RESPONS KAUM TRADISIONAL ATAS GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI INDONESIA Oleh Irwan Abbas
Abstrak Dalam perjalanan sejarah pergerakan umat Islam di Indonesia diwarnai dengan berbagai kelompok dan organisasi pergerakan Islam, baik yang telah lama eksis maupun yang tumbuh belakangan. Di antara berbagai pergerakan Islam, ada yang berhaluan tradisional dan ada juga yang bersifat ortodoks. Dalam perkembangannya kelompok-kelompok Islam tersebut mengalami berbagai gesekan, khususnya antara kelompok Islam dari kalangan kaum tradisional dan kelompok pergerakan Islam dari kaum pembaharu. Akibat dari keragaman perbedaan pola pandang terhadap suatu masalah menimbulkan riak-riak di antara kelompok-kelompok tersebut sehingga dibutuhkan suatu solusi dalam menghadapi persoalan yang antarkelompok yang berbeda itu. Kata Kunci : Kaum Tradisional–Gerakan Pembaharuan–Islam Indonesia
PENDAHULUAN Sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-20, di Indonesia telah terjadi sebuah gerakan Islam yang banyak menarik perhatian para peneliti sejarah. Para ahli menamakan gerakan itu sebagai gerakan pembaharuan, yang apabila dikaji secara teori difusi kebudayaan, maka jelaslah bahwa gerakan pembaharuan itu bersumber dari Timur Tengah. Setelah masuk ke Indonesia, gerakan pembaharuan tersebut memiliki wadah-wadah yang berbeda. Kaum Paderi menjadikan alam Minangkabau sebagai ranah pergerakannya. Muhammadiyah, Jamiat Khair, dan Persatuan Islam adalah gerakan pembaharuan yang menjadikan organisasi sebagai wadah pergerakannya untuk mencapai visi dan misi gerakannya. Skala pergerakan mereka tidak hanya terbatas pada wilayah-wilayah tertentu, tetapi telah meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Sebagai gerakan pembaharuan yang memperkenalkan sesuatu yang berbeda dengan pola pemahaman yang sudah eksis sebelumnya, maka
tentu gerakan pembaharuan ini mendapat berbagai respons dari kaum tradisional yang tidak sepakat dengan ide-ide yang dibawa oleh para agen pembaharu. METODE PENELITIAN Dalam memaparkan kajian ini, menggunakan metode Sejarah. Sebagaimana dalam langkah-langkah metode sejarah yang dijelaskan oleh Louis Gottschalk (1986) dan Helius Sjamsuddin (2007), dimulai dari memilih topik, merumuskan masalah, mengumpulkan sumber, menguji validitas sumber, menginterpretasi sumber dan terakhir, menyusun satu rekonstruksi sejarah. Ciri utama kajian sejarah terletak pada pencarian sumber, kritik, analisis, dan interpretasi sumber-sumber yang digunakan. Lewat sumber sejarah, misalnya dokumen, arsip, atau peninggalan-peninggalan lainnya, seorang sejarawan dapat “kembali” ke masa lampau dan berusaha memahami peristiwa sejarah yang telah terjadi di masa lampau itu. Oleh karena itu, penelitian sejarah selalu tergantung pada sumber-sumber 1
yang tersedia untuk dapat merekonstruksi dan memperjelas peristiwa masa lampau. PEMBAHASAN 1. Di Daerah Minangkabau Respons terhadap penyebaran paham pembaharuan Islam di Minangkabau datang dari kalangan adat dan dari kalangan agama yang bersifat tradisi. Respons pertama datang dari kalangan adat yang dipimpin oleh Datuk Sutan Maharaja, anak Bupati di Sulit Air dan juga seorang pelopor jurnalistik di Padang. Datuk Sutan Maharaja terkenal sebagai seorang yang membenci Islam, dan ayahnya ketika menjadi Bupati pernah melarang orang di daerahnya berpuasa di bulan Ramadhan. Datuk Sutan Maharaja sangat khawatir pada kaum Paderi yang bangkit kembali di Minangkabau. Datuk Sutan Maharaja berkata: “… Awas, jangan biarkan masa Paderi kembali. Kita, orang Minangkabau harus berjaga-jaga agar kemerdekaan kita jangan hilang dengan tunduk kepada orang-orang Mekkah. Negeri Indah Minangkabau dengan wanitanya yang cantik-cantik memang sudah merupakan syurga dibandingkan dengan Negeri Arab yang panas dan tandus, dimana jenis yang lemah dan memang kurang diberkati dan perlu memakai cadar….