Resiliensi pada Keluarga yang Tinggal di Lingkungan Lokalisasi Dupak, Bangunsari Nida Issabela Wiwin Hendriani Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
Abstract: This study aimed to determine the resilience of families who living in the neighborhood Dupak Bangunsari localization. Research carried out on two families who lived in the neighborhood Dupak Bangunsari localization. This study used interview to data collection. Data collection tool used was a digital recorder. Interview data analysis techniques used thematic analysis conducted after the coding of verbatim interviews.The results showed that the positive interaction between risk factors and protective factors in families living in the neighborhood Dupak Bangunsari localization. It makes them come up to the resilience behavior. In this case, protective factors in families can make them have positive adaptation to cope the negatif influences from localization circumstances.
Keywords: resilience, family, localization Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui resiliensi pada keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi Dupak, Bangunsari. Penelitian dilakukan pada dua keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi Dupak Bangunsari. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara. Alat pengumpul data yang digunakan adalah alat perekam digital. Analisis data wawancara digunakan dengan teknik analisis tematik setelah sebelumnya dilakukan koding terhadap verbatim hasil wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi positif antara faktor resiko dengan faktor protektif pada keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi Dupak, Bangunsari membuat mereka memunculkan perilaku resiliensi. Dalam hal ini, faktor protektif yang dimiliki keluarga mampu membuat keluarga melakukan adaptasi positif untuk menghadapi tantangan dalam lingkungan lokalisasi.
Kata kunci: resiliensi, keluarga, lokalisasi
Sebagai salah satu bisnis tertua dalam sejarah dunia, bisnis prostitusi tetap bertahan seiring perkembangan zaman. Di Indonesia, bisnis prostitusi bukan merupakan fenomena asing. Mulai dari bentuk yang dilegalisasi oleh pemerintah sebagai sebuah wilayah yang khusus untuk tempat prostitusi seperti kawasan Bandar
Baru di Sumatera Utara, Dolly di Surabaya, Pasar Kembang atau Sarkem di Yogyakarta, sampai kebentuk-bentuknya yang tergolong ilegal, yaitu kegiatan prostitusi yang keberadaannya tidak diakui oleh pemerintah. Wilayah yang khusus diperuntukkan bagi kegiatan prostitusi umumnya dikenal sebagai wilayah lokalisasi. Soedjono D
Korespondensi: Wiwin Hendriani, Departemen Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, Telp. (031) 5032770, 5014460, Faks (031) 5025910, E-mail:
[email protected] atau
[email protected]
176
INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
Nida Issabela, Wiwin Hendriani
(1973: 122-124) menyebutkan pengertian lokalisasi sebagai sebentuk usaha untuk mengumpulkan segala macam aktivitas/kegiatan pelacuran dalam satu wadah, selanjutnya hal ini disebut sebagai kebijaksanaan lokalisasi pelacuran. Pengadaan lingkungan lokalisasi dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif lokalisasi dari dunia luar dengan cara mengisolir kegiatan prostitusi pada suatu tempat tertentu. Hal ini dilakukan dengan tujuan utama untuk meminimalisasi akibat-akibat atau dampakdampak buruk yang ditimbulkan oleh kegiatan prostitusi tersebut bagi masyarakat umum. Namun seiring dengan maraknya urbanisasi dan kurangnya lahan pemukiman yang tersedia di kota, keberadaan lokalisasi hanya sebagai pusat kegiatan prostitusi telah bergeser. Saat ini, lokalisasi tidak hanya dihuni oleh para wanita tuna susila saja, melainkan juga warga masyarakat yang tidak terlibat dalam bisnis prostitusi (Sunardi, 1997). Menurut Siregar (1985), lokalisasi merupakan lingkungan masyarakat yang di dalamnya seringkali terjadi pelanggaranpelanggaran terhadap norma-norma sosial yang dianut masyarakat dan yang selama ini diajarkan oleh keluarga. Selain kenyataan bahwa seks bebas menjadi pemandangan yang biasa di lingkungan lokalisasi, di dalamnya juga sering terjadi peristiwa-peristiwa penganiayaan, pemerasan, penyalahgunaan obat terlarang, pembunuhan serta berbagai bentuk kejahatan lainnya. Pada kompleks lokalisasi Dupak Bangunsari di Surabaya, kompleks lokalisasi tepat berada ditengah-tengah atau menjadi satu dengan pemukiman warga. Keberadaan rumah tangga biasa yang bersebelahan atau berhadap-hadapan dengan wisma prostitusi merupakan pemandangan yang umum. Dari delapan gang, kompleks pelacuran yang ramai hanya terdapat di gang I, II, dan III. Meskipun demikian, dalam setiap gang lain masih terdapat wisma-wisma pelacuran, walaupun hanya berjumlah satu atau dua. Kondisi dan situasi wisma-wisma yang terletak di luar gang I, II, dan III tersebut masih sama dengan wisma pada kompleks pelacuran umumnya, dimana para PSK di wisma-wisma tersebut setiap sore berada di luar wisma untuk menarik pelanggan. Kegiatan yang mereka lakukan biasanya duduk-duduk di kursi panjang yang sengaja diletakkan tepat di depan wisma. Saat INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
