Rekonstruksionisme dalam Pendidikan Islam Oleh Mamdukh Budiman1
Pergeseran paradigm (Paradigm Shift) pendidikan saat ini, musimmusiman, di saat musim yang banyak terjadi di masyarakat, maka konsep berubah, yang di namai dengan (Constantly Changing) seperti bunglon. Tidak adanya sikap dan tujuan hakikat yang disadari oleh pemerintah dan pelaku pendidik. Hanya sebatas fatamorgana. Perubahan paradigma pendidikan memang harus di lakukan namun harus berpijak pada makna dan hakekat pendidikan itu sendiri, konsep dataran filosofi pendidikan untuk manusia memperdayakan atau memberdayakan, paradigm tersebut merupakan konstruksi (bentukan) dari akar filsafat itu sendiri. Manusia mempunyai kehidupan yang dinamis dan kreatif, dan inovatif, hal ini hakekat manusia meminjam istilah Notonagoro manusia mahluk monodualis yang mempunyai maksud adanya saling keterikatan jasmani dan rohani yang melahirkan ide (Cognitive Construct) dalam berbagai sektor kehidupan (Social Construct). Daya berfikir dan daya cipta makin berkembang untuk memformulasikan makna kehidupan dalam konteks yang nyata, yang mengakibatkan pergeseran tata nilai yang tiap saat berlangsung. Pendidikan
merupakan
tool
bagi
manusia
sebagai
legitimasi
perkembangan manusia itu sendiri, pendidikan selalu berhubungan dengan soal siapakah “manusia” itu. Karena pendidikan tidak akan punya arti bila manusia tidak ada di dalamnya. Karena manusia merupakan subyek dan obyek pendidikan, manusia tidak akan berkembang jika tidak ada pendidikan (Yamin, 2004: 118). Pembahasan tentang siapakah manusia biasanya termasuk dalam bidang filsafat, yaitu bersifat antropologi. Pandangan filsafat tentang manusia sangat besar pengaruhnya terhadap konsep serta praktik-praktik pendidikan. Socrates mengatakan bahwa belajar yang sebenarnya ialah belajar tentang manusia, bahwa manusia mengatur dirinya membuat peraturan untuk itu, manusia 1
Dosen Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus)
1
mengurus dirinya dan alam berdasarkan manusia itu sendiri, jadi Manusia adalah sentral segala-galanya, dan manusia mestinya mengenali siapa manusia itu sebenarnya. ( Tafsir, 2006: 7-8) sedangkan menurut Muhammad Iqbal, bahwa hakikat manusia adalah segenap kekuatan diri dan akan menentukan siapa dia, karena manusia mempunyai ide dan akal, serta gagasan yang memerlukan penjabaran ke dalam bentuk tindakan nyata. (Iqbal, 1976:14) Karena pandangan filsafat itu menentukan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seorang pendidik atau suatu bangsa yang melaksanakan pendidikan. Subjek filsafat pendidikan adalah seseorang yang berfikir atau memikirkan hakekat sesuatu dengan sungguh dan mendalam tentang bagaimana memperbaiki pendidikan. Bagaimanakah tinjauan filosofi pendidikan yang mampu menjadikan manusia menjadi ingsan kamil, menyeluruh yang tidak hanya menekankan dataran eksistensialisme, Progressivisme, Perenialisme.
