TINJAUAN PUSTAKA
Toksisitas Aluminium Pada pertumbuhannya, tanaman selalu dihadapkan pada berbagai cekaman lingkungan baik cekaman biotik seperti serangan hama, penyakit, dan gulma maupun cekaman abiotik seperti kekeringan, kadar garam tinggi, logam berat, suhu tinggi maupun suhu rendah, dan tanah asam. Secara normal, Al berada dalam bentuk oksida dan kompleks aluminosilikat yang tidak larut dan tidak toksik. Pada pH netral, Al membentuk kompleks dengan ion hidroksida yang tidak larut, sedangkan pada pH asam Al berada dalam bentuk Al3+ yang merupakan bentuk yang paling toksik. Dalam larutan pH yang lebih rendah dari 5,0, ion Al berada dalam bentuk oktahedral Al(H2O)63+ yang sering disingkat Al3+. Pada larutan yang keasamannya berkurang Al(H2O)63+ akan mengalami deprotonisasi menjadi Al(OH)2+ dan Al(OH)2+. Pada larutan netral menyebabkan Al(OH)3 mengendap dan larut kembali pada larutan basa dengan membentuk formasi tetrahedral Al(OH)4-(Delhaize & Ryan 1995; Marschner 1995). Keracunan Al merupakan hambatan produksi pertanian di tanah asam. Keracunan Al ini mampu menurunkan produksi tanaman 25% sampai 85% (Herrera-Estrella 2003). Rendahnya produktivitas menyebabkan tanah asam yang cukup luas masih belum dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa target utama keracunan Al adalah jaringan akar tanaman (Sasaki et al. 1992; Ryan et al. 1993, Delhaize & Ryan 1995). Tingkat keracunan ini tergantung pada aktivitas ion Al3+ dalam media. Gejala pertama yang tampak dari keracunan Al adalah sistem perakaran yang tidak berkembang (pendek dan tebal) sebagai akibat penghambatan perpanjangan sel. Kontak dengan Al pada daerah rizosfer juga menyebabkan kerusakan membran akar, akar menebal, menggulung dan memendek (Delhaize & Ryan 1995). Pengaruh buruk yang lain yaitu terjadinya gangguan penyerapan mineral, penggabungan Al dengan dinding sel, dan penghambatan pembelahan sel (Matsumoto 1991). Selanjutnya dikatakan bahwa pada kondisi tanah asam, Al berada dalam bentuk Al3+ yang sangat toksik karena dapat mengkelat unsur hara
sehingga menghambat penyerapan unsur terkelat itu oleh akar tanaman. Akibatnya tanaman kekurangan unsur hara dan pertumbuhannya terhambat. Keracunan Al juga dapat menurunkan dan merusak sistem perakaran yang menyebabkan tanaman rentan terhadap stres kekeringan dan mengalami defisiensi nutrien mineral. Ion Al yang masuk ke dalam jaringan akar akan terikat pada protein dan fosfolipid pada membran sel, sehingga membran menjadi kaku (rigid) dan fluiditasnya menurun. Terikatnya Al pada protein membran juga menyebabkan terganggunya sirkulasi Ca2+ dan berbagai senyawa hara penting (Kochian 1995). Matsumoto (1991) menyatakan bahwa pada dinding sel, penghambatan terjadi karena Al menggantikan kedudukan Ca2+ pada lamela tengah. Ca2+ merupakan second messenger dalam aktivitas H+-ATPase dengan bantuan protein regulator calmodulin. Digantikannya Ca2+ yang melekat pada calmodulin akan terjadi perubahan aktivitas enzim. Selain itu, Ryan et al. (1997) melaporkan hasil penelitiannya bahwa Al juga berhubungan dengan membran lipid bilayer pada sel dimana Al memblok saluran Ca2+ dan K+ sehingga mengganggu proses penyerapan hara. Ion Al juga reaktif dengan asam lemak dan menyebabkan meningkatnya