para PSK tersebut berada di luar, masih sering dijumpai warga masyarakat sekitar yang juga berada di luar untuk sekadar mengobrol ataupun mengasuh anak mereka. Perbedaan yang mencolok tampak dari dandanan para PSK yang melebihi dandanan warga sekitar. Interaksi antara PSK dengan warga sekitar berlangsung tanpa ada penghalang. Anak-anak bermain dengan leluasa walaupun di sektar mereka para PSK sedang mencari pelanggan. Terkadang, beberapa orang melintas dan para PSK mengeluarkan kalimatkalimat yang mengundang, seperti “Mampir mas..”. Masalah- masalah yang timbul akibat membaurnya warga masyarakat dengan kompleks lokalisasi menimbulkan tantangan bagi keluarga di lingkungan tersebut untuk tetap dapat menjalankan keberfungsian keluarganya secara positif. Salah satu poin penting bagi keluarga dalam menjaga keberfungsian positif keluarganya adalah dengan memperkuat resiliensi keluarga. Kalil (2003:15) mengemukakan bahwa resiliensi keluarga merujuk kepada proses coping dan adaptasi dalam keluarga sebagai unit yang fungsional. Proses tersebut merupakan interaksi dari berbagai faktor baik itu faktor internal dari individu tersebut ataupun faktor eksternal yang berkaitan dengan lingkungan ataupun masyarakat (Bernard dalam Desmita, 2006). Selain itu, resiliensi sebagai suatu proses yang dinamis dikemukakan Luthar (2000:543) bahwa resiliensi merujuk kepada sebuah proses dinamis yang meliputi adaptasi positif dalam menghadapi persoalan yang signifikan. Dalam pengertian ini terkandung dua kondisi kritis dalam resiliensi : (1) keterbukaan terhadap gangguan yang signifikan atau permasalahan yang berat; dan (2) pencapaian adaptasi yang positif meskipun menghadapi rintangan dalam rentang masa perkembangan. (Luthar, Cicchetti, & Becker, 2000, p. 543; see Roberts & Masten, Chapter 2; Werner, Chapter 1). Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam prosesnya keluarga yang resilien merupakan keluarga yang memilih cara yang positif, efektif, dan tidak menimbulkan efek negatif lain yang saling berkaitan dalam menghadapi tantangan. Sebagai unit terkecil yang melingkupi kehidupan sehari-hari seseorang, memang tidak
177
Resiliensi pada Keluarga yang Tinggal di Lingkungan Lokalisasi Dupak, Bangunsari
dapat dipungkiri bahwa keluarga memerankan peran yang signifikan dalam tumbuh kembang seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Hogue dan Liddle (1999) menyatakan bahwa keluarga memegang peranan penting dalam membentuk perkembangan anak. Hal ini memunculkan kesadaran bahwa keluarga merupakan unit terdekat yang signifikan dalam penyaluran pengaruh lingkungan terhadap perkembangan anak. Menurut pandangan Baldwin (1990), karena keluarga memainkan begitu banyak peranan sentral dalam kehidupan anak, maka keluarga merupakan unit yang paling kompeten dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi tumbuh kembang anak. Keluarga merupakan institusi sosial yang bersifat universal dan multifungsional. Walaupun setiap keluarga dapat memiliki struktur yang berbeda, namun kebanyakan keluarga memiliki tugas yang serupa seperti pengasuhan bagi anak, menyediakan kebutuhan dasar anggota keluarga, menyediakan dukungan emosional, menyokong sosialisasi anggota keluarga, menjaga tradisi keluarga dan menanamkan tanggungjawab kepada anggota keluarga. Menurut Brofenbenner (1979), mikrosistem dalam keluarga (disebut juga sebagai kondisi yang dialami keluarga saat ini) memberikan kunci bagi perkembangan anggota keluarga. Resiliensi keluarga dapat diperoleh dengan adanya mikrosistem yang sehat bagi perkembangan anggota keluarga. Sedangkan Walsh (1998) mengemukakan tiga aspek yang mendukung resiliensi dalam keluarga. Ketiga aspek tersebut terdiri dari: (1) kelekatan keluarga (family cohesion); (2) sistem kepercayaan yang dianut keluarga, dalam hal ini terutama faktor religi (family belief sistem); serta (3) strategi coping (coping strategies). Lingkungan lokalisasi merupakan lingkungan yang menuntut adaptasi lebih pada ke l u a rg a d a l a m m e n gh a d a p i p e n g a r u h lingkungan. Untuk itu, keluarga yang tinggal dalam lingkungan lokalisasi dituntut untuk menguatkan faktor protektif yang ada dalam keluarga. Kelekatan keluarga merupakan suatu hal yang harus dijaga untuk menghindarkan anggota keluarga dari pengaruh negatif lokalisasi. Dengan adanya kelekatan, masing-masing individu dalam keluarga akan merasa bertanggungjawab akan
178
terciptanya lingkungan yang positif bagi perkembangan individu lain. Selain itu, faktor spiritualitas juga memegang peranan penting dalam menjaga agar keluarga tidak ikut terjerumus dalam lokalisasi. Perasaan kedekatan terhadap Tuhan, kepatuhan akan apa yang dinilai baik dan buruk dalam keyakinan yang dianut keluarga akan memberikan kekuatan bagi keluarga untuk menghindari keterlibatan dalam lokalisasi. Selain itu, strategi coping juga turut menjaga agar keluarga di lingkungan lokalisasi dapat tetap m e m p e r t a h a n k a n re s i l i e n s i ny a . D a l a m melakukan coping, komunikasi dan strategi pemecahan masalah (problem solving) merupakan dua kunci utama untuk mencapai fungsi keluarga yang positif (e. g. Compas et al. 2001, Krysan et al.1990, Werner 1995). Tidak ada keluarga yang bebas dari masalah, demikian juga keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi. Namun, bagaimanapun keluarga yang tinggal dalam lingkungan lokalisasi menghadapi masalah, mereka harus tetap mencari strategi pemecahan masalah yang bebas dari nilai negatif lokalisasi. Hal ini penting karena keterlibatan salah satu anggota keluarga dalam bisnis lokalisasi akan menimbulkan pengaruh negatif bagi kesehatan perkembangan anggota keluarga yang lain. Dalam hal ini, komunikasi yang berkualitas di dalam keluarga menjadi suatu hal yang penting dan harus dipertahankan. Dengan adanya keterbukaan dan komunikasi yang positif dalam keluarga, diharapkan keluarga dapat menemukan strategi pemecahan masalah yang terbaik bagi keluarga tanpa harus terlibat dalam bisnis lokalisasi. Tantangan demi tantangan yang dihadapi keluarga yang tinggal dalam lingkungan lokalisasi menuntut kuatnya resiliensi dalam keluarga. Mudahnya pengaruh negatif lokalisasi muncul dalam keseharian keluarga menjadi faktor resiko yang harus dihadapi keluarga dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi kesehatan tumbuh kembang anggota keluarga. Kelekatan keluarga (family cohesion), sistem kepercayaan yang dianut keluarga (family belief sistem), dan strategi coping (coping strategies) merupakan aspek-aspek yang membantu keluarga dalam memaksimalkan pencapaian resiliensinya. Namun, bagaimanapun lingkungan lokalisasi INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
