SASTRA MODERN SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN ETIKA MORAL DAN KARAKTER Oleh Uswatun Hasanah SMAN I Purwantoro
ABSTRACT This paper describes the function of literature as a vehicle, container, and learning media ethics and morals. Although it is not a book of ethics and moral, literary creativity relatively functional and well as learning media ethics and morals. Cautious attitude and meticulous and proportionate indispensable to the proper functioning of literature as a medium of learning ethics and morals. It is intended that the nature of copyright as a literary work of art is not reduced to a book of ethical-moral and character in the side so that excessive expectations not being pinned to literature as a medium of learning ethics and morals. With caution, careful, and proportional, then literature can undoubtedly be an entry provides the ethical and moral experiences for students. Furthermore, it implies that literature can be expected as a planting medium-moral ethics and character to the learner. Keywords: copyright of literary, media, learning, ethics, and morals ABSTRAK Tulisan ini memaparkan fungsi sastra sebagai wahana, wadah, dan media pembelajaran etika dan moral. Meskipun bukan merupakan kitab etika dan moral, cipta sastra relatif fungsional dan baik sebagai media pembelajaran etika dan moral. Sikap hati-hati dan cermat serta proporsional sangat diperlukan pada waktu memfungsikan sastra sebagai media pembelajaran etika dan moral. Hal ini dimaksudkan agar hakikat cipta sastra sebagai karya seni tidak tereduksi menjadi kitab etika-moral dan karakter di samping agar harapan yang berlebihan tidak ditumpukan kepada sastra sebagai media pembelajaran etika dan moral. Dengan sikap hati-hati, cermat, dan proporsional, maka sastra niscaya dapat menjadi pintu masuk memberikan pengalaman etis dan moral bagi para pelajar. Lebih lanjut, hal ini mengimplikasikan bahwa sastra dapat diharapkan sebagai salah satu media penanaman etika-moral dan karakter kepada pelajar. Kata Kunci: cipta sastra, media, pembelajaran, etika, dan moral
109
sebagai media pembelajaran etika-
PENDAHULUAN Unsur penting dalam utile
moral dan karakter? Ini pertanyaan
tidak lain adalah moral. Baik dalam
penting untuk dicermati. Sebabnya,
sastra Barat maupun sastra Indonesia
sekali pun sering mengandung mua-
selepas abad kesembilan belas, ada
tan etika dan moral, bukankah suatu
kecenderungan untuk tidak menon-
karya sastra, apalagi cipta sastra
jolkan moral sebab penonjolan moral
modern, jelas bukan kitab atau
pada umumnya akan mengurangi
naskah etika dan moral?; bukankah
nilai estetika karya sastra. Begitu
karya sastra [lebih-lebih cipta sastra
pembaca diberi tahu mengenai moral
modern] tidak atau jarang sekali
karya
dimaksudkan sebagai kitab rujukan
sastra
yang
dihadapinya,
apalagi kalau penonjolan itu bersifat
atau
menggurui,
atau
karakter? Bahkan sekarang misi dan
kenikmatan akan berkurang (Darma,
visi etis dan moral tertentu biasanya
2004:20—21).
sudah tidak menjadi pertimbangan,
unsur
dulce
Dengan keberadaan, kedudu-
panduan
etika-moral
dan
sumber utama atau obsesi proses
kan, dan keadaan di dunia modern
kreatif
seperti
atau
bahasa Horatius, proses kreatif sastra
mungkinkah sastra modern khu-
tidak lagi berdasarkan paradigma
susnya teks cipta sastra modern
dulce et utile [kenikmatan estetis dan
digunakan
pem-
kegunaan etis-moral]. Hal itu jelas
belajaran etika-moral dan karakter?;
berbeda dengan sastra lama yang
jika dapat atau mungkin, efektifkah
memang dihajatkan sebagai sarana
penggunaan cipta sastra modern
pedagogis etis-moral dan karakter
sekarang,
sebagai
dapatkah
media
110
sang
sastrawan.
Dengan
oleh
pengarangnya
tampak
pada
sebagaimana
Serat
seperti
dalam
Cabolek,
Tidakkah
Tripama, Wirid Hidayat Jati, dan
simplistis
Wedatama.
derhanakan
Sastra
lama
milik
sastra
terlalu dan
verbalistis,
reduktif
dan
modern?
[menye-
menyepelekan]
berbagai pemangku budaya lokal,
kalau pembelajaran etika-moral dan
misalnya, memang dicipta atas dasar
karakter bermediakan sastra modern?
paradigm dulce et utile. Oleh karena
Hal
itu,
direnungi
bersama.
Mengapa
pemanfaatan sastra modern sebagai
demikian?
Sebabnya,
bukankah
media pembelajaran etika-moral dan
etika-moral dan karakter pertama-
karakter tidak membebani, malah
tama mengutamakan
mungkin
haruskan praksis atau tindakan nyata
apakah
penggunaan
memperkosa
atau
sastra?
ini
penting
disadari
dan meng-
Jangan-jangan sastra modern disikapi
dalam
sebagai
manusia, bukan pengetahuan dan
kitab
etika-moral
dan
kehidupan
dan
karakter sehingga substansi atau
pemahaman
hakikat
banyak
kesastraannya
tenggelam;
orang
semata? yang
sehari-hari
Bukankah menghayati,
sehingga dulce-nya tenggelam dan
mengetahui, dan memahami dengan
utile-nya dominan.
sangat baik ihwal etika dan moral,
Lagi pula, bukankah pembe-
tetapi tindakan-tindakannya tidak etis
lajaran etika-moral dan karakter lebih
dan bermoral dalam konteks sosial?
membutuhkan contoh dan teladan
Di sini kata dan perbuatan tak
nyata, faktual, dan empiris, bukan
seiring-sejalan-seirama. Ini semua
sekadar kata-kata, petuah, petitih,
menunjukkan bahwa tindakan etis
dan
dan bermoral dapat tumbuh dan
contoh
imajinatif-fiksional
111
berkembang baik berkat kebiasaan
mengatakan
atau praksis berkelanjutan, bukan
etis-moral tetap berpancaran dan
karena khotbah dan cerita semata
berpijar-pijar dalam sastra modern
yang diketahuinya. Konsekuensinya,
yang baik?
penumbuhan
dan
bahwa
ajaran-ajaran
pengembangan
Pertanyaan-pertanyaan terse-
sikap dan tindakan etis dan bermoral
but dicoba dijawab dalam makalah
membutuhkan pembelajaran
ringkas ini. Makalah ringkas ini
yang
nyata dan konkret di lapangan dan di
mencoba
dalam banyak bidang, bukan di kelas
kinan-kemungkinan
dan di dalam bidang sastra semata.
sekaligus
Karena itu, sekali lagi, efektifkah
sastra
penggunaan sastra sebagai media
pembelajaran
pembelajaran etika-moral dan karak-
Dengan kata lain, makalah ringkas
ter? Akan tetapi, jika memang tidak
ini lebih banyak terfokus pada
efektif dan manjur, bukankah Hora-
permasalahan [problematika] peng-
tius [Horace] sudah menyatakan
gunaan sastra sebagai media pem-
bahwa sastra berfungsi dulce et utile
belajaran etika dan moral, bukan
[memberi kenikmatan literer-estetis
pada
dan kegunaan etis-moral-spiritual]
penggunaan sastra sebagai media
sejak lebih seribu tahun lalu? Masa
pembelajaran etika dan moral. Secara
modern sekarang, bukankah Budi
berturut-turut
Darma–sastrawan, budayawan, kriti-
makalah ringkas ini (1) kompleksitas
kus sastra, dan gurubesar sastra
keberadaan
terkemuka
urgensi pendidikan etika khususnya
kita–juga
acap
112
menguraikan dan
keterbatasan
modern
kemung-
efektivitas
sebagai
etika
teknik
dan
dan
dibeberkan
sastra
batas
media moral.
prosedur
dalam
modern,
(2)
pembelajaran
etika-moral
dan
terbatas
sebab
hanya
mampu
karakter, dan (3) kemungkinan dan
menangkap
batas sekaligus keterbatasan penggu-
sastra. Oleh sebab itu, berdebat ihwal
naan
media
definisi atau rumusan tentang sastra
pembelajaran etika-moral dan moral.
merupakan kegiatan kurang pro-
Uraian disajikan secara konseptual-
duktif,
ringkas tanpa banyak ilustrasi dan
bermanfaat, bagi keberadaan dan
contoh yang kongkret-operasional.
kehidupan sastra. Cukuplah dikata-
sastra
sebagai
sebagian
kurang
fenomena
banyak
berguna-
kan di sini bahwa kodrat sastra PEMBAHASAN
merupakan ciptaan (works) kreatif
A. Hakikat Cipta Sastra
[inovatif-inventif]
Perlu disadari bersama bahwa
manusia
yang
terekspresikan ke dalam bahasa khas,
sastra baik sastra modern maupun
yang
sastra lama sangat sukar dirumuskan
mungkin
secara lengkap dan memadai. Setiap
estetis
rumusan selalu luput atau gagal
mengandung karakteristik dan fungsi
menangkap
tertentu.
semua
kompleksitas
mengedepankan
[malah
menomorsatukan] atau
keindahan
Tanpa
sebuah
ciptaan
sastra selalu berubah atau ber-
identitas sebagai sastra. Bahasa di
kembang
berkelanjutan
sini telah menjadi conditio sine qua
serentang perubahan waktu. Hampir
non bagi eksistensi sastra, misalnya
semua rumusan tentang sastra yang
cerita Ramayana dapat disebut sastra
telah dibeberkan baik oleh pakar,
berkat kehadiran bahasa sebab kalau
awam
yang hadir gambar akan membuat
maupun
seniman
selalu
113
akan
dengan
fenomena sastra sebab fenomena
secara
kreatif
bahasa,
sifat
kehilangan
cerita Ramayana disebut komik.
kebudayaan dengan tetap berhubu-
Demikian
keindahan
ngan tak terpisahkan dengan dimensi
kreatif-
sosial dan material kebudayaan, (2)
sastra,
juga
tanpa
sebuah
ciptaan
inovatif-inventif identitas
akan
sebagai
kehilangan
stilisasi,
simbolisasi,
Entitas
dan metafora serta konotasi [bukan
keindahan atau estetis sastra di sini
proposisi, denotasi dan linieritas]
juga telah menjadi conditio sine qua
baik
non bagi keberadaan sastra, misalnya
suprastruktur, (3) sangat mengu-
peristiwa pergolakan politik tahun
tamakan dan menghargai orisinalitas,
1965 yang dirangkai menjadi cerita
keunikan, partikularitas, dan inter-
dapat disebut sastra berkat kehadiran
subjektivitas
keindahan seni di dalamnya karena
keteraturan, keempirisan, dan objek-
kalau
dan
tivitas], (4) menekankan kebebasan,
objektivitas dengan presisi tinggi
keterbukaan, bahkan kemerdekaan
akan membuat peristiwa pergolakan
tafsir
politik tahun 1965 disebut ilmu atau
kepastian dan ketertutupan pencip-
kajian ilmiah.
taan dan tafsir], (5) merupakan
yang
sastra.
menekankan
hadir
logika
dalam
dan
struktur
[bukan
maupun
keumuman,
penciptaan
[bukan
Sampai sekarang sudah ada
wujud sekaligus hasil olah intelektual
bermacam-macam karakteristik sas-
manusia yang sifatnya imajinatif,
tra
oleh
literer, dan afektif-kognitif [bukan
sastrawan, ahli sastra, dan atau ahli
yang rasional-empiris dan positif],
kebudayaan. Beberapa di antaranya
(6) diciptakan dengan pandangan,
yang penting adalah bahwa sastra (1)
paham, dan sikap tertentu, dan (7)
berada
selalu terkait-terikat dengan konteks
yang
dalam
dikemukakan
dimensi
simbolis
114
kehidupan manusia [sebab sastra tak
negasi
mungkin tercipta dari kekosongan].
politik, sosial, etika-moral, psikologi,
Beberapa
tersebut
dan agama] oleh manusia baik
menjadikan sastra berbeda dengan
sebagai pencipta maupun penikmat
wujud,
olah
sastra. Tampaknya, tidak ada karya
lainnya,
sastra yang diciptakan dan eksis
ilmu
tanpa fungsi sama sekali; karya
karakteristik
bentuk,
intelektual misalnya
dan
hasil
manusia filsafat
dan
pengetahuan ilmiah.
sesuatu
[misalnya,
sastra selalu memiliki fungsi tertentu
Dengan karakteristik tersebut, dalam
atas
kehidupan
mungkin
berubah-ubah
di
dalam rentangan waktu berbeda.
manapun dan di dalam kebudayaan
Apapun fungsi yang diemban oleh
apapun, karya sastra selalu memiliki
karya
kedudukan
perubahan
dan
manusia
sekalipun
fungsi
tertentu,
sastra
dan
fungsi
bagaimanapun karya
sastra,
bahkan diberi kedudukan dan fungsi
manusia – dalam hal ini sastrawan –
tertentu oleh manusia baik sebagai
terus-menerus mencipta karya sastra
makhluk personal maupun makhluk
dan manusia lain – dalam hal ini
sosial.
masyarakat penikmat sastra – akan
Karya
sastra
bisa
jadi
memiliki fungsi spiritual, edukatif,
terus-menerus
etis-moral,
sastra. Dengan kata lain, kreativitas
rekreatif,
politis, dan
ekonomis,
sebagainya
menggauli
karya
dalam
sastra dan apresiasi sastra terus-
kehidupan manusia secara personal
menerus berlangsung dalam kehi-
dan atau sosial. Karya sastra bisa
dupan manusia sejak dulu, sekarang,
juga diberi fungsi sebagai afirmasi,
dan masa akan datang.
diagnose, kritik, alternatif, bahkan
115
Uraian
tersebut
mengim-
menunjukkan betapa beranekaragam
plikasikan betapa sangat kompleks
dan majemuknya karya sastra yang
kedudukan dan eksistensi [kebe-
telah ada dalam kehidupan manusia.
radaan] karya sastra. Kompleksitas
Berdasarkan uraian tersebut
substansi, karakteristik, dan fungsi
dapatlah diketahui bahwa dalam
tersebut jelas menimbulkan keane-
sepanjang kehidupannya, (1) ada
karagaman [identifikasi dan kate-
karya
gorisasi atau klasifikasi] karya sastra.
muatan-muatan
Sampai sekarang kategorisasi atau
karakter secara tebal-kental, (2) ada
klasifikasi karya sastra sudah sangat
karya sastra yang berfungsi atau
banyak sehingga ragam karya sastra
diberi fungsi etis dan moral, (3) ada
juga sudah banyak sekali. Ada sastra
karya sastra yang berfungsi dan
lisan, ada sastra tulis. Ada sastra
diberi fungsi edukatif, (4) ada karya
serius, ada sastra populer. Ada sastra
sastra yang dijadikan sebagai wahana
lokal
penyimpan
atau
daerah,
ada
sastra
sastra
yang
dan
mengandung
etika-moral
perawat
dan
norma-
nasional, dan ada sastra asing. Ada
norma etika dan moral, dan (5) ada
sastra ‗asli‘, ada sastra terjemahan.
karya sastra yang relatif [cukup]
Ada sastra bertendens, ada sastra
efektif sebagai media pembelajaran
tidak
etika dan moral. Sastra lisan, sastra
bertendens.
Masing-masing
kategorisasi tersebut mengandung
klasik
sekian banyak paham, bentuk, jenis,
‗keraton‘, dan sastra ‗kanon‘ yang
dan variasi karya sastra sehingga
ada di Indonesia dan di tempat-
kenyataannya terdapat banyak sekali
tempat lain di luar negeri selalu ada
wujud dan hasil karya sastra. Hal ini
yang memenuhi hal-hal tersebut di
116
atau
sastra
lama,
sastra
atas. Akan tetapi, segera harus
karakter sehingga karya-karya sastra
disadari bahwa hal sebaliknya juga
tersebut
selalu ada. Harus disadari bersama
wahana atau media pembelajaran
bahwa di dunia ini juga (1) ada karya
etika dan moral. Akan tetapi, novel
sastra yang [sama sekali] tidak
Karmila (Marga T), Telegram (Putu
mengandung
dan
Wijaya), dan Jangan Ambil Nyawaku
moral, tetapi (2) ada karya sastra
(Titi Said) tentu kurang efektif
yang tidak berfungsi dan tidak diberi
sebagai
fungsi etis dan moral, (3) ada karya
pembelajaran
sastra yang tidak berfungsi dan diberi
karakter sebab tiga karya sastra
fungsi edukatif, (4) ada karya sastra
modern tersebut kurang kuat muatan
yang
wahana
etika dan moralnya; kurang kuat
norma-
fungsi etis, moral, dan edukatifnya.
norma etis dan moral, dan (5) ada
Meskipun demikian, memang harus
karya sastra yang tidak efektif untuk
disadari bahwa setiap karya sastra
wahana dan media pembelajaran
modern yang baik atau bagus tidak
etika
pernah hampa dari suara-suara etis
muatan
tidak
penyimpan
dan
etika
dijadikan dan
perawat
moral.
Ramayana, Wedhatama,
Mahabharata,
Wulang La
Galigo,
relatif
efektif
wahana
sebagai
atau
media
etika-moral
dan
Reh,
dan moral. Setiap karya sastra yang
Malin
baik senantiasa menyuarakan soal-
Kundang, dan Syair Perahu memang
soal
sarat dengan muatan etika dan moral,
walaupun tidak secara langsung dan
kental
dan
hanya secara naratif, hanya secara
edukatif, dan terkesan kuat menjadi
literer. Novel Dokter Zhivago (Boris
penyimpan norma etika-moral dan
Pasternak), kwatrin Bumi Manusia
fungsi
etis,
moral,
117
etika-moral
dan
karakter
(Pramoedya
Ananta
Toer),
dan
dikan etika dan moral. Mengapa
Seratus Tahun Kebisuan (Gabriel
demikian?
Marcia Marques) – sebagai contoh –
etika-moral
menyuarakan pesan etis dan moral
dipandang sebagai resep jitu atau
yang amat kuat sekalipun merupakan
obat mujarab untuk membereskan
sastra modern. Karya-karya Heming-
persoalan
way, Leo Tolstoy, Yukio Mishima,
penyakit
Yasunari
Indonesia. Di samping itu, etika dan
Kawabata,
Muhammad
Sebabnya, dan
karakter
atau yang
telah
menyembuhkan melilit
bangsa
Iqbal, dan Gabrial Marques juga
moralitas
menyuarakan pesan-pesan etis dan
memperkuat
moral yang tebal-kental.
kehidupan bangsa yang bersih dan santun.
juga
pendidikan
dipandang dan
Untuk
dapat
memajukan
itu,
pendidikan
khususnya pembelajaran etika-moral
B. Pembelajaran Etika-Moral an
dan karakter ini perlu dilaksanakan
Karakter Melalui Sastra Tidak ada yang memungkiri
baik
dalam
rumah/keluarga,
bahwa pendidikan etika-moral dan
masyarakat
karakter sekarang sangat dibutuhkan
Pembelajaran
dalam kehidupan. Wacana tentang
karakter ini harus mengutamakan
perlunya pendidikan budi pekerti dan
contoh-contoh dan teladan-teladan
pendidikan karakter bangsa bagi
nyata, bukan khotbah dan retorika,
anak-anak muda yang berkembang
agar mencapai sasaran yang diingin-
belakangan ini merupakan bukti
kan, yaitu terbentuknya manusia etis
bahwa sekarang kita membutuhkan,
dan bermoral tanpa harus menjadi
bahkan sangat membutuhkan pendi-
moralis.
118
maupun
sekolah.
etika-moral
dan
Pertanyaan kita: Bagaima-
berguna,
bahkan
sering menjadi
nakah pembelajaran etika-moral dan
indoktrinasi etika-moral dan karakter
karakter dengan
dapat
kita
laksanakan
semata. Kedua, kurikulum sekolah
efektif
dan
baik
Indonesia sudah sangat padat-sesak
serta
mencapai sasaran, yaitu terben-
sehingga
tuknya manusia etis dan bermoral?
memunculkan mata pelajaran pendi-
Secara khusus, bagaimanakah pem-
dikan etika-moral dan karakter secara
belajaran etika-moral dan karakter
mandiri. Penciptaan mata pelajaran
dilaksanakan di sekolah? Penga-
pendidikan etika-moral dan karakter
laman bertahun-tahun menunjukkan
tentu hanya menambah beban siswa,
bahwa
bahkan juga guru dan kepala sekolah,
pelaksanaan
etika-moral
dan
pembelajaran
karakter
tidak
malah
tidak
mungkin
membuat
semua
lagi
warga
mudah, terbukti sangat sulit. Setidak-
sekolah stres atau depresi. Oleh
tidaknya ada dua sebab utama.
karena itu, pembelajaran etika-moral
Pertama,
dan karakter tidak mungkin disajikan
sebagaimana
sudah
disinggung di muka, pembelajaran
secara
etika-moral
meskipun dalam hal tertentu bisa
dan
karakter
terpisah
dan
membutuhkan teladan dan contoh
juga,
nyata secara ajek karena ia lebih
Pengembangan Diri. Pembelajaran
merupakan praksis, bukan teori;
etika-moral
perilaku nyata, bukan pengetahuan
mungkin dan paling baik disajikan
dan pemahaman semata-mata. Penje-
secara terpadu dengan mata pelajaran
lasan-penjelasan
lain dan menggunakan strategi yang
informatif
sering
teoretis tidak
yang banyak
lebih
119
misalnya
tersendiri
melalui
dan
banyak
program
karakter
mendorong
hanya
siswa
membentuk sikap-sikap etis-moral
ajar.
dan
membaca novel Belenggu [Armijn
tindakan-tindakan
etis
dan
bermoral.
Pane],
Untuk
itu,
Misalnya,
siswa
dengan
diajak
diminta
melakukan
pendekatan
refleksi dan kontemplasi persoalan
terpadu dapat dipertimbangkan untuk
etis dan moral yang dilakonkan oleh
dipakai
Tono, Tini, dan Yah. Oleh karena itu,
sebagai
pendekatan
pembelajaran
etika-moral
dan
pemilihan materi bahasa dan sastra
karakter
sekolah.
Dengan
harus dilakukan secara hati-hati,
pendekatan terpadu, pembelajaran
tepat, dan cermat serta berdaya guna.
etika-moral dan karakter dipadukan
Dalam hubungan ini materi bahasa
dan disatukan dengan pelbagai mata
perlu dipilih yang fungsional untuk
pelajaran yang ada. Salah satunya
memberikan pengalaman etis dan
adalah mata pelajaran bahasa dan
moral. Demikian juga materi sastra
sastra
di
Indonesia.
Dalam
mata
perlu dipilih yang cocok dan tepat
dan
sastra
untuk memberikan pengalaman etis
Indonesia, materi-materi etika-moral
dan moral; materi sastra harus bisa
dan karakter dapat dipadukan dan
mendorong siswa untuk melakukan
disisipkan ke dalam materi-materi
refleksi dan kontemplasi persoalan
bahasa dan sastra. Dengan materi
etis dan moral. Harus disadari benar
bahasa dan sastra siswa bisa diajak
bahwa tidak semua materi bahasa
melakukan apresiasi, refleksi, dan
dan sastra cocok dan fungsional
kontemplasi persoalan-persoalan etis
untuk memberikan pengalaman etis
dan moral yang tercermin dalam
dan moral karena tidak semua karya
pelajaran
bahasa
karya sastra yang menjadi materi-
120
sastra modern bermuatan etika-moral
menjadi materi ajar. Misalnya, siswa
dan karakter yang memadai.
diajak bersama-sama menghayati,
Selain itu, strategi pembelajaran
berbasis
[project
sastra yang memberikan pengalaman
based learning] dan pembelajaran
etis dan moral, misalnya Salah
berbasis masalah [problem based
Asuhan,
learning]
sebagai
kemudian diajak merenungkan dan
etika-moral
membatinkan persoalan etis dan
dan karakter di sekolah dalam mata
moral yang ada dalam ketiga novel,
pelajaran
dan selanjutnya diajak menyusun
strategi
proyek
membaca, dan menelaah suatu karya
dapat
dipakai
pembelajaran
bahasa
Indonesia.
dan
sastra
Dengan
strategi
Belenggu,
dan
suatu proyek untuk
Atheis,
menerapkan
pembelajaran berbasis proyek dan
pengalaman etis dan moral yang
pembelajaran
masalah,
telah diperolehnya, serta terakhir
siswa tidak diberi materi bahasa dan
siswa diajak menerapkan rancangan
sastra yang bermuatan etika-moral
proyek yang telah disusun tersebut.
dan
tetapi
Setelah itu, siswa dapat diminta
siswa diajak bersama-sama membuat
membuat laporan tentang penerapan
suatu proyek yang berkenaan dengan
pengalaman-pengalaman
pengalaman etis dan moral di dalam
moral dalam kehidupan sehari-hari
bahasa dan sastra di samping diajak
dan kemudian mendiskusikannya.
menghayati,
merenungkan,
dan
Dengan
cara
mengambil
kesimpulan
atas
modern
dapat
karakter
persoalan
etis
berbasis
semata-mata
dan
moral
seperti
etis
ini,
efektif
dan
sastra menjadi
yang
wahana dan media pembelajaran
terdapat dalam karya sastra yang
etika-moral dan karakter di sekolah.
121
Hal ini mengimplikasikan bahwa
moral. Agar pembelajaran etika-
sastra modern tetap bisa menjadi
moral dan karakter tidak menjadi
media pembelajaran etika-moral dan
mata pelajaran baru dan bersifat
karakter
dan
indoktrinatif atau teoretis yang dapat
ditetapkan berdasarkan persyaratan
membebani siswa, ia perlu atau
yang
hendaknya
asalkan
sesuai
dipilih
dengan
pembelajaran
kebutuhan
etika-moral
dan
diintegrasikan
dikomplementasikan
atau dengan
karakter di samping disajikan dan
berbagai materi atau mata pelajaran
ditanamkan kepada siswa dengan
dalam
cara atau siasat yang cocok, tepat,
Berdasarkan beberan di muka terlihat
dan manjur.
bahwa sastra modern [Indonesia] dan
kompetensi
pembelajaran
sastra
tertentu.
[Indonesia]
dapat dijadikan wahana, wadah, dan
SIMPULAN Etika-moral
dan
karakter
media pembelajaran etika-moral dan
sangat penting bagi semua orang
karakter
termasuk para pelajar atau siswa,
bukanlah kitab etika dan moral.
lebih-lebih sekarang etika-moral dan
Dalam pembelajaran bahasa dan
karakter
sastra Indonesia, minimal cipta sastra
harus
ditindakkan
oleh
dimiliki semua
dan orang.
modern
sekalipun
dapat
cipta
dijadikan
sastra
wahana
Karena itu, penanaman etika-moral
apresiasi, refleksi, dan kontemplasi
dan
dilaksanakan
persoalan etis dan moral. Hal ini
melalui pembelajaran di sekolah. Hal
perlu disertai dengan catatan bahwa
ini
betapa
sikap hati-hati dan cermat sangat
pentingnya pembelajaran etika dan
diperlukan agar pembelajaran bahasa
karakter
perlu
mengimplikasikan
122
dan sastra Indonesia tidak jatuh ke DAFTAR PUSTAKA
arah pembelajaran etika-moral dan
Bertens, K. 1995. Etika. Jakarta: Gramedia.
karakter pada satu pihak dan pada pihak lain agar pembelajaran etika-
Cassirer, Ernst. 1983. Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: Gramedia.
moral dan karakter tidak dianggap identik atau sama dengan pembe-
Darma, Budi. 2004. Pengantar ke Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
lajaran bahasa dan sastra Indonesia. Jadi, pemfungsian atau penggunaan
Robinson, Dave dan Chris Garratt. 2000. Etika for Beginners. Bandung: Mizan.
bahasa dan sastra Indonesia sebagai wahana, wadah, dan media pembelajaran
etika-moral
dan karakter
Saryono, Djoko. 1998. Representasi Nilai Budaya Jawa dalam Prosa Fiksi Indonesia. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana IKIP Malang.
perlu dilakukan secara hati-hati dan penuh kesadaran supaya hakikat bahasa dan sastra sebagai karya seni atau estetis
tetap terjaga, tidak
tereduksi menjadi karya etika atau moral.
123