RESPON MASYARAKAT LOKAL ATAS KEHADIRAN INDUSTRI PENGOLAHAN TAHU (Studi Kasus: Kampung Cikaret, Kelurahan Cikaret, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat)
RIZKI AFIANTI I34070116
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT Agro-industry is an industry which has activities that processing the agricultural products into value product. Tofu processing industry is one of the small-scale agro-industry that process soy as into the agricultural food products called tofu. The purpose of this study are to explain the public respons against the socioeconomic and socio-ecology about the presence of tofu processing industries in Kampung Cikaret. Public respons about the presence of tofu processing industries in the region is seen based on the layer of households that were made by the calculation of household income structure. This research method used a quantitative approach supported by qualitative approaches. Primary data was obtained through direct interviews and questionnaires. Secondary data obtained through the documentation and study of literature. The data has been generated and then processed using cross tabulation and descriptive analysis. The analysis unit in this study is the household, to obtain data on income levels and health levels. The interview was done to the head of household to obtain data on opinions about the presence of tofu processing industries in Kampung Cikaret. The selection of respondents used simple random sampling by focusing on one location of Kampung Cikaret. The choice of location was based on a homogeneous society who lived on the outskirt of the river and use it. The research showed that the social, economic and socio-ecology point of views for the presence of tofu processing industries in Kampung Cikaret are affected by the layers of household respondents. Respondent’s opinion about the economic aspects were researched by the work opportunities in tofu processing industries in the local community. There were only a few respondents said that there are work opportunities for local people. In the social aspect of opinion of respondents about the level of competition with immigrants for work in the tofu processing industry. There were a few respondents who claimed that there was competition between immigrants and local communities to work on tofu processing industries. The respondents in the top layer, middle layer and bottom layer stated there is no competition with local communities to work in tofu processing industries. the dominant respondents stated that the social relations between migrants and the local community are good. The socio-ecological impacts of the pollution level of river conditions are seen both before and after the presence of tofu processing industry. Respondents have the opinion that before the presence of tofu processing industry in the region, the rivers were clean, but after the presence of tofu processing industry in the region, the river is not as clean as before. The river which is become one of the quality water source used by local communities was appearing the opinions about the pollution levels of the water sources over the presence of tofu processing industry. Beside that, there are opinions about the comfort level of living and health. When it comes to household’s health level, only two respondents who said that they had itching experience caused by interact with the river that has been polluted by tofu waste. Levels of conflict about the smell and polluted water sources, are only happen in complain level.
Keywords: Tofu processing industry, Kampung Cikaret, Socio-ecology
RINGKASAN RIZKI AFIANTI. Respon Mayarakat Lokal atas Kehadiran Industri Pengolahan Tahu, Studi Kasus: Kampung Cikaret, Kelurahan Cikaret, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat. Di bawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN. Agroindustri skala usaha kecil merupakan industri yang kegiatannya mengolah hasil-hasil pertanian menjadi produk yang bernilai dan dalam kegiatannya menggunakan teknologi sederhana, mampu menyerap tenaga kerja dan memiliki modal terbatas. Agroindustri dalam kegiatannya baik pada skala usaha besar maupun skala usaha kecil berdampak secara sosio-ekonomi maupun sosio-ekologi pada masyarakat sekitarnya. Industri pengolahan tahu merupakan salah satu agroindustri skala kecil dan mengolah kedelai sebagai hasil pertanian menjadi produk makanan yang disebut tahu. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai respon masyarakat lokal terhadap dampak sosio-ekonomi dan sosio-ekologi atas hadirnya industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret. Respon masyarakat atas hadirnya industri pengolahan tahu dilihat berdasarkan lapisan rumahtangga yang dibuat melalui perhitungan struktur pendapatan rumahtangga di wilayah Kampung Cikaret. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung pendekatan kualiatif. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dan kuesioner. Data sekunder diperoleh melalui dokumentasi dan studi literatur. Data yang telah dihasilkan kemudian diolah menggunakan tabulasi silang dan dianalisis secara deskriptif. Unit analisis dalam penelitian ini adalah unit rumahtangga untuk mendapatkan data mengenai tingkat pendapatan, tingkat kesehatan dan individu yang diwakilkan kepala rumahtangga untuk mendapatkan data mengenai respon atas hadirnya industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret. Pemilihan responden menggunakan simple random sampling dengan memfokuskan pada satu lokasi yaitu Kampung Cikaret dan memilih satu RW dengan mengambil tiga RT saja yang dijadikan responden. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pada masyarakatnya yang homogen yaitu masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai dan pernah menggunakan sungai. Jumlah responden yang dipilih berdasarkan Rumus Slovin kemudian dilakukan pengundian pada tiga RT yang dipilih.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat respon yang berbeda-beda berdasarkan lapisan rumahtangga responden terhadap dampak sosio-ekonomi dan sosio-ekologi atas hadirnya industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret. Pada aspek ekonomi, hanya sedikit responden yang menyatakan adanya kesempatan kerja yang diberikan industri pengolahan tahu bagi masyarakat lokal. Pada aspek sosial mengenai tingkat persaingannya dengan pendatang untuk bekerja di industri pengolahan tahu, hanya sedikit responden yang menyatakan adanya persaingan dengan pendatang untuk bekerja pada industri pengolahan tahu. Pada tingkat persaingan dengan masyarakat lokal, responden pada lapisan atas, lapisan menengah maupun lapisan bawah menyatakan tidak ada persaingan dengan masyarakat lokal untuk bekerja di industri pengolahan tahu. Respon mengenai hubungan sosial responden baik dengan pendatang maupun dengan masyarakat lokal, dominan responden menyatakan hubungan sosialnya baik. Industri pengolahan tahu menghasilkan limbah cair yang dibuang ke sungai sehingga terdapat respon responden terhadap dampak sosio-ekologi atas hadirnya industri pengolahan tahu. Dampak sosio-ekologi tersebut mengenai tingkat pencemaran dilihat dari kondisi sungai baik sebelum maupun sesudah hadirnya industri pengolahan tahu. Responden menyatakan pendapatnya bahwa sebelum hadirnya industri pengolahan tahu, sungai di wilayahnya jernih. Sebaliknya setelah hadirnya industri pengolahan tahu, sungai di wilayahnya kurang jernih. Sungai yang merupakan salah satu sumber kualitas air bersih yang digunakan oleh masyarakat lokal, membuat adanya pendapat mengenai tingkat pencemaran kualitas sumber air atas hadirnya industri pengolahan tahu. Pada tingkat kenyamanan hidup hanya sedikit responden yang berpendapat bahwa lingkungan tempat tinggalnya kurang nyaman. Pada tingkat kesehatan hanya dua rumahtangga responden yang menyatakan pernah mengalami sakit gatal akibat berinteraksi dengan sungai yang telah tercemar limbah tahu. Tingkat konflik mengenai sikap terhadap bau di sekitar tempat tinggal dan terganggnya kualitas sumber air yang digunakan, responden dominan menyatakan hanya terjadi teguran saja dari masyarakat lokal.
RESPON MASYARAKAT LOKAL ATAS KEHADIRAN INDUSTRI PENGOLAHAN TAHU (Studi Kasus: Kampung Cikaret, Kelurahan Cikaret, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat)
RIZKI AFIANTI I34070116
SKRIPSI
Sebagai Bagian Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
LEMBAR PENGESAHAN DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini berpendapat bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama Mahasiswa
: Rizki Afianti
NRP
: I34070116
Program Studi Judul
: Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat : Respon Masyarakat Lokal atas Kehadiran Industri Pengolahan Tahu (Studi Kasus: Kampung Cikaret, Kelurahan Cikaret, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat).
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr. NIP. 19630914 199003 1 002 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Lulus Ujian: _____________________
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “RESPON MASYARAKAT LOKAL ATAS KEHADIRAN INDUSTRI PENGOLAHAN TAHU (Studi Kasus: Kampung Cikaret, Kelurahan Cikaret, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat)” BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.
Bogor, Agustus 2011
RIZKI AFIANTI I34070116
RIWAYAT HIDUP Rizki Afianti dilahirkan di Kota Bogor, Jawa Barat tepatnya pada tanggal 12 Februari 1989. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, buah hati dari pasangan suami istri Dr. Ir. Ade Wachjar, MS dan Dra. Hj. Sri Adjiwati Sumantri, MPd. Sebagai pelajar, Penulis menempuh pendidikan di TK Tunas Rimba II selama dua tahun, SDN Polisi IV Bogor selama genap enam tahun. Pendidikan penulis dilanjutkan di SMPN 14 Bogor dan SMA Bina Bangsa Sejahtera Bogor masing-masing ditempuh selama tiga tahun. Selanjutnya, penulis menempuh pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor tepatnya di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia melalui jalur SPMB. Semasa SMA Penulis memiliki hobi dalam menulis puisi. Penulis dalam menyalurkan hobinya pernah berpartisipasi pada lomba membuat puisi mengenai kebudayaan yang diadakan oleh UNESCO. Juara II lomba tulis puisi islami di tingkat sekolahan saat duduk di kelas 3 SMA, sempat mengajar anak-anak di TPA gratis di kompleks IPB I Loji Sindang Barang Bogor. Penulis aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan di kampus semasa kuliah. Kegiatan yang pernah diikuti salah satunya adalah kegiatan pelatihan sampah Bukti Cinta Lingkungan (BCL).
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan anugerah-Nya, skripsi yang berjudul “Respon Masyarakat Lokal atas Kehadiran Industri Pengolahan Tahu (Studi Kasus: Kampung Cikaret, Kelurahan Cikaret, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat)” dapat terselesaikan. Skripsi ini menjelaskan bagaimana respon masyarakat lokal di Kampung Cikaret atas kehadiran industri pengolahan tahu. Respon masyarakat lokal berdasarkan lapisan rumahtangga mengenai dampak sosio-ekonomi dan sosio-ekologi atas hadirnya industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret menjadi hal yang menarik bagi penulis. Harapan penulis, semoga tulisan ini dapat memberikan masukan pada berbagai pihak yang akan melakukan kajian yang sama, serta pada pihak-pihak yang menjadi pelaku agroindustri semoga lebih dapat memperhatikan masyarakat di sekitar kegiatan agroindustri. Bogor, Agustus 2011
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan yang telah direncanakan. Penulis juga tidak lupa menyampaikan rasa terima kasih kepada beberapa pihak yang selama ini memberikan dukungan dan bantuan dalam proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan M.Sc. Agr. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar memberikan dukungan, motivasi dan saran kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 2. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA dan Ir. Dwi Sadono, MSi selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan skripsi. 3. Martua Sihaloho, SP. MSi sebagai dosen penguji petik skripsi ini. 4. Bapak Dr. Ir. Arif Satria, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik yang membantu penulis dalam mengarahkan rencana studi dan membantu menyelesaikan masalah akademik. 5. Masyarakat Kampung Cikaret RW 01 yang telah bersedia membantu penulis dalam proses pengumpulan data. 6. Keluarga tersayang, Papa, Mama dan kedua kakakku serta adikku yang selalu memberikan dukungan dan doa. 7. Ali, Utami, Diah, Rani, Anggi, Ima, sebagai teman satu bimbingan yang selalu berjuang bersama. 8. Akira, Icha, Eka, Dian, Tita, Aris, Cifa dan teman-teman SKPM yang selalu ada saat susah maupun senang dan saling memberikan dukungan. 9. Yudha Santosa yang selalu memberikan semangat, dukungan dan tempat berkeluh kesah selama penulisan berlangsung. 10. Segala pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, Agustus 2011
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI …………………………………………………………………... xi DAFTAR TABEL ……………………………………………………………... xiii DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………….. xiv BAB I PENDAHULUAN ...…………………………………………………... 1.1 Latar Belakang ………………………………………………………… 1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………... 1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………… 1.4 Kegunaan Penelitian …………………………………………………...
1 1 3 5 6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ………………………………………... 2.1 Tinjauan Pustaka ………………………………………………………. 2.1.1 Pengertian Agroindustri …………………………………………. 2.1.2 Agroindustri Skala Kecil ………………………………………… 2.1.3 Fungsi dan Peran Agroindustri …………………………………... 2.1.4 Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Agroindustri ……….. 2.1.5 Karakteristik Agroindustri Skala Kecil ………………………….. 2.1.6 Masyarakat lokal ………………………………………………… 2.1.7 Agroindustri Skala Kecil dan Perubahan Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Desa ……………………………………………… 2.1.7.1 Dampak Sosial …………………………………………... 2.1.7.2 Dampak Ekonomi ………………………………………... 2.1.7.3 Dampak Ekologi …………………………………............ 2.2 Kedelai dan Pengolahan Tahu …………………………………………. 2.3 Kerangka Konseptual ………………………………………………….. 2.4 Kerangka Pemikiran …………………………………………………… 2.5 Hipotesis Penelitian ……………………………………………….…… 2.6 Definisi Konseptual …………………………………………………… 2.7 Definisi Operasional ……………………………………………………
7 7 7 8 9 11 12 12 14 14 15 16 18 20 21 23 24 25
BAB III PENDEKATAN LAPANG ………………………………………… 3.1 Metode Penelitian .…………………………………………………….. 3.2 Jenis dan Sumber Data ………………………………………………… 3.3 Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………………. 3.4 Teknik Pengambilan Sampling dan Penentuan Responden …………… 3.5 Pengolahan dan Analisis Data …………………………………………
27 27 27 28 28 29
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN …………………. 4.1 Gambaran Umum Kelurahan Cikaret ……………………………….…. 4.1.1 Kondisi Geografis dan Infrastruktur Kelurahan Cikaret ……….… 4.1.2 Kondisi Sosial dan Ekonomi Penduduk ………………………….. 4.1.3 Tata Guna Tanah di Kelurahan Cikaret …………..……………… 4.2 Gambaran Umum Kampung Cikaret dan Industri Pengolahan Tahu …. 4.3 Karakteristik Responden Kampung Cikaret …………………………... 4.3.1 Mata Pencaharian Responden ……………………………………. 4.3.2 Tingkat Pendidikan Responden …………………………..………. 4.3.3 Kegiatan-Kegiatan Sosial Responden ………………………...…..
30 30 30 31 33 34 40 40 41 42
xii
4.4 Ikhtisar Karakteristik Responden …………………………………….... BAB V RESPON MASYARAKAT LOKAL ATAS DAMPAK SOSIOEKONOMI INDUSTRI PENGOLAHAN TAHU …………………. 5.1 Pendahuluan Dampak Sosio-Ekonomi …………………………………. 5.2 Struktur Pendapatan Rumahtangga……………………………………... 5.3 Persaingan Kesempatan Kerja Masyarakat ………………………….…. 5.3.1 Sikap Masyarakat lokal Terhadap Pendatang …………………….. 5.3.2 Kesempatan Kerja di Industri Pengolahan Tahu ………………….. 5.3.3 Persaingan Bekerja di Industri Pengolahan Tahu ………………… 5.4 Hubungan Masyarakat ……………………………………..................... 5.4.1 Hubungan Masyarakat dengan Pendatang ………………………... 5.5 Ikhtisar Respon Masyarakat Lokal atas Dampak Sosio-Ekonomi Hadirnya Industri Pengolahan Tahu …………………………………….. BAB VI RESPON MASYARAKAT LOKAL ATAS DAMPAK SOSIOEKOLOGI INDUSTRI PENGOLAHAN TAHU ………………… 6.1 Pendahuluan Dampak Sosio-Ekologi …………..………………………. 6.2 Tingkat Pencemaran Sungai ……………………………………………. 6.2.1 Kondisi Air Sungai ……………………………………………….. 6.2.2 Kualitas Sumber Air …………………………………….………... 6.3 Tingkat Kenyamanan Hidup …………………………………………… 6.3.1 Kondisi Lingkungan Tempat Tinggal ……………………………. 6.4 Tingkat Konflik ………………………………………………………… 6.4.1 Keributan Tentang Masalah Pencemaran ……………………........ 6.4.2 Konflik Bau Akibat Limbah Tahu ……………………………….. 6.4.3 Konflik Terganggunya Kualitas Sumber Air Bersih……………… 6.5 Tingkat Kesehatan ……………………………...…………………….… 6.5 Ikhtisar Respon Masyarakat Lokal atas Dampak Sosio-Ekologi Hadirnya Industri Pengolahan Tahu …………………………………….. BAB VIII PENUTUP ………………………………………………………… 7.1 Kesimpulan ……………………………………………………….…….. 7.2 Saran ……………………………………………………….…………… DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… LAMPIRAN …………………………………………………………………...
42 44 44 45 49 49 51 55 58 58 61 63 63 64 64 68 71 71 79 79 81 83 85 86 89 89 90 92 94
xiii
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
Halaman
Tabel 1
Perbedaan Sektor Pertanian dan Industri …………………………...
9
Tabel 2
Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja dari 40 Macam Perusahaan Agroindustri Selama Lima Tahun di Jawa , 2000-2004 ……………
10
Jumlah Penduduk Kelurahan Cikaret Berdasarkan Komposisi Umur, Maret 2011 ………………………………………………….
31
Tabel 4
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin, 2011 ………………
32
Tabel 5
Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Cikaret ……………….
32
Tabel 6
Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Cikaret …………………. 33
Tabel 7
Penggunaan dan Peruntukan Luas Lahan Kelurahan Cikaret, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, 2008 ……………………...
34
Tabel 8
Ikhtisar Karakteristik Responden Kampung Cikaret ……………….
43
Tabel 9
Kontribusi Pendapatan Rumahtangga Berdasarkan Peran Masing-masing (Rp/Tahun) ………………………………………...
45
Tabel 10 Jenis-jenis Pekerjaan Pada Setiap Lapisan Rumahtangga Responden …………………………………………………………..
49
Tabel 11 Respon Masyarakat Lokal atas dampak Sosio-Ekologi Hadirnya Industri Pengolahan Tahu …………………………..........................
87
Tabel 3
xiv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Teks
Halaman
Gambar 1
Alur Pembuatan Tahu ………………………………………...
19
Gambar 2
Kerangka Konseptual …………………………………………
20
Gambar 3
Kerangka Pemikiran ………………………………………….. 22
Gambar 4
Diagram Alur Pembuatan Tahu Industri Pengolahan Tahu Milik Pak Hto di Kampung Cikaret …………………………..
38
Gambar 5
Mata Pencaharian Responden Kampung Cikaret, 2011 ……… 40
Gambar 6
Tingkat Pendidikan Responden Kampung Cikaret, 2011 ……
Gambar 7
Tingkat Lapisan Pendapatan Rumahtangga Responden Kampung Cikaret, 2011 ……………………………………... 47
Gambar 8
Sikap Responden Terhadap Pendatang di Industri Pengolahan Tahu ……………………………………………..
50
Pendapat Responden Mengenai Kesempatan Kerja di Industri Pengolahan Tahu …………………………………….
52
Gambar 10 Persentase Anggota Keluarga yang Bekerja pada Industri Pengolahan Tahu ……………………………………………..
54
Gambar 11 Pendapat Responden Mengenai ada atau tidaknya Persaingan dengan Pendatang untuk Bekerja di Industri Pengolahan Tahu ……………………………………………..
56
Gambar 12 Hubungan Sosial Responden dengan Masyarakat lokal Sebelum Ada Industri Pengolahan Tahu ……………………..
58
Gambar 9
41
Gambar 13 Hubungan Sosial Responden dengan Masyarakat lokal Setelah Ada Industri Pengolahan Tahu ……………………… 59 Gambar 14 Pendapat Responden Mengenai Kondisi Sungai Sebelum Ada Industri Pengolahan Tahu ……………………………….
64
Gambar 15 Pendapat Responden Mengenai Kondisi Sungai Setelah Ada Industri Pengolahan Tahu …………………………………….
65
Gambar 16 Pendapat Responden Mengenai Pemanfaatan Sungai Sebelum Ada Industri Pengolahan Tahu ……………………………….
67
Gambar 17 Pendapat Responden Mengenai Pemanfaatan Sungai Setelah Ada Industri Pengolahan Tahu ……………………………….
68
Gambar 18 Pendapat Responden Mengenai Kualitas Air yang digunakan Setelah Ada Industri Pengolahan Tahu ………………………. 69
xv
Gambar 19 Pendapat Responden Mengenai Terganggunya Sumber Air Akibat Limbah Tahu …………………………………………. 70 Gambar 20 Pendapat Responden Mengenai Lingkungan Tempat Tinggalnya Sebelum Ada Industri Pengolahan Tahu ………...
72
Gambar 21 Pendapat Responden Mengenai Lingkungan Tempat Tinggalnya Setelah Ada Industri Pengolahan Tahu …………
73
Gambar 22 Pendapat Responden Mengenai Bau Limbah di Sekitar Tempat Tinggalnya ……………….........................................
75
Gambar 23 Pendapat Responden Mengenai Jarak Lingkungan Tempat Tinggalnya dengan Pembuangan Limbah Tahu ……………...
76
Gambar 24 Pendapat Responden Mengenai Jarak Rumahnya dengan Saluran Pembuangan Limbah Tahu ………………………….
76
Gambar 25 Pendapat Responden Mengenai Kenyamanan Lingkungan Tempat Tinggalnya …………………………………………...
77
Gambar 26 Pengalaman Responden Mengenai Keributan Akibat Pencemaran Limbah Tahu ……………………………………
80
Gambar 27 Sikap Responden mengenai Konflik Bau di Sekitar Tempat Tinggal ………………………………………………………..
82
Gambar 28 Sikap Responden Mengenai Kualitas Sumber Air Bersih ……
83
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Negara-negara berkembang secara umum keadaannya sangat berbeda dengan negara maju. Standar kualitas kehidupan masih rendah, pangan masih belum mencukupi kebutuhan penduduknya, kelaparan mengancam. Dalam memecahkan masalah pada kondisi demikian, maka negara-negara berkembang harus melaksanakan pembangunan. Negara-negara berkembang kesejahteraannya akan semakin merosot dan akan membawa kehancuran tanpa adanya pembangunan. Salah satu strategi dari pembangunan tersebut adalah melalui industrialisasi dengan memanfaatkan teknologi tinggi seperti industri-industri yang mengolah sumberdaya alam yang tidak dapat menolak penggunaan teknologi tinggi (Kristanto 2004). Indonesia menganut kebijakan pembangunan sektor pertanian melalui peningkatan nilai tambah produk pertanian melalui agroindustri. Kebijakan ini merupakan prasyarat bagi pembangunan industrialisasi lebih lanjut di sektor pertanian dan sektor terkait lainnya. Para ahli ekonomi mengemukakan bahwa keberhasilan suatu pembangunan industrialisasi tergantung dari pembanguan pertanian yang dapat menciptakan landasan bagi pertumbuhan ekonomi. Mayoritas masyarakat di negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah masyarakat petani, sedangkan barang-barang hasil industri memerlukan dukungan daya beli dari masyarakat, sehingga pendapatan masyarakat harus diperbaiki terlebih dulu. Kenyataannya pembangunan pertanian di pedesaan mengandung dilemma. Produktivitas pertanian harus ditingkatkan guna meningkatkan pendapatan masyarakat agar daya belinya tinggi tetapi, dalam rangka meningkatkan
produktivitas
pertanian,
pemerintah
menganjurkan
untuk
menggunakan teknologi modern. Teknologi modern ini digunakan baik dalam proses penanaman maupun pengolahan pertanian. Secara keseluruhan justru anjuran dari pemerintah untuk menggunakan teknologi modern berdampak pada penghematan tenaga kerja sehingga menimbulkan pengangguran dan keadaan setengah
menganggur.
Anjuran
menggunakan
teknologi
modern
justru
2
menyebabkan penurunan pada pendapatan sebagian penduduk pedesaan. Mengatasi dilemma dalam menjalankan kebijakan pembangunan pertanian, pemerintah mengadakan kebijakan lain yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah. Kebijakan lain yang dilakukan oleh pemerintah adalah menciptakan industri pengolahan pertanian di pedesaan, baik skala kecil dan rumahtangga ataupun skala besar. Adanya industri pengolahan pertanian di pedesaan ini dapat membantu menyerap sebagian tenaga kerja yang menganggur dan membantu menambah penghasilan pada tenaga kerja yang setengah mengaggur. Industri pengolahan di pedesaan ini tidak hanya terbatas pada pengolahan hasil pertanian, tapi juga dapat mengolah barang-barang atau bahan-bahan input pertanian, seperti industri pembibitan, pupuk, obat-obatan, alat-alat pertanian dan sebagainya (Raharjo 1986). Esje (1997) mengemukakan bahwa kebijakan yang dilakukan pemerintah selama ini tidak lain adalah keinginan untuk menyeimbangkan antara sektor pertanian dan sektor industri. Tahun 80-an pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai strategi pembangunan pertanian baru yaitu agroindustri, bahkan pemerintah membuat kebijakan-kebijakan lain untuk mensukseskan agroindustri. Agroindustri berasal dari dua kata yaitu agricultural dan industry yang berarti merupakan suatu industri yang menggunakan hasil-hasil pertanian sebagai bahan baku utamanya. Sebagaimana Soekartawi (2005) mendefinisikan bahwa agroindustri merupakan industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian. Kehadiran
agroindustri
mampu
meningkatkan
pendapatan
para
pelaku
agroindustri, mampu menyerap tenaga kerja, mampu meningkatkan perolehan devisa negara dan mampu mendorong munculnya industri-industri lain. Agroindustri yang berada di desa biasanya merupakan industri pengolahan pertanian dalam skala kecil atau industri dalam skala rumahtangga yang dibangun oleh masyarakat di desa sebagai pelaku agroindustri. Industri pengolahan pertanian skala kecil merupakan industri pengolahan yang berbahan baku hasil pertanian dan diharapkan dapat membantu membuka peluang kesempatan bekerja, membuka peluang terhadap sumber pendapatan, serta dapat memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat di desa. Strategi pengembangan industrialisasi pertanian di Indonesia tidak bisa lepas dari adanya realitas, skala industri usaha besar,
3
menengah dan kecil hadir secara bersamaan. Hadirnya masing-masing skala usaha pada industrialisasi pertanian ini disebabkan karena dalam kenyataannya terdapat industri hulu dan hilir yang saling berkaitan satu dan lainnya. Namun dalam banyak kasus yang terjadi bahwa industri pertanian skala kecil seringkali menjadi tumpuan bagi pengembangan industri pertanian. Industri pertanian skala kecil menggunakan teknologi sederhana, modal yang tidak begitu besar, banyak menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat lokal, bahan bakunya fleksibel dan padat karya. Seperti halnya agroindustri dalam skala kecil atau skala rumahtangga lebih banyak hadir di desa sebagai industri pertanian skala kecil. Masyarakat lebih menyukai industri pertanian skala kecil karena tidak membutuhkan modal yang banyak tetapi mampu menyerap tenaga kerja di desa. Industri pertanian skala kecil yang hanya menggunakan teknologi sederhana belum memiliki cara yang tepat dalam pengolahan limbah yang mengakibatkan masalah terhadap penurunan kualitas lingkungan yang sehat. Limbah yang dihasilkan oleh industri-industri pertanian skala kecil dapat dikatakan merugikan lingkungan sekitarnya. Pembangunan industri pengolahan hasil pertanian di pedesaan seperti agroindustri dapat dikatakan memiliki andil terhadap aspek sosial-ekonomi dan sosio-ekologi masyarakat di desa.
