RESPON DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENERAPAN AKAD BAI’UL WAFA PADA BMT DAN UGT SIDOGIRI CABANG GLENMORE BANYUWANGI
Abdul Kholiq Syafa’at INTISARI Di BMT Sidogiri yang menawarkan produk perbankan Bai’ul Wafa atau juga di sebut Ba’I Al Wafa, di mana produk tersebut merupakan produk yang menjadi unggulan. Sidogiri menerapkan sistem akad bai’ul wafa dengan tujuan agar setiap barang yang telah di jual oleh nasabah masih bisa di milikinya kembali, sesuai akad yang telah di sepakati bersama. Memang dikalangan ulama penerapan akad bai’ul wafa masih menjadi kontroversi. Maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan rumusan sebagai berikut : 1). Bagaimana penerapan akad Bai’ul Wafa yang ada di BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) dan UGT (usaha gabugan terpadu) Sidogiri cabang Glenmore Banyuwangi? 2). Apakah Proses Penerapan Akad Ijarah dan Ba’i dalam Pembiayaan Bai’ul Wafa sesuai dengan syariah islam ? 3). Bagaimana respon dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan BMT (Baitul Maal wat Tamwil) Sidogiri cabang Glenmore Banyuwangi?. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif yakni penelitian yang langsung berhubungan dengan obyek yang diteliti. Dalam hal ini diarahkan untuk memperoleh data yang diperlukan dari obyek penelitian yang sebenarnya adalah fakta tentang penerapan akad bai’ul wafa di BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) dan UGT (usaha gabugan terpadu) Sidogiri cabang Glenmore Banyuwangi. Tekhnik Pengumpulan Data dengan Observasi,Wawancara atau Interview, serta Dokumentasi. Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan interaktif model, yang terdiri dari tiga komponen yaitu: pengumpulan data (data collection), reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), kesimpulan dan verifikasi data (conclution drawing and verifying). Hasil penelitian adalah Penilaian masyarakat tentang BMT khususnya BMT dan UGT Sidogiri menjadi modal dasar untuk mengetahui kekurangan dan kelebihannya sehingga pada saatnya nanti BMT dan UGT Sidogiri dapat meningkatkan manajemen profesional dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip syariah. Perlu adanya sosialisasi khususnya mengenai prinsip bagi hasil, sehingga masyarakat lebih mengetahui tentang rasio (pembagian) bagi hasil pada BMT (Baitul Maal wat Tamwil) Sidogiri. Kata Kunci : Respon, Persepsi, Akad Bai’ul Wafa PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aktifitas lembaga keuangan syariah Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa kedalam pelaksanaan ajaran Islam dalam bidang ekonomi. Oleh karenanya, operasional lembaga keuangan tersebut harus memegang teguh beberapa prinsip diantaranya: 1).Prinsip ta’awun (tolong menolong ), 2). Prinsip tijarah (bisnis),
I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
3). Prinsip menghindari iktinaz ( penimbun uang ), 3). Prinsip pelarangan riba 4). Prinsip pembayaran zakat. BMT(Baitul Maal wat Tamwil) sebagai bagian dari sistem ekonomi Syariah dalam menjalankan bisnis dan usahanya juga tidak terlepas dari saringan Syariah. Oleh karena itu, BMT (Baitul Maal wat Tamwil) tidak akan mungkin membiayai usaha-usahanya yang di dalamnya terkandung hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah, atau proyek yang menimbulkan kemudharatan bagi masyarakata luas yang berkaitan dengan perbuatan asusila, perjudian, peredaran narkoba, senjata illegal, serta proyek-proyek yang bisa merugikan syiar Islam. Maka produk yang harus ditawarkan oleh BMT adalah produk yang dianggap menguntungkan bagi masyarakat namun sesuai dengan syariah. Seperti yang ada di BMT Sidogiri yang menawarkan produk perbankan Bai’ul Wafa atau juga di sebut Ba’I Al Wafa, di mana produk tersebut merupakan produk yang menjadi unggulan. Sidogiri menerapkan sistem akad bai’ul wafa dengan tujuan agar setiap barang yang telah di jual oleh nasabah masih bisa di milikinya kembali, sesuai akad yang telah di sepakati bersama. Memang dikalangan ulama penerapan akad bai’ul wafa masih menjadi kontroversi. Bagi Mazhab Maliki dan Hanbali menyatakan jual beli al-wafa tidak sah karena wujud syarat di mana pembeli harus mengembalikan barangan yang telah dibeli, dan jika penjual telah membayar lunas uang yang dibayar oleh pembeli sebelum ini. Pandangan mereka, bertentangan dengan tujuan jual beli yang memberikan hak kepada pembeli untuk memiliki barang yang dibeli secara kekal. Bagi ulama' kalangan Hanafi dan Syafi' membenarkan transaksi al-wafa ini. Argumentasi mereka, karena ia sesuai dengan sebagian dari hukum jual beli, yaitu pembeli dapat memanfaatkan barang yang dibeli serta dapat memenuhi keperluan dan menghindari dari riba. Sebagian ulama' Hanafi, menyatakan bahawa transaksi al-wafa ini mirip gadai (ar-rahnu) dan bukan jual beli. Justru, harus menerima pakai hukum gadai. Bagi mereka, yang dijadikan pegangan dalam transaksi-transaksi adalah maknanya, bukan lafaz dan bentuknya Di tempat penelitian ini penerapan akad bai’ul wafa telah dilakukan kurang lebih selama lima tahun, dan dari hasil penelitian sementara di temukan bahwa dalam praktek penerapan akad tersebut terdapat sedikit perbedaan dengan konsep syariah nya, seperti dalam penentuan bagi hasil dan biaya-biaya yang lain yang tidak seharusya ada dalam akad tersebut. dari pemaparan diatas maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut bagaimana penerapan akad bai’ul wafa yang di terapkan di BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) Sidogiri cabang Glenmore Banyuwangi dan penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana penerapan akad Bai’ul Wafa yang ada di BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) dan UGT (usaha gabugan terpadu) Sidogiri cabang Glenmore Banyuwangi? 2. Apakah Proses Penerapan Akad Ijarah dan Ba’i dalam Pembiayaan Bai’ul Wafa sesuai dengan syariah islam ? 3. Bagaimana respon dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan BMT (Baitul Maal wat Tamwil) Sidogiri cabang Glenmore Banyuwangi?
