RUMAH TRADISIONAL KUDUS : PENGARUH BUDAYA ISLAM DALAM RUMAH TRADISIONAL KUDUS (1500-1900)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh Mujib Hardiyan Syah NIM : 104022000809
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009
RUMAH TRADISIONAL KUDUS : PENGARUH BUDAYA ISLAM DALAM RUMAH TRADISIONAL KUDUS (1500-1900)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh Mujib Hardiyan Syah NIM : 104022000809
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (satu) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 7 Agustus 2009
Mujib Hardiyan Syah
RUMAH TRADISIONAL KUDUS : PENGARUH BUDAYA ISLAM DALAM RUMAH TRADISIONAL KUDUS (1500-1900)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh Mujib Hardiyan Syah NIM : 104022000809
Pembimbing,
Drs. Imam Subchi, M.A. NIP : 19670810 200003 1 001
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul RUMAH TRADISIONAL KUDUS : PENGARUH BUDAYA ISLAM DALAM RUMAH TRADISIONAL KUDUS (1500-1900) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 25 Agustus 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.
Jakarta, 25 Agustus 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, M.A.
Usep Abdul Matin, S.Ag, M.A., M.A.
NIP : 19591222 199103 1 003
NIP : 150 288 304
Anggota,
Penguji,
Pembimbing,
Dr. H. M. Muslih Idris, Lc., M.A.
Drs. Imam Subchi, M.A.
NIP : 19520603 198603 1 001
NIP : 19670810 200003 1 001
i
ABSTRAKSI
Mujib Hardiyan Syah Rumah Tradisional Kudus : Pengaruh Budaya Islam dalam Rumah Tradisional Kudus (1500-1900) Penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yang berusaha mendiskripsikan serta menganalisa perkembangan arsitektur rumah tradisional Kudus yang dipengaruhi oleh beragam kebudayaan, termasuk Islam. Penelitian ini di latar belakangi oleh banyaknya rumah-rumah maupun gedung-gedung pemerintahan yang meniru seni ukiran yang terdapat pada ornamen-ornamen di dinding rumah tradisional Kudus atau yang biasa disebut gebyok. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Permasalahan utama yang ingin dijawab dengan adanya penelitian ini adalah bagaimana gambaran umum rumah tradisional Kudus dari awal hingga perkembangan rumah tersebut saat kebudayaan Islam masuk di Kudus dan seberapa besar pengaruh kebudayaan Islam dalam rumah tradisional Kudus. Penulisan skripsi ini mengungkap bahwa rumah Kudus Kuno, ketika itu memiliki atap berbentuk kampung atau biasa disebut rumah tipe payon (kampung), dan rumah tersebut tidak memiliki hiasan ukir-ukiran. Berbeda dengan rumah Kudus setelah masuknya Islam, yaitu melalui peranan Sunan Kudus dan Kyai Telingsing, sehingga rumah tradisional Kudus dalam perkembangannya mengalami beberapa perubahan yang sangat signifikan dari bentuk fisik rumahnya dan interior yang didominasi ukiran-ukiran dari berbagai kebudayaan yang mendukung keindahan rumah pada perkembangan selanjutnya dalam rumah tradisional Kudus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa budaya Islam yang terutopsi pada ornamen rumah tradisional Kudus tampil menyerap, mengakomodasi, atau mengadaptasi unsur-unsur kesenian yang telah ada sebelumnya, dan lebih mementingkan isi atau misi yang terkandung di dalamnya. Sehingga kebudayaan Asli, Hindu Jawa, Cina dan Islam, dimana kesemuanya dengan apik mengalami sinkretisasi yang ditampilkan dalam bentuk ornamen-ornamen.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum.Wr.Wb Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta karunia-Nya. Shalawat serta salam senantiasa penulis panjatkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW, yang telah membawa manusia melewati alam kegelapan menuju kemenangan. Semoga kita mendapatkan syafaat dari beliau pada hari akhir nanti. Amin. Banyak sekali cobaan serta rintangan yang penulis hadapi dalam menyusun Tugas Akhir /
Skripsi ini. Meski demikian berkat dorongan dan
bantuan dari berbagai pihak, akhirnya tanpa disadari penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir / Skripsi tersebut dengan baik. Suatu kebahagiaan dan penghargaan bagi diri penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir / Skripsi yang begitu berat untuk dijalankan dengan kemampuan yang terbatas dan tanpa bantuan Allah SWT penulis tidak akan dapat menyelesaikan Tugas Akhir / Skripsi ini. Skripsi ini membahas mengenai ”Rumah Tradisional Kudus : Pengaruh Budaya Islam dalam Rumah Tradisional Kudus (1500-1900)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Humaniora, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak bantuan yang diterima penulis, dan kiranya penulis dapat mengucapkan terima kasih kepada :
iii
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat sebagai Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, atas pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Desertasi) dalam buku Pedoman Akademik 2007-2008 yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. H. Abdul Chair, MA sebagai Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, atas persetujuan yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat diajukan dalam sidang munaqasyah. 3. Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA sebagai Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, atas persetujuan yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat diajukan dalam sidang munaqasyah. 4. Drs. Imam Subchi, MA sebagai Dosen Pembimbing Skripsi penulis. Terima kasih banyak bapak atas bimbingan skripsinya yang tiada henti memberikan saran-sarannya sehingga skripsi ini dapat diterima dan diajukan dalam sidang munaqasyah. 5. Dr. H. M. Muslih Idris, Lc, MA sebagai Dosen Penguji Skripsi penulis. Terima kasih atas beberapa saran-saran yang telah diberikan dalam perbaikan skripsi ini semoga nantinya skripsi ini dapat menjadi sumbangsih ilmu di kemudian hari. 6. Drs. Saidun Derani, MA sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis, atas bimbingan akademik yang telah bapak berikan kepada penulis selama ini.
iv
7. Ayahanda Muhadzab, Ibunda Umroh, dan adikku Milcham Chairun Syah. Terima kasih atas doa-doanya yang tiada henti-hentinya selalu ditujukan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai, serta dukungan moral dan materi yang telah diberikan sehingga sangat membantu penulis dalam menyelesaikan studinya untuk memperoleh gelar Sarjana. 8. Saudara-saudaraku yang selalu mendukungku : Pakdhe, Budhe, Paklik, Bulik, Mba’ Mila, Mba’ Iyuz, Mas Rizal, dan Bayu, atas dukungan moral dan materi yang telah diberikan oleh kalian. Terima kasih. 9. Temanku semua angkatan ’04, yang bersama-sama selama 5 tahun ini : Adit, Inul, Anita, Pandu, Thya, Fatimah, Indah, Udin, Mantik, Maria, Kang. Hamdi, Revi, Qiqin, Murni, Endah, Aini, Nurhasanah, Sai’dah, Siti, Marni, UIN, Ujang, Ochol, dan Yulia. 10. Teman-temanku yang lebih dulu lulus : Juni, Joy, Fahmi, dan Sinyo. Sukses untuk kalian. 11. Anak-anak The LaFFy : Dedi (buded), Haikal (ical), dan Aziz (chobby). Terima kasih banyak atas semangatnya, and we will rock together. 12. Teman-teman
dari
Unicore.
Terima
kasih
atas
semangat
dan
kebersamaannya. 13. Temanku yang ada di Kudus sana : Fariz dan Nina. Terima kasih banyak atas semangatnya, dan beberapa bantuan yang telah kalian berikan, nanti aku datang lagi.
v
Akhirnya atas doa restu semuanya, skripsi ini dapat penulis selesaikan. Penulis sangat mengharap saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.
Jakarta, 11 September 2009
Penulis
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI.......................................................................................................... i KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii DAFTAR ISI..........................................................................................................vi DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1 A.
Latar Belakang Masalah..................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah….…...……........................................................... 4
C.
Lingkup Permasalahan....................................................................... 4
D.
Tujuan Penelitian................................................................................ 8
E.
Tinjauan Penelitian Terdahulu........................................................... 9
F.
Landasan Teori................................................................................... 10
G.
Metode Penelitian.............................................................................. 16
H.
Sistematika Penulisan......................................................................... 17
BAB II GAMBARAN UMUM KOTA KUDUS.............................................. 19 A. Letak Geografis Kota Kudus.......................................................... 19 B. Keadaan Sosial dan Budaya Masyarakat Kudus............................. 24 C. Kehidupan Religi Masyarakat Kudus............................................. 33
vii
BAB III RUMAH TRADISIONAL KUDUS SEBELUM MASUKNYA ISLAM DI KUDUS............................................................................ 40 A. Tinjauan Sejarah............................................................................. 40 B. Bentuk Rumah Tipe Kampung........................................................ 46 1. Kampung Pacul Gowang........................................................... 47 2. Kampung Srotong...................................................................... 47 3. Kampung Dara Gepak…........................................................... 47 4. Kampung Klabang Nyander...................................................... 48 5. Kampung Lambang Teplok....................................................... 48 6. Kampung Lambang Teplok Semar Tinandhu............................ 48 7. Kampung Gajah Njerum............................................................ 49 8. Kampung Cere Gencet…........................................................... 49 9. Kampung Semar Pinondhong.................................................... 49 10. Kampung Gotong Mayit............................................................ 50 11. Kampung Apitan……............................................................... 50 12. Kampung Gajah Ngombe.......................................................... 50 13. Kampung Trajumas……........................................................... 50 C. Susunan Ruangan Rumah Tipe Kampung...................................... 51 D. Fungsi Tiap-Tiap Ruangan Rumah Tipe Kampung........................ 54
viii
BAB
IV
RUMAH
TRADISIONAL
KUDUS
SETELAH
BERKEMBANGNYA ISLAM DI KUDUS.................................... 59 A. Tinjauan Sejarah............................................................................. 59 B. Bentuk Fisik Bangunan Induk........................................................ 63 1. Jagasatru.................................................................................... 65 2. Senthong.................................................................................... 67 3. Pawon......................….............................................................. 70 C. Komponen Pendukung Bangunan Pada Setiap Bagian Rumah...... 72 1. Lantai…..................................................................................... 72 2. Langit-Langit / Ceiling.............................................................. 73 3. Dinding......................…............................................................ 73 4. Pintu........................................................................................... 73 5. Jendela....................................................................................... 74 6. Tiang.......................................................................................... 74 D. Ragam Hias..................................................................................... 78 E. Tinjauan Unsur-Unsur Budaya Islam.............................................. 81
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 89 A. Kesimpulan ....................................................................................... 89 B. Saran-saran..........................................................................................91
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................93 LAMPIRAN........................................................................................................99
ix
DAFTAR LAMPIRAN 1. Lokasi Kota Kudus dalam Peta Jawa Tengah.............................................. 99 2. Peta Kota Kudus.......................................................................................... 100 3. Denah Rumah Bentuk Kampung................................................................. 101 4. Bentuk Dasar Rumah Kudus....................................................................... 103 5. Struktur Konstruksi Bangunan Rumah Kudus............................................ 104 6. Denah Rumah Kudus Tampak Atas............................................................ 105 7. Denah Rumah Kudus Tampak Muka dan Tampak Samping Kanan........... 106 8. Rumah Kudus Milik Warga di sekitar Masjid Menara Kudus (1)............... 107 9. Rumah Kudus Milik Warga di sekitar Masjid Menara Kudus (2)............... 107 10. Jalan Berupa Lorong-Lorong Sempit di antara Rumah-Rumah Warga.........108 11. Ornamen Ukiran pada Pintu Sorong Kere................................................... 108 12. Ruang Jogosatru........................................................................................... 109 13. Ornamen Ukiran pada Ruang Jogosatru...................................................... 109 14. Ornamen Ukiran Nanas pada Dodo Peksi dalam Ruang Jogosatru............ 110 15. Ornamen Ukiran pada Konsol..................................................................... 110 16. Foto Soko Geder, Simbol Keesaan Allah.................................................... 111 17. Motif Masjid dengan Hias Sulur-Suluran Berpangkal pada Jambangan..... 111 18. Ornamen Ukiran pada Pintu Sentong.......................................................... 112 19. Ornamen Ukiran Pada Tiang Pintu Ruang Gedongan................................. 112
x
MOTTO
Perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah pertama
Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Orangorang yang masih terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan
Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang mendahulukan istirahat sebelum lelah
Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan, jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan, namun lihatlah sekitar dengan penuh kesadaran
Setiap pengalaman mestilah dimasukkan ke dalam kehidupan, guna memperkaya kehidupan itu sendiri. Karena tiada kata akhir untuk belajar seperti juga tiada kata akhir untuk kehidupan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Rumah adalah tempat dimana manusia tinggal untuk berteduh dari hujan, terpaan sinar matahari, dan berlindung dari marabahaya. Keberadaan rumah terus berkembang seiring dengan perubahan zaman baik dari segi bentuk, fungsi, maupun maknanya. Rumah akan terlihat biasa saja apabila tidak memiliki unsur kebudayaan di dalamnya, maka dibutuhkanlah arsitektur rumah untuk memperindah rumah tersebut. Kehadiran arsitektur rumah senantiasa bersifat “cultural-spesific”. Hal tersebut memberikan arti bahwa kebudayaan merupakan variabel yang berpengaruh didalamnya.1 Warga masyarakat Kudus, adalah sekelompok orang-orang Jawa yang bermukim di daerah pesisir pantai Utara pulau Jawa. Sebagai masyarakat pesisiran, secara historis mereka dikenal sebagai masyarakat yang bersifat religius, artinya di setiap sendi-sendi kehidupan sebagian besar warga masyarakat yang bersangkutan sangat dipengaruhi oleh sistem kepercayaan dan sistem nilai sebagaimana yang diajarkan oleh agama yang mereka peluk, yaitu agama Islam.2 Rumah tradisional Kudus, yang berdasarkan kajian historis-arkeologis, telah berhasil diketemukan pada abad ke-16 M, yang dibangun dengan bahan baku 95 % berupa kayu jati (Tectona Grandis) berkualitas tinggi dengan 1
Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 8. 2 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), h. 26.
1
2
teknologi pemasangan system “knock-down” (bongkar pasang tanpa paku). Rumah adat Kudus merupakan salah satu rumah tradisional yang terjadi akibat endapan suatu
evolusi kebudayaan manusia, dan terbentuk karena
perkembangan daya cipta masyarakat pendukungnya.3 Rumah tradisional Kudus yang sebagian besar dibangun sebelum tahun 1810 M, pernah mengalami masa kejayaannya dan menjadi simbol kemewahan bagi pemiliknya pada waktu itu. Lingkungan wilayah Kudus Kulon terbentuk dengan ciri keberadaan rumah adat tradisional Kudus tersebut. Pada kenyataannya, sejarah perkembangan Kudus banyak dipengaruhi oleh kebudayaan asing seperti Hindu, Cina, Persia, dan Eropa yang masuk ke kawasan Kudus dalam waktu yang cukup lama. Kebudayaan-kebudayaan asing tersebut juga memengaruhi bidang arsitektur pembuatan rumah adat di daerah Kudus. Seni ukir Kudus banyak didominasi oleh bunga teratai untuk memaknai agama Hindu. Sunan Kudus memperkenalkan seni ukir yang didominasi oleh bunga melati yang satu sama lain saling berhubungan.4 Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, secara fisik ternyata wilayah Kudus Kulon yang mayoritas penduduknya merupakan para pengusaha dan pedagang tampak lebih maju jika dibandingkan dengan Kudus Wetan. Dengan peningkatan dalam segi finansial, mereka membangun rumah-
3
Kab. Kudus, “Rumah Adat Kudus”, artikel diakses pada 20 April 2008 dari http://www.indonesia.go.id/id 4 J. Pamudji Suptandar, “Seni ukir dan Ornamen dalam Rumah Adat Kudus”, artikel diakses pada 20 April 2008 dari http://www.gebyokcenter.com
3
rumah tinggal yang penuh dengan ukiran-ukiran yang membedakannya dengan rumah-rumah adat sebelumnya. Model ukiran rumah adat Kudus agak berbeda dari model tempat para pengukir terkenal yang lain di Jawa yaitu Jepara. Menurut sejarah, di Kudus dahulunya merupakan pusat pengrajin seni ukir, sebelum dikembangkan di Jepara. Seni ukir diperkenalkan oleh imigrasi asal Yunan, The Ling Sing, sekitar abad ke-15.5 Oleh masyarakat Islam setempat, Kyai Telingsing ini tidak hanya dikeramatkan kuburannya tetapi juga dilestarikan ajarannya. Salah satu ajaran Mbah Sing (sebutan Kyai Telingsing) yang masih hidup dalam tradisi masyarakat setempat yaitu “solat sacolo saloho dongo sampurno”, yang berarti solat sebagai doa yang sempurna. Dan “lenggahing panggenan tersetihing ngaji”, yang berarti menempatkan diri pada sesuatu yang benar, suci dan terpuji. Mengingat keunikan rumah adat tradisional Kudus yang menggunakan karya seni ukir-ukiran oleh masyarakat yang menjadikannya berbeda dengan rumah adat lainnya, khususnya rumah Joglo di daerah Jawa, maka penulis tertarik untuk meneliti rumah tinggal tradisional masyarakat Kudus dengan judul “RUMAH TRADISIONAL KUDUS : PENGARUH BUDAYA ISLAM DALAM RUMAH TRADISIONAL KUDUS (1500-1900)”.
5
Dia datang untuk menyebarkan agama Islam, kemudian disebut sebagai Kiai Telingsing. Selain itu, juga membagikan ilmunya untuk mengukir kayu dengan gaya Sun Ging atau biasa disebut Sungging sebagai sebuah mahakarya ukiran kayu karena kehalusan dan keindahannya.
4
B. Rumusan Masalah Untuk mempermudah dan efektifnya penulisan ini, maka berdasarkan penjelasan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, penulis hanya membatasi permasalahan yang akan dibahas, yakni tentang pengaruh budaya Islam dalam pembuatan rumah tinggal tradisional di daerah Kudus. Bertitik tolak dari persoalan-persoalan di muka, maka penulis merasa perlu merumuskan permasalahan utama yang akan membawa pada dampak dan pengaruh rumah tradisional di masyarakat. Diantaranya yaitu : 1.
Bagaimana gambaran umum rumah tradisional Kudus sebelum masuknya Islam di Kudus ?
2.
Bagaimana
gambaran
umum
rumah
tradisional
Kudus
setelah
berkembangnya Islam di Kudus ? 3.
Bagian-bagian mana saja yang terdapat unsur-unsur budaya Islamnya ?
C. Lingkup Permasalahan Awal mula kemunculan rumah tinggal tradisional Kudus dengan kekayaan ragam hias ukirannya dilatarbelakangi oleh meningkatnya taraf hidup masyarakat. Dalam laporan penelitian yang berjudul “Mencari Korelasi Antara Masjid Dengan Rumah Tinggal Tradisional Kudus, Jawa Tengah : Dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, Ashadi menyimpulkan bahwa terdapat benang merah antara tingkat taraf hidup masyarakat dengan banyak dan sedikitnya atau kaya dan miskinnya ragam hias ukiran pada rumah tinggal tradisional. Sehingga ada dua faktor utama yang berkaitan erat dengan
5
keberadaan rumah tinggal tradisional Kudus, yaitu peningkatan pendapatan masyarakat dan ragam hias ukiran. Dengan demikian untuk mengetahui sejarah rumah tinggal tradisional Kudus, mau tidak mau, harus mengetahui sejarah perkembangan masyarakat Kudus dan ragam hias ukiran itu sendiri. Nama kota Kudus yang pada awalnya Tajug yang oleh Sunan Kudus dibuat “resmi” sebagai kota suci yang kemudian berkembang sebagai pusat keagamaan di daerah pesisir. Sunan Kudus hidup pada masa pemerintahan Raden Patah di Demak yaitu pada tahun 1462-1518 M, dan diduga Sunan Kudus wafat antara tahun 1518 atau 1550. Kemungkinan sebelum tahun-tahun tersebut Sunan Kudus telah menempati wilayah Kudus. Pada tahun 1543 M, dia menerima dan sekaligus mengislamkan seorang Cina yang kapalnya terdampar di daerah Jepara, yang kemudian menetap di Kalinyamat di Jepara bagian Selatan bersama istrinya, salah seorang putri Trenggana, dan tentu saja orang Cina tersebut tidak sendirian. Tetapi orang-orang asing terutama orangorang Cina sudah berada di kota-kota pesisir pantai utara pulau Jawa beberapa tahun sebelum itu. Menurut Ashadi, kemungkinan, kota Kudus itu mulai mengalami kemunduran secara drastis pada tahun 1588 M, saat kekuasaan Islam berpindah ke Mataram. Walaupun pada tahun 1605 M, Kudus masih dianggap sebagai kota “santri” oleh raja Mataram, namun sudah tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Masyarakat pertama yang bersama-sama Sunan Kudus membangun kota Kudus, hidup dengan bertani dan berladang, dan sesekali menjual hasilnya. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan daerahdaerah lain di pulau Jawa. Dikaruniai tanah yang subur, berupa endapan
6
lumpur, menjadikan Kudus dan daerah-daerah di bagian utara Jawa Tengah lainnya pernah mengalami surplus padi, yaitu pada zaman kerajaan Mataram Islam yang berpusat di pedalaman (abad ke-17 M). Namun daerah-daerah ini juga pernah mengalami masa-masa paceklik, kekurangan makanan, dan timbul banyak penyakit. Oleh Hartingh, pada abad ke-18 M, Kudus disebutnya sebagai “kota mati”. Sebagaimana kondisi sosial masyarakat Jawa lainnya pada waktu itu yang kebanyakan bertani, dalam membangun rumah kemungkinan besar tidak berbeda, yaitu berbentuk rumah yang paling sederhana; bentuk kampung. Tipe rumah inilah yang mula-mula menempati wilayah yang dinamakan Kauman, disekitar masjid Menara Kudus; sebab pusat kota Kudus Kuno diyakini terletak diantara kompleks bangunan masjid kuno dengan sebuah menara bergaya candi sekarang berada. Prinsip hidup masyarakat Jawa pada umumnya yang “sekedar bisa hidup” atau “sekedar untuk hidup”, merupakan salah satu kendala dalam usaha meningkatkan taraf hidupnya. Pada akhir abad ke-19 M, bertepatan dengan dibangunnya kota Kudus modern (Kudus Wetan), masyarakat Kudus Kulon mulai menapak naik taraf kehidupannya. Walaupun pada saat itu kota Kudus mulai berkembang menjadi kota industri yang menyedot pekerja-pekerja buruh (kebanyakan perempuan) dari Kudus dan daerah sekitarnya, dan di Kudus juga terdapat industri percetakan dan pertenunan batik maupun kain songket adalah sebagai indikasi bahwa kota Kudus sudah hidup kembali dan mulai menggeliat untuk berusaha berdiri tegak. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa tercapainya kemakmuran masyarakat Kudus Kulon justru bermula dari rokok kretek.