1.2 Rumusan Masalah Desa sejak lama dijadikan sebagai objek kebijakan ekonomi pembangunan dan pengaturan kehidupan sosial di berbagai sektor. Salah satu kebijakan yang intensif dilakukan oleh pemerintah selama ini adalah kebijakan pembangunan pertanian. Menurut Rahardjo (1984) pembangunan pertanian dan pedesaan selama ini mengalami dilemma. Satu pihak produksi pertanian harus ditingkatkan karena merupakan landasan dan prasyarat bagi proses industrialisasi. Akan tetapi kenyataannya, peningkatan produktivitas yang dilakukan dengan menggunakan teknologi efisien, menimbulkan penghematan tenaga kerja di sektor pertanian. Penghematan tenaga kerja di sektor pertanian cenderung menimbulkan proses marginalisasi masyarakat di wilayah pedesaan. Industri pengolahan pertanian menjadi solusi dari penghematan tenaga kerja di sektor pertanian yang terjadi selama ini. Industri pengolahan pertanian skala
4
usaha kecil biasanya berada di desa dan memiliki keterbatasan modal dan menggunakan teknologi sederhana dalam kegiatannya. Indusri pengolahan pertanian yang berada di desa dapat dikategorikan sebagai industri pedesaan. Produsen dan tenaga kerja industri pengolahan pertanian yang berdiri di desa terutama industri pengolahan pertanian skala usaha kecil biasanya merupakan masyarakat lokal. Beberapa penelitian yang telah dilakukan, di beberapa daerah di Indonesia. Sunarjan (1991), mengemukakan penelitiannya bahwa industri rokok kretek sebagai industri pedesaan memiliki dampak terhadap aspek sosio-ekonomi masyarakat lokal. Pada industri rokok kretek di pedesaan menyebabkan perubahan kepemilikan lahan dan pemanfaatan lahan. Lahan yang awalnya dimanfaatkan untuk pertanian sawah kini berubah menjadi perumahan dan kepentingan agroindustri rokok kretek. Perubahan kepemilikan lahan sawah disertai dengan perubahan mata pencaharian. Masyarakat yang tadinya bekerja di sawah, kini bekerja pada industri rokok kretek. Penelitian yang diungkapkan Suhandi et.al (1989-1990), bahwa pembangunan industri di pedesaan mengakibatkan dampak sosial-ekonomi yakni menyebabkan areal lahan pertanian menyempit dan mengakibatkan hilangnya mata pencaharian bagi petani, sehingga sebagian masyarakat petani akan beralih pekerjaan menjadi buruh industri atau pedagang. Kristanto (2004) mengungkapkan bahwa pembangunan industri dapat menyebabkan perubahan lingkungan terhadap aspek sosial-ekonomi, budaya maupun pencemaran. Industri telah meningkatkan permintaan akan sumberdaya alam sebagai bahan baku utama proses pengolahan dan memaksa sistem alam untuk menyerap hasil sampingan yaitu limbah. Salim (1986) mengungkapkan bahwa industri mempunyai pengaruh besar terhadap lingkungan. Hal ini karena industri adalah kegiatan mengubah sumber alam menjadi produk baru dan industri menghasilkan limbah atau ampas dari kegiatannya yang mencemarkan lingkungan. Limbah merupakan buangan berupa cairan, padat maupun gas yang berasal dari suatu lingkungan masyarakat, yang dihasilkan oleh aktivitas industrial atau rumahtangga di sektor domestik maupun publik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi setelah revolusi industri merupakan gejala dari kebijakan pembangunan yang kurang menyadari pentingnya lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup ini mengakibatkan terganggunya
5
keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan. Seperti pembangunan pertanian yang selama ini dijalankan dengan tujuan peningkatan produktivitas. Pada dasarnya peningkatan produktivitas dalam pembangunan pertanian justru menggunakan bahan-bahan kimia dalam proses produksinya dan kurang memperhatikan dampak terhadap kerusakan lingkungan hidup. Beberapa penelitian yang telah membahas dan menganalisis agroindustri sebagai industri pengolahan di pedesaan masih sedikit yang menyinggung isu mengenai limbah yang dihasilkan oleh kegiatan agroindustri terhadap lingkungan hidup masyarakat di pedesaan. Jika ditelusuri lebih lanjut terdapat hubungan sirkuler antara manusia dan lingkungan hidupnya. Hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya sangat kompleks, karena dalam lingkungan hidup ada terdapat banyak unsur. Manusia melakukan kegiatan yang pada dasarnya mempengaruhi lingkungan hidupnya, begitupun sebaliknya (Soemarwoto 2004). Seperti dalam penelitian Rachmat (1993) mengungkapkan terdapat dampak pencemaran air limbah dari industri kecil penyamakan kulit di Sukaregang, terhadap kualitas air Sungai Ciwalen, dan Sungai Cigulampeng. Kedua sungai tersebut merupakan sumber aliran irigasi untuk sawah-sawah sekitar. Pencemaran kedua air sungai tersebut menyebabkan terhambatnya pertumbuhan padi dan terganggunya produktivitas pada hasil panen. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. maka terdapat beberapa hal yang dapat diangkat sebagai bahan pertimbangan untuk dikaji dalam studi agroindustri: 1. Apa dan bagaimana respon masyarakat lokal terhadap dampak sosioekonomi atas hadirnya industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret? 2. Apa dan bagaimana respon masyarakat lokal terhadap dampak sosioekologi atas hadirnya industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pemaparan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk: 1. Menjelaskan respon masyarakat lokal terhadap dampak sosio-ekonomi atas hadirnya industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret.
6
2. Menjelaskan respon masyarakat lokal terhadap dampak sosio-ekologi atas hadirnya industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini dapat berguna bagi berbagai pihak yang terkait, 1. Bagi akademisi dan perguruan tinggi. Penelitian ini dapat menambah wawasan serta ilmu pengetahuan dalam mengkaji secara ilmiah mengenai respon masyarakat terhadap aspek sosio-ekonomi dan sosio-ekologi atas hadirnya agroindustri khusunya industri pengolahan tahu. 2. Memberikan sumbangan pengetahuan bagi masyarakat, pemerintah dan swasta dalam melakukan kebijakan terhadap kegiatan agroindustri khususnya industri pengolahan tahu di pedesaan.
7
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Agroindustri Agroindustri adalah salah satu cabang industri yang mempunyai kaitan erat dan langsung dengan pertanian. Apabila pertanian diartikan sebagai proses yang menghasilkan produk pertanian di tingkat primer, maka kaitannya dengan industri dapat berkaitan ke belakang maupun ke depan (Soekartawi 1994). Agroindustri dapat diartikan menjadi dua pengertian, pengertian agroindustri yang pertama adalah industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian. Konteks pengertian ini menekankan pada food Processing management dalam suatu perusahaan produk olahan yang bahan baku utamanya adalah produk pertanian. pengertian agroindustri yang kedua bahwa agroindustri diartikan sebagai suatu tahapan pembangunan sebagai kelanjutan dari pembangunan pertanian, tetapi sebelum tahapan pembangunan tersebut mencapai pembangunan industri (Soekartawi 2005). Agroindustri menurut Jamaran (1995) sebagaimana dikutip Widiastuti (2003), bahwa agroindustri adalah proses memberikan nilai tambah yang dilakukan pada produk hasil pertanian yang pada prinsipnya menggunakan perlakukan-perlakuan atau proses secara kimia, fisika, atau dengan bantuan aktivitas biologis. Menurut Barlow dan William (1989) sebagaimana dikutip Widiastuti (2003) menyatakan bahwa agroindustri terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu: 1. Initial Processing. Merupakan kegiatan produksi yang langsung dikerjakan oleh petani seperti pembuatan kopra, lembaran karet, pengupasan kopi, dan sebagainya , tetapi kualitasnya relatif kurang baik. 2. Intermediate processing. Merupakan kegiatan produksi yang melanjutkan kegiatan dari initial processing dalam bentuk yang dapat disimpan dan diangkut.
8
3. Final Processing. Merupakan kegiatan industri yang mengolah produk dari intermediate processing menjadi bentuk yang dapat langsung dikonsumsi oleh masyarakat. Agroindustri yang berkelanjutan adalah agroindustri yang memiliki konsep keberlanjutan, agroindustri yang dibangun dan dikembangkan memperhatikan aspek-aspek manajemen dan konservasi sumberdaya alam. Semua teknologi yang digunakan serta kelembagaan yang terlibat dalam proses pembangunan diarahkan untuk memenuhi kepentingan manusia masa sekarang maupun masa yang akan datang. Jadi, teknologi yang digunakan harus sesuai dengan daya dukung sumberdaya alam, memperkecil resiko degradasi lingkungan, secara ekonomi menguntungkan dan secara sosial diterima oleh masyarakat (Soekartawi 1988 sebagaimana dikutip Soekartawi 2005).
2.1.2 Agroindustri Skala Kecil Jenis agroindustri dilihat dari segi skala usaha terdiri dari dua macam yaitu: jenis pertama adalah agroindustri dengan skala kecil yakni pemiliknya bertindak apa saja, mulai dari pembelian bahan baku, pengolahan dan penjualan hasil olahan agroindustri. Agroindustri skala usaha kecil tidak memiliki kejelasan dalam pembagian tugasnya. Jenis kedua adalah agroindustri dengan skala usaha agak besar, terdapat kejelasan dalam hal pembagian tugas, baik dalam pembelian bahan baku untuk pasokan bahan agroindustri, pengolahan, administrasi, keuangan, pergudangan, pemasaran dan lainnya (Soekartawi 2005). Soekartawi (2005) mengemukakan bahwa agroindustri skala kecil merupakan industri yang mengolah hasil pertanian sebagai bahan baku utamanya. Agroindustri skala kecil modalnya terbatas, dapat menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan-keadaan yang mudah berubah seperti yang biasanya dikeluhkan oleh perusahaan agroindustri skala usaha besar. Agroindustri skala usaha kecil, kepemilikan atau penguasaan faktor produksi terutama tanah dan modal rendah. Tingkat kemampuan dan pendidikan sumberdaya manusia yang umumnya masih rendah. Kemampuan dalam memanfaatkan dan memperluas peluang dan akses pasar masih rendah, memiliki keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permodalan dan keterbatasan dalam penguasaan teknologi.
9
Perbedaan skala usaha ini mempengaruhi terhadap pengembangan usaha agroindustri salah satunya adalah karena modal dan kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki juga berbeda. Seperti dalam penelitian Suhada (2005) menyatakan bahwa dalam industri penyamakan kulit terdapat dua skala usaha yang menentukan kualitas sumberdaya manusia yang dipekerjakan. Skala usaha menengah rata-rata sumberdaya manusianya memiliki pendidikan perguruan tinggi-SLTA. Skala usaha kecil sumberdaya manusianya memiliki pendidikan SLTP-SD. Perbedaan juga terlihat dalam modal, dalam skala usaha kecil modal yang diberikan adalah dari pengusaha menengah atau sendiri sedangkan skala usaha menengah modal yang dimiliki dari perbankan.
2.1.3 Fungsi dan Peran Agroindustri Agroindustri memiliki fungsi untuk menjembatani dua sektor yang memiliki ciri-ciri yang sangat berbeda. Sektor tersebut adalah sektor pertanian dan sektor industri. Kedua sektor ini memiliki ciri-ciri yang berbeda. Pada Tabel 1 disajikan perbedaan antara sektor pertanian dan industri.
Tabel 1. Perbedaan Sektor Pertanian dan Industri Segi perbedaan
Pertanian
Industri
Lokasi Musim Mutu
Tersebar Tergantung Tidak Menentu ( Mudah Rusak ) Relatif Kurang Intensif Intensif Subsistem, semi atau non komersial
Terpusat Tidak tergantung Jelas Relatif (Tidak Mudah Rusak) Intensif Relatif Kurang Intensif Komersial
Modal Tenaga Kerja Usaha Sumber: Baharsyah, 1987
Rachmawati (2002) mengungkapkan bahwa agroindustri mempunyai posisi penting yaitu sebagai jembatan antara sektor pertanian, sektor industri dan sektor perdagangan. Dalam penelitiannya salah satu komoditi yang merupakan sub sektor pertanian untuk dikembangkan dalam agroindustri adalah kentang. Komoditi kentang banyak berkembang terutama di daerah Pangalengan Bandung, Jawa Barat. Komoditi kentang di daerah tersebut diolah menjadi keripik, kerupuk
10
dan dodol, kemudian dikemas dalam bentuk industri kecil rumahtangga lalu produknya dijual. Terlihat jelas bahwa agroindustri memang sebagai penghubung di ketiga sektor tersebut. Perbedaan sektor pertanian dan sektor industri yang diungkapkan oleh Sembiring (1995) bahwa pada sektor industri barang-barang yang dihasilkan mengikuti perkembangan harga dan pendapatan sifatnya sangat elastis. Sedangkan yang dirasakan sektor pertanian lebih banyak dihadapi oleh kendala, hal ini disebabkan hasil pertanian ada yang berupa musiman, sehingga mudah busuk. Permasalahan lainnya adalah penawaran terhadap hasil pertanian yang dihadapi adalah lokasi konsumen dan produk produsen pertanian jauh letaknya. Selain itu, terdapat peran agroindustri adalah sebagai suatu pembangunan pertanian yang dapat dilihat dari kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja, peningkatan devisa, pendorong tumbuhnya industri lain (Soekartawi 2005). Berikut merupakan perkembangan agroindustri dalam melaksanakan perannya untuk penyerapan tenaga kerja.
Tabel 2. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja dari 40 Macam Perusahaan Agroindustri Selama Lima Tahun di Jawa , 2000-2004 No
Tahun
Jumlah (Orang)
1 2 3 4 5
2000 2001 2002 2003 2004
744.347 750.930 758.836 785.021 787.107
Sumber : Soekartawi, 2005
Tabel 2 menggambarkan bahwa memang terdapat perkembangan selama lima tahun terhadap jumlah tenaga kerja dari 40 macam perusahaan agroindustri di Jawa. Dimulai dari tahun 2000 yang jumlah orang yang bekerja di perusahaan agroindustri terdapat 744.347 orang. Tahun 2001 terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja di perusahaan agroindustri menjadi sebesar 750.930 orang. Kemudian di tahun berikutnya yaitu tahun 2002, 2003, 2004, masing-masing mengalami peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2002 menjadi berjumlah 758.836 orang, tahun 2003 menjadi berjumlah 785.021 orang, tahun
11
2004 menjadi berjumlah 787.107 orang. Selama lima tahun tersebut, dapat dinyatakan bahwa perusahaan agroindustri mampu menyerap tenaga kerja setiap tahunnya.
2.1.4 Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Agroindustri Keberlangsungan kegiatan agroindustri tidak terlepas dari adanya faktorfaktor yang dapat mempengaruhi pengembangan agroindustri, baik faktor pendukung maupun faktor penghambat. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengungkapkan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kegiatan agroindustri. Seperti pada penelitian Suhada (2005) dalam penelitiannya terhadap strategi pengembangan agroindustri penyamakan kulit di wilayah Kabupaten Garut Jawa Barat, berpendapat bahwa ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industri penyamakan kulit yang ditelitinya yaitu faktor teknologi, sumberdaya manusia, dan modal. Faktor-faktor itulah yang mempengaruhi skala usaha agroindustri yang dikembangkan, jika menggunakan teknologi yang efisien dengan sumberdaya yang rata-rata memiliki pendidikan tinggi serta modal yang cukup besar maka tidak lain agroindustri yang dikembangkan pun memiliki skala yang lebih besar. Penelitian yang sama diungkapkan oleh Rachmawati (2002) terhadap studi pengembangan sistem agroindustri kentang di wilayah pedesaan, berpendapat terdapat beberapa faktor yang berperan dalam pengembangan agroindustri kentang. Faktor-faktor tersebut yaitu bahan baku, sumberdaya manusia, peluang dan potensi pasar, permodalan, penyebaran teknologi, sarana dan prasarana dan kebijakan pemerintah. Lebih jelasnya diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan
oleh
Sufandi
(2006)
dalam
penelitiannya
terhadap
strategi
pengembangan agroindustri pedesaan di Kabupaten Bengkalis mengungkapkan adanya faktor-faktor yang memang dapat menguatkan kegiatan agroindustri agar dapat berlangsung dengan baik. Faktor-faktor tersebut yaitu, pertama diperlukan adanya Lembaga Pembina seperti Dinas Kehutanan, Perkebunan, Perindustrian, dan Koperasi yang merupakan modal utama dalam usaha pengembangan agroindustri pedesaan. Keberadaan lembaga inilah yang nantinya akan menjadi fasilitator bagi pelaku usaha agroindustri di pedesaan. Kedua diperlukan kebijakan
12
pemerintah untuk mendukung kegiatan agroindustri seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah di Kabupaten Bengkalis yaitu mendukung untuk menjadikan kabupaten bengkalis menjadi pusat perdagangan Asia Tenggara 2020. Ketiga adalah kualitas produk, seperti pada masyarakat di Kabupaten Bengkalis cenderung menyukai produk yang bebas pengawet. Kemudian hal terpenting dalam memperlancar kegiatan agroindustri pedesaan adalah penyediaan sarana dan prasarana yang harus diperhatikan. Selain itu modal usaha dalam pengembangan agroindustri juga harus dibantu oleh pemerintah dan koperasi bagi pengusaha-pengusaha kecil.
2.1.5 Karakteristik Agroindustri Skala Kecil Karakteristik agroindustri yang menonjol adalah adanya ketergantungan antar elemen-elemen agroindustri. Elemen-elemen agroindustri tersebut yaitu pengadaan bahan baku, pengolahan dan pemasaran produk. Elemen-elemen tersebut saling berkaitan satu dan lainnya. Karakteristik agroindustri skala kecil yaitu pemiliki bertindak apa saja mulai dari pembelian bahan baku, pengolahan, bahkan sampai menjual hasil olahan agroindustri. Agroindustri skala kecil tidak jelas adanya pembagian tugas, berbeda dengan agroindustri skala menengah atau skala besar terdapat pembagian tugas yang jelas. Potensi agroindustri skala kecil selain mampu menyerap tenaga kerja juga kontribusinya dalam menyumbang perekonomian (Soekartawi 2005).
2.1.6 Masyarakat lokal Desa secara umum diartikan sebagai suatu gejala yang bersifat universal, sebagai suatu komunitas kecil yang terikat lokalitas tertentu baik tempat tinggalnya (secara menetap) maupun bagi pemenuhan kebutuhannya dan terutama tergantung pada pertanian (Rahardjo 1999). Desa juga diartikan sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi, pemerintahan
terendah
dan
langsung
dibawah
camat
serta
berhak
menyelenggarakan rumahtangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia (BPS 1986).
13
Soekmono (1992) sebagaimana dikutip Raharjo (1999), mengatakan bahwa desa merupakan kumpulan dari komunitas kecil yang hidupnya tergantung pada pertanian dan telah ada di Indonesia semenjak zaman prasejarah, yakni pada zaman Neeolitikum. Pengertian masyarakat menurut beberapa ahli sebagaimana dikutip dalam Mutakin dan Gunawan (2003): 1. Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. 2. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas. 3. Masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama dalam waktu yang cukup lama, sehingga mereka dapat mengorganisir diri dan sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan sosial dengan batasbatas yang jelas. 4. Masyarakat adalah sekelompok orang yang identifikasinya sama, teratur sedemikian rupa di dalam menjalankan segala sesuatu yang diperlukan bagi hidup bersama secara harmonis. Definisi-definisi tersebut menampilkan ciri-ciri masyarakat sebagai berikut: 1. Manusia yang hidup bersama, dua atau lebih 2. Bergaul dalam jangka waktu relatif lama 3. Setiap anggotanya menyadari sebagai satu kesatuan 4. Bersama membangun sebuah kebudayaan yang membuat keteraturan dalam kehidupan bersama. Masyarakat lokal memiliki ciri-ciri karakteristik seperti: hubungan lebih bersifat intim dan awet, mobilitas sosial rendah, homogen, keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi, populasi anak dalam proporsi yang lebih besar. Desa memiliki potensi-potensi yang meliputi alam, lingkungan hidup manusia, penduduk, usaha-usaha manusia, prasarana-prasarana yang dibuat (Sajogyo 1983).
14
2.1.7 Agroindustri Skala Kecil dan Perubahan Sosio-Ekonomi dan SosioEkologi Pedesaan Agroindustri merupakan salah satu hasil dari kebijakan pemerintah terhadap industri pengolahan di pedesaan baik dalam skala usaha kecil maupun skala usaha besar yang memang memiliki andil dalam perubahan desa. Perubahan desa ini merupakan dampak dari hadirnya agroindustri baik dampak positif maupun dampak negatif, baik pada aspek sosio-ekonomi, maupun pada aspek sosioekologi sekitar kawasan yang dijadikan sasaran dalam kegiatan agroindustri. Agroindustri skala kecil yang masih menggunakan teknologi sederhana bukan berarti tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap aspek sosioekonomi dan aspek sosio-ekologi. Agroindustri dengan skala kecil justru membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak karena teknologinya masih sederhana. Teknologi yang masih sederhana juga mengakibatkan pengelolaan limbah hasil dari kegiatan agroindustri belum secara maksimal diatasi. Bila dibandingkan dengan agroindustri skala besar, agroindustri skala kecil biasanya memiliki tenaga kerja yang berpendidikan dan keterampilan rendah. Sehingga pengetahuan terhadap pengelolaan limbah hasil buangan dari kegiatan pun minim.
2.1.7.1 Dampak Sosial Kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah sebagai dasar kebijakan dalam mengangkat perekonomian masyarakat lokal membawa dampak pada aspek sosial masyarakat. Salah satu penelitian studi mengenai pembangunan industri manufaktur yang dilakukan oleh Suhandi et.al (1989-1990) mengungkapkan adanya perubahan cara berpikir sosial masyarakat lokal akibat kehadiran industri yaitu sebelum masuknya industri anak perempuan dianggap tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi, karena nantinya hanya mengurus urusan rumah saja. Namun setelah masuk dan berkembangnya industri, pola pemikiran mengenai anak perempuan berubah. Para orang tua menyekolahkan anak perempuannya mencapai tingkat pendidikan tertentu. Hal ini dikarenakan adanya prasyarat minimal pendidikan tertentu untuk bekerja di pabrik. Adanya industri manufaktur juga mengubah status kepemilikan lahan. lahan-lahan yang berada di desa dibeli oleh pihak industri dan dijadikan sebagai lahan untuk kepentingan industri.
15
Pemilik lahan memilih menjual lahannya pada pihak industri sehingga warga bekerja sebagai petani harus kehilangan pekerjaannnya. Penelitian studi agroindustri lain yang dilakukan oleh Sunarjan (1991) yaitu industri rokok kretek di Desa Lor Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah menyatakan, pada aspek sosial terjadi perubahan dalam hal kepemilikan dan pemanfaatan tanah. Awalnya, tanah di Desa Lor sebagai lahan pertanian sawah, namun masuknya industri membuat perubahan dalam hal pemanfaatan tanah. Tanah yang digunakan untuk pertanian kini dijual untuk dijadikan perumahan dan kepentingan industri rokok kretek. Terdapat juga perubahan dalam sifat gotong royong yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Lor. Masyarakat tadinya memiliki sifat gotong royong yang tinggi, namun setelah industri rokok kretek masuk ke Desa Lor terdapat penurunan pada sifat gotong royong. Perubahan sifat gotong royong ini berkaitan dengan perubahan mata pencaharian masyarakat. Awalnya masyarakat bekerja di sawah saling bergotong royong tetapi kini masyarakat bekerja sebagai buruh di industri rokok kretek.