I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
KAJIAN TEORITIS A. Bai’ul Wafa 1. Pengertian Bai`ul Wafa. Menurut Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnahnya menyatakan bahwa Bai’ul Wafa adalah orang yang butuh, menjual suatu barang dengan janji. Janji tersebut menyatakan bila pembayaran telah dipenuhi (dibayar kembali), barang dikembalikan lagi. Bai’ wafa’ adalah orang yang membutuhkan uang, menjual suatu barang dengan janji dan isi janji tersebut adalah bila hutangnya sudah dilunasi maka barang tersebut dikembalikan Sedang menurut Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, dalam pengantar fiqh Muamalahnya menyatakan bahwa Bai’ul Wafa adalah akad jual beli dimana salah satu pihak/penjual mempunyai hak menarik/membeli kembali pada barang yang telah dijualnya kepada pembeli. Menurut Yakan Zuhdi, ‘aqdul Bai’, Pengertian Bai` Wafa` adalah: Suatu akad jual beli yang mana pembeli berkomitmen setelah sempurna akad bai` untuk mengembalikan barang yang dibelinya kepada penjualnya sebagai ganti pengembalian harga barang tersebut. Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa Bai’ul Wafa ini mempunyai batas tenggang waktu yang terbatas misalnya satu tahun, dua tahun dan sebagainya tergantung kesepakatan. Apabila tenggang waktu tersebut telah habis, maka penjual membeli barang itu kembali dari pembelinya. 2. Sejarah Bai`ul Al Wafa. Ketika kebutuhan untuk meminjam uang telah mulai menjadi suatu desakan ekonomi sementara pemilik modal (uang) tidak puas untuk sekedar meminjamkan uangnya tanpa mengambil keuntungan sebagai kompensasi dari kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan atau mengembangkan modal yang diinjamkannya kepada orang lain. Pada saat yang sama peminjam uang tidak ingin kehilangan barang yang dia miliki karena meminjam uang yaitu dengan menggadaikannya, sementara pemberi pinjaman dengan mengambil gadai barang sebagai jaminan tidak dapat langsung memiliki barang tersebut jika peminjam uang tidak dapat membayar atau melunasi hutangnya, melainkan harus melalui jalan berliku-liku yaitu menguangkan barang tersebut baru dilakukan perhitungan dan diambil uang yang dipinjamkannya dari hasil penjualan tersebut. Oleh karena itu mulailah orang mencari jalan tengah yang memberi solusi inovatif untuk saling menguntungkan. Yaitu cara yang dapat secara otomatis atau langsung memiliki atau mengambil alih barang milik orang yang membutuhkan uang yang tidak dapat melunasi atau mengganti harga barang tersebut selama jangka waktu tertentu, sementara pemberi hutang (baca; harga barang) dapat mengambil keuntungan dari uang yang ia berikan dengan melalui pemanfaatan barang tersebut atau menyewakannya atau menjualnya dengan selisih harga. Sebaliknya orang yang butuh kepada uang pinjaman dapat tetap memanfaatkan barang yang telah ia jual (misalnya rumah) tanpa harus berpindah tangan yaitu dengan menyewanya dan sekaligus dapat I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
memilikinya kembali dengan mengembalikan harga barang yang telah dijualnya secara cicilan atau kontan setelah selesai masa sewa. Inilah sebenarnya tujuan dan latar belakang timbulnya konsep mu`amalat `Bai` Al Wafa“ atau juga Bai` ul Wafa“ yang dikenal di undangundang Perancis dengan menghindari ketentuan hukum `Antichrese` yang melarang pemberi pinjaman uang untuk memiliki barang rohn/gadai, sementara pemberi pinjaman uang juga menghindar untuk menarik keuntungan dari hutang yang dipinjamkan dengan praktek riba yang keji, yaitu dengan cara rohn istighlal yang dikenal dengan akad menutupi/menghindari riba `Contrat Pignoratif` , maka mulailah undangundang perancis selanjutnya undang-undang Qonun Milkiyah Libanon melegalkan konsep Bai` Al Wafa` untuk memberi kesempatan bagi peminjam mengambil keuntungan dengan cara benar dan memberi kesempatan bagi peminjam uang untuk dapat memanfatkan barang yang dijualnya serta keinginan untuk memilikinya lagi setelah beberapa saat masa sewa. 3. Rukun dan syarat Bai’ul Wafa. Menurut ulama’ yang memperbolehkan yaitu sebagian dari ulama’ hanafiyah dan sebagian dari ulama’ syafiiyah akad bahwa rukun dalam Bai’ul Wafa’ adalah a. Dua orang yang berakad atau lebih, b. Ijab dan qabul c. Ketika akad bai’ wafa’ pembeli dan penjual sepakat menentukan waktu mengembalikan barang dan uang d. Waktu mengembalikan Barang dan uangnya, tidak ada cacat. 4. Hukum akad Bai’ul Wafa. Bentuk jual beli ini telah berlangsung beberapa lama dan Bai’ul Wafa telah menjadi ‘urf (adat kebiasaan) masyarakat bukhora dan mesir, baru kemudian ulama’ fiqh, dalam hal ini sebagian ulama Hanafiah dan ulama’ syafiiyah, melegalisasi jenis jual beli ini. Imam Najamuddin an-Nasafi seorang tokoh terkemuka mazhab Hanafi di Bukhara mengatakan “Para Syaikh kami (Hanafi) membolehkan Bai’ul Wafa sebagai jalan keluar dari riba (khuruj min ar-riba). Dalam Bai’ul Wafa, menurut DR. Az-Zarqa apabila terjadi persengketaan maka penyelasaiannya dilakukan melalui pengadilan, dengan demikian transaksi yang berlaku dalam Bai’ul Wafa cukup jelas dan terinci serta mendapatkan jaminan yang kuat dari lembaga hukum. 5. Ketentuan bai’ul wafa. Dalam jual-beli yang bergantung pada hak penebusan, penjual dapat mengembalikan uang seharga barang yang dijual dan menuntut barangnya dikembalikan. Pembeli berkewajiban mengembalikan barang dan menuntut uangnya kembali seharga barang itu. Barang dalam jual-beli yang bergantung pada hak penebusan, tidak boleh dijual kepada pihak lain, baik oleh penjual maupun oleh pembeli, kecuali ada kesepakatan di antara para pihak. Kerusakan barang dalam jualbeli dengan hak penebusan adalah tanggung jawab pihak yang menguasainya.
