Samakia, Vol. 1, No.1, Februari 2010
ISSN: 2087-3522
STUDI TENTANG PENGARUH PENGATURAN PELAMPUNG DAN KEDALAMAN PERAIRAN YANG BERBEDA TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN pada ALAT TANGKAP CANTRANG (DANISH SEINE) Abdul Muqsith Akademi Perikanan Ibrahimy Situbondo Abstrak Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s/d 24 April 2009 di perairan Pondok Mimbo Situbondo Jawa Timur dengan tujuan untuk mengetahui konstruksi serta kedalaman perairan yang sesuai untuk pengoperasian alat tangkap cantrang, sehingga dapat memberikan hasil tangkapan yang baik. Metode yang digunakan adalah eksperimen dengan teknik pengambilan data secara observasi langsung. Analisis data menggunakan model RAK Faktorial dengan dua faktor yaitu penempatan pelampung dan kedalaman perairan. Faktor penempatan pelampung nempunyai dua aras yaitu penempatan pelampung merata pada tali ris atas (A) dan penempatan dua pelampung pada bibir mulut bagian atas (B). Sedangkan faktor kedalaman perairan mempunyai tiga aras yaitu kedalaman perairan 20 m (a), 30 m (b) dan 40 m (c). Dari hasil analis data didapatkan bahwa untuk perlakuan penempatan pelampung, hasil tangkapan terbaik diperoleh dari perlakuan penempatan pelampung merata pada tali ris atas (A) dengan total hasil tangkapan sebanyak 450 kg. Sedangkan untuk perlakuan penempatan dua pelampung pada bibir mulut bagian atas (B) memperoleh total hasil tangkapan sebanyak 362 kg. Untuk perlakuan kedalaman perairan, hasil tangkapan terbaik diperoleh pada perlakuan kedalaman 20 meter dengan total hasil tangkapan sebanyak 320 kg kemudian secara berurutan diikuti oleh perlakuan kedalaman 30 meter (b) sebanyak 298 kg dan perlakuan kedalaman 40 meter (c) sebanyak 194 kg. Untuk perlakuan kombinasi, hasil tangkapan terbaik diperoleh pada perlakuan (Aa) dengan total hasil tangkapan sebanyak 174 kg, kemudian diikuti secara berurutan oleh perlakuan Ab yaitu 162 kg, perlakuan (Ba) yaitu 146 kg, perlakuan Bb yaitu 136 kg, perlakuan (Ac) 114 kg dan perlakuan Bc yaitu 80 kg Kata kunci : cantrang, pelampung, kedalaman, tangkapan ikan
PENDAHULUAN Produksi perikanan laut nasional sebagian besar dihasilkan dari perairan Utara pulau Jawa, yakni sekitar 300.000 ton atau lebih kurang 23 persen dari produksi ikan laut nasional. Hal ini disebabkan perairan Utara pulau Jawa memiliki tingkat kesuburan yang sangat tinggi. Standing stock perairan Utara pulau Jawa diperkirakan untuk perairan pantai sekitar 107.000 ton dan perairan lepas pantai sekitar 383.000 ton. Adapun tingkat kepadatan yang terbaik pada kedalaman antara 10 - 12 meter yakni sekitar 3 ton per km2 dan pada kedalaman perairan antara 20 - 29 meter dengan tingkat kepadatan sekitar 2,6 ton per km2 . Tingkat produksi perikanan demersal di perairan Utara pulau Jawa sempat mengalami penurunan setelah dikeluarkan-nya surat Keputusan Presiden Nomer 39 Tahun 1980, yakni tentang penghapusan operasi trawl (pukat harimau) secara bertahap. Dari produksi sekitar 110.229 ton pada tahun 1980 kenudian turun menjadi 67.468 ton pada tahun 1981 atau terjadi penurunan 38 persen (Dwiponggo, 1982). Untuk mengatasi penurunan produksi perikanan di sektor penangkapan serta tidak bertentangan dengan jiwa Keputusan Presiden Nomer 39 tahun 1980 tersebut maka perlu diadakan langkah peningkatan penggunaan alat tangkap yang setidaknya mampu menggantikan peranan trawl seperti jaring klitik, jaring gondrong (trammel net) serta cantrang. Peningkatan 1
Samakia, Vol. 1, No.1, Februari 2010
ISSN: 2087-3522
kuantitas dari alat penangkapan demersal ini perlu disertai perbaikan-perbaikan teknis serta konstruksi alat tangkap agar nantinya mampu lebih berdaya guna dan lebih berhasil guna (Barus dan C. Nasution, 1982). Menurut Subani dan H.R. Barus (1989), cantrang atau payang alet dapat digolongkan sebagai "jaring trawl semu". Dilihat dari fungsi dan hasil penangkapan-nya menyerupai trawl yaitu untuk menangkap sumberdaya perikanan demersal. Konstruksi cantrang lebih sederhana dan operasi penangkapan menggunakan perahu motor berukuran kecil. Alat tangkap ini banyak digunakan oleh nelayan-nelayan kecil dengan demikian perlu mendapatkan perhatian untuk perkembangannya. Umumnya penangkapan dengan alat tangkap ini kurang berhasil, disebabkan adanya beberapa kelemahan dari konstruksi alat tangkap