2.1.7.2 Dampak Ekonomi Agroindustri
merupakan
industri
pedesaan
yang
didirikan
untuk
mendekatkan antara sektor indusri dan sektor pertanian. Kegiatan agroindustri merupakan salah satu kegiatan sekunder yang dilakukan guna mengatasi ekonomi golongan petani di pedesaan. Kegiatan primer pertanian belum cukup mengatasi perekonomian petani. Golongan petani gurem, buruh tani, dan tenaga kerja umumnya di pedesaan sangat menggantungkan ekonominya pada kegiatan sekunder pertanian (Shaw dan Edgar 1977 sebagaimana dikutip Rahardjo 1984). Studi penelitian yang dilakukan oleh Sundari (2000) menyatakan, adanya keterkaitan terhadap pengembangan agroindustri gula tebu di Jawa Timur. Keterkaitan agroindustri tebu ini baik secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap tingkat pendapatan petani tebu dan positif terhadap perkembangan perekonomian wilayah Jawa Timur. Hal ini dikarenakan tebu merupakan bahan baku dalam membuat gula, sedangkan gula sangat dibutuhkan dalam kegiatan industri makanan dan minuman. Pernyataan mengenai adanya dampak agroindustri terhadap aspek ekonomi juga diungkapkan dalam penelitian
16
agroindustri yang dilakukan oleh Sembiring (1995) bahwa, agroindustri di Sumatera Utara melakukan ekspor industri kayu lapis. Adanya penyerapan tenaga kerja di Sumatera Utara sebesar 2,8 persen penyerapan tenaga kerja sektor agroindustri dari jumlah tenaga kerja 105.929 di sektor industri Sumatera Utara.
2.1.7.3 Dampak Sosio-Ekologi Dampak sosio-ekologi adalah perubahan lingkungan hidup yang terkait dengan kehidupan masyarakat dan hubungan-hubungan sosial yang dijalani oleh warga masyarakat dalam suatu kawasan. Jika ditelusuri lebih lanjut, terdapat hubungan sirkuler antara manusia dan lingkungan hidupnya. Hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya sangatlah kompleks. Manusia melakukan kegiatan yang pada dasarnya mempengaruhi lingkungan hidupnya, begitupun sebaliknya (Soemarwoto 2004). Perubahan lingkungan hidup dapat menimbulkan dampak secara langsung dan tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Seperti pada perluasan daerah pertanian dan modernisasi industri dan pertanian membawa serta akibat yang nanti tidak diharapkan seperti kerusakan lingkungan hidup. Sampah/limbah menjadi masalah yang harus diperhatikan dalam lingkungan. Sampah/limbah industri, terlebih-lebih sampah kimia menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan baik lingkungan air, udara dan daratan (Suyitno dan Daldjoeni 1982). Salah satu dampak dari kegiatan agroindustri tidak mungkin terlepas dari adanya limbah buangan hasil proses kegiatan selama kegiatan agroindustri berlangsung. Pembuangan limbah ini berkaitan dengan pengaruhnya terhadap lingkungan kawasan agroindustri. Beberapa studi mengenai agroindustri memang lebih cenderung meneliti mengenai perubahan agroindustri terhadap aspek sosial, aspek ekonomi dan meneliti mengenai strategi pengembangan agroindustri. Kajian agroindustri masih sedikit yang meneliti mengenai masalah limbah yang dihasilkan dari kegiatan agroindustri. Penelitian mengenai studi agroindustri yang dilakukan oleh Suhada (2005), mengenai strategi pengembangan agroindustri penyamakan kulit di wilayah Sukaregang Kabupaten Garut Jawa Barat mengungkapkan terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pengembangan agroindustri kulit di
17
Sukaregang yakni adalah teknologi,
sumberdaya
manusia, dan modal.
Menurutnya industri penyamakan kulit memerlukan teknologi yang tinggi karena dalam proses penyamakannnya menggunkaan bahan-bahan kimia sehingga mesin yang dimiliki pun diimpor dari Eropa. Berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh Syaf (2005), meskipun berada pada wilayah penelitian yang sama, justru Syaf meneliti mengenai karakteristik industri pengolahan kulit dan dampak limbah terhadap lingkungan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Syaf pada penelitiannya yaitu mengumpulkan pendapat masyarakat mengenai dampak sosioekonomi serta dampak limbah dari kegiatan agroindustri. Hasil penelitian Syaf yang ditemukan yaitu terdapat perbedaan antara pendapat masyarakat hulu dan hilir mengenai dampak limbah di kawasannya. Masyarakat hilir merasakan dampak limbah agroindustri kulit terhadap lingkungannya yakni, air sungai menjadi berbau dan jika melewati daerah perairan di dekat kawasan industri maka akan tercium bau yang tidak sedap. Penelitian Rachmat (1993) menganalisis mengenai adanya pencemaran air sungai akibat limbah industri kulit di Sukaregang. Pencemaran air sungai yang menjadi sumber irigasi bagi sawah berdampak pada pertumbuhan padi serta hasil panen. Maka dapat disimpulkan, pencemaran akibat limbah industri bukan hanya berdampak bagi masyarakat sekitar tetapi juga pada ekosistem yang berada disekitarnya. Pencemaran lingkungan bukan hanya disebabkan oleh pembangunan sektoral saja, tetapi pembangunan industri pedesaan seperti agroindustri juga memiliki peran didalamnya. Kegiatan pembangunan seharusnya memikirkan bagaimana mencegah penurunan mutu lingkungan akibat pencemaran. Dalam menghindari
pencemaran
Lingkungan
(AMDAL).
dapat
dilakukan
Proyek-proyek
Analisis
pembangunan
Mengenai yang
Dampak
memerlukan
AMDAL adalah prasarana seperti jalan raya, pelabuhan, lapangan terbang; industri dan industrial estate; pembangkit tenaga, energi dan distribusinya; pertambangan; perubahan bentuk lahan seperti penebangan hutan; penggunaan bahan kimia (Salim 1986). Berdasarkan penelitian Wahyono (2009), mengenai pengelolaan
lingkungan
pasca
AMDAL
(Analisis
Mengenai
Dampak
Lingkungan) pada industri kimia di Kabupaten Bogor berpendapat bahwa
18
permasalahan lingkungan di Kabupaten Bogor sangat terkait dengan keberadaan industri-industri disana. Terdapat isu utama lingkungan hidup di Kabupaten Bogor diantaranya rendahnya mutu air sungai, penurunan air bawah tanah dan zona rawan air bawah tanah, tingginya angka penyakit diare dan kasus pencemaran air limbah dan tanah. Menurutnya penting bagi karyawan suatu industri untuk memiliki pengetahuan mengenai pencemaran lingkungan dan perusahaan yang memiliki sertifikat sebaiknya memiliki personil yang bertanggung jawab terhadap masalah lingkungan.
2.2 Kedelai dan Pengolahan Tahu Salah satu tanaman pangan yang dibutuhkan oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah kedelai (Glysine max (L) Merril). Kedelai adalah tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Di Indonesia kedelai dibudidayakan sejak abad 17 sebagai tanaman yang bijinya dapat dimakan dan daunnya dijadikan pupuk hijau. Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari dua spesies: Glycine max yang disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning, agak putih, atau hijau, dan Glycine soja atau kedelai hitam yang memiliki biji hitam. Glycine max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti RRC dan Jepang Selatan, sementara Glycine soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia Tenggara. Kedelai dikenal dengan berbagai nama daerah, seperti: Kacang bulu (Minangkabau), Retah mejong (Lampung), Kedele (Melayu), Kedele (Sunda), Kedele (Jawa Tenggah), Khadele (Madura), Kadele (Bali), Lebui bawad (Sasak), Kadalle (Sulawesi Selatan). Adanya berbagai nama daerah ini menunjukkan bahwa kedelai telah lama dikenal di Indonesia. Tanaman ini telah menyebar ke Jepang, Korea, Asia Tenggara, dan Indonesia. Kedelai dapat diolah menjadi: tempe, keripik tempe, tahu, kecap, susu, dan lain-lainnya. Proses pengolahan kedelai menjadi berbagai makanan pada umumnya merupakan proses yang sederhana dan peralatan yang digunakan cukup dengan alat-alat yang biasa dipakai di rumahtangga, kecuali mesin pengupas, penggiling, dan cetakan. Tahu merupakan salah satu jenis lauk pauk yang banyak diminati dan digemari masyarakat Indonesia, karena harganya murah, mudah didapat dan bergizi tinggi. Istilah tahu berasal dari Cina, Tao-hu atau teu-hu. Teu artinya
19
kedelai dan hu artinya lumat jadi bubur. Jadi, secara harfiah tahu berarti makanan dengan bahan baku kedelai yang dilumatkan menjadi bubur. Pengolahan kedelai menjadi tahu melewati beberapa tahapan. Tahapan-tahapan pembuatan tahu harus dilakukan secara bertahap guna menghasilkan tahu yang berkualitas. Pada Gambar 1 disajikan alur tahapan-tahapan dalam pembuatan tahu.
Keterangan: KEDELAI
Merupakan hubungan Menghasilkan
Dicuci
Limbah cair
Direndam
Ditiriskan
Ditumbuk
Dimasak hingga Mengental
Limbah cair
Disaring
Ampas tahu
Diendapkan dengan batu tahu dan asam cuka
Dicetak
Tahu
Gambar 1. Diagram Alur Pembuatan Tahu Sumber: Muslimin dan Ansar (2010)
20
Gambar 1 menjelaskan bagaimana alur pembuatan tahu. Alur pembuatan tahu dimulai dengan mempersiapkan bahan baku utamanya yaitu kedelai. Kedelai untuk membuat tahu harus dicuci terlebih dulu. Pencucian pada kedelai ini berguna untuk melepaskan batang, kulit, daun dan kotoran yang menempel pada kedelai. Kedelai yang telah dicuci bersih kemudian direndam dan ditiriskan lalu ditumbuk menggunakan air hangat. Kedelai yang telah ditumbuk lalu dimasak kembali hingga menjadi bubur kedelai. Jika kedelai dirasa telah mengental, maka bubur kedelai disaring. Hasil saringan kemudian diendapkan menggunakan batu tahu dan asam cuka. Pemberian batu tahu dan asam cuka berguna untuk menggumpalkan adonan bubur kedelai menjadi satu. Setelah bubur kedelai dirasakan telah menyatu maka selanjutkan bubur kedelai dapat dicetak ke dalam cetakan menjadi tahu (Muslimin dan Ansar 2010).
2.3
Kerangka Konseptual Agroindustri merupakan sebuah harapan untuk menyeimbangkan sektor
industrialisasi dengan pembangunan pertanian. Agroindustri yang berada dalam masyarakat selama ini memberikan dampak secara sosio-ekonomi maupun secara sosio-ekologi. Seperti pada beberapa studi yang telah ada mengenai agroindustri, agroindustri merupakan salah satu bentuk dalam penciptaan lapangan pekerjaan. Agroindustri merupakan bagian dari peningkatan nilai produk-produk pertanian. Kegiatan agroindustri tidak lepas dari adanya hasil buangan (limbah), baik agroindustri skala usaha kecil maupun skala usaha besar sama-sama memberikan sumbangan hasil buangan berupa limbah terhadap lingkungan. Agroindustri dapat dikatakan berdampak terhadap sosio-ekonomi dan sosio-ekologi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Pada Gambar 2 disajikan kerangka konseptual penelitian ini.
Agroindustri Sosio-Ekonomi Kesempatan bekerja Kerjasama Sumber pendapatan
Gambar 2. Kerangka Konseptual
Sosio-ekologi Pencemaran Konflik Kenyamanan hidup Kesehatan
21
Penjelasan Gambar 2 agroindustri merupakan industri yang mengolah hasilhasil pertanian, baik skala usaha besar maupun skala usaha kecil. Kedua skala usaha agroindustri tersebut berdampak terhadap aspek sosio-ekonomi dan sosioekologi masyarakat. Pada aspek sosio-ekonomi dapat dilihat perubahannya terhadap masyarakat lokal sekitar kegiatan agroindustri. Aspek sosio-ekonomi dilihat pada persaingan, kerjasama, kesempatan bekerja dan sumber pendapatan masyarakat yang menjadi sasaran agroindustri. Kegiatan agroindustri baik skala usaha besar maupun skala usaha kecil menghasilkan limbah yang berdampak pada pencemaran lingkungan masyarakat di lokal. Limbah yang dihasilkan oleh kegiatan agroindustri ini berdampak pada sosio-ekologi, mengubah kenyamanan hidup dan berpengaruh pada kesehatan masyarakat di sekitarnya. Perubahan kenyamanan hidup yang dirasakan ini akan menimbulkan terjadinya konflik ekologi.
2.4
Kerangka Pemikiran Berdasarkan studi literatur yang telah ada mengenai dampak sosio-ekonomi
dan sosio-ekologi dari kegiatan agroindustri, maka penelitian ini ingin melihat apa dan bagaimana opini masyarakat lokal terhadap dampak sosio-ekonomi dan sosioekologi kehadiran industri pengolahan tahu sebagai salah satu bentuk agroindustri. Penelitian ini mengambil kasus industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret sebagai lokasi penelitian. Industri pengolahan tahu merupakan industri yang mengolah kedelai sebagai hasil pertanian menjadi panganan yang disebut tahu. Industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret merupakan salah satu kegiatan agroindustri dengan skala usaha kecil. Kehadiran industri pengolahan tahu skala usaha yang kecil ini berdampak pada aspek sosio-ekonomi dan sosio-ekologi masyarakat lokal. Dampak yang ditimbulkan ini berupa dampak positif maupun dampak negatif. Kehadiran industri pengolahan tahu yang menimbulkan dampak di Kampung Cikaret, menghasilkan berbagai opini dari masyarakat sekitarnya. Opini masyarakat lokal terhadap kehadiran industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret berupa opini pada dampak ekonomi, dampak sosial maupun dampak sosio-ekologis yang ditimbulkan. Pada Gambar 3 disajikan kerangka pemikiran pada penelitian ini.
22 Industri Pengolahan Tahu Jumlah Pendatang (Pencari Kerja)
Limbah Cair
Respon Sosio-Ekologi (dirasakan masyarakat lokal) Respon Sosial (dirasakan masyarakat lokal) 1. Tingkat Persaingan Bekerja antara Pendatang dan Masyarakat Lokal 2. Tingkat Persaingan Bekerja antara Masyarakat Lokal dan Masyarakat Lokal 3. Tingkat Hubungan Sosial antara Pendatang dan Masyarakat Lokal 4. Tingkat Hubungan Sosial antara Masyarakat Lokal dan Masyarakat Lokal
1. Tingkat Pendapatan Masyarakat Lokal 2. Tingkat Kesempatan Kerja Masyarakat Lokal pada Industri Pengolahan Tahu
Tingkat Pencemaran Tingkat Kenyamanan Hidup Tingkat Konflik Tingkat Kesehatan (digali secara kualitatif)
Keterangan:
Respon yang diukur
Menyebabkan
22
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
Respon Ekonomi (dirasakan oleh masyarakat lokal)
23
Pada Gambar 3 menjelaskan mengenai kerangka pemikiran dalam penelitian ini. Adanya industri pengolahan tahu menyebabkan pendatang yang mencari kerja dan menyebabkan adanya limbah cair pada kegiatan pengolahan tahu. Sejumlah pendatang yang mencari pekerjaan berdampak pada ekonomi, sosial masyarakat lokal, sedangkan limbah cair yang dihasilkan berdampak pada kondisi ekologis lingkungan masyarakat lokal. Dampak yang ditimbulkan oleh kehadiran industri tahu menimbulkan berbagai respon dari masyarakat lokal. Respon tersebut berbeda-beda menurut lapisan pendapatan rumahtangga masyarakat lokal. Pada aspek ekonomi akibat adanya industri pengolahan tahu menimbulkan respon masyarakat lokal terhadap tingkat kesempatan kerja yang diberikan industri pengolahan tahu terhadap masyarakat lokal. Dampak sosial akibat adanya industri pengolahan tahu menimbulkan respon masyarakat lokal terhadap tingkat persaingan bekerja antara pendatang yang mencari pekerjaan di industri pengolahan tahu dengan masyarakat lokal yang berada di industri pengolahan tahu. Respon mengenai tingkat persaingan juga dapat dilihat pada tingkat persaingan antara masyarakat lokal dan masyarakat lokal yang mencari pekerjaan di industri pengolahan tahu. Respon masyarakat mengenai hubungan sosialnya dengan pendatang dan hubungan sosialnya dengan masyarakat lokal baik sebelum hadirnya industri pengolahan tahu maupun sesudah hadirnya industri pengolahan tahu. Pada aspek sosio-ekologi akibat adanya industri pengolahan tahu yang menghasilkan limbah cair menimbulkan berbagai respon pada masyarakat lokal. Respon masyarakat mengenai tingkat pencemaran, tingkat kesehatan rumahtangga, tingkat kenyamanan hidup di sekitar lingkungan tempat tinggalnya dan tingkat konflik berbeda-beda setiap lapisan struktur pendapatan rumahtangga.
2.5 Hipotesis Penelitian 1. Diduga respon tentang sosio-ekonomi terhadap masyarakat lokal atas hadirnya industri pengolahan tahu, menurut lapisan atau tingkat pendapatan rumahtangga responden, berbeda-beda.
24
2. Diduga respon masyarakat lokal atas gangguan sosio-ekologi akibat hadirnya industri pengolahan tahu, menurut lapisan atau tingkat pendapatan rumahtangga responden, berbeda-beda. 3. Diduga gangguan ekologis yang muncul akibat hadirnya industri pengolahan tahu menyebabkan interaksi sosial yang disasosiatif (konflik).
2.6 Definisi Konseptual 1. Industri pedesaan adalah industri menunjang kegiatan pertanian serta memproduksi barang-barang konsumsi yang dibutuhkan rakyat banyak, baik dalam bentuk industri dengan unit-unit kecil maupun dalam bentuk besar seperti pabrik. 2. Industri pengolahan tahu adalah industri pengolahan hasil pertanian berupa kedelai yang diolah menjadi bentuk panganan yang dinamakan tahu. 3. Dampak sosio-ekonomi adalah hasil dari suatu gejala atau kegiatan terhadap sosial ekonomi. 4. Dampak sosial-ekologi adalah dampak yang dihasilkan dari kegiatan manusia terhadap alam. 5. Persaingan adalah suatu proses sosial dimana dua orang atau lebih berjuang dengan cara bersaing satu sama lain untuk memiliki atau memperoleh sesuatu. 6. Hubungan sosial adalah komunikasi yang terjalin antar dua individu atau lebih. 7. Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima selama satu tahun dan telah dikurangi dengan biaya-biaya lainnya sebagai imbalan dari pekerjaan. 8. Kesehatan adalah tidak adanya gangguan pada organ tubuh baik secara fisik maupun mental. 9. Pencemaran adalah perubahan kondisi akibat suatu kegiatan yang berdampak buruk terhadap unsur-unsur seperti air, udara, tanah. 10. Kenyamanan hidup adalah kesempatan seseorang untuk mendapatkan lingkungan yang bersih. 11. Konflik adalah pertentangan yang melibatkan dua pihak karena berbeda pandangan, berbeda tujuan.
25
2.7 Definisi Operasional 1. Tingkat persaingan kerja adalah suatu proses sosial dimana dua orang atau lebih berjuang dengan cara bersaing satu sama lain untuk memiliki atau memperoleh pekerjaan. Tingkat persaingan kerja diukur dari ada atau tidaknya kesempatan kerja bagi masyarakat lokal untuk bekerja pada industri pengolahan tahu di wilayahnya. a) Tidak ada kesempatan kerja bagi masyarakat lokal untuk bekerja di industri pengolahan tahu = skor 0 b) Ada kesempatan kerja bagi masyarakat lokal untuk bekerja di industri pengolahan tahu = skor 1 2. Tingkat hubungan sosial adalah komunikasi yang terjalin antar dua individu atau lebih. Tingkat hubungan sosial diukur dari aktif atau tidaknya responden mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara bersama. Baik kegiatan antara sesama warga ataupun antara warga dan pendatang. a) Tidak aktif mengikuti kegiatan-kegiatan = skor 0 b) Aktif mengikuti kegiatan-kegiatan = skor 1 3. Tingkat pendapatan adalah jumlah uang yang diterima selama satu tahun dan telah dikurangi dengan biaya-biaya lainnya sebagai imbalan dari pekerjaan. Ukuran tingkat pendapatan ditentukan berdasarkan jumlah rata-rata pendapatan rumahtangga masyarakat lokal. Tingkat pendapatan dihitung menggunakan sebaran normal dengan rumus: a) Lapisan rendah =
-½ standar deviasi
b) Lapisan menengah =
- ½ standar deviasi ≤ x ≤
+ ½ standar
deviasi c) Lapisan atas =
+½ standar deviasi
4. Tingkat pencemaran lingkungan hidup adalah perubahan kondisi akibat suatu kegiatan yang berdampak buruk terhadap unsur-unsur seperti air, udara, tanah. Tingkat pencemaran diukur dari kategori respon responden terhadap kondisi kualitas sumber air (sungai) di wilayahnya: a) Sangat tercemar = skor 2 b) Sedikit tercemar = skor 1
26
c) Tidak ada pencemaran = skor 0 5. Tingkat
kenyamanan hidup
adalah kesempatan seseorang
untuk
mendapatkan lingkungan yang bersih. Tingkat kenyamanan hidup diukur dari respon masyarakat terhadap lingkungan tempat tinggalnya sebelum dan sesudah adanya industri pengolahan tahu. a) Lingkungan tempat tinggal tidak bersih = skor 0 b) Lingkungan tempat tinggal bersih = skor 1 6. Konflik adalah pertentangan yang melibatkan dua pihak karena berbeda pandangan, berbeda tujuan. Tingkat konflik pencemaran diukur dari respon masyarakat mengenai tindakan atau sikap terhadap pencemaran yang terjadi. a) Baku Hantam = skor 4 b) Teguran = skor 3 c) Pembicaraan ringan = skor 2 d) Desas-desus = skor 1 e) Tidak ada tindakan apapun = 0
27
BAB III PENDEKATAN LAPANG 3.1
Metode Penelitian Metode penelitian yang dipilih adalah metode penelitian survei dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk lebih memahami fakta sosial yang menjadi fokus penelitian (Singarimbun dan Sofian 1989). Pendekatan kuantitatif ini menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada responden. Pendekatan kualitatif digunakan dengan cara pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan menggali pemahaman responden secara subjektif sehingga dapat mendukung data kuantitatif. Sebelum pengambilan data yang sesungguhnya, maka dilakukan uji kuesioner terlebih dulu pada informan dan beberapa responden. Setelah dilakukan uji kuesioner akan dilakukan proses revisi, setelah itu baru dilakukan penelitian sesungguhnya. Uji kuesioner ini berguna untuk reabilitas dan validitas data.
3.2
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakana jenis data primer dan data sekunder. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah metode triangulasi yaitu melalui kuesioner, wawancara mendalam, dan pengamatan. Data primer didapatkan melalui hasil wawancara, kuesioner yang diisi oleh responden dan pengamatan. Data sekunder seperti data mengenai potensi kelurahan, profil Kelurahan Cikaret, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor diperoleh dari buku profil Kelurahan Cikaret. Kuesioner digunakan pada unit analisis rumahtangga dan individu yaitu masyarakat yang di Kampung Cikaret dan tinggal disekitar industri pengolahan tahu. Kuesioner juga digunakan untuk mendapat data mengenai opini masyarakat lokal terhadap dampak yang ditimbulkan atas hadirnya industri pengolahan tahu. Pengamatan juga dilakukan untuk mengetahui mengenai ada tidaknya dampak sosio-ekonomi dan sosio-ekologi yang disebabkan industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret, Kelurahan Cikaret. Analisis atau studi dokumen dilakukan untuk mendapatkan data profil dan potensi wilayah Kelurahan Cikaret, khususnya
28
mengenai karakteristik masyarakat, potensi kelurahan, jumlah penduduknya, geografis hingga data mengenai laporan kondisi tahunan data statistik kelurahan.
3.3
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Cikaret, Kelurahan Cikaret,
Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini berdasarkan dari informasi KOPTI (Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia) yang menyebutkan ada industri pengolahan tahu yang sudah terkenal di wilayah Cikaret. Selain itu dipilihnya wilayah Kampung Cikaret sebagai lokasi penelitian karena karakteristik masyarakatnya sesuai dengan penelitian yaitu masyarakat lokal di Kampung Cikaret hampir semua pernah menggunakan sungai. Penelitian ini difokuskan di RT 06, RT 03, RT 07 yang berada di RW 01. Pemilihan lokasi RT berdasarkan pada aliran sungai yang mengitari daerah RW 01 serta masyarakatnya yang hampir semua pernah menggunakan sungai dalam kebutuhan sehari-harinya. Penelitian ini dilaksanakan pada akhir Bulan Maret hingga akhir Bulan April 2011.
3.4
Teknik Pengambilan Sampling dan Penentuan Responden Unit analisis studi ini adalah unit rumahtangga dan individu yang digunakan
sebagai sampel. Unit rumah tangga untuk melihat tingkat pendapatan rumahtangga dan tingkat kesehatan, sedangkan individu yang diwakili oleh kepala rumahtangga untuk mendapatkan respon mengenai dampak sosio-ekonomi dan sosio-ekologi atas hadirnya industri pengolahan tahu. Pemilihan sampel menggunakan teknik Simple Random Sampling. Asumsi menggunakan Simple Random Sampling karena populasi yang terdapat di lokasi penelitian merupakan populasi yang homogen. Populasi yang homogen ini dinilai dari masyarakatnya yang pernah menggunakan sungai dan tinggal di pinggiran sungai. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan Rumus Slovin dengan populasi sebanyak 180 rumahtangga dari tiga RT dan nilai kritis sebesar 10 persen. n= N/1+ Ne2 n = Besaran Sampel N= Populasi e = Titik Kritis
29
Hasil dari perhitungan sampel menggunakan Rumus Slovin diperoleh sebesar 64,15. Jumlah KK adalah variabel diskret maka 64,15 menjadi 65 KK. Jumlah sampel 65 KK dibagi dengan 3 RT karena penelitian ini difokuskan pada 3 RT. Hasilnya 21,33 KK setiap RT yang harus menjadi responden 21,33 menjadi 22 KK setiap RT. Responden dari 22 KK setiap RT dipilih dengan cara pengundian.