A. Basic Idea Constructivism Sebuah ide dasar constructivisme dalam dunia pendidikan saat ini sangat melekat dikalangan pendidik, karena constructivism merupakan pelengkap dari aliran filsafat yang mendasari seluruh aktivitas manusia atau konsepsikonsepsi tentang kehidupan dan dunia yang meliputi, sains, ilmu, adat, dan spiritualitas, serta religi. Berbicara pendidikan, berarti berbicara sistem, yang mana sistem pendidikan khususnya di Indonesia selalu mengalami perubahan, pendidikan bagi banyak orang menilai, bahwa sistem dan praktek pendidikan kita dewasa ini masih jauh dari yang diharapkan. Mulai dari biaya pendidikan mahal, kurikulum yang instability, bahkan hingga kenakalan para pelajar. Semua permasalahan itu ditujukan terhadap satu pihak, yakni lembaga pendidikan, meskipun demikian tidak berarti bahwa seluruh hasil pendidikan adalah buruk, sebab pendidikan merupakan sebuah proses tiada henti, sebuah proses yang selalu menyisakan berbagai persoalan, meskipun selalu memberikan konsep-konsep baru tentang bagaimana membangun dan mengembangkan kualitas manusia dengan Ilmu dan Pengetahuan. Menurut
2
Von Krogh sebagaimana yang dikutip oleh (Charreire , 2008: 73-91), where the authors seek to posit the idea of knowledge as being socially constructed, emphasizing systems of autopoiesis: Knowledge is a component of the autopoietic process; it is history-dependent, contextdriven and rather than being oriented toward problem solving, knowledge enables problems to be defined. Pengetahuan adalah komponen dari proses autopoietic tergantung pada sejarah, konteks, dan bukannya berorientasi pada pemecahan masalah, pengetahuan memungkinkan masalah yang harus didefinisikan. Lain halnya dengan Von Glasersfeld
Pengetahuan menurut Von Glasersfeld
sebagaimana yang telah dikutip oleh Paul Suparno, pengetahuan sebagai sesuatu hal yang dengan aktif menerima apapun melalui pikiran sehat atau melalui komunikasi. Hal itu secara aktif terutama dengan membangun pengetahuan. Kognisi adalah adaptif dan membiarkan sesuatu untuk mengorganisir pengalaman dunia itu, bukan untuk menemukan suatu tujuan kenyataan. (Suparno, 1997: 24) Hal ini sejalan dengan Nodding, (1995: 34 )
One of its basic premises is that all knowledge is constructed; knowledge is not result of pasive reception. This premise is common to all forms of constructivism and is also a basic tenet of cognitive pyscology Salah satu premis dasar adalah bahwa semua pengetahuan dibangun; pengetahuan tidak menghasilkan penerimaan pasif. Premis ini adalah umum untuk semua bentuk konstruktivisme dan juga merupakan prinsip dasar psikologi kognitif. Kata reconstructivism berasal dari bahasa inggris Reconstruct yang berarti menyusun kembali. Kamus Oxford builds or form (something) again after it has been damaged or destroyed. Dalam kamus ilmiah, berarti kehidupan yang merancang dan baru (Widodo, 2002: 332). Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran reconstructivism merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran reconstructivism pada
3
prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern. Menurut Muhammad Noor Syam, kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh, kebingungan, dan instability (tidak stabil). Perkembangan reconstructivism menganggap bahwa progresivisme belum cukup jauh berusaha memperbaiki masyarakat, sedangkan Arthur K. Ellis sebagaimana dikutip oleh (Assegaf, 2011: 207) menganggap bahwa reconstructivism merupakan perkembangan dari progresivisme dalam pendidikan, yang kadang kala di artikan sebagai social reconstruction, dan progresivisme belum cukup jauh
dalam upaya perbaikan problematika
masyarakat pada saat itu saja. Beberapa
pemikir
kemudian
dikenal
dengan
reconstructivism.
