SEJARAH PERKEMBANGAN INDUSTRI BATIK TRADISIONAL DI TIRTOMOYO TAHUN 1950-2000 Gilang Christian .W.
Abstract Batik is a design that is poured on the cloth, by passing through a certain process. Batik is one of the culture in Indonesia. Decorative batik in Indonesia varied in accordance with their respective regions. Tirtomoyo region, Wonogiri, is one of the center of batik, batik industry in the area of traditional folk craft industry grow into an increasingly rapid pace. The majority of people Tirtomoyo, Wonogiri working in batik. At first batik work is still done the traditional way, but gradually changed into the more advanced. In the period of the 1960s the traditional batik industry has developed rapidly, but in subsequent years continued to show symptoms of decline. Wonogiren batik textile tradition is literally typical Wonogiri region (district), created or produced by using the batik technique or Cretan wax (or wax-resist nights) on the fabric. Textiles are not native to Wonogiri, when seen from the beginning of its appearance. Wonogiren’s batik name comes from a batik artist Pura Mangkunegaran (Surakarta) named Raden Ayu Kanjeng Wonogiren or Handayaningrat, the wife of a Regent Wonogiri (served in pre-independence era of Indonesia). He served as bertahtanya KGPAA Mangkunegaran VII to VIII. Key word: Batik, Industrial Development, Tidal Factors
PENDAHULUAN Kebudayaan adalah suatu sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan bagian dari manusia dengan cara belajar, dengan kemampuan akal budinya, manusia telah mengembangkan berbagai sistem tindakan, mulai dari yang sangat sederhana ke arah yang lebih kompleks sesuai kebutuhannya.1 Seperti yang
1 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990), hlm.2. 1
diketahui bahwa ada 7 unsur kebudayan, dan kesenian adalah salah satunya. Menurut beberapa ahli sejarah, batik yang berasal dari Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, semula berasal dari India. Batik pada awal mulanya di bawa oleh para pedagang India yang kala itu sedang melakukan perdagangan dengan pedagang-pedagang pribumi di pulau Jawa. Dari proses tukar menukar barang dagangan itu, selanjutnya melahirkan informasi pemahaman tentang batik. Lambat laun orang-orang Jawa mulai mengenal batik yang kemudian memodifikasinya, dan mengembangkan dengan menggunakan bahan baku dan bahan penunjang lainnya, sehingga berubah bentuk menjadi kain pakaian yang memiliki ciri-ciri Indonesia.2 Batik Wonogiren secara harfiah adalah tekstil tradisi khas wilayah Wonogiri (kabupaten), dibuat atau diproduksi dengan menggunakan teknik batik atau cretan lilin (malam atau waxresist) di atas kain. Tekstil tersebut bukan asli dari Wonogiri, apabila dilihat dari awal kemunculannya. Nama Batik Wonogirenan berasal dari seorang seniwati batik asal Pura Mangkunegaran (Surakarta) bernama Kanjeng Wonogiren atau Raden Ayu Handayaningrat, istri seorang Bupati Wonogiri (menjabat pada zaman pra kemerdekaan RI). Ia mengabdi saat bertahtanya KGPAA Mangkunegaran VII sampai VIII. Kanjeng Wonogiren adalah kreator tekstil tradisi ini. Kata “wonogiren” pada istilah batik Wonogiren bukan berasal dari kata “wonogiri” mendapat akhiran–an, sehingga menunjukkan kepemilikan atau asal, tetapi nama Kanjeng Wonogiren. Namanya digunakan untuk menyebut kain batik, karena terkenal dengan babaran atau cara memberi warna pada batik. Istilah tersebut diberikan oleh masyarakat pemakai batik karya beliau dan pembatik yang masih keturunan keluarga bangsawan Pura Mangkunegaran. Babaran Kanjeng Wonogiren menghasikan warna lembut, bersih, dan lebih muda, dibandingkan dengan babaran batik beredar saat itu, yang cenderung gelap dan tajam, karena mayoritas pewarna memakai bahan alami sejenis rempah, yakni soga jambal (Pelthoporum Ferrigineum). Bahan tersebut menghasilkan warna coklat sawo dan gelap, sebagai ciri khas Batik Surakarta. Batik Wonogiren kemunculannya berawal dari kegiatan membatik, tepatnya di Kecamatan Tirtomoyo. Batik Wonogiren memiliki ciri khas motif retakan-retakan disebut dengan remakan atau remukan. Motif remukan tidak sekedar menjadi ciri khas, tetapi bagian dari batik Wonogiren. Hal tersebut menambah nilai estetika, yang membedakan dengan karya
2 Dofa, Anesia Aryunda, Batik Indonesia (Jakarta: PT. Golden Teranyon, 1996), hlm. 8. 2