7
Di Kudus Kulon secara menyebar, rapat dan padat, di daerah sekitar masjid kuno Menara Kudus, terdapat rumah-rumah tradisional yang “spektakuler” karena hampir di seluruh bagian rumah kayu dipenuhi dengan ukiran. Dengan latar belakang yang berbeda dengan rumah tradisional Jawa lainnya, rumah tinggal tradisional Kudus telah tampil dengan sosoknya yang unik dan khas. Di dunia ini, hal-hal yang spektakuler biasanya tidak berumur panjang, sebab apa yang pernah diciptakan akan sulit untuk diulang kembali. Begitu pula dengan rumah tradisional Kudus, yang semakin lama semakin berkurang jumlahnya.6 Rupanya masyarakat Kudus tidak berhasil mengulang atau setidak-tidaknya mempertahankan dan melanjutkan sukses yang telah dirintis pendahulunya. Pelimpahan warisan arsitektur rumah tradisional yang terjadi pada masyarakat Kudus Kulon adalah sekedar pemberian atau hibah nyata sosok bangunan yang sudah ada oleh orang tua sebagai kreator kepada anak keturunannya. Jadi, generasi penerus tidak menghasilkan karya arsitektur baru. Dengan kata lain bahwa rumah tradisional Kudus di bangun oleh dua atau tiga generasi dan tidak diikuti oleh generasi berikutnya. Kelengkapan ukiran dan bentuk rumah tinggal tradisional Kudus tergantung kepada tingkatan kemampuan ekonomi pemiliknya, strata sosial ekonomi menengah ke atas atau menengah ke bawah. Berdasarkan kelengkapan ukirannya, rumah tinggal tradisional Kudus digolongkan ke dalam 6
Menurut data yang dikeluarkan oleh Pemda setempat pada tahun 1983, jumlah rumah tradisional Kudus adalah 203 buah terdiri dari 62 rumah kaya ukiran dan 141 rumah miskin ukiran. Pada tahun 1984 jumlahnya menyusut menjadi 169 buah terdiri dari 54 rumah kaya ukiran dan 115 rumah miskin ukiran (Ria Rosalia Wikantari, “Safeguarding A Living Heritage, A Model for the Architecture Conservation of an Historic Islamic Distric of Kudus, Indonesia”, (Tesis S2, University of Tasmania, 1994), h. 85), dikarenakan masalah-masalah hak waris telah menyebabkan rumah tradisional Kudus terpaksa harus dijual kepada pihak lain.
8
rumah tinggal tradisional kaya ukiran dan miskin ukiran. Sedangkan bentuk rumah tradisional Kudus dapat dibedakan menjadi empat golongan atau tipe, yaitu tipe payon atau kampung, limasan, dara gepak (kombinasi antara tipe kampung dan limasan), dan joglo. Berdasarkan pola tapaknya, rumah tinggal tradisional Kudus dapat dibedakan menjadi tiga golongan atau tipe, yaitu tipe tunggal tertutup, tunggal terbuka, dan berderet.7
D. Tujuan Penelitian Tujuan dari pada penulisan ini sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa rumah adat mempunyai peranan kehidupan sosial dan agama di masyarakat adalah sebagai berikut : 1. Untuk dapat mengetahui gambaran umum rumah tradisional Kudus sebelum masuknya Islam di Kudus seutuhnya. 2. Untuk dapat mengetahui gambaran umum rumah tradisional Kudus setelah berkembangnya Islam di Kudus seutuhnya. 3. Untuk dapat mengetahui bagian-bagian mana saja yang terdapat unsurunsur budaya Islamnya. Adapun manfaat dari penulisan ini adalah : 1. Untuk
memenuhi
persyaratan
dalam
memperoleh
gelar
Sarjana
Humaniora, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7
Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, (Laporan Penelitian Fakultas Tekhnik, Universitas Pancasila, 2000), h. 97.
9
2. Untuk memberikan informasi mengenai kegunaan rumah selain sebagai karya seni dan lambang martabat namun juga sebagai sarana berdakwah baik dari segi sosial, maupun agama. 3. Untuk menambah khazanah hasil karya ilmiah di bidang sejarah Islam khususnya kebudayaan di Indonesia. Dengan demikian penulisan ini diharapkan dapat melengkapi dan bisa digunakan untuk memahami fungsi rumah adat tradisional sebagaimana mestinya.
E. Tinjauan Penelitian Terdahulu Permasalah rumah adat pernah dikaji oleh Ashadi dalam tulisannya yaitu, “Mencari Korelasi Antara Masjid Dengan Rumah Tinggal Tradisional Kudus, Jawa Tengah : Dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif : Laporan Penelitian”, yang dititikberatkan oleh Ashadi adalah hubungan arsitektur masjid dengan rumah tinggal masyarakat Kudus, sehingga terdapat dua persoalan pokok yang dijelaskan, dari hal tersebut dapat diketahui bahwa rumah Kudus juga dipengaruhi oleh budaya Islam seperti halnya masjid. Maka penulis tertarik untuk mengkhususkan pada pengaruh Islam dalam pembuatan rumah adat baik dari maknanya, jenis kebudayaan Islam terutama seni ukiran, maupun fungsinya, yang berada di daerah Kudus. Nantinya penulis tetap merujuk kepada penulis tersebut untuk mendapatkan sumber pendukung penelitian.
10
F. Landasan Teori Dalam setiap penulisan dibutuhkan landasan teori sebagai landasan berpikir agar penulis mampu memaksimalkan segala daya upaya dalam penelitiannya dengan sebuah teori. Serta mempermudah penulis dalam melakukan upaya pengkajian terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau.8 Khusus dalam penulisan ini, penulis menggunakan beberapa teori. Menurut Ashadi untuk membahas mengenai rumah tinggal tradisional Kudus harus mengetahui beberapa hal, yaitu arsitektur tradisional, arsitektur tradisional Jawa Tengah, beberapa ragam hias tradisional, dan ornamentasi dalam seni Islam. 1. Arsitektur Tradisional Arsitektur tradisional adalah kebudayaan yang telah dan pernah melembaga dengan mantap dalam lingkungan budaya tersebut. Arsitektur tradisional juga mengandung pengetahuan yang sangat mendalam dan luas tentang tata ruang dan waktu bagi kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Ada beberapa landasan dasar arsitektur tradisional,9 yaitu : a. Kawruh, merupakan ilmu yang memiliki berbagai dasar-dasar filsafat, ekologi, teknologi, estetik, tata laksana, tata ritual, sosiologi, dan sebagainya secara lengkap dan menyeluruh serta terperinci. Merupakan sarana
untuk
membentuk
dan
mengembangkan
individu
dan
masyarakat dalam “kawruh hidup”. 8 9
171-172.
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos, 1999), h. 25. Eko Budiharjo, Arsitektur Sebagai Warisan Budaya (Jakarta : Djambatan, 1997), h.
11
b. Dharma (Mission), menciptakan wadah hidup bagi kehidupan manusia yang bulat utuh, selamat sejahtera di dunia dan di akhirat. Memapankan diri manusia dalam dirinya, keluarga, masyarakat, lingkungan, alam, dan Tuhan. c. Tertib Laksana, mengukuhkan manusia sebagai subyek. Pengukuhan terhadap dirinya, keluarga, masyarakat, alam semesta, dan Tuhan, yang disertai dengan tanggung jawab di dunia dan di akhirat. Menggugah dan
melatih
kemandirian;
membangkitkan
dan
meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan. 2. Arsitektur Tradisional Jawa Tengah Rumah tradisional Kudus, yang berada di wilayah Jawa Tengah, sehingga pada dasarnya kebudayaan arsitektur rumah tradisional Kudus mengikuti rumah tradisional Jawa umumnya. Pada prinsipnya arsitektur rumah tinggal tradisional Jawa dapat dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu : Panggang-Pe, Kampung, Tajug atau Masjid, Limasan, dan Joglo.10 Rumah tipe Panggang-Pe sebenarnya tidak ada di dalam naskah-naskah lama kesusastraan Jawa pra-abad ke-XX M, namun demikian tipe ini bisa ditemukan dalam relief percandian Jawa Tengah yang hadir sebelum abad ke-X M.11
10
R. Ismunandar K, Joglo, Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, 3th ed. (Semarang : Dahara Prize, 1990), h. 91-160, dan Soegeng Reksodiharjo. Dkk, “Arsitektur Tradisional daerah Jawa Tengah”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah (T.tp. : T.pn., 1982), h. 43-88, dan Hamzuri, “Rumah Tradisional Jawa”, Proyek Pengembangan Permuseuman DKI Jakarta (T.tp. : Departemen pendidikan dan Kebudayaan RI, t.t.), h. 14-60. 11 Josef Prijotomo, Petungan : Sistem Ukiran Dalam Arsitektur Jawa (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1995), h. 9-10.
12
a. Rumah tipe Panggang-Pe Rumah dengan tipe Panggang-Pe adalah bentuk yang paling sederhana; biasanya memiliki denah persegi panjang dengan 4, 6, atau 8 tiang, beratap satu bidang. Panggang-Pe berarti dijemur di bawah terik matahari. Dahulu bangunan tipe ini sebagai tempat menjemur barangbarang seperti teh, pati, ketela pohon dan lain-lain. b. Rumah tipe Kampung Rumah bentuk kampung paling banyak dijumpai di lingkungan masyarakat desa; pada dasarnya mempunyai denah empat persegi panjang, bertiang empat yang mendukung dua buah atap yang keduanya berbentuk empat persegi panjang, di bagian samping atas ditempatkan tutup keong (siput). c. Rumah tipe Tajug Rumah bentuk Tajug biasanya banyak dijumpai pada bangunanbangunan suci, misalnya masjid dan makam. Rumah tipe ini memiliki denah bujur sangkar, bertiang empat dan memiliki empat bidang atap yang bertemu di satu titik puncak. d. Rumah tipe Limasan Jika rumah tipe Panggang-Pe dan Kampung adalah rumah tempat tinggal bagi masyarakat miskin, kurang mampu, maka bentuk atau tipe Limasan pada umumnya untuk kalangan atau golongan menengah. Rumah bentuk Limasan pada dasarnya memiliki denah segi empat, dengan empat, enam, delapan buah tiang atau lebih; atapnya
13
terdiri atas empat sisi, sehingga memiliki kerangka dudur sebanyak empat buah yang membentuk wuwungan (bubungan) molo dan dudur. e. Rumah tipe Joglo Pada dasarnya rumah bentuk Joglo mempunyai denah bujur sangkar; pada mulanya memiliki empat tiang yang dinamakan soko guru. Pada perkembangan selanjutnya ada penambahan di bagianbagian sampingnya, sehingga bentuk denah dan jumlah tiang pun disesuaikan dengan kebutuhan. 3. Ragam Hias Tradisional Ragam hias tradisional adalah semua bentuk dekorasi atau ornamen yang difungsikan untuk memperindah suatu bangunan, baik bangunan tempat ibadah, tempat berkumpul (bermusyawarah) maupun tempat tinggal, baik dalam bentuk seni pahat (bentuk tiga dimensi), seni ukir (bentuk dua dimensi), seni lukis maupun seni anyaman, yang diwariskan secara turun temurun. Adanya unsur ragam hias pada bangunan-bangunan tempat ibadah dan tempat tinggal selain memberikan nilai artistik juga nilai religi. Nilai artistik diperlihatkan pada wujudnya atau motifnya, sedangkan nilai religi lebih diketahui dari filosofi yang terkandung dalam motif-motifnya. Untuk memahami filosofi dari satu macam motif diperlukan keahlian tersendiri, tidak sembarang orang bisa melakukannya, bahkan kadang-kadang seorang seniman dalam mengekspresikan satu jenis motif ragam hias pada karyanya tidak mengetahui makna atau filosofinya.
14
Untuk bisa mengungkap dan memahami sebuah ragam hias, kita tidak bisa lari dari masa lalu, masa dimana jenis motif ragam hias tersebut dibuat, dengan juga menyelami alam pikiran, dan adat istiadat masyarakat pada masa itu yang mungkin tercermin pada ekspresi bentuk atau motif ragam hiasnya. Motif ragam hias tradisional ada banyak jenisnya, namun bisa dikelompokkan ke dalam enam macam yaitu, motif Geometri, Fauna, Flora, Manusia, Alam, dan Agama atau Kepercayaan. Khususnya motif Fauna, Flora, dan Manusia, setelah agama Islam masuk mempengaruhi kepercayaan masyarakat Jawa, motif-motifnya diciptakan sedemikian rupa sehingga
larangan
menggambarkan
sesuatu
makhluk
hidup
bisa
diakomodir. Motif flora masih memungkinkan mewujudkan dalam bentuk naturalis, sedangkan motif fauna dan manusia dilakukan dengan proses stilasi. 4. Ornamen dalam Seni Islam Kesenian adalah salah satu aspek kebudayaan, dan kebudayaan adalah hasil karya manusia dengan mengoptimalkan akal budinya. Sedangkan komponen dasar Islam adalah agama dan kebudayaan; dua hal yang sangat berlainan pemahamannya. Seni Islam adalah bagian dari kebudayaan Islam; bukan bagian dari agama Islam. Meskipun kesenian tidak berhubungan dengan agama, namun karena kebudayaan Islam itu takluk dan dikendalikan dikendalikan oleh agama, maka kesenian Islam
15
juga takluk dan dikendalikan oleh agama.12 Roh Tauhid (Ke Esaan Tuhan) adalah merupakan tenaga penggerak dalam mencipta segala macam ornamen, sehingga dalam perbedaan bentuk seni Islam di seluruh dunia Islam akan nyata terlihat norma-norma persamaan yang mengikatnya. Seni Islam memiliki tujuan dan sasaran yang tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di dalam Al-Qur’an yaitu mengajarkan dan menguatkan ke dalam diri umat manusia persepsi akan sifat-sifat Ketuhanan yang tidak terjangkau (divine transcendence). Ada 6 karakteristik ekspresi estetika Tauhid, yaitu :13 a. Abstraction, pola-pola tak berakhir atau tak terbatas yang mula-mula adalah dalam bentuk abstrak. Apabila terpaksa harus menghadirkan figur-figur alam, maka mereka harus ditundukkan ke dalam teknik denaturalization and stylization. b. Modular Structure, karya seni Islam tersusun atas bagian-bagian atau modul-modul yang dikombinasikan untuk menghasikan desain yang lebih besar. c. Successive Combinations, pola-pola tak terbatas dari pendengaran, penglihatan, dan gerakan memberi bukti adanya kombinasi yang berturutan dari modul dasar atau pengulangan mereka.
12
Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian, Relevansi Islam dengan Seni Budaya Karya Manusia (Jakarta : Alhusna, 1988), h. 104-106. 13 Ismail R. Al Faruqi dan Lois Lamya Al Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New York : Macmillan Publishing Company, 1986), h. 165-168.
16
d. Repetition, kombinasi tambahan dalam seni Islam menggunakan pengulangan motif dari modul struktur dan dari kombinasi berturutan mereka. e. Dynamism, disain Islam adalah dinamis, yaitu sebuah desain yang pasti berpengalaman melewati zaman. Karya seni Islam dipahami secara berturut-turut dan komulatif. f. Intricacy, keruwetan mempertinggi kecakapan dan kemampuan berbagai pola untuk menangkap perhatian pengamat dan memperkuat konsentrasi pada structural entities yang dipresentasikan.
G. Metode Penelitian Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian14 sejarah dalam menguraikan penulisan ini yang dilihat dari segi sosial dan agama. Penulisan ini berlangsung melalui beberapa tahapan-tahapan. Penulis berusaha mencari dan mengumpulkan bahan-bahan atau data berjenis data primer dan sekunder yang berbentuk teks dan buku-buku yang berasal
dari
Perpustakaan
Pusat
UIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, Perpustakaan Pusat UI, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UI, dan Perpustakaan Nasional Jakarta, maupun hasil observasi langsung dengan menampilkan beberapa gambar obyek rumah adat, yang berkaitan dengan judul, atau proses mencari untuk menemukan sumber-sumber sejarah yang relevan. 14
Louis Gottschalk. Penerjemah : Nugroho Notosusanto, Mengerti sejarah : Pengantar Metode Sejarah (Jakarta : Yayasan Penerbit UI, 1975).
17
Setelah semua sumber terkumpul, lalu penulis menguji sumber-sumber yang telah diperoleh untuk menelusuri kevalidan dan informasi dari sekian sumber tertulis yang ada. Kemudian menginterpretasikan sumber-sumber yang telah diuji ke dalam keseluruhan ungkapan yang logis.15 Dan yang terakhir adalah penulisan sejarah dengan memperhatikan aspek kronologis. Teknik penulisan pada skripsi ini merujuk pada buku : pedoman penulisan skripsi, tesis dan desertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Cetakan kedua terbitan tahun 2002, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Desertasi) dalam buku Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007-2008, dan buku-buku lain yang berhubungan dengan metodologi penelitian. Adapun metode penulisan ini bersifat deskriptif analitis, dengan menggunakan pendekatan historis-arkeologis, di mana sumber dan faktor yang tercerai-berai dianalisa, berhubung yang dikaji adalah sebuah rumah adat tradisional maka bentuk umum rumah akan dijelaskan secara deskriptif.
H. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran dan memudahkan pembahasan terhadap penulisan ini, penulis membagi ke dalam lima bab, dengan sistematika sebagai berikut. Bab I, Pendahuluan, yaitu membahas secara global pembahasan yang tercakup dalam penulisan ini yang meliputi : alasan pemilihan judul,
15
Anton Baker, Charis Zubair, Metode Penelitian Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1990).
18
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian serta diakhiri dengan sistematika penyusunan. Bab II, Membahas tentang gambaran umum kota Kudus, baik dari segi letak geografisnya, keadaan sosial dan budaya masyarakat di sana, maupun kehidupan religi masyarakat Kudus. Bab III, Membahas tentang lingkup rumah tradisional yang meliputi : tinjauan sejarah rumah adat Kudus pada saat sebelum masuknya Islam, bentuk rumah tipe kampung, susunan ruangan rumah tipe kampung, dan fungsi tiaptiap ruangan rumah tipe kampung. Bab IV, Merupakan bab yang paling esensi dari semua bab yang dijelaskan dalam penulisan ini, yang membahas tentang tinjauan sejarah rumah adat Kudus pada saat setelah masuknya Islam, bentuk fisik bangunan rumah Kudus, komponen pendukung bangunan, tinjauan ragam hias, dan tinjauan unsur-unsur budaya Islam. Bab V, Sebagai penutup, penulis memberikan kesimpulan maupun saran-saran dari skripsi ini.
BAB II GAMBARAN UMUM KOTA KUDUS
A. Letak Geografis Kota Kudus Kudus merupakan sebuah kota di Propinsi Jawa Tengah yang terletak diantara daerah-daerah Jepara, Demak, Pati, dan Purwodadi. Menurut cerita, nama Kudus berasal dari kata Al-Quds, yang berarti kesucian.16 Adalah lidah Jawa yang memuntir istilah Arab Al-Quds yang berarti Baitul Makdis menjadi Kudus. Kota tersebut sebelumnya memang bukan Kudus, melainkan Tajug.17 Ketika masih bernama Tajug, tempat tersebut di dalam buku De Graaf dan Pigeaud disebut-sebut “digarap” oleh seorang Tionghoa Muslim bernama The Ling Sing, yang kemudian disebut Mbah Telingsing. Ada pula nama lain dari kota Kudus bahwa awalnya bernama Loaram. Menurut Solichin Salam, Loaram, berasal dari nama sebuah pohon Lo’ (sejenis biji kluwing). Yang nantinya menjadi nama desa di sekitar tiga kilometer tenggara kota Kudus yang sekarang menjadi sebuah nama desa yaitu desa Loram atau Ngloram.18 Kudus adalah nama suatu kota yang terletak di pantai utara timur Jawa Tengah, yaitu di antara (Semarang-Surabaya). Kabupaten Kudus, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Kota Kudus, 16
De Graaf, H.J, Th.G.Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1986), h. 114. 17 Tajug itu berarti “rumah-rumahan (di atas makam ) dengan atap meruncing”, gaya bangunan ini sejak lama sudah digunakan untuk tujuan-tujuan keramat. Jadi, Kudus yang berasal dari Tajug ini boleh diandaikan tempatnya, telah lama dimaknai dengan kekeramatan tertentu. Secara harafiah tajug berarti bangunan diatas makam yang beratap perisai dengan satu puncak. Nama Tajug, terdapat dalam ‘Serat Kandha’, Graaf, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, h.115. 18 Ahmad Syafawi, Sarekat Islam dan Perubahan Sosial : Peranan Sarekat Islam pada Industri Kretek KudusTahun 1911-1940 (T.tp. : T.pn., 2005), h. 9.