Sementara reconstructivism sebagai sebuah sistem pendidikan, berawal dari terbitnya Recontruction in Philosophy karya John Dewey pada tahun 1920. Kemudian ulasan Dewey tersebut dijadikan gerakan oleh George Counts dan Harold Rugg pada tahun 1930-an, melalui keinginan mereka untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai media rekonstruksi terhadap masyarakat. (Yeli, 2005: 193), Pada tahun 1932, George Counts (1889 – 1974) ia mengkritik praktik-praktik sekolah yang telah mengabdikan ketidaksamaan yang mencolok berdasarkan ras, kelas, dan etnik. Melalui tulisannya yang berjudul Dare the School Build a New Social Order, ia lalu mencoba mempertanyakan bagaimana sistem sosial dan ekonomi masyarakat pada saat itu, telah menjadi persoalan yang cukup mendasar bagi masyarakat. Maka pendidikan menurutnya, harus menjadi agen perubahan bagi rekontruksi sosial. Ia juga menkritik model pendidikan Progresifisme yang telah gagal mengembangkan sebuah teori kesejahteraan sosial dan tidak menjamin bagi terciptanya ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi abad ke-20. (Mudyaharjo, 2002: 153-154) Aliran perenialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama (regressive road culture) yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu, aliran reconstructivism menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan
4
pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia, reconstructivism berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan reconstructivism perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru. Menurut (Brooks, 1993 : 65) bahwa constructivism adalah lebih merupakan suatu filosofi dan bukan suatu strategi pembelajaran. (Noding, 1995: 34) menyatakan bahwa; ”Constructivism is not an instructional strategy to be deployed under appropriate conditions. Rather, constructivism is an underlying philosophy or way of seeing the world”. Ludwig Wittgenstein, claimed that philosophy "leaves everything as it is." That is, philosophy does not change the world; it just makes the world clearer. Konstruktivisme bukan merupakan strategi pembelajaran yang akan digunakan dalam kondisi yang tepat. Sebaliknya, konstruktivisme adalah filosofi yang mendasari atau cara melihat dunia ". Ludwig Wittgenstein, mengklaim bahwa filosofi "daun semuanya seperti itu." Artinya, filsafat tidak mengubah dunia; itu hanya membuat dunia lebih jelas Sementara, menurut Imam Barnadib sebagaimana dikutip oleh (Assegaf,
2011: 206), mengartikan reconstructivism sebagai filsafat
pendidikan yang menghendaki agar anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara rekonstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat, sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan. constructivism memang banyak digunakan dalam pendekatan-pendekatan pembelajaran. Constructivism pada dasarnya adalah suatu pandangan yang didasarkan pada aktivitas siswa dengan untuk menciptakan, menginterpretasikan, dan mereorganisasikan pengetahuan dengan jalan individual kemandirian dan tanggung jawab. Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Schwandt bahwa constructivism adalah seperti interpretivis dan konstruktivis, yang lebih mengedepankan makna dan tidak mekanistik, epistemologi constructivism (interpretivisme) yang muncul dalam 5
kontradistingsi dengan positivisme dalam upaya-upaya untuk memahami dan menjelaskan manusia dan realitas sosial. Hal ini sejalan pula dengan pendapat von Glaserfeld dalam Paul Suparno, bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan yang ada (realitas) pengetahuan merupakan akibat dari konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan pengetahuan ini berjalan terus menerus dengan mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman dan pengetahuan yang baru, yang selalu berkembang dan dinamis. Dalam perkembangannya, reconstructivism atau mulai
mengeksplor
kedalam
tataran
wilayah
reconstructivism
pendidikan,
aliran
reconstructivism ini, yang dimotori seorang filsuf yaitu John Dewey. Lahir pada tahun 1859, ia memiliki pengaruh yang sangat besar bukan hanya di wilayah para Filsuf, melainkan juga pada kalangan kaum pendidikan, estetika dan politik. Pemikiran John Dewey, mengikuti paham progresivisme, John Dewey menekankan adanya penyelidikan, penelitian. Yakni penggantian kebenaran dengan penyelidikan dan penelitian. (inguiry) sebagai konsep fundamental logika dan teori ilmu pengetahuan. (Russel, 2012:1066) Penyelidikan dan Penelitian menurut John Dewey adalah