I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
Penjual dalam jual-beli dengan hak penebusan berhak untuk membeli kembali atau tidak terhadap barang yang telah rusak. Hak membeli kembali dalam bai’ wafa dapat diwariskan. 6. Pandangan Ulama’ tentang akad Bai’ul Wafa a. Bagi Mazhab Maliki dan Hanbali serta ulama' mutaqadimin daripada kalangan Hanafi dan Syafi' menyatakan jual beli al-wafa tidak sah kerana wujud syarat di mana pembeli mesti mengembalikan barangan yang dibeli, jika penjual membayar semula wang yang dibayar sebelum ini. Pandangan mereka, ia bertentangan dengan tujuan jual beli yang memberikan hak kepada pembeli untuk memiliki barangan yang dibeli secara kekal. b. Bagi ulama' mutaakhirin dari pada kalangan Hanafi dan Syafi' membenarkan transaksi al-wafa ini. Argumentasi mereka, kerana ia bersesuaian dengan sebahagian hukum jual beli, yaitu pembeli dapat memanfaatkan barang yang dibeli serta dapat memenuhi keperluan dan menghindari daripada riba. c. Sebahagian ulama' Hanafi, bahawa transaksi al-wafa ini mirip gadaian (ar-rahnu) dan bukan jual beli. Justru, harus menerima pakai hukum gadaian. Bagi mereka, yang dijadikan pegangan dalam transaksi-transaksi adalah maknanya, bukan lafaz dan bentuknya. B. Teori Implementasi Hukum 1. Arti Implementasi Kata implementasi berasal dari bahasa Inggris to implement yang berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu), Van Meter dan Van Horn merumuskan proses implementas sebagai : those actions by public or private individuals or group that are directed at the achievement of obyectives set forth in prior policy decitions (tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu / pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan ada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan). Dengan demikian berdasarkan pengertian kata implemantasi tersebut, maka implementasi Bai’ul Wafa dengan akad Ba’i dan Ijarah dapat dipandang sebagai proses melaksanakan pembiayaan berdasarkan Hukum Islam (prinsip-prinsip syariah) yang dilakukan oleh BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) dan UGT (usaha gabugan terpadu) Sidogiri Cabang Glenmore kepada nasabahnya dengan menggunakan akad Ba’i (salah satu akad jual beli) sekaligus akad Ijarah. 2. Implementasi Hukum Implementasi hukum sebagaimana pengertian di atas lebih cenderung memandang hukum sebagai jaringan nilai-nilai sebagaimana dikemukakan oleh kalangan ahli filsafat hukum. Hukum dipandang sebagai konsepsi abstrak di dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, oleh karena itu dengan sendirinya berkaitan erat dengan persoalan kesadaran hukum. Hal ini disebabkan karena kesadaran hukum itu merupakan suatu penilaian terhadap hukum yang ada serta hukum yang dikehendaki. Hukum hidup, I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sebagai sarana menciptakan kesejahteraan, ketentraman dan ketertiban bagi kedamaian dalam hidup sesama warga masyarakat. Kehadiran hukum itu sendiri mempunyai dua fungsi yang saling berdampingan satu sama lain, yaitu : sebagai sarana pengendalian sosial dan sebagai sarana untuk melakukan social engineering. Hukum sebagai sarana pengendalian sosial adalah fungsi hukum untuk menjaga agar setiap orang menjalankan perannya sesuai dengan yang telah ditentukan atau diharapkan. Perubahan sosial yang terjadi akan berpengaruh pula terhadap bekerjanya mekanisme pengendalian sosial ini. Hukum sebagai alat melakukan rekayasa masyarakat adalah hukum dalam fungsinya untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang telah ada dalam masyarakat, untuk mengarahkan kepada tujuantujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandang tidak sesuai lagi serta melakukan pola-pola kelakuan baru. Kalau Hukum ekonomi (konvensional) tumbuh di atas asas rasionalitas seperti paham kapitalisme, sosialisme, pasar bebas dan lainlain, maka ekonomi Syariah (Hukum Ekonomi Islam) tumbuh di atas asasasas yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Menjelaskan hukum ekonomi dalam makna aturan-aturan kegiatan untuk menyediakan kebutuhan yang diperlukan bagi kelangsungan hidup masyarakat dan angota-anggotanya, bisa juga mendasarkan pada action theorinya Max Weber yang menempatkan konsep tindakan individual yang menekankan bahwa realitas sosial tidaklah berwujud secara obyektif, manusia adalah merupakan aktor yang aktif dan kreatif dari relitas sosial. Pelaksanaan hukum yang juga meliputi makna penegakan hukum adalah merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah, dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergulatan hidup. Meskipun pelaksanaan atau penegakan hukum menjadi sesuatu yang wajib dilakukan, tetapi penegakan hukum bukanlah sekedar menegakkan mekanisme formal dari suatu aturan hukum. Para pelaksana hukum juga harus tetap menyertakan nilainilai yang terkandung dalam hukum, agar tercapai sebuah tujuan hukum seperti yang dicita-citakan. Melihat dari pernyataan di atas, selanjutnya Soerjono Soekanto, menjelaskan bahwa penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mungkin memepengaruhi hukum tersebut, yang terdiri dari : a. Faktor hukum itu sendiri. b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. e. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya,cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergulatan hidup.
