perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SEJARAH PERKEMBANGAN INDUSTRI BATIK TRADISIONAL DI TIRTOMOYO TAHUN 1950-2000
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhisebagai Persyaratan guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Disusun Oleh : GILANG CHRISTIAN .W. C0505029
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS NEGERI SEBELASMARET SURAKARTA 2012 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN Nama : GILANG CHRISTIAN .W. Nim
: C 0505029
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul “Sejarah Perkembangan Industri Batik Tradisional di Tirtomoyo Tahun 1950-2000” adalah betul-betul karya sendiri, bukan dari plagiat dan tidak dibuat oleh orang lain. Halhal yang bukan karya saya dalam skripsi ini diberi tanda citas (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta,
2012
Yang membuat pernyataan
GILANG CHRISTIAN .W.
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN Skripsi ini kupersembahkan untuk: Ayah dan Ibunda tercinta. Adik-adikku tersayang.
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO “ Ketika kesedihan itu harus terjadi dan jiwa tidak lagi memiliki cara untuk menghindarinya, maka kesedihan itu justru akan mendatangkan pahala, karena kesedihan yang demikian merupakan bagian dari musibah atau cobaan, dan hendaklah senantiasa melawannya dengan doa-doa ”. “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari satu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. (Q.S. Alam Nasroh:6-7) “Hidup ini jangan mencari yang sempurna. Namun berupayalah menerima hal yang tak sempuna dengan cara yang terbaik, kesabaran yang paling baik, hingga hidup tidak lagi berat untuk dijalani dan semua akan terlihat sempurna pada akhirnya”. ( Penulis)
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat, nikmat, karunia, cinta dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sangat besar kepada: 1. Bapak Drs. Riyadi Santoso, M.Ed,Ph.d, selaku Dekan Fakultas Sastra Dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesakan skripsi ini. 2. Ibu Dra.Sawitri PP, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret yang telah mencurahkan segenap pengetahuan yang dimilikinya kepada penulis. 3. Ibu Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku dosen pembimbing utama karena dorongan dan petunjuk beliaulah penulis tetap mempertahankan tema untuk menyusun skripsi ini. 4. Bapak
Drs.
Suharyana,
M.Pd,
selakudosenpembimbing
proposal
atasmasukandaninformasinyakepadapenulis. 5. Ibu Umi Yuliati, S.S. M.Hum, selaku dosen pembimbing akademik yang telah mendampingi penulis selama menempuh perkuliahan di Jurusan Ilmu Sejarah.
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Serta terima kasih terucap kepada seluruh Staf Pengajar Ilmu Sejarah UNS, yang telah membagikan ilmunya sehingga memberikan inspirasi kepada penulis untuk mengangkat tema ini sebagai hasil skripsi. 7. Rasa terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan untuk Bapak dan Ibunda yang telah memberi segalanya, adikku yang memberi dorongan serta memberi bantuan untuk peminjaman buku-buku. 8. Teman-temanyang
ada
di
Baturetno
dan
di
Surakarta,
sayaucapkanterimakasihsebesarbesarnyakarenatelahmembantudalammelakukanpenelitiandanwawancara, sertatelahrelamemberikanfasilitassertatenagadanwaktudalampenelitian
yang
sayalakukan. 9. Terima kasih kepada Bapak dan Ibu warga Tirtomoyo yang telah meluangkan waktunya
untuk
diwawancarai
dan
mengizinkan
saya
untuk
mendokumentasikan batik dan hasil karya lainnya dalam bentuk foto. 10. Terimakasihuntuk teman – teman ilmu sejarah angkatan 2005 “Tanpa terkecuali” terima kasih atas “semuanya” dan persahabatan indah yang kalian berikan, serta terima kasih pula untuk teman – teman Ilmu Sejarah angkatan 2004,2006,2007,2008,2009.2010,2011. 11. Segenap pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksakannya penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulismenyadarisepenuhnyabahwaskripsiinitidakterlepasdarikekurangand ankekeliruan, sertamasihbelumsempurna.Olehkarenaitupenulissangatmenghargaiadanya commit to user
viii
saran
perpustakaan.uns.ac.id
dankritik
yang
digilib.uns.ac.id
bersifatmembangungunamenyempurnakanpenulisan-
penulisanserupa di masa yang akandatang. Akhirnyapenulisberharapbahwahasilskripsiinidapatmemberikanmanfaatba gipembacasekalian. Amin
Surakarta,
2012
Penulis
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………
i
HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………………………….
ii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………..
iii
HALAMAN PERNYATAAN ………………………………………………..
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………………..
v
HALAMAN MOTTO ………………………………………………………..
vi
KATA PENGANTAR ………………………………………………………..
vii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….
x
DAFTAR TABEL …………………………………………………………….
xiii
DARTAR ISTILAH ………………………………………………………….
xiv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….
xvi
DARTAR GAMBAR …………………………………………………………
xvii
ABSTRAK …………………………………………………………………….
xviii
PENDAHULUAN ………………………………………………….
1
A. Latar Belakang Masalah ...............................................................
1
B. Perumusan Masalah ......................................................................
8
C. Tujuan Penelitian ..........................................................................
9
D. Manfaat Penelitian .......................................................................
9
E. Kajian Pustaka ..............................................................................
10
F. Metode Penelitian .........................................................................
13
G. SistematikaPenulisan………………………………………........
16
BAB II. GAMBARAN UMUM KOTA TIRTOMOYO...............................
17
BAB I.
A. KondisiGeografisKotaTirtomoyo………………………….....
17
B. Kondisi Demografis Penduduk Kota Tirtomoyo.............................
18
1. Jumlah Penduduk dan Mata Pencaharian..................................
18
2. PendudukBerdasarkan Tingkat Pendidikan..............................
20
3. KeadaanSosialEkonomi……………………………………... commit to user
21
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Pelapisan Sosial Penduduk Kota Tirtomoyo.............................
35
BAB III. SEJARAH PERKEMBANGAN BATIK DI TIRTOMOYO TAHUN 1950-2000…………………………….................................
28
A. Asal Mula Kerajinan Batik……………………….........................
28
1. Batik Vorstenlanden..................................................................
34
2. Batik Pesisir...............................................................................
38
B. SejarahPerkembangan Batik di Tirtomoyo..................................
39
1. Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda.................................
40
2. Pada Masa Penjajahan Jepang...................................................
43
3. Pada Masa Kemerdekaan...........................................................
44
C. PertumbuhanIndustriKerajinan Batik di Tirtomoyo…………...
45
1. TimbulnyaKerajinan Batik di Tirtomoyo…….........................
45
2. Proses Produksi Batik…………………………………………
50
3. SistemKerjadalam Usaha IndustriKerajinan Batik………….
51
4. Pemasaran Batik………………………………………………
52
D. Perkembangan RagamHiasBatik di Tirtomoyo Tahun 19502000...............................................................................................
53
1. Perkembangan Ragam Hias Batik Tahun 1960-1964................
59
2. Perkembangan Ragam Hias Batik Tahun 1965-1969................
60
3. Perkembangan Ragam Hias Batik Tahun 1970-1979................
61
4. Perkembangan Ragam Hias Batik Tahun 1980-an....................
62
5. Perkembangan Ragam Hias Batik Tahun 1990-2000................
63
E. PerananPemerintahterhadapPerkembanganIndustriBatik di Tirtomoyo………..…………………………...................................
65
BAB IV. FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PERKEMBANGAN INDUSTRI BATIK TRADISIONAL DI
TIRTOMOYO .……………………………………………………..
69
A. Pasang Surut Industri Batik di Tirtomoyo tahun 1950-2000.............
69
1. Bahan Baku yang Sulit Diperoleh..............................................
71
2. UpahdanTenaga Kerja..............................................................
72
3. Persaingan dengan Industri Tekstil dan Batik Modern..............
73
4. Kelemahan Modal Pemasaran.................................................... commit to user B. Dampak Pasang Surut Industri Batik di Tirtomoyo……………..
76
xi
77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Dalam Bidang Sosisal................................................................
78
2. Dalam bidang Ekonomi............................................................
83
a. Terancamnya Industri Batik Tradisional oleh Batik Modern.....................................................................................
83
b. Berkurangnya Jumlah Produsen Batik Tirtomoyo...................
83
c. Pergeseran pergeseran dalam Lapangan Kerja Lainnya.........
85
d. Merosotnya Partisipasi Sosisal Pengusaha Batik Tirtomoyo................................................................................
85
BAB V. KESIMPULAN ........................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
90
LAMPIRAN ......................................................................................................
93
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Luas Daerah dan Perincian Penggunaannya.......................
18
Tabel 2
Mata Pencaharian Penduduk...............................................
18
Tabel 3
MasyarakatTirtomoyoBerdasarkan Tingkat Pendidikan...
20
Tabel4
Jumlah Pengusaha Kerajinan Batik di Tirtomoyo yang Menjadi Anggota Koperasi.................................................
commit to user
xiii
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISTILAH Abdi Dalem
: Pelayanpejabat istana tingkat rendah
Babaran
: Proses pewarnaan
Batik
: Suatu cara membuat desain pada kain dengan cara menutup bagian-bagian tertentu dari kain dengan malam (desain lebah).
Batik
: Batik dari daerah Indramayu
Dermanyon Batik Klasik
: Batik yang berkembang dalam lingkup keraton.
Batik Laseman
: Batik dari daerah Lasem
Batik Pesisir
: Batik yang pembuatannya dikerjakan diluar daerah pedalaman (Surakarta dan Yogyakarta), yang termasuk daerah pesisir adalah daerah yang terdapat disepanjang pantai utara Jawa.
Batik
: Batikdari daerah pedalaman (Surakarta dan Yogyakarta).
Vorstenlanden Carat Canting
: Cucuk canting
Cecek-cecek
:
Client
: Rekan bisnis
Isen bulat kecil pada motif batik
Businessman Entrepreneurship : Kekuatan untuk membangun Ganefo
: Pesta olahraga dari kelompok negara-negara komunis dan penentang imperialis-kapitalis.
Hand print Inl
: System sablon
Coperative : Koperasi yang pertama kali dibentuk di Surakarta atau
Vereniging IlmuSinengker
Persatuan Perusahaan Batik Bumi Putera Surakarta (PPBS) : Ilmu yang mempelajari tentang perlambang-perlambang atau simbol-simbol benda-benda lain.
Jegul
: Kuwas
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jumenengan
: Penobatan raja
Kainlurik
: Kain tenun
Kuli Kenceng
: Masyarakat yang mempunyai sawah, tegal, rumah dan pekarangan.
Kuli Kendo atau : Masyarakat yang mendirikan rumah dipekarangan orang lain. Magersari Lancing
: Lilin lebah
Lawe
: Benang Masyarakat yang hanya mempunyai pekarangan dan tegal saja.
Mekarang
Membabar atau : Proses penyelesaian dari batikan menjadi kain. Melered Microwox
: Paraffin
Nganji
: Menganji
Ngemplong
: Menyetrika
Ngetel
: Mencuci
Pisowanan
: Upacara menghadap raja
Santrienclave
: Daerah-daerahkantong santri
Selir
: Isteriraja yang bukan permaisuri
Soga Jawa
:
Upacara
: Garebeg mempunyai arti dihadiri atau dikerumuni orang
Garabeg
banyak secara bersama-sama. Kata garabeg berarti pula
Pewarna dari bahan tumbuh-tumbuhan
mengantarkan atau mengiringi bersama-sama atau disebut juga dengan upacara gunungan. Show Room
: Tempat pameran
Vorstenlanden
: Daerah kerajaan yang ada di kota Solo.
Wong Swastanan
: Orang-orang yang berhasil dalam menjalankan peranan dalam aktivitas ekonomi dan perdagangan.
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Surat penelitian..............................................................
93
Lampiran 2.
Peta Wilayah Tirtomoyo……………………………...
94
Lampiran 3.
Daftar Informan.............................................................
95
Lampiran 4.
PendidikandanPelatihanPengembanganIndustri Batik…………………………………………………..
Lampiran 5.
97
MeskiCacat Batik WonogirenMasihLaku di Pasaran………………………………………………...
101
Lampiran 6.
FotoProses Pembutan Batik..........................................
102
Lampiran7.
FotoPerbedaanRumahPengusaha Batik dengan MasyarakatBiasa……………………………………..
commit to user
xvi
103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Ragam Hias Motif Batik yang ada di Indonesia................
31
Gambar 2.
Batik Vorstenlanden..........................................................
35
Gambar 3.
Batik Pedalaman................................................................
35
Gambar4.
Batik Pesisir........................................................................
39
Gambar5.
Batik Motif Remukan........................................................
54
Gambar6.
Batik Motif Keladi dan Jemani.........................................
55
Gambar7.
Batik Tahun 1960-an.........................................................
61
Gambar 8
Batik Sido Wirasat.............................................................
62
Gambar9
Batik Ragam Hias Ceplok.................................................
64
commit to user
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Gilang Christian .W. C0505029. Sejarah Perkembangan Industri Batik Tradisional di Tirtomoyo Tahun 1950-2000. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Unversitas Sebelas Maret. Industri batik merupakan salah satu industri yang banyak tumbuh dan berkembang di Indonesia. Salah satu pusat industri batik adalah di Tirtomoyo, Wonogiri. Pada mulanya industri batik tradisional ini mengalami perkembangan, akan tetapi lama kelamaan mengalami kemunduran. Hal ini terjadi karena berbagai macam faktor. Permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini, adalah: (1) Bagaimana latar belakang munculnya industri batik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000 ?; (2) Bagaimanakah sejarah perkembangan batik tradisional di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000 ?; (3) Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap perkembanganbatik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000 ? Penelitian ini bertujuan: (1) Mengetahui latar belakang munculnya industri batik di Tirtomoyo pada tahun 1950- 2000; (2) Mengetahui sejarah perkembangan batik tradisional di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000; (3) Mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap perkembanganbatik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000. Untuk menjawab pertanyaan di atas penulis menggunakan metode sejarah, karena objek kajiannya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di masa lampau. Data yang diperoleh diolah sesuai dengan metode sejarah dan kemudian di interpretasikan sesuai dengan konsep ilmu sejarah. Di samping itu digunakan teknik penelitian sejarah lesan, karena hasil penelitian ini sebagian besar merupakan hasil wawancara. Batik adalah suatu desain yang dituangkan pada kain, dengan melewati proses tertentu. Batik merupakan salah satu hasil kebudayaan yang ada di Indonesia. Ragam hias batik di Indonesia beraneka ragam sesuai dengan daerahnya masing-masing. Daerah Tirtomoyo, Wonogiri, merupakan salah satu pusat perbatikan, di daerah tersebut industri batik tradisional tumbuh menjadi industri kerajinan rakyat yang semakin pesat. Mayoritas masyarakat Tirtomoyo, Wonogiri bekerja dibidang perbatikan. Pada awalnya pekerjaan membatik masih dilakukan dengan cara tradisional, tetapi lambat laun mengalami perubahan menjadi semakin maju. Dalam kurun waktu tahun 1960-an industri batik tradisional mengalami perkembangan yang pesat, akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya semakin menunjukkan gejala kemunduran. Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa industri batik di Tirtomoyo, Wonogiri mengalami perkembangan yang sangat pesat, akan tetapi lambat laun mengalami kemunduran. Kemunduran industri batik tradisional di Tirtomoyo, Wonogiri disebabkan oleh banyak faktor.Pemerintah turut berperan dari kebijakan daniklim yang diciptakannya, di samping adanya faktor penyebab yang lain, seperti :munculnya batik printing dan industry tekstilbesar, menurunnya peran koperasi, bahan baku maupun tenaga kerja.
commit to user
xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Gilang Christian. W. C0505029. History of Traditional Batik Industry in Tirtomoyo Year 1950-2000.Thesis Department of History Faculty of Literature and Arts universities of March. Batik industry is one of the many industries grow and develop in Indonesia. One center is in Tirtomoyo batik industry, Wonogiri. At first the traditional batik industry is experiencing growth, but decline over time. This happens due to various factors. The problems studied in this thesis are: (1) How to set for the batik industry in the years 1950-2000 Tirtomoyo?; (2) What is the history of traditional batik in Tirtomoyo in 1950-2000?, (3) Factors What affects the development of batik in Tirtomoyo in 1950-2000? This study aims: (1) Knowing the background of the emergence of batik industry in Tirtomoyo in 1950 to 2000, (2) Knowing the history of traditional batik in Tirtomoyo in the year 1950-2000, (3) Knowing the factors that influence the development of batik in Tirtomoyo years 1950-2000. To answer these questions the author uses the historical method, because the object of its studies relating to events in the past. The data obtained were processed according to the methods of history and then interpreted in accordance with the concept of historical science. In addition Lesan used techniques of historical research, because the results of this study is largely a result of the interview. From the research, concluded that the batik industry in Tirtomoyo, Wonogiri experiencing rapid growth, but gradually deteriorated. The decline of traditional batik industry in Tirtomoyo, Wonogiri caused by many factors. Government played a role of climate policy and the creation, in addition to the presence of other factors, such as: the emergence of batik printing and textile industry, decreasing the role of cooperatives, raw materials and labor.
.
commit to user
xix
SEJARAH PERKEMBANGAN INDUSTRI BATIK TRADISIONAL DI TIRTOMOYO TAHUN 1950-2000 Gilang Christian .W1 Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum2
ABSTRAK 2012. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Unversitas Sebelas Maret. Industri batik merupakan salah satu industri yang banyak tumbuh dan berkembang di Indonesia. Salah satu pusat industri batik adalah di Tirtomoyo, Wonogiri. Pada mulanya industri batik tradisional ini mengalami perkembangan, akan tetapi lama kelamaan mengalami kemunduran. Hal ini terjadi karena berbagai macam faktor. Permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini, adalah: (1) Bagaimana latar belakang munculnya industri batik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000 ?; (2) Bagaimanakah sejarah perkembangan batik tradisional di Tirtomoyo pada tahun 19502000 ?; (3) Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap perkembanganbatik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000 ? Penelitian ini bertujuan: (1) Mengetahui latar belakang munculnya industri batik di Tirtomoyo pada tahun 1950- 2000; (2) Mengetahui sejarah perkembangan batik tradisional di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000; (3) Mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap perkembanganbatik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000. Untuk menjawab pertanyaan di atas penulis menggunakan metode sejarah, karena objek kajiannya berkaitan dengan peristiwaperistiwa di masa lampau. Data yang diperoleh diolah sesuai dengan metode sejarah dan kemudian di interpretasikan sesuai dengan konsep ilmu sejarah. Di samping itu digunakan teknik penelitian sejarah lesan, karena hasil penelitian ini sebagian besar merupakan hasil wawancara. 1 2
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Dengan NIM C0505029 Dosen Pembimbing
Batik adalah suatu desain yang dituangkan pada kain, dengan melewati proses tertentu. Batik merupakan salah satu hasil kebudayaan yang ada di Indonesia. Ragam hias batik di Indonesia beraneka ragam sesuai dengan daerahnya masing-masing. Daerah Tirtomoyo, Wonogiri, merupakan salah satu pusat perbatikan, di daerah tersebut industri batik tradisional tumbuh menjadi industri kerajinan rakyat yang semakin pesat. Mayoritas masyarakat Tirtomoyo, Wonogiri bekerja dibidang perbatikan. Pada awalnya pekerjaan membatik masih dilakukan dengan cara tradisional, tetapi lambat laun mengalami perubahan menjadi semakin maju. Dalam kurun waktu tahun 1960-an industri batik tradisional mengalami perkembangan yang pesat, akan tetapi pada tahuntahun berikutnya semakin menunjukkan gejala kemunduran. Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa industri batik di Tirtomoyo, Wonogiri mengalami perkembangan yang sangat pesat, akan tetapi lambat laun mengalami kemunduran. Kemunduran industri batik tradisional di Tirtomoyo, Wonogiri disebabkan oleh banyak faktor. Pemerintah turut berperan dari kebijakan daniklim yang diciptakannya, di samping adanya faktor penyebab yang lain, seperti :munculnya batik printing dan industry tekstilbesar, menurunnya peran koperasi, bahan baku maupun tenaga kerja.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah suatu sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan bagian dari manusia dengan cara belajar, dengan kemampuan akal budinya, manusia telah mengembangkan berbagai sistem tindakan, mulai dari yang sangat sederhana ke arah yang lebih kompleks sesuai kebutuhannya.1 Seperti yang diketahui bahwa ada 7 unsur kebudayan, dan kesenian adalah salah satunya. Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang yang ditulis dan dilukis pada daun lontar.Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman.Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya.Jenis dan corak batik tradisional tergolong banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masingmasing daerah yang sangat beragam.Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisioanal dengan ciri kekhususannyasendiri.
commit to user 1
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. hal 2.