transformasi
terkontrol atau terarah dari situasi yang tidak menentu (inderterminate) menjadi situasi yang menentu (determinate) dalam hal pembedaan dan hubungan sehingga mengubah anasir situasi asal menjadi suatu keseluruhan yang menyatu. Dengan pernyataan jelas bahwa John Dewey mengklaim dalam proses mendapatkan ilmu dan pengetahuan diperlukan adanya konsep yang dikonfirmasi secara objektif dan sistematis, oprasional dan dasar bagi hipotesis yang selanjutnya menjadi bahan pertimbangan untuk memecahkan permasalahan lain dan berikutnya. Secara garis besar sistem rekonstruksivisme (Jalaluddin , 2012:120) adalah 1. Ontologi
6
Basis
ontologi
Rekonstruksionisme
merujuk
dualisme,
yang
berpendapat bahwa realitas terdiri dari dua unsur dasar, yakni: materi dan rohani. Kedua unsur tersebut memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri, azali dan abadi. Rene Descartes misalnya,menyatakan bahwa manusia tidaklah sulit memahami prinsip dualisme ini, sebab relitas lahir dapat dengan mudah ditangkap dengan panca indera sementara realitas rohani segera diketahui melalui akal. 2. Epistemologi Basis epsitemologi aliran ini lebih condong terhadap pragmatisme , yang mengakui bahwa untuk dapat memahami realitas, manusia memerlukan suatu azas empirical knowledge. Manusia mengetahui sesuatu berdasarkan pengalama n inderawinya, melalui panca indera manusia menangkap kesan-kesan yang akhir nya diproses oleh pikiran hingga menja di pengetahuan. Pikiran manusia (otak) berfungsi untuk mengolah data-data yang ditangkap oleh indera, kemudian memfe rifikasinya sebelum sampai pada sutu kesimpulan tentang kebenaran. Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktik an dengan self evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realitas dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Penalaran-penalaran memiliki hukum- hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang logis. Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence) , dengan jalan pernikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan (condusion).
( Jalaluddin, 2012:122)
3. Aksiologi Rekonstruksionisme memandang nilai sebagai yang natural dan universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. (Barnadib, 1996: 69) mengungkapkan bahwa rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis.
7
Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Kemudian, manusia sebagai subjek telah memiliki potensi potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya Teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan
terhadap
manusia
yang
ingin
belajar
atau
mencari
kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang lain Dari keterangan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri. B. Islam dan Filsafat Rekonstruksivisme dalam Pendidikan Merekontruksi teologi Islam klasik merupakan sebuah keniscayaan. Karena dengan mempertahankan doktrin-doktrin teologi Islam klasik yang lebih cenderung kepada trend teosentris atau Ketuhanan (theos) yang menjadi pembahasan pokok teologisnya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal dan mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia. Paradigma antara Islam Tradisional yang memegang teguh prinsip-prinsip theosentris dengan Islam modern, yang bercorak dan berprinsip antroposentris dalam memaknai pesan Tuhan, seperti air dan minyak, yang tidak dapat disatukan, artinya bahwa, pemikiran tradisional dan modern terjadi kontak salah pemahaman dan pemaknaan akan teks – teks (wahyu) sehingga menimbulkan ketidak aturan (lack of rules). Hasan Hanafi, jauh-jauh hari telah menawarkan rekontruksi teologi Islam ke arah Antroposentrisme. Menurut Hanafi, sejarah Islam tentang teologi kenyataannya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal dan mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia. Rumusan klasik di bidang teologi yang kita warisi dari para pendahulu Muslim pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan. 8
(Hassan Hanafi, 1991: 205) Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari kenyataan-kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana tercermin di masa Nabi saw. sangatlah liberatif, progresif, emansipatif dan revolutif. paradigma teologi klasik Islam sudah saatnya diperbaharui (reformasi), dipahami ulang