3.5
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh secara kuantitatif menggunakan kuesioner lalu
dianalisis. Pengolahan data terlebih dahulu dilakukan pengkodean data. Pengkodean data merupakan suatu proses penyusunan secara sistematis data mentah (terdapat dalam kuesioner) dalam bentuk yang mudah dibaca oleh komputer. Setelah proses pengkodean, maka dilakukan pemindahan data ke komputer menggunakan program Microsoft Excel. Selanjutnya dilakukan pembersihan data untuk memastikan bahwa seluruh data telah dimasukan ke dalam mesin pengolah data (Prasetyo dan Miftahul 2006). Setelah itu akan dilakukan analisis data kuantitatif, menggunakan analisis deskriptif dengan menggunakan tabulasi silang. Data yang ditampilkan berupa bagan, diagram dan tabel. Data tersebut kemudian digabungkan dengan hasil wawancara mendalam dan observasi berupa kutipan untuk kemudian penarikan kesimpulan dari semua data yang telah diolah.
30
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Gambaran Kelurahan Cikaret Kelurahan Cikaret merupakan salah satu kelurahan yang berada di
Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kelurahan ini memiliki luas lahan sebesar 153,470 Ha. Kelurahan Cikaret memiliki sebanyak 12 RW yang tersebar di beberapa daerah. Kelurahan Cikaret sebelum menjadi bagian dari Kota Bogor adalah sebuah desa yang termasuk kedalam wilayah Desa Kota Batu, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Tahun 1995 Desa Cikaret kemudian ditarik ke wilayah Kota Bogor dan dijuluki dengan sebutan “Desa di dalam Kota”. Tahun 1998 Desa Cikaret memisahkan diri dari Desa Kota Batu dan berganti nama menjadi Kelurahan Cikaret yang terdiri dari 12 RW. Kelurahan Cikaret kemudian diresmikan menjadi bagian dari Kecamatan Bogor Selatan Kota Bogor dengan dipimpin oleh seorang lurah.
4.1.1 Kondisi Geografis dan Infrastruktur Kelurahan Cikaret Secara geografis Kelurahan Cikaret dibatasi oleh beberapa wilayah bagian. Sebelah utara dibatasi oleh Kelurahan Pasir Kuda, sebelah timur dibatasi oleh Kelurahan Pasir Jaya. Sebelah selatan dibatasi oleh Kelurahan Mulyaharja dan sebelah barat dibatasi oleh Desa Kota Batu. Areal pemukiman Kelurahan Cikaret terbagi menjadi 12 Rukun Warga (RW) dan 70 Rukun Tetangga (RT). Suhu rata-rata harian Kelurahan Cikaret mencapai 23 sampai 32 derajat celcius dengan tinggi tempat dari permukaan laut mencapai 300-400 M. Jarak pemerintahan Kelurahan Cikaret dengan pusat pemerintahan kecamatan ditempuh dengan jarak 3 km, sedangkan dengan pemerintah kota ditempuh dengan jarak 4 km. Kekayaan tanah Kelurahan Cikaret terbagi menjadi beberapa bagian. Tanah yang digunakan sebagai jalan seluas 1,36 Ha, pemakaman seluas 2 Ha, pemukiman seluas 142,51 Ha, jalur hijau seluas 0,2 Ha, bangunan-bangunan umum seperti tempat ibadah, mushola seluas 3 Ha, digunakan untuk kepentingan
31
industri sebesar 0,6 Ha dan lain-lainnya. Akses menuju kantor Kelurahan Cikaret sangat mudah. Kondisi jalan Kelurahan Cikaret sudah berupa aspal dan banyak sarana transportasi seperti kendaraan umum yang melintas ke wilayah Kelurahan Cikaret. Perjalanan menuju kantor Kelurahan Cikaret dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan motor melalui jasa tukang ojeg.
4.1.2 Kondisi Sosial dan Ekonomi Penduduk Jumlah penduduk Kelurahan Cikaret dapat dilihat berdasarkan komposisi umur dan berdasarkan jenis kelamin. Jumlah penduduk Kelurahan Cikaret disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Kelurahan Cikaret Berdasarkan Komposisi Umur, Maret 2011 No
Umur (Tahun)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 64+ Jumlah
Jumlah (Jiwa) 1.796 2.121 2.023 1.667 1.297 1.342 1.243 1.091 1.054 951 826 715 599 414 17.139
Sumber : Data Laporan Penduduk Berdasarkan Mutasi Lahir, Mati, Datang, Pindah Bulan Maret 2011
Berdasarkan data pada Tabel 3 menggambarkan mengenai jumlah penduduk Kelurahan Cikaret berdasarkan komposisi umur. Data pada Tabel 3 menunjukan bahwa penduduk usia produktif yang berkisar antara 15 tahun hingga 64 tahun mendominasi jumlah penduduk lainnya. Jumlah penduduk usia produktif sebanyak 10.785 jiwa. Jumlah penduduk usia belum produktif yaitu penduduk dengan usia 15 tahun ke bawah hanya berjumlah 5.940 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Kelurahan Cikaret sudah termasuk kategori usia produktif.
32
Jumlah penduduk di Kelurahan Cikaret berdasarkan jenis kelamin yang mencapai 17.139 jiwa terdiri dari 4.231 KK. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 8.969 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 8.170 jiwa. Hal ini disajikan dalam Tabel 4 mengenai jumlah penduduk Kelurahan Cikaret Bedasarkan jenis kelamin.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Kelurahan Cikaret Berdasarkan Jenis Kelamin, 2011 No
Jenis Kelamin
1 2
Jumlah (Jiwa)
Laki-laki Perempuan
8.969 8.170
Jumlah
17.139
Sumber : Data Laporan Penduduk Berdasarkan Mutasi Lahir, Mati, Datang, Pindah Bulan Maret 2011
Keberagaman
tingkat
pendidikan
masyarakat
Kelurahan
Cikaret
merupakan gambaran dari kesadaran akan pendidikan di kalangan masyarakat yang berbeda-beda. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat Kelurahan Cikaret
lebih dominan pada urutan pertama tertinggi adalah tamatan
SMP/SLTP/MI yaitu sebesar 3.701 jiwa. Tingkat pendidikan pada urutan kedua tertinggi adalah tamatan SMA/SLTA/Aliyah yaitu sebesar 3.679 jiwa. Pada Tabel 5 disajikan mengenai tingkat pendidikan masyarakat Kelurahan Cikaret.
Tabel 5. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Cikaret Tahun 2008 No 1 2 2 3 4 5
Tingkat Pendidikan Tamat TK Tamat SD/MI Tamat SMP/SLTP/MI Tamat SMA/SLTA/Aliyah Tamat Akademik/D1-D3 Tamat Sarjana S1-S3 Jumlah
Jumlah (Jiwa) 199 3.541 3.701 3.679 437 269 11.826
Sumber: Data Kependudukan Monografi Kelurahan Cikaret, 2008
Berdasarkan Tabel 5 fasilitas jalan dan transportasi yang telah memadai tidak menghambat masyarakat untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Hal ini terbukti di Kelurahan Cikaret sebanyak 267 jiwa merupakan tamatan S1-
33
S3. Sebanyak 437 jiwa merupakan tamatan D1-D3. Tamatan TK hanya sebesar 199 jiwa sangat kecil bila dibandingkan dengan tamatan pendidikan lainnya. Terdapat keberagaman mata pencaharian pada penduduk di Kelurahan Cikaret seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6. Beberapa jenis mata pencaharian seperti PNS, TNI, POLRI, Swasta/BUMN/BUMD, Wiraswasta/pedagang, tani, pertukangan, buruh tani, pensiunan, jasa dan lain-lain. Pada mata pencaharian TNI dan POLRI merupakan mata pencaharian yang sangat kecil baik jumlah jiwa dan persentasenya. Pada Tabel 6 disajikan data mengenai mata pencaharian masyarakat di Kelurahan Cikaret.
Tabel 6. Mata Pencaharian Masyarakat di Kelurahan Cikaret 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Mata Pencaharian PNS TNI POLRI Swasta/BUMN/BUMD Wiraswasta/pedagang Tani Pertukangan Buruh Tani Pensiunan Jasa /lain-lain Jumlah
Jumlah (Jiwa) 157 5 6 1.585 1.795 37 496 115 181 1.522 5.899
Persentase (%) 3 0 0 27 30 1 8 2 3 26 100
Sumber: Data Kependudukan Monografi Kelurahan Cikaret, 2008
Berdasarkan Tabel 6 pada urutan nomor lima, mata pencaharian sebagai wiraswasta/pedagang sebesar 1.795 jiwa atau sebesar 30 persen yang mendominasi urutan mata pencaharian lainnya. Mata pencaharian pada urutan kedua adalah swasta/BUMN/BUMD sebanyak 1.585 jiwa atau sebesar 27 persen.
4.1.3 Tata Guna Lahan di Kelurahan Cikaret Tata guna lahan di Kelurahan Cikaret digunakan untuk berbagai macam kebutuhan seperti penggunaan tanah untuk pemukiman, sawah, ladang, perkebunan rakyat, empang, pekarangan, jalan, jalur hijau, pemakaman, bangunan umum, perkantoran, industri hingga pertokoan dan lainnya. Lahan yang digunakan Kelurahan Cikaret lebih dominan pada penggunaan lahan untuk
34
pemukiman sebesar 142,51 hektar. Penggunaan lahan untuk pemukiman ini setara dengan tingkat penduduknya yang padat. Selain lahan digunakan untuk pemukiman, lahan digunakan untuk bangunan umum sebanyak tiga hektar, bangunan umum yang dimaksudkan seperti tempat ibadah, klinik, dan lainnya. Pada Tabel 7 disajikan mengenai penggunaan dan peruntukan luas lahan di Kelurahan Cikaret.
Tabel 7. Penggunaan dan Peruntukan Luas Lahan Kelurahan Cikaret, Kecamatan Bogor Selatan, 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Penggunaan Lahan Pemukiman Sawah Ladang/huma Perkebunan rakyat Empang Pekarangan Jalan Jalur hijau Pemakaman Bangunan umum Perkantoran industri Pertokoan Lain-lain
Jumlah
Luas Lahan (Hektar) 142,51 2,00 0,10 0,10 0,30 6,00 1,36 0,20 2,00 3,00 0,07 0,60 0,50 2,00
Persentase (%) 86 1 0 0 0 4 1 0 1 2 0 0 0 1
166,14
100
Sumber: Data Kependudukan Monografi Kelurahan Cikaret, 2008
Luas lahan di Kelurahan Cikaret juga digunakan untuk pekarangan sebesar enam hektar. Lahan yang digunakan untuk jalan sebesar 1,36 hektar. Lahan yang digunakan untuk sawah hanya dua hektar. Selebihnya luas lahan digunakan untuk industri, pertokoan, empang, bangunan umum, dan lain-lainnya.
4.2
Gambaran Umum Kampung Cikaret dan Industri Pengolahan Tahu Kampung Cikaret merupakan salah satu kampung yang berada di Kelurahan
Cikaret. Sebelumnya Kelurahan Cikaret merupakan sebuah desa yang dikenal dengan nama Desa Cikaret, setiap wilayah di Desa Cikaret diberi julukan kampung dengan nama kampung yang berbeda-beda. Setelah Desa Cikaret berubah menjadi kelurahan, setiap wilayah hanya diberi julukan berdasarkan
35
urutan RW. Kampung Cikaret merupakan wilayah RW 01 dan berjumlah tujuh RT. Setiap wilayah RW di Kelurahan Cikaret memiliki sejarah nama masingmasing. Seperti pada RW 01 atau merupakan Kampung Cikaret, nama Cikaret sendiri berdasarkan karena di wilayah tersebut dulu dipercaya oleh masyarakat Kelurahan Cikaret bahwa terdapat sejumlah pohon karet. Hal ini seperti diungkapkan oleh informan dari staf kelurahan sebagai berikut: “Dulu disini banyak pohon karet, makanya disebut sebagai Kampung Cikaret. Nah..sungai yang melintasi kelurahan cikaret juga disebutnya itu Sungai Cikaret karena dulu di sungai itu ada satu pohon karet tumbuh di tengah-tengah sungai, tapi sekarang sudah tidak ada lagi” (Bapak Mmn, 50 tahun, seorang staf kelurahan).
Kampung Cikaret memiliki dua RW yaitu RW 01 yang berada di wilayah Gang Madrasah dan RW 04 yang berada di Gang Pangumbahan. RW 01 dan RW 04 ini merupakan wilayah yang berdekatan namun berbeda Gang. Wilayah RW 01 merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan RW 04. Wilayah RW 01 dilintasi oleh dua buah anak sungai yaitu Sungai Cimanglid dan Sungai Cikaret. Sungai Cimanglid melintasi jalur RW 04/RT 05 Gang Pangumbahan sampai ke RW 01/RT03 Gang Madrasah. Lebar anak Sungai Cimanglid ini ± 2 meter. Sedangkan anak Sungai Cikaret melintasi wilayah RW 01/RT 07 dan RT 06 di Gang Pangumbahan Kampung Cikaret. Wilayah RW 04 masih termasuk Kampung Cikaret namun berbeda Gang dengan wilayah RW 01. RW 04 lebih sering disebut dengan wilayah Gang Pangumbahan. Nama pangumbahan memiliki arti sendiri bagi masyarakat di RW 04, seperti yang diungkapkan oleh informan dari straf kelurahan sebagai berikut: “RW 04 di Gang Pangumbahan, disebut Pangumbahan karena dulu ada tempat pencucian mobil atau kendaraan-kendaraan, tempatnya besar dan ramai dikunjungi orang-orang yang ingin mencuci mobil, makanya disebut Gang Pangumbahan. Tempat pencucian mobilnya sudah bangkrut, sekarang sudah tidak ada lagi” (Bapak Mmn, 50 tahun, seorang staf kelurahan).
36
Wilayah RW 04 memiliki ciri khas yaitu terdapat industri pengolahan tahu yang sudah lama berdiri. Industri pengolahan tahu tersebut sudah sejak tahun 1993 berdiri disana. Industri pengolahan tahu milik Pak Hto, memproduksi berbagai jenis tahu. Tahu yang diproduksi ada yang berbentuk kotak yang disebut tahu sayur, ada tahu segitiga yang biasa dimakan dengan siomay, ada tahu goreng yang berwarna cokelat, ada juga tahu bulat yang sudah setahun ini diproduksi di industri pengolahan tahu milik Pak Hto. selain memproduksi tahu, industri pengolahan tahu milik Pak Hto juga memproduksi tempe. Bahan baku utama tahu maupun tempe semua berasal dari kacang kedelai yang bermutu. Jenis kedelai yang digunakan adalah jenis kedelai berwarna kuning dan putih. Pak Hto mengharapkan bahwa berdirinya industri pengolahan tahu di wilayahnya mampu membuka lapangan pekerjaan untuk warga di sekitarnya. Tetapi pada kenyataannya warga di sekitar industri pengolahan tahu cenderung lebih memilih menjadi buruh pabrik non tahu daripada harus belajar membuat tahu. Sehingga Pak Hto mengajak tetangga-tetangganya dari daerah asal Tasikmalaya untuk ikut serta belajar menjadi pengrajin tahu. Hal ini diungkapkan oleh Pak Hto pemilik industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret: “Awalnya saya mengontrak satu orang yang memang sudah ahli dalam membuat tahu untuk melatih para pengrajin disini. Para pengrajin disini dulu tidak bisa membuat tahu. Setelah mengikuti pelatihan berkali-kali, mereka akhirnya bisa membuat tahu. Pengrajin disini juga ada yang dulunya hanya sebagai tukang becak, ada yang dulunya kerja di supermarket, ada juga yang datang kesini meminta pekerjaan ketika dia masih menggunakan seragam SD, namun sekarang dia sudah berumur 20 tahunan dan masih bekerja disini” (Bapak Hto, 54 tahun, pemilik industri pengolahan tahu). Pengrajin tahu yang berada di industri pengolahan tahu milik Pak Hto berjumlah 19 orang dengan pekerja enam orang. Pekerja tahu bulat hanya berjumlah enam orang yang berasal dari masyarakat lokal. Pengrajin tahu di industri ini berasal dari berbagai daerah antara lain daerah Tasikmalaya, Ciamis, Madura, Garut, Magelang, Bogor. Menariknya, Pak Hto memberikan fasilitas berupa tempat tinggal untuk pengrajin yang datang dari daerah jauh dan membawa serta keluarganya untuk tinggal secara gratis, Menyediakan bahan-
37
bahan membuat tahu dan tempe, alat-alat membuat tahu dan tempe, serta menyediakan bahan utama tahu dan tempe yaitu kedelai jenis kuning dan jenis putih. Industri pengolahan tahu ini setiap hari memproduksi 5-6 kwintal atau 90 papan dengan isi satu papan dapat menghasilkan 100 potong tahu. Sistem yang dilaksanakan oleh para pengrajin tahu adalah para pengrajin membeli kedelai yang telah disediakan Pak Hto dengan harga 1 kg kedelai Rp. 9.500,00. Biasanya rata-rata pengrajin akan membeli 5-10 kg kedelai setiap harinya, sehingga uang yang harus disetorkan pada Pak Hto rata-rata sebesar Rp. 47.500,00- Rp. 95.000,00 setiap pengrajin. Harga setoran ini disesuaikan dengan pengambilan berat kacang kedelai oleh masing-masing pengrajin. Penghasilan bersih Pak Hto setiap hari sebesar Rp. 1.200.000,00 dari hasil penjualan kacang kedelainya. Industri pengolahan tahu milik Pak Hto menghasilkan ampas sebanyak 12 karung setiap harinya. Ampas merupakan hasil sisa dari produksi tahu yang dapat dijual kembali atau dimanfaatkan sebagai pakan ternak atau bahan membuat oncom. Ampas dari industri pengolahan tahu milik Pak Hto dijual kembali kepada pengusaha oncom sebanyak tujuh karung dengan harga per karungnya Rp. 12.500,00 dan empat karung sisanya diberikan kepada ternak kambing miliknya sendiri. Menariknya lagi, Pak Hto merupakan salah satu anggota KOPTI (Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia) yang telah lama dipercaya untuk memegang peranan dalam pemasokan kedelai bagi industriindustri pengolahan tahu dan tempe di wilayah sekota Bogor Selatan. Tahun 1996-1997, Pak Hto mendapatkan kesulitan dalam pengelolaan limbah cair. Teknologi yang sederhana dan belum adanya tempat penampungan limbah cair menjadi kendala dalam usaha industri pengolahan tahu skala usaha kecil miliknya. Industri pengolahan tahu miliknya pernah dipermasalahkan oleh warga di RW 01 karena limbah cair hasil kegiatan pengolahannya dibuang langsung ke bantaran kali di sekitar industri miliknya. Pembuangan limbah cair ke kali menyebabkan bau limbah yang mengganggu penciuman warga disekitar bantaran Sungai Cimanglid yang melintasi RW 01/ RT 03 dan RT 06. Hal ini diungkapkan Pak Hto selaku pemilik industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret:
38
“Dulu saya sempat di demo oleh warga tahun 1996-1997. Saya tidak mengetahui kalau warga di RW 01 masih ada yang menggunakan sungai untuk mandi dan cuci. Limbah tahunya bau sekali karena saat itu memang sedang kemarau. Tapi sekarang saya kalau buang limbah cair malam hari, jadi limbahnya saya tampung dulu di septitank, kalau turun hujan baru malam-malamnya saya buka saluran septitanknya biar limbahnya mengalir ke kali” (Bapak Hto, 54 tahun, pemilik industri pengolahan tahu). Pengolahan kedelai menjadi tahu melewati beberapa tahapan. Tahapan-tahapan dalam pada pengolahan tahu membutuhkan alat dan bahan yang sesuai dengan pengolahan tahu seperti biasanya. Gambar 4 disajikan alur pembuatan tahu milik Pak Hto.
Air Limbah
Kedelai
Ditimbang g
Direndam
Dicuci
Sungai
Digiling
Tungku Kayu Bakar
Dimasak
Limbah Gas
Kain
Disaring
Ampas Tahu
Diberikan Air Whey
Ditampung
Pakan Ternak
Papan Cetakan
Dicetak
Pemotongan
Pengempresan
Gambar 4. Diagram Alur Pembuatan Tahu pada Industri Pengolahan Tahu Milik Pak Hto di Kampung Cikaret
Keterangan: Saling berhubungan: Menghasilkan:
Alat/bahan penunjang : Pembuangan limbah :
39
Berdasarkan Gambar 4 pengolahan tahu yang dilakukan oleh industri pengolahan tahu milik Pak Hto sama seperti kebanyakan industri-industri pengolahan tahu lainnya. Alat-alat dalam membuat tahu yaitu timbangan untuk menimbang kacang kedelai, wadah untuk merendam kedelai menggunakan tong plastik dengan diameter 0,4-0,8 m, alat penggiling kedelai, alat pemasak bubur kedelai berupa wajan yang ditempatkan diatas tungku semen, tungku pemanas menggunakan kayu bakar, alat penyaring bubur kedelai biasanya menggunakan kain, alat pencetak tahu terbuat dari kayu ukuran 60 cm x 60 cm x 10 cm untuk ukuran tahu yang besar dan 40 cm x 40 cm x 5 cm untuk tahu ukuran kecil, wadah untuk tahu yang sudah jadi, penggaris untuk mengukur ukuran tahu yang diinginkan, pisau untuk memotong dan penggorengan jika tahu yang dihasilkan adalah tahu yang dijual sudah jadi. Pertama kedelai ditimbang, Setelah ditimbang, kemudian kedelai direndam dalam wadah atau tong plastik. Kedelai yang telah direndam selama 2-3 jam kemudian di cuci hingga bersih. Kedelai yang telah dicuci bersih kemudian digiling menggunakan mesin penggiling. Saat proses penggilingan harus diberikan air hal ini agar kedelai mudah terdorong keluar dan menjadi adonan seperti bubur. Bubur kedelai kemudian dimasak hingga mendidih, proses pemanasan ini menggunakan uap air, dengan menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk menghasilkan api. Bubur kedelai dalam keadaan panas lalu disaring dengan kain untuk mengambil sari buburnya. Ampas tahu hasil penyaringan dipisahkan jauh-jauh dari sari kedelai agar tidak terkontaminasi. Sari kedelai yang diperoleh lalu ditampung dalam bak semen, diaduk secara perlahan, lalu diberikan air biang atau air whey sebanyak 700 liter hal ini untuk memudahkan sari kedelai melekat satu sama lain, jika telah menggumpal pemberian whey dihentikan. Gumpalan tahu dituangkan di dalam cetakan kayu yang telah dialasi kain disediakan baik ukuran besar maupun ukuran kecil sesuai dengan keinginan pengrajin. Gumpalan tahu yang sudah tertuang dalam cetakan kemudian segera ditutup dengan kain lalu dilakukan pengempresan. Pemotongan berdasarkan ukuran tahu yang dinginkan dilakukan setelah cetakan tahu dingin.
40
Limbah yang dihasilkan industri pengolahan tahu milik Pak Hto terdiri dari tiga macam. Pertama adalah limbah cair, limbah cair dihasilkan dari proses pencucian dan perendaman. Kedua adalah limbah gas yang dihasilkan dari proses pemasakan tahu menggunakan kayu bakar. Ketiga adalah limbah ampas yang diperoleh dari hasil penyaringan pada bubur kedelai.
4.3 Karakteristik Responden Responden merupakan mayoritas penduduk asli di Kampung Cikaret. Responden lahir dan dibesarkan di Kampung Cikaret sehingga mengetahui kondisi Kampung Cikaret. Mayoritas responden adalah Suku Sunda, hanya tiga responden dari 66 responden yang merupakan Suku Jawa. Responden dominan menggunakan bahasa sehari-hari dengan Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia. Responden memiliki beragam mata pencaharian. Hal ini disebabkan beragamnya tingkat pendidikan yang dimiliki responden. Keberagaman tingkat pendidikan ini juga disebabkan tingkat kesadaran akan pendidikan yang berbedabeda. Keberagaman mata pencaharian dan tingkat pendidikan ini membuat pendapatan yang dimiliki oleh tiap rumahtangga responden berbeda-beda.
4.3.1 Mata Pencaharian Responden Masyarakat di Kampung Cikaret RW 01 memiliki mata pencaharian yang berbeda-beda. Gambar 5 menyajikan Persentase mata pencaharian responden di Kampung Cikaret RW 01.
Sumber: Hasil Olah Data, 2011 Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 5. Mata Pencaharian Utama Responden Kampung Cikaret, 2011
41
Berdasarkan Gambar 5 dijelaskan bahwa tertinggi pertama, sebanyak 19 rumahtangga dari 66 rumahtangga respoden atau sebanyak 29 persen memiliki mata pencaharian sebagai penjual atau membuka usaha warung. Tertinggi kedua sebanyak 10 dari 66 responden atau sebanyak 15 persen bermata pencaharian sebagai buruh pabrik. Keberagaman mata pencaharian yang dimiliki oleh responden sesuai dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya.
4.3.2 Tingkat Pendidikan Responden Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh responden berbeda-beda. Responden di Kampung Cikaret ada yang merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), maupun Perguruan tinggi. Responden di Kampung Cikaret lebih banyak merupakan lulusan Sekolah Dasar (SD). Pada Gambar 6 disajikan persentase tingkat pendidikan responden di Kampung Cikaret.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 6. Tingkat Pendidikan Responden Kampung Cikaret, 2011
Berdasarkan pada Tabel 6 sebagian besar responden yang merupakan masyarakat RW 01 Kampung Cikaret memiliki jenjang pendidikan tamatan Sekolah Dasar (SD). Tamatan Sekolah Dasar sebesar 42 persen atau sebanyak 28 rumahtangga. Kedua tertinggi adalah jenjang pendidikan tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA). Tamatan SMA sebesar 24 persen atau sebanyak 16
42
rumahtangga. Lalu diikuti dengan jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan jenjang pendidikan perguruan tinggi.
