Juli 2016
Jurnal Syariah 4
RUU KETAHANAN KELUARGA: MODIFIKASI HUKUM SEBAGAI UPAYA MENCAPAI TUJUAN HUKUM ISLAM DALAM MEMELIHARA KETURUNAN Muthmainnah Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Abstrak Salah satu tujuan Hukum Islam menurut Abu Ishaq Al-Shatibi adalah memelihara keturunan. Tujuan tersebut merupakan salah satu tujuan yang sangat penting di dalam kehidupan manusia. Namun, upaya untuk mencapai tujuan tersebut mengalami beberapa hambatan yang ditunjukkan dengan tidak berfungsinya keluarga di masyarakat. Esai ini berusaha mengkaji salah satu RUU yang diprakarsai oleh Fraksi PKS DPR-RI yang telah disahkan menjadi RUU inisiatif DPR-RI periode 2015-2019 yaitu RUU Ketahanan Keluarga. Perwujudan pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan hal yang penting bagi Indonesia sebagai negara hukum. Salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara adalah undang-undang. RUU Ketahanan Keluarga dibutuhkan sebagai fondasi terciptanya ketahanan negara. Urgensi pengaturan RUU ini dapat dilihat dari berbagai aspek seperti aspek sosiologis dan aspek psikologis. Aspek sosiologis membahas tentang kaitannya individu dalam lingkup mikro yang akan membentuk suatu lingkup makro yaitu negara. Sedangkan, aspek psikologis membahas tentang bagaimana keluarga mempengaruhi berbagai aspek kehidupan seorang individu, mulai dari hal terkait kemampuan berinteraksi, kematangan emosi, hingga performa dalam suatu pekerjaan. Esai ini juga menjelaskan tentang modifikasi hukum dalam RUU Ketahanan Keluarga yang membawa semangat bahwa isu keluarga bukan hanya permasalahan dalam lingkup privat tetapi menjadi ranah publik karena negara memiliki tanggung jawab untuk menciptakan ketahanan keluarga yang akan mewujudkan ketahanan negara. Dengan adanya RUU ini diharapkan dapat menjadi salah satu upaya mencapai tujuan Hukum Islam yaitu Hifdz An-Nasb. Kata kunci: keturunan, hukum islam, ketahanan keluarga, modifikasi hukum, ketahanan negara
29
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
Draft Law on Family Resilience: Modification of Law as an Effort to Achieve the Goal of Islamic Law on Lineage Protection Abstract One of the aims of Islamic Law based on Abu Ishaq Al-Shatibi is to protect ancestry which becomes a very essential aim for human being. On the other side, this aim faces obstacles in which a family does not show the function as it is in society. This writing elaborates a Draft Law which is initiated by Prosperous and Justice Party Faction which was legalised as Draft Law initiated by House of Representatives Republic of Indonesia term 2015-2019. The Draft Law is about Family Sustainability. The process of Law Making is a fundamental aspect for Indonesia as a Rechstaat. This article is needed to cretae a fundamental design for family sustainability. The urgency derives both from sociology aspect and also physchology aspect. The sociology discusses about relations between an individu with the societ while the physchology discusses and individu related to the interaction, emotion, and also performance. This writing also discusses about law modification regarding this article with the paradigm that a family issue becomes a general issue in public law. The existing of this regulation is hoped to achieve one of the aims of Islamic Law which is to protect ancestry. Keywords: family, islamic law, sustainability, law modification, state
30
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
Pendahuluan Dalam perjalanan kehidupan bernegara bangsa Indonesia, untuk menyelenggarakan pemerintahan negara pada umumnya, dan untuk mencapai tujuan-tujuan negara yang telah digariskan oleh para pembentuk Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan adanya berbagai macam usaha dan cara. Salah satu unsur utama yang menjadi penunjang keberhasilan tersebut adalah adanya pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan memadai bagi setiap masalah yang dihadapi. Hal ini tersirat dalam pembukaan UUD 1945 bahwa Negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat) dalam arti negara pengurus (Verzorgingsstaat). Undang-undang sebagai jenis peraturan perundang-undangan tertinggi dalam kelompok norma hukum formell gesetz merupakan kaedah yang bersifat umum, abstrak, dan terus-menerus. Oleh karena itu, fungsi undang-undang di dalam suatu negara yang menganut sistem hukum civil law merupakan hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan undang-undang merupakan norma yang ketika disahkan, keberlakuannya mengikat untuk semua warga negara dan bersifat terus-menerus. Dalam pengertian teknis ketatanegaraan Indonesia, undang-undang adalah produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden, serta disahkan oleh Presiden. Perwujudan dari pembentukan undang-undang tersebut diawali dengan pembentukan program legislasi nasional yang merupakan wajah politik hukum legislasi Indonesia. Dalam rapat panitia kerja Badan Legislasi dengan Kementerian Hukum dan HAM serta Panitia Perancangan Undang-Undang DPD-RI terkait pembahasan penyusunan program legislasi nasional prioritas tahun 2015 dan program legislasi periode 2015-2019, Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga merupakan salah satu RUU yang disepakati untuk dijadikan RUU inisiatif DPR-RI dalam prolegnas 2015-2019 yang diprakarsai oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR-RI. Dalam pembahasan rapat kerja ini, dikatakan bahwa RUU Ketahanan Keluarga diperlukan untuk membangun fondasi ketahanan negara. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ketua Fraksi PKS DPR-RI, Jazuli Juwaini, yang mengatakan bahwa Fraksi PKS DPR-RI akan memperjuangkan Rancangan Undang-undang yang pro rakyat dimana terdapat tiga RUU Prioritas yang akan diperjuangkan Fraksi PKS 31
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
DPR-RI yang mencakup RUU Ketahanan Keluarga, RUU Kewirausahaan Nasional dan RUU Perlindungan Harga dan Kebutuhan Pokok. Argumen lain terkait urgensi RUU Ketahanan Keluarga juga dinyatakan oleh Ketua Bidang Kebijakan Publik (BKP) DPP PKS yang juga Wakil Ketua MPR-RI, Hidayat Nur Wahid, yang mengatakan bahwa untuk menyikapi perkembangan penyakit sosial kemasyarakatan yang semakin mengkhawatirkan, Pemerintah bersama DPR perlu segera membuat Undang-Undang Ketahanan Keluarga untuk melindungi keluarga Indonesia dari pengaruh dan dampak penyakit sosial tersebut. Penyakit sosial yang dimaksud adalah penyalahgunaan narkoba, seks bebas, penyimpangan seksual, tawuran, pelacuran, hingga korupsi. Berdasarkan argumen-argumen tersebut, pada tanggal 9 Februari 2015 dalam rapat paripurna pengesahan Prolegnas Periode 2015-2019, RUU Ketahanan Keluarga disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR periode 2015-2019.
Pembahasan Menjaga Keturunan sebagai Salah Satu Tujuan Hukum Islam Abu Ishaq al-Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni: 1. Hifdz Ad-Din (Memelihara Agama) 2. Hifdz An-Nafs (Memelihara Jiwa) 3. Hifdz Al’Aql (Memelihara Akal) 4. Hifdz An-Nasb (Memelihara Keturunan) 5. Hifdz Al-Maal (Memelihara Harta) Kelima tujuan Hukum Islam tersebut di dalam kepustakaan disebut al-Maqasid al Khamsah atau al-Maqasid al- Shari’ah. Tujuan hukum Islam tersebut dapat dilihat dari dua segi yakni segi Pembuat Hukum Islam yaitu Allah dan Rasul-Nya dan segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam itu. Jika dilihat dari pembuat hukum Islam tujuan hukum Islam itu adalah untuk memelihara keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, dan tersier, yang dalam 32
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