batik dari daerah lain. Nilai estetika tersebut bersifat objektif dan murni terlihat pada garis, bentuk, serta warna.3
METODE PENELITIAN Metode yang dilakukan dalam penelitian
adalah metode sejarah. Metode sejarah
merupakan proses mengumpulkan, menguji, dan menganalisis secara kritis terhadap rekamanrekaman peninggalan pada masa lampau dan usaha-usaha melakukan sintesa dari data-data masa lampau menandai kajian yang dapat dipercaya. Penelitian ini adalah penelitian sejarah, sehingga metode relevan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Proses metode sejarah meliputi empat tahapan yakni: Tahap pertama adalah heuristik yaitu mencari dan mengumpulkan sumber-sumber mengenai sejarah perkembangan batik di Tirtomoyo serta dokumen-dokumen lainnya yang sesuai dengan permasalahan yang diperoleh dari berbagai sumber. Buku-buku dan sumbersumber sekunder yang berhubungan dengan topik permasalahan dan tema penelitian diperoleh dari kepustakaan di Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran Surakarta. Tahap Kedua, metode wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilaksanakan secara lisan dari seorang narasumber. Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang saling berkepentingan guna meng-crosschek keabsahan data. Wawancara dilakukan secara langsung dengan Teguh (Camat Tirtomoyo), Tarmi (Pengusaha batik Tirtomoyo), Satiyem (Petani), Darto (Petani), Kaharudin Ahmad (Pengusaha Batik), dan Wiyono (Pedagang). Tahap ketiga adalah kritik sumber, terdiri dari kritik intern dan ekstern. Kritik intern merupakan kritik yang meliputi tulisan, kata-kata, bahasa dan analisa verbal serta tentang kalimat yang berguna sebagai validitas sumber atau untuk membuktikan bahwa sumber tersebut dapat dipercaya. Kritik ekstern, meliputi material yang digunakan guna mencapai kredibilitas sumber atau keaslian sumber tersebut. Tahap keempat adalah interpretasi atau penafsiran, yaitu menafsirkan keterangan-
3
“Batik Wonogiren Bertahan pada Corak Eksklusif”. Suara Merdeka, Sabtu, 12 April 2003. 3
keterangan yang saling berhubungan dengan fakta-fakta yang diperoleh. Analisa data merupakan kegiatan pengklarifikasian data yang terkumpul dalam suatu pola, kategori, dan suatu uraian sehingga dapat ditemukan kerangka berfikir yang mendukung hipotesa kajian. Tahap kelima adalah historiografi yaitu proses penulisan sejarah sebagai langkah akhir dari penelitian sejarah.
PEMBAHASAN Batik Tirtomoyo asal mulanya dari Keraton Surakarta. Pada awalnya batik di dalam kerajaan atau keraton hanya merupakan kerja sambilan bagi putri keraton yang nantinya akan dipersembahkan untuk kekasihnya, juga untuk kepentingan (pakaian) raja dan para kerabat keraton. Raja hanya memilih orang-orang pandai membatik yang dikhususkan berdiam di keraton untuk membuat kain batik. Oleh karena raja dan seluruh kerabat keraton memerlukan kain batik, maka raja mengutus para lurah mencari daerah penghasil batik. Melalui lurah tersebut di dapat daerah Laweyan yang menjadi pusat pembuatan kain batik di wilayah kekuasaan Keraton Surakarta. Laweyan sendiri berasal dari kata Lawe yang artinya benang, karena pada zaman dahulu tempat ini adalah tempat pembuatan kain tenun. Mulai dari sinilah kain batik berkembang semakin besar dan dampaknya mulai menjalar ke pelosok daerah teruatama daerah Tirtomoyo yang merupakan pusat dari kegiatan batik di daerah Wonogiri. Masyarakat di wilayah pembatikan Kecamatan Tirtomoyo memiliki peran berupa persepsi dan partisipasi penting dalam pengembangan desain Batik Wonogiren. Hal tersebut salah satu kontribusi penting guna menyumbang kekayaan jenis motif batik Nusantara umumnya, dan khususnya di wilayah Tirtomoyo. Subjek yang tepat untuk mengetahui secara langsung perihal pengembangan desain Batik Wonogiren melalui interaksi langsung dengan masyarakat pelaku. Desain Batik Wonogiren merupakan objek yang muncul karena ide atau gagasan masyarakat, dalam hal ini perajin merupakan yang memutuskan persepsi masyarakat berupa ide, sebagai wujudnya adalah partisipasi dengan memvisualisasikannya ke sebuah bentuk. Perajin dimaksud adalah pihak yang berpartisipasi aktif mempunyai ide untuk membuat suatu motif dan mengaplikasikan pada kain, meskipun tidak sampai tahap akhir proses pembatikan. Pada akhirnya timbul keinginan pengusaha batik Tirtomoyo untuk menjual batik kepada rakyat biasa dengan harga yang terjangkau oleh mereka karena dahulu masyarakat masih 4
