SANKSI ATAS NASABAH (MURABAHAH) MAMPU YANG MENUNDANUNDA PEMBAYARAN HUTANG (Studi Fatwa DSN) Oleh: Suci Hayati Abstract Establishing financial institutions based on sharia law aims to apply Islamic economic values in society. Existence of Islamic banks is to develop the principles of sharia, especially for the models imposed a business as if the debtor fails to perform its obligation to repay the debt on time while he has the ability, so he will be punished because of it. Therefore, national Islamic council set fatwa delay penalties to customers postpone payments. The appearing problem is that the sanctions that DSN set fully benefit Islamic banks? The goal to be achieved is to determine whether the sanctions that DSN set fully benefit Islamic banks. After researching DSN provision that sanctions fines is tied to a social fund which al qardhul hasan, while there are losses incurred by the Islamic banks in the amount of fee billing process that should be charged to the customer. Keywords: Sanctions, cutomer, murabahah, debt. A. PENDAHULUAN Islam adalah agama rahmatan lil‟alamin, sebagai pedoman dan petunjuk hidup manusia sepanjang zaman. Islam merupakan suatu pandangan/cara hidup yang mengatur semua sisi kehidupan manusia, maka tidak ada satu aspek kehidupan manusia yang terlepas dari ajaran Islam, termasuk aspek ekonomi.1 Dalam ekonomi lembaga keuangan merupakan penyempurna dari kegiatan perekonomian masyarakat, di mana bekerja merupakan kewajiban semua umat manusia, tanpa adanya lembaga keuangan maka kegiatan perekonomian akan menjadi sulit. Lembaga keuangan yang merupakan penyempurna tersebut adalah lembaga keuangan yang menggunakan sistem keuangan syariah.
Dosen Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo Metro, Lampung, E-mail:
[email protected] 1Adiwarman A. Karim I, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 14.
Sistem keuangan syariah adalah bagian yang berkembang pesat dari sektor keuangan dunia. Sistem keuangan ini tidak terbatas pada negara-negara Islam dan terdapat di mana ada komunitas Muslim yang cukup besar. Baru-baru ini, sistem keuangan syariah telah menarik perhatian pasar keuangan konvensional. Menurut beberapa perkiraan, lebih dari 250 lembaga keuangan dilebih dari 45 negara mempraktekkan suatu bentuk dari sistem keuangan syariah dan industri ini berkembang pada tingkat yang lebih besar dari 15% per tahun selama lima tahun terakhir.2 Perkembangan bank syariah sendiri didukung oleh salah satu produk yang banyak diminati masyarakat yakni murabahah. Murabahah merupakan produk pembiayaan yang paling banyak diberikan oleh
pihak bank dalam
kerjasamanya dengan nasabah. Murabahah yaitu pembelian barang dengan pembayaran
ditangguhkan,
sedangkan
pembiayaan
murabahah
adalah
pembiayaan yang diberikan kepada nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi.3 Secara bahasa murabahah adalah bentuk mutual (bermakna: saling) dari kata ribh yang artinya keuntungan, yakni pertambahan nilai moral (jadi artinya saling mendapat keuntungan). Menurut terminologi ilmu fiqih arti murabahah adalah menjual dengan harga asli (harga beli) bersama tambahan keuntungan yang jelas.4 Sehingga murabahah dapat diartikan akad jual beli barang dengan menyatakan perolehan dan keuntungan bagi hasil atau margin yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Hal ini dikarenakan murabahah berakad jual beli sehingga bank mendapatkan keuntungan yang jelas dalam transaksi tersebut. Hal ini yang mengakibatkan akad murabahah paling banyak digunakan oleh bank syar‟iah guna pembiayaan nasabahnya. 2Hennie Van Greuning dan Zamir Iqbal, Analisis Risiko Perbankan Syariah, (Jakarta: Salemba Empat, 2011), h. 3 . 3Ali Hasan, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 54. 4Adiwarman A. Karim II, Fiqih Ekonomin Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004), h. 198.
Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tangguh dan cicilan. Tapi kebanyakan nasabah menggunakan cara pembayaran dengan cicilan. Bank syariah dapat memberikan potongan apabila nasabah mempercepat pembayaran cicilan, atau melunasi piutang murabahah sebelum jatuh tempo. Kemudian harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual sedangkan harga beli harus diberitahukan. Setelah semua kesepakatan terjadi maka akad murabahah sudah terjadi.5 Akan
tetapi
tidak
selamanya
setiap
usaha
akan
memperoleh
laba/keuntungan sesuai yang diinginkan. Ada kalanya nasabah mengalami kebangkrutan/kerugian. Apabila itu terjadi dan menyebabkan nasabah tidak mampu membayar hutang murabahahnya kepada bank sesuai dengan yang dijanjikan seharusnya bank memberikan keringanan kepada nasabah tersebut berupa perpanjangan waktu dan tanpa adanya denda.6 Rasulullah SAW menganjurkan agar pemberi piutang ketika akan meminta kembali hutang dari peminjam harus memperhatikan kondisi orang yang berhutang. Jika orang yang berhutang masih dalam kesulitan untuk membayar hutangnya, maka pemberi piutang harus memberikan pengunduran pembayaran. Namun jika nasabah sengaja untuk menunda-nunda pembayaran tanpa alasan yang jelas, maka pihak Lembaga Keuangan Syariah berhak untuk mengenakan denda kepadanya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya. Denda merupakan balasan sebagai akibat dari suatu perbuatan dan sebagai kompensasi atas kemangkiran mereka. Dibarengi dengan pesatnya perkembangan sistem keuangan syariah, perbankan syariah dihadapkan pada kredit bermasalah pada produk murabahah dan dibutuhkan suatu kebijakan untuk menanggulanginya. Pada transaksi murabahah, bank syariah menghadapi resiko kredit sewaktu memberikan aset ke klien tetapi tidak menerima pembayaran tepat waktu.
5Adiwarman
A. Karim I, , Fiqih Ekonomin..., h. 105. Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 14. 6
Kredit bermasalah merupakan kredit yang telah disalurkan oleh bank dan nasabah tidak dapat melakukan pembayaran atau melakukan angsuran sesuai dengan perjanjian yang telah ditandatangani oleh bank dan nasabah. Sementara ini, dalam bank konvensional bahwa kredit bermasalah akan berakibat pada kerugian bank, yaitu kerugian karena tidak diterimanya kembali dana yang telah disalurkan maupun pendapatan bunga yang tidak dapat diterima. Artinya, bank kehilangan kesempatan mendapat bunga yang berakibat pada penurunan pendapatan secara total.7 Kredit bermasalah merupakan bagian dari resiko bisnis bank umum yang tidak bisa dihindari. Walaupun demikian setiap bank wajib berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah timbulnya kasus yang tidak diinginkan itu dan mengeliminir kerugian bank bilamana kasus itu muncul. Kredit bermasalah adalah penyakit dalam tubuh bank. Semakin dini gejala penyakit itu diketahui, semakin besar kemungkinan bank dapat mengobati atau menyelamatkan kredit yang bersangkutan. Dalam kebijaksanaan kredit harus dicantumkan secara tegas sanksi administratif apa yang akan dikenakan kepada nasabah yang bermasalah. Sementara ini dalam perbankan syariah ada muncul sikap menundanunda pembayaran yang dilakukan oleh nasabah bank terhadap akad murabahah. Akibatnya bank mengalami kerugian material dan non material. Maka dari itu denda diperbolehkan karena untuk menghindari kecurangan-kecurangan yang akan dilakukan nasabah, denda juga sebagai alat motivator nasabah untuk bekerja dengan giat dan sungguh-sungguh dan denda diberikan untuk tujuantujuan sosial bukan untuk kepentingan orang yang memberi hutang. Pada dasarnya eksistensi perbankan adalah untuk memudahkan kegiatan manusia secara umum dengan prinsip mutualisme
(saling menguntungkan).
