Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia
Perubahan Bentuk Rumah Tradisional Pesisir Jawa-Studi Kasus Rumah Tradisional di Demak dan Kudus Agung Budi Sardjono(1) , Dhanoe Iswanto(2) (1) (2)
Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Abstrak Pada kebudayaan Jawa terdapat keragaman yang bersifat regional, salah satunya adalah kebudayaan Pesisir. Ciri kebudayaan Pesisir ini terungkap dalam bentuk arsitektur rumah tradisional yang spesifik. Dalam sejarah perkembangannya bentuk awal rumah tradisional pasti akan mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan zaman. Pertanyaan yang kemudian timbul, perubahan apa saja yang telah terjadi pada rumah tradisional Pesisir, bagian apa saja yang tetap. Penelitian bertujuan untuk melihat perubahan yang terjadi pada bentuk fisik rumah tradisional Pesisir pada dimensi ruang serta dimensi waktu. Penelitian mengambil kasus rumah-rumah tradisional di daerah Demak dan Kudus, dua kota yang mewakili kebudayaan Pesisir Jawa. Hasil penelitian berupa keragaman yang ditunjukkan oleh elemen-elemen yang berubah atau berbeda pada tiap daerah. Hasil penelitian diharapkan akan dapat menambah khasanah keilmuan tentang kebudayaan Pesisir khususnya rumah tradisionalnya serta menjadi masukan dalam upaya konservasi bangungan dan nilai-nilai kebudayaan lokal. Kata-kunci: Perubahan, kebudayaan pesisiran, rumah tradisional
Latar Belakang Penggalian kebudayaan lokal menjadi salah satu gejala kecenderungan pengembangan pengetahuan pasca krisis multi dimensi. Kebudayaan yang mentradisi pada tiap-tiap daerah dipercaya memiliki kearifan yang dalam terhadap lingkungan serta nilai-nilai yang bersifat universal. Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan kebudayaan lokal. Keragaman kebudayaan lokal ini menjadi potensi sangat besar bagi Indonesia untuk berkembang maju. Dalam keragaman kebudayaan lokal tersebut terdapat nilai-nilai yang bersifat universal. Nilai-nilai tentang keTuhanan serta nilai-nilai kemasyarakatan, baik masyarakat manusia maupun masyarakat alam (Pangarsa, 2007). Sayang sekali bahwa nilai-nilai luhur tersebut saat ini banyak yang mulai terkubur,
ditinggalkan dan dilupakan karena imbas dari modernisasi. Kebudayaan Jawa merupakan salah satu mata rantai kebudayaan besar di Indonesia. Menurut Koentjaraningrat (1989) dalam kebudayaan Jawa terdapat keragaman sub kebudayaan yang besifat regional (lokal) yang terdiri dari kebudayaan Nagari Gung, Manca Nagari, Bagelen, Brang Wetan, dan Pesisir. Kebudayaan Pesisir merupakan kebudayaan yang terdapat di kota-kota perdagangan di sepanjang pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain perdagangan, kota-kota tersebut juga merupakan pusat-pusat perkembangan agama Islam pada mulanya di Jawa. Arsitektur rumah tradisional merupakan wujud paling nyata dari kebudayaan. Sebagaimana kebudayaan, arsitektur rumah tradisional di daerah Pesisir juga menunjukkan ciri-ciri yang
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012 | 39
Perubahan Bentuk Rumah Tradisional Pesisiran Jawa
spesisfik. Perbedaan dini dapat dikatakan sebagai keragaman berdasarkan tempat. Sementara dalam perjalanan waktunya pada setiap tempat menunjukkan adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada bentuk rumah tersebut. Menurut Rapoport (1983) perubahan tersebut dapat dan pasti terjadi , namun yang dikehendaki adalah perubahan yang tidak menghilangkan karakteristik inti suatu bentuk kebudayaan. Dengan demikian ada bagian-bagian yang berubah dan ada bagian bagian yang tetap dipertahankan. Perjalanan waktu telah membawa perubahan pada kebudayaan masyarakat yang tercermin juga pada perubahan wujud arsitektur rumah tradisionalnya. Sementara di setiap lokasi dalam rumpun kebudayaan Pesisirpun kemungkinan terdapat variasi-variasi bentuk disamping kesamaan-kesamaannya. Agar dapat lebih memahami tentang keragaman bentuk arsitektur rumah di lokasi yang berbeda, diperlukan suatu