REDESAIN SHELTER BUS TRANS JOGJA DENGAN PENDEKATAN ANTHROPOMETRI DAN AKSESIBILITAS Bambang Suhardi1, Pringgo Widyo Laksono2 dan Yoseph Tri Minarto3 Abstract: Pada makalah ini disampaikan kajian mengenai redesain terhadap shelter bus Trans Jogja dengan pendekatan anthropometri dan aksesibilitas agar didapatkan fasilitas shelter yang mengakomodasi semua kepentingan (universal design) termasuk para penyandang cacat. Setelah dilakukan penelitian maka diperoleh rancangan ulang dimensi pintu masuk dan keluar sebagai berikut: tinggi pintu shelter 190,38 cm dan lebar pintu 118,9 cm yang sangat memungkinkan untuk penyandang cacat dapat masuk dan keluar dari shelter. Alat ticketing meliputi dimensi lebar portal alat ticketing sebesar 118,9 cm dan tinggi lubang tiket adalah 82,33 cm. Desain ramp yang didapat dari hasil perancangan adalah ramp desain bentuk S. Dengan pembagian menjadi 3 muka datar pada awalan atau akhiran ramp. Hasil perancangan tinggi dari sudut kemiringan ramp adalah 70 dengan tinggi ramp 85 cm dan panjang dari ramp 400 cm serta lebar yang disesuaikan dengan lebar kursi roda agar ramp lebih landai. Keywords: aksesibilitas, anthropometri, penyandang cacat, redesain
PENDAHULUAN Aksesibilitas masih menjadi persoalan utama yang dihadapi penyandang cacat di ruang publik. Meski Indonesia sudah memiliki seperangkat aturan hukum yang melindungi kaum penyandang cacat, kenyataannya belum banyak ruang publik yang menyediakan fasilitas, baik fisik maupun non fisik untuk memudahkan aktivitas mereka. Seiring dengan jumlah penyandang cacat di Indonesia yang semakin meningkat, berdasarkan pendataan program perlindungan Sosial Badan Pusat Statistik, tahun 2009 terdapat 2,1 juta penyandang cacat dan tahun 2012 jumlahnya meningkat menjadi 3,84 juta [13]. Fasilitas umum yang memudahkan aksesibilitas bagi penyandang cacat harus tersedia dan memadai. Kemandirian seorang penyandang cacat haruslah diikuti dengan ketersediaannya sarana pