Reorganisasi order dalam Mengejar Matahari Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://karbonjournal.org)
Reorganisasi order dalam Mengejar Matahari Oleh Veronica Kusuma Dibuat 01/03/2008 - 01:40 Oleh Veronica Kusuma (3 Jan 2008 - 01:40) Topik: FOKUS 4: SINEMA DAN KOTA mengejar-matahari_webOK.jpg [1]
“Seperti juga kebanyakan film-film lain pasca 1998, film Mengejar Matahari datang hampir tanpa kritik terhadap visual ruang Orde Baru itu sendiri.” ujar Veronica Kusuma dalam esai ini, yang juga menanyakan apakah rumah susun sekadar menjadi latar cerita, atau juga menjadi area kritik dalam sebuah film yang terlanjur berlatarkan sosial ini.
FILM Mengejar Matahari (2004) adalah film pertama Rudi Soedjarwo yang dibuat di luar Miles Films. Sejak kesuksesannya menyutradarai Ada Apa dengan Cinta? (2002) yang fenomenal itu, Rudi Soedjarwo baru menyutradarai satu film bertema cinta di Rumah Ketujuh (2002). Dalam perjalanan karier Rudi, film Mengejar Matahari bisa dikatakan penting karena di film inilah ia mulai menggunakan cerita dia sendiri. Film ini juga merupakan pengantar bagi film-film dia berikutnya yang memiliki keterkaitan erat dengan tema kehidupan urban.
Dalam perkembangan sinema Indonesia kontemporer, mungkin tidak ada sutradara lain yang menggunakan latar kehidupan urban/kota sekental Rudi. Dalam film-filmnya yang terakhir, seperti 9 Naga (2005), Mendadak Dangdut (2006), bahkan film horornya, Pocong 2 (2006), kehidupan dan latar urban menduduki posisi yang penting. Rudi sendiri, meski dilahirkan di Bogor, besar dan tumbuh di Jakarta.
Sebagai salah satu sutradara muda paling menonjol, Rudi bisa dikatakan meletakkan ciri-ciri sinematik yang konsisten. Salah satu yang akan saya lihat di sini adalah ciri kehidupan urban dalam film Mengejar Matahari. Film ini bercerita tentang empat sahabat laki-laki bernama Ardi, Nino, Apin, dan Damar yang hidup dan tinggal di sebuah rumah susun di Jakarta. Empat orang ini menjadi saksi pembunuhan yang dilakukan Obet, preman setempat. Cerita dimulai ketika empat sahabat ini telah berada di Sekolah Menengah Atas (SMA). Meletakkan mise en scéne[1] di kompleks rumah susun, film ini menghadirkan konflik yang terjadi diantara empat sahabat ini. Kedatangan Rara, saudara Nino yang yatim piatu, menyulut konflik antara Ardi dan Damar. Damar sendiri harus menghadapi kedatangan Obet yang telah keluar dari penjara dan hendak membalas dendam. Terjadi perkelahian yang mengakibatkan Apin meninggal. Damar yang emosional segera menembak Obet. Film diakhiri dengan adegan Damar ditangkap oleh polisi, disaksikan oleh para penghuni rumah susun. Rumah susun sebagai mise en scéne Inti cerita film Mengejar Matahari adalah persahabatan. Tapi, persahabatan yang ingin ditampilkan Rudi adalah persahabatan yang dilakukan oleh empat anak laki-laki yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Selain digambarkan penuh dengan preman, yang berarti kriminalitas, film ini berusaha menyajikan sebuah gambaran indah tentang kompleks rumah susun. Tak mengherankan sinematografi film ini diganjar Citra dalam FFI 2004. Film ini mengambil sudut pandang Ardi, anak seorang polisi kelas rendah yang otoriter. Keluarga kecil dengan satu anak ini diceritakan tinggal di sebuah rumah susun, dengan ruangan yang sempit, cat buram, jendela-jendela menghadap langit yang kebiruan, dipenuhi dengan jelujur kabel-kabel yang tidak beraturan, entah telepon, atau pun listrik. Di