Executive Summary
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR vv Muslihudin
A. PENDAHULUAN Pendidikan agama sebagaimana dijelaskan oleh PP Nomor Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/ kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Dalam Bab II Pendidikan Agama Pasal 2 PP No. 55 Tahun 2007 berkait dengan fungsi dan tujuan Pendidikan Agama dijelaskan bahwa Pendidikan Agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama. Adapaun tujuan pendidikan agama adalah untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Pada pasal 5 ayat 5 sampai 7 berturut-turut di sebutkan lebih rinci mengenai tujuan kognitif, afektif dan psikomotorik pendidikan agama serta pendekatan yang perlu dikembangkan yaitu; Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab; Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-223-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-224-
peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga; Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses. Proses pendidikan agama Islam yang dilaksanakan sekolahsekolah masih berada pada tingkat permukaan. Ada sejumlah kendala yang dihadapi dalam proses pendidikan agama Islam meliputi; a) kompetensi tenaga pendidik, b) keterbatasan metode dan pendekatan, c) karakteristik materi agama Islam, d) alokasi waktu yang tersedia, e) ketersediaan sarana dan prasarana belajar. Dari sejumlah problema yang dapat diidentifikasi bermuara pada kesiapan sumberdaya manusia, dalam hal ini kemampuan tenaga pendidik dalam mengelola proses pembelajaran agama Islam yang artikulatif. Mengelola pendidikan dan pembelajaran agama seharusnya berlangsung secara artikulatif yaitu menekankan suatu proses pembelajaran yang lebih bermakna (meaningful process). Pendidikan agama yang lebih bermakna adalah proses pendidikan otentik, suatu proses pendidikan yang menuntut guru menyediakan kesempatan bermakna serta mendukung seluruh peserta didik terlibat dalam proses penelaahan langsung, penyelesaian masalah, berpikir kritis dan melakukan refleksi dalam situasi sebenarnya serta dalam konteks yang kretatif (educators provide meaningful opportunities and appropriate support for all students to engage in self-directed inquiry, problem solving, critical thinking and reflections in real world and creative contexts) (State University of New York at Oswego School of Education Conceptual Framework, 1998). Pendidikan otentik adalah suatu proses pendidikan yang menggiring peserta didik terlibat dalam pengalaman belajar yang langsung bersentuhan dengan dunia yang sedang dan akan mereka hadapi (involves alignment of student learning experiences with the world for which they are being prepared, dalam McKenzie, A. dkk, 2002). Pendidikan agama Islam yang lebih menekankan kepada proses kebermaknaan (meaningful process) harus dirintis sejak level pendidikan dasar. Pengembangan benih-benih spiritual religious yang terbenam dalam benak peserta didik selayaknya sudah di ekplorasi dan distimulai sejak dini. Diyakini bahwa proses Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
pengembangan benih-benih spiritual religius sebagai intisari dari tujuan pendidikan agama akan membatin serta meninggalkan pengaruh permanen pada diri peserta didik jika di tanam melalui proses pendidikan sejak sekolah dasar. Dengan demikian proses pendidikan agama di sekolah dasar menjadi penting untuk membangun dasar-dasar agama anak. Dasar-dasar agama anak dapat menjadi sumber kesadaran dan kecerdasan moral-spiritual. Kesadaran dan kecerdasan moral-spiritual dapat membangun values system dan attitudes anak yang berdasarkan laporan resmi Unesco menjadi salah satu basic learning content dan telah ditetapkan menjadi bagian dari kebutuhan dasar belajar anak (basic learning needs). Basic learning content adalah bagian kebutuhan dasar belajar anak (basic learning needs). Seperti dijelaskan dalam Unesco Report, kebutuhan dasar belajar anak terdiri dari esential learning tools (literacy, oral expression, numeracy dan problem solving) serta basic learning content (knowledge, skills, values dan attitudes). Kebutuhan dasar ini menjadi hak semua manusia agar dapat mengembangkan seluruh kemampuannya secara maksimal untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Pentingnya basic learning needs ini telah menjadi isu utama dalam Konferensi Internasional tentang Pendidikan untuk Semua (World Conference on Educational for All) tahun 1990 di Thailand. Salah satu deklarasinya berisi penekanan terhadap pentingnya basic learning needs (Unesco, 1996: 25) yang berbunyi: “these needs comprise both essential learning tools (such as literacy, oral expression, numeracy, and problem solving) and the basic learning content (such as knowledge, skills, values, and attitudes) required by human beings to be able to survive, to develop their full capacities, to live and work in dignity, to participate fully in development, to improve the quality of their lives, to make informed decisions and to continue learning” (Unesco, 1996: 25). Kesadaran moral dan spiritual yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan agama akhir-akhir ini menjadi isu penting pendidikan global. Lourdes R. Quisumbing, Ph.D seorang staff ahli UNESCO dalam buku berjudul Learning To Be: A Holistic And Integrated Approach To Values Education For Human Development, yang diterbitkan UNESCO sebagai panduan bagi para guru dan instruktur di dunia tahun 2002 menyatakan: Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-225-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-226-
Quality of education will then be considered not in fragmented or purely pragmatic and instrumental terms, but in a more holistic manner, the development of all the talents of the individual; the formation of the whole person, the full flowering of all the human powers and faculties— physical, intellectual, affective, aesthetic, ethical, and spiritual, and the transformation of society (Unesco, 2002: 155). Pernyataan di atas mempertegas suatu pandangan pentingnya pendidikan yang utuh serta mengembangkan berbagai aspek dan modalitas manusia baik yang bersifat latent maupun yang manifest serta mempertimbangkan etika (moral) serta spiritual sebagai salah satu tujuan penting pendidikan manusia.
B. SURVEY TERHADAP PROSES PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM DI SD Hasil survey terhadap 31 orang guru pendidikan agama Islam di Kab. Ciamis yang menyajikan kuisioner dengan 50 pertanyaan untuk menjaring informasi mengenai pemahaman dan keterampilan gurudalam menyelenggarakan pembelajaran PAI di SD diperoleh temuuan bahwa: 1. Profil Guru dan Cara Mengajar Berkait dengan profil ideal guru PAI SD, responden telah menetapkan empat identitas dan karakter ideal guru PAI yaitu; a) memiliki integritas moral, b) pribadi yang sabar, c) memiliki kesigapan, d) memiliki integritas intelektual. Ke empat identitas ini dipilih oleh mayoritas responden dari 8 identitas dan karakter yang disediakan. Responden dalam hal ini digiring untuk memilih empat saja dari 8 butir identitas secara berurutan yang menurut mereka paling penting dan seterusnya. Dari data t dapat disimpulkan bahwa 26 orang atau hampir 86% dari 31 orang responden memilih integritas moral sebagai karakter guru PAI yang utama, berikutnya pribadi yang sabar 25 orang responden (83%), kesigapan 15 orang responden (50%) dan integritas intelektual 14 orang responden (46%). Dari data yang diperoleh dapat dibaca bahwa mayoritas guru PAI mengakui tujuan pembelajaran adalah sesuatu yang harus dipelihara secara konsiten selama proses pembelajaran berlangsung. Sebanyak 74% responden memilih aspek ini dan sisanya sebanyak 19% memilih ketulusan mengajar dan 6% disiplin Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
mengajar. Adapaun pola interaksi yang terjadi antara guru dengan murid sebanyak 51% memilih pola menguasai kelas, 29% memilih pola menyeimbangkan antara peran guru dan peran murid, 16% memilih pola menggiring dan mengarahkan dan hanya 3% yang memilih pola memberikan kebebasan kepada murid. Dengan pilihan pola interaksi tersebut rupanya sebagian besar guru PAI masih melakukan pendekatan teacher centered learning process, suatu pendekatan yang menempatkan guru sebagai aktor dominan di dalam kelas. Pendekatan ini kecenderungannya bergeser ke arah pendekatan student centered learning process, terbukti dengan pilihan responden sebanyak 29% yang memilih menjaga keseimbangan antara guru dan murid serta sebanyak 16% yang memilih pola menggiring dan mengarahkan. Kecenderungan untuk menempatkan pengelolaan alokasi waktu sebagai cara untuk meningkatkan efeketifitas dan efisiensi pembelajaran diakui juga oleh sebagian besar responden. Hal ini ditunjukan oleh pilihan responden yang menempatkan dimensi pengelolaan alokasi waktu sebanyak 58%, sedangkan sisanya cenderung menyerahkan kepada aktifitas belajar murid antara lain ditunjukan dengan pilihan responden sebanyak 22% memilih mengajak berdiskusi, atau memaksimalkan peran guru antara lain dengan banyak memberi arahan, yang dipilih responden sebesar 16%. Salah satu aspek penting dalam pembelajaran di SD adalah keterampilan guru untuk memberikan kemampuan secara bertahap kepada murid. Dalam hal ini sebagian besar guru menggunakan strategi pengelolaan struktur materi dan atau pengelolaan tugastugas belajar. Dua dimensi ini dipilih secara bersama-sama oleh reponden sebanyak 51% yang terdiri dari pengelolaan struktur materi dipilih oleh sebanyak 16% responden, pengelolaan tugastugas belajar dipilih oleh 35% responden. Sedangkan sisisanya 32% memilih mengelompokan murid dan 16% memilih pendalaman materi. Dengan demikian secara teoritik guru telah memahami bahwa pengelolaan struktur materi dan tugas belajar adalah strategi untuk memberikan kemampuan secara bertahap kepada murid. Pada sisi lain, berkait dengan cara yang dipergunakan guru untuk memberikan jaminan kepada murid mendapatkan pemahaman terhadap materi yang disajikan, mayoritas guru Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-227-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-228-
