1
RESPONS HIPERSENSITIF (HR)
CHRIS LEIWAKABESSY A 362110031
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN PROGRAM STUDI FITOPATOLOGI INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
2
RESPONS HIPERSENSITIF (HR) BAB 1. SEJARAH Cendawan Studi mula-mula yang berhubungan dengan Respons Hipersensitif (HR) dipahami langsung sebagai ketahanan penyakit tanaman terhadap cendawan obligat. Gaumann (1950) menggambarkan hasil studi oleh Arthur (1926) terhadap HR pada tanaman gandum kultivar Malakoff yang terinfeksi oleh cendawan Puccinia graminis f.sp. triciti. Cendawan ini menggunakan haustoria masuk ke dalam jaringan mesofil daun, reaksi selanjutnya seluruhnya tanaman akan mengalami intoleransi, degenerasi dan pada akhirnya akan mati. Dua varietas gandum diuji, kompatibel (Litle Club) dan inkompatibel (Malakff) bereaksi dengan cendawan ini memiliki kemiripan seperti yang sudah dikemukakan oleh Gaumman dahulu, varietas yang rentan mampu bertahan terhadap infeksi patogen saat berlangsungnya proses penetrasi. Stackman (1915), mengemukakan terminologi reaksi hipersensitif, bahwa respons tanaman yang diinokulasi dengan cendawan patogen awal perkembangan gejala penyakit pada jaringan inang lambat. Dia membandingkan infeksi oleh spesies Puccinia pada tanaman oat, rye, wheat dan barley yang terdiri dari beberapa strain mematikan inang cepat sesudah inokulasi dilakukan pada kultivar yang memperlihatkan tingkat ketahanan. Pengamatan oleh Ward (1902) dan Gaumman (1915) yang disimpulkan oleh Gaumman (1950), bahwa cendawan masuk ke dalam inang yang rentan maupun tahan dengan jalan yang sama, namun perkembangan selanjutnya berbeda-beda. Pada inang yang rentan cendawan akan berkembang dengan cepat, pada saat yang sama pengaruhnya tidak kelihatan pada sel inang. Sedangkan
inang yang tahan,
perkembangan reaksinya sangat cepat menghasilkan kematian pada sel-sel inang. Menurut pengamatan dari Stackman (1915), bahwa pada kultivar tahan kematian sel lebih cepat dan mengelilingi hifa yang masuk ke dalam jaringan inang. Marryat (1907), bahwa mungkin patogen yang kehilangan nutrisi yang akan dipengaruhi oleh kematian sel-sel pada inang. Konsep hubungan antara respons hipersensitif (kematian cepat sel inang) dan ketahanan dikembangkan dalam suatu rangkaian penelitian yang dilakukan oleh Ward (1902), Stakman (1915), Arthur (1929), Gaumann (1950), Barnett (1959), dan Muller (1959).
3
Brown et al (1966) dan Allen (1926), mengatakan bahwa infeksi pada inang yang tahan tidak selalu berasosiasi dengan luas perkembangan jaringan nekrotik. Jadi Brown menyimpulkan bahwa nekrotik terjadi hanya pada jaringan tanaman resisten dan dikatakan bahwa inang “lebih sensitif” terhadap gangguan yang disebabkan oleh invasi cendawan, menimbulkan gejala nekrosis pada inang menjadi lebih tahan. Sejak awal tahun 1960-an, ada sejumlah bukti yang belum pasti hubungan sebab akibat antara respons hipersensitif dan ketahanan terhadap penyakit tanaman yang disebabkan oleh cendawan. Bukti yang signifikan bahwa HR mampu membentuk lesio lokal saat terjadi interaksi antara inang dan cendawan parasit fakultatif (Gambar 1). Wood (1967) mengemukakan bahwa fenomena umum perkembangan tanaman terinfeksi oleh parasit obligat “intermediat” seperti Phytophthora infestans. bahwa setelah infeksi diikuti oleh kematian sel yang cepat di sekitar tempat infeksi. Wood menyebutkan faktanya bahwa telah terjadi kematian sel inang yang terbatas pada tempat infeksi sangat cepat dan ini dikenal sebagai HR.
Gambar 1. Infeksi oleh cendawan Hyaloperonospora arabidopsidi, penyebab penyakit embun bulu pada tanaman Arabidopsis. (ket. a = spora aseksual pada permukaan daun, b= pembentukan tabung kecambah, c= apresorium, penetrasi hifa d = haustoria masuk ke dalam jaringan tanaman, e = konidofor (dikutip dari : Marie E. Cotes dan Jim.L. Beynon, Ann. Rev.2010. 48: 329-345).
4
Virus Respons lesio lokal terhadap infeksi virus dari genotip tanaman seperti gene N 7
atau N pada tembakau mungkin dipengaruhi oleh suhu, cahaya, dosis inokulum dan efisiensi inokulasi. Pemeriksaan lebih jelas dan teliti pembentukan lesio lokal sebagai sebuah fenomena penting yang mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Stakman (1915), disebut respons hipersensitif (HR). Faktanya bahwa respons lesio lokal merupakan perkembangan dari necrosis membatasi pergerakan virus di sekitar tempat infeksi. KR. Wood dalam Goodman et al. (1986), indikasi hipersensitif merupakan bentuk jaringan terinfeksi virus sebagai implikasi jaringan yang terinfeksi mengalami nekrotik.
Dari pustaka dilaporkan bahwa nekrosis tidak selalu bersamaan dengan
lokalisasi virus atau lokalisasi virus bisa terjadi tanpa nekrosis. Faktanya, bahwa perkembangan Respons Hipersensitif (HR) adalah hasil total dari perubahan warna yang selanjutnya menjadi nekrosis. Hal ini didemonstrasikan bahwa infeksi virus sistemik selanjutnya diikuti oleh perkembangan nekrosis.
Hal yang lebih spesifik
terlihat bahwa hubungan antara resistensi dan HR, misalnya nekrosis terjadi akibat lokalisasi virus berdasarkan gambaran studi intensif HR. Bakteri Reaksi hipersensitif (HR) adalah respons bakteri patogen tanaman yang pertama kali dikemukakan oleh Klement dan rekan-rekannya tahun 1964, 50 tahun kemudian dikembangkan hipersensitif pada cendawan patogen tanaman. Tahun 1963, Klement mengembangkan teknik inokulasi yang sangat mudah diinfiltrasikan ke jaringan tanaman dengan konsentrasi bakteri tertentu yang didemonstrasikan pada bakteri patogen tanaman yang menginduksi HR pada inang tahan dan bukan inang tahan. Klement, Farkas dan Lovrekovich (1964) menguji 22 spesies Pseudomonas yang berbeda atau patovar mencakup bakteri yang menyerang tembakau (kompatibel) Pseudomonas syringae pv. tabcai dan 5 spesies saprofit pada jaringan daun tembakau. Hasilnya ketika bakteri non patogen disuntikan dengan konsentrasi > 10 6 sel/ml mampu menginduksi nekrosis pada jaringan selama 12-24 jam setelah itu daun mengalami kekeringan. Gejala ini mengindikasikan bahwa telah terjadi HR. Inokulasi bakteri saprofit dengan konsentrasi 10 8 – 109 sel/ml tidak terjadi nekrosis namun terjadi gejala klorosis. Hal yang sama bila P.s. pv. tabaci diintroduksi ke dalam jaringan inang maka gejala HR tidak berkembang. Kebanyakan bakteri patogen tanaman dari genus Pseudomonas, Xanthomonas, dan Erwinia HR ditemukan sebagai elisitor. Gejala HR yang didapatkan dari bakteri patogen tanaman yang disuntikan pada daun tembakau
5
atau jaringan lain seperti polong kacang panjang menjadi uji standar untuk isolat-isolat bakteri patogen tanaman. Perbedaan reaksi kompatibel dan inkompatibel. dalam interaksi diantara bakteri dan tanaman menjadi pertentangan oleh beberapa peneliti yang menemukan bahwa HR diinduksi oleh bakteri merupakan sebuah model permasalahan studi sistem ketahanan penyakit tanaman terhadap patogen atau penolakan inang tahan terhadap patogen. BAB 2. DEFINISI Respons Hipersensitif (Hypersensitive Response) terjadi pada tanaman sebagai reaksi atas infeksi cendawan, virus dan bakteri patogen tanaman. Respons hipersensitif adalah kompleks pertahanan tanaman yang merupakan tanggapan awal dalam bentuk nekrosis dan terjadinya kematian sel untuk membatasi pergerakan patogen. Informasi tentang HR dihasilkan melalui penelitian beberapa tanaman berbeda yaitu Arabidopsis, barley, kacang tanah, ketimun, lettuce dan tomat dalam hubungan respons terhadap virus, bakteri, cendawan atau keseluruhan bagian molekul elisitor yang berbeda. HR telah diteliti pada seluruh bagian tanaman maupun pada kultur sel. Berdasarkan informasi yang tersedia dari berbagai penelitian mungkin secara bijak dapat diambil generalisasi terhadap penyebab yang sama sebagai gambaran umum HR. HR yang terjadi ketika sel bakteri patogen diintroduksi ke dalam jaringan tanaman bukan inang seperti patogen Pseudomonas syringae pv. pisi pada tembakau, dimana saat strain patogen avirulen diintroduksi ke dalam inang yang memiliki gen resistensi mayor ternyata efektif melawan isolat yang berhubungan, misalnya isolat ras 1 dari patogen buncis P.s. pv. phaseolicola pada Phaseolus vulgaris cv. Red Miexican. Klement (1971 dan 1986) mendefinisikan tiga fase dalam HR terhadap bakteri patogen : a. Fase Induksi ; terjadi ketika terdapatnya bakteri pada ruang antar sel. Gen avirulen (Avr) diaktivasi dalam bakteri dan produk gen avr diantarkan langsung ke dalam sel inang oleh mekanisme sekresi khusus. b. Fase Laten ; terjadi ketika tempat keberadaan bakteri tidak meluas, tidak terlihat gejala makroskopis pada fase ini, tetapi terjadi perubahan fisiologi sel tanaman. Ekspresi gen inang dan perubahan fisiologi dapat dilihat dengan mikroskop elektron.
Pada fase ini kerusakan membran sel tengah berhubungan dengan
kejadian HR.