“ Pada tahun 1916 Datuk Sutan Maharaja bersama dengan kalangan bangsawan berhasil membentuk Sarikat Alam Minangkabau, suatu organisasi di kalangan adat untuk mempertahankan diri dari serangan yang dilancarkan oleh kaum pembaharu. Berbagai persoalan sering diperdebatkan antara kaum adat dan pembaharu. Masalah harta warisan merupakan salah satu masalah yang diperdebatkan oleh kaum adat dengan kaum pembaharu. Kaum pembaharu sangat menentang pembagian harta warisan menurut adat, yakni harta
warisan jatuh pada keponakan. Kaum pembaharu menginginkan agar harta warisan dibagi berdasarkan hukum Islam, yakni seorang anak mendapatkan kedudukan penting dalam masalah harta warisan. Akhirnya perdebatan ini melahirkan sebuah solusi baru, yaitu harta pusaka harus diatur menurut adat istiadat Minangkabau dan harta pencaharian suami–istri harus diatur menurut hukum Islam. Kemudian gerakan kaum pembaharu yang dipelopori oleh Syaikh Ahmad Khatib dari Mekkah mendapat perlawanan dari kalangan Islam tradisi di Minangkabau. Kecaman kaum pembaharu tentang Tarekat dijawab oleh Syaikh Muhammad Saad bin Tahta dan Syaikh Haji Muhammad Ali bin Abdul Mutthalib. Pada tahun 1903 diadakan dialog terbuka tentang masalah Tarekat di Masjid Sianuk Agam. Dan pada tahun 1905 diadakan lagi Diskusi terbuka tentang masalah Tarekat di Padang Panjang dalam diskusi terbuka ini kaum pembaharu diwakili oleh Haji Abdullah Ahmad, Haji Nabi, Syaikh Jamil Jambek, dan Haji Abdul Latif dan kaum Tua (Kaum Tradisi) diwakili oleh Syaikh Dajang, Syaikh Khatib Ali dan Haji Abbas. Pada tahun 1921 kaum tradisi mendirikan Persatuan Ulama Minangkabau sebagai wadah pemersatu bagi mereka dalam menghadapi gerakan yang dilancarkan oleh kaum pembaharu. 2. Di Jawa–Nahdatul Ulama (NU) Sebagaimana halnya di daerah lain, di Jawa kaum tradisi juga merasa khawatir dan terancam eksistensinya dari gerakan yang dilancarkan oleh kaum pembaharu. Gerakan pembaharuan yang dijalankan oleh Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) telah berkembang di Jawa, bahkan telah masuk ke wilayah Jawa Timur. Di Surabaya sudah ada tokoh 2
Muhammadiyah seperti Kiyai Haji Mas Mansur dan Fakih Hasyim. Pada tahun 1920 K.H. Ahmad Dahlan datang berdakwah ke Surabaya dan pada tanggal 1 Nopember 1921 K.H. Mas Mansyur dan kawan-kawan berhasil mendirikan cabang Muhammadiyah di Surabaya. Gencarnya gerakan pembaharu telah berhasil membawa perubahan pemahaman tentang agama Islam pada masyarakat Jawa. Hal ini merupakan ancaman langsung terhadap eksistensi dan kewibawaan ulama-ulama tradisional di Jawa. Kekhawatiran kaum tradisi semakin bertambah ketika usulan mereka diabaikan oleh Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan K.H. Mas Mansyur dari Muhammadiyah yang hendak menjadi utusan umat Islam Indonesia guna menhadiri undangan raja Ibnu Saud sebagai pengusaha baru Jazirah Arab. Kaum Tradisi paham betul, bahwa raja Ibnu Saud adalah penganut paham Islam yang didakwahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Dari segi pemahaman, raja Ibnu Saud lebih dekat kepada pemahaman Islam yang dianut oleh kaum pembaharu di Indonesia. Raja Ibnu Saud ingin mengajak seluruh umat Islam untuk memurnikan pemahaman ajaran Islam dari berbagai syirik, bid’ah dan khurafat. Raja Ibnu Saud berseru agar umat Islam untuk mengamalkan agamanya betul-betul bersumberkan pada Al-Qur’an dan Hadits yang sahih. Untuk mengatasi keresahan di atas, maka pada tanggal 31 Januari 1926, beberapa ulama dari kaum tradisi seperti K.H. Hasyim