I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
3. Berlakunya Hukum Islam di Indonesia. Mengenai berlakunya Hukum Islam dalam hal ini hukum ekonomi syariah di Negara Indonesia yang merupakan negara bangsa pluralis dengan keragaman agama adalah merupakan kebutuhan hukum bagi golongan tertentu yakni umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Inilah yang dimaksud oleh Van Apeldorn bahwa hukum sesungguhnya berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Ia berkaitan erat dengan unsur-unsur yang ada di dalamnya, yaitu: manusia, alam, tradisi, akal dan budinya. Menurut Sudarsono hukum melekat pada masyarakat dan hidup bersama masyarakat. Hukum adalah perbendaharaan kebudayaan manusia. Hukum ekonomi Islam atau sering disebut ekonomi syariah adalah merupakan sebuah bangunan ekonomi yang berdiri di atas prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi ia berkembang sesuai dengan dimensi tempat dan waktu. Konsep kesadaran hukum pada dasarnya sudah ada pada setiap manusia yang hidup bermasyarakat, akan tetapi kesadaran hukum dapat dibentuk melalui programprogaram pendidikan, penerangan dan penyuluhan. Kesadaran hukum bagi masyarakat Islam terhadap hukum agamaya, seharusnya melekat pada hati sanubari. Hal ini dikarenakan tujuan Tuhan menurunkan Syariah (hukum) Islam adalah untuk dilaksanakan sesuai apa yang dituntutNya, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan umat manusia serta untuk mengeluarkan manusia dari wilayah hawa nafsu ke wilayah ibadah. METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif yakni penelitian yang langsung berhubungan dengan obyek yang diteliti. Dalam hal ini diarahkan untuk memperoleh data yang diperlukan dari obyek penelitian yang sebenarnya adalah fakta tenteang penerapan akad bai’ul wafa di BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) dan UGT (usaha gabugan terpadu) Sidogiri cabang Glenmore. B. Sumber Data Sumber data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 macam : 1. Sumber Data Primer Data Primer adalah data yang secara langsung diperoleh dari sumber data pertama di lokasi penelitian atau obyek penelitian. Data primer dalam penelitian ini berupa data yang diperoleh secara langsung melalui observasi lapangan di BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) dan UGT (usaha gabugan terpadu) Sidogiri cabang Glenmore 2. Data Sekunder Adapun data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder dari data yang kita butuhkan Dalam penelitian ini, data sekunder tersebut berupa dokumen. Adapun metode pengumpulan datanya disebut metode dokumentasi, dimana metode I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
ini digunakan untuk mendapatkan data berupa data tertulis seperti buku, majalah, surat kabar, makalah, laporan penelitian dokumen. C. Obyek Penelitian Penilitian ini dilakukan di BMT(Baitul Maal Wat Tamwil) Sidogiri cabang Glenmore yang beralamat di Jln. Jember No 34 Karangharjo Rt. 03 Rw. 05 Glenmore 68466 Banyuwangi, (0333) 821627. D. Tekhnik Pengumpulan Data Salah satu tahap yang penting dalam proses penelitian adalah tahap pengumpulan data. Hal ini karena data merupakan faktor terpenting dalam suatu penelitian, tanpa adanya data yang terkumpul maka tidak mungkin suatu penelitian akan berhasil. Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah dengan cara: 1. Observasi Dimana peneliti memasuki Kantor BMT Sidogiri Cabang Glenmore dengan melihat langsung proses kegiatannya. 2. Wawancara atau Interview Metode ini peneliti gunakan untuk mencari data tentang penerapan akad Bai’ul Wafa di BMT(Baitul Maal Wat Tamwil) Sidogiri cabang Glenmore. 3. Dalam interview kali ini peneliti mewawancarai beberapa, Karyawan BMT) (Baitul Maal Wat Tamwil) Sidogiri, serta para nasabah yang ikut andil dalam menerapkan ekonomi Islam. 4. Dokumentasi Sumber data tertulis dapat dibedakan menjadi: dokumen resmi, buku, majalah, arsip, ataupun dokumen pribadi. E. Teknik analisis data Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan interaktif model, yang terdiri dari tiga komponen yaitu: pengumpulan data (data collection), reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), kesimpulan dan verifikasi data (conclution drawing and verifying) (Miles And Huberman, 2008: 104). PEMBAHASAN A. Proses Penerapan Akad Ijarah dan Ba’i dalam Pembiayaan Bai’ul Wafa Di BMT Dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi. Mengenai syarat-syarat sahnya akad pada pembiayaan Bai’ul Wafa yang dilakukan oleh BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi sebagai berikut : a. Ditetapkan besarnya margin dengan jelas. Yang berlaku di BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi, pinjaman tidak disebut kredit, akan tetapi disebut dengan pembiayaan. Jika seseorang datang kepada Koperasi Syariah dan ingin meminjam uang untuk membeli barang tertentu atau untuk modal usaha, maka ia harus melakukan jual beli dengan BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi. BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi bertindak I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
selaku penjual dan nasabah bertindak selaku pembeli. Jika BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi memberikan dana kepada nasabah, BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi tidak boleh mengambil dari keuntungan itu. Sebagai lembaga komersial yang mengharapkan keuntungan, BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi akan mencari keuntungan dengan jalan melakukan jual beli dimana BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi dapat mengambil keuntungan dari harga barang yang dijual, dan mencari keuntungan dari jual beli adalah transaksi yang diperbolehkan dalam Islam. Jadi harga jual adalah harga beli dari pemasok ditambah keuntungan. Besarnya keuntungan yang akan diperoleh BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi ditentukan berdasarkan kesepakatan. Besarnya keuntungan dari tiap-tiap transaksi berbeda-beda. Nasabah dapat menawar besarnya margin keuntungan yang harus dibayarkan kepada BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi, akan tetapi dalam hal ini Koperasi syariah mempunyai batasan minimal margin keuntungan. b. Cara menentukan margin keuntungan di awal akad yaitu : 1) Menentukan perkiraan biaya yang akan dikeluarkan dalam tahun kerja. 