tersebut, misalnya kurang sempurnanya pembukaan mulut jaring karena kurang baiknya pengaturan pelampung, sayap jaring tidak dapat membuka secara vertikal karena tidak adanya pelampung pada bagian sayap dan ujung sayap yang diikat menjadi satu sehingga tidak lagi berfungsi sebagai pagar untuk membatasi dan menggiring serta menakut-nakuti ikan agar masuk ke bagian kantong dari jaring cantrang. Menurut pendapat Unar (1968) bahwa perikanan cantrang di pantai Utara pulau Jawa dilakukan pada kedalaman 7-30 meter. Namun dengan adanya motorisasi, nelayan cenderung mengoperasikan alat tangkap tersebut pada daerah yang lebih dalam. Sedangkan menurut Fridman (1973), luas areal dasar yang tersapu oleh jaring cantrang ketika dioperasikan selain ditentukan oleh panjang tali penarik (warp) juga ditentukan oleh kedalaman perairan. Dimana dengan panjang warp yang sama penambahan dari kedalaman perairan akan mengakibatkan luas areal dasar yang disapu akan lebih sempit. Dengan demikian kedalaman perairan juga menjadi masalah dalam pengoperasian dari alat tangkap cantrang. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas maka perlu diadakan penelitian tentang pengaruh pengaturan pelampung dan kedalaman perairan terhadap hasil tangkapan ikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan konstruksi cantrang yang baik serta mengetahui kedalaman yang sesuai untuk pengoperasian alat tangkap tersebut, sehingga dapat memberikan hasil tangkapan yang lebih baik. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan dijadikan dasar pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk menentukan paket program peningkatan produksi perikanan demersal. Disamping itu diharapkan dapat dipakai sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi nelayan dalam menentukan konstruksi jaring cantrang dan kedalaman perairan yang cocok untuk pengoperasian alat tangkap tersebut. MATERI DAN METODE Materi Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pondok Mimbo Kabupaten Situbondo Jawa Timur pada tanggal 15 sampai dengan 24 April 2009. Materi yang digunakan adalah: satu set alat tangkap cantrang dengan konstruksi 13 pelampung (berbentuk oval, bahan foam plastik, daya apung 6827 gr) yang ditempatkan merata pada tali ris atas, satu set alat tangkap cantrang dengan konstruksi 2 buah pelampung (berbentuk bola, bahan PVA, daya apung 6827 gr) yang ditempatkan pada bibir mulut bagian atas, kapal/perahu penangkapan dengan ukuran Panjang (L) 11 meter, Lebar (B) 2,1 meter, tinggi (D) 0,75 meter, motor utama 25 HP dan motor gardan 12 HP, alat bantu lainnya berupa : kompas, meteran, thermometer, refraktometer, stopwach, tali dan pemberat (untuk mengukur kedalaman perairan) timbangan dan peta. Metode Metode yang digunakan adalah metode eksperimen dengan 4 kali ulangan. Faktor yang diteliti adalah penempatan pelampung yang berbeda yaitu penempatan pelampung merata pada tali ris atas (perlakuan A) dan penempatan dua pelampung pada bibir mulut bagian atas (perlakuan B). Selanjutnya untuk faktor kedalaman perairan, perlakuannya adalah : 20 meter (perlakuan a), 30 meter (perlakuan b) dan 40 meter (perlakuan c). Dari aras faktor tersebut apabila dikombinasikan terdapat enam perlakuan kombinasi yaitu: Penempatan pelampung merata pada tali ris atas dengan 2
Samakia, Vol. 1, No.1, Februari 2010
ISSN: 2087-3522
kedalaman perairan 20 meter (perlakuan Aa); Penempatan pelampung merata pada tali ris atas dengan kedalaman perairan 30 meter (perlakuan Ab); Penempatan pelampung merata pada tali ris atas dengan kedalaman perairan 40 meter (perlakuan Ac); Penempatan dua pelampung pada bibir mulut bagian atas dengan kedalaman perairan 20 meter (perlakuan Ba); Penempatan dua pelampung pada bibir mulut bagian atas dengan kedalaman perairan 30 meter (perlakuan Bb); Penempatan dua pelampung pada bibir mulut bagian atas dengan kedalaman perairan 40 meter (perlakuan Bc). Tekhnik Pengambilan sampel dilakukan dengan mengacak enam perlakuan kombinasi tersebut.Untuk mempermudah pengambilan data, daerah penangkapan ikan (daerah pengambilan sampel) ditentukan dan jadwal penangkapan disusun. Lokasi pengambilan sampel dibagi menjadi 3 daerah (untuk membuat perlakuan kedalaman perairan): daerah penangkapan I, yaitu daerah penangkapan yang mempunyai kedalaman antara 18 m samopai 