penelitian untuk melihat perubahan baik dalam dimensi waktu maupun dalam dimensi ruang. Obyek pengamatan dilakukan pada rumah-rumah tradisional di daerah Kudus serta Demak, pada saat ini serta perkiraan bentuk awalnya. Elemen pengamatan meliputi tata masa, tata ruang, tampilan bangunan serta elemen arsitektur. Pemilihan obyek didasarkan pada kelengkapan bangunan yang dapat mewakili karakteristik kelompok tersebut. Obyek berikutnya dipilih dengan pertimbangan keragaman. Pada penelitian ini dipilih dua kasus rumah di Demak dan dua kasus rumah di Kudus. Arsitektur Tradisional dan Kebudayaan Pesisiran Jawa Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang oleh Pangarsa diartikan sebagai kemampuan berakal budi manusia dengan nilai ketuhanan untuk hidup dalam keselarasan dengan alam dan masyarakat (Pangarsa, 2007). A. Kroeber & C. Kluchkohn (dalam Poerwanto, 1997) secara lengkap
40 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012
menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku dan bertingkah laku, eksplisit maupun implisit yang diperoleh melalui simbol yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi. Seperti halnya dinyatakan Koentjaraningrat (2005) bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang didapatkannya melalui belajar. Terdapat kaitan yang erat antara manusia, kebudayaan serta lingkungan dalam kaitan ketiga elemen inilah terwujud dalam arsitektur rumah, terutama rumah tradisional (Olliver, 2003). J.j Honigman (dalam Koentjaraningrat, 2005) membahas tentang 3 bentuk kebudayaan dari yang abstrak, nilai dan norma, mewujud pada pola tingkah laku dan aktivitas sampai yang paling nyata yakni artefak, termasuk arsitektur. Rapoport (1983) mengatakan bahwa perubahan kebudayaan ditentukan oleh letak elemen-elemen kebudayaan, sebagai core atau sebagai periferi. Pada core kebudayaan elemenelemen itu akan sangat sulit berubah, sementara pada periferi akan mudah berubah menyesuaikan kebutuhan pada saat itu. Pada kebudayaan yang bertahan karena nilainilainya tetap dipegang dan diturunkan antar generasi, akan tercermin pada tampilan arsitektur lingkungan binaannya. Wujud fisik kebudayaannya dikenal sebagai arsitektur tadisional. Koentjaraningrat (1984) dalam buku Kebudayaan Jawa memberikan gambaran tentang karakteristik kebudayaan Jawa serta keragamannya, termasuk di dalamnya kebudayaan Pesisiran. Kebudayaan Jawa sendiri menurut Koentjaraningrat bukan merupakan kebudayaan yang tunggal, terdapat keragaman dalam kebudayaan Jawa yang sifatnya regional sepanjang wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahasan tentang kebudayaan Pesisir ditulis oleh Muhadjirin Thohir (2006), dikatakannya ciri yang menonjol pada kebudayaan Pesisir adalah karakter pedagang-santri masyarakatnya yang
Agung Budi Sardjono
egaliter, terbuka dan lugas. Bahasan mengenai arsitektur rumah tradisional di pantai utara Jawa pernah ditulis oleh Roesmanto, 2003. Menurut Roemanto terdapat perbedaan-perbedaan pada elemenelemen rumah, sementara pada bagian-bagian utama menunjukkan kesamaan. Secara khusus arsitektur rumah tradisional Kudus dibahas oleh Sardjono (1996) dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakatnya serta Wikantari (2001) dalam kaitannya dengan upaya-upaya konservasi. Menurut Sardjono bentuk yang terwujud pada bangunan rumah mencerminkan komunalitas serta religiositas masyarakat Kudus. Menurut Wikantari, kalaupun bentuk-bentuk fisik di permukiman Kudus tersebut sudah mulai banyak berubah, maka yang lebih tetap adalah pada pola permukiman serta pada nilai-nilai kehidupan masyarakat. Rumah Tradisional di Demak dan Kudus Menarik sekali membandingkan dua daerah di daerah pesisir utara Jawa ini. Kudus dan Demak mempunyai kesejarahan yang bertalian satu sama lain. Kedua daerah ini mulai tumbuh dan berkembang dalam sejarah syiar agama Islam di Tanah Jawa. Demak lebih dahulu berkembang menjadi pusat kerajaan Islam yang pertama di jawa serta cerita