4.3.3 Kegiatan-Kegiatan Sosial Respoden Kampung Cikaret memiliki kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan bersama warganya berupa kegiatan kerja bakti, pengajian, arisan. Kegiatan pengajian biasanya empat kali dalam seminggu, sedangkan arisan hanya berlaku untuk para wanita dan dilakukan sebulan sekali. Kerja bakti yang diadakan di Kampung Cikaret tidak tentu, hal ini disebabkan kegiatan kerja bakti yang dilakukan biasanya bagaimana ketentuan dari pihak kelurahan. Biasanya kegiatan kerja bakti yang dilakukan adalah membersihkan selokan, membetulkan jalan, membersihkan sampah di sepanjang pinggir jalan. Kegiatan yang lebih menarik lagi adalah kegiatan “Ngaliweut” bersama. Ngaliweut adalah kegiatan makan bersama dimana nasi yang biasa dimakan dituangkan diatas daun pisang dan diberi beberapa lauk yang dicampurkan. Kegiatan ngaliweut di Kelurahan Cikaret ini dilakukan setiap satu tahun sekali pada Bulan Juli sebagai hari ulang tahun kelurahan dan menyambut HUT RI di Bulan Agustus, uniknya ngaliweut yang dilakukan sepanjang 2 km. Jarak panjang daun pisang untuk kegiatan ngaliweut sendiri dimulai dari Gang Kosasih Kelurahan Cikaret hingga berakhir pada lapangan cepot ujung Gang Kosasih. Warga yang tinggal di Kelurahan Cikaret, terutama warga Kampung Cikaret berkumpul dan melakukan kegiatan ngaliwet secara bersama-sama. Kegiatan ngaliweut tidak hanya diikuti oleh warga Kampung Cikaret saja, tetapi warga dari kampung lain yang masih satu kelurahan juga ikut serta.
4.4 Ikhtisar Karakteristik Responden Kampung Cikaret Karakteristik responden di Kampung Cikaret dengan jumlah total 66 rumahtangga sangat beragam. Karakteristik responden ini berdasarkan asal kependudukan responden, suku yang dimiliki responden, mata pencaharian responden, tingkat pendidikan yang ditempuh responden dan kegiatan-kegiatan sosial diikuti oleh responden. Pada Tabel 8 disajikan mengenai karakteristik responden di Kampung Cikaret.
43
Tabel 8. Ikhtisar Karakteristik Responden Kampung Cikaret Aspek Penelitian Asal Kependudukan Suku Mata Pencaharian Tingkat Pendidikan Kegiatan Sosial Responden
Kampung Cikaret Asli Sunda Beragam Sedang Pengajian, Arisan, Kerja bakti, Ngaliweut
Berdasarkan Tabel 8 responden merupakan penduduk asli dan mayoritas suku sunda. Mata pencaharian yang dimiliki beragam dan semua merupakan mata pencaharian pada non industri pengolahan tahu. Keberagaman mata pencaharian ini disebabkan tingkatan pendidikan yang dimiliki oleh responden pun berbedabeda. Tingkatan pendidikan responden termasuk kedalam kategori golongan sedang, karena masih ada sembilan responden yang merupakan lulusan perguruan tinggi. Kegiatan-kegiatan yang biasa diikuti oleh responden merupakan kegiatan yang sering diadakan di wilayahnya, baik tingkat kelurahan maupun tingkat kampung. Jenis kegiatan yang biasa responden ikuti yaitu: pengajian, arisan, kerja bakti, dan ngaliweut bersama setahun sekali. Wilayah Kampung Cikaret merupakan wilayah yang dikelilingi oleh dua buah sungai yaitu Sungai Cikaret dan Sungai Cimanglid. Kedua buah sungai ini melintasi wilayah RW 01, wilayah RW 01 merupakan wilayah tempat tinggal responden.
Responden
menyadari
kehadiran
industri
pengolahan
tahu
menghasilkan limbah yang setiap hari mencemari lingkungannya. Bau limbah yang menyengat dapat dirasakan oleh responden setiap hari terutama pada musim kemarau. Responden memiliki karakteristik yang sama dalam pemanfaatan sungai. Responden lebih banyak menggunakan sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya meskipun telah memiliki sumur. Kehadiran industri pengolahan tahu mengubah pola pemanfaatan pada sungai yang biasa dilakukan oleh responden, sehingga responden memiliki respon yang berbeda-beda mengenai dampak yang dirasakan atas hadirnya industri pengolahan tahu berdasarkan lapisan atau struktur pendapatan rumahtangganya.
44
BAB V RESPON MASYARAKAT LOKAL ATAS DAMPAK SOSIO-EKONOMI HADIRNYA INDUSTRI PENGOLAHAN TAHU
5.1
Pendahuluan Dampak Sosio-Ekonomi Agroindustri merupakan industri pedesaan yang mengolah hasil pertanian
baik skala besar maupun skala kecil. Pengembangan agroindustri sebagai industri pedesaan yang mengolah hasil pertanian perlu diarahkan ke wilayah pedesaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa sangat banyak jenis industri pedesaan yang mengolah hasil-hasil pertanian di pedesaan. Soekartawi (2005) menyatakan bahwa peran agroindustri adalah sebagai suatu pembangunan pertanian yang dapat dilihat dari kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja, peningkatan devisa, pendorong tumbuhnya industri lain. Pemerintah pun dalam melaksanakan tugasnya, membangun kebijakan strategi pertanian baru yaitu agroindustri yang berfungsi meyatukan antara pembangunan industri dan pertanian. Kampung Cikaret yang berada di Kelurahan Cikaret adalah salah satu wilayah yang memiliki agroindustri. Agroindustri yang terdapat di Kelurahan Cikaret yaitu industri pengolahan tahu yang berbahan baku utama dari kedelai hasil produk pertanian indonesia. Industri pengolahan tahu ini merupakan salah satu agroindustri dengan skala kecil yang memiliki pengrajin tahu dari berbagai daerah. Penelitian yang diukur adalah pada respon masyarakat lokal mengenai kehadiran industri pengolahan tahu berdasarkan tingkat lapisan atau struktur pendapatan rumahtangga responden yang berbeda-beda. Respon masyarakat lokal terhadap dampak sosio-ekonomi dilihat dari pendapat responden sebagai masyarakat lokal di Kampung Cikaet, mengenai tingkat kesempatan bekerja yang diberikan industri pengolahan tahu bagi masyarakat lokal. Pendapat mengenai tingkat persaingan antara masyarakat lokal dan pendatang untuk bekerja pada industri pengolahan tahu dapat dilihat dari hubungan sosial masyarakat lokal dengan pendatang di industri pengolahan tahu serta hubungan sosial masyarakat lokal dengan masyarakat lokal sebelum dan sesudah hadirnya industri pengolahan tahu.
45
5.2
Struktur Pendapatan Rumahtangga Responden dalam penelitian ini adalah rumahtangga yang terdiri dari isteri,
suami dan anak. Pendapatan rumahtangga yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan jumlah total dari pendapatan isteri, suami dan anak yang dihitung per tahun. Pendapatan diperoleh dari masing-masing mata pencaharian tetap yang dimiliki oleh suami, isteri dan anak. Pendapatan rata-rata per tahun dari hasil akumulasi total pendapatan rumahtangga seluruh responden diperoleh pendapatan rata-rata per tahun sebesar Rp. 19.112.818,00 Jika dilihat dari persentase pada Tabel 9 rata-rata pendapatan suami per tahun sebagai kepala rumahtangga sebesar Rp. 14.235.848,00 atau menyumbang 74 persen dari total pendapatan rumahtangga. Pendapatan suami, atau lebih besar bila dibandingkan dengan ratarata pendapatan isteri Rp. 3.199.697,00 yang hanya menyumbang sebesar 17 persen dari total pendapatan rumahtangga. Suami sebagai kepala rumahtangga mendominasi perannya dalam mencari nafkah, bila dibandingkan dengan isteri, sehingga menyebabkan rata-rata pendapatan per tahun yang diperoleh suami lebih besar dibandingkan isteri. Pada rumahtangga responden, peran anak dalam kontribusinya membantu pendapatan rumahtangga masih dikatakan belum maksimal. Rata-rata pendapatan seorang anak per tahun hanya sebesar sembilan persen atau masih lebih sedikit dibandingkan dengan pendapatan seorang istri. Hal ini disebabkan rata-rata rumahtangga responden memiliki anak yang masih berstatus sekolah sehingga sedikit sekali ditemukan anak yang berkontribusi dalam membantu pendapatan rumahtangga. Pada Tabel 9 disajikan pendapatan rata-rata per tahun berdasarkan status dalam rumahtangga.
Tabel 9. Kontribusi Pendapatan Rumahtangga Berdasarkan Status dalam Rumahtangga (Rp/Tahun) Status Dalam Rumahtangga Suami Istri Anak Jumlah
Rumahtangga Responden Kampung Cikaret Pendapatan (Rp/Tahun)
Persentase (%)
14.235.848 3.199.697 1.677.273 19.112.818
74.00 17.00 9.00 100.00
Keterangan: Standar deviasi=16495915,01
46
Berdasarkan angka Tabel 9 terlihat kontribusi pendapatan anggota rumahtangga berdasarkan status dalam rumahtangga. Rumahtangga yang terdiri dari suami, istri dan anak memiliki peran masing-masing dalam kontribusinya terhadap pendapatan rumahtangga. Pada Tabel 9 dapat dilihat status suami atau sebagai ayah dalam rumahtangga memiliki pendapatan rata-rata per tahun sebesar Rp. 14.235.848,00 atau sebesar 74 persen. Peran istri dalam kontribusi pendapatan rumahtangga rata-rata per tahun hanya sebesar Rp.3.199.697,00 atau sebesar 17 persen. Peran anak dalam kontribusi pendapatan rumahtangga rata-rata per tahun lebih sedikit dibandingkan suami dan istri hanya sebesar Rp. 1.677.273,00 atau sebesar sembilan persen. Diasumsikan bahwa tingkat pendapatan rata-rata rumahtangga di lokasi studi, menyebar normal secara statistik. Oleh karena itu, maka struktur pendapatan rumahtangga pada Tabel 9 dapat digolongkan menjadi tiga kategori menggunakan rumus perhitungan sebaran normal sebagai berikut: Rumahtangga Lapisan Bawah = x ≤ - ½ Standar Deviasi Rumahtangga Lapisan Atas = x ≥ + ½ Standar Deviasi Rumahtangga Lapisan Menengah = -½ Standar Deviasi ≤ x ≤ Standar Deviasi Standar Deviasi = 16495915
+½
Hasil rumus perhitungan sebaran normal diperoleh kategori struktur pendapatan rumahtangga lapisan bawah, lapisan menengah dan lapisan atas. Struktur pendapatan lapisan bawah apabila pendapatan yang diperoleh lebih kecil dari Rp 10.864.860,00. Struktur pendapatan lapisan menengah apabila pendapatan yang diperoleh antara Rp 10.864.860,00 hingga lebih kecil dari Rp 27.360.775,00 sedangkan struktur pendapatan lapisan atas apabila pendapatan yang diperoleh lebih besar atau sama dengan Rp.27.360.775,00. Struktur pendapatan ini diperoleh dengan menggunakan rumus sebaran normal pada rataan pendapatan, yang diperoleh berdasarkan jumlah penghasilan dari aktivitas pekerjaan responden yang dilakukan dalam kurun waktu satu tahun. Perhitungan pendapatan rata-rata per tahun rumahtangga ini untuk memperoleh rata-rata tingkat pendapatan rumahtangga masyarakat lokal. Jika pendapatan masyarakat sudah diketahui per golongannya maka akan lebih mudah dalam membuat pelapisan sosial. Pelapisan sosial ini berguna agar setiap jawaban
47
tentang
dampak
sosio-ekonomi
dan
sosio-ekologi
dari
masing-masing
rumahtangga responden dapat dengan mudah dibedakan menurut mewakili lapisan bawah, lapisan menengah maupun lapisan atas. Pada Gambar 7 menggambarkan hasil perhitungan pendapatan yang disajikan dalam bentuk diagram tingkat lapisan pendapatan rumahtangga responden.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 7. Tingkat Lapisan Pendapatan Rumahtangga Responden, Kampung Cikaret 2011
Gambar 7 menjelaskan tingkat lapisan pendapatan rumahtangga responden sebagai masyarakat lokal di Kampung Cikaret. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa mayoritas penduduk di Kampung Cikaret berada pada tingkat pendapatan rendah dengan persentase sebesar 41 persen atau sebanyak 27 rumahtangga. Pada tingkat pendapatan sedang sebesar 38 persen atau sebanyak 25 rumahtangga, sisanya adalah tingkat pendapatan tinggi sebesar 21 persen atau sebanyak 14 rumahtangga. Pada penelitian ini dibuat pelapisan sosial yang dibagi menjadi tiga kategori lapisan sosial yaitu lapisan sosial atas, lapisan sosial menengah, dan lapisan sosial bawah. Pelapisan sosial ini dibuat untuk kepentingan analisis berbasiskan tingkat pendapatan rumahtangga. Penggolongan lapisan atas pada masyarakat Kampung Cikaret berdasarkan pada masyarakat yang menduduki struktur pendapatan tinggi. Penggolongan lapisan menengah berdasarkan pada masyarakat yang menduduki
48
struktur pendapatan rata-rata, sedangkan penggolongan lapisan sosial bawah berdasarkan pada struktur pendapatan rendah. Industri pengolahan tahu tidak mengubah sumber pendapatan masyarakat lokal. Pengrajin tahu di industri pengolahan tahu telah membawa pekerja masingmasing sehingga kurang membutuhkan sumberdaya manusia dari masyarakat lokal. Masyarakat lokal juga telah memiliki sumber pendapatan yang tetap dari pekerjaannya. Masyarakat lokal telah memiliki sumber pendapatan tetap baik sebelum dan sesudah adanya industri pengolahan tahu. Pada tingkat pendapatan rendah, sebanyak lima rumahtangga bekerja sebagai buruh pabrik, dua rumahtangga bekerja di industri pengolahan tahu, sepuluh rumahtangga sebagai penjual, tiga rumahtangga sebagai supir, dua rumahtangga bekerja sebagai guru honor dan sisanya lima rumahtangga bekerja di swasta. Pada tingkat pendapatan sedang, sebanyak empat rumahtangga pendapatan yang diperoleh dari pensiunan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), tujuh rumahtangga masih aktif bekerja sebagai PNS, empat rumahtangga bekerja sebagai karyawan swasta, dua rumahtangga usaha warung, sisanya delapan rumahtangga bekerja sebagai penjual, supir dan jasa. Pada lapisan atas sebanyak tiga rumahtangga adalah pensiunan PNS, dua rumahtangga adalah pegawai swasta, empat rumahtangga usaha warung, sisanya lima rumahtangga penjual, supir dan jasa. Pada Tabel 10 responden yang bekerja di industri pengolahan tahu hanya dua rumahtangga pada lapisan bawah selebihnya responden bekerja di non industri pengolahan tahu. Responden dominan telah memiliki pendapatan dari pekerjaannya di non industri pengolahan tahu. Industri pengolahan tahu di Kampung Cikaretpun kurang memberikan kesempatan bekerja bagi masyarakat lokal, sehingga dapat dinyatakan bahwa industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret hanya sedikit yang mempengaruhi pendapatan masyarakat sekitar. Berikut pada Tabel 10 disajikan data mengenai jenis-jenis pekerjaan pada setiap lapisan rumahtangga responden, baik pada lapisan atas, lapisan menengah maupun lapisan bawah.
49
Tabel 10. Jenis Pekerjaan Pada Setiap Lapisan Rumahtangga Responden JENIS PEKERJAAN PADA SETIAP LAPISAN RUMAHTANGGA RESPONDEN ∑ Lapisan
Buruh Non Industri
Pekerja Industri Tahu
Penjual
Supir
Guru Honor
Swasta
PNS
Jasa
Pensiuanan PNS
Usaha Warung
Bawah
5
2
10
3
2
5
0
0
0
0
27
Menengah
0
0
4
2
0
4
7
2
4
2
25
Atas
0
0
3
1
0
2
0
1
3
4
14
rumahtangga
JUMLAH TOTAL RUMAHTANGGA RESPONDEN
66
49
50
Berdasarkan Tabel 10 hanya dua rumahtangga yang bekerja pada industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret. Berdasarkan wawancara dengan responden di Kampung Cikaret, hanya satu responden yang mengakui bahwa sumber pendapatan rumahtangganya pernah meningkat atas hadirnya industri pengolahan tahu. Responden menyatakan bahwa sebelum adanya industri pengolahan tahu sumber pendapatannya dari menambang pasir. Setelah hadirnya industri pengolahan tahu, sumber pendapatannya pernah meningkat karena pengrajin tahu mempekerjakannya sebagai pencari kayu bakar. Sumber pendapatannya dari mencari kayu bakar tidak bertahan lama, karena para pengrajin tahu membutuhkan kayu dalam jumlah banyak dan responden tidak dapat menyanggupinya.
5.3
Persaingan Kesempatan Kerja
5.3.1 Respon Masyarakat Lokal terhadap Pendatang di Wilayahnya Wilayah Kampung Cikaret pada awalnya merupakan wilayah yang belum padat penduduknya. Sejalan dengan perkembangan waktu, industri pengolahan tahu yang di Kampung Cikaret membawa sejumlah pendatang sebagai pengrajin di industri pengolahan tahu. Pada Gambar 8 disajikan persentase respon atau sikap responden berdasarkan lapisan sosial ekonomi (lapisan menurut tingkat pendapatan rumahtangga), mengenai pendatang di industri pengolahan tahu di wilayah Kampung Cikaret.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 8. Sikap Responden Mengenai Pendatang atas Hadirnya Industri Pengolahan Tahu
51
Berdasarkan Gambar 8 lapisan bawah sebesar 85 persen atau sebanyak 23 rumahtangga cenderung lebih banyak berpendapat bahwa industri pengolahan tahu menyebabkan banyak pendatang di wilayah mereka. Responden pada lapisan atas sebesar 50 persen atau sebanyak tujuh rumahtangga cenderung berpendapat menolak jika yang menyebabkan banyak pendatang di wilayahnya adalah industri pengolahan tahu. Perbedaan pada lapisan bawah dan lapisan atas ini disebabkan pada responden lapisan bawah mereka pernah berinteraksi dengan industri pengolahan tahu dan ada juga yang bekerja disana, sehingga mengetahui berapa jumlah pengrajin yang membawa keluarganya ke wilayah Kampung Cikaret. Hal ini diungkapkan Bapak Awh sebagai informan di Kampung Cikaret: “Pengrajin di Industri pengolahan tahu punya Pak Hto banyaknya dari daerah lain seperti Garut dan Tasikmalaya. Saya pernah kenal mereka waktu dulu saya dan mereka mengadakan kegiatan voli bersama jadi saya tahu sepintas saja. Jumlah mereka juga lumayan banyak ya, malah ada yang membawa keluarganya segala” (Bapak Awh, 32 tahun, wakil ketua pemuda). Pada lapisan atas sebesar 50 persen responden berpendapat tidak mengetahui daerah asal para pengrajin tahu. Menurut responden pada lapisan atas pendatang yang masuk ke wilayahnya lebih banyak dari orang-orang yang datang secara musiman dan mengontrak wilayah Kampung Cikaret. Lapisan atas tidak mengetahui bahwa di sekitar wilayah industri pengolahan tahu para pengrajin yang datang juga mengontrak. Ketidaktahuan pada lapisan atas ini juga disebabkan responden pada lapisan atas jarang berinteraksi dengan industri pengolahan tahu di wilayahnya. Responden hanya tahu siapa pemilik industri pengolahannya tetapi tidak mengetahui siapa saja pengrajin tahunya. Oleh karena itu, maka semakin atas lapisan sosial masyarakat Kampung Cikaret, semakin tinggi proporsi yang menyatakan bahwa industri pengolahan tahu tidak menyebabkan pendatang di wilayahnya. Pak Hto selaku pelaku agroindustri mengatakan bahwa pengrajin yang memasuki industri pengolahan tahunya adalah orang-orang yang berasal dari wilayah lain dan mengontrak dibelakang industri pengolahan tahu miliknya. Kontrakan tersebut memang sengaja dibuat oleh Pak Hto demi kelancaran industri pengolahan tahunya dan sebagai fasilitas bagi
52
pengrajin tahu yang ingin menekuni bidang pengolahan tahu. Hal ini diungkapkan oleh Pak Hto sebagai pemilik industri pengolahan tahu yang berada di Kampung Cikaret: “Para pengrajin di industri tahu punya saya banyaknya dari Garut, Tasikmalaya, Jawa, kebanyakan mereka memang menetap disini. Saya sengaja membuat kontrakan-kontrakan di belakang industri untuk tempat tinggal mereka secara gratis” (Bapak Pak Hto, 54 tahun, pemilik industri pengolahan tahu). Pengrajin tahu di industri pengolahan tahu milik Pak Hto sudah lama menetap di wilayah Kampung Cikaret. Pengrajin yang paling lama menetap sudah lebih dari sepuluh tahun. Para pengrajin yang menyatakan bahwa dirinya merupakan pengrajin baru yang baru bekerja disana, mereka mengakui baru bergabung selama delapan tahun dengan industri pengolahan tahu milik Pak Hto. Mereka yang telah berkeluarga membawa serta keluarganya untuk tinggal di kontrakan yang telah disediakan oleh Pak Hto.
5.3.2 Kesempatan Kerja Industri Pengolahan Tahu Kesempatan bekerja yang ditawarkan industri pengolahan tahu membawa sejumlah pendapat yang berbeda-beda dari setiap lapisan. Pada Gambar 9 disajikan persentase
pendapat
responden terhadap kesempatan bekerja yang
ditawarkan oleh industri pengolahan tahu pada masyarakat lokal.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 9. Pendapat Responden Mengenai Kesempatan Kerja bagi Masyarakat Lokal di Industri Pengolahan Tahu
53
Industri pengolahan tahu milik Pak Hto memang membuka kesempatan bekerja bagi siapapun, hal ini dibuktikan dengan adanya pengrajin tahu yang bekerja dari luar daerah Kampung Cikaret. Hanya saja kesempatan bekerja yang diberikan industri pengolahan tahu Pak Hto pada masyarakat lokal dirasa kurang. Berdasarkan Gambar 9 dominan responden berpendapat bahwa industri pengolahan tahu tidak memberikan kesempatan bekerja pada masyarakat lokal. Responden pada lapisan bawah ada yang menjawab bahwa industri pengolahan tahu membuka kesempatan bekerja sebesar 18 persen atau sebanyak lima rumahtangga. Responden yang berpendapat bahwa industri pengolahan tahu membuka kesempatan bekerja untuk masyarakat lokal adalah responden yang pernah melamar ke industri pengolahan tahu milik Pak Hto dan mengenali tetangga atau kelurga yang bekerja di industri pengolahan tahu. Hal ini diungkapkan oleh salah satu responden yang anggota keluarganya bekerja pada industri pengolahan tahu: “Anak saya dulu coba-coba melamar ke industri pengolahan tahu milik Pak Hto, allhamdulilah diterima bekerja di industri pengolahan tahu milik anaknya Pak Hto. Anak saya sekarang bekerja di bagian pengemasan tahu bulatnya” (Bapak Nim, 56 tahun, penjual tempe). Sebagian besar responden berpendapat tidak ada kesempatan bekerja di industri pengolahan tahu untuk masyarakat lokal. Hal ini disebabkan responden tidak mengenali siapa saja yang bekerja di industri pengolahan tahu dikalangan masyarakat sekitarnya dan responden belum pernah melamar bekerja di industri pengolahan tahu. Responden yang tidak pernah melamar pekerjaan pada industri pengolahan tahu disebabkan telah memiliki pekerjaan yang tetap sebelum adanya industri pengolahan tahu. Menurut responden yang menjawab tidak ada kesempatan bekerja di industri pengolahan tahu milik Pak Hto untuk masyarakat lokal salah satunya dikarenakan responden hanya mengetahui bahwa industri pengolahan tahu tersebut kebanyakan pekerjanya adalah dari luar daerah mereka. Berikut penuturan Bapak Awh sebagai informan di Kampung Cikaret: “Wah….yang saya ketahui kebanyakan yang bekerja di industri pengolahan tahu milik Pak Hto itu orang-orang pendatang semua. Orang-orang sini sendiri bekerjanya macam-macam dan sepertinya
54
tidak tertarik untuk bekerja menjadi pengrajin tahu” (Bapak Awh, 45 tahun, wakil ketua pemuda). Mengenai kesempatan bekerja yang diberikan industri pengolahan tahu terhadap masyarakat sekitar dibenarkan oleh Pak Hto. Beliau mengungkapkan bahwa industri pengolahan tahu yang dimilikinya sebenarnya berawal dari niatnya ingin membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat di wilayah Kampung Cikaret. Tetapi niat tersebut tidak tercapai karena masyarakat di sekitarnya lebih tertarik bekerja di kantoran meskipun hanya sebagai office boy dibandingkan berkecimpung mengolah tahu dan menjadi seorang pengrajin tahu. Pak Hto membuka kesempatan bekerja bagi siapa saja yang memang melamar pekerjaan pada dirinya dan benar-benar memiliki niat menjadi pengrajin tahu. Sehingga bagi mereka yang belum pernah mencoba melamar pekerjaan ke industri pengolahan tahu miliknya maka akan memiliki pendapat bahwa industri pengolahan tahu milik Pak Hto tidak membuka kesempatan bekerja. Kesempatan kerja yang diberikan industri pengolahan tahu milik Pak Hto terhadap masyarakat lokal hanya sebagian kecil saja. Hal ini diperkuat dengan melihat Gambar 10 yang menjelaskan dari sekian banyak responden hanya sebesar tujuh persen atau sebanyak dua rumahtangga yang menyatakan salah satu anggota keluarganya bekerja pada industri pengolahan tahu milik Pak Hto. Pada Gambar 10 disajikan persentase rumahtangga responden yang bekerja di industri pengolahan tahu.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 10. Persentase Rumahtangga Responden yang Bekerja di Industri Pengolahan Tahu
55
Berdasarkan Gambar 10 responden yang menyatakan tidak ada anggota rumahtangganya yang bekerja di industri pengolahan tahu hanya ada pada lapisan bawah saja. Sisanya 93 persen atau sebanyak 20 rumahtangga pada lapisan bawah dan sebesar 100 persen pada lapisan menengah dan lapisan atas menyatakan bahwa anggota keluarganya tidak ada yang bekerja pada industri pengolahan tahu milik Pak Hto. Responden yang menyatakan tidak adanya anggota rumahtangga yang bekerja di industri pengolahan tahu milik Pak Hto karena responden dan anggota rumahtangganya sudah memiliki pekerjaan tetap sebelum adanya industri pengolahan tahu milik Pak Hto. Seperti pada lapisan atas sebagian merupakan rumahtangga yang anggota rumahtangganya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sehingga tidak tertarik untuk berkecimpung di industri pengolahan tahu. Salah seorang responden pada lapisan bawah yang menyatakan anggota rumahtangganya bekerja pada industri pengolahan tahu milik Pak Hto mengakui bahwa awalnya mereka hanya mencoba-coba untuk bekerja di industri pengolahan tahu milik Pak Hto dan mereka diterima bekerja. Berikut penuturan salah satu responden lapisan bawah yang bekerja pada industri pengolahan tahu milik Pak Hto: “Saya waktu itu mencoba melamar ke industri pengolahan tahu, eh…diterima sebagai pekerja di bagian pengemasan tahu bulat. Lumayan bisa bantu-bantu bapak juga, kan bapak hanya bekerja sebagai tukang jualan tempe” (Mbak Nni, 21 tahun, pekerja tahu bulat di industri pengolahan tahu milik Pak Hto). Industri pengolahan tahu milik Pak Hto memperbolehkan bagi siapa saja yang ingin mencoba berkecimpung di pengolahan tahu. Pak Hto tidak menutup kemungkinan bagi siapa saja yang ingin melamar pekerjaan pada industrinya. Pada proses perekrutan pengrajin tahu, Pak Hto tidak membuka lowongan pekerjaan secara terbuka sehingga masyarakat memiliki pendapat bahwa industri pengolahan tahu miliknya hanya merekrut orang-orang dari luar wilayahnya. Pendapat Pak Hto mengenai lowongan pekerjaan terhadap masyarakat lokal, Pak Hto menuturkan siapa saja yang mencoba melamar bekerja di industri pengolahan tahu miliknya, maka akan diterima secara terbuka. Kenyataannya pada saat industri pengolahan tahunya berdiri di Kampung Cikaret, masyarakat lokal di
56
sekitar industri pengoalahan tahu miliknya telah memiliki pekerjaan tetap. Selain memiliki pekerjaan tetap, tidak ada minat dari masyarakat untuk bekerja pada industri pengolahan tahu milik Pak Hto. Industri pengolahan tahu milik Pak Hto yang merupakan salah satu agroindustri pada skala kecil tetapi tidak begitu banyak berperan dalam penyerapan tenaga kerja di wilayahnya, khususnya Kampung Cikaret. Peranan agroindustri sebagai penyerapan tenaga kerja akan berjalan jika diseimbangi dengan minat dan ketertarikan masyarakat lokal terhadap agroindustri.