Untuk mewujudkan prinsip tersebut maka perbankan dan penggunanya (nasabah) mesti mentaati aturan-aturan yang berlaku sehingga memberikan kenyamanan dalam bertransaksi. 7
Ismail, Manajemen Perbankan dari Teori menuju Aplikasi, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 123
Fenomena ini memunculkan berbagai permintaan dari pengelola perbankan syariah akan pentingnya penagihan ganti rugi dan pengenaan sanksi ganti rugi atas biaya yang dikeluarkan untuk melakukan penagihan kepada nasabah pembiayaan yang lalai dan nakal (menunda-nunda pembayaran hutang).
Berdasarkan
alasan
tersebut,
maka
Dewan
Syariah
Nasional
mengeluarkan fatwa tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. Berangkat dari fenomena yang ada di atas, peneliti merasa perlu untuk melakukan studi lebih lanjut terhadap fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional sehingga pihak Lembaga Keuangan Syariah tidak merasa dirugikan dengan ditetapkannya fatwa tersebut. Bertolak dari latar belakang masalah di atas, maka pertanyaan pokok dalam penelitian ini yaitu: Apakah sanksi yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional sepenuhnya menguntungkan bagi pihak perbankan syariah?
B. KAJIAN TEORI 1. Prinsip Bank Syariah dalam Murabahah Penyaluran dana bank syariah terbagi atas tiga prinsip yaitu prinsip jual beli, prinsip kerja sama dan prinsip sewa menyewa.8 Sedangkan prinsip yang dipakai dalam jual beli ini adalah pembiayaan murabahah. Secara etimologi murabahah adalah bentuk mutual (bermakan :saling) dari kata ribh yang artinya keuntungan, yakni pertambahan nilai moral (jadi artinya saling mendapat keuntungan). Menurut terminologi ilmu fiqih arti murabahah adalah menjual dengan asli bersama tambahan keuntungan yang jelas.9 Murabahah adalah transaksi jual beli di mana bank menyebut keuntungannya.10 Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan. 8Irma Devita Purnama Sari dan Suswinarno, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah Dan Bijak Memahami Masalah Akad Syariah, (Bandung: Kaifa, 2011), h.38. 9Adiwarman A.karim, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, (Haq,2004), h.198. 10H.R Daeng Najah, Akad Bank Syariah, (Yoyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), h.43 .
Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati, tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam praktek perbankan, murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan. Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad, sementara pembayaran dilakukan secara tangguh. Akad murabahah merupakan model pembiayaan alternatif dalam pengadaan barang-barang kebutuhan. Bagi nasabah, akad murabahah merupakan model pembiayaan alternatif dalam pengadaan barang-barang kebutuhan. Melalui pembiayaan murabahah, nasabah akan mendapat kemudahan mengangsur pembayaran dengan jumlah yang sesuai berdasarkan kesepakatan dengan pihak bank. Bagi bank syariah, pembiayaan murabahah merupakan akad penyaluran dana yang cepat serta mudah. Melalui murabahah, bank syariah akan mendapat profit berupa margin dari selisih pembelian dan penjualan. Adapun yang menjadi prinsip dan ketentuan umum dalam pembiayaan murabahah yaitu:11 a. Akad murabahah bebas riba b. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan c. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang. d. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dari pembelian ini harus dan bebas riba. e. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian. f.
Bank menjual barang kepada nasabah dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungan.
g. Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. h. Nasabah membayar harga barang yang disepakati pada jangka waktu tertentu. 11Ismail,
Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 106.
i.
Untuk mencegah penyalahgunaan atau kerusakan akad, bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. Pada
dasarnya akad
murabahah
hampir sama
dengan
perjanjian jual beli yang dilaksanakan dalam hukum positif yang selama ini berlaku di Indonesia. Pokok-pokok yang diatur dalam Akad Murabahah adalah sebagai berikut12
:
a. Subjek Perjanjian Dalam akad murabahah, bank bertindak selaku penjual dan nasabah bertindak selaku pembeli. b. Hal spesifik yang harus dipenuhi dalam akad murabahah: 1)
Barang telah dimiliki oleh penjual dan barang yang diperjualbelikan tersebut bukan merupakan barang yang diharamkan oleh syariat Islam.