keberadaan Walisongo sebagai dewan ulama istana yang berperan dalam keagamaan sekaligus dalam politik kerajaan. Sejarah dua daerah ini kemudian bercabang ketika perpecahan terjadi antara Sunan Kudus di satu sisi dengan Sunan Kalijaga di sisi lain. Perpecahan ini tidak hanya terjadi dalam hal keagamaan. Banyak yang berpendapat bahwa Sunan Kalijaga membawa fersi agama Islam yang moderat dan akomodatif yang kemudian banyak menyebar di daerah Demak serta daerah pedalaman Jawa, sementara Sunan Kudus membawa fersi agama Islam yang lebih puritan yang banyak di anut di daerah pesisir. Dalam hal politik perpecahan antara dua tokoh ini juga terjadi yang masing-masing mendukung pihak-pihak keluarga kerajaan
yang berseteru. Sunan Kudus mendukung Haryo Penangsang sementara Sunan Kalijogo mendukung Joko Tingkir atau Mas Karebet. Perpecahan ini pula yang kemudian menyurutkan kekuasaan pemerintahan kerajaan Demak. Kota Demak sendiri sampai sekarang masih merupakan pusat pemerintahan dari kabupaten Demak yang mengandalkan perekonomiannya dari hasil pertanian. Sementara Kudus sebagai pusat dari kabupaten Kudus merupakan kota yang berkembang pesat dalam perindustrian dan jasa. Berbicara tentang masyarakat Demak sama dengan tentang petani-petani dengan lahan garapan yang luas. Sementara berbicara tentang masyarakat Kudus sama dengan berbicara tentang pedagang serta wirausaha di kota. 1. Rumah Mbah Robani di Cabean Demak Rumah mbah Robani merupakan rumah kayu yang terdiri dari dua unit rumah. Masingmasing rumah terdiri dari rumah bagian depan beratap Limas yang digunakan untuk tidur, terdiri dari dua ruang tidur dengan longkangan (koridor) di tengah. Rumah bagian belakang juga beratap Limas, pada sisi belakang rumah terdapat ruang kecil di tengah yang disebut dengan Krobongan. Dinding pada Krobongan dari kayu dan dihias dengan ornamentasi berupa ukiran serta dicat. Demikian juga dengan tiang-tiang kayu rumah derta sebagian dinding, terutama yang ada di sekitar Krobongan. Lantai rumah berupa plesteran pc. Perabot satu-satunya yang ada di ruangan ini adalah almari yang diletakkan pada sisi Krobongan. Bagian paling belakang berupa atap Sosoran, digunakan sebagai dapur (pawon). Pawon Mbah Robani menyatu dengan pawon rumah anaknya tanpa sekat. Hanya terdapat satu tungku masak dengan 2 lobang pada sisi belakang rumah Mbah Robani.
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012 | 41
Perubahan Bentuk Rumah Tradisional Pesisiran Jawa
Rumah Pak Marsam, anak Mbah Robani terletak di samping yang dibangun berimpit tanpa sela (longkangan). Susunan rumah Pak Marsam dibuat sama dengan rumah Mbah Robani, hanya saja lebih lebar. Halaman depan rumah cukup lebar untuk ukuran rumah sekarang, batas halaman berupa pagar kayu rendah dengan pintu masuk di masing-masing rumah namun tanpa batas di antara dua rumah tersebut. 2. Rumah Pak Dahlan di Trengguli Demak Rumah Pak Dahlan terdiri dari kelompok rumah dengan tata masa terdiri dari tiga blog atau gebyok rumah yang tersusun berjajar ke belakang, serta satu buah terletak menyamping. Masa-masa bangunan ini bersambungan rapat membentuk satu rumah besar. Di kanan dan kirinya bersebelahan dengan rumah-rumah tradisional yang ditempati keluarga yang masih terhitung sanak saudara Pak Dahlan. Bagian depan rumah merupakan ruang tamu berbentuk memanjang, beratap Limasan. Di depannya terdapat teras atau emper yang cukup lebar. Disamping kanan terdapat satu blok ruang yang lebih banyak digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil pertanian serta gudang peralatan, juga tempat menyimpan kendaraannya. Di belakang ruang tamu terdapat rumah utama berbentuk Joglo tinggi dengan ukuran yang luas. Terdapat empat Soko Guru di tengah ruangan. Sisi tengah di belakang Rongrongan terdapat Sentong Tengah atau Krobongan dengan gebyog berukir yang kondisinya masih sangat bagus. Ukiran juga terdapat pada Soko Guru serta konstruksi Tumpang Sari di bagian atasnya.