5.3.3 Persaingan Bekerja di Industri Pengolahan Tahu Adanya pendatang sebagai pengrajin dan pekerja di industri pengolahan tahu, akan membuat suatu persaingan dengan masyarakat lokal yang tertarik untuk bekerja di industri pengolahan tahu. Pada kenyataannya persaingan untuk bekerja di industri pengolahan tahu milik Pak Hto hampir tidak ada. Pada Gambar 11 disajikan pendapat
responden mengenai ada tidaknya persaingan dengan
pendatang untuk bekerja di industri pengolahan tahu.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 11. Pendapat Responden Mengenai Ada atau Tidaknya Persaingan dengan Pendatang untuk Bekerja di Industri Pengolahan Tahu Berdasarkan Gambar 11 Sebagian besar responden lebih banyak menjawab tidak ada persaingan, hal ini disebabkan responden cenderung tidak tertarik untuk bekerja di industri pengolahan tahu dan telah memiliki pekerjaan tetap.
57
Responden yang telah memiliki pekerjaan tetap tidak akan merasa adanya persaingan dengan pendatang di industri pengolahan tahu milik Pak Hto. Pada lapisan bawah hanya terdapat empat persen atau sebanyak satu rumahtangga yang berpendapat ada persaingan dengan pendatang untuk bekerja di industri pengolahan tahu. Pada responden lapisan menengah dan lapisan atas 100 persen berpendapat tidak ada persaingan dengan pendatang untuk bekerja pada industri pengolahan tahu. Pada lapisan menengah mereka telah memiliki pekerjaan tetap dan tidak begitu tertarik dengan kehadiran industri pengolahan tahu. Pada lapisan atas pun memiliki jawaban yang sama. Lapisan atas telah memiliki pekerjaan tetap sehingga dengan adanya industri pengolahan tahu tidak menarik perhatian untuk bekerja disana sehingga mereka berpendapat tidak ada persaingan. Pada lapisan bawah hanya empat persen saja atau hanya satu responden dari lapisan bawah yang berpendapat bahwa dirinya bersaing dengan pendatang di industri pengolahan tahu. Hal ini disebabkan karena responden tersebut sudah dua tahun bekerja pada industri pengolahan tahu dan mengenal banyak pendatang sehingga merasakan adanya persaingan. Berikut penuturan salah satu responden pada lapisan bawah yang bekerja di industri pengolahan tahu milik Pak Hto: “Dulu itu gaji saya seminggu 90 ribu, sekarang hanya 70 ribu. Semakin banyak pekerja yang datang, sehingga gaji saya dikurangi juga, selain itu dulu kan tahu bulat memang sedang terkenal, sekarang sih sudah tidak terkenal seperti dulu. Jadi gaji saya juga dikurangi” (Mbak Nni, 21 tahun, pekerja tahu bulat di industri Pak Hto). Persaingan untuk bekerja pada industri pengolahan tahu dapat saja terjadi antara responden sebagai penduduk asli dengan masyarakat lokal. Pada kenyataannya, tidak terdapat persaingan antara responden dan masyarakat lokal. Tidak adanya persaingan menurut responden disebabkan baik pada lapisan bawah, lapisan menengah maupun lapisan atas, masing-masing telah memiliki pekerjaan tetap dan tidak ada yang tertarik untuk bekerja di industri pengolahan tahu milik Pak Hto. Pada industri pengolahan tahu milik Pak Hto, pengrajin yang bekerja disana merupakan pendatang yang dibawa dari beberapa daerah, sedangkan masyarakat lokal di wilayah Kampung Cikaret hanya sedikit yang tertarik untuk menjadi pengrajin tahu.
58
“Selain saya ada kok, yang sama bekerja di bagian tahu bulatnya, kalau tidak salah ada 6 orang lagi dari Kampung Cikaret selain saya yang biasanya bantuin bikin tahunya dibentuk bulat-bulat dan dikemas” (Mbak Nni, 21 tahun, pekerja tahu bulat di industri Pak Hto). Pada dasarnya masyarakat lokal yang bekerja pada industri pengolahan tahu milik Pak Hto hanya sebagian kecil saja. Sebagian besar dari masyarakat lokal bekerja sebagai buruh, pegawai negeri, pegawai swasta, penjual, wiraswasta, supir dan lainnya, sehingga tidak terdapat persaingan untuk bekerja di industri pengolahan tahu antara responden dengan masyarakat lokal.
5.4
Hubungan Sosial Masyarakat
5.4.1 Hubungan Sosial Dengan Pendatang Adanya pendatang untuk bekerja di industri pengolahan tahu biasanya akan menyebabkan persaingan dan berdampak pada hubungan sosial antara pendatang dan masyarakat sekitar menjadi tidak baik. Kenyataannya, persentase pendapat responden mengenai persaingannya dengan pendatang menyatakan dominan tidak ada persaingan. Tidak ada persaingan maka hubungan sosial antara masyarakat lokal dengan pendatang atau hubungan sosial antar sesama masyarakat lokal yang berada di sekitar industri pengolahan tahu hubungan sosialnya baik-baik saja. Pada Gambar 12 disajikan persentase hubungan sosial responden dengan masyarakat lokal sebelum adanya industri pengolahan tahu.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 12. Hubungan Sosial Responden dengan Masyarakat Lokal Sebelum Hadirnya Industri Pengolahan Tahu
59
Berdasarkan Gambar 12 dan Gambar 13 hubungan sosial dengan masyarakat sebelum hadirnya industri pengolahan tahu dan setelah hadirnya industri pengolahan tahu dominan responden berpendapat cukup baik. Hanya empat persen atau hanya satu responden saja yang berpendapat hubungannya sangat baik dengan masyarakat lokal. Pada Gambar 13 disajikan persentase pendapat responden mengenai hubungan sosialnya dengan pendatang setelah hadirnya industri pengolahan tahu.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 13. Hubungan Sosial Responden dengan Masyarakat Lokal Sesudah Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Hubungan sosial yang baik dengan masyarakat dikarenakan sebagian besar dari mereka saling mengenal satu sama lain dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Kelurahan ataupun Kampung Cikaret. Setelah hadirnya industri pengolahan tahu pun ternyata hubungan sosial mereka tetap baik. Faktor ini dikarenakan masyarakat sudah memiliki pekerjaan yang tetap sebelum adanya industri pengolahan tahu, sehingga industri pengolahan tahu tidak menimbulkan persaingan yang berdampak pada hubungan sosial. Hubungan sosial responden juga dapat dilihat dari keaktifannya mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan bersama masyarakat seperti gotong royong, kerja bakti dan pengajian. Responden yang memang aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan bersama biasanya pada kegiatan pengajian yang selalu diadakan di RW 01. Hampir semua responden mengakui selalu mengikuti kegiatan pengajian yang diadakan di wilayahnya. Pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu diadakan setiap
60
malam jumat, hari senin, hari rabu, hari minggu. Hasil wawancara, responden mengungkapkan bahwa dalam seminggu dirinya dapat mengikuti kegiatan pengajian dua sampai empat kali. Kegiatan pengajian biasanya diadakan di mesjid yang berada di wilayah RT 07 RW 01 Kampung Cikaret. Sedangkan kegiatan arisan yang dilakukan di wilayah RW 01 Kampung Cikaret hanya setiap satu bulan sekali itupun hanya diikuti oleh sebagian kecil dari jumlah ibu-ibu di Kampung Cikaret yang aktif mengikuti. Hampir semua lapisan menyatakan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan bersama seperti gotong royong dan pengajian. Responden pada lapisan bawah lebih banyak menyatakan dirinya tidak aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan di RW atau Kelurahan. Pada lapisan bawah tidak memiliki banyak waktu, hari libur pun mereka tetap bekerja untuk mencari uang sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk aktif dalam setiap kegiatan yang diadakan di wilayahnya. Pada lapisan atas dan lapisan menengah mereka masih memiliki waktu luang untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu staf kelurahan yang menjadi informan dalam penelitian ini. Bapak Asp merupakan salah satu staf kelurahan yang sudah lama mengenali kondisi sosial ekonomi masyarakat Kampung Cikaret RW 01 di Kelurahan Cikaret: “Warga RW 01 jika diminta secara sukarela oleh kelurahan untuk kegiatan kerja bakti seperti pembersihan jalan, perbaikan jalan itu sangat sulit sekali, karena rata-rata mereka pada hari liburpun bekerja, seperti berjualan dan kebanyakan dari mereka adalah sebagai buruh pabrik” (Bapak Asp, 57 tahun, staf kelurahan). Selain itu penuturan yang sama juga diungkapkan oleh salah satu responden yang memang mengakui bahwa keluarganya tidak pernah aktif mengikuti kegiatan apapun yang diadakan masyarakat. Ketidakaktifan mengikuti kegiatan ini dikarenakan terhambat oleh kewajibannya bekerja menjadi pegawai di salah satu pusat perbelanjaan di Kota Bogor. Salah satu responden pada lapisan bawah mengungkapkan ketidakaktifannya dalam mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan di wilayahnya:
61
“Saya tidak aktif ikut pengajian atau kerja bakti karena saya kan bekerja di Robinson, jadi hari minggu juga tetap masuk kerja. Suami saya juga sama, dia juga kan penjaga toko di Mall BTM jadi tidak ada waktu untuk ikutan kegiatan-kegiatan seperti itu” (Ibu Ens, 37 tahun, penjaga toko). Kegiatan yang dilakukan bersama antara masyarakat lokal dengan pendatang di industri pengolahan tahu menurut responden belum ada. Tidak adanya kegiatan antara masyarakat lokal dengan pendatang disebabkan para pengrajin memiliki kesibukan yang berbeda-beda dalam memproduksi tahu setiap harinya, sehingga tidak memiliki waktu untuk mengadakan kegiatan bersama dengan masyarakat lokal. Selain itu, perbedaan RW juga menjadi kendala dalam mengadakan kegiatan antara masyarakat lokal dengan pengrajin tahu. Masyarakat dominan lebih suka mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan di wilayah RW dibandingkan mengikuti kegiatan-kegiatan di luar RW.
5.5 Ikhtisar Respon Masyarakat Lokal terhadap Dampak Sosio-Ekonomi atas Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Adanya industri pengolahan tahu yang membawa sejumlah pendatang untuk bekerja sebagai pengrajin tahu di wilayah Kampung Cikaret menghasilkan beberapa respon dari masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang menjadi responden memiliki respon yang berbeda-beda tentang dampak sosio-ekonomi atas hadirnya industri pengolahan tahu. Pendapat masyarakat lokal tentang dampak sosio-ekonomi atas hadirnya industri pengolahan tahu ini berdasarkan pada lapisan pendapatan rumahtangga. Struktur pendapatan yang diperoleh ada tiga kategori lapisan pendapatan, lapisan bawah, menengah dan atas. Pendapat masyarakat lokal yang dilihat pada penelitian ini mengenai pendapat dampak sosio-ekonomi atas hadirnya industri pengolahan tahu. Pertama dilihat dari sejumlah pendatang yang datang mencari kerja ke industri pengolahan tahu. Sejumlah pendatang ini kemudian membuat sebagian masyarakat berpendapat bahwa banyaknya pendatang yang datang ke wilayahnya disebabkan karena adanya industri pengolahan tahu. Respon masyarakat lokal berikutnya dalam penelitian ini adalah pendapat masyarakat lokal mengenai kesempatan bekerja yang diberikan industri pengolahan tahu pada
62
masyarakat lokal. Hasil menunjukan bahwa hanya 18 persen pada lapisan bawah dan 14 persen pada lapisan atas yang berpendapat bahwa industri pengolahan tahu memberikan kesempatan bekerja pada masyarakat lokal, selebihnya responden berpendapat bahwa tidak ada kesempatan bekerja yang diberikan industri pengolahan tahu pada masyarakat lokal. Pendapat masyarakat lokal mengenai tingkat persaingan antara masyarakat lokal dan pendatang yang mencari kerja di industri pengolahan tahu diungkapkan pada penelitian ini. Masyarakat lokal yang menjadi responden lebih dominan berpendapat bahwa adanya pendatang yang mencari kerja di industri pengolahan tahu tidak membuatnya merasa bersaing untuk bekerja di industri pengolahan tahu. Terdapat empat persen responden pada lapisan bawah yang merasa bersaing dengan pendatang di industri pengolahan tahu, hal ini disebabkan responden memang telah lama bekerja di industri pengolahan tahu sehingga mengalami persaingan. Persaingan antara masyarakat lokal semua responden berpendapat bahwa tidak ada persaingan. Pada penelitian ini selain tingkat kesempatan bekerja masyarakat lokal dan tingkat persaingan masyarakat lokal dengan pendatang di industri tahu, hubungan sosial masyarakat lokal dan pendatang pun menjadi salah satu hal yang ingin dilihat. Hubungan sosial antara pendatang yang mencari kerja di industri pengolahan tahu dengan masyarakat lokal disekitar industri pengolahan tahu semua berpendapat bahwa hubungan sosialnya tergolong baik. Hubungan sosial antara respoden dengan masyarakat lokal sebelum maupun sesudah adanya industri pengolahan tahu pun tergolong baik.
63
BAB VI RESPON MASYARAKAT LOKAL ATAS DAMPAK SOSIO-EKOLOGI HADIRNYA INDUSTRI PENGOLAHAN TAHU
6.1 Pendahuluan Dampak Sosio-Ekologi Kampung Cikaret memiliki dua buah sungai yang mengaliri kawasan RW 01 dan RW 04. Sungai Cimanglid merupakan sungai yang melintasi jalur RW 04/RT 05 Gang Pangumbahan sampai ke RW 01/RT03 Gang Madrasah. Sungai Cimanglid memiliki lebar ±2 meter. Pertemuan antara aliran Sungai Cimanglid dan aliran Sungai Cikaret berada pada perbatasan wilayah antara RT 07 dan RT 03 dan mengalir melintasi kawasan RT 06 di RW 01. Sungai Cikaret melintasi wilayah RW 01/RT07. Sungai Cikaret dan Sungai Cimanglid dimanfaatkan oleh warga di RW 01 sebagai sumber air bagi kebutuhan sehari-hari. Perkembangan waktu telah menyebabkan penduduk di RW 04 dan RW 01 bertambah banyak. RW 01 yang awalnya hanya memiliki sejumlah lima RT kini harus menambah jumlah menjadi tujuh RT karena padatnya penduduk. Selain itu wilayah RW 01 yang awalnya merupakan persawahan kini berubah menjadi kontrakan-kontrakan atau perumahan bagi penduduk musiman. Industri pengolahan tahu miliki Pak Hto yang berada di RW 04 menghasilkan limbah setiap harinya, baik limbah padat berupa ampas tahu dan limbah cair berupa air hasil pencucian kacang kedelai dan air hasil saringan bubur kedelai. Selain limbah tahu, industri pengolahan tahu milik Pak Hto juga membuang kotoran kambing dan darah hasil pemotongan kambing dari peternakannya setiap harinya. Sebelum memiliki septitank, limbah cair yang dihasilkan oleh industri pengolahan tahu dan kotoran kambing dari peternakan miliknya tidak ditampung dulu melainkan langsung dibuang di kali samping yang berada tepat disamping industri pengolahan tahu miliknya. Kali yang berada disamping industri pengolahan tahu tersebut mengalir menuju Sungai Cimanglid, sehingga Sungai Cimanglid yang terkenal jernih dan masih dimanfaatkan warga di RW 01 kini tidak dapat lagi digunakan.
64
6.2 Tingkat Pencemaran Sungai 6.2.1 Kondisi Air Sungai Mayoritas penduduk yang bertempat tinggal di RT 03, RT 07 dan RT 06 di RW 01 Kampung Cikaret, memiliki tempat tinggal yang berada di pinggiran sungai yang mengaliri kawasannya. Sungai yang mengalir disekitar tempat tinggal masyarakat lokal di dalam alirannya mengalir limbah industri pengolahan tahu yang berada di Kampung Cikaret. Kehadiran industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret tersebut sedikit banyak memberikan dampak sosio-ekologis bagi masyarakat lokal. Penduduk di RW 01 Kampung Cikaret sebagian besar menggunakan sungai sebagai sumber air bagi kebutuhannya. Meskipun penduduk memiliki sumur di rumahnya namun mereka tetap menggunakan sungai sebagai salah satu sumber air bagi kebutuhannya, tetapi hadirnya industri pengolahan tahu membuat air sungai di wilayah Kampung Cikaret tercemar. Tercemarnya sungai di wilayah Kampung Cikaret membuat masyarakat lokal kembali menggunakan sumur. Sungai Cimanglid maupun Sungai Cikaret mengalami perubahan kondisi air hal ini dapat dilihat pada Gambar 14 disajikan persentase pendapat responden mengenai kondisi air sungai sebelum dan sesudah hadirnya industri pengolahan tahu di wilayahnya.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 14. Pendapat Responden Mengenai Kondisi Sungai Sebelum Hadirnya Industri Pengolahan Tahu
65
Berdasarkan Gambar 14 responden pada lapisan bawah sebesar 81 persen berpendapat kondisi sungai sebelum hadirnya industri tahu airnya jernih. Lapisan menengah sebesar 96 persen juga berpendapat bahwa air sungai di wilayahnya kondisinya jernih juga lapisan atas sebesar 71 persen berpendapat hal yang sama. Terdapat responden yang berpendapat bahwa kondisi sungai sebelum hadirnya industri pengolahan tahu airnya sangat jernih. Pada lapisan bawah sebesar 19 persen berpendapat airnya sangat jernih, lapisan menengah sebesar empat persen berpendapat air sungai sangat jernih dan sebesar 29 persen dari lapisan atas berpendapat air sungai sangat jernih. Sebanyak 66 responden tidak ada yang berpendapat kondisi sungai kurang jernih dan tidak jernih sebelum hadirnya industri pengolahan tahu. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa dulu sebelum adanya industri pengolahan tahu kualitas air sungai sangat baik. Pada Gambar 15 disajikan persentase pendapat responden mengenai kondisi sungai setelah hadirnya industri pengolahan tahu.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 15. Pendapat Responden Mengenai Kondisi Sungai Setelah Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Berdasarkan Gambar 15 Sebagian besar responden pada lapisan atas, lapisan menengah maupun lapisan bawah responden menyatakan bahwa sebelum hadirnya industri pengolahan tahu kondisi air sungai di wilayah mereka tergolong jernih. Sebaliknya sebagian besar responden pada lapisan atas, lapisan menengah maupun lapisan bawah, responden menyatakan bahwa setelah hadirnya industri
66
pengolahan tahu di Kampung Cikaret kualitas air sungai di wilayahnya tidak jernih akibat limbah tahu. Pendapat responden yang tergolong hampir sama disebabkan responden merupakan penduduk asli yang bertempat tinggal disepanjang pinggiran sungai. Sehingga responden mengetahui secara persis kondisi air sungai di wilayahnya baik sebelum ataupun sesudah hadirnya industri pengolahan tahu. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Eks, salah satu respoonden yang rumahnya berada tepat di aliran pertemuan antara Sungai Cimanglid dan Sungai Cikaret: “Dulu sungai jernih airnya, diminum langsung saja bisa, tapi sekarang tidak bisa lagi, sudah banyak limbah rumahtangga. Selain itu sekarang ada industri pengolahan tahu yang limbahnya dibuang ke sungai jadi air sungai tuh suka ada putih-putih semacam lumut yang menempel di batu biasanya kelihatan saat kemarau” (Bapak Eks, 62 tahun, responden RT 06). Pencemaran sungai di wilayah Kampung Cikaret menyebabkan pola pemanfaatan sungai yang biasanya dilakukan warga di RW 01 Kampung Cikaret mengalami perubahan. Sebagian warga kembali menggunakan sumurnya dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari, ada juga yang beralih menggunakan mata air yang berada di atas gundukan tanah bukit tepi sungai. Penduduk yang menggunakan mata air pun tidak berani untuk langsung turun ke sungai dan mengambil mata air. Kondisi air sungai yang tidak jernih lagi menyebabkan gatalgatal bagi siapa saja yang turun ke sungai. Pencemaran sungai akibat limbah tahu ini menyebabkan terganggunya masyarakat lokal dalam memanfaatkan sungai untuk kebutuhan airnya, selain itu masyarakat menyatakan bahwa air sungai yang dulu dipenuhi dengan ikan, kini ikan-ikan tersebut mati akibat limbah tahu yang mengalir. Terganggunya masyarakat lokal dengan kondisi tersebut menyebabkan terjadinya teguran dari masyarakat untuk pihak pengelola industri pengolahan tahu. Dampak sosial yang terjadi atas penurunan kualitas air sungai selain terjadinya teguran dari masyarakat lokal untuk pihak industri pengolahan tahu dan terdapat
perbedaan penggunaan sumber
air
berdasarkan lapisan
sosial
rumahtangga. Masyarakat yang dominan awalnya menggunakan sungai sebagai kebutuhan sumber air kini beralih menggunakan sumur kembali, membeli pipa-
67
pipa untuk menyambungkan mata air dan menggunakan PAM. Pada masyarakat lokal lapisan menengah yang biasanya menggunakan sungai kini sebagian besar membeli pipa-pipa untuk disambungkan ke mata air di atas gundukan tanah tepian sungai agar pipa tersebut mencapai ke dalam rumahnya. Pipa-pipa yang tersambung dengan mata air inilah yang akan mengaliri air ke dalam rumah mereka sehingga mata air di tepian sungai masih dapat dimanfaatkan meskipun kondisi air sungai sudah kotor. Pada lapisan bawah yang sebagian besar kembali menggunakan sumurnya daripada harus membeli pipa-pipa untuk disambungkan ke mata air. Berbeda dengan Lapisan menengah dan lapisan bawah, pada lapisan atas sebagian besar lebih memilih menggunakan PAM daripada harus kembali menggunakan sumur. Kehadiran industri pengolahan tahu berdampak buruk bagi kondisi air sungai yang menyebabkan perubahan pola pemanfaatan air sungai oleh masyarakat lokal. Gambar 16 disajikan persentase pendapat responden mengenai pola pemanfaatan air sungai sebelum dan sesudah adanya industri pengolahan tahu di wilayahnya.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 16. Pendapat Responden Mengenai Pemanfaatan Sungai Sebelum Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Berdasarkan Gambar 16 responden pada lapisan bawah sebesar 85 persen berpendapat bahwa air sungai di wilayahnya sebelum hadirnya industri pengolahan tahu dapat dimanfaatkan. Pada lapisan menengah sebesar 96 persen berpendapat dapat dimanfaatkan, dan sebesar 86 persen juga berpendapat hal yang sama bahwa sungainya dapat dimanfaatkan sebelum adanya industri pengolahan
68
tahu. Sebagian besar lapisan rumahtangga menunjukan bahwa sebelum hadirnya industri pengolahan tahu di wilayah Kampung Cikaret, masyarakat dapat memanfaatkan sungai untuk kebutuhan airnya. Pada Gambar 17 disajikan persentase pendapat responden mengenai pemanfaatan sungai setelah hadirnya industri pengolahan tahu di wilayahnya.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 17. Pendapat Responden Mengenai Pemanfaatan Sungai Setelah Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Pada Gambar 17 terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan Gambar 16. Sebagian besar responden pada setiap lapisan rumahtangga menyatakan bahwa air sungai di wilayahnya tidak dapat lagi dimanfaatkan setelah hadirnya industri pengolahan tahu, karena telah tercemar limbah tahu. Hampir semua penduduk RW 01 kini beralih menggunakan PAM, ada yang kembali menggunakan sumur gali bahkan ada menggunakan mata air di seberang sungai yang disambung dengan pipa-pipa agar sampai menuju rumahnya. Sungai hanya dimanfaatkan untuk budidaya Karamba (ikan kecil yang dipelihara di sungai untuk dijual). Akibat limbah tahu yang mencemari air sungai di wilayah Kampung Cikaret, sungai tidak lagi dimanfaatkan untuk kebutuhan air bagi masyarakat lokal.
