Riba dalam Transaksi Keuangan
Jaih Mubarok 1
RIBA DALAM TRANSAKSI KEUANGAN
Jaih Mubarok UIN Sunan Gunung Djati Bandung Email:
[email protected]
Abstract: The doctrine of riba is one of the important teachings of related transactions in accordance with Islamic principles. In sharia science, among sharia-compliant transaction is a transaction that is protected from the elements of riba, gharar, gambling, dharar, and zhulm. This study successfully demonstrated the arguments Prohibition of riba and the formation of a variety of riba: 1) riba Fadl (due to non-fulfillment of the provisions sawa ‘[‘ an] bi saawa [‘in]); 2) riba nasa’ (due to non-fulfillment of the provisions mitsl [‘ an] bi mitsl [‘in]); and 3) nasi’ah riba (because akumluasi the form of non-fulfillment of the relevant provisions sawa ‘[‘ an] bi saawa [‘in]) and mitsl [‘ an] bi mitsl [‘in]). Another Riba is found in the history of riba jahiliah and riba qardh. In the context of financial transactions, interest cash/bank including nasi’ah riba. Abstrak: Ajaran tentang riba merupakan salah satu ajaran penting terkait transaksi yang sesuai dengan prinsip syariah. Dalam ilmu syariah, di antara transaksi yang sesuai syariah adalah transaksi yang terhindar dari unsur riba, gharar, maisir, dharar, dan zhulm. Kajian ini berhasil menunjukkan argumentasi diharamkannya riba dan terbentuknya ragam riba: 1) riba fadhl (karena tidak terpenuhinya ketentuan sawa’ [‘an] bi saawa [‘in]); 2) riba nasa’ (karena tidak terpenuhinya ketentuan mitsl [‘an] bi mitsl [‘in]); dan 3) riba nasi’ah (karena akumluasi yang berupa tidak terpenuhinya ketentuan terkait sawa’ [‘an] bi saawa [‘in]) dan mitsl [‘an] bi mitsl [‘in]). Riba lain yang ditemukan dalam sejarah adalah riba jahiliah dan riba qardh. Dalam konteks transaksi keuangan, bunga uang/bank termasuk riba nasi’ah. Kata-kata Kunci: Jahiliah, Fadhl, Nasi’ah, Riba, dan Qardh Pendahuluan Semangat hidup halal bagi umat Islam Indonesia bukan hanya dinyatakan dalam hukum tidak tertulis, yaitu fatwa ormas Islam dan termasuk fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), tetapi mendapat dukungan dari Negara dalam peraturan perundangundangan yang berlaku, dan masyarakat (terutama Masyarakat Ekonomi Syariah [MES], Ikatan Ahli Ekonomi Islam [IAEI], dan Pusat Kajian Ekonomi Syariah [PKES]). Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Penjelasan Umum) tertulis kalimat: “… transaksi dalam keuangan Islami sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur larangan berikut: (1) Riba, yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang (money for money)…” Dalam penjelasan pasal 2 UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tertulis bahwa “kegiatan usaha yang
berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur: a) riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah)…” Dalam Anggaran Dasar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) yang berbadan hukum ‘Perkumpulan” dengan Akte Notaris Rini Martini Dahliani, Nomor: 02 tanggal 16 April 2010; Surat Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: AHU-70.AH.01.06, tanggal 25 Mei 2010 yang dimuat dalam Lembar Berita Negara Nomor: 47 tanggal 14 Juni 2011, tertulis: “dalam upaya menjaga etika dan moral dalam mengelola 1
2 AT - TARADHI Jurnal Studi Ekonomi, Volume 6, Nomor 1, Juni 2015, hlm. 1-12
bisnis dan menjaga sikap professional, anggota dan pengurus senantiasa membebaskan diri dari praktek-praktek ekonomi yang terlarang secara syariah, yaitu transaksi-transaksi yang mengandung unsur: 1. gharar (spekulasi), 2. maysir (perjudian), 3. riba (bunga), 4. zhulm (penganiayaan), 5. risywah (suap), 6. barang haram, dan 7. maksiat.1 Adanya pengaturan mengenai keharusan terhindarnya transaksi dari unsur-unsur yang diharamkan menunjukkan bahwa bahwa pengaturan larangan tersebut bukan hanya terdapat dalam hukum tertulis (peraturan perundangundangan) dan juga dalam hukum tidak tertulis (antara lain Anggaran Dasar Masyarakat Ekonomi Syariah/MES). Oleh karena itu, kajian mengenai riba sangat penting dilakukan agar tergali informasi yang mendalam terkait ajaran riba. Tahapan Pengharamannya Riba merupakan perbuatan hukum yang dilarang secara eksplisit dalam Quran dan sunah Nabi Saw. Dalam Quran (QS al-Baqah [2]: 275) Allah berfirman yang artinya, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Muhammad Abu Zahrah menegaskan bahwa jual-beli dihalalkan karena di dalamnya terdapat keseimbangan antara untung dan rugi; sedangkan riba diharamkan karena tidak terdapat keseimbangan antara untung dan rugi, yaitu usaha yang menguntungkan tanpa risiko rugi.2 Riba diharamkan tidak sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap (baca: tadrij; berangsurangsur); hal ini dapat diketahui dengan membaca Quran yang meng gambarkan empat tahap haramnya riba; yaitu: 1. Dalam al-Quran (QS al-Rum [30]: 39), Allah berfirman bahwa yang artinya, “dan sesuati riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).”
1
2
Anggaran Dasar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), pasal 11 tentang Hal-hal yang Dilarang. Rafiq Yunus al-Mishri, Madza Fa‘ala al-Iqtishadiyun alMuslimun (Damaskus: Dar al-Maktabi. 2012), hlm. 26.
Dalam ayat tersebut terdapat informasi tentang perbandingan antara riba dengan zakat. Riba yang secara empirik bertambah tapi tidak bertambah dalam pandangan Allah; sedangkan zakat sebaliknya, yaitu jumlah harta yang dizakati secara empirik berkurang tapi bertambah dalam pandangan Allah. Substansi al-Quran (QS al-Rum [30]: 39) masih bersifat informatif (khabari) bahwa zakat bertambah di sisi Allah (tapi secara empirik berkurang) sementara riba bersifat sebaliknya. 2. Dalam al-Quran (QS al-Nisa [4]: 161), Allah berfirman yang artinya, “dan karena mereka (orang-orang Yahudi) menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang menjalankan riba, dan karena mereka mengkonsumsi harta orang lain dengan cara yang tidak sah (batil). Dan Kami sediakan siksa yang pedih bagi orang-orang kufur.” Pada ayat ini Allah menginformasikan bahwa riba telah diharamkan bagi orang-orang yahudi; tapi mereka melanggarnya. Dalam ayat ini terdapat informasi historis tentang pelanggaran orang-orang yahudi, yakni menjalankan riba yang telah diharamkan Allah. 3. Dalam al-Quran (QS Ali ‘Imran [3]: 130), Allah berfirman yang artinya, “orang-orang yang beriman dilarang memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” Dalam ayat ini terdapat informasi tentang dilarangnya umat Islam untuk mengkonsumsi dan/atau menjalankan riba yang berupa tambahan atas harta yang bersifat berlipat-lipat (baca: berlipat ganda). Oleh karena itu, pada tahap ini riba telah diharamkan bagi umat Islam tapi terbatas hanya riba (tambahan) atas harta yang berlipat-ganda. Karenanya, keharaman riba pada ayat ini belum bersifat mutlak, tapi bersifat muqayyad. 4. Dalam al-Quran (QS al-Baqarah [2]: 275276), Allah berfirman yang artinya, “orangorang yang memakan riba tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang keraksukan syetan karena gila; yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual-beli sama dengan riba. Padahal Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan
[ȓɐɗȳɦȄ] [ȓɐɗȳɦȄ]
(șՕ ȋՑȲ)Ց
Riba dalam Transaksi Keuangan Օ Jaih Mubarok 3 (șȋՑȲ)Ց (ɽɮɳɦȄ)
(ɽɮɳɦȄ) alat penipu di antaramu, disebabkan adanya Օ ɐՑ ɗՑ ȲՑ ɼՑ șՕ ɨՑ ɏՑ ʅՕ ǷՑ ) ( ș satu golongan yang lebih banyak ՑՑ Օ Ց ՑՑ Ց Ց jumlahnya Օ Օ (șɐɗȲɼ șɨɏ ʅǷ) Ց dari golongan yang lain…” Dalam penggalan Ց Օ ʃȌȲǷ Ց Ց Օ ayat tersebut terdapat kata ( ʃȌȲǷ ) yang berarti lebih banyak jumlahnya ( ȄȮՎ ȯՑ ɏՑ ՎفՑ Ց؆Ց ɟՑՕ ǷՑ Ց );Ց Օ Ց dan ȄȮȯɏ ف؆ɟǷ 3. Dalam hadits riwayat Imam dari Օ Ւ Օ ɪAhmad զ ȧՑ ǷՑ ɼՑ Ց ɑՑ ʊՕ ȍՑ ɦȄ Ց ד Ւ Ց Ց Ց Օ զ ɑʊȍɦȄ דɪȧǷɼ Abdullah Ibn Umar ra, Rasulullah Saw Ւ Օ Ց Ց Ց Ց զ Ց զ menjual Ւ Ց Ց Ցզ Ց Օ Ց Ց bersabda yang artimya: “ (janganlah Օ Օ ...ɯ(ɡ...ʊɨɯՕ ɏɡՒ ɬʊՕ ɨȳɏՑ ȧɬՑ ȳȆզ ɭȧՑ ɯȆɭɡզ ɦɯՕ ɪɡՒ ɦɀɪՑ ɗɀ զ ȯՑ ɛɼՕ ...Ց Ց ) dirham dengan dua dirham dan jangan pulaɗ ȯɛɼ...) Ց Ց Ց Տ Ց Ց ՑՕ Ց Ց Ց ȯՑ ɳՕ ɏՑ Օ ɵՕ ɡՕՒ ʆՑ Ւ ɯՑ Օ ɦՕՑ ɼՑ Ց ɪՑ Ւ Ւ ȡՑ ֿȄ Օ ɏզ Ց ǷɼȳՑՑ ȫɷզ Ւ ȮȄ Ց takut Ց ǴȆՏ ɛɄ Ց Ց Օ ɪզ ȧՑ Ց ȄȰՑ Ǵ ɻՓ ɛȍՑ Փ ȧȆ ȿ ɻՒ ɳՕ ɏՑ (ɻȳՒ Ց ɳȫ menjual (satu) dirham dua(dirham, ǷɼՑ ȴkau ɷՒ ǴȆ ȮȄՑ ȴɄ ɻՓՓ ȍՓ ȧȆ Փ ȿ ȯՓ ɳɏՓ ɵɡʆ ɯɦɼ ɪȡֿȄ ɪզ ȧ ȄȰǴՓՓ kalian akan tergelincir kepada Ց Օ ՒՕ Օ Ց Օ Ց Ց Օ Ց Տ Օ Ց riba.”
riba. Barang siapa yang mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya terserah Allah. Barang siapa yang mengulanginya, maka mereka menjadi penghuni neraka dan kekal di dalamnya; dan “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekufuran dan bergelimang dosa.” Dalam ayat terlihat bahwa Allah mengaharamkan riba secara mutlak; yakni tambahannya yang banyak maupun sedikit tetap diharamkan. Pembanding riba dalam ayat ini adalah sedekah; sedangkan pada ayat sebelumnya, pembanding riba pada QS alRum (30): 39, adalah zakat. zakat dan sedekah adalah ibadah maliyah yang perbedaannya hanya dari segi hukumnya, hukum zakat adalah wajib; sedangkan hukum sedekah adalah sunah. Dalam konteks penggunaan harta, harta yang dizakati akan bertambah (berkah) sedangkan harta yang ditasharrufkan dengan cara riba, akan merugikan pelaku dan pemiliknya.