6
c. Fase Presentase atau collaps ; terjadi ketika sel inang pada daerah yang terinokulasi mengalami kolaps dan mengering, menjadikan warna keperakan kemudian diikuti oleh warna kekuningan. Rentang waktu dari ketiga fase tersebut berhubungan dengan kombinasi inangpatogen dan kondisi lingkungan. Contoh: tembakau bereaksi sangat cepat dan sel inang mengalami collaps terjadi 6-8 jam setelah infiltrasi ke dalam ruang antar sel. Berbeda halnya ketika buncis Franc diinokulasi dengan ras avirulen P.s. pv. phaseolicola, sel mengalami kolaps terjadi 18-24 jam setelah inokulasi. Urutan fase didefenisikan melalui percobaan penggunaan antibiotik.
Infiltrasi streptomisin atau
penghambat lainnya dari protein sintesis terjadi pada fase induksi atau tertundanya sel kolaps terjadi pada fase presentasi. Setelah periode tertentu dari waktu streptomycin tidak banyak terjadi sel kolaps dan ini didefinisikan sebagai fase induksi yang panjang. Periode induksi pada buncis yang diinokulasi P. s. Pv. phaseolicola berkisar 4 jam. Hal tersebut sekarang diketahui bahwa keharusan untuk bakteri hidup selama periode induksi adalah untuk mengekspresi gen bakteri avirulen (avr) dengan hipersensitif respons dan patogenesitas (hrp) untuk mengatur pergerakan kejadian yang berhubungan dengan kolapsnya sel inang pada 14-20 jam terakhir. Periode setelah induksi disebut dengan fase laten sebab tidak terlihat gejala makroskopis yang terjadi. Perubahan ultrastruktur telah diamati dan ion mengalami kebocoran keluar dan masuk ke dalam ruang antar sel sehingga permeabilitas membran sel tanaman meningkat. Fenomena ini diinterpretasikan sebagai indikator meningkatnya kerusakan membran di dalam sel yang mengalami HR (Gambar 2). Penggunaan antibiotik termasuk blasticidin S atau cycloheximide yang menghambat sintesis protein inang selama bagian awal fase laten penting untuk kolapsnya sel inang pada fase presentasi. BAB 3. FUNGSI RESPONS HIPERSENSITIF
a. Mengikat Patogen Reaksi hipersensitif yang muncul berkorelasi erat dengan ketahanan tanaman terhadap patogen, tetapi bagian mana dari sel yang mengalami kematian masih dalam perdebatan. Suatu hipotesis bahwa kematian sel tanaman adalah respons langsung untuk membatasi pertumbuhan dan penyebaran
patogen
bahkan kematian sel-sel disekitar tempat infeksi patogen. Korelasi ini telah ditemukan pada sel-sel kentang yang mengalami kematian menjadi tahan
7
Gambar 2. Pembentukan lesio pada daun tembakau yang terinfeksi oleh P. syringae virulen (kiri) and avirulent (kanan) pada 24 jam and 96 jam setelah infeksi, (dikutip dari:http://www.ru.nl/tracegasfacility/life_science_trace/plant_physiolog.).
terhadap
Phytophthora
infestans
yang
menggunakan
menginfeksi dan mematikan sel tanaman.
haustoria
untuk
Kematian sel yang cepat
mempengaruhi plasmodesmata melalui perpindahan virus tanaman dari satu sel ke sel lain dan kandungan sel akan mengalami perubahan oleh bakteri dalam waktu yang panjang di dalam jaringan tanaman. Beberapa patogen menghambat kematian sel dengan mengkolonisasi jaringan inang. Ini menunjukkan pentingnya kematian sel untuk ketahanan inang. Pada kasus tanaman tahan tidak terjadi kematian sel mungkin mekanisme ketahanan terhadap penyakit tidak direspons oleh tanaman. Contoh studi ketahanan tanaman tomat terhadap strain Cladosporium fulvum (Cf) menunjukkan bahwa kematian sel HR hanya terdeteksi melalui ketahanan terhadap Cf-2-mediated. Hal Ini mirip dengan kematian sel tanaman yang dimutasi oleh DND1 menjadi rusak akibat HR tetapi mampu menahan P. syringae avirulen. Ini menunjukkan bahwa HR tidak terlalu diperlukan untuk ketahanan tetapi proporsi kecil sel-sel yang diinokulasi melalui HR cukup untuk menginisiasi ketahanan. b. Mengaktivasi gen-gen ketahanan yang berperan dalam pertahanan lokal tanaman Pembentukan kematian sel HR seiring dengan aktivasi mekanisme pertahanan lokal di dalam sel yang mengalami kematian di sekitar jaringan yang infeksi. Ekspresi gen-gen pertahanan, contoh: gen yang mengkode PR protein atau enzim yang terlibat dalam jalur fenilpropanoid yang terinduksi cepat oleh patogen yang menginduksi HR. Protein yang mengkode mungkin berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap patogen karena kematian sel yang cepat akibat dari pelepasan senyawa pertahanan protein-related dan metabolisme beracun (toksik) pada apoplas di lokasi bakteri atau cendawan patogen berada.
8
Produksi ROS (reactive oxygen spesies) dan asam salisilat atau faktor-faktor lain yang mengakibatkan sel-sel bunuh diri dalam memberi sinyal ketahanan dan ekspresi gen-gen pertahanan di sekeliling jaringan terinfeksi yang membentuk struktur sekunder untuk menghalangi penyebaran patogen. Kematian sel ini memberi sinyal secara langsung untuk meng-offkan sinyal untuk aktivasi amplifikasi transkripsi dan melindungi sel-sel yang tidak terinfeksi dari dismutasi superoksida, polyubiquitin, glutation S- transferase atau glutation peroksidase. c. Menginduksi SAR (Systemic Aquired Resistance) Mekanisme pertahanan lokal pada tanaman dilakukan melalui mekanisme ketahanan sekunder yang dikenal SAR. SAR dipicu melalui interaksi antara reaksi kompatibel dan inkompatibel yang menyebabkan kematian sel, tetapi hal ini muncul setelah terjadi kematian sel HR. Beberapa mutan tanaman transgenik secara spontan memperlihatkan kematian sel mirip HR yang menunjukkan tingkat ketahanan sistemik yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa ada hubungan timbal balik antara HR dan SAR.
BAB 4. KARAKTER FISIOLOGI SEL-SEL YANG MENGALAMI HR Induksi lesio HR dapat dilihat dengan mata (confluent necrosis) kira-kira 5x106 sel/ml pada Pseudomonas syringae pv. syringae pada tanaman tembakau dan 2x10 6 sel/ml pada Ps. Marspunorum atau Ps. Pv. phaseolicola pada Phaseolus vulgaris cv. Red Mexican. Meskipun data tersebut terlihat sangat tinggi artinya terdapat kurang dari 2-5 sel bakteri untuk setiap sel daun yang mati. Hal tersebut penting untuk diketahui sebab awalnya HR banyak disebabkan oleh konsentrasi tinggi oleh inokulum bakteri patogen tanaman yang diinokulasi ke tanaman. Penelitian awal HR telah diketahui sel-sel yang mengalami HR, kolaps memperlihatkan perubahan dalam kerusakan membran. Terjadi kebocoran elektrolit dan hilangnya sel menjadi plasmolisa yang terjadi keduanya diinterpretasikan sebagai indikasi awal terjadinya disfungsi membran. Atkinson dan Baker (1987) mendeskripsi mekanisme perubahan K+/H+ plasmalema yang terjadi dalam kultur suspensi sel tembakau setelah inokulasi dengan bakteri avirulen. Respons ini disebut dengan XR (excent report) untuk mengidentifikasi bagian yang terpisah dari keseluruhan fenomena HR. Pada awalnya perubahan di dalam fase membran lipid atau chanel protein diusulkan untuk menjelaskan XR. Peneliti ini mendeteksi penurunan pengambilan flouresein diacetate ke dalam sel
9
tanaman selama HR dan kesimpulannya bahwa penurunan dalam permeabilitas membran ini dan fluiditas diduga hasil dari peroksidae lipid atau aktivitas fosfolipase. Secara aktual mekanisme XR diduga dilepaskan, bukti telah dihasilkan bahwa diduga respons berhubungan dengan jalur phosphoinositide-specific phospholipase C di dalam jalur signal tranduksi. Perisitiwa awal dalam HR yang terjadi sangat awal setelah kontak antara sel bakteri avirulen dengan sel inang tahan adalah generasi biphasic dari ROI (Reactive oxygen intermediat) juga disebut Oksidatif Burst atau species oksigen aktif (AOS) atau Reactive Oxygen Species (ROS). Hal ini dideskripsikan dengan AOS berdasarkan analogi dengan penelitian mikrophage melawan bakteri. Fase awal diproduksi ROI, yang terjadi dalam beberapa menit pada sel yang kontak adalah non spesifik (terjadi dengan virulen, avirulen, bakteri saprofit) kemudian fase kedua berlangsung berkelanjutan hanya terjadi di dalam kombinasi inkompatibel. Hal ini menunjukkan bahwa ledakan kedua terus menerus dari produksi ROI dapat terjadi dalam beberapa kesatuan dalam mekanisme HR. BAB. 5. PENGENALAN PATOGEN DAN SIGNAL TRANDUKSI DALAM AKTIVASI RESPONS HR Kemampuan bakteri patogen menginduksi HR ditentukan oleh gen avr dan hrp. Gen avr berhubungan dengan kemampuan ras spesifik bakteri untuk menginduksi HR pada kultivar tahan yang membawa hubungan klasik gen R. Gen hrp diidentifikasi pada P.s. pv. phaseolicola sebagai bagian kromosom yang mengalami mutasi yang membuat bakteri tidak dapat menyebabkan penyakit pada buncis (path phenotype) dan tidak dapat menyebabkan HR pada tembakau bukan inang (HR phenotype). Daerah hrp pada bakteri patogen tanaman mengandung 20-26 gen yang berhubungan dengan organisme. Organisme transkripsional kluster gen hrp telah dipelajari menggunakan gen reporter ice-nucleation yang dikonstruksi menggunakan transposon Tn3. Telah dikemukakan bahwa beberapa gen hrp telah diinduksi secarain planta sebagai regulator. Syarat bagi bakteri hidup untuk menginduksi HR adalah jelas sebab induksi berhubungan dengan ekspresi de novo ekspresi gen hrp dan avr. Kelompok gen hrp mengandung gen yang menghasilkan produk yang mempunyai fungsi hubungan patogenesitas berbeda.