sebanyak 74% menggantungkan kepada kepemilikan bahan ajar murid. Artinya dalam hal ini kebutuhan terhadap sumber belajar (buku pelajaran) dianggap sangat penting oleh mayoritas guru. Atau patut di duga guru tidak memiliki alternatif lain untuk menjamin murid mampu memahami materi yang diberikan. Hal ini terbukti hanya 12% responden yang memilih cara memaksimalkan presentasi, dan 12% dengan memberikan tugas. Padahal dalam konteks pendidikan di SD secara teoritik presentasi maksimal guru menjadi salah satu strategi yang dapat menjamin terjadinya pemahaman maksimal murid. Berbeda dengan pilihan mayoritas guru terhadap pentingnya buku pelajaran untuk menjamin pemahaman murid terhadap materi. Dalam hal memastikan terjadinya fokus perhatian murid terhadap materi yang disampaikan dalam proses pembelajaran sebagian besar responden sebanyak 58% menggunakan tehnik bertanya sepanjang proses pembelajaran untuk mendapatkan feedback, dan 42% dengan memaksimalkan strategi mengajar. Sedangkan untuk mengatasi kelas yang kurang bergairah mayoritas responden sebanyak 96% memilih memberikan motivasi. Demikian pula untuk mengatasi kesulitan siswa dalam proses pembelajaran hampir semua responden memilih memberikan dorongan (74%) dan bantuan (25%). Membaca data tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam hal pemahaman guru terhadap tiga dimensi yang meliputi; menggunakan teknik bertanya, memaksimalkan strategi mengajar dan membrikan motivasi serta dorongan mayoritas guru PAI memahami dan boleh jadi menguasainya dengan baik. Kesimpulan ini juga ditunjukan dengan tingkat pengalaman mereka yang rata-rata di atas 10-20 tahun. Setiap murid memiliki karakteristik masing-masing; baik sosial, budaya, ekonomi, kemampuan belajar dan minat. Berhadapan dengan differensiasi kelas baik aktifitas dan minat belajar mayoritas responden memilih untuk mengembangkannya sebesar 55%, sisanya memfasilitasi 22% dan mengelola serta mendisiplinkan sebanyak 22%. Kelas yang heterogen memerlukan pemahaman dan keterampilan seorang guru, pada prinsipnya kemampuan untuk mengelola perbedaan serta memfasilitasinya ke dalam visi pembelajaran yang sama menjadi salah satu yang harus dikuasai guru. Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
Sedangkan untuk memberikan penguasaan materi PAI yang berorientasi kepada pengembangan keterampilan siswa, sebanyak 70% responden memilih menggunakan pelatihan dan 25% responden memilih menggunakan contoh-contoh. Dengan demikian guru memahami betul arti penting karakteristik materi serta target pembelajaran yang harus diperoleh siswa yang dibedakan antara target yang bersifat pengetahan (knowing), keterampilan (skill) dan sikap (affective). Pemahaman terhadap ranah yang menjadi target pembelajaran sesuai dengan karakteristik materi PAI yang akan disampaikan sangat penting dalam proses pembelajaran agama Islam di sekolah dasar. 2) Pemahaman Terhadap Murid dan Cara Belajar Pemahaman terhadap cara belajar murid menjadi salah satu faktor strategis suksesnya pembelajaran PAI di SD. Dalam hal ini gambaran penguasaan guru terhadap cara belajar murid dan bagaimana memperlakukan mereka dapat disimpulkan dari data tersebut di atas. Dari data diperoleh informasi bahwa sebagian besar guru PAI di Kab. Ciamis menganggap semua murid dapat berkembang dengan layak. Sebesar 21 orang responden (68%) sangat setuju dan 10 orang responden (32%) setuju. Kondisi ini mencerminkan pandangan yang positif, sebab secara teoritik harapan yang tinggi seorang guru terhadap muridnya, betapapun murid itu memiliki kemampuan di bawah rata-rata tetap menjadi faktor penentu suksesnya pembelajaran. Berkait dengan pentingnya seorang guru memberikan tujuan dan harapan yang pasti terhadap kemampuan murid, sebanyak 9 (29%) memilih sangat setuju dan 22 orang responden (71%) memilih setuju. Hal ini menunjukan bahwa tanggungjawab keberhasilan proses pembelajaran berdasarkan sikap responden berada di atas pundak guru, kuncinya adalah sikap optimis seorang guru untuk mampu menembangkan kemampuan siswa. Sikap seperti ini ditunjukan oleh hampir seluruh repsonden (sebesar 100%) seperti yang terlihat pada tabel di atas. Yang agak variatif jawaban dari respondon berkait dengan cara belajar siswa. Secara teoritik siswa memiliki cara belajar atau modalitas belajar masing-masing yang berbeda. Kondisi ini sesuai dengan tanggapan responden berkait perlu dan tidaknya guru Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-229-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-230-
memberikan strategi belajar, mayoritas responden menganggapnya diperlukan. Sebanyak 14 orang responden (45%) menyatakan sangat tidak setuju (STS) dengan pernyataan bahwa murid punya gaya belajar yang sama dan guru tidak perlu mengajarkan strategi belajar, 13 orang responden (42%) menyatakan tidak setuju, 1 responden (3%) ragu-ragu dan sisanya 9 orang responden (9%) menyatakan setuju. Kondisi ini cukup mengembirakan karena dengan demikian guru akan menjamin terjadinya praktek pembelajaran yang variatif sesuai dengan cara belajar masing-masing siswa. Salah satu strategi belajar siswa yang dapat mengakomodasi seluruh modalitas belajar adalah belajar kooperatif. Bertolak belakang dengan tanggapan responden berkait dengan variasi modalitas belajar, maka tanggapan responden terhadap pernyataan bahwa belajar secara kooperatif menghambat perkembangan individu siswa, sebanyak 17 orang responden (54%) justru menyatakan setuju, 5 reponden (16%) menyatakan ragu-ragu, 5 orang responden (16%) menyatakan tidak setuju, dan 4 orang responden (13%) menyatakan sangat tidak setuju. Dugaan sementara berkait dengan fakta ini adalah responden tidak mengetahui konsep belajar kooperatif serta pemahaman teoritik dari modalitas belajar. Kesimpulan ini diperoleh dari realitas jawaban yang sebanyak 46% yang menunjukan trend tidak setuju terhadap pernyataan. Dalam hal pemberian learning task (tugas belajar) tidak diperkenankan seorang guru hanya fokus kepada murid yang mampu saja.Tugas-tugas yang diberikan di kelas harus disesuaikan dengan kemampuan kelas secara keluruhan. Responden melihat bahwa tidak boleh seorang guru memberikan tugas dengan standar murid paling pandai. Dalam hal ini 21 orang responden (68 %) memilih tidak setuju jika tugas dibuat berdasarkan standar murid paling pandai, 6 orang responden (19%) menyatakan sikap sangat tidak setuju, sedangkan 4 orang responden (13%) memilih setuju. Setiap tugas harus disesuaikan dengan kemampuan kelas secara keseluruhan. Namun pada saat yang sama responden juga setuju bahwa tugas-tugas yang secara bertahap ditingkatkan derajat kesulitannya serta menantang akan cenderung meningkatkan kemampuan siswa. Sebanyak 23 orang responden (74%) menyatakan setuju terhadap teori bahwa tugas yang menantang dapat meningkatkan kemampuan potensial siswa, 1 orang responden (3%) menyatakan sangat setuju. Sisanya sebanyak 1 orang Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
responden (3%) bersikap ragu-ragu dan 6 orang responden (19%) bersikap tidak setuju. Mayoritas responden juga menyetujui bahwa keterampilan berpikir siswa secara bertahap harus dikembangkan dalam proses pembelajaran, hal ini ditunjukan dengan 18 orang responden (58%) menyatakan sangat setuju dan 13 orang responden (42%) menyatakan sikap setuju. Untuk melihat kemampuan murid evaluasi semestinya menjadi tanggungjawab seorang guru yang dilaksanakan sepanjang proses pengajaran. Dalam hal ini responden melihat bahwa evaluasi sangat perlu. Sebanyak 17 orang responden (55%) menyatakan tidak setuju ketika diberikan pernyataan bahwa evaluasi hal yang tidak diperlukan, dan 14 orang responden (15%) menyatakan sangat tidak setuju. Demikian halnya dengan penciptaan lingkungan yang positif bagi murid dalam proses pembelajaran. Sebanyak 22 orang responden(71%) sangat setuju terhadap perlunya pengelolaan lingkungan positif bagi murid dan 9 orang responden (29%) bersikap setuju. Learning environment adalah menciptakan konteks yang kondusif untuk pembelajaran baik secara fisik maupun secara piskologis. Berkait dengan tanggungjawab guru terhadap belajar murid diperoleh temuan bahwa mayoritas responden sebanyak 28 orang responden (90%) menyatakan sangat setuju guru terus menerus memberikan dorongan dan motivasi kepada murid, sisanya sebanyak 3 orang responden (10%) menyatakan setuju. Demikian juga berkait dengan tugas pelayanan guru sepanjang proses pembelajaran di sekolah atau di luar sekolah diperoleh temuan bahwa mayoritas guru mengakuinya. Hal ini diperoleh dari data bahwa 5 orang responden (16%) menyatakan sangat tidak setuju terhadap pernyataan bahwa tugas pelayanan dan pemantauan bagi guru hanya berlangsung disekolah sepanjang proses pembelajaran, 22 orang responden (71%) menyatakan tidak setuju dan selebihnya sebanyak 5 orang responden (16%) menyatakan setuju terhadap pernyataan. Guru menurut mayoritas responden berkewajiban menghargai muridnya. Ketika responden diminta untuk menyatakan sikapnya terhadap pernyataan bahwa tidak selayaknya guru bersikap menghargai murid sebab tugas mereka belajar dan berprestasi, sebanyak 20 orang responden (65%) menyatakan sikap sangat tidak setuju, dan 10 orang responden (32%) menyatakan tidak setuju, selebihnya 1 orang responden (3%) menyatakan ragu-ragu. Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-231-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-232-
