ROMAN BERSURAT DIE LEIDEN DES JUNGEN WERTHER KARYA JOHANN WOLFGANG VON GOETHE SEBAGAI KRITIK SOSIAL TERHADAP NORMA-NORMA MASYARAKAT JERMAN ABAD KE-18
ATINA HASANAH NPM : 180810080035
UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS ILMU BUDAYA PROGRAM STUDI SASTRA JERMAN BANDUNG 2012
ABSTRAK
Setiap orang berhak menentukan arah hidupnya dan berhak menikmati kebebasan dalam hidupnya. Itulah yang menjadi titik utama Johann Wolfgang von Goethe sebagai pengarang roman “Die Leiden des jungen Werther”. Melalui jalan cerita serta bentuk roman yang menarik inilah, penulis tertarik untuk menjadikan roman ini sebagai bahan pengamatan. Roman ini memiliki bentuk roman bersurat dan bercerita tentang kisah percintaan yang tragis antara Werther dan Lotte yang berujung dengan bunuh diri. Goethe menjadikan roman ini sebagai sarana kritik sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bentuk-bentuk kritik sosial Goethe terhadap norma-norma yang berlaku pada masyarakat Jerman abad ke-18. Dengan menggunakan metode sosiologi interpretasi yakni menghubungkan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di masyarakat melalui tema yang tersirat dalam roman Die Leiden des jungen Werther dan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan yang meliputi politik, sosial dan moral keagamaan.
Kata kunci: roman bersurat, Werther, norma, kritik
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Roman Die Leiden des jungen Werther merupakan roman bersurat karya Johann Wolfgang von Goethe yang ditulis berdasarkan kisah pribadinya. Roman ini menceritakan tentang kisah percintaan yang tragis antara Werther dan Lotte, selain itu Goethe menyelipkan beberapa kritik sosialnya terhadap masyarakat Jerman abad ke-18 melalui roman ini. Melalui penggambaran Werther sebagai tokoh utama dan beberapa tokoh lain dalam roman, Goethe ingin menunjukan bagaimana masyarakat mengalami berbagai masalah sosial diantaranya normanorma yang berlaku dalam masyarakat sebagai suatu pengekangan, adanya perbedaan kesetaraan golongan masyarakat yang dilakukan oleh kaum bangsawan yang disebabkan oleh hak-hak istimewa yang dimiliki kaum bangsawan sejak lahir dan juga berbagai tindakan buruk yang dialami oleh para pelaku bunuh diri pada masa itu. Dibalik kejayaannya, roman die Leiden des Jungen Werther juga merupakan roman terlaris di Eropa dan paling berpengaruh pada masanya kejayaannya.“Ein Briefroman verfasst von Johann Wolfgang von Goethe. Es wird u.a heute als Kultbuch und als bestes Buch Goethes angesehen”. “Sebuah roman bersurat di tulis oleh Johann Wolfgang von Goethe. Roman ini menjadi buku pujaan dan menjadi buku terhebat Goethe”. (www.uni-essen.de/literaturwissenschaftaktiv/ volesungen/epik/briefroman.html).
B. Identifikasi Masalah Fokus penelitian ini adalah cerminan masyarakat Jerman abad ke-18 yang dituangkan dalam roman serta kritik sosial yang yang dilancarkan Goethe dalam roman die Leiden des jungen Werther terhadap masyarakat Jerman abad 18 yang meliputi: 1. Bagaimana tokoh utama Werther digambarkan dalam roman? 2. Bagaimana sikap-sikap beberapa tokoh lain terhadap Werther ?
3. Norma-norma masyarakat Jerman abad ke-18 apa yang digambarkan dalam roman ini yang merupakan kritik sosial?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Menggambarkan tokoh utama Werther dalam roman; 2. Mendeskripsikan sikap-sikap beberapa tokoh lain terhadap Werther; 3. Mengkaji norma-norma masyarakat Jerman abad ke-18 yang digambarkan dalam roman sebagai kritik sosial.