adegan awal film, kamera memberikan gambar established rumah susun berwarna kelabu, dengan jendela-jendelanya yang kecil, dengan satu flat terlihat memiliki pendingin udara, sementara atap rumah susun penuh dengan antena-antena televisi. Gambar disusul dengan gambar jemuran-jemuran pakaian yang menjadi ciri khas rumah susun. Gambar-gambar ini ditampilkan dengan sudut kamera high angle dan bird eye (dari atas) sehingga seluruh penampang horizontal rumah susun terlihat dengan jelas. Adegan pembuka ini diiringi lagu populer—dan bukan dangdut—gubahan Andi Rianto. Tempat yang akan menjadi lokasi pergaulan keempat tokoh utama dalam film ini adalah jalan-jalan sempit di antara gang-gang rumah susun dan perkampungan. Dalam adegan zoom in sebuah jalan sempit yang sunyi dengan gerobak dorong sayuran (atau bisa juga bakso) di sudut perempatan, sang narator (Ardi) berucap begini, ”Ini adalah kompleks rumah susun yang jika kita memasukinya…rasanya…seperti masuk ke sebuah dunia yang berbeda. Yang pasti tempat ini memiliki banyak banget cerita.” Narasi Ardi ini merupakan pintu masuk bagi cerita besar persahabatan yang ingin dikisahkan Rudi. Sebagai karakter dalam film, Ardi berusia 17 tahun ketika cerita berlangsung, dan dengan
Reorganisasi order dalam Mengejar Matahari Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://karbonjournal.org) pengakuannya di salah satu adegan film, ia telah tinggal di rumah susun tersebut sejak ia lahir. Ini berarti, ia dan keluarganya menempati rumah susun itu sejak tahun 1987. Rumah susun sendiri didirikan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi persoalan kurangnya perumahan bagi warga kota. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pembangunan rumah susun sudah dimulai sejak 1982, dengan pendirian rumah susun Pulomas.[2] Sementara Darrundono melihat perkembangan pembangunan rumah susun sebagai kebijakan yang dimulai sejak 1969,[3] ketika pemerintah DKI Jakarta meluncurkan proyek perbaikan kampung, Proyek Muhammad Husni Thamrin. Proyek ini digunakan untuk mengantisipasi banyaknya penduduk Jakarta yang pada 1969, 60%-nya (atau sekitar 3 juta dari total 4,8 juta jiwa) hidup di permukiman kumuh. Proyek yang secara kebetulan mirip dengan inisiatif politik etis pemerintah kolonial Belanda di tahun 1930-an ini,[4] diubah pada 1983 ketika pemerintah provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta mulai membangun rumah-rumah susun dengan jalan membongkar permukiman (perkampungan) kumuh. Dalam sebuah bukunya yang terkenal, Lea Jellinek menulis bahwa kawasan Kebon Kacang (yang menjadi lokasi film Mengejar Matahari) telah mulai “diremajakan” oleh Pemda DKI pada 1981.[5] Pembangunan rumah susun di kawasan ini dipenuhi dengan proses pengukuran, ganti rugi dan penghancuran kampung kumuh yang melibatkan korupsi dan kolusi jutaan rupiah; sebuah nilai yang tinggi di tahun itu. Proses ini diikuti oleh “peremajaan” kawasan perkotaan lainnya, terutama di Kecamatan Tambora dan kemudian di Karang Anyar pada 1985, setelah yang terakhir ini tertimpa musibah kebakaran. Tujuan pembangunan rumah susun adalah (dan selalu) demi pengentasan kemiskinan dan kekumuhan. Jakarta, sebagai kota yang paling cepat pertumbuhan penduduknya di Indonesia, mengalami tekanan kependudukan yang besar. Kedatangan kaum urban dari perdesaan selama rentang waktu sejak masa kolonial hingga sekarang membuat kebutuhan akan perumahan meningkat pesat. Sejak