2) Keuntungan dan resiko di tangan penjual. 3) Harus ada informasi harga dan biaya yang wajar. 4) Informasi keuntungan yang jelas. 5) Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba (bunga). c. Unsur Kesepakatan (Ijab Qabul) Dalam akad harus ada pernyataan yang tegas mengenai: 1) Harga barang, yang terdiri dari harga beli bank, keuntungan (margin) yang diambil oleh bank dan harga jual dari bank. 2) Cara pembayaran, apakah tunai ataukah dengan cicilan. 3) Jika dengan cara cicilan, harus diperhitungkan jangka waktu pembayarannya. Semakin lama jangka waktu cicilan maka nasabah akan semakin diuntungkan. Sebaliknya, semakin singkat waktu cicilan, bank yang akan lebih diuntungkan.
12Irma
Devita Purnama Sari dan Suswinarno, Kiat-Kiat.., h. 50.
4) Apabila terjadi kegagalan pembayaran (event of default), haruslah ditetapkan mengenai: a. Apakah yang menyebabkan kegagalan tersebut. Apabila karena force majeur, biasanya akan dilakukan penjadwalan ulang untuk melunasinya. Apabila karena kelalaian nasabah, bank berhak mengenakan penalti sebagai “hukuman yang mendidik” bagi nasabah bersangkutan. b. Jika memang sudah macet sepenuhnya, harus ditentukan tata cara pengembalian modal yang sudah dikeluarkan oleh bank. Selanjutnya dalam skema murabahah, apabila terjadi cedera janji (wanprestasi), akan ada resiko yang timbul yaitu kewajiban untuk memberikan ganti rugi (adh-dhaman) dari pihak yang lalai.13 Jika pada awalnya disepakati bahwa jangka waktu pembayaran dilakukan selama tiga tahun dan dibayarkan setiap tanggal satu tiap bulannya, kemudian nasabah ingkar janji maka nasabah dapat dianggap sudah melakukan wanprestasi. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank adalah sesuai dengan kerugian riil (real los) yang berkaitan dengan upaya bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya
peluang yang hilang (opportunity
loss/al-fusha al-dha‟i‟ah). Kerugian riil adalah biaya-biaya riil yang dikeluarkan oleh bank dalam melakukan penagihan hak bank yang seharusnya dibayarkan oleh nasabah.14 Hal ini berbeda dengan pengenaan ganti rugi dalam bank konvesional dimana bank konvesional mengenakan ganti rugi atau denda didasarkan pada teori time value of money.15 Konsep time value of money ini muncul karena adanya uang disamakan dengan sel hidup atau teori yang menyatakan bahwa uang dengan jumlah yang sama sekarang atau saat ini adalah lebih bernilai dibandingkan dengan saat nanti. 2. Kewajiban Nasabah 13Ibid.,
h. 52. Irma Devita Purnama Sari dan Suswinarno, Kiat-Kiat..., h. 16. 15 Muhamad, Bank Syariah, EKONISIa, (Yogyakarta: 2002, h. 35. 14
Secara umum salah satu faktor struktural yang
menjadi penyebab
keterpurukan ekonomi rakyat adalah meluasnya kolusi, korupsi dan nepotisme antara para birokrat, pengusaha besar dan para bankir di Indonesia dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi hanya untuk kalangan mereka sendiri. Dunia perbankan nasional dijadikan pintu dan sarana tempat pencurian dan perampokan uang rakyat dan negara secara sistematis, salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan kelemahan payung hukum dalam dunia perbankan dan rusaknya sistem politik nasional, yang selanjutnya hal ini melahirkan sebuah fenomena yang disebut dengan kredit macet.16 Pada prinsipnya pembeli/pemesan/debitur setelah barang diterima, ia punya kewajiban untuk melunasi hutangnya. Namun hutangnya belum