Gambar 1. Rumah Mbah Robani di Cabean Demak Sumber: Observasi Lapangan
42 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012
Di bagian paling belakang terdapat dapur atau pawon dengan ukuran besar. Di sudut kanan dari dapur terdapat kamar mandi berdinding batu-bata. Disebelah kamar mandi terdapat sumur. Selebihnya perabot dapur diletakkan secara terbuka dalam dapur. Dapur berdinding tembok batu-bata setengah tinggi dinding. Selebihnya merupakan dinding papan kayu.
Agung Budi Sardjono
Lantai dapur merupakan perkerasan semen, sekalipun tidak mengkilap namun tampak cukup terpelihara.
Gambar 2. Rumah Pak Dahlan di Trengguli Demak Sumber: Observasi lapangan
Diantara susunan bangunan rumah yang ada rumah utama di bagian tengah yang mendapatkan sentuhan estetis paling banyak, terutama pada bagian Sentong Tengah. Pada rumah Pak Dahlan ini gebyok Krobongan berukir rumit dan cukup halus hampir seperti ukiran gebyok rumah Kudus. Namun pola ukiran rumah mempunyai bentuk yang berbeda. Ornamentasi juga menghias bagian atas dari konstruksi Joglo. Ukiran menghiasi seluruh permukaan balok Tumpang Sari serta Sunduk Kili. 3. Rumah Pak Ma’sum di Jalan Menara Kudus Rumah Haji Ma'sum terletak di tepi jalan Menara, lebih kurang 50 meter sebelah utara dari Masjid Menara, masuk wilayah desa Langgar Dalem. Sebagaimana banyak rumahrumah di jalan Menara, dikelilingi dinding halaman dari batu bata setinggi tiga meter, pada sisi pekarangan yang menghadap jalan terdapat regol beratap yang merupakan pencapaian ke dalam pekarangan. Regol ini merupakan satu-satunya pencapaian ke pekarangan. Rumah menghadap ke arah Selatan. Arah ini merupakan orientasi yang
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012 | 43
Perubahan Bentuk Rumah Tradisional Pesisiran Jawa
hampir selalu dipatuhi oleh rumah-rumah tradisional. Bangunan utama terdiri dari Dalem, Pawon di sebelah kanan berbatasan dengan jalan, kamar mandi serta sisir di bagian selatan tapak, di tengah terdapat halaman terbuka. Pada Pawon yang menghadap ke jalan terdapat bukaan dengan teritisan, teras sempit serta anak tangga dari samping untuk pencapaian dari jalan. Peil lantai mempunyai ketinggian yang bertingkat-tingkat. Dari halaman ke lantai Jogosatru naik tiga anak tangga, sama dengan lantai pawon. Peil lantai Dalem yang asli ada pada ketinggian kurang lebih satu meter yang bekasnya ditunjukkan dengan dinding batubata pada batas ruang Jogosatru dan Dalem. Dalem mempunyai dua pintu yang utama terdapat di tengah menghubungkan dengan ruang Jogosatru, sementara yang lain ada di samping menghubungkannya dengan Pawon. Karena peil lantai yang tinggi, untuk memasukinya melalui bancik dari kayu.
Gambar 3. Rumah Pak Ma’sum di Jalan Menara Kudus Sumber: Observasi lapangan
Dahulu sebelum rusak dalem mempunyai ruang kecil tengah yang disebut dengan 44 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012
Agung Budi Sardjono
Gedongan. Gedongan ini merupakan tempat untuk menyimpan harta benda serta digunakan untuk shalat di rumah, Gedongan terbuat dari kayu berukir (Gebyok). Peil lantai Gedongan adalah yang paling tinggi di rumah. Kata Pak Maksum “Karena banyak ukirannya, Gedongan banyak dicari orang untuk di beli, daripada ikut rusak, Gedongan kemudian dijual”. Pada saat ini Dalem mempunyai ketinggian sama dengan Jogosatru dengan penutup lantai ubin. Ruang dalem disekatsekat menjadi tiga kamar tidur. Dua kamar tidur tertutup dan satu di tengah terbuka. Orientasi rumah induk atau rumah utama adalah ke Selatan. Orientasi ini membuat posisi rumah menyamping terhadap jalan Menara sehingga pencapaian ke dalam pekarangan melalui sisi samping. Pencapaian dari luar melalui pintu regol yang di rumah Pak Ma’sum merupakan pencapaian satu-satunya. Regol ini selalu dalam kondisi tertutup. Bagian pekiwan terdiri dari sumur yang tidak dibatasi dinding serta kamar mandi. Tiga deret ruang menyerupai kamar pada bangunan sisir. Masing-masing mempunyai jendela kaca yang cukup besar serta pintu. Kamar-kamar ini digunakan sebagai tempat kerja dari usaha konveksinya saat ini. 4. Rumah Pak Syiful Kaffi di Langgardalem Kudus Rumah Pak Kaffi terletak di tengah lingkungan permukiman. Di samping-samping rumah sebagai pencapaian ke dalam pekarangan terdapat dua gang selebar dua meter yang mengarah ke utara selatan. Batas pekarangan rumah berupa pagar pendek yang terbuka pada bagian tengah untuk pintu masuk, demikian juga pada sisi pagar yang lain, hanya saja lobang pintu sebih sempit. Di seberang gang sebelah kiri rumah terdapat rumah tetangga yang mempunyai pagar dengan kondisi sama. Dengan demikian orang dimungkinkan melintas halaman tengah rumah pak Kaffi untuk melintas dari gang satu ke gang yang lain.