Beberapa gen hrp memiliki homologi dengan gen bakteri
patogen dan pada hewan. Pada Yersinia penyebab bubonik plak, terdapat homolog yang berbeda dan produk gen tersebut membentuk sistem sekresi khusus yang dikenal sebagai alat sekresi tipe III yang dihasilkan protein virulen Yersinia atau Yops
10
langsung ke dalam sel inang. Bukti akumulasi tersebut juga berfungsi pada beberapa gen pada lokus hrp bakteri patogen tumbuhan. Sejauh ini sembilan gen tetap dalam kluster hrp bakteri patogen tumbuhan telah memiliki penanda sebagai gen hrc untuk HR yang tetap. Gen hrc tersebut tetap pada Erwinia, Ralstonia, Pseudomonas syringae, Xanthomonas dan patogen hewan Yersinia dan Salmonela. Berdasarkan analisis sekuen dan beberapa bukti penelitian dapat diprediksi untuk mengkode satu protein outer membran, satu lipoprotein yang berasosiasi dengan outer membran, lima protein inner-membran, dua protein sitoplasma, salah satu diantaranya adalah ATPase. Dua kelas protein Hrp adalah esktraseluler yang dinamakan harpin dan pilin. Harpin diuraikan secara terpisah. Pilin diduga dihasilkan dalam pengenalan bakteri untuk sel inang atau di dalam transfer protein Hrp ke dalam sel inang. Fungsi utama sistem sekresi tipe III pada bakteri patogen hewan adalah menghantar protein virulen langsung ke dalam sel inang.
hrp-depend sekresi tipe III pada bakteri patogen
tumbuhan yang menghantar faktor virulen langsung ke dalam sel tanaman (Gambar 3). Hal itu terlihat bahwa di dalam proses evolusi tanaman dibentuk mekanisme untuk memungkinkan beberapa protein bakteri digunakan untuk memicu respons ketahanan; yaitu bakteri yang menghasilkan protein avirulen fungsional dan dirancang untuk gen avr. Beberapa produk gen dari Xanthomonas campestris pv. vesicatoria yaitu avrBs2 dan P.s. pv. maculicola, avrRpm1. Produk gen avrBs2 merupakan faktor penentu virulensi kultivar cabe yang membawa gen resisten Bs2.
Protein avrBs2
penting untuk virulensi bakteri pada kultivar rentan yang tidak memiliki gen avrBs2. Begitu pula avrRpm1 yang menyebabkan HR dalam resistensi RPM1 genotip dari Arabidopsis penting untuk virulensi patogen pada genotip rentan. Tidak diketahui tentang penghantaran produk gen dari cendawan patogen ke dalam sel tanaman secara pasti. Tidak ada indikasi bahwa cendawan memiliki sesuatu yang ekuivalen dengan alat sekresi tipe III seperti yang digunakan pada bakteri patogen tumbuhan. Banyak gen resisten tanaman yang diklon diduga memiliki sepasang domain membran; yang mungkin mengenal faktor avirulen cendawan yang terjadi pada permukaan sel. Sebagai tambahan, banyak cendawan patogen tanaman terus tumbuh pada dinding sel dan kontak dengan membran plasma secara langsung,kemudian menghasilkan haustoria yang menembus pasma membran plasma masuk ke dalam sel.
Haustoria berfungsi sebagai organ makanan cendawan, terdapat mekanisme
khusus yang mengubah makromolekul antara membran extrahaustorial dan sel
11
tumbuhan. Terdapat laporan bahwa terdapat hubungan antara membran dan retikulum endoplasma dalam ragi dan cendawan embun tepung yang menginfeksi tanaman.
Gambar 3. Model yang diusulkan untuk patogenesitas bakteri dan coevolusi dengan tanaman berdasarkan injeksi oleh hrp (tipe III) conserve sistem sekresi protein Avr bakteri. Strain Pseudomonas syringae digambarkan dengan beberapa gen avr yang berhubungan dengan kelompok gen hrp/hrc pada daerah yang mengandung elemen genetik yang dibawa oleh plasmid. Alat sekresi Hrp cukup mampu untuk membawa produk gen avr yang diintroduksi dari patovar lainnya atau setiap genus bakteri patogen tumbuhan lainnya.
12
Box 1. Harpin Erwinia amylovora dan P.s. pv. syringae menghasilkan protein yang disebut Harpin yang kaya glisin, kehilangan residu sistein yang merupakan produk dari lokus hrpN dan hrpZ. Mutan Erwinia HarpinEa diperkirakan menghasilkan HR dan fenotip pat, demikian juga mutan Pseudomonas HarpinPs menghasilkan patogenesitas dan menginduksi HR, menunjukkan tingkat kelebihan fungsional dalam hubungan dengan induksi HR secara in vivo. HarpinEa adalah protein sel yang berasosiasi dengan envelop sedangkan HarpinPs di sekresi ke eksterior sel. Keduanya berhubungan dengan jalur sekresi hrp, tetapi keduanya tidak diinjeksi ke dalam sel tanaman inang dan keduanya menginduksi HR dari ekstraseluler pada konsentrasi 0,1 µM. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak seperti produk gen avr yang tidak menginduksi HR ketika berada dalam intraseluler dan harus diintroduksi ke dalam sel tanaman untuk aktif. Harpin juga berbeda dengan kelas gen avr di dalam mutan avr yang menghasilkan virulensi pad kultivar inang yang mempunyai gen R. Sangat berbeda, aksi harpin dalam elisitasi HR adalah gen R independent. Aktivitas elisitasi HR adalah stabil pada panas. Fungsi secara biologi harpin dan pengertian bagaimana harpin menyebabkan kematian sel tanaman belum diketahui.
Produk gen avr ras spesifik pada bakteri dan cendawan patogen yang berbeda mengandung faktor avirulen atau menghasilkan elisitor yang memicu respons pertahanan dan terkadang menghasilkan HR pada spesies tanaman resisten bukan inang. Dengan demikian pemisahan secara tradisional antara ketahanan inang dan bukan inang tidak menggambarkan secara mendasar mekanisme pengenalan patogen dan pertahanan. Suatu protein ekstraseluler 10 kDa (INF1 elicitin) dari Phytophthora infestans penyebab penyakit hawar daun kentang dan tomat memperlihatkan respons untuk HR non inang dan ketahanan pada Nicotiana benthamina; mengkonfirmasikan bahwa fungsi INF1 adalah sebagai faktor avirulen dalam interaksi antara N. benthamina dan P. infestans. Peneliti ini menggunakan strategi gen silencing untuk menghambat produksi INF1 pada cendawan. Strain yang di silencing ini mengontrol virulensi pada inang alami (kentang) dan meningkatkan virulensi pada N. benthamina. Menjadi pengetahuan kita dari percobaan awal ini adalah bahwa protein patogen spesifik spesies berfungsi elisitor dan sebagai faktor avirulen pada tanaman bukan inang. Pengenalan patogen di dalam pergerakan signal menjadi petunjuk aktivasi respons HR (Gambar 4). Penelitian terakhir difokuskan pada aturan pokok dari ROI dalam signal HR. ROI dihasilkan secara cepat dan sesaat setelah inokulasi. AOS memainkan peran kunci di dalam pertahanan tanaman. Pada tanaman, ROI dapat secara langsung berperan sebagai anti mikroba, tetapi juga berperan utama pada keberadaan HR: sebagai co-substrat untuk kekuatan dinding sel sebagai second mesenger dalam aktivasi respons ketahanan tanaman transkripsi-dependent dan sebagai mediator dari HR yang berasosiasi dengan program kematian sel.
13
Gambar 4. Diagram transduksi signal HR (dikutip dari SF Bagirova, 2007)
Satu pertanyaan yang masih muncul adalah bagaimana ROI menjadi penting selama program kematian sel HR? Sementara beberapa penelitian menunjukkan bahwa H2O2 cukup menyebabkan HR kematian sel, indikasi fakta dipaksakan bahwa O 2 adalah kunci pemicu ROI yang menyebabkan kematian sel pada lesio mimic Arabidopsis mutan lsd1. AOS bersama-sama dengan ion fluks cepat adalah perubahan paling awal yang diteliti setelah pengenalan patogen. Pada penelitian menggunakan kultur sel parsley yang distimulasi elisitor telah menunjukkan bahwa ion fluks (Ca 2+ dan H+, K+ dan Cl- effluks) menembus membran plasma menyebabkan dihasilkannya O 2- selain itu influks menunjukkan secara bersama-sama penting dan cukup untuk mengaktifkan sistem pertahanan tanaman sebagaimana indikasi oleh kehilangan dan perolehan fungsi ekperimen.
14
Box 2. Oksidatif Burst (Aktivasi Oksigen Spesies) Salah satu dari respons paling awal tanaman terhadap patogen mikroba adalah Reaksi Oksigen Intermediat (ROI) termasuk superoksida dan hidrogen peroksida. Hal ini disebut oksidatif burst yang diinisiasi secara cepat setelah patogen dikenali dan didahului dengan produksi fitoaleksin dan berbagai respons pertahanan lainnya. Hingga saat ini masih banyak perdebatan tentang sumber primer produksi ROI selama oksidatif burst, indikasi yang ditemukan hingga saat ini bahwa tanaman mempunyai mekanisme untuk menghasilkan O2 yang homolog terhadap oksidase makrophage NADPH kompleks. Induksi elisitor menghasilkan ROI dan respons pertahanan dapat dihambat pada tanaman kedelai dan parsley dengan difenilen iodinium sebagai inhibitor NADPH. Antibodi terhadap beberapa komponen neutrophil manusia kompleks oksidase NADPH misalnya : P22, P47, P67 dan protein kecil Rac2 bereaksi silang dengan protein massa molekul tanaman serupa yang diekstrak dari kedelai, kapas. Arabidopsis dan tomat. Namun menggunakan antibodi heterolog untuk screen ekspresi lambda dari Arabidopsis dan kedelai menghasilkan urutan yang tidak berhubungan dengan oksidase NADPH tanaman. Gen-gen yang mengkode katalis utama homolog tanaman dari sub unit gp91phat telah diklonkan. Gen rbohA (respiratory burst oxidative homologue A) dari Arabidopsis mengkodekan protein 108 kDa dengan sebuah ekstensi hidrophilic-Nterminal besar tidak ditemukan dalam manusia gp91phat. Oksidase NADHP dalam membran plasma tanaman mempunyai kemiripan dengan homolog neutrophil tetapi mekanisme regulator spesifik tanaman, Ca2+ dan protein G menghasilkan ROI. Hal yang menarik, bahwa studi farmakologi sebelumnya Ca2+ dan protein G terlibat dalam regulasi oksidatif burst tanaman. Contohya: mustoparan sebuah polipepdtida konstitutif yang mengaktivasi protein G dan menginduksi produksi ROI tanpa elisitor pada kedelai dan parsley. Oksidase NADPH dalam membran plasma, peroksidase dan enzim ekstraseluler lain seperti germin/oksalat oksidase atau amina oksidase berkontribusi untuk membentuk ROI berupa oksidatif burst. Pembentukan hidrogen peroksida langsung oleh peroksidase yang sangat bergantung pada ekstraseluler alkalinisasi dan kehadiraan reduktan dalam dinding sel. Model sistem ini dipelajari ekstensif pada suspensi kultur sel buncis French dimana respons elisitor cendawan Colletotrichum lindemuthianum diantarkan ke dinding sel. Ada beberapa bukti bahwa proses pengaktifan ROI bergantung pada peroksidase dalam mekanisme interaksi bakteri-tanaman. Inokulasi daun lettuce dengan wild strain P.s. pv. phaseolicola menyebabkan HR dan akumulasi peroksidase tinggi ditemukan dalam sel tanaman yang ditempati oleh bakteri. Produksi hidrogen peroksidase lebih sensitif untuk inhibitor peroksidase (sianida dan azide) daripada inhibitor NADPH oksidase (difenilen idonium).