1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Batik adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang memiliki kelebihan tersendiri dibanding peninggalan budaya lain yang berprinsip sama, yaitu celup rintang warna. Namun, nilai pada batik Indonesia bukan semata-mata pada keindahan visual. Lebih jauh, batik memiliki nilai filosofi yang tinggi serta sarat akan pengalaman transendenitas. Nilai inilah yang mendasari visualisasi akhir yang muncul dalam komposisi batik itu sendiri.Di dalam perkembangannya, sejarah mencatat bahwa penyebaran batik tidak terlepas dari peranan para pedagang ke berbagai pelosok Nusantara, bahkan ke Malaysia atau Singapura. Di dalam usaha penyebaran itulah, terjadi penetrasi budaya luar yang menambah khasanah perbatikan Indonesia. Fleksibelitas tersebut dapat dilihat melalui batik pesisir yang secara antropologis lebih terbuka terhadap sesuatu yang dibanding daerah pedalaman, menyebabkan masyarakat pendukungnya lebih mudah menerima budaya luar.2 Batik dari pulau Jawa terkenal halus dalam proses pembuatannya, memiliki motif bervariasi dan warna indah. Surakarta merupakan salah satu lokasi berkembangnya batik di antara pusat kegiatan pembatikan di Jawa Tengah.Surakarta terdiri dari dua istana yakni keraton Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunagaran yang berukuran lebih kecil (secara struktur pemerintahan setara dengan kadipaten).Dua tempat tersebut membawa pengaruh budaya, termasuk tradisi membatik pada masing-masing wilayah kekuasaan yang kini dinamakan Eks-Karisidenan Surakarta.Tradisi membatik di Surakarta menyebar ke daerah-daerah sekitar yakni Klaten (Batik Bayat), Sukoharjo (Batik Pajang), commit to user 2
Modern Miring Tulisan Karya ilmiah Jacob Soemardjo.hal 36.
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sragen (Batik kliwonan), dan Wonogiri (Batik Wonogiren). Batik Wonogiren secara harfiah adalah tekstil tradisi khas wilayah Wonogiri (kabupaten), dibuat atau diproduksi dengan menggunakan teknik batik atau cretan lilin (malam atau wax-resist) di atas kain. Tekstil tersebut bukan asli dari
Wonogiri,
apabila
dilihat
dari
awal
kemunculannya.Nama
Batik
Wonogirenan berasal dari seorang seniwati batik asal Pura Mangkunegaran (Surakarta) bernama Kanjeng Wonogiren atau Raden Ayu Handayaningrat, istri seorang Bupati Wonogiri (menjabat pada zaman pra kemerdekaan RI).Ia mengabdi saat bertahtanya KGPAA Mangkunegaran VII sampai VIII. Kanjeng Wonogiren adalah kreator tekstil tradisi ini. Kata “wonogiren” pada istilah batik Wonogiren bukan berasal dari kata “wonogiri” mendapat akhiran–an, sehingga menunjukkan kepemilikan atau asal, tetapi nama Kanjeng Wonogiren. Namanya digunakan untuk menyebut kain batik, karena terkenal dengan babaran atau cara memberi warna pada batik. Istilah tersebut diberikan oleh masyarakat pemakai batik karya beliau dan pembatik yang masih keturunan keluarga
bangsawan
Pura Mangkunegaran.Babaran
Kanjeng Wonogiren
menghasikan warna lembut, bersih, dan lebih muda, dibandingkan dengan babaran batik beredar saat itu, yang cenderung gelap dan tajam, karena mayoritas pewarna memakai bahan alami sejenis rempah, yakni soga jambal (Pelthoporum Ferrigineum).Bahan tersebut menghasilkan warna coklat sawo dan gelap, sebagai ciri khas Batik Surakarta. Batik yang berkembang dalam lingkup kraton disebut Batik Klasik, di antaranya terdapat tujuh motif larangan yang tidak boleh dikenakan masyarakat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
biasa (bukan keturunan raja).Batik produksi empat daerah tersebut termasuk batik non klasik, karena gubahan motif klasik dari kraton dan kreasi baru pembatik setempat. Salah satunya adalah Batik Wonogiren, yang keberadaannya tidak lepas dari pengaruh Pura Mangkunagaran bila ditinjau dari segi historis, karena Wonogiri adalah salah satu daerah kekuasaan Mangkunagaran yang ditetapkan melalui Perjanjian Salatiga.3 Batik Wonogiren berasal dari Wonogiri, yang kemunculannya berawal dari kegiatan membatik, tepatnya di Kecamatan Tirtomoyo.Batik Wonogiren memiliki ciri khas motif retakan-retakan disebut dengan remakan atau remukan.Motif remukan tidak sekedar menjadi ciri khas, tetapi bagian dari batik Wonogiren. Hal tersebut menambah nilai estetika, yang membedakan dengan karya batik dari daerah lain. Nilai estetika tersebut bersifat objektif dan murni terlihat pada garis, bentuk, serta warna.4 Pola dan motif batik Wonogiren dibuat untuk konsumsi masyarakat sekitar Tirtomoyo dan wilayah Kabupaten Wonogiri.Meskipun motif yang dibuat mengadaptasi dari motif batik Klasik Kraton Surakarta.Babarannya (proses pewarnaannya) lebih tebal dan berbeda dengan batik dari kraton dan lebih sesuai dengan citarasa rakyat yang memiliki kehidupan dinamis serta bebas.Dalam perkembangannya desain batik Wonogiren merupakan objek yang muncul karena ide atau gagasan masyarakat dalam hal ini perajin merupakan pengeeksekusi persepsi masyarakat berupa ide, sebagai wujudnya adalah partisipasi dengan memvisualisasikannya ke sebuah bentuk. Perajin dimaksud adalah pihak yang 3
WWW.Batik Klasik Wonogiren.5 Mei 2011. commit to user “Batik Wonogiren Bertahan pada Corak Eksklusif”.Suara Merdeka, Sabtu 12 April
4
2003.
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berpartisipasi aktif mempunyai ide uantuk membuat suatu motif dan mengaplikasikan pada kain, meskipun tidak sampai tahap akhir proses pembatikan. Batik tersebut saat ini sudah tersebar hingga luar wilayah Wonogiri terutama Surakarta, Yogyakarta, Jakarta, dan luar Jawa, antara lain Lampung, Jambi, Malaysia dan Brunei Darussalam. Industri batik Tirtomoyo mengalami perkembangan yang pesat di tahun 1960-an. Perkembangan ini terjadi ketika Koperasi Batik masuk menjadi anggota GKBI
(Gabungan
Koperasi
Batik
Indonesia)
dan
peran
serta
pemerintah.Memasuki masa Orde Baru, industri batik yang telah berkembang pesat mengalami kemerosotan.Hal ini merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari kebijakan Orde Baru yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang menyerap modal dalam jumlah besar.Hal ini dapat dilihat dari ketetapan Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri yang dimaksudkan untuk membuka perekonomian dan menggiatkan kembali dunia usaha swasta, khususnya dari kalangan pengusaha yang memiliki modal besar. Warga Wonogiri memiliki keinginan untuk memproduksi dan memakai batik dengan ciri khas budaya setempat, meliputi kondisi geografis, sosial, fenomena, selera, dan sebagainya. Motif yang dibuat terinspirasi dari hal-hal tersebut serta modifikasi pola Batik Klasik Kraton Surakarta.Contoh motif terpengaruh fenomena sosial adalah Keladi dan Jemani, berisi motif adaptasi dari bentuk daun Keladi dan Anthurium jenis Jemani yang menjadi tren koleksi tanaman hias 2007.Motif tersebut dibuat atas ide dan pesanan kolektor tanaman commit to usersumber inspirasi munculnya motif hias.Kondisi lingkungan hutan, juga menjadi
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gelondong Kayu dan Serat Kayu. Dominasi pengusaha pribumi dalam sektor industri kerajinan yang biasanya berskala kecil dan bersifat tradisional tersebut terutama terpusat pada bidang batik.Di Indonesia batik dibuat di berbagai daerah, terutama di Pulau Jawa.Jawa Tengah merupakan salah satu pusat kegiatan pembatikan.Batik dari daerah Jawa Tengah khususnya batik Tirtomoyo motifnya lebih halus pembatikannya.Setiap daerah pembatikan mempunyai keunikan dan ciri khas masing-masing, baik dalam ragam hias maupun tata warnanya.Namun demikian, dapat dilihat adanya persamaan maupun perbedaan antar batik berbagai daerah tersebut. Bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang bersatu, walaupun terdiri dari berbagai suku bangsa dengan adat yang berbeda, ternyata memiliki selera dan pola citra yang hampir sama. Tentu saja kalau ada perbedaan dalam gaya dan selera, itu disebabkan oleh letak geografis daerah pembuat batik yang bersangkutan, sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan, kepercayaan dan adat istiadat yang ada di daerah yang bersangkutan, keadaan alam sekitarnya dan adanya kontak atau hubungan dengan daerah pembatikan lain.5 Di daerah Jawa Tengah perkembangan batik banyak dikembangkan dan diawali dari daerah Laweyan Surakarta yang merupakan salah satu daerah kekuasaan keraton Surakarta. Akan tetapi karena adanya suatu permasalahan yang disebabkan oleh adanya kelas sosial dalam kalangan keraton maka batik mengalami ketidakstabilan dan kemunduran. Batik mulai dilarang berkembang dan dipergunakan di keraton. Atas larangan itu, maka para saudagar yang commit to user 5
Nian S Djoemena, 1986.Ungkapan Sehelai Batik. Jakarta: Djambatan. hal 1
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjadi abdi dalem kraton memutar otaknya membuat kreasi baru, meski tidak keluar dari gaya Surakarta. Di dalam perkembangannya Laweyan pun kemudian muncul sebagai sebuah pusat bisnis yang sangat berpengaruh.Tidak hanya bagi kerajaan Mataram, tapi juga sampai ke luar kerajaan tidak tidak terkecuali daerah Tirtomoyo Wonogiri.Batik-batik gaya Surakarta pun secara umum mulai merajai ke berbagai pelosok tanah air diantaranya ragam hias Sawat, Slobog, Sido Mukti, Sido Luhur, Ratu Ratih, Truntum, Satrio Manah, Pamiluto. Sementara untuk motif batik dalem kraton sendiri terdapat diantaranya motif Semen Rama yang dibuat pada masa PB IV tahun 1787 sampai tahun 1816. Motif Indrabrata, Bayubrata, Agnibrata, Babon Angrem, Semen Sida Raja, Naga Raja, Semen Candra, Semen Prabu, Parang Kusuma, Wirasat dan lain-lain. Dari semua desain motif itu, rata-rata mempunyai makna filosofi yang cukup tinggi.6 Di Tirtomoyo yang pernah jaya dengan produksi batiknya pada tahun 1960-an, mengalami keterpurukan dijurang kehancuran pada masa krisis moneter 1998.Model client businessman yang dilakukan rezim Soeharto, menjadikan usaha-usaha mandiri kewiraswastaan hancur, karena pada kenyataannya kebijakan penguasa pemerintah adalah memihak para pelaku bisnis kelas pengusaha menengah ke atas yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan politik tertentu, pihak pengambil kebijakan.Kebijakan ekonomi baru adalah sebuah perubahan paradigma pembangunan ekonomi radikal dan pada awalnya menjadi perubahan dalam masyarakat yang lebih maju oleh rezim Orde Baru.Untuk kasus pembatikan di Tirtomoyo, dapat dikatakan bahwa perdagangan commit to user 6
Wawasan, Minggu 8 Agustus 2004
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan perkembangan batik mengalami pasang surut yang sangat tajam, sehingga tinggal beberapa orang yang bergerak dalam bidang bisnis batik tradisional. Dari latar belakang masalah tersebut di atas, mendorong penulis untuk mengadakan penelitian dengan judul “Sejarah Perkembangan Industri Batik Tradisional di Tirtomoyo Tahun 1950-2000”. Di dalam studi ini ruang lingkup waktu dimulai tahun 1950 sampai dengan tahun 2000. Hal ini dikarenakan antara tahun 1950-2000 perkembangan batik mulai berkembang dan banyak sekali mengalami perubahan. Selain itu, pengaruh budaya masyarakat lokal dan masyarakat pendatang mulai berpengaruh terhadap perkembangan motif dan gaya batik itu sendiri. Dari perkembangan batik tersebut maka diperlukan suatu perencanaan dan pengembangan batik yang baik demi terciptanya suatu karya batik yang indah.
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang munculnya industri batik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000 ? 2. Bagaimanakah sejarah perkembangan batik tradisional di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000 ? 3. Faktor-faktorapa yang berpengaruh terhadap perkembanganbatik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000 ?
commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Tujuan Penelitian Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas, maka untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut, yaitu: 1. Mengetahui latar belakang munculnya industri batik di Tirtomoyo pada tahun 1950- 2000. 2. Mengetahui bagaimanakah sejarah perkembangan batik tradisional di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000. 3. Mengetahui
faktor
–
faktor
yang
berpengaruh
terhadap
perkembanganbatik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini adalah dapat menambah kajian tentang perkembangan batik di Tirtomoyo pada masa lampau sebagai suatu masukan dalam pemikiran pengembangan kesenian batik maupun batik itu sendiri dimasa yang akan datang. Serta dapat menambah wawasan dan bahan bacaan mengenai jejak-jejak peninggalan bersejarah bagi generasi penerus. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan pengembangan studi sejarah khususnya sejarah perkembangan batik di Tirtomoyo pada khusunya dan di Indonesia pada umumnya.
commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E. KAJIAN PUSTAKA Kajian tentang perkembangan batik dari tahun ke tahun sangatlah menarik untuk dibahas, hal ini bertujuan untuk mengetahui sejarah lahirnya batik di suatu daerah. Referensi buku yang digunakan antara lain: adalah buku yang berjudul “Batik Klasik”, karangan Hamzuri yang diterbitkan oleh Djambatan, tahun terbit 1981. Buku ini berisi ulasan mengenai batik klasik, sesuai dengan judul bukunya. Klasik di sini ialah, klasik dalam cara pembatikannya maupun klasik mengenai motif batiknya. Dalam buku ini dijelaskan perlengkapan dan peralatan, dibahas tentang mori, setelah itu dijelaskan mengenai pola.Buku Batik Klasik juga memuat aneka macam kain batik, yang dikelompokkan berdasar motifnya, yaitu motif parang, geometris, banji, tumbuh-tumbuhan menjalar, tumbuh-tumbuhan air, bunga dan satwa dalam alam kehidupan. Buku berjudul Ungkapan Sehelai Batik, karangan Nian S. Djoemena yang diterbitkan oleh Djambatan, tahun terbit 1986. Buku ini berisi penjelasan mengenai batik secara luas. Mulai dari faktor-faktor yang mempengaruhi ragam hias batik, perkembangan batik. Di dalam buku ini dibagiberbagai ragam hias batik dalam dua golongan besar, yaitu ragam hias geometris dan ragam hias non geometris, sedangkan pada zaman penjajahan Belanda pengelompokan batik ditinjau dari sudut daerah pembatikan yang dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu batik Vorstenlanden dan batik pesisir.Buku ini juga membahas mengenai ragam hias batik menurut daerahnya masing-masing. Bahasan yang pertama adalah batik daerah Solo. Solo merupakan daerah kerajaan atau Vorstenlanden. Ragam hias batik Solo bersifat simbolisme yang erat hubungannya dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
falsafah Hindhu Jawa. Ragam hias daerah Solo antara lain: ragam hias Slobog, Sido Mukti, Semen Rama, Truntum, Sri Nugroho, Pari Seuli, Ceplok Sari, dan lain sebagainya. Daerah Vorstenlanden selain Solo ialah Yogyakarta. Ragam hias batik Yogya memiliki kekhasan sendiri. Beberapa kekhasan ragam hias isen-isen akan dijumpai pada batik Yogya, seperti Dele Kecer dan berbagai jenis ukel yaitu Ukel Cantel, Ukel Tutul, dan Ukel Monte. Daerah Yogya juga memiliki kesamaan dengan daerah Solo mengenai peraturan pemakaian kain batik. Contoh ragam hias batik Yogyakarta, antara lain: ragam hias Ksatrian, Muningar, Nitik Brendi, Keong Sari, Kawung Beton, Grompol, dan lain-lain. Setelah pembahasan mengenai batik dari daerah Vorstenlanden, dibahas pula mengenai batik dari daerah pesisir. Antara lain batik Cirebon, ragam hias batik Cirebon, antara lain: ragam hias Peksi Naga Liman, Ayam Alas Gunung Jati, Raji Besi, Kapal Kandas, Wadasan, dan lain-lain. Kemudian dibahas batik dari Indramayu, yang sering disebut Dermanyon dan kain panjangnya selalu mempunyai tumpal. Ragam hias batik Indramayu adalah ragam hias Dara Kipu, Urang Ayu, Bangun Tulak, Pintu Raja, Kembang Kapas, Pacar Cina, dan lain sebagainya. Setelah batik Indramayu dibahas mengenai batik daerah Garut. Batik Garut sering disebut Garutan. Ragam hias Garut, antara lain: ragam hias Terang Bulan, Wareng Aruey, Cupat Manggu, Gambir Saketi, Patah Tebu, Kraton Galuh, dan lain-lain. Berikutnya dibahas batik daerah Pekalongan.Batik Pekalongan dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: batik Encim, kain batik bergaya Belanda, dan batik berselera pribumi. Contoh ragam hias batik Pekalongan ialah ragam hias Banji, Cempaka Mulya, Kembang Cengkeh, Grindilan, Cupido, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
12 digilib.uns.ac.id
Merak Kesimpir, Jlamprang, dan lain-lain. Menuju ke arah timur, yaitu daerah Lasem. Batik daerah Lasem sering disebut Laseman. Pemberian nama batik Lasem pada umumnya berdasarkan tata warnanya bukan menurut nama ragam hiasnya. Maka dari itu terdapat istilah Bang-bangan, Kelengan, Bang Biru, dan Bang-Biru-Ijo. Contoh ragam hias batik Laseman, yaitu ragam hias Bangbangan, Kelengan, Tiga Negeri, Kendoro Kendiri, Tutul, dan lain-lain. Buku berjudul Makna Batik dalam Kosmologi Orang Jawa, karangan Bejo Haryono, yang diterbitkan oleh Dirjenbud, tahun terbit 2004, tebal buku 44 halaman. Buku ini sesuai dengan judul bukunya makna batik dalam kosmologi orang Jawa, buku ini secara umum memuat mengenai arti dari tiap-tiap ragam hias batik menurut pandangan orang Jawa (Jawa Tengah). Pada bagian pertama dijelaskan terlebih dahulu mengenai arti dari kosmologi. Kosmologi berasal dari bahasa Yunani kosmos, yang berarti keteraturan, keseimbangan, sistem yang harmonis atau alam semesta menjadi satu sistem yang teratur. Kemudian dibahas mengenai tinjauan filosofis yang difokuskan pada makna filsafat dari ragam hias batik. Bagi orang timur, filsafat sebagai petunjuk tingkah laku seseorang untuk menerima nasehat dari orang lain melalui ilmu sinengker, yaitu perlambangperlambang atau simbol-simbol benda-benda lain. Buku yang berjudul Katalog Batik Indonesia, karangan Riyanto, yang diterbitkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik, tahun terbit 1997, tebal buku 79 halaman. Buku ini berisi ulasan mengenai batik secara keseluruhan. Pada bagian pertama dijelaskan mengenai pengertian batik. Menurut Konsensus Nasional 12 Maret 1996, “Batik adalah commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
karya seni rupa pada kain, dengan pewarnaan rintang, yang menggunakan lilin batik sebagai perintang warna”. Kemudian diterangkan mengenai proses pembuatan batik, yang meliputi: pelekatan lilin batik, pewarnaan batik, dan menghilangkan lilin. Bahasan berikutnya, yaitu mengenai motif batik. Pola yang menyusun motif batik tradisional, antara lain: motif Parang, motif Ceplok, motif Pinggiran, dan motif Tumpal atau karangan bunga. Sedangkan pada batik modern, motif dapat berupa gambar nyata (figuratif), semifiguratif, atau nonfiguratif. Setelah itu dibahas mengenai zat pewarna untuk batik. Di sini menurut asalnya zat warna batik dibagi menjadi dua, yaitu zat warna alam dan sintetis. Zat warna dari alam antara lain kunyit, temulawak, akar pohon mengkudu, teh, gambir, dan lain sebagainya. Sedangkan zat warna sintetis antara lain soga ergan, soga kopel, cat bejana, dan lain-lain. Bahasan berikutnya yaitu mengenai tata warna batik. Pewarnaan batik di samping mempunyai keindahan yang khas juga mempunyai arti simbolis dan filosofis. Skripsi
Wiranto,
Fakultas
Keguruan
Universitas
Sebelas
Maret
Surakarta,1979.Pengusahaan Industri Kerajinan batik Bekonang dan Tirtomoyo tahun 1967-1977. Skripsi ini berisi tentang keadaan Geografis serta riwayat pertumbuhan kerajinan industri batik di desa Wonorejo dan Tirtomoyo, pengusahaan Industri kerajinan batik di desa Wonorejo dan Tirtomoyo.
F. METODE PENELITIAN Metode yang dilakukan adalah metode sejarah. Metode sejarah merupakan proses mengumpulkan, menguji, dan menganalisis secara kritis terhadap rekamancommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
rekaman peninggalan pada masa lampau dan usaha-usaha melakukan sintesa dari data-data masa lampau menandai kajian yang dapat dipercaya. Penelitian ini adalah penelitian sejarah, sehingga metode relevan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Proses metode sejarah meliputi empat tahapan yakni: Tahap pertama adalah heuristik yaitu mencari dan mengumpulkan sumber-sumber mengenai sejarah perkembangan batik di Tirtomoyo serta dokumen-dokumen lainnya yang sesuai dengan permasalahan yang diperoleh dari berbagai sumber. Hal ini dilakukan karena jenis penelitian ini adalah menggunakan metode historis, maka jenis sumber data yang digunakan adalah data yang berupa arsip, maupun surat kabar yang sejaman dan sumber-sumber sekunder atau buku-buku referensi sebagai pendukung. Buku-buku dan sumbersumber sekunder lain yang berhubungan dengan topik permasalahan dan tema penelitian diperoleh dari kepustakaan di Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran Surakarta. Tahap Kedua, Metode wawancara merupakan suatu tehnik pengumpulan data yang dilaksanakan secara lisan dari seorang narasumber. Dalam penelitian masyarakat, terdapat dua wawancara, yakni wawancara untuk mendapatkan keterangan dan data dari individu-individu tertentu untuk keperluan informasi, dan wawancara untuk mendapatkan keterangan mengenai data diri pribadi, pandangan dari individu yang diwawancarai untuk keperluan komparatif.Wawancara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
dilakukan terhadap pihak-pihak yang saling berkepintingan guna meng-crosschek keabsahan data.Wawancara dilakukan secara langsung dengan Teguh (Camat Tirtomoyo), Tarmi (Pengusaha batik Tirtomoyo), Satiyem (Petani), Darto (Petani), Kaharudin Ahmad (Pengusaha Batik) Wiyono (Pedagang) Tahap ketiga adalah kritik sumber, terdiri dari kritik intern dan ekstern. Kritik intern merupakan kritik yang meliputi tulisan, kata-kata, bahasa dan analisa verbal serta tentang kalimat yang berguna sebagai validitas sumber atau untuk membuktikan bahwa sumber tersebut dapat dipercaya.Kritik ekstern, meliputi material yang digunakan guna mencapai kredibilitas sumber atau keaslian sumber tersebut. Dari hasil sumber-sumber yang berhasil dikumpulkan dikelompokkan sesuai dengan kriteria, terutama kejadian atau peristiwa apa yang terjadi dan tahun berapa, kemudian dipilih dan diseleksi sumber-sumber yang akurat sehingga mendapat informasi yang akurat dan valid. Tahap keempat adalah interpretasi atau penafsiran, yaitu menafsirkan keterangan-keterangan yang saling berhubungan dengan fakta-fakta yang diperoleh.Analisa data merupakan kegiatan pengklarifikasian data yang terkumpul dalam suatu pola, kategori, dan suatu uraian sehingga dapat ditemukan kerangka berfikir yang mendukung hipotesa kajian.Penulisan ini menganalisa dengan teknik analisa kualitatif, teknik setelah data terkumpul, diseleksi mana yang penting dan tidak penting kemudian diinterpretasikan, ditafsirkan serta dianalisa isinya dengan mencari hubungan sebab akibat dari sebuah fenomena pada cakupan waktu dan tempat tersebut. Dari analisa ini akan menyajikan dalam bentuk suatu tulisan deskriptif analisis. Suatu analisa tersebut banyak commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjelaskan dari hasil pemikiran berdasarkan data-data yang ada. Tahap kelima adalah historiografi yaitu proses penulisan sejarah sebagai langkah akhir dari penelitian sejarah.
G. SISTEMATIKA PENULISAN Skripsi ini akan disusun bab demi bab untuk memberikan gambaran yang terperinci dan jelas. Penyusunan ini dilandasi keinginan agar skripsi ini dapat menyajikan gambaran yang menunjukkan suatu perkembangan kejadian yang berurutan. Bab I. Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan sistematika penulisan skripsi. Bab II. Menjelaskan tentang gambaran umum, letak geografis dan kondisi demogrfis di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000. Bab III. Menjelaskan tentang bagaimanakah sejarah perkembangan industri batik dan ragam hias batik serta peranan pemerintah terhadap perkembangan batik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000. Bab IV. Menjelaskan tentang faktor dan dampak yang berpengaruh terhadap perkembanganbatik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000. Bab V. Bab ini berisi tentang kesimpulan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH TIRTOMOYO
A. Kondisi Geografis Kecamatan Tirtomoyo Kecamatan Tirtomoyo merupakan salah satu kota di Kecamatan dari Kawedanan Baturetno, Kabupaten Wonogiri propinsi Jawa Tengah. Adapun batasbatas wilayah Kecamatan Tirtomoyo ialah: 1. Sebelah Utara
: Kecamatan Jatiroto
2. Sebelah Selatan
: Kecamatan Karangtengah dan Batuwarno
3. Sebelah Barat
: Kecamatan Nguntoronadi
4. Sebelah Timur
: Propinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Pacitan
(Sumber: Hasil Wawancara dengan Teguh camat Tirtomoyo) tahun 2010. Untuk menuju Kecamatan Tirtomoyo pada masa sekarang dari kota Surakarta dapat ditempuh melalui jalan raya Surakarta-Wonogiri-Baturetno. Dari arah Wonogiri ke selatan sampai Nguntoronadi yang berjarak sekitar 10 Km berbelok ke arah Timur dengan jarak 18 Km. Keadaan alamnya dikelilingi oleh bukit dan wilatyahnya terbagi menjadi 2 wilayah, yaitu dilalui oleh Sungai Wiroko. Disebelah Selatan sungai terdiri dari 7 desa dan sebelah utara terdiri dari 5 desa dan 2 kelurahan. Luas daerah Kecamatan
Tirtomoyo
adalah
9301.0885
ha,
penggunaannya sebagai berikut:
commit to user 17
dengan
perincian
menurut
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
TABEL 1. LUAS DAERAH DAN PERINCIAN PENGGUNAANNYA No
Jenis
Luas Daerah
1. Sawah 1806,17 2. Tegalan 3293,05 3. Pekarangan 2402,55 4. Hutan 1572,39 5. Padang Rumput 56,20 6. Lain-lain 170,73 Sumber: Arsip Kecamatan Tirtomoyo tahun 2010
B. Kondisi Demografis Penduduk Tirtomoyo 1. Jumlah Penduduk dan Mata Pencaharian Untuk mengetahui jumlah penduduk Tirtomoyo lebih terperinci dapat dilihat dari data dalam tabel di bawah ini: TABEL 2. MATA PENCAHARIAN PENDUDUK Tahun 1950 1979 1 Petani 10987 9073 2 Buruh tani 6548 5787 3 Pengusaha Kecil 712 470 4 Buruh industri 5298 7831 5 Buruh bangunan 1647 1816 6 Pedagang 1012 1792 7 Angkutan 98 126 8 Pegawai negeri / pensiunan 120 260 9 Lain-lain 7903 8493 Jumlah 34352 35648 Sumber: Arsip Kecamatan Tirtomoyo tahun 1950, 1969 & 2000 No
Jenis Mata Pencaharian Pokok
commit to user
2000 13329 7411 974 3607 2894 1345 290 557 10503 40910
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
Dari tabel 2 tersebut memperlihatkan distribusi keadaan penduduk menurut mata pencaharian penduduk. Data itu menunjukkan bahwa pekerjaan utama 66,4 % penduduk desa Tirtomoyo adalah sebagai petani (baik petani pemilik maupun buruh tani). Adapun hasil pertanian dari desa Tirtomoyo adalah hasil padi. Selain padi, hasil pertanian yang lain adalah palawija. Hasil palawija dari sawah yang dihasilkan di desa Tirtomoyo adalah kedelai dan kacang cina (brol), selain itu tanah tegalan menghasilkan singkong dan jagung. Usaha dalam bidang industri berupa kerajinan batik memberikan lapangan kerja yang cukup luas kepada penduduk, dalam tabel 2 menunjukkan bahwa dari penduduk desa Tirtomoyo pada tahun 1950 sebagian besar adalah sebagai petani, tetapi pada tahun 1979 penduduk desa Tirtomoyo banyak yang beralih profesi sebagai pengrajin, baik sebagai pengusaha batik maupun buruh pengrajin. Hal ini disebabkan karena pada tahun 1960-an industri batik di Tirtomoyo mengalami perkembangan yang sangat pesat. Melihat semakin berkembangnya usaha batik, maka di tahun 1979 masyarakat Tirtomoyo memilih baik jadi pengusaha batik maupun buruh pengrajin daripada jadi petani. Pada tahun 2000 masyarakat banyak yang beralih ke mata pencaharian yang lainnya seperti sebagai sopir, penjahit, reparasi, pegawai negeri, ABRI, dan pensiunan, hal ini dikarenakan industri batik mulai mengalami kemunduran. Keberadaan kampung Tirtomoyo sudah sejak lama menjadi sorotan umum, selain karena penduduknya adalah pengusaha batik, karakteristik masyarakatnya juga commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
sangat unik, karena hampir keseluruhannya berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha yang menekuni usaha perbatikan. Hal ini dipandang sebagai sesuatu yang aneh di tengah kehidupan masyarakat Wonogiri, yang umumnya bekerja di bidang pertanian. Mayoritas jenis pekerjaan yang ditekuni, identitas masyarakat, nilai dan perilaku sosial serta kebudayaannya tampak jelas sangat dipengaruhi oleh jiwa untuk menciptakan suatu lapangan kerja.1 2. Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan TABEL 3. MASYARAKAT TIRTOMOYO BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN No.
Tahun
Tingkat Pendidikan
1969 1 Tidak Tamat SD 9781 2. Tamat SD 15108 3. Tamat SLTP 5467 4. Tamat SLTA / SMK 3936 5. Sarjana / Diploma 356 Sumber: Arsip Kecamatan Tirtomoyo tahun 1969 & 2000
2000 3498 9182 4721 16713 5696
Dari Tabel 3 diatas dapat dilihat dimana pada tahun 1969 masyarakat Tirtomoyo sebagain besar penduduknya kebanyakan hanya lulusan SD. Hal ini dikarenakan pada saat itu tidak begitu memperdulikan arti pentingnya pendidikan dikarenakan masyarakat beranggapan bahwa dengan membatik sudah bisa meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Orang tua menyuruh anaknya daripada sekolah lebih baik membantu orang tua dalam usaha batik ataupun jadi buruh batik. 1
Wawancara dengan Teguh camat Tirtomoyo pada tanggal 1 April 2012 jam 10:00 WIB.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
Sehingga pendidikan kurang diperhatikan. Akan tetapi di tahun 2000 keadaan berbalik,
dimana
masyarakat
Tirtomoyo
sudah
banyak
yang
mencapai
pendidikannnya sampai lulusan SLTA / SMK. dengan perkembangan jaman dan industri batik yang mulai menurun masyarakat mulai peduli dengan sistem pendidikan yang pada akhirnya banyak masyarakat yang tidak lagi begitu antusias untuk bekerja dan berprofesi sebagai pembatik. 3. Keadaan Sosial Ekonomi Perbandingan masyarakat
yang
Tirtomoyo
lebih
adalah
menyolok
perbedaannya
pengelompokan
masyarakat
dengan
identitas
antara
pegawai
pemerintahan dan masyarakat pengrajin batik, tetapi beberapa perbedaan identitas diantara keduanya menunjukkan bahwa masalah persepsi kultural adalah faktor yang menentukan perbedaan kedua pengrajin batik itu. Para pegawai pemerintahan lebih tertarik pada gaya hidup modern, oleh karena itu identitas kelompok sosial ini lebih menyerupai “priyayi“. Kampung Tirtomoyo dahulu, lebih dikenal sebagai pusat produksi industri kerajinan rumahan, sama sekali tidak mencerminkan karakternya sebagai perkampungan pengrajin, melainkan lebih membaur ke dalam kompleks pemerintahan. Mereka berpendapat bahwa dengan menjadi seorang pegawai baik itu pegawai negeri ataupun pengusaha akan menciptakan kehidupan atau strata sosial yang lebih baik. Seolah-olah mencerminkan inilah pekerjaan yang sangat baik dari komunitas lingkungannya, sehingga di Tirtomoyo muncul sikap kompetitif diantara pengrajin batik dengan pegawai pemerintahan. Hal ini dikarenakan hasil pekerjaan dinilai menurut prestasi, hasil kerja, serta nilai-nilai tingkat strata sosial. Oleh karena commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
itu, nilai untuk menciptakan suatu lapangan kerja sangat menentukan para pengrajin batik dalam menentukan suatu tingkat strata sosial di dalam masyarakat,2 meskipun begitu mereka tidak menganggap dengan strata sosial yang tinggi kehidupan mereka bersikap seperti priyayi pada umumnya. Sikap mereka justru mengantisipasi persepsi gaya hidup orang-orang bangsawan. Rasa percaya diri yang kuat tidak tertarik oleh cara hidup yang bermewah-mewah seperti di dalam lingkungan keraton dan pemerintahan, tidak ingin kehormatan, tampaknya telah menciptakan kondisi umum di Tirtomoyo, sehingga apa yang ada di hadapan kita sekarang adalah realitas sosial. Meskipun para pedagang batik Tirtomoyo menghadapi kemerosotan tingkat sosialekonomi, tetapi keadaannya sekarang masih banyak pengusaha yang lebih kaya dari pada kebanyakan hidup para pegawai pemerintahan. Mereka masih bisa menikmati sisa kejayaannya di masa lampau, daripada pengrajin seprofesi di kampung Tirtomoyo. Orang Tirtomoyo masa lalu lebih jelas membedakan dua profesi ini. Seorang pengusaha batik dalam kriteria saudagar kaya, menurut istilah setempat disebut juragan dan seorang pedagang batik disebut bakul ade. Keduanya ada keserasian dalam profesi sebagai spekulan, tetapi ketekunan kerja mereka masih kurang mendapat tempat dalam status tradisional Jawa khususnya para priyayi keraton yang cenderung memandang rendah pekerjaan berdagang bagi kebanyakan orang Jawa. Di dalam pengertian ini, orang Tirtomoyo cenderung sebaliknya dimana mereka
2
Wawancara dengan Tarmi pengusaha batik desa Wiroko kecamatan Tirtomoyo pada tanggal 31 Maret 2012 jam 13:30 WIB.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
memandang pengusaha batik adalah suatu pembuktian bahwa mereka bisa hidup dengan sejahtera dan mempunyai kehidupan yang layak sebagai masyarakat yang baik menurut strata sosial masyarakat.3 Ciri khas yang dirasakan paling menonjol dari gaya hidup orang-orang Tirtomoyo adalah persepsinya mengenai kekayaan, baik di kalangan majikan maupun tenaga tukang dan buruhnya saling memahami bahwa bekerja keras yang sudah biasa mereka lakukan, semata-mata bukan hanya mencari nafkah melainkan juga untuk meningkatkan derajatnya. Menurut mereka, mengumpulkan kekayaan sama halnya orang menemukan identitas dirinya dalam status sosial tertentu. Mereka beranggapan bahwa kekayaan tidak hanya ditentukan menurut klasifikasi jenis pekerjaan, sebagai sekelompok marginal, nilai kekayaan itu secara realistis telah mengangkat harga dirinya kedalam status tertentu. Gaya hidup orang Tirtomoyo, dalam batas-batas tertentu senantiasa mengantisipasi kehidupan bangsawan. Mereka tidak sepenuhnya terlibat seperti dalam kehidupan aristokrat, tetapi jenis-jenis kekayaan yang menjadi simbol status para bangsawan mereka miliki. Para juragan Tirtomoyo yang tergolong kaya biasanya memiliki barang-barang sebagai simbol status kekayaan. Misalnya krobongan, dubang, perhiasan dan tata cara berpakaian Jawa seperti model priyayi. Pada kesempatan lain menurut Satiyem,4 bahwa para “juragan” Tirtomoyo dalam kedudukannya sebagai majikan dalam perusahaan, memang tidak pernah
3
Wawancara dengan Tarmi pengusaha batik desa Wiroko kecamatan Tirtomoyo pada tanggal 31 Maret 2012 jam 13:30 WIB. 4 Wawancara dengan Satiyem pengusaha batik dari desa Hargantoro Kecamatan Tirtomoyo pada tanggal 14 Juni 2010 jam 14.00 WIB.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
menampilkan sikapnya seperti para bangsawan, mereka tidak ingin dihormati secara berlebih-lebihan, tetapi sebaliknya tentang persepsi kekayaan yang ia miliki, ingin dipamerkan sampai yang sekecil-kecilnya dengan membuktikan hasil kerja mereka bisa berkembang atau mengalami kemunduran. Bagi para pengrajin batik sendiri penting bagi orang Tirtomoyo hasil kerja mereka itu bisa mencerminkan sebagai simbol kekayaannya. Hasil penelitian yang dilakukan di daerah itu menunjukkan hasil yang positif, bahwa orang-orang Tirtomoyo sangat merasa kebutuhan untuk memamerkan standar hasil kerja mereka, karena dari kekayaan itu menunjukkan status pemiliknya. Mereka mempunyai banyak tenaga buruh, hasil batik yang bagus dan berbagai simbol kekayaan lainnya. Faktor-faktor ini secara tidak langsung menuntut penghormatan orang lain kepada keluarganya. Sistem status dalam masyarakat Tirtomoyo ditentukan berdasarkan klasifikasi pembagian kerja di perusahaan keluarga. Baik secara struktural maupun fungsionalnya, kedudukan seorang ibu menempati posisi teratas, baru kemudian ayah dan anak-anak. Di lingkungan ini seorang perempuan memegang peranan cukup penting dalam pengelolaan perusahaan, disamping sifatnya yang tekun, ulet dan lebih teliti, perempuan lebih memiliki sifat “ngemong” dibanding dengan kaum pria. Berbeda dengan masyarakat Wonogiri di luar masyarakat Tirtomoyo yang menempatkan wanita di posisi kedua. Pemilik perusahaan ini memperoleh sebutan sebagai majikan. Mereka dihormati karena perannya bukan sekedar sebagai pelindung kepentingan ekonomi buruhnya, melainkan juga sebagai ibu asuh. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
Hubungan buruh dan majikan itu sebagai keutuhan dan kesatuan, dimana masingmasing orang dalam perusahaan dianggap sebagai teman baik dan anggota keluarga. 4. Pelapisan Sosial Penduduk Tirtomoyo Di dalam setiap masyarakat akan ditemui adanya pelapisan sosial. Gejala adanya pelapisan sosial itu karena dalam pergaulan antara individu ada perbedaan penduduk dan derajat.5 Adanya perbedaan kedudukan dan derajat dalam masyarakat itu karena ada sesuatu di dalam masyarakat. Barang sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat itu berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, selain itu juga berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesolehan dalam agama atau keturunan dari keluarga yang terhormat.6 Demikian pula dengan masyarakat desa Tirtomoyo mempunyai pelapisan sosial sendiri, bahwa penduduk pedesaan yang sebagian besar terdiri dari pada para petani pada umumnya memberikan penilaian yang tinggi terhadap pemilik tanah dan rumah. Pelapisan sosial para petani yang berdasarkan pemiliknya tanah itu dibeberapa desa mempunyai variasi yang berbeda-beda,7 maka berdasarkan pemilikan tanah masyarakat Tirtomoyo dapat digolongkan menjadi: 1.