Nida Issabela, Wiwin Hendriani
memberikan pengaruh kepada keluarga yang hidup di dalamnya, keluarga di lingkungan l o k a l i s a s i d i t u n t u t u n t u k te t a p d a p a t mempertahankan keberfungsian positif keluarga demi kesehatan fungsi individu dalam keluarga dan masyarakat. Fenomena di atas melatarbelakangi penulis untuk mengkaji dinamika resiliensi pada keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi, dimana walaupun lingkungan tempat keluarga tersebut tinggal dan menjalankan fungsinya sebagai sebuah keluarga memberikan pengaruhpengaruh negatif yang cukup kuat, namun keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi d i t u n t u t u n t u k te t a p m a m pu m e n j a g a keberfungsian positif keluarga agar tetap berjalan efektif. Hal ini menjadi alasan bagi peneliti untuk berfokus pada bagaimana keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi berproses untuk menjaga resiliensi keluarganya agar tidak terkena dampak negatif dari lingkungan lokalisasi di sekitarnya. Lokalisasi merupakan sebentuk usaha untuk mengumpulkan segala macam aktivitas/kegiatan pelacuran dalam satu wadah, selanjutnya hal ini disebut sebagai kebijaksanaan lokalisasi pelacuran (Soedjono, 1973: 122-124). Terrence H. Hull, dkk (1997: 30) mengartikan lokalisasi sebagai suatu wilayah yang dibangun oleh pemerintah yang merupakan salah satu bagian dari kampanye disiplin sosial dan pengendalian. Lokalisasi pada umumnya terdiri atas rumah-rumah kecil yang berlampu merah, yang dikelola oleh mucikari atau germo. Di tempat tersebut disediakan segala perlengkapan, tempat tidur, kursi tamu, pakaian, dan alat berhias. Juga tersedia gadis dengan tipe karakter dan suku bangsa yang berbeda. Tujuan dari diadakannya lokalisasi menurut Kartono (2007:249) adalah: 1. Untuk menjauhkan masyarakat umum, terutama anak-anak puber dan adolesens dari pengaruh-pengaruh immoral dari praktik pelacuran. Juga menghindarkan gangguangangguan kaum pria hidung belang terhadap wanita-wanita baik; 2. Memudahkan pengawasan para wanita tunasusila, terutama mengenai kesehatan dan keamanannya. Memudahkan tindakan preventif dan kuratif terhadap penyakit kelamin; 3. Mencegah pemerasan yang keterlaluan terhadap para pelacur, yang pada umumnya selalu INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
menjadi pihak yang paling lemah; 4. Memudahkan bimbingan mental bagi para pelacur, dalam usaha rehabilitasi dan resosialisasi. Kadangkala juga diberikan pendidikan ketrampilan dan latihan-latihan kerja, sebagai persiapan untuk kembali ke dalam masyarakat biasa. Khususnya diberikan pelajaran agama guna memperkuat iman, agar bisa tabah dalam penderitaan; 5. Kalau mungkin diusahakan pasangan hidup bagi para wanita tunasusila yang benarbenar bertanggung jawab, dan mampu membawanya ke jalan yang benar. Seiring dengan perkembangan zaman dan maraknya urbanisasi, keberadaan lokalisasi sebagai tempat yang khusus diperuntukkan bagi kegiatan prostitusi telah bergeser. Saat ini, lokalisasi tidak hanya dihuni oleh para pelaku bisnis prostitusi saja, melainkan juga masyarakat umum yang tidak terlibat dalam kegiatan prostitusi (Sunardi, 1997). Interaksi langsung antara keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi dengan pelaku bisnis prostitusi tentunya memberikan konsekuensi yang tidak menguntungkan bagi keberfungsian positif keluarga di dalam masyarakat. Menurut Friedman (1998), keluarga merupakan matriks dari perasaan beridentitas dari anggota-anggotanya, merasa memiliki dan berbeda. Tugas utamanya adalah memelihara pertumbuhan psikososial anggota-anggotanya dan kesejahteraan selama hidupnya secara umum. Keluarga juga membentuk unit sosial yang paling kecil yang mentransmisikan tuntutan-tuntutan dan nilai-nilai dari suatu masyarakat dan dengan demikian melestarikannya. Keluarga harus beradaptasi dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sementara keluarga juga membantu perkembangan dan pertumbuhan anggota sementara itu semua tetap menjaga kontinuitas secara cukup untuk memenuhi fungsinya sebagai kelompok referensi dari individu. Menurut Vembriarto (1990) terdapat tiga macam fungsi yang tetap melekat sebagai ciri hakiki keluarga, yaitu fungsi biologis dimana keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak, fungsi afeksi dimana dalam keluarga terjadi hubungan sosial yang penuh dengan afeksi-afeksi kemesraan dan fungsi sosialisasi. Hubungan afektif ini tumbuh sebagai akibat hubungan cinta
179
Resiliensi pada Keluarga yang Tinggal di Lingkungan Lokalisasi Dupak, Bangunsari