Ւ ɜɦȳȄՕ )ɜɦȄ) (ɑʊȉ (ɂ ɐՓ ɦȆɽՑȉՓ ɐՓ ɂ ɑՓ Տ ʊՕ ȉɽՑ ɂ ɦȆȉȳɂ
Փ Փ Shalih Muhammad al-Sulthan menjelaskan bahwa definisi riba secara istilah (terminologis) diikhtilafkan oleh ulama. Secara terbatas, al-Sulthan menjelaskan dua pendapat ulama terkait ta‘rif riba secara istilah (terminologis), yaitu: 1. Pendapat Ibn Qudamah al-Maqdisi dalam kitab al-Mughni yang menjelaskan bahwa riba secara istilah adalah pertambahan atas (pertukaran) harta khusus; yakni harta yang dikiur dengan timbangan dan takaran, baik tambahan tersebut terjadi terhadap sesama harta yang ditakar maupun yang ditimbang atau karena penangguhan (pembayaran) atas pertukaran harta yang sejenis; akan tetapi զՑ Ց Ց Ւ զ Ւ Ց զ Ց Ց զ Ց Ց ՕՑՑ Ւ Ց Ց Ւ Օ Ւ Ց ɛ ȒȮȆȍՑ ɏՒ ɤȆ Ց ɛtidaklah mengapa (baca: boleh) apabila yang ȑՓ ɸȱɦȆȉՓ ȑɸȱɦȄ : ɯɨȷɼ ɻՓ ʊɨɏ דʄڴȿ ד Փ ɤɽȷȲՑ ɤȆ Օ Օ Օ Օ Օ dipertukarkan tidak sejenis (seperti emas Օ Ւ զ զ զ զ զ զ Օ Օ Ւ Ւ Ւ Ց Ց Ց Ց Pengertian dan Ragam םݏݳȄՓ ɼ ȳՓ ɮՑ ȗɦȆȉՓ Riba ȳՒ ɮՑ ȗɦȄɼ فՓ ؈ɐՓ ȼɦȆȉՓ فՒ ؈ɐՓ ȼɦȄɼ فՓ Ք ɦȆȉՓ فէ ɦȄɼ ȓՓ ɄɘՓ ɦȆȉՓ ȓɄɘՓ ɦȄɼՑ Ց Ց Օ Ց Ց Ց Վ Ց Օ Վ Օ Օ Օ ditukar dengan perak yang dibayarkan Օ Ց Օ Ց Օ Ւ Օ Ց Ւ etimologis Arti riba (al-riba) Օ ֿȄ ɯՕ ȗՒ ȁȻՓ əsecara ʊɟ ȄɽɐʊȍՓ ɗ ɖȆɳՑ ȿ ɷՓ ȱՓ ɸՑ șՕ ɘՑ ɨȗՑ ȫ(bahasa) ȄՓ ȄȰǼՓ ɗ ȯՐ ʊȉՓ Ȅȯʆ ɪՐ ȝɮՓ ȉՓ ֺȝɭՓ ݳՓ םݏȆՓ ȉՓ berarti bertambah (al-ziyadah). Di samping itu, alՑ ɠՑ ȄȰՑ ǻsetahun kemudian); .(ɯɨȸɭ ɻȡȳȫǷ) ȯՐ ʊՑ ȉՓ ȄȯՎ ʆՑ ɰȆ Փ 2. Penulis kitab al-Iqna‘ menjelaskan bahwa riba riba secara bahasa juga berarti tumbuh (al-numu), Ց Ւ Ւ istilah sesuatu meningkat/menjadi tinggi (al-‘uluw), danՑ զ menjulang Ց Ւד Ց ɛՑ ȒՒ melebihkan Ց ɛՑ Ց զ Ց Ւ : ɯՑ ɨզ ȷ զ Ց Ց secara զ Ց Ց զ Ց զ ȉՑ ՑȑՒ ɸՑ Օ ȱɦ Ց Փ ȍՑ ɏՒ ɤՒ adalah Ց ڴզ ȿ ɽՑ Օ ȷɛՑ Ւ ȲՑ ɤȆ ɼՑ ד ɻՓ Փ ʊՕ ɨɏՑ ɤՒ ɽՕד ȮȆՑ ȍՑ ɏՒ ɤȆ ȑՓ ɸȱɦȆȉՓ ȑՒ ɸՑ ȱɦȑȄՓ ɸ: ȱɦȆ ɯɨȷՓ ɼ ɻՓ ʊɨɏՑ Ȅד ʄڴȿ ȷȲՑ ʄɤȆ ɛ ȒȮȆ ɤȆ 3 (yang dipertukarkan) dan penangguhan Օ Օ Օ Օ Օ Ց Ց Օ Ւ զ Ց Ց զ Ւ զ զ [ȓɐɗȳɦȄ] ),ȑdan (al-rif ’ah [ զՕ Օ Օ զ զ Ց Օ Ք Ւ Ւ զ է Ւ Օ Ց Ց զ զ զ Ց ȉ ȳՒ ɮՒ Ց Օ ȗɦȄ Ց bertambah զ Ց Ւ Ց Օ Ւ ȼɦȆ Ց զ ȳݳՒ Ւ ɮݏՑ ȗɦȄ Ց Ց Ց (al-rima). Օ Ց Ւ ݏՒ Օ םȄՕ ɼՑ ʄȳڴɮȿ Ւ Ց ؈Օ Ց ɐفՓ Փ Ք ȼɦȆ ɤȆՓ ɛȉՓ فȒ؈ȮȆɐՑզՓ ȼɦȄ ȍզɼՑ ՑɏՒ فɼՓ Ց ɤȆ Ւ ɛɦȆȉՓ ȉفՓ է Ւ فɦȄՒ ɼ؈ՑɐՓ ȼɦȄ ȓՓ ɄɼɘՓ فɦȆՓ ȉՓɦȆȓȉՓ ɄفɘɦȄՓ ɦȄɼɼ ȓՓ ɄɘՓ ɦȆȉՓ ȓɄɘՓ ɦȄɼ Փ םȄզ ɤՓ ɼɽȷȳفՓ Ȳ؈ɮՕ ՑɐՓ ȗɦȆ Փ Փ Ց ȗɦȆȉՓד Փ ɸȱɦȆȉՓ ȑɸȱɦȄ : ɯɨȷɼ ɻՓ ʊɨɏ דݳ (pembayaran) atas harta yang dipertukarkan; Ց Ց 1. Dalam al-Quran (QS al-Hajj [22]: 5) Allah Օ Ց Օ Օ Օ Ց Ց Ւ Ց Ց Օ Ց Օ Վ Օ Ց Ց ՕՒ ə ՕՕ Օ Ց ՑՕ Օ Վ Օ Վ Ցզ ɨȗՑ ɳȫՑ Օ ȿ Ց Օ զ ȄɽɷՕ ɐȱՒ Օ ʊɸՕ Ց ȍɗșՕ Ւ ɖȆ զ ɯՒՕ ՕȗՒ ȁՕ ȻՓզ əՑ Ց ʊՕ ɟՑ Ք ȄՒ ɽՕ Օ ɐՒɯՕ ʊՕ ȗȍՒ էȁɗՑ Ȼ զ ɼՑ ف؈Օ ɐȼɦȆ զ ȉ ȳՒ ɮՑ ȗɦȄ ȄȯՎ ʆɘՑ ɪɨՐ ȗȝȫɮՓ ȉȄՓ Փ ֺȄȰȝǼɭՓ ɗՓ ݳȯՓ ՐݏʊםȆՑՓ ȉՓ ȉȄՓ ȯʆՑ ɪՐ ȝɮՓ ȉՓ ֺȝɭՓ ݳՓ םݏȆՓ ȉՓ ݳՒ םݏȄՓ ɼՑ ȳՓ ɮՑ ȗɦȆ ȉՓ ف؈ɐՓ ȼɦȄɼ فՓ ɦȆȉՓ فՓ Ւ ɦȄɖȆ ɄɘՓ Փ ɦȆՓ ȉՓՓ ȓɘɄ ɘՓ ɦȄՕ ȄՓ ɼȄֿȄՑȰǼՓ ɗɷՓ ȱȯՓՐ ɸʊՑ ȉՓ ș Փ ɼՑ ɳȿՕȓʊՓ ɟֿȄ (șՕ ȋՑȲ)Ց Փ Փ Փ 3. Definisi istilah berfirman Օ yang artinya: “… Kamu lihat Ց Ց ɠՑ secara Ց ɠՑ ȄȰՑ ǻ yang terbaik Ց ɯɨȸɭ Օ Օ ɻȡȳȫǷ) ȯՐ .(ʊriba Ց ՕՑ ՕՒՕ Ց Ւ ՑՕ Ց Ց ɨՑ ȗՑ ȫՕ Ȅ ȄȰՑ ǼɗՑ ȯʊՑ ȉ ȄȯՎ ʆՑ ɪȝՕ ɮȉ ֺՎ ȝՕ ɭ ݳ.(ݏɯɨȸɭ ȉՓ ȄȯՎ ʆՑ ɰȆ ȄȰǻՓ ) ȯՐ ʊՑ ȉՓ ȄȯՎ ʆՑ ɰȆ ɻȡȳȫǷ Փ ɯՕ ȗՒ ȁȻՓ əʊkemudian ɟ ȄɽɐʊȍՓ ɗ ɖȆɳȿapabila ֿȄ ɷՓ ȱՓ ɸՑ șՕ ɘtelah םȆՓ ȉՓ Փ Kami Ր Փ Ր Փ Փ Փ Փ menurut Shalih Muhammad al-Sulthan bumi ini kering, Փ (ɽɮɳɦȄ) Ց Ց Ց Վ Ց Ց penambahan (melebihkan) harta turunkan air (hujan) di atasnya, .(hiduplah ȄȰǻՓ ɯɨȸɭ ɻȡȳȫǷ) ȯՐ ʊȉՓ Ȅȯʆ ɰȆɠ adalah Ց Ց Օ Ց dan menjadi subur dan Ց Ց Ց itu Օ Օ Ց ribawi yang sejenis yang dipertukarkan dan bumi Ȳ (șɐɗ ɼ șɨɏ ʅǷ) [ȓɐɗȳɦȄ] [ȓɐɗȳɦȄ] adanya penangguhan penguasaan terhadap menumbuhkan berbagai jenis pasangan ՑȲՕ ǷՑ Օ ȋՑ Ց Dalam penggalan ʃ Ȍ benda yang wajib dikuasai (al-qabdh).4 tetumbuhan yang indah. ( ș Ȳ) Օ Ց [ȓɐɗȳɦȄ] (șȋȲ)Ց ayatՎ tersebut terdapat kata kerja riba, yaitu ՑՕՑ ȄՑ ȮȯՑ ɏՑ فՑ ؆ɟǷ (ɽɮɳɦȄ) Օ Ց (șȋȲ) yang berarti tumbuh (ɽɮɳɦȄ) menjadi Օ Ւ զ Ց ՑՑ Ց Ց Ց ɑՑ ʊՕ ȍՑ ɦȄ dan דɪȧmenjulang Ƿɼ tinggi (șՕ ɐՑ ɗȲՑ ɼՑ șՕ ɨɏՑ ʅՕ Օ Ƿ) ;Ց Օ Ց Ց Ց Ց ՑՑ
(ɽɮɳɦȄ)
(șɐɗȲɼ șɨɏ ʅՕ Ƿ)
Ց Ւ al-Quran Ւ Ց (QS Ց Ց 2. Dalam [16]: 92), Allah զ ɗՑ ȯՕ al-Nahl (...ɯՕ ɡʊՕ ɨɏՑ ɬՑ ȳզ ȧՑ Ȇɭզ ɯՕ ɡɦ ɪՑ ɀ ɛʃɼՑ Ȍ...ՑȲՕ Ƿ) Ց Ց Ց man berfir yang artinyaʃȌՑȲՕ ǷՑ “…Kamu (șՕ ɐՑ ɗȲՒՑ ɼՑՕ șՕ ɨɏզ Ց Ց ʅՕ Ւ Ƿ)Ց Ց Ց Ց ՑՕ զ Ց Ց Ց Ց ȯՎ Ց ɳՑ Օ ɏՑ ɵՑՕ Ց ɡՒ Օ ʆՑ ɯՕ ɦՑ ɼՑ ɪՒ ȡՑ ֿȄ menjadikan mu (ɻɳɏՑ ȳՑ ȫǷɼՑ ɷȮȄsumpah ȄȰǴȆՓ ɗ) ɪȧ sebagai ȴ ǴȆՏ Ʉɛ ɻՓ ȍՓ ȧȆ ȄȮȯ Փ ف؆ɟǷ Փ ȿ(perjanjian)
3
ՑՕՑ Ց ȄՑ ȮՎ ȯՑ ɏՑ فՑ ؆ɟǷ ʃȌՑȲՕ Ƿ Տ Օ Ց Ց Օ Ւ Օ Ց Օ Ց Օ Ւ ɪզ ȧՑ ǷɼՑ (ɑʊȉ ɂ ɑՑ ʊՕ ȍՑ ɦȄ ד Փ ɽɐՓ ɦȆȉՓ ɂȳɜɦȄ) al-Sulthan, Lihat Shalih Muhammad al-Riba: wa Ւ ‘Illatuhu Ց ʊՕ ȍՑ ɦȄՕ ד զ ȧՑ ǷՑ ɼՑ ɑ ɪ ՎȄȮȯՑ ɏՑ فՑ ؆Ց ɟՕ ǷՑ wa Bai‘ al-Dain (KSA: Dhawabithuhu Dar Ashda’ alՑ Ց Ւ Ց Ց Ւ Ց ՕՑՑ
4
Lihat Shalih Muhammad al-Sulthan, al-Riba: ‘Illatuhu wa Dhawabithuhu wa Bai‘ al-Dain (KSA: Dar Ashda’ alզ ɗ ȯɛɼ...) (...ɯՕ ɡʊՕ ɨɏ ɬՑ ȳզ ȧ Ȇɭզ ɯՕ ɡɦ ɪՑ ɀ Mujtama‘. 1418 H.), hlm. 6-7. Mujtama‘. 1418 H.), hlm. 6. Օ ɡՒ ʊՕ ɨՑ ɏՑ ɬՑ ȳզ ȧՑ Ȇɭզ ɯՕ ɡՒ ɦՑ ɪՑ ɀ զ ɗՑ ȯՕ ɛՑ ɼՑ ...) ( ... ɯ Ց Օ Ց Ց Ւ Ց ՒՕՑ զ Ց ՒՑ Ց Ց ՑՕՑ Ւ զ Ց Ց Ց ՑՕ Օ Ց Օ Ց Ւ ՑՑՕ Ց Ց Ց
ɑʊȍɦȄ דɪȧǷɼ