lunas ia telah menjual/mengalihkan hak milik barang/benda tersebut kepada pihak ketiga dan sekaligus menunda-nunda pembayaran hutang. Oleh karena itu pihak bank akan mengambil sikap: mengambil prosedur perdata untuk mendapatkan kembali hutang (harga barang) dan mengklaim kerusakan financial yang terjadi akibat penundaan pembayaran hutang. Bagaimana sistem pengambilan dan penyitaan barang/benda sebagai jaminan dari pembeli/pemesan/debitur sudah berada pada pihak ketiga.17 Bagaimana pandangan Islam terhadap hutang dan tindakan terhadap orang-orang atau para pihak yang tidak memenuhi kewajibannya (barang hutang). Hutang timbul apabila terjadi pinjaman uang atau transaksi yang tidak tunai. Islam menganjurkan sedapat mungkin untuk tidak berhutang, namun jika terpaksa berhutang diwajibkan segera membayar atau menepati akad atau janji yang telah disepakati.18 Dalam hukum Islam seseorang diwajibkan untuk menghormati dan mematuhi setiap perjanjian atau amanah yang dipercaya kepadanya. Apabila
16Ahmad
Arif Rifan , MSI-UII.net,8-8-2005. Qardawi, Norma dan Etika Islam, (Alih bahasa Zainal arifin dan Dahlia Husin), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h.149. 18Lebih lanjut tentang penanganan pembiayaan bermasalah lihat Muhammad Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP, APM, YKPN, 2002), h.267. 17Yusuf
seseorang telah mendapat kredit atau pembiayaan dari bank, maka ia telah mendapat amanah dari orang lain (deposan atau shahib al mal di bank). Jika debitur tersebut melakukan cidera janji, maka ia dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, dapat/bisa dilakukan tindakan sesuai dengan kondisi dan alasannya.19 Pada zaman sekarang ini dalam perbankan syariah ada muncul sikap menunda-nunda pembayaran yang dilakukan oleh debitur atau nasabah bank terhadap akad murabahah. Akibatnya bank mengalami kerugian material (biaya penagihan dan penyewaan pengacara) dan non material (waktu dan tenaga serta fikiran). Fenomena ini memunculkan berbagai permintaan dari pengelola perbankan syariah akan pentingnya penagihan ganti rugi dan pengenaan sanksi ganti rugi atas biaya yang dikeluarkan untuk melakukan penagihan kepada nasabah pembiayaaan yang lalai dan nakal (menunda-nunda pembayaran hutang). Pembiayaan untuk suatu kongsi berdasarkan murabahah yang harus dilunasi pada jangka waktu tertentu tidak jauh berbeda dengan pembiayaan kongsi berdasarkan suku bunga tetap. Dalam kedua kasus tersebut, pembiayaan adalah hutang dan biaya pembiayaan apakah itu disebut bunga atau laba, ditetapkan serta jangka waktu pembayaran pun ditetapkan. Perbedaan yang paling penting mestinya dalam hal dimana debitur gagal melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan. Pinjaman dengan bunga pada umumnya menimbulkan sanksi bunga tambahan jika pinjaman tidak dilunasi pada saat jatuh tempo, entah si debitur mampu membayar atau tidak. Dalam hal bank Islam, debitur harus diberi waktu toleransi untuk melunasi jika ia tidak mampu20 sesuai dengan perintah al-Qur‟an Surat Al-Baqarah ayat 280 yang berbunyi: Dan jika (orang berhutang itu) dalam 19Komentar Direkture Utama Bank Muamalah Indonesia A. Ridwan Amin dalam Ta‟widh, Pembayaran bagi Nasabah Nakal dalam Republika Senin, 4 oktober 2004. 20Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 113.
kesukaran,
berilah
menerangkan bahwa
tangguh
sampai
dia
berkelapangan...21.
Ayat
ini
jika debitur mempunyai kesulitan, maka berilah
penundaan sampai ia memperoleh kemudahan. Penundaan seperti tersebut harus diberikan tanpa menambahkan beban tambahan kepada nasabah atas waktu yang diberikan untuk pembayaran. Seorang nasabah yang mempunyai kemampuan ekonomis dilarang menunda penyelesaian utangnya dalam murabahah. Bila seorang pemesan menunda penyelesaian utang tersebut, pembeli dapat mengambil tindakan: mengambil prosedur hukum untuk mendapatkan kembali utang itu dan mengklaim kerugian finansial yang terjadi akibat penundaan.22 Rasulullah SAW pernah mengingatkan pengutang yang mampu tetapi lalai dalam salah satu haditsnya yang berbunyi: Yang melalaikan pembayaran utang (padahal ia mampu) maka dapat dikenakan sanksi dan dicemarkan nama baiknya (semacam black list-pen). Hadits ini memberikan signal kepada pihak lembaga keuangan syariah bahwa sanksi harus diberikan kepada nasabah mampu namun sengaja menunda-nunda waktu dalam pembayarannya. Hanya saja di dalam praktiknya, penerapan perintah tersebut merupakan celah potensial bagi nasabah yang mungkin lalai untuk melunasi hutang mereka padahal mereka mampu melunasinya.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran Di antara keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional23 adalah No.17/DSN-MUI/IX/2000, tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, sebagai berikut24: Al-Qur‟an dan terjemahnya, Departemen Agama, (Jakarta: Toha Putra: 1989), h. 70. Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h.10.5 23Dewan Syariah Nasional dibentuk oleh MUI pada tahun 1999. Lembaga ini saat ini beranggotakan para ahli hukum Islam dan para ahli serta para praktisi ekonomi, terutama sektor keuangan, baik bank maupun non-bank. Dimana fungsi utama lain dari lembaga ini adalah 21
22Muhammad
Pertama: ketentuan Umum a. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan sengaja. b. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force major tidak boleh dikenakan sanksi. c. Nasabah
mampu
yang
menunda-nunda
pembayaran
dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi. d. Sanksi didasarkan pada prinsip ta‟zir yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. e. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. f.
Dan yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.
Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah terjadi kesepakatan melalui musyawarah. Ketiga: Fatwa ini berlaku sejak ditetapkannya dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Lebih lanjut lihat Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 235. Lihat juga Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup Peluang, Tantangan dan Prospek, (Jakarta: Alvabet, 1999). 24Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Diterbitkan oleh DSN-MUI, Himpunan Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: Intermasa, 2003).
a. Keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional ini
didasarkan
pada
pertimbangan-pertimbangan
sebagai
berikut25: 1) Bahwa masyarakat banyak memerlukan pembiayaan dari Lembaga keuangan Syariah (LKS) berdasarkan pada prinsip jual beli maupun akad lain yang pembayarannya kepada LKS dilakukan secara angsuran. 2) Bahwa nasabah mampu terkadang menunda-nunda kewajiban pembayarannya baik dalam akad jual beli maupun akad yang lain,
pada
waktu
yang
telah
ditentukan
berdasarkan
kesepakatan di antara kedua belah pihak. 3) Bahwa masyarakat dalam hal ini pihak LKS, meminta fatwa kepada DSN tentang tindakan atau sanksi apakah yang dapat dilakukan terhadap nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran tersebut menurut Syariah Islami. 4) Bahwa oleh karena itu, DSN perlu menetapkan fatwa tentang sanksi
atas
nasabah
mampu
yang
menunda-nunda
pembayaran menurut prinsip Syariah Islam, untuk dijadikan pedoman bagi LKS. b. Dalil-dalil yang digunakan oleh Dewan Syraiah Nasional dalm menetapkan fatwa tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. 1) Firman Allah Qs. Al-Maidah (5) : 1: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu.....” 2) Hadits Nabi riwayat Tirmizi dan „Amr bin „Auf. “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” 25Ibid,
h. 103-105.
3) Hadits Nabi riwayat jama‟ah (Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa‟i, Abu Daud, Tirmidzi, Malik, al-Darimi dari Abu Hurairah, Ibn Majah dan Abu Hurairah dan Ibnu Umar). “Menunda-nunda (pembayaran) dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman....” 4) Hadits nabi riwayat Nas‟i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad dari Syraid bin Suwaid: “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” 5) Hadits Nabi riwayat Ibn Majah dari „Ubaidah bin Samit, riwayat Ahmad dari Ibn Abbas, dan Malik dari Yahya: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” 6) Kaidah Fiqh: “Pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” “Bahaya beban berat harus dihilangkan.” 2. Telaah terhadap fatwa Dewan Syariah Nasional tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. Berdasarkan fatwa tersebut, para nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dapat dikenakan sanksi yang didasarkan pada prinsip ta‟zir26, yaitu bersifat menyerahkan dan demi perbaikan serta bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat 26Ta‟zir
menurut bahasa yaitu mashdar (kata dasar) dari „azzara yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan dan membantu. Dalam al-Qur‟an disebutkan: Ta‟zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut ta‟zir karena hukuman tersebut sebenarnya mengalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Para fuqaha mengartikan ta‟zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al-Qur‟an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta‟zir sering juga disamakan oleh fuqaha dengan hukuman terhadap setiap maksiat yang tidak diancam dengan hukuman had atau kaffarah. (Lebih lanjut lihat, Abu Ishaq al-Syirazi, Al Muhadzdzab, (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, t.t. hal. 289).