2) Menentukan besarnya pendapatan yang harus diperoleh dan berapa keuntungan yang diperoleh. 3) Melihat perilaku pasar banyaknya nasabah yang berminat. 4) Menentukan jumlah dana yang harus dihimpun dan menentukan alokasi dana untuk kemudian ditemukan margin keuntungan yang harus diperoleh dalam satu tahun. Oleh karena akad hanya satu kali, maka tahun-tahun berikutnya mengikuti besarnya margin tahun pertama. c. Syarat Administratif Pembiayaan Bai’ul Wafa, yaitu : 1) Pemohon perorangan, perusahaan, instansi atau yayasan. 2) Lampiran permohonan bagi pemohon perorangan : (a) KTP yang masih berlaku (b) Kartu keluarga (c) Persetujuan suami/isteri 3) Lampiran permohonan bagi pemohon perusahaan / instansi/yayasan (a) Anggaran Dasar/ Akta Pendirian (b) KTP para pengurus (c) NPWP (d) SIUP (e) Tanda Daftar perusahaan Berdasarkan data dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa akad Ijarah Dan Ba’i dalam pembiayaan Bai’ul Wafa telah memenuhi syarat keabsahannya yaitu diketahui secara jelas besarnya harga pertama yaitu harga pembelian dari supliyer, besarnya margin disepakati kedua belah pihak, walaupun nasabah membayar secara angsuran tetapi tidak dikenakan bunga
I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
serta persyaratan administratif mudah dan sederhana untuk mengetahui sifat ahliyah dari akid. B. Upaya BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi dalam Menerapkan Kaidah-kaidah Hukum Islam. Dalam praktik di BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi, bentuk akad Bai’ul Wafa adalah tertulis yang tertuang dalam formulir model tertentu yang telah disiapkan oleh BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi. Maksud digunakan akad Bai’ul Wafa secara tertulis yaitu untuk dijadikan suatu bukti tertulis tentang perikatan, disamping itu untuk menghindari kemungkinan apabila suatu saat nasabah wanprestasi. Adanya pertimbangan tersebut di atas, juga merupakan suatu dorongan bagi pihak BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi untuk tidak saja membuat akad Bai’ul Wafa secara tertulis, akan tetapi juga dituangkan dalam akad atau perjanjian standar. Prosedur atau cara permohonan bagi nasabah yang ingin memperoleh pembiayaan melalui tahap-tahap sebagai berikut : a. Persyaratan Pengajuan Pembiayaan Persyaratan Pengajuan Pembiayaan Bai’ul Wafa sesuai asas kepastian, yaitu : 1) Menyerahkan foto copy KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau tanda pengenal lain yang masih berlaku. 2) Menyerahkan foto copy kartu keluarga bagi perseorangan. 3) Menyerahkan foto copy NPWP (Nilai Pokok Wajib Pajak) dan foto copy AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) bagi yang mengajukan atas nama badan usaha. 4) Mengisi formulir persetujuan Pembiayaan Bai’ul wafa dan menandatanganinya. 5) Menyerahkan foto copy BPKB 6) Menadatangani Form Akad Bai’ul Wafa b. Prosedur Pengajuan Pembiayaan Bai’ul Wafa Adapun prosedur yang ditentukan sebagai berikut: 1) Nasabah datang ke BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) dan UGT (usaha gabugan terpadu) Sidogiri dengan maksud untuk melakukan jual beli Kendaraan bermotor dengan pembiayaan Bai’ul wafa 2) Nasabah mengajukan KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan Kartu Keluarga yang masih berlaku. 3) Petugas menyerahkan formulir persetujuan Pembiayaan Bai’ul Wafa 4) Kedua belah pihak menandatangani perjanjian Akad Bai’ul wafa. 5) Penaksiran Harga Kendaraan Bermotor. Mengenai harga kendaraan bermotor yang akan di jual kepada pihak BMT dan UGT Sidogiri, adalah harga yang berlaku di pasar. c. Biaya-biaya dalam Pembiayaan Bai’ul Wafa Dalam Pembiayaan Bai’ul Wafa dihindarkan adanya bunga, tetapi dikenakan biaya-biaya yang ditetapkan di awal transaksi. Biaya-biaya
I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
Pembiayaan Bai’ul Wafa selain margin, ada pula biaya administrasi sebesar Rp50.000,-(lima puluh ribu rupiah). Sedangkan untuk besarnya margin cicilan, makin lama akan makin tinggi. Dengan ketentuan sebagai berikut; apabila pembayaran dilakukan secara tunai (cash) maka akan mendapat margin sama dengan pembayaran selama 1 bulan yaitu sebesar 3 % untuk cicilan selama 6 bulan margin sebesar 6 %, untuk cicilan selama 12 bulan margin sebesar 12 %, hingga cicilan selama 36 bulan maka margin sebesar 36 % Sebagai contoh perhitungan pembiayaan akad Bai’ul wafa sebagai berikut: Bapak X menjual kendaraan bermotor nya kepada pihak BMT dan UGT Sidogiri,dengan harga Rp 10.000.000 beliau ingin melakukan pembiayaan Bai’ul Wafa dengan jangka waktu 12 bulan ,kemudia motor yang telah di jual tersebut di sewakan kembali oleh BMT dan UGT Sidogiri kepada nasabah dengan biaya sewa sebesar Rp 120.000( wawancara dengan salah seorang nasabah pembiayaan bai’ul wafa). Berdasarkan data yang penulis dapatkan, semua transaksi Pembiayaan Bai’ul Wafa berjalan lancar tanpa adanya kendala yang berarti. Hanya saja tidak tertutup kemungkinan ada nasabah/pembeli yang tidak mampu melanjutkan cicilan hutang dalam pembiayaan Bai’ul Wafa. Dalam menentukan calon nasabah pihak di BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi, menganalisa para calon nasabah secara lengkap, akurat dan obyektif dengan meliputi aspek-aspek : a. Karakter (Character) Evaluasi terhadap karakter calon nasabah melalui wawancara yang memungkinkan diambilnya suatu kesimpulan bahwa calon nasabah yang bersangkutan mempunyai integritas untuk membayar kembali pembiayaan yang diterimanya serta kewajiban-kewajiban lainnya. b. Kemampuan (Capacity) Penilaian atas kemampuan setiap calon nasabah untuk membayar kembali pembiayaan yang telah diiterimanya serta kewajiban-kewaajiban lainnya. Batas pembiayaan untuk nasabah ditentukan berdasarkan kemampuan yang bersangkutan membayar kembali, bukan atas dasar jumlah uang pembiayaan yang dimohonkan atau nilai agunan yang diberikan. c. Kondisi (Condition) Penilaian kondisi-kondisi yang akan menimbulkan masalah pada pembayaran kembali di masa yang akan datang, sehingga proses evaluasi kelayakan usaha tidak hanya didasari post performance, tetapi juga evaluasi terhadap prospek kondisi yang akan datang. d. Agunan (Collateral/rahn) Agunan merupakan pengamanan untuk pengembalian pembiayaan. Setiap pembiayaan yang diberikan harus mempunyai agunan yang dapat dipertanggung jawabkan untuk menutup kerugian atas pembiayaan yang mungkin timbul. Dalam menganalisis permohonan pembiayaan yang diajukan oleh nasabah, BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi juga memperhatikan unsur-unsur I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