(ɻɳɏ ȳՑ ȫǷɼ ɷȮȄȴ ǴȆՏ Ʉɛ ɻՓ ȍՓ ȧȆՓ ȿ ȯɳɏՓ ɵɡʆ ɯɦɼ ɪȡֿȄ ɪզ ȧ ȄȰǴȆՓ ɗ)
Ւ ՕՑ Ց զ ՑՑ Ւ Ց Ց Տ Ց Ց
Ց Ց Օ Օ Ւ Ց Օ ՑՑ Ւ ՑՑՕ զ Ց Ց Ց
ɻՒ ɳɏՕ Ց ȳՕ ՑȫǷɼ ɷȮȄȴ ǴȆɄɛ ɻՓ ȍՓ ȧȆՓ ȿ ȯɳɏՓ ɵɡʆ ɯɦɼ ɪȡֿȄ ɪȧ ȄȰǴȆՓ ɗ) Ւ Ց Ւ Ց զ Ց Օ Ց Ց (ɑՏ ʊՕ ȉՑ ɂɽՑ ɐՓ ɦȆՕ ȉՓ (ɂ ȳɜɦȄ) (...ɯՕ ɡʊՕ ɨɏՑ ɬՑ ȳզ ȧՑ Ȇɭզ ɯՕ ɡɦ ɪՑ ɀ ɗ ȯɛɼ...) Փ ՏՕՑ
Ց Օ Ւ Օ Ց ՕՑ
(ɑʊȉ ɂɽɐՓ ɦȆȉ ɂȳɜɦȄ) Ց Ց ɛՑ ɻȍȧȆȿ Ց Ց Օ Օ Ւ Ց Օ Ց Ց Ց Ց Օ Փ Ց ՑՓ Ց (ɻՒ ɳՕ ɏՑ ȳՑ ȫզ ǷɼՑ ɷՒ ȮȄՑ ȴՑ ǴȆՏ Ʉ Փ Փ ȯɳɏՓ ɵɡʆ ɯɦɼ ɪՒ ȡֿȄ ɪզ ȧ ȄȰǴȆՓ ɗ)
4 AT - TARADHI Jurnal Studi Ekonomi, Volume 6, Nomor 1, Juni 2015, hlm. 1-12
Harta Ribawi Di antara hadits Rasulullah Saw terkait larangan riba adalah:
terhadap cara pembayaran (yaitu tunani/ yad[an] bi yad[in]). Arti yad(an) bi yad(in) adalah pembayaran secara tunai (naqd[an]), kebalikannya adalah pembayaran secara tangguh (ta’jil) sehingga melahirkan utangpiutang yang dalam bahasa Arab disebut aldain. 3. Riba nasi’ah; yaitu gabungan antara riba fadhl dengan riba yad (baca: riba nasa’/riba dain). Riba nasi’ah menurut Rafiq Yunus al-Mishri adalah pertambahan harta sejenis yang dipertukarkan karena penyerahan salah satunya dilakukan secara tangguh.5
Ց Ւ զՑ զ զ Ց զ Ւ Օ Ւ Ց ɛՑ ȒՒ ȮȆՑ ȍՑ ɏՒ ɤȆ Ց ɛՑ ȑՓ ɸՑ ȱɦȆȉՓ ȑՒ ɸՑ ȱɦȄ : ɯՑ ɨȷՑ ɼՑ ɻՓ ʊՕ ɨɏՑ ד ʄڴȿ ד Փ ɤɽȷȲՑ ɤȆ ՕՕ զ ՒՕ զ Ց ՔՒՕ էՒՕ Ց զ Օ Ւ զ Օ Ց զ ɼՑ ف؈Օ ɐȼɦȆ զ ȉ ȳՒ ɮՑ ȗɦȄ ݳՒ םݏȄՓ ɼՑ ȳՓ ɮՑ ȗɦȆ Փ Փ ȉՓ ف؈ɐՓ ȼɦȄɼ فՓ ɦȆȉՓ فɦȄɼ ȓՓ ɄɘՓ ɦȆȉՓ ȓɄɘՓ ɦȄɼ Փ Ց Օ Ց Ց Օ Ց Ց Ց Ւ Օ Ց Օ Վ Օ ՕՕ ɯՕ ȗՒ ȁȻՓ əʊՕ ɟ ȄɽՕ ɐՒ ʊՕ ȍՓ ɗ ɖȆɳՑ ȿ ֿȄ ɷՓ ȱՓ ɸՑ șՕ ɘՑ ɨȗՑ ȫȄՓ ȄȰǼՓ ɗ ȯՐ ʊՑ ȉՓ ȄȯՎ ʆՑ ɪՐ ȝɮՓ ȉՓ ֺȝɭՓ ݳՓ םݏȆՓ ȉՓ Ց ɠՑ ȄȰՑ ǻ .(ɯɨȸɭ ɻȡȳȫǷ) ȯՐ ʊՑ ȉՓ ȄȯՎ ʆՑ ɰȆ Փ
“Dari ‘Ubadah dijelaskan bahwa Rasulullah Saw bersabda, (umat Islam boleh melakukan pertukaran [baca: [ȓɐɗȳɦȄ] jual-beli] benda-benda ribawi, yaitu) pertukaran emas Օ Ց Ց (șȋȲ)dengan emas; pertukaran perak dengan perak; pertukaran gandum dengan gandum; pertukaran jewawut dengan jewawut; pertukaran kurma dengan kurma; dan pertukaran (ɽɮɳɦȄ) garam dengan garam apabila dilakukan dengan ukuran Ց Ց Ց Օ Ց yang sama dan dilakukan (șɐ(takaran/timbangan) ɗȲՑ ɼՑ șՕ ɨɏՑ ʅՕ Ƿ) pembayarannya secara tunai. Apabila pertukaran Ց ʃȌՑȲՕ Ƿ dilakukan terhadap benda yang tidak sejenis (misal: pertukaran emas dengan gandum), lakukanlah jual-beli ՑՕՑ ȄȮՎ ȯՑ ɏՑ sesuai فՑ ؆ɟǷ kesepakatan apabila dilakukan pembayarannya Օ secara Ւ ɪզ ȧՑ ǷՑ ɼՑtunai.” ɑՑ ʊՕ ȍՑ ɦȄ ד Dalam hadits tersebut terdapat enam benda yang kalau (dengan akad jual-beli Ւ Ց Ւ Ց dipertukarkan զ ɗՑ ȯՕ ɛՑ ɼՑ ...) (...ɯՕ ɡʊՕ ɨɏՑ ɬՑ ȳզ ȧՑ Ȇɭզ ɯՕ ɡɦ ɪՑ ɀ [baca: jual-beli barter]) harus sama berat timbangan Ց ՒՑ Ց Տ Ց Ց Ց Օ զ Ց secara Ց Ց Ւ(ɻɳՕ ɏՑatau Օ ɡՒ ʆՑ ɯՕ ɦՑ ɼՑ ɪՒ ȡՑ ֿȄ Ց dan ɪȧ ȄȰǴȆՓ ɗ) tunai. Enam ȮȄȴ ǴȆɄɛ ɻՓ ȍՓ ȧȆՓ ȿ ȯՑ ɳՕ ɏՓ ɵdibayarkan ȳՑ ȫզ ǷɼՑ ɷliterannya; benda yang disabdakan oleh Rasulullah saw, dikenal Ց Օ Ւ nama Տ(ɑʊՕ ȉՑdengan Օ Ց ՕՑ al-amwal al-ribawiyat (benda-benda ɂ Փ ɽɐՓ ɦȆȉՓ ɂȳɜɦȄ) ribawi). Pertukaran (jual-beli barter) benda sesama jenis tersebut (missal jual-beli emas dengan emas) boleh dilakukan dengan dua syarat; 1) nilai/jumlah/ timbangan/takarannya har us sama; dan 2) pembayarannya harus dilakukan secara tunai. Dua syarat ini jika dilanggar akan menghasilkan tiga macam riba, yaitu: 1. Riba fadhl (pertukaran benda sejenis yang nilai/jumlah/timbangan/takaran tidak sama [yang satu jumlahnya lebih banyak dari yang lainnya]). Riba al-fadhl merupakan pelanggaran terhadap ketentuan terkait kualitas/kuntitas obyek yang dipertukarkan (harta ribawiyat); dan 2. Riba nasa’ (bukan riba nasi’ah, atau riba yad); yaitu pertukaran benda sejenis yang nilai/ jumlah/timbangan/takaran sama, tapi yang yang satu diserahterimakan secara tunai (dibayar tunai [naqdan, ta‘jil/mu‘ajjal]) sedang yang lainnya dibayar secara tidak tunai (tangguh [ta’jil]), atau keduanya dipertukarkan yang serahterimanya dilakukan secara tangguh. Riba ini merupakan pelanggaran
Tiga riba tersebut (riba fadhl, riba nasa’, dan riba nasi’ah) terjadi dalam konteks pertukaran (baca: akad jual-beli [‘aqd al-bai‘]). Oleh karena itu, di antara ulama ada yang menyatakan bahwa riba yang terjadi dalam akad jual-beli disebut riba buyu‘ (riba jualbeli [riba al-bai‘]; kata al-buyu‘ merupakan bentuk jamak dari kata al-bai‘). Dengan kata lain, riba buyu‘ mencakup tiga macam riba, yaitu riba fadhl, riba nasa’/riba yad, dan riba nasi’ah. Dalam hadits tersebut terdapat enam jenis benda yang haram dipertukarkan kecuali dilakukan secara tunai (yad[an] bi yad[in]) dan yang satu tidak dilebihkan dari yang lainnya (mitsl[an] զ bi mitsl[in]). Ց ȱɦȆȉ ȑՒ ɸՑ ȱɦզ ȄՑ : ɯՑ ɨզ ȷՑ ɼՑ ɻʊՕ ɨՑ ɏՑ ד Ւ ʄڴզ ȿ Ց ד Փ Փ Enam jenis benda tersebut dinamaiȑՓ ɸbenda-benda Փ Օ Օ Օ զ զ զ զ Օ Օ Ւ Ւ Ց Ց Ց Ց Ց Ւ Ք Ւ ribawi (al-amwal al-ribawi). Apakahݏݳbenda םȄՓ ɼ ȳՓ ɮȗɦȆȉՓ ribawi ȳɮȗɦȄɼ فՓ ؈ɐՓ ȼɦȆȉՓ ف؈ɐՓ ȼɦȄɼ فՓ ɦȆȉՓ ف Ց Օ Ց Ց Ւ ՑՕ Ց Ց gandum, hanya enam benda tersebut (emas, perak, ՕʊɟՑ ȄɽՕ ɐՒ ʊՕ ȍɗՑ ɖȆ ՕɯȗՒ ȁՕ Ȼ ə ɳȿֿȄ ɷՓ ȱՓ ɸՑ șՕ ɘՑ ɨȗՑ ȫȄՓ ȄȰǼՓ ɗ Փ Փ jewawut, kurma, dan garam) ataukah termasuk .