Sejumlah laporan terpisah tentang AOS berdasarkan fenomena yang berhubungan dengan HR termasuk induksi fitoaleksin ada bukti bahwa AOS tidak selalu dibutuhkan untuk menginduksi HR. Selain itu gen yang berhubungan dengan pertahanan yang berbeda (PR1, GST, SOD dan LOX) yang diinduksi oleh ROI juga dipengaruhi oleh tekanan abiotik. Hal ini mengindikasikan bahwa dihasilkannnya ROI merupakan bagian dari sistem ketahanan stress oksidatif secara umum dibandingkan hanya sebagai mekanisme signal HR spesifik dalam respons terhadap patogen. Stres abiotik yang diasosiasikan dengan kematian sel nekrotik, dapat juga memperlihatkan gambaran dari PCD. Dua penelitian terakhir menunjukkan bahwa nitrit oksida (NO)
15
sebagai sinyal imun sistem syaraf dan sistem vaskular vertebrata. Penelitian yang sinergi dengan ROI mendukung HR. Nitrat oksida memainkan peranan penting pada ketahanan terhadap penyakit pada tumbuhan dan hewan. NO dihasilkan dari reaksi arginin menjadi citrulin + NO. Pada vertebrata reaksi ini dikatalis oleh NO sintetase. Aktivitas NO dideteksi pada tanaman dan cendawan. Derner et al (1998) melaporkan bahwa NO sintetase diinduksi oleh TMV pada tanaman tembakau resisten (ekspresi gen N resisten) tetapi tidak pada tembakau rentan. NO diketahui berinteraksi dengan O2- salah satu pemicu dihasilkannya ROI selama AOS untuk membentuk radikal peroksinitrit, yang mana secara ekstrim berpotensi menyebabkan kehancuran sel dan memicu kematian sel apoptotik. Penelitian terkini menyebutkan, mitogen-aktivated protein (MAP) kinase diidentifikasi memainkan peranan hilir pada ion fluks tetapi tidak secara langsung atau pada hulu dari AOS. Ketika media reseptor aktif, maka mekanisme ditranslokasikan ke nukleus dan diduga berinteraksi dengan faktor transkripsi yang menginduksi aktivasi gen pertahanan. Hal penting bahwa fosforilasi oleh protein kinase perlu untuk membentuk kompleks oksidase NADPH aktif pada membran plasma.. Peranan jalur signal calmodulin hiperaktif memperlihatkan suatu kenaikan AOS dan kematian sel HR sebagai respons terhadap infeksi patogen inkompatibel.
Hingga saat ini interaksi
kompleks antara ROI dan NO sebagai molekul signal termasuk asam salisilat dan etilen menjadi penelitian yang intensif dilakukan. Menurut Heller dan Tudzynski (2011), ROS berperan dalam virulensi dan perkembangan cendawan karena, (a) Sistem OSR (oxidative stress response) cendawan mungkin tidak dapat diprediksi peranannya dalam patogenisitas, (b) Cendawan patogen, terutama necrotrop dapat aktif berkontribusi pada ROS dan bahkan mengambil keuntungan dari respon tanaman inang, (c) Cendawan memiliki superoksida menghasilkan NADPH mirip dengan kompleks Nox mamalia yang penting bagi oksidase patogenisitas, namun, data terakhir menunjukkan bahwa mereka tidak terlibat langsung dalam komunikasi patogen-inang tetapi dalam proses diferensiasi jamur diperlukan untuk virulensi. BAB 6. REGULASI GENETIK KEMATIAN SEL PADA TANAMAN Sekarang telah diketahui bahwa kematian sel HR tidak secara langsung disebabkan oleh potensial kerusakan karena patogen tetapi juga merupakan hasil dari aktivitas proses genetik tanaman secara intrinsik yang melibatkan sejumlah faktor. Hal ini didukung oleh berbagai fakta yang berbeda:
16
Produk gen R yang berhubungan dengan pengenalan patogen terhadap HR
Protein kinase dan protein signal lainnya dan faktor transkripsi
HR membutuhkan aktivitas metabolisme tanaman, termasuk sistem transkripsi dan translasi
Elisitor cendawan dapat menginduksi berbagai aspek multi komponen respons ketahanan pada saat terjadinya ketahanan penyakit dan lesio yang cocok dengan HR saat kehadiran patogen
Ekspresi dari berbagai gen asing terkadang mengaktifkan HR mirip PCD
Suatu kelas besar mutan tanaman yang disebut lesio tiruan memperlihatkan kematian sel secara spontan atau kondisional beberapa kasus diantaranya membentuk HR. Mutasi dalam gen resisten penyakit tumbuhan dapat dengan mudah juga menunjukkan kematian sel yang tidak diatur (Tabel 1).
Tabel 1. Gen-gen ketahanan tanaman (R) yang terlibat dalam regulasi kematian sel dan struktur motif umum Gen
Tanaman
RPS2 RPM1 Mlo
Arabidopsis Arabidopsis Barley
L6, M Hm1
Flax Jagung
Rp1
Jagung
Xa21
Padi
Hs1-Pro N Pto I2C Cf2, 4, 5, 9
Gula bit Tembakau Tomat Tomat Tomat
Struktur
Fungsi Ketahanan
Fenotip Mutan
LRR, NBS, LZ LRR, NBS, LZ at least 6 TMS-helikel LRR, NBS Reduktase toksin Tidak diketahui LRR, protein kinase
P. s. pv. maculicola P.s. pv. maculicola Blumeria graminis f.sp. hordei Melampsora Toksin cendawan
Kematian sel spontan
LRR, NBS Protein kinase LRR, NBS LRR
Puccinia sorghi
Kematian sel spontan
Xanthomonas oryzae Nematoda sista TMV P. s. pv. tomato Fusarium oxysporium C. fulvum
LRR= leucine-rich repeat, LZ = leucine zipper, NBS = nucleotide binding site, TMS = transmembrane spanning
Studi model interaksi patogen-tanaman terbanyak adalah respons hipersensitif (HR), sebagai interaksi inkompatibel yang terkait dengan fenomena respon ketahanan pada tanaman melibatkan tiga langkah: (a) pengenalan oleh patogen, (b) transduksi sinyal, dan (c) pelaksanaan aktivasi program ketahanan seperti kematian sel oleh HR, ledakan oksidatif, dan
transkripsi yang
mengaktivasi
gen pertahanan
yang
menginduksi SAR. Pengenalan peristiwa ini sering mengikuti model gen for gen yang ditemukan oleh Flor pada tanaman rami. Tanggapan resistensi dipicu ketika inang memiliki gen R dominan, berhubungan dengan gen patogen avr dominan sehingga
17
mengarah pada kematian sel lokal dan akhirnya terjadi aktivasi dengan cepat respon gen-gen ketahanan. Respons Hipersensitif kematian sel ini dianggap sebagai reaksi bunuh diri dari sel tumbuhan melawan patogen sehingga penyebaran patogen dapat dihambat. Pada tumbuhan selama kematian sel, HR telah terbukti secara genetik dikendalikan oleh kematian sel terprogram (PCD) seperti beberapa fitur apoptosis pada sel hewan. Pembangkitan spesies oksigen reaktif (ROS) yang mengarah pada AOS, memainkan peran sentral untuk membangkitkan sinyal transduksi saat terjadinya kematian sel. Hal ini diikuti oleh pembentukan lipid peroksidasi, sebagai akibat dari kegiatan radikal bebas peroksidasi atau enzim lipoxygenase sehingga terjadi degradasi atau disfungsi membran sel. Aktivasi enzim nucleases juga mendegradasi kromosom DNA ke oligonucleosomal. Fragmentasi DNA juga telah dilaporkan pada beberapa jaringan tanaman yang mengalami PCD. Baru-baru ini, telah berkembang bukti adanya kegiatan inhibitor mirip protease caspase pada tanaman, saat terjadi HR pada kacang tunggak yang terinfeksi jamur.
Ada 3 model mekanisme umum PCD di tanaman
(Gambar 5). Kultur sel tanaman adalah model sistem yang berguna untuk menyelidiki biosintesis metabolit sekunder tanaman, misalnya kultur sel Linum menghasilkan berbagai macam senyawa putatif terkait dengan pertahanan lignan untuk kepentingan farmasi. Pemanfaatan infeksi patogen langsung dari kultur sel tanaman memungkinkan teridentifikasi komponen sinyal dan penentu hubungan antara kematian
sel
dan
peristiwa pertahanan terkait lainnya, karena sistem ini berbeda pada
keseluruhan
bagian
tanaman
sehingga
memungkinkan
keseragaman,
aksesibilitas dan mengurangi kompleksitas. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa selama kematian sel terjadi interaksi antara tanaman rentan dan patogen (kompatibel interaksi) menunjukkan beberapa karakteristik fitur apoptosis. Sebagai contoh, interaksi kompatibel antara Puccinia f. coronata sp. avenae atau Magnaporthe grisea dan tanaman inang oat diinduksi oleh kondensasi sel dan pembelahan kromatin DNA. Hano et al. (2008), melaporkan peristiwa seluler dan molekuler yang berhubungan dengan kematian sel saat terjadi interaksi kompatibel antara Fusarium oxysporum sp. linii dan sel tanaman rentan rami (Linum usitatissimum). Inokulasi dilakukan untuk menentukan urutan fisiologis dan molekuler kematian sel, produksi spesies oksigen reaktif (ROS), potensi mitokondria, lipoxygenase, DNase, protease dan aktivasi caspase-3-like, serta lipid peroksidase dan produksi metabolit sekunder. Kematian sel berhubungan dengan urutan morfologi spesifik dan perubahan biokimia yang umum dalam reaksi hipersensitif (inkompatibel).