3) K e m a m p u a n M e n g e l o l a K e l a s d a n L i n g k u n g a n Pembelajaran Merujuk kepada data yang diperoleh dapat dijelaskan bahwa terdapat prilaku yang variatif berkait dengan kegiatan mengelola kelas dan lingkungan pembelajaran PAI pada guru-guru SD di Kabupaten Ciamis. Sebagaimana dapat dijelaskan dari data bahwa berkait dengan kegiatan melakukan kontrak belajar serta mendikusikan aturan kelas bersama siswa, sebanyak 4 orang responden (13%) jarang sekali melaksanakan, 16 orang responden (52%) jarang melaksanakan, artinya sekitar 65% responden jarang melaksanakan kegiatan kontrak belajar dan mendiskusikan aturan kelas bersama siswa, adapun sisanya sebanyak 7 orang responden (22%) kadang-kadang melaksanakan dan 4 orang (13%) melaksanakan. Fakta dalam aspek ini nampak sejalan dengan temuan yang terdapat pada variabel pertama di muka berkait dengan pola interaksi yang sebagian besar guru memilih pola menguasai kelas. Kecenderungan prilaku guru dalam mengembangkan suasana psikologis yang kondusip untuk pembelajaran juga nampak sangat variatif. Berkait dengan prilaku guru untuk mendekati tempat duduk siswa dan atau duduk bersama dibangku siswa, sebanyak 2 orang responden (6%) jarang melakukan, 13 orang responden (42%) kadang-kadang, 12 orang responden (39%) sering melakukan, dan sisanya 3 orang responden (9%) sering sekali melakukan. Artinya sebanyak 48% responden terbiasa mengembangkan hubungan yang lebih dekat secara fisik dengan siswa untuk mengembangkan kondisi psikologis yang kondusif bagi pembelajaran, dan sisanya sebagian besar (52%) jarang melakukan. Demikian pula dengan prilaku menepuk pundak atau mengelus kepala sebagai cara untuk lebih dekat secara fisik dengan siswa sudah terbiasa dilakukan oleh sebagian besar responden. Sebanyak 6 orang responden (19%) menyatakan sering sekali melakukan kegiatan menepuk pundak dan mengelus siswa, 6 orang responden (19%) pada derajat melakukan, 17 orang responden (55%) kadang-kadang melakukan, dan sisanya 2orang responden (6%) jarang melakukan. Praktek memberikan keteladanan serta pengembangan sikap peduli (caring) dalam pengelolaan belajar juga ditunjukan oleh hasil data yang direkam dari responden. Untuk prilaku yang Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
memperlihatkan kepada siswa sikap mematuhi aturan sekolah dan aturan moral yang berlaku, sebanyak 10 orang responden (32%) mengaku sangat sering melakukan dan sisanya sebanyak 21 orang responden (68%) mengaku suka melakukan. Artinya kecenderungan mayoritas responden mengembangkan sikap teladan dalam menciptakan lingkungan yang kondusip untuk pembentukan karakter. Hal ini didukung dengan temuan yang hampir sama pada aspek kegiatan memberi contoh dan menganjurkan siswa untuk saling menghromati dimana sebanyak 13 orang responden (42%) mengaku sangat sering melakukan, 15 orang responden (48%) suka melakukan dan sisanya 3 orang responden kadang-kadang melakukan. Aspek lain adalah praktek menghormati siswa dan membantu dalam kesulitan belajar, sebanyak 7 orang responden (22%) sangat sering melakukan, 21 orang responden suka melakukan dan sisanya 3 orang responden (10%) kadang-kadang melakukan. Fakta yang agak berbeda ditemukan pada kegiatan merawat dan menghargai hak milik siswa berupa tugas, hasil karya, sebanyak 2 orang responden (6%) mengaku sangat sering melakukan, 10 orang responden (32%) suka melakukan, 17 orang responden (55%) kadang-kadang melakukan, dan sisanya 2 orang responden (6%) tidak melakukan. Pada aspek ini kecenderungan responden jarang melakukan kegiatan merawat, memelihara hak milik siswa sebagai produk kegiatan belajar. Pengembangan sikap peduli (caring) dan empati guru terhadap siswa sebagai media pengembangan hubungan emosional psikologis ditunjukan oleh temuan yang relatif bervariasi. Kebiasaan untuk mendengarkan keluh kesah siswa dengan penuh empati dan peduli biasa dilakukan responden dalam proses pembelajaran PAI. Sebanyak 5 orang responden (16%) bahkan sering sekali melakukan, 19 orang responden (61%) melakukan dan sisanya sebanyak 7 orang responden (22%) kadang-kadang melakukan. Temuan ini menunjukan bahwa pengalaman dan kematangan sebagai pendidik menggiring prilaku kebapakan dan kepengasuhan (parenting) pada hampir semua responden. Hal yang agak berbeda nampak pada temuan tentang kebiasaan berbicara dengan siswa dari hati ke hati serta melakukan kontak mata langsung. Pada aspek ini 4 orang responden (13%) mengaku sering sekali melakukan, 6 orang responden (19%) suka melakukan, 17 orang responden (55%) kadang-kadang melakukan dan sisanya 2 orang responden (6%) tidak melakukan. Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-233-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-234-
Demikian pula dalam hal memperlihatkan sikap antusias terhadap pertanyaan, sikap konstruktif dan hasil karya yang ditunjukan siswa. Sebesar 25 orang responden (81%) menyatakan sering memperlihatkan sikap antusias terhadap pertanyaan, sikap konstruktif dan hasil karya siswa, dan 5 orang responden (16%) menyatakan kadang-kadang memperlihatkan sikap antusias. Kebiasaan memberikan pujian yang efektif terhadap prilaku terpuji atau karya yang dihasilkan siswa, sebanyak 11 orang responden (35%) sering sekali melakukan, 17 orang responden (55%) melakukan, seorang responden (3%) kadang-kadang melakukan dan sisanya 2 orang responden (6%) tidak melakukan. Dengan demikian hampir 90% responden sering dan biasa memberikan pujian efektif terhadap siswa. Prilaku yang menunjukan kematangan emosional guru PAI antara lain memperlihatkan sikap tenang dihadapan siswa meskipun dalam kondisi panik dan tertekan/marah/jengkel ditunjukan dengan data responden dimana sebanyak 4 orang responden (13%) mengaku sering sekali melakukan, 7 orang responden (23%) mengaku suka melakukan, 17 orang responden (55%) mengaku hanya kadang-kadang melakukan dan sisanya sebanyak 3 orang responden (10%) tidak melakukan. Dapat disimpulkan bahwa berkait dengan sikap yang memperlihatkan kematangan emosional sebagian besar responden cenderung melakukannya terhadap siswa. Dari data yang tersaji seperti tertuang dalam tabel di atas dapat dijelaskan beberapa aspek berkait dengan keterampilan responden dalam mengelola materi agama Islam. Untuk hal yang berkaitan dengan minat dan kecenderungan mengajarkan materi tertentu dari agama Islam, dapat dijelaskan bahwa dari 25 responden yang menjawab item ini tersaji data 8 orang responden (26%) menyukai keterampilan membaca al-Qur›an, 5 orang responden (16%) menyukai aqidah tauhid, 11 orang responden (35%) menyukai materi akhlak dan tauhid dan sisanya 1 orang responden (3%) menyukai fiqh ibadah. Yang menarik ada 6 orang responden dari 31 kuisioner yang dikembalikan tidak menjatuhkan pilihan pada item ini. Patut diduga bahwa pada dasarnya semua materi agama Islam disukai guru atau setidaknya guru tidak merasa keberatan menyampaikan semua jenis materi PAI. Namun demikian jatuhnya pilihan sebagian besar responden pada materi akidah akhlak mengindikasikan materi Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
ini sangat penting bagi tahapan pendidikan dasar, disamping materi ini relatif mudah disampaikan dengan metode mengajar yang paling disukai guru yaitu metode ceramah. Seiring dengan kecenderungan guru untuk menyukai pembelajaran materi akidah tauhid, maka berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh guru PAI terhadap minat dan kecenderungan siswa terhadap materi agama Islam terekam data bahwa 10 orang responden (32%) mengamati siswanya menyukai materi keterampilan membaca al-Qur›an, 19 orang responden (61%) mengamati siswanya menyukai materi akidah tauhid dan sisanya sebanyak 2 orang responden (6%) mengamati muridnya menyukai fiqih ibadah. Dalam hal ini terdapat kesesuaian antara minat guru dengan minat siswa terhadap materi aqidah tauhid berdasarkan pengamatan guru. Dalam proses pengajaran materi PAI, setiap responden memiliki tahapan-tahapan pembelajaran sesuai dengan target ranah pengajaran yang dIbidiknya, serta mendahulukan ranah sesuai dengan pertimbangan yang dimilikinya, dimulai dari mengerti atau menyadari atau melakukan. Untuk aspek ini data memperlihatkan bahwa sekitar 12 orang responden (38%) mendahulukan kegiatan siswa mengerti, 1 orang responden (3%) mendahulukan kegiatan siswa menyadari, 4 orang responden (12%) mendahulukan kegiatan siswa melakukan, dan sisanya 14 orang responden (45%) memilih mempertimbangkan karakteristik materi PAI. Kecenderungan untuk mempertimbangkan karakteristik materi yang akan disampaikan pada setiap pengembangan ranah target pembelajaran memperlihatkan bahwa guru memahami bahwa setiap materi PAI memiliki ranah prioritas masing-masing, serta menjadi keputusan guru untuk menetapkan ranah apa yang pertama kali akan di bidiknya. Berkait dengan metode yang paling banyak dipergunakan dalam mengajarkan agama Islam, sebanyak 16 orang responden (51%) menggunakan metode ceramah, 6 orang responden (19%) menggunakan metode demontrasi (menunjukan contoh-contoh), dan 9 orang responden (29%) lebih banyak mengajak siswa melakukan. Secara teoritik metode ceramah berkait dengan ranah kognisi sedangkan metode demontrasi dan melakukan (doing) adalah ranah afeksi dan psikomotor. Dari data ditemukan bahwa Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-235-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-236-