D. Metode Penelitian Metode penulisan yang dipakai untuk membahas skripsi ini adalah penelitian kepustakaan. Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah metode interpretasi sosiologi (Soziologische Interpretationsmethode). Soziologische Interpretationsmethode adalah metode yang menganalisis permasalahan yang ada dan menonjol melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat dan oleh pengarangnya diangkat sebagai tema utama dalam karyanya. Dan melalui karyanya seorang pengarang mengemukakan pandangannya tentang segala jenis aktivitas kehidupan masyarakat.
PEMBAHASAN
Roman die Leiden des jungen Werther tergolong dalam jenis Briefroman (Roman bersurat\Epistolary novel), yaitu bentuk karya sastra yang berjaya dan paling banyak disukai pada akhir abad ke-18. Briefroman memiliki bentuk menyerupai dokumen dari serangkaian surat yang ditulis oleh satu atau lebih karakter. Roman bersurat die Leiden des jungen Werther ini lahir pada abad ke-18 yaitu jaman Sturm und Drang. Di Eropa, istilah Sturm und Drang merupakan lanjutan dari istilah yang berlaku pada jaman sebelumnya, yakni Aufklärung. Pada jaman Aufklärung yang dianggap penting hanyalah akal budi (Verstand) dan penalaran (Vernünft), sementara pada jaman Sturm und Drang yang dipentingkan adalah perasaan (Gefühl). Pada jaman ini, terdapat sebuah kelompok yang terdiri dari para intelektual sebagai protes terhadap situasi saat itu (1870-an). Para penganut aliran Sturm und Drang menentang pembatasan-pembatasan dalam bidang politik, moral, dan kesusastraan. Dengan cara yang radikal mereka menolak semua pembatasanpembatasan dalam bidang moral, norma-norma masyarakat, kesewenangwenangan kaum tua atau hierarki dalam masyarakat. Jika dilihat dari keadaan sosial pada jaman Sturm dan Drang dan juga jaman-jaman sebelumnya, terdapat perlakuan yang sangat buruk terhadap perlakuan bunuh diri. Perlakuan yang buruk tersebut dilancarkan oleh negara, gereja, dan masyarakat, bukan saja terhadap orang meninggal karena bunuh diri, melainkan juga terhadap seluruh anggota keluarganya yang masih hidup. (http://www.pinselpark.de/geschichte/spezif/literaturg/epochen/1770_sturm.html)
Penelitian ini menganalisis tiga hal, yaitu: 1. Gambaran tokoh utama Werther dalam roman Werther merupakan seorang pemuda yang menjadi tokoh utama dalam roman die Leiden des Jungen Werther. Werther menggambarkan dirinya sendiri
sebagai seorang pemuda pintar yang berjiwa muda. Kepintarannya dan ambisinya yang meluap-luap menyebabkan dirinya terlihat seperti orang yang penuh gairah yang meledak-ledak. Namun, Werther juga merupakan seorang pemuda yang berperasaan sangat halus, lembut, dan penuh empati terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain. Ia sangat mementingkan perasaan dan eksistensinya sebagai seorang individu. Kehalusan perasaanya tersebut membuat Werther bisa dekat dengan masyarakat kalangan bawah dan bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Dalam roman diceritakan bahwa Werther mengalami patah hati dengan Lotte gadis pujaannya. Penggambaran tokoh utama dalam Briefroman ini, menunjukkan adanya kehancuran hati yang disajikan secara langsung melalui tokoh Werther melalui surat-surat yang ditujukan kepada sahabatnya, Wilhelm. Kehancuran hati yang dialami oleh Werther berakhir begitu tragis, yaitu tindak bunuh diri yang dilakukan Werther pada akhir cerita.