memakai kain tenun yang disebut kain lurik. Oleh karena itu, pengusaha batik Tirtomoyo kemudian memproduksi batik tulis dengan batik cap dan juga cara menyoganya dari bahanbahan kimia, supaya lebih cepat proses pembuatannya. Disamping itu harganya menjadi lebih terjangkau oleh rakyat biasa namun tidak meninggalkan bentuk aslinya. Akan tetapi alat yang untuk mengecap pada waktu itu masih menggunakan cap dari kayu, dengan motif-motif yang masih sangat sederhana sekali yaitu dengan bentuk yang besar-besar dan cecek-ceceknya (isen bulat kecil pada motif batik) pun tak dapat rapi dan halus. Oleh karena dengan kayu kurang efisien, maka pada tahun 1950-an dibuatlah cap yang terbuat dari tembaga yang tahan lama. Alat ini disebut canting cap dan batiknya disebut batik cap. Alat tersebut dibuat agar dapat memproduksi dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat, tetapi dengan adanya alatalat yang modern ini bukan berarti lalu Tirtomoyo meninggalkan batik tulis. Bahkan membuat batik tulis, batik cap juga campuran batik cap dan batik tulis.4 Batik tulis dan batik cap berkembang berdampingan sampai saat ini. Ditinjau dari halus tidaknya, maka batik tulislah yang lebih halus daripada batik cap. Batik tulis motif-motifnya lebih hidup karena dibuat dengan rasa seni atau unsur seni masih ada didalamnya. Sedangkan walaupun batik cap prosesnya jauh lebih cepat dari batik tulis tetapi hasil batik cap ini agak berbeda dengan batik tulis. Dari segi ketepatan pengulangan bentuk canting cap lebih menjamin, akan tetapi dari kesempurnaan goresan kurang baik. Batikan cap sering kali tidak tembus dan kadang-kadang di lain sisi tembus, bahkan blobor.5 Semakin majunya teknologi, pada sekitar tahun 1960-an ditemukan alat pembuatan batik dengan “printing” atau “sablon” dengan alat cap yang terbuat dari kain yang telah dilukis dan bagian tepinya diberi plangkan (kayu) dengan ukuran lebar 80 cm dan panjang menurut lebar mori/cambric. Batik ini terkenal dengan batik printing. Proses dari pada cara ini lebih cepat dengan kalkulasi yang rendah sebab batik ini tidak memakai cara di cap dengan malam dahulu,
4
Wawancara dengan Kaharudin Ahmad Pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni 2010
jam 10:00 WIB. 5
Riyanto, dkk., Katalog Batik Indonesia (Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Industri Kerajinan dan Batik, 1997), hlm 13. 5
dan tidak juga melered (membabar), akan tetapi mori di cap langsung dengan motif yang dikehendaki. Menurut Nian S. Djoemena,6 secara garis besar terdapat 2 golongan ragam hias batik, yaitu ragam hias geometris dan ragam hias non-geometris. Yang termasuk golongan geometris adalah: 1. Garis miring atau parang 2. Garis silang atau ceplok 3. Anyaman dan Limar Yang termasuk golongan non-geometris adalah: 1. Semen, terdiri dari flora, fauna, meru, lar dan sejenis itu yang ditata secara serasi. 2. Lunglungan 3. Buketan, dari kata bahasa Prancis atau Belanda bonquet jelas merupakan ragam hias pengaruh dari luar dan termasuk ragam hias pesisir. Dalam perkembangannya, motif-motif batik yang menjadi larangan tersebut tampaknya telah menjadi pakaian kebanyakan sehari-hari. Setiap penciptaan motif batik klasik pada mulanya selalu diciptakan dengan makna simbolisme dalam falsafah Jawa. Maksud dari usaha penciptaan pada jaman itu agar memberi kesejahteraan, ketenteraman, kewibawaan
dan
kemuliaan serta memberi tanda status sosial bagi si pemakai dalam masyarakat. Motif batik tidak dibuat secara sembarangan, tetapi mengikuti aturan-aturan yang ketat. Hal ini dapat dipahami karena pembuatan batik yang sering dihubungkan dengan mitologi, harapan-harapan, penanda gender, status sosial, anggota klan, bahkan dipercaya mempunyai kekuatan gaib. Motif batik Jawa mempunyai hubungan dengan status sosial, kepercayaan, dan harapan bagi si pemakai.7 Mengenai kebudayaan seni batik di Tirtomoyo secara berangsur-angsur mengalami proses perubahan bentuk, variasi sesuai dengan kebudayaan yang mewarnai pada masa pembuatannya. Sebelum masuknya budaya dari luar, seni batik di Indonesia masih sederhana. Dalam proses perkembangannya seni batik Tirtomoyo mengikuti kemajuan zaman, sesuai
6
Djoemena, Nian S., Ungkapan Sehelai Batik (Jakarta: Djambatan, 1986), hlm 7.