kepustakaan hukum Islam masing-masing disebut dengan istilah daruriyyat, hajjiyat dan tahsniyyat. Kebutuhan primer adalah kebutuhan utama yang harus dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya oleh hukum Islam agar kemaslahatan hidup manusia bener-benar terwujud. Kebutuahan sekunder adalah kebutuhan yang diperluakn untuk mencapai kehidupan primer, seperti kemerdekaan, persamaan, dan sebagaianya, yang bersifat menunjang eksistensi kebutuahan primer. Kebutuhan tersier adalah kebutuhan hidup manusia selain yang bersifat primer dan sekunder itu yang perlu diadakan dan dipelihara untuk kebaikan hidup manusia dalam masyarakat, misalnya sandang, pangan, perumahan dan lain-lain.1 Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga sebagai RUU dalam Daftar Prolegnas 2015-2019 yang Diajukan oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRRI Dalam perjalanan kehidupan bernegara bangsa Indonesia, untuk menyelenggarakan pemerintahan negara pada umumnya, dan untuk mencapai tujuan-tujuan negara yang telah digariskan oleh para pembentuk Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan adanya berbagai macam usaha dan cara. Salah satu unsur utama yang menjadi penunjang keberhasilan tersebut adalah adanya pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan memadai bagi setiap masalah yang dihadapi.2 Hal ini tersirat dalam pembukaan UUD 1945 bahwa Negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat) dalam arti negara pengurus (Verzorgingsstaat).3 Undang-undang sebagai jenis peraturan perundang-undangan tertinggi dalam kelompok norma hukum formell gesetz merupakan kaedah yang bersifat umum, abstrak, dan terus-menerus.4 Oleh karena itu, fungsi undang-undang di dalam suatu negara yang menganut sistem hukum civil law merupakan hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan undang-undang merupakan norma yang ketika disahkan, keberMohammad Daud Ali, (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia: Jakarta, PT. Grafindo: 2006), hlm. 61 2 Maria Farida Indrati Soeprapto. “Pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 Ditinjau Dari Sistem Pemerintahan Negara, Cita Hukum dan Norma Fundamental Negara Republik Indonesia” (Tesis Magister, Universitas Indonesia, 1997), hlm. 1. 3 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan I, (Yogyakarta: Percetakan Kanisius, 2007). hlm. 1. 4 Hans Nawiasky mengklasifikasikan norma dalam kaitannya dengan negara menjadi empat, yaitu Staatsfundamentalnorm, Staatsgrundgesetz, Formell Gesetz, dan Verordnung dan Autonome Satzung 1
33
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
lakuannya mengikat untuk semua warga negara dan bersifat terus-menerus. Dalam pengertian teknis ketatanegaraan Indonesia, undang-undang adalah produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden, serta disahkan oleh Presiden.5 Perwujudan dari pembentukan undang-undang tersebut diawali dengan pembentukan program legislasi nasional yang merupakan wajah politik hukum legislasi Indonesia.6 Dalam rapat panitia kerja Badan Legislasi DPR-RI dengan Kementerian Hukum dan HAM serta Panitia Perancangan Undang-Undang DPD-RI terkait pembahasan penyusunan program legislasi nasional prioritas tahun 2015 dan program legislasi periode 2015-2019, Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga merupakan salah satu RUU yang disepakati untuk dijadikan RUU inisiatif DPR-RI dalam prolegnas 2015-2019 yang diprakarsai oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR-RI. Dalam pembahasan rapat kerja ini, dikatakan bahwa RUU Ketahanan Keluarga diperlukan untuk membangun fondasi ketahanan negara.7 Hal ini sejalan dengan pernyataan Ketua Fraksi PKS DPR-RI, Jazuli Juwaini, yang mengatakan bahwa Fraksi PKS DPR-RI akan memperjuangkan Rancangan Undang-undang yang pro rakyat