22 m untuk nembuat perlakuan a (kedalaman 20 m ); daerah penangkapan II, yaitu daerah penangkapan yang mempunyai kedalaman antara 28 m sampai 32 m untuk membuat perlakuan b (kedalaman 30 m); daerah penangkapan III, yaitu daerah penangkapan yang mempunyai kedalaman antara 38 m sampai 42 m untuk membuat perlakuan c (kedalaman 30 m). Operasi penangkapan dilakukan pada pagi hari sampai siang hari selama delapan hari. Setiap trip operasi dilakukan tiga perlakuan kombinasi dengan urutan waktu penangkapan yang berbeda yaitu pukul 04.30 WIB, 06.30 WIB dan 08.30 WIB. Urutan waktu penangkapan ini dianggap homogen atau tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan, tetapi untuk memperkecil kesalahan urutan perlakuan dilakukan secara acak yaitu dengan pengundian dari keenam kombinasi perlakuan tersebut. Sedangkan hari operasi penangkapan digunakan untuk penentuan ulangan, yaitu : hari pertama dan kedua dianggap sebagai ulangan I. hari ketiga dan keempat dianggap ulangan II, hari kelima dan keenam dinggap sebagai ulangan III, dan hari ketujuh dan kedelapan dianggap sebagai ulangan IV. Pengumpulan data dilakukan secara observasi langsung yaitu dengan mencatat jumlah hasil tangkapan ikan pada setiap perlakuan. Untuk menentukan ada tidaknya perbedaan dari perlakuan tersebut, dilakukan uji anova. Seianjutnya untuk mengetahui perlakuan yang terbaik digunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Untuk mengetahui hubungan antara perlakuan kedalaman perairan dengan hasil tangkap dilakukan analisa regresi. Daerah Penangkapan (Fishing ground) Daerah penangkapan untuk pengoperasian alat tangkap cantrang ini adalah perairan di sekitar Pondok Mimbo, Situbondo Jawa Timur. Kondisi perairan tersebut sangat sesuai untuk pengoperasian alat tangkap cantrang karena dasar perairannya yang landai, berpasir dan berlumpur dengan kedalaman perairan berkisar antara 15 m sampai dengan 45 m. Sesuai dengan pendapat Dickson (1959), bahwa keberhasilan suatu usaha penangkapan dengan alat tangkap cantrang (danish seine) diperlukan syarat-syarat daerah penangkapan sebagai berikut: arus laut tidak terlalu kuat; dasar perairan rata lebih disukai yang berpasir dan berlumpur, tanah liat, bersih dari karang, kedalaman perairan tidak lebih dari 100 fathom dan cuaca yang tenang. Didukung pula oleh pendapat Karwapi (1978), yang menyatakan bahwa penangkapan dengan alat tangkap pukat kantong (cantrang) sebaiknya dioperasikan pada daerah penangkapan yang perairannya mempunyai dasar lumpur, pasir atau perairan lain yang dasarnya tidak berbatu karang. Suhu permukaan perairan daerah penangkapan berkisar antara 28 C sampai dengan 29 C dan salinitas antara 31 promil sampai dengan 32 promil. Kecepatan arus berkisar antara 0,19 meter/detik sampai dengan 0,30 meter/detik. Menurut Damanhuri (1980), besarnya suhu tersebut adalah sesuai untuk daerah perairan Indonesia yang merupakan daerah tropis dengan tingkat kesuburan perairan yang tinggi. Untuk daerah permukaan diperkirakan mempunyai suhu berkisar 25 - 29° C, sedangkan pada kedalaman 100 meter suhunya berkisar 18 - 26 C. Sedangkan nilai salinitas berubah-ubah 3
Samakia, Vol. 1, No.1, Februari 2010
ISSN: 2087-3522
menurut musim, namun secara uinum berkisar 31,5 - 34 promil. Ditambahkan oleh Soegiarto dan Birowo (1975) yang menyatakan bahwa pada bulan Februari sampai dengan Agustus kecepatan arus di pantai Utara pulau berkisar antara 18 - 38 cm/detik dengan arah ke Timur. Rata-rata suhu permukaan adalah 28 C dan salinitas sekitar 32 promil. Teknik Penangkapan Operasi penangkapan dilakukan pada pagi hari antara pukul 04.30 HIB sampai dengan 09.30 WIB selama delapan hari (delapan trip), dimana setiap trip dilakukan tiga kali setting dan hauling. Operasi penangkapan dilakukan dengan nenggunakan teknik operasi secara melingkar. Teknik operasi ini umumnya digunakan oleh nelayan Pondok Mimbo yang menggunakan alat tangkap cantrang. Setelah perahu dan alat tangkap siap, perahu segera diberangkatkan menuju daerah penangkapan (fishing ground). Setelah letak dari fishing ground ditentukan, kemudian dilakukan pengukuran kedalaman perairan untuk membuat perlakuan dalam penelitian ini. Selanjutnya operasi penangkapan dimulai dengan mengetahui terlebih dahulu arah arus. Dalam setiap kali melakukan operasi penangkapan