Sabtu Kelabu di Urut Sewu Oleh Wahyudi Djafar
Tengah hari ketika sebagian besar warga sedang melepas penat dari terik matahari yang membakar, setelah sepagian bergumul dengan tanaman pertanian, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan suara rentetan tembakan membabibuta. Hari itu, Sabtu, 16 April 2011, menjadi sejarah kelam bagi warga Desa Setrojenar, Bulus Pesantren, Kebumen. Beberapa kompi pasukan TNI Angkatan Darat (AD), tanpa didahului dengan negosiasi, langsung menyerang mereka. Tentara mencokok, menembaki, menendang, menyeret, dan menangkapi warga secara sepihak. Aksi brutal itu terjadi di sepanjang jalan menuju Markas Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AD. Warga yang sedang mengolah sawah pun tak luput dari serangan itu. Penyerangan yang dilakukan oleh pasukan loreng hijau ini seolah menjadi klimaks dari seluruh rangkaian protes yang dilakukan warga Setro Jenar atas kehadiran tentara di wilayah ini. Di desa yang berdekatan dengan pesisir pantai selatan Jawa ini, puluhan tentara kerap melakukan serangkaian uji coba persenjataan. Konflik warga melawan tentara ini sudah terjadi bertahun-tahun dan kian meruncing setelah tewasnya lima bocah dari desa Setrojenar pada 22 Maret 1997, akibat ledakan mortir peninggalan pasukan TNI AD usai berlatih. Kekesalan warga terus bertambah dengan tindakan sepihak dari pihak TNI AD yang melakukan claiming atas lahan-lahan milik warga. Mengurai Pemicu Konflik Warga seringkali kesal dengan pihak TNI AD, yang tidak memberikan ganti rugi semestinya, terhadap tanaman pertanian mereka yang rusak akibat uji coba persenjataan. Lokasi latihan menembak Dislitbang TNI AD sangat dekat dengan areal pertanian warga. Ini yang memicu kemarahan warga, selain tentu saja, karena kematian lima bocah akibat mortar beberapa tahun silam itu. Kebijakan pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah, juga dianggap turut serta mempengaruhi memanasnya perseteruan antara warga dengan TNI AD. Setidaknya ada tiga kebijakan pemerintah yang terkait, atau bisa disebut menjadi akar bagi meletupnya peristiwa pada 16 April 2011. Kebijakan Pemerintah yang dianggap menjadi latar belakang konflik, adalah: Pertama, proyek pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS), yang menjadi kebijakan pemerintah pusat. Proyek pembangunan ini mengharuskan pemerintah untuk melakukan pembebasan lahan-lahan pertanian milik warga, yang akan diubah peruntukannya sebagai jalur lintas tersebut. Menyikapi kebijakan pembangunan JLS, para petani di wilayah ini kemudian membentuk sebuah paguyuban untuk memperjuangkan hak-hak mereka, khususnya terkait dengan ganti rugi atas tanah-tanah pertanian mereka. Paguyuban ini terbentuk pada 6 September 2005, dengan nama Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS). Forum ini menjadi payung besar bagi banyak organisasi petani yang berbasis desa-desa di Urut Sewu.