dimana terdapat tiga RUU Prioritas yang akan diperjuangkan Fraksi PKS DPR-RI yang mencakup RUU Ketahanan Keluarga, RUU Kewirausahaan Nasional dan RUU Perlindungan Harga dan Kebutuhan Pokok.8 Argumen lain terkait urgensi RUU Ketahanan Keluarga juga dinyatakan oleh Ketua Bidang Kebijakan Publik (BKP) DPP PKS yang juga Wakil Ketua MPR-RI, Hidayat Nur Wahid, yang mengatakan bahwa untuk menyikapi perkembangan penyakit sosial kemasyarakatan yang semakin mengkhawatirkan, Pemerintah bersama DPR perlu segera membuat Undang-Undang Ketahanan Keluarga untuk melindungi keluarga Indonesia dari pengaruh dan dampak penyakit sosial tersebut. Penyakit sosial yang dimaksud adalah penyalahgunaan narkoba, seks bebas, penyimpangan Maria Farida, Op.Cit., hlm. 54. Yasonna Laoly, disampaikan dalam pembahasan rapat kerja Program Legislasi Nasional Periode 2015-2019 di Ruang Badan Legislasi DPR-RI pada tanggal 6 Februari 2015. 7 Laporan singkat Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi dengan Kenteri Hukum dan HAM Serta Panitia Perancangan UU DPD RI dalam rangka penyusunan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2014, hlm. 3. 8 “Raker F-PKS Hasilkan Sejumlah Rekomendasi”, Jurnal Parlemen, diakses pada tanggal 26 April 2015, http://www.jurnalparlemen.com/view/9321/raker-f-pks-hasilkan-sejumlah-rekomendasi.html. 5 6
34
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
seksual, tawuran, pelacuran, hingga korupsi.9 Berdasarkan argumen-argumen tersebut, pada tanggal 9 Februari 2015 dalam rapat paripurna pengesahan Prolegnas Periode 2015-2019, RUU Ketahanan Keluarga disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR periode 2015-2019.
Urgensi Pengaturan Ketahanan Keluarga dalam Kehidupan Bernegara Keluarga merupakan agen sosialisasi primer bagi seorang individu. Hal ini sangat berpengaruh untuk menginternalisasi nilai-nilai dan karakter yang diperlukan oleh penerus bangsa mengingat demokrasi menghendaki pemerintahan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, sehingga individu-individu yang lahir dari suatu keluarga kelak yang akan mengisi pos-pos pemerintahan dan berbagai aspek strategis yang ada di dalam suatu negara. Keluarga juga menjadi sangat penting dalam kehidupan bernegara dikarenakan ideologi suatu negara termaktub dalam Staatsfundamentalnorm. Konsekuensi logis dari hal ini adalah bahwa Staatsfundamentalnorm suatu negara dapat diubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang artinya keberadaan seorang individu di dalam setiap keluarga memiliki andil dalam mempengaruhi keberlangsungan ideologi suatu negara yang memiliki implikasi pada bagaimana ketahanan negara dapat diwujudkan. Dalam perspektif ilmu sosiologi, keberadaan keluarga sebagai pranata sosial memiliki peran yang sangat besar bagi perkembangan suatu negara. Hal ini dikarenakan salah satu unsur penting suatu negara adalah adanya unsur rakyat yang merupakan masyarakat itu sendiri. Masyarakat dapat diartikan sebagai orang-orang yang memiliki fungsi bersama dalam sebuah perkumpulan di luar aparatur negara.10 Pada dasarnya, seorang bayi yang baru lahir belum memiliki sifat sosial dan merupakan masih manusia yang murni dimana dibutuhkan waktu untuk melatih dan membantu seorang bayi memahami masyarakat dengan baik. Proses ini dinamakan sosialisasi utama atau awal yang dilakukan dengan cara yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti budaya, kelompok yang hidup bersama, dan terutama dipengaruhi oleh keluarga. Ada banyak perbedaan kebiasaan dalam 9
“Hidayat: Perlu Segera Dibuat UU Ketahanan Keluarga”, 16 Februari 2015, diakses pada tanggal 26 April 2015, http://pks-kotatangerang.org/2015/02/16/hidayat-perlu-segera-dibuat-uu-ketahanan-keluarga/. 10 Ken Plummer, Sociology: The Basics, (Jakarta: Grafindo, 2011), hlm. 24.