(ɯɨȸɭ benda-benda lain selain yang disebutkan dalam hadits tersebut. Shalih Ibn Muhammad al-Sulthan menyatakan [ȓɐɗȳɦȄ] tentang sepakatnya ulama mengenai haramnya enam macam benda (emas, perak, gandum, (șՕ ȋՑȲ)Ց sebagai benda ribawi. jewawut, kurma, dan garam) Apabila benda sejenis dipertukarkan berlaku dua (ɽɮɳɦȄ) ketentuan; yaitu harus sama jumlah/kualitasnya dan harus tunai. Ց Օ ՑՑ Օ Ց (șՕ ɐՑ ɗȲՑ ɼՑ zhahiriah, șɨɏ ʅǷ) Imam Thawus, Qatadah, dan Ibn Aqil dari kalangan Hanabilah berpendapat bahwa Ց ȌՑȲՕ Ƿ harta ribawi hanya enam ʃsebagaimana termaktub dalam hadits yang diriwayatkan imam Muslim; yaitu ՑՕՑ emas, perak, gandum, jewawut, dan garam. ȄȮՎ ȯՑ ɏՑ فՑ ؆ɟkurma, Ƿ Di antara alasannya adalah al-Quran (QS al-Baqarah Օ Ւ զ Ց ՑՑ ɪȧǷɼ ) yang artinya, [2]: 275) yang berbunyi ( ɑՑ ʊՕ ȍՑ ɦȄ ד “Allah menghalalkan jual-beli.” Ayat ini bersifat Ւ Ց ՒՑ զ Ց ՕՑՑ (...ɯՕ ɡʊՕ ɨɏՑ ɬՑ ȳզ ȧՑ Ȇɭզ ɯՕ ɡɦ ɪՑ ɀ ɗ ȯɛɼ...) 5
Rafiq Yunus al-Mishri, Riba al-Qurudh Adillatu Ւ ɳՕ ɏՑ ȳՑ ȫզ ǷՑ ɼՑ wa Ց ɛՑ ɻȍTahrimihi Ց Ց Օ Օ Ւ Ց Օ ՑՑ ՑՑՕ Ց Ց ɷՒ ȮȄՑ ȴՑ ǴȆՏ 9-11. Ʉ Փ (Damaskus: Dar al-Maktabi.(ɻ2012), hlm. Փ Փ ȧȆՓ ȿ ȯɳɏՓ ɵɡʆ ɯɦɼ ɪՒ ȡֿȄ ɪզ ȧ ȄȰǴȆɗ
Ց Օ Ւ Օ Ց ՕՑ (ɑՏ ʊՕ ȉՑ ɂ Փ ɽɐՓ ɦȆȉՓ ɂȳɜɦȄ)
Ց Ց Ց (șՕ ɐՑ ɗȲՑ ɼՑ șՕ ɨɏՑ ʅՕ Ƿ) Ց ʃȌՑȲՕ Ƿ
Riba dalam Transaksi Keuangan
ՑՕՑ ȄȮՎ ȯՑ ɏՑ فՑ ؆ɟǷ secara bahasa tapi dibatasi dengan enam umum macam benda yang dijelaskan Rasulullah Saw; dan Օ Ւ զ Ց ՑՑ ayat iniɪȧdihubungkan dengan ayat lain, yaitu alɑՑ ʊՕ ȍՑ ɦȄ ד Ƿɼ Quran (QS al-An‘am [6]: 119) yang berbunyi Ւ Ց ՒՑ զ Ց ՕՑՑ (...ɯՕ ɡʊՕ ɨɏՑ ɬՑ ȳզ ȧՑ Ȇɭզ ɯՕ ɡɦ ɪՑ ɀ ɗ ȯɛɼ...) ; yang artinya, “…dan Allah telah menjelaskan (baca: rinci) mu apaՑ Օ զ untuk Ց Ց Ւ ɳՕ ɏՑ ȳՑ ȫզ ǷՑ ɼՑ ɷՒ ȮȄՑ Ց ǴȆՏ Ʉ Ց ɳՕ ɏ ɵՕ ɡՒ ʆՑ ɯՕ ɦՑ ɼՑ ɪՒ ȡՑ ֿȄ Ց ɛՑ ɻȍȧȆȿ Ց Ց ( Ȅ Ȱ ǴȆ ɗ ɪ ȧ ɻ ) ȯ ȴ apa yang Allah haramkan Փ Harta/ ՓՓ Փ Փ bagi kamu…” benda baik makanan, minuman, maupun yang Ց ɐɦȆՕ ȉ ɂ Օ ɜՑ ɦՕ ȄՑ ) dinyatakan haram secara eksplisit (ɑՏ ʊՕ ȉՑ ɂ lainnya Փ Փ Ւ ȳtidak Փ ɽyang dalam al-Quran dan sunah adalah halal.6 Jumhur ulama termasuk imam yang empat (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi‘I, dan imam Ahmad Ibn Hanbal) bahwa harta ribawi yang pokok berjumlah enam macam (emas, perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam) tapi tidak terbatas pada enam macam benda tersebut karena terdapat ‘illat keharamannya, argumennya adalah: 1. Hadits riwayat Imam Muslim dari Ma‘mar Ibn Abdullah, bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda yang artinya, “…makanan ditukar dengan makanan harus sama/sepadan kuantitas/kualitasnya…” Kata makanan lebih umum dari empat macam benda (gandum, jewawut, kurma, dan garam) yang termaktub dalam hadits ‘Ubadah dan Abi Said. 2. Hadits riwayat Imam Mulsim dari Ibn Umar bahwa Rasulullah Saw melarang jual-beli muzabanah, yaitu jual-beli buah kurma (nahl) dengan kurma yang lain (tamar) dengan cara ditakar; dan jual-beli kismis (anggur/tin kering) dengan anggur (basah) dengan cara ditakar, dan setiap jual-beli kurma dengan perkiraan/taksiran. Larangan jual-beli anggur kering dibayar dengan anggur basah tidak terdapat dalam hadits ‘Ubadah yang membatasi harta ribawi hanya enam; 3. Hadits riwayat Imam Malik dari Sa‘id Ibn alMusayyab menjelaskan bahwa Rasulullah Saw melarang adanya penjualan daging yang dibayar dengan hewan; daging tidak termasuk enam obyek yang dikategorikan sebagai harta ribawi.7
‘Illat Hukum Riba Hadit riwayat Imam Muslim dari ‘Ubadah dan Abi Sa‘id tentang enam benda ribawi (emas, perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam), menjadi bahan pembahasan utama dalam menetukan ‘illat hukum riba. Secara umum, benda tersebut dikelompokkan menjadi dua: 1) benda yang bersifat nuqud (tsamaniyah); yaitu emas dan perak; dan 2) benda yang bersifat makanan (al-tha‘am); yaitu gandum, jewawut, kurma, dan garam. ‘Illat Hukum Emas dan Perak Ulama tidak sepakat mengenai ‘illat hukum emas dan perak. Pendapat mereka secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua: a. Ulama Hanafiah dan Hanabilah, yaitu Imam al-Nakha‘i, Imam al-Zuhri, Imam al-Tasuri, dan Imam Ishaq berpendapat bahwa ‘illat hukum riba atas emas dan perak adalah timbangan dan jenisnya, maka berlakulah hukum riba atas setiap pertukaran benda sejenis yang diukur dengan timbangan seperti pertukaran besi, timah, seng (zinc), emas, perak, daging, gula dan setiap benda yang ditimbang, maka benda-benda yang sejenis tersebut tidak boleh diperjualbelikan (dipertukarkan) kecuali beratnya sama dan pembayarannya dilakukan secara tunai.8 b. Ulama Malikiah dan Syafi‘iah berpendapat bahwa ‘illat hukum riba atas emas dan perak adalah uang dan Muhammad Abu Zahrah berpendaapat bahwa ‘illat diharamkannya emas dan perak adalah karena kedudukannya sebagai mi‘yar/standar/harga;9 karena emas dan perak adalah dua jenis batu permata/ intan yang berharga secara intrinsik dan karenanya dijadikan standar harga bagi benda-benda lainnya.10 Perbedaan pendapat ulama tentang ‘illat hukum riba atas pertukaran emas dengan emas dan pertukaran perak dengan perak masing-masing