6.2.2 Kualitas Sumber Air Pencemaran air sungai di wilayah RW 01 Kampung Cikaret menimbulkan perubahan kualitas air yang digunakan. Terutama bagi penduduk yang
69
mengutamakan sungai sebagai sumber air bagi kebutuhannya. Pada Gambar 18 disajikan persentase pendapat responden mengenai kualitas air yang digunakan setelah adanya industri pengolahan tahu di wilayahnya.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 18. Pendapat Responden Mengenai Kualitas Sumber Air yang Digunakan Setelah Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Berdasarkan Gambar 18 sebagian besar responden atau masyarakat lokal menyatakan ada pencemaran akibat limbah tahu yang dibuang ke sungai oleh pihak industri pengolahan tahu di wilayah Kampung Cikaret. Lapisan bawah jumlah rumahtangga yang menggunakan sungai termasuk cukup banyak dibandingkan pada lapisan menengah dan lapisan atas, sehingga yang berpendapat bahwa kualitas sumber air (sungai) tercemar juga banyak. Lapisan bawah cenderung menggunakan lebih banyak air sungai sebagai sumber air bagi kebutuhan sehari-hari dibandingkan pada lapisan menengah dan atas. Bukan hanya pada lapisan bawah saja yang berpendapat sumber air tercemar, tetapi pada lapisan menengah dan atas pun berpendapat hal yang sama. Responden yang menyatakan sumber air yang digunakan tercemar merupakan penduduk yang masih menggunakan sungai sebagai salah satu sumber airnya. Melihat kondisi kualitas air sungai yang berubah setelah hadirnya industri pengolahan tahu dari jernih menjadi tidak jernih, kotor dan berbau membuat responden berpendapat bahwa kualitas sumber airnya tercemar limbah tahu. Pada lapisan bawah sebesar 63 persen atau sebanyak 17 rumahtangga yang menyatakan kualitas sumber air yang digunakan tercemar. Pada lapisan menengah sebesar 56
70
persen atau sebanyak 14 rumahtangga yang menyatakan kualitas sumber air yang digunakan tercemar. Pada lapisan atas sebesar 50 persen atau sebanyak tujuh rumah tangga yang menyatakan kualitas sumber air yang digunakan juga tercemar.
Pada
Gambar
19
disajikan
persentase
responden
mengenai
terganggunya sumber air akibat limbah tahu.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 19. Pendapat Responden Mengenai Terganggunya Sumber Air Akibat Limbah Tahu Berdasarkan Gambar 19 percemaran sungai juga menimbulkan perubahan pada sumber air yang digunakan responden sehari-hari sebab jumlah sumber air yang digunakan menjadi berkurang. Salah satunya adalah sungai yang kini tidak dapat diakses kembali oleh responden terutama pada masyarakat lokal lapisan bawah yang lebih banyak mengakses sungai sebagai sumber air bagi kebutuhan air sehari-hari (dilihat pada Gambar 19. Lapisan bawah lebih banyak atau sebesar 74 persen yang menyatakan terganggunya kualitas sumber air akibat limbah tahu). Responden yang menggunakan mata air pun kini cenderung berkurang karena untuk mengakses mata air tidak dapat langsung turun ke sungai hal ini akan menimbulkan
penyakit
gatal-gatal
sehingga
pengguna
mata
air
harus
menyambungkan pipa-pipa yang panjangnya disesuaikan dengan jarak ke rumahnya. Bagi responden atau masyarakat lokal yang memang tidak mampu membeli pipa-pipa sesuai ukuran jarak ke rumahnya kembali menggunakan air sumur. Adapun responden atau penduduk setempat yang kini telah menggunakan PAM dan meninggalkan sungai, sumur serta mata air yang dulu biasa digunakan.
71
Lapisan bawah 74 persen atau 20 rumahtangga dari 27 rumahtangga, sedangkan pada lapisan menengah 48 persen atau 12 rumahtangga dari 25 rumahtangga dan lapisan atas sebesar 64 persen atau sembilan dari 14 rumahtangga yang berpendapat sumber air yang digunakan terganggu akibat limbah industri pengolahan tahu. Responden yang menyatakan merasa sumber air yang digunakan terganggu disebabkan mereka menggunakan sungai sebagai sumber airnya, meskipun air sungai tersebut hanya digunakan untuk sekedar mandi atau hanya untuk mencuci. Pada lapisan bawah, lapisan menengah dan lapisan atas yang berpendapat sumber air tidak terganggu akibat limbah karena responden tersebut hanya sebentar menggunakan sungai dan lebih banyak menggunakan sumur. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Rhy, salah satu responden pada lapisan atas yang sempat menggunakan sungai hanya sebentar saja dan langsung beralih menggunakan PAM: “Saya dulu sempat menggunakan sungai untuk cuci pakaian, tapi hanya sebentar. Saya langsung pasang PAM di rumah kebetulan anak saya diterima bekerja di PAM. Pemasangan PAM di kampung ini juga dipelopori oleh saya awalnya. Dulu yang ikut pasang PAM hanya sebagian kecil, karena mereka itu kebanyakan menggunakan sungai. Semakin lama kesini-sininya masyarakat di wilayah RW 01 jadi mengikuti saya untuk pasang PAM” (Ibu Rhy, 73 tahun, responden di RT 07). Responden pada lapisan atas hanya sesekali menggunakan sungai saat sungai masih dalam kondisi jernih airnya. Berbeda pada lapisan bawah yang dominan lebih banyak menggunakan sungai untuk kebutuhan hidupnya seperti mencuci dan mandi.
6.3 Tingkat Kenyamanan Hidup 6.3.1 Kondisi Lingkungan Tempat Tinggal Responden Pencemaran sungai akibat limbah industri pengolahan tahu juga berdampak pada kondisi lingkungan tempat tinggal responden yang sebagian besar bertempat tinggal di pinggiran sungai. Padatnya penduduk di Kampung Cikaret menjadi faktor lain yang menyebabkan pencemaran air sungai di wilayah Cikaret. Limbah industri pengolahan tahu merupakan faktor yang dinilai lebih dominan, hal ini
72
disebabkan bila musim kemarau tiba masyarakat di sekitar pinggiran sungai wilayah RW 01 akan mencium bau menyengat. Masyarakat memiliki pengetahuan dalam membedakan mana limbah rumahtangga dan mana limbah tahu. Menurut masyarakat setempat, limbah tahu yang mengaliri sungai akan membentuk lumutlumut berwarna hitam yang menempel pada bebatuan. Selain lumut terdapat kulitkulit kedelai sisa dari pencucian kedelai di industri pengolahan tahu dan buih-buih berwarna putih. Lumut dan buih-buih yang menempel pada batu sungai dapat dilihat saat musim kemarau. Lumut dan buih-buih yang mengaliri sungai akan sulit dilihat sewaktu musim hujan karena air hujan akan segera menyapu limbah tahu dan mengalirinya ke tempat lain. Bau yang ditimbulkan dari limbah tahu saat musim hujan tidak seberapa bila dibandingkan saat musim kemarau tiba. Pada Gambar 20 disajikan persentase pendapat responden mengenai kondisi lingkungan tempat tinggalnya sebelum Hadirnya industri pengolahan tahu.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 20. Pendapat Responden Mengenai Kondisi Lingkungan Tempat Tinggalnya Sebelum Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Berdasarkan Gambar 20 semua responden di Kampung Cikaret baik pada lapisan atas, lapisan menengah, lapisan bawah berpendapat bahwa lingkungan tempat tinggalnya bersih dan sangat bersih sebelum hadirnya industri pengolahan tahu. Menurut responden lingkungannya yang dominan dikelilingi oleh aliran sungai sebelum hadirnya limbah industri pengolahan tahu tergolong bersih bahkan beberapa responden ada yang berpendapat sangat bersih. Setelah hadirnya industri pengolahan tahu, responden berpendapat bahwa lingkungan tempat tinggalnya
73
menjadi kurang bersih bahkan ada beberapa responden berpendapat tidak bersih. Pada Gambar 21 disajikan persentase responden mengenai kondisi lingkungan tempat tinggalnya setelah hadirnya industri pengolahan tahu.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 21. Opini Responden Mengenai Kondisi Lingkungan Tempat Tinggalnya Setelah Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Berdasarkan Gambar 20 dan Gambar 21 hampir semua responden pada lapisan bawah, lapisan menengah dan lapisan atas cenderung berpendapat lingkungan tempat tinggal mereka bersih sebelum hadirnya industri pengolahan tahu dan lingkungan tempat tinggal menjadi kurang bersih atau tidak bersih setelah hadirnya industri pengolahan tahu. Sebagian besar rumahtangga yang menjadi responden memang rumahnya berada di pinggiran Sungai Cimanglid, Sungai Cimanglid merupakan sungai yang telah tercemar limbah tahu. Sebagian kecil ada yang rumahnya tepat berada di belakang industri pengolahan tahu sehingga merasakan asap dari pembakaran uap tahu. Lingkungan yang menjadi kurang bersih bukan hanya disebabkan oleh limbah tahu saja, tetapi akibat banyaknya penduduk musiman seperti pengrajin tahu yang tinggal di Kampung Cikaret sehingga terdapat sejumlah sampah atau limbah rumahtangga. Padatnya penduduk dan kurangnya kesadaran mengenai lingkungan bersih inilah yang menyebabkan lingkungan menjadi tidak bersih. Hal ini diungkapkan Bapak Mss, tokoh masyarakat di Kampung Cikaret:
74
“Limbah tahu memang membuat lingkungan terutama sungai menjadi tidak bersih, tapi bukan hanya karena limbah tahu saja melainkan karena padatnya warga di RW 01 ini sehingga limbah rumahtanggapun cukup banyak” (Bapak Mss, 69 tahun, tokoh masyarakat). Lingkungan tempat tinggal yang kurang bersih juga akan menimbulkan bau yang tidak sedap, dalam hal ini bau yang tidak sedap di lingkungan lebih didominasi bau limbah tahu yang mengalir ke sungai di wilayah Kampung Cikaret. Responden yang sebagian besar bertempat tinggal dipinggiran sungai merasakan bau menyengat limbah tahu ketika kemarau datang, terutama rumah responden yang dikelilingi aliran Sungai Cimanglid. Pencemaran terjadi pada Sungai Cimanglid yang memang satu aliran dengan pusat pembuangan limbah tahu. Selain pada Sungai Cimanglid, pencemaran juga terjadi pada pertemuan dua aliran yaitu aliran Sungai Cikaret dan aliran Sungai Cimanglid. Limbah tahu lebih mendominasi bau di sekitar wilayah Kampung Cikaret sehingga hanya terjadi konflik sosio-ekologis antara masyarakat lokal dan pemilik industri pengolahan tahu, yaitu terjadinya sikap teguran dari masyarakat lokal yang bertempat tinggal di wilayah Kampung Cikaret. Responden yang rumahnya berada di bagian hulu Sungai Cikaret tidak begitu merasakan bau limbah tahu. Lapisan bawah hanya sebesar tujuh persen atau sebanyak dua rumahtangga yang berpendapat tempat tinggalnya tidak terkena bau limbah tahu sedangkan pada lapisan menengah hanya 16 persen atau sebanyak empat rumahtangga berpendapat hal yang sama. Lapisan atas semua responden berpendapat terkena bau limbah tahu. Hampir sebagian besar responden rumahtangga di Kampung Cikaret menyatakan bahwa bau limbah tahu tercium hingga ke sekitar tempat tinggalnya, hanya enam responden dari 66 jumlah responden saja yang berpendapat tempat tinggalnya tidak terkena bau limbah tahu. Responden lebih banyak menyatakan bahwa lingkungan tempat tinggalnya bau limbah tahu hal ini disebabkan memang wilayah Kampung Cikaret dikelilingi oleh Sungai Cimanglid dan Sungai Cikaret sehingga pada saat musim kemarau akan terasa bau limbah tahu. Bau limbah tahu mengalir ke kedua sungai yang mengitari wilayah Kampung Cikaret menimbulkan pendapat yang berbedabeda dari berbagai lapisan rumahtangga masyarakat lokal mengenai bau limbah
75
yang tercium pada lingkungan sekitar tempat tinggal. Sebagian besar responden atau masyarakat lokal berpendapat bahwa bau limbah akibat limbah tahu yang mengalir ke sungai di wilayah Kampung Cikaret tercium hingga ke sekitar tempat tinggalnya. Walaupun jarak rumah responden dengan pusat pembuangan limbah tahu dominan menyatakan jauh, tetapi bau limbah tahu tetap tercium hingga lingkungan tempat tinggal responden. Pada Gambar 22 disajikan persentase pendapat responden mengenai bau limbah di sekitar tempat tinggalnya.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 22. Pendapat Responden Mengenai Bau Limbah di Sekitar Tempat Tinggalnya Berdasarkan Gambar 22 sebagian besar responden menyatakan bahwa bau limbah tahu tercium hingga di sekitar tempat tinggalnya. Meskipun jarak anatara tempat tinggal atau rumah responden dengan pusat pembuangan limbah tahu tergolong jauh, tetapi responden mengakui bahwa bau limbahnya tercium karena limbah tahu mengalir di aliran sungai yang mengitari wilayah Kampung Cikaret. Hal ini disebabkan sebagian besar responden merupakan masyarakat lokal yang memang tinggal disekitar wilayah yang dikelilingi sungai. Kedua sungai yang mengelilingi tempat tinggal responden merupakan sungai yang telah tercemar limbah tahu dan sebagian responden menyatakan terciumnya bau limbah menyengat hingga sampai ke tempat tinggalnya. Pada Gambar 23 disajikan persentase pendapat responden mengenai jarak lingkungan tempat tinggal dan jarak posisi rumahnya ke sumber pembuangan limbah tahu.
76
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 23. Pendapat Responden Mengenai Jarak Lingkungan Tempat Tinggalnya dengan Pembuangan Limbah Tahu Berdasarkan pada Gambar 23 dan Gambar 24, pada lapisan menengah tidak ada responden yang berpendapat bahwa jarak lingkungan tempat tinggalnya dekat dengan pembuangan limbah tahu. Responden yang menyatakan dekat jarak rumahnya dengan pusat saluran pembuangan limbah tahu hanya ada pada lapisan bawah dan lapisan atas. Pada Gambar 24 disajikan persentase pendapat responden mengenai jarak rumahnya dengan saluran pembuangan limbah tahu.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 24. Pendapat Responden Mengenai Jarak Rumahnya dengan Saluran Pembuangan Limbah Tahu Berdasarkan Gambar 23 dan Gambar 24 hanya sebesar tujuh persen atau sebanyak dua rumahtangga pada lapisan bawah yang berpendapat jarak lingkungan tempat tinggal maupun jarak rumahnya dengan industri pengolahan
77
tahu memang sangat dekat. Pada lapisan atas hanya sebesar delapan persen atau sebanyak satu rumahtangga yang berpendapat hal sama. Responden pada lapisan bawah yang menyatakan dekat jarak rumahnya dengan sumber pembuangan limbah tahu, menyatakan bahwa jaraknya hanya 13 meter. Pada lapisan atas satu rumahtangga responden berjarak sekitar 50 meter dari pembuangan limbah tahu. Limbah yang mengalir di aliran Sungai Cimanglid tetap menimbulkan bau dan lingkungan tempat tinggal responden terkena baunya. Meskipun bau limbah terasa menyengat saat kemarau, responden cenderung lebih banyak berpendapat mereka tetap merasa nyaman dengan lingkungan tempat tinggalnya. Bau yang selalu mereka cium setiap harinya adalah hal biasa. Jika hujan turun, maka baunya tidak begitu terasa hal ini disebabkan limbah tahu yang dibuang ke sungai akan hanyut terbawa air hujan sehingga baunya pun tidak tercium jelas. Saat kemarau bau yang dihasilkan dari limbah tahu adalah bau yang sangat menyengat ke penciuman. Pada Gambar 25 disajikan persentase pendapat responden mengenai kenyamanannya terhadap tempat tinggalnya.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 25. Pendapat Responden Mengenai Kenyamanan Lingkungan Tempat Tinggalnya Berdasarkan Gambar 25 hanya sebesar tujuh persen atau sebanyak dua rumahtangga pada responden lapisan bawah yang berpendapat ketidaknyamanan dengan lingkungan tempat tinggalnya. Pada lapisan menengah sebesar delapan persen atau sebanyak dua rumahtangga yang juga merasa tidak nyaman. Pada lapisan atas sebesar 16 persen atau sebanyak dua rumahtangga berpendapat hal
78
yang sama. Responden sisanya baik pada lapisan bawah, lapisan menengah maupun lapisan atas berpendapat mereka nyaman-nyaman saja dengan lingkungan tempat tinggalnya karena sudah biasa. Responden yang berpendapat tidak nyaman justru sudah mulai tidak biasa lagi dengan bau yang ditimbulkan di sekitar lingkungannya. Bau yang ditimbulkan selain karena limbah tahu ditambah juga dengan bau dari limbah rumahtangga dan bau dari kotoran kambing di peternakan Pak Hto pemilik industri pengolahan tahu. Hal ini diungkapkan oleh salah satu responden yang rumahnya berada di ujung kali: “Saya merasa tindak nyaman dengan rumah saya, karena sering kebanjiran. Rumah saya kan dekat dengan kali dan posisinya paling ujung, kalau musim hujan, sampah di kali tersendat sehingga bikin banjir rumah. Biasanya suka saya bersihin sampah-sampahnya, ada sampah bekas ampas tahu, sampah ampas tempe, sampah rumahtangga, bikin bau sekali. Kalau musim kemarau juga selokan saya malah yang banyak sampah. Susah sekali orang-orang sini diberitahunya, belum ada kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan, padahal saya yang susahnya karena rumah saya kan diujung kali” (Ibu Ten, 31 tahun, responden RT 06). Responden lebih berpendapat nyaman karena responden sudah terbiasa dengan bau limbah yang mengalir di sungai wilayahnya. Pada responden yang berpendapat tidak nyaman, merupakan responden yang memang tidak terbiasa dengan bau limbah yang mengitari sungai di wilayahnya sehingga mereka berpendapat tidak nyaman. Pada Gambar 25 responden yang lebih banyak menyatakan bahwa tidak nyaman terhadap lingkungan tempat tinggalnya adalah responden yang berada pada lapisan atas. Sebagian besar responden pada lapisan atas menyatakan bahwa merasa tidak nyaman dengan lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini disebabkan pada lapisan atas kesadaran mengenai kenyamanan lebih besar dibandingkan pada lapisan bawah dan lapisan menengah. Pada lapisan bawah dan menengah meskipun responden merasakan bau limbah tahu yang menyebabkan ketidaknyamanan pada lingkungan tempat tinggalnya, responden bersikap lebih memilih untuk membiasakan diri dengan bau limbah tahu yang ditimbulkan. Sikap membiasakan diri dengan bau limbah tahu di lingkungan tempat tinggalnya inilah yang menimbulkan pendapat dari responden pada lapisan bawah dan lapisan menengah bahwa merasa nyaman-nyaman saja dengan kondisi
79
tempat tinggalnya. Berikut penuturan Bapak Ttg sebagai salah satu responden pada lapisan bawah yang pernah bekerja mencari kayu bakar pada industri pengolahan tahu mengenai ketidaknyamanan lingkungan tempat tinggalnya: “Bau sekali kalau musim kemarau sampai tercium ke rumah bau limbah tahunya. Apalagi belakang rumah saya langsung sungai, ya tapi mau bagaimana lagi? Lama-lama juga terbiasa dengan baunya. Kalau disuruh pindah rumah juga mau kemana? kan dari kecil saya sudah tinggal di kampung ini. Apalagi kalau pindah harus biaya lagi” (Bapak Ttg, 54 tahun, responden pada lapisan bawah).
Berbeda dengan responden lapisan bawah dan menengah, responden pada lapisan atas yang merasakan bahwa terdapat ketidaknyamanan pada lingkungan tempat tinggalnya akibat limbah tahu. Responden lapisan atas yang memiliki kemampuan ekonomi lebih tinggi dibandingkan lapisan bawah dan lapisan menengah dapat kapan saja pindah ke tempat tinggal yang lain. Sehingga pada lapisan atas secara terbuka menyatakan bahwa memang merasakan ketidaknyaman dengan lingkungan tempat tinggalnya di wilayah Kampung Cikaret yang disebabkan limbah tahu.
6.4 Tingkat Konflik 6.4.1 Keributan tentang Pencemaran Limbah Tahu Pencemaran yang terjadi pada Sungai Cimanglid dan pertemuan antara Sungai Cikaret dan Sungai Cimanglid menimbulkan bau dan perubahan pola pemanfaatan kedua sungai tersebut. Perubahan kondisi air sungai juga dapat dilihat pada kondisi air sungai sebelum adanya industri pengolahan tahu dengan kondisi sesudah adanya industri pengolahan tahu. Kondisi kedua sungai tersebut dapat dilihat dari kejernihannya, warna, dan baunya. Sebelum hadirnya industri pengolahan tahu, air Sungai Cimanglid kondisinya jernih, tidak berbau dan dapat dimanfaatkan oleh warga sekitar termasuk responden. Pertemuan aliran sungai antara Sungai Cimanglid dan Sungai Cikaret juga masih bersih dan belum berbau. Setelah hadirnya industri pengolahan tahu yang membuang limbah cairnya ke kali yang menuju Sungai Cimanglid, menimbulkan perubahan kondisi air Sungai Cimanglid. Sungai kini berubah menjadi tidak jernih, berbau, dan tidak dapat
80
dimanfaatkan lagi oleh sebagian besar warga. Adanya pencemaran dan perubahan kondisi air sungai akan menyebabkan keributan antara dua pihak yang terlibat, pihak yang terlibat ini adalah industri pengolahan tahu dan warga sekitar yang mengalami pencemaran pada salah satu sumber airnya yaitu sungai. Sebagian besar responden menyatakan bahwa memang pernah ada pengalaman mengenai keributan akibat pencemaran limbah tahu. Adanya pengalaman mengenai keributan yang terjadi di wilayah Kampung Cikaret akibat limbah tahu dapat dikatakan bahwa kehadiran industri pengolahan tahu cukup berdampak sosial yaitu adanya konflik yang nyata terjadi. Pada Gambar 26 disajikan persentase pengalaman responden mengenai apakah ada keributan mengenai pencemaran akibat limbah tahu.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 26. Pengalaman Responden Mengenai Keributan Akibat Pencemaran Limbah Tahu Berdasarkan Gambar 26 lapisan bawah, menengah dan atas responden cenderung lebih banyak mengatakan ada pengalaman mengenai keributan akibat pencemaran di wilayah mereka. Pada lapisan bawah sebesar 70 persen atau sebanyak 19 rumahtangga, pada lapisan menengah sebesar 72 persen atau sebanyak 18 rumahtangga, dan lapisan atas sebesar 92 persen atau sebanyak 13 rumahtangga yang mengatakan ada keributan mengenai pencemaran. Pada lapisan bawah sebesar 30 persen atau sebanyak delapan rumahtangga, lapisan menengah sebesar 28 persen atau tujuh rumahtangga, dan lapisan atas sebesar delapan persen atau satu rumahtangga yang mengatakan tidak ada pengalaman mengenai
81
keributan akibat pencemaran. Jika dilihat dari total jumlah keseluruhan pada lapisan bawah, menengah dan atas yang mengatakan ada keributan mengenai pencemaran di wilayah mereka sebanyak 50 rumahtangga dari 66 rumahtangga. Sisanya sebanyak 16 rumahtangga mengatakan tidak ada keributan mengenai pencemaran di wilayahnya. Responden yang menjawab tidak ada keributan mengenai pencemaran di wilayahnya disebabkan karena mereka tidak aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan bersama sehingga tidak mengetahui bahwa pernah terjadi keributan pencemaran di wilayahnya.