35
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
membesarkan anak, dan banyak penelitian menghasilkan grafik yang menunjukkan bagaimana anak-anak membentuk bahasa mereka, rasa percaya pada diri sendiri, serta kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat. Seorang anak yang tidak mendapatkan pengaruh normatif dari lingkungan sekitar terutama keluarga akan didapati tidak dapat berfungsi sebagai makhluk sosial.11 Keberadaan seorang individu tentu memiliki andil dalam perkembangan suatu negara dilihat dalam konteks tiga lingkup sosial, yaitu satuan terkecil (mikro), satuan menengah (meso), dan satuan yang terbesar (makro). Orang-orang dalam lingkup sosial terkecil (mikro) yang mencakup individu-individu sampai pada satuan terbesar (makro) yang mencakup masyarakat, negara, bahkan dunia akan melalui serangkaian satuan menengah yang meliputi kelompok atau organisasi (meso).12 Oleh karena itu, kualitas seorang individu akan menentukan kualitas suatu negara yang individu tersebut berasal dari suatu pranata sosial bernama keluarga. Hal ini memberi arti bahwa membangun kualitas suatu keluarga dengan sendirinya merupakan usaha nyata membentuk seorang individu yang berkualitas dimana individu tersebut merupakan unit terkecil yang menyokong negara. Arti penting dari hal tersebut adalah bahwa membangun ketahanan suatu keluarga memberikan kontribusi penting untuk membangun ketahanan suatu negara. Dalam ilmu psikologi, kajian berkaitan dengan keluarga juga memberikan khazanah tentang betapa pentingnya peran keluarga terhadap kehidupan seorang individu. Fungsi keluarga memberikan peranan terhadap pengungkapan emosi seorang individu melalui pemahaman emosi. Hal ini memberikan dampak terhadap kemampuan seorang individu dalam berinteraksi dengan lingkungan. Keberfungsian ini dapat dilihat apakah peran orang tua diterapkan dengan baik atau tidak di dalam suatu keluarga. Individu yang tidak mendapatkan keberfungsian keluarga dengan baik akan mengalami masalah dalam pengungkapan dan memahami emosi.13 Dalam hubungannya dengan dunia kerja, peran keluarga juga mempengaruhi performa seseorang dalam pemenuhan menjalankan peran suatu pekerjaan. Terdapat korelasi bahwa orang yang memiliki konflik dalam keluarga akan cenderung memiliki performa kerja yang tidak memuaskan yang mempengaruhi kepada perilaku Ken Plummer, Op.Cit, hlm. 26. Ibid, hlm. 30. 13 Wahyu Widhiarso, “Peranan Keberfungsian Keluarga Pada Pemahaman dan Pengungkapan Emosi.” Jurnal Psikologi , Vol 30 Nomor 2 (2003): 91-104, hlm. 103. 11 12
36
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
dalam pekerjaan.14 Interaksi dalam keluarga juga merupakan prediktor tingkah laku negatif remaja dimana remaja yang memiliki intensitas interaksi yang kurang dengan keluarga cenderung akan memiliki tingkah laku negatif seperti berbohong, mencuri, dan menghancurkan barang-barang. Sedangkan, anak yang memiliki intensitas tinggi berinteraksi dengan keluarga memiliki perilaku yang lebih baik. Salah satu faktor yang menjadi isu dialam ilmu psikologi yang dapat mengancam keberlangsungan suatu keluarga adalah isu perceraian. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian antara lain kemerdekaan perempuan; faktor ekonomi; tingkat intelektualitas yang rendah; tingkat pendidikan yang rendah; keterampilan sosial yang tidak memadai; konflik peran; permasalahan seksual; penggunaan alkohol; dan kekerasan (Lowenstein, 2005).15 Penelitian menunjukkan bahwa anak yang memiliki orang tua bercerai akan mempunyai trauma yang membuat anak tersebut merasakan perasaan tertekan, sedih, kebingungan, dan ketidakpastian melihat hidup. Anak-anak tersebut dalam proses belajar mengalami perasaan kesepian, merasakan teror, dan ketakutan (Amato, 2001). Oleh karena itu, isu perceraian adalah salah satu isu yang harus diperhatikan