8
6
7
Shalih Muhammad al-Sulthan, al-Riba: ‘Illatuhu Dhawabithuhu wa Bai‘ al-Dain (KSA: Dar Ashda’ Mujtama‘. 1418 H.), hlm. 20-21. Shalih Muhammad al-Sulthan, al-Riba: ‘Illatuhu Dhawabithuhu wa Bai‘ al-Dain (KSA: Dar Ashda’ Mujtama‘. 1418 H.), hlm. 23-24.
wa alwa al-
Jaih Mubarok 5
Shalih Muhammad al-Sulthan, al-Riba: ‘Illatuhu wa Dhawabithuhu wa Bai‘ al-Dain (KSA: Dar Ashda’ alMujtama‘. 1418 H.), hlm. 26. 9 Rafiq Yunus al-Mishri, Madza Fa‘ala al-Iqtishadiyun alMuslimun (Damaskus: Dar al-Maktabi. 2012), hlm. 26. 10 Shalih Muhammad al-Sulthan, al-Riba: ‘Illatuhu wa Dhawabithuhu wa Bai‘ al-Dain (KSA: Dar Ashda’ alMujtama‘. 1418 H.), hlm. 31.
6 AT - TARADHI Jurnal Studi Ekonomi, Volume 6, Nomor 1, Juni 2015, hlm. 1-12
memiliki argument/alasan hukum. Ulama Hanafiah dan Hanabilah, yaitu Imam al-Nakha‘i, Imam alZuhri, Imam al-Tasuri, dan Imam Ishaq yang berpendapat bahwa ‘illat hukum riba atas emas dan perak adalah timbangan dan jenisnya menggunakan alasan-alasan berikut: 1. Hadits riwayat Imam Muslim dari Abi Hurairah dan Abi Sa‘id yang menjelaskan tentang seseorang yang menukarkan kurma dengan kurma Janib; kemudian Rasul Saw bertanya, ‘apakah setiap pertukaran kurma Khaibar dilakukan dengan cara begini?’ orang yang ditanya menjawab, ‘tidak, demi Allah wahai Rasulullah, kami membeli satu sha’ kurma (tersebut) dan membayarnya dengan dua sha’ kurma (lain),’ Rasulullah bersabda, ‘jangan lakukan hal itu kecuali yang takaran/ timbangannya sama, atau juallah kurma ini dengan harga sekian, dan harga (pembayaran)-nya digunakan untuk membeli kurma lain dengan harga yang disepakati; seharusnya seperti itulah pertukaran (jualbeli) barang yang ditimbang. Dalil yang dijadikan kata kunci adalah kata al-mizan; hal mana menunjukkan bahwa setiap jual-beli benda yang ditimbang berlaku hukum riba dan karenanya tidak boleh dilebihkan yang satu dari yang lainnya.11 2. Hadits riwayat Imam al-Daruquthni dari ‘Ubadah dan Anas dari nabi saw bersabda, pertukaran benda yang ditimbang harus sama beratnya jika yang dipertukarkan termasuk benda yang sama/sejenis; begitu juga hal yang sama berlaku bagi pertukaran benda yang ditakar. Apabila benda yang dipertukarkan berbeda jenisnya, maka boleh dilebihkan salah satunya. Dalam hadits ini terdapat petunjuk hukum yang menerangkan bahwa setiap benda yang ditimbang ter masuk benda mumatsilah (ada padanannya) dan hal ini menunjukkan bahwa setiap benda yang ditimbang termasuk harta ribawi.12
11
Shalih Muhammad al-Sulthan, al-Riba: ‘Illatuhu Dhawabithuhu wa Bai‘ al-Dain (KSA: Dar Ashda’ Mujtama‘. 1418 H.), hlm. 26-27. 12 Shalih Muhammad al-Sulthan, al-Riba: ‘Illatuhu Dhawabithuhu wa Bai‘ al-Dain (KSA: Dar Ashda’ Mujtama‘. 1418 H.), hlm. 28.
wa alwa al-
3. Hadits riwayat Imam al-Baihaqi dari Abi Sa‘id yang menjelaskan bahwa Nabi Saw (membolehkan adanya) pertukaran (jual-beli) kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, jewawut degan jewawut, emas dengan emas, dan perak dengan perak dengan syarat pembayarannya dilakukan secara tunai dan sama (timbangan atau takarannya), tidak boleh ada tambahan dan pengurangan; apabila ada tambahan atau pengurangan, sungguh telah melakukan riba; dan riba berlaku terhadap seluruh benda yang ditimbang atau ditakar. Hadits ini menunjukkan setiap benda yang ditakar atau ditimbang memiliki/ada benda lain yang sama (mitsaliyat), maka setiap pertukaran benda sejenis diharamkan adanya kelebihan.13 Ulama Malikiah dan Syafi‘iah berpendapat bahwa ‘illat hukum riba atas emas dan perak adalah uang dan Muhammad Abu Zahrah berpendaapat bahwa ‘illat diharamkannya emas dan perak adalah karena kedudukannya sebagai mi‘yar/standar/harga. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal yang dipilih oleh Ibn Taimiah dan Ibn al-Qayyim, yang menegaskan bahwa setiap emas atau perak yang dijadikan tsaman (standar/ harga) dalam bentuk apapun (termasuk uang) harus dipertukarkan dengan cara tunai dan tidak boleh dilebihkan.14 Shalih Ibn Muhammad al-Sulthan menegaskan bahwa ‘illat hukum diharamkannya pertukaran emas dengan emas dan perak dengan perak adalah tsamaniyah, merupakan penetapan ‘illat hukum yang bersifat berkelid-berkelindan; karena penentuan ‘illat tersebut dapat menjelaskan dua fakta hukum berikut: 1) uang sekarang berupa uang kertas (bukan dibuat dari emas atau perak); meskipun bukan emas, tapi uang berfungsi sebagai tsaman (standar/harga); meskipun tidak disebut dalam hadits sebagai harta ribawi, tetapi sesungguhnya pertukaran uang dengan uang harus diberlakukan hukum ribawi; dan 2) adanya perhiasan (sil‘ah) yang berupa bejana atau benda13
Shalih Muhammad al-Sulthan, al-Riba: ‘Illatuhu Dhawabithuhu wa Bai‘ al-Dain (KSA: Dar Ashda’ Mujtama‘. 1418 H.), hlm. 28-29. 14 Shalih Muhammad al-Sulthan, al-Riba: ‘Illatuhu Dhawabithuhu wa Bai‘ al-Dain (KSA: Dar Ashda’ Mujtama‘. 1418 H.), hlm. 32.