2. Gambaran sikap-sikap beberapa tokoh lain terhadap Werther Briefroman die Leiden des jungen Werther memiliki alur kronologis yaitu berupa kumpulan surat-surat yang membentuk urutan-urutan peristiwa yang terjadi secara urut, mulai dari tanggal 4 Mei 1771 dan diakhiri oleh sebuah surat pada tanggal 21 Desember 1772. Kisah Werther dalam Briefroman ini didukung oleh beberapa tokoh yang ikut terlibat dalam alur cerita. A. Lotte Lotte yang merupakan gadis pujaan Werther digambarkan sebagai gadis yang anggun, cantik, bertubuh proposional dengan rona bibir dan pipi yang segar serta bola matanya yang coklat. B. Der Philister dan Die Base Dua tokoh ini digambarkan sebagai seorang yang tidak memberikan kebebasan kepada seeorang, terutama dalam hal percintaan. C. Albert
Albert adalah sosok laki-laki yang sangat dicintai oleh Lotte. Dia digambarkan sebagai laki-laki yang baik, jujur, dan memberikan kebebasan terhadap Lotte untuk bergaul dengan siapapun termasuk dengan Werther. D. Der Medikus Tokoh Doktor digambrkan sebagai seorang yang sangat otoriter dan dogmatis. Tokoh ini merefleksikan bagaiman karakter kaum bangsawan pada masa itu. E. Grafen C Graf C adalah seorang dari kalangan bangsawan yang baik. Werther merasa sangat dihargai oleh Graf C sehingga ia merasa nyaman menjalin persahabatan sekaligus berkerja dengannya. F. Der Gesandte Dia adalah orang yang sangat teliti, yang tidak ada tandingannya; langkah demi langkah dan rumit seperti seorang Tante; dia adalag seorang manusia yang tidak pernah puas pada dirinya sendiri dan tidak dapat berterima kasih kepada siapapun. G. Fraulein B (Nona B) Dia adalah seorang gadis yang bernama Nona B. Werther menganggap Nona B adalah gadis yang baik dan menyenangkan serta berbeda dengan orangorang bangsawan lainnya yang angkuh. H. Die Tante von B Tokoh yang merupakan cerminan kaum bangawan yang sombong dan membedakan status sosial.
3. Kritik Sosial terhadap Norma-norma Masyarakat Jerman Abad ke-18 Kritik pengarang dalam kajian sosiologi sastra mempunyai arti sebagai kritik yang diajukan dengan menggunakan pendekatan sosiologis, artinya seorang pengarang dapat menghasilkan suatu karya sastra berdasarkan keadaan sosial kemasyarakatan yang berlangsung pada saat kelahiran karya sastra tersebut dan karya sastra yang dihasilkannya merupakan perwujudan dari ungkapan kritik mengenai suatu hal tertentu yang kemudian akan disampaikan kepada pembaca. (Sapardi Damono, 1997:30)
A. Norma-norma yang Berlaku di Masyarakat sebagai Sebuah Pengekangan Dalam perjalanan kehidupan Werther terselip berbagai kritik sosial terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku pada saat itu yang dianggapnya sebagai suatu pengekangan atas kebebasan individu. Dalam surat di bawah ini, Werther menceritakan bagaimana masyarakat memandang keberhasilan seseorang hanya dari jabatan dan harta yang mereka miliki: Am 17. Mai 1771 … wie die Leute hier sind, muß ich dir sagen: wie überall! Es ist ein einförmiges Ding um das Menschengeschlecht. Die meisten verarbeiten den größten Teil der Zeit, um zu leben, und das bißchen, das ihnen von Freiheit übrig bleibt, ängstigt sie so, daß sie alle Mittel aufsuchen, um es los zu werden. O Bestimmung des Menschen! (hlm.10) Tanggal 17 Mei 1771 … seperti orang-orang di sini, aku harus mengatakan padamu: seperti di mana-mana! Umat manusia di mana-mana sama saja. Kebanyakan dari mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk hidup dan mencemaskan sedikit dari waktunya yang tersisa untuk kebebasan, sehingga mereka mencari cara untuk menghabiskannya. Oh, nasib para manusia! Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat pada masa itu terpaku oleh norma-norma yang mengikat mereka dari kebebasan hidup. Seseorang akan dianggap keberadaannya jika mereka bekerja dari siang sampai malam dan mengabaikan waktunya untuk bersenang-senang dan beristirahat. Pada kenyataannya, mereka yang bekerja siang dan malam merasa sangat kelelahan dan bersedih. Namun mereka tetap melakukannya demi mendapatkan pengakuan dan pujian dari orang lain. Manusia yang melakukan hal-hal seperti ini dianggap sebagai manusia yang bodoh dan tertindas oleh norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam die Leiden des Jungen Werther, banyak disinggung tentang hilangnya kebebasan masyarakat jaman ini akibat terganjal oleh norma-norma yang berlaku. Pengekangan ini tergambar ketika der Philister yang memiliki jabatan datang menemui Werther untuk mencoba mengusik rasa cintanya terhadap Lotte. Ia memberikan nasehat kepadanya bagaimana seharusnya ia mencintai