Orde Baru berkuasa, Jakarta menyaksikan tumbuhnya permukiman (perkampungan) informal, dengan ciri padat, kumuh, jorok, tidak mengikuti aturan-aturan resmi, dengan kelas sosial yang umumnya miskin. Untuk penduduk seperti inilah, Orde Baru membangun rumah susun, sehingga tidak heran, wacana yang berkembang sejak awal mengenai rumah susun adalah rumah untuk kaum miskin (kelas bawah). Wacana ini bukan hanya beredar di kalangan akademisi dan pengambil kebijakan,[6] tetapi juga sampai merasuk ke pembuat film seperti Rudi Soedjarwo. Dengan berusaha menghadirkan atmosfer kekacauan, kekumuhan, dan kriminalitas (lewat perkelahian yang menjadi inti masalah film ini), Rudi ingin menampilkan persahabatan di antara ‘kelas menengah bawah’. Dari pembangunan karakter yang dibangun Rudi, niscaya semua orang akan percaya bahwa tokoh-tokoh ini memang lahir dan hidup di sebuah rumah susun—yang diandaikan oleh banyak orang, mewakili semangat kelas bawah. Preman seperti Obet tidak mungkin hadir dalam lokasi film Pondok Indah atau kompleks perumahan mewah lainnya di Jakarta. Karakter-karakter dalam film ini pun ditampilkan sebagai sosok-sosok yang bermasalah, yang secara khas melanda kaum urban perkotaan, yang sayangnya tidak selalu merupakan persoalan kelas bawah. Ardi berayah seorang polisi yang sudah pensiun (atau dipecat?) dan mengalami post-power syndrome yang akut. Ayah Damar lari entah ke mana, meninggalkannya bersama ibunya yang sibuk entah bekerja apa. Nino yang diceritakan sebagai anak orang paling kaya di antara mereka, bermimpi sekolah bisnis di Amerika Serikat. Sementara Rara yang menjadi sumber konflik Damar dan Ardi adalah perempuan tanpa ayah-ibu, yang merana dan hidupnya sengsara sehingga menciptakan kesan iba sekaligus simpati, tetapi bisa pergi ke Malaysia—tentu bukan sebagai TKW. Kehadiran karakter-karakter ini bisa jadi dipandang sebagai sebuah kejanggalan di tengah lokasi kekumuhan dan ketidakberaturan rumah susun Mengejar Matahari. Adakah penghuni rumah susun, yang—kata pemerintah—adalah kelas bawah, memiliki mimpi sekolah bisnis di Amerika? Adakah penghuni rumah susun yang setiap hari bertemu preman, menganggap kamera video sebagai sesuatu yang biasa? Adakah penghuni rumah susun yang yatim piatu dan bernasib malang, masih bisa tampil segar-cantik-lagi bisa ke luar negeri dengan mudahnya? Sesuatu yang bisa dianggap kejanggalan ini sejatinya pararel dengan kehadiran AC dan kamera
Reorganisasi order dalam Mengejar Matahari Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://karbonjournal.org) video di antara konfigurasi rumah susun. Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, pembangunan perumahan vertikal (rumah susun) terutama ditujukan untuk kelas sosial berpenghasilan rendah. Dengan menggusur kampung-kampung perkotaan, pemerintah berharap dapat mengorganisasikan penduduk-penduduk kampung ini ke dalam rumah susun. Bagi pemerintah, keberadaan kampung kota adalah sesuatu yang mengganggu dan oleh karena itu perlu diberantas. Sejak Orde Baru melaksanakannya di dekade 1980-an, tepat ketika rezim ini mapan secara ekonomi, pengorganisasian warga kampung ke dalam rumah susun ternyata mengalami banyak kegagalan. Seperti yang telah banyak ditulis oleh para ahli, pembangunan rumah susun justru menghadirkan persoalan baru, mulai dari kesalahan sasaran, korupsi, hingga gegar budaya. Dalam banyak kasus, rumah susun justru dihuni bukan oleh orang-orang miskin yang dulunya menghuni kampung-perkotaan, tetapi justru kelas menengah yang bisa membayar sewa dan pemeliharaan rumah susun. Bahkan menurut Darrundono, lebih daripada 90% penghuni rumah susun ternyata adalah golongan menengah.