19
20
berada 51 km sebelah timur Kota Semarang. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur yang berjarak 25 km, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak di selatan berjarak 25 km, sekitar 18 km ke arah utara kota Kudus terdapat Gunung Muria, serta Kabupaten Jepara di barat dengan jarak 36 km.19 Kudus dikenal sebagai kota penghasil rokok kretek terbesar di Jawa Tengah. Selain itu Kudus juga di kenal sebagai kota santri, kota ini juga menjadi pusat perkembangan agama Islam pada abad pertengahan hal itu dapat dilihat dari terdapatnya 2 makam wali/ sunan, yaitu Sunan Kudus dan Sunan Muria. Riwayat kota Kudus tidak terlepas dari nama Sunan Kudus sebagai pendirinya yang merupakan salah satu dari Wali Sanga penyebar agama Islam di tanah Jawa pada waktu itu. Sebagai peninggalannya, Kudus memiliki sebuah artefak yang terkenal yaitu Menara Kudus yang berbentuk seperti candi serta Masjid Menara Kudus yang dibangun oleh Sunan Kudus sekitar tahun 1685 M. Secara geografis letak Kudus yang ada di persimpangan antara jalur Semarang – Pati – Surabaya, maupun Jepara – Pati – Rembang dan sebagainya, menjadikan kota ini sangat strategis, sebagai kota transit atau persinggahan. Di samping fungsinya sebagai kota penghubung, kota Kudus termasuk kota yang ramai, karena sebagaimana diketahui, Kudus terhitung kota industri. Di sana banyak didapati industri rokok kretek, gula, pertenunan, percetakan dan lain
19
Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam (Kudus : Menara Kudus, 1977), h. 1.
21
sebagainya.20 Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus terletak di antara 110 36’ dan 110 50’ BT (Bujur Timur) serta 6 51’ dan 7 16’ LS (Lintang Selatan). Ketinggian dari permukaan air laut rata-rata 55 M. Dari segi iklim termasuk iklim tropik dengan temperatur sedang. Sedang curah hujan relatif rendah, ratarata di bawah 3000 mm/tahun dan waktu hujan rata-rata 150 hari/tahun. Suhu udara maksimum ada pada bulan September 29,4’ Celsius dengan suhu terendah pada bulan Juli 17,6’ Celsius.21 Kabupaten Kudus tidak terlalu besar, yaitu dengan wilayah berkisar 22,50 Km dari Barat ke Timur dan 39,00 Km dari Utara ke Selatan dengan luas wilayah 425,15 Km2 yang secara keseluruhan memiliki luas berkisar 42.515,644 Km2. Wilayah ini termasuk terkecil di antara daerah Tingkat II lainnya di Jawa Tengah.22 Wilayah Kabupaten Kudus terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : sebelah utara merupakan daerah pegunungan Muria yang terkenal dengan objek-objek wisata alamnya, bagian tengah merupakan daerah dataran yang terkenal sebagai daerah industri rokok kretek dan daerah wisata budaya, sebelah selatan merupakan daerah dataran rendah dan rawa-rawa. Sebagian besar wilayah Kabupaten Kudus adalah dataran rendah. Sebagian wilayah utara terdapat pegunungan (Pegunungan Muria), dengan puncaknya Gunung Sutorenggo (1.602 meter), Gunung Rahtawu (1.522 meter), dan Gunung Argojembangan
20
Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam (Kudus : Menara Kudus, 1977), h. 1. 21 Kabupaten Kudus, “Keadaan Geografis”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://www.kuduskab.go.id/ 22 Wikipedia, “Peta Lokasi kabupaten Kudus”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kudus
22
(1.410 meter). Sungai terbesar adalah Kali Serang yang mengalir di sebelah barat, membatasi Kabupaten Kudus dengan Kabupaten Demak. Kali Gelis yang mengalir ditengah Kota Kudus membagi wilayah menjadi dua bagian yaitu Kudus Kulon ( Barat ) dan Kudus Wetan ( timur ). Pada masa lampau, wilayah Kudus Kulon didiami oleh para pengusaha, pedagang, petani dan ulama, sedangkan Kudus Wetan dihuni oleh para priyayi, cendikiawan, guruguru, bangsawan dan kerabat ningrat. Dan faktanya, bahwa masyarakat Kudus Kulon memang didominasi oleh kaum santri, dan masyarakat Kudus Wetan oleh kaum abangan. 23 Dalam segi kehidupan politik tahun 1965, juga berbeda masyarakat Kudus, jika masyarakat Kudus Kulon mendukung Masyumi, maka masyarakat Kudus Wetan mendukung Komunis.24 Dalam perkembangannya ternyata Kudus Kulon lebih maju. Secara administratif, Kabupaten Kudus terdiri atas 9 kecamatan, yang dibagi lagi atas 124 desa dan 7 kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Kota Kudus. Kudus merupakan kabupaten dengan wilayah terkecil dan memiliki jumlah kecamatan paling sedikit di Jawa Tengah.25
23
Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, 2nd ed. (Jakarta : Pustaka Jaya, 1983), h. 6-7. 24 Lance Castles, Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa : Industri Rokok Kudus (Jakarta : Sinar Harapan, 1982), h. 78. 25 Kabupaten Kudus, “Wilayah Administrasi”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://www.kuduskab.go.id/
23
Wilayah Administrasi
No
Kecamatan
Desa
Kelurahan
Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kaliwungu Kota Jati Undaan Mejobo Jekulo Gebog Dawe Bae Jumlah
15 18 14 15 11 12 11 18 10 124
0 7 0 0 0 0 0 0 0 7
15 25 14 15 11 12 11 18 10 131
Khusus untuk Kecamatan Kota, yang menjadi daerah penelitian ini, secara tradisional terbagi atas dua wilayah, yaitu : wilayah Kudus Kulon dan wilayah Kudus Wetan. Orang-orang Kota Kudus sangat menyadari bahwa kota mereka sendiri terdiri dua bagian, yaitu Kudus Kulon dan Kudus Wetan. Wilayah Kudus Kulon terletak di sebelah Barat Kali Gelis yang mengalir membelah kota. Dalam sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama dengan diwarnai oleh kehidupan keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan khas serta merupakan tempat berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus, serta merupakan pusat tempat berdirinya rumah-rumah adat pencu.26 Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur Kali Gelis, dan merupakan daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan daerah pusat perdagangan.27 Sesuai dengan catatan statistik yang telah ada, jikalau pada tahun 1905, daerah Kabupaten Kudus mempunyai penduduk sebanyak 90.000 jiwa, dan 26
Rumah pencu merupakan rumah yang memiliki atap yang menjulang keatas (semacam joglo, tapi atap tengahnya tinggi). 27 Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 35.
24
pada tahun 1953 jumlah penduduknya telah meningkat menjadi 309.273 jiwa,28 lalu pada tahun 1991, menjadi 609.604 jiwa,29 dan kemudian pada tahun 2003 jumlah penduduk Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus tercatat sebanyak 813.000 jiwa. Jika dihitung dengan luas wilayahnya, yaitu sekitar 42.515,644 Km2, maka kepadatan penduduknya adalah 1.912 jiwa/km²;30 suatu angka yang yang menunjukkan betapa padatnya penduduk wilayah ini. Secara etnis, sebagian besar penduduk Kecamatan Kota Kudus adalah berasal dari suku Jawa. Karenanya, dari titik pandang kesukuan penduduk Kota Kudus tidak terlihat heterogen. Meski demikian, sebagian kecil dari penduduknya ada yang berasal dari etnis keturunan Cina dan etnis asing lainnya.
B. Keadaan Sosial dan Budaya Masyarakat Kudus Orang-orang Kudus Kulon, dalam kesehariannya bermukim di daerah sekitar Masjid Menara Kudus, yaitu di Desa Kauman, Langgar Dalem, Damaran, Kerjasan, dan Desa Kajeksan dalam sebagian besar rumah-rumah pencu. Perkampungan di Kudus Kulon, merupakan daerah yang unik dan tertutup. Rumah-rumah yang dihuni oleh warga masyarakat setempat sebagian besar berada di balik pagar-pagar tembok yang cukup tinggi, sehingga dari luar, penampilan bentuk rumah yang tampak hanyalah atapnya yang menjulang tinggi, karena perbatasan tembok dinding atau pagar antar rumah itulah
28
Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam (Kudus : Menara Kudus, 1977), h. 3. 29 Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 43. 30 Wikipedia, “Peta Lokasi kabupaten Kudus”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kudus
25
menciptakan lorong-lorong sempit di sela-sela pemukiman penduduk, dan apabila seseorang mencoba menelusuri jalan-jalan kampung yang lebih pantas disebut sebagai lorong-lorong sempit yang memiliki lebar sekitar satu meter.31 Ciri-ciri lain yang menandai pola pemukiman orang-orang Kudus Kulon ini, adalah selain orientasi arah rumah yang senantiasa menghadap ke selatan bukan ke arah utara yang menghadap ke gunung Muria, juga hadirnya bangunan masjid ataupun langgar (mushala) yang cukup banyak, yang bukan saja berfungsi sebagai tempat sembahyang tetapi juga berfungsi sebagai tempat berkumpul warga masyarakat setempat dalam membicarakan persoalan kemasyarakatan ataupun sebagai tempat untuk menjalin hubungan sosial sehari-hari. Masjid atau langgar seakan menjadi pusat pemukiman yang dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk. Melihat pola pemukimannya, tampak bahwa kehidupan warga masyarakat Kudus Kulon ini seakan ingin menutup diri dari orang luar. Berkenaan dengan hal ini, masyarakat Kudus Kulon memang eksklusif.32 Hal ini tampaknya disebabkan oleh perjalanan sejarahnya yang panjang. Keadaan psikologis serta rasa sensitif sebagai golongan minoritas pada waktu dulu, yaitu sebagai kelompok santri yang terjepit di antara kelompok abangan dan priyayi, serta pengaruh yang mendalam semangat juang Sunan Kudus dalam jiwa masyarakat Kudus Kulon inilah agaknya yang menjadi salah satu variabel yang
31
Fatah Syukur, “Tradisi Masyarakat dan Pendidikan Islam di kudus Jawa Tengah”, artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari http://citraedukasi.blogspot.com/2008/02/tradisimasyarakat-kudus.html 32 Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 58.
26
membuat mereka berjuang keras untuk dapat bertahan dalam hidup dan berakibat mereka seakan ingin memisahkan diri dari kelompok luar. Hingga kini, kehidupan masyarakat Kudus Kulon masih terkesan eksklusif. Mereka pada umumnya memiliki semangat dagang dan etos kerja yang tinggi. Rumah yang megah, usaha industri rumah tangga dan perdagangan tembakau yang ditekuni dalam kehidupan sehari-hari, adalah bukti hasil semangat dagang dan etos kerjanya yang tinggi itu. Dengan kombinasi antara masyarakat industri dan masyarakat santri ini, maka ada kekhasan tersendiri yang dimiliki oleh masyarakat kota Kudus. Sebagaimana penelitian yang pernah dilakukan oleh Radjasa Mu’tasim, yang kemudian dibukukan bersama Abdul Munir Mulkhan, menuliskan kondisi masyarakat Damaran di Kudus hampir semua penduduk di Damaran bekerja 8 jam pada siang hari di rumah mereka sendiri. Selain anggota keluarga, terdapat pula pekerja dari luar. Sesekali tampak penduduk atau pekerja itu keluar pergi ke pasar atau warung. Suasana tersebut akan segera berubah total ketika malam tiba, terutama antara waktu Maghrib dan Isya’. Pada saat seperti inilah semua warga Damaran mengaji. Mereka yang tidak mengaji, tidak membuat gaduh. Jika pada saat demikian ada orang yang keluar rumah, apalagi duduk bersantai, akan segera diperingatkan oleh orang tua mereka. Orang menganggap bahwa duduk santai atau keluar rumah tanpa tujuan yang jelas pada jam-jam pengajian itu tabu atau ‘saru’.33 Gambaran masyarakat Damaran tersebut dapat mewakili
33
Radjasa Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), h. 57.
27
kondisi umum sosial religius dan ekonomi masyarakat Kudus Kulon dan sebagian besar masyarakat Kudus. Apa yang digambarkan secara umum mengenai pola kehidupan seharihari masyarakat Kudus Kulon tersebut, tampak berbeda bila dibandingkan dengan kehidupan masyarakat Kudus Wetan. Orang-orang Kudus Wetan, pada umumnya bermukim di lingkungan rumah-rumah yang relatif terbuka. Kendati di wilayah ini juga dijumpai cukup banyak rumah pencu, namun jalan-jalan kampung lebih lebar dan agak leluasa. Pagar-pagar halaman rumah, pada umumnya relatif lebih transparan sehingga dari luar dapat terlihat bentuk keseluruhan rumah. Bentuk rumah mereka cukup bervariasi, dan umumnya berbentuk tembok, setengah tembok, dan kayu dengan atap kampung, limasan, dan sebagian lagi menggunakan gaya bangunan modern. Orientasi rumah kendati masih ada yang cenderung menghadap ke selatan (terutama rumah pencu), namun banyak juga yang menghadap ke arah jalan. Suasana kehidupan sehari-hari di wilayah Kudus Wetan tampak lebih longgar dari ikatan-ikatan tradisi, meskipun di wilayah ini dihuni juga oleh orang-orang santri. Hal ini karena selain warga masyarakatnya banyak yang merupakan pendatang, termasuk juga warga keturunan Cina, juga bervariasi dalam hal agama yang dipeluknya. Wilayah ini lebih merupakan wilayahnya golongan priyayi dan abangan. Pola kehidupan sehari-hari masyarakat Kudus Wetan ini, memperlihatkan corak kehidupan yang lebih modern. Hal ini
28
didukung oleh kondisi wilayah tersebut yang lebih banyak berfungsi sebagai daerah pusat pemerintahan, transportasi, dan perdagangan. Sistem kekeluargaan dalam lingkungan masyarakat Kudus, seperti halnya keluarga Jawa pada umumnya, berbentuk keluarga inti atau “batih” yang terdiri atas suami, istri dan anak-anaknya. Sekalipun demikian, acapkali keberadaan bentuk keluarga tersebut bertambah anggotanya, yaitu terdapatnya beberapa orang anggota yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga itu, antara lain ayah, ibu, kakak, adik, atau keponakan dari kedua atau salah satu pasangan suami istri tersebut. Pada umumnya, orang-orang tua di Kudus dalam memilihkan jodoh untuk anak-anaknya baik lelaki ataupun perempuan, masih memandang kepada ‘nasab’ atau darah keturunan kedua belah pihak. Bahkan ada pula yang masih suka mempergunakan hitungan atau dalam bahasa Jawa ‘petungan’ dalam mengawinkan anak-anaknya.34 Di kalangan penduduk yang berharta, umumnya mereka mengawinkan anaknya dengan keluarga terdekat mereka sendiri yang sama-sama sederajat atau kaya dengan maksud agar supaya harta bendanya tidak jatuh ke tangan orang lain. Padahal cara yang demikian itu, adalah bertentangan dengan normanorma etik dalam Islam. Agama yang menjadi anutan dan dipeluk oleh sebagian besar penduduk di daerah tersebut. Masyarakat Kudus dikenal memiliki adat-istiadat atau tradisinya yang kuat untuk merayakan hari-hari besar agama seperti halnya masyarakat Jawa 34
Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam (Kudus : Menara Kudus, 1977), h. 7.
29
yang beragama Islam lainnya, juga memiliki tradisi untuk merayakan hari-hari tertentu yang dianggap memiliki nilai-nilai historis atau istimewa di dalam lingkungan kehidupan keagamaan mereka. Tradisi perayaan hari besar yang umum berlaku di kalangan umat Islam di Jawa atau bahkan di Indonesia yang dilakukan oleh masyarakat Kudus adalah tradisi perayaan Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, Muludan (Maulid Nabi), Buka Luwur, dan Dandangan. Pertama, tradisi perayaan Hari Raya Idul Fitri, seperti diketahui merupakan rangkaian dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Kekhasan tradisi ini di lingkungan masyarakat Kudus, lebih khusus lagi masyarakat Kudus Kulon tampak pada terciptanya suasana meriah bertemunya semua anggota kerabat. Pada hari itu, selain diadakan secara bersama ziarah ke kubur para leluhurnya, juga diperkenalkannya jalinan pertalian keluarga besar mereka, terutama diantara anak-anak. Suasana meriah dimulai sejak malam hari raya, Shubuh tiba dengan bunyi takbir yang bergema di dalam rumah atau lewat masjid-masjid di seluruh kampung dan pada waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri di Masjid-Masjid atau di lapangan. Usai shalat Id, acara kunjungan kerabat yang lebih muda kepada kerabat yang lebih tua dan juga tetangga dekat dimulai. Di saat mereka berkunjung, di atas meja ruang tamu senantiasa penuh dengan jenis makanan atau kue-kue berbagai macam. Cara penyajian kue-kue dan minuman dalam menyuguh para tamu di hari raya tersebut di lingkungan masyarakat Kudus Kulon memiliki keunikan tersendiri. Kue-kue tersebut biasanya diletakkan di dalam wadah atau toples yang mulutnya atau lubangnya sempit yang secara
30
teknis, menyulitkan tamu untuk mengambil banyak dan gelas atau cangkir yang berukuran kecil-kecil atau di bawah ukuran standar dengan minuman yang sedikit. Cara penyajian yang demikian ini memunculkan stereotip masyarakat Kudus Kulon sebagai masyarakat yang medit (kikir).35 Cara penyajian suguhan minuman dan kue-kue di hari raya tersebut, dapat dilihat sebagai manifestasi gaya hidup yang mengutamakan makna hemat atau efisiensi dari warga masyarakat yang bersangkutan. Bahwa pada saat-saat seperti itu, orang yang bertamu diasumsikan telah banyak menerima suguhan sebelumnya, sehingga jika diberi suguhan dalam jumlah yang banyak biasanya tidak akan dihabiskan yang berarti sama saja dengan pemborosan atau mubazir. Kedua, perayaan hari raya Islam yang menjadi tradisi masyarakat Kudus adalah Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Qurban. Inti perayaan hari raya ini adalah mengucapkan takbir, tahlil, dan tahmid malam hari sebelumnya, shalat Id di masjid atau di lapangan, dan penyembelihan binatang untuk Qurban yang dibagikan kepada para fakir miskin. Muludan (Maulid Nabi), yaitu perayaan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada tanggal 12 Robiul Awal, menjadi salah satu tradisi masyarakat Kudus. Inti perayaan adalah kegiatan ceramah-ceramah agama di masjid-masjid setempat dengan pembicara tokoh-tokoh ulama setempat. Selain itu, dalam rangka menyambut tibanya hari tersebut secara tradisional, di dalam
35
Fatah Syukur, “Tradisi Masyarakat dan Pendidikan Islam di kudus Jawa Tengah”, artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari http://citraedukasi.blogspot.com/2008/02/tradisimasyarakat-kudus.html dan Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 94.
31
masjid sehabis shalat Isya’ para remaja mengadakan acara yang populer dengan berjanjen.36 Dandangan, adalah suatu upacara tradisional dan merupakan adat orang-orang Islam di Kudus yang berpusat di Desa Kauman dan Desa Langgar Dalem. Upacara ini pada dasarnya adalah perayaan untuk menyambut kedatangan Bulan Ramadhan atau bulan puasa. Menurut cerita, istilah Dandangan sesungguhnya berasal dari bunyi Bedug Masjid Menara yang ditabuh oleh petugas masjid sebagai tanda dimulainya bulan puasa. Karena bunyi
Bedug
yang
ditabuh
ndang...ndang...ndang...ndang...ndang,
tersebut maka
terdengar bunyi
suara
tersebut
:
disebut
Dandangan.37 Upacara ini, biasanya dimulai sekitar lima hari menjelang hari datangnya bulan puasa. Para pedagang kecil selama hari-hari tersebut berjubel mrema atau menggelar barang dagangannya, apakah itu berupa barang-barang kerajinan atau makanan lainnya terutama di sekitar kompleks Masjid Menara. Puncak upacara ini adalah sehari sebelum dimulainya bulan puasa, yaitu ketika sore menjelang, Bedug di Masjid Menara ditabuh bertalu-talu dan pada malam harinya oleh pemuka agama setempat diumumkan dimulainya bulan puasa pada esok harinya. Selesai pengumuman ini, malam hari itu juga di masjid shalat tarawih. Buka Luwur, diadakan setiap tahun bertepatan dengan tanggal 10 Muharram (Assyura). Buka Luwur adalah upacara tradisional penggantian kain
36
Berjanjen, yaitu pembacaan syair-syair yang menyangkut pribadi Nabi Muhammad yang dilagukan secara bersama dan adakalanya diiringi dengan musik terbangan (rebana). 37 Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 97.
32
kelambu yang dijadikan penutup makam Sunan Kudus. Upacara ini cukup meriah kendatipun tidak semeriah acara Dandangan. Karena upacara tradisional ini ditekankan pada acara-acara ritual; antara lain, Tahtiman AlQur’an, Tahlil umum, pengajian, pencucian pusaka-pusaka Sunan Kudus dan penggantian kain kelambu makam. Biasanya dalam upacara ini dilengkapi dengan selamatan yang disertai dengan pembacaan tahlil dan do’a, menurut kepercayaan barang siapa memperoleh kain kelambu dan nasi selametan yang dibagikan akan mendapat berkah. Banyak masyarakat dari Kudus dan sekitarnya, bahkan yang berasal dari luar kota yang datang dengan maksud mendapatkan nasi tersebut. Benar tidaknya kepercayaan masyarakat tentang nasi luwur yang membawa berkah, dan bahkan bisa menyembuhkan berbagai penyakit ini, hal tersebut diserahkan kepada keyakinan masing-masing masyarakat itu sendiri. Mengawali prosesi pemasangan luwur baru ditandai dengan alunan Qalam Ilahi (Al-Quran), dilanjutkan pembacaan Tahlil, dan doa yang dipimpin oleh seorang ulama. Hampir semua tokoh masyarakat dan ulama sepuh38 menghadiri acara tersebut, Sekjen GAPPRI, dan Ketua MUI Kudus. Prosesi dilanjutkan dengan pemasangan luwur baru yang sudah disiapkan di Pendapa Tajug. Luwur kemudian dibawa ke Makam Sunan Kudus Ja’far Sodiq oleh seorang ulama didampingi oleh petugas luwur kemudian dengan hati-hati dipasang sampai sempurna. Setelah itu pembacaan Tahlil dipimpin oleh seorang ulama dan diikuti para hadirin. Karena sempitnya "cungkup" Makam 38
Sepuh, berarti dituakan, seseorang yang dtuakan karena telah memiliki karismatik dan pengalaman yang cukup banyak.