untuk menemukan cara terbaik membentuk suatu ketahanan negara.16 Relevansi Penerapan Modifikasi Hukum dalam RUU Ketahanan Keluarga Secara filosofis, tujuan pembentukan norma hukum dapat dikategorikan menjadi dua hal yaitu kodifikasi hukum dan modifikasi hukum. Di dalam negara yang berdasar atas hukum modern (verzorgingstaat), tujuan utama dari pembentukan undang-undang bukan lagi menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utama pembentukan undang-undang itu adalah menciptakan modifikasi atau perubahan dalam masyarakat. Dengan perkataan lain, T. Koopmans menyatakan bahwa pembentuk undang-undang tidak lagi pertama-tama berusaha ke arah kodifikasi melainkan modifikasi. Sejalan dengan pendapat tersebut, A. Hamid.S. Attamimi menyatakan bahwa untuk menghadapi perubahan dan perkembangan kebutuhan Triana Soeharto, “Konflik Pekerjaan-Keluarga dengan Kepuasan Kerja: Metaanalisis”, Jurnal Psikologi, Volume 37, No.1 (Juni 2010):189-194, hlm. 194 15 Joseph. P. Allen, “Autonomy and Relatedness in Family Interactions as Predictors of Expressions of Negative Adolescent Affect.” Journal of Research Adolesence, Vol 4, Issue 4, (1994): 535-552, hlm. 536. 16 Mary Kay DeGenova, Intimate Relationships, Marriage, and Families, (Amerika Serikat: McGraw Hill, 2008), hlm. 425. 14
37
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
masyarakat yang semakin cepat, sudah bukan saatnya mengarahkan pembentukan hukum melalui penyusunan kodifikasi. Hal ini dikarenakan pemikiran tentang kodifikasi hanya akan menyebabkan hukum selalu berjalan di belakang dan bukan tidak mungkin selalu ketinggalan zaman.17 Kodifikasi itu sendiri adalah penyusunan dan penetapan peraturan-peraturan hukum dalam kitab undang-undang secara sistematis mengenai bidang hukum yang agak luas. Dengan demikian, kodifikasi bukanlah sekadar penyusunan seperangkat peraturan hukum mengenai hal tertentu ke dalam kitab undang-undang, melainkan mengenai bidang hukum yang lebih luas, seperti bidang hukum perdata, bidang hukum dagang, bidang hukum pidana, dan sebagainya. Dengan kodifikasi, peraturan-peraturan mengenai suatu bidang hukum berikut sistemnya dan dasar-dasarnya yang selama ini tersebar-sebar dikumpulkan dan disatukan dalam suatu kitab secara teratur. Bentuk hukum diperbarui namun isinya diambilkan dari hukum yang sudah ada, yang masih berlaku. Banyak pakar berpendapat bahwa kodifikasi hanya cocok pada abad yang lalu dan mencapai puncaknya pada masa awal abad ke-19. Pada masa itu kodifikasi lebih merupakan upaya perumusan hukum dari norma-norma dan nilai-nilai yang sudah mengendap dan berlaku dalam masyarakat. Dalam masa sekarang, dimana persoalan hukum yang muncul dan berkembang dalam masyarakat sudah semakin kompleks, maka upaya kodifikasi tidak mungkin lagi dilakukan, karena akan memakan waktu yang sangat lama. Sementara ada sebagian dari peraturan yang seharusnya dikodifikasikan, ternyata sudah dituangkan dalam Undang-Undang terpisah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh yang terjadi adalah pengajuan RUU KUHD yang terpaksa dimentahkan kembali dan dikaji ulang, karena sebagian materi muatannya sudah diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah tersendiri seperti Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Hak Paten atau Peraturan Pemerintah Tentang Perindustrian.18 Dewasa ini, cara modifikasi undang-undang memberikan bentuk yuridis terhadap campur tangan sosial yang dilakukan oleh pembentuknya untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan-tujuan negara. Undang-undang kini tidak lagi berfungsi memberi bentuk kristalisasi kepada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, melainkan memberi bentuk bagi tindakan politik yang menentukan arah perkembangan nilai17 18
Maria Farida, Op.Cit., hlm. 4. Maria Farida, Op.Cit., hlm. 5.