7
Djoko Dwiyanto & DS Nugrahani., Perubahan Konsep Gender Dalam Seni Batik Tradisional
Pedalaman dan Pesisiran (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita UGM, 2000), hlm 3. 6
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknik-teknik mekanis yang baru. Ragam hias batik Tirtomoyo pada mulanya mengikuti ragam hias batik dari kerajaan atau kraton. Ragam hias tersebut merupakan ragam hias yang telah baku atau istilah jawanya “dipakemkan”. Sebagai contoh ragam hias yang telah baku, antara lain: ragam hias Kawung, Sawat, dan Parang. Masyarakat Tirtomoyo sudah memiliki perusahaan industri kerajinan batik meskipun masih sangat sederhana. Ruang gerak mereka masih sangat terbatas dan hanya menjadi pengusaha kecil, kedudukan keuangan mereka masih sangat lemah dan kesempatan untuk maju masih sangat minim. Hal ini dikarenakan politik pemerintah Hindia Belanda yang sangat menekan kemajuan bangsa Indonesia disegala bidang kehidupan masyarakat. Pemerintah Hindia Belanda dalam perdagangan dan ekonomi lebih percaya pada masyarakat pendatang yaitu masyarakat Tiong Hoa dan Arab. Mereka diharapkan mampu menekan kemajuan ekonomi dan perdagangan para bumiputera dengan cara memberikan perlindungan dan hak istimewa kepada golongan tersebut daripada kepada pedagang asli Indonesia.8 Akibat tindakan pemerintah Hindia Belanda yang diskriminasi itu kedudukan pedagangan batik bangsa Indonesia yang sudah lemah itu semakin terdesak kedudukannya daripada pedagang bangsa Tiong Hoa dan Arab. Teknik membuat batik tradisional meliputi seluruh proses pekerjaan yang cukup panjang terhadap kain mori sejak dari permulaan hingga menjadi kain batik. Pekerjaan ini meliputi tahap persiapan dan tahap pokok. Pada tahap persiapan maka yang dikerjakan adalah mempersiapkan kain mori sehingga siap untuk dibatik, yaitu (1) memotong mori sesuai dengan ukuran yang dikehendaki; (2) mencuci (nggirah atau ngetel); (3) menganji (nganji) dan (4) menyetrika (ngemplong). Pada tahap pokok proses pembatikan yang sebenarnya dimulai, yaitu meliputi tiga macam pekerjaan: (1) pembuatan motif batik dengan melekatkan lilin batik (malam) pada kain. Ada beberapa cara pelekatan lilin ini, yaitu dengan dilekatkan atau ditulis dengan alat yang disebut canting, canting cap, atau dilukis dengan kuwas (jegul). Lilin atau malam adalah campuran dari beberapa bahan, seperti gondorukem, matakucing, parafin atau microwox, lemak atau minyak nabati, dan kadang-kadang dicampur dengan lilin lebah atau lanceng; (2) pewarnaan batik yang dilakukan dengan cara menyelupkan pada zat pewarna; dan (3) menghilangkan lilin
8
Slamet Mulyana, Nasionalisme sebagai Modal Perjuangan Bangsa Indonesia (Jakarta: Jakarta
Pustaka, Jilid I, 1960), hlm. 195. 7
pada kain yang disebut denga ngerok, nglorod, ngebyok atau mbabar.9 Demikianlah proses produksi pembuatan batik secara singkat. Sistem kerja dalam usaha industri kerajinan batik Sistem kerja yang diselenggarakan para pengusaha batik di daerah Tirtomoyo adalah sebagai berikut: a. Garap langsung Adalah suatu sistem kerja dimana para seluruh pengrajin batik harus menyelesaikan pekerjaannya di tempat pengusaha batik. Baik yang masih menggunakan rumahnya sebagai bengkel kerjanya maupun yang sudah mempunyai bengkel sendiri. Garap langsung ini lebih mudah dilakukan untuk buruh pengrajin batik pria dari pada buruh pengrajin wanita. Sebab lebih mudah dijalankan buruh pengrajin pria karena tahapan yang harus dijalankan pada umumnya tidak memungkinkan untuk dibawa pulang. Memerlukan peralatan dan ramuan khusus untuk tahapan pekerjaannya, yang perlu mendapat pengawasan mandiri dari pihak pengusaha batik. Sedangkan tahapan pekerjaan yang dijalankan untuk buruh pengrajin batik wanita, dimungkinkan untuk dibawa pulang, karena hanya menggunakan peralatan yang sederhana dalam menyelesaikan tahapan pekerjaannya. Pada sistem garap lansung ini upah yang berlaku untuk buruh pengrajin pria adalah dengn upah harian, sedangkan untuk buruh pengrajin wanita dengan upah borongan. b. Garap luar atau Sanggan. Adalah suatu sistem kerja dimana pengusaha batik membagi-bagikan bahan pada buruuh pengrajin batik untuk dikerjakan di rumah mereka masing – masing dengan diberi upah borongan. Kerja langsung atau sanggan ini bagi buruh pengrajin batik sangat menguntungkan, sebab selain dikerjakan dirumah, waktu mengerjakannya bisa sewaktu – waktu. Untuk tahap pengerjaannya dapat mengerahkan anggota keluarganya. Pemasaran Batik Masalah pemasaran sangat penting karena berhasil tidaknya pemasaran menentukan kelangsungan hidup perusahaan. Bila pemasaran berhenti akan berakibat pula timbulnya suatu
9
Soetopo, S., Batik (Jakarta: Balai Pustaka, 1956), hlm. 3-5. 8
penumpukan hasil produksi dari perusahaan. Pentingnya pemasaran ini berlaku pula dalam perusahaan industri kerajinan batik di Tirtomoyo. Para pengusaha batik di Tirtomoyo menjual hasil produksinya dengan cara menjual langsung ke konsumen maupun kepada pedagang perantara. Para pedagang perantara tingkat desa umumnya adalah pedagang kecil eceran yaitu para pedagang yang menjual eceran langsung kepada konsumen. Para pedagang tingkat desa ini datang sendiri ke tempat pengusaha batik untuk mengadakan transaksi pembelian batik secara kecil – kecilan kemudian menjualnya lagi ke pasar – pasar tingkat desa sampai pasar tingkat kabupaten. Pedagang perantara tingkat kota adalah para pedagang tingkat menengah, yaitu pedagang yang mampu membeli cukup banyak hasil produksi batik dari pengusaha dan membawa dagangannya sendiri menuju kota, kemudian menjualnya ke sejumlah pasar yang ada di kabupaten Wonogiri maupun yang ada di Surakarta yaitu pasar Klewer. Dalam usaha-usaha pengembangan batik Tirtomoyo tidak terlepas dari usaha yang dilakukan oleh pemerintah, pengusaha dan pengrajin sendiri. Dukungan terhadap pengembangan batik Tirtomoyo, antara lain : a.