kasih yang menjadi dasar perkawinan. Dari hubungan cinta kasih ini lahirlah hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, persamaan pandangan mengenai nilai-nilai. Dasar cinta kasih dan hubungan afektif ini merupakan faktor penting bagi perkembangan pribadi seseorang. Dalam masyarakat yang makin impersonal, sekuler dan asing, pribadi sangat membutuhkan hubungan afeksi yang secara khusus hanya terdapat dalam kehidupan keluarga. Fungsi yang ketiga adalah fungsi sosialisasi. Fungsi sosialisasi ini menunjuk peranan keluarga dalam membentuk kepribadian seseorang. Melalui interaksi sosial dalam keluarga itu individu mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam proses perkembangan pribadinya. Dengan memenuhi fungsi-fungsi ini, keluarga juga turut mempengaruhi bagaimana individu dan masyarakat menjalankan fungsinya. Hanya sedikit unsur sosial lain yang dapat memberikan pengaruh sebesar yang diberikan oleh keluarga kepada masyarakat. Brofenbrenner melihat individu dan lingkungannya sebagai system yang terkait dan saling mempengaruhi. Menurutnya, perkembangan seseorang terjadi melalui proses interaksi yang regular, aktif, dua arah antara individu dan lingkungan sehari-harinya. Menurut Brofenbenner (1979), mikrosistem dalam keluarga (dapat juga disebut sebagai kondisi yang dialami keluarga saat ini) memberikan kunci bagi perkembangan anggota keluarga tersebut. Dalam lingkungan keluarga, orangtua menciptakan mikrosistem yang mempengaruhi perkembangan anak (Brofenbenner, 1986). Bagi orangtua, interaksi antara masing-masing individu sebagai suami dan istri memberikan pengaruh dalam penciptaan mikrosistem yang mendukung perkembangan anak. Interaksi ini dipengaruhi oleh banyak hal. Adanya saling imbal balik antar anggota keluarga, kehangatan, dan keseimbangan kekuatan masing-masing individu dalam keluarga merupakan tiga karakteristik dari mikrosistem yang efektif(Brofenbenner, 1979). Dalam mikrosistem, individu merupakan agen aktif yang melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Hasil dari interaksi ini dapat memberikan pengaruh pada kondisi di dalam keluarga yang pada akhirnya juga akan
180
mempengaruhi resiliensi keluarga. Oleh karena itu, keluarga yang tinggal dalam lingkungan lokalisasi harus mampu tetap menjalankan fungsi dan perannya tanpa terseret dalam pengaruh negatif lokalisasi. Dalam hal inilah diperlukan resiliensi keluarga Kalil (2003:15) mengemukakan bahwa resiliensi keluarga merujuk kepada proses coping dan adaptasi dalam keluarga sebagai unit yang fungsional. Kondisi resilien bisa dilihat dari hadirnya interaksi antara faktor resiko dan faktor protektif. Adanya salah satu faktor saja, tanpa kehadiran faktor lain tidak dapat menjadikan individu menjadi keluarga yang resilien. Windle (1999) menyebut bahwa resiliensi muncul dari interaksi yang signifikan antara faktor resiko dan faktor pendukungnya. Dalam pandangan ini, adaptasi yang sukses dihasilkan dari pengaruh faktor protektif. Faktor protektif dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor protektif internal dan faktor protektif eksternal. Faktor protektif internal disebut juga sebagai resilience trait. Penelitian yang dilakukan oleh Walsh (1998) menekankan faktor protektif sebagai faktor kunci dalam proses resiliensi keluarga. Faktor protektif dalam hal ini mencakup sistem kepercayaan yang dianut keluarga (family beliefs system), proses organisasi dan komunikasi dalam keluarga. Family beliefs system terdiri dari tiga hal: (1) memaknai kesengsaraan (sebagai contoh, keluarga dapat mengambil makna dari krisis yang terjadi); (2) memperkokoh kekuatan dan pengharapan (sebagai contoh, keluarga dapat memperkokoh keteguhan hati dan memiliki pengharapan yang positif saat berada dalam krisis); (3) menguatkan aspek spiritual (sebagai contoh, keluarga percaya pada takdir yang ditetapkan Tuhan, melakukan ritual keagamaan sesuai keyakinan yang dianut). Proses organisasi dalam keluarga dapat dibagi menjadi tiga sub area: (1) fleksibilitas; (2) keterkaitan; (3) penggunaan sumber ekonomi dan sosial yang dimiliki keluarga. Fleksibilitas merujuk kepada kemampuan keluarga untuk bangkit dan menata diri kembali saat menghadapi tantangan, serta untuk tetap bertahan dalam krisis. Keterkaitan ditunjukkan dalam komitmen yang ditunjukkan oleh anggota keluarga pada satu sama lain, sembari memperbaiki keseimbangan yang INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
Nida Issabela, Wiwin Hendriani
dilandaskan pada penghargaan akan kebutuhan dan perbedaan antar masing-masing individu dalam keluarga. Penggunaan sumber ekonomi dan sosial dapat diperoleh dari dukungan yang diberikan oleh saudara atau komunitas saat dibutuhkan keluarga, pemberian dukungan kepada anggota keluarga yang rentan, serta pembangunan kekuatan ekonomi keluarga dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga. Proses komunikasi dalam keluarga meliputi konsep kejelasan, keterbukaan akan emosi yang dirasakan, dan kerjasama dalam penyelesaian masalah. Keberfungsian keluarga yang efektif dapat tercapai ketika masing-masing anggota keluarga dapat menyampaikan dan menerima pesan dengan jelas, benar, dan konsisten antara satu sama lain. Hal ini juga didukung oleh kemauan untuk berbagi perasaan dan bertoleransi akan perbedaan, penggunaan humor, tidak menimpakan kesalahan pada salah satu anggota keluarga saja, serta pembagian tanggung jawab akan keputusan yang diambil saat menghadapi tantangan. Penelitian mengungkapkan adanya aspekaspek yang mendukung resiliensi keluarga saat menghadapi krisis. Menurut pandangan Walsh (1998), aspek-aspek tersebut terdiri atas aspek kelekatan keluarga (family cohesion), sistem kepercayaan yang dianut keluarga (family belief sistem), dan strategi coping (coping strategies). Menurut Walsh (1998) kelekatan keluarga merupakan sebuah proses interaksi yang penting dalam menjaga keberfungsian sehari-hari keluarga, sama halnya seperti menjaga kesejahteraan masing-masing anggota keluarga. Sedangkan Olson (1993:105) mendefinisikan kelekatan keluarga sebagai ikatan emosional yang dimiliki oleh anggota keluarga antara satu sama lain. Dalam penelitiannya mengenai resiliensi keluarga, Walsh (1998:85) memilih untuk menggunakan istilah “keterkaitan (connectedness)” untuk mewakili kelekatan keluarga. Dalam pandangan Walsh, connectedness merupakan keseimbangan dalam suatu kesatuan, pemberian dukungan yang saling menguntungkan, dan kolaborasi antara keterpisahan dan kemandirian masing-masing individu dalam keluarga. Walaupun terdapat INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