1) Kepercayaan, yaitu keyakinan dari BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore bahwa prestasi yang diberikannya benarbenar dapat diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang. 2) Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian pembiayaan dengan kontra prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang . Untuk itu pemberian pembiayaan Bai’ul Wafa ditentukan maksimal 2 tahun. 3) Degree of risk, yaitu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian pembiayaan dengan kontraprestasi yang akan diterimanya dikemudian hari. Semakin lama jangka awaktu pembiayaan yang diberikan semakin tinggi pula risikonya. Persyaratan dan prosedur pemberian pinjaman atau pembiayaan sebagaimana hasil penelitian tersebut, menurut penulis telah ditentukan oleh BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi berdasarkan kaidah-kaidah Hukum Islam, akad secara tertulis, pembiayaan/hutang dapat pakai jaminan, tidak dipungut bunga, perjanjian ditentukan oleh kedua belah pihak dan pembiayaan tidak mengandung gharar. 1. Keputusan Atas Permohonan Pembiayaan Maksud keputusan disini adalah setiap tindakan pejabat pada lembaga keuangan Syariah berdasarkan wewenangnya berhak mengambil keputusan untuk menolak, menyetujui dan atau mengusulkan permohonan pembiayaan kepada pejabat yang lebih tinggi. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka Kepala BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan: a. Keputusan untuk menolak. Dalam hal ini calon nasabah segera diberitahu dan diberi alasanalasan penolakan. b. Keputusan untuk menerima. Persetujuan permohonan pembiayaan diberikan apabila pemohon telah memenuhi persyaratan dalam pengajuan permohonan pembiayaan. Apabila permohonan telah diterima oleh BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore, maka proses berikutnya adalah pelaksanaan penanda tangan akta Akad Bai’ul Wafa. Setelah itu dilaksanakan realisasi pembiayaan. Jangka waktu realisasi adalah 15 hari. Apabila sampai batas waktu tersebut calon nasabah tidak merealisasikannya, maka akad Bai’ul Wafa dianggap batal. Karena untuk memberikan keputusan tersebut didasarkan pada suatu kriteria dan analisis tertentu, maka sifatnya obyektif berdasarkan kejujuran dan keadilan yang dapat dipertanggung jawabkan kepada Sang Pencipta. Hal ini menunjukkan penerapan prinsip kejujuran, keadilan dan prinsip tauhid dalam ekonomi syari’ah. 2. Keistimewaan yang Ditawarkan dalam Pembiayaan Bai’ul Wafa. I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
a. Nasabah bisa memiliki kembali barang yang telah dijualnya. b. Proses Cepat. c. Priosedur sangat mudah tanpa persyaratan yang berbelit, cukup dengan membawa marhun yang akan di jual dengan bukti kepemilikan atau hanya dengan melampirkan bukti identitas serta tak perlu membuka rekening atau cara lain yang merepotkan. d. Biaya yang tidak memberatkan e. Jaminan keamanan atas barang. f. Memberikan keringanan dalam melakukan angsuran atas hutang yang diberikan sesuai dengan kesepakatan. g. Nasabah boleh melakukan pembayaran secara tangguh dengan jangka waktu yang telah disepakati. C. Hambatan Pembiayaan Akad Bai’ul Wafa. Untuk membahas data hambatan pembiayaan Bai’ul Wafa di BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore, penulis berpedoman pada lima faktor yang mempengaruhi bekerjanya hukum dari Soerjono Soekanto sebagaimana telah diketengahkan dalam bab kajian teori, yaitu sebagai berikut : 1. Faktor Hukum itu sendiri. Data yang diperoleh dari penelitian menunjukkan bahwa BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi dalam melakukan pembiayaan Bai’ul Wafa dengan akad ijarah dan ba’i, tidak termasuk transaksi yang dilarang, karena dalam transaksi pembiayaan tersebut akad Ba’i sebagai akad/perjanjian pokok, sedangkan akad Ijarah sebagai akad /penjanjian asessoir. Akan tetapi sudah merupakan sifat dari Hukum Islam yang di dalamnya banyak terdapat perbedaan pendapat karena perbedaan metode ijtihad, maka hal ini bisa menjadi hambatan hukum dalam memasarkan produk pembiayaan Bai’ul Wafa pada BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi. 2. Faktor Pelaksanaan Akad Akad Bai’ul Wafa pada BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi hanya meliputi akad Ijarah dan Ba’i. Dalam hal ini BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi menfasilitasi masyarakat untuk memiliki kembali barang yang telah dijual nya dengan cara angsuran dengan proses yang sangat mudah, cepat dan fleksibel. Pelaku akad yaitu pihak nasabah dan BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi sering menghadapi hambatan dalam melaksasnakan isi akad dikarenakan nasabah sering tidak memahami sepenuhnya akad yang telah disepakatinya. Blangko akad sudah disediakan oleh pihak dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore dan syaratsyarat perjanjian sudah tertulis didalamnya. Begitu pula dari pihak pegawai dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi sering tidak proaktif memberikan keterangan yang jelas kepada nasabah atas akad yang sedang dibuat agar akad tersebut tidak
I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