38
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
nilai tersebut. Dengan adanya pengutamaan pada pembentukan Undang-Undang melalui cara modifikasi, diharapkan agar Undang-Undang itu tidak lagi berada di belakang dan kadang-kadang terasa ketinggalan, tetapi Undang-Undang itu diharapkan dapat berada di depan, dan tetap berlaku sesuai dengan perkembangan masyarakat. I.C. van Der Vlies berpendapat bahwa Undang-Undang modifikasi adalah Undang-Undang yang bertujuan mengubah pendapat hukum yang berlaku, dan peraturan perundang-undangan yang mengubah hubungan-hubungan sosial. Sedangkan, Undang-undang kodifikasi adalah undang-undang yang membakukan pendapat hukum yang berlaku. Undang-undang modifikasi adalah undang-undang yang bertujuan untuk mengubah pendapat hukum yang berlaku. Pembedaan antara peraturan perundang-undangan kodifikasi dan modifikasi sekilas pandang kelihatannya jelas. Peraturan perundang-undangan kodifikasi dipahami orang sebagai peraturan perundanga-undangan yang berdasar hukum tak tertulis, yang menetapkan dalam bentuk tertulis peraturan-peraturan yang berlaku secara keseluruhan. Peraturan modifikasi adalah peraturan perundang-undangan yang menetapkan peraturan-peraturan yang baru diakui sebagai peraturan hukum melalui penetapan oleh undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang mengubah hubungan-hubungan sosial.19 Dalam konteks RUU Ketahanan Keluarga yang kaitannya dengan teori kodifikasi dan modifikasi yang telah dipaparkan bahwasanya RUU Ketahanan Keluarga harus dibentuk dengan cara modifikasi hukum yang membawa paradigma baru bahwa permasalahan keluaarga tidak dapat disempitkan hanya pada sektor privat saja. RUU ini harus mampu memberikan pandangan baru baik kepada masyarakat maupun pembuat kebijakan bahwa pranata sosial yang bernama keluarga tidak hanya merupakan urusan domestik. Namun, perlu disadari bahwa fondasi ketahanan dan keberlangsungan suatu negara sangat bergantung dengan fungsi keluarga baik dalam aspek mikro maupun makro dan juga aspek psikologis yang telah dipaparkan sebelumnya. Hal ini dikarenakan jika cara kodifikasi hukum yang diterapkan di dalam RUU ini, maka RUU ini tidak dapat membawa perubahan perspektif tentang ketahanan keluarga yang dimana Indonesia telah memiliki beberapa Undang-Undang Sektoral yang berkaitan dengan perlindungan terhadap keluarga, seperti jaring pengaman sosial dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, ketersediaan lahan dalam Undang-Undang Nomor 19
Maria Farida, Op.Cit., hlm. 6.
39
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, penjaminan administrasi kependudukan dan pengembangan keluarga dalam Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, ketersedian perumahan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Pemukiman dan beberapa undang-undang sektoral lainnya. RUU Ketahanan Keluarga diharapkan dapat menghadirkan norma kodifikasi yang baru tanpa harus mengatur ulang norma-norma yang telah diatur di dalam undang-undang sektoral tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Guru Besar Departemen Ilmu Keluarga Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Ir Euis Sunarti, M.Si yang mengatakan bahwa salah satu alasan masih besarnya masalah ketahanan dan kesejahteraan keluarga di Indonesia adalah karena kebijakan keluarga yang setengah hati yang tidak disertai dengan cara pandang melihat peran keluarga dalam negara. Sejatinya, Indonesia merupakan negara dengan kebijakan eksplisit keluarga yakni Undang-Undang nomor 52 tahun 2009, namun demikian program keluarga yang dijalankan sebatas pendukung atau pelengkap program lainnya. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai salah satu institusi yang melaksanakan program ketahanan keluarga, menempatkan program ketahanan keluarga sebatas pendukung program Keluarga Berencana. Ketahanan keluarga Indonesia membutuhkan kebijakan menuju tindakan. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembagunan Keluarga dirasa belum efektif karena sebagian besar keluarga Indonesia belum sejahtera. Berdasarkan data dari BPS periode 2009-2010, saat ini masih banyak keluarga yang belum memiliki rumah (13,6 juta atau 22 persen), mengalami kesulitan akses air bersih (sekitar 50 persen), tidak memiliki akses sanitasi higiene (45 persen), dan miskin (sekitar 31 juta atau 13 persen). Selain itu, masih banyak keluarga yang sulit memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan berkualitas, yang tinggal di wilayah rawan pangan, wilayah rawan bencana, dan daerah tinggi.20