akad ditandatangani. Selama ini bila nasabah lalai melunasi pembiayaan bank mereka dikenakan denda. Denda
tersebut
ditujukan
guna
mendisiplinkan
nasabah
dan
bertanggung jawab atas janji yang dibuatnya kepada bank. Lalu dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial, karena sifatnya, denda yang dibayar nasabah tidak boleh dijadikan
sebagaimana pendapatan, akan
tetapi dimasukkan pada dana sosial yang akan disalurkan pada pembiayaan dengan akad Al-Qard al-Hasan.27 Sementara itu, dalam sistem bank konvensional selama ini, bila nasabah lalai melunasi hutangnya pada bank atau lalai dalam memenuhi kewajibannya terhadap bank pada waktu yang telah ditentukan, mereka dikenakan denda dan denda tersebut dapat diklaim sebagai pendapatan bank. Sedangkan dalam sistem perbankan syariah denda tersebut tidak dapat diklaim sebagai pendapatan, bahkan dana yang didapat dari denda tersebut harus dimasukkan pada dana sosial yang akan disalurkan pada pembiayaan dengan akad al-Qard al-Hasan. Adanya sanksi berupa denda yang ditetapkan DSN tersebut terkesan bahwa memberi celah kepada para nasabah untuk mengulur-ulur waktu yang sudah disepakati. Sementara dalam hal ini pihak bank syariah sangat dirugikan dengan prilaku nasabah yang lalai tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam prakteknya unsur denda terdiri dari dua komponen, yang pertama denda penalty/hukuman atas keterlambatan membayar dan yang kedua biaya penagihan ke tempat nasabah terkait seperti
27Qard Hasan (Pinjaman Kebajikan) ini adalah jenis pinjaman tanpa laba (zero return) di mana Al-Qur‟an mendorong kaum muslim agar mengadakannya untuk kalangan yang membutuhkan. Peminjam berkewajiban mengembalikan hanya pokok pinjamannya saja, tetapi boleh memberikan kelebihan (margin) menurut kebijaksanaannya. Peminjam qard hasan juga mendapatkan manfaat dari berbagai macam layanan dan keuangan serta diberikan kepada lembaga-lembaga amal untuk mendapat aktivitas-aktivitas mereka. Pembayaran kembali dilakukan selama suatu periode yang disepakati oleh kedua pihak. Pungutan biaya layanan yang tidak seberapa atas pinjaman ini dibolehkan asalkan berdasarkan atas biaya pengurusan pinjaman yang sesungguhnya dan tidak dikaitkan dengan jumlah atau batas waktu pinjaman. (Lebih lanjut lihat Latifa M. Alqaud dan merryn K. Lewis, Perbankan Syariah: Prinsip, Praktek dan Prospek, (Alih bahasa Burhan Wirasubrata, Jakarta: Serambi, 2003, h. 90-91)
ongkos tagih dan biaya tranportasi, sedangkan mengenai pembukuannya uang penalty bukanlah hak bank syariah dan karenanya tidak dapat secara akuntansi diakui sebagai unsur pendapatan tetapi lebih tepat dibukukan ke rekening dana sosial. Sedangkan biaya dalam proses penagihan(uang jasa penagihan) dan biaya transportasilah yang bisa dijadikan pendapatan bagi pihak bank. Sementara ini dalam sistem bank syariah biaya yang dikeluarkan dalam proses penagihan tidak dapat ditutupi oleh dana denda, karena dana tersebut menjadi dana sosial, sehingga hal ini menjadi beban tersendiri bagi pihak bank syariah dan hal ini dirasa kurang adil bagi pihak bank syariah. Sekilas bila dicermati pasal 4, 5 dan 6 dari ketentuan umum dalam fatwa DSN tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, tampak bahwa pihak bank syariah kurang diuntungkan dalam hal pembiayaan terhadap proses penagihan, bahkan cenderung menjadi rugi. Selain itu, kerugian hanya dibebankan nasabah yang nakal dan lalai membayar, bukan karena force major.28 Jika kejadiannya adalah force major maka tidak perlu ada ganti rugi. Sanksi denda merupakan refleksi yang diderita bank akibat tidak terbayarnya hutang tepat waktu. Ini menunjukkan bahwa dalam penyelesaian hutang pun bank syariah telah menggunakan cara untuk menjamin agar hutang dilunasi tepat pada waktunya dan jika tidak maka kerugian ditanggung oleh nasabah. Bila dicermati lebih mendalam dengan ketentuan fatwa Dewan Syariah Nasional