cacat hukum karena ada faktor yang tersembunyi atau tidak terang pengertiannya. 3. Faktor Sarana Pendukung Untuk pembiayaan Bai’ul Wafa, jaminan yang harus diserahkan oleh nasabah sudah ditentukan, yaitu surat surat Kendaraan Bermotor seperti BPKB yang di miliki oleh nasabah. Surat surat Kendaraan Bermotor ditahan atau tidak diserahkan oleh pihak BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore dengan Akad Bai’ul Wafa sampai nasabah membayar lunas seluruh pembiayaan. Karena barang jaminan adalah barang harta benda yang berharga, maka membutuhkan tempat penyimpanan yang aman. Oleh karena itu, pihak BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi harus didukung sarana berupa tempat penyimpanan yang aman. 4. Faktor Masyarakat Pembiayaan Bai’ul Wafa pada BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore kurang disosialisasikan kepada masyarakat. BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore di mata masyarakat adalah tempat mendapatkan pembiayaan (hutang) berupa uang dengan jaminan harta tidak bergerak. Sedang pembiayaan Bai’ul Wafa adalah pembiayaan. Padahal prinsip utama dalam Bai’ul Wafa adalah setiap barang harta yang dapat dijual belikan, yaitu barang yang diperoleh secara halal dan dapat di miliki kembali oleh nasabah. 5. Faktor Budaya Budaya tidak /kurang disiplin menepati waktu yang masih subur terutama pada masyarakat menengah ke bawah bisa menjadi faktor penghambat pelaksanaan pembiayaan Bai’ul Wafa pada BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi. Bila nasabah terlambat membayar angsuran sekali saja, maka ia terkena denda keterlambatan, padahal denda keterlambatan dalam melunasi angsuran bisa terakumulasi sehingga sangat memberatkan bagi nasabah. Apabila nasabah tidak melaksanakan kewajiban membayar angsuran pada tanggal yang telah ditetapkan, maka dikenakan denda yang besar kecilnya ditentukan oleh lamanya keterlambatan dalam melunasi angsuran; Dikenakan denda 2 % ,jika terlambat membayar angsuran sampai dengan 7 hari; didenda 4 % jika terlambat membayar sampai dengan 14 hari, dan denda 6 % untuk keterlambatan membayar angsuran antara 15 hari sampai dengan 21 hari. Denda demikian ini tidak ubahnya seperti bunga yang dikenakan oleh koperasi konvensional, meskipun uang hasil pembayaran denda nasabah akan diperuntukkan sepenuhnya untuk kepentingan sosial. D. Respon dan Persepsi Masyarakat Terhadap Produk Bai’ ul Wafa pada BMT (Baitul Maal wat Tamwil) Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi Respon masyarakat tentang adanya BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi secara umum dapat dikategorikan baik, akan tetapi masih banyak yang ragu-ragu mengenai sistem bagi hasilnya disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang BMT (Baitul Maal wat Tamwil) Sidogiri, entah itu mengenai nama-nama produk, jenis dll. Adapun hal-hal I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
yang mempengaruhi respon masyarakat tentang adanya BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi adalah membaiknya perekonomian masyarakat yang telah menggunakan jasa BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi, dan mayoritas masyarakatnya adalah muslim. Adapun sikap masyarakat Glenmore sangat antusias sekali dikarenakan proses pelayanan yang baik, Kinerja keuangan yang baik dan nasabah tidak perlu datang ke kantor BMT untuk menabung karena petugas lapangan yang akan datang untuk menarik tabungannya. Dan jumlah minimal uang yang harus ditabungkan di sana tidak terlalu besar yaitu hanya sebesar Rp 5000., dimana hal ini sangat membantu masyarakat khusus nya yang berpenghasilan rendah agar bisa menabungkan uangnya. Lebih rinci data penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut : dengan informan dari masyarakat sebanyak 25 orang, sebagaimana tersaji dalam tabel di bawah, diketahui ada 8 orang atau 29 % yang memilih mengajukan pembiayaan Bai’ul Wafa dengan alasan mengikuti syariat Islam, 5 orang atau 24 % dengan alasan karena prinsip bebas bunga, dan 8 orang atau 29 % dengan alasan mudah persyaratannya serta 4 orang atau 18 %. Margin lebih rendah dari bank. Ini menunjukkan bahwa adanya prinsip syariah diterima sebagai hal baru yang lebih baik daripada sistem konvensional dengan asumsi bahwa prinsip bebas bunga dianggap lebih baik dan hal ini dapat dipahami bahwa mayoritas masyarakat Islam berpegang teguh pada ajaran agama Islam yang mengajarkan bahwa pembebanan bunga sebagaimana dalam sistem konvensional adalah tidak diperbolehkan. Selanjutnya 29 % responden menjawab bahwa persyaratan untuk memperoleh pembiayaan Bai’ul Wafa adalah mudah . Hal ini karena memang persyaratan untuk mendapatkan pembiayaan Bai’ul Wafa sangat mudah dan tidak berbelit-belit. Nasabah cukup menyerahkan KTP/identitas resmi lainnya, mengisi formulir aplikasi Bai’ul Wafa, dan menandatangani akad Bai’ul Wafa. Dan hanya 18% responden yang menjawab bahwa margin keuntungan yang harus diberikan lebih rendah dibandingkan dengan bank adalah karena responden menilai bahwa keuntungan yang harus diberikan nasabah pada BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi adalah lebih rendah dari bank yang menerapkan sistem bunga. Responden mengajukan pembiayaan Bai’ul Wafa ke BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi, karena bebas bunga,dan mudah. Tabel 1. Alasan masyarakat memilih akad Ba’I Ul Wafa pada BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi. NO
Alasan Informan
Jumlah
prosentase
1
Mengikuti syari’at islam
8
29%
2
Prinsip bebas bunga
5
24%
3
Mudah persyaratannya
8
29%
4
Margin yang harus di berikan lebih rendah dibandingkan dengan bank
4
18%
Jumlah
25
100%
Sumber : Data Primer, Tahun 2014 I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
Keberadaan BMT dan UGT Sidogiri Cabang Glenmore Banyuwangi merupakan suatu rangsangan yang menimbulkan berbagai macam persepsi dari kalangan masyarakat terhadap sistem operasional BMT (Baitul Maal wat Tamwil) yang tidak menggunakan bunga. Tabel 2. Persepsi masyarakat terhadap bunga bank konvensional NO
Alasan Informan
Jumlah
Prosentase
1
Bunga Bank, Haram
20
80%
2
Bunga Bank, Subhad atau Boleh
5
20%
Jumlah
25
100%