[7] Apa yang disampaikan Darrundono ini secara empiris terlihat dalam mise en scéne film Mengejar Matahari. Bukan saja televisi, kamera video, dan AC menjadi sesuatu yang umum dijumpai di kawasan rumah susun, tetapi mental penghuninya juga adalah mental kelas menengah Indonesia yang menjadikan Amerika sebagai patron, lagu pop Arie Lasso sebagai dengaran sehari-hari, dan pistol sebagai senjata.[8] Maka perubahan representasi penghuni rumah susun ini akan sangat kelihatan bila dibandingkan dengan film macam Cintaku di Rumah Susun (1987) yang dibuat ketika rumah susun masih menjadi ‘tempat’ bagi para buruh biasa, simpanan seorang bandit, dan janda yang menunggak sewa. Cintaku di Rumah Susun (1987) sendiri mengambil pendekatan yang sangat berbeda dengan Mengejar Matahari. Dari awal, film ini telah menampilkan sudut pandang yang agak lain. Gambar pembuka film ini adalah plang nama “selamat datang di ibukota Jakarta” di dekat rel kereta. Kereta adalah salah satu alat transportasi yang mengangkut orang-orang dari desa ke kota. Sudut pengambilan gambar plang pintu yang diambil dari sudut pengambilan bawah menunjukkan bahwa plang ini dipandang oleh orang-orang yang baru datang dan berasal dari luar Jakarta, yaitu para pendatang yang adalah orang-orang non-kota. Maka tak heran, seluruh peristiwa dan karakter film ini seolah-olah dilihat oleh para pendatang. Gambar-gambar awal film didominasi oleh penggambaran tempat rumah susun yang berada di dekat rel kereta, dengan orang-orang yang kencing di jalan, perempuan-perempuan masih menggunakan kebaya, sementara orang-orang yang tinggal di rumah susun masih menggunakan dialek daerahnya masing-masing. Karakter-karakter yang muncul dalam film ini merupakan sketsa kehidupan rumah susun yang riuh.[9] Somad, pegawai pabrik bir, dilarang pacaran oleh kakeknya. Badrun, tetangganya, mengajari Somad agar cepat mendapatkan pacar. Adik Somad, seorang perempuan muda yang galak, selalu bermasalah dengan Zuleha, simpanan seorang bandit. Di rumah susun itu, juga muncul karakter ketua RT yang genit, dan Mastun, seorang perempuan setengah baya yang selalu menunggak sewa rumah susun. Selain karakter-karakter ini, Nya Abbas Akup, yang menulis sendiri skenarionya juga menampilkan berbagai karakter yang sangat karikatural, mulai dari nenek-nenek yang menjengkelkan hingga tetangga yang suka bergunjing dan mengintip ulah tetangganya yang lain. Orang-orang yang tinggal di rumah susun ini menghadapi berbagai persoalan, mulai dari persoalan tembok yang bocor, tetangganya yang usil, hingga persoalan yang lebih politis seperti persoalan ekonomi dan diskriminasi dari orang-orang kaya yang memiliki rumah di Kebayoran atau di Menteng. Persoalan-persoalan ini merupakan elemen utama film Cintaku di Rumah Susun. Hal ini sebaliknya, tidak akan dengan mudah dapat ditemukan dalam karakter-karakter yang ada di film Mengejar Matahari. Sangat sulit menemukan karakter-karakter dalam film yang bermasalah secara ekonomi. Tidak ada penghuni yang menunggak, tidak ada penghuni yang digusur—seperti yang baru-baru ini terjadi di rumah susun Pulomas. Tidak ada yang menggunakan bahasa daerah. Tidak ada pertengkaran karena perselingkuhan. Tidak ada masalah.