Kuli Kenceng, mereka yang mempunyai sawah, tegal, rumah dan pekarangan.
2.
Kuli setengah kenceng atau mekarang, mereka yang hanya mempunyai pekarangan dan tegal saja. 5
Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat. Hal
174. 6
Soerjono Sukanto. 1975. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Hal 106. 7 Koentjaraningrat. 1960. Masyarakat desa di Indonesia Masa Ini. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal 157.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
3.
Kuli Kendo atau magersari, mereka yang mendirikan rumah dipekarangan orang lain. Di samping pelapisan sosial berdasarkan pemilikan tanah yang telah
disebutkan di atas masih terdapat pelapisan sosial yang lain untuk menyebut orangorang yang mempunyai kemampuan dalam menjalankan aktivitas di bidang usaha ekonomi dan perdagangan. Orang-orang yang berhasil dalam menjalankan peranan dalam aktivitas ekonomi dan perdagangan disebut dengan wong swastanan. Adapun pengusaha batik di desa Tirtomoyo termasuk wong swastanan juga, ada dua orang yang mempunyai perusahaan statis yaitu Jelita dan Wasis. Adapula yang memiliki penggilingan padi, membuka toko, reparasi accu dan membuka cap salon. Meskipun mereka menjadi pengusaha batik dan termasuk sebagai wong dagang dan swastanan, tetapi mereka juga bekerja pula sebagai petani.8 Selain pelapisan sosial yang telah disebutkan di atas, ada yang membagi pelapisan sosial masyarakat berdasarkan luas pemilikan tanah pertanian berdasarkan per Ha. Berdasarkan luas pemilikan tanah pertanian per Ha, para petani dapat dibagi menjadi tiga lapisan sosial masyarakat, yaitu9: 1.
Petani lapisan atas yaitu petani yang memiliki luas tanah lebih dari 1 Ha.
2.
Petani lapisan menengah yaitu petani yang memilki luas tanah 0,5 sampai 1 Ha.
3.
Petani lapisan bawah yaitu petani yang memilki luas tanah kurang dari 0,5 Ha.
8
Wawancara dengan Teguh camat Tirtomoyo pada tanggal 10 juni 2010 jam 09:00 WIB Wiranto, “ Pengusahaan Industri Kerajinan batik Bekonang dan Tirtomoyo tahun 1967-1977 “ Skripsi Fakultas Keguruan Universitas Sebelas Maret Surakarta, 1979, hal 21. 9
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
Menurut hasil wawancara, bahwa tidak ada pengusaha batik yang mempunyai tanah lebih dari 1 Ha. Pengusaha batik termasuk petani lapisan menengah, kemudian para buruh pengrajin batik adalah termasuk masyarakat lapisan tak bersawah dan sisanya adalah termasuk masyarakat lapisan bawah.10
10
Wawancara dengan Teguh camat Tirtomoyo pada tanggal 10 juni 2010 jam 09:00 WIB.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III SEJARAH PERKEMBANGAN BATIKDI TIRTOMOYO TAHUN 1950-2000
A. Asal Mula Kerajinan Batik Secara etimologi batik merupakan rangkaian kata mbat dan tik. Mbatdalam bahasa Jawa diartikan sebagai ‟ngembat‟ atau melempar berkali-kali, sedangkan tik berasaldarikatatitik.Jadimembatikberartimelempartitik-titikyangbanyakdan
berkali-
kali pada kain.Sehingga lama-lama bentuk-bentuk titik tersebut berhimpitan menjadi bentuk garis.1 Menurut Hamzuri,2 batik adalah suatu cara membuat desain pada kain dengan cara menutup bagian-bagian tertentu dari kain dengan malam (desain lebah). Batik pada mulanya merupakan lukisan atau gambar pada mori yang dibuat dengan menggunakan alat bernama canting. Dalam perkembangan selanjutnya dipergunakan alat-alat lain yang lebih baik untuk mempercepat proses pengerjaaannya misalnya dengan cap. Membatik sendiri adalah suatu pekerjaan yang mengutamakan ketiga tahapan proses, yaitu pemalaman, pewarnaan dan penghilangan malam. Berapa banyak pemalaman atau berapa kali penghilangan malam akan menunjukkan betapa
1
Sudarsono, 1985, Aspek Ritual dan Kreativitas Dalam Perkembangan Seni di Jawa, Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi). Hal 57. 2 Hamzuri. 1985. Batik Klasik. Jakarta: Djambatan. Hal 1
commit to user 28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
kompleks proses yang dilakukan, sehingga akan menghasilkan lembaran batik yang kaya akan paduan warna. Menurut beberapa ahli sejarah, batik yang berasal dari Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, semula berasal dari India.Batik pada awal mulanya di bawa oleh para pedagang India yang kala itu sedang melakukan perdagangan dengan pedagangpedagang pribumi di pulau Jawa. Dari proses tukar menukar barang dagangan itu, selanjutnya melahirkan informasi pemahaman tentang batik. Lambat laun orangorang Jawa mulai mengenal batik yang kemudian memodifikasinya, dan mengembangkan dengan menggunakan bahan baku dan bahan penunjang lainnya, sehingga berubah bentuk menjadi kain pakaian yang memiliki ciri-ciri Indonesia.3 Pendapat lain tentang asal mula batik di Indonesia, yaitu dari RM. Sutjipto Wirjosaputro yang menyatakan bahwa asal mula kebudayaan batik di Indonesia sebelum bertemu dengan kebudayaan India, bangsa Indonesia telah lama mengenal aturan-aturan untuk menyusun syair, mengenal industri logam, teknik untuk membuat kain batik dan sebagainya, dan yang mengembangkan kesenian India di Indonesia adalah bangsa Indonesia.4 Ragam hias batik dapat pula dilihat di relief candi-candi yang ada di Indonesia.Ragam hias yang ada berupa pola binatang, gunung, bunga-bungaan, tumbuh-tumbuhan, sulur-suluran, gunung, mata air, yang kesemuanya merupakan khas Indonesia. Dengan demikian, asal mula batik di Indonesia masih terdapat 3
Dofa, Anesia Aryunda. 1996. Batik Indonesia. Jakarta: PT. Golden Teranyon. Hal 8.
4
Susanto SK, Sewan. 1975. Batik Modern. Yogyakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan. Hal 307.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
beberapa pendapat yang berbeda-beda, tetapi di sini lebih cenderung untuk menyebutkan bahwa batik Indonesia merupakan kebudayaan asli Indonesia, dengan alasan bahwa dari keterangan-keterangan yang ada menyatakan bahwa bangsa Indonesia sendiri yang telah menciptakan seni batik. Hal ini terbukti pada bangunanbangunan candi, berarti pada zaman Hindu orang sudah mengenal seni batik.Bahkan ragam hias batik yang tampak pada relief candi ada yang memiliki kesamaan dengan ragam hias batik daerah pesisir. Ditinjau dari segi motifnya ada dua jenis batik, yaitu batik tradisional dan batik modern.Batik tradisional adalah jenis batik yang motif dan gayanya terikat pada suatu aturan dan isen-isen tertentu, seperti motif sidomukti, sidoluhur, parang rusak, dan sebagainya.Batik modern adalah semua jenis batik yang telah menyimpang dari ikatan yang sudah menjadi tradisi tersebut.5 Ditinjau dari segi teknik pembuatannya atau dalam hal ini pembatikannya juga dikenal dua macam batik, yaitu batik tradisional dan batik printing. Batik tradisional meliputi: batik tulis, batik cap, atau batik kombinasi tulis dan cap yang masih dibuat dengan cara sederhana dengan menggunakan canting maupun alat cap. Batik printing adalah batik yang dibuat dengan sistem sablon atau hand print.6 Batik tradisional yang dimaksud dalam skripsi ini adalah batik tradisional dalam pengertian teknik pembuatannya, terlepas dari persoalan apakah batik itu bermotif tradisional ataukah bermotif modern yang sudah menyimpang. Atau dengan 5
Ibid, hal 12 Simandjuntak, Edward. S. 1982. „Batik Tradisional Makin Terpojok, Labelisasi untuk apa?‟ Dalam Prisma. No. 72.Hal. 73-83. 6
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
kata lain yang dimaksud dengan batik tradisional disini adalah batik tulis atau cap, baik yang bermotif tradisional maupun yang bermotif modern. Dalam masa perkembangannya kain batik mempunyai bermacam-macam ragam hias, sesuai dengan jalan alam pikiran manusia.Oleh karena kain batik cepat rusak, sehingga tidak mungkin terdapat peninggalan-peninggalan yang otentik sebagai bukti peninggalan purbakala.Untuk meneliti dan menganalisa perkembangan seni batik dari zaman dahulu, yaitu dengan melihat relief maupun arca pada candicandi. Sebagai contoh ragam hias batik yang ada di Indonesia, antara lain: Semen Rama, Parang Rusak, Parang Kusumo, Parang Baris, Kawung Prabu, Limar, Buketan, Sido Asih, Sido Luhur, Sido Mukti, Sido Mulyo, dll.7
Parang Kusumo
Kawung
7
Haryono, Bejo. 2004. Makna Batik dalam Kosmologi Orang Jawa. Yogyakarta: Direktorat Permuseuman, Hal 15.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
Sido Asih
Sido Luhur
Sido Mukti
Gambar 1.
Sido Mulyo
Contoh ragam hias batik yang ada di Indonesia Sumber: www.batikindonesia.com. (Minggu, 15 April 2012, 20:33 WIB).
Satu hal yang agak jelas adalah bahwa perkembangan batik di Jawa senantiasa dikaitkan dengan perkembangan seni kreatif di sekitar kehidupan istana kerajaan Jawa seperti Surakarta dan Yogyakarta, motif-motif tertentu dari batik itu pada mulanya
dimaksudkan
sebagai
mekanisme commit to user
untuk
mempertahankan
nilai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
kebangsawanan. Sebagaimana diketahui kebudayaan istana yang menekankan seni dan cara berpakaian telah menimbulkan keahlian di bidang pertekstilan yang kini dikenal sebagai batik. Pekerjaan membatik menjadi suatu aktivitas rumah tangga di pusat-pusat istana yang besar seringkali dikerjakan oleh para istri pelayan pejabat istana tingkat rendah (abdi dalem), ini menunjukkan bahwa kerajinan tekstil pada masa itu, didominasi oleh kaum wanita.Di beberapa tempat penggerak kerajinan batik ini adalah para selir (isteri raja yang bukan permaisuri), baik yang tinggal didalam atau diluar istana atau kraton.Tidak mengherankan apabila dahulu kain batik hanya dipakai kalangan bangsawan dan priyayi oleh karena memang ada hubungan historis yang erat antara pembuatan batik dan kebudayaan tinggi istana. Pemakaian batik terus berkembang ke luar kalangan bangsawan dan bukan sekedar menjadi pakaian tradisional, melainkan juga dipakai sebagai bahan sandang.Akhirnya
aktivitas
pembatikan
berkembang
menjadi
industri
dan
berkembang pulalah metode produksi serta perluasan pasar sampai keluar istana. Menurut Geertz, dalam perkembangan dan perluasan pasar inilah yang mendorong kaum santri untuk memasuki industri kerajinan batik. Itulah sebabnya mengapa sampai sekarang banyak perusahaan batik dijalankan oleh para santri di daerahdaerah kantong santri (santri enclave) semacam Laweyan Surakarta, Kotagede, Pekalongan, dan lain-lainnya.Perkembangan dan perluasan pemakaian batik terus berlanjut, sehingga teknologi batik pun terus berkembang pula dengan pesatnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
Menurut Nian S. Djoemena,8secara garis besar terdapat 2 golongan ragam hias batik, yaitu ragam hias geometris dan ragam hias non-geometris. Yang termasuk golongan geometris adalah: 1. Garis miring atau parang 2. Garis silang atau ceplok 3. Anyaman dan Limar Yang termasuk golongan non-geometris adalah: 1. Semen, terdiri dari flora, fauna, meru, lar dan sejenis itu yang ditata secara serasi. 2. Lunglungan 3. Buketan, dari kata bahasa Prancis atau Belanda bonquet jelas merupakan ragam hias pengaruh dari luar dan termasuk ragam hias pesisir. Sejak zaman penjajahan Belanda, batik ditinjau dari daerah penghasilnya, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: a. Batik Vorstenlanden Yaitu batik dari daerah pedalaman (Surakarta dan Yogyakarta).Di zaman penjajahan Belanda, kedua daerah ini merupakan daerah kerajaan dan dinamakan daerah Vorstenlanden, hingga saat ini kedua kerajaan itu masih memiliki kharisma.
8
Djoemena, Nian S. 1986. Ungkapan Sehelai Batik. Jakarta: Djambatan. Hal 7.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
Batik Vorstenlanden
Gambar 2.
Batik Vorslanden zaman penjajahan Belanda Sumber: www.batikindonesia.com. (Minggu, 15 April 2012, 20:33 WIB).
Batik Pedalaman
(Vorstenlanden), khususnya daerah Surakarta
dan
Yogyakarta, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Ragam hias motif batiknya bersifat simbolisme berlatar belakang
kebudayaan Hindhu-Jawa dan Warna sogan, indigo
(biru), hitam dan putih. Batik Surakarta
Gambar 3.
Batik Yogyakarta
Batik Pedalaman khususnya daerah Surakarta dan Yogyakarta Sumber: www.batikindonesia.com. (Minggu, 15 April 2012, 20:33 WIB)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
Motif batik dari Surakarta memiliki perbedaan dengan motif batik Yogya meskipun sama-sama daerah kerajaan atau Vorstenlanden. Perbedaan yang menyolok antara batik kedua daerah tersebut antara lain: 1.
Yang paling utama adalah dalam hal perpaduan tata ragam hias. Ragam hias batik Yogya pada umumnya condong pada perpaduan berbagai ragam hias geometris, dan umumnya berukuran besar. Sedangkan ragam hias batik Surakarta condong pada perpaduan ragam hias geometris-non geometris-geometris dengan ukuran yang lebih kecil.
2.
Warna putih batik Yogya lebih terang dan bersih, sedangkan batik Surakarta warna putihnya agak kecoklatan (ecru).
3.
Warna hitam pada batik Yogya agak kebiruan sedangkan batik Surakarta kecoklatan.
4.
Umumnya warna babaran serta sogan antara batik dari kedua daerah tersebut agak berbeda. Babaran adalah proses pencelupan terakhir dengan sogan.9 Pemakain batik pada mulanya sangat berkaitan dengan aktivitas seremonial
dan ritual tertentu, seperti upacara-upacara adat yang sebagian besar berorientasi pada tata cara kerajaan/kraton, misalnya upcara jumenengan (penobatan raja), pisowanan (upacara menghadap raja), upacara garabeg, dan lain sebagainya. Pemakaian batik juga berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya transedental atau berlatar belakang magis, misalnya: para pengantin biasanya memakai kain batik motif sidoluhur atau sidomukti dengan harapan agar kedua mempelai selalu memperoleh kesejahteraan dan 9
Ibid. Hal 22.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
jabatan yang luhur dalam masyarakat. Adanya larangan bagi pengantin untuk memakai kain batik bermotif parang rusak karena bisa mengakibatkan rusaknya tali perkawinan, dan lain-lainnya. Dalam perkembangannya, motif-motif batik yang menjadi larangan tersebut tampaknya telah menjadi pakaian kebanyakan sehari-hari.Setiap penciptaanmotif batik klasik pada mulanya selalu diciptakan dengan makna simbolisme dalam falsafah Jawa. Maksud dari usaha penciptaan pada jaman ituagar memberi kesejahteraan, ketenteraman, kewibawaan dan kemuliaan serta memberi tanda status sosial bagi si pemakai dalammasyarakat.Motifbatiktidakdibuatsecarasembarangan,tetapimengikuti aturan-aturan yangketat. Hal ini dapat dipahami karena pembuatan batik yang sering dihubungkan dengan mitologi, harapan-harapan, penanda gender, status sosial, anggota
klan,
bahkan
dipercaya
mempunyai
kekuatan
gaib.
batikJawamempunyaihubungandenganstatussosial,kepercayaan,danharapanbagi
Motif si
pemakai.10 Aturan yang dikeluarkan dari Kraton Surakarta yaitu pada tahun 1769 oleh Paku Buwono III (1749-1788), sebagai berikut: “Anadene arupa jajarit kang kalebu ing larangan ingsun: batik sawat lan batik parang rusak, batik cumangkiri kang calacap modang, bangun tulak, lenga teleng, daragem, lan tumpal. Anadene batik cumangkiri ingkang acalacap lung-
10
DjokoDwiyanto&DSNugrahani. 2000.PerubahanKonsepGenderDalamSeni Tradisional Pedalamandan Pesisiran. Yogyakarta: Pusat Studi WanitaUGM, Hal 3
commit to user
Batik
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
lungan utawa kekembangan, ingkang ingsun kawenangken anganggoha papatih ingsun, lan sentaningsun kawulaningsun wedana”. “Adapun rupa jarit yang termasuk larangan saya: batik sawat tdan batik parang rusak, batik cumangkiri yang berupa motif modang bangun tulak, lenga teleng, daragem, dan tumpal. Adapun batik cumangkiri yang berupa motiflunglungan atau kekembangan (bunga), saya ijinkan dipakai oleh patih saya, dan keluarga bangsawan, abdi dalem wedana.11 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa batik yang tidak boleh dikenakan sembarang orang adalah batik dengan motif sawat, parang rusak dan cumangkiri, batik ini biasa disebut dengan batik larangan.Batik ini hanya boleh dikenakan oleh para keluarga raja, bangsawan, dan orang-orang kraton. Selain aturan dari Paku Buwono III dari Kraton Surakarta, dari Kraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII, motif batik yang menjadi pedoman utama untuk menentukan status sosial derajad kebangsawanan seseorang diatur dalam Pranatan Dalem Jenenge Pananggo Keprabon Ing Keraton Nagari Ngajokjakarta tahun 1927.12 b. Batik Pesisir Batik pesisir merupakan batik yang pembuatannya dikerjakan diluar daerah pedalaman (Surakarta dan Yogyakarta), yang termasuk daerah pesisir adalah daerah yang terdapat disepanjang pantai utara Jawa, seperti Jakarta, Indramayu, Cirebon, 11
Hasanudin. 2001. Batik Pesisiran Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik. Bandung: PT. Kiblat Buku Utama, hal 23. 12 Haryono, Bejo. 2004. Makna Batik dalam Kosmologi Orang Jawa. Yogyakarta: Direktorat Permuseuman, hal 27.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
Pekalongan, Lasem, Garut, Madura dan Jambi. Pembagian asal batik ini, terutama berdasarkan sifat corak dan warna dasarnya, serta keunikan dari daerah masingmasing.13 Batik Pekalongan
Gambar 4.
Batik Cirebon
Batik Pesisir yang ada di daerah Pekalongan dan Cirebon. Sumber: www.batikindonesia.com.(Minggu, 15 April 2012, 20:33 WIB).