(rekonstruksi)
dan
purifikasi
(tajdid)
dirumuskan
kembali
(reformulasi) dalam modelnya yang baru dan progresif, karena sudah tidak relevan dengan tuntutan modernitas, gerak sejarah dan dinamika dan perubahan serta perkembangan zaman. Filsafat Pendidikan Islam dengan melihatnya dari epistemologi Islam, yang tidak hanya bersumber kepada wahyu sebagai highest wisdom of God, sebuah kawasan transendental yang tidak pernah tersentuh oleh Filsafat Ilmu Barat, tetapi juga bersumber kepada kawasan historis yang rasional, empiris dan intuitif. Islam sebagai way of life yang apresiatif dengan indera dan
akal manusia, Bahkan Islam (al-Quran) mengakui
indera dan akal manusia sebagai salah satu sumber sarana untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Tetapi sebagai indera, akal memiliki keterbatasan dalam mendapatkan ilmu dan pengetahuan, hal ini memerlukan sinergitas kedua alat tersebut. Karena manusia pada saat dilahirkan tidak mempunyai ilmu apa pun, maka dari itu, agar manusia mampu mengemban tugas tersebut sebagai khalifah (pengelola alam semesta raya) Allah SWT Memberikan alat dan sarana yang berupa panca Indera serta hati nurani sebagaimana dalam Al-Quran ( QS. An-Nahl 16 : 78) “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu kamu dengan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan dia mengaruniakan kepadamu yaitu , pendengaran, penglihatan, akal, dan hati nurani supaya kamu bersyukur”
9
Berdasarkan ayat tersebut di atas, bahwasanya alat (akal, indera, dan hati) manusia harus mampu menggunakannya untuk mencerna, berfikir, menganalisis, menyelidiki, meneliti, fenomena yang terjadi di Dunia ini. Fitrah manusia supaya menjadi pelaku sejarah yang tidak kenal henti dalam membaca (menganalisis, menyelidiki, mencerna) Muhammad Iqbal adalah salah seorang tokoh abad ke-20 yang menjadi kebanggaan dunia islam, dulu, kini dan akan datang. (Susanto, 2011: 169) Tanggapannya terhadap pemikiran Barat mengajarkan umat Islam untuk tidak berapologi atau mencaci maki setiap bersentuhan dengan khazanah Barat. Sikap yang baik adalah memanfaatkan apa-apa yang baik dari khazanah Barat untuk merekonstruksi Islam dan kemajuannya. Muhammad Iqbal, sebagai tokoh Reconstrucsivism dunia Islam, ia menekankan pada aspek dataran (Human Being) memanusiakan manusia, bahwa manusia mempunyai tiga unsur, yaitu jasmani dan rokhani, dan akal. Sehingga membentuk kesadaran diri dan individualitas merupakan kata kunci bagi penyempurnaan kemanusiaan. Manusia berusaha mengerahkan seluruh kemampuannya, bakat, potensi, dan keistimewaan yang ada di dalam dirinya yang bisa dibentuk (construct)
dan
dikonsentrasikan untuk mendapatkan dan menghasilkan sesuatu yang bernilai. Tujuan mendasar dari kehidupan keagamaan ialah membuat evolusi kehidupan ini bergerak bergerak dalam arah yang jauh lebih penting untuk tujuan ego daripada kesehatan moral tentang struktur sosial yang membentuk lingkungannya saat ini. Persepsi dasar dari kehidupan yang bergerak maju merupakan kesatuan ego, kemampuan melebur, persetujuan untuk pembentukan kembali dan kapasitasnya untuk kebebasan untuk menciptakan situasi baru dalam lingkungan yang diketahui dan yang tidak diketahui ( Komaidi, 2002: 272) Menurut Iqbal intisari hidup adalah gerak, sedangkan hukum hidup ialah menciptakan, maka Iqbal berseru kepada umat islam supaya bangun dan menciptakan dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai gerak, sehingga ia menyebut bahwa “kafir yang aktif lebih bak dari muslim yang suka
10
tidur” (Nasution, 1975: 192) Dengan demikian, wajar kalau Iqbal menekankan teori dinamis dalam pemikiran filsafatnya. Ia menekankan bahwa dunia ini adalah benda yang bergerak cepat tanpa henti. Ini artinya, manusia dituntut untuk senantiasa bergerak, sebagaimana tercantum dalam al-Quran surah al-ankabut: 69 Dan mereka yang beruasaha(bergerak) keras di (agama) kami, sunngguh akan kami tunjuki mereka itu jalan-jalan kami. (al-Ankabut: 69) Konsepsi-konsepsi Muhammad Iqbal sama denga konsepsi reconstructsivisme John Dewey yang mengungkapkan bahwa ide-ide dan gagasan mestilah sesuatu yang dapat diterapkan dalam tindakan-tindakan yang berguna bagi pemecahan berbagai problematika yang akan muncul dengan penalaran. Bagi Iqbal pendidikan adalah suatu keseluruhan daya budaya yang mempengaruhi kehidupan perorangan maupun kelompok masyarakat.
