Sejarah dan Masa Depan CSR Menurut Min-Dong Paul Lee
S
Kajian Teoretis‐Tematik udah cukup lama juga tidak ditemukan kajian yang murni teoretis terkait dengan CSR. Sudah hampir satu dekade lamanya tak ada upaya melacak perkembangan definisi CSR yang semasif apa yang dilakukan Archie Carroll dalam Corporate Social Responsibility, Evolution of a Definitional Construct (Business and Society, Vol. 38/3, 1999). Tak ada juga upaya memetakan seluruh varian teori CSR seperti yang dilakukan Garriga dan Mele dalam Corporate Social
Responsibility Theories: Mapping the Territory (Journal of Business Ethics, Vol. 53, 2004) Namun, dalam International Journal of Management Reviews terakhir, yaitu Vol. 10/1 jurnal terdapat tulisan Min‐ Dong Paul Lee berjudul A Review of Theories of
Corporate Social Responsibility: Its Evolutionary Path and the Road Ahead (hal. 53‐73). Lee tidak membuat analisis atas sejarah bagaimana CSR didefinisikan. Ia juga tidak memetakan teori‐teori yang sudah ada. Ia melakukan sesuatu yang beradi di antara keduanya, yaitu membuat sejarah perkembangan teori dan berupaya menemukan tema‐ tema paling penting dalam setiap periode. Ia menemukan bahwa teori‐teori CSR berkembang mulai 1950an, dan selama dua dekade tidak mengalami perubahan yang berarti. Kemudian, ia melihat bahwa setiap dekade dicirikan dengan tema tunggal yang sangat kuat, hingga dekade 1990an. Ia tak melihat lagi perubahan yang terjadi di tahun 2000an, dan tampaknya berkesimpulan bahwa dekade itu masih mengusung tema yang sama dengan dekade sebelumnya. Setelah melihat sejarah CSR, ia kemudian melihat ke depan untuk memberikan arahan bagaimana seharusnya teori CSR dikembangkan kemudian.
Mereka dengan tegas menyatakan bahwa CSR akan terus menjadi konsep asing apabila tidak berhasil menunjukkan dirinya konsisten Sebelumnya, di tahun 2005 Lee menulis (bersama Sunghoon Kim) makalah yang sangat dengan terkenal berjudul From Cost to Resource: The Transformation and Difussion of Corporate kepentingan Social Responsibility (CSES Working Paper Series No. 25, Cornell University Department of pemilik modal.
Sociology). Di situ Lee dan Kim mengutarakan bahwa CSR telah mengalami transformasi dari 1
sesuatu yang dianggap merupakan beban biaya bagi perusahaan, menjadi sumberdaya yang sangat penting. Mereka menganjurkan perusahaan untuk melakukan “resourcification of CSR” sebagai cara untuk mendapatkan manfaat penuh dari CSR—yaitu membuat CSR menjadi cara untuk meningkatkan keuntungan ekonomi. Mereka menyatakan:
“Although corporate social responsibility (CSR) has emerged as one of the most widely accepted concepts in the corporate world as well as in the society, the process through which CSR was institutionalized and came to be embraced by business organizations has not been explored much. Extending new institutional theory in organizational studies, we argue that the critical change that triggered the rapid diffusion of CSR from the late 80s was the shift in institutionalized conceptions of CSR from unrecoverable costs to valuable resources by being tightly coupled together with traditional organizational goals within the broader concept of strategic corporate management.” Dalam kesimpulannya, mereka menegaskan pergeseran konseptual yang menghubungkan CSR dengan “kewajiban tradisional” perusahaan, yaitu upaya untuk membuat laba.