18
Keputusan bagaimana harus mati
Persiapan kematian (vacuola dan lain-lain)
Pelaksanaan
Eksekusi
Manifestasi
Gambar 5. Model umum mekanisme PCD di Tanaman Dikutip dari Jones A M Plant Physiol. 2001;125:94-97
Sebuah ledakan oksidatif terjadi, mitokondria kehilangan potensi karena aktivasi dari lipoxygenase dan lipid peroksidase. Enzim-enzim yang mendegradasi DNA di nukleus terdeteksi
namun fragmentasi
oligonucleosomal
tidak diamati.
Caspase-3-like
diaktivasi secara dramatis meningkat pada sel yang diinokulasi. Metabolisme fenilpropanoid juga dipengaruhi oleh aktivasi PAL dan ekspresi gen PCBER yang mengurangi lignan terlarut dan kandungan neolignan. Hasil ini diperoleh bahwa rami menunjukkan interaksi yang kompatibel dan memicu urutan kematian sel dari sejumlah fitur-fitur umum respon hipersensitif yang diamati dalam interaksi yang inkompatibel seperti apoptotik pada sel hewan. Karakteristik morfologi dan pembentukan kematian sel HR telah ditunjukkan dengan baik pada interaksi antara cendawan biotrop Uromyces vignae, menyebabkan karat pada kacang tunggak. Chen dan Heath (1991) meneliti dengan mengikuti urutan kejadian secara sitologi pada 15 jam setelah inokulasi : 1). Migrasi nukleus ke tempat cendawan memenetrasi dan aliran sitoplasma menguat pada sel tanaman yang diserang, 2). Aliran sitoplasma terhenti, kondensasi nukleus dan sitoplasma, akumulasi granula pada sisi luar sitoplasma dan, 3). Kolapsnya protoplas dan kematian sel yang
19
terinfeksi. Levine et al mendeteksi membran blebbing kondensasi inti nukleus dan sitoplasma penyusutan sel dan terkadang struktur yang mungkin berupa bentuk apoptotik pada respons ketahanan penyakit HR melawan strain avirulen P.s. pv. glycinea. Pembelahan DNA adalah tanda untuk PCD hewan. Ryerson dan Heath (1996) mendeksripsi fenomena ini pada sel tanaman yang dimatikan melalui HR atau pengaruh abiotik. Terbentuknya HR pada dua kultivar kopi resisten dihubungkan oleh pembelahan DNA nukleolus ke dalam fragmen oligonukleosomal (DNA ladder). Kemudian terminal deoksinukleotidal transferase-mediated dUTP nick end pada in situ labeling (pewarnaan TUNEL) pada bagian daun memperlihatkan bahwa induksi patogen fragmentasi DNA terjadi hanya dalam sel yang mengandung haustorium dan dapat dideteksi lebih awal pada proses perusakan sel HR. Hubungan yang jelas antara satu kematian sel dengan resisten yang dimediasi HR atau gejala penyakit masih kabur.
Signal spesifik patogen diduga memiliki suatu pengaruh pad
pembentukan HR.
Dengan demikian dapat menentukan apoptotik atau nekrotik
morfologi kematian sel (Tabel 2). Pendekatan genetik telah digunakan untuk mengidentifikasi private (stimulus spesifik) sebagai jalur signal transduksi general selama induksi awal dan diikuti fase efektor dari HR. Sebagai contoh pada tanaman barley mutasi ras 1 menghapus kematian sel hipersensitif Mla-based dan resisten melawan embun tepung (Blumeria graminis f.sp. hordei) yang tidak menekan HR menjadi resisten dimediasi MLG. Secara sederhana mutan Arabidopsis EBS (Tabel 3), menekan resistensi yang dimediasi HR. Contohnya pada berbagai isolat cendawan patogen Peronospora parasitica tetapi tidak untuk ras Pseudomonas syringae.
avirulen
bakteri
patogen
Berbeda halnya mutan ndr-1 menekan resistensi yang
dimediasi HR pada kedua resistensi yang dimediasi HR pada kedua patogen di atas. Kesimpulannya mutasi tersebut menyediakan fakta untuk bertemunya signal hulu pengenalan yang jelas ke dalam jalur tunggal pemicu HR. Tabel. 2. Karakteristik dari Apoptosis dan Nekrosis
20
Tabel 3. Mutan yang tersaring akibat kehilangan respons spesifik pertahanan tanaman atau ketahanan teridentifikasi yang gen-gennya diperlukan untuk ketahanan penyakit Gen
Tanaman
Struktur
Gen R yang ditekan melalui mutasi
EDS1
Arabidopsis
lipase
RPP2, RPP4, RPP19
EDS5
Arabidopsis
Homolog sebagian lipase
RPP2, RPP4, RPP19
NDR1
Arabidopsis
2 TMS helicel
RPM1, RPS2, RPS5
NPR/N1M1
Arabidopsis
Ankryin-repeat, 1kB homology NLS
RPP12, RPP14
PAD1, 2, 3
Arabidopsis
Tdk diketahui
RPP2, RPP4, RPP19
PAD4
Arabidopsis
Rar1,2 Rar1,2 Psf
barley Barley tomat
Faktor transkripsi putatif Tdk diketahui Tdk diketahui NBS, LRR
Pii5
tomat
Ser/Thr/kinase
Pii4,5,6,
Tomat
Transkripsi
Rcr-1,2,3,5
tomat
Tdk diketahui
RPP2, RPP4, RPP19 Mla-1, Mla-13, Mla-23 mla Pto OE enhaced avrPtomediated HR Mengikat elemen promotor gen PR Cf-2/9
Mutan/Deskripsi gen Rentan tetapi HR dan SAR tidak terjadi Rentan tetapi, tetapi SAR dan HR tdk terjadi Ketahanan Non spesifik Nonexpressor PR Defisiensi fitoaleksin Defisiensi fitoaleksin Ketahanan Mla Ketahanan Mla Ketahanan Pto Pto interaksi protein Pto interaksi protein Diperlukan untuk ketahanan C. fulvum
Menurut Van Doom et al. (2011), klasifikasi kematian sel tanaman dibagi menjadi 2 klas yaitu : a). Kematian sel vakuola (vacuola cell death) b). Kematian sel nekrosis (necrotic cell death) a.
Kematian sel vakuola; tanaman mempunyai sistem jaringan vaskular, sebaliknya pada lisosom hewan isi sel banyak ditempati. Peranan lisosom pada hewan mempunyai kemiripan juga dengan tanaman karena menggunakan lisis vakuola untuk memperbaiki sel-sel menjadi normal akibat kekurangan nutrisi. Lisis vakuola berfungsi sebagai salah satu klas kematian sel tanaman dan disebut dengan istilah “kematian sel vakuola”. Kematian sel vakuola adalah manifestasi menurunnya isi sitoplasma secara gradual dan meningkatnya isi sel yang ditempati oleh lisis vakuola. Lisis vakuola adalah mekanisme utama degradasi di sitoplasma melalui pembongkaran muatan sel saat berlangsung kematian sel vakuola. Mikrograf elektron memperlihatkan invaginasi dari membran vakuola
21
Box 3. Program Kematian Sel (PCD) Program kematian sel atau PCD adalah suatu bagian integral dari banyak aspek pada perkembangan hewan dan tumbuhan dan secara selektif mengeluarkan sel yang tidak dikehendaki. Program bunuh diri sel diduga juga diaktivasi oleh respons terhadap stimulan abiotik dan biotik termasuk juga stress lingkungan atau patogen. PCD juga dideskripsi dengan menggunakan kriteria secara sitologi, agregasi kromatin, kondensasi sitoplasma, nukleus, dan fragmentasi sitoplasma serta nukleolus ke dalam membran-bound vesikel. Bagian-bagian ini secara frekuensi disempurnakan disebut DNA laderring, pembelahan kromatin pada situs inter nukleosomal menghasilkan fragmen DNA yang multimer kira-kira 180 bp. Kata Apoptoksis berasal dari bahasa Yunani Apo, dari jauh; ptosis, jatuh, diintroduksi oleh J.F.R. Kerr dan koleganya untuk membedakan tipe ini terhadap PCD dari kematian sel nekrotik pada hewan. Kematian sel nekrotik adalah hasil dari agen sitotoksik dosis tinggi atau luka keras termasuk trauma dan ischemia (luka yang disebabkan reoksigenasi jaringan setelah hipoksia) dan dikarakterisasi oleh adanya pembengkakan sel dan organel dan pecahnya membran. Apoktosis dan nekrosis telah terlihat secara morfologi dan secara mekanis pada kematian sel hewan. Berbeda dengan penyakit tumbuhan semua sel atau jaringan yang mati secara tradisional disebut nekrosisi, terlepas dari mekanisme penyebab kematian sel. Sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis dan nekrosis memainkan peran dalam sitologi dan biokimia kematian sel pada kisaran luas. Bermacam-macam pemicu kematian sel telah diinduksi melalui apoptosis dan nekrosis, yaitu seri protein spesifik terhadap apoptosis seperti caspases (cystein protease mirip dengan interleukin-1β converting enzyme (ICE)) dan Bcl-1 (regulator prototipe kematian sel mamalia) juga mendukung nekrosis. Pola kematian sel (morfologi apoptosis dan nekrosis) ditentukan oleh ATP interseluler. Kehilangan ATP sering bersama dengan peningkatan level ROI dan peroksidasi lemak dan mengalihkan program kematian sel dari apoptosis ke nekrosis. Program kematian sel dibagi ke dalam 3 fungsi yang berbeda tahapannya: 1). fase perangsang bergantung pada fase induksi 2); sebuah fase dimana efektor merangsang kematian untuk selanjutnya diterjemahkan ke pusat koordinasi, 3). Perubahan selama fase degradasi umumnya dipertimbangkan untuk mendefinisikan PCD (morfologi apoptotik dari nukleus dan fragmentasi chromatin) menjadi jelas. Pengetahuan terkini tentang mekanisme spesifik degradasi HR mengarah ke kolapsnya sel tanaman akan dibicarakan pada bab 5. Bukti terbaru jelas bahwa pentingnya signal dari mitokondria saat fase apoptosis karena sel-bebas apoptosis memerlukan mitokondria yang fungsinya mensuplasi energi. Apoptosis sebagai agen yang menginduksi uncoupling transpor elektron untuk meghasilkan ATP akan menyebabkan menurunnya potensial transmembran mitokondria (Δψm) dan produksi ROI. Peristiwa ini dapat dikaitkan dengan sebuah fenomena yang terkenal transisi permeabilitas mitokondria (PT).