Asyari, K.H. Abdul Wahab Asbullah, Kiyai Abdullah Fakih, Kiyai Bisri Syamsyuri dan Kiyai Muhammad Nur mengadakan rapat di Surabaya. Adapun tema pembicaraan dalam rapat tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini : “… Bani Saud An – Najd di zaman dahulu terkenal dengan aliran Wahabi yang di pelopori oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab, menurut Kitab Tarikh . . . belum lagi diketahui dengan pasti aliran apa yang dianut raja Ibnu Saud sekarang (Masih Wahabi atau mazhab yang empat), tetapi kabar mutawatir menyebutkan mereka merusak pada kubah-kubah, melarang membaca dalil al-Khairat dan sebagainya”. … Kita kaum muslim, meskipun kaum tua, juga merasa ada mempunyai hak yang berhubungan dengan itu tanah suci dalam hal agama, karena di situ ada Kiblat dan tempat kepergian haji kita dan beberapa bekas-bekas nabi kita, bahkan kuburannya juga. Walhal, kita anggap sebagai sunnat muakkad ziarah di mana kubur tersebut….” Sebagai jalan keluar untuk mengatasi masalah di atas, maka rapat tersebut berhasil mengambil dua keputusan penting: Mengirim delegasi ke Kongres Dunia Islam di Mekkah untuk memperjuangkan kepada Raja Ibnu Sa’ud agar hukum-hukum menurut empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya. Membentuk suatu jam’iyyah bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama) yang bertujuan untuk menegakkan berlakunya syariat Islam yang berhaluan salah satu dari empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Jam’iyyah ini disusun dengan kepengurusan Syuriyah dan Tanfidziyah. Selain itu, rapat tersebut juga berhasil menempatkan K.H. Hasyim Asyhari pada kedudukan yang istimewa, karena sebagian besar ulama tradisional yang hadir dalam rapat itu adalah muridmuridnya sendiri, mereka semuanya pernah belajar di pesantren Tebuireng, yang mana pesantren ini dipimpin K.H. Hasyim Asyhari. Pada bulan Maret 1927 3
NU mengutus K.H. Abdul Wahab dan Ust. Ahmad Ghanaim Al Amin untuk berangkat ke Mekkah guna menemui raja Ibnu Saud. Mereka diterima oleh raja Ibnu Saud pada tanggal 13 Juni 1928, pada pertemuan itu kedua utusan NU ini meminta agar raja Ibnu Saud membuat hukum yang tetap di tanah Hijaz. Dalam jawabannya yang berupa surat. Raja Ibnu Saud mengatakan bahwa perbaikan di Hijaz memang merupakan kewajiban tiap pemerintahan di negeri itu, kemudian ia menambahkan akan memperbaiki keadaan perjalanan haji sejauh perbaikan ini tidak melanggar ketentuan Islam. Ia juga sependapat bahwa pada umumnya kaum muslimin bebas dalam menjalankan praktek agama dan keyakinan mereka, kecuali urusan yang Allah telah mengharamkannya, tiada terdapat suatu dalil dalam al-Qur’an dan hadits Nabiullah Shalallahu alaihi wasallam, tidak ada dalam mazhab orang-orang saleh terdahulu dan tidak ada dalam mazhab yang empat. Tentang keyakinannya, raja Ibnu Saud mengemukakan bahwa ia hanya menginginkan apa yang ada dalam kitabullah (Al-Qur’an) dan sunah Nabi-Nya dan mengikuti orangorang saleh terdahulu yang dimulai dari para sahabat sampai pada Imam yang empat. Jadi ulama-ulama tradisional di Jawa merasa diserang dari dua arah, yang pertama berasal dari Jazirah Arabia, dimana di negeri ini telah lahir sebuah penguasa baru, yang mana penguasa ini menganut dan menyebarkan pemahaman Islam yang lebih orisinil, yang betul-betul bersumber pada Kitabullah dan Sunnah. Dalam prakteknya pemahaman agama yang dianut dan disebarkan oleh penguasa Jazirah Arabia ini banyak bertentangan dengan pemahaman agama yang dianut oleh ulama-ulama tradisional di Jawa. Yang kedua ulama-ulama tradisional diserang dari dalam negeri,