Batik pesisir memiliki ciri-ciri sebagai berikut:Ragam hias motif batiknya bersifat natural dan mendapat pengaruh kebudayaan asing secara dominan dan Warna beraneka ragam.14
B. Sejarah Perkembangan Batik di Tirtomoyo Asal mula batik di Tirtomoyo itu asalnya dari keraton Surakarta. Mula-mula batik didalam kerajaan atau keraton hanya merupakan kerja sambilan bagi putri keraton yang nantinya akan dipersembahkan untuk kekasihnya, juga untuk kepentingan (pakaian) raja dan para kerabat keraton. Raja hanya memilih orang-orang 13 14
Djoemena, Nian S, op.cit, Hal 7. Ibid, Hal 8.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
pandai membatik yang dikhususkan berdiam di keraton untuk membuat kain batik.Oleh karena raja dan seluruh kerabat keraton memerlukan kain batik, maka raja mengutus para lurah mencari daerah penghasil batik.Melalui lurah tersebut didapat daerah Laweyan yang menjadi pusat pembuatan kain batik di wilayah kekuasaan keratin Surakarta.Laweyan sendiri berasal dari kata Lawe yang artinya benang, karena pada zaman dahulu tempat ini adalah tempat pembuatan kain tenun.Mulai dari sinilah kain batik berkembang semakin besar dan dampaknya mulai menjalar ke pelosok daerah teruatama daerah Tirtomoyo yang merupakan pusat dari kegiatan batik di daerah Wonogiri. 1. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda Masyarakat Tirtomoyo sudah memiliki perusahaan industri kerajinan batik meskipun masih sangat sederhana.Ruang gerak mereka masih sangat terbatas dan hanya menjadi pengusaha kecil, kedudukan keuangan mereka masih sangat lemah dan kesempatan untuk maju masih sangat minim.Hal ini dikarenakan politik pemerintah Hindia Belanda yang sangat menekan kemajuan bangsa Indonesia disegala
bidang
kehidupan
masyarakat.Pemerintah
Hindia
Belanda
dalam
perdagangan dan ekonomi lebih percaya pada masyarakat pendatang yaitu masyarakat Tiong Hoa dan Arab. Mereka diharapkan mampu menekan kemajuan ekonomi dan perdagangan para bumiputera dengan cara memberikan perlindungan dan hak istimewa kepada golongan tersebut daripada kepada pedagang asli
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
Indonesia.15Akibat tindakan pemerintah Hindia Belanda yang diskriminasi itu kedudukan pedagangan batik bangsa Indonesia yang sudah lemah itu semakin terdesak kedudukannya daripada pedagang bangsa Tiong Hoa dan Arab. Oleh karena itu, usaha-usaha kearah emansipasi ekonomi selalu ditekan dan pengalaman yang mengecewakan itu sebagai akibat sistem sosial ekonomi yang menghalangi usaha perekonomian bangsa Indonesia, memaksa terbentuknya solidaritas16 di kalangan kaum pedagang di Kecamatan Tirtomoyo. Hal ini di awali dengan berdirinya suatu organisasi dagang di Solo pada tahun 1911 oleh H. Samanhudi seorang pengusaha batik di Kampung Laweyan yang merupakan pusat dari industri batik di Jawa Tengah yang organisasi tersebut bernama Sarekat Dagang Islam. Perkumpulan baru ini berdasarkan koperasi perdagangan untuk bertahan melawan leverencier bangsa Tiong Hoa, dengan memakai simbol agama Islam dan dasar koperasi perkumpulan ini banyak menarik saudagar bangsa Jawa dan rakyat pada umumnya. Berdirinya Sarekat Dagang Islam disambut baik oleh para pengusaha batik di kota Solo dan daerah sekitarnya yang mengaharapkan dapat mempertahankan persaingan dengan para pedagang Tiong Hoa. Selanjutnya propaganda-propaganda tentang Sarekat Dagang Islam mulai disebar luaskan ke daerah-daerah. Penyebaran ini dapat berjalan lancar dan sangat besar hasilnya, dimungkinkan karena anggotaanggota Sarekat Dagang Islam adalah pedagang yang biasa merantau ke luar daerah 15
Slamet Mulyana. 1960. Nasionalisme sebagai Modal Perjuangan Bangsa Indonesia. Jilid 1. Jakarta Pustaka. Hal 195. 16 Sartono Kartodirdjo. 1967. Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia Abad XIX-XX. Lembaran Sejarah I. Jogyakarta : Seksi Penelitian Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Dan Kebudayaan UGM. Hal 34.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
maka dengan cepat pengaruh Sarekat Dagang Islam dapat meluas di antara pedagangpedagang dalam daerah Surakarta dan daerah Tirtomoyo Wonogiri. Meskipun SDI mulai memperhatikan nasib para usahawan batik dengan membela mereka terhadap sikap merugikan pedagang kemudian mereka mendirikan koperasi-koperasi batik. Tetapi karena rintangan-rintangan yang datangnya dari para pengusaha adalah pada bahan baku maka baik para importer (perusahaan asing) dan juga pedagang perantaranya sampai pada pengecernya yang umumnya dipegang oleh orang-orang Cina, Arab dan India maka usaha SDI mengalami kegagalan dan satu persatu koperasi mengalami gulung tikar. Kegagalan ini juga disebabkan oleh beratnya prasyarat dan penyelenggaraan koperasi yang diatur peraturan pada masa itu.Jadi koperasi batik yang didirikan oleh SDI itu lebih merupakan gerakan idiil dari para gerakan komersiil.Pembentukan koperasi merupakan suatu hal yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan.Untuk membatasi perkembangan tumbuhnya koperasi yang direstui oleh gerakan kebangsaan itu, maka Pemerintah Kolonial mengeluarkan peraturan koperasi. Berdasarkan peraturan koperasi beskuit 7 April no. 431 tahun 1915, rakyat tidaklah mungkin mendirikan koperasi karena: 1. Mendirikan koperasi harus mendapat izin dari Gubernur Jenderal 2. Akte dibuat dengan perantara notaries dan dalam bahasa Belanda. 3. Ongkos materai 50 gulden, hak tanah harus menurut hokum Eropa. 4. Harus diumumkan di Javache Courent, yang biasanya juga tinggi.17 Dengan keluarnya peraturan tersebut, bagi rakyat Indonesia sangat memberatkan baik untuk mendirikannya ataupun melakukannya. Peraturan tersebut
17
Dewan Koperasi Indonesia, Sejarah Singkat Tentang Pergerakan Koperasi di Indonesia, Surakarta. PKPN Kotamadya Surakarta, 1978. Hal 2.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
mendapat reaksi dari kaum gerakan nasional dan penganjur – penganjur koperasi. Akhirnya pemerintah membentuk suatu panitia koperasi yang bertujuan untuk memperkembangkan koperasi. Akhirnya pada tahun 1929 Partai Nasionalis Indonesia mengadakan kongres koperasi di Jakarta, dengan adanya konggres inilah semangat koperasi berkobar dan didirikan koperasi dimana-mana dan dalam berbagai bentunya.18 Dalam industri batik, koperasi yang pertama kali dibentuk di Surakarta adalah Inl Coperative Vereniging yaitu Persatuan Perusahaan batik Bumi Putera Surakarta (PPBS) yang didirikan pada tahun 1937, yang ruang kerjanya meliputi wilayah Sekarisidenan Surakarta tidak terkecuali wilayah Tirtomoyo. 2. Pada Masa Penjajahan Jepang Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang.Dengan penyerahan itu berarti telah berakhir pula masa penjajahan Belanda di Indonesia dan diganti masa penjajahan Jepang.Pada masa ini merupakan bencana bagi rakyat Indoneia, lebih-lebih kehancuran dalam segi ekonomi.Kaptal-kapital pada masa itu hilang disebabkan karena dihancurkan oleh tentara sekutu, akibatnya pada masa pendudukan Jepang sistem ekonomi lumpuh total.19 Untuk mengatasi kesukaran ekonomi maka pemerintah Jepang ikut campur tangan dalam soal yang berhubungan dengan bidang ekonomi. Pemerintah Jepang
18
Wahyu Sukatjo, Sejarah Perkembangan Permasalahan dan Peranan Koperasi. Dalam Prisma, No 6, tahun VII Juli 1978.Hal 32. 19 Sartono Kartodirdjo (dkk). Sejarah Nasional Indonesia VI.Jakarta; Balai Pustaka 1977.Hal 143.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
mulai mendirikan organisasi yang dipropagandakan untuk memperbaiki kehidupan rakyat yang diberi nama Kumai yang tidak lain adalah organisasi yang bertugas sebagai wadah para pengrajin batik. Di daerah Surakarta sendiri yang merupakan pusat wilayah industri batik diberi nama Batik Kogja Kumai yang merupakan gabungan dari beberapa organisasi batik. Akan tetapi Batik Kogja Kumai tidak berpengaruh yang signifikan terhadap industri batik di daerah Tirtomoyo. Hal ini dikarenakan warga Desa Tirtomoyo diwajibkan untuk memasukkan padi kepada pemerintah Jepang yang lazim disebut dengan “jatah padi” dan selain itu juga dikarenakan bahan baku pembuatan batik yang sangat sulit diperoleh. Bisa dikatakan bahwa di daerah Tirtomoyo setelah pemerintah Jepang berkuasa banyak industri batik yang gulung tikar dan mengalami kehancuran total.20 3. Pada Masa Kemerdekaan tahun 1949 sampai tahun 1952. Di beberapa daerah bermunculan organisasi batik dan salah satunya di daerah Surakarta adalah koperasi Batari (Batik Timur Asli Republik Indonesia), yang pada akhirnya melebur menjadi satu yang bernama Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). Akan tetapi dalam perkembangannya, organisasi ini masih mengalami hambatan dalam melakukan kegiatannya karena bahan baku pembuatan batik masih dikuasai oleh Pemerintah Federal Belanda. Setelah penyerahan kedaulatan Negara secara penuh pada tanggal 31 Desember 1949, organisasi batik mulai muncul kembali peranannya sehingga
20
WIB.
Wawancara dengan Darto warga desa Tirtomoyo pada tanggal 28 juni 2010 jam 12:30
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
pengaruhnya mulai menjalar keseluruh pelosok desa termasuk Desa Tirtomoyo. Pada tahun 1952 Pemerintah menyelenggarakan pola bahan batik, semua kegiatan impor dan distribusi bahan baku batik diatur oleh suatulembaga yang bertugas untuk mencari dan mengimpor bahan baku batik sedangkan GKBI sendiri bertugas sebagai distributornya. Dengan demikian kestabilan harga dan perkembangan industri batik dapat berjalan dengan stabil.
C. Pertumbuhan Industri Kerajinan Batik di Tirtomoyo 1. Industri Kerajinan Batik di Tirtomoyo Latar belakang timbulnya industri sederhana (industri kecil) di desa, khususnya industri kerajinan batik adalah industri yang didirikan oleh penduduk desa dan yang terletak di desanya.Para pengusaha batik di desa Tirtomoyo yang dulunya merupakan berasal dari tukang-tukang yang karena mendapatkan kemajuan ekonomi dapat menghimpun faktor-faktor produksi yang diperlukan sehingga dapat mendirikan industri-industri batik sendiri yang pada akhirnya berkembang menjadi usaha yang lebih besar.21 Faktor pengusaha inilah merupakan ukuran dalam memberi arti istilah industri desa.Pengusahanya terdiri dari para penduduk desa.Jadi yang mempunyai inisiatif untuk mendirikan industri desa adalah para penduduk desa. Namun perlu diketahui bahwa industri desa ini merupakan suatu proses yang selalu berkembang dari yang
21
WIB.
Wawancara dengan Darto warga desa Tirtomoyo pada tanggal 28 juni 2010 jam 12:30
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
sederhana menjadi kompleks. Kecakapan berindustri ini dapat timbul di desa karena disengaja atau secara sukarela penduduknya mempunyai minat mempelajari kecakapan berindustri.Secara umum industri muncul karena faktor keduanya.Salah satu hal yang amat penting harus ada bagi industri adalah adanya tenaga kerja yang terlatih.Karena dalam hal ini kecakapan bagi petani yang terutama ahli dalam mengolah tanah atau sawah saja tidak cukup untuk membangun subuah industri.Bilamana kecakapan untuk bekerja ini belum ada maka industri tidak bisa dibangun. Yang penting kcakapan berindustri ini dapat lahir di desa dengan jalan disengaja atau dengan sukarela yaitu warga setempat bersedia mempelajari cara berindustri yang sederhana. Timbulnya kecakapan kerja sebagai tenaga industri ini akan menimbulkan semangat borjuis atau semangat kapitalis. Menurut seorang ahli sosiologi yang bernama Sombart, tukang-tukang dan saudagar telah memiliki semangat kapitalis yang terutama bertujuan mengejar keuntungan. Sifat-sifat lain adalah hemat, sederhana, rasional dan setia menepati janji. Demikian halnya pada orang-orang yang mulai dapat bekerja berindustri ini sifat-sifat tersebut akan timbul. Adapun para pengusaha di desa itu merupakan suatu proses. Untuk membicarakan mengenai timbulnya para pengusaha di desa dapat ditinjau dari keadaan politik dan ekonomi sebelum perang Kemerdekaan Indonesia, masyarakat Jawa sekitar tahun 1800 kehidupan ekonominya dibedakan menjadi dua macam yaitu ikatan secara feodal dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
ikatan desa.22Di dalam ikatan desa, kehidupan masyarakat tani sangat sederhana yaitu menghasilkan barang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.Ekonomi atas dasar mencukupi kebutuhan sendiri dalam lingkungan kecil menyebabkan tingkat hidup yang rendah dan tidak ada kesempatan bagi perkembangan ekonomi yang tinggi. Pada tanggal 8 Maret 1963, Presiden Soekarno mengumumkan Deklarasi Ekonomi (Dekon), yang isinya berisi tentang pencabutan hak-hak GKBI sebagai importer bahan baku industri batik. Dampak lain dengan adanya deklarasi tersebut adalah semakin meningkatnya penghasilan para pengusaha batik sedangkan bagi para buruh batik penghasilan mereka tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup karena harga kebutuhan hidup yang semakin melonjak tinggi. Dampak yang lebih besar adalah inflasi ekonomi yang memperburuk perekonomian. Adanya pencabutan hak importer bahan baku dari GKBI ini maka muncul system penjatahan kepada para pengusaha batik dengan harga resmi yang akibatnya terjadi dua pasar dan dua harga. Adanya inflasi yang terus naik menimbulkan harga batik menjadi pendorong bagi perluasan penawaran. Pengusaha batik yang kekurangan bahan batik dari jatah koperasi dan pengusaha batik yang tak terjatah saling menimbulkan perbedaanakanharga bahan baku batik di pasar bebas. Meskipun pada tahun 1960 - 1980 di desa Tirtomoyo ada penambahan dalam hal jumlah penggusaha batik, dalam hal ini mereka pada umumnya adalah seorang petani dan pegawai.
22
Burger. 1962. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jilid 1, cetakan ketiga. Jakarta. Pradnyaparamita. Hal 93.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
Pada umumnya para pengusaha batik baru ini hanyalah pengusaha-pengusaha yang ikut-ikutan saja tanpa persiapan dan pengalaman yang cukup dalam usaha batik, mereka hanyalah menginginkan keuntungan dari adanya system lisensi. 23 Hal ini dapat dibuktikan setelah pemerintah mencabut subsidi dan hak istimewa bagi import bahan batik, para pengusaha batik yang baru ini sebagian besar lenyap dan tidak pernah muncul lagi. Pada jaman lisensi para pengusaha batik yang lama dan yang baru untuk memperoleh jatah bahan baku batik yang diperlukan banyak yang mengelabuhi petugas pemberi jatah, karena banyak sedikitnya jatah tergantung dari jumlah peralatan pembatikan. Faktor itu antara lain gawangan, anglo, wajan dan buruh pabrik, sedangkan para petugas yang akan memeriksa membeirtahukan akan kedatangannya, sehingga para pengusaha batik dapat membeli bahan baku sebanyakbanyaknya dengan cara mendatangkan para buruh batik pada waktu pemeriksaan saja. Karena mudahnya pemberian lisensi ini maka hampir sebagian masyarakat desa Tirtomoyo menjadi pengusaha batik. Pada tahun 1961, Jawatan Koperasi menertibkan organsasi koperasi yang ada di beberapa daerah, antara lain memecah koperasi primer yang ada di Surakarta yaitu BATARI. Koperasi BATARI yang semula meliputi daerah kerja seluruh Karesidenan Surakarta diharuskan melepaskan daerahnya di Kabupaten untuk membentuk sebuah koperasi sendiri. Untuk kabupaten Wonogiri, para pengusah batik dialihkan ke koperasi yang berkedudukan di Tirtomoyo, karena dalam peraturan tersebut
23
Wawancara dengan Kaharudin Ahmad Pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni 2010 jam 10:00 WIB.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
mengisyaratkan bahwa koperasi batik di tingkat kabupaten harus berlokasi di Kabupaten, sehingga para pengusaha batik di daerah Kabupaten Wonogiri pada tanggal 8 Juli 1962 mendirikan sebuah koperasi yang diberi nama batik Buwono. Koperasi ini sendiri baru mendapatkan hak badan hukum pada tanggal 16 Maret 1965 dan diterima menjadi anggota GKBI pada tahun itu juga. Untuk mengetahui perkembangan industri batik di daerah Desa Tirtomoyo sejak tahun 1950-2000 dapat dilihat dari pertambahan pengusaha batik setiap tahunnya dalam tabel 4. TABEL 4 JUMLAH PENGUSAHA KERAJINAN BATIK DI TIRTOMOYO YANG MENJADI ANGGOTA KOPERASI TAHUN
JUMLAH PENGUSAHA
1950
2
1955
8
1960
14
1965
31
1970
39
1975
42
1980
50
1985
45
1990
50
1995
35
2000
20
Sumber :Koperasi batik Tirtomoyo. Dari tabel 4 tersebut dapat dilihat perkembangan kehidupan industri kerajinan batik mengalami kemajuan yang cukup baik. Bertambahnya pengusaha batik menunjukkan bahwa pasar batik semakin ramai, hal ini tidak terlepas dari kebijakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
dari pemerintah mampu menstabilkan harga bahan baku. Selain itu, peran pemerintah dalam memajukan industri batik antara lain GKBI memperoleh kedudukan tunggal sebagai importir dan sekaligus sebagai distributor kepada seluruh pengusaha batik baik anggota maupun bukan anggota koperasi batik. 2. Proses Produksi Batik Proses produksi merupakan kegiatan yang dilakukan manusia untuk mengubah bahan baku sampai
menjadi barang jadi, sehingga dapa menambah
kegunaan suatu benda. Teknik membuat batik tradisional meliputi seluruh proses pekerjaan yang cukup panjang terhadap kain mori sejak dari permulaan hingga menjadi kain batik. Pekerjaan ini meliputi tahap persiapan dan tahap pokok. Pada tahap persiapan maka yang dikerjakan adalah mempersiapkan kain mori sehingga siap untuk dibatik, yaitu (1) memotong mori sesuai dengan ukuran yang dikehendaki; (2) mencuci (nggirah atau ngetel); (3) menganji (nganji) dan (4) menyetrika (ngemplong). Pada tahap pokok proses pembatikan yang sebenarnya dimulai, yaitu meliputi tiga macam pekerjaan: (1) pembuatan motif batik dengan melekatkan lilin batik (malam) pada kain. Ada beberapa cara pelekatan lilin ini, yaitu dengan dilekatkan atau ditulis dengan alat yang disebut canting, canting cap, atau dilukis dengan kuwas (jegul). Lilin atau malam adalah campuran dari beberapa bahan, seperti gondorukem, matakucing, parafin atau microwox, lemak atau minyak nabati, dan kadang-kadang dicampur dengan lilin lebah atau lanceng; (2) pewarnaan batik yang dilakukan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
dengan cara menyelupkan pada zat pewarna; dan (3) menghilangkan lilin pada kain yang disebut denga ngerok, nglorod, ngebyok atau mbabar.24 Demikianlah proses produksi pembuatan batik secara singkat. 3. Sistem kerja dalam usaha industri kerajinan batik Sistem kerja yang diselenggarakan para pengusaha batik di daerah Tirtomoyoadalah sebagai berikut: a. Garap langsung Adalah suatu sistem kerja dimana para seluruh pengrajin batik harus menyelesaikan pekerjaannya
di
tempat
pengusaha batik.Baik
yang masih
menggunakan rumahnya sebagai bengkel kerjanya maupun yang sudah mempunyai bengkel sendiri. Garap langsung ini lebih mudah dilakukan untuk buruh pengrajin batik pria dari pada buruh pengrajin wanita.Sebab lebih mudah dijalankan buruh pengrajin pria karena tahapan yang harus dijalankan pada umumnya tidak memungkinkan untuk dibawa
pulang.Memerlukan
peralatan
dan
ramuan
khusus
untuk
tahapan
pekerjaannya, yang perlu mendapat pengawasan mandiri dari pihak pengusaha batik. Sedangkan tahapan pekerjaan yang dijalankan untuk buruh pengrajin batik wanita, dimungkinkan untuk dibawa pulang, karena hanya menggunakan peralatan yang sederhana dalam menyelesaikan tahapan pekerjaannya.Pada sistem garap
24
Soetopo, S. 1956. Batik. Jakarta: Balai Pustaka. Hal 3-5.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
lansung ini upah yang berlaku untuk buruh pengrajin pria adalah dengan upah harian, sedangkan untuk buruh pengrajin wanita dengan upah borongan. b. Garap luar atau Sanggan. Adalah suatu sistem kerja dimana pengusaha batik membagi-bagikan bahan pada buruuh pengrajin batik untuk dikerjakan di rumah mereka masing – masing dengan diberi upah borongan. Kerja langsung atau sanggan ini bagi buruh pengrajin batik sangat menguntungkan, sebab selain dikerjakan dirumah, waktu mengerjakannya bisa sewaktu – waktu. Untuk tahap pengerjaannya dapat mengerahkan anggota keluarganya. 4. Pemasaran Batik Masalah pemasaran sangat penting karena berhasil tidaknya pemasaran menentukan kelangsungan hidup perusahaan. Bila pemasaran berhenti akan berakibat pula timbulnya suatu penumpukan hasil produksi dari perusahaan. Pentingnya pemasaran ini berlaku pula dalam perusahaan industry kerajinan batik di Tirtomoyo. Para pengusaha batik di Tirtomoyo menjual hasil produksinya dengan cara menjual langsung ke konsumen maupun kepada pedagang perantara. Para pedagang perantara tingkat desa umumnya adalah pedagang kecil eceran yaitu para pedagang yang menjual eceran langsung kepada konsumen.Para pedagang tingkat desa ini datang sendiri ke tempat pengusaha batik untuk mengadakan transaksi pembelian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
batik secara kecil – kecilan kemudian menjualnya lagi ke pasar – pasar tingkat desa sampai pasar tingkat kabupaten. Pedagang perantara tingkat kota adalah para pedagang tingkat menengah, yaitu pedagang yang mampu membeli cukup banyak hasil produksi batik dari pengusaha dan membawa dagangannya sendiri menuju kota, kemudian menjualnya ke sejumlah pasar yang ada di kabupaten Wonogiri maupun yang ada di Surakarta yaitu pasar Klewer.