Reorganisasi order dalam Mengejar Matahari Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://karbonjournal.org)
Generasi Orde Baru yang steril Bagi banyak orang, film Mengejar Matahari tidak akan dianggap mampu menggambarkan kondisi rumah susun secara realistis. Film ini, meski diambil dengan sudut pengambilan gambar luar biasa bagus, menampilkan “realitas” rumah susun secara terpecah-pecah, sebagai sebuah tanda-tanda visual tanpa atmosfer. Dalam seluruh adegan film, semua karakter tidak terlihat berinteraksi secara sosial dengan penghuni rumah susun lainnya. Penghuni rumah susun, selain keempat karakter utama, digambarkan sebagai sesuatu yang tidak diketahui dan oleh karena itu tidak masuk frame, out of shot, dan tidak terepresentasi. Tokoh seperti Obet, misalnya, bahkan tidak memiliki sejarah. Sebagai sumber kekacauan, Obet digambarkan jahat secara begitu saja. Ia periferi seperti penghuni rumah susun lainnya. Rudi memilih empat remaja laki-laki untuk menggambarkan keseluruhan dinamika sosial mise en scéne. Keempat karakter ini ditampilkan di tengah mise en scéne yang steril, tanpa sosial dan tanpa soal. Kecenderungan ini tentu saja tidak hanya khas film Mengejar Matahari. Film-film yang dibuat setelah 1998 memiliki kecenderungan yang besar untuk menghilangkan sosial dari mise en scéne-nya. Seperti juga kebanyakan film-film lain pasca-1998, film Mengejar Matahari datang hampir tanpa kritik terhadap visual ruang Orde Baru itu sendiri. Kalau mise en scéne adalah piranti ekspresi sang pembuat film,[10] maka film Mengejar Matahari, bagi saya, justru menghadirkan kuasa yang sangat berlawanan dengan film-film kritis macam Cintaku di Rumah Susun. “Sterilisme” Mengejar Matahari bukanlah “sterilisme” yang benar-benar menghilangkan sosial dan persoalan kekuasaan dari film. Justru ia memperkuatnya dengan cara yang subtil, sebuah gaya yang sangat khas Orde Baru. Ruang dalam film ini dihadirkan statis dan tidak bergerak seiring subyek dalam film (24 frame perdetik). Film ini justru membekukannya menjadi apa yang disebut Ackbar Abbas sebagai “tourists gaz”, di mana ruang (dalam hal ini rumah susun) menjadi sangat stabil, monumental, dan turistik.[11] Dalam diskursus ini, memori kultural atas rumah susun direduksi sebagai sesuatu yang ada di sana, tetapi tidak memiliki identitas dan sejarah apa pun. Kalau narasi awal film ini adalah mempresentasikan cerita yang berbeda dari rumah susun, maka cerita itu sudah tidak ada lagi di sana. Mungkin cerita itu pernah ada, tapi tiada lagi karakter yang bisa menceritakannya. Aspek naratif lain yang perlu dicatat, Ardi, protagonis dalam film ini, adalah seorang anak yang selalu berada di bawah hegemoni ayahnya yang militeristik, sementara Damar tidak memiliki figur ayah. Persoalan ayah mendapatkan kulminasinya pada tokoh Rara, yang perempuan, tidak beribu, dan yang paling membuatnya tampak malang, ia tidak berayah. Persoalan ayah ini akan terlihat di adegan-adegan terakhir film. Setelah Damar membunuh Obet, polisi datang untuk menangkapnya. Kehadiran polisi ini bukanlah sesuatu yang otomatis dan merupakan kebutuhan sinematis. Lebih dari itu, polisi ini menghadirkan kembali sosok ayah Ardi yang militeristik. Adegan ini mungkin bisa disebut sebagai satu-satunya adegan dalam film ini yang menghadirkan sosial dalam bentuknya yang riil. Adegan ini