memiliki hubungan sistematik yang khusus dengan sesuatu yang bukan bermain,
seperti kreativitas, pemecahan masalah,
belajar
bahasa,
perkembangan sosial. Oleh karena itu, bahwa permainan tradisional disini adalah permainan anak-anak dari bahan sederhana sesuai aspek budaya dalam kehidupan masyarakat (Sukirman, 2008:19). Permainan tradisional juga dikenal sebagai permainan rakyat merupakan sebuah kegiatan rekreatif yang tidak hanya bertujuan untuk menghibur diri, tetapi juga sebagai alat untuk memelihara hubungan dan kenyamanan sosial. Dengan demikian bermain suatu kebutuhan bagi anak. Jadi, bermain bagi anak mempunyai nilai dan ciri yang penting dalam kemajuan perkembangan kehidupan sehari-hari termasuk dalam permainan tradisional. Menurut Bennet (1998:46) dengan ini diharapkan bahwa permainan dalam pendidikan untuk anak usia dini ataupun anak sekolah terdapat pandangan yang jelas tentang kualitas belajar, hal ini diindikasikan sebagai berikut: (1) gagasan dan minat anak merupakan sesuatu yang utama dalam permainan; (2) permainan menyediakan kondisi yang ideal untuk mempelajari dan meningkatkan mutu pembelajaran; (3) rasa memiliki merupakan hal yang pokok bagi pembelajaran yang diperoleh melalui permainan; (4) anak akan mempelajari cara belajar dengan permainan serta cara mengingat pelajaran dengan baik; (5) pembelajaran dengan permainan terjadi dengan gampang, tanpa ketakutan; (6) permainan memudahkan para guru untuk mengamati pembelajaran yang sesungguhnya dan siswa akan mengalami berkurangnya frustasi belajar.
III.
Metode Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Metode deskriptif kualitatif merupakan metode yang digunakan untuk membuat gambaran secara sistematis mengenai hubungan antara fenomena yang diselidiki dan hasilnya tidak dinyatakan dengan angka-angka. Data penulisan ini dikumpulkan dengan teknik studi pustaka (library research). Penulis mengkaji sejumlah referensi berupa buku-buku, majalah, artikel-artikel dan jurnaljurnal lainnya yang relevan dengan judul makalah ini. Maksud dari studi pustaka ini adalah untuk mendapatkan teori yang dapat menunjang keabsahan penulisan. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-
143
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
buku, artikel koran dan website atau jurnal lainnya yang berhubungan dengan media pembelajaran fisika.
IV.
Pembahasan Permainan tradisional sebagai model pembelajaran yang berhubungan langsung
dengan dunia nyata yang berkembang dan terjadi di lingkungan sekitar siswa. Akibatnya, siswa mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dengan kehidupan sehari-hari mereka. Disini, guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari, sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari pengkontruksian sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masayarakat. Pembelajaran dengan media ini
adalah salah satu
pendekatan pembelajaran yang menekankan pentingnya lingkungan alamiah itu diciptakan dalam proses belajar agar kelas lebih hidup dan bermakna, karena siswa mengalami sendiri apa yang dipelajarinya dengan mempraktekan materi fisika secara langsung dan tidak membosankan, yaitu dengan menggunakan media mainan tradisional. Permainan tradisional dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian siswa, memudahkan siswa dalam memahami setiap materi yang diberikan. Dengan menggunakan media tersebut diharapkan pendidik mampu menjelaskan materi yang diberikan, dan dengan mudah konsep dari materi tersebut dipahami oleh para peserta didik. Permainan tradisional tidak hanya memiliki kelebihan dalam hal penanaman konsep materi dengan tepat dan mudah dipahami. Namun, permainan tradisional dapat pula memacu para siswa untuk meningkatkan kreatifitasnya. Para siswa umumnya akan semakin merasa tertarik pada materi yang diberikan jika dalam menjelaskannya menggunakan media yang unik dan menarik, contohnya permainan tradisional itu sendiri. Sehingga para siswa akan lebih mudah dalam memahami konsep materi yang diberikan. Penerapan permainan tradisional ini menjadikan para pendidik dapat memberikan bahan pelajaran yang efektif dan kreatif melalui media pembelajaran yang menarik, yang dapat membuat peserta didik lebih cepat dalam memahami konsep materi yang diberikan. Penerapan media permainan tradisional bagi para pendidik dapat memudahkan serta menghidupkan kegiatan pembelajaran yang baik, aktif, kreatifitas, pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru. Bagi siswa, dengan penerapan media permainan tradisional akan merasakan asyiknya belajar sains. Disamping itu, dapat menciptakan ruang kelas yang
144
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
didalamnya siswa akan menjadi aktif dan dapat membantu guru menghubungkan materi pelajaran pada dunia nyata serta memotivasi siswa dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan kegiatan permainan dalam pembelajaran dapat menarik siswa cerdik, menyenangkan dan sangat memikat dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Penggunaan permainan tradisional dapat membantu daya nalar siswa untuk menjelaskan konsep fisika yang dekat dengan kehidupannya sehari-hari. Melalui permainan tradisional siswa melihat, memperhatikan serta akhirnya mengemukakan ide, menerapkan konsep tersebut melalui fakta yang diaplikasikan dalam permainan tradisional. Dengan demikian permainan tradisional bukan hanya sebagai alat bantu tetapi dapat membantu pemahaman siswa tentang obyek yang sedang diamatinya. Penggunan permainan tradisional dapat mengatasi sipat pasif anak didik . Dalam hal ini dapat juga berperan untuk menimbulkan kegembiraan belajar. Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dan lingkungan dan kenyataan. Memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampun dan minatnya. Permainan tradisional dapat berperan dalam pembentukan karakter siswa. Hal ini karena permainan tradisional yang digunakan berisikan fakta-fakta yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan dari pendidikan fisika terutama meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan Yang maha Esa dan menumbuhkan rasa ingin tahu tercapai. Dalam hal ini untuk proses selanjutnya tentu akan berarah kepada penanaman dan pembentukan karakter siswa. Pembentukan karakter yang baik akan sangat berpengaruh dalam kemampuan akademik.