Pemerintah berusaha membina pengrajin agar mampu menjadi pengrajin mandiri, sehingga tidak tergantung lagi pada pengusaha-pengusaha Cina.
b.
Bagi para pengusaha diberikan dispensasi dalam peminjaman modal di bank berupa KIK (Kredit Investasi Kecil). Mereka diberi kemudahan-kemudahan peminjaman.
c.
Para pengusaha batik berusaha menciptakan kreasi-kreasi baru dalam motif batik, baik dengan mengambil motif-motif dari daerah lain ataupun dengan melahirkan kreasi sendiri, namun tetap mempertahankan ciri khas Tirtomoyo.
d.
Usaha yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan, yaitu berusaha mengenalkan motif-motif kreasi baru yang diambil dari daerah lain dan juga pengenalan terhadap teknologi baru. Dalam upaya melestarikan batik Tirtomoyo, pemerintah dalam hal ini Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Wonogiri melakukan beberapa upaya-upaya: a.
Memberikan penyuluhan tentang cara-cara pembuatan batik dan motif-motif batik kreasi baru.
b.
Memberikan pendidikan ketrampilan membatik pada para pengrajin, khususnya generasi mudanya sebagai pewaris kebudayaan bangsa. 9
c.
Memberikan bimbingan agar nantinya para pengrajin mampu menjadi pengrajin yang mandiri dan mampu menciptakan kreasi-kreasi baru sendiri.
d.
Mengadakan pengadaan dan penyediaan bahan bagi pengrajin yang kekurangan modal.
e.
Memberikan informasi tentang keadaan pasar batik, teknik-teknik membatik yang baru.
f.
Menempatkan kerajinan batik ini kedalam ruang cindera mata di Kotamadya agar nantinya setiap pengunjung dapat melihat secara langsung.
g.
Mengikutsertakan batik Tirtomoyo dalam pameran-pameran baik yang bersifat nasional maupun internasional. Perkembangan batik di Tirtomoyo mulai pesat ketika Koperasi batik yang bergabung
dalam GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) turut membantu para pengusaha dalam penyediaan bahan mentah berupa kain mori dan obat pewarna untuk batik. Dalam kondisi demikian para pengusaha batik Tirtomoyo memperoleh keuntungan yang melimpah, karena melalui koperasi diperoleh kain mori maupun obat-obat pewarna batik dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga di pasaran bebas, selain itu koperasi turut pula dalam membantu permodalan bagi para pengusaha dan pemasaran kain batik. Pada waktu itu pemerintah juga sedang aktif meningkatkan kekuatan ekonomi nasional, khususnya pengusaha pribumi melalui Rencana Urgensi Perekonomian dan Program Benteng. Kebijakan ini secara eksplisit berusaha melindungi dan mengembangkan pengusaha-pengusaha pribumi serta menekan pengusaha-pengusaha dari kalangan Cina. Hal ini dilakukan dengan jalan menyediakan konsesi impor alokasi devisa dan kredit hanya bagi pengusaha-pengusaha pribumi. Kejayaan batik tradisional Tirtomoyo menjadikan Tirtomoyo dikenal sebagai sentra kerajinan batik di Wonogiri. Hampir seluruh masyarakat Tirtomoyo menggantungkan hidupnya dari usaha batik. Sebagai pemilik perusahaan maupun menjadi buruh di perusahaan-perusahaan batik hubungan kekeluargaan diantara para pengusaha batik pun sangat kuat. Para pengusaha batik ini membentuk ikatan kerja sama melalui hubungan keluarga untuk menguasai pasaran dan saling menjaga kelangsungan modalnya masing-masing.10 Tirtomoyo juga dikenal sebagai kampung yang sangat maju, berkat pesatnya perkembangan perusahaan-perusahaan batik tradisional. Para pengusaha batik berlomba membangun rumah yang mewah, dengan ciri khas
10
Wawancara dengan Tarmi, Pengusaha Batik desa Wiroko Kecamatan Tirtomoyo pada tanggal
30 Juni 2010 jam 13:00 WIB. 10