(tonoplas) dan fusi vesikel di bagian vakuola diikuti oleh pengangkutan dan degradasi bagian sitoplasma. Proses ini menyerupai autophagi secara mikro maupun makro. Tahapan akhir dari pelaksanaan kematian sel vakuola adalah pecahnya tonoplas dan melepaskan enzim hidrolase ke luar vakuola. Kerusakan ini berlangsung sangat cepat di dalam sitoplasma dan dalam beberapa kasus tertentu sel-sel ini ditarik ke dinding sel. Morfologi lain yang berlangsung saat kematian sel vakuola yaitu pembentukan cables actin, pembukaan selubung inti dan segmentasi inti sel. Mitokondria dan organel lain, misalnya membran plasma
22
secara morfologi tetap daripada kerusakan tonoplas. Eksekusi akhir dari tahapan kematian sel vakuola, prosesnya lambat bisa mencapai beberapa hari sampai pecahnya tonoplas. b.
Kematian sel nekrotik; nekrosis dari sel-sel hewan didefinisikan secara morfologi apoptotik atau autophagic, awalnya sering ada kehilangan isi sel keluar, organel bengkak (awalnya pecah membran plasma dan kehilangan isi sel secara intraseluler). Kematian sel dengan karakteristik seperti di atas terjadi meluas di tanaman serta diinduksi melalui stres abiotik dan pengenalan patogen saat berlangsungnya HR. Hal ini juga ditemukan dalam sel-sel yang dirubah oleh patogen necrotrop. Namun dalam kasus HR, nekrotik sering terjadi bersamaan dengan kematian sel vakuola. Sitologi yang menandai perbedaan nekrosis tanaman terhadap kematian sel vakuola termasuk membengkaknya mitokondria. Morfologi klas-klas kematian sel disajikan pada Tabel 4 dan 5. Tabel 4.. Morfologi Fitur Klas Kematian Sel
Tabel 5..Fitur biokimia dan biologi sel dari dua kelas utama kematian tanaman dan metode deteksi
23
Suatu pendekatan alternatif untuk mengetahui hilangnya pembentukan HR atau hilangnya resistensi adalah dengan pilihan pada respons pertahanan tanaman spesifik. Perbaikan mutan kedua pendekatan di atas diuji efeknya selanjutnya pada sistem penyakit. Beberapa mutan seperti mengakumulasi fitoaleksin pada Arabidopsis. Mutan-mutan tersebut hanya memperlihatkan level intermediet resistensi tetapi merupakan
mutan
ganda,
dihasilkan
melalui
persilangan
sederhana
namun
memperlihatkan efek tambahan. Mutan npr1 menunjukkan tidak nyata mengurangi ketahanan terhadap strain P. syringae dan hanya sangat kecil penurunan ketahanan terhadap P. parasitica. Data tersebut menunjukkan bahwa ekspresi gen PR tidak dibutuhkan untuk resisten HR terhadap patogen tersebut. Hipotesis ini menunjukkan bahwa kejadian yang lebih jelas tetapi menjadi lebih kompleks ketika analisis menjadi bertentangan antara mutan npr1 dan mutan cpr6 dominan, kemudian ekspresi gen PR konstitutif terjadi dan dtingkatkan ketahanan terhadap strain virulen dari P. syringae lainnya. Ekspresi gen PR konstitutif tidak ditekan pada mutan ganda ini. Jadi ekspresi gen PR konstitutif tidak berhubungan dengan npr1. Bagaimanapun cpr6 resisten dependent terhadap strain P. syringae virulen lainnya ditekan pada mutan ganda cpr6/npr1 meskipun diserang ekspresi gen PR. Clarke et al. (1996), menyimpulkan berdasarkan data tersebut bahwa cpr6 resisten-dependent terhadap strain P. syringae ini harus dicapai melewati produk gen antibakteri yang belum diidentifikasi terhadap NPR1. Meskipun demikian mutan avr1 kelihatannya menjadi tidak sempurna secara total dalam persepsi SA sebagaimana induksi SAR. NPR1 kelihatannya dilokalisasi di nukleolus (signal lokalisasi nukleolus) dan memainkan peran sebagai modifier transkripsi. Kemungkinan untuk mencari produk gen yang mungkin berinteraksi dengan protein yang telah diketahui menggunakan apa yang disebut seleksi yeast two-hybrid sangat memberi harapan dan menjadi alat yang maju yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi protein yang berinteraksi dengan produk gen R. Zhou et. Al (1995, 1997) menemukan protein yang berbeda yang berinteraksi dengan produk Pto fr-gen pada tanaman tomat resisten terhadap strain P. syringae pv. tomato yang membawa gen avirulen avrPto. Pto itu sendiri mengkode serine/threonin kinase dan tidak seperti gen R lainnya, tidak mengandung LRR domain atau NBS atau LR. Pti1 gen interaksi Pto yang diidentifikasi pertama kali mengkode serine/threonin kinase dan secara spesifik difosforilasi oleh Pto. Data tersebut merupakan awal keberadaan aliran signal protein kinase pada ketahanan tanaman, meskipun terdapat postulat lainnya pada
24
beberapa waktu yang didasarkan pada kejelasan penelitian kultur sel tanaman menggunakan elisitor dan protein kinase serta inhibitor fosfat. Sejalan dengan hipotesis ini, over ekspresi Pti1 meningkatkan avrPto dimediasi kematian sel HR. Berkenaan dengan kontrol genetik HR, permasalahan berikut perlu dipecahkan, apa yang menentukan luas area daun mengalami PCD setelah pengenalan patogen? Tidakkah terdapat sel penentu diferensiasi langsung? Apakah terdapat protein “anti-cell-death” spesifik atau jalur yang tepat pada tanaman, sebagai contoh mungkin menghambat induksi PCD pada jaringan daun di sekeliling area lesio HR? Kejadian yang lebih membangkitkan minat jika hal tersebut tetap. Hukum apa yang menjadi sentral yang membuat kematian sel tanaman dalam memutuskan mati atau tidak mati? Sejauh ini hanya sedikit persamaan dengan sistem signal apoptotik hewan yang cocok pada tanaman.
Semua percobaan untuk mengidentifikasi
persamaan tanaman dengan pengaturan prototip kematian sel mamalia Bcl-2 atau beberapa anggota lainnya dari famili Bcl-2 tidak berhasil dilakukan. Over ekspresi protein anti-apoptotik manusia Bcl-XL pada tembakau tidak menekan pembentukan lesio HR pada respons terhadap virus atau bakteri patogen. Gen yang mengkode protein defender against apoptotic death (DAD1) telah diidentifikasi dari tanaman Arabdopsis dan database padi EST. Sejauh ini belum ada fungsi yang diperlihatkan dari DAD1 pada kematian sel tanaman HR. Meskipun demikian jalur anti kematian sel terlihat pada tanaman yang diindikasikan dengan keberadaan mutan kontrol kematian sel termasuk acd2, acd1, lcd1 dan lls1 mutan tersebut menunjukkan menghalangi kontrol kematian sel pada kehadiran patogen dan tidak mengontrol penyebaran kematian sel setelah diinisiasi. Penelitian terbaru gen lls1, telah ditemukan mengkode aromatic ring-hidroxileting dioxygenase (Gray et al. 1997) berdasarkan target ini bahwa kematian sel dimediasi oleh fenol.
Sebagai tambahan SA diketahui menyebabkan peningkatan hidrogen
peroksida intraseluler, secara potensial membentuk kerusakan sel radikal bebas dan menghasilkan kematian sel selama HR. Kesimpulannya bahwa lls1 berperan sebagai supresor kematian sel dengan adanya SA atau komponen fenolik yang menyebabkan kematian sel. Mutan tanaman Lsd2 memperlihatkan secara spontan lesio HR dan meningkatkan ketahanan terhadap patogen, ukuran lesio tidak dibatasi dan fenomena tersebut dinamakan runaway cell death (Gambar 6) terbentuk area besar pada jaringan yang mati. Gen LSD1 mengkode protein zinc finger yang diduga mengatur transkripsi efektor kematian sel.
25
Gambar 6. Ketahanan disease resistance dan penghindaran kematian sel tanaman fenotip pada daun tua sesudah inokulasi Pp. (Dikutip dari : Christine Rustérucci, Daniel H. Aviv, Ben F. Holt, III, Jeffery L. Dang and Jane E. Parker. 2001. The Plant Cell Vol. 13:2211-2224)
Oksigen dibutuhkan dan cukup untuk menginisiasi pembentukan lesio pada mutan lsd1. Akumulasi sebelum serangan kematian sel dan kemudian pad sel hidup yang berbatasan menyebarkan lesio lsd1. Jadi O2 merupakan spesies ROI kritis yang menghilangkan kekacauan mutasi lsd1. Penelitian terakhir meng-indikasikan bahwa aktiitas enzim anti oksidan berbeda termasuk Cu/Zn SOD dan katalase (KAT) diubah pada tanaman mutan lsd1 dapat menyediakan inisiasi atau penyebaran kematian sel dengan meningkatkan transkripsi efek kematian sel pada level signal induksi tinggi tetapi menjadikan perlambatan atau penghentian program kematian sel sebagai tingkat signal. Sensor rheostat diduga merespons untuk mengubah status redoks seluler atau meningkatkan level SA atau ROI, sebagaimana ditemukan pada titik infeksi patogen. LSD1 dapat menghambat signal konstitutif level rendah ke dalam sistem pembentukan ROI pada AOS. Ekspresi enzim anti oksidatif termasuk SOD, CAT, peroksidase, glutathione-5transferase (GST) dan glutathione peroksidase berkorelasi dengan induksi HR. Peningkatan kapasitas antioksidatif ini mungkin mencegah atau menahan sel tetangga dari tidak terkontrolnya difusi signal kematian termasuk ROI, kematian sel seluruh permukaan daun pada tanaman transgenik yang menghasilkan kapasitas antioksidatif
26
yang membentuk lesio nekrotik, menginduksi ekspresi gen ketahanan pada kehadiran patogen dan memperlihatkan peningkatan resistensi terhadap patogen. Perubahan konsentrasi antioksidasi spesifik mungkin ditoleransi oleh tanaman untuk memperluas beberapa sel atau dikompensasi secara cepat oleh spesies antioksidan lainnya. Meskipun demikian beberapa komponen ketahanan diketahui pada saat mutasi menyebabkan stres oksidatif diikuti kematian sel nekrotik seperti suatu kerusakan pada uroporphyrinogen decarboxylase (UROD) menyebabkan mutasi dominan les22 pada jagung tidak dapat digantikan dan berperan penting untuk membentuk lesio mimic. Selain itu “plant porphyria” disebabkan oleh defisiensi UROD atau coporphyrinogen oxidase (CPO) terkadang berhubungan dengan mekanisme ketahanan patogen konstitutif termasuk ekspresi gen PR, produksi fitoaleksin dan peningkatan sintesis ROI dan SA. Pada tanaman Arabidopsis hubungan secara biologis semua data genetik (seperti produk gen R, protein interaksi, komponen signal, faktor transkripsi, kompleks protein penghasil ROI dan NO, enzim (antioksidatif) dapat diuji melalui identifikasi mutasi insersi pada gen tersebut.