wa alwa al-
Riba dalam Transaksi Keuangan
benda unik lainnya, maka diberlakukan hukum riba, padahal perhiasan tidak berkedudukan sebagai standar/tsaman/harga.15
Pada prinsipnya dapat dikatakan bahwa riba jahiliah adalah riba (tambahan/ziyadah) sebagai “denda” karena pihak yeng memiliki utang tidak dapat membayar utang pada waktu yang disepakati, baik utang tersebut terjadi karena akad qardh, akad jual-beli yang pembayaran tsaman-nya dilakukan secara tang guh, maupun akad ijarah yang pembayaran ujrah-nya dilakukan secara tangguh. 2. Abd Allah Ibn Muhammad Ibn Hasan alSa‘idi mengatakan bahwa riba jahiliah adalah riba atas utang yang di dalamnya terdapat syarat tambahan terhadap pokok pinjaman/ ra’s al-mal yang diterima oleh yang berutan;18 sedangkan Rafiq Yunus al-Mishri menyaakan bahwa riba jahiliah adalah riba atas utang disyaratkan adanya tambahan;19 pendapat tersebut didasarkan pada penjelasan Abu Bakar al-Jashash dalam kitab Ahkam alQur’an, yang mengatakan bahwa riba yang dikenal dan diamalkan masyarakat jahiliah adalah meminjamkan dinar yang harus dibayar pada waktu yang disepakati dan disepakati adanya tambahan dengan kadar (prosentase) tertentu atas dinar yang dipinjamkan; riba jahiliah tidak lain adalah riba atas pinjaman dinar atau dirham yang wajib dibayar pada waktu yang disepakati berikut tambahan yang dipersyaratkan.20 3. Imam al-Fakhr al-Razi dalam kitab Mafatih al-Ghaib, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan riba jahiliah adalah riba nasi’ah; riba ini sudah masyhur dan dikenal masyarakat jahiliah; ilustrasinya adalah bahwa di antara mereka menyerahkan harta kepada pihak lain
Riba Jahiliyah Ulama tidak sepakat dalam mengilustrasikan riba jahiliyah. Setidaknya Abd Allah Ibn Muhammad Ibn Hasan al-Sa‘idi mengulas kembali penjelasan Rasyid Ridha dalam kitab al-Riba wa alMu‘amalat fi al-Islam,16 terkait rujukannya terhadap pendapat Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Abu Bakar al-Jashash, dan al-Fakhr al-Razi terkait ilustrasi riba jahiliyah; yaitu: 1. Muhammad Ibn Jarir al-Thabari dalam kitab Jami‘ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an menjelaskan bahwa riba jahiliyah adalah riba atas utang/ piutang karena akad jual-beli yang pembayarannya dilakukan secara tangguh, jika pada waktu yang disepakati pihak yang memiliki utang tidak membayarnya, maka jumlah utangnya bertambah karena bertambahnya jangka waktu untuk melunasinya.17 Secara eksplisit menunjukkan bahwa riba jahiliah terjadi pada utang-piutang yang meuncul karena akad jual-beli karena pembayaran harga (tsaman)-nya tidak tunai. Secara implisit sebenarnya apa yang dijelaskan oleh Imam Muhammad Ibn Jarir al-Thabari menggambarkan utang-utang piutang yang timbul karena akad qardh dengan penjelasan bahwa riba jahiliyah adalah riba atas utang/piutang karena akad qardh, jika pada waktu yang disepakati pihak yang memiliki utang tidak membayarnya, maka jumlah utangnya bertambah karena bertambahnya jangka waktu untuk melunasinya. 18
15
Shalih Muhammad al-Sulthan, al-Riba: ‘Illatuhu wa Dhawabithuhu wa Bai‘ al-Dain (KSA: Dar Ashda’ alMujtama‘. 1418 H.), hlm. 32. 16 Muhammad Rasyid Ridha, al-Riba wa al-Mu‘amalat fi alIslam (Beirut: Dar Ibn Zaidun. 1406H), hlm. 137-139. 17 Rafiq Yunus al-Mishri, Riba al-Qurudh wa Adillatu Tahrimihi (Damaskus: Dar al-Maktabi. 2012), hlm. 18; Abd Allah Ibn Muhammad Ibn Hasan al-Sa‘idi, al-Riba fi alMu‘amalat al-Mashrifiyyah al-Mu‘ashirah (KSA: Dar Thayibah. 2000), vol. I, hlm. 39; dan Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Jami‘ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an (Mesir: Dar al-Ma‘arif. 1973), vol. VI, hlm. 80.
Jaih Mubarok 7
Abd Allah Ibn Muhammad Ibn Hasan al-Sa‘idi, al-Riba fi al-Mu‘amalat al-Mashrifiyyah al-Mu‘ashirah (KSA: Dar Thayibah. 2000), vol. I, hlm. 40; 19 Rafiq Yunus al-Mishri, Riba al-Qurudh wa Adillatu Tahrimihi (Damaskus: Dar al-Maktabi. 2012), hlm. 17; Abd Allah Ibn Muhammad Ibn Hasan al-Sa‘idi, al-Riba fi alMu‘amalat al-Mashrifiyyah al-Mu‘ashirah (KSA: Dar Thayibah. 2000), vol. I, hlm. 40; dan Abu Bakar alJashash, Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al‘Arabi. 1412H), Vol. II, hlm. 183. 20 Abd Allah Ibn Muhammad Ibn Hasan al-Sa‘idi, al-Riba fi al-Mu‘amalat al-Mashrifiyyah al-Mu‘ashirah (KSA: Dar Thayibah. 2000), vol. I, hlm. 40; dan Abu Bakar alJashash, Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al‘Arabi. 1412H), Vol. II, hlm. 183.
8 AT - TARADHI Jurnal Studi Ekonomi, Volume 6, Nomor 1, Juni 2015, hlm. 1-12
dan mengambil jasanya setiap bulan dengan kadar/ukuran tertentu sesuai kesepakatan sementara jumlah harta pokoknya (ra’s al-mal) tidak berkurang. Apabila jangka waktu yang disepakati berakhir, maka harta pokok (harus) dikembalikan kepada pihak yang meminjamkan. Apabila pihak peminjam tidak mampu melunasinya pada waktu yang telah disepakati, maka hutang bertambah karena penangguhan pembayaran harta pokok; inilah riba yang ada dan dipraktekan masyarakat jahiliyah.21 Penjelasan ahli tafsir terkait ilustrasi riba pada zaman jahiliah menunjukkan bahwa riba telah ada, diamalkan dan berlaku pada zaman Nabi Muhammad sebelum diutus menjadi nabi dan/atau rasul. Masyarakat yang menolak Islam pada waktu itu disebut masyarakat jahiliah, dan riba yang berlaku di antara mereka juga disebut riba jahiliah. Dari segi cakupannya, riba jahiliah mencakup dua macam obyek transaksi; yaitu: 1) riba atas obyek transaksi yang bersifat isti‘mali (tidak habis sekali pakai) dan/atau istihlaki (konsumtif) yang cukup syarat untuk diperjualbelikan; dan 2) riba atas obyek transaksi yang bersifat tsamaniyah/nuqud atau uang; di antaranya emas (dzahab [dinar]) dan perak (fidhdhah [dirham]) yang menjadi standar harga pada waktu itu. Hanya saja, terlihat ada perbedaan dengan ilustrasi riba pada umumnya; yaitu: 1. Ilustrasi riba jahiliah versi Muhammad Ibn Jarir al-Thabari memperlihatkan bahwa riba yang terjadi bukan riba fadhl, bukan riba nasa’, dan juga bukan riba nasi’ah, tetapi riba yang berupa tambahan harga (tsaman) karena yang pihak berutang tidak dapat membayar utang tepat waktu; 2. Ilustrasi riba jahiliah versi Abu Bakar alJashash khusus pada obyek yang bersifat harga (tsamaniyah); yaitu pertukaran uang (yang pada zaman Nabi diilustrasikan pertukaran emas dan pertukaran perak), di mana riba jahiliah merupakan tambahan yang dipersyaratkan/ disepakati atas 21
Rafiq Yunus al-Mishri, Riba al-Qurudh wa Adillatu Tahrimihi (Damaskus: Dar al-Maktabi. 2012), hlm. 18; Abd Allah Ibn Muhammad Ibn Hasan al-Sa‘idi, al-Riba fi alMu‘amalat al-Mashrifiyyah al-Mu‘ashirah (KSA: Dar Thayibah. 2000), vol. I, hlm. 40; dan al-Fakhr al-Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmi. 1411H), vol. VII, hlm. 75.