sebagian besar guru PAI SD di Kab. Ciamis banyak menggunakan metode ceramah. Metode ini nampak relevan jika dikaitkan dengan pilihan materi pavorite yang disampaikan guru terhadap muridnya yaitu materi aqidah tauhid. Materi ini dipandang lebih praktis menggunakan metode ceramah. Namun demikian berbeda dengan metode ceramah yang dipilih guru sebagai metode pavorite, sebagian besar murid justru menyukai metode learning by doing (diajak melakukan/praktek). Paling tidak berdasarkan pengakuan responden ketika ditanyakan tentang metode yang berdasarkan pengamatan guru lebih disukai siswa diperoleh temuan bahwa, 4 orang responden (13%) mengamati siswanya menyukai metode ceramah, 1 orang responden (3%) mengamati siswanya menyukai metode diskusi kelompok, 1 orang responden (3%) mengamati siswanya menyukai metode demontrasi dan sisanya sebanyak 25 orang responden (80%) mengamati siswanya menyukai metode diajak melakukan sesuatu/mempraktekan materi yang dipelajari. Karakteristik belajar anak adalah bergerak dan melakukan, dengan demikian bisa dimaklumi kalau responden mengamati bahwa mayoritas anak-anaknya menyukai metode melakukan sesuatu atau mempraktekan sesuatu. 4) Kemampaun Mengelola Materi dan Kurikulum Pembelajaran PAI Mengembangkan visi pembelajaran agama Islam yang jelas serta diterjemahkan dalam tujuan pembelajaran yang terukur menjadi kunci suksesnya pembelajaran PAI di Sekolah Dasar. Dalam hal menetapkan tujuan pembelajaran PAI, sebanyak 29 orang responden (93%) memilih siswa terbiasa menjalankan ajaran agama Islam sebagai tujuan pembelajaran, sedangkan sisanya, masing-masing 1 orang responden (3%) tersebar pada pilihan; siswa mengetahui dasar agama, siswa mengenal dasar agama, dan siswa merasakan manfaat agama. Dilihat dari pilihat responden dapat dimaknai bahwa responden mengutamakan tujuan jangka panjang pembelajaran agama. Tujuan seperti ini bersifat nurturant effect dan diperoleh melalui proses belajar yang variatif, terutama menekankan kepada pembiasaan melakukan sesuatu, atau mempraktekan sesuatu. Suatu metode yang jarang dipergunakan guru PAI tetapi diplih dan disukai siswa. Setidaknya berdasarkan rekaman data yang diperoleh dari kuisioner. Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
Melangkah kepada proses pembelajaran agama Islam yang dilakukan, sebanyak 20 orang responden (64%) memilih menunjukan prilaku beragama, 8 orang responden (26%) memilih melatih keterampilan melaksanakan ajaran agama, dan sisanya 3 orang responden (9%) mengutamakan mengajak menghapal materi agama. Dalam pembelajaran agama secara teoritik metode yang paling efektif adalah keteladanan guru, dengan demikian pilihan responden sudah sangat tepat. Pilihan ini juga sesuai dengan identitas dan karakter guru PAI yang dipilih tertinggi oleh responden yaitu memiliki integritas moral dan keteladanan. Hanya pilihan responden ini agak bias jika dikaitkan dengan pernyataan sebelumnya tentang metode yang banyak dipraktekan yaitu menggunakan metode ceramah. Patut diduga responden sebenarnya memadukan antara metode ceramah sebagai cara untuk menyampaikan materi dan metode keteladanan atau praktek untuk membiasakan materi agama kepada siswa. Dugaan ini semakin relevan jika dikaitkan dengan pilihan responden tentang jenis urutan ranah/aktifitas yang menjadi target dalam pembelajaran agama Islam di SD, dimana sebanyak 28 orang responden (90%) memilih urutan: mengerti → menyadari → melakukan. Sebanyak 3 orang responden (10%) memilih urutan: menyadari → mengerti → melakukan. Artinya proses pembentukan pengetahuan siswa (aspek kognisi) lebih diutamakan oleh responden kemudian pembentukan kesadaran (affeksi) dan terakhir pengembangan keterampilan beragama (psikomotora). Melihat urutan seperti ini dapat dimaklumi pula jika responden memilih metode ceramah. Akan nampak lebih relevan lagi kesimpulan seperti dikemukakan di atas jika dikaitkan dengan pilihan responden mengenai cara yang dipergunakan untuk memperjelas materi agama Islam di SD, yaitu sebanyak 20 orang responden (64%) dengan memberikan pertanyaan, 9 orang responden (29%) dengan menunjukan contoh dan ilustrasi, sisanya sebanyak 2 orang responden (6%) mengulangi ulasan materi. Dari pilihan ini menyajikan fakta bahwa responden mengutamakan proses kognisi dan pembentukan pengertian siswa terhadap materi agama Islam dibanding melatih keterampilan materi agama atau pembentukan kesadaran beragama.
Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-237-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-238-
Pemahaman responden terhadap karakteristik PAI sebagai dasar dalam menentukan metode yang akan dipergunakan nampak bervariasi. Dalam hal ini ketika responden diminta untuk menentukan materi agama Islam yang dianggap cocok disampaikan dengan metode ceramah, sebanyak 2 orang responden (6%) memilih fiqh ibadah, 19 orang responden (61%) memilih aqidah tauhid, 9 orang responden (29%) memilih materi akhlak dan budi pekerti, sisanya seorang responden (3%) memilih keterampilan membaca al-Qur›an. Selanjutnya materi pembelajaran agama Islam bagi SD yang dianggap cocok disampaikan dengan metode diskusi kelompok, sebanyak 19 orang responden (61%) memilih fiqh ibadah, 9 orang responden (29%) memilih akhlak dan budi pekerti, 5 orang responden (16%) memilih keterampilan membaca al-qur›an, dan sisanya 3 orang responden (9%) memilih aqidah tauhid. Sedangkan materi pembelajaran agama Islam yang dianggap cocok disampaikan dengan metode studi kasus, sebanyak 24 orang responden (77%) memilih materi akhlak dan budi pekerti, 5 orang responden (16%) memilih materi keterampilan membaca al-Qur›an, sisanya 3 orang responden (9%) memilih materi fiqh ibadah. Terakhir materi pembelajaran agama Islam yang dianggap cocok disampaikan dengan metode praktek langsung, sebanyak 18 orang responden (58%) memilih metode keterampilan membaca al-Qur›an, 13 orang responden (42%) memilih fiqh ibdah. Sebenarnya tidak ada ciri-ciri khusus yang telah teruji secara ilmiah bahwa materi agama Islam tertentu cocok disampaikan dengan metode tertentu. Semua materi agama Islam boleh disampaikan dengan metode apapun asal dapat menggiring kepada pengembangan pengetahuan (knowledege), keterampilan (skill) dan sikap (attitude) siswa. Dengan demikian pertimbangan untuk menentukan metode tertentu untuk materi tertentu lebih ditentukan oleh tujuan pembelajaran serta ranah kegiatan yang pertamakali akan dIbidik. Namun demikian mencermati pilihan responden terkait materi agama Islam berikut metode pengajarannya, nampak memiliki koherensi yang cukup, terutama jika didasarkan pada asumsi bahwa; a) aqidah tauhid mengutamakan kepada pemahaman dan pengertian, maka metode ceramah diduga lebih cocok, b) fiqih ibadah dan keterampilan membaca al-Qur›an mengutamakan kepada kesadaran dan keterampilan, maka metode diskusi Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
kelompok dan praktek langsung diduga lebih cocok, c) materi akhlak dan budi pekerti mengutamakan kepada pembentukan kesadaran dan pengembangan sikap, maka metode studi kasus diduga lebih cocok. Asumsi-asumsi ini tentu saja tentu saja perlu ditindaklanjuti dengan pengujian/verifikasi. Berkait dengan faktor-faktor yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran agama Islam di SD, sebanyak 20 orang responden (64%) memilih penguasaan strategi mengajar sebagai faktor utama, 8 orang responden (25%) memilih kemampuan menggunakan media pembelajaran, sisanya 2 orang responden (6%) memilih penguasaan materi guru dan seorang responden (3%) memilihpenambahan jam pelajaran. Dari rekaman jejak pilihan responden dapat disimpulkan bahwa kesadaran terhadap penguasaan metode/strategi yang dipadukan dengan penggunaan media yang sedang berkembang menjadi kesadaran baru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran PAI. Tingkat kepuasan yang diperoleh responden dalam melaksanakan proses pembelajaran agama Islam terletak pada terbentuknya kebiasaan berprilaku agamis pada diri siswa. Setidaknya kesimpulan ini nampak dari pilihan responden sebanyak 23 orang (74%) yang memilih anak terbiasa berprilaku agamis, sisanya 4 orang responden (13%) terletak jika anak hapal kaidah agama dan 4 orang responden lain (13%) terletak pada anak senang belajar agama. Melihat pilihan responden ini maka dapat disimpulkan bahwa tujuan umum yang disepakati oleh semua responden dari pembelajaran agama SD adalah pengembangan kesadaran, kebiasaan dan prilaku berdasarkan ajaran agama.