D. Perkembangan Ragam Hias Batik di Tirtomoyo Tahun 1950-2000 Pada mulanya penduduk Tirtomoyo membuat batik masih dengan cara tulis (menggunakan tangan saja, dan motif-motifnya pun masih meniru motif dari kraton, berupa motif Ceplok, Limar, Semen, Parang, Lunglungan), juga cara mewarnainya masih memakai soga Jawa (pewarna dari bahan tumbuh-tumbuhan) yang otomatis memerlukan waktu yang lama. Batik Wonogiren berasal dari Wonogiri, yang kemunculannya
berawal
dari
kegiatan
membatik,
tepatnya
di
Kecamatan
Tirtomoyo.Batik Wonogiren memiliki ciri khas motif retakan-retakan disebut dengan remakan atau remukan.Motif remukan tidak sekedar menjadi ciri khas, tetapi bagian dari batik Wonogiren. Hal tersebut menambah nilai estetika, yang membedakan dengan karya batik dari daerah lain. Nilai estetika tersebut bersifat objektif dan murni terlihat pada garis, bentuk, serta warna.25 Batik Motif Remukan 25
“Batik Wonogiren Bertahan pada Corak Eksklusif”.Suara Merdeka, Sabtu 12 April 2003.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
Gambar 5.
Batik Wonogiren memiliki ciri khas motif retakan-retakan disebut dengan remakan atau remukan. Sumber: Dokumentasi pribadi ibu Tarmi pengusaha batik Trtomoyo
Pola dan motif batik Wonogiren tercipta untuk konsumsi masyarakat sekitar Dlepih dan wilayah Kecamatan Tirtomoyo, meskipun motif yang dibuat mengadaptasi dari motif batik Klasik Kraton Surakarta. Babarannya (proses pewarnaannya) lebih tebal dan berbeda dengan batik dari kraton, dan lebih sesuai dengan cita rasa rakyat yang memiliki kehidupan dinamis serta bebas. Batik tersebut saat ini sudah tersebar hingga luar wilayah Wonogiri terutama Surakarta, Yogyakarta, Jakarta dan luar Jawa, antara lain Lampung, Jambi, Malaysia dan Brunei Darussalam. Batik Wonogiren dalam perjalanannya mengalami pengembangan, mulai tahun 1960-an. Warga Wonogiri memiliki keinginan untuk memproduksi dan memakai batik dengan ciri khas budaya setempat, meliputi kondisi geografis, sosial, fenomena, selera, dan sebagainya.Motif yang dibuat terinsipirasi dari hal-hal tersebut serta modifikasi pola Batik Klasik Kraton Surakarta.Contoh motif terpengaruh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
fenomena sosial adalah Keladi dan Jemani, berisi motif adaptasi dari bentuk daun Keladi dan Anthurium jenis Jenmani yang menjadi tren koleksi tanaman hias 2007.Motif tersebut dibuat atas ide dan pesanan kolektor tanaman hias.Kondisi lingkungan hutan, juga menjadi sumber inspirasi munculnya motif Gelondong Kayu dan Serat Kayu, berupa motif bilar kambium batang terbelah serta serat pohon berkayu. Batik Motif Keladi dan Jemani
Gambar 6.
Contoh motif terpengaruh fenomena sosial adalah Keladi dan Jemani, berisi motif adaptasi dari bentuk daun Keladi dan Anthurium jenis Jenmani yang menjadi tren koleksi tanaman hias 2007. Sumber: www.batikindonesia.com. (Minggu, 15 April 2012, 20:33 WIB).
Masyarakat di wilayah pembatikan Kecamatan Tirtomoyo memiliki peran berupa persepsi dan partisipasi penting dalam pengembangan desain Batik Wonogiren.Hal tersebut salah satu kontribusi penting guna menyumbang kekayaan jenis motif Batik Nusantara umumnya, dan khususnya di wilayah Tirtomoyo.Subjek
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
yang tepat untuk mengetahui secara langsung perihal pengembangan desain Batik Wonogiren melalui interaksi langsung dengan masyarakat pelaku. Desain Batik Wonogiren merupakan objek yang muncul karena ide atau gagasan masyarakat, dalam hal ini perajin merupakan yang memutuskan persepsi masyarakat
berupa
ide,
sebagai
wujudnya
adalah
partisipasi
dengan
memvisualisasikannya ke sebuah bentuk. Perajin dimaksud adalah pihak yang berpartisipasi aktif mempunyai ide untuk membuat suatu motif dan mengaplikasikan pada kain, meskipun tidak sampai tahap akhir proses pembatikan. Pada akhirnya timbul keinginan pengusaha batik Tirtomoyo, untuk menjual batik kepada rakyat biasa dengan harga yang terjangkau oleh mereka, karena dahulu masyarakat masih memakai kain tenun yang disebut kain lurik, sehingga pengusaha batik Tirtomoyo memproduksi batik tulis dengan batik cap dan juga cara menyoganya dari bahan-bahan kimia, supaya lebih cepat proses pembuatannya, disamping itu juga harganya dapat dijangkau oleh rakyat biasa dan juga tidak meninggakan bentuk aslinya, akan tetapi alat yang untuk mengecap pada waktu itu masih menggunakan cap dari kayu, dengan motif-motif yang masih sangat sederhana sekali yaitu dengan bentuk yang besar-besar dan cecek-ceceknya (isen bulat kecil pada motif batik) pun tak dapat rapi dan halus, karena dengan kayu kurang efisien, maka pada tahun 1950-an dibuatlah cap yang terbuat dari tembaga yang tahan lama. Alat ini disebut canting cap dan batiknya disebut batik cap.Alat tersebut dibuat agar dapat memproduksi dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat, tetapi dengan adanya alat-alat yang modern ini bukan berarti lalu Tirtomoyo meninggalkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
batik tulis. Bahkan membuat batik tulis, batik cap juga campuran batik cap dan batik tulis.26 Batik tulis dan batik cap berkembang berdampingan sampai saat ini. Ditinjau dari halus tidaknya, maka batik tulislah yang lebih halus daripada batik cap, sebab batik tulis motif-motifnya lebih hidup, karena dibuat dengan rasa seni atau unsur seni masih ada didalamnya, sedangkan walaupun batik cap prosesnya jauh lebih cepat dari batik tulis, akan tetapi hasil batik cap ini agak berbeda dengan batik tulis. Dari segi ketepatan pengulangan bentuk canting cap lebih menjamin, akan tetapi dari kesempurnaan goresan kurang baik. Batikan cap sering kali tidak tembus dan kadangkadang dilain sisi tembus, bahkan blobor.27 Semakin majunya teknologi, pada sekitar tahun 1960-an ditemukan alat pembuatan batik dengan “printing” atau “sablon” dengan alat cap yang terbuat dari kain yang telah dilukis dan bagian tepinya diberi plangkan (kayu) dengan ukuran lebar 80 cm dan panjang menurut lebar mori/cambric. Batik ini terkenal dengan batik printing. Proses dari pada cara ini lebih cepat dengan kalkulasi yang rendah sebab batik ini tidak memakai cara ngecap dengan malam dahulu, dan tidak juga melered (membabar), akan tetapi mori dicap langsung dengan motif yang dikehendaki. Ragam hias pada suatu kain batik terdapat corak dan motif.Corak sendiri adalah bentuk yang paling dominan, seperti warna, tema babaran dan simbol 26
Wawancara dengan Kaharudin Ahmad Pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni 2010 jam 10:00 WIB. 27
Riyanto, dkk.1997. Katalog Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Hal 13.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
keseluruhan, seperti bang biru, sidoluhur, semen, dan sebagainya.Sedangkan motif adalah bentuk yang menjadi komponen ragam hias.Jadi, ragam hias, motif, dan corak merupakan satu kesatuan yang sangat penting pada unsur kain batik.28 Ragam hias menurut lokasi daerahnya dibagi menjadi dua, yaitu batik pesisiran dan batik pedalaman atau batik kraton.Ragam hias ini dalam perkembangannya dapat berubah dari waktu ke waktu.Perubahan ini berdasarkan pada lingkungan dan pemikiran masyarakatnya.Daerah Tirtomoyo sendiri termasuk daerah pedalaman.Batik di Tirtomoyo ini merupakan batik yang tumbuh di atas dasar-dasar filsafat Jawa yang mengacu pada pemurnian nilai-nilai spiritual dengan memandang manusia yang tertib, serasi, dan seimbang.Ragam hias batik pedalaman cenderung memiliki corak dengan warna coklat kehitam-hitaman, hal ini sesuai dengan daerahnya yang banyak terdapat hutan sehingga untuk pewarnaannya mengambil dari tumbuhan. Mengenai kebudayaan seni batik di Tirtomoyo secara berangsur-angsur mengalami proses perubahan bentuk, variasi sesuai dengan kebudayaan yang mewarnai pada masa pembuatannya. Sebelum masuknya budaya dari luar, seni batik di Indonesia masih sederhana. Dalam proses perkembangannya seni batik Tirtomoyo mengikuti kemajuan zaman, sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknikteknik mekanis yang baru. Ragam hias batik Tirtomoyo pada mulanya mengikuti ragam hias batik dari kerajaan atau kraton. Ragam hias tersebut merupakan ragam
28
Hasanudin. 2001. Batik Pesisiran Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik. Bandung: PT. Kiblat Buku Utama. Hal 197.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
hias yang telah baku atau istilah jawanya “dipakemkan”. Sebagai contoh ragam hias yang telah baku, antara lain: ragam hias Kawung, Sawat, dan Parang. Ragam hias tersebut memiliki ciri khas batik pedalaman, dari segi motif maupun warnanya. Berikut akan dibahas perkembangan ragam hias batik di Tirtomoyo dari tahun 19652000.29 1. Perkembangan Ragam Hias Batik tahun 1960-1964 Ragam hias batik Tirtomoyo tahun 1960-an mengikuti kegiatan kenegaraan. Pada tahun 1963, ketika diselenggarakan Ganefo (pesta olahraga dari kelompok negara-negara komunis dan penentang imperialis-kapitalis), para pengusaha banyak menerima pesanan batik ragam hias jlamprang dengan warna dasar biru benhur (biru benhur merupakan warna yang sedang digemari pada waktu itu).Ragam hias jlamprang tampak berupa garis-garis yang terkumpul memusat menjadi satu, kemudian terdapat pula ornamen bunga.Jadi motif jlamprang ini merupakan kombinasi antara kumpulan garis yang memusat dan motif bunga dengan susunan teratur yang berselang-seling.Tata warna batik ini disebut kelengan (terdiri dari warna biru
dan
putih).Ragam
hias
jlamprang ini
mengambil
dari
ragam
hias
Pekalongan.Motif Jlamprang merupakan perkembangan motif nitik, motif ini terdapat pula sebagai hiasan pada dinding candi Prambanan.30Di samping ragam hias jlamprang dibuat pula batik dengan ragam hias variasi, yaitu warna dasar tetap biru
29
Wawancara dengan Kaharudin Ahmad Pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni 2010 jam 10:00 WIB. 30 Haryono, Bejo. 2004. Makna Batik dalam Kosmologi Orang Jawa. Yogyakarta: Direktorat Permuseuman. Hal 20.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
benhur, tetapi bermotif bunga mawar, wayang, dan garuda.Makna filosofis dari ketiga motif tersebut menunjukkan ciri dari Indonesia. 2. Perkembangan Ragam Hias Batik tahun 1965-1969 Pada era Orde Baru mulai tahun 1965 diberlakukan seragam bagi para pegawai negeri dengan batik ragam hias Golkar (Golkar merupakan organisasi massa pada pemerintahan Orde Baru). Ragam hias ini bermotif pohon beringin dengan sulur-suluran tanaman di sekitarnya. Warna dasar yang digunakan masih biru, akan tetapi biru yang dipakai lebih menjurus ke biru abu-abu. Batik Tirtomoyo pada masa itu mulai mengalami perkembangan.Dari segi motif, mulai lebih bervariasi dan dari segi tata warnanya juga mengalami pergeseran. Warna yang digunakan lebih cerah dan mengambil desain-desain dari daerah lain. Pada masa tahun 1960-an perkembangan ragam hias batik di Tirtomoyo berdasarkan pada kegiatan atau kondisi negara yang bersangkutan.31
Batik Tahun 1960-an
31
Wawancara dengan Kaharudin Ahmad Pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni 2010 jam 10:00 WIB.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
Gambar 7.
Pada tahun 1960-an menggunakan motif dengan warna yang lebih cerah dan mengambil desain-desain dari daerah lain. Sumber: www.batikindonesia.com. (Minggu, 15 April 2012, 20:33 WIB).
3. Perkembangan Ragam Hias Batik Tahun 1970-1980 Pada masa ini berkembang pesat batik dengan ragam hias Sido Wirasat.Wirasat berarti nasehat.Pada ragam hias ini selalu terdapat ragam hias truntum. Ragam hias Sido Wirasat melambangkan harapan bahwa orang tua akan menuntun serta memberi nasehat kepada kedua mempelai yang akan memasuki hidup berumah tangga.32Ragam hias Sido Wirasat ini dipakai pada upacara perkawinan, biasanya dipakai oleh orang tua mempelai.Ragam hias Sido Wirasat ini sebenarnya termasuk ragam hias kraton.Dari segi warna, warna dasar yang dipakai adalah hitam.Dari segi motifnya, berupa perpaduan antara truntum, tambal, dan kawung.Ragam
hias
Sido
Wirasat
ini
berkembang,
karena
budaya
dari
masyarakat.Masyarakat Tirtomoyo yang termasuk dalam lingkup daerah kekuasaan
32
Djoemena, Nian S. 1986. Ungkapan Sehelai Batik. Jakarta: Djambatan. Hal 13.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
kraton, memiliki adat istiadat atau tradisi yang kuat.Demikian pula dalam penyelenggaraan upacara perkawinan.Pemakain ragam hias Sido Wirasat ini telah menjadi tradisi bagi mereka.33 Batik Sido Wirasat
Gambar 8.
Ragam hias Sido Wirasat yang dipakai pada upacara perkawinan, biasanya dipakai oleh orang tua mempelai Sumber: Dokumentasi pribadi bapak Kaharudin Ahmad pengusaha batik Tirtomoyo.
4. Perkembangan Ragam Hias Batik Tahun 1980an Pada tahun 1980-an, seorang ahli dan seniman batik yaitu KRH Honggopuro menciptakan ragam hias batik dengan motif Semen (flora, fauna).Pada motif batik yang tergolong motif semen selalu terdapat ornamen yang menggambarkan tumbuhan 33
Wawancara dengan Kaharudin Ahmad Pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni 2010 jam 10:00 WIB
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
atau tanaman.34Ragam hias ini banyak diminati oleh masyarakat.Warna dari ragam hias ini tampak cerah berbeda dengan warna ragam hias kraton yang cenderung gelap. 5. Ragam Hias Batik Tahun 1990-2000 Ragam hias yang berkembang pada masa itu adalah ragam hias Jahe-jahean dan Klewer.Ragam hias yang sebelumnya didominasi warna cerah kini kembali lagi ke ragam hias yang cenderung gelap.Hal tersebut tentu saja kembali pada selera masyarakat yang mulai menyukai motif klasik.Ragam hias jahe-jahean memiliki arti sebagai lambang kekayaan alam yang melimpah terutama hasil pertanian.Ragam hias jahe-jahean ini memiliki warna dasar hitam, denga bunga-bunga kecil berwarna coklat.Kemudian tampak motif tanaman rimpang, yang miripdengan tanaman jahe.Hingga ragam hias ini disebut ragam hias jahe-jahean. Perkembangan ragam hias di tahun 2000-an, kembali lagi ke ragam hias dengan motif yang dinamis.Warna kembali cerah dan motif pun beraneka ragam, seperti motif bunga maupun motif geometris.Sebagai contoh ragam hias Ceplok, dengan warna dasar merah kecoklatan.Pada tiap bidang ruang terdapat motif tanaman dan bunga.Ragam hias ini termasuk ragam hias kontemporer.
34
Haryono, Bejo. 2004. Makna Batik dalam Kosmologi Orang Jawa. Yogyakarta: Direktorat Permuseuman. Hal 22.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
Batik Ragam Hias Ceplok
Gambar 9.
Ragam hias ceplok dengan warna cerah dan motif yang beraneka ragam Sumber: Dokumentasi pribadi bapak Kaharudin Ahmad pengusaha batik Tirtomoyo.
Selain itu motif Semen (bunga) juga sangat digemari masyarakat.Motif bunga yang diciptakan cukup bervariasi.Warna dasar hijau, motif bunga dibuat memenuhi bidang, dengan ukuran besar dan warna bermacam-macam.Dari perkembangan ragam hias tiap-tiap periode, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya, seperti: situasi negara, karya atau cipta, bentuk motif (selera masyarakat). Perkembangan yang pasti yaitu perkembangan ragam hias dari kerajaan atau kraton hingga ke ragam hias dengan motif dinamis atau kontemporer. Disamping itu, perkembangan ragam hias batik di Tirtomoyo juga dipengaruhi oleh ragam hias batik dari daerahlain, terutama daerah pesisir.35
35
Wawancara dengan Kaharudin Ahmad Pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni 2010 jam 10:00 WIB.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
Perkembangan ragam hias tersebut juga tidak lepas dari perkembangan peralatan dalam pembatikan, maupun perkembangan pewarnaannya. Peralatan dalam membatik diawali dengan canting, cap hingga printing (meskipun printing tidak masuk dalam kategori batik), dalam pewarnaan pada mulanya pewarnaan batik menggunakan bahan pewarna alami, seperti: getah pohon, daun-daunan, kulit buah, kemudian berkembang menggunakan pewarna kimia agar prosesnya lebih cepat dan warna yang dihasilkan lebih bervariasi. Di samping itu peranan dari para designer atau seniman juga berperan dalam perkembangan ragam hias batik, karena melalui mereka ragam hias-ragam hias batik banyak tercipta, meskipun demikian ragam hias klasik pun tidak ditinggalkan, karena ragam hias klasik memiliki motif dasar yang kemudian dikembangkan dalam batik dengan motif dinamis atau kontemporer.
D. Peranan Pemerintah terhadap Perkembangan Industri Batik di Tirtomoyo Batik merupakan warisan dari nenek moyang yang telah berkembang sejalan dengan proses waktu, ada kalanya industrinya mengalami pasang surut. Untuk itu dilakukan usaha-usaha dalam mengembangkan dan melestarikannya agar tidak begitu saja tertelan budaya bangsa lain. Dalam usaha-usaha pengembangan batik Tirtomoyo tidak terlepas dari usaha yang dilakukan oleh pemerintah, pengusaha dan pengrajin sendiri. Dukungan terhadap pengembangan batik Tirtomoyo, antara lain : a.