menampilkan orang-orang—kemungkinan besar penghuni rumah susun—yang berkelompok di sekitar Damar dan menyaksikan Damar ditangkap polisi. Penghadiran sosial di adegan ini—dan satu-satunya yang paling penting—bukanlah sesuatu yang tak bermakna sama sekali. Di sini, sosial yang tak diketahui—yang out of shot, sebuah massa yang mengambang, dan tidak terepresentasi—menjadi penonton dari tegaknya sebuah ‘order’ atau tatanan di mana polisi adalah aparatusnya. Maka apa yang menjadi pernyataan film ini sejalan dan seiring dengan mise en scéne film ini, yakni penggunaan rumah susun, sebagai bentuk pengorganisasian kekacauan dan pengorganisasian spasial Orde Baru. Rumah susun, seperti juga mal, adalah sebuah wahana di mana semua hal terkendali, terpantau, dan selektif. Rumah susun adalah tempat di mana kekacauan perkampungan perkotaan, keradikalan dan keasingannya bisa dijinakkan. Apabila dalam Cintaku di Rumah Susun (1987), kita bisa menyaksikan dan merasakan biografi-biografi karakter beserta persoalan-persoalannya, maka dalam Mengejar Matahari, karakter-karakter itu hadir tanpa sejarah. Karakter-karakter itu seperti diletakkan begitu saja dalam mise en scéne tanpa adanya keterikatan spasial antara sang karakter dengan
Reorganisasi order dalam Mengejar Matahari Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://karbonjournal.org) mise en scéne-nya—rumah. Bukan sebuah kebetulan bahwa pembangunan rumah susun—yang menjadi lokasi film—di 1980-an berbarengan dengan proyek Petrus (penembakan misterius) yang membantai ratusan preman yang dianggap mengganggu “stabilitas pembangunan” Orde Baru. Preman seperti Obet, sama seperti ribuan preman dan laki-laki bertato yang diburu-buru polisi dan tentara di tahun 1980-an, dihilangkan sejarahnya, dihadirkan begitu saja sebagai gangguan, untuk kemudian disingkirkan demi tegaknya stabilitas ekonomi rezim.[12] Film ini dalam tahap tertentu merupakan cerminan paling murni dari realitas keterpisahan karakter (dalam konteks ini: manusia ‘kota’ Indonesia) dengan ruangnya (rumah susun). Generasi yag direpresentasikan oleh Mengejar Matahari adalah generasi yang dilahirkan oleh ruang ‘steril’ rumah susun Orde Baru. Tetapi lebih dari itu, meminjam terminologi Abidin Kusno,[13] film Mengejar Matahari bekerja sebagai artikulasi orde visual Orde Baru. Seperti juga proyek rumah susun, yang berusaha mengorganisasikan kekacauan dan radikalisme urban ke dalam ruang-ruang sempit yang lebih terkendali, film ini pun bicara tentang pengembalian tatanan ketertiban dari preman (kriminal perkotaan) ke dalam tatanan ayah, yakni negara (polisi). Maka tak heran, film ini berakhir dengan sebuah adegan “bahagia” ketika Ardi berdamai dengan ayahnya dan menjadi polisi, sementara Nino berhasil mencapai cita-citanya kuliah di Amerika Serikat. Kalau film dianggap adalah miniatur kenyataan, maka Mengejar Matahari adalah mode tercanggih dari representasi kuasa Orde Baru. Ia hadir sebagai imaji spasial yang mendefinisikan subyek-subyeknya, manusia-manusianya. Jakarta, Desember 2007
VERONICA KUSUMA lahir di Yogyakarta, 17 Mei 1980. Saat ini menjadi mahasiswa program studi Kajian Media Departemen Film, Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta. Selain itu, bekerja paruh waktu sebagai programmer untuk Festival Film Eropa di Indonesia dan memproduseri beberapa dokumenter independen.