Laily Rahmawati, “Kebijakan Keluarga di Indonesia Dinilai Masih Setengah Hati” Antara News, 28 Juni 2013, diakses pada tanggal 26 April 2015 http://www.antaranews.com/berita/382605/kebijakan-keluarga-di-indonesia-dinilai-masih-setengah-hat. 20
40
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
Penutup Peran keluarga di dalam suatu negara merupakan hal yang sangat penting dimana dalam berbagai pembahasan dalam ilmu sosiologi dan psikologi secara elaboratif dijelaskan bahwa keluarga memiliki peran yang sangat signifikan dalam membentuk seorang individu yang merupakan unit terkecil dalam suatu negara. Disahkannya RUU Ketahanan Keluarga sebagai RUU dalam Prolegnas periode 20152019 diharapkan dapat menjadi jembatan tercapainya ketahanan negara melalui revitalisasi peran keluarga. RUU ini haruslah dilandasi dengan semangat menciptakan norma baru dan perspektif baru tentang keluarga di masyarakat dimana RUU ini dapat memiliki subsstansi yang berbeda dengan norma yang telah ada dalam undang-undang sektoral yang berkaitan dengan keluarga. Oleh karena itu, pendekatan norma dalam RUU Ketahanan Keluarga haruslah berdasarkan modifikasi hukum yang tidak hanya melakukan pendekatan kuantitaif tetapi juga pendekatan kualitatif. Perwujudan RUU ini juga harus mendekatkan kepada berbagai pihak, yaitu pihak pemerintah, akademisi, business people, dan yang paling penting masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, pembuatan RUU ini dapat menjadi peluang untuk mencapai salah satu tujuan Hukum Islam yaitu dalam hal menjaga keturunan.
Referensi Buku DeGenova, Mary Kay. Intimate Relationships, Marriage, and Families. Amerika Serikat: McGraw Hill. 2008. Plummer, Ken. Sociology: The Basics. Jakarta: Grafindo. 2011. Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan I. Yogyakarta: Percetakan Kanisius. 2007. Tesis Maria Farida Indrati Soeprapto. “Pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 Ditinjau Dari Sistem Pemerintahan Negara, Cita Hukum dan Norma Fundamental Negara Republik Indonesia.” Tesis Magister. Universitas Indonesia. 1997. 41
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
Dokumen Laporan Singkat Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi dengan Menteri Hukum dan HAM Serta Panitia Perancangan UU DPD RI dalam Rangka Penyusunan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2014. Jurnal Allen, Joseph. P. “Autonomy and Relatedness in Family Interactions as Predictors of Expressions of Negative Adolescent Affect.” Journal of Research Adolesence, Vol 4, Issue 4, (1994): 535-552. Soeharto, Triana. “Konflik Pekerjaan-Keluarga dengan Kepuasan Kerja: Metaanalisis” Jurnal Psikologi.” Volume 37, No.1 (Juni 2010):189-194. Widhiarso, Wahyu. “Peranan Keberfungsian Keluarga Pada Pemahaman dan Pengungkapan Emosi.” Jurnal Psikologi. Vol 30 Nomor 2 (2003): 91-104. Internet “Hidayat: Perlu Segera Dibuat UU Ketahanan Keluarga”. 16 Februari 2015. Diakses pada tanggal 26 April 2015. http://pks-kotatangerang.org/2015/02/16/hidayat-perlu-segera-dibuat-uu-ketahanan-keluarga/. Laily Rahmawati, “Kebijakan Keluarga di Indonesia Dinilai Masih Setengah Hati”. Antara News. 28 Juni 2013. Diakses pada tanggal 26 April 2015. http://www. antaranews.com/berita/382605/kebijakan-keluarga-di-indonesia-dinilai-masih-setengah-hat. “Raker F-PKS Hasilkan Sejumlah Rekomendasi”, Jurnal Parlemen, diakses pada tanggal 26 April 2015, http://www.jurnalparlemen.com/view/9321/raker-f-pks-hasilkan-sejumlah-rekomendasi.html.
42