Pemerintah berusaha membina pengrajin agar mampu menjadi pengrajin mandiri, sehingga tidak tergantung lagi pada pengusaha-pengusaha Cina. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
b.
Bagi para pengusaha diberikan dispensasi dalam peminjaman modal di bank berupa KIK (Kredit Investasi Kecil). Mereka diberi kemudahan-kemudahan peminjaman.
c.
Para pengusaha batik berusaha menciptakan kreasi-kreasi baru dalam motif batik, baik dengan mengambil motif-motif dari daerah lain ataupun dengan melahirkan kreasi sendiri, namun tetap mempertahankan ciri khas Tirtomoyo.
d.
Usaha yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan, yaitu berusaha mengenalkan motif-motif kreasi baru yang diambil dari daerah lain dan juga pengenalan terhadap teknologi baru. Dalam upaya melestarikan batik Tirtomoyo, pemerintah dalam hal ini Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Wonogiri melakukan beberapa upaya-upaya: a.
Memberikan penyuluhan tentang cara-cara pembuatan batik dan motif-motif batik kreasi baru.
b.
Memberikan pendidikan ketrampilan membatik pada para pengrajin, khususnya generasi mudanya sebagai pewaris kebudayaan bangsa.
c.
Memberikan bimbingan agar nantinya para pengrajin mampu menjadi pengrajin yang mandiri dan mampu menciptakan kreasi-kreasi baru sendiri.
d.
Mengadakan pengadaan dan penyediaan bahan bagi pengrajin yang kekurangan modal.
e.
Memberikan informasi tentang keadaan pasar batik, teknik-teknik membatik yang baru. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
f.
Menempatkan kerajinan batik ini kedalam ruang cindera mata di Kotamadya agar nantinya setiap pengunjung dapat melihat secara langsung.
g.
Mengikutsertakan batik Tirtomoyo dalam pameran-pameran baik yang bersifat nasional maupun internasional. Usaha pengembangan batik Tirtomoyo tentu saja juga mengalami hambatan
dan rintangan. Hambatan-hambatan pengembangan batik Tirtomoyo, antara lain: a.
Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, terutama para pengrajin batik sendiri yang rata-rata hanya lulusan sekolah dasar, hanya sedikit yang mengenyam pendidikan sekolah menengah pertama, bahkan ada juga yang tidak tamat Sekolah Dasar. Mereka pada umumnya para pengrajin yang sudah tua-tua.
b.
Banyak kaum muda yang meninggalkan usaha membatik dan pergi merantau ke kota-kota besar, karena mereka merasa usaha membatik tidak lagi bisa mencukupi kebutuhan hidup. Mengingat semakin besarnya tuntutan kebutuhan hidup yang dihadapi dan upah yang diterima sudah tidak sebanding lagi. Lagi pula usaha membatik ini memerlukan suatu ketekunan dan ketelatenan yang tidak semua orang memilikinya
c.
Ketrampilan membatik di Tirtomoyo, meskipun diwariskan secara turun temurun namun hanya sebatas nglengkrengi dan nerusi selebihnya yang meneruskan perusahaan. Jadi mereka hanya dapat bekerja sebagai buruh perusahaan, belum dapat mandiri.
d.
Bagi para pengusaha Cina, mereka tetap memegang rahasia dalam teknologi pewarnaan batik, meskipun para pengrajin telah mendapat pembinaan dari commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
pemerintah dalam teknologi pewarnaan batik tetap tidak dapat sebagus batik yang dihasilkan perusahaan milik orang Cina. e.
Dalam bidang permodalan terjadi perbenturan, karena terbatasnya modal sehingga menyebabkan kalah bersaing dengan usaha batik dari daerah lain. Usaha-usaha yang dilakukan tersebut mengingat batik merupakan:
a.
Sebagai salah satu karya seni dan budaya bangsa.
b.
Usaha pembatikan mampu menciptakan lapangan kerja bagi penduduk.
c.
Mempunyai arti penting dalam segi perekonomian bangsa, karena disamping meningkatkan taraf hidup masyarakat, batik juga dapat dijadikan komoditi ekspor non migas.36
36
Wawancara dengan Tarmi Pengusaha Batik desa Wiroko Kecamatan Tirtomoyo pada tanggal 30 Juni 2010 jam 13:00 WIB.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV FAKTOR - FAKTOR YANG MENYEBABKAN PASANG SURUTINDUSTRI BATIK TRADISIONALDI TIRTOMOYO
A. Pasang Surut Industri Batik di Tirtomoyo 1950-2000 Iklim usaha adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan suatu usaha.Pada masa kabinet Parlementer tahun 1950-1957, ada suatu kebijakan yang tampak pada Rencana Urgensi Perekonomian yang dimaksudkan untuk melindungi dan mengembangkan pengusaha pribumi dari persaingan dengan pengusaha Cina maupun asing, sedangkan pada masa Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959-1965, melalui Deklarasi Ekonomi (Dekon) mekanisme pemerintah untuk mengontrol dunia usaha swasta dilaksanakan dengan bentuk berbagai OPS (Organisasi Pekerja Serikat) dan GPS (Gabungan Pekerja Serikat), sehingga unsur-unsur dari sistem kapitalis yang bersifat free fight diharapkan dapat dihapuskan. Dalam kontek inilah maka peranan koperasi sangat diharapkan dalam membentuk lingkungan sosialisme Indonesia. Suatu pelajaran yang dapat ditarik pada masa Demokrasi Terpimpin adalah semakin menguatnya peranan negara dalam mengubah “Perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional”.Seperti dikemukakan oleh Presiden Soekarno, bahwa perekonomian nasional tidak memiliki tempat bagi penanaman modal negara-negara industrial, demikian pula Indonesia tidak boleh menjadi sumber bahan mentah yang mereka perlukan atau menjadi pasar bagi barang jadi commit to user
69
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
mereka. Oleh karena itu, tidak lama setelah mendekritkan sistem Demokrasi Terpimpin-nya pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mencabut UndangUndang Penanaman Modal Asing yang pertama di Indonesia yang telah disetujui oleh Parlemen pada tanggal 15 September 1958. Undang-Undang itu disiapkan oleh Biro Perancang Nasional pada tahun 1953 dan oleh Kabinet Ali kedua pada bulan Agustus 1956.1 Perkembangan batik di Tirtomoyo mulai pesat ketika Koperasi batik yang bergabung dalam GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) turut membantu para pengusaha dalam penyediaan bahan mentah berupa kain mori dan obat pewarna untuk batik. Dalam kondisi demikian para pengusaha batik Tirtomoyo memperoleh keuntungan yang melimpah, karena melalui koperasi diperoleh kain mori maupun obat-obat pewarna batik dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga di pasaran bebas, selain itu koperasi turut pula dalam membantu permodalan bagi para pengusaha dan pemasaran kain batik. Pada waktu itu pemerintah juga sedang aktif meningkatkan kekuatan ekonomi nasional, khususnya pengusaha pribumi melalui Rencana Urgensi Perekonomian dan Program Benteng.Kebijakan ini secara eksplisit berusaha melindungi dan mengembangkan pengusaha-pengusaha pribumi serta menekan pengusahapengusaha dari kalangan Cina. Hal ini dilakukan dengan jalan menyediakan konsesi impor alokasi devisa dan kredit hanya bagi pengusaha-pengusaha pribumi.
commit to user Yahya Muhaimin. 1991. Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 19501980. Jakarta: LP3ES. Hal 101. 1
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
Kejayaan batik tradisional Tirtomoyo menjadikan Tirtomoyo dikenal sebagai sentra kerajinan batik di Wonogiri.Hampir seluruh masyarakat Tirtomoyo menggantungkan hidupnya dari usaha batik.Sebagai pemilik perusahaan maupun menjadi buruh di perusahaan-perusahaan batik hubungan kekeluargaan diantara para pengusaha batik pun sangat kuat. Para pengusaha batik ini membentuk ikatan kerja sama melalui hubungan keluarga untuk menguasai pasaran dan saling menjaga kelangsungan modalnya masing-masing.2Tirtomoyo juga dikenal sebagai kampung yang sangat maju, berkat pesatnya perkembangan perusahaanperusahaan batik tradisional.Para pengusaha batik berlomba membangun rumah yang mewah, dengan ciri khas dinding atau temboknya yang tinggi.Selain itu didirikannya pabrik mori, sebagai bahan baku batik turut berperan pula meningkatkan taraf hidup masyarakat Tirtomoyo, karena pabrik mori tersebut menyerap cukup banyak tenaga kerja. Memasuki masa Orde Baru, industri tenun dan batik Tirtomoyo menunjukkan suatu gejala kemerosotan.Perkembangan nilai produksi kain mori maupun batik tidak sepesat dalam periode 1960-1965.3 Gejala kemerosotan industri tenun maupun batik Tirtomoyo di masa Orde Baru ini disebabkan karena: 1. Bahan Baku yang Sulit Diperoleh Faktor bahan baku juga merupakan penyebab turunnya industri batik di Tirtomoyo. Seperti penjelasan dari salah satu informan, pada tahun-tahun sebelumnya bahan baku yang akan dijadikan bahan batik sangat mudah diperoleh
2
Wawancara dengan Tarmi Pengusaha Batik desa Wiroko Kecamatan Tirtomoyo pada tanggal 30 Juni 2010 jam 13:00 WIB. 3 to user Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni Wawancara dengan Kaharudincommit Ahmad Pengusaha 2010 jam 10:00 WIB.
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan harganya pun sangat murah, karena pada waktu itu peran koperasi sebagai importir tunggal masih diakui oleh pemerintah, sehingga masih mempermudah para pengusaha untuk mendapatkan dengan mudah dan harga yang cukup murah, tetapi pada tahun berikutnya koperasi sebagai importir tunggal sudah tidak diakui lagi oleh pemerintah, sehingga para pengusaha sudah mencari bahan sendiri dengan harga yang mahal dan sulit diperoleh, dan juga orang-orang Cina sudah mulai tahu tentang bahan-bahan batik yang akan dipergunakan oleh para pengusaha Tirtomoyo. Akhirnya penyediaan dan harga bahan pun dipermainkan oleh orang-orang Cina. 2. Upah dan Tenaga Kerja Pada tahun sebelumnya tenaga kerja bukan merupakan faktor yang sangat dipertimbangkan, ketika itu para pengusaha belum dituntut oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja untuk memenuhi standar UMR (Upah Minimum Regional) sebesar Rp 350.000,-. Dari para pengusaha yang sebenarnya belum mampu untuk memenuhi standar UMR, akhirnya dipaksakan untuk mengikuti UMR yang diharuskan pemerintah. Jika tidak dapat memenuhi UMR perusahaan tersebut harus gulung tikar dan itu pun masih harus memberi pesangon kepada karyawannya.Hal ini juga yang mempengaruhi mundurnya industri batik di Tirtomoyo. Melihat kondisi industri batik Tirtomoyo yang cenderung mengalami kemunduran, ternyata masih ada pengusaha yang eksis di tengah situasi seperti itu.Pengusaha batik yang masih eksis pada umumnya memproduksi batik printing, commit to user
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ditambah dengan batik cap dan tulis.Untuk saat ini hampir tidak ada pengusaha yang memproduksi khusus batik tulis saja. Sehubungan dengan masalah di atas maka seorang pengrajin batik dalam menyeleksi tenaga kerja anak-anak mereka dan tenaga kerja buruhnya, dirumuskan dengan tepat berdasarkan nilai semangat kerjaan tidak memandang unsur ikatan-ikatan non ekonomis, tetapi lebih ditekankan pada prestasi kerja, sehingga dalam perumusan itu terdapat kategori sosial yang mencakup kriteria: usia, jenis kelamin dan status perkawinan. 3. Persaingan dengan industri tekstil dan batik modern Perkembangan industri batik Tirtomoyo tidak dapat dipisahkan dari perkembangan industri sejenis yang berada di sekitarnya.Di Wonogiri industri tekstil
meliputi
kegiatan
pertenunan,
finishing,
konveksi
dan
sebagainya.Perkembangan industri tekstil maupun batik modern sebenarnya tidak hanya menimbulkan persaingan bagi batik tradisional di Wonogiri, khususnya Tirtomoyo.Daerah-daerah pembatikan lainnya juga mengalami hal serupa.Pada tahun 1960-1970-an masih banyak kaum wanita yang mengenakan kain dan kebaya, di tahun-tahun berikutnya memakai kain sudah tidak lagi dianggap praktis, dengan demikian selera terhadap batik juga mengalami kemerosotan. Meskipun secara khusus di Tirtomoyo antara tahun 1960-1970 tekstil terdesak oleh masuknya jenis batik printing, namun alasan serupa telah banyak diungkap oleh kalangan perbatikan di berbagai daerah seperti Madura, Sidoarjo, Ponorogo, Yogyakarta, Surakarta, Tasikmalaya, Cirebon dan DKI Jakarta yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
mengungkapkan bahwa beberapa tahun kemudian setelah tahun 1979-an mutu batik printing berhasil ditingkatkan, sehingga dengan ongkos produksi yang rendah, batik printing dapat dijual dengan harga jauh di bawah harga batik tradisional. Jika pada tahun 1970-an diperkirakan batik tradisional menguasai 60% pasaran batik, dan sisanya untuk batik printing. Pada era berikutnya keadaan telah berubah, pasaran batik printing telah menguasai 70% pasar dengan sisanya untuk batik tradisional. Bahkan, menurut salah satu informan, yaitu Tarmi, diperkirakan untuk saat ini batik tradisional hanya mempunyai peluang 10% saja untuk menembus pasar, sedangkan 90% lainnya akan diambil oleh batik printing, sehingga dalam kaitan ini munculnya teknologi baru di bidang pembatikan belum dapat dikuasai oleh sebagian besar pengusaha batik Tirtomoyo. Menurut penuturan salah seorang pedagang batik4, seiring dengan perkembangan zaman motif batik semakin kompleks, karena tuntutan pasar dan untuk keperluan industri, para pengusaha cenderung memilih cara pembuatan batik yang lebih cepat dan modern, maka yang terjadi banyak pengusaha yang meniru, menembak motif lantaran antara batik printing dan batik tulis jika tidak cermat sulit untuk membedakannya. Akhirnya hal tersebut mewabah ke manamana tidak hanya pada batik, tetapi juga pada jenis-jenis kain yang lain. Mereka berlomba ke dalam motif yang bagus dan murah. Sekarang ini banyak terjadi kekaburan tentang motif batik yang asli atau baku, karena banyak bermunculan
commit to user Wawancara dengan Wiyono pedagang batik pasar Baturetnopada tanggal 5 Juni 2010 jam 09.00 WIB. 4
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
motif-motif tiruan yang lebih bervariasi, meskipun banyak pula motif yang hampir mirip dengan motif asli. Namun sebenarnya jika dicermati terdapat perbedaan mendasar antara batik tulis dan batik printing, yaitu batik tulis tidak konsisten dalam corak dan klowongannya.Juga ada perbedaan mana yang bagian luar dan mana yang bagian dalamnya. Untuk batik printing hal tersebut sulit dilakukan karena semuanya telah dibuat sama. Pada saat ini orang cenderung sulit untuk membedakan batik tulis dengan printing.Dari segi harga tentu saja jauh lebih mahal batik tulis dikarenakan proses pembuatannya yang lebih rumit dengan proses yang lama, di samping itu nilai seni batik tulis lebih tinggi apabila dibandingkan dengan batik printing. Pada masa kejayaannya, penjualan batik lebih cepat dan kini hanya tinggal menghabiskan stok lama, apalagi untuk batik tulis.Bahkan sampai sekarang ini masih tersimpan batik tulis yang dua tahun lalu dibuat dan kini belum laku terjual.Kondisi ini diperparah dengan lagi munculnya aksi pembajakan motif batik yang terjadi di berbagai daerah.Adanya kecenderungan batik printing untuk mengangkat motifmotif tradisional ke dalam bahan yang cukup halus, membuat konsumen yang tidak paham masalah batik menjadi terkelabuhi.Batik printing murahan untuk konsumen kelas menengah ke bawah, sedang batik printing kualitas tinggi dirancang untuk konsumen kelas menengah ke atas.Sekarang ini batik lebih dikenal sebagai barang seni, bukan sebagai bahan pakaian harian. Dalam perkembangannya pun para pengusaha lebih banyak memproduksi barang jadi, commit to user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seperti rok, hem, taplak meja, sarung bantal-guling, dan lain-lain daripada memproduksi kain batik utuh. Kemunculan industri batik besar yang lebih modern, seperti Batik Keris turut pula menghantam industri batik tulis. Dampak ekspansi jenis perusahaan ini benar-benar memukul keberadaan industri batik tulis, sehingga pada akhir dekade 1970-an itu pengrajin batik yang semula menyemarakkan kegiatan rumah tangga di Tirtomoyo dan sekitarnya, Pekalongan, Tulung Agung, Ponorogo, dan beberapa kota lainnya menjadi lumpuh. Disamping Batik Keris, berdiri pula perusahaan batik milik pribumi, yaitu Batik Danar Hadi dan Batik Semar (milik Cina). Ketika era batik telah dating pada tahun 1990-an, pengrajin batik yang secara historis punya hak moral untuk menikmati kejayaan batik, ternyata harus gigit jari. Menurut Departemen Perindustrian, dari puluhan ribu industri rumahan yang pernah ada, kini hanya tinggal 5.000-an industri rumahan yang masih aktif di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur.5 4. Kelemahan Modal Pemasaran Kaharudin menuturkan, beroperasinya batik printing yang membutuhkan modal
besar
merupakan
saingan
yang
menggeser
batik
tradisional
Tirtomoyo.6Kenyataan ini didasarkan bahwa sebagian besar pengusaha batik Tirtomoyo adalah pengusaha yang menghimpun modal sendiri dari laba yang 5
Istiqom, Ahmad. 1993. „Batik, Busana Adi dari Zaman Kraton‟. Dalam Warta Ekonomi.No. 41.Hal 3. 6 to user Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni Wawancara dengan Kaharudincommit Ahmad Pengusaha 2010 jam 10:00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id
77 digilib.uns.ac.id
diperoleh sedikit demi sedikit.Mereka mengalami kesulitan untuk mencari kredit di bank dengan skala menengah.Pada umumnya bank-bank pemerintah telah memberikan kredit kepada pengusaha-pengusaha batik printing skala besar dengan jumlah puluhan sampai ratusan miliar rupiah.Sementara yang diperlukan oleh pengusaha-pengusaha batik skala kecil dan menengah hanya puluhan sampai ratusan juta rupiah. Melihat kondisi seperti itu, maka banyak pengusaha batik yang sedikit frustasi berhadapan dengan bank-bank pemerintah, akhirnya mereka harus mencari alternatif ke bank lain dan itu pun tidak mudah. Banyak bank-bank swasta sekalipun yang bisa menyalurkan kredit dalam skala menengah, persyaratan yang diminta cukup rumit dan bunganya juga cukup tinggi, di atas 2,5 persen per bulan. Untuk pemasaran batik sebelumnya tidak ada hambatan, karena pada waktu itu peran koperasi batik Surakarta masih diandalkan. Dalam hal ini masih mau menampung dan memasarkan ke pihak-pihak konsumen dengan harga dan hasil yang tidak kalah dengan dijual sendiri pada konsumen langsung.Akan tetapi kemudian pemasaran batik mengalami kesulitan dikarenakan koperasi sudah tidak lagi memasarkan ke pihak konsumen langsung, tetapi para pengusaha langsung memasarkannya sendiri ke konsumen. B. Dampak Pasang Surut Industri Batik Tirtomoyo Dampak pasang surutnya industri batik trjadi karena perubahan konsep dari ali babi menjadi baba ali. Konsep ali baba adalah suatu kebijakan yng dilakukan pengusaha cina meminta kerja sama dari pemerintah untuk melindungi batik kerisnya. Hal ini dimafaatkan oleh pengusaha cina untuk mengambangkan usaha batiknya.Akan tetapi pada tahun 1970-1980 berubah konsep dari ali babake commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