33
Sunan Kudus, hanya beberapa ulama sepuh yang bisa masuk dan dekat dengan batu nisan. Sementara undangan lain duduk bersimpuh mengelilingi di luar cungkup. Tradisi serupa Buka Luwur juga terjadi di makam-makam para wali yang lain, misalnya di tempat Sunan Muria, Mbah Mutammaqin Kajen-Pati dan tempat-tempat para sunan yang lain di sekitar daerah ini. Bahkan di desadesa yang terdapat makam tua yang dianggap sebagai sesepuh desa, pendiri sebuah desa, maka peringatan buka luwur inipun diadakan. Sehingga ada pula tradisi Buka Luwur yang diadakan di tingkat regional dan di tingkat lokal. Peringatan buka luwur ini biasa juga disebut Khaul Mbah Sunan. Akan tetapi tidak jelas, kenapa peringatan Khaul itu mesti diletakkan pada bulan Sura / Muharram. Apakah upacara ini ada kaitannya dengan imitasi acara penggantian kain Kiswah (kain sebagai penutup Ka’bah) di Makkah, atau ada kaitannya dengan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada bulan Suro, misalnya meninggalnya Husain, cucu Nabi, di Karbala.
C. Kehidupan Religi Masyarakat Kudus Masyarakat Kudus, sebagaimana telah dikemukakan, adalah suatu masyarakat yang sebagian besar di antara warganya beragama Islam puritan. Bagi mereka, nilai-nilai ajaran agama Islam bukan hanya sekedar untuk diamalkan dengan sebaik-baiknya melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai tuntunan atau pedoman hidup. Keyakinan orang Jawa yang beragama ‘Agami Jawi’ terhadap Tuhan sangat mendalam dan hal tersebut dituangkan ke dalam
34
suatu istilah sebutan Gusti Allah Ingkang Maha Kuwaos, yaitu Tuhan adalah Sang Pencipta, penyebab dari segala kehidupan di dunia dan seluruh alam semesta, serta hanya ada satu Tuhan.39 Secara lebih khusus, sistem kepercayaan sebagian besar warga masyarakat Kudus terungkap dalam apa yang mereka sebut dengan istilah Rukun Iman. Istilah ini dalam terminologi Islam, berarti pokok-pokok kepercayaan atau suatu sistem keyakinan yang menjadi dasar tingkah laku bagi setiap muslim.40 Sesungguhnya, bagi masyarakat Kudus, pokok-pokok kepercayaan mereka itu, baik disadari atau tidak tercermin atau terungkap dalam berbagai hal. Berbagai pandangan, ucapan, sikap, dan tingkah laku perbuatan mereka dalam kehidupan sehari-hari memperlihatkan bukti-bukti mengenai hal ini. Dilihat dari segi agama, penduduk Kabupaten Kudus sebagian besar memeluk agama Islam. Hal tersebut dapat dimaklumi manakala dikaitkan dengan latar belakang sejarah kota yang bersangkutan. Sekalipun demikian, selain Islam, terdapat sejumlah agama lain non-Islam yang dipeluk oleh sebagian kecil penduduknya, yaitu agama Katolik, Kristen Protestan, Kong Hu Tju, Buddha, dan Hindu, serta penganut kepercayaan Samin (kebatinan) maupun Vrijdenker. Menurut data sensus penduduk menurut agama pada tahun 2000, disebutkan bahwa pemeluk agama Islam 688.086 orang, Katolik 5.207 orang, Protestan 8.970 orang, Hindu 84 orang, Buddha 1.302 orang, dan
39
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), h. 322. Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 75. 40
35
lainnya 72 orang.41 Karena itu tidak mengherankan, apabila dalam soal perkawinan dan pembagian harta pusaka, yang berlaku bukanlah hukum adat, melainkan Hukum Islam. Sebagian besar penduduk yang memeluk agama Islam itu bermukim di wilayah Kudus Kulon, yang meliputi atau tersebar di Desa Kauman, Kerjasan, Langgar Dalem, Demangan, Janggalan, Damaran, dan Kajeksan. Sementara sebagian kecil lainnya bermukim di wilayah Kudus Wetan, yang meliputi atau tersebar di Desa Panjunan, Kramat, Wergu, Nganguk, Glantengan, Barongan, Mlati, Rendeng, Demakan, Burikan, dan Kaliputu. Wilayah Kudus Kulon, oleh karena sebagian besar penduduknya beragama Islam, maka tidak mengherankan jika mendapat sebutan sebagai suatu kawasan kaum santri dengan Desa Kauman sebagai pusatnya. Sementara wilayah Kudus Wetan, walaupun terdapat cukup banyak kaum santri, namun mempunyai penduduk yang lebih heterogen bila dilihat dari segi agama yang dipeluknya. Hal ini, karena di wilayah tersebut sebagian diantaranya terdapat orang-orang Cina, beberapa orang Kristen dan Katolik yang kebanyakan dari mereka dapat dikategorikan dalam kelompok priyayi dan abangan. Kudus Kulon, memang merupakan suatu kawasan yang warga masyarakatnya sebagian terdiri dari kaum santri fanatik dan masih mengacu pendapat kyai atau tokoh masyarakatnya. Dijadikannya figur kyai sebagai tokoh panutan masyarakat Kudus Kulon itu menunjukkan bahwa dalam proses perjalanan sejarahnya, pengaruh ajaran Sunan Kudus begitu besar dan mampu 41
Badan Pusat Statistik Jawa Tengah, “Hasil Sensus Agama”, artikel diakses pada 30 Oktober http://jateng.bps.go.id/2006/web06bab104/web06_1040301.htm
Penduduk Menurut 2008 dari
36
menembus batas waktu hingga sekarang. Dalam melakukan aktivitas kerja sehari-hari, misalnya, motivasi warga masyarakat Kudus Kulon bukan sekedar untuk mencari keuntungan materi semata, melainkan lebih dimotivasi semangat untuk beribadah, yaitu menjalankan perintah ajaran agama. Di segi yang lain, gaya hidup yang Islami tersebut, bukan saja tampak mewarnai kehidupan sehari-hari warga masyarakat Kudus Kulon secara individual, tetapi juga tampak tercermin dalam kehidupan yang bersifat kolektif. Mengakarnya secara kuat lembaga sosial keagamaan, seperti Nu dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi masyarakat yang mereka miliki adalah bukti mengenai hal tersebut. Bertahan dan berkembangnya pondok-pondok pesantren, madrasah-madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan formal lainnya yang bercirikan dan bernafaskan Islam yang dikelola oleh dua organisasi tersebut merupakan bukti perwujudan tindakan kolektif mereka yang bersifat Islami.
Mereka
benar-benar
fanatik dalam
menghayati dan
mengaktualisasikan nilai-nilai kepercayaan yang dipeluknya. Bahwa dalam kehidupan kesehariannya warga masyarakat Kudus Kulon begitu fanatik dalam menjalankan ajaran agamanya, hal tersebut memang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Hal ini, karena secara historis telah melalui proses pewarisan nilai-nilai yang cukup panjang, terutama di dalam lingkungan keluarga mereka masing-masing. Meski fanatik, namun mereka tetap dapat mengembangkan sikap toleransi terhadap warga yang bukan termasuk dalam kelompok agamanya. Sebagai suatu contoh sikap toleransi itu, tercermin dalam sikap mereka yang tidak mau
37
menyembelih ternak sapi meskipun mereka tahu bahwa sesuai dengan ajaran Islam, hal tersebut tidak diharamkan.42 Terbentuknya sifat tersebut karena mereka mengikuti ajaran yang diberikan oleh Sunan Kudus, yaitu menghormati keyakinan orang-orang yang beragama Hindu. Seperti diketahui bahwa lembu ataupun sapi adalah binatang yang dianggap suci oleh orang-orang yang beragama Hindu. Secara politis hal tersebut dapat dilihat sebagai salah satu strategi Sunan Kudus dalam mengembangkan ajaran agama Islam yang pada waktu itu masih banyak orang yang beragama Hindu. Namun secara obyektif, ajaran tersebut tetap menunjukkan adanya maksud untuk menghormati atau menghargai unsur keyakinan orang lain. Sampai sekarang mitos tersebut masih dipercayai dan dipegang teguh. Menurut masyarakat, bila ada orang Kudus Kulon yang melanggar pantangan tersebut, maka akan mendapatkan sebuah bala’ atau petaka yang akan menimpa.43 Terlepas dari benar dan tidaknya mitos dan kepercayaan tersebut, yang jelas ada semacam “kearifan lokal” yang dilakukan Sunan Kudus, dalam rangka mewujudkan masyarakat multikultural untuk hidup bersama secara damai. Kehidupan beragama di wilayah ini kelihatan harmonis, antara satu umat dengan umat lainnya terjadi saling hormat menghormati. Paling tidak sikap toleransi ini terlihat antara pemilik perusahaan, yang sebagian besar 42
Haram adalah istilah dalam agama Islam yang dipergunakan oleh masyarakat setempat sebagai suatu pengklasifikasian terhadap hal-hal yang terlarang atau harus dihindari. 43 M. Mustaqim, “Kudus Kulon, Akar Kesadaran Multikultural”, artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari http://belajarsejarahsosial.blogspot.com/2006/10/kudus-kulon-akarkesadaran.html
38
berbeda agama dengan para karyawan. Namun demikian pihak perusahaan tidak menghalangi kesempatan beribadat bagi para karyawan, misalnya bila akan menunaikan shalat lima waktu dan sebagainya. Kendatipun sikap toleransi ini cukup tinggi, namun apabila disentuh oleh permasalahan SARA, maka sikap toleransi tersebut dapat berubah menjadi kemarahan besar. Salah satu contoh adalah kejadian yang terjadi pada tahun 1918; waktu itu ada perayaan ummat Tionghoa dengan Leang-leong berjalan dari Klenteng melewati depan Menara Kudus. Leang-leong adalah salah satu pertunjukan karnaval dengan memakai media ular naga besar yang diangkat beberapa orang dan di atas ular tersebut ada orang yang duduk. Dalam Leang-leong tersebut ada adegan seseorang dengan berpakaian santri (seperti seorang kyai) yang berdansa / bercumbu dengan seorang gadis seksi (prostitutes). Atraksi ini dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap kyai dan ummat Islam, yang berakibat kepada kemarahan ummat Islam sampai terjadi peristiwa pembakaran beberapa rumah-rumah para penduduk yang dianggap berkebangsaan Tionghoa yang
berada
di
sekitar
Menara
Kudus.
Kejadian tersebut nampak merupakan akumulasi dari ketegangan dan konflik antara orang-orang minoritas Cina dengan penduduk Muslim pribumi di Kudus. Ketegangan dan konflik tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain perbedaan etnik, persaingan dagang dan perasaan keagamaan. Jumlah penduduk Kudus waktu itu terdiri dari 38800 penduduk pribumi, 4000 orang Cina, 230 orang Eropa dan 40 orang bangsa asing lainnya. Secara umum
39
diketahui bahwa orang-orang Cina status ekonominya lebih tinggi dan karena itu mereka lebih disenangi oleh Belanda.44 Selanjutnya, dalam pergaulan hidup sehari-hari, tampak bahwa masyarakat Kudus Kulon tidak begitu mempersoalkan tingkat pelapisan sosial. Konsep tentang wong cilik (rakyat jelata) atau priyayi tidak berlaku di sini. Oleh karena itu, sikap saling menghargai dalam pergaulan hidup antar tetangga tampak dalam kesehariannya. Kyai dan haji, adalah status sosial yang dianggap memiliki derajat lebih tinggi dan dihormati dalam struktur sosial masyarakat setempat. Hal ini karena orientasi kehidupan mereka adalah berusaha mencapai derajat sebagai orang yang bertaqwa atau muttaqin. Kyai dan haji, dengan demikian, adalah simbol status orang yang memiliki predikat sebagai muttaqin, untuk memperoleh status tersebut tidaklah mudah karena memerlukan pemilikan ketaqwaan yang tinggi. Untuk menjalankan ibadah haji, misalnya, tidak cukup hanya dengan tersedianya persyaratan material semata, melainkan yang lebih menentukan adalah kadar persyaratan ketaqwaannya.
44
Fatah Syukur, “Tradisi Masyarakat dan Pendidikan Islam di kudus Jawa Tengah”, artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari http://citraedukasi.blogspot.com/2008/02/tradisimasyarakat-kudus.html
BAB III RUMAH TRADISIONAL KUDUS SEBELUM MASUKNYA ISLAM DI KUDUS
A. Tinjauan Sejarah Untuk mengawali topik pembahasan ini, terlebih dahulu perlu disinggung secara singkat beberapa aspek historis mengenai kemunculan rumah tradisional Kudus pada masa ”Indianisasi” yang berarti membicarakan juga rumah Jawa, karena pada masa-masa tersebut bentuk-bentuk rumah tidak terlalu berbeda di seluruh tanah Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sehingga nantinya diharapkan dapat memahami lebih lanjut mengenai latar belakang berkembangnya perwujudan bentuk rumah tersebut. Membicarakan awal perkembangan atau sejarah rumah Jawa, bukanlah suatu hal yang mudah. Sulitnya pembicaraan mengenai hal ini terutama karena tidak adanya keterangan tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan kepastian bagaimana asal usulnya, kapan mulai diciptakan, dan siapa perancang pertamanya,45 dan sampai saat ini masih merupakan hal yang belum jelas karena kurangnya sumber-sumber tertulis pada jaman sebelum ”Indianisasi”. Rumah Jawa termasuk dalam kelompok yang disebut dengan the folk tradition, yaitu bersifat anonim, berkembang secara turun temurun melalui media lisan dalam lingkungan masyarakat setempat tanpa dapat diketahui kapan mulai diciptakan dan siapa perancang atau pemilik pertamanya. 45
R. Ismunandar K, Joglo, Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, 3th ed. (Semarang : Dahara Prize, 1990), h. 11, dan Hamzuri, “Rumah Tradisional Jawa”, Proyek Pengembangan Permuseuman DKI Jakarta (T.tp. : Departemen pendidikan dan Kebudayaan RI, t.t.), h. 1.
40
41
Data dan kodifikasi arsitektur tradisional Jawa yang terekam dengan jelas adalah pada saat mulai ”Indianisasi” sedangkan sebelumnya sangat sulit sekali ditelusuri kebenaran perwujudan arsitekturnya. Sangat miskin data yang ada, baik yang berupa inskripsi maupun artefak yang tertinggal. Banyak hipotesis yang mengacu kepada gambar-gambar bangunan yang terpampang di dinding percandian Hindu gaya Jawa Tengah. Hipotesa inipun patut dipertanyakan
kebenarannya,
sebab
gambar-gambar
tersebut
apakah
merupakan bentukan yang telah hadir sebelum Hindu masuk atau pada saat Hindu berkembang. Salah satu indikator dari akibat kuatnya ”Indianisasi” mempengaruhi Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah kehadiran bentuk bangunan yang tidak mempunyai kolong (rumah panggung). Bentuk ini berbeda dengan bentuk yang dimiliki daerah tetangganya seperti Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan kawasan Indonesia Timur yang memiliki kolong pada bangunannya. Menurut Parmono Atmadi, hal ini bisa saja akibat terpengaruh kebudayaan India yang berbentuk bangunan percandian yang ada di India. Menurut suatu naskah tentang rumah Jawa koleksi museum pusat Dep. P&K No.Inv.B.G.608 disebutkan bahwa rumah orang Jawa pada mulanya dibuat dari bahan batu, teknik penyusunannya seperti batu-batu candi. Tetapi bukan berarti rumah orang Jawa meniru bentuk candi, bahkan beberapa ahli menduga bahwa candi meniru bentuk rumah tertentu pada waktu itu.46
46
Hamzuri, “Rumah Tradisional Jawa”, Proyek Pengembangan Permuseuman DKI Jakarta (T.tp. : Departemen pendidikan dan Kebudayaan RI, t.t.), h. 1.
42
Namun dugaan ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut mengingat bahwa bangunan candi di Jawa dibuat seiring dengan masuknya agama Hindu dan Buddha ke Jawa dari India dan seperti telah diketahui orang India sebagai pembawa ajaran agama Hindu dan Buddha telah mempunyai pengetahuan yang cukup canggih dalam pembuatan bangunan candi di India (Manasara dan Silpasastra). Pada relief candi Borobudur abad VIII yang diteliti oleh Parmono Atmadi ditemui gambaran tentang bangunan rumah konstruksi kayu yang mempunyai bentuk atap pelana, limasan dan tajug.47 Pada relief candi Borobudur tidak ditemui bentuk atap Joglo. Sumber-sumber tertulis yang dapat ditemui tentang rumah tinggal tradisional orang Jawa antara lain adalah Kawruh Kalang, Serat Centhini dan kitab-kitab Primbon. Kawruh Kalang yang ditulis pada masa pemerintahan Pakubuwono IX (1861-1883 M) menguraikan tentang jenis rumah, konstruksi dan bahan bangunan yang dipakai, pedoman perhitungan waktu untuk mendirikan rumah dan kepercayaan mistik yang melatarbelakanginya. Serat Centhini ditulis atas perintah Susuhunan Pakubuwono V (18201823 M) berisi ajaran yang ditulis dalam bentuk puisi yang dinyanyikan (tembang) tentang berbagai aspek kehidupan yang dikumpulkan dari beberapa ahli dibidangnya, dipimpin oleh R. Ng. Yasadipura II dan R. Ng. Sastrodipura. Pengetahuan tentang rumah Jawa terdapat dalam pupuh 223 sampai 230
47
Parmono Atmadi, “Beberapa Patokan Perencanaan Bangunan Candi” (Desertasi S3 Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada, 1979), h. 26.
43
berupa cerita Ki Wreksadikara Lurah Kalang Kamplong kepada Mas Cabolang. Kitab Primbon merupakan kitab yang masih banyak ditemui dan dipergunakan oleh masyarakat Jawa. Ada beberapa macam kitab Primbon antara lain Primbon Betaljemur Adammakna, Primbon Jawa Sabda Guru dan Primbon Sabda Pandhita. Primbon yang terbanyak membahas tentang rumah adalah Primbon Betaljemur Adammakna yang memuat tentang rumah mulai dari bab 167-199. Primbon ini sebagian besar berisi perhitungan (petungan)48 yang mengatur hari-hari yang baik dalam memilih waktu untuk membangun, menempati dan pindah rumah serta hal-hal lain yang bersangkutan dengan rumah.49 Dari ketiga sumber-sumber tertulis tersebut memberikan gambaran tentang rumah tinggal Jawa pada masa sekitar abad XVIII yang sebagian besar bahan bangunannya terbuat dari kayu. Dalam Kawruh Kalang bab II dan Serat Centhini pupuh 227 Asmarandana disebutkan ada bentuk rumah tinggal orang Jawa yaitu bentuk kampung, limasan, joglo dan tajug. Menurut Dakung (1982), Ismunandar (1986), Hamzuri (tanpa tahun), bersumber dari Mintobudoyo, bahwa ada 5 bentuk dasar rumah Jawa yaitu Panggang Pe, Kampung, Limasan, Joglo dan Tajug.
48
Petungan merupakan sebuah sistem numerologi dimana orang mencari waktu yang tepat untuk melakukan tindakan agar tepat sehingga dirinya aman atau dengan kata lain sebagai usaha untuk menyelaraskan kejadian di bumi dengan dunia adikodrati. 49 Alim J. Setiawan, “Rumah Tinggal Orang Jawa; Suatu Kajian Tentang Dampak Perubahan Wujud Arsitektur Terhadap Tata Nilai Sosial Budaya dalam Rumah Tinggal Orang Jawa di Ponorogo” (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1991), h. 66.
44
Bentuk yang paling sederhana adalah bentuk Panggang Pe, terdiri dari satu ruangan terbuka dengan atap satu bidang datar yang dipasang miring satu arah. Penggunaan rumah bentuk ini sifatnya sementara misalnya sebagai tempat istirahat petani di sawah, dan jarang dipergunakan sebagai tempat tinggal tetap. Bentuk ini tidak disebut dalam Kawruh Kalang maupun Serat Centhini diduga karena bukan merupakan rumah tinggal. Jika dua buah bangunan bentuk Panggang Pe ini dihubungkan menjadi setangkup dengan garis atap yang lebih tinggi menjadi satu garis mendatar (nok) maka menjadi bentuk kampung. Bentuk kampung adalah bentuk yang paling sederhana dengan dua buah atap katepung. Bentuk limasan merupakan bentuk yang sudah agak rumit, sedangkan yang paling rumit dan sempurna adalah bentuk tajug. Bentuk ini ditentukan oleh bentuk atapnya. Bentuk atap ini berkembang baik dari segi bentuk maupun dari segi konstruksinya mulai dari bentuk Panggang Pe kemudian menjadi bentuk Kampung, bentuk Limasan, Joglo dan Tajug. Bentuk Tajug disebut juga bentuk masjid, karena itu jarang dipakai untuk rumah tinggal. Dengan demikian sebenarnya hanya ada tiga bentuk dasar rumah tinggal orang Jawa yaitu kampung, limasan dan joglo. Pada relief candi tidak didapati bentuk joglo, hal ini menimbulkan dugaan bahwa bentuk joglo tersebut timbul setelah masa kerajaan Mataram I (Hindu Buddha). Sedangkan pada Kawruh Kalang tidak didapati penjelasan mengenai bentuk panggang pe, namun disebutkan bentuk-bentuk rumah Jawa berasal dari bentuk tajug yang sebetulnya sudah cukup rumit, jadi
45
perkembangan bentuk rumah Jawa dalam Kawruh Kalang justru berkembang dari bentuk yang rumit (tajug) ke bentuk yang lebih sederhana (kampung dan limasan). Hal tersebut kurang dapat diterima karena bentuk rumah seharusnya mulai dari yang sederhana berkembang ke arah yang lebih rumit.50 Untuk rumah yang dibangun sebelum masuknya Islam di Kudus atau pada masa-masa awal kehadiran Sunan Kudus, rumah tinggal masyarakat Kudus masih sederhana, yaitu berbentuk kampung. Karena pada masa-masa tersebut belum bermunculan para pedagang maupun saudagar dikarenakan mata pencaharian masyarakat Kudus adalah bertani dan berladang, dengan sesekali menjual hasilnya, yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan daerahdaerah lain di pulau Jawa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada masa sebelum masuknya Islam di Kudus, rumah tinggal masyarakat Kudus adalah berbentuk kampung. Berdasarkan dari data yang didapat, penulis menyimpulkan bahwa rumah-rumah masyarakat Kudus pada masa lalu adalah berbentuk kampung, dan hal tersebut juga terbukti karena diseluruh tanah Jawa pada masa tersebut menggunakan rumah tersebut. Hal tersebut juga diperkuat dengan penggunaan atap dapur pada rumah Kudus saat ini yang berbentuk kampung yang merujuk kepada awal mula bentuk rumah penduduk Jawa pada umumnya. Dan hal ini
50
Gunawan Tjahjono, “Cosmos, Center and Duality in Javanese Architectural Tradition : The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kotagede and Surrounding” (Disertasi S3, University of California, 1989), h. 99.