berbagai definisi mengenai kelekatan dalam keluarga, namun semua definisi tersebut tetap mengacu pada satu inti penting dari kelekatan keluarga, yaitu ikatan emosional antar anggota keluarga. Berbagai penelitian telah membuktikan dampak negatif yang ditimbulkan jika keluarga dalam lingkungan lokalisasi gagal dalam menjaga resiliensinya. Dari berbagai penelitian tersebut, diperoleh hasil bahwa kegagalan keluarga dalam menciptakan mikrosistem yang mendukung bagi kesehatan dan keamanan tumbuh kembang keluarga akan membawa anggota keluarga untuk terlibat dalam bisnis prostitusi di kemudian hari. Mayo r i t a s p e n e l i t i a n i n i m e nye b u t k a n keterlibatan anak-anak dalam aktivitas prostitusi saat mereka beranjak remaja atau dewasa. Keterlibatan ini pada akhirnya akan memberikan dampak negatif yang bersifat jangka panjang pada individu tersebut. Begitu signifikannya peran keluarga dalam menciptakan lingkungan yang aman dan sehat bagi perkembangan anggota keluarganya, serta berbagai dampak negatif yang dapat terjadi jika keluarga gagal menjaga resiliensinya membuat penulis tertarik untuk meneliti resiliensi pada keluarga yang tinggal dalam lingkungan lokalisasi.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Kasus dimaknai sebagai fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatas (bounded context), meskipun batas-batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Kasus dapat berupa individu, peran, kelompok, organisasi, komunitas, atau bahkan suatu bangsa. Kasus dapat juga berupa keputusan, kebijakan, proses atau peristiwa khusus tertentu. Metode studi kasus eksplanatoris dipilih karena pertama, terkait dengan tipe pertanyaan penulis yang berfokus pada pertanyaanpertanyaan “bagaimana”. Alasan yang kedua adalah terkait dengan keterbatasan control yang dimiliki penulis terhadap perilaku yang ingin diteliti yang tidak dapat dikontrol secara ketat. Dalam penelitian ini unit analisisnya adalah resiliensi keluarga yang tinggal dalam lingkungan
181
Resiliensi pada Keluarga yang Tinggal di Lingkungan Lokalisasi Dupak, Bangunsari
lokalisasi, dimana keluarga tersebut harus menjaga keamanan dan kesehatan tumbuh kembang anggota keluarganya di tengah lingkungan yang tidak mendukung hal tersebut. Teknik penggalian data yang digunakan pada penelitian ini berupa wawancara mendalam (depth interview). penelitian ini menggunakan wawancara dengan pedoman umum yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Isu-isu yang bersifat umum tersebut ditetapkan untuk menjaga perkembangan pembicaraan dalam wawancara sehingga tetap dalam fokus penelitian. Wawancara dengan pedoman umum yang digunakan ini berbentuk wawancara terfokus, dimana wawancara yang mengarahkan pembicaraan pada hal-hal atau aspek-aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman subjek. Dan wawancara juga dapat berbentuk wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara utuh dan mendalam Proses analisis data adalah dengan menggunakan koding dan analisis tematik. Analisis tematik adalah proses yang memungkinkan penerjemahan gejala atau informasi kualitatif menjadi data kualitatif sesuai dengan kebutuhan peneliti (Boyatzis, 1998 dalam Poerwandari, 2007). Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema tersebut, atau halhal diantara atau gabungan dari yang telah disebutkan (Poerwandari, 2007:173). Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan 'pola' yang pihak lain tidak melihatnya secara jelas. Setelah tema ditemukan (seeing), dilakukan klasifikasi atau meng-encode pola tersebut (seeing as) dengan memberi label, definisi, atau deskripsi (Boyatzis, 1998 dalam Poerwandari, 2007:173).
HASIL DAN BAHASAN Keluarga pertama memiliki kesamaan masa lalu yang suram. Kondisi ini membuat keluarga ini memiliki kesamaan cita-cita dalam membangun rumah tangga, mereka sama-sama tidak ingin
182
anak mereka merasakan hal yang sama yang mereka rasakan saat mereka kecil. Dari dalam keluarga, istri merasa suami kurang melakukan pendekatan kepada anak, hal ini ditakutkan akan mempengaruhi hubungan suami dengan anak. Selain itu, keluarga ini sering berselisih paham karena istri merasa suami tidak mau membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Namun, bagaimanapun keluarga ini memiliki faktor-faktor yang beresiko, mereka tetap bertahan dari pengaruh negatif lingkungan lokalisasi. Hal yang menguatkan mereka selain kesamaan masa lalu, cita-cita, dan penerimaan diri adalah faktor religi. Keluarga ini mendasarkan rumah tangga mereka dalam landasan keagamaan. Untuk melindungi anaknya dari pengaruh negatif lokalisasi, keluarga ini menerapkan jadwal harian yang harus dipatuhi anak. Selain itu mereka juga menerapkan pendekatan keagamaan untuk mengajarkan anak mana yang baik dan mana yang buruk. Saling menghargai, saling menjaga perasaan, dan saling menjaga hubungan suami istri merupakan cara-cara yang digunakan keluarga ini untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Istri merasa percaya bahwa suaminya memiliki kesungguhan dalam menjalin rumahtangga dengannya. Hal ini dirasakan istri dari pengorbanan yang dilakukan suaminya untuknya dan keluarga. Selain itu, keluarga ini merasa bahwa kebersamaan merupakan suatu hal yang harus dijaga, oleh karena itu mereka selalu berupaya untuk meluangkan waktu untuk bersama keluarga. Keluarga ini merasa bahwa keluarga tidak akan mampu berjalan tanpa adanya komunikasi yang baik. Selain itu, melalui komunikasi yang sehat, keluarga ini merasa mereka mampu menjaga kepercayaan satu sama lain. Mengambil hikmah dari tinggal di lingkungan lokalisasi, menguatkan faktor religi dalam keluarga; menciptakan komunikasi yang terbuka, sehat dan kuat dalam keluarga, berupaya menjaga kebersamaan antar anggota keluarga, menjaga rasa saling menghargai, menghormati, menjaga perasaan pasangan, menjaga hubungan antara suami istri, dan menjaga kepercayaan merupakan upaya-upaya yang dilakukan keluarga dalam mempertahankan resiliensi keluarganya. INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