“CSR clear did not originate within business organizations. It grew out of social responses to the negative externalities generated by modern corporations that are growing in power and influence in the society (Bowen, 1953). Consequently, CSR was imposed upon business organizations, and organizational actors naturally perceived it as an unnecessary cost. Within half a century, however, what has originally considered cost and burden gradually enmeshed with evolving concept of strategic management and re‐ conceptualized as opportunity and valuable resource. As the key source of change, we suggest the shift in the conceptual link between CSR and business organizations’ traditional obligation to generate profit within the broader framework of strategic management.” Teori‐teori CSR Mulai Dekade 1950an Kalau dalam makalah tersebut Lee dan Kim melihat sejarah CSR dari sudut pandang perusahaan, artikel Lee—kini dia mengajar di South Florida University— yang mutakhir menelaah perkembangan CSR dari kacamata pengamat. Jangkauan amatannya pun lebih ke perkembangan teori‐teori akademik seputar CSR, seraya berupaya meramalkan jalan teori CSR di masa mendatang. Menurut Lee, sangat jelas bahwa teori‐teori CSR yang mulai muncul di tahun 1950an telah mengalami pergeseran. Yang paling kentara adalah perubahan yang terjadi di tahun 1990an (lihat gambar). Dari tingkat analisis, dapat dinyatakan bahwa sifat makrososial telah bergeser menjadi organisasional; orientasi teoretis yang tadinya lebih bersifat etis dan kewajiban telah menjadi manajerial; orientasi etis yang tadinya eksplisit telah menjadi implisit, dan hubungan antara kinerja CSR dan kinerja keuangan yang tadinya terpisah atau tidak didiskusikan sama sekali kemudian berubah menjadi hubungan yang erat. 2
Lee juga mencatat tema‐tema utama teori CSR. Tahun 1950an hingga 1960an benar‐benar didominasi oleh pemikiran Howard Bowen, sehingga tema besarnya adalah tanggung jawab sosial pebisnis (atau social responsibilities of businessmen—yang menjadi judul buku Bowen yang terbit 1953). Ia menguraikan pengaruh Bowen pada kedua dekade sebagai berikut (hal. 57):
“Bowen makes his position on CSR unmistakably clear. Although he acknowledges that CSR is no panacea that will cure the society of all its ills, he considers it a welcome development that needs to be encouraged and supported. The main question he grapples with in the book is not whether businesses have social responsibility or not. For Bowen, the answer is obvious. He contends that the position of great influence and the far‐reaching scope and consequences of their decisions obligate businesses to consider social consequences and responsibilities. The questions that Bowen is more interested in are ‘What exactly are the responsibilities of businesses?’ and ‘How can society make institutional changes to promote CSR?’” Kapasitas untuk mengukurnya, serta bagaimana menguji model CSP secara empiris adalah dua titik paling lemah yang belum bisa diselesaikan.
Dekade 1970an ditandai dengan munculnya konsep yang hingga kini masih sangat sering dikutip, yaitu enlightened self interest. Konsep ini dilahirkan oleh Wallich dan McGowan (menulis artikel terakhir dalam bunga rampai A New Rationale for Corporate Social Policy, 1970) yang berupaya menyediakan rekonsiliasi antara tujuan sosial dan ekonomi perusahaan. Mereka dengan tegas menyatakan bahwa CSR akan terus menjadi konsep asing apabila tidak berhasil menunjukkan dirinya konsisten dengan kepentingan pemilik modal. Sejak itu terjadi perubahan radikal dari penelitian‐penelitian CSR yang tadinya lebih bersifat normatif menjadi positif, terutama kaitan antara kinerja CSR dan kinerja finansial perusahaan. Namun, karena penelitian‐penelitian tersebut masih sangat muda dan mekanisme hubungan keduanya belum jelas benar, maka hubungannya bisa dikatakan masih longgar. Tentang tema enlightened self interest ini, Lee menyimpulkan (hal. 59):
“The enlightened self‐interest model, however, was more of a concept than a full‐blown theoretical model. It clearly pointed to a new direction, but offered no theoretical framework to build upon. Social and economic interests that Wallich and McGowan tried to reconcile became only loosely coupled together without a clear specification of the mechanisms that make up the causal links between CSR and CFP. To be sure, the concepts of CSR and CFP became more responsive, but still maintained their own identity and logical separateness (Weick 1977). In order for tighter coupling to occur, there needed to be a more clearly specified theoretical framework linking the two concepts and empirical evidence for the association.” Dekade 1980an ditandai dengan maraknya tema kinerja sosial perusahaan (corporate social performance, CSP). Penandanya utamanya adalah artikel seminal Archie Carroll, A Three‐ dimensional Conceptual Model of Corporate Performance (1979). Hal yang sangat penting dalam dekade ini adalah berkembangnya keyakinan bahwa hubungan antara kinerja sosial perusahaan dan kinerja finansial tidaklah bersifat trade off. Keduanya bisa berjalan seiring menuju “total social responsibility of business”—yang terdiri dari tanggung jawab ekonomi, legal, etis, dan diskresionari.