C. MENUJU PENDIDIKAN AGAMA YANG BERORIENTASI SPIRITUAL ARTIKULATIF; SEBUAH REKONTRUKSI MODEL Untuk memahami spiritualitas banyak definisi yang disajikan. Semua definisi belum dianggap tuntas, dan inilah yang oleh Harlos (2000) disebut sebagai paradox spirituality, sebab ia mendefinisikan sesuatu yang tidak bisa didefinisikan (defining the undefinable). Harlos misalnya, mengutip Schneiders (1989) mendefinisikan spirituality sebagai “the experience of consciously striving to integrate one’s life in term not isolation and self absorption but of self-transcendence toward the ultimate value (emphasis added) one perceives”. Walaupun spirituality Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-239-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-240-
bermakna beda bagi masing-masing orang namun “in all cases it appears to involve deeply – held values” yang bisa mengarahkan hidup kita dan kerja kita. Dalam pengamatan Karen P. Harlos (2000), spirituality sudah lama mempengaruhi prilaku dan kehidupan manusia. Akhir-akhir ini spirituality mempengaruhi kajian akademik sebagai sebuah critical perspective di dalam sejumlah literature. Di dalam literaturliteratur manajemen spirituality berpengaruh dengan cepat melalui kajian tentang peran spirituality dalam kepemimpinan (leadership), perubahan organisasi (organizational change) dan transformasi organisasi (organizational transformation). Para pengusaha berusaha mengintegrasikan spiritualitas mereka dengan kerja, dan ini ditandai dengan berkembangnya sejumlah buku dan artikel bagi para manager dan akademik. Seperti disinggung Harlos (2000), secara epistemologis munculnya kajian manajemen yang mengkritisi serta mempertanyakan norma tradisional yang hanya berdasarkan rasionality dan objectivity memberi peluang terhadap munculnya perspektif alternatif yang menguji topik-topik seperti emosi dan spirituality. Sejumlah fakta memperlihatkan bahwa spirituality sebagai emosi positif berkait dengan nilai emphatic yang senantiasa konsen terhadap nilai dan prinsip-prinsip. Menurut para sosiolog, walaupun banyak kecenderungan yang menolak ketertarikan terhadap agama yang terorganisir, namun muncul fenomena orang mencari dasar-dasar spiritualitas di dalam hidup mereka, termasuk di tempat kerja mereka. Konsepsi yang jelas terhadap spirituality dapat diperoleh melalui perbandingan dengan tiga konsep lain yang hampir berdampingan yaitu; spirituality, sain dan religion. Spirituality mengindikasikan nilai yang bersifat subjektif, sedangkan sain dibangun atas dasar netralitas dan objektifitas. Spiritualitas dalam hal ini bersebrangan dengan sain. Namun demikian melalui perubahan epistemology dan ontology sain, pendekatan terhadap pengetahuan dan proses riset dapat dikontruksi menjadi lebih value laden sebagai bagian dari spiritualitas. Bagaimana mempraktekan spirituality dalam pendidikan dan pengajaran? Menurut Harlos (2000), ada tiga nilai untuk membangun pendidikan menuju spiritual paedagogy yaitu; nilai Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
humility (nilai ke-rendah hatian); compassion (sikap merasa kasihan), suatu perasaan mendalam dan konsen terhadap yang lain yang diekpresikan dengan sikap menolong, empati, sabar; simplicity (kesederhanaan dan sikap memberi kemudahan). Parker J. Palmer (2003) dalam tulisannya berjudul “Teaching With Heart and Soul: Reflections on Spirituality in Teacher Education” mendefinisikan spiritual sebagai ‘the eternal human yearning to be connected with something larger than our own ego’. Menurut Palmer banyak definisi tentang spirituality yang dilahirkan dari berbagai ragam tradisi. Semua definisi tidak menyelesaikan kompleknya masalah spiritualitas. Hubungan seseorang misalnya, dengan masalah-masalah kematian dibanding kehidupan sering dianggap sebagai pencarian spiritualitas. Dalam konteks pendidikan spiritualitas adalah berhubungan dengan kehidupan anak (life of a child) ‘a connection that may well have pitted him, heart and soul, against ego-seducing educational and social convention of all sorts’. Menurut Riyad Ahmed Shahjahan (2004), spirituality adalah sesuatu yang sangat personal, unik dan individualistik yang tidak dapat ditangkap pengertiannya oleh definisi, ia berbeda dengan religion yang dalam pemahaman orang barat berhubungan dengan formal tradition and code. Dalam konteks pengajaran menurut Shahjahan, spirituality muncul dari guru-guru yang inspiratif. Kekuatan guru yang punya spiritualitas menurut pengalaman Shahjahan adalah «bukan apa yang mereka ajarkan kepada saya di dalam kelas yang saya perhatikan, tetapi antusiasnya terhadap topik, kejujurannya, kebenaran pribadinya yang menginspirasi saya untuk keluar dan merubah sesuatu tentang diri dengan kembali membaca materi, atau antusias terlibat dengan mempelajari materi atau antusias untuk melakukan apa yang aku sudah pelajari» (Riyad Ahmed Shahjahan, 2004). Merujuk kepada seluruh kajian ahli diatas, spiritual secara umum mengacu kepada meaning (makna). Dennis Lines (2006: 36) mendefinisikannya sebagai ”a way of being and experiencing that comes through awareness of a transcendent dimension and that is characterised by certain identifiable values in regard to self, others, nature, life, and whatever one considers to be the Ultimate”. Selanjutnya Dennis mengutip enam katagori orientasi spiritual yang dikemukakan West (2004) yang terdiri dari; a) a transcendental dimension (dimensi transendental), b) meaning and purpose in life (makna dan tujuan hidup), c) mission Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-241-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-242-
in life (misi dalam kehidupan), d) sacredness of life (kehidupan yang sakral), e) challenging material values (tantangan nilai-nilai material), e) altruism, f) idealism, g) awareness of the tragic, h) fruits of spirituality (Dennis Lines, 2006: 37). Berbeda dengan Barat yang kebanyakan memisahkan antara spiritualitas dengan agama, dalam konteks pendidikan Islam, ajaran agama justru sumber dari spiritualitas. Dalam hal ini yang dimaksud adalah spiritualitas Islam. Secara konseptual, spiritualitas ini seperti juga pandangan umum terhadap agama – hanya berkaitan dengan suasana kebatinan seseorang yang perlu diterjemahkan dan diartikulasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun dalam konsep pendidikan Islam dimensi artikulasi/praktek ajaran agama dan spiritualitasnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari dimensi kebatinan agama. Dalam hal ini sejalan dengan pandangan Barat dimensi artikulasi/praktek agama dan spiritualitasnya nampak pada konsep hidup bermakna. Tetapi makna yang dimaksud dalam pendidikan Islam adalah yang sesuai dengan ajaran Islam di masyarakat yang dilandasi atas keyakinan terhadapa kebenaran ajaran Islam. Agama dan spiritualitasnya memang mengandung unsur latent dan manifest. Menariknya, unsur latent agama boleh jadi bersifat subjektif, sedangkan unsur manifest agama dapat ditarik ke ranah yang lebih objektif. Dalam konteks spiritualitas Barat unsur laten agama dan spiritualitasnya disebut pure spirituality, sedangkan unsur manifest agama dan spiritualitasnya di sebut applied spirituality (Jane Schmidt, at al. 2000:588). Pendidikan Islam dalam hal ini mencoba menarik pure spirituality yang masih membatin berupa kesadaran transendental seseorang (transcendental consciousness) menjadi lebih nyata dan artikulatif sehingga menjadi applied spirituality. Pure spirituality lebih berkait dengan inner experience (pengalaman batin) seseorang yang melibatkan pikiran (mind), perasaan (feeling), aktifitas mental yang berhubungan dengan kesadaran diri, hakikat hidup, orang lain (the others), tujuan hidup, nilai kebenaran, ketidakberdayaan dan pengabdian (ibadah). Sedangkan applied spirituality diartikan sebagai the result in daily life that arise from an inner experience of pure spirituality. Dalam hal ini pure spirituality sebagai basis dari applied spirituality yang menjadi wilayah ekspresi seseorang (Jane Schmidt, at al. 2000:589). Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
Praktek pendidikan Islam dalam hal ini sejatinya menanamkan dan memperkokoh kesadaran membatin (inner experience) sebagai dimensi pure spirituality terhadap ajaran agama dan spiritualitas agama yang telah menjadi potensi setiap insani, untuk kemudian secara bertahap mengembangkannya menjadi lebih artikulatif dan ekspresif sebagai perwujudan applied spirituality. Proses menarik dan mengembangkan dari pure spirituality sebagai basis menjadi applied spirituality mempergunakan pendekatan systematic transcending (proses transendensi sistematis). Proses systematic transcending inilah wilayah pendidikan dan pembelajaran agama Islam. Proses pendidikan Islam dengan pendekatan systematic transcending ini berusaha menarik keluar pure spirituality yang telah tertanam dengan melibatkan atribut intuisi (intuition), emosi (emotion)m intelek menjadi lebih nampak dalam prilaku dan sikap (behavior). Model pendekatan systematic transcending ini dapat di lihat berikut (Jane Schmidt, at al. 2000:588). behaviour IntelectApplied Spirituality
systematic transcending
Emotion Intuition Transcendental consciousnessPure Spirituality
Gambar tersebut dapat dibaca bahwa kesadaran transendental sebagai spiritualitas murni (pure spirituality) yang ditanamkan dalam proses pendidikan agama menjadi basis bagi berkembangnya spiritualitas terapan (applied spirituality) dari ajaran agama (praktek ajaran agama). Pendekatannnya adalah proses pendidikan dalam kerangka systematic trancscending dimana secara berturut-turut ditumbuhkan melalui keterlibatan intuisi (intuition) kemudian emosi (emotion) beranjak ke intelek (intellect) dan berpuncak pada prilaku (behavior). Demikian sebaliknya dari applied spirituality berupa prilaku terus menurun berturut turut sehingga menuju kesadaran transendental melalui prilaku (behavior), proses berpikir (intellect), emotions dan intuition. Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-243-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-244-
Dalam model yang dimodifikasi, maka pendekatan systematic transcending dalam proses pendidikan Islam dapat diterjemahkan sebagi berikut: Behavior
Proses Pendidikan Agama Islam
Applied Spirituality
Intellect Emotions
Pro cess Systematic Transcending
Intuition Transcendental consciousness/pure spirituality
Proses pendidikan Islam dalam hal ini menggiring perubahan yang terarah pada keberadaan emosional siswa, memperkuat daya ingat terhadap materi, menanamkan nilai-nilai positif dan melembagakan prilaku positif melalui pengalaman kesadaran transendental yang bersifat sistematik. Proses pendidikan Islam yang dikembangkan dalam kerangka systematic transcending mensyaratkan tiga komponen penting yaitu; a) experiental component (komponen pengalaman siswa), b) intellectual component (komponen intelektual siswa), c) institutional context (konteks lembaga/sekolah) (Jane Schmidt, at al. 2000:590). Komponen pengalaman siswa (experiental component) menggiring keterlibatan siswa untuk menyadari adanya fakta, membangun perubahan persepsional berdasarkan fakta. Dalam hal ini siswa melakukan experiental learning (belajar mengalami) atau belajar melalui pengalaman yang di definisikan sebagai «the involvement of learners in concrete activities that enable them to experience what they are learning about and the opportunity to reflect on those activities» (Mel Sibermen, 2007: 8). Komponen intellektual siswa adalah proses menggiring terbentuknya pengetahuan dan pemahaman siswa melalui kegiatan Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
knowing how (tahu bagaimana) sehingga tidak hanya menghasilkan pengetahuan deklaratif (declarative knowledge) tetapi juga pengetahuan prosedural (procedural knowledge). Fase ini diperoleh melalui kegiatan reflektif yang menjadi sendi utama experiental learning. Kegiatan reflektif akan mendorong kepada eksplorasi informasi atau pengetahuan baru yang akan memperkokoh kesadaran terhadap apa yang mereka telah alami (experienced). Komponen konteks kelembagaan (institutional context) adalah penciptaan lingkungan sekolah baik secara fisik maupun secara psikis yang konstruktif untuk mendukung serta menstimulasi kesadaran dan prilaku positif; baik prilaku spiritual religius maupun prilaku akademik intelektual. Berangkat dari pemahaman terhadap systematic transcending sebagai kerangka proses pendidikan Islam maka model yang diduga cukup memiliki signifikansi dalam proses pembelajaran agama Islam dengan kerangka ini adalah model experiental learning.