Gambar 4. Rumah Pak Kaffi di Langgardalem Kudus Sumber: Observasi Lapangan
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012 | 45
Perubahan Bentuk Rumah Tradisional Pesisiran Jawa
Pawon terdapat dua buah, di sebelah kanan dan kiri Dalem. Pawon sebelah kanan berupa ruang besar tanpa sekat. Terdapat satu meja di sudut ruangan, namun kelihatannya tidak banyak kegiatan keluarga yang dilakukan di sini. Menurut pak Kaffi, ruangan ini dahulunya adalah tempat kerja, untuk kegiatan bordir, namun sekarang kosong karena kondisinya sedang lesu. Pada Pawon yang lain terdapat dua ruang tidur serta dapur di belakang. Ruang bagian tengah dan depan digunakan untuk makan serta duduk-duduk keluarga. Pekiwan terletak di depan Pawon kiri diantari halaman tengah. Pekiwan berdiri sendiri dengan sumur terbuka serta dua bilik kamar mandi dan kakus. Bilik ini beratap Kampung. Dilihat dari samping bangunan dimana terdapat lorong sebagai akses menuju ke rumah, tampilan bangunan tidak begitu terlihat kemegahannya, sekalipun pandangan tidak tertutup karena pagar halaman hanya berupa pagar pendek. Dinding bangunan pawon berbatasan dengan lorong berupa dinding batu-bata. Atap hanya terlihat atap Pawon dengan bentuk Kampung Gajah Ngombe yang tinggi. Rumah Pak Kaffi terletak di tengah permukiman, tidak terdapat jalan yang cukup lebar untuk sampai di pintu masuk halaman. Akses yang ada hanya berupa lorong atau jalan lingkungan selebar dua meter sehingga hanya pejalan kaki serta motor yang dapat sampai ke gerbang pekarangan. Lorong-lorong ini kebanyakan mengarah ke Utara Selatan, pada rumah Pak Kaffi lorong ini terdapat di sisi kanan maupun sisi kiri pekarangan. Sehingga orang dapat masuk dari dua arah yang berlawanan, bahkan melintas halaman dari satu lorong ke lorong yang lain. Analisis dan Interpretasi Karagaman bentuk arsitektur bangunan dari suatu tempat memberikan gambaran kondisi lingkungan dan kebudayaan masyarakat yang berkembang pada daerah tersebut.