peroksidasi asam lemak membran sel (Ono et al. 1995). Aluminium dapat terikat kuat pada asam nukleat dan mengganggu replikasi DNA dalam pembelahan sel serta transkripsi dalam ekspresi gen (Aniol et al. 1984). Silva et al. (2000) memperlihatkan terhambatnya pembelahan sel di daerah meristimatis ujung akar kedelai disebabkan oleh akumulasi aluminium pada inti sel. Reaktivitas Al juga berpengaruh terhadap mitokondria (De Lima & Coveland 1994), sitoskeleton (Kochian 1995) dan aktin kerangka sel. Adanya ikatan Al terhadap senyawa-senyawa penyusun komponen sel itulah yang menyebabkan perubahan struktur dan fisiologi tanaman. Kelainan akar juga menyebabkan terhambatnya penyerapan NH4 dan NO3 serta terganggunya aktivitas enzim nitrat reduktase (Cumming & Taylor 1990). Aluminium juga berpengaruh terhadap metabolisme tanaman selain organ akar, misalnya terhambatnya asimilasi CO2 karena kerusakan struktur tilakoid (Pereira et al. 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa Al juga menyebabkan
penurunan kandungan glukosa, sorbitol, dan karbohidrat pada daun tanaman persik (Prunus persica). Efek utama stres Al pada tanaman rye dan gandum adalah menginduksi peningkatan Ca2+ sitoplasma pada sel-sel apikal akar. Peningkatan ini mengganggu proses metabolisme yang membutuhkan Ca2+, seperti regulasi pembelahan dan pemanjangan sel, yang akhirnya akan menghambat pertumbuhan akar (Ma et al. 2002). Doncheva et al. (2005) telah melakukan penelitian pengaruh jangka pendek (5-180 menit) 50
M Al terhadap pembelahan sel di ujung akar dua varietas
jagung yang berbeda resistensinya terhadap Al. Mereka menggunakan bromodeoxyuridine dan pewarnaan immunofluorescence. Bagi tanaman yang peka, waktu 5 menit sudah cukup untuk menghambat pembelahan sel pada meristim proksimal (250-800
M dari ujung akar). Pewarnaan hematoxilin
menunjukkan bahwa pada bagian ujung akar dari varietas yang sensitif lebih banyak mengakumulasi Al dari pada yang toleran. Selain itu, varietas yang resisten Al menampakkan pertumbuhan akar lateral yang abnormal. Perubahan perkembangan akar tersebut bisa terjadi karena Al mengikat nukleotida yang kaya unsur atau gugus bermuatan negatif seperti fosfat (PO4-)(Schetinger et al. 2003). Ikatan Al dengan grup karboksil akan menimbulkan ikatan yang kuat sehingga sel tidak dapat membesar (Marschner 1995). Pada inti sel, Al berasosiasi dengan DNA sehingga menghentikan proses pembelahan sel meristem apikal. Al dalam bentuk polimer memiliki muatan positif yang besar serta memiliki banyak situs pengikatan. Polimer Al ini dapat mengikat fosfat yang ada pada kedua utas DNA, mengakibatkan gagalnya utas ganda DNA berpisah (Matsumoto 1991). Secara biologi, yang memainkan peranan penting dalam keracunan Al pada tanaman adalah tingginya konsentrasi H+. Pertama, H+ yang tinggi atau pH yang sangat rendah mempengaruhi struktur membran plasma serta menginduksi perubahan konformasi molekul penyusun dinding sel, membran plasma dan sitoskeleton. Kedua, tingkat keasaman ekstraseluler meningkatkan permeabilitas membran plasma terhadap H+, menurunkan pH intraseluler dan dengan demikian meningkatkan daya saing Al terhadap ligan seluler. Ketiga, ada hubungan antara keracunan Al dan H+ (Vitorello et al. 2005).
Mekanisme Toleransi Tanaman Terhadap Cekaman Aluminium Mekanisme fisiologi dan biokimia tanaman terhadap cekaman Al berbedabeda antar spesies dan varietas (Yahya & Setiyati 1988). Tanaman yang toleran terhadap cekaman Al memiliki kemampuan untuk menekan pengaruh buruk keracunan Al tersebut. Kriteria tanaman yang toleran terhadap keracunan Al antara lain: (a) akar sanggup tumbuh terus dan ujung akar tidak rusak, (b) mengurangi absorbsi Al, (c) memiliki berbagai cara untuk menetralkan pengaruh toksik Al setelah diserap tanaman, (d) sanggup menciptakan keadaan yang kurang asam di daerah perakaran, (e) translokasi ion Al ke bagian atas tanaman sedikit, karena sebagian besar ditahan di akar, (f) karena suatu mekanisme tertentu maka ion Al tidak sanggup menghambat serapan Ca, Mg, dan K (Suparto 1999). Menurut Marschner (1995) mekanisme resistensi tanaman terhadap tanah asam meliputi mekanisme toleransi dan penghindaran (avoidance). Mekanisme toleransi terhadap cekaman atau stres dapat dilakukan oleh tanaman dengan membiarkan stres memasuki jaringannya asalkan tanaman dapat mengurangi atau menghilangkan pengaruh stres terhadap tanaman. Sedangkan mekanisme penghindaran dilakukan tanaman dengan mencegah atau mengurangi penetrasi stres ke dalam jaringannya. Berdasarkan akumulasi Al di dalam tajuk, adaptasi tanaman terhadap cekaman Al dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: pertama, kelompok yang tidak mengakumulasi Al di tajuk dan akar tidak menyerap Al (disebut mekanisme penghindaran). Mekanisme ini dapat terjadi karena tanaman mengeksudasi senyawa asam organik. Senyawa asam organik tersebut dapat mengkelat Al sehingga Al tidak diserap tanaman. Kedua, kelompok dengan kondisi Al di tajuk lebih rendah dari pada di akar karena Al di tahan dan diakumulasi di akar terutama di korteks dan epidermis akar. Pada jaringan muda yang belum mempunyai endodermis, Al bisa lolos ke tajuk melalui jaringan meristem akar dan pembuluh akar (stele). Pada tanaman gandum, bila sudah melebihi ambang batas yang bisa ditolerir oleh sitoplasma, maka Al yang akan diakumulasi
di
akar
dan
akan
dikeluarkan.
Ketiga,
kelompok
yang
mengakumulasi Al di tajuk (Al akumulator) seperti Camelia sinensis (teh), Pinus
sp., Rhyzophora spp. (bakau), dan Melastoma malabathtricum L (Watanabe et al. 2001). Taylor (1991) membagi mekanisme ketahanan tanaman menjadi dua bagian. Mekanisme pertama adalah eksklusi, yaitu mengeluarkan Al atau senyawa organik dari ujung akar sehingga ion Al tidak mencapai daerah metabolik atau protoplasma. Mekanisme ini dikenal juga dengan mekanisme eksternal atau eksudasi. Mekanisme kedua adalah inklusi, yaitu detoksifikasi atau inaktivasi Al yang telah mencapai sel dan kemudian ditimbun. Mekanisme ini juga dikenal dengan mekanisme internal. Mekanisme eksklusi dilakukan dengan tiga cara. Pertama, dengan meningkatkan selektivitas membran, terutama terhadap ion logam berat dapat dilakukan dengan mengatur permeabilitas membran yaitu melalui perubahan tingkat kejenuhan asam lemak dan fosfolipid penyusun membran (Cumming &Taylor 1990). Kedua, dengan mengatur effluks ion logam, pada gandum baik yang toleran maupun yang sensitif apabila diberi perlakuan sikloheksamida maka akan kehilangan toleransinya, diduga toleransi ini terkait dengan produksi protein membran (Zhang & Taylor 1989). Ryan et al. (1997) juga mengamati bahwa Al menginduksi pembentukan kanal ion pada protoplas yang diisolasi dari akar gandum. Ketiga, dengan memodifikasi rizosfer akar. Modifikasi dilakukan dengan melepaskan asam organik ke permukaan akar. Menurut Li et al. (2000) asam organik yang dikeluarkan melalui akar akan mengikat Al3+ untuk menghindari pengaruh Al terhadap sistem yang ada di dalam dan ruang antar sel. Asam organik tersebut di antaranya adalah asam oksalat (Ma et al. 1997;), asam sitrat pada jagung (Pellet et al. 1995), asam sitrat dan malat pada triticale (Ma et al. 2000), asam sitrat, suksinat dan malat (Miyasaka et al. 1991). Kasim et al. (2000) juga mengamati adanya peningkatan produksi asam sitrat dan malat pada akar tanaman kedelai yang toleran Al. Modifikasi juga dilakukan dengan melepaskan ion posfat (Larsen et al. 1998). Modifikasi rizosfer juga dilakukan melalui pembentukan gradien redoks atau pH pada permukaan akar. Degenhardt et al. (1998) melihat adanya peningkatan influks H+ dan eksudasi asam organik pada ujung akar gandum mutan Alr104. Peningkatan pH dapat terjadi jika malat mengalami protonasi pada
larutan eksternal sehingga mengurangi toksisitas Al3+ melalui peningkatan pH yang pengaruhnya sama dengan kelatisasi Al oleh malat. Bentuk modifikasi rizosfer lainnya dengan cara immobilisasi Al di permukaan dinding sel. Al akan terikat pada senyawa pektin atau komponen dinding sel yang bermuatan negatif pada jaringan epidermis dan tudung akar (Delhaize et al. 1993). Larsen (1996) menyatakan bahwa Al akan menginduksi pembentukan musilag pada ujung akarnya dan pengeluaran senyawa tertentu seperti kalosa (polisakarida
-1,3-
glucan) untuk mencegah masuknya Al. Menurut Larsen et al. (1996) melihat kalosa hanya terbentuk pada Arabidopsis yang sensitif. Sivaguru et al. (2000) juga
menegaskan
bahwa
pembentukan
kalosa
menyebabkan
penurunan
penyerapan air dan penutupan plasmodesmata. Mekanisme
ketahanan
secara
inklusi
dilakukan
dengan
cara
mendetoksifikasi Al yang telah masuk jaringan, kemudian diekskresikan atau ditranslokasi dan ditimbun dalam vakuola (kompartementasi). Detoksifikasi dilakukan dengan pembentukan kompleks Al dengan senyawa-senyawa pengikat (chelator). Selain untuk inaktivasi Al, pembentukan kompleks Al-chelator juga untuk meningkatkan mobilitas ion Al sehingga mudah ditranslokasikan. Respon seluler pada tanaman sebagai respon terhadap keracunan Al berupa perubahan ekspresi gen. Beberapa protein, yang ekspresinya diinduksi oleh cekaman keracunan Al, yang berhasil diidentifikasi meliputi phenilalanine ammonialyase methallothionein like proteins, inhibitor proteinase, asparagine synthetases (Snowden et al. 1995) serta protein TaMDR1 (Sasaki et al. 2002). Milla et al. (2002) melaporkan 13 gen novel yang ekspresinya juga diregulasi oleh cekaman keracunan Al, yaitu protein yang terlibat dalam pemanjangan dan pembelahan sel (aquaporin tonoplas dan ubiquitin-like protein SMT3), stres oksidatif
(glutathionin
peroxidase,
gukose-6-phosphate-dehidrogenase
dan
ascorbate peroxidase), metabolisme besi (Iron Defisiensi-Spesific proteins = IDS3a, IDS3b, dan IDS1; S-adenosyl methionine synthase dan methionine synthase dan methionine synthase) dan mekanisme seluler lainnya (phatogenesisrelated proteins 1.2, heme oxygenase dan epoxide hydrolase). Salah satu mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman Al adalah dengan memodifikasi rizosfer akar. Adanya Al dapat menginduksi sekresi asam
organik pada tanaman (Li et al. 2000). Pada tanaman padi, Irfan (2008) menyatakan bahwa cekaman Al yang diberikan, menimbulkan respon yang berbeda pada peningkatan kandungan asam malat antara varietas padi yang peka dan toleran terhadap cekaman keracunan Al dalam larutan hara pertumbuhannya. Hasil tersebut ditunjukkan dari percobaannya bahwa varietas Hawarabunar yang toleran terhadap cekaman keracunan Al, menunjukan peningkatan jumlah asam malat yang cukup tinggi pada konsentrasi Al 15 ppm, periode cekaman 24 jam hingga 72 jam, dimana jumlah asam malat pada varietas Hawarabunar tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan IR64 sebagai varietas yang peka terhadap cekaman Al. Ma et al. (2002) menyatakan bahwa cekaman Al juga menginduksi sekresi asam sitrat pada padi. Selanjutnya dikatakan bahwa respon peningkatan sekresi asam sitrat mengalami peningkatan baik pada varietas yang sensitif maupun toleran cekaman Al sehingga sekresi asam sitrat tidak membedakan secara nyata antara varietas yang sensitif dan toleran cekaman Al.
Pewarisan Sifat Toleransi Aluminium pada Tanaman Mekanisme keracunan Al pada tanaman belum diketahui secara pasti (Vitorello et al. 2005). Keracunan akibat kandungan Al yang tinggi pada tanah masam dapat diatasi dengan memodifikasi lingkungan pertumbuhan tanaman seperti menggunakan kapur, gipsum atau menggunakan asam organik. Namun metode ini tidak efisien dan ekonomis. Metode yang dapat dilakukan adalah dengan menyeleksi dan dengan menggunakan genotipe-genotipe yang bersifat toleran terhadap cekaman Al di tanah masam. Mekanisme toleransi cekaman Al berbeda antar tanaman dan antar varietas dalam spesies. Keanekaragaman genetika toleransi tanaman terhadap Al telah dilaporkan pada beberapa spesies tanaman pertanian terutama tanaman sereal dari famili Triticeae (Vitorello et al. 2005). Pada tanaman gandum (Triticum aestivum L.) dan rye (Secale cereale L.), sifat toleransi Al ditentukan oleh satu atau beberapa gen. Sebaliknya, pada tanaman padi atau jagung (Zea mays L.), toleransi cekaman Al bersifat multigen dan kuantitatif. Tanaman rye lebih toleran terhadap cekaman Al dibanding dengan gandum. Walaupun demikian, tanaman gandum
merupakan spesies tanaman pertanian yang diteliti secara komprehensif untuk mempelajari mekanisme toleransi tanaman terhadap Al baik secara morfologi, fisiologi, maupun secara molekuler. Mekanisme kontrol secara genetik untuk sifat-sifat yang terpaut toleransi Al pada tanaman-tanaman pertanian telah banyak diketahui. Demikian pula pada tanaman padi, tetapi diduga dikontrol oleh beberapa gen (Wu et al. 2000; Nguyen et al. 2001). Pada barley (Hordeum vulgare L.) menurut Minella dan Sorrells (1992) dikontrol oleh gen tunggal. Pada wheat (Triticum aestivum L.) dikontrol oleh gen mayor dan gen minor serta pada rye (Secale cereale L.) yang merupakan tanaman sereal yang paling toleran Al terletak pada kromosom 3R, 4R dan 6RS (Aniol & Gustafson 1984). Toleransi Al pada tanaman rye (Secale cereale L) dikendalikan oleh gen tunggal Alt3 yang terletak pada kromosom 4RL. Gen Alt3, AltBH pada gandum dan Alp pada barley, yang semuanya mengendalikan toleransi cekaman Al sangat terpaut dengan penanda molekuler BCD1230 (Miftahudin et al. 2002). Berdasarkan hubungan homeologous di antara anggota Triticeae, Miftahudin et al. (2002) menduga bahwa gen-gen toleran cekaman Al tersebut kemungkinan memiliki fungsi yang sama dalam mengendalikan sifat toleransi cekaman Al. Studi pewarisan toleransi Al pada tanaman gandum pada umumnya menunjukkan bahwa sifat toleransi Al dikendalikan oleh satu atau beberapa gen utama dan kemungkinan interaksi dari beberapa faktor (Budzianowski & Wos 2004). Toleransi Al nampaknya lebih merupakan sifat yang multigenik, walaupun hingga saat ini belum ada gen toleransi Al yang berhasil diklon (Vitorello et al. 2005). Penelitian tentang keragaman dan model aksi gen toleransi cekaman Al pada kultivar padi pada dataran tinggi dan rendah pertama kali dilakukan oleh Khatiwada et al. (1996). Dari 62 kultivar yang diuji, 3 kultivar sensitif terhadap keracunan Al dan 11 kultivar padi lainnya sangat toleran. Sepuluh dari kultivar yang sangat toleran tersebut berasal dari Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan, Indonesia, yang biasa tumbuh baik di tanah dengan kandungan asam sulfat tinggi dan telah dikoleksi oleh IRRI. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kultivar tradisional yang berasal dari dataran rendah dan tumbuh baik pada tanah
asam sulfat tinggi merupakan sumber terbaik tanaman yang toleran terhadap cekaman Al. Mao et al. (2004) menggunakan padi varietas IR1552 yang sensitif Al dan varietas Azucena (toleran Al) untuk pemetaan QTL untuk toleran Al. Tiga QTL untuk relatif panjang akar (RPA) dideteksi secara berturut-turut pada kromosom 1, 9, dan 12. Satu QTL untuk panjang akar yang dicekam Al pada kromosom 1 setelah 1 minggu dan 2 minggu cekaman. Mao et al. (2004) mengindikasikan bahwa cekaman Al dapat menginduksi biosintesis dari lignin dan komponenkomponen lain dinding sel dari akar. Dua gen yang berhasil dipetakan yaitu satu protein yang belum diketahui fungsinya dan 1 ubiquitin-like protein untuk cekaman Al pada kromosom 1. Dengan menggunakan populasi Backcross Inbred Lines (BILs) dari persilangan Koshihikari dan Kasalath, Ma et al. (2002) mendeteksi tiga QTL yang diduga mengontrol toleransi Al ditemukan secara berturut-turut pada kromosom 1, 2 dan 6. Alel-alel QTL pada kromosom 1 dan 2 pada varietas Kasalath menurunkan kemampuan toleransi Al tetapi meningkatkan kemampuan toleransi Al pada kromosom 6. Wu et al. (2000) melakukan penelitian pada populasi Recombinan Inbred Lines (RIL) persilangan antara padi indica varietas IR1552 dengan padi japonica varietas Azucena dengan menggunakan larutan kultur hara. Dengan pemetaan molekuler secara bersama-sama yaitu 104 Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP), 103 Restriction
Fragment
Length
Polymorphism
(RFLP), telah membuat peta QTL dan lokus epistasis karakter toleransi Al untuk relatif panjang akar (Relative Root Length/RRL) setelah cekaman Al 2 dan 4 minggu. Dua QTL didapatkan pada perlakuan 2 dan 4 minggu tanpa perlakuan cekaman Al pada kromosom 1 dan 12. Sementara QTL pada kromosom 1 hanya dideteksi pada perlakuan 2 minggu cekaman Al. Nguyen et al. (2001) telah menemukan 5 QTL untuk toleransi Al pada 5 kromosom, dimana QTL mayor terletak pada kromosom 1. Nguyen et al. (2002) melakukan pemetaan pautan genetik dengan menggunakan 280 marka DNA (RFLP, AFLP, SSR) untuk menggambarkan posisi dan QTL toleransi terhadap cekaman Al. Tiga karakter yaitu kontrol panjang akar (Control Root
Length/CRL), panjang akar saat tercekam Al (Al-Stressed Root Length/SRL), dan rasio panjang akar (Root Length Ratio/RR) telah dievaluasi pada populasi Doubled Haploid (DH) dari persilangan CT9993 x IR62266 dan tetuanya pada waktu perkecambahan dengan menggunakan larutan hara. Total dari 20 QTL yang mengontrol panjang akar di bawah cekaman Al dan kondisi kontrol (tanpa cekaman Al) ditemukan menyebar pada 10 dari 12 kromosom padi, dan dikontrol oleh banyak gen (multigenik). Dua gen mayor toleransi Al, Alm1 dan Alm2 telah ditemukan secara berturut-turut pada kromosom 6 dan 10 pada jagung (Sibov et al. 1999). Alm1 letaknya sekitar 20,1 cM dari UMC130 yang bersegregasi bersama dengan RZ141 (Wilson et al. 1999) dipetakan di padi pada kromosom 11 (Causse et al. 1994). Alm2 yang terletak pada kromosom 6 jagung, terletak disekitar 18,5 cM dari CSU70 yang sangat terpaut pada CDO580 (Wilson et al. 1999), dipetakan di padi pada kromosom 5. Pada penelitian yang dilakukan Nguyen et al. (2002), tidak ditemukan adanya QTL pada kromosom 5 dan 11 di padi. Menurut Nguyen et al. (2003), dari 5 QTL untuk RRL, 2 QTL sangat konsisten dengan yang dilaporkan sebelumnya. Selanjutnya dikatakan bahwa QTL pada kromosom 1 lokasinya sama dengan yang dilaporkan Wu et al. (2000) dan Nguyen et al. (2001; 2002). QTL pada kromosom 9 sama dengan yang dilaporkan Wu et al. (2000) dan Nguyen et al. (2002). Menurut Nguyen et al. (2003), QTL pada kromosom 3 memiliki efek yang paling besar tapi menurut Wu et al.(2000) memiliki efek yang kecil, ortolog dengan gen utama toleransi Al di group 4 Triticeae (Tang et al. 2000). Prasetiyono et al. (2003) melakukan identifikasi yang terpaut dengan sifat toleransi Al pada padi hasil persilangan Dupa dengan ITA131. Hasil analisis dengan menggunakan analisis marka tunggal mendapatkan 2 marka mikrosatelit pada kromosom 7 (RM248 dan RM445) yang diduga terpaut dengan sifat toleransi terhadap cekaman Al. Hasil analisis menggunakan analisis marka interval belum mendapatkan marka-marka yang secara nyata menunjukkan posisi QTL. Meskipun keanekaragaman sifat toleransi Al telah dilaporkan pada tanaman padi (Oryza sativa) (Khatiwada et al. 1996; Jagau 2000), namun belum ada gen