Mengejar Matahari (Rudi Sudjarwo, 2004).
Catatan kaki [1] Mise en scéne bisa diartikan apa yang tampak di film. Mise en scéne merujuk pada apa yang terlihat oleh mata penonton seperti lokasi, pencahayaan, kostum dan akting para pemain. [2] BE Julianery, “Membenahi Aset yang ‘Tersisa di Pulomas”, Kompas, 4 September 2006. [3] Darrundono, “Mencari Model Pembangunan Perumahan yang Berkelanjutan”, dalam www.karbonjournal.org, edisi Maret, 2006. [4] Lihat Abidin Kusno, Behind the Postcolonial: Architecture, Urban Space and Political Cultures in Indonesia (Routledge, 2000); terutama bab 5, hal. 128-135. [5] Lea Jellinek, The Wheel of Fortune: The History of A Poor Community in Jakarta (University of Hawaii Press, 1991) [6] Perdebatan-perdebatan awal tentang kelas yang pantas diorganisasikan dalam rumah susun ini selalu mengenai kelas bawah dan gegar budaya yang akan dilaluinya. Lihat tulisan Ir. Eko Budihardjo, MSc., “Rumah Susun Delapan Lantai, Betulkah Sudah Waktunya?”, Kompas, Rabu, 8 Juni 1983 dan tulisan Prof. Dr. Emil Salim, "Perkampungan Kota dan Lingkungan", 18 September 1979. Menteri Negara Perumahan Rakyat, Mohammad Yusuf Asy’ari bahkan perlu menegaskan premis ini melalui sambutannya mengenai pembangunan rumah susun 1000 menara baru-baru ini, 27 Juni 2007. [7] Darrundono, ibid. [8] Bandingkan dengan keprihatinan berbagai kalangan mengenai perilaku gegar budaya orang-orang yang dulunya hidup di perkampungan dan kemudian harus hidup di rumah susun, seperti membuang sampah seenaknya, tidak bersih, tidak higienis, dan kebiasaan-kebiasaaan lain
Reorganisasi order dalam Mengejar Matahari Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://karbonjournal.org) yang dianggap “tradisional”, “kampungan”, dan “tidak modern”. Persoalan ini muncul di film City of Gods-nya Fernando Meirelles yang mengambil lokasi Rio de Janeiro, di tengah proyek pengadaan perumahan Cidade de Deus. Hal ini tidak akan dijumpai dalam Mengejar Matahari. [9] Harun Suwardi, Kritik Sosial dalam Film Komedi, Studi Khusus Tujuh Film Nya Abbas Akup, FFTV-IKJ Press, 2006. hal. 142. [10] Bagi sekelompok pembuat dan kritikus film di lingkaran Cahiers du Cinema, mise en scéne merupakan piranti estetik di mana seorang pembuat film meletakkan ciri “kepenulisan” filmnya. Ciri khas seorang sutradara terletak semata pada mise en scene-nya. [11] Ackbar Abbas, “Building on Disappearance: Hongkong Architecture and Colonial Space”, dalam Simon During (ed.), The Cultural Studies Reader, 2nd ed., Routledge, 1999. [12] Bukan kebetulan pula bahwa Petrus dan pembangunan rumah susun dilaksanakan pada saat Orde Baru mengkonsolidasi kekuasaan lewat Pemilu 1982 dan Pemilu 1987. [13] Abidin Kusno, “The Significance of Appearance in the Zaman Normal, 1927-1942”, dalam Kota Lama, Kota Baru, Sejarah Kota-Kota di Indonesia, Penerbit Ombak 2005.
FOKUS 4 | Januari 2008 [2]
FOKUS 4 | Januari 2008 URL sumber: http://karbonjournal.org/focus/reorganisasi-order-dalam-mengejar-matahari Links: [1] http://karbonjournal.org/sites/default/files/images/thumb/mengejar-matahari_webOK.jpg [2] http://karbonjournal.org/edition/fokus-4-januari-2008
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)