Sumber : Data Primer, Tahun 2014 Persepsi masyarakat terhadap bunga bank konvensional ternyata cukup bervariasi. Secara umum dapat dilihat bahwa masyarakat yang menyatakan bahwa bunga bank hukumnya haram adalah 80% dari total informan 25 orang. Sedangkan masyarakat yang menyatakan halal dan subhat adalah 20%. Adapun 80% masyarakat di Kabupaten Banyuwangi yang menyatakan tentang Pengharaman terhadap bunga bank lebih dikarenakan pada pola keberagamaan masyarakat yang beranggapan bahwa bunga bank hukumnya sama dengan hukum riba, sedangkan 20% masyarakat yang membolehkan bunga bank lebih ditekankan pada aspek kebiasaan masyarakat di dalam menggunakan atau berhubungan dengan lembaga keuangan konvensional (menjadi nasabah lembaga keuangan konvensional) dan yang menyatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat dikarenakan sikap keragu-raguan masyarakat akibat perbedaan pendapat para tokoh agama dalam menyikapi hukum bunga bank. Sedangkan sebanyak 93,33% informan, menyatakan mengetahui tentang adanya informasi BMT dan UGT Sidogiri dengan alasan mengetahui BMT dan UGT Sidogiri dari teman atau saudara, ada yang dari beberapa media seperti, brosur, spanduk atau papan reklame dan lain-lain. Sedangkan yang menyatakan tidak tahu tentang informasi tersebut sebanyak 6,66% dengan alasan belum pernah mendapat informasi kemudian kurangnya sosialisasi dari BMT dan UGT Sidogiri tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat di Kabupaten Banyuwangi cukup banyak yang mengetahui daripada yang tidak mengetahui tentang informasi BMT (Baitul Maal wat Tamwil) Sidogiri. Adapun faktor yang mempengaruhi persepsi positif masyarakat terhadap keberadaan BMT dan UGT Sidogiri tersebut lebih dikarenakan adanya alternatif bagi masyarakat untuk dapat menginvestasikan uangnya pada BMT dan UGT Sidogiri dan adanya kepedulian masyarakat muslim di Kabupaten Banyuwangi terhadap produk syari’ah yang cukup tinggi. Hal ini tidak lepas dari faktor pengetahuan masyarakat terhadap sistem syari’ah yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga tersebut. Selain itu sistem operasional BMT dan UGT Sidogiri dengan prinsip bagi hasilnya mampu meningkatkan ekonomi masyarakat yang sebagian besar didominasi masyarakat menengah ke bawah dan juga loyalitasnya
I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
sebagai muslim untuk dapat mengimplementasikan ajaran Islam dalam bidang ekonomi. Sedangkan faktor yang mempengaruhi masyarakat menggunakan jasa BMT dan UGT Sidogiri lebih disebabkan pada ketertarikan masyarakat terhadap penerapan prinsip bagi hasil sesuai syari’ah Islam dan ingin terhindar dari riba, adanya jaminan keamanan dan keuntungan melebihi keuntungan yang diperoleh dari sistem bunga serta kedekatan jarak rumah dengan tempat Lembaga Keuangan tersebut menjadi faktor masyarakat memilih menggunakan jasa BMT dan UGT Sidogiri. Akan tetapi tidak semua orang berpendapat seperti di atas. Ada juga pandangan masyarakat yang menyatakan bahwa prosedur atau proses akad terlalu sulit dipahami oleh masyarakat, namun lebih mudah dan cepat dalam sistem operasional lembaga keuangan konvensional. Dana kemudian pada tataran penggunaan jasa, hanya 33,33% masyarakat yang ikut menjadi nasabah lebih dikarenakan kepercayaan kepada figur tokoh pendiri dari BMT dan UGT Sidogiri tersebut. PENUTUP Untuk menciptakan BMT dan UGT Sidogiri yang ideal, kiranya masih perlu kerja keras dari seluruh umat Islam terutama para praktisi dan pemikir ilmuan muslim. Penilaian masyarakat tentang BMT khususnya BMT dan UGT Sidogiri menjadi modal dasar untuk mengetahui kekurangan dan kelebihannya sehingga pada saatnya nanti BMT dan UGT Sidogiri dapat meningkatkan manajemen profesional dengan tetap berpijak pada prinsipprinsip syariah. Perlu adanya sosialisasi khususnya mengenai prinsip bagi hasil, sehingga masyarakat lebih mengetahui tentang rasio (pembagian) bagi hasil pada BMT (Baitul Maal wat Tamwil) Sidogiri. Dengan demikian, masyarakat dapat membandingkan secara objektif dan menentukan pilihannya di BMT dan UGT Sidogiri atau Lembaga Keuangan Konvensional. Meningkatkan pada kualitas jasa pelayanan. Dan jika BMT (Baitul Maal wat Tamwil) Sidogiri ingin membangun kepuasan dan loyalitas dari pelanggan ataupun nasabah maka harus lebih menonjolkan dimensi penerapan syariah yang dalam hal ini adalah konstruksi syariah. Misalnya tampilan pada BMT dan UGT Sidogiri, brosur, interior, eksterior dan sikap karyawan yang mencerminkan penerapan syariah.
DAFTAR PUSTAKA Al-fiqh al-islami wa adillatihi, wahbah zuhaili, vol 9 hal. 234, darul fiqri 2008 Abu al-A’la al-Maududi, Ar-Riba, Dar al-Fikr, Beirut, tt., hlm. 80-81 Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushuli al-Syariah, Mustafa Muhammad, Kairo, Adi Warman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Agus Riswandi, Budi, Aspek Hukum Internet Banking, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005. Ahmad Ab al-Fath, Kitab al-Muamalat fi asy-Syariah al-Islamiyah wa al Qawanin al-Misriyah, dalam Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian syariah
I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Ali, Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, CV.Asy-Syifa’, Semarang, 1999. Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008. fiqh as-sunnah, Vol 3 hal. 90 cetakan darulkitab al-‘arabi, 1983 Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, , Jakarta, 2006. Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Diskripsi dan Ilustrasi, Ekonsia FE UII, Yogyakarta, 2005. Ibnul Qoyyim al Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in, juz II, tnp., ttp., tt., hlm. 132 Mohammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, dari Teori ke Praktek, Gema Insani, Jakarta, 2001. Monografi Kecamatan Glenmore Tahun 2013. Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Terjemahan Syaifullah Maksum, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2002:129 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Terjemah, Jilid 12, , Terjemahan Kamaluddin A.M., PT. Al- Ma’arif, Bandung, 1988. Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih muamalat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1980. Soerjono Soekanto, Implementasi Hukum di Indonesia, PT. Grafindo, Bandung, 2009 Zakariya Ali Yusuf an-Nawawi, Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, jilid IX, Kairo, tt., Peraturan Perundang-Undangan : Fatwa Dewan Syariah No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Ijarah. Fatwa Dewan Syariah No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Bai’ Internet : http://www.investasi-emas.info/index.php?mod=index&act=faq,Akses tanggal 26 Mei 2014. Merriam-Webster Online, http://www.merriam webster. Com / dictionary / implement, 6 Juni 2014 http://rafiqatul-hanniah.blogspot.com/2014/06/artikelBaitul Maal Wat (BMT).html http://putracenter.net/2014/05/26/sekilas-dengan-lembaga-keuangan-syariah/. http://thewinnerlife.blogspot.com/2014/05/26
I S T I Q R O ’ JURNAL HUKUM ISLAM, EKONOMI DAN BISNIS
Vol.1. No.1. Januari 2015, ISSN 2460-0083
Tamwil