terdapat dua tahap pekerjaan yaitu setting (penebaran jaring) dan hauling (penarikan jaring). Setting (Penebaran Jaring) Cara penebaran jaring menggunakan metode setting melingkar dengan tujuan agar alat tangkap dapat mencakup areal penangkapan yang lebih luas. Hal ini sesuai dengan pendapat Fridman (1973), bahwa dengan metode setting secara melingkar, luas areal penangkapan yang tersapu oleh jaring (warp) 20% - 40% lebih besar daripada metode setting bentuk segitiga dan segiempat. Pada metode setting melingkar, langkah pertama adalah menurunkan pelampung tanda, kemudian perahu bergerak melingkar (berlawanan dengan arah jarum jam) sambil menurunkan bagian-bagian dari alat tangkap cantrang secara berurutan, dimulai dari tali penarik (warp) sebelah kiri, kemudian sayap kiri, badan jaring dan sayap kanan, selanjutnya tali penarik (warp) sebelah kanan sambil perahu tetap melingkar ke arah kiri dan mendekati pelampung tanda. Setelah pelampung tanda diangkat ke atas perahu, tali warp digulung pada gardan (line hauler). Lama penebaran jaring membutuhkan waktu rata-rata 6 menit. Hauling (Penarikan Jaring) Cara penarikan jaring menggunakan metode menarik sambil bergerak (fly dragging). Pada metode ini, kedua ujung warp ditarik secara bersama-sama melalui gardan (line hauler) dengan mesin utama dijalankan secara maksimal. Kecepatan penarikan ini dapat lebih diseragamkan karena terdapat tanda ikatan tali rafia pada setiap 10 meter tali penarik (warp). Setelah jaring terlihat di permukaan air dan sudah mendekat dengan perahu maka mesin penggerak gardan segera dimatikan dan selanjutnya penarikan jaring perahu dilakukan oleh anak buah kapal. Tahap terakhir dari penarikan jaring ini saat menaikkan jaring ke atas perahu sambil membuka tali pengikat kantong dan meletakkan hasil tangkapan ke dalam keranjang. Selanjutnya dilakukan sortasi sesuai dengan jenis dan ukuran ikan hasil tangkap. Menurut Fridman (1973), penyeretan jaring akan menambah fishing area apabila jalur yang ditempuh kapal pada saat penyeretan tidak melebihi panjang warp. Selanjutnya dikatakan bahwa bila nilai perbandingan antara tali penarik dengan kedalaman perairan () lebih kecil dari 40 meter, penarikan jaring disarankan menggunakan sistim menarik sambil bergerak (fly dragging) karena akan menambah fishing area sekitar 22 kali - 25 kali dibandingkan dengan methode anchor. Tetapi untuk nilai lebih besar dari 40, jalur yang ditempuh oleh kapal akan bertambah menjadi 1,3 - 1,4 kali panjang warp. Hal ini akan mengakibatkan warp akan terus tenggelam sehingga akan menambah periode penarikan dan tekanan warp selama penyeretan. Panjang tali warp yang digunakan dalam penelitian adalah 600 meter dan kedalaman perairan 20 m, 30 m, dan 40 m. Nilai untuk masing4
Samakia, Vol. 1, No.1, Februari 2010
ISSN: 2087-3522
masing kedalaman adalah 30 m, 20 m, dan 15 m. Waktu yang dibutuhkan untuk penarikan jaring rata-rata 20 menit atau rata-rata kecepatan penarikan jaring adalah 30 meter per menit. Hal ini sesuai dengan pendapat Fridman (1973), bahwa selama proses penarikan dilakukan maka kecepatan hauling dari tali penarik sebaiknya berkisar antara 20 sampai 30 meter per menit. Jika penarikan terlalu cepat akan menyebabkan bagian tali ris atas tertarik ke belakang sehingga jaring akan terangkat ke atas. Tetapi jika penarikan terlalu lemah juga kurang baik karena memberikan peluang bagi ikan untuk melepaskan diri. HASIL dan PEMBAHASAN Komposisi jenls ikan Yang menjadi tujuan penangkapan dengan alat tangkap cantrang adalah ikan-ikan dasar (demersal). Sifat-sifat ikan dasar menurut Aoyoma (1972) dalam Widodo (1980) adalah : habitat utamanya dilapisan dekat dasar laut; kemampuan beradaptasi terhadap faktor kedalaman perairan pada umunnya tinggi; aktifitasnya rendah dan ruayanya sempit; kawanan relatif kecil bila dibandingkan dengan ikan-ikan pelagis dan germbolan ikan-ikan demersal umumnya merupakan gerombolan yang komplek (beragam). Dari hasil identifikasi, jenis ikan demersal yang tertangkap terdiri dari beberapa species. Hasil tangkapan didominasi oleh jenis ikan petek, kapasan, bambangan, biji nangka, kurisi dan beloso. Komposisi dari masing-masing jenis disajikan pada Tabel 1. berikut ini Tabel 1. Komposisi jenis ikan yang tertangkap Nama Indonesia
Species
Jumlah (Kg)
Leiognathus spp.