Ց Ւ dirham. զՑ զ զ Ց Ց զ Ց Ց Օ atau Ւ Օ Ւ ȲՑ ɤȆ Ց ɛՑ ȒՒ ȮȆՑ ȍՑ ɏՒ ɤȆ Ց ɛՑ peminjaman ȑՓ ɸՑ ȱɦȆȉՓ ȑՒ ɸՑ ȱɦȄ :dinar ɯɨȷɼ ɻՓ ʊɨɏՑ ד ʄڴȿ ד Փ ɤɽȷSecara Օ Ւզ Օ Ց ՕՕ զ Ց Ք Ւ Օ է Ւ Օversi substansi, զ ȉ ilustrasi Ց զ alՒ Օ jahiliah Ւ Ց զ Ց Օ զ riba ݳՒ םݏȄՓ ɼՑ ȳՓ ɮՑ ȗɦȆ Փ ȳɮȗɦȄɼ فՓ ؈ɐՓ ȼɦȆȉՓ ف؈ɐՓ ȼɦȄɼ فՓ ɦȆȉՓ فɦȄɼ ȓՓ ɄɘՓ ɦȆȉՓ ȓɄɘՓ ɦȄɼ Jashash sama dengan riba fadhl; dan Ց Օ Ց Ց Օ Ց Ց Ց Ւ Օ Ց Օ Վ Օ ՕՕ ɯՕ ȗՒ ȁȻՓ əʊՕ ɟ ȄɽՕ ɐՒ ʊՕ ȍՓ ɗ ɖȆɳՑ ȿ ֿȄ ɷՓ ȱՓ ɸՑ șՕ ɘՑ ɨȗՑ ȫȄՓ ȄȰǼՓ ɗ ȯՐ ʊՑ ȉՓ ȄȯՎ ʆՑ ɪՐ ȝɮՓ ȉՓ ֺȝɭՓ ݳՓ םݏȆՓ ȉՓ 3. ilustrasi riba jahiliah versi Imam al-FakhrՑ al-Վ Ց Ց Ց Ց ɻȡȳȫǷ)versi ȯՐ ʊȉՓ Ȅȯʆ ɰȆɠ ȄȰǻՓ .(ɯɨȸɭ Razi sama dengan ilustrasi riba jahiliah Muhammad Ibn Jarir al-Thabari. Akan tetapi, terkesan bahwa riba jahiliah mirip dengan [ȓɐɗȳɦȄ] akad mudharabah (hanya saja pemilik modal tidak bertanggungjawab atas kerugian). Di (șՕ ȋՑȲ)Ց sini terdapat dua bentuk riba: riba fadhl dan riba nasa’ sehingga al-Razi menyebutnya riba (ɽɮɳɦȄ) nasi’ah. Ց Օ Ց Ց Օ Ց riba jahiliah versi Muhammad Ibn (șՕ ɐՑ ɗȲՑ ɼՑ Ilustrasi șɨɏ ʅǷ) Jarir al-Thabari, Abu Bakar al-Jashash, dan al-Fakhr Ց meunjukkan bahwa riba jahiliah dalam arti ʃal-Razi, ȌՑȲՕ Ƿ riba yang dipraktekan masyarakat jahiliah mencakup ՕՑ Վ ȯՑ ɏՑ فՑ ؆Ց ɟfadhl, riba nasa’, dan riba nasi’ah. Hanya saja, ȄȮriba Ƿ jika dilihat dari kekhususannya, terlihat bahwa: a) Ց Օ Ւ զ teknis Ցɑistilah riba jahiliah merupakan tambahan ʊՕ ȍՑ ɦȄ ד ɪȧՑ ǷɼՑ tsaman (harga) karena pihak yang berutang tidak Ւ Ց Ւ Ց զ Ց Օ Ց utangnya berhasil kepada pihak yang (...ɯՕ ɡʊՕ ɨɏՑ ɬՑ ȳզ ȧՑ membayar Ȇɭզ ɯՕ ɡɦ ɪՑ ɀ ɗ ȯɛɼՑ ...) berutang pada waktu yang telah disepakati Ց Ց ɛՑ ɻȍȧȆȿ Ց Ց Օ Օ Ւ Ց Օ ՑՑ ՑՑՕ Ց Ց Ց (ɻՒ ɳՕ ɏՑ ȳՑ ȫզ ǷɼՑ ɷՒ ȮȄՑ ȴՑ ǴȆՏ Ʉ Փ Փ Փ ȯɳɏՓ ɵɡʆ ɯɦɼ ɪՒ ȡֿȄ ɪզ ȧ ȄȰǴȆՓ ɗ) ; dan b) riba jahiliah merupakan tambahan yang disepakati/ Ց ɐɦȆՕ ȉ ɂ Ւ ȳՕ ɜՑ ɦՕ ȄՑ ) (dipersyaratkan ɑՏ ʊՕ ȉՑ ɂ ɽ Փ atas pokok pinjaman yang Փ Փ dibayarkan secara angsuran sedangkan pokok pinjaman dibayarkan secara sekaligus pada akhir periode yang disepakati. Hal ini menunjukkan bahwa riba jahiliah sama dengan riba fadhl, hanya saja teknis pembayaran atas tambahan yang disepakati dilakukan secara berangsur/taqsith, penjelasan cara pembayaran tambahan ini tidak terdapat dalam penjelasan pakar syariah mengenai riba fadhl. Riba jahiliah pada prinsipnya relevan dengan riba dain (utang) yang muncul karena beberapa sebab, di antaranya: 1) akad jual-beli yang pembayaran harganya (tsaman) tidak dilakukan secara tunai; 2) akad qardh (pinjam-meminjam) yang bersifat sosial; dan 3) akad ijarah yang pembayaran ujrahnya tidak dilakukan secara tunai. Kelihatannya riba jahiliyah tidak hanya terkait dengan akad qardh, tetapi secara tidak langsung juga terkait dengan akad jual-beli dan akad ijarah yang termasuk dalam domain akad bisnis. Riba jahiliah sebagaimana diilustrasikan oleh Imam al-Fakhr al-Razi dalam kitab Mafatih al-Ghaib, kiranya layak ditimbang unsur-unsur berikut sebagai karakter riba jahiliah:
Riba dalam Transaksi Keuangan
1. Dari segi obyek yang dipertukarkan, riba jahiliah lebih terkonsentrasi pada dua obyek yang dipertukarkan; yaitu al-dzahab bi aldzahab (emas dengan emas) dan al-fidhdhah bi al-fidhdhah (perak dengan perak) yang ‘illat (sebab hukumnya)-nya adalah al-tsamaniyah/ al-nuqud. Obyek yang dipertukarkan adalah uang yang berupa emas (dinar) dan perak (dirham) serta berbagai derivasinya. Meskipun demikian terdapat kemungkinan menjadikan benda-benda selain emas dan perak sebagai obyek akad yang dapat memicu lahirnya riba jahiliah; 2. Term ra’s al-mal (baca: modal usaha) selama ini dikenal hanya dalam akad-akad yang sifatnya bagi hasil, yaitu akad musyarakah dan akad mudharabah; Imam al-Fakhr al-Razi mengenalkan bahwa term ra’s al-mal berarti uang yang dipinjamkan (bukan modal usaha); 3. Terdapatnya potensi dua riba nasi’ah: a) riba nasi’ah pertama adalah tambahan atas harta yang disepakati yang berupa prosentase tertentu dari jumlah uang yang dipinjamkan dalam jangka waktu tertentu; dan b) riba nasi’ah kedua adalah tambahan atas harta yang disepakati yang berupa prosentase tertentu dari jumlah uang yang yang gagal dkembalikan tepat waktu sehingga dilakukan perpanjangan (riba nasi’ah kedua merupakan konvensasi atas restrukturisasi utang); 4. Dari segi cara pengambilan; tambahan (riba) atas ra’s al-mal disepakati untuk diserahkan oleh penerima pinjaman kepada pemilik ra’s al-mal secara bertahap/angsur/cicil (altaqsith); Dari uraian ini terlihat bahwa ciri riba jahiliah adalah: 1) pertukaran mata uang (dilihat dari segi obyeknya); 2) adanya potensi dua riba nasi’ah karena pinjamannya dan karena gagal mengembalikan ra’s al-mal tepat waktu; dan 3) kelebihan atas ra’s al-mal diterima oleh pemilik uang (baca: pemberi pinjaman) dilakukan secara angsur/bertahap. Meskipun pada umumnya, riba jahiliah lebih dimaksudkan pada riba nasi’ah yang kedua, yaitu tambahan atas utang karena gagal mengembalikan ra’s al-mal tepat waktu.
pemahaman ulama terhadap ajaran dasar agama, yaitu al-Quran-sunnah. Sebagai telah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa riba fadhl merupakan tambahan (al-ziyadah) atas harta ribawisejenis yang dipertukarkan (diperjualbelikan); riba nasa’ timbul karena pertukaran tidak dilakukan secara tunai (yad[an] bi yad[in]); sedangkan gabungan antara riba fadhl dan riba nasa’ merupakan riba nasi’ah. Hukum riba fadhl diikhtilafkan sebagai berikut: pertama, jumhur ulama berpendapat bahwa hukum riba fadhl adalah haram; dan kedua, Ibn ‘Abbas, Ibn Sirin, Zaid Ibn Arqam, Usamah, dan al-Barra’ Ibn Azib berpenadapat bahwa riba fadhl tidak haram (mubah), karena yang haran hanyalah riba nasi’ah. Riba Qardh Istilah teknis riba qardh muncul karena perbedaan sifat benda yang menjadi obyek akad. Cakupan riba buyu‘ tergolong luas karena mencakup benda yang bersifat uang (nuqud/tsamaniyah) dan benda yang bersifat isti‘mali dan istihlaki (konsumtif; [yang habis sekali pakai]). Sedangkan riba qardh hanya mencakup sebagiannya saja, yaitu obyek yang bersifat uang (nuqud/tsamaniyah); pada waktu itu, tsamaniyah/nuqud yang berlaku adalah dinar dan dirham;22 oleh karena itu, riba qardh hanya terjadi dalam domain pertukaran benda-benda sejenis yang bersifat tsamaniyah (nuqud; uang). Pandangan umum menunjukkan bahwa riba qardh berkaitan dengan akad qardh. Akad qardh mer upakan perjanjian/ kesepakatan para pihak untuk melakukan utangpiutang (uang dinar/dirham/rupiah) yang wajib dikembalikan (pokoknya saja) pada waktu yang disepakati. Dari segi sifatnya, akad qardh termasuk akad tabarru‘ (sosial), yaitu akad tujuannya untuk menolong pihak lain (bukan tujuan untuk mendapatkan keuntungan). Dalam kitab al-Fiqh alIslami wa Adillatuh dijelaskan tentang adanya 5 (lima) akad yang termasuk domain akad tabarru’, yaitu hibah, i‘arah/ ‘ariyah, ‘ida‘/wadi‘ah, qardh, dan rahn.23 Akad qardh dijelaskan oleh ulama dalam hubungannya dengan akad i‘arah/‘ariyah dan akad jual-beli. Imam al-Qurafi menyatakan bahwa akad 22
Riba Fadhl Di antara cirri fikih adalah ikhtilaf (perbedaan pandangan/pendapat) karena fikih merupakan
Jaih Mubarok 9
Rafiq Yunus al-Mishri, Riba al-Qurudh wa Adillatu Tahrimihi (Damaskus: Dar al-Maktabi. 2012), hlm. 17. 23 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr. 1985), vol. V, hlm. 181.