46 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012
1. Tata Ruang Ruang pada rumah tradisional agak berbeda dengan rumah-rumah pada saat ini. Pada rumah tradisional ruang-ruang merupakan ruang umum dengan banyak kegunaan. Spesifikasi fungsi belum diterapkan secara jelas sehingga ruang akan selalu dibangun dengan dimensi yang besar dan mempunyai atap sendiri menyambung dengan atap ruang yang lain. Penggunaan atau pilihan atap juga dapat berbeda-beda tergantung dari fungsi ruang tersebut secara umum. Namun dalam pemilihan bentuk atap tersebut terlihat bahwa semakin utama suatu ruang akan memilih atap yang semakin utama pula. Dengan demikian satu rumah akan terdiri dari beberapa ruang dengan konfigurasi atap yang dapat berbedabeda, dengan menerapkan hirarki ruang yang tercermin pada bentuk atapnya. Pada dua kasus rumah Demak yang telah dibahas, rumah dapat saja dibangun tidak dalam satu waktu, namun berkembang. Ruang yang pertama kali dibangun adalah ruang utama, yakni ruang untuk tidur. Pada ruang utama tersebut terdapat satu bilik yang disebut dengan Krobongan atau Sentong Tengah. Ruangan ini terletak pada sisi belakang tengah dari ruang tersebut. Pada rumah di Demak ruang-ruang ini banyak yang masih terpelihara dengan fungsi awalnya, yakni sebagai tempat persembahan pada leluhur serta Dewi Sri, pelindung padi. Hal yang lebih kurang sama juga terdapat pada rumah di Kudus, hanya saja di Kudus, Sentong Tengah dinamakan Gedongan. Ruangan ini saat ini sudah banyak yang hilang, namun seperti yang dikatakan oleh Pak Ma’sum maupun Pak Kaffi, dahulu memang terdapat bilik di tengah dengan ukiran penuh, namun bilik tersebut lebih digunakan sebagai tempat menyimpan harta kekayaan serta tempat shalat untuk penghuni rumah, terutama yang perempuan, karena perempuan lebih banyak shalat di rumah daripada di masjid. Bentuk atap akan mencerminkan siapa penghuninya pada strata sosial ekonominya. Di Demak yang penggunaan atap rumah
Agung Budi Sardjono
utamanya lebih berfariasi menunjukkan bahwa strata sosial serta kemempuan masyarakatnya cukup beragam. Di Kudus kulon yang sebagian besar masyarakatnya adalah pedagang simbol atap yang nampak lebih banyak mengungkap kemampuan perekonomian penghuninya. Pak Ma’sum di Kudus dan Pak Dahlan di Demak sama-sama menggunakan atap Joglo Pencu sekalipun kualitas bangunan dan ornamentasi dari bangunan menunjukkan perbedaan kekuatan perekonomian mereka. 2. Perkembangan Rumah Perkembangan rumah kemudian pada rumah Demak mengarah ke depan dan belakang. Emperan terbuka di depan rumah dikembangkan menjadi ruang tamu tertutup dengan menggunakan atap tersendiri yang derajatnya sama atau lebih rendah. Pada rumah Mbah Robani ruang tamu menggunakan atap Limas, demikian juga dengan rumah Pak Dahlan. Di depan ruang tamu dua rumah tersebut masih terdapat teras terbuka selebar dua meter sepanjang lebar ruang tamu. Ruang ini merupakan ruang transisi yang digunakan oleh keluarga maupun tamu. Emper ini akan terus bergeser ketika ada penambahan rumah. Pada rumah Kudus kondisi perkembangan rumah ke depan mirip dalam bentukannya aktifitasnya namun agak berbeda dalam bentukan fisik bangunannya. Jogosatru pada rumah Kudus kemungkinan tadinya merupakan emperan rumah utamanya, kemudian emperan ini diperpanjang dengan cara memundurkan gebyok dalem ke dalam serta memanjangkan atap sosoran dari dalem, kemudian ruang tersebut ditutup dengan gebyok Jogosatru. Untuk menjaga keterbukaannya dibuat bukaan ruang yang cukup lebar berupa pintu utama serta pintupintu pengapit. Bukti bahwa gebyok Dalem digeser ke dalam terlihat pada jurai Dalem yang tidak jatuh di dinding gebyok yang membuat belandar utama melintang di tengah ruang Jogosatru.
Pengembangan bagian belakang rumah pada rumah Demak digunakan sebagai bangunan servis. Berupa dapur atau pawon yang penggunaan utamanya adalah untuk memasak, namun sering kali juga menjadi tempat penyimpanan atau gudang. Di Kudus bangunan servis ini tidak terletak di belakang, melainkan di samping bangunan utama, dinamakan Pawon yang berarti sama dengan dapur. Pawon di Kudus juga digunakan untuk aktivitas servis, juga untuk aktivitas intern keluarga, ditunjukkan dengan adanya amben besar untuk bercengkerama, meja dan kursi makan selain perabot dapur. Dari Dapur di samping ini hubungan ke Dalem maupun ke Jogosatru menjadi lebih mudah. Pawon di rumah Kudus mempunyai penampilan yang lebih bagus dari pada di Demak, karena letaknya di samping sehingga akan mudah terlihat bahkan dari depan serta dari samping bangunan, posisi yang seringkali terdapat akses utama dari luar rumah. Pekiwan atau ruang untuk mandi, cuci dan berhajat di Demak sampai saat ini masih ada yang belum menjadi kebutuhan pokok, seperti di rumah Mbah Robani, Pekiwan tidak dijumpai karena keluarganya melakukan kegiatan ini di sungai yang kebetulan ada di depan rumah, sampai sekarang. Pada rumah rumah yang lain pekiwan dijumpai terpisah di halaman belakang. Pada rumah Pak Dahlan pekiwan kemudian di”tarik” masuk ke dalam rumah, walaupun masih tetap di daerah belakang. Di Kudus pekiwan tidak terletak di belakang tetapi justru di depan, tepatnya di seberang pawon dengan diantarai halaman. Bagi masyarakat Kudus tempat membersihkan diri ini bukan merupakan tempat yang kotor ataupun rendah seingga perlu disembunyikan, namun merupakan sarana untuk menjadi bersih atau suci sehingga ada yang menyebut tempat ini sebagai “pesucen” atau tempat untuk bersuci yang biasa dilakukan masyarakat sebelum masuk rumah. Pada rumah di Demak, umumnya tata masa bangunan memanjang ke belakang ini yang banyak di jumpai. Tambahan bangunan di samping menunjukkan pengulangan unit Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012 | 47
Perubahan Bentuk Rumah Tradisional Pesisiran Jawa
rumah yang lain. Pada rumah di Kudus masih terdapat ruang-ruang yang lain sebagai pengembangan dari rumah, yakni ruang Sisir yang biasanya dibuat di depan rumah di seberang halaman. Ruang ini kemudian menjadi ruang pengembangan yang fungsinya bisa bermacam-macam sesuai kebutuhan. 3. Tingkatan Keutamaan Rumah-rumah Demak dengan halaman depan yang luas dengan mudah dapat dilihat penampilannya dari depan secara keseluruhan. Fasade bangunan memperlihatkan ruang tamu yang melebar ke samping, dengan atap Limas atau Kampung serta emperan di depan rumah. Emper ini didukung oleh deretan tiang-tiang. Pintu utama terdapat di tengah sehingga akses dan sirkulasi dalam bangunan ada pada sumbu tengah yang berakhir pada Krobongan atau Sentong Tengah. Hal yang sama juga terdapat pada rumah Kudus. Akses utama pada bangunan ada di tengah yang juga berfungsi sebagai sumbu bangunan dan membagi secara simetri. Hanya saja pada rumah Kudus sumbu ini tidak berlanjut pada tata ruang luarnya, karena akses menuju ke dalam pekarangan lebih sering berada pada posisi samping. Kalaupun kebetulan akses masuk dari sisi depan, tidak pernah ada yang dalam satu garis lurus dengan pintu utama rumah. Perbedaan sumbu dengan rumah Demak ada pada dimensi fertikalnya. Perbedaan peil lantai pada rumah Kudus sangat terasa, mulai dari halaman masuk ke ruang Jogosatru naik lebih kurang 50 cm melalui tiga anak tangga. Dari Jogosatru ke Dalem maik antara 60 sampai 100 cm yang untuk masuk harus melalui Bancik. Ketinggian terakhir ada pada Gedongan yang naik sekitar 15 cm. Perbedaan peil ini yang membuat batas hirarki ruang menjadi sangat terasa di rumah Kudus. Semakin dalam semakin utama, semakin privat serta semakin sakral yang berpuncak pada Sentong Tengah atau Gedongan. Tampilan Dalem pada rumah Kudus agak berbeda dengan dalem pada rumah Demak
48 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012
sekalipun mungkin keduanya ditutup atap dengan bentuk yang sama, Joglo dengan bagian atas tinggi. Posisi ruang Dalem yang utama pada rumah Kudus ditunjukkan dengan ketinggian peil lantainya yang bisa mencapai 150 cm dari halaman. Posisi yang tinggi ini tidak dilakukan dengan menimbun tanah membentuk peil, namun dengan menggunakan konstruksi rumah panggung. Lantai Dalem menggunakan bahan kayu geladakan (papan kayu) yang ditunjang oleh balok-balok sepanjang luas ruangan. Lantai panggung ini tidak ditunjang dengan menggunakan tiang-tiang kayu tetapi dengan pondasi batu bata menerus mengelilingi lantai Dalem. Akibatnya bagian bawah akan terdapat kolong yang menurut Pak Ma’sum kadang digunakan sebagai tempat penyimpanan rahasia dari harta benda pemilik rumah. Konstruksi lantai dari kayu ini tentu saja akan lebih rentan kekuatannya dibandingkan dari batu, sehingga pada banyak rumah yang sudah lama, kostruksi lantai ini telah rusak dan lantai Dalem diturunkan sejajar dengan lantai Jogosatru, seperti halnya rumah Pak Ma’sum. Kesimpulan Dari bahasan yang telah dilakukan di belakang dengan cara mengkaji keragaman rumahrumah yang ada di Demak dan Kudus, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Rumah bukan merupakan bangunan tunggal, melainkan kumpulan beberapa rumah atau ruang yang disambungkan atau terpisah. Dibangun dengan cara bertahap menurut kemampuan penghuninya pada saat itu. Perkembangannya kemudian di Demak lebih mengarah ke depan dan belakang secara linier sementara di Kudus lebih mengarah ke samping membentuk kluster. 2. Dalem merupakan ruang yang pertama dan utama dalam konfigurasi rumah. Pada Ruang utama ini terdapat pusatnya, yakni sentong tengah yang mempunyai makna religius.
Agung Budi Sardjono
3. Dalam tampilan bangunan terdapat kesamaan bentuk atap pada rumah Joglo yang dicirikan pada tingginya sudut atap Brunjung sehingga kemudian dikenal dengan istilah atap Pencu atau Joglo Pencu serta hiasan pada jurai dan bubungannya. Bentuk atap ini sama disepanjang pesisiran Jawa Tengah tetapi berbeda dengan bentuk atap Joglo di daerah pedalaman. Bentuk atap bangunan pengembangan pada rumah Kudus lebih tinggi dalam sudut atap maupun proporsi bangunan. 4. Rumah-rumah di Demak lebih besar dalam dimensi namun lebih bersahaja dalam detail serta lebih terbuka. Orientasi ruang lebih banyak berfungsi sebagai wadah mengelola hasil panen, hal ini merupakan cermin rumah petani di daerah perdesaan. Rumah-rumah Kudus lebih kompak dalam dimensi dan tatanan dan lebih rumit dalam detail, memberi kesan tertutup dan mempuyai batas yang jelas. Orientasi fungsi ruang lebih sebagai wadah untuk berdagang serta tempat kerja. Hal tersebut memberikan gambaran rumah di daerah perkotaan serta matapencaharian sebagai pedagang dan wirausaha.
kebijakan-kebijakan serta rancangan pembangunan menjadi lebih bisa diterima oleh masyarakat dimana pembangunan tadi dilaksanakan. Daftar Pustaka Groat, Linda dan Wang, David, 2002, Architectural Research Methods, John Wiley & Sons, New York Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta ………………..., 2005, Pengantar Antropologi Budaya Oliver, Paul, 2003, Dwellings, Elsevier, Oxford. Pangarsa, Galih W, 2007, Merah Putih Arsitektur Nusantara, Penerbit Andi, Yogyakarta Poerwanto, Hari, 1997, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Depdikbud, Jakarta Rapoport, Amos, 1983, Development, Culture Change and Suportive Design, Pergamon Press, New York
Dari kesimpulan di atas pada akhirnya didapatkan satu pengetahuan tentang ragam rumah tradisional di Pesisi Jawa pada dua tempat yang berbeda. Pengetahuan keragaman akan lebih lengkap bila dikembangkan pada daerah-daerah di sebelah Timur Demak yang disebut Pesisir Wetan seperti Jepara, Rembang, serta perluasannya di daerah-daerah sebelah Barat Demak atau Pesisir Kilen seperti Pekalongan, Tegal sampai ke Cirebon sehingga secara keseluruhan pengetahuan rumah tradisional Pesisir akan terungkap.
Roesmanto, T, 2002, A Study of Traditional House of Northern Central Java. A Case Study of Demak and Jepara, JAABE
Pengetahuan ini akan menjadi khasanah keilmuan yang akan membantu dalam memecahkan masalah-masalah permukiman masyarakat, baik di perkotaan maupun di perdesaan dengan mempertimbangkan kondisi dan budaya masyarakat setempat. Dengan adanya pertimbangan tersebut diharapkan
Tjahjono, Gunawan, 1989, Cosmos Centre and Duality In Javanese Architectural Tradition : The Symbolik Dimention of House Shapes in Kota Gede and Surroundings, Disertasi , University of California, Barkelay
Sardjono, Agung B., 1996, Rumah-rumah di Kota Lama Kudus, Thesis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Spradley, James P, 2007, Metoda Etnografi, Tiara Wacana, Yogya Thohir, Mudjahirin, 2006, Orang Islam Jawa Pesisiran, Fasindo, Semarang
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012 | 49
Perubahan Bentuk Rumah Tradisional Pesisiran Jawa
…………………., 2001, Sustainability Historic Enviroment of Wooden Traditional Houses in The City of Java, Disertasi, University of Kobe, Japan
50 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012