264
Gerres filaaientosus
180
3. Bambangan
Lutjanus malabaricus
132
4. Biji nangka
Upeneus tragula
108
5. Kurisi
Nemipterus peronii
72
6. Beloso
Saurida tumbil
58
1. Petek 2. Kapasan
Menurut Iriana dan Karwapi (1978), jenis ikan yang tertangkap dengan trawl dasar kebanyakan terdiri dari banyak jenis ikan. Tetapi kadang-kadang 75% dari jenis ikan yang tertangkap terdin dari jenis ikan petek. Selanjutnya Ayodhyoa (1981), menyatakan bahwa untuk perairan laut Jawa komposisi hasil tangkapan ikan dari bottom trawl antara lain terdiri dari jenis ikan petek, biji nangka, bambangan, tigawaja dan sebagainya. Ditambahkan oleh Anonymous (1979), bahwa jenis ikan petek, biji nangka, bambangan dan tigawaja menpunyai sifat-sifat antara lain hidup di perairan pantai, dan membentuk gerombolan yang cukup besar. Jumlah Hasil Tangkapan Hasil tangkapan ikan dicatat setiap satu kali setting dan hauling berdasarkan satuan keranjang yang dikonversikan ke dalam satuan kg (berat ikan dalam satu keranjang = 24 kg). Jumlah total ikan yang tertangkap selama penelitian adalah 812 kg. Hasil tangkapan terbanyak diperoleh dari perlakuan kombinasi penempatan pelampung merata pada tali ris atas dengan kedalaman 20 meter (perlakuan Aa) yaitu sebesar 174 kg. Sedangkan hasil tangkapan paling sedikit diperoleh dari perlakuan kombinasi penempatan dua pelampung pada bibir mulut bagian atas dengan kedalaman perairan 40 meter (perlakuan Bc). Jumlah berat ikan yang tertangkap pada tiap perlakuan secara acak selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. 5
Samakia, Vol. 1, No.1, Februari 2010
ISSN: 2087-3522
Tabel 2. Berat ikan (kg) yang tertangkap pada tiap perlakuan secara acak selama penelitian Hari ke Waktu Setting 1
2
3
4
5
6
7
8
04.30 – 05.30
36
42
36
42
42
36
30
42
06.30 – 07.30
48
30
30
32
48
36
32
20
08.30 – 09.30
24
36
18
32
24
18
42
36
Data hasil tangkapan ikan selama penelitian ditata menurut bagan RAK Faktorial seperti pada Tabel 3. berikut ini : Tabel 3. Penataan data hasil tangkapan ikan ke dalam bagan Faktorial
Faktor I
Faktor II
A
A B
B
1
Kelompok . 2 3
4
48 42
36 42
48 36
Total
Ratarata
42 42
174 l.162
43,5 40,5
C
30
30
24
30
114
28,5
A
36
32
42
36
146
36,5
B
36
32
36
32
136
34
C
24
18
18
20
80
20
216
190
204
202
812
Total
Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan jumlah hasil tangkapan ikan setiap perlakuan, dilakukan analisis sidik ragam. Dari hasil perhitungan (Tabel 4.) diperoleh data semua perlakuan (penempatan pelampung, kedalaman perairan dan perlakuan kombinasi dari penempatan pelampung dan kedalaman perairan) berpengaruh sangat nyata terhadap hasil tangkapan ikan. Tetapi tidak ada hubungan (interaksi) antara perlakuan penempatan pelampung dengan kedalaman perairan. Tabel 4. Daftar Sidik ragam dari hasil analisis data hasil tangkapan ikan Sumber Keragaman
F hitung
F tabel 5%
F tabel 1%
1,51
3,29
5,42
Perlakuan kombinasi
23,37**
2,90
4,56
Perlakuan penempatan pelampung
25,84**
4,54
8,86
Perlakuan kedalaman perairan
45,33**
3,68
6,36
Interaksi
0,17 ns
3,68
6,36
1,00
-
-
Kelompok
Acak
Keterangan : ** = Signifikan pada taraf probabilitas 1% Ns = non signifikan
6
Samakia, Vol. 1, No.1, Februari 2010
ISSN: 2087-3522
Pengaruh Pengaturan Penempatan Pelampung pada Hasil Tangkapan Ikan Dari hasil analisa sidik ragam (Tabel 4.) didapatkan bahwa perlakuan penempatan pelampung menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap hasil tangkapan ikan. Selanjutnya untuk mengetahui perlakuan penempatan yang terbaik dan tingkat perbedaan dari masing-masing perlakuan dilakukan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Hasil uji BNT disajikan pada Tabel 5. berikut: Tabel 5. Daftar notasi perlakuan penempatan pelampung Rata-rata
B (30,17 Kg)
A (37,50 Kg)
Notasi
B (30,17 Kg)
-
-
A
A (37,50 Kg)
7,33**
-
B
Keterangan :
A = Penempatan pelampung merata pada tali ris atas cantrang B = Penempatan 2 pelampung pada bibir mulut bagian atas cantrang ** = Berbeda nyata (signifikan) pada taraf probabilitas 1 %
Jika dilihat dari rata-rata hasil tangkapan dapat diketahui bahwa perlakuan (A) mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan( B). Hal ini disebabkan karena pada alat tangkap cantrang yang menggunakan pelampung merata, pembukaan mulut jaring akan berbentuk lingkaran (mendekati lingkaran). Sedangkan alat tangkap cantrang yang menggunakan dua pelampung pada bibir mulut bagian atas pembukaan mulut akan berbentuk segitiga. Pembukaan mulut jaring yang berbentuk lingkaran lebih luas jika dibandingkan dengan pembukaan mulut jaring yang berbentuk segitiga. Dengan demikian kemungkinan ikan masuk melalui mulut menuju kantong akan lebih besar pada pembukaan mulut jaring yang berbentuk lingkaran (mendekati lingkaran) dari pada pembukaan mulut jaring yang berbentuk segitiga. Di samping itu pada alat tangkap cantrang yang menggunakan pelampung merata pada tali ris atas, sayap jaring akan lebih sempurna terbuka ke arah vertikal dibandingkan dengan alat tangkap cantrang yang menggunakan dua pelampung pada bibir mulut bagian atas. Dengan demikian sayap jaring akan terentang lebih tinggi ke arah vertikal karena daya apung dari pelampung yang ada pada sayap, sehingga ikan akan lebih sulit untuk dapat meloloskan diri melalui sayap jaring. Pengaruh Kedalaman Perairan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Seperti yang disajikan pada Tabel 4. bahwa perlakuan kedalaman perairan juga menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap hasil tangkap. Dari hasil uji BNT didapatkan perlakuan kedalaman perairan 20 meter (a) dan kedalaman 30 meter (b) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap perlakuan kedalaman perairan 40 meter (c). Tetapi antara perlakuan (a) dan perlakuan (b) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Tabel 6. Daftar notasi perlakuan kedalaman perairan c (24,25 Kg)