dinding atau temboknya yang tinggi. Selain itu didirikannya pabrik mori, sebagai bahan baku batik turut berperan pula meningkatkan taraf hidup masyarakat Tirtomoyo, karena pabrik mori tersebut menyerap cukup banyak tenaga kerja. Memasuki masa Orde Baru, industri tenun dan batik Tirtomoyo menunjukkan suatu gejala kemerosotan. Perkembangan nilai produksi kain mori maupun batik tidak sepesat dalam periode 1960-1965.11 Gejala kemerosotan industri tenun maupun batik Tirtomoyo di masa Orde Baru ini disebabkan karena: 1. Bahan Baku yang Sulit Diperoleh 2. Upah dan Tenaga Kerja 3. Persaingan dengan industri tekstil dan batik modern 4. Kelemahan Modal Pemasaran Menurut penuturan salah seorang pedagang batik12, seiring dengan perkembangan zaman motif
batik semakin kompleks, karena tuntutan pasar dan untuk keperluan industri, para
pengusaha cenderung memilih cara pembuatan batik yang lebih cepat dan modern, maka yang terjadi banyak pengusaha yang meniru, menembak motif lantaran antara batik printing dan batik tulis jika tidak cermat sulit untuk membedakannya. Akhirnya hal tersebut mewabah ke manamana tidak hanya pada batik, tetapi juga pada jenis-jenis kain yang lain. Mereka berlomba ke dalam motif yang bagus dan murah. Sekarang ini banyak terjadi kekaburan tentang motif batik yang asli atau baku, karena banyak bermunculan motif-motif tiruan yang lebih bervariasi, meskipun banyak pula motif yang hampir mirip dengan motif asli. Namun sebenarnya jika dicermati terdapat perbedaan mendasar antara batik tulis dan batik printing, yaitu batik tulis tidak konsisten dalam corak dan klowongannya. Juga ada perbedaan mana yang bagian luar dan mana yang bagian dalamnya. Ketika era batik telah datang pada tahun 1990-an, pengrajin batik yang secara historis punya hak moral untuk menikmati kejayaan batik, ternyata harus gigit jari. Menurut Departemen
11
Wawancara dengan Kaharudin Ahmad, pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni
2010 jam 10:00 WIB. 12
Wawancara dengan Wiyono, pedagang batik pasar Baturetno pada tanggal 5 Juni 2010 jam
09.00 WIB. 11
Perindustrian, dari puluhan ribu industri rumahan yang pernah ada, kini hanya tinggal 5.000-an industri rumahan yang masih aktif di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur.13 Dampak pasang surutnya industri batik terjadi karena perubahan konsep dari ali babi menjadi baba ali. Konsep ali baba adalah suatu kebijakan yng dilakukan pengusaha cina meminta kerja sama dari pemerintah untuk melindungi batik kerisnya. Hal ini dimafaatkan oleh pengusaha cina untuk mengambangkan usaha batiknya. Akan tetapi pada tahun 1970-1980 berubah konsep dari ali baba ke baba ali, yaitu pengusaha cina memanfaatkan kebijakan yang dilakukan pemerintah dan bisa mengusai sektor – sektor industri batik. Dampak lain yang ditimbulkan karena merosotnya industri batik antara lain: 1. Dalam Bidang Sosial Dalam Bidang Sosial pada pembahasan perkembangan industri batik Tirtomoyo pada tahun 1960-1965, desa Tirtomoyo telah membentuk masyarakat yang menghargai nilai-nilai ekonomis dan keagamaan, keberhasilan ekonomis dan keagamaan merupakan dua prasarat penting yang dibutuhkan untuk mendapatkan status sosial, sehingga adanya kebijakan Pemerintah yang melindungi terhadap keberadaan industri mereka memberikan dorongan kemajuan terhadap industri utama mereka, yaitu tekstil dan batik. Dengan ungkapan lain, perkembangan pusat ekonomi masyarakat Tirtomoyo telah memperoleh dukungan baik secara politik maupun budaya.14 Perkembangan pesat yang telah diraih pada masa sebelumnya ternyata harus mengalami kemerosotan. Kemerosotan ini telah pula menjauhkan harapan-harapan masyarakat Tirtomoyo dalam kesadaran mereka yang sangat menghargai nilai-nilai kewirausahaan. Suatu gejala umum yang dapat dilihat pada masyarakat Tirtomoyo adalah timbulnya keputusasaan sebagai akibat dari zaman keemasan atau kejayaan yang pernah mereka rasakan telah berlalu. Di sisi lain etos kewiraswastaan yang semestinya diregenerasikan pada penerusnya kurang mendapat respon yang berarti. Kenyataan ini didasarkan bahwa semakin banyaknya anak-anak yang mengenyam pendidikan, dikemudian hari mereka lebih memilih bidang-bidang
13
Istiqom, Ahmad, ‘Batik, Busana Adi dari Zaman Kraton’. dalam Warta Ekonomi. No.