3
Setelah sepanjang satu dekade CSP diperkenalkan dan diteliti lebih jauh, tampaknya hasilnya belum lagi memuaskan. Kapasitas untuk mengukurnya, serta bagaimana menguji model CSP secara empiris adalah dua titik paling lemah yang belum bisa diselesaikan. Bahkan, sebagaimana yang akan diasampaikan Lee pada bagian akhir tulisannya, masalah pengukuran CSR sebetulnya masih ada hingga sekarang. Terkait dengan keterbatasan CSP itu, Lee menulis (hal. 60):
Despite all the efforts put in to make the CSP model more useful for both researchers and managers, the model did not succeed in widespread application. The shortcoming of the CSP model was that it lacked one critical aspect needed for implementation: the capacity to measure and empirically test the model (Wood and Jones 1995). Without a clear and objective measurement of CSP, the level of uncertainty in outcome as a result of engaging in CSR could not be significantly reduced. Moreover, the lack of objective and behavioral measurement made it difficult to compare the social performance of different firms. The findings from attempted empirical studies on that relationship between CSR and CFP were generally positive, but contain many methodological problems (Margolis and Walsh 2001). Dekade berikutnya, 1990an, ditandai dengan keruntuhan misteri terbesar dalam manajemen: mengapa perusahaan‐perusahaan tertentu secara konsisten berkinerja lebih baik dibandingkan yang lain. Jawabannya ada pada tema manajemen strategik, yang di antaranya diusung oleh Peter Drucker. Salah satu varian manajemen strategik adalah teori pemangku kepentingan yang dipopularkan oleh Edward Freeman. Ia mempostulatkan bahwa semakin banyak pamangku kepentingan yang dipuaskan oleh perusahaan, maka perusahaan tersebut memiliki kemungkinan semakin besar untuk sukses. Postulat tersebut sangat bermanfaat untuk perkembangan CSR selanjutnya, sehingga studi‐studi CSR menjadi semakin bersifat positif dan manajerial. Aplikasi praktisnya juga semakin didorong oleh tokoh‐tokoh seperti Philip Kotler, Michael Porter dan Stuart Hart. Untuk dekade tersebut, Lee menyimpulkan (hal. 62):
In strategic CSR, there is no longer a conceptual break separating corporations’ social and economic performance. The concept of CSR is stretched and applied to ‘all the activities a company engages in while doing business’ as well as the competitive context of the company (Porter and Kramer 2006). Consequently, at least in theory, CSR has significant implications for a firm’s financial performance. Penutup: Saran Penelitian ke Depan Kesimpulan umumnya, menurut Lee, adalah bahwa kaitan antara kinerja CSR dan CFP (corporate financial performance)semakin menjadi semakin erat, atau dalam kata‐kata Lee sendiri: “From theoretical point of view, it is not an exaggeration to say that the coupling between CSR and CFP has been made as tight as it can be.” (hal. 64). Setelah berkesimpulan demikian, ia kemudian menyarankan tiga hal: pertama, penelitian mengenai bagaimana CSR diukur kinerjanya harus terus dilakukan. Kedua, penelitian mengenai CSR harus juga dilihat dari sisi sosial, bukan sekadar dari sisi perusahaan. Ketiga, Terakhir, cakupan penelitian empiris mengenai CSR harus diperluas, termasuk ke UKM. 4
Sebagai pelaksana CSR, harus diingat bahwa seluruh entitas bisnis sesunguhnya memiliki tanggung jawab sosial, dan ukuran tanggung jawab itu berbanding lurus dengan dampak yang ditimbulkannya.