D. MODEL EXPERIENTAL LEARNING UNTUK PEMBELAJARAN PAI YANG ARTIKULATIF 1. Experiental Learning; Suatu Pandangan Teoritis Pemilihan experiental learning sebagai pendekatan bukan tanpa alasan; pertama pendekatan ini seperti dikemukakan Roger Buckley at al. (2004:25) menekankan pada “systematic effort to modify or develop knowledge/skill/attitude through learning experience” (suatu usaha yang sistematis untuk memodifikasi atau mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui belajar berdasarkan pengalaman). Di samping itu pendekatan ini sesuai dengan tujuan model yang akan dikembangkan yaitu meningkatkan kesadaran spiritual agama; baik pure spirituality maupun applied spirituality dari pendidikan agama Islam terutama penekanan pada apa yang disebut sebagai sikap otentik (authentic) yaitu show consistency between values and action (Carolin Kreber, 2007). Pendekatan ini juga memenuhi karakteristik pembelajaran dengan pendekatan student centered learning process yang mendasarkan kepada kesiapan peserta didik, type belajar peserta didik, karakter materi, pengalaman peserta didik sebelumnya, serta minat belajar (learning desired) (Lang and Evans, 2006: 379). Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-245-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-
246-
Menurut kamus Webster`s experiential adalah ”the actual living through of an event or events”. RMIT Teaching and Learning Unit sebuah lembaga pengembangan belajar Australia seperti dikutip Lang and Evans (2006) mendefinisikan experiental learning sebagai “experiences that are designed and chosen for their ability to extend and challenge student thinking in a broad range of capabilities”. Karakteristik experiental learning adalah; 1) peserta didik aktif terlibat dalam proses belajar, 2) mereka bekerja, dan belajar pada situasi yang realistik, 3) belajar dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan ragam kemampuan yang berbeda; memperoleh pengetahuan, mengasismilasi, membuat pengetahuan baru, pemahaman yang mendalam, pengembangan pribadi, kemampuan memecahkan masalah, belajar bagaimana belajar (Lang and Evans, 2006:380). Dengan demikian belajar melalui mengalami adalah strategi yang bersifat aksi. Peserta didik berpartisipasi ke dalam konteks materi yang dipelajari secara langsung dan situasi yang bersifat real dengan melakukan, memperhatikan, mendengarkan, merefleksikan, sampai mendiskusikan di antara mereka. Menurut Pfeiffer dan Goodstein seperti dikutip oleh Lang dan Evans, experiental learning terjadi manakala peserta didik: a) terlibat dalam aktifitas, b) melihat dibalik aktifitas secara kritis untuk mempelajarinya dan merasakannya, c) merumuskan pemahaman yang berguna dari analisis, d) menempatkan hasil belajar dalam situasi baru (Lang and Evans, 2006: 380). David Kolb seorang tokoh experiental learning meyakini bahwa peserta didik membutuhkan empat atau mode belajar yaitu; 1) concrete experience, peserta didik harus terlibat secara penuh ke dalam pengalaman baru, 2) reflective observation, peserta didik mesti mengobservasi pengalaman-pengalaman atau mendapatkan pengujian atas pengalaman-pengalaman, menganalisis dan melakukan refleksi pengalaman yang membawanya kepada pengalaman sebelumnya, 3) abstract conceptualization, peserta didik membangun abstraksi, membuat konsep dan generalisasi secara logis, 4) active experimentation, peserta didik mesti memanfaatkan teori baru secara nyata membuat keputusan untuk memecahkan masalah (Lang and Evans, 2006: 382). Thesis Kolb tentang experiental learning seperti dikemukakan di atas memiliki dua dimensi pening yaitu; pertama melibatkan Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
”concrete experiences” di satu sisi, dan berakhir pada ”abstract conceptualization” pada sisi lain, kedua ”active experimentation” di satu sisi, dan berujung ”reflective observation” pada sisi lain. Bagi Kolb konflik di antara empat mode belajar ini akan mengintegrasikan berlangsungnya level kreativitas tingkat tinggi dengan tingkat pertumbuhan peserta didik. Sebab menurut Kolb mode ini mengintegrasikan fungsi-fungsi organisme peserta didik secara total; berpikir, merasa, mempersepsi dan melakukan. Kegiatan reflektif merupakan kegiatan yang sentral dalam pembelajaran berbasis pengalaman (experiental learning). Boud dan Walker (dalam Griff Foley, 2000: 234) telah mengembangkan model yang dapat menggambarkan bagaimana posisi kegiatan refleksi dalam experiental learning. Model yang dikembangkan Boud dan Walker terdiri dari tiga tahapan meliputi; a) tahapan persiapan (preparation for experiential events) yang terdiri kegiatan fokus kepada siswa, membangun lingkungan belajar (learning milieu), keterampilan dan strategi yang dilakukan dalam kegiatan refleksi; b) kegiatan reflektif sepanjang pengalaman berlangsung (reflection during an experiential activity) yang meliputi observasi dan intervensi; (c) kegiatan refleksi setelah peristiwa (reflection after the event) dengan melibatkan siswa secara individu dalam menghidupkan kembali pengalaman, melibatkan perasaan dan re-evaluasi terhadap pengalaman. Menelaah penjelasan di atas experiental learning tidak identik dengan workshop atau training. Ia dapat tuangkan dalam berbagai sesi kelas dengan tetap memlihara kerangka dasarnya yaitu perubahan kesadaran, sikap dan prilaku. Mel Sibermen (2007: 15) mengidentifikasi langkah-langkah untuk perubahan sikap (attitude) dan prilaku (behavior) itu ke dalam lima langkah yaitu: a) Creating openness (membuat siswa lebih terbuka) b) Promoting understanding (mendukung terjadinya pemahaman) c) Considering new attitude and behavior (mempertimbangkan sikap dan prilaku baru) d) Experimenting (mencoba menerapkan) e) Obtaining support (mendapatkan dukunga).
Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-247-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-248-
Experiental learning menurut Mel Sibermen (2007: 9) dapat berbentuk strategi pembelajaran yang luas. Ia meliputi strategi atau metode ; a) on the job assignment, b) field experience, c) action learning project, d) creative play, e) role play, f) games, g) simulation, h) visualization, i) story telling, j) improvisation, k) adventure activities. Dasar utama dari experiental learning adalah mengalami langsung yang ditindak lanjuti dengan kegiatan refleksi seperti yang dapat dilihat pada model yang dikembangkan Boud dan Walker (dalam Griff Foley, 2000: 235) berikut ini: Milieu
Noticing Focus On: Leaner Milieu Skill/ Strategies
Intervening Reflection in Action Personal foundation of experience Intent
Preparation
Experience
Return to experience Attend to feeling Re-evaluation of the experience
Replective Processes
Aspek penting dari model yang dikembangkan Boud dan Walker adalah proses reflektif. Proses ini tidak hanya berlangsung pada saat kegiatan experiental terjadi (reflection in action), tetapi juga lebih dalam lagi pada saat setelah proses pembelajaran melalui pengalaman (experienced based learning) berlangsung. Proses refleksi dalam hal ini dimaknai sebagai kegiatan mental tingkat tinggi yang tidak hanya melibatkan proses kognisi tetapi juga proses afeksi (kegiatan emosional). Senada dalam hal ini seperti diungkapkan oleh Lang and Evan (2006: 369) bahwa experiental learning sangat efektif Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
untuk mengembangkan affective learning and skill (pembelajaran ranah afeksi dan keterampilan). Dalam pelaksanaannya experiental learning dapat berlangsung di luar kelas maupun di dalam kelas. Lang and Evan (2006: 384) membaginya ke dalam tiga derajat situasi dimana experiental learning dapat berlangsung. Gambarannya dapat dilihat berikut:
Classroom game/action Game Making product Role playing Making a model Conducting an experiment Writing
Field Trip
study Simulation Field project Field observation Field trip Improvisation
Direct experience Work experience
Hal yang perlu di perhatikan dimanapun proses experiental learning berlangsung menurut Foley (2000: 232) adalah menjaga tiga faktor fundamental pembelajaran experiental yaitu; a) tingkat kontrol atau pengendalian siswa terhadap kegiatan, b) tingkat kesesuaian antara kegiatan melalui pengalaman dengan situasi sebenarnya (real environment), dan c) derajat keterlibatan siswa. 2) Modifikasi Model Pembelajaran PAI Berbasis Experiental Learning Mengembangkan model pembelajaran agama Islam tidaklah mudah. Bagaimana harus mendahulukan apa, adalah salah satu problema besar pembelajaran agama Islam. Dalam hal ini setiap guru berhadapan dengan pertanyaan materi agama apa yang harus ditanamkan kepada murid terlebih dahulu; apakah proses knowing that (pengetahuan deklaratif), ataukah proses knowing how (pengetahuan prosedural), atau proses knowing to do (melakukan kegiatan). Persoalan bagaimana mendahulukan apa mempengaruhi pola interaksi antara guru dengan muridnya. Jika yang ingin disampaikan adalah pengetahuan deklaratif maka pola interaksi menjadi bersifat transmisi (resitasi). Dalam hal ini murid menjadi pelaku pasif dan guru berperan besar dalam mentransmisikan Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-249-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-250-
pengetahuan kepada siswanya. Jika yang ingin disampaikan adalah pemahaman prosedural (knowing how) yang menggiring murid tidak hanya tahu informasi, tetapi tahu lebih mendalam, dengan terjadinya prose berpikir tingkat tinggi, maka pola interaksi menjadi bersifat transaksi. Dalam hal ini terjadi transaksi pemikiran antara guru dengan murid serta antara murid dengan sesamanya. Jika yang ingin disampaikan adalah penguasaan keterampilan atau suatu aktifitas, maka guru dalam hal ini berperan menggiring murid pada kegiatan aktifitas dan penguasaan keterampilan/pembiasaan prilaku tertentu. Dalam hal ini yang dIbidik adalah changing behavior and attitude maka pola interaksinya bersifat transforming, artinya bagaimana membentuk perubahan pada murid dengan prilaku tertentu atau penguasaan pada keterampilan tertentu. Materi pendidikan agama Islam tidak hanya memberikan informasi tentang ajaran agama, tetapi menanamkan kesadaran beragama yang melahirkan prilaku beragama. Tiga hal ini harus dikelola oleh seorang guru secara simultan sehingga menghasilkan pendidikan agama yang memberi makna serta membangun suasana kebatinan beragama pada diri siswa (inner experience). Seperti dijelaskan di muka bahwa soal kesadaran beragama yang menggiring seseorang secara sadar untuk melaksanakan ajaran agama tidaklah mudah. Untuk membangun kesadaran beragama secara utuh proses pembelajaran agama paling tidak harus digiring kepada tiga aspek penting: 1) Pencerahan pemikiran terhadap ajaran agama 2) Pencerahan spiritual religius (pengembangan emosi keagamaan) 3) Pengamalan ajaran agama atau pembentukan prilaku beragama. Aspek memberitahu atau menginformasikan ilmu agama adalah mudah, demikian pula aspek melatih keterampilan ajaran agama tertentu (ibadah atau muamalah), yang paling susah adalah membangun kesadaran spiritual yang menggiring secara permanen untuk melaksanakan amalan agama. Dua yang pertama berkait dengan pengelolaan instructional effect, sedangkan yang terakhir berkait dengan penanaman nurturant effect. Jika memperhatikan materi agama di SD, sebaiknya memang Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
secara bertahap diarahkan kepada pengembangan kesadaran beragama yang melahirkan kebiasaan menjalankan ajaran agama. Semangat ini senada dengan isu pendidikan karakter yang menjadi arus utama pemikiran pendidikan saat ini. Semangat untuk menciptakan generasi muda yang memiliki identitas dan karakter yang berbasis pada ajaran agama yang dianutnya. Dalam hal ini pendidikan nilai yang berbasis ajaran agama akan membantu terbetuknya identitas dan karakter siswa. Merujuk kepada karakteristik materi agama di SD, nampak sekali bahwa pendidikan nilai yang berbasis ajaran agama sangat ditekankan. Dalam kurikulum SD kelas V misalnya, disamping menekankan kepada keterampilan instrumental agama seperti kemampuan membaca al-Qur›an, lebih dari 70% materi menekankan kepada pendidikan nilai atau pendidikan moral. Misalnya dalam materi kisah-kisah para rasul, atau materi akhlak terpuji. Dalam materi akhlak terpuji bagian 1 yang terdapat di semester 1, siswa diajak mempelajari nilai-nilai; dermawan, tabah dan tawakkal, sabar, pemberani, rajin, rendah hati, suka menolong, tanggungjawab (Pahari, dkk. 2007). Tentu saja mengajarkan nilai-nilai ini tidak bisa hanya dengan diceramahkan atau hanya mengajak siswa menghapal dalil-dalilnya. Tetapi jauh lebih penting adalah kesadaran serta penanaman motivasi untuk melakukannya sehingga membentuk suatu karakter. Linda dan Richard Eyre (1993) dalam bukunya berjudul «Teaching Your Children Values» nampak sekali bahwa metode yang dikembangkan Linda dan Richard merujuk kepada model experiental learning. Model ini diduga karena dapat melibatkan secara simultan modalitas belajar siswa yang meliputi; pikiran, perasaan dan aktifitas. Dengan merujuk kepada model yang dikembangkan Linda dalam mengajarkan nilai, maka proses pembelajaran agama sebaiknya juga menggunakan model yang secara simultan dapat menggiring sikap mengembangkan pengetahuan (knowing), pembentukan keterampilan agama (skill) dan pengembangan sikap (attitude). Model yang mengakomodasi tiga aspek tersebut secara simultan terdapat pada model experiental learning. Model pembelajaran agama Islam yang berbasis experiental learning harus tetap berakar pada konsep uslub al-tarbawy yang dibangun dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur›an dan al-Hadits. Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-251-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-252-
Untuk kepentingan pengembangan model pembelaharan agama Islam yang berbasis experiental learning ini, peneliti merujuk kepada uslub al-tarbawy yang terdapat dalam al-Qur›an surat AlGhasiyah ayat: 17 – 26. Dalam surat al-Ghasiyah terdapat empat konsep penting yang relevan untuk dikembangkan sebagai model pembelajaran yaitu: - ( النظرmelihat, memperhatikan) - ( التكيفmempertanyakan lebih mendalam (knowing how)) - ( التذكيرmenganalisis, menyimpulkan, merefleksikan) - ( األنابةmembangun kesadaran spiritual, kembali kepada Tuhan) Konsep yang pertama (al-nadzr) bukan semata mata melihat dengan mata (al-bashar), tetapi melihat dengan mata hati (albashiroh) (Ismail Ibrahim, 1968). Dengan demikian melibatkan kegiatan yang bersifat emotional reflective. Al-bashirah berarti juga kesadaran, artinya memang melihat secara sadar sebagai kegiatan mental yang membangun pengalaman. Ini adalah konsep yang dikembangkan dalam experiental learning. Imam Ibnu Qayyim AlJauzy (tt. : 302) mengatakan bahwa manusia berkait dengan bashirah terbagi kepada tiga kelompok: 1) manusia yang tidak memiliki bashirah, ia mengalami kegelapan; pikiran (fu`ad), penglihatan dan pendengarannya sama sekali tidak membuka pintu kebenaran, 2) manusia yang memiliki bashirah yang lemah, kesadarannya hanya kepada realitas dunia; pikiran, penglihatan dan pendengaran baru menangkap kebenaran terbatas (empiris, pragmatis, logis), 3) manusia yang memiliki bashirah musyahadah (pencerahan spiritual); orang yang berada dalam cahaya hidayah dengan kesadaran spiritual puncak. Konsep yang kedua (al-takayyuf) adalah konsep yang memperkuat konsep pertama. Dalam hal ini kegiatan menyaksikan dan mengalami melahirkan interaksi pikiran dengan objek, interaksi indrawi dan interaksi emosional sehingga membangun kesadaran mendalam yang bersifat intelektual dan spiritual. Konsep ini juga signifikan dilihat dari model experiental learning. Karena dalam kegiatan al-takayyuf terjadi apa yang disebut dengan intelectual involvement (keterlibatan pikiran), sensational involvement (keterlibatan indrawi) dan emotional involvement (keterlibatan kesadaran emosi). Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
Konsep ketiga (al-tadzkiir) artinya mengingat atau mengambil pelajaran. Konsep ini adalah kegiatan lanjutan dari konsep pertama. Tujuannya melakukan internalisasi dan refleksi kritis sehingga membangunkan jiwa dan menggiring kepada kesadaran spiritual. Pada konsep ini jika ditarik ke dalam konteks experiental learning terjadi apa yang disebut sebagai sharing, (berbagi), analyzing (menganalisis) dan inferring (mengambil kesimpulan) dan reflection (kegiatan refleksi). Konsep terakhir adalah (al-inabah) artinya pulang kepada Allah. Konsep ini terdiri dari dua bagian; al-iyabah (kesadaran akan kembali kepada Allah), al-hisabah (kesadaran akan diperhitungkan oleh Allah). Artinya kesadaran tidak hanya sebatas kembali kepada Allah, tetapi kesadaran atas konsekuensi amal yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Al-inabah adalah puncak dari al-uslub al-tarbawy yang dirangkum dari surat al-Ghasiyah ayat 17-26. Al-inabah bisa diartikan sebagai kesadaran spiritual. Kesadaran ini dalam konteks experiental learning akan diperoleh melalui kegiatan refleksi yang meliputi; return to experience (mengkaji ulang pengalaman), attend to feeling (melibatkan perasaan) dan reevaluation of the experience (mengevaluasi ulang pengalaman). Pembelajaran PAI yang dikembangkan dari al-uslub al-tarbawy pada surat al-ghasiyah ayat 17-26 berbasis experiental learning dapat diterjemahkan dalam sebuah model berikut: TAHAP III
TAHAP II
TAHAP I
:ǦȈǰƬdzơ ǞǷ ǂǜǼdzơ ǂǐƦdzơ ƧŚǐƦdzơ -
ŚǯǀƬdzơ ǚǟȂƬLJơ ƣƢǠȈƬLJơ -
Abstract Conceptualization:
ƨƥƢǻȋơ ƨƥƢȇȋơ ƨƥƢLjūơ Reflective Observation: - Internalization - Spiritualization - Application
- Sharing - Analyzing - Inferring
Concrete Experience: - Cognitive involvement - Sensational involvement - Emotional involvement
Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-253-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-254-
Pembelajaran agama Islam tiga tahap dengan mempergunakan model yang dikembangkan dari surat al-Ghasiyah ini perlu diterjemahkan lebih lanjut ke dalam rencana prgram pembelajaran sehingga strukturnya nampak lebih jelas.