tersebut
bukan
nasabah
yang
menanggung
kerugian
akibat
kelalaiannya, namun pihak bank syariah yang menanggung kerugian akibat kelalaiannya karena sejumlah uang denda yang didapat dari nasabah tidak bisa dipergunakan sebagai pendapatan akan tetapi hanya bisa dipergunakan sebagai dana sosial yakni al-Qardul Hasan yang berarti pula bahwa bank syariah bukan diuntungkan dengan ketetapan sanksi denda tersebut namun justru merugi. D. SIMPULAN 28Suatu kesalahan, akibat yang bukan karena suatu kesengajaan atau akibat dari sesuatu yang berada di luar kemampuan dan kontrol nasabah, misalnya adalah yang diakibatkan oleh bencana alam.
Uraian di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa sanksi denda yang diberlakukan bagi nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran yang didasarkan pada prinsip ta‟zir bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Namun sanksi berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani tersebut tidak dapat diklaim sebagai pendapatan bank syariah dan hanya bisa dimasukkan pada dana sosial yang selanjutnya akan disalurkan pada pembiayaan dengan akad al-Qard al-Hasan. Sehingga kerugian yang sepenuhnya
ditanggung oleh pihak bank
syariah yakni sebesar biaya proses penagihan(ganti rugi) dan biaya tersebut seharusnya dibebankan kepada nasabah mampu yang telah menunda-nunda pembayaran hutang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan adanya sanksi yang ditetapkan oleh DSN atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran hutang sepenuhnya merugikan pihak bank syariah.
DAFTAR PUSTAKA Abu Ishaq al-Syirazi, Al Muhadzdzab, Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, t.t. Adiwarman A. Karim I, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Adiwarman A. Karim II, Fiqih Ekonomin Keuangan Islam, Jakarta: Darul Haq, 2004. Adiwarman A.karim, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta: Darul Haq, 2004). Ahmad Arif Rifan , MSI-UII.net,8-8-2005. Ali Hasan, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997. H.R Daeng Najah, Akad Bank Syariah, Yoyakarta: Pustaka Yustisia, 2011. Hennie Van Greuning dan Zamir Iqbal, Analisis Risiko Perbankan Syariah, Jakarta: Salemba Empat, 2011. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Diterbitkan oleh DSN-MUI, Himpunan Dewan Syariah Nasional, Jakarta: Intermasa, 2003.
Irma Devita Purnama Sari dan Suswinarno, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah Dan Bijak Memahami Masalah Akad Syariah, Bandung: Kaifa, 2011. Ismail, Manajemen Perbankan dari Teori menuju Aplikasi, Jakarta: Kencana, 2010. Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana, 2011. Latifa M. Alqaud dan merryn K. Lewis, Perbankan Syariah: Prinsip, Praktek dan Prospek, (Alih bahasa Burhan Wirasubrata), Jakarta: Serambi, 2003. Muhamad, Bank Syariah. Ekonisia, Yogyakarta: 2002. Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2004. Muhammad Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: UPP, APM, YKPN, 2002. Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2004. Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Republika Senin, 4 oktober 2004. Yusuf Qardawi, Norma dan Etika Islam, (Alih bahasa Zainal arifin dan Dahlia Husin), Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta: Alvabet, 1999.