Permasalahan menjadi kian bertambah ketika TNI secara sembunyi-sembunyi mulai ‘bermain’ untuk mendapatkan uang ganti rugi, dengan alasan pembebasan tanah yang diklaim sebagai kawasan militer. Panglima Kodam IV mengajukan permohonan ganti rugi ‘tanah TNI’ yang terkena tras jalan. Pihak TNI, dalam sebuah kesempatan sosialisasi, mengklaim bahwa luas lahan yang masuk kawasan latihan militer mencapai 317,48 ha. Padahal luasan ini tidak sesuai dengan Surat Bupati Kebumen No. 590/6774, yang mengatakan bahwa luas kawasan latihan TNI 500 meter ke utara dari batas/tepi air laut, dan memiliki panjang dari sungai Wawar di timur Kebumen (perbatasan Kebumen- Purworejo) dan ke barat sampai sungai Lukulo. Kedua, kebijakan yang dianggap sebagai pemicu konflik adalah rancangan peraturan daerah mengenai rencana tata ruang dan wilayah yang dirumuskan oleh pihak Pemerintah Kabupaten Kebumen, untuk tahun 2007-2027. Raperda ini menjadi polemik, akibat tindakan pihak TNI AD, yang mencoba menyisipkan agenda klaim mereka atas kawasan Urut Sewu sebagai kawasan latihan militer. TNI AD meminta kepada Pemda untuk memperluas kawasan militer (pertahanan keamanan), menjadi 1000 meter dari bibir pantai. Akibat ulah dari TNI dan Pemkab Kebumen, yang dianggap mengklaim secara sepihak, kontan mengundang reaksi masyarakat. Ketiga, ketika belum ada titik temu terkait dengan dua persoalan sebelumnya, tiba-tiba muncul rencana pembukaan lokasi penambangan pasir besi di kawasan ini. Awal tahun 2011 Pemerintah Kebumen mengeluarkan Surat Keputusan Bupati No. 660.I/28/2010 tentang persetujuan kelayakan lingkungan rencana penambangan pasir besi oleh PT. Mitra Niagatama Cemerlang (MNC) Jakarta. Melalui surat tersebut, perusahaan dilegalisasi untuk mengeksploitasi pasir besi di kawasan Urut Sewu. Keluarnya surat ijin penambangan ini kian membuat daerah warga kuatir, atas nasib tanah-tanah pertanian mereka yang akan segera diakusisi pihak lain. Militer ‘Maha Kuasa’ Bermula dari aksi besar, yang dilakukan warga pada 23 Maret 2011, pemerintah setempat dan aparat keamanan menanggapi dengan menggelar apel gabungan di Mapolres Kebumen, pada 31 Maret 2011. Apel gabungan ini diikuti oleh 275 personel TNI dan 425 personel Polri. Apel dihadiri Kapolres Kebumen, Dandim 0709/Kebumen, Bupati Kebumen, Ketua DPRD, Kepala Kejaksaan Negeri Kebumen, dan Ketua Pengadilan Negeri Kebumen. Apel ini ditujukan secara khusus untuk mengamankan kawasan Urut Sewu, wilayah sepanjang pesisir selatan Kebumen yang merupakan rangkaian Pegunungan Sewu. Situasi menjadi kian bertambah panas, ketika pihak TNI AD memaksakan untuk tetap melakukan uji coba persenjataan, pada 11 April 2011. Padahal dalam pertemuan beberapa tahun sebelumnya, tepatnya 14 Mei 2009, yang berlangsung di Pendopo Kebumen, Komandan Komando Daerah Militer (Kodim) 0709/Kebumen menyatakan secara lisan dihadapan warga (FPPKS), Bupati Kebumen, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Kebumen, maupun DPRD setempat, bahwa tentara tidak akan melakukan aktivitas
latihan dan uji coba persenjataan hingga status tanah di wilayah tersebut jelas.1 Pada akhir Maret 2011, Bupati Kebumen juga menegaskan hal yang sama. Mengetahui rencana latihan tentara tersebut, pada 10 April 2011 warga desa Setrojenar dibantu warga dari kawasan sekitar, kemudian memblokir akses jalan menuju Markas Dislitbang TNI AD dan menuju kawasan uji coba persenjataan. Pemblokiran dilanjutkan dengan aksi dan doa bersama di depan Markas Dislitbang TNI AD, pada 11 April 2011. Menyikapi situasi ini, Bupati, Komandan Kodim, Komandan Korem Pamungkas, dan pihak Kepolisian kemudian mengajak warga bernegosiasi. Akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa warga akan membuka blokade yang merintangi akses menuju markas, sedang pihak TNI AD akan menarik seluruh pasukan dari Markas