V.
Kesimpulan Pemanfaatan permainan tradisional sebagai media alternative cocok digunakan
untuk pembelajaran fisika. Dengan menggunakan media ini dapat mencapai tujuan pembelajaran fisika yang diharapkan. Akibatnya, berperan penting dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Daftar Pustaka Anonim.2003.Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003.Bandung:Citra Umbara. Putra, Amali. 2005. Media Pengajaran Fisika. Padang: FMIPA UNP. Latuheru, Jhon D. 1998. Media Pembelajaran Dalam Proses Belajar masa Kini. Jakarta:Depdikbud.
145
ISBN : 978-602-96622-1-4
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
Nasution.2005.Berbagai
Pendekatan
Dalam
Proses
Belajar
dan
Mengajar.Jakarta:Bumi Aksara. Susilo,
Muhammad
Joko.2006.Dasar-Dasar
dan
Proses
Pembelajaran
(Dpp-i).
Yogyakarta:Pinus. Uno, Hamzah.2007.Teori Motivasi dan Pengukurannya.Jakarta:PT. Bumi Aksara. Simanjuntak dan Pasaribu.1983.Proses Belajar Mengajar. Bandung:
Tarsito.
Ikaha, Moh. Arif.2009.Implementasi Contextual Teaching And Learning (CTL) Pada Pembelajaran Sains Melalui Permainan Tradisional.http://moharifikaha.blogspot.com/2009/07/blog-post.html[16 April 2010] Sugiharti, Piping, S.Pd.2005.Penerapan Teori Multiple Intelegence dalam Pembelajaran Fisika.Jurnal Pendidikan Penaburno.05/Th.IV/Desember.2005.http://www.bpkpenabur.or.id/files/29-42-Penerapan Teori Multiple Intelligence dalam Pembelajaran Fisika.pdf>[21 April 2010] Siregar, Ir. Harrys.2003.Peranan Fisika Pada Disiplin Ilmu Teknik Kimia. http://library.usu.ac.id/download/ft/tkimia-harrys2.pdf>[23 April 2010]
Tanya Jawab Rudi Ashari, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD : ?
Apakah semua bidang fisika dapat diumpamakan dengan permainan tradisional?
?
Apakah bisa efektif, jika permainan tradisional hilang digerus zaman dengan terus berkembangnya IPTEK dan Globalisasi?
?
Apakah benar mutu pendidikan akan efektif jika manajemennya tepat?
Bella Nurfadilah, Adhani Prima S, M.Reza Primadi, Sri Maiyena, UAD @ Tidak, semua materi fisika baru disampaikan dengan permainan tradisional @ Dengan kita menggunakan media permainan tradisional
kita malah bisa ikut
melestarikan budaya bangsa seperti permainan tradisional. Tetapi tidak semua materi fisika bisa menerapkan metode permainan tradisional untuk penyampaiannya. Teknologi pasti akan berkembang. @ Ya benar, guru (pendidik) adalah masuk dalam manajemen itu sendiri
146
PROSIDING Seminar Nasional Pendidikan Fisika dan Fisika 2010
ISBN : 978-602-96622-1-4
Wahyu Budi Santosa, Pend.Fisika JPMIPA FKIP – UAD : ?
Apa contoh permainan tradisional yang sesuai dengan pembelajaran fisika?
?
Apa yang harus dilakukan di luar ruangan?
Bella Nurfadilah, Adhani Prima S, M.Reza Primadi, Sri Maiyena, UAD @ Parasut, bola bekel, yoyo, jagram warna @ Permainan tradisional tidak harus selalu dilakukan di luar ruangan, di dalam ruang pun bisa dilaksanakan, karena pada dasarnya permainan yang dilaksanakan adalah sederhana. Bisa dikondisikan tempatnya.
147