wanita. Werther kembali menunjukan ketidaksukaannya terhadap nasehat tersebut. Menurutnya, mencintai seseorang adalah suatu kebebasan dan hak seseorang yang tidak bisa diatur oleh orang lain. Bahkan ia tidak memperdulikan status Lotte yang telah bertunangan dengan Albert. Kemudian Goethe melalui tokoh Werther mengkritik adanya pendidikan otoriter yang dilakukan oleh generasi tua melalui tokoh Der Medikus. Mereka mendidik anak-anak dengan kaku dan keras. Anak-anak selalu diatur tanpa diberi kebebasan. Mereka dilarang untuk bermain, berteriak, bersenda gurau, dan lainlain. Menurut Werther, masyarakat itu sangat buruk dengan hanya selalu melarang seseorang melakukan sesuatu sesuai dengan suara hatinya. Dengan demikian Werther tetap dengan pendiriannya untuk melakukan sesuatu sesuai dengan suara hatinya meskipun orang lain tidak berterima dengan hal itu dan membuatnya dianggap asing oleh masyarakat.
B. Perbedaan Kesetaraan Golongan Masyarakat Roman die Leiden des jungen Werther mengandung protes yang menentang kebijakan pemerintah dan gereja yang bertindak secara otoriter dalam kaitannya dengan perbedaan kesetaraan golongan masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat sering kali muncul kesenjangan masyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan kesetaraan golongan dalam masyarakat. Hal ini digambarkan pula dalam roman ini. Kepindahan Werther dari tempat yang satu ke tempat lainnya membuatnya lebih bisa memahami karakter orang-orang di sekelilingnya. Werther menganggap bahwa kaum bangsawan pemegang kekuasan pada masa itu memiliki tabiat seperti sebuah boneka yang dogmatis, yaitu manusia yang diikat norma-norma kebangsawanan picik yang hanya mementingkan kehormatan di atas segalanya. Mereka berperilaku serba mewah dan terkesan dibuat-buat hanya demi mendapatkan sebuah kedudukan. Am 29. Juni 1771 “Der Doktor, der eine sehr dogmatische Drahtpuppe ist, unterm Reden seine Manschetten in Falten legt und einen Kräusel ohne Ende
herauszupft, fand dieses unter der Würde eines gescheiten Menschen”. (hlm.27) Tanggal 29 Juni 1771 “Dokter itu adalah boneka bertabiat dogmatis sekali, jika berbicara selalu melipat lengan kemejanya dan tidak henti-hentinya mencabuti renda bajunya. Ia beranggapan bahwa yang kulakukan itu merendahkan diri seorang terpelajar.” Begitupun dengan pejabat-pejabat pemerintah yang selalu menggunakan kedudukannya dengan semena-mena dan berperilaku buruk. Sebagai contoh, mereka selalu memerintah bawahan dan memperlakukan mereka seperti budak yang tidak memiliki harga diri sama sekali. Bahkan mereka suka menggunakan cara kekerasan dalam memerintah dan mendapatkan kedudukan. Menurut Werther, semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkan kedudukan tertinggi dengan berbagai cara. Begitupula dengan cara berpakaian, berprilaku, serta jenis obrolan yang mereka lakukan sangat tidak bisa diterima oleh Werther. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh kaum bangsawan itu terlalu dibuat-buat dan berlebihan. Sebagai contoh, cara berpakaian mereka yang menggunakan gaun serta setelan jas yang sangat formal dan juga upacara-upara penobatan yang berlebihan. Gaya berbicara serta jenis obrolan yang mereka bicarakan juga sangat dibuat-buat dan hanya obrolan-obrolan tertentu saja yang mereka bicarakan, seperti kekayaan dan jabatan. Norma-norma yang dibuat oleh penguasa seolah-olah di buat untuk kalangan tertentu saja. Mereka memperlakukan kaum bawah sebagai budak. Kaum bangsawan yang bisa berbuat apapun yang mereka inginkan dengan kemewahan yang mereka miliki, tanpa memikirkan hak dan perasaan orang lain.