Yang
meliputi
prinsip
dasar:
konsep
individualitas,
pertumbuhan individualitas, keserasian jasmani dan rohani, individu dan masyarakat, evolusi kreatif, peranan intelek dan instituisi, pendidikan watak, tata kehidupan sosial Islam, suatu pandangan kreatif tentang pendidikan Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu aktifitas befikir menyeluruh dan mendalam dalam rangka merumuskan konsep, menyelenggarakan dan atau mengatasi berbagai problem Pendidikan Islam dengan mengkaji kandungan makna dan nilai-nilai dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Dari sisi lain, Filsafat Pendidikan Islam diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mengkaji secara menyeluruh dan mendalam kandungan makna dan nilai-nilai al-Qur’an atau al-Hadis, guna merumuskan konsep dasar penyelenggaraan bimbingan, arahan dan pembinaan peserta didik agar menjadi manusia dewasa sesuai tuntunan ajaran Islam, dan menuju spiritualisasi pendidikan, sebagaimana dijelaskan oleh Tobroni , Spiritualisasi pendidikan adalah sebuah konsep pendidikan yang berusaha memahami dan memperlakukan manusia secara utuh dalam konteks ketuhanan dan kemanusiaan. (Tobroni, 2008:150). C. Implementasi Filsafat Konstruktivisme dalam Pembelajaran
11
Filsafat konstruktivisme memberikan landasan bagi lahirnya teori belajar konstruktivistik. Untuk memahami teori belajar ini ada baiknya dibuat pembandingan dengan teori belajar yang lain, yang memang sangat bertolak belakang. Teori belajar pembandingnya adalah teori behavioristik. Teori ini dipilih karena akan memperjelas konsep konstruktivistik yang dipaparkan di sini. Kaum
behavioristik
meyakini
bahwa
perilaku
merupakan
kumpulan reflek yang diakibatkan proses conditioning. Reflek berulangulang akan menjadi kebiasaan. Dan perilaku akibat pembiasaan ini disebut belajar. Proses belajar bagi kaum behavioristik berlangsung tanpa mempertimbangkan potensi dan kemauan serta kesadaran peserta didik. Maka model pembelajaran bersifat teacher centered. Tujuan pembelajaran ditentukan oleh institusi dan peserta didik tinggal mengikutinya. Implikasinya: materi pelajaran ditentukan pengajar, pengajar aktif menerangkan dan peserta didik hanya pasif menerima hingga saatnya evaluasi. Bisa dikatakan pengajar menjadi satu-satunya sumber belajar. Motivasi belajar hanya dirangsang dengan nilai. Akibatnya tujuan belajar berbelok hanya sekedar sederetan angka. Peserta didik dijadikan kebanggaan institusi dengan angka-angka yang tinggi, baik lewat ujian nasional maupun lomba-lomba. Akibatnya segala potensi, kemauan dan waktu peserta didik terserap hanya demi nilai. Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak bisa dipindahkan begitu saja dari guru kepada murid. Artinya, peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah dalam proses pembelajaran peserta didik harus aktif
mengembangkan
pengetahuannya,
mereka
pula
yang
harus
bertanggungjawab atas hasilnya. Belajar diarahkan pada experimental learning, yaitu adaptasi kemanusiaan berdasar pengalaman konkret, diskusi dengan teman sekelas, dan kemudian dijadikan ide dan pengembangan konsep baru.