Nida Issabela, Wiwin Hendriani
Melalui upaya-upaya itu, keluarga ini mampu untuk membentengi diri dai pengaruh negatif lokalisasi dan mencari jalan keluar dari permasalahan tanpa melibatkan unsur negatif yang berasal dari lokalisasi. Dalam menjalani hidup, keluarga kedua ini banyak berpegang pada prinsip-prinsip yang diyakininya. Prinsip ini sering disebut dengan ”ugeman”, yang berarti ”sesuatu yang harus diugemi” yaitu ”sesuatu yang harus dijadikan pegangan. Misalkan, suami mempunyai mempunyai ugeman bahwa sebagai orangtua ia harus memberikan contoh yang baik bagi anakanaknya. Suami mempunyai ugeman bahwa dalam kehidupan suami istri ia harus percaya pada istrinya. Suami mempunyai ugeman bahwa ia tidak akan kaya dari hasil berjudi. Suami menerapkan prinsip hidup ini secara konsisten kepada keluarganya. Selain itu, ia juga sering menginternalisasi prinsip-prinsip ini lewat nasihat dan obrolan kepada anggota keluarganya. Prinsip ini kemudian bergabung dengan keyakinan istri bahwa walaupun tinggal di lingkungan lokalisasi, namun ia harus dapat membentengi anak-anaknya dari pengaruh buruk lokalisasi. Selain itu, orangtua juga sepakat untuk menanamkan landasan keagamaan yang kuat bagi anak-anaknya. Selain memiliki keyakinan dari dalam, keluarga ini juga melakukan upaya dari luar untuk menjaga keluarganya dari pengaruh negatif lokalisasi. Hal ini dilakukan dengan menerapkan pengawasan yang ketat terhadap anak dan mengikutsertakan anak dalam berbagai kegiatan. Orangtua selalu menanyakan kepada anakanaknya kemana mereka pergi, dengan siapa, dan apa yang dilakukannya. Jika orangtua merasa bahwa semua itu masih aman bagi anaknya, maka mereka akan membiarkan. Sebaliknya jika orangtua merasa tidak aman, maka mereka akan melarangnya. Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, keluarga ini mempunyai prinsip-prinsip yang diyakini. Kesungguhan keluarga dalam memegang prinsipnya menjadi hal yang penting dalam menjaga resiliensi keluarga. Dari segi komunikasi, keluarga ini memang t i d a k te rl a l u te rb u k a . Na m u n m e re k a menyelesaikan masalah dengan gaya yang sama, dimana masalah tidak akan dikomunikasikan satu INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
sama lain jika masalah itu merasa dapat ditangani sendiri. Kesamaan inilah yang pada akhirnya tidak menimbulkan pertentangan dalam keluarga saat menghadapi masalah. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip hidupnya secara konsisten dan sungguhsunggguh serta menjaga anak-anaknya agar tidak terpengaruh lingkungan lokalisasi dengan segala pengaruh negatifnya, keluarga berhasil membentengi keluarga mereka dari pengaruh negatif lokalisasi dan mampu mencari jalan keluar permasalahan tanpa melibatkan unsur negatif lokalisasi. Bagi keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi, mereka tidak hanya harus menghadapi faktor resiko yang berasal dari pengaruh negatif lokalisasi. Selain membentegi diri dari pengaruh lokalisasi, mereka juga harus berupaya menyelesaikan masalah dalam level individu dengan pasangan maupun dalam level keluarga. Faktor resiko sendiri didefinisikan oleh Luthar (1999) sebagai “mediator” atau variabel yang memfasilitasi terjadinya perilaku yang bermasalah. Dalam resiliensi keluarga, berbagai keadaan telah diidentifikasikan sebagai faktor resiko. Faktor ini dapat muncul pada level individu, keluarga, komunitas, dan kelompok masyarakat yang lebih luas. Bagi keluarga di lingkungan lokalisasi, komunikasi memegang peranan sentral. Proses komunikasi dalam keluarga meliputi konsep kejelasan, keterbukaan akan emosi yang dirasakan, dan kerjasama dalam penyelesaian masalah. Keberfungsian keluarga yang efektif dapat tercapai ketika masing-masing anggota keluarga dapat menyampaikan dan menerima pesan dengan jelas, benar, dan konsisten antara satu sama lain. Masalah terjadi saat komunikasi tidak berlangsung dengan baik antar anggota keluarga. Masalah dalam komunikasi dapat terjadi baik antara hubungan orangtua dan anak, maupun dalam hubungan suami dan istri. Kondisi ekonomi sama-sama menjadi faktor resiko bagi keluarga yang tinggal dalam lingkungan lokalisasi. Hal ini menjadi sesuatu yang dapat menghambat perkembangan sehat keluarga ketika tidak dihadapi dengan melibatkan keterbukaan dan kepercayaan dalam keluarga. Perbedaan dalam tingkat kepercayaan dan keterbukaan antar masing-masing anggota
183
Resiliensi pada Keluarga yang Tinggal di Lingkungan Lokalisasi Dupak, Bangunsari