Օ Ւ զ Ց ՑՑ ɑՑ ʊՕ ȍՑ ɦȄ ד ɪȧǷɼ Ւ Ց ՒՑ զ Ց ՕՑՑ ...ɯՕ ɡʊՕ ɨɏՑ ɬՑ ȳզ ȧՑ ȆVolume ɭզ ɯՕ ɡɦ ɪՑ ɀ ɗ ȯNomor ɛɼ...) 1, Juni 2015, hlm. 1-12 10 AT - TARADHI Jurnal Studi(Ekonomi, 6, Ց Ց ɛՑ ɻȍȧȆȿ Ց Ց Օ Օ Ւ Ց Օ ՑՑ ՑՑՕ Ց Ց Ց (ɻՒ ɳՕ ɏՑ ȳՑ ȫզ ǷɼՑ ɷՒ ȮȄՑ ȴՑ ǴȆՏ Ʉ Փ Փ Փ ȯɳɏՓ ɵɡʆ ɯɦɼ ɪՒ ȡֿȄ ɪզ ȧ ȄȰǴȆՓ ɗ)
qardh yang disertai dengan imbalan adalah (dengan Ց Օ Ւ Օ Ց Օ Ց 24 teori tahawwul al-‘aqd) jual beli (ɑՏ ʊՕ ȉՑ ɂ Փ ɽɐՓ ɦȆȉՓ ɂȳɜɦȄ) . Jika dilihat dari segi pembayaran, akad jual-beli sama dengan akad qardh; yaitu akad yang melahirkan utang-piutang dalam hal pembayaran jual-beli dilakukan secara tangguh (ta’jil/mu’ajjal) atau angsur (al-taqsith). Hanya saja tidak mungkin dalam akad qardh terdapat isu pembayaran tunai (yad[an] bi yad[in]), karena akad qardh tidak mungkin dilakukan pembayaran secara tunai, yang pasti pembayarannya dilakukan secara tangguh atau angsur. Di samping itu domainnya berbeda, akad jual-beli termasuk domain akad mu‘awadhat (tijari/bisnis) yang tujuannya adalah mendapatkan profit/keuntungan, sementara akad qardh termasuk domain akad tabarru‘ yang tujuannya bersifat sosial. Riba qardh adalah tambahan (al-ziyadah) yang diperjanjikan atas pijaman uang (dinar/dirham/ rupiah) yang wajib dikembalikan pada waktu yang disepakati/dipersyaratkan.25 Isu haramnya riba qardh bukan semata karena tambahan (al-ziyadah) sebagaimana dalam riba fadhl, tetapi karena tambahan atas pinjaman yang disyaratkan/ disepakati/ dijanjikan sejak perjanjian itu dilakukan. Hubungan akad qardh dengan akad i‘arah/ ‘ariyah adalah sama-sama menghibahkan manfaat barang (keduanya termasuk domain akad tabarru‘); hanya saja obyeknya berbeda, obyek akad i‘arah adalah harta/benda yang bersifat isti‘mali (tidak habis sekali pakai, misal: mobil, motor, gedung, dan meja) sehingga benda yang dikembalikan kepada pemilik masih sama dengan benda yang dipinjamkan (tidak diganti dengan benda lain); sedangkan obyek akad qardh adalah benda yang bersifat tsamaniyah/harga, yaitu uang; sifatnya adalah uang yang diterima dan digunakan oleh peminjam, yang wajib dikembalikan kepada pemilik di kemudian hari, yang mana uang tersebut tidak harus sama dengan uang yang diterima peminjam (dilihat dari segi nomor seri dan pecahannya serta indikator lainnya). Hubungan riba qardh dengan riba jahiliah yang bersifat khusus terletak pada posisi tambahan. Riba jahiliah adalah tambahan utang sebagai kompensasi karena gagalnya pihak yang berutang melunasi utangnya pada waktu yang telah disepakati; 24
Rafiq Yunus al-Mishri, Riba al-Qurudh wa Adillatu Tahrimihi (Damaskus: Dar al-Maktabi. 2012), hlm. 19. 25 Rafiq Yunus al-Mishri, Riba al-Qurudh wa Adillatu Tahrimihi (Damaskus: Dar al-Maktabi. 2012), hlm. 17.
sedangkan riba qardh merupakan tambahan atas harta yang dipinjamkan yang akan dibayar di kemudian hari. Hubungan riba qardh dengan riba fadhl terletak pada cakupan dan cara mempertukarkan. Riba fadhl merupakan tambahan atas harta yang dipertukarkan baik benda tersebut termasuk benda yang bersifat tsamaniyah/nuqud maupun benda isti‘mali dan istihlaki; sedangkan riba qardh hanya mencakup tambahan atas harta yang dipertukarkan atas benda yang bersifat tsamaniyah/nuqud. Oleh karena itu, ulama Syafi‘iah (antara lain imam Mutawali, imam Zarkasyi, dan imam Ramli) menyatakan bahwa riba qardh merupakan bagian dari riba fadhl. Dari segi cara pertukaran terlihat bahwa riba fadhl hanya menyangkut pertambahan (ziyadah) harta sejenis yang dipertukarkan; sedangkan riba qardh berhubungan dengan tambahan atas harta yang dipertukarkan sekaligus berhubungan dengan jangka waktu pinjaman (kapan akan dibayar). Oleh karena itu, dalam riba qardh terdapat unsur riba nasa’ di samping riba fadhl; hal mana mirip juga dengan riba nasi’ah karena terdapat gabungan antara riba fadhl dengan riba nasa’. Riba Jali dan Riba Khafi Sebagai telah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa riba berhubungan dengan syarat-syarat pertukaran benda-benda sejenis yang harus dilakukan pembayarannya secara tunai (yad[an] bi yad[in]) dan sepadan/sama/seukuran (mitsl[an] bi mitsl[in]). Pertukaran benda sejenis (disebut barter/jual-beli [al-bai‘]), maka riba yang terkait dengan pertukaran disebut riba jual-beli (riba al-buyu‘); dalam riba al-buyu‘ terkandung tiga riba; yaitu riba al-fadhl, riba al-nasa’, dan riba al-nasi’ah. Dalam hal pembayaran jual-beli dilakukan secara tidak tunai disebut utang (al-dain), karena riba alnasa’ dan riba al-nasi’ah adalah riba yang terkait dengan utang (al-dain). Dari segi tujuannya, riba yang diharamkan adalah rib al-duyun (riba yang terkait dengan utangpiutang) dan karenanya riba al-duyun disebut al-riba al-jali, yaitu riba yang menjadi (obyek) tujuan pengharamannya; sedangkan riba al-buyu‘ disebut al-riba al-kahfi karena diharamkannya riba al-buyu‘ merupakan tindakan prepentif (pencegahan [sadd al-dzari‘ah]) agar tidak jatuh pada riba al-dain.26
26
Rafiq Yunus al-Mishri, Buhuts fi Fiqh al-Mu‘amalat alMaliyah (Damaskus: Dar al-Maktabi. 2009), hlm. 96.
Riba dalam Transaksi Keuangan
Keharaman riba didiskusikan ulama dari segi pihak dan kondisi/keadaan. Di antara ulama memandang rukhshah untuk melakukan perbuatan ribawi dengan akasan keterpaksaan (karena aldharurah aw al-hajjah) dan untuk menegakkan kemashlahatan atau untuk mencegah rusaknya moral. Sedangkan ulama lainnya mempertimbang kan haramnya riba dari segi subyek hukum: pihak yang berkecukupan atau pihak yang lemah. Ulama ada yang mengharamkan pengambilan riba yang diambil dari pihak yang lemah; sedangkan hukum mengambil riba dari pihak yang kuat (kaya) mubah/ boleh.27 Kelihatannya pendapat ulama tersebut kemudian dijadikan dasar dana-dana yang diperoleh Lembaga Keuangan Syariah yang digolongkan pada pendapatan tidak halal, harus dikeluarkan dari (tidak boleh diakui sebagai) pendapatan Lembaga Keuangan Syariah (baca: harus off balance sheet) dan harus ditampung dalam rekenening tabarru‘ yang penggunaannya hanya untuk kepentingan sosial dan/atau kepentingan umum. Penutup Ditemukannya rumusan dan macam riba serta argumennya merupakan upaya yang selaras dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik hukum tertulis sebagaimana dimuat dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara maupun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah, maupun dalam hukum tidak tertulis, antara lain dapat dilihat dalam Anggaran Dasar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Di antara transaksi yang sesuai syariah adalah transaksi yang terhindar dari unsur riba, gharar, maisir, dharar, dan zhulm. Kajian ini berhasil menunjukkan argumentasi diharamkannya riba dan terbentuknya ragam riba: 1) riba fadhl (karena tidak terpenuhinya ketentuan sawa’ [‘an] bi saawa [‘in]); 2) riba nasa’ (karena tidak terpenuhinya ketentuan mitsl [‘an] bi mitsl [‘in]); dan 3) riba nasi’ah (karena akumluasi yang berupa tidak terpenuhinya ketentuan terkait sawa’ [‘an] bi saawa [‘in]) dan mitsl [‘an] bi mitsl [‘in]). Riba lain yang ditemukan dalam sejarah adalah riba jahiliah dan riba qardh. Dalam konteks transaksi keuangan, bunga uang/bank termasuk riba nasi’ah. 27
Rafiq Yunus al-Mishri, Buhuts fi Fiqh al-Mu‘amalat alMaliyah (Damaskus: Dar al-Maktabi. 2009), hlm. 97.
Jaih Mubarok 11
Potensi riba sangat terbuka dalam transaksi keuangan sebagaimana dilakukan pihak-pihak di Lembaga Keuangan Syariah baik yang termasuk bank maupun nonbank. Oleh karena itu, menjadi kewajiban pengurus LKS (direksi, komisaris, dewan pengawas syariah [DPS] dan satuan kerja terkait) untuk memahami ajaran terkait riba agar transaksi yang dilakukan di LKS terhindar dari riba. Daftar Pustaka Anggaran Dasar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Jashash, Abu Bakar, al-. 1412 H. Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi. Mishri, Rafiq Yunus, al-. 2009. Buhuts fi Fiqh alMu‘amalat al-Maliyah. Damaskus: Dar alMaktabi. Mishri, Rafiq Yunus, al-. 2012. Riba al-Qurudh wa Adillatu Tahrimihi. Damaskus: Dar alMaktabi. Mishri, Rafiq Yunus, al-. 2012. Madza Fa‘ala alIqtishadiyun al-Muslimun. Damaskus: Dar alMaktabi. Razi, al-Fakhr, al-. 1411H. Mafatih al-Ghaib. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmi. Ridha, Muhammad Rasyid. 1406 H. Al-Riba wa alMu‘amalat fi al-Islam. Beirut: Dar Ibn Zaidun. Sa‘idi, Abd Allah Ibn Muhammad Ibn Hasan, al-. 2000. al-Riba fi al-Mu‘amalat al-Mashrifiyyah al-Mu‘ashirah. KSA: Dar Thayibah. Sulthan, Shalih Muhammad, al-. 1418 H. Al-Riba: ‘Illatuhu wa Dhawabithuhu wa Bai‘ al-Dain. KSA: Dar Ashda’ al-Mujtama‘. Thabari, Muhammad Ibn Jarir, al-. 1973. Jami‘ alBayan ‘an Ta’wil al-Qur’an. Mesir: Dar alMa‘arif. Zuhaili, Wahbah, al-. 1985. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
12 AT - TARADHI Jurnal Studi Ekonomi, Volume 6, Nomor 1, Juni 2015, hlm. 1-12