Hingga sekarang, penelitian empiris mengenai CSR memang masih terlalu condong ke perusahaan‐perusahaan besar saja. Kiranya, siapapun yang mendalami CSR akan bersetuju dengan Lee soal tiga agenda penting itu. Ukuran kinerja CSR adalah hal yang sangat penting untuk dibangun. Agar CSR memiliki kekuatan dalam manajemen perusahaan—terutama bagi para manajer yang menganut pendirian “if you cannot measure it, you cannot manage it”—maka mau tak mau ukuran‐ ukuran kesuksesan CSR memang harus dibuat. Mungkin tidak seluruh hal dalam CSR akan bisa diukur dengan eksak, atau diukur dengan satuan ekonomi, namun upaya mengukurnya memang tak bisa dihindari. Pengukuran kinerja CSR juga menjadi niscaya kalau kita hendak mengetahui sejauh mana CSR terkait dengan keuntungan finansial. Bagaimanapun, para investor akan lebih tertarik apabila mereka bisa mengetahui social return on investment. Himbauan bahwa penelitian mengenai CSR harus diperkuat di sisi sosial sangatlah tepat. Kita tak bisa mengandalkan perkembangan CSR semata‐mata dari sudut pandang perusahaan. Banyak analisis yang menyatakan bahwa perkembangan CSR sangat bergantung dari munculnya critical mass yang bisa membedakan perusahaan berdasarkan kinerja sosial dan lingkungan mereka. Pembentukan critical mass ini sangat bergantung dari pengetahuan yang lebih berasal dari sudut pandang pemangku kepentingan. Di Indonesia, ini tampaknya sudah mulai berkembang. CSR lebih kerap dibicarakan di kampus‐kampus fisip, dan baru belakangan dibicarakan di fukultas terkait manajemen dan ekonomi. Namun, tentu saja apa yang terjadi hingga sekarang itu belum cukup. Diperlukan penelitian dan publikasi dalam skala masif untuk menyoroti dampak sosial dan lingkungan perusahaan untuk bisa membentuk critical mass yang jumlah dan pengetahuannya memadai. UKM juga penting dilihat dalam CSR. Setidaknya dalam dua sisi: sebagai penerima manfaat projek‐projek pemberdayaan yang dilakukan oleh perusahaan besar, dan sebagai pelaku CS itu sendiri. Sebagai penerima manfaat, UKM sangat menentukan apakah CSR perusahaan besar yang membantunya bisa dianggap sukses—bila UKM menjadi besar dan mandiri—atau sekaliknya—menimbulkan ketergantungan. Sebagai pelaksana CSR, harus diingat bahwa seluruh entitas bisnis sesunguhnya memiliki tanggung jawab sosial, dan ukuran tanggung jawab itu berbanding lurus dengan dampak yang ditimbulkannya. Bisa dinalar bahwa ukuran perusahaan akan terkait erat dengan besaran dampak—walau tak selalu demikian. Sehingga, UKM sendiri akan memiliki ciri khasnya sendiri dalam ber‐CSR. Kalau ini tidak diteliti dengan masif, maka perkembangannya tidak akan menggembirakan.
Jakarta, 22 Mei 2008
Jalal, Lingkar Studi CSR
Lingkar Studi CSR Rukan Permata Senayan No.A/6 Jln.Tentara Pelajar, Patal Senayan – Jakarta 12210, Indonesia Telp. (021) 579 40610, Fax. (021) 579 40611 www.csrindonesia.com, e-mail:
[email protected]
5