dimana di daerah Jawa telah lahir organisasi-organisasi Islam yang menganut dan menyebarkan pemahaman baru yang tidak jauh berbeda dengan pemahaman Islam yang dianut dan disebarkan oleh penguasa Jazirah Arabia. Organisasiorganisasi Islam pembaharu ini melakukan pergerakan dakwah untuk mengajak masyarakat Jawa pada pemahaman Islam yang murni bersumber pada Al Qur’an dan Sunnah yang sahih dan membersihkan amalanamalan agama dari amalan-amalan yang bersifat takhyul, bid’ah, dan khurafat. Pada tahun 1928 NU merumuskan tujuannya yang dimuat dalam Anggaran Dasarnya pada Pasal 2 yang berbunyi: “…Memegang dengan teguh pada salah satu dari mazhabnya Imam yang empat, yaitu Muhammad bin Idris Assyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An Nu’man, atau Imam Ahmad bin Hambali, dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam….” Untuk mengapai tujuan itu, maka NU akan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: Mengadakan perhubungan di antara ulama-ulama yang memiliki mazhab yang sama dengan NU. Memeriksa kitab-kitab sebelumnya yang dipakai untuk mengajar supaya diketahui apakah itu dari pada kitab-kitab Ahli Sunnah wal Jamaah atau kitab-kitabnya Ahlul bid’ah. Menyiarkan agama Islam sesuai dengan mazhab yang tepat dengan jalan apa saja yang baik. Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama Islam. Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjidmasjid, langgar dan pondokpondok, begitu juga dengan hal 4
ikhwalnya anak-anak yatim dan orang-orang fakir miskin. 1. Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan-urusan pertanian, perniagaan, perusahaan, yang tiada dilarang syariat agama Islam. Sikap berpegang teguh kepada salah satu dari mazhab yang empat merupakan ciri khas yang membedakan kaum tradisional dari kebanyakan kaum pembaharu. Kaum pembaharu, menolak sikap taklid kepada kitab-kitab ulama terdahulu dan menganjurkan reinterpretasi terhadap sumber pokok Islam yaitu Al-Qur’an dan hadits. Kaum pembaharu membenci banyak kepercayaan dan praktek keagamaan kaum tradisional seperti ritual orangorang yang sudah meninggal, pemujaan para wali dan ziarah ke makam-makam serta berbagai unsur ibadah lainnya. Kaum pembaharu menyebut amalanamalan tersebut sebagai amalan-amalan bid’ah yang menyesatkan, karena itu harus ditinggalkan. Sangat sedikit hal luar biasa dalam kegiatan-kegiatan NU selama dasawarsa akhir pemerintahan Belanda di Indonesia. NU menahan diri terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik dan ketika membuat pernyataan politik, NU bersikap mendukung pemerintahan Belanda. Karena NU tidak terlibat dalam politik, NU banyak berkonsentrasi mengembangkan dakwah. Pada pertengahan 1930-an, sekitar 400 kiyai sudah menjadi anggota NU dan jumlah keseluruhan pengikutnya 67000 orang. Pada tahun 1938 NU telah berhasil mendirikan 120 cabang di Indonesia. Hubungan dengan kaum pembaharu sangat tegang pada awal-awal berdirinya NU, secara bertahap diperbaiki kembali. Sekitar pertengahan 1930-an, berkali-kali terlihat tanda-tanda kemauan baik dari kedua belah pihak. Pada Muktamar ke-2 tahun 1936 di Banjarmasin, Kiyai Hasyim Asyari mengajak umat Islam
Indonesia agar menahan diri dari saling melontarkan kritik sektarian satu sama lain dan mengingatkan bahwa satu-satunya perbedaan yang sebenarnya hanyalah antara mereka yang beriman dan yang kafir. Ajakan ini, walaupun ditujukan terutama kepada pengikutnya sendiri, juga membangkitkan respons positif dari kalangan pembaharu. 