BAB 7. MEKANISME PENTING PADA KERUSAKAN MEMBRAN DAN SEL KOLAPS Tanaman lebih toleran terhadap penyakit atau nekrosis pada jaringan atau sel dibanding dengan hewan. Tanaman tidak memiliki sistem imun untuk menghantar antibodi jadi tidak memperlihatkan peradangan sebagaimana hewan. Laporan terkini memperlihatkan bukti bahwa sistein protease diduga dilibatkan pada pengaturan PCD tanaman, tetapi tidak seperti pada ICE, protease ini tidak dirusak setelah menghasilkan asam aspartat. Vakuola sel tanaman memiliki banyak enzim hidrolitik setelah dibebaskan seharusnya merusak tonoplas dan bertanggungjawab mendegradasi kandungan sitoplasma. Membran merupakan target utama dari peristiwa yang terprogram secara genetik dan enzim lysosomal keberadaannya pada sel tanaman merupakan akhir dari proses kerusakan sel. Pada saat HR terjadi peroksidase membran lipid dan menjadi petunjuk untuk dilepaskannya hasil substansi volatil berbeda dari daun yang disintesis akhir dari asam lemak hiperoksida. Lemak peroksidase dapat terjadi melalui dua bentuk enzimatis yaitu lipoksigenase (LOX) dan melalui non enzim atau melalui ROI tertentu serta radikal bebas organik. Lipoksigenase akan mengoksidasi asam lemak tak jenuh yang memiliki gugus cis-1,4-pentadiena, seperti linoleat dan asam linolenat, umumnya kedua senyawa ini terdapat pada membran tanaman. Karena asam lemak bebas merupakan
27
substrat paling baik untuk beberapa isoform LOX dibanding asam lemak ester pada membran lipid. LOX diduga bekerja pada konyugasi dengan lipolitik asil hidrolase atau beberapa aktivitas fosfolipase spesifik menyebabkan kerusakan membran. Saat ini beberapa laporan berbeda menyebutkan bahwa isoform LOX spesifik bekerja secara langsung pada asam lemak ester pada membran dan suatu elisitor penginduksi isoform LOX dilaporkan memperlihatkan keistimewaan aktivitas melawan fosfolipid membran dibanding asam lemak bebas. Dapat dikatakan suatu postulat bahwa LOX mungkin memainkan peneranan penting dalam remodeling dan degradasi membran tanaman pada kondisi in situ terutama untuk patogen dan stres. Suatu percobaan dilakukan untuk menguji aktivitas LOX. Pada penelitian ini dilakukan menggunakan konstruksi antisense LOX dan ditransformasikan ke dalam tanaman tembakau. Tanaman antisense tersebut memperlihatkan penurunan level aktivitas LOX yang diinduksi patogen dan secara normal ras O avirulen isolat Phytophthora infestans dapat mengkolonisasi tanaman dan menyebabkan penyakit. Alternatif lain, peroksidase lipid yang terjadi diteliti selama HR tidak dihasilkan dari ROI atau radikal bebas organik. Poin ini penting untuk dipertimbangkan bahwa produksi ROI secara kimiawi selama AOS sebab tidak hanya H2O2 atau O2- yang reaktif terhadap asam lemak peroksidase dalam aturan ini.
Selama dua hal penting itu
dihasilkan oleh ROI dalam AOS yang diinduksi patogen, terdapat syarat untuk menjelaskan bagaimana H2O2 atau O2- dapat membantu menghasilkan peroksidase lipid. Produksi anion superoksida berkaitan dengan kerusakan membran dan toksisitas in vivo pada banyak bagian. Terdapat postulat bahwa efek kerusakan O2- dihasilkan dari perubahan menjadi radikal OH dengan adanya besi sebagai katalis, melalui H 2O2 hasil dari dismutasi O2-. Apakah besi tersedia di situs dihasilkannya O 2- pada AOS tidak diketahui tetapi eksperimen menggunakan dimethyl sulfoxide DMSO tidak mendeteksi adanya radikal OH selama induksi HR oleh bakteri pada tanaman ketimum. Menurut Pudjiharti et al. (2006), gejala nekrosis akibat infeksi Sclerotium rolfsii pada jaringan daun kacang tanah cv. Singa dan Kelinci terjadi lebih cepat dibandingkan dengan jaringan leher akar atau batang. Gejala infeksi sudah terlihat 30 jam setelah inokulasi jaringan daun, tetapi baru setelah 60 jam pada jaringan batang dan leher akar. Jaringan daun yang terinfeksi S. rolfsii mengalami peningkatan aktivitas peroksidase dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan jaringan batang atau leher akar. Genotipe kacang tanah yang menunjukkan respons agak rentan atau rentan terhadap infeksi S. rolfsii menunjukkan peningkatan aktivitas peroksidase yang
28
lebih tinggi dibandingkan dengan yang sangat rentan. Namun demikian, peningkatan aktivitas peroksidase akibat infeksi cendawan yang diamati dalam percobaan ini belum dapat menghambat perkembangan penyakit busuk pangkal batang pada kacang tanah. Berkenaan dengan aturan potensial untuk radikal bebas organik, sebuah hipotesis penting dikemukakan untuk menyatakan bahwa radikal SA diduga menyebabkan peroksidasi lipid secara in vivo. SA diakumulasi pada jaringan yang mengalami respons pertahanan. SA dapat menyumbangkan satu elektron untuk katalase atau peroksidase dan bekerja menjadi radikal bebas karena SA meninggalkan satu elektron yang tidak berpasangan. Pemberian SA pada tanaman penting untuk peroksidase lipid dan lipid peroksida ditemukan pada aktivitas gen PR pada sel tembakau. Aktivitas gen PR oleh SA dihambat oleh diethildithiocarbamic acid, suatu komponen yang mengubah lipid peroksida menjadi derivat hidroksin lipid peroksidasi mempengaruhi radikal SA dan mungkin termasuk menyebabkan nekrosis HR. BAB. 8. HUBUNGAN RESPONS HIPERSENSITIF DAN RESISTENSI TERHADAP RESPONS KETAHANAN TANAMAN LAINNYA Resistensi terhadap penyakit dapat terjadi tanpa HR pada peristiwa dimana patogen merupakan biotrop obligat. Contohnya: ketahanan yang dideterminasi mlo pada tanaman barley terhadap B. graminis pv. hordei. Dideterminasi oleh kecepatan pembentukan papila pada lokasi penetrasi cendawan. Gen mlo diasosiasikan dengan lesio mimic pada jaringan daun tua. Hal yang sama terjadi pada resistensi kedelai cv. Clark 63 terhadap strain patogen X. Campestris pv.glycinea tidak berasosiasi dengan HR; isolat bakteri virulen dan avirulen berkembang biak dengan sama rata pada jaringan, tetapi gejala infeksi tidak terbentuk pada kombinasi inkompatibel. Ketika tanaman tembakau Samsun NN (homosigot untuk gen N resistens) diinokulasi dengan strain virulen TMV pada 20 oC HR terjadi dan virus secara normal dibatasi pada lesio lokal. Ketika tanaman dipindahkan ke 28 oC virus out break dari lesio lokal HR dan terjadi infeksi sistemik. Terdapat dua pertanyaan penting yang perlu dipertimbangkan :1). Bagaimana HR berperan dalam resistensi; 2). Apa hubungan HR dengan respons ketahanan lainnya.
Menyimak pertanyaan pertama
bahwa kematian sel tanaman merupakan hasil dari HR.
untuk diingat
Untuk biotrop obligat,
membutuhkan keberadaan hubungan nutrisi yang teratur pada sel inang yang ditempati agar tetap survive, kematian cepat dari sel inang dalam HR dapat menjadi
29
cukup untuk menjelaskan resistensi. Penting kiranya nekrotof seperti penyebab busuk lunak Erwinia spp tidak menginduksi HR. Sebuah kategori penting dari patogen yaitu biotrop fakultatif, adalah contoh patogen yang masuk ke dalam hubungan biotropik dengan inang untuk sebagian dari siklus penyakit, tetapi juga mampu hidup pada jaringan nekrotik pada bagian akhir dari infeksi seperti Phytophthora infestans. Patogen ini menjawab pertanyaan pertama yang berhubungan langsung dengan pertanyaan kedua, sebab hal ini tidak secara cepat menjelaskan kematian sel inang termasuk dapat menghalangi kolonisasi. Jadi peranan sel mati pada resistensi diharapkan atau diduga menjadi kecil. Bagaimanapun kejadiannya jika hasil akhir nekrosis dalam HR tidak penting dalam menghentikan biotrof fakultatif, mungkin bahwa bagian yang diprogramkan dari peristiwa yang terjadi dalam HR penting didalam mengatur atau membuat pergerakan respons ketahanan lainnya menjadi efektif. Apa yang mungkin dapat dikatakan bahwa HR dimana hal itu terjadi. Secara umum membuat sangat baiknya ketahanan dan juga asumsi bahwa hal itu secara kausal berhubungan dengan resistensi yang tidak dapat dipulihkan. HR terjadi secara paralel dengan sejumlah perubahan lain di dalam biokimia inang yang dilihat sebagai respons ketahanan. Pertanyaan kedua berhubungan dengan keberadaan respons ketahanan dalam reaksi yang berhubungan atau mekanisme independen yang lebih besar. Jadi hal ini dapat dikatakan bahwa HR diartikan sebagai proses yang secara genetis dideterminasi oleh PCD dibanding dengan kematian sel sebagai hasil akhir, diduga dapat dihubungkan dengan aktivasi jalur ketahanan lainnya termasuk biosintesis fitoaleksin. Barley (1982) meneliti bahwa perpanjangan sel inang, juga berhubungan dengan kematian sel inang, umumnya disamakan dalam aksi elisitor biotik dan abiotik, dan inokulasi patogen yang menghasilkan fitoaleksin.