12
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada keberhasilan peserta didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Guru menjadi fasilitator yang membantu peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Namun tetap harus diperhatikan bahwa model pembelajaran ini harus didukung oleh lingkungan yang tepat. Tujuan model belajar ini adalah menciptakan peserta didik yang selalu terdorong mengembangkan diri melalui belajar . Setiap peserta didik memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang lebih maju, serta memiliki kemampuan untuk membangun masyarakat yang lebih baik dengan memerankan ilmu dalam memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat, sehingga diperlukan upaya peningkatan kemampuan, minat, bakat, dan prestasi belajarnya secara terus menerus melalui umpan balik. (Muhaimin, 2005: 136-138)
13
KESIMPULAN
Pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan pengetahuan ini berjalan terus menerus dengan mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman dan pengetahuan yang baru, yang selalu berkembang dan dinamis. Proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru. Teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang lain Dari keterangan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri Proses mendapatkan ilmu dan pengetahuan dperlukan adanya konsep yang dikonfirmasi secara objektif dan sistematis, oprasional dan dasar bagi hipotesis yang selanjutnya menjadi bahan pertimbangan untuk memecahkan permasalahan lain dan berikutnya Muhammad Iqbal, sebagai tokoh Rekonstruksivisme dunia Islam, ia menekankan pada aspek dataran (Human Being) memanusiakan manusia, bahwa manusia mempunyai dua unsur, yaitu jasmani dan rokhani, dan akal. Sehingga membentuk kesadaran diri dan individualitas merupakan kata kunci bagi penyempurnaan kemanusiaan
14
DAFTAR PUSTAKA Abbeduto, Leonard, (2004) Taking Sides: Clashing Views on Controversial Issues in Educational Psychology, Third Edition, McGraw-Hill/Dushkin Assegaf, Rachman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Paradigma Baru Pendidikan Hadlari Berbasis Integratif-interkonektif. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta. hlm 207 Barnadib, Imam. 1996.Dasar-Dasar Kependidikan Memahami Maknadan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm 69 Brooks, Jacqueline Grennon and Brooks, Martin G. (1993). The case for constructivist classrooms. Alexandria, VA: ASCD Hanafi, Hassan, 1991. Agama, Ideologi, dan Pembangunan, terj. Shonhaji Sholeh. Jakarta: P3M, hlm. 205 Jalaluddin dkk, 2012. Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat dan Pendidikan. ArRuz Media: Yogyakarta. 120 Mudyaharjo, Redja , 2002. Pengantar Pendidikan ; Sebuah Awal tentang DasarDasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di indonesia, PT. RajaGrafindo Persada,Jakarta : hlm. 153 – 154. Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta; PT Grafindo Persada. Hlm : 136-138 Muhammad Iqbal, Asrar I Khudi, terj Bahrum Rangkuti. Bulan Bintang: Jakarta. t.t Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam terjemah Didik Komaidi (Yogyakarta: Lazuardi, 2002. Hlm 272 Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan Dalam Islam, PT Bulan Bintang, Jakarta.hlm : 192 Nel Noddings, 1995. Philosopy of Education, Dimensions of Philosopy Series. West View Press: Member of Persues Books, LLC. Page : 34 Russel, Bertrand 2012. Sejarah Filsafat Barat, Kaitanya dengan Kondisi sosio politik zaman kuno hingga sekarang. Pustaka Pelajar: Yogyakarta hlm. 1066 Suparno, Paul. 1997 . Filsafat Konstruksivisme dalam Pendidikan. Kanisius : Yogyakarta.hlm. 24 Tafsir, Ahmad, 2006. Filsafat Pendidikan Islami. PT Remaja Rosdakarya : Bandung.hlm. 7-8 Widodo, dkk. 2002. Kamus Ilmiah Populer, dilengkapi EYD dan Istilah Populer.Yogyakarta. hlm. 332 15
Yamin, Martin .2004. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi. Pamulang : Gaung Persada Press. Cet II. Hal : 118 Yeli, Muhmida, 2005. Filsafat Pendidikan Islam, LSFK2P. Pekanbaru, hlm. 193
16