keluarga menentukan seperti apa cara yang akan ditempuh keluarga dalam menyelesaikan masalah perekonomian yang dihadapinya. Pengaruh negatif yang berasal dari lingkungan lokalisasi sama-sama menjadi faktor resiko bagi kedua keluarga ini. Mereka sama-sama menjaga agar anggota keluarganya tidak terpengaruh oleh pengaruh negatif lokalisasi. Fokus yang berbeda tampak dari kedua keluarga ini dalam mengarahkan sasaran pengawasannya terhadap anak-anak. Fokus yang berbeda membuat keluarga mengerahkan upaya yang b e r b e d a d a l a m m e m b e n t e n g i a n g go t a keluarganya. Selain itu, faktor tempat tinggal ikut mempengaruhi cara keluarga mengambil keputusan mengenai lingkungan. Keluarga yang masih berpotensi untuk meninggalkan Bangunsari memandang interaksi dengan lingkungan sebagai sesuatu yang tidak terlalu diperlukan. Hal ini dikarenakan keluarga tidak mempunyai cita-cita untuk menetap di Bangunsari dengan segala pengaruh negatifnya. Jalan yang berbeda akan diambil keluarga yang memang telah memilih Bangunsari sebagai tempat tinggal mereka. Pada keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi, upaya faktor protektif untuk menjaga resiliensi terutama digunakan untuk membentengi keluarga dari pengaruh buruk lingkungan lokalisasi yang setiap hari dihadapi oleh keluarga. Faktor protektif sendiri diartikan sebagai variabel “penahan” yang berinteraksi dengan faktor resiko untuk mengubah atau menyeimbangkan perkiraan hubungan antara faktor resiko dan hasil yang mungkin terjadi (Fraser et al.1999, Hetherington 1989, Hogue dan Liddle 1999, Jessor 1993, Kalil dan Kunz 1999, Luthar 1991, Pollard et al. 1999). Windle (1999) 1999, Jessor 1993, Kalil dan Kunz 1999, Luthar 1991, Pollard et al. 1999). Dalam keluarga, faktor protektif terbagi menjadi tiga, yaitu: a. Faktor Protektif Internal Faktor protektif internal merupakan faktor yang berasal dari dalam keluarga itu sendiri. Faktor protektif internal disebut juga sebagai resilience trait. Bagi keluarga yang tinggal dalam lingkungan lokalisasi, kepercayaan dalam menhadapi tantangan merupakan hal yang penting. Berbagai hal melatarbelakangi timbulnya
184
rasa percaya ini. Akan tetapi, dengan memiliki rasa percaya inilah keluarga mampu mengerahkan segala upaya untuk membentengi diri dari pengaruh negatif lokalisasi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Antonovsky's (1978,1998) mengemukakan tiga karakteristik umum dari keluarga yang resilien: (1) kepercayaan bahwa keluarga tersebut dapat mengontrol atau memberikan pengaruh terhadap peristiwaperistiwa yang dialami dalam kehidupan. Hal ini kemudian diperkuat oleh Werner (1993) yang mengemukakan hal yang sama bahwa komponen yang terdapat dalam coping yang efektif adalah adanya rasa percaya bahwa tantangan dapat diatasi. S e l a i n ke y a k i n a n , ke l u a rg a d a l a m lingkungan lokalisasi juga ditopang oleh faktor spiritual. Untuk mempertahankan keluarganya dari pengaruh negatif lokalisasi, keluarga mengingat Tuhan dalam keseharian mereka. Apapun yang mereka lakukan, mereka percaya bahwa Tuhan menyertai mereka dan melihat apa yang mereka lakukan. Hal ini menguatkan observasi yang dilakukan Coles (1993) dalam konteks antar budaya, dimana moral dan spiritual merupakan sumber kekuatan yang menopang keluarga untuk tetap bertahan dalam menghadapi tantangan. b. Faktor Protektif Eksternal Dalam faktor protektif eksternal terkandung faktor-faktor dari luar diri individu dalam keluarga yang mampu membuat keluarga tersebut bertahan dari pengaruh negatif lokalisasi. Keluarga dalam lingkungan lokalisasi percaya bahwa pengawasan terhadap anak merupakan hal yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Brofenbenner (1979), yang menyatakan bahwa mikrosistem dalam keluarga, dalam hal ini merupakan kondisi yang dialami keluarga saat ini, menjadi kunci bagi perkembangan individu dalam keluarga tersebut. Pada keluarga yang tinggal dalam lingkungan lokalisasi, aturan-aturan yang harus dipenuhi oleh anak-anaknya dalam upaya untuk membentengi anak-anaknya dari pengaruh buruk lokalisasi merupakan hal yang wajib untuk diterapkan. Berbagai latar belakang dan cita-cita dalam membentuk keluarga dapat mempengaruhi cara keluarga dalam menerapkan aturan bagi INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
Nida Issabela, Wiwin Hendriani
anak-anaknya. Selain menerapkan aturan dengan ketat, keluarga juga melakukan usaha untuk menjaga kelekatan antar anggota keluarganya. Dalam hal ini, latar belakang menjadi pijakan bagi keluarga dalam lingkungan lokalisasi dalam menerapkan cara-cara untuk menjaga kelekatan dalam rumah tangganya. Menurut Brofenbenner (1979), adanya saling imbal balik antar anggota keluarga, kehangatan, dan keseimbangan kekuatan dalam keluarga merupakan tiga karakteristik dari mikrosistem yang efektif. Hal ini ditemui dalam bentuk berbeda dalam keluarga. Setiap keluarga membangun mikrosistem mereka sendiri. Dalam perjalanannya, terdapat perbedaan cara pada masing-masing keluarga. Brofenbenner menekankan bahwa hal yang penting dari perkembangan adalah bagaimana lingkungan dipersepsikan oleh individu yang terlibat di dalamnya, lebih daripada penampakan objektif lingkungan tersebut. dalam hal ini, kedua keluarga sama-sama memandang bahwa lingkungan lokalisasi memberikan pengaruh buruk pada keluarga. Perbedaan terdapat pada upaya keluarga dalam mempergunakan lingkungan untuk meningkatkan resiliensinya. Perwujudan dari hal ini tampak dari interaksi yang dilakukan keluarga dalam lingkungan lokalisasi, dimana keluarga yang mempersepsikan lingkungannya sangat berbahaya dari segala bidang berusaha menjauhkan dan meminimalkan interaksi dengan lingkungan, sementara keluarga yang mempersepsi lingkungannya hanya berbahaya pada beberapa bidang tertentu masih dapat melakukan interaksi dengan lingkungan bahkan menggunakan lingkungan untuk membantu mengawasi anak-anak mereka. Persepsi keluarga ini juga dipengaruhi oleh kesempatan keluarga untuk pindah dari Bangunsari. Bagi keluarga yang masih mempunyai kesempatan untuk pindah dari Bangunsari, mereka cenderung akan menutup diri dari lingkungan, namun tidak demikian halnya dengan keluarga yang telah memutuskan untuk tetap tinggal di Bangunsari.