b (37,25 Kg)
a (40,00 Kg)
Notasi
c (24,25 Kg)
-
-
-
a
b (37,25 Kg)
13,00**
-
-
b
a (40,00 Kg)
15,75**
2,75 ns
Rata-rata
Keterangan : a = b = c = ** = ns =
b
Kedalaman perairan 20 meter, Kedalaman perairan 30 meter, Kedalaman perairan 40 meter, Signifikan pada taraf probabilitas 1%, Non signifikan 7
Samakia, Vol. 1, No.1, Februari 2010
ISSN: 2087-3522
Bila dilihat dari rata-rata hasil tangkapan ikan dapat diketahui bahwa rata- rata hasil tangkapan terbanyak diperoleh pada kedalaman perairan 20 meter (a) yaitu sebesar 40 kg, kemudian kedalaman perairan 30 meter (b) sebesar 37,5 kg dan kedalaman perairan 40 meter (c) sebesar 24,5 kg. Adanya perbedaan hasil tangkapan ini disebabkan karena perbedaan luas areal yang tersapu oleh jaring cantrang. Perbedaan luas areal tersebut disebabkan karena perbedaan sudut yang dibentuk oleh panjang warp dengan dasar perairan. Dengan panjang warp yang sama, semakin dalam perairan maka sudut yang dibentuk semakin besar, sehingga jarak terseretnya jaring di dasar perairan semakin kecil. Dengan demikian luas dasar perairan yang disapu oleh jaring cantrang juga semakin sempit, akibatnya jumlah hasil tangkapan ikan semakin sedikit. Selain itu dengan panjang warp yang sama, perbedaan kedalaman perairan juga akan mempengaruhi posisi mulut jaring selama penyeretan di dasar, dimana pada kedalaman 40 meter, mulut jaring pada saat penarikan akan menghadap ke atas, akibatnya ikan dasar yang masuk melalui mulut jaring semakin sedikit. Sebaliknya pada kedalaman 20 meter, mulut jaring di dasar perairan akan tetap pada posisi horizontal selama proses penarikan sehingga ikan yang telah tergiring oleh sayap lebih sempurna masuk melalui mulut jaring. Menurut Fridman (1973), untuk jaring cantrang yang dioperasikan dengan cara dihela (dragging operation), keberhasilan usaha penangkapan tergantung pada luas bentuk jaring, luas daerah penangkapan yang luput selama pelemparan (setting) karena kedalaman fishing ground dan luas daerah penangkapan yang luput selama penyeretan warp. Berdasarkan rumus Fridman (1973), luas areal yang disapu oleh jaring cantrang untuk kedalaman perairan 20 meter adalah 95,159,24 m, pada kedalaman perairan 30 meter adalah 92.866,24 m dan untuk kedalaman perairan 40 meter adalah 90.573,25 m. Karena pada kedalaman 20 meter areal yang tersapu jaring lebih luas maka diperoleh rata-rata hasil tangkapan lebih banyak dibandingkan dengan kedalaman 30 meter dan 40 meter. Demikian juga pada kedalaman 30 meter hasil tangkapan ikan lebih banyak dibandingkan dengan kedalaman 40 meter karena areal yang disapu jaring juga lebih luas. Selain itu adanya perbedaan hasil tangkapan ikan pada masing-masing kedalaman disebabkan juga oleh pola distribusi ikan yang tidak merata pada setiap kedalaman. Seperti yang dikatakan oleh Damanhuri (1980), bahwa nilai fishing ground bervariasi menurut kedalaman, daerah dan musim. Ditambahkan oleh Badrudin (1987), bahwa potensi pengusahaan dan penangkapan yang tersedia di perairan Utara pulau Jawa sampai kedalaman 30 meter menduduki tempat tertinggi. Kedalaman perairan juga mempengaruhi komposisi jenis ikan hasil tangkapan, terutama jenis ikan petek (Leiognathus spp.) dan ikan kapasan (.Gerres filamentosus) dimana pada kedalaman perairan 40 meter hasil tangkapan lebih sedikit dibandingkan dengan kedalaman 30 meter dan 40 meter. Hal ini dipengaruhi oleh distribusi ikan secara horizontal. Menurut pendapat Nomura dan T. Yamazaki (1977) dalam Sukandar (1984) bahwa tidak dapat dikatakan ikan hidup dimanamana di dalam laut, sesuai dengan speciesnya ikan menyebar secara horizontal maupun vertikal dalam suatu daerah yang tertentu batas-batasnya. Komposisi jenis ikan yang tertangkap menurut kedalaman perairan dapat dilihat pada Gambar 1. 140 120
petek
100
kapasan
80
biji nangka
60
bambangan
40 kurisi
20
belaso
0 20 meter
30 meter
40 meter
Gambar 1. Grafik batang komposisi jenis ikan tertangkap menurut kedalaman perairan 8
Samakia, Vol. 1, No.1, Februari 2010
ISSN: 2087-3522
Tingginya hasil tangkapan ikan petek dan kapasan pada kedalaman 20 meter - 30 meter disebabkan distribusi horizontal jenis ikan tersebut umumnya pada kedalaman 20 - 30 meter. Selain itu juga ditunjang dengan sifat dari jenis-jenis ikan tersebut mempunyai pola laju penambahan anggota baru yang tinggi, seperti pendapat yang dikemukakan Shindo (1973) dalam Badrudin (1987), dimana jenis ikan yang berukuran kecil di perairan tropis mempunyai kemampuan pulih yang tinggi dibandingkan ikan yang berukuran besar.