Dislitbang TNI AD. Pada hari berikutnya ternyata kembali terjadi pergerakan pasukan menuju markas Dislitbang. Beberapa informasi menyebutkan pasukan tersebut berasal dari B atalyon Infanteri ( Yonif) 403/Wirasadapratista, Kentungan, Yogyakarta, dan Batalyon Arteleri Medan (Armed) Magelang. Setelah terjadi pergerakan pasukan ke markas, pada 15 April 2011, pihak TNI lantas memberitahukan kepada kepala desa setempat bahwa akan ada uji coba persenjataan dan latihan tempur keesokan harinya. Tepat pada Sabtu, 16 April 2011, sebagaimana telah direncanakan sebelumnya, warga melakukan ziarah kubur di makam lima orang anak yang menjadi korban ledakan mortir. Ziarah diikuti kurang lebih 30an orang, termasuk lima perempuan, ibu-ibu dari bocah yang meninggal, dan beberapa anak-anak. Tersiar informasi bahwa pada saat bersamaan, TNI AD sedang melakukan latihan tempur di kawasan Ambal, sebelah timur Bulus Pesantren. Di tengah prosesi ziarah, warga menerima kabar bahwa pihak TNI AD telah membuka blokade yang dibuat warga untuk menutup akses jalan menuju pantai, lokasi yang kerap digunakan untuk latihan tempur TNI AD. Mendengar informasi ini, segera setelah usai ziarah, warga kemudian membangun kembali blokade-blokade yang telah dibuka paksa oleh pihak TNI AD. Kekesalan warga pun memuncak. Dilandasi emosi tersebut warga lantas melakukan perusakan terhadap sejumlah fasilitas latihan tempur berupa tempat penyimpanan sisa peluru dan menara pantau, yang menurut penuturan warga berdiri di atas tanah warga yang dibuktikan dengan sertifikat hak milik. Mendekati pukul 14.00 WIB, Sabtu 16 April 2011 itu, sedikitnya 30 pasukan TNI AD, datang dari arah utara menuju ke selatan arah pantai tempat konsentrasi warga. Sepasukan tentara tersebut dalam posisi berbaris dan siap menembak. Kurang lebih 30 orang pasukan TNI AD juga menyusul keluar dari markas Dislitbang, dengan posisi siap tembak pula. Pukul 14.09 WIB terdengar letusan tembakan pertama dari arah pasukan tersebut. Usai terdengar tembakan, pasukan TNI tersebut kemudian menyerang warga yang tengah duduk-duduk di rumah dan warung di tepi jalan menuju Dislitbang. Pasukan TNI memuntahkan tembakan membabibuta, melakukan pemukulan dengan pentungan kayu, popor senapan, dan melayangkan tendangan sepatu lars ke arah warga. Mereka juga meneriakkan kata- kata kasar terhadap warga, seperti ‘anjing!’, ‘mati kau!’, ‘matikan!’. Selain itu tentara juga berteriak ‘PKI-PKI, matikan!’. Anehnya, pada saat penyerangan ini, beberapa orang anggota polisi berpakaian sipil yang berada di tempat kejadian, tidak melakukan tindakan apapun untuk mencegah kebringasan tentara.
Pasukan TNI AD kemudian bergerak terus ke selatan, menuju kerumunan warga. Pasukan tentara kelompok pertama kemudian bergabung dengan pasukan yang sudah siap di depan markas Dislitbang. Setelah pasukan tersebut bergerak ke selatan, dari arah utara datang kelompok pasukan TNI lainnya sebanyak tiga peleton, yang membawa senapan dan pentungan kayu. Mendengar tembakan dari utara, warga bergerak ke arah utara. Melihat pasukan TNI datang dari utara, dengan senapan yang diarahkan ke warga, serta mengeluarkan tembakan, warga memilih menunggu di tempat. Seperti di utara, tentara juga melakukan perlakuan sama terhadap kerumunan warga yang ada di selatan. Mereka menembak, memukul dengan popor senapan, pentungan, tinjuan, dan tendangan sepatu lars. Lontaran kata-kata kasar dan intimidasi juga terus diteriakkan oleh pasukan TNI ini. Pihak TNI menganggap kekerasan terhadap warga Setrojenar pada pertengahan April lalu, sudah sesuai prosedur. Langkah tersebut dilakukan tentara akibat tindakan warga yang anarkis, yang mengancam keselamatan jiwa anggota TNI dan aset- aset TNI. Namun fakta-fakta yang saya dapatkan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Warga yang tengah