E. PENUTUP Ada beberapa kesimpulan yang dapat dirumuskan sebagai hasil dari kegiatan penelitian ini meliputi: 1) Pendidikan dasar bertujuan untuk membekali keterampilan dan kebutuhan dasar belajar (basic learning needs); baik yang berhubungan dengan esential learning tools (literacy, oral expression, numeracy dan problem solving) maupun yang berhubungan dengan basic learning content (knowledge, skills, values dan attitudes). Dua kebutuhan dasar belajar ini menjadi hak semua manusia agar dapat mengembangkan seluruh kemampuannya secara maksimal untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Pentingnya basic learning needs ini telah menjadi isu utama dalam Konferensi Internasional tentang Pendidikan untuk Semua (World Conference on Educational for All) tahun 1990 di Thailand. 2) Optimalisasi pembelajaran pada tingkat sekolah dasar hendaknya di tegakan pada semua aspek dan semua materi. Secara umum sebenarnya materi yang dapat dirumuskan ulang dalam konteks pembelajaran di SD dikelompokan pada tiga keterampilan yaitu; keterampilan berpikir (head), keterampilan berkreasi dan aktifitas (hand), dan keterampilan spiritualemosional (heart). Kelompok materi keterampilan berfikir dapat difokuskan kepada dua materi saja yaitu matematika dan bahasa, kelompok keterampilan berkreasi dan aktifitas dapat meliputi olahraga seni dan prakarya, sedangkan keterampilan spiritual-emosional dapat meliputi mata pelajaran agama dan kegiatan lingkungan hidup serta kebudayaan. 3) Setelah mempelajari rekaman data responden seperti yang telah disajikan pada Bab 4, secara umum dapat disimpulkan bahwa dilihat dari rata-rata pengalaman responden sejatinya dapat memberikan jaminan terhadap proses penyelenggaraan pembelajaran PAI di sekolah dasar ke arah yang lebih baik. Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
Terdapat temuan-temuan yang cukup mengembirakan dari faktor pengalaman ini, antara lain pendekatan kepengasuhan (parenting) dan pendekatan kepedulian terhadap anak (caring) nampak menonjol pada responden. Namun demikian masih ditemukan jenjang yang cukup signifikan antara apa yang dikonsepsikan secara ideal oleh guru dengan praktek pembelajaran di lapangan. 4) Perlu dikembangkan model pembelajaran agama Islam yang berbasis experiental learning yang berakar pada konsep uslub al-tarbawy yang dibangun dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur›an dan al-Hadits. Peneliti menawarkan model pembelajaran agama Islam yang berbasis experiental learning yang dimodifikasi dengan mengikuti uslub al-tarbawy yang terdapat dalam al-Qur›an surat Al-Ghasiyah ayat: 17 – 26. F. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur›an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI. Al-Maraghy, Ahmad Mustofa, (1365 H.), Tafsir Al-Maroghy, Beirut: darul Fikr Capra, Fritjop, (2001). Jaring-Jaring Kehidupan; Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Dave Meier, 2002, The Accelerated Learning; Hand Book, Mizan Media Utama, Bandung. DePorter, Bobbi. et al. (2001). Quantum Teaching; Mempraktikan Quantum Learning Di Ruang-Ruang Kelas. Bandung: Mizan. Donald Ary dkk. Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004). Edward J. Power, 1982, Philosophy of Education; Studies in Philosophies, Schooling, and Educational Policies, Prentice Hall, Inc. New Jersey. Foley, Griff. (2000). Understanding Adult Education and Training. 2nd Edition. Australia: ALLEN & UNWIN Harlos, Karen P. (2000). “Toward a Spiritual Pedagogy: Meaning. Practice. and Applications in Management Education”. Journal of Management Education 2000; Vol. 24; p. 612. The online version of this article can be found at: http://jme.sagepub.com/ Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-255-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-256-
cgi/content/abstract/24/5/612. diunduh tanggal 14 Maret 2009. H.M. Arifin, M.Ed. (1991), Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Bumi Aksafa. Cet. I. Hellmut R. Lang and David N. Evans, 2006, Models, Strategies and Methods For Fective Teaching, Pearson education Inc., Sanfrancisco. Ismail Ibrahim, Muhammad, (1968), Mu’jam al-Alfadz wa Al-`Ilam al-Quraniyah, Darul Fikr al-Araby, Kairo. Jane Schmidt-Wilk. et. al. (2000). Higher Education for Higher Consciousness: Maharishi University of Management as a Model for Spirituality in Management Education. dalam Journal of Management Education. 2000; Vol. 24; (580). The online version of this article can be found at: http://jme.sagepub.com/cgi/content/abstract/24/5/580. 18 Oktober 2009. John D. McNeil, 1990, Curriculum A Comprehensive Introduction, Scott, Foresman/Little, Brown Higher Education, London. Lines, Dennis. (2006). Spirituality in Counselling and Psychotherapy. London: SAGE Publications. Lindan and Richard Eyre, (1993), Teaching Your Children Values, New York: Published by Simon & Schuster. Listia, dkk. (2005). Pendidikan Agama di Sekolah Umum (Penelitian tentang Pendidikan Agama SD, SMP dan SMA di Kota Jogjakarta tahun 2004-2006). Yogyakarta: Institut DIAN / Interfidei. Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1995). McKenzie. A. et al. (2002) Authentic Learning: What Is It. snd What Are the Ideal Curriculum Conditions to Cultivate it In?. In Quality Conversations. Proceedings of the 25th HERDSA Annual Conference. Perth. Western Australia. 7-10 July 2002. Published by the Higher Education Research and Development Society of Australasia. Inc PO Box 27. Milperra. NSW 2214. Australia. Tersedia online dalam www.herdsa.org.au diunduh tanggal 9 Januari 2010. Mel Siberman (ed.), (2007), The Handbook Of Experiental Learning, San Francisco: Pleiffer Moleong, Lexy. J. (2002) Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Ormrod, Jeanne Ellis, (2009). Psikologi Pendidikan; Membantu Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
Muslihudin
Siswa Tumbuh dan Berkembang, Jakarta: Penerbit Erlangga. Palmer, Parker J. (2003). “Teaching With Heart and Soul: Reflections on Spirituality in Teacher Education”. Journal of Teacher Education 2003; Vol. 54; p. 376. The online version of this article can be found at: http://jte.sagepub. com/cgi/content/abstract/54/5/376. diunduh tanggal 17 Maret 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Plonczak, Irene. (2008). Science for all: Empowering elementary school teachers dalam Jurnal Education. Citizenship and Social Justice, tersedia online pada http://esj.sagepub.com/cgi/content/ abstract/3/2/167. Diunduh tanggal 4 April 2010. Pahari, dkk. (2007). Pendidikan Agama Islam SD Kelas 5. Jakarta: Bumi Aksara. Qardlawi, Yusuf (1988). Al-Ibadah fi Al-Islam, Beirut: Muassasah al-Risalah. Reigeluth, Charles M. (eds.) (1999). Instructional Design Theories and Model; A New Paradigm of Instructional Theory. Vol. II. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher. Richard I. Arends, 2008, Learning To teach; Belajar untuk Mengajar, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Saifuddin Azwar, Penyusunan Skala Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), Cet. II. Shichida, Makoto, (2010), The Mystery of The Right Brain; Mengungkap Misteri Otak Kanan untuk Membuat Anak Menjadi Genius, Jakarta: Elex Medio Komputindo. Shahjahan, Riyad Ahmed. (2004). “Centering Spirituality in the academy; Toward a Transformative Way of Teaching and Learning”. Journal Tranformative Education. (online service). Publisehd by SAGE. USA. Schmidt-Wilk, Jane. et. al. (2000). Higher Education for Higher Consciousness: Maharishi University of Management as a Model for Spirituality in Management Education. dalam Journal of Management Education. 2000; Vol. 24; (580). The online version of this article can be found at: http://jme.sagepub.com/cgi/content/abstract/24/5/580. 18 Oktober 2009. Tamuri, Ab. Halim. (2007). Islamic Education teachers’ Perceptions of the Teaching of Akhlaq in Malaysian Secondary Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H
-257-
REKONTRUKSI METODE PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG ARTIKULATIF DI SEKOLAH DASAR
-258-
Schools. Dalam Journal of Moral Education. Vol. 36 No. 3 September 2007. Routledge Taylor & Francis Group. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Tentang Guru dan Dosen Unesco. 2002. Learning To Be: A Holistic And Integrated Approach To Values Education For Human Development: Core Values And The Valuing Process For Developing Innovative Practices For Values Education Toward Internationa Understanding And A Culture Of Peace. Bangkok: UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education. Yang, Baiyin (2005). Holistic Learning Theory and Implications for Human Resource Development. dalam Jurnal Advances in Developing Human Resources Vol. 6. (online service). Published by SAGE. USA. Diunduh tanggal. 25 Oktober 2009. Young, Mark R. et.al. (2003). Enhancing Learning Outcomes: The Effects of Instructional Technology, Learning Styles, Instructional Methods, and Student Behavior. Dalam Journal of Marketing Education. Vol.. (online service). Published by SAGE USA. Diunduh tanggal. 19 Okrober 2009.
Holistik Vol 12 Nomor 01, Juni 2011/1433 H