3.4
Pengaruh Perlakuan Kombinasi Pengaturan Penempatan Kedalaman Perairan Terhadap Hasll Tangkapan ikan
Pelampung
Dengan
Tabel 7. Daftar notasi perlakuan kombinasi Rata-rata Bc (20,0 Kg)
Bc Ac Bb Ba Ab Aa Notasi (20 Kg) (28,5 Kg) (34 Kg) (36,5 Kg) (40,5 Kg) (43,5 Kg) -
-
-
-
a
Ac (28,5 Kg) 8,5**
-
-
-
b
Bb (34,0Kg) 14,0**
5,5*
-
-
c
Ba (36,5 Kg) 16,5**
8,0**
2,5 ns
-
-
cd
Ab (40,5 Kg) 20,5**
12,0**
6,5*
4,0 ns
-
d
Aa (43,5 Kg) 23,5**
15,0**
9,5**
7,0 *
-
e
3,0 ns
Perlakuan kombinasi terbaik adalah perlakuan penempatan pelampung merata dan kedalaman perairan 20 meter (Aa) dengan hasil tangkapan rata-rata 43,5 kg. Kemudian diikuti oleh perlakuan Ab (40,5 kg), Ba (36,5 Kg), Bb (34 Kg), Ac (28,5 Kg) dan Bc (20 Kg). Tingginya hasil tangkapan yang didapat dari perlakuan (Aa) disebabkan pembukaan mulut jaring yang memakai pelampung merata pada tali ris atas lebih luas. Selain itu juga karena luas areal yang disapu oleh jaring pada kedalaman 20 meter juga lebih besar sehingga volume air yang tersapu oleh jaring juga lebih besar. Dengan demikian kemungkinan ikan tertangkap juga lebih besar. Analisa Regresi Untuk menentukan hubungan antara masing-masing perlakuan dengan hasil tangkapan ikan, dilakukan analisis regresi, dan untuk mendapatkan model regresi yang sesuai dilakukan analisis polinomial ortogonal, dimana analisis ini dilakukan untuk variabel bebas yang nilainya lebih dari 2. Dengan demikian hanya perlakuan kedalaman perairan yang dapat dilakukan analisis polinominal ortogonal karena variabel bebasnya mempunyai 3 nilai (20 m, 30 m, dan 40 m). Dari hasil analisis polinominal ortogonal diketahui bahwa model regresi yang sesuai adalah linier. Selanjutnya dari perhitungan nilai koefisien regresi diperoleh persamaan regresi linear antara kedalaman perairan (X) dengan hasil tangkapan ikan (Y) adalah : Y = 57,4583 – 0,7875 X, dengan nilai koefisien determinasi (r2 ) = 0,5825 dan nilai (r) = -0,7632. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, 58,25% variasi Y (hasil tangkapan ikan) dapat diterangkan oleh X (kedalaman perairan) menurut persamaan regresi linear tersebut. KESIMPULAN dan SARAN Perlakuan penempatan pelampung merata pada tali ris atas (A) mendapatkan hasil tangkapan ikan lebih baik daripada perlakuan penempatan dua pelampung pada bibir mulut bagian atas (B). Kedalaman perairan 20 meter meinperoleh hasil tangkapan terbanyak dengan rata-rata hasil tangkap sebesar 40 kg. 9
Samakia, Vol. 1, No.1, Februari 2010
ISSN: 2087-3522
Dari uji BNT perlakuan kombinasi antara penempatan pelampung dengan kedalaman perairan diperoleh perlakuan terbaik pada perlakuan (Aa) yaitu penempatan pelampung merata pada tali ris atas dengan kedalaman 20 meter. Dilihat dari jenis ikan hasil tangkapan didominasi oleh jenis ikan petek (Leiognathus spp), kapasan (.Gerres filamentosus'), bambangan (Lutjanus malabaricus) dan biji nangka (Upeneus tragula'). saran yang dapat diajukan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan konstruksi dan kedalaman perairan untuk pengoperasian alat tangkap cantrang, adalah sebagai berikut : Perlu pemasangan pelampung yang merata pada tali ris atas karena pembukaaan mulut jaring dan sayap lebih luas, sehingga kemungkinan hasil tangkapan ikan yang diperoleh lebih baik. Hendaknya operasi penangkapan dengan alat tangkap cantrang dilakukan pada kedalaman perairan antara 20 meter sampai 30 meter. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang besarnya daya apung dan pemberat yang optimum bagi konstruksi alat tangkap cantrang. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pola distribusi ikan serta ukuran ikan yang layak tangkap.
DAFTAR PUSTAKA Anonynous.1979. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut. Bagian I. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta. _________.1981. Meningkatkan Ketrampilan Dalam Teknik Modernisasi Bertahap Penangkapan Ikan. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta. _________.1984. Strategi dan Rencana Pembangunan Perikanan Laut 10 Tahun. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. _________.1988. Statistik Perikanan Indonesia. DirektoratJenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta. _________.1989. Laporan Tahunan Perikanan Jawa Timur. Dinas Perikanan Daerah. Propinsi Daerah Tingkat 1 Jawa Timur. Surabaya. —————.1992. Cara Penyusunan Usulan dan Penulisan Laporan Kuliah Kerja Lapang/Skripsi. Universitas Brawijaya. Fakultas Perikanan. Malang. Ayodhyoa. 1972. Fisheries I. Asia Kyokai. Bagian Fishing Gear dan Fishing Boat. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. _________.1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Badrudin, M. 1987. Parameter Stock dan Potensi Penangkapan Ikan Petek di Perairan Pantai Utara Pulau Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No. 47. Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Brandt, A. Von. 1972. Fish Catching Methods of the World. Fishing News (Books) Ltd. London. Bullis, H.R. and H. Floyd. 1972. Double Rig Twin Shrimp Trawling Gear. Marine Fisheries Review. Volume 34 U.S.S. Departement of Commerce National Oceannic and Atmospheric Administration National Marine Fisheries Service.Miami.Florida Barus, H.R. dan C. Nasution. 1982. Penangkapan Udang Didaerah Cirebon. Laporan Penelitian Perikanan Laut no. 24. Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Dickson, W. 1959. The Use of the Danish Seine Net. Modern Fishing Gear of the World I. Fishing 10
Samakia, Vol. 1, No.1, Februari 2010
ISSN: 2087-3522
News (Books). Ltd. London . Damanhuri. 1980. Fishing Ground. Bagian Teknik Penangkapan Ikan. Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Brawijaya. Malang. Fridroan, A.L. 1973. Theory and Design of Commercial Fishing Gear. Israel Program for Soientific Translation. Jerusalem. _________.1988. Perhitungan Dalam Meranoang Alat Penangkapan Ikan. Diterjemahkan oleh Tim Penterjemah BPPI Semarang. Proyek Pengembangan Teknik Penangkapan Ikan. Semarang. Hadi, S. 1982. Metodologi Research. Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta. Iriana, D. dan E. Karwapi 1978. Pendidikan Keterampilan Perikanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Losse and Dwiponggo. 1977. Out line of Fishing Gear and Method. Japan International Cooperation Agency. Kanagawa International Fisheries Training Centre.Tokyo. Nomura, M. and T. Yamazaki 1977. Out Line of Fishing Gear and Methods. Japan International Cooperation Agency. Kanagawa. ————. 1981. Fishing Technigues (2). Compilation of Transcript of alectures apressented at the Kanagawa International Fisheries Training Centre. Tokyo. Phillips, Jacks. 1968. The Mouth of Trawl. Modern Fishing Gear Of The World Fishing News Book. London. Rahardjo, I.P. 1977. Studi Tentang Pengaruh Panjang Sayap Payang Alet (Cantrang) Terhadap Hasil Penangkapan Ikan di Perairan Branta Pesisir Kabupaten Pamekasan. Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang. Rounseffel, G.A. and W.H. Everhart. 1962. Fishery Science. Its Methods and Aplication. Third Printing. John Wiley and Sons. New York. Santoso, R.D. dan M.H. Kusnadi, 1992. Analisis Regresi. Andi offset. Yogyakarta. Sastrosupadi, A. 1977. Statistik Percobaan. Lembaga Penelitian Tanaman Industri Cabang Malang. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Malang. Sjafari, A. 1976. Trawl Gear and Method. Marine FisheriesTraning. Tegal. Soemarto. 1977. Daerah Penangkapan Ikan. Akademii Usaha Perikanan. Jakarta. Subani, W. dan H.R. Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal peneiitian Perikanan Laut No.50. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Sudjana. 1980. Disain dan Analisa Eksperimen. Tarsito. Bandung. Sujastani, T. 1978. Pengkajian Keterlaksanaan Perikanan Rakyat di Perairan Pantai Selatan Jawa Timur bagian Barat. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Departemen Pertanian. Jakarta. Sukandar, 1984. Suatu Studi Tentang Pengaruh Kedalaman Perairan dan Waktu Penangkapan Terhadap Hasil Tangkapan Dengan Menggunakan Alat Tangkap Dogol ataii Cantrang di Selat Madura. Surachmad, W. 1978. Dasar dan Tehnik Research. Pengantar Metodelogi Ilmiah. Tarsito. Bandung. Unar, M. 1968. The Cantrang Danish Seine Fishery of the North Coas of Java. Indo Pasific Fisheries Council 13 th. Seeretariat Regional Office for Asia the Far East. Bangkok.
11