mengerjakan sawah dan ladangnya pun tak luput dari serangan. Surip Supangat, Kepala Desa Setrojenar, yang tengah menanam padi, ditembak dua kali di pantatnya. Warga lain lain yang baru pulang dari mencari rumput pun tak lepas dari pukulan popor senapan dan injakan sepatu lars. Langgengnya Impunitas Dalam penyerangan yang membabibuta ini, pasukan TNI AD menangkapi enam orang warga. Penangkapan dilakukan dengan cara-cara kasar, tidak manusiawi, dan merendahkan harkat martabat mereka sebagai manusia. Setelah menerima perlakuan kejam, berupa tembakan, tendangan, pukulan, dan intimidasi verbal, enam orang warga ini selanjutnya diikat dengan tali tambang, dan dilemparkan ke truk. Mereka kemudian digelandang tentara menuju Markas Polres Kebumen. Sebagian besar warga yang ditangkap dalam kondisi yang mengenaskan. Mereka dibawa ke RSUD Kebumen untuk mendapatkan perawatan. Para korban ini dibawa ke rumah sakit masih dalam keadaan tangan terikat. Polisi mengaku tidak berani membuka ikatan tersebut. Aksi tentara kembali terjadi. Menjelang Magrib, pasukan loreng itu melakukan penyisiran ke rumah-rumah warga. Pasukan TNI AD menangkap empat orang warga lagi dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana perusakan. Cara tentara ini sebenarnya tidak dibenarkan secara hukum mengingat penangkapan merupakan wewenang pihak kepolisian. Warga tersebut bukan gerombolan separatis yang mengancam kedaulatan negara. Namun di Urut Sewu kesewenangwenangan tentara itu terjadi. Akibat penyerangan tentara pada Sabtu kelabu itu, sedikitnya 14 orang warga sipil mengalami luka-luka, baik luka tembak maupun luka-luka yang diakibatkan oleh pukulan benda tumpul. Selain itu pasukan TNI AD juga merusak setidaknya 12 sepeda motor milik warga dan merampas beberapa telepon genggam dan kamera foto milik warga. Dalam proses berikutnya meskipun sejumlah warga menjadi korban tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak TNI AD, namun tidak ada satu pun pasukan TNI AD yang diproses secara hukum. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pomdam IV Diponegoro malah menyebutkan tidak ada pelanggaran apa pun yang dilakukan oleh pasukan TNI AD dalam kasus Kebumen.
Sementara itu, enam orang warga justru tengah menjalani prsoses hukum di Pengadilan Negeri Kebumen dengan tuduhan melakukan perusakan terhadap barang atau orang. Dari pihak warga sebenarnya telah melaporkan tindakan yang dilakukan oleh pihak TNI kepada Polres Kebumen dan Sub Denpom IV/2-2 Purworejo, atas peristiwa kekerasan tanggal 16 April 2011. Menanggapi laporan tersebut, pihak Polres Kebumen kemudian mengalihkan laporan ke Sub Denpom IV/2-2 Purworejo. Namun, Komandan Sub Denpom IV/2-2 Purworejo mengatakan institusinya tidak memiliki kewenangan untuk menjelaskan mengenai proses hukum terhadap sejumlah anggota TNI dimaksud. Dia pun mengalihkan pengaduan warga ke Danpomdam IV/Diponegoro. Ketiadaan proses hukum terhadap anggota TNI AD yang melakukan tindakan kekerasan terhadap warga memperlihatkan adanya diskriminasi dalam proses hukum. Ada pengingkaran terhadap amanat Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan adanya persamaan di muka hukum, serta hak atas kepastian dan keadilan hukum bagi setiap warganegara. Tertutupnya pihak TNI menanggapi kasus ini dan tiadanya proses hukum yang tegas terhadap para anggota TNI yang melakukan tindak kekerasan, menunjukan belum adanya transparansi dan akuntabilitas di pihak TNI. Hal ini juga menunjukan masih terpeliharanya impunitas TNI dari tindakan hukum apa pun. Kesimpang-siuran peraturan perundang- undangan juga menjadi alasan bagi TNI untuk menghindari proses hukum. Karenanya ke depan, penting untuk melakukan reformasi menyeluruh terkait dengan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh anggota TNI, khususnya reformasi UU Peradilan Militer.