78 digilib.uns.ac.id
baba ali, yaitu pengusaha cina memanfaatkan kebijakan yang dilakukan pemerintah dan bisa mengusai sektor – sektor industri batik. Dampak lain yang ditimbulkan karena merosotnya industri batik antara lain: 1. Dalam Bidang Sosial Dalam Bidang Sosial pada pembahasan perkembangan industri batik Tirtomoyo pada tahun 1960-1965, desa Tirtomoyo telah membentuk masyarakat yang menghargai nilai-nilai ekonomis dan keagamaan, keberhasilan ekonomis dan keagamaan merupakan dua prasarat penting yang dibutuhkan untuk mendapatkan status sosial, sehingga adanya kebijakan Pemerintah yang melindungi terhadap keberadaan industri mereka memberikan dorongan kemajuan terhadap industri utama mereka, yaitu tekstil dan batik. Dengan ungkapan lain, perkembangan pusat ekonomi masyarakat Tirtomoyo telah memperoleh dukungan baik secara politik maupun budaya.7 Perkembangan pesat yang telah diraih pada masa sebelumnya ternyata harus mengalami kemerosotan.Kemerosotan ini telah pula menjauhkan harapanharapan masyarakat Tirtomoyo dalam kesadaran mereka yang sangat menghargai nilai-nilai kewirausahaan.Suatu gejala umum yang dapat dilihat pada masyarakat Tirtomoyo adalah timbulnya keputusasaan sebagai akibat dari zaman keemasan atau kejayaan yang pernah mereka rasakan telah berlalu. Di sisi lain etos kewiraswastaan yang semestinya diregenerasikan pada penerusnya kurang mendapat respon yang berarti. Kenyataan ini didasarkan bahwa semakin banyaknya anak-anak yang mengenyam pendidikan, dikemudian to user Wawancara dengan Satiyemcommit pengusaha batik dari desa Hargantoro Kecamatan Tirtomoyo pada tanggal 14 Juni 2010 jam 14.00 WIB. 7
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hari mereka lebih memilih bidang-bidang pekerjaan kantoran atau bekerja di luar kota. Dunia usaha batik sebagai asal mereka dibesarkan telah mulai ditinggalkan bersamaan dengan merosotnya penilaian generasi muda terhadap bidang usaha pendahulunya, dengan ungkapan lain gejala ini juga menunjukkan merosotnya entrepreneurship di kalangan generasi muda Tirtomoyo di masa yang akan datang. Orang Tirtomoyo, dalam lingkungan masyarakat Wonogiri dikenal sebagai pekerja yang rajin, tekun, dan tabah.Terutama peranan pengusaha perempuan yang cukup besar dalam perusahaan dan keluarga, dalam setiap harinya mereka hanya istirahat dalam waktu yang cukup sedikit, selebihnya hanya disediakan untuk bekerja di perusahaan dan di pasar-pasar sandang.Semangat kerja mereka sangat
tinggi,
bila
dibandingkan
dengan
pekerjaan
para
suami
di
perusahaan.Kebanyakan dari saudagar wanita Tirtomoyo yang memiliki etos kerja tinggi, adalah mereka yang pertama kali membuka usaha keluarga, kemudian generasi kedua, atau ketiga wanita. Biasanya sesudah generasi ketiga semangat enterpreneur mereka semakin menurun, bahkan menjadi lenyap sama sekali bila diturunkan kepada anak laki-laki. Menurut penuturan para warga,8 bahkan dewasa ini semangat kerja yang tinggi biasanya justru dimiliki oleh wanita-wanita yang belum pernah mengenal sekolah. Anak-anak yang sudah disiapkan oleh orang tuanya untuk meneruskan usaha keluarga, biasanya memang sengaja tidak disekolahkan, karena itu dari sejak umur enam tahun anak itu sudah dididik memahami cara mengurus commit to user Wawancara dengan Tarmi Pengusaha Batik desa Wiroko Kecamatan Tirtomoyo pada tanggal 30 Juni 2010 jam 13:00 WIB. 8
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
perusahaan. Mereka ternyata dalam hal pendidikan informasi ini sangat jelas membedakan antara pengetahuan praktis yang lebih menekankan segi ketrampilan di pabrik, dan pengetahuan empiris dalam mengelola perusahaan.Anak-anak pengusaha umumnya lebih banyak disiapkan untuk memahami pengetahuan dari pengalaman orang tuanya, karena itu bukan ukuran lamanya pendidikan melainkan nilai pemahamannya. Sisi lain yang bisa dilihat tentang etos kerja para majikan adalah gagasan mereka untuk memproduktifitaskan tenaga laki-laki sebagai tukang cap dan buruhnya, dan mereka lebih memelih tenaga kerja yang sudah menikah. Hal ini dikarenakan para pekerja yang sudah berkeluarga, kehidupan dirinya sudah mapan dan seluruh gajinya hanya untuk kebutuhan keluarga. Mereka sudah meninggalkan masa bersenang-senang, karena itu mereka mau bekerja keras, disiplin dan penuh tanggung jawab, demi memenuhi kebutuhan rumah tangganya.9Para majikan baru memakai tenaga bujangan bila mereka betul-betul sudah mengenal pribadi pekerja itu. Majikan tidak pernah menerima pekerja bujangan yang belum dikenal, karena mereka ketakutan kalau pekerja itu ternyata pemalas, akan mudah mempengaruhi pekerja yang lain. Masalah lain yang cukup menarik adalah sikap majikan yang tak mengenal kompromi dengan siapapun. Baik dengan saudara sendiri, dengan adik-kakak, bahkan dengan anak-anaknya sendiri yang sudah mendirikan usaha lain. Mereka tidak mengenal batas-batas ikatan khusus yang sifatnya non ekonomis.Adik, kakak dan anak-anak mereka bisanya berdiri sendiri mengelola perusahaan commit to user Wawancara dengan Tarmi Pengusaha Batik desa Wiroko Kecamatan Tirtomoyo pada tanggal 30 Juni 2010 jam 13:00 WIB. 9
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
masing-masing. Dalam kontek yang seperti ini, masing-masing anggota keluarga itu akan memandang mereka sebagai orang lain yang menjadi saingan perusahaannya. Nilai pertolongan harus bisa diukur menurut pertimbangan pinjam meminjam sehingga pada saatnya yang tepat mereka akan meminta kembali nilai pertolongan itu. Prinsip ini nampaknya sangat rasionalistis, karena segala bentuk hubungan sosial antar warga masyarakatnya senantiasa diukur menurut kriteria untung dan rugi. Sebagai contoh, kehidupan keluarga Ibu Tarmi yang merintis usaha batiknya pada tahun 1962, telah berhasil menerapkan sistem kerja keluarga pedagang dalam kehidupan keluarganya.Ini memberikan gambaran sifat keluarga entrepreneur di Tirtomoyo.Kegiatan pagi diawali dengan membagi pekerjaan kepada semua buruh-buruhnya, yaitu kepada buruh mbatik dan buruh ngecap.Sementara pengusaha batik laki-laki memimpin buruhnya, terlibat dalam kegiatan pemrosesan batiknya, dan pengusaha batik wanita dan anak perempuannya menggunakan waktunya di siang hari untuk pergi ke pasar, menyetorkan hasil produksi, membeli kain mori serta menagih hutang kepada para langganan.Sore hari, kegiatan pabrik serta urusan pemasaran selesai dan keluarga ini disibukkan dengan perhitungan barang yang telah selesai dikerjakan.Gaji buruh diberikan serta membuat rancangan kerja untuk keesokan harinya.Malam hari, mereka menghitung hutang-piutang, menghitung uang ditangan langganan dan menghitung jumlah barang yang siap di jual. Para pengusaha biasanya menyalurkan batik hasil produksinya melalui koperasi.Dari koperasi ini kemudian didistribusikan kepada para pedagang besar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
82 digilib.uns.ac.id
atau pedagang kecil atau eceran.Dengan penyaluran melalui koperasi, jaringan penjualan menjadi lebih luas dan untungnya pun tidak kalah dengan jika dijual langsung kepada konsumen.Cara memasarkan dan memperdagang kain batik di Tirtomoyo itu pun terasa unik. Di kawasan Tirtomoyo, pusat-pusat batik seolah menutup diri dari proses manajemen transparan. Mereka memproduksi secara diam-diam di sebuah kawasan tertutup, dengan karyawan dan ahli batik yang tak bisa disebut massal.10 Produk-produk mereka memang sering dikenal oleh orang-orang yang tahu persis akan kualitas batik. Produksi batik di beberapa kota besar Jawa ini memang masih terlalu tertutup. Bahkan di kawasan Tirtomoyo, sebagai salah satu pusat batik di Wonogiri, para produsen enggan membuka show room (tempat pamer).Ini didasari atas rasa sungkan yang tinggi dengan sesama penjaja batik lainnya.Para pengrajin batik merasa takut untuk melakukan promosi karena bisa menimbulkan bumerang bagi citra produknya, lebih-lebih jika kelak ada produk yang justru lebih bagus dari yang ia tawarkan. Untuk perkembangan industri batiknya ditangani generasi lapis kedua atau ketiga, namun ada pula yang justru kian surut setelah generasi pertama tak memegang tampuk kepemimpinan. Generasi lapis kedua atau ketiga, tidak jarang malah lari dari bisnis di luar batik. Ada yang menggunakan modal keluarga untuk bisnis yang lain atau bahkan mencari pekerjaan di luar bisnis keluarga. Namun kebanyakan, bisnis batik di kawasan itu rata-rata bertahan karena eratnya komitmen kekeluargaannya.
commit user Wawancara dengan Kaharudin AhmadtoPengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni 2010 jam 10:00 WIB. 10
perpustakaan.uns.ac.id
83 digilib.uns.ac.id
2. Dalam Bidang Ekonomi a. Terancamnya industri batik tradisional oleh batik modern Terjadinya perubahan selera konsumen dan didorong lebih lanjut oleh produk batik printing yang didukung alat teknologi modern telah menyebabkan terjadinya penyempitan terhadap pemasaran batik tradisional.Pergeseran pasar ini pula telah mengakibatkan pergeseran dalam kepemilikan perusahaan, dan pergeseran daerah sebagai “sumber batik”. Apabila pada tahun-tahun sebelumnya pasaran batik didominasi oleh para pengusaha batik tradisional dari daerah-daerah seperti Yogyakarta, Ponorogo, Surakarta dan Wonogiri termasuk Tirtomoyo khususnya, maka kini “kekuasaan” itu telah beralih ke Jakarta, karena bermula dari Jakarta inilah batik printing telah mengalami perbaikan teknologi terutama sekitar tahun 1970-1980-an. Selain kelebihan dalam hal teknologi yang dapat menyamai kualitas batik tradisional, keadaan ini juga diuntungkan karena adanya “sistem tembak” (copy) dari desain batik tradisional sehingga dapat diperoleh hasil desain yang benarbenar serupa dengan batik yang dicopy.11Dengan demikian industri batik yang juga menuntut kreatifitas para produsen untuk menciptakan motif-motif baru dalam desainnya, secara tidak langsung dirugikan oleh adanya sistem tembak ini. b. Berkurangnya jumlah produsen batik Tirtomoyo Salah satu petunjuk berkembangnya industri, batik telah mengalami peningkatan maupun kemerosotan dapat ditunjukkan dengan banyak sedikitnya commit toTradisional user Simandjuntak, Edward. S. 1982. „Batik Makin Terpojok, Labelisasi untuk apa?‟ Dalam Prisma. No. 72.Hal 7. 11
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
orang yang bekerja pada sektor tersebut.Demikian pula industri batik Tirtomoyo yang telah mengalami kemerosotan pada masa sesudah Orde Baru dapat diketahui dengan semakin berkurangnya pengusaha industri tersebut.Meskipun secara eksplisit tidak disebutkan pengusaha industri yang bergerak di lapangan tertentu, namun dengan memperhatikan keterangan dari beberapa informan dapat disimpulkan bahwa pengusaha industri yang dimaksud sebagian besar adalah pengusaha batik. Berkurangnya pengusaha batik yang sudah gulung tikar atau bangkrut, pengrajin batik semakin kesulitan untuk tetap bisa bertahan, meskipun ada juga yang masih bisa meraih sukses. Kebanyakan para pengrajin itu mewarisi usaha pembuatan batik dari orang tuanya.Kelemahan utama para pengrajin batik yang menyebabkan banyak yang gulung tikar adalah pola manajemen yang digunakan.Mereka menggunakan manajemen keluarga untuk menjalankan roda bisnisnya.Dengan manajemen keluarga, maka mereka hanya menerima warisan dari para pendahulunya.Lebih parahnya hasil kerja dari penerusnya tidak seprofesional dari pendahulunya.Pola manajemen semacam itu juga menyebabkan para ahli waris usaha batik itu justru saling memperebutkan warisan.Dengan pola pikir yang demikian, maka banyak pengusaha batik yang gulung tikar.Padahal dulu kampung Tirtomoyo dikenal sebagai tulang punggung untuk urusan pembuatan kain batik. Senada seorang informanberkata yaitu: “Penyebab banyaknya pengusaha yang gulung tikar diakibatkan karena tidak adanya proses regenerasi dari orang tua kepada anak-anaknya, artinya banyak para pengusaha batik yang tidak mempersiapkan anak-anaknya untuk commit to user
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
meneruskan usaha itu dengan baik, sehingga setelah dipegang generasi berikutnya perusahaan kebanyakan semakin mengalami kemunduran”.12 c. Pergeseran-pergeseran dalam lapangan kerja lainnya
Terjadinya pergeseran-pergeseran dalam lapangan kerja, karena sektor pembatikan sudah tidak dapat lagi diharapkan prospeknya terutama dikalangan generasi berikutnya, sehingga harus beralih pada jenis mata pencaharian lain. Ironisnya banyak anak pengusaha batik yang beralih profesi menjadi birokrat atau Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan di sini anak dari pengusaha batik yang menjadi birokrat justru lebih banyak daripada yang melanjutkan menjadi pengusaha batik. Bagi anak pengusaha yang berpendidikan tinggi, menjadi birokrat atau PNS adalah sebuah pilihan yang “lebih bergengsi” dibandingkan dengan menjadi pengusaha batik, mungkin dalam benak pikirannya mereka berpikir sudah sekolah tinggi-tinggi masa hanya bergelut dengan batik. Alhasil banyak diantara mereka yang memilih untuk menjadi birokrat.Justru yang meneruskan menjadi pengusaha batik adalah anak-anak pengusaha yang mempunyai latar belakang pendidikan yang tidak terlalu tinggi.
d. Merosotnya partisipasi sosial pengusaha batik Tirtomoyo
Dampak yang berupa kemerosotan partisipasi sosial, ditunjukkan dengan besar atau kecilnya dana-dana sosial yang diberikan para pengusaha terhadap masyarakat.Kemerosotan
partisipasi
sosial
tersebut
juga
serupa
commit to user Wawancara dengan Satiyem pengusaha batik dari desa Hargantoro Kecamatan Tirtomoyo pada tanggal 14 Juni 2010 jam 14.00 WIB 12
dengan
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
merosotnya
perkembangan
dana-dana
sosial
yang
diperbantukan
pada
masyarakat.Keadaan tersebut cukup beralasan karena kaitan antara keduanya terdapat hubungan yang sangat menopang, tetapi dalam hal ini perlu kiranya menjadi perhatian sebagaimana keterangan informan, bahwa di masa lalu jiwa sosial pengusaha-pengusaha batik di Tirtomoyo cukup bagus.13 Kejayaan Tirtomoyo sebagai pusat kegiatan bisnis batik karena banyak saudagar yang kaya raya didalamnya, kini hanyalah tinggal beberapa orang saja.Saat
ini
Tirtomoyo
tidak
ubahnya
seperti
kampung-kampung
lainnya.Keadaan di Tirtomoyo tidak seperti dulu lagi, karena para saudagar batik kini tinggal keturunannyadan sudah tak banyak lagi yang menekuni batik tulis.Kelangkaan adanya batik tulis memang sudah terjadi cukup lama. Lebihlebih ketika krisis moneter hingga pasca kerusuhan Mei 1998, perdagangan batik tulis mengalami keterpurukan yang sangat tajam karena harganya yang cukup mahal, pengerjaan batik tulis memerlukan proses yang cukup panjang dan rumit. Disamping itu biaya produksi mengalami kenaikan cukup tinggi, yang diikuti pula oleh
kenaikan
harga,
sehingga
jumlah
pembeli
semakin
mengalami
penurunan.Resiko untuk produksi batik tulis memang sangat tinggi.Cacat sedikit pembeli langsung menjatuhkan harga, disamping prosesnya yang begitu lama dalam pembuatan, sehingga untuk iklim perdagangan yang membutuhkan perputaran uang cepat, sulit untuk mengikuti.
commit to user Wawancara dengan Tarmi Pengusaha Batik desa Wiroko Kecamatan Tirtomoyo pada tanggal 30 Juni 2010 jam 13:00 WIB. 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN
Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Sejarah Perkembangan Industri Batik Tradisional di Tirtomoyo Tahun 1950-2000”, dapat disimpulkan: Pertama, daerah Tirtomoyo dikenal sebagai salah satu sentra industri batik mulai tahun 1960 di Wonogiri. Kegiatan pembatikan pada mulanya masih mempergunakan peralatan yang sederhana, yaitu canting. Ragam hias batik yang dihasilkan pun masih meniru ragam hias dari kraton, demikian pula dengan pewarnaannya yang cenderung gelap dan mempergunakan bahan pewarna dari alam. Industri batik tradisional di Tirtomoyo yang semakin maju, membuat para pengusaha berpikir untuk menciptakan peralatan membatik yang dapat menghasilkan batik lebih cepat daripada dengan menggunakan canting. Kemudian dibuatlah alat cap, di samping canting untuk memproduksi batik secara tradisional. Dari masa ke masa dunia perbatikan banyak mulai mengalami perubahan. Mulai dari ragam hias batiknya hingga peralatan dalam pembatikannya. Demikian pula dengan batik di Tirtomoyo. Ragam hias batik Tirtomoyo yang mulanya berupa ragam hias klasik lambat laun berkembang ke ragam hias yang dinamis atau bergaya kontemporer. Pewarnaannya pun mulai menggunakan warna yang beraneka ragam. Hal tersebut tak lepas dari permintaan pasar dengan kondisi yang berubah-ubah. Seperti adanya pengaruh dari kegiatan kenegaraan, motif yang sedang musim, maupun karya dari seseorang yang commit to user 87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
banyak digemari. Perkembangan peralatan untuk membatik secara tradisional, yaitu dari canting ke cap, dan ketika zaman semakin modern ditemukan teknologi baru dalam usaha perbatikan, yaitu alat printing atau sablon. Kedua, pesatnya perkembangan industri batik tradisional di Tirtomoyo tercipta dari kondisi masyarakat Tirtomoyo sendiri. Mereka memiliki etos kerja dan semangat dagang yang sangat tinggi dibandingkan masyarakat Wonogiri pada umumnya. Semangat kerja mereka, pada awalnya dilatarbelakangi akan adanya persaingan dengan pembatik dari kraton. Di samping itu, iklim usaha dan dukungan dari pemerintah turut pula berperan dalam berkembangnya industri batik tradisional. Ketiga, kejayaan industri batik tradisional di Tirtomoyo dari waktu ke waktu semakin memudar. Pergantian pemerintahan yang mengakibatkan berubah pula kebijakan usaha yang telah dijalankan, berperan besar dalam mematikan industri batik tradisional. Selain itu kemunculan alat printing membuat para pengusaha berpindah memproduksi batik dengan alat ini dibanding mempergunakan canting atau cap. Batik printing sendiri sebenarnya tidak bisa disebut dengan batik, istilah batik digunakan untuk kepentingan bisnis saja supaya dapat menarik konsumen. Di samping itu penyebab kemunduran industri batik tradisional disebabkan oleh lemahnya dalam permodalan, merosotnya peran koperasi, sulitnya bahan baku dan tenaga kerja. Kemunduran industri batik tradisional di Tirtomoyo tentu memberikan dampak bagi kehidupan masyarakatnya, baik di bidang sosial maupun ekonomi. Kerajinan batik sebagai hasil dari kerajinan tradisional masyarakat, diharapkan nilaicommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 89
nilai yang terkandung di dalamnya dapat tetap hidup dan berakar kuat pada generasi yang akan datang. Untuk itu diperlukan upaya untuk melestarikan hasil warisan kebudayaan nenek moyang kita.
commit to user