41,
1993, hlm. 3. 14
Wawancara dengan Satiyem, pengusaha batik dari desa Hargantoro Kecamatan Tirtomoyo
pada tanggal 14 Juni 2010 jam 14.00 WIB. 12
pekerjaan kantoran atau bekerja di luar kota. Dunia usaha batik sebagai asal mereka dibesarkan telah mulai ditinggalkan bersamaan dengan merosotnya penilaian generasi muda terhadap bidang usaha pendahulunya, dengan ungkapan lain gejala ini juga menunjukkan merosotnya entrepreneurship di kalangan generasi muda Tirtomoyo di masa yang akan datang. 2. Dalam Bidang Ekonomi a. Terancamnya industri batik tradisional oleh batik modern Terjadinya perubahan selera konsumen dan didorong lebih lanjut oleh produk batik printing yang didukung alat teknologi modern telah menyebabkan terjadinya penyempitan terhadap pemasaran batik tradisional. Pergeseran pasar ini pula telah mengakibatkan pergeseran dalam kepemilikan perusahaan, dan pergeseran daerah sebagai “sumber batik”. Apabila pada tahun-tahun sebelumnya pasaran batik didominasi oleh para pengusaha batik tradisional dari daerah-daerah seperti Yogyakarta, Ponorogo, Surakarta dan Wonogiri termasuk Tirtomoyo khususnya, maka kini “kekuasaan” itu telah beralih ke Jakarta, karena bermula dari Jakarta inilah batik printing telah mengalami perbaikan teknologi terutama sekitar tahun 1970-1980-an. Selain kelebihan dalam hal teknologi yang dapat menyamai kualitas batik tradisional, keadaan ini juga diuntungkan karena adanya “sistem tembak” (copy) dari desain batik tradisional sehingga dapat diperoleh hasil desain yang benar-benar serupa dengan batik yang dicopy.15 Dengan demikian industri batik yang juga menuntut kreatifitas para produsen untuk menciptakan motif-motif baru dalam desainnya, secara tidak langsung dirugikan oleh adanya sistem tembak ini. b. Berkurangnya jumlah produsen batik Tirtomoyo Salah satu petunjuk berkembangnya industri, batik telah mengalami peningkatan maupun kemerosotan dapat ditunjukkan dengan banyak sedikitnya orang yang bekerja pada sektor tersebut. Demikian pula industri batik Tirtomoyo yang telah mengalami kemerosotan pada masa sesudah Orde Baru dapat diketahui dengan semakin berkurangnya pengusaha industri tersebut. Meskipun secara eksplisit tidak disebutkan pengusaha industri yang bergerak di lapangan tertentu, namun dengan memperhatikan keterangan dari beberapa informan dapat disimpulkan bahwa pengusaha industri yang dimaksud sebagian besar adalah pengusaha batik.
15
Simandjuntak, Edward. S., ‘Batik Tradisional Makin Terpojok, Labelisasi untuk apa?’ dalam
Prisma. No. 72, 1982. hlm. 7. 13
c. Pergeseran-pergeseran dalam lapangan kerja lainnya Terjadinya pergeseran-pergeseran dalam lapangan kerja, karena sektor pembatikan sudah tidak dapat lagi diharapkan prospeknya terutama di kalangan generasi berikutnya, sehingga harus beralih pada jenis mata pencaharian lain. Ironisnya banyak anak pengusaha batik yang beralih profesi menjadi birokrat atau Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan di sini anak dari pengusaha batik yang menjadi birokrat justru lebih banyak daripada yang melanjutkan menjadi pengusaha batik. Bagi anak pengusaha yang berpendidikan tinggi, menjadi birokrat atau PNS adalah sebuah pilihan yang “lebih bergengsi” dibandingkan dengan menjadi pengusaha batik, mungkin dalam benak pikirannya mereka berpikir sudah sekolah tinggi-tinggi masa hanya bergelut dengan batik. Alhasil banyak diantara mereka yang memilih untuk menjadi birokrat. Justru yang meneruskan menjadi pengusaha batik adalah anak-anak pengusaha yang mempunyai latar belakang pendidikan yang tidak terlalu tinggi. d. Merosotnya partisipasi sosial pengusaha batik Tirtomoyo Dampak yang berupa kemerosotan partisipasi sosial, ditunjukkan dengan besar atau kecilnya dana-dana sosial yang diberikan para pengusaha terhadap masyarakat. Kemerosotan partisipasi sosial tersebut juga serupa dengan merosotnya perkembangan dana-dana sosial yang diperbantukan pada masyarakat. Keadaan tersebut cukup beralasan karena kaitan antara keduanya terdapat hubungan yang sangat menopang, tetapi dalam hal ini perlu kiranya menjadi perhatian sebagaimana keterangan informan, bahwa di masa lalu jiwa sosial pengusahapengusaha batik di Tirtomoyo cukup bagus. 16 Kejayaan Tirtomoyo sebagai pusat kegiatan bisnis batik karena banyak saudagar yang kaya raya didalamnya, kini hanyalah tinggal beberapa orang saja. Saat ini Tirtomoyo tidak ubahnya seperti kampung-kampung lainnya. Keadaan di Tirtomoyo tidak seperti dulu lagi, karena para saudagar batik kini tinggal keturunannya dan sudah tak banyak lagi yang menekuni batik tulis. Kelangkaan adanya batik tulis memang sudah terjadi cukup lama. Lebih-lebih ketika krisis moneter hingga pasca kerusuhan Mei 1998, perdagangan batik tulis mengalami keterpurukan yang sangat tajam karena harganya yang cukup mahal, pengerjaan batik tulis memerlukan proses yang cukup panjang dan rumit. Di samping itu biaya produksi mengalami kenaikan cukup tinggi, yang diikuti pula oleh kenaikan harga, sehingga jumlah pembeli semakin
16 Wawancara dengan Tarmi, pengusaha Batik desa Wiroko Kecamatan Tirtomoyo pada tanggal 30 Juni 2010 jam 13:00 WIB.
14
mengalami penurunan. Resiko untuk produksi batik tulis memang sangat tinggi. Cacat sedikit pembeli langsung menjatuhkan harga, disamping prosesnya yang begitu lama dalam pembuatan, sehingga untuk iklim perdagangan yang membutuhkan perputaran uang cepat, sulit untuk mengikuti.