C. Perlakuan Buruk terhadap Jasad Pelaku Bunuh Diri Bunuh diri menjadi istilah yang cukup penting dalam roman ini. Werther sebagai tokoh utama dalam roman mengambil keputusan secara mengejutkan dengan melakukan bunuh diri pada akhir cerita. Keputusan Goethe untuk mematikan tokoh utama dengan cara bunuh diri tentunya memiliki maksud
tertentu, yaitu untuk mempertanyakan norma-norma yang berlaku di masyarakat pada masa itu: Mit dem Selbstmord Werthers stellt Goethe Grundlagen der Gesellschaft in Frage.(http://8ung.at/livingbox/Leiden_des_jungen_Werther.html) Tokoh Albert diibaratkan sebagai refleksi dari tokoh agama, pejabat pemerintah dan masyarakat pada masa itu. Secara jelas Albert mengutarakan ketidaksukaannya terhadap tindakan bunuh diri. Ia mengutarakan pendapatnya tentang pelaku bunuh diri yang dianggapnya tidak memiliki akal pikiran yang sehat bahkan niat yang telah terpikirkan oleh pelaku bunuh diri untuk mengakhiri hidupnya dengan sia-sia adalah hal yang begitu memuakkan. Inilah yang dilakukan oleh masyarakat, gereja bahkan negara pada masa itu. Sementara itu, tokoh Werther yang mewakili kaum bawah pada masa itu justru menganggap bahwa tindakan bunuh diri merupakan tindakan yang tidak pantas untuk diperlakukan buruk. Menurutnya, masyarakat pada masa itu terlalu cepat menilai seseorang dan tidak pernah berfikir secara matang apa yang menyebabkan orang-orang melakukan tindakan bunuh diri. Dalam pandangan Werther, seseorang akan melakukan tindak bunuh diri di saat ia merasa hidupnya sudah buruk dan tidak bisa dipertahankan lagi. Norma-norma yang terbentuk dalam masyarakat pada masa itu hanya menguntungkan beberapa pihak saja. Kaum bangsawan, gereja dan pemerintah melakukan hal tersebut sedangkan kaum yang tertindas selalu menjadi korban dari norma-norma tersebut. Norma yang mengharuskan untuk menyiksa dan memperlakukan pelaku bunuh diri secara keji dan tanpa perasaan hanya bertujuan untuk semakin menambah penderitaan para pelaku bunuh diri serta keluarga yang ditinggalkan.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka diperoleh simpulan bahwa roman Die Leiden des Jungen Werther merupakan roman bersurat yang menceritakan tentang kisah cinta yang tragis antara Werther dan Lotte. Tokoh Werther diciptakan sebagai gambaran pribadi pemuda jaman Sturm und Drang (abad ke-18). Roman die Leiden des jungen Werther mengandung kritik sosial yang dilancarkan oleh Johann Wolfgang von Goethe sebagai pengarang. Ia menyisipkan kritik sosialnya melalui perjalanan hidup Werther sebagai tokoh utama dalam roman. Goethe juga berusaha melibatkan pembaca untuk mengetahui permasalahan yang terjadi pada masa itu dengan kaitannya terhadap norma-norma yang berlaku seperti yang tergambar dalam roman ini. Goethe mengkritik masyarakat Jerman abad ke-18. Dalam roman die Leiden des jungen Werther, ia mengkritik norma-norma yang berlaku di masyarakat yang dianggapnya sebagai sebuah pengekangan atas kebebasan individu. Goethe menceritakan keadaan masyarakat pada jaman Sturm und Drang melalui Werther. Berbagai norma yang berlaku pada masyarakat saat itu menggambarkan betapa terkekangnya masyarakat. Masyarakat dipaksa untuk tunduk dan mengikuti segala aturan yang berlaku pada masa itu. Goethe menjelaskan bahwa masyarakat pada masa itu hanya memandang keberhasilan hanya dari jabatan dan harta yang mereka miliki saja. Mereka dituntut untuk bekerja siang malam dan mengabaikan waktu mereka untuk bersenang-senang demi mengejar kekayaan dan jabatan. Norma seperti inilah yang dianggapnya sebagai sebuah kekangan dan menjadikan manusia sebagai budak yang bodoh dan tertindas. Masyarakat seperti berada dalam penjara yang sempit dan tidak memiliki keberanian untuk melawan semua itu. Sikap otoriter dan kaku yang diperlihatkan oleh generasi tua pada jaman itu juga menjadi sebuah pengekangan. Masyarakat kehilangan kebebasan dan dirampas haknya oleh norma-norma yang mengharuskan mereka untuk mendidik anak secara keras. Hal serupa juga terjadi untuk urusan percintaan, mereka tidak diperbolehkan untuk mencintai seseorang sesuai dengan suara hati mereka.
Selanjutnya Goethe melancarkan kritik sosialnya terkait dengan perbedaan kesetaraan golongan masyarakat. Dalam roman ini disisipkan berbagai protes yang menentang kebijakan pemerintah dan gereja yang bertindak secara tidak adil. Adanya kesenjangan sosial yang terjadi pada masyarakat jaman Sturm und Drang digambarkan melalui hubungan-hubungan Werther dengan tokoh-tokoh lain dalam roman. Werther merasa kesulitan dalam menjalin hubungan pertemanan dengan orang-orang di sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan golongan. Werther diibaratkan sebagai kaum dari golongan bawah yang selalu ditindas dan diperlakukan tidak adil oleh orang-orang disekitarnya yang berasal dari golongan bangsawan. Kaum bangsawan digambarkan sebagai pemegang kekuasaan yang disebabkan karena hak-hak istimewa yang dimilki kaum bangsawan sejak lahir. Mereka yang hanya mementingkan kehormatan dan kedudukan di atas segalanya tanpa melalui usaha dan kemampuannya masingmasing. Goethe mempertanyakan perlakuan buruk yag dilakukan oleh negara, tokoh agama dan masyarakat terhadap pelaku bunuh diri pada masa Sturm und Drang. Menurutnya, orang yang melakukan bunuh diri adalah orang yang malang dan patut dikasihani. Mereka melakukan hal tersebut karena tidak sanggup melanjutkan hidupnya yang penuh dengan permasalahan dan kesedihan. Pada akhir penulisan skripsi ini membuktikan bahwa tiga bentuk kritik sosial ini menjadi bukti bahwa sebuah karya tidak dapat lepas dengan pengarang, masyarakat dan pembaca sebagai penikmat karya tersebut. Hal inilah yang menjadi ide penciptaan roman sehingga menjadi sebuah karya sastra dengan kritik tajam dan kisah cinta yang penuh kehancuran.
DAFTAR PUSTAKA Von Goethe, Johann Wolfgang. 1996. Die Leiden des jungen Werther. Stuttgart: Phillip Reclam Jun. Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hermann, Otto. 1956. Goethe Erzählt sein Leben. Frankfurt : Fischer Bucherei. Loewenthal, Erich. 1949. Sturm und Drang: Kritische Schriften. Heidelberg : Lambert Schneier Verlag. Martini, Fritz. 1962. Klassische u.Erzälungen. Freiderburg : Herder.
Deutsche
Dichtung.
Romane
Neis, Edgar (1993) Menschen Werke Epochen. Max Hueber Verlag, Ismanig. Wellek, Renèe, Warren, Austin. 1989. Teori Kesusastraan, Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia. Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Literatur Online http://www.pinselpark.de/geschichte/spezif/literaturg/epochen/1770_sturm.html (di akses pada tanggal 25/11/2011 pukul 21:04) (www.uni-essen.de/literaturwissenschaftaktiv/volesungen/epik/briefroman.html) (di akses pada tanggal 25/2011 pukul 22:12 ) http://8ung.at/livingbox/Leiden_des_jungen_Werther.html (di akses pada tanggal 11/05/2012 pukul 18:34)