3. Mencoba Merajut Persatuan Lahirnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia sejak abad ke-19 telah melahirkan sebuah suasana baru di kalangan umat Islam Indonesia. Suasana baru itu ditandai dengan adanya perbedaan pendapat yang cukup tajam antara kaum pembaharu dengan kaum tradisional, bahkan perbedaan itu telah merusak ukhuwah Islamiyah atau hubungan silaturrahmi di kalangan umat Islam Indonesia. Dalam menyikapi suasana di atas, pada tahun 1935 K.H. Hasyim Asy’ari pada kongres NU di Banjarmasin, Kalimantan Selatan mengeluarkan sebuah himbauan yang mengajak semua ulama peserta kongres untuk mengesampingkan semua pertikaian, membuang perasaan ta’assub (fanatik) dalam berpendapat, melupakan segala cacian dan celaan terhadap sesama serta menegakkan persatuan. Ia menambahkan agar seseorang hanya teguh tegak dalam hal-hal yang prinsipil saja. Tugas ulama, katanya ialah mengajak orang-orang untuk memeluk Islam. Lebih jauh K.H. Hasyim Asy’ari mengatakan : “… Sampailah kepadaku suatu berita, bahwa di antara kamu semua sampai kepada masa ini, berkobarlah api fitnah dan pertentanganpertentangan.”. …. semua telah bermusuhmusuhan. Wahai ulama-ulama yang telah ta’assub kepada setengah mazhab atau setengah qaul. Tinggalkanlah ta’assub-mu dalam soalsoal furu’ (ranting-ranting) itu. Yang 5
ulama sendiri dalam hal demikian mempunyai dua pendapat…. … dan belalah agama Islam dan berijtihadlah menolak orang-orang yang menghina Al-qur’an dan sifat-sifat Tuhan… Adapun ta’assub kamu pada ranting-ranting agama dan mendorong orang supaya memegang satu mazhab atau satu qaul, tidaklah disukai oleh Allah Ta’ala”. Dan tidaklah diridhoi oleh Nabiullah shallallahu ‘alaihi wassallam apalah lagi jika yang mendorongmu berlaku demikian, hanyalah sematamata ta’assub dan berebut-rebutan dan berdengki-dengkian. Sekiranya Imam syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu Hajar dan Ramli masih hidup, niscaya akan sangat menolak perbuatanmu ini….” Dan kemudian K.H. Hasyim Asy’ari berseru kepada golongan pembaharu, dimana ia berkata: “…Wahai ulama-ulama kalau ada kamu lihat orang berbuat suatu amalan berdasarkan kepada qaul (kata atau pendapat) Imam-imam yang boleh ditaqlidi, meskipun qaul itu marjuh (tidak kuat alasannya), maka jika kamu tidak setuju, janganlah kamu cerca mereka, tapi berilah petunjuk dengan halus. Dan jika mereka tidak sudi mengikuti kamu, janganlah mereka dimusuhi. Kalau kamu berbuat demikian, samalah kamu dengan orang-orang yang membangun sebuah istana, dengan menghancurkan lebih dahulu sebuah kota”…. Kemudian K.H. Hasyim Asy’ari menyeruh kepada kedua belah pihak baik kalangan tradisi maupun kalangan pembaharu, ia berkata : “…Janganlah kamu jadikan semuanya itu menjadi sebab buat bercerai-berai, berpecah belah, bertengkar-tengkar dan bermusuhmusuhan…. Atau akan kita lanjutkan juga kah perpecahan ini; hina-
menghinakan, pecah-memecah, munafik…. Padahal agama kita hanya satu belaka : Islam ! Mazhab kita hanya satu belaka : Syafi’i ! daerah kita satu belaka : Jawa dan kita semua adalah Ahlul Sunnah Wal Jama’ah belaka”…. Himbauan K.H. Hasyim Asy’ari ini mendapat sambutan positif, baik dari kalangan pembaharu maupun dari kalangan tradisional. Pada tanggal 21 September 1937, atas inisiatif K.H. Mas Mansyur dari Muhammadiyah, K. H. Muh. Dahlan dan K.H. Abd. Wahab Hasbullah dari NU serta W. Wondoamiseno dari Syarekat Islam berhasil mengadakan pertemuan di Surabaya. Pertemuan itu juga dihadiri oleh beberapa organisasi Islam lokal dan akhirnya pertemuan ini sepakat untuk mendirikan sebuah wadah persatuan bagi umat Islam Indonesia. Wadah itu diberi nama Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI). MIAI diharapkan menjadi suatu tempat permusyawaratan atau suatu badan perwakilan yang terdiri dari wakil-wakil atau utusan-utusan dari berbagai organisasi Islam yang ada diseluruh Indonesia. Tujuan MIAI adalah untuk membicarakan dan memutuskan soalsoal yang dipandang penting bagi kemaslahatan umat dan agama Islam, yang keputusannya itu harus dipegang teguh dan dilakukan bersama-sama oleh segenap organisasi Islam yang menjadi anggotanya. Lebih lanjut MIAI diharapkan mampu mengadakan perdamaian apabila timbul pertikaian di antara golongan umat Islam Indonesia, baik yang telah menjadi anggota MIAI maupun belum. Untuk merumuskan cita-cita persatuan ini maka MIAI membentuk suatu panitia pada tahun 1942, komite itu bertugas menyusun pedoman penjelasan tentang perlunya persatuan ini berdasarkan Al-qur’an. Dalam panitia ini duduk Wondoamiseno dan Abikusno Cokrosuyoso dari Syarekat Islam K.H. 6
Mas Mansyur dan Hadikusumo dari Muhammadiyah, Sukiman dari PII. Berdirinya MIAI disambut baik oleh organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Jumlah anggotanya bertambah dari tujuh organisasi pada tahun 1937 menjadi 21 organisasi pada tahun 1941. MIAI mengadakan kongres Islamnya yang pertama pada tanggal 26 Februari s/d 1 Maret 1938, pada kongres pertama ini MIAI membahas berbagai masalah yang berhubungan dengan agama Islam. Salah satu masalah yang dibahas ketika itu adalah membahas sebuah artikel yang dikarang oleh Siti Sumandari dari Parindra (Partai Indonesia Raya). Di dalam artikel itu Siti Sumandari telah memuat kata-kata yang menghina Nabi dan peraturan perkawinan Islam. Siti Sumandari menuduh nabi sebagai seorang yang “cemburu” dan mengemukakan bahwa banyak bagianbagian peraturan perkawinan Islam dimaksudkan mulanya untuk membenarkan “nafsu Nabi”, secara keseluruhan artikel Siti Sumandari ini dimaksudkan untuk melenyapkan kesalehan dan integritas Nabi serta hendak mengemukakan bahwa poligami adalah sebuah konsep yang telah usang. Kongres MIAI meminta agar pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap penulis yang bersangkutan serta terhadap penulis mana pun yang berbuat demikian. Keputusan lainnya ialah penolakan terhadap pemindahan daripada perkara waris dari pengadilan agama kepada pengadilan negeri biasa dan tuntutan agar perkara demikian dipindahkan lagi di pengadilan agama; perbaikan pengadilan agama ini; mencari jalan untuk mempersamakan permulaan bulan Puasa; tuntutan agar pemerintah menghapuskan biaya potong hewan kurban; seruan kepada semua organisasi Islam agar memberi perhatian terhadap pemberian pelajaran agama kepada transmigran Jawa di pulau-pulau lainnya. Kongres
juga menyarankan kepada organisasiorganisasi Islam agar mereka melakukan shalat gaib untuk para korban yang jatuh dalam perjuangan rakyat Palestina serta menuntut kepada Liga Bangsa-Bangsa untuk membatalkan pemisahan Palestina sebagaimana yang dilakukan oleh Inggris. Kongres ke-2 MIAI diadakan di Solo tanggal 2–7 Mei 1939 yang dihadiri 25 organisasi, banyak mengulangi pembicaraan pada kongres pertama. Kongres tersebut mengemukakan perlu adanya perbaikan soal perkawinan di Indonesia dan memutuskan untuk memberi penerangan kepada wanitawanita Indonesia agar kebiasaan selir dapat dihapuskan. Dalam hal penghinaan yang dilancarkan terhadap umat Islam pada umumnya, kongres membentuk sebuah komisi dengan Persis sebagai ketua, dengan maksud agar melakukan penelitian terhadap masalah ini, serta mempersiapkan pembelaannya. Kongres ini juga memberikan perhatian pada usaha Persatuan Pemuda Islam dan mempercayakan masalah ini pada Jong Islamieten Bond (Kesatuan Pemuda Islam). Pemerintah didesak untuk menghapuskan berbagai peraturan yang merugikan Islam, dengan pertimbangan bahwa negeri ini adalah negeri Islam. Kongres ke-3 di Solo, tanggal 7–8 Juli 1941, MIAI menuntut pembebasan Haji Nabi yang sementara ditahan oleh Belanda. Menyarankan perbaikan pengumpulan zakat fitrah, dan membentuk sebuah komisi demi keperluan penyebaran Islam. Selain itu MIAI juga memberikan perhatian kepada masalah pelaksanaan ibadah haji ke tanah suci Mekkah, kepada usaha bantuan yang diperlukan oleh orang Islam Indonesia yang menetap di Mekkah sehubungan dengan ancaman perang serta kesulitan yang mereka hadapi karena hubungan yang tidak 7
teratur dengan famili mereka di Indonesia. Kongres MIAI juga tidak menyetujui transfusi darah bila hal ini dilakukan untuk keperluan yang berlawanan dengan Islam, misalnya transfusi darah untuk orang-orang yang melawan Islam. Selain membahas masalah hukum-hukum yang berkaitan dengan agama Islam, MIAI juga bergerak dalam bidang politik, karena di dalam Islam pada hakekatnya tidak ada pemisahan antara masalah agama dan politik. Hal ini ditegaskan oleh Wondoamiseno sebagai wakil ketua Dewan MIAI pada Kongres ke-3 Muslimin se-Indonesia di Solo, tanggal 7–8 Juli 1941. Windoamisoto mengatakan: “… Apabila suatu waktu MIAI membicarakan suatu peristiwa yang berkenaan dengan urusan Tata Negara atau Politik, sama sekali bukanlah bahwa MIAI terjun bekerja di dalam lapangan politik, tetapi keadaan yang memaksa kepada MIAI merasa wajib untuk turut membicarakan dan memikirkan suatu peristiwa tadi, ialah yang dipandangnya perlu MIAI membuat perhitungan untung atau rugi bagi nasib umat Islam Indonesia pada khususnya. MIAI merasa berdosa apabila hanya tinggal diam dengan memeluk tangan apabila melihat dan mengetahui umat Islam Indonesia bakal terjerumus ke dalam lembah jurang kesengsaraan dan kenistaan, baik moril maupun materil….”
PENUTUP Hadirnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia pada awal abad ke20 telah melahirkan suasana baru dan suasana baru tersebut telah menyebabkan pula lahirnya gerakangerakan perlawanan dari mereka yang yang berasal dari kalangan tradisional. Kaum tradisional berusaha membentengi diri dari serangan para agen pembaharu. Adanya perbedaan pendapat antara kaum pembaharu dengan ulama-ulama tradisonal telah melahirkan sebuah dinamika yang menarik dalam sejarah Indonesia. Dinamika itu berjalan secara fluktuatif, kadang-kadang mengalami ketegangan dan kadang-kadang mereka samasama menyadari perlu menghargai perbedaan pendapat. Berdirinya MIAI adalah merupakan sebuah langkah yang penuh kesadaran dari kaum pembaharu dan kaum tradisional dalam upaya agar bisa bergandeng tangan tanpa menghilangkan perbedaan.
Atas dasar pertimbangan inilah maka MIAI mendukung gerakan Indonesia berparlemen dan MIAI juga bergabung dengan Majelis Rakyat Indonesia (MRI). Di dalam MRI (Majelis rakyat Indonesia) inilah tuntutantuntutan politik yang disampaikan MIAI untuk diperjuangkan.
8
DAFTAR PUSTAKA Feillard, Andree, (1999). NU Vis-à-vis Negara, Yogyakarta: LKiS. Gottschalk, Louis, (1986). Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press. Jamil, M. Mukhsin, dkk., (2008). Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis dan NU, Cirebon: Fahmina Institute. Noer, Deliar. (1996). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES. Ricklefs, M.C., (1998). Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gama Press. Setiawan, Zudi. (2007). Nasionalisme NU, Semarang: Aneka Ilmu. Sjamsuddin, Helius, (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Soon, Kang Young, (2008). Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama, Jakarta: UI Press. Suryanegara, Ahmad Mansur. (1996). Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan. Suminto, Aqib. (1986). Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES. Van Bruinessen, Martin. (1994). Nahdatul Ulama: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencaharian Wacana Baru, LKIS: Yogyakarta.
Daftar Riwayat Hidup : Irwan Abbas, M.Si, Dosen Ilmu Sejarah Pada Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate.
9