46
bisa jadi mengindikasikan bahwa dahulunya bentuk atap kampung telah menjadi umum di lingkungan masyarakat Kudus Kuno.51
B. Bentuk Rumah Tipe Kampung Bentuk rumah Kampung umumnya sebagai tempat tinggal, baik di kota maupun di desa dan di gunung-gunung. Kampung berarti desa, karena itu rumah ini kebanyakan dimiliki oleh orang kampung atau orang Jawa menyebutnya desa. Pada masa lalu rumah bentuk kampung merupakan tempat tinggal yang paling banyak ditemukan. Sehingga ada sebagaian masyarakat yang berpendapat bahwa rumah kampung sebagian besar dimiliki oleh orangorang desa yang kemampuan finansial / ekonominya berada di bawah. Kampung, yaitu bangunan dengan atap dua belah sisi, sebuah bubungan di tengah saja dengan denah empat persegi panjang, bangunan pokoknya terdiri dari (saka-saka)52 yang berjumlah empat, enam atau bisa juga delapan dan seterusnya. Tetapi biasanya hanya memerlukan delapan saka dengan dua buah atap persegi panjang pada dua belah sisi samping atas ditutup dengan tutup keong,53 bentuk bangunan kampung inipun dalam perkembangannya mengenal beberapa variasi. Sehingga dari bentuknya yang sederhana ini menghasilkan bentuk bangunan kampung yang lain, yaitu :54 51
Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, (Laporan Penelitian Fakultas Tekhnik, Universitas Pancasila, 2000), h. 129. 52 Saka berarti tiang-tiang atau pilar-pilar sebagai penopang rumah. 53 Tutup keong yaitu tutup atas yang terletak pada kedua sisi dan biasanya berbentuk payon. 54 Sugiarto Dakung, “Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), h. 30.
47
1. Kampung Pacul Gowang Merupakan bentuk bangunan kampung yang pokok ditambah dengan bagian bangunan yang lain yang berbentuk panggang pe. Sebagian bagian bangunan disebut emper atau serambi. Bangunan emper ini terletak pada salah satu sisi bangunan pokok. Jumlah saka enam atau 8 atau 12 dan seterusnya. Sedangkan atap pada dua belah sisinya bersusun atau bertingkat. Terdapat satu bubungan atau wuwung. Bentuk bangunan kampung ini menggunakan pula bagian yang disebut tutup keong. 2. Kampung Srotong Bentuk bangunan pacul gowang yang ditambah lagi bangunan emper pada bagian sisi belakang bangunan pokok. Dengan demikian bentuk bangunan srotong ini merupakan bangunan kampung pokok yang mempunyai dua bangunan emper yang kesemuanya berbentuk panggang pe. Mempunyai saka jumlahnya 8, 12, 16 dan seterusnya. Sedangkan atap terdiri dari dua belah sisi masing-masing bersusun dua dan satu bubungan atau wuwung dan dua tutup keong. 3. Kampung Dara Gepak Bentuk bangunan kampung yang kemudian disebut dara gepak ini terdiri dari tambahan bangunan-bangunan emper yang ditambahkan di sekeliling bangunan pokok. Dengan demikian ada empat bangunan emper yang mengelilingi bangunan kampung pokok. Tiang atau saka jumlahnya 16, 20, 24 dan seterusnya. Terdiri atas dua atap yang ada pada kedua belah sisinya bersusun dua. Ditambah dua atap lagi pada samping kanan dan kiri
48
bangunan pokok yang bersusun serta satu bubungan atau wuwung, tutup keong dua buah. 4. Kampung Klabang Nyander Bentuk bangunan ini merupakan bentuk bangunan kampung. Jumlah saka 16, 24 atau bisa juga lebih. Bentuk bangunan ini membutuhkan pengeret sebanyak 4 atau 6 buah. Sedangkan dua atap terletak pada kedua belah sisinya dan satu bubungan atau wuwung dengan dua tutup keong. 5. Kampung Lambang Teplok Bentuk bangunan ini merupakan variasi lain bangunan kampung. Mempunyai renggangan antara atap brunjung, yaitu atap paling atas dengan penanggap yang fungsinya seperti blandar. Akan tetapi keduanya dihubungkan dengan tiang utama yang jumlahnya 4, yang disebut saka guru. Menggunakan saka 16, 24, yang ke empat buah saka di tengah merupakan saka guru. Atap terdapat pada kedua belah sisinya dan bersusun dalam posisi merenggang. Artinya tidak dihubungkan rapat antara atap bawah dengan atasnya. Memakai satu wuwung dan dua tutup keong. 6. Kampung Lambang Teplok Semar Tinandhu Bentuk bangunan ini merupakan bentuk bangunan lambang teplok, tetapi tiang penyangga brunjung di atas bertumpu di atas blandar atau penanggap. Sedangkan blandar itu sendiri ditopang oleh tiang-tiang penyangga yang ada di pinggir. Memakai saka sebanyak 12 buah.
49
7. Kampung Gajah Njerum Merupakan bentuk variasi yang lain dari bentuk bangunan kampung. Mempunyai bangunan emper tiga buah. Dua bangunan emper terletak di sebelah muka dan belakang. Satu terletak di sebelah salah satu sisi samping. Menggunakan tiang atau saka sebanyak 20 atau 24 dan seterusnya dan satu wuwung serta dua tutup keong. 8. Kampung Cere Gencet Merupakan bentuk bangunan gabungan antara dua bentuk bangunan kampung pacul gowang. Cara menggabungkannya dengan menghubungkan pada bagian masing-masing yang tidak ber-emper. Dengan
demikian dibutuhkan saluran
air
yang
disebut
talang.
Menggunakan saka sebanyak 20, 24 dan seterusnya. Sedangkan dua atap yang terdiri dari muka belakang bersusun dua pada sisi miring masingmasing brunjungnya. 9. Kampung Semar Pinondhong Bentuk bangunan yang disebut semar pinondhong ini berbeda dengan yang lain. Dalam bentuk ini hanya memakai saka yang berjajar di tengah menurut panjangnya bangunan. Jumlah saka bisa empat atau 6 dan seterusnya. Kemudian atap terdapat pada ke dua belah sisi dan ditopang oleh sebuah balok kayu yang dipasang dengan posisi horisontal pada tiang penyangga. Agar posisi atap tersebut tetap seimbang balok kayu yang horisontal tersebut dipasang kayu penyiku. Bentuk bangunan ini memakai satu wuwung dan dua tutup keong.
50
10. Kampung Gotong Mayit Merupakan bentuk bangunan rumah kampung bergandengan tiga buah pada sebuah blandar sesamanya. 11. Kampung Apitan Bentuk bangunan ini merupakan rumah kampung ini hanya memakai saka empat buah dengan ander satu buah yang menopang bagian rumah dan di tengah-tengah terdapat suwunan dan molo. 12. Kampung Gajah Ngombe Merupakan bentuk variasi yang lain dari bentuk bangunan kampung dengan sebuah atap emper pada salah satu sisi sampingnya yang pendek. Tiang atau saka 6, 8, 10 dan seterusnya, sedangkan atap terdiri atas 4 belah sisi dan pada salah satu sisinya bersusun dua. 13. Kampung Trajumas Bentuk bangunan kampung yang kemudian disebut trajumas ini terdiri dari 6 buah saka atau mempunyai tiga buah pengerat sehingga rumah ini terbagi dua, masing-masing bagian disebut rongrongan, rong berarti liang. Melihat dari pola rumah bentuk ruangan dapur pada rumah tradisional Kudus yang atapnya berbentuk kampung gajah ngombe. Dari analisa tersebut penulis menyimpulkan bahwa rumah masyarakat pada saat sebelum masuknya Islam di Kudus adalah berbentuk kampung, bahwa penggunaan atap dapur pada rumah Kudus saat ini yang berbentuk kampung yang merujuk kepada awal mula bentuk rumah penduduk Jawa pada umumnya, sehingga ada
51
indikasi bahwa dahulunya bentuk atap kampung sangat umum di lingkungan masyarakat Kudus Kuno. Namun belum dapat dipastikan bentuk atap seperti apa yang sering digunakan pada rumah-rumah tipe kampung masyarakat Kudus Kuno ketika itu.
C. Susunan Ruangan Rumah Tipe Kampung Konsep ruang dalam pandangan barat berasal dari dua konsep klasik yang bersumber pada filsafat Yunani. Konsep yang pertama dari Aristoteles, menyatakan bahwa ruang adalah suatu medium dimana objek materiil berada, keberadaan ruang dikaitkan dengan posisi objek materiil tersebut (konsep position-relation). Konsep yang kedua dari Plato kemudian dikembangkan oleh Newton yaitu konsep displacement-container yang melihat ruang sebagai wadah yang tetap, jadi walaupun objek materiil yang ada didalamnya dapat disingkirkan atau diganti namun wadah itu tetap ada.55 Konsep ruang dalam rumah tinggal menurut tradisi arsitektur Jawa pada kenyataannya berbeda dengan konsep ruang menurut tradisi Barat. Tidak ada sinonim kata ruang dalam bahasa Jawa, yang mendekati adalah Nggon, kata kerjanya menjadi Manggon dan Panggonan berarti tempat atau Place. Jadi bagi orang Jawa lebih tepat pengertian tempat dari pada ruang. Rumah tinggal bagi orang Jawa dengan demikian adalah tempat atau tatanan tempat, konsep ruang geometris tidak relevan dalam pengertian rumah tinggal Jawa. Pengertian rumah bagi orang Jawa dapat ditelusuri dari kosa kata Jawa. Kata 55
J. Lukito Kartono, ”Konsep Ruang Tradisional Jawa dalam Konteks Budaya”, Dimensi Interior, vol. 3 , no. 2 (Desember 2005), h. 130.
52
omah-omah berarti berumah tangga, ngomahake membuat kerasan atau menjinakkan, ngomah-ngomahake menikahkan, pomahan pekarangan rumah, pomah penghuni rumah betah menempati rumahnya. Satu kesatuan sosial yang ditandai dengan dapur yang terpisah ini dalam bahasa Jawa disebut somah.56 Pada rumah induk (omah) istilah dalem dapat diartikan sebagai keakuan orang Jawa karena kata dalem adalah kata ganti orang pertama (aku) dalam bahasa Jawa halus. Dasar keakuan dalam pandangan dunia Jawa terletak pada kesatuan dengan Illahi yang diupayakan sepanjang hidupnya dalam mencari sangkan paraning dumadi dengan selalu memperdalam rasa yaitu suatu pengertian tentang asal dan tujuan sebagai makhluk. Konstruksi
rumah
tinggal
tradisional
Jawa
sebagian
besar
menggunakan bahan kayu terutama kayu jati seperti untuk tiang, balok-balok dan rangka atap. Pada masa lalu kayu jati untuk bahan bangunan rumah tinggal ini mudah didapat dari hutan-hutan jati yang banyak terdapat di seluruh wilayah pulau Jawa. Dinding pengisi umumnya digunakan bahan anyaman bambu (gedhek) atau papan kayu jati (gebyok). Dengan bahan kayu jati ini dibuat konstruksi rangka dengan menggunakan cara penyambungan sistem cathokan dan purus. Pondasi menggunakan sistem umpak atau ceblokan. Dengan sistem rangka ini terbentuk tiang-tiang yang bebas sehingga ruang yang terjadi juga merupakan ruang-ruang yang terbuka tanpa dinding yang permanen. Demikian juga dengan konstruksi cathokan dan purus
56
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), h. 137-142.
53
tersebut memungkinkan sebuah rumah dibongkar untuk dipindah ke lain tempat pada saat dibutuhkan.57 Suatu rumah tempat tinggal asli (griya) untuk golongan bawah, petani, biasanya berbentuk persegi panjang. Dinding terbuat dari anyaman bambu (gedhek) yang sering kali tidak berjendela. Pada kedua sisi panjang dari rumah terdapat pintu dorong yang terbuat dari rangka bambu dan gedhek; membagi rumah menjadi dua bagian, depan dan belakang (dalam). Bagian dalam rumah dibagi-bagi dengan sekat-sekat yang terbuat dari gedhek yang dengan mudah digeser yang dapat menjadi ruang-ruang yang multipurpose, sedang atapnya berbentuk kampung. Susunan ruangan yang terdapat dalam rumah tradisional Jawa tergantung kepada besar kecilnya rumah tersebut dan tergantung pula pada kebutuhan keluarga. Biasanya jumlah ruangan yang ada disesuaikan jumlah anggota keluarga. Jadi makin banyak anggota keluarga tersebut, makin banyak ruangan yang dibutuhkan. Dalam hal ini, yang termasuk ruangan adalah kamar-kamar yang terdapat dalam ruangan rumah. Pada prinsipnya semua kamar dalam ruangan menghubungkan antara tiang yang satu dengan tiang lainnya dan tepat di bawah blandar. Sebuah rumah tinggal Jawa yang berbentuk kampung setidak-tidaknya terdiri dari satu unit dasar omah yang terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian depan, tengah, dan belakang. Untuk ruangan bagian belakang terdiri dari deretan sentong tengah, sentong kiri (kiwa), sentong kanan (tengen). Sentong 57
Alim J. Setiawan, “Rumah Tinggal Orang Jawa; Suatu Kajian Tentang Dampak Perubahan Wujud Arsitektur Terhadap Tata Nilai Sosial Budaya dalam Rumah Tinggal Orang Jawa di Ponorogo” (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1991), h. 78.
54
kiri dan kanan untuk tidur sedangkan sentong tengah untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat sakral. Hierarki ruangnya memperlihatkan adanya gradasi berurut dari depan ke belakang. Organisasi ruangnya menganut pola closed ended plan,58 yaitu simetri keseimbangan yang berhenti pada suatu ruang, dalam hal ini senthong tengah. Bilamana ada kepentingan yang lain, maka kamar bisa ditambah lagi yang diletakkan di ruang tengah. Biasanya kamar tambahan ini hanya diberi batas dengan rana atau kain saja. Dan ruang terbuka memanjang di depan deretan sentong atau yang berada di bagian tengah disebut dalem sedangkan bagian depan disebut emperan. Pada rumah Kampung umumnya tidak memiliki pendapa dan pringgitan, sehingga rumah terdiri atas dalem saja.59 Dapur terletak di belakang rumah dan kamar mandi terpisah dengan rumah, kamar mandi terletak di kiri belakang rumah, sehingga dinamakan pekiwan (kiwo atau kiri). Tidak jarang di belakang rumah juga terdapat kandang hewan piaraan.
D. Fungsi Tiap-Tiap Ruangan Rumah Tipe Kampung Pada bentuk rumah kampung ruangan itu sudah dibagi-bagi menjadi kamar-kamar yang fungsional. Di samping adanya ruangan teras, yang terletak di depan. Biasanya teras ini untuk menerima tamu laki-laki, sedangkan untuk tamu perempuan ada di ruangan dalam.
58
Pola hubungan ruang menganut prinsip closed ended plan, adalah dimana sumbu simetri keseimbangan yang membagi susunan ruang menjadi kiri dan kanan terhenti pada suatu ruang. 59 Iwan Suprijanto, ”Rumah Tradisional Osing : Konsep Ruang dan Bentuk”, Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 30 , no. 1 (Juli 2002), h. 12.
55
Susunan ruangan dalam yang ada di bagi menjadi beberapa kamar, yaitu kamar kiri (sentong kiwa), kamar tengah (sentong tengah) dan kamar kanan (sentong tengen). Untuk golongan petani sentong kiwa berfungsi untuk menyimpan senjata atau barang-barang keramat, sentong tengah untuk menyimpan benih atau bibit akar-akaran dan gabah, sedangkan sentong tengen untuk untuk tempat tidur. Pada konfigurasi ruang rumah Jawa dikenal adanya dualisme (oposisi binair), antara luar dan dalam, antara kiri dan kanan, antara daerah istirahat dan daerah aktivitas, antara spirit laki-laki (tempat placenta yang biasanya diletakkan sebelah kanan) dan spirit wanita (tempat placenta yang biasanya diletakkan pada bagian kiri), sentong kanan dan sentong kiri. Konsep ruang dalam konteks budaya Jawa banyak dipengaruhi oleh kepercayaan terdahulu dan secara konkret sering dihubungkan dengan tempat (place). Nama-nama ruang menunjukkan keadaan spesifik masing-masing ruang yang berhubungan dengan ciri fisik, fungsi, hubungan, letak atau posisi.60 Masyarakat Jawa Tengah pada masa periode sebelum agama Hindu sudah memiliki agama asli yang berintikan ajaran keseimbangan dengan alam. Agar manusia dapat hidup terus maka harus berdamai dengan lingkungannya. Masyarakat jawa mempunyai pedoman berarsitektur yang dinamakan Primbon/ Petungan. Oleh sebab itu setiap benda yang berhubungan langsung dengan benda-benda lainnya, maka masuk akal bahwa setiap perubahan pada suatu titik tertentu membutuhkan suatu deretan peristiwa dalam makrokosmis 60
Gunawan Tjahjono, “Cosmos, Center and Duality in Javanese Architectural Tradition : The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kotagede and Surrounding” (Disertasi S3, University of California, 1989), h. 71.
56
yang bersangkutan harus didamaikan di dalam tembok yang mengelilingi rumah tradisional. Jadi tembok yang mengelilingi rumah tinggal tradisional melambangkan batasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Kosmologi Jawa adalah horisontal, maksudnya menghubungkan suatu konsep budaya dengan alam sekitarnya. Alam ini dipandang sebagai “Wadhah” yang besar dan merupakan kesatuan serta keadaannya tetap. Isi alam semesta ini terdiri dari dua kelompok elemen yaitu kelompok elemen yang tidak tampak (roh, lelembut) dan yang tampak (bumi beserta isinya). Dalam usaha menjaga keseimbangan dikenal adanya poros sakral Utara-Selatan. Dimana Utara merupakan simbol keraton (penguasa daratan) dan Selatan sebagai simbol Ratu Kidul, dewi Laut Selatan dan dewi pelindung kerajaan Mataram.61 Dalam kaitan dengan rumah Jawa sebagai manifestasi kesatuan makro dan mikrokosmos serta pandangan hidup masyarakatnya, Koentjaraningrat menyebutkan adanya klafisifikasi simbolik berdasarkan 2 kategori berlawanan yang saling melengkapi dan mendukung, disebut dualitas (duality). Kategori ini membagi rumah menjadi kanan-kiri, luar-dalam, sakral-profan, publikprivat. Lebih jauh juga menyebutkan adanya centralitas (centre), yaitu pemusatan atau penyatuan dalam tata ruang bangunan, dimana senthong merupakan pusat dari dalem. Kadang-kadang sentong tengah yang terletak dibagian Omah dipakai pula untuk mengheningkan cipta dan berdoa kepada Tuhan, karena ruangan tersebut merupakan tempat bagi pemilik rumah untuk berhubungan dan 61
J. Lukito Kartono, ”Manusia dan Rumah Tinggal ; Suatu Tinjauan Perspektif Kebudayaan Timur dan Barat”, Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 27 , no. 2 (Desember 1999), h. 12.
57
menyatu dengan Illahi. Di samping itu juga dipergunakan sebagai tempat pemujaan kepada Dewi Sri atau Dewi Kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga. Oleh karena itu sentong tengah disebut juga pasren atau petanen. Sentong tengah tersebut diberi batas dengan kain yang disebut lengse atau dari gedhek berhias anyaman yang disebut patang-aring.62 Seperti disinggung di atas bahwa inti dari rumah tradisional Jawa adanya sentong tengah atau yang biasa disebut krobongan, suatu ruang untuk aktifitas pemujaan kepada roh leluhur, penghormatan kepada Dewi Sri, dan penyimpanan beras. Tempat untuk menyimpan beras biasa dinamakan pedaringan, yaitu sebuah gentong kecil. Yang biasa mengurusi pedaringan adalah bagian kaum perempuan, orang laki-laki tidak boleh masuk ruangan dimana pedaringan berada. Kedudukan sentong tengah sangat dominan dalam aktifitas kehidupan masyarakat Jawa, yaitu menjadi sandaran kehidupan sehari-hari bagi penghuni rumah.63 Kemakmuran di dunia disandarkan kepada kebaikan dari Dewi Sri, Dewi Padi, Dewi Kesuburan, maka penghuni rumah berusaha agar pedaringan tidak kosong. Keselamatan dan ketenteraman disandarkan kepada kebaikan dari roh-roh leluhur, berusaha agar leluhur mereka tetap berkenan, tidak marah terhadap mereka. Untuk itu pada saat-saat tertentu dilakukan selamatan dan disiapkanlah sesaji, biasanya berupa satu porsi makanan lengkap dengan minumannya. Makanan diletakkan di dalam
62
Sugiarto Dakung, “Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), h. 57. 63 Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, (Laporan Penelitian Fakultas Tekhnik, Universitas Pancasila, 2000), h. 20.
58
takir,64 dan wadah minumannya berupa sebuah kendi65 kecil. Keduanya diletakkan di dalam ruangan yang dianggap sakral, yaitu sentong tengah. Demikianlah pengertian ruang dalam rumah tinggal Jawa ini mencakup aspek tempat, waktu dan ritual. Rumah tinggal merupakan tempat menyatunya jagad-cilik (micro cosmos) yaitu manusia Jawa dengan jagadgede (macro-cosmos) yaitu alam semesta dan kekuatan gaib yang menguasainya. Bagi orang Jawa rumah tinggalnya merupakan poros dunia (axis-mundi) dan gambaran dunia atau imago-mundi dan memenuhi aspek kosmos dan pusat.
64
Takir merupakan sebuah wadah yang terbuat dari daun pisang. Kendi merupakan tempat untuk menyimpan air dan berfungsi sebagai tempat minum, terbuat dari tanah liat. 65
BAB IV RUMAH TRADISIONAL KUDUS SETELAH BERKEMBANGNYA ISLAM DI KUDUS
A. Tinjauan Sejarah Seperti rumah Jawa pada umumnya, sampai sekarang, belum ada catatan sejarah yang memberikan keterangan dengan pasti kapan dimulai kemunculan dan berkembangnya rumah Kudus. Dari sebuah sumber lisan, diperoleh informasi bahwa perkembangan rumah Kudus mengalami puncak kejayaan di sekitar abad ke-17 dan ke-18 M. Rumah adat Kudus asli pada awalnya hanya terdapat di Kudus Kulon di sekeliling masjid Menara Kudus. Rumah adat Kudus biasa kebanyakan terdapat pada jarak 10-25 km dari masjid Menara Kudus. Pembagian tata letak tersebut diambil dengan tinjauan historis, sesuai dengan sejarahnya.
Dalam Tesis yang berjudul “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, pada lampiran, Triyanto menampilkan sebuah gambar rumah tradisional Kudus milik bapak Haji Saleh Syakur. Pada salah satu elemen gebyok atau dinding rumah memperlihatkan angka tahun pembuatannya, yaitu tahun 1828 M. Angka tahun pendirian ini terpahat pada salah satu dinding tersebut. Sementara pada rumah-rumah yang lain, yang tidak terdapat angka tahun pembuatannya, bisa jadi dibuat sebelum, pada, atau sesudah masa-masa tahun tersebut. Kemudian penjelasannya bahwa pada sekitar tahun 1700-an hingga 1800-an M sekelompok orang-orang Kudus,
59
60
khususnya penduduk Kudus Kulon, yang bermata pencaharian pada umumnya sebagai pedagang tembakau, pengusaha rokok kretek, ataupun pengusaha di bidang jahit menjahit, mengalami masa-masa gemilang. Usaha mereka yang sukses tersebut menjadikan status ekonominya meningkat pesat. Status inilah, agaknya, yang menjadi salah satu faktor pendorong bagi mereka untuk berlomba-lomba menjalankan ibadah haji ke Mekkah dan membangun rumah dengan selera yang indah dan megah menurut ukuran tradisi pada waktu itu. Dapat dikatakan bahwa kemunculan dan berkembangnya rumah Kudus, dipelopori oleh para saudagar Kudus yang pada umumnya adalah sebagai pemeluk Islam yang telah menunaikan ibadah haji. Rumah Kudus yang berukir indah itu adalah manifestasi golongan keturunan Sunan Kudus yang kaya, terpandang dan maju kehidupan ekonominya.66 Adapun mengenai perkembangan rumah Kudus, oleh
warga
masyarakat setempat sering dikaitkan dengan cerita rakyat bahwa pada masa lalu, terdapat seorang tokoh sakti yang bernama Rogomoyo. Pada masa hidupnya, Rogomoyo ini dikenal dengan sebagai seorang kalang atau tukang kayu yang ahli membuat rumah tradisional Jawa yang indah. Karena daya kesaktian yang dimiliki sedemikian kuatnya, ia dapat membuat rumah yang tahan api atau tidak mudah terbakar. Kehebatan inilah yang mendorong orangorang kaya di Kudus Kulon pada waktu itu tertarik meminta jasa Rogomoyo untuk membuat rumahnya. Setelah Rogomoyo meninggal dunia, model rumah hasil karyanya yang kemudian banyak ditiru atau dikembangkan lebih lanjut 66
Danang Priatmodjo, ”Anatomi Rumah Adat Kudus”, (Laporan Penelitian, Fakultas Tekhnik, Universitas Tarumanegara, 1988), h. 2-3.
61
oleh orang-orang kaya di Kudus.67 Sampai sekarang ini di Desa Prokowinong, Kudus Kulon terdapat sebuah makam keramat yang dipercayai sebagai makam Rogomoyo. Selain cerita rakyat mengenai kisah Rogomoyo, di Kudus juga berkembang cerita rakyat lainnya yang memiliki kaitan dengan kespesifikan rumah
Kudus,
terutama
yang
berkaitan
dengan
kemunculan
dan
berkembangnya hiasan ukiran rumah. Seni ukir diperkenalkan di Kudus ketika emigran asal Yunan, The Ling Sing, tiba sekitar abad ke-15 M. Tokoh muslim Cina tersebut hidup semasa perjuangan Ja’far Sodiq dalam mengembangkan agama Islam di Kudus. Selain ahli di bidang agama, The Ling Sing atau yang disebut Kyai Telingsing terkenal juga sebagai pemahat dan pengukir yang hebat, dan kemudian juga membagikan ilmunya untuk seni mengukir kayu dengan gaya Sun Ging sebagai sebuah mahakarya ukiran kayu karena kehalusan dan keindahannya (Nyungging). Nama Kyai Telingsing ini sampai sekarang diabadikan sebagai nama sebuah jalan di kota Kudus. Di sepanjang jalan tersebut juga terdapat sebuah kampung atau desa yang bernama Sunggingan yang diperkirakan berasal dari kata Sun Ging tersebut. Daerah tersebut diperkirakan merupakan tempat tinggal para pengukir dan pemahat hasil didikan dari Kyai Telingsing. Jadi jelas disini akan adanya pengaruh pertukangan kayu Cina pada rumah tradisional Kudus. Rumah tradisional Kudus
yang letaknya tidak jauh dari komplek Mesjid Menara Kudus. Mesjid Menara terletak di daerah kampung Kauman. Daerah Kauman merupakan daerah 67
Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 178.
62
pedagang kelas menengah Muslim yang bermukim disekitar mesjid. Dulu daerah ini banyak dihuni oleh pedagang dan tukang Cina Muslim, yang bercampur dengan pedagang muslim setempat. Keluarga Cina–Jawa yang masuk Islam bergabung dengan masyarakat Kauman.68 Beberapa versi cerita lain yang mewarnai perkembangan rumah Kudus, menuturkan adanya keterkaitan dengan pengaruh seni ukir di kota Jepara yang berkembang sekitar abad ke-16 M. Antara lain, yang pertama, di Kudus dahulunya merupakan pusat pengrajin ukir, sebelum dikembangkannya keahlian tersebut di daerah Jepara, kedua, beberapa saudagar kaya di Kudus mendatangkan para pengrajin ukir kota Jepara untuk menghiasi rumah yang akan dibangun dengan ukiran-ukirannya, ketiga, sebagian warga masyarakat Kudus
ada
yang
belajar
mengukir
di
Jepara
dan
kemudian
mengembangkannya di Kudus, keempat, sebagian pengrajin ukiran Jepara atas inisiatifnya sendiri pindah atau berumah tangga di Kudus kemudian menetap dan mengembangkan keterampilannya di tempat yang baru. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, bahwa rumah tinggal tradisional Kudus yang kondisinya masih bisa dilihat hingga sekarang, beratap joglo pencu dan dihiasi ukiran di bagian ruang dalamnya, dibangun setelah tahun 1749 M dan sebelum tahun 1920 M atau 1945 M. Meliputi dua periode, yaitu periode pertama dari tahun 1749 M hingga sebelum 1870 M dan
68
De Graaf, H.J, Th.G.Th. Pigeaud, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara Historisitas dan Mitos, terjemahan dari Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th centuries: The Malay Annals of Semarang and Cirebon (Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 1998), h. 183-186.
63
periode kedua mulai tahun 1870 M hingga sebelum tahun 1920 M atau hingga tahun 1945 M.69 Terlepas kemungkinan mana dari versi cerita tersebut di atas yang paling dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Kepastian tersebut memang masih perlu untuk diselidiki lebih lanjut. Tetapi yang jelas rumah adat Kudus merupakan suatu wujud nyata dari akulturasi kebudayaan yang menghasilkan arsitektur rumah tinggal yang megah, indah dan sarat dengan nilai sosio kultural. Arsitekturnya nyaris mengungkapkan kesempurnaan proses penggabungan kebudayaan dan berhasil mendirikan rumah tradisional yang khas.
B. Bentuk Fisik Bangunan Induk Secara keseluruhan, bila dilihat dari variasi bentuk-bentuk rumah Jawa, maka rumah Kudus yang dibahas dalam skripsi ini dapat dikelompokkan ke dalam rumah bentuk gabungan joglo pencu dan kampung serta dihiasi ukiran di bagian ruang dalamnya, yang oleh masyarakat setempat diistilahkan dengan sebutan omah adat pencu. Bahwa jika ditelusuri dari pengelompokkan bentuk-bentuk rumah Jawa, bentuk rumah Kudus ini termasuk dalam kategori rumah joglo kepuhan limolasan dan rumah kampung gajah ngombe.70
69
Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, (Laporan Penelitian Fakultas Tekhnik, Universitas Pancasila, 2000), h. 127. 70 Danang Priatmodjo, “Anatomi Rumah Adat Kudus” (Laporan Penelitian Fakultas Teknik, Universitas Tarumanegara, 1988), h. 40.
64
Secara fisik, lingkungan rumah Kudus terdiri dari bagian-bagian yang satu sama lain saling berkaitan dan secara keseluruhan berfungsi sebagai tempat hunian. Bagian-bagian tersebut terdiri atas : bangunan rumah induk, bangunan sumur / kamar mandi / WC, halaman atau pekarangan, pintu masuk atau gapura beserta dengan pagar keliling. Khusus bagi pemilik rumah yang memiliki jumlah anggota keluarga cukup banyak dan tidak tertampung dalam rumah induk, biasanya di sebelah samping kanan atau kiri halaman depan diberi tambahan bangunan berupa bilik-bilik kamar. Secara keseluruhan, pada dasarnya bangunan induk rumah Kudus merupakan gabungan dari bentuk dasar empat persegi panjang dan bujur sangkar. Penentuan tersebut didasarkan atas jatuhnya garis atap, dan bila dilihat lebih lanjut bentuk atap tersebut terdiri atas dua bentuk atap, yaitu atap joglo pencu dan kampung. Sementara bangunan tambahan, pada umumnya berbentuk dasar empat persegi panjang dengan berbentuk atap kampung. Kesemua bangunan induk tersebut yang memiliki orientasi menghadap ke arah selatan, dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu bangunan utama dan bangunan pendukung. Bangunan utama memiliki bentuk dasar bujur sangkar beratap pencu dengan tritisan depan dan tritisan belakang lebar. Pusat atap pencu merupakan puncak dari bagian ruang yang dianggap paling sakral atau pribadi. Tritisan depan untuk menaungi ruang yang bersifat publik. Sementara tritisan belakang menaungi daerah pawon atau dapur. Sementara bangunan pendukung merupakan bangunan pawon yang memiliki bentuk dasar empat persegi panjang dengan penutup atapnya berbentuk kampung. Bangunan
65
pendukung tersebut letaknya dapat berada di sebelah kanan atau kiri bangunan utama. Seperti bangunan rumah tradisional di Jawa pada umumnya, secara fisik komposisi vertikal atau tegaknya bangunan induk rumah Kudus terdiri atas tiga bagian pokok. Pertama, bagian bawah berupa lantai yang berjenjang ke atas dari permukaan tanah atau yang disebut dengan berbancik duwur (bancik artinya lantai, duwur artinya tinggi). Kedua, bagian tengah terdiri atas tiang-tiang dan dinding-dinding penyekat ruang beserta dengan panil-panil pintunya. Ketiga, bagian atas yang berupa atap dengan penutupnya berupa genteng tanah liat yang dibakar. Masing-masing kelompok bagian dari komposisi bangunan induk tersebut yang terdiri dari beberapa bagian-bagian menurut fungsinya masing-masing dengan menggunakan teknik konstruksi dan penataan tertentu. Sistem pembagian ruang pada rumah tinggal tradisional Kudus tergolong sederhana, yaitu meliputi jagasatru, senthong dan pawon. 1. Jagasatru Jagasatru berarti menjaga dari serangan ataupun perbuatan jahat yang berasal dari lawan, berfungsi sebagai ruang tamu. Di ruang ini terdapat satu atau dua tiang yang disebut sanggah, letaknya di depan sebelah kanan atau kiri pintu utama (masuk ke senthong). Letak posisi tiang, menurut sebagian masyarakat setempat, menjelaskan status pemilikan rumah. Apabila letaknya di sebelah kanan menunjukkan bahwa yang membangun rumah adalah pihak laki-laki, sedangkan bila letaknya di
66
sebelah kiri berarti dibangun oleh pihak perempuan, dan jika tiangnya ada dua, di sebelah kanan maupun di sebelah kiri berarti rumah dibangun bersama suami istri. Ketentuan letak sanggah di sebelah kanan atau kiri memang masih rancu tetapi keberadaannya bisa diterima akal, yaitu dalam rangka mengantisipasi masalah-masalah yang akan timbul berkaitan dengan pembagian hak waris.71 Pada awalnya jagasatru hanya untuk menerima tamu, terutama tamu laki-laki sedangkan tamu perempuan diterima di pawon. Oleh karena itu, disamping adanya pintu tengah yang menuju ke senthong, di bagian samping kanan atau kiri atau dua-duanya terdapat pintu yang menghubungkan jagasatru dengan pawon. Selain itu, untuk pemilik rumah yang melaksanakan ibadah shalat di ruangan jagasatru, maka disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, sebelah kiri untuk jamaah perempuan dan sebelah kanan untuk jamaah laki-laki.72 Di bagian depan terdapat pintu inep yang dilengkapi dengan kunci gembok dari logam kuningan, sebagai pintu utama masuk ke jagasatru, terletak di tengah, dan di samping kanan dan kirinya terdapat pintu sorong. Pintu yang disebut terakhir ada dua buah, bagian dalam dan luar. Pintu sorong bagian luar pada umumnya lebih pendek yang lebih dikenal dengan pintu kere. Pada kenyataannya, pintu tengah dan pintu inep jarang dibuka, aktifitas sehari-hari mempergunakan pintu sorong dan pintu penghubung jagasatru dan pawon. 71
Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, (Laporan Penelitian Fakultas Tekhnik, Universitas Pancasila, 2000), h. 100. 72 J. Pamudji Suptandar, “Seni ukir dan Ornamen dalam Rumah Adat Kudus”, artikel diakses pada 20 April 2008 dari http://www.gebyokcenter.com
67
Lantai jagasatru terbuat dari ubin tegel dengan pola-pola tertentu dan terkesan bersih, ketinggian peil lantai lebih tinggi dari tanah halaman. Untuk naik ke lantai jagasatru dari halaman dibuatkan trap dengan penyelesaian yang sama dengan lantai jagasatru. Antara jagasatru dengan senthong dan pawon dibatasi oleh gebyok.73 Ornamen yang ada di dalam jagasatru meliputi dua perangkat meja kursi tamu, satu dengan model pendek untuk tamu perempuan, terletak di sebelah kiri atau kanan yang dekat dengan pintu yang menghubungkan ke pawon, dan seperangkat yang lain terletak di seberangnya, untuk tamu laki-laki. Tepat di depan pintu utama yang berada di tengah terdapat ancik-ancik atau pijakan kaki yang terbuat dari kayu berukir, sebab terdapat perbedaan tinggi antara peil lantai jagasatru dan senthong. 2. Senthong Senthong adalah ruang dalam rumah tinggal tradisional Kudus. Di tengah-tengah senthong terdapat empat buah sakaguru yang menjadi pendukung utama struktur dan konstruksi atap. Konstruksi sistem rangka tersebut, dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur rangka makro dan struktur rangka mikro. Struktur rangka makro, adalah susunan rangka balok dan kolom yang secara keseluruhan membentuk ruang tamu, gedhongan dan pawon. Sedangkan struktur rangka mikro, adalah susunan rangka balok dan kolom yang membentuk seluruh ruang yang disebut
73
Gebyok adalah dinding panel kayu yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran, pada salah satu bagiannya terdapat pembatas antara jagasatru dan senthong terdapat jendela kecil yang berjeruji kayu yang dahulu berfungsi untuk melihat bagi perempuan kepada calon suaminya yang sedang bertamu.
68
senthong. Letaknya ada pada ruang gedhongan dan merupakan struktur tersendiri seolah terlepas dari ikatan struktur makro, sehingga dapat dikatakan juga sebagai struktur ruang di dalam ruang. Lantai terbuat dari susunan papan kayu jati atau disebut dengan gladag yang letaknya lebih tinggi dengan peil halaman. Pada bagian tengah hingga ke belakang senthong, kadang-kadang terdapat peninggian peil lantai yang lebih menyerupai amben 74 yang luas tanpa kaki. Di dalam senthong terdapat gedhongan, yaitu sebuah ruangan atau bilik yang letaknya di bagian tengah dan agak mundur ke belakang. 75 Gebyok muka gedhongan juga dipenuhi ukiran dengan berbagai ragam motifnya. Pintunya dilengkapi dengan gembok untuk lebih memperkuat keamanan. Ada kalanya di dalam gedhongan terdapat sebuah kamar rahasia yang ukurannya relatif kecil dan dilengkapi dengan pintu sorong atau geser yang ukurannya juga sangat kecil. Letak pintu tersebut, ada yang berada di bagian belakang dan ada juga yang berada di bagian bawah atau lantai gedhongan. Pada awalnya ruangan ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga yang juga sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan dipakai untuk menyimpan benda pusaka serta harta pemiliknya. Tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam gedhongan. Ruangan ini merangkap juga sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktu-waktu tertentu dijadikan sebagai 74
Amben adalah ruangan yang berada dibelakang senthong yang juga dapat berfungsi sebagai tempat shalat keluarga yang dahulunya berfungsi sebagai tempat tidur bersama bagi anakanak terutama laki-laki. 75 Pada rumah tradisional Jawa bagian selatan, ruang dalam dinamakan griya ageng atau omah jero, sedangkan bilik atau ruang yang berada di griya ageng dinamakan senthong.
69
ruang tidur pengantin bagi anak-anak pemiliknya. Pada saat ini ruangruang tidur tidak lagi di dalam gedhongan namun berada di samping kanan dan kiri gedhongan. Dahulunya, bagi keluarga yang tidak mampu membuat senthong kanan ataupun kiri, orangtua tidur mengambil tempat di salah satu bagian omah jero (bukan di senthong tengah yang sakral) dimana pembatas ruangnya berupa sketsel-sketsel atau aling-aling. Hal tersebut juga berlaku bagi anak gadis yang sudah dewasa. Bagi anak lakilaki, bersama-sama tidur di atas sebuah amben atau bale-bale yang lebar yang ada di salah satu bagian omah jero. Pada rumah tradisional Kudus, di depan gedhongan juga terdapat amben. Di sebelah kiri atau kanan senthong terdapat pintu yang menghubungkan ke pawon. Pintu berukuran agak besar dan pada separuh bagian atasnya didesain seperti jendela, sehingga orang di senthong dan pawon dapat saling berkomunikasi tanpa harus membuka pintunya, tetapi cukup membuka daun jendela di bagian atas pintu. Ornamen yang terdapat di ruangan senthong antara lain dua buah kotak kecil atau botekan di sebelah kanan dan kiri depan gedhongan berfungsi menyimpan alat-alat kecantikan, dan sebuah lagi untuk menyimpan obat-obatan dan jamu. Di depannya terdapat satu atau dua buah meja marmer yang dilengkapi kursi, sebagai meja berhias anak-anak gadis. Menempel gebyok di samping kanan atau kiri terdapat almari untuk menyimpan pakaian dan yang lain untuk menyimpan barang pecah belah. Di sebagian rumah tinggal tradisional Kudus, gebyok senthong bagian belakang atau samping yang
70
tidak berbatasan dengan pawon dibuat melengkung keluar, tidak berdiri lurus sebagaimana layaknya sebuah bangunan, hal ini dimaksudkan agar pemilik rumah banyak rezekinya. 3. Pawon Pawon artinya adalah dapur. Rumah tinggal tradisional Kudus pada umumnya memiliki pawon berukuran besar, sehingga dapat dibagi menjadi dua, yaitu pawon alit (kecil) berfungsi sebagai tempat memasak dan ruang makan dan pawon ageng (besar) berfungsi sebagai ruang keluarga, yang pada awalnya juga untuk menerima tamu perempuan. Pada bagian atas, biasanya juga difungsikan sebagai gudang, tempat menyimpan beras atau lumbung padi dan tanaman ladang. Letak pawon dapat berada di kanan atau di kiri, berhimpit dengan bangunan rumah inti dengan struktur dan konstruksi atap yang berbeda, pada umumnya berbentuk atap kampung atau ada juga yang disebut bentuk kampung gajah ngombe. Pada kenyataannya, anggota keluarga Kudus Kulon melakukan aktifitas seharihari sebagian besar di pawon. Selain adanya pintu yang menghubungkan dengan jagasatru dan senthong, di bagian depan pawon juga terdapat sebuah pintu yang fungsinya untuk aktifitas keluar masuk. Bahan lantainya terbuat dari tanah liat yang sudah dicetak dan dibakar (batu bata) atau hanya berupa tanah saja, namun semakin berkembangnya waktu dan perubahan pandangan dari pemilik rumah, bahan lantai sudah berganti dengan ubin tegel atau keramik. Ketinggian lantai pawon lebih rendah dari lantai jagasatru atau minimal setara.
71
Bangunan sumur / kamar mandi / WC, tidak seperti pada rumah tradisional di Jawa pada umumnya, fasilitas bangunan kamar mandi atau pakiwan, rumah adat Kudus memiliki bentuk dan penempatan tersendiri berupa bangunan tembok dengan atap pada kamar mandi berbentuk atap kampung atau panggang pe. Dahulu, kamar mandi hanya dibatasi oleh dinding-dinding setinggi sedikit di atas orang dewasa, dengan sebuah pintu di sebelah timur, tanpa penutup atap. Jika ada orang yang mempergunakan kamar mandi, maka dia menaruh kainnya di atas tembok sebagai “pemberitahuan” bahwa kamar mandi sedang dipakai. Bangunan pakiwan atau yang biasa disebut sebagai bangunan kamar mandi adalah sebagai simbol agar manusia membersihkan diri baik fisik maupun rohani. Tanaman di sekeliling pakiwan, misalnya : pohon belimbing yang melambangkan 5 rukun Islam, pandan wangi sebagai simbol rejeki yang harum / halal dan baik, bunga melati yang melambangkan keharuman, perilaku baik dan berbudi luhur, serta kesucian abadi. Fasilitas halaman atau pekarangan yang ada merupakan ruang terbuka yang ditanami dengan berbagai tanaman hiasan dan tanaman produktif buahbuahan berupa mangga ataupun jambu. Bentuk dasar halaman pada umumnya memiliki bentuk empat persegi panjang. Fasilitas lain yang berkenaan dengan segi keamanan adalah pagar keliling rumah yang terbuat dari bangunan tembok yang dilengkapi dengan pintu masuk halaman baik dari arah muka ataupun dari samping rumah. Pintu masuk ke pekarangan rumah agak kecil dan pada umumnya tidak tembus
72
pandang, tetapi ada juga yang bagian atasnya tembus pandang berjeruji besi. Di bagian atas atau samping pintu luar disediakan bel untuk menyatakan permisi masuk atau kulonuwun kepada pemilik rumah.
C. Komponen Pendukung Bangunan Pada Setiap Bagian Rumah Rumah
adat
Kudus
memiliki
keunikan
tersendiri
dalam
pembangunannya, karena didasarkan atas dasar-dasar filosofis dan misinya dalam setiap bagian ruangan. Para pemilik bangunan rumah Kudus memiliki maksud agar keturunannya dapat memahami dan mau menjalankan apa yang terkandung dalam setiap unsur-unsur simbolik yang terwujud pada setiap komponen pendukung bangunan rumah adat tradisional Kudus. 1. Lantai Salah satu ciri khas rumah Kudus adalah rumah berbancik duwur atau berlantai tinggi. Peletakan lantai ruangan di dalam rumah disusun secara hirarki ke dalam lima jenjang. Jenjang bagian pertama hingga ketiga berupa undak-undakan lantai pada teras depan rumah. Jenjang keempat adalah letak lantai pada ruang jagasatru dan ruangan pawon. Jenjang terakhir yang paling tinggi adalah lantai ruang gedhongan yang merupakan jenjang kelima dan yang terakhir. Bagi warga masyarakat pemilik rumah yang bersangkutan kelima jenjang tersebut merupakan simbol dari Rukun Islam. Secara umum, kelima jenjang lantai tersebut mengandung pesan bahwa penghuni rumah harus berdiri kokoh di atas
73
dasar lima hal tersebut jika ingin memperoleh predikat sebagai orang yang bertaqwa. 2. Langit-Langit / Ceiling Pada umumnya rumah tradisional di jawa tidak mempunyai langit langit, sehingga rusuk atap dan genteng tampak nyata seutuhnya. Ruang tanpa ceiling memiliki segi positif dan negatif. Positif, karena tanpa ceiling menjadikan aliran udara lebih cepat dan ruangan tidak terasa panas. Negatif, karena tanpa ceiling, kotoran dari atap bisa langsung jatuh kedalam ruangan. 3. Dinding Keistemewaan rumah tradisional dikudus terlihat pada dindingnya yang dipenuhi ornamen berupa ukir ukiran dalam berbagai motif, bagian dinding depan terbuat dari kayu jati dan pada dinding bagian belakang rumah sengaja dibuat seolah olah mengelembung. Secara simbolik pengelembungan dinding menggambarkan kemakmuran, seperti halnya simbol perut buncit yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan. 4. Pintu Pintu rumah sebanyak 4 lembar yaitu pintu depan, pintu tengah,pintu menuju ke ruang dapur dan pintu menuju ke kamar mandi. Pintu utama dibagian depan terdiri dari 2 lapis yaitu pintu sorong dan pintu utama. Pintu yang di tengah berdaun pintu dua dilengkapi dengan kunci gembok di bagian dalam, pintu ini jarang dibuka, disebut pula pintu inep. Pintu di sebelah kanan dan kiri pintu inep ditutup dengan perantaraan
74
pintu sorong, yaitu di sebelah luar disebut pintu kere dan di sebelah dalam berupa pintu berpanil. Berarti ada 4 buah pintu sorong di rumah inti. 5. Jendela Jendela hanya pada gedongan, berfungsi sebagai sarana untuk sistem pencahayaan dan sistem pengudaraan, selain itu juga memiliki nilai kultural, khususnya anak perempuan yang sedang menginjak usia remaja dilarang keluar rumah dan apabila ada tamu yang bertandang untuk meminang, maka anak perempuan dilarang keluar dari kamar dan satusatunya kesempatan bagi si wanita untuk melihat keluar atau mengintip calon kekasih dilakukan lewat jendela tersebut. 6. Tiang Ciri khas lainnya dari rumah tradisional Kudus adalah tiang tunggal atau soko geder yang berada di ruang jagasatru, yang terletak di depan pintu masuk yang berada di tengah-tengah ruangan. Tiang tersebut disebut juga dengan tiang keseimbangan. Pada ruang dalam yaitu di ruang gedhongan terdapat empat tiang utama yang disebut saka guru. Keempat tiang ini melambangkan empat hakikat kesempurnaan hidup dan dimaksudkan sebagai simbol empat nafsu yang senantiasa menyertai diri manusia, yaitu nafsu luamah, yaitu kehendak yang mengajak kepada keserakahan atau ketamakan, nafsu amarah, yaitu nafsu lekas marah atau kehendak yang suka mengajak kepada perbuatan yang menyimpang dari peraturan, nafsu supiah, yaitu nafsu birahi, nafsu mutmainah, yaitu nafsu yang tenang dan suka
75
mengajak kepada perbuatan yang baik yaitu kemurnian dan kejujuran.76 Keempat nafsu tersebut, bagi masyarakat Jawa dapat juga diartikan sebagai tingkatan-tingkatan yang harus dilalui untuk menyatu dengan Tuhan.77 •
Luamah atau Syariat (sembah raga)
•
Amarah atau Tarikat (sembah kalbu)
•
Supiah atau Hakekat (sembah jiwa)
•
Mutmainah atau Makrifat (sembah rasa)
Keempat saka guru tersebut juga ditafsirkan sebagai hakikat dari sifat nafsiyah, salbiyah, mangani, dan maknawiyah. Dengan menghadirkan keempat saka guru tersebut sebagai simbol empat nafsu tersebut, para pemilik rumah ingin agar penghuni rumah selalu mengingat akan pentingnya mengendalikan keempat nafsu yang menyertai dirinya. Kemudian, di atas keempat tiang saka guru tersebut, terdapat sejumlah susunan balok yang dinamakan tumpang sari sebagai pengerat yang jumlah susunan baloknya selalu ganjil dan jumlah yang dimaksud selalu membawa makna dan juga bervariasi, yaitu tiga, lima, tujuh, dan sembilan susunan. Balok tumpang sari yang berjumlah tiga, dimaksudkan untuk mengingatkan kehidupan manusia di tiga alam, yaitu alam arwah, fana, dan akhirat.
76
Soesilo, Sekilas Tentang Ajaran Kejawen Sebagai Pedoman Hidup (Surabaya : Medayu Agung, 2000), h. 107. 77 Soesilo, Sekilas Tentang Ajaran Kejawen Sebagai Pedoman Hidup, h. 196.
76
Untuk balok tumpang sari yang berjumlah lima, dimaksudkan sebagai simbol jumlah kewajiban dan waktu shalat wajib lima kali sehari semalam, yaitu Shubuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Pesan yang terkandung dalam simbol ini adalah untuk mengingatkan kepada seluruh anggota keluarga agar tidak melupakan kewajiban shalatnya yang sangat penting sesuai dengan waktu-waktu yang telah ditentukan tersebut. Kemudian balok tumpang sari yang berjumlah tujuh, dimaksudkan sebagai simbol gambaran alam semesta atau langit yang terdiri dari tujuh lapisan. Simbol ini mengandung makna sebagai sarana untuk mengingat akan kebesaran Allah sebagai penguasa dan pencipta, dan menyadarkan manusia betapa kecil dirinya di hadapan Allah. Dengan simbol ini, diharapkan agar seluruh penghuni rumah tidak menyombongkan diri dengan status dan kedudukan yang dimilikinya, serta senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah. Dan yang terakhir, balok tumpang sari yang berjumlah sembilan, dimaksudkan sebagai simbol Walisanga (termasuk juga Sunan Kudus). Mengingat Walisanga berarti pula mengingat Sunan Kudus berikut ajaranajarannya yang pernah disampaikan semasa perjuangannya di kota Kudus. Wali Sanga semuanya bergelar Sunan, suatu singkatan dari Susuhunan, artinya yang dijunjung tinggi. Nama-nama Walisanga : Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik); Raden Rahmat (Sunan Ampel); Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang); Syarifudin (Sunan Drajat); Raden Paku (Sunan Giri); Raden Umar Said (Sunan Muria); Joko Said (Sunan kalijaga); Jaffar Sidiq
77
(Sunan Kudus); Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).78 Akan tetapi, menurut Kitab Walisana karya Sunan Giri II (Anak Sunan Giri), jumlah mereka bukan sembilan orang, tapi delapan orang. Nama Walisana yang menjadi nama judul kitab tersebut tidak mengacu bilangan sembilan. Dikatakan juga, selain delapan wali tersebut terdapat ribuan wali lainnya. Walisanga ditulis dalam Serat Walisanga karya pujangga Mataram R. M. Ng Ranggawarsita pada abad 19 sebagai walisanga, wali sembilan. Sebagian berpendapat, kata sanga (baca: songo) merupakan perubahan dari kata tsana (mulia, Arab). Maka, walisana berarti wali-wali mulia atau terpuji. Yang lainnya melihat kata sana diambil dari bahasa Jawa kuno yang berarti tempat. Karenanya, walisana berarti wali atau kepala suatu tempat atau daerah. Namun kebanyakan pakar sepakat, bahwa Walisanga merupakan kumpulan ulama dengan dakwah yang bertujuan menegakkan agama Allah. 79 Kembali ke tumpang sari yang berjumlah sembilan, karena tumpang sari ini membentuk segi empat dengan masing-masing sisi memiliki susunan balok sembilan buah, maka jika balok pada sisi kanan dan kiri serta juga sisi muka dan belakang dijajarkan masing-masing akan membentuk angka yang berjajar sama pula, yaitu sembilan puluh sembilan. Angka 99 inilah yang oleh masyarakat pemilik rumah yang bersangkutan dimaksudkan sebagai simbol Asmaul Husna yaitu nama78
Bindy, “Proses masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://bindyandthedamn.blogspot.com/2008/02/proses-masuk-danberkembangnya-islam-di.html 79 “Sejarah Islam Nusantara”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://swaramuslim.net/galery/islam-indonesia/index.php?page=sabili-1c-risalah_islam_indonesia
78
nama dan sifat-sifat Allah yang berjumlah 99. Dengan mengingat akan nama-nama dan sifat-sifat suci Allah tersebut, seluruh penghuni rumah berharap senantiasa mendapat perlindungan dan keselamatan dari Allah. Karena mereka percaya apabila menyebut dan mengingatnya di luar kepala, akan dimasukkan ke dalam surga Allah SWT.
D. Ragam Hias Seni ornamen ukiran yang terdapat pada unsur-unsur bangunan merupakan unsur-unsur simbolik yang penting dan tidak terpisahkan dari keseluruhan tata ruang rumah Kudus. Secara umum, aneka ornamen ukiran yang menjadi unsur-unsur simbolik dalam tata ruang itu terwujud dalam bentuk pola hias : geometrik, tumbuh-tumbuhan, kedok, binatang, mahkota dan arabesk.80 Unsur-unsur simbolik dalam ornamen ukiran yang berpola hias geometrik, pertama, adalah motif swastika atau banji. Ukiran dengan motif ini, terdapat pada pintu sorong dan lis atau balok dasar pada dinding ruang jogosatru, kedua, simbol berikutnya dari ornamen ukiran yang berpola hias geometrik adalah motif hias sorot (antefik atau tumpal). Pola hias sorot itu, tersusun atas tiga pengulangan bentuk yang sama dari bawah ke atas dalam suatu bidang kayu segi empat yang ditempatkan pada bagian bawah tiangtiang dinding ruang jogosatru, ketiga, pola hias geometrik dalam suatu bidang kayu segi empat dengan motif dasar wajikan yang di dalamnya terisi oleh 80
Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 266.
79
unsur patran (abstraksi daun waru). Ornamen ukiran ini terwujud dalam enam susunan memusat dengan abstraksi bentuk bunga sebagai pusatnya. Ukiran dengan motif ini, terdapat pada tiang-tiang dinding ruang jogosatru, keempat, motif masjid, berbentuk segiempat dikombinasikan dengan bentuk mendekati setengah lingkaran diatasnya, seperti bentuk pintu atau jendela masjid. Pola seperti ini terdapat pada gebyok bagian depan, di kanan dan kiri pintu, terakhir, pola hias geometrik tetesing embun yang memenuhi bidang balokbalok tumpang sari dalam aneka perwujudan bentuk (tumpal, meander, pilin). menjadi salah satu simbol dalam tata ruang rumah Kudus adalah ukiran pada tumpang sari di ruang gedongan. Hiasan ukiran tersebut terdapat pada tumpang sari di ruang gedongan. Unsur-unsur simbolik dalam seni ornamen dengan pola hias tumbuhtumbuhan, pertama, motif hias abstraksi daun pisang. Terdapat pada balok dasar dinding ruang jogosatru yang mengelilingi dasar dinding ruang, kedua, motif hias buah nanas. Hiasan ini umumnya menggantung di bawah dodo peksi atau pertengahan balok blandar ruang jogosatru (di depan pintu masuk ruang gedongan), ketiga, motif bunga telasih, yang kadang berdiri sendiri atau adakalanya dipadu dengan pola hias tumbuh-tumbuhan menjalar. Motif hias bunga yang tersebar hampir di semua panel-panel dinding, tiang, atau balok pada ruang jogosatru, pawon, dan gedongan, bahkan juga pada genteng atap atau wuwungan, keempat, motif kelopak daun yang bentuknya seperti jari-jari manusia. Hiasan ini terdapat pada bagian paling atas tiang di ruang jogosatru.
80
Unsur-unsur simbolik dalam seni ornamen dengan pola hias kedok atau motif wajah, perwujudan hiasan itu terwujud dalam abstraksi bentuk wajah (motif kala pada candi) dengan mata yang terbuka lebar sebagai tanda selalu waspada mengamati atau berjaga-jaga. Secara sepintas memang tidak terlihat menggambarkan abstraksi sebuah wajah atau kedok. Hiasan itu terukir pada panel-panel dinding ruang jogosatru. Unsur-unsur simbolik dalam seni ornamen dengan pola hias binatang, pertama, adalah ukiran ular naga (liong) yang disamar dalam rangkaian tumbuh-tumbuhan menjalar. Karena tersamar, secara sepintas hiasan ini memang tidak memperlihatkan motif ular naga. Ukiran tersebut terdapat pada undak di ruang jogosatru tepat di muka pintu masuk ruang gedongan, kedua, motif burung phoenix atau sebagian orang menyebutnya burung hong. Hiasan ini terukir pada ambang tengah pintu sorong kere. Unsur-unsur simbolik dalam seni ornamen dengan pola hias mahkota, biasa berpadu dengan ukiran sulur-suluran. Umumnya terdapat pada gembel atau pelipit antar tiang dinding atau tebeng (ventilasi) pembatas ruang jogosatru dan ruang gedongan. Sementara itu, unsur-unsur simbolik dalam seni ornamen dengan pola hias arabesk, berupa motif jalinan tali. Motif arabesk ini terwujud dari abstraksi bentuk-bentuk tanaman menjalar, geometrik, atau kaligrafi dalam suatu rangkaian jalinan yang ritmis, saling menyambung tanpa henti. Hiasan dengan motif ukiran ini dapat dilihat pada tiang-tiang dinding pembatas ruang jogosatru dan gedongan serta tiang-tiang dinding pada sentong utama.
81
E. Tinjauan Unsur-Unsur Budaya Islam Yang utama dalam pembahasan ini adalah proses “SINKRETISME” ataupun “EKLEKTISME“, suatu proses sintesa kreatif antara lama dan baru, mengacu perubahan fisik maupun nonfisik. Kombinasi beberapa elemen lama dan baru tersebut menciptakan suatu proses bertahap yang akan mampu membantu masyarakat memperoleh pengalaman perubahan yang bertahap, berlapis lapis dan lancar. Tampilan konfigurasi Budaya aseli, Hindu/Budha dan Islam terlihat buahnya pada Arsitektur Jawa. Semua kebudayaan tersebut bersinkretik dengan kebudayaan lama, sehingga corak kebudayaan Jawa asli masih terlihat. Kebudayaan asli, Hindu Jawa, dan Islam, ketiganya dengan apik mengalami sinkretisasi yang ditampilkan dalam bentuk ornamenornamen. Dan pada akhirnya unsur Islam mendominasi, terutama dari segi filosofis dan makna dari setiap bagian fisik rumah. Berikut beberapa makna filosofis yang mendapat pengaruh dari Islam yang terdapat pada bagian bangunan rumah tradisional Kudus : 1. Lantai, terdapat lima jenjang tingkatan lantai, bagi warga masyarakat pemilik rumah yang bersangkutan, lima jenjang tersebut merupakan simbol dari Rukun Islam yang terdiri dari lima hal, yaitu : membaca dua kalimat syahadat, melaksanakan ibadah shalat, berpuasa di bulan Ramadhan, memberikan zakat, dan melaksanakan ibadah haji ke kota suci Mekkah bagi yang mampu. Secara berurutan, jenjang lantai pertama digambarkan sebagai Rukun Islam yang pertama, yaitu membaca dua kalimat syahadat. Mengucapkan syahadat, yaitu pengakuan secara lisan
82
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Sebagai Rukun Islam yang pertama merupakan landasan pokok keabsahan seorang muslim. Lantai kedua digambarkan sebagai Rukun Islam yang kedua, yaitu melaksanakan ibadah shalat. Ibadah shalat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim yang telah terkena beban hukum syara’ (mukallaf). Istilah ‘shalat’ dalam arti bahasa bermakna do’a atau pujian. Shalat menurut fuqaha diartikan sebagai ibadah yang terdiri perbuatan atau gerakan dan perkataan atau ucapan tertentu, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.81 Lima kali dalam satu hari satu malam seseorang dilatih untuk itu. Pada akhirnya perasaan akan kehadiran Allah bersamanya itu akan mendarah daging, menjadi sikap mental yang tidak bisa terpisahkan dari dirinya.82 Lantai ketiga digambarkan sebagai Rukun Islam yang ketiga, yaitu berpuasa di bulan Ramadhan. Ibadah ‘shiyam’ atau puasa menurut arti bahasa bermakna menahan diri dari sesuatu dan meninggalkan sesuatu yang berarti menahan. Menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan shiyam adalah menahan diri dari makan, minum dan bersenang-senang dengan istri, mulai dari fajar hingga maghrib, karena mengharap akan ridho Allah dan menyiapkan diri untuk bertaqwa kepada-Nya, dengan jalan memperhatikan Allah dan dengan mendidik bermacam kehendak. Lantai keempat digambarkan sebagai Rukun Islam yang keempat, yaitu
81
Musthafa Kamal Pasha, dkk, Fikih Islam (Yogyakarta : Citra Karsa Mandiri, 2002), h.
36. 82
Hembing Wijayakusuma, Hikmah Shalat Untuk Pengobatan dan Kesehatan (Jakarta : Pustaka Kartini, 1997), h. 116.
83
memberikan zakat. Ditinjau dari arti bahasa atau etimologi zakat yang berasal dari kata ‘zakka’ bermakna mensucikan, membersihkan atau berkembang. Menurut istilah syara’, zakat adalah kadar harta yang tertentu, diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan beberapa syarat, semata-mata mencari ridho Allah. Zakat tidak gugur dari seorang muslim selama diwajibkan dalam hartanya. Zakat diwajibkan atas seorang muslim yang memiliki satu nishab, sebagai kelebihan dari hutang-hutang dan kebutuhannya, dan sebaliknya zakat tidak diwajibkan terhadap non muslim.83 Jenjang lantai yang terakhir digambarkan sebagai Rukun Islam yang kelima, yaitu melaksanakan ibadah haji ke kota suci Mekkah bagi yang mampu. Asal mula arti haji menurut bahasa atau etimologi adalah ‘al-qashdu’ atau menyengaja. Sedangkan arti haji menurut istilah atau terminologi berarti bersengaja mendatangi baitullah (Ka’bah) untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan tata cara yang tertentu dan dilaksanakan pada waktu yang tertentu pula, menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’, semata-mata mencari ridho Allah. Ibadah haji yang ditetapkan sebagai kewajiban atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syaratnya adalah salah satu dari rangkaian rukun Islam, yang ditetapkan pada tahun keenam Hijrah. Kewajiban melakukan ibadah ini bagi setiap muslim hanya berlaku sekali saja sepanjang hidupnya. Dan apabila ada yang berkehendak melakukannya untuk kedua atau lebih
83
Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif-Perspektif Islam. Penerjemah M. Maghfur Wachid (Surabaya : Risalah Gusti, 1999), h. 256.
84
banyak lagi maka ibadah tersebut hanya bernilai ibadah sunnah, bukan bernilai wajib lagi. 2. Jendela, memiliki nilai kultural, yaitu anak perempuan yang sedang menginjak usia remaja menurut adat yang ditiru dari budaya Arab, dilarang keluar rumah dan apabila ada tamu yang bertandang untuk meminang, maka anak perempuan dilarang keluar dari kamar dan satu satunya kesempatan bagi si wanita untuk melihat keluar atau mengintip calon kekasih dilakukan lewat jendela. Demikian salah satu pertimbangan dalam penentuan ukuran dan bentuk jendela karena budaya yang berlaku di masayarakat saat itu. Wanita harus berada dirumah dan dilarang keluar ketengah masyarakat sebelum menikah. 3. Tiang Soko Geder, tiang tersebut disebut juga dengan tiang keseimbangan dan memiliki makna sebagai sarana untuk mengingatkan semua penghuni rumah agar senantiasa tetap meyakini bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa yaitu hanya satu yang wajib disembah. Konsep keyakinan tersebut menjadi prinsip dasar atau umum dalam setiap kehidupan (ucapan, sikap, gerak dan tindakan) para pemilik rumah. Bagi warga masyarakat pemilik rumah tersebut, tiang tunggal di ruang jagasatru, diasosiasikan sebagai huruf Arab, yaitu tulisan alif, yang merupakan huruf awal dalam tulisan bahasa Arab.84 Soko geder di ruang jagasatru, juga dimaksudkan sebagai simbol pegangan hidup orang Islam. Tiang tunggal
84
Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 261.
85
tersebut, dengan demikian, bukan sekedar unsur bangunan yang bersifat konstruktif, melainkan lebih dari itu, yaitu sebagai simbol aqidah tauhid. Ornamen berupa ragam hias ukiran kayu pada rumah tinggal tradisional Kudus memiliki motif-motif ukiran yang bersumber dari kebudayaan Jawa asli. Secara keseluruhan, bentuk ukiran-ukiran pada bidangbidang kayu dimana telah memunculkan discontinuity dari motif-motif ukiran yang terjadi, yang berupa kompartemen-kompartemen yang motif ragam hiasnya tidak saling menerus satu sama lain, ada dugaan kuat bahwa pengaruh kebudayaan Islam sangat dominan. Dalam satu kompartemen tidak boleh ada ruang tersisa, karena hal tersebut termasuk salah satu pemborosan, atau ada pemahaman bahwa dalam satu kompartemen harus dipenuhi agar setan tidak mempunyai tempat lagi.85 Beberapa bagian unsur bangunan yang di dalamnya terdapat unsur estetik dengan motif hiasan ukiran yang berasal dari kebudayaan Islam, antara lain, motif arabesk, motif masjid, dan motif binatang berupa burung phoenix atau hong. Secara terinci akan dikemukakan dalam penjelasan berikut. Dimulai dari motif arabesk, yang terdapat dilihat pada tiang-tiang dinding pembatas ruang jogosatru dan gedongan serta tiang-tiang dinding pada sentong utama. Dengan motif jalinan tali terwujud dari abstraksi bentukbentuk tanaman menjalar, geometrik, atau kaligrafi dalam suatu rangkaian jalinan yang ritmis, saling menyambung tanpa henti yang berada pada bidang berbentuk segienam panjang. Motif arabesk dalam bidang segienam panjang, 85
Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, (Laporan Penelitian Fakultas Tekhnik, Universitas Pancasila, 2000), h. 131.
86
susunan garis tidak berawal dan tidak berakhir. Arabesk, yakni motif perhiasan yang terdiri dari dari garis-garis, lajur-lajur, daun-daun, bungabunga. Arabesk mencakup dua bentuk pokok, yaitu stilisasi tumbuhan, dan pola geometris. Ia bukan merupakan bentuk tiruan naturalis, tetapi karena pandangan tauhid yang dipegang oleh kaum muslim arabesk merupakan ornamen dalam bentuk flora dan geometris yang abstrak non-figuratif,86 yang memberi kesan ketakterhinggaan dan ketakterbatasan (infinit). Melalui kontemplasi pola infinit ini, jiwa pengamat akan diarahkan kepada transendensi Tuhan. corak abstrak sebagai “ornamen arabesk” yang terdiri dari corak geometris dan corak “stilasi” dari tumbuh-tumbuhan dan bungabungaan. Hal ini adalah jalan keluar dimana adanya larangan dalam ajaran Islam untuk tidak boleh menampilkan gambar-gambar atau lukisan sebagai hiasan dengan motif manusia, binatang atau makhluk bernyawa lainnya secara realistis.87 Ajaran Islam tentang tauhid, yang tidak memberi peluang penggambaran Tuhan
dalam wujud
seperti manusia,
pemberhalaan terhadap obyek-obyek seperti arca
dan
larangan
yang digambarkan
menyerupai manusia atau manusia setengah hewan seperti dalam agama Hindu, Mesir Kuna dan Pagan Romawi, juga membuat motif geometri, arabesk dan kaligrafi berkembang pesat. Pengaruh estetika Peripatetik ini terus berlanjut hingga kini, dan telah mendorong pesatnya perkembangan motif
86
Dalam seni helenistik yang menganut naturalisme dan antropomorfisme, kedua pola arabesk digunakan sebagai hiasan tambahan sederhana untuk patung atau gambar naturalis. Elya Munfarida, ”Formulasi Konsep Estetika Seni Islam dalam Perspektif Ismail Raji al-Faruqi”, Jurnal Studi Islam dan Budaya, vol. 3, no. 2 (Juli-Desember 2005), h. 5. 87 Zulfikri, ”Ruang Dalam dan Ornamen”, artikel diakses pada 30 April 2009 dari http://zulfikri.wordpress.com/2008/11/07/konsep-dasar-arsitektur-masjid/
87
geometris, arabesk dan kaligrafi (khat) hingga masa yang paling akhir.88 Filosof
Peripatetik
memandang
ilmu
sebagai
sesuatu
yang
harus
mencerminkan keteraturan dan adanya sistematika dalam dirinya. Demikian pula pandangan mereka tentang seni. Seni kaligrafi, arabesk dan geometris memperlihatkan prinsip-prinsip yang dicita-citakan para filosof Peripatetik. Tiga bentuk seni visual ini tidak memberi peluang adanya fokus yang harus dijadikan tumpuan perhatian seperti penggambaran Dewa dalam bentuk arca seperti di candi-candi Hindu dan Buddha. Rangkaian arabesk yang ritmis dan diulang-ulang bentuknya, seperti juga rangkaian ayat al-Qur’an pada sebuah lukisan kaligrafi, dimaksudkan untuk membawa jiwa penikmatnya pergi meninggalkan alam rupa menuju alam arupa (transenden). Dengan demikian kehadiran Tuhan yang tak terlukiskan itu dapat dirasakan. Kemudian motif masjid, terdapat dalam ruang tamu atau jogosatru, terutama pada bagian gebyok. Gebyok bagian depan dan tengah pada rumah tinggal
tradisional
Kudus
berupa
panil-panil
dalam
kompartemen-
kompartemen dengan bentuk segiempat panjang (posisi berdiri) ditambahkan dengan garis-garis lengkung mendekati setengah lingkaran di atasnya seperti bentuk pintu dan jendela masjid (bidang dalam polos, tidak berukir), dengan segala variasinya seperti halnya elemen lengkungan pada bangunan dinding atau kubah masjid gaya Arab. Yang terakhir motif binatang berupa burung phoenix atau hong, yang terdapat pada ambang tengah pintu sorong kere. Motif burung hong menurut 88
Ahmad Samantho, “Seni, Falsafah dan Agama”, artikel diakses pada 30 April 2009 dari http://ahmadsamantho.wordpress.com/2008/08/09/islam-tradisi-estetik-dan-sastranya/
88
cerita setempat adalah pengaruh dari kebudayaan Cina. Burung Hong adalah mahluk mitologi yang melambangkan ketulusan hati, keadilan, kesetiaan, dan perikemanusiaan. Menurut kepercayaan Cina, kemunculannya hanya apabila negara dalam kondisi makmur sentosa dan diperintah oleh raja yang adil. Merupakan mahluk dewata, gabungan dari berbagai burung antara lain ayam (jengger), burung layang-layang (paruh), merak (ekor). Ornamen ini banyak dijumpai di kelenteng, antara lain pada bagian bubungan atap.89 Phoenix (Phoenix) dalam mitologi Mesir adalah burung legendaris yang keramat. Burung Api ini digambarkan memiliki bulu yang sangat indah berwarna merah dan keemasan. Phoenix dikatakan dapat hidup selama 500 atau 1461 tahun. Setelah hidup selama itu, Phoenix membakar dirinya sendiri. Setelah itu, dari abunya, munculah burung Phoenix muda. Phoenix merupakan simbol dari keabadian, lambang dari siklus kehidupan setelah mati, dan simbol dari kebangkitan tubuh setelah mati. Phoenix menjadi simbol suci pemujaan terhadap Dewa matahari di Heliopolis, Mesir. Burung Phoenix simbol dari "Dewa Matahari - Ra".90 Tetapi hiasan-hiasan dengan motif burung sebenarnya juga sudah ada dalam kebudayaan Islam, terutama Islam Timur Tengah, dijelaskan bahwa kebudayaan ragam hias dengan motif binatang berupa burung phoenix berasal dari Persia (Iran), bahkan pada zaman kebudayaan Hindu Jawa, bentuk motif burung juga sudah ada.
89
“Ornamen Burung Hong”, artikel diakses pada 30 April 2009 http://purbakala.jawatengah.go.id/detail_berita.php?act=view&idku=9 90 “Ornamen Burung Phoenix”, artikel diakses pada 30 April 2009 http://www.wikipedia.org
dari dari
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang diambil adalah sebagai berikut : Sebelum masuknya Islam di Kudus atau pada masa-masa awal kehadiran Sunan Kudus, terutama abad ke-15 dan 16 M, rumah tinggal masyarakat Kudus masih sederhana, yaitu berbentuk kampung, dan hal tersebut juga terbukti karena diseluruh tanah Jawa pada masa tersebut menggunakan rumah tersebut. Karena pada masa-masa tersebut belum bermunculan para pedagang maupun saudagar dikarenakan mata pencaharian masyarakat Kudus adalah bertani dan berladang, dan kondisinya tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di pulau Jawa. Hal tersebut juga diperkuat dengan penggunaan atap dapur pada rumah Kudus saat ini yang berbentuk kampung yang merujuk kepada awal mula bentuk rumah penduduk Jawa pada umumnya. Dan hal ini bisa jadi mengindikasikan bahwa dahulunya bentuk atap kampung telah menjadi umum di lingkungan masyarakat Kudus Kuno. Pada perkembangan selanjutnya, perkembangan rumah tradisional Kudus mengalami transformasi ke bentuk atap joglo meskipun bentuk-bentuk atap kampung masih diterapkan, terutama untuk bagian dapur. Seiring dengan kehadiran Sunan Kudus dan Kyai Telingsing turut membantu masuknya kebudayaan Islam dan Cina, semakin memperkaya ragam budaya yang
89
90
tertuang dalam ukiran, yang kemudian ukiran tersebut ditiru dan diterapkan pada rumah tinggal masyarakat setempat di daerah Kauman di sekitar masjid Menara Kudus. Dari sebuah sumber lisan, diperoleh informasi bahwa perkembangan rumah Kudus mengalami puncak kejayaan di sekitar abad ke17 dan ke-18 M. Rumah adat Kudus asli pada awalnya hanya terdapat di Kudus Kulon di sekeliling masjid Menara Kudus. Dan seperti yang dilihat sekarang rumah Kudus yang dibahas dalam skripsi ini dapat dikelompokkan ke dalam rumah bentuk gabungan joglo pencu dan kampung, oleh masyarakat setempat diistilahkan dengan sebutan omah adat pencu. Bentuk rumah Kudus ini termasuk dalam kategori rumah joglo kepuhan limolasan dan rumah kampung gajah ngombe. Kehadiran seni ornamen ukiran yang ikut menjadi bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan tata ruang rumah Kudus, meskipun pemberian makna terhadapnya dipedomani oleh sistem kepercayaan dan sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama Islam, maka sebagian besar dari perwujudan bentuk yang tampil tampak menyerap, mengakomodasi, atau mengadaptasi unsur-unsur kesenian yang telah ada sebelumnya. Beberapa kebudayaan Islam yang sangat mencolok dalam rumah Kudus adalah pola ukiran discontinuity dari motif-motif ukiran yang terjadi, yang berupa kompartemen-kompartemen yang motif ragam hiasnya tidak saling menerus satu sama lain, dan satu lagi adalah motif masjid.
91
B. Saran-saran 1. Saran untuk penelitian lain Mengingat masih minimnya data untuk penelitian mengenai rumah tradisional Kudus, terutama ketika masa Hindu / Buddha di Jawa, maka penting untuk dilakukan berbagai penelitian eksploratif terhadap : a. Sejarah dan proses perkembangan rumah tradisional Kudus berikut inventarisasi artefak peninggalannya. b. Gambaran menyeluruh kehidupan masyarakat Kudus, baik sebagai individu maupun kelompok komunal. Kajian ini dapat berupa penelusuran tata kehidupan masyarakat Kudus di masa yang lalu dan saat ini sehingga dapat dilihat kecenderungannya di masa yang akan datang. c. Berbagai aspek yang berkaitan dengan rumah tradisional Kudus, dengan studi kasus rumah tinggal tradisional yang masih tersisa di Kabupaten Kudus dan sekitarnya melalui berbagai sudut pandang, seperti sosiologi, psikologi atau antropologi. Kajian tersebut dapat menyangkut spasialarsitektural maupun perubahan dan perkembangan. 2. Saran untuk masyarakat setempat Rumah tradisional Kudus yang memiliki kekhasan tersendiri, merupakan salah satu khasanah budaya bangsa yang patut dibanggakan, dihargai dan dilestarikan. Berangkat dari hal itu, maka sudah seyogyanya masyarakat Kudus pada umumnya dan di Kabupaten Kudus terutama di sekitar masjid Menara Kudus merasa bangga memiliki rumah tradisional tersebut.
Sikap
bangga
tersebut
hendaknya
ditunjukkan
dengan
92
menghargai rumah tersebut dengan berusaha mempertahankan dan melestarikannya sebagai warisan dari generasi ke generasi. 3. Saran untuk instansi berwenang (Pemda) Upaya pembangunan kompleks Museum Kretek Kudus yang telah dilaksanakan pada prinsipnya merupakan langkah yang tepat, begitupula pemberian bantuan pelestarian beberapa rumah tradisional Kudus. Akan lebih tepat lagi, apabila upaya konservasi tidak hanya cukup dengan melestarikan bangunan rumah saja, tetapi juga perlu mempertimbangkan upaya pelestarian kawasan (rumah dan komunitasnya) di desa-desa yang terletak di sekitar Masjid Menara Kudus. Hasil penelitian dapat dijadikan acuan penyusunan design guideline untuk perencanaan dan pengembangan bangunan-bangunan di Kabupaten Kudus. Bentuk rumah tradisional Kudus yang khas dan spesifik dapat ditrasformasikan dalam desain untuk bangunan lain, sehingga pada gilirannya menjadi ciri, karakter dan kekhasan arsitektur bangunan di Kabupaten Kudus.
93
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos, 1999. Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”. Laporan Penelitian Fakultas Tekhnik,
Universitas
Pancasila, 2000. Atmadi, Parmono. “Beberapa Patokan Perencanaan Bangunan Candi”. Desertasi S3 Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada, 1979. Azra, Azyumardi. Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1989. Baker, Anton dan Zubair, Charis. Metode Penelitian Filsafat. Yogyakarta : Kanisius, 1990. Budiharjo, Eko. Arsitektur Sebagai Warisan Budaya. Jakarta : Djambatan, 1997. Castles, Lance. Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa : Industri Rokok Kudus. Jakarta : Sinar Harapan, 1982. Dakung, Sugiarto. “Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981. De Graaf, H.J dan Th.G.Th. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1986. ------------. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara Historisitas dan Mitos, terjemahan dari Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th centuries:
94
The Malay Annals of Semarang and Cirebon. Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 1998. Faruqi, Ismail R. dan Al Faruqi, Lois Lamya. The Cultural Atlas of Islam. New York : Macmillan Publishing Company, 1986. Gazalba, Sidi. Islam dan Kesenian, Relevansi Islam dengan Seni Budaya Karya Manusia. Jakarta : Alhusna, 1988. Geertz, Clifford. Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, 2nd ed. Jakarta : Pustaka Jaya, 1983. Gottschalk, Louis. Penerjemah : Nugroho Notosusanto. Mengerti sejarah : Pengantar Metode Sejarah. Jakarta : Yayasan Penerbit UI, 1975. Hamzuri. “Rumah Tradisional Jawa”, Proyek Pengembangan Permuseuman DKI Jakarta. T.tp. : Departemen pendidikan dan Kebudayaan RI, t.t. Ismunandar K, R. Joglo, Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, 3th ed. Semarang : Dahara Prize, 1990. Kartono, J. Lukito. ”Manusia dan Rumah Tinggal ; Suatu Tinjauan Perspektif Kebudayaan Timur dan Barat”. Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 27 , no. 2 (Desember 1999). ------------. ”Konsep Ruang Tradisional Jawa dalam Konteks Budaya”. Dimensi Interior, vol. 3 , no. 2 (Desember 2005). Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka, 1984. Munfarida, Elya. ”Formulasi Konsep Estetika Seni Islam dalam Perspektif Ismail Raji al-Faruqi”. Jurnal Studi Islam dan Budaya, vol. 3, no. 2 (JuliDesember 2005).
95
Mu’tasim, Radjasa dan Mulkhan, Abdul Munir. Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998. Nabhani, Taqyuddin. Penerjemah M. Maghfur Wachid. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif-Perspektif Islam. Surabaya : Risalah Gusti, 1999. Pasha, Musthafa Kamal. dkk. Fikih Islam. Yogyakarta : Citra Karsa Mandiri, 2002. Priatmodjo, Danang. ”Anatomi Rumah Adat Kudus”. Laporan Penelitian, Fakultas Tekhnik, Universitas Tarumanegara, 1988. Prijotomo, Josef. Petungan : Sistem Ukiran Dalam Arsitektur Jawa. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1995. Reksodiharjo, Soegeng. Dkk. “Arsitektur Tradisional daerah Jawa Tengah”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah. T.tp. : T.pn., 1982. Rochym, Abdul. Sejarah Arsitektur Islam, Sebuah Tinjauan. Bandung : Angkasa, 1983. Salam, Solichin. Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam. Kudus : Menara Kudus, 1977. Setiawan, Alim J. “Rumah Tinggal Orang Jawa; Suatu Kajian Tentang Dampak Perubahan Wujud Arsitektur Terhadap Tata Nilai Sosial Budaya dalam Rumah Tinggal Orang Jawa di Ponorogo”. Tesis S2, Universitas Indonesia, 1991. Soesilo. Sekilas Tentang Ajaran Kejawen Sebagai Pedoman Hidup. Surabaya : Medayu Agung, 2000.
96
Suprijanto, Iwan. ”Rumah Tradisional Osing : Konsep Ruang dan Bentuk”. Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 30 , no. 1 (Juli 2002). Syafawi, Ahmad. Sarekat Islam dan Perubahan Sosial : Peranan Sarekat Islam pada Industri Kretek Kudus Tahun 1911-1940. T.tp. : T.pn., 2005. Syafwandi. Menara Mesjid Kudus, Dalam Tinjauan Sejarah dan Arsitektur. Jakarta : Bulan Bintang, 1985. Tjahjono, Gunawan. “Cosmos, Center and Duality in Javanese Architectural Tradition : The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kotagede and Surrounding”. Disertasi S3, University of California, 1989. Triyanto. “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”. Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992. Wijayakusuma, Hembing. Hikmah Shalat Untuk Pengobatan dan Kesehatan. Jakarta : Pustaka Kartini, 1997. Wikantari, Ria Rosalia. “Safeguarding A Living Heritage, A Model for the Architecture Conservation of an Historic Islamic Distric of Kudus, Indonesia”. Tesis S2, University of Tasmania, 1994.
Dokumen elektronik dari internet Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. “Hasil Sensus Penduduk Menurut Agama”. Artikel
diakses
pada
30
Oktober
2008
dari
http://jateng.bps.go.id/2006/web06bab104/web06_1040301.htm Bindy. “Proses masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia”. Artikel diakses pada
23
Agustus
2008
dari
97
http://bindyandthedamn.blogspot.com/2008/02/proses-masuk-danberkembangnya-islam-di.html Kab. Kudus. “Wilayah Administrasi”. Artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://www.kuduskab.go.id/ -------------. “Keadaan Geografis”. Artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://www.kuduskab.go.id/ -------------. “Rumah Adat Kudus”. Artikel diakses pada 20 April 2008 dari http://www.indonesia.go.id/id Mustaqim, M. “Kudus Kulon, Akar Kesadaran Multikultural”. Artikel diakses pada
21
Agustus
2008
dari
http://belajarsejarahsosial.blogspot.com/2006/10/kudus-kulon-akarkesadaran.html Samantho, Ahmad. “Seni, Falsafah dan Agama”. Artikel diakses pada 30 April 2009
dari
http://ahmadsamantho.wordpress.com/2008/08/09/islam-
tradisi-estetik-dan-sastranya/ Suptandar, J. Pamudji. “Seni ukir dan Ornamen dalam Rumah Adat Kudus”. Artikel diakses pada 20 April 2008 dari http://www.gebyokcenter.com Syukur, Fatah. “Tradisi Masyarakat dan Pendidikan Islam di kudus Jawa Tengah”.
Artikel
diakses
pada
21
Agustus
2008
dari
http://citraedukasi.blogspot.com/2008/02/tradisi-masyarakatkudus.html Wikipedia. “Peta Lokasi kabupaten Kudus”. Artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kudus
98
Zulfikri. ”Ruang Dalam dan Ornamen”. Artikel diakses pada 30 April 2009 dari http://zulfikri.wordpress.com/2008/11/07/konsep-dasar-arsitekturmasjid/ “Ornamen Burung Hong”. Artikel diakses pada 30 April 2009 dari http://purbakala.jawatengah.go.id/detail_berita.php?act=view&idku=9 “Ornamen Burung Phoenix”. Artikel diakses pada 30 April 2009 dari http://www.wikipedia.org “Sejarah Islam Nusantara”. Artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://swaramuslim.net/galery/islam-indonesia/index.php?page=sabili1c-risalah_islam_indonesia