6.4.2 Konflik Bau Akibat Limbah Tahu Konflik pencemaran dapat saja terjadi dengan berbagai bentuk. Bisa konflik dalam bentuk hanya desas-desus atau responden tidak mengalaminya namun orang lain yang mengalaminya. Bisa konflik dengan bentuk pembicaraan ringan, atau responden dan orang lain sama-sama merasakannya namun belum bisa bertindak tetapi hanya dibicarakan saja. Konflik dapat juga terjadi dalam bentuk teguran atau komplen, yakni dimana ada salah satu pihak yang bertindak dengan menegur pihak yang dirasakan merugikan untuk mencari jalan keluar. Serta konflik dalam bentuk baku hantam, yakni keributan yang terjadi akibat tidak adanya jalan keluar untuk permasalahan. Kehadiran industri pengolahan tahu milik Pak Hto diperbatasan antara wilayah RW 01 Kampung Cikaret menimbulkan berbagai macam dampak baik dampak positif maupun dampak negatif. Kegiatan pengolahan tahu setiap harinya menghasilkan limbah baik cair maupun padat yang dapat menimbulkan bau di sekitar industri. Bukan Hanya bau disekitar industri pengolahan tahu saja tetapi bau pun dapat timbul di sekitar tempat tinggal atau wilayah Kampung Cikaret khususnya RW 01. Ketidaknyamanan mengenai bau akan menimbulkan berbagai masalah dan keributan. Pada Gambar 27 disajikan persentase pendapat responden mengenai konflik yang pernah terjadi akibat bau limbah tahu di sekitar wilayah RW 01 Kampung Cikaret yang merupakan lingkungan tempat tinggal responden.
82
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 27. Sikap Responden mengenai Konflik Bau di Sekitar Tempat Tinggal Berdasarkan Gambar 27 lapisan bawah sebesar 63 persen dan lapisan menengah sebesar 64 persen atau sebanyak masing-masing 17 dan 16 rumahtangga yang berpendapat telah terjadi teguran. Sedangkan pada lapisan atas sebesar 79 persen atau 11 rumahtangga yang berpendapat bahwa konflik yang terjadi berupa teguran. Sedangkan yang berpendapat hanya terjadi pembicaraan ringan saja sebesar 26 persen dari lapisan bawah atau sebanyak tujuh rumahtangga. Pada lapisan menengah sebesar 20 persen atau sebanyak lima rumahtangga dan pada lapisan atas sebesar 21 persen atau sebanyak tiga rumahtangga. Pada lapisan bawah sebesar 11 persen atau sebanyak tiga rumahtangga dan lapisan menengah sebesar 16 persen atau sebanyak empat rumahtangga berpendapat hanya desas desus dan mereka tidak merasakan bau yang terjadi. Responden yang berpendapat hanya desas-desus cenderung jarang sekali berada di rumah atau ada juga yang memang rumahnya jauh dari aliran Sungai Cimanglid. Sedangkan responden yang berpendapat hanya pembicaraan ringan adalah responden yang merasakan bau namun intensitasnya tidak terlalu sering. Pada lapisan bawah, lapisan menengah dan lapisan atas yang berpendapat telah terjadi teguran, responden cenderung merupakan pengurus RT, tokoh masyarakat yang dituakan di wilayah Kampung Cikaret. Responden lainnya yang berpendapat ada konflik berupa teguran merupakan responden yang memang rumahnya berada
83
persis di dekat ataupun di pinggir Sungai Cimanglid dan di dekat pertemuan aliran Sungai Cimanglid dan Sungai Cikaret.
6.3.3 Konflik Terganggunya Kualitas Sumber Air Bersih Bentuk pencemaran yang ditimbulkan dari limbah tahu selain bau juga menyebabkan terganggunya sumber air yang digunakan warga Kampung Cikaret. Perubahan pola pemanfaatan sungai yang ditimbulkan karena terjadinya pencemaran mengakibatkan berbagai bentuk konflik. Responden yang sebagian besar menggunakan sungai sebagai salah satu sumber air yang dapat dimanfaatkan menyatakan bahwa menyikapinya dengan menegur industri pengolahan tahu bersama masyarakat lokal. Pada Gambar 28 disajikan persentase sikap responden mengenai mengenai sumber air yang digunakan.
Keterangan: n Kampung Cikaret = 66 rumahtangga
Gambar 28. Sikap Responden Mengenai Kualitas Sumber Air Bersih Berdasarkan Gambar 28 lapisan bawah hanya 26 persen atau sebanyak tujuh rumahtangga, lapisan menengah 44 persen atau sebanyak 11 rumahtangga dan lapisan atas sebesar 14 persen atau sebanyak dua rumahtangga, menyatakan mengenai terganggunya sumber air akibat limbah tahu hanya menyikapinya dengan desas-desus saja. Responden yang berpendapat hal demikian karena mereka memiliki sumur sebagai sumber air utama dan kurang memanfaatkan sungai untuk sumber air bersihnya. Pada responden yang menyikapinya hanya terjadi pembicaraan ringan, karena responden hanya menggunakan sungai sekali-
84
kali saja dan masih menggunakan sumur sebagai sumber air sehari-harinya. Pada lapisan bawah sebesar 60 persen atau sebanyak 16 rumahtangga dari 27 rumahtangga menyikapinya dengan teguran. Pada lapisan menengah sebesar 48 persen atau sebanyak 12 rumahtangga dari 25 rumahtangga juga menyikapinya dengan teguran. Hal demikian juga terdapat pada lapisan atas yakni sebesar 72 persen atau sebnyak sepuluh rumahtangga meyikapinya dengan hal serupa. Hampir sebagian besar responden menyikapi kualitas air bersih yang terganggu karena limbah tahu berupa sikap teguan pada industri pengolahan tahu. Responden yang menyatakan sikapnya berupa teguran adalah responden yang memang menggunakan sungai sebagai salah satu sumber utama untuk memenuhi kebutuhan air sehari-harinya. Hampir sebagian besar responden menyatakan pernah turut serta dalam proses peneguran terhadap industri pengolahan tahu. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Awh wakil ketua pemuda di Kampung Cikaret sebagai informan: “Dulu tahun 2002 sudah ditegur sama RW, sama warga juga bersamasama, soalnya parah sekali, ikan-ikan sampai pada mati. Bukan limbah tahu aja yang dibuangin ke sungai tapi kotoran kambing milik industri pengolahsan tahu. Kalau limbah tahu, malah menimbulkan lumut yang nempel di batu-batu sungai biasanya warna putih. Tapi kalau musim hujan suka tidak kelihatan” (Bapak Awh, 32 tahun, wakil ketua pemuda). Limbah tahu yang dihasilkan oleh industri pengolahan tahu milik Pak Hto setiap harinya, tidak berdampak pada kumuhnya lingkungan di sekitar industri pengolahan tahu. Dampak yang dirasakan hanya terganggunya sumber air bersih, kualitas air bersih dan bau yang disebabkan karena limbah tahu yang dibuang ke Sungai Cimanglid. Berbeda dengan industri pengolahan tahu di wilayah lain yang biasanya langsung membuang limbah cair ke sekitar lingkungan industri tanpa ditampung melalui saluran sehingga membuat kumuh. Perbedaan industri pengolahan tahu lain dengan industri pengolahan tahu milik Pak Hto adalah pada proses pembuangan limbahnya. Pada proses pembuangan limbahnya, limbah cair ditampung pada saluran septitank dan baru dibuang ke sungai pada malam hari. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat sekitar wilayah adalah bau di sepanjang
85
aliran Sungai Cimanglid yang mengitari wilayah RW 01 Kampung Cikaret. Sehingga menimbulkan konflik dengan warga di RW 01 Kampung Cikaret. Industri pengolahan tahu milik Pak Hto selain menghasilkan limbah padat dan cair juga menghasilkan limbah berupa asap. Asap berwarna hitam yang keluar dari cerobong industri pengolahan tahu menandai bahwa sedang ada proses pembuatan tahu. Asap hitam tersebut biasanya berasal dari proses pembuatan tahu pada tahapan pemasakan bubur kedelai dan pada tahapan penggorengan untuk tahu goreng. Industri pengolahan tahu milik Pak Hto menggunakan kayu bakar dalam proses pemasakan dan penggorengannya. Meskipun demikian, asap yang dikeluarkan oleh industri pengolahan tahu milik Pak Hto setiap harinya tidak mengganggu udara disekitar. Hanya saja ada seorang warga di RW 01, warga yang merasa terganggu karena pernah melihat adanya percikan api pada cerobong asap milik Pak Hto. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Hlm ketua pemuda di Kampung Cikaret sebagai informan pada penelitian ini: “Cerobong asapnya kadang-kadang mengeluarkan percikan api. Padahal di dekat cerobong asap ada rumah-rumah warga. Takutnya terjadi kebakaran. Kalau malam hari, wah….percikan apinya terlihat jelas. Kalau siang hari sih..tidak begitu terlihat jelas” (Bapak Hlm, 37 tahun, ketua pemuda). Percikan api yang sering keluar dari cerobong asap tersebut membuat resah warga sekitar karena di sekitar cerobong asap ada rumah-rumah warga. Tetapi asap yang dikeluarkan tidak membuat terganggunya aktivitas warga.
6.5
Tingkat Kesehatan Masyarakat Kampung Cikaret di RW 01 Gang Madrasah tidak memiliki
masalah kesehatan yang disebabkan oleh limbah tahu. Sebanyak dua rumahtangga dari 66 rumahtangga yang menjadi responden mengungkapkan hanya pernah mengalami masalah gatal-gatal saat awal pencemaran limbah tahu terhadap sungai di wilayahnya. Penyakit gatal-gatal yang menyerangnya disebabkan responden berinteraksi langsung dengan air sungai. Penyakit gatal-gatalnya tersebut hanya dideritanya selama satu hari dan tidak menimbulkan dampak apa-apa. Pada rumahtangga yang
86
terkena penyakit gatal-gatal, semua yang mengalami gatal-gatal tersebut adalah anak-anak. Penyakit gatal-gatal ini disebabkan anak-anak masih suka untuk bermain ke sungai meskipun telah dilarang oleh orang tua mereka. Responden lainnya mengakui bahwa limbah tahu hanya berdampak pada masalah bau di sekitar sungai dan lingkungan tempat tinggal saja, sedangkan untuk masalah kesehatan tidak ada masalah bagi responden lainnya.
6.6
Ikhtisar Respon Masyarakat Lokal terhadap Dampak SosioEkologi atas Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Hadirnya industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret menyebabkan
perubahan pada aspek sosio-ekologinya. Perubahan yang terjadi lebih cenderung pada perubahan secara negatif dibandingkan perubahan positifnya. Masyarakat yang dominan bertempat tinggal di pinggiran sungai wilayah Kampung Cikaret merupakan masyarakat penduduk asli. Sungai merupakan salah satu sumber air yang biasa masyarakat Kampung Cikaret pergunakan untuk kebutuhan sehariharinya. Sebelum hadirnya industri pengolahan tahu masyarakat lebih memilih menggunakan sungai daripada menggunakan sumur. Masyarakat yang memilih menggunakan sungai disebabkan masyarakat mengeluhkan kualitas air sumur yang berwarna kuning. Warna kuning ini disebabkan karena daerah wilayah Kampung Cikaret dulu merupakan persawahan, sehingga air sumur yang dihasilkan tidak begitu bagus. Sungai di wilayah Cikaret sebelum banyaknya penduduk yang bermigrasi dan sebelum hadirnya industri pengolahan tahu sangat bersih. Namun setelah ada banyak penduduk bermigrasi ke wilayah Kampung Cikaret dan hadirnya industri pengolahan tahu menyebabkan kualitas air sungai yang merupakan sumber air bersih bagi kebanyakan penduduk Kampung Cikaret. Padatnya penduduk menyebabkan sampah rumahtangga semakin banyak, serta hadirnya industri pengolahan tahu menyebabkan air sungai tercemar oleh limbah tahu yang setiap hari berproduksi. Pada Tabel 12. Disajikan data dan penjelasan mengenai respon masyarakat lokal terhadap dampak sosio-ekologi atas hadirnya industri pengolahan tahu.
87
Tabel 12. Respon Masyarakat Lokal terhadap dampak Sosio-Ekologi atas Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Opini masyarakat lokal Pencemaran Kenyamanan Konflik
Kesehatan
Keterangan mengenai opini terhadap dampak sosioekologi Sungai tercemar, bau menyengat, sumber air terganggu Hanya sedikit responden yang merasa tidak nyaman Teguran mengenai bau yang ditimbulkan limbah tahu dan terganggunya kualitas sumber air masyarakat lokal
Ada gangguan kesehatan yang disebabakan limbah tahu, tetapi hanya dua rumahtangga responden
Limbah tahu yang dihasilkan pada industri pengolahan tahu milik Pak Hto berdampak pada masyarakat disekitarnya. Bukan hanya pada bau limbah yang ditimbulkan tetapi juga berdampak pada perubahan pola pemanfaatana air sungai yang biasa dilakukan oleh masyatrakat. Pencemaran yang timbul akibat limbah tahu yang dibuang ke sungai tergolong tinggi. Pencemaran dilihat dari pendapat responden mengenai air sungai di sekitar wilayahnya yang sudah kurang bahkan tidak dimanfaatkan lagi, serta kualitas sumber air bersih salah satunya sungai yang terganggu akibat limbah. Kenyamanan hidup masyarakat pun terganggu dilihat dari pendapat masyarakat lokal mengenai lingkungan sekitar pemukimannya. Lingkungan tempat tinggal yang tadinya bersih sebelum adanya industri pengolahan tahu kini setelah ada industri pengolahan tahu menjadi tidak bersih. Hal ini dikarenakan responden banyak yang tinggal disekitar bantaran sungai, bahkan sepanjang Kampung Cikaret dikelilingi dengan selokan atau kali yang mengalir mengitari rumah-rumah. Sehingga bau limbah dari industri pengolahan tahu akan tercium apalagi jika musim kemarau. Bau yang ditimbulkan pun menimbulkan sikap berupa teguran dari masyarakat lokal terhadap industri pengolahan tahu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat respon mengenai dampak sosio-ekologi atas hadirnya industri pengolahan tahu. Pada aspek kesehatan responden masih tergolong tinggi, hal ini disebabkan penyakit yang ditimbulkan oleh limbah tahu hanya gatal-gatal saja itupun hanya pada dua responden rumahtangga yang mengalaminya. Responden yang mengalami gatal-gatal akibat limbah tahu pun disebabkan responden berinteraksi dengan air sungai yang sudah jelas terkena limbah tahu. Tetapi
88
penyakit gatal-gatal yang dialami oleh responden tidak berkepanjangan. Penyakit gatal tersebut hanya di derita dalam hitungan hari saja. Respon masyarakat lainnya mengenai penyakit yang ditimbulkan akibat limbah tahu dominan hampir menyatakan tidak ada penyakit yang ditimbulkan karena limbah tahu. Dapat disimpulkan kembali bahwa industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret membawa dampak sosio-ekologis bagi masyarakat lokal. Terjadinya perubahan pola pemanfaatan sungai, terganggunya kualitas sumber air bersih hingga terjadinya respon masyarakat lokal berupa sikap teguran terhadap industri pengolahan tahu. Hadirnya industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret juga membuat sebagian masyarakat lokal menyatakan tidaknyaman dengan lingkungan sekitar tempat tinggalnya akibat limbah tahu. Akibat limbah tahu juga terdapat dua rumahtangga responden yang mengalami penyakit gatal karena berinteraksi dengan air sungai yang telah tercemar oleh limbah tahu.
89
BAB VII PENUTUP
7.1 Kesimpulan Respon masyarakat lokal tentang dampak sosio-ekonomi atas hadirnya industri pengolahan tahu, menurut lapisan rumahtangga berbeda-beda. Terdapat pendapat dari masyarakat lokal mengenai tingkat kesempatan kerja yang diberikan industri pengolahan tahu pada masyarakat lokal. Jumlah responden yang berpendapat bahwa ada kesempatan kerja bagi masyarakat lokal hanya sedikit. Pada aspek sosial-ekonomi pendapat responden mengenai tingkat persaingannya dengan pendatang untuk bekerja di industri pengolahan tahu hanya sedikit responden yang menyatakan adanya persaingan dengan pendatang untuk bekerja pada industri pengolahan tahu. Pada tingkat persaingan dengan masyarakat lokal, responden pada lapisan atas, lapisan menengah maupun lapisan bawah menyatakan tidak ada persaingan dengan masyarakat lokal untuk bekerja di industri pengolahan tahu. Respon lainnya yaitu mengenai hubungan sosial responden baik dengan pendatang maupun dengan masyarakat lokal, responden dominan menyatakan bahwa hubungan sosialnya tergolong baik. Respon masyarakat lokal dampak sosio-ekologi atas hadirnya industri pengolahan tahu pertama terdapat pendapat mengenai pencemaran yang terjadi dan terdapat sikap atau tindakan dari masyakat lokal atas dampak pencemaran yang diberikan. Dampak sosio-ekologi tersebut mengenai tingkat pencemaran dilihat dari kondisi sungai baik sebelum maupun sesudah hadirnya industri pengolahan tahu. Responden menyatakan bahwa sebelum hadirnya industri pengolahan tahu sungai di wilayahnya jernih, sedangkan setelah hadirnya industri pengolahan tahu sungai di wilayahnya kurang jernih. Sungai yang merupakan salah satu sumber air bersih yang digunakan oleh masyarakat lokal, akan tetapi sungai di Kampung Cikaret telah tercemar limbah tahu sehingga kualitas sumber air sungai atas hadirnya industri pengolahan tahu memburuk. Selain mengenai tingkat pencemaran, terdapat pendapat mengenai tingkat kenyamanan hidup dan tingkat kesehatan. Pada tingkat kenyamanan responden sebagian menjawab tidak nyaman dengan bau yang ditimbulkan limbah tahu. Pada tingkat kesehatan hanya
90
dua rumahtangga responden yang menyatakan pernah mengalami sakit gatal akibat berinteraksi dengan sungai yang telah tercemar limbah tahu. Responden lainnya berpendapat bahwa tidak ada penyakit yang disebabkan oleh limbah tahu. Hasil respon dari masyarakat lokal terhadap dampak sosio-ekologi atas hadirnya industri pengolahan tahu, dapat disimpulkan bahwa industri pengolahan tahu mencemari lingkungan hidup di wilayah Kampung Cikaret. Pencemaran lingkungan hidup akibat limbah tahu di wilayah Kampung Cikaret membuat masyarakat lokal menyikapinya dengan tindakan melalui teguran kepada pihak industri pengolahan tahu. Sikap teguran terhadap bau di sekitar tempat tinggal dan terhadap gangguan kualitas sumber air yang digunakan masyarakat lokal akibat limbah tahu yang mengalir ke sungai.
7.2 Saran Berikut beberapa saran terhadap penelitian yang telah dilakukan terkait dengan industri pengolahan tahu sebagai industri pedesaan: 1. Industri pengolahan tahu sebagai industri pedesaan tidak memberikan dampak terhadap sosio-ekonomi masyarakat. Hal ini disebabkan tidak terbukannya industri pengolahan tahu terhadap perekrutan pengrajin tahu. Sifat tertutup yang dilakukan oleh industri pengolahan tahu ini dikarenakan keterbatasannya dalam menyediakan fasilitas terhadap para pengrajin tahu. Dalam hal ini diperlukan peranan dari pemerintah dalam membantu pengembangan usaha industri pedesaan. Jika fasilitas yang dimiliki tidak lagi terbatas, maka industri pengolahan tahu yang berada di desa pun akan mengadakan perekrutan pengrajin tahu secara terbuka, sehingga masyarakat tidak lagi beropini bahwa tidak ada kesempatan untuk bekerja di industri pedesaan. 2. Agroindustri sebagai industri pedesaan akan berjalan sebagaimana mestinya jika masyarakat di desa memiliki ketertarikan di bidangnya. Ketidaktertarikan masyarakat terhadap industri pedesaan seperti industri pengolahan tahu disebabkan karena masyarakat kurang memiliki pengetahuan mengenai bidang pengolahan kedelai menjadi panganan seperti tahu. Sehingga dibutuhkan peran serta pemerintah untuk memberikan wawasan mengenai industri pedesaan yang mengolah hasil-hasil pertanian. Peran serta pemerintah ini dibutuhkan dalam
91
rangka mensukseskan strategi pertanian baru yang telah diresmikannya sebagai upaya penyeimbang antara pembangunan industri dan kemajuan pertanian. 3. Pencemaran sungai disebabkan minimnya pengetahuan dan modal pada industri pedesaan. Seharusnya pelaku agroindustri atau industri pedesaan telah memperhitungkan resiko yang timbul akibat aktifitas industrinya. Selain itu, pelaku agroindustri harus memiliki keterampilan dalam pengolahan limbah hasil buangan dari proses produksinya. Seperti pada industri pengolahan tahu, limbah tahu yang padat dapat dijadikan pakan ternak, dan bahan baku dalam pembuatan oncom. Limbah cair yang selama ini bermasalah juga dapat dijadikan sebagai makanan yang dinamakan nata de soya seperti yang dilakukan oleh pengrajin-pengrajin tahu di kawasan Bandung, Sumedang dan Majalengka. Jika tidak ingin limbah cair tahu diolah menjadi makanan, dapat juga diolah menjadi biogas. Namun limbah cair tahu yang dijadikan biogas membutuhkan modal yang tidak sedikit.
92
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistika. 1986. Potensi Desa di Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor [ID]: BPS.105 Hal. Baharsyah S. 1987. Memasyarakatkan Hasil Pemikiran & Penelitian dalam Pengembangan Agroindustri Menyongsong Era Industri. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 232 Hal. Esje I. 1997. Tanah, Pertanian dan Pemiskinan Petani. Dalam: Wacana Utama [Internet]. [Dikutip 23 November 2010]; 02 (10): 1-3. www.elsppat.or.id/download/file/w10_a1.pdf. Fuadri. 2009. Strategi Pengembangan Agroindustri Komoditi Unggulan Kabupaten Aceh Barat [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 156 Hal. Kristanto P. 2004. Ekologi Industri. Yogyakarta [ID]: Universitas Kristen Petra Surabaya dan Penerbit Andi. 352 Hal. Mirajiani 2003. Dampak Industrialisasi dan Perubahan Sosial Terhadap Agresivitas Masyarakat Studi Kasus: Suatu Analisis Sosial (Gunung Waja, Industri Cilegon) [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 170 Hal. Muslimin L dan Ansari M. 2010. Pengolahan dan Pemanfaatan Kedelai. Jakarta [ID]: Kementrian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Formal dan Informal, Direktorat Pendidikan Kesetaraan. 65 Hal. Mutakin A dan Gurniwan K.P. 2003. Dinamika Masyarakat Indonesia. Jakarta [ID]: Departemen Pendidikan Nasional. 233 Hal. Prasetyo B dan Miftahul L.J. 2006. Metode Penelitian kuantitatif. Jakarta [ID]: PT. RajaGrafindo Persada. 250 Hal. Rachmat M. 1993. Dampak Pencemaran Air Terhadap Kualitas Air Sungai dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah Studi Kasus: Kasus Pencemaran Air Limbah dari Industri Kecil Penyamakan Kulit Sukaregang di Sub DAS Ciwalen Kabupaten Garut [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 197 Hal. Rachmawati D. 2002. Studi Pengembangan Agroindustri Kentang di Wilayah Pedesaan [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 111 Hal. Raharjo. 1999. Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta [ID]: Gadjah Mada University Press. 235 Hal. Rahardjo M. D. 1984. Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja. Jakarta [ID]: Penerbit Universitas Indonesia. 308 Hal. Sajogyo S. 1983. Sosiologi Pedesaan Jilid 2. Jakarta [ID]: Yayasan Obor Indonesia. 253 Hal. Salim E. 1986. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta [ID]: LP3ES. 222 Hal.
93
Sembiring S.A. 1995. Peranan Agroindustri Terhadap Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Input-Output) [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 174 Hal. Singarimbun M dan Sofian E. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES. 336 Hal. Soekartawi. 1994. Pembangunan Pertanian. Jakarta [ID]: PT. Raja Grafindo Persada. 174 Hal. Soekartawi. 2005. Agroindustri dalam Perspektif Sosial Ekonomi. Jakarta [ID]: PT. Raja Grafindo Persada. 140 Hal. Soemarwoto O. 1991. Analisis Dampak Lingkungan. Yogyakarta [ID]: Gadjah Mada University Press. 114 Hal. Soemarwoto O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta [ID]: Djambatan. 357 Hal. Sufandi. 2006. Strategi Pengembangan Agroindustri Pedesaan di Kabupaten Bengkalis [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 133 Hal. Suhada A. 2005. Kajian Strategi Pengembangan Agroindustri Penyamakan Kulit di Wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 112 Hal. Suhandi A. et.al. 1989-1990. Perubahan Pola Kehidupan Masyarakat Akibat Pertumbuhan Industri (Studi Kasus: Daerah Jawa Barat). Jakarta [ID]: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 158 Hal. Sunarjan Y.Y.F.R. 1991. Industri dan Perubahan Sosial Ekonomi Pedesaan Studi Kasus Masuknya Industri Rokok Kretek di Desa Gunung Lor, Kabupaten Kudus, Jawa Timur [Tesis]. Bogor [ID]: Universitas Kristen Satya Wacana dan Institut Pertanian Bogor. 105 Hal. Sundari S. 2000. Analisis Dampak Agroindustri Tebu Terhadap Peningkatan Pendapatan Petani dan Pengembangan Perekonomian Wilayah di Jawa Timur [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 143 Hal. Suyitno A & Daldjoeni N. 1982. Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan. Bandung [ID]: Penerbit Alumni. 258 Hal. Syaf A.H. 2005. Karakteristik Industri Pengolahan Kulit dan Dampak Limbah Terhadap Lingkungan Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar (Studi Kasus Sentra Industri Kulit Sukaregang Garut, Jawa Barat) [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 215 Hal. Wahyono A. D. 2009. Pengelolaan Lingkungan Pasca AMDAL, UKL/UP atau ISO 14001 Pada Industri Kimia di Kabupaten Bogor [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 102 Hal. Wahyuni E.S dan Pudji M. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Bogor [ID]: Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. 101 Hal. Widiastuti M. 2003. Peranan Agroindustri dalam Perekonomian di Kalimantan Tengah [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 89 Hal.