KESIMPULAN Daerah Tirtomoyo dikenal sebagai salah satu sentra industri batik mulai tahun 1960 di Wonogiri. Kegiatan pembatikan pada mulanya masih mempergunakan peralatan yang sederhana, yaitu canting. Ragam hias batik yang dihasilkan pun masih meniru ragam hias dari kraton, demikian pula dengan pewarnaannya yang cenderung gelap dan mempergunakan bahan pewarna dari alam. Industri batik tradisional di Tirtomoyo yang semakin maju, membuat para pengusaha berpikir untuk menciptakan peralatan membatik yang dapat menghasilkan batik lebih cepat daripada dengan menggunakan canting. Dari masa ke masa dunia perbatikan banyak mulai mengalami perubahan. Mulai dari ragam hias batiknya hingga peralatan dalam pembatikannya. Demikian pula dengan batik di Tirtom-oyo. Ragam hias batik Tirtomoyo yang mulanya berupa ragam hias klasik lambat laun berkembang ke ragam hias yang dinamis atau bergaya kontemporer. Pewarnaannya pun mulai menggunakan warna yang beraneka ragam. Pesatnya perkembangan industri batik tradisional di Tirtomoyo tercipta dari kondisi masyarakat Tirtomoyo sendiri. Mereka memiliki etos kerja dan semangat dagang yang sangat tinggi dibandingkan masyarakat Wonogiri pada umumnya. Semangat kerja mereka, pada awalnya dilatarbelakangi akan adanya persaingan dengan pembatik dari kraton. Di samping itu, iklim usaha dan dukungan dari pemerintah turut pula berperan dalam berkembangnya industri batik tradisional. Kejayaan industri batik tradisional di Tirtomoyo dari waktu ke waktu semakin memudar. Pergantian pemerintahan yang mengakibatkan berubah pula kebijakan usaha yang telah dijalankan, berperan besar dalam mematikan industri batik tradisional. Selain itu kemunculan alat printing membuat para pengusaha berpindah memproduksi batik dengan alat ini dibanding mempergunakan canting atau cap. Batik printing sendiri sebenarnya tidak bisa disebut dengan batik, istilah batik digunakan untuk kepentingan bisnis saja supaya dapat menarik konsumen. Di samping itu penyebab kemunduran industri batik tradisional disebabkan oleh lemahnya dalam 15
permodalan, merosotnya peran koperasi, sulitnya bahan baku dan tenaga kerja. Kemunduran industri batik tradisional di Tirtomoyo tentu memberikan dampak bagi kehidupan masyarakatnya, baik di bidang sosial maupun ekonomi. Kerajinan batik sebagai hasil dari kerajinan tradisional masyarakat, diharapkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat tetap hidup dan berakar kuat pada generasi yang akan datang. Untuk itu diperlukan upaya untuk melestarikan hasil warisan kebudayaan nenek moyang kita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Anesia Aryunda Dofa. 1996. Batik Indonesia. Jakarta: PT. Golden Teranyon. Djoko Dwiyanto & DS Nugrahani. 2000. Perubahan Konsep Gender Dalam Seni Batik Tradisional Pedalaman dan Pesisiran. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita UGM. Koentjaraningrat. 1960. Masyarakat desa di Indonesia Masa Ini. Jakarta: Universitas Indonesia. Nian S. Djoemena. 1986. Ungkapan Sehelai Batik. Jakarta: Djambatan. Riyanto, dkk. 1997. Katalog Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Slamet Mulyana. 1960. Nasionalisme sebagai Modal Perjuangan Bangsa Indonesia. Jilid 1. Jakarta Pustaka. Soetopo, S. 1956. Batik. Jakarta: Balai Pustaka
2. Artikel dan Surat Kabar
Ahmad Istiqom, ‘Batik, Busana Adi dari Zaman Kraton’. Warta Ekonomi, No. 41, 1993. “Batik Wonogiren Bertahan pada Corak Eksklusif”. Suara Merdeka, Sabtu 12 April 2003. Simandjuntak, Edward. S., ‘Batik Tradisional Makin Terpojok, Labelisasi untuk apa?’ Prisma. No. 72. 1982.
16
DAFTAR INFORMAN 1
2
3
Nama
:
Tarmi
Umur
:
50 tahun
Pekerjaan
:
Pengusaha Batik
Alamat
:
Desa Wiroko, Kecamatan Tirtomoyo, Kab. Wonogiri.
Nama
:
Kaharudin Ahmad
Umur
:
60 tahun
Jabatan
:
Pengusaha Batik
Alamat
:
Desa Tirtomoyo, Kecamatan Tirtomoyo, Kab. Wonogiri.
Nama
:
Wiyono
Umur
:
50 tahun
Jabatan
:
Pedagang
Alamat
:
Desa Batu Tengah, Kecamatan Baturetno, Kab. Wonogiri
17