SIMPULAN Bagi keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi, kehadiran lokalisasi yang begitu dekat INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
dengan kehidupan mereka menimbulkan tantangan unik tersendiri. Banyaknya wisma, bar, peredaran narkoba, miras, transaksi seksual yang berlangsung terbuka, perkataan kotor yang menyangkut hal seksual, free sex, dan pergaulan yang cenderung keras membuat keluarga yang tinggal dalam lingkungan lokalisasi merasa harus melakukan pengawasan dan usaha ekstra untuk menjaga anggota keluarga mereka agar tidak terjerumus dalam pengaruh negatif lokalisasi. Usaha keluarga dalam menjaga agar anggota keluarganya tidak terjerumus dalam pengaruh negatif lokalisasi tampak dalam sikap-sikap yang diambil keluarga tersebut dalam menyelesaikan setiap tantangan. Dalam usaha ini terkandung upaya suami istri untuk menjaga satu sama lain, upaya orangtua untuk menjaga anak mereka, dan upaya keluarga sebagai suatu kesatuan untuk membentengi diri mereka. Dalam upaya yang dilakukan suami istri untuk menjaga satu sama lain, terkandung faktor kepercayaan, keterbukaan dalam komunikasi, keteguhan dalam memegang prinsip, sikap saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Faktor-faktor ini menguatkan hubungan antara suami dan istri untuk kemudian menguatkan hubungan antar pasangan dan menyatukan mereka dalam menjaga anak-anak mereka dari pengaruh negatif lokalisasi. Bagi orangtua, merupakan suatu kewajiban bagi mereka untuk menghindarkan anak-anak mereka dari pengaruh negatif lokalisasi demi tumbuh kembang sehat anak-anak. Untuk itu, orangtua dalam keluarga yang tinggal dalam lingkungan lokalisasi menerapkan aturan yang ketat bagi anak-anak mereka. Peraturan ini diwujudkan dalam jadwal harian yang harus dipenuhi oleh anak-anak, penginternalisasian nilai moral positif yang dianut orangtua pada anak, pengawasan anak yang meliputi pengetahuan mengenai siapa saja teman bermain anak, dimana anak bermain, dan apakah anak masih bermain dalam tempat yang dirasakan aman dari pengaruh negatif lokalisasi. Bagi orangtua, tidak ada kata lelah dan pengenduran pengawasan. Setiap hari, anak-anak harus diawasi dengan ketat tanpa pengecualian. Untuk itu, orangtua menerapkan cara-cara yang membuat anak bersedia menuruti peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh orangtua. Berbagai cara ini bervariasi, mulai dari
185
Resiliensi pada Keluarga yang Tinggal di Lingkungan Lokalisasi Dupak, Bangunsari
menyediakan tempat dan kompensasi bagi anak jika mau bermain di dalam rumah hingga menghukum anak jika tidak mematuhi aturan dan jadwal yang telah ditetapkan. Dalam upaya keluarga sebagai suatu kesatuan untuk membentengi diri dai pengaruh negatif lokalisasi, terkandung upaya-upaya untuk menjaga kelekatan dan interaksi sehat antar anggota keluarga. Keluarga memiliki cara-cara dalam mewujudkan hal ini. Menyediakan waktu khusus untuk keluarga merupakan salah satu cara yang ditempuh keluarga untuk melekatkan anggota keluarganya satu sama lain. Mereka saling berusaha untuk dapat menghabiskan waktu bersama baik di dalam maupun di luar rumah. Selain itu, komunikasi antar anggota keluarga
merupakan hal yang penting dalam menjaga kelekatan. Bentuk komunikasi dapat berupa berbagi pengalaman sehari-hari hingga penginternalisasian nilai moral positif dalam keluarga yang diberikan lewat obrolan-obrolan ringan. Bagi keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi, kebersamaan merupakan hal yang penting untuk dijaga agar tidak ada anggota keluarga yang terlepas dan terseret dalam pengaruh negatif lokalisasi. Berbagai upaya dilakukan keluarga dalam menjaga agar anggota keluarganya tidak masuk dalam pengaruh lokalisasi yang dinilai negatif. Semua upaya merupakan perwujudan usaha keluarga untuk menyediakan mikrosistem yang sehat bagi tumbuh kembang anggota keluarganya.
PUSTAKA ACUAN Candra, S. (2009). Resiliensi. Diakses pada tanggal 27 April 2009 diakses dari http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/resiliensi.html download 27 april 2009 Desmita. (2006). Psikologi perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Duncan, J et al. (2005). Early childhood centres and family resilience.New Zealand: Centre for Social Research and Evaluation, Ministry of Social Development Te Manatu Whakahiato Ora Erianthe, M.L . 2007. Resiliensi remaja yang orangtuanya bercerai.Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Skripsi. Tidak diterbitkan Firdaus, A. Pola asuh anak di kawasan Dolly. Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga. Skripsi. Tidak diterbitkan Goode, J.W. (1985). Sosiologi keluarga. Jakarta: PT. Bina Aksara Hull, H.T. (1997). Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Kalil, A. (2003). Family resilience and good child outcomes: A review of the literature. New Zealand: Centre for Social Research and Evaluation, Ministry of Social Development< Te Manatu Whakahiato Ora Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Santrock, J.W. (2002). Life-span development: Perkembangan masa hidup.Jakarta: Erlangga Schissel,R., & Fedec, K.(1999). The selling of innocence: The gestalt of danger in the lives of youth prostitution. Canadian Journal of Criminology 41(1), 15-20 Seng, M.J. (1995). Child sexual abuse and adolescent prostitution: A comparative analysis. adolescence; ProQuest Psychology Journals Valandra. (2007). Reclaiming their lives and breaking free: An afrocentric approach to recovery from prostitution. http://aff.sagepub.com Willis, M. B., & Levy, B.S. (2002). Child prostitution: Global health burden, research needs, and interventions. The Lancet; ProQuest Psychology Journals. Yin, R. K. (1994). Case studi research: Desain & methods. Thous & Oaks: Sage Publications
186
INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010