yang berhasil diisolasi dan diklon baik yang berasal dari tanaman padi maupun tanaman serealia lainnya guna menunjang program pemuliaan tanaman pertanian toleran cekaman Al. Tanaman padi yang mempunyai ukuran genom terkecil dalam anggota keluarga tanaman serealia, yaitu 430 juta nukleotida, telah disekuensing guna memetakan gen-gen padi (Shen et al. 2004). Galur padi yang digunakan adalah Nipponbare (japonica) yang biasa ditanam di Jepang dan negara yang beriklim temperate lainnya seperti di Eropa. Mengingat ukuran kromosom padi yang kecil dibandingkan dengan serealia lainnya, maka padi menjadi tumpuan untuk dapat diisolasi dan diklon gen toleran cekaman Al. Pendekatan yang diambil untuk menentukan gen toleran cekaman Al tersebut meliputi (a) studi genetika untuk untuk mengidentifikasi lokus toleran Al seperti pemetaan molekuler guna mengidentifikasi penanda DNA toleran cekaman Al; (b) isolasi dan karakterisasi gen-gen yang diinduksi selama keracunan Al; (c) produksi dan evaluasi tanaman mutan; dan (d) penggunaan berbagai tanaman transgenik dalam studi toleransi Al. Pendekatan tersebut berperan besar untuk memahami mekanisme toleransi Al pada tanaman (Samac & Tesfaye 2003).
Pemanfaatan Marka Molekuler dalam Proses Seleksi Pemuliaan Tanaman Pemanfaatan marka DNA sebagai alat bantu seleksi (Marker Assisted Selection/MAS) lebih menguntungkan dibandingkan dengan seleksi secara fenotipik (Azrai 2005). Seleksi berdasarkan karakter fenotipik tanaman di lapang memiliki beberapa kelemahan. Menurut Lamadji et al. (1999) beberapa kelemahannya diantaranya (a) memerlukan waktu yang cukup lama; (b) kesulitan memilih dengan tepat gen-gen yang menjadi target seleksi untuk diekspresikan pada sifat-sifat morfologi atau agronomi; (c) rendahnya frekuensi individu yang diinginkan yang berada dalam populasi yang besar; dan (d) fenomena pautan gen dengan sifat yang tidak diinginkan sulit dipisahkan saat melakukan persilangan. Menurut Azrai (2005), pada saat ini telah ditemukan tiga tipe marka DNA yaitu (a) marka yang berdasarkan pada hibridisasi DNA seperti Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP); (b) marka yang berdasarkan pada reaksi rantai polimerase (Polymerase Chain Reaction/PCR) dengan menggunakan
sekuen-sekuen
nukleotida
sebagai
primer,
seperti
Randomly
Amplified
Polymorphic DNA (RAPD), dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP); dan (c) marka yang berdasarkan pada PCR dengan menggunakan primer yang menggabungkan sekuen komplementer spesifik dalam DNA sasaran, seperti Sequence Tagged Sites (STS), Sequence Characterized Amplified Regions (SCARs), Simple Sequence Repeats (SSRs) atau mikrosatelit (microsatellites) dan Single Nucleotide Polymorphism (SNPs). Marka mikrosatelit atau SSR merupakan sekuen DNA bermotif pendek dan diulang secara tandem dengan 2-5 unit nukelotida yang tersebar dan meliputi seluruh genom terutama pada organisme eukariotik (Azrai 2005). Akhir-akhir ini mikrosatelit banyak untuk karakterisasi dan pemetaan genetik tanaman termasuk padi (Powell et al. 1996). Menurut Powell et al. (1996) beberapa pertimbangan untuk penggunaan marka mikrosatelit dalam studi genetik di antaranya (a) marka terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom, variabilitasnya sangat tinggi (banyak alel dalam lokus), sifatnya kodominan dan lokasi genom dapat diketahui; (b) merupakan alat uji yang memiliki reproduksibilitas dan ketepatan yang sangat tinggi; (c) merupakan alat bantu yang sangat akurat untuk membedakan genotipe, evaluasi kemurnian benih, pemetaan dan seleksi genotipe untuk karakter yang diinginkan; (d) studi genetik populasi dan analisis diversitas genetik. Kelemahan teknik ini adalah marka SSR tidak tersedia pada semua spesies tanaman, sehingga untuk merancang primer baru membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup mahal.