Pada interaksi kompatibel,
akumulasi cepat dari fitoaleksin tidak diteliti, sehingga pengenalan fase biotropik dimana perpanjangan sel jadi terhindar.
Pada beberapa sistem model contohnya
kultur suspensi sel buncis yang ditambahkan elisitor, aktivasi transkripsional gen termasuk biosintesis fitoaleksin sangat cepat dan terjadi dalam 5-10 menit sejak elisitor ditambahkan. Akumulasi transkripsi PAL dan sintesa calcone sintetase (CHS) dideteksi pertama kali 36 jam setelah inokulasi dengan level keadaan maksimum dari mRNA diteliti antara 70 dan 75 jam setelah inokulasi. Daun tanaman kacang yang diinfiltrasi dengan P.s. pv. phaseolicola akumulasi transkrip PAL dan CHS telah diamati pada daerah yang diinokulasi langsung dalam 3 jam juga transkripsi kitinase dalam 6 jam pada kombinasi kompatibel.
Eksperimen penelitian menggunakan mutan hrp dari
30
bakteri patogenik memperlihatkan respons ketahanan yang, bahwa karena ketika diinduksi secara normal berasosiasi dengan HR dan tanpa diinduksi bakteri terjadi HR. Fenomena pertahanan lainnya termasuk sintesis papila dan lokalisasi H2O2 pada dinding sel lettuce juga dapat diinduksi oleh mutan hrp tetapi kerusakan membran diasosiasikan dengan elektrolit leakage dan akumulasi fitoaleksin tidak teramati. Jelaslah bahwa tidak semua respons ketahanan berhubungan dengan inisiasi jalur signal HR dan diatur secara independen. Asam Salisilat sebagai suatu Signal Ketahanan Endogen Peranan dari asam salisilat (SA) dalam signal ketahanan penyakit dikemukakan oleh White dan koleganya melalui demonstrasi pada daun tembakau tahan yang disuntik dengan SA atau aspirin yang dirangsang oleh akumulasi PR-protein dan menimbulkan ketahanan terhadap infeksi virus TMV jumlah lesio dapat berkurang sebesar 90%. Perlakuan SA selanjutnya dapay menginduksi ketahanan dan ekspresi gen PR terhadap virus, bakteri, dan cendawan patogen pada banyak spesies tanaman. Kemudian dapat diinduksi gen yang sama terhadap tembakau dan Arabidopsis untuk aktivasi SAR. Awalnya SA bekerja meniru signal fenol endogen untuk ketahanan, namun analisis kadar SA menunjukkan bahwa pada ketimun dan tembakau aktualnya SA sebagai signal pertahanan (Gambar 7). Tembakau yang tahan terhadap virus TMV, kadar SA akan meningkat lebih dari 20 kali pada daun yang diinokulasi, dan 5 kali dari daun yang terinfeksi sistemik. Meningkatnya kadar SA disertai oleh ekspresi gen PR. Hal yang sama juga, SA akan meningkat 10 sampai 100 kali pada floem tanaman ketimun yang diinokulasi dengan eksudat tobacco necrosis virus, Colletotrichum lagenarium atau Pseudomonas syringae dapat meningkatkan perkembangan SAR dan menginduksi aktivitas peroksidase. Bukti yang mendukung peranan signal SA didemonstrasikan pada tanaman tembakau tahan bahwa pada kondisi pertumbuhan dengan suhu tinggi (> 28 oC) tahan terhadap penyakit (perkembangan HR), ekspresi PR, dan SA terakumulasi.
Jika
dipindahkan ke suhu ruang maka kadar SA akan semakin meningkat, lesio mulai terbentuk dan berlangsung ekspresi gen PR-1 dan SA terakumulasi Salah satu respons awal setelah patogen menyerang tanaman adalah AOS yang terlibat dengan cepat meningkatkan ROS seperti superoksida dan hidrogen peroksidase di dalam apoplast. Awalnya terjadi peningkatan respons terhadap strain patogen virulen dan avirulen yang dapat terdeteksi selama beberapa menit. Beberapa
31
jam kemudian mendukung terjadinya AOS yang terdeteksi dalam tanaman resisten terhadap infeksi patogen. Box 4. Asam Salisilat (SA) dan Respons Hipersensitif (HR) Asam salisilat merupakan senyawa asam fenol sederhana yang sekarang ini jadi fokus banyak penelitian tentang signal sel dalam merespons serangan patogen. Sebuah postulat bahwa SA mungkin sebagai signal sistemik yang merangsang perpindahan ke seluruh daun dan ditranspor ke dalam floem tanaman untuk selanjutnya membentuk SAR. Hal ini ditunjukkan bahwa ekspresi SAR bukan merupakan signal sistemik dari SA. Tanaman transgenik yang mengandung gen katabolisme NahG dari bakteri Pseudomonas tidak dapat mengakumulasi SA. Hal ini juga berlaku pada tanaman rentan yang secara genetik terhadap isolat avirulen Peronospora parasitica. Hal ini memperlihatkan bahwa SA pertamakali secara genetik memainkan peranan dalam menentukan kompatibilitas maupun fenomena lain yang tidak berkaitan dengan SAR. Normalnya HR berkaitan dengan inkompatibilitas dari kombinasi gen avr/R yang telah dipelajari karena secara spontan lesio yang terbentuk menghasilkan fenotip dari beberapa mutan lsd Arabidopsis yang bergantung pada SA. Hal ini menunjukkan bahwa SA berperan penting dalam sebuah amplifikasi atau “feed back up”, peranan SA dalam jalur signal kematian sel tanaman. Berkaitan dengan dengan hal ini maka SA mungkin penting bagi kematian sel HR dan didukung melalui studi pathosistem Arabidopsis/Peronospora menggunakan amonia-2-phosphonic acid (AIP) yang merupakan inhibitor bagi aktivitas PAL. Perlakuan AIP menyebabkan transisi kaitannya dengan HR reaksi ketahanan dan kerentanan melalui produksi konidiofor dan oospora. Kondisi tanaman rentan dapat dikembalikan menjadi resisten melalui penambahan SA. PAL mengkatalisis deaminasi phenylanalanin menjadi asam cinnamic yang selanjutnya dapat dikonversi oleh β-oxidase menjadi asam benzoat langsung dari prekursor SA.
Peningkatan ROS berasosiasi dengan AOS dengan berkontribusi terhadap ketahanan melalui beberapa mekanisme termasuk membunuh secara langsung patogen dan menggiatkan hubungan silang antara dinding sel dan lignifikasi sehingga memperkuat dinding sel dan membatasi pergerakan patogen pada site infeksi. Hidrogen peroksida berasosiasi dengan AOS untuk menyusun HR yang berasosiasi dengan respons pertahanan. Jika kadar H 2O2 dan AOS tinggi maka reaksi kematian sel terjadi dan jika kadar keduanya rendah akan mengaktifkan ekspresi gen pertahanan. Secara terus menerus ROS meningkat dan muncul dalam memperlihatkan ketahanan penyakit pada tanaman transgenik tembakau dan kentang.yang telah diuji. Hubungan antara SA dan ROS sangat komplikatif karena terjadi konflik antara SA dan ROS melalui SABP (SA-binding protein) dan katalase yang menghambat perkembangan SA. Untuk mengatasi hal ini para peneliti menyarankan jika SA pertama aktif maka selanjutnya SA akan mengaktivasi ROS sebaliknya jika ROS yang aktif maka ROS akan mengaktivasi SA (Gambar 7).
32
Gambar 7. Hubungan antara SA dan signal pertahanan lainnya, arah panah menunjukkan aktivasi, garis tebal = interaksi stabil Ket : = indikaasi tdk = indikasi tekanan
PENUTUP
Berdasakan uraian-uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal antara : HR merupakan suatu bentuk sistem pertahanan yang dibentuk oleh tanaman untuk menanggapi serangan patogen HR memicu programmed cell death (bunuh diri) dari tanaman untuk membatasi penyebaran dari patogen ke bagian tanaman lainnya HR bisa dipicu melalui elisitor patogen maupun senyawa-senyawa kimia seperti SA, JA dan ET HR dapat membentuk SA, selanjutnya merangsang pembentukan PR-protein yang akan membentuk SAR (systemic aquired resistance) SA dapat menginduksi PCD bekerjasama dengan ROS dan NO
33
DAFTAR PUSTAKA Bagirova SF. 2007. Hypersensitivity. In: Yu T Dyakov, VG Dzhavakhiya, and T Korpela editor. Comprehensive and Molecular Phytopathology, p. 247-263. Coates ME and Beynon JL. 2011. Hyaloperonospora arabidopsidis as a Pathogen Model. Annu. Rev. Phytopathol. 48:329-345. Goodman RN and Novacky AJ. 1996. The Hypersensitive Reaction in Plants to Pathogens: A Resistance Phenomenon. Heller J and Tudzynski P. 2011. Reactive Oxygen Species in Phytopathogenic Fungi: Signaling, Development and Disease. Annu. Rev. Phytopathol. 49:369-390. Jabs T and Slusarenko AJ. 2000. The Hypersensitive Response: In: AJ Slusarenko, RSS Fraser, and LC Van Loon editor. Mechanism of Resistance to Plant Disease, p. 279-323. Pudjiharti E, Ilyas S, dan Sudarsono. 2006. Aktivitas Pembentukan secara Cepat Spesies Oksigen Aktif, Peroksidase, dan Kandungan Lignin Kacang Tanah Terinfeksi Sclerotium rolfsii. Hayati, Vol. 13, No. 4. hlm. 166-172. Van Doom WG, Beers EP, Dangi JL, Franklin-Tong VE, Gallois P, I Hara-Nishimura, Jones AM, Kawai-Yamada M, Lam E, Mundy J, Mur LAJ, Petersen M, Smertenko A, Taliansky Van Breusegem MF, Wolpert T, Woltering E, Zhivotovsky B, and Bozhkov PV. 2011. Review, Morphological classification of plant cell deaths. Cell Death and Differentiation 1 – 6. Vlot AC, Dempsey DA, and Klessig DF. 2009. Salicylic Acid, a Multifaceted Hormone to Combat Disease. Annu. Rev. Phytopathol. 47:177-206. Yoda H, Yamaguchi Y and Sano H. 2003. Induction of Hypersensitive Cell Death by Hydrogen Peroxide Produced through Polyamine Degradation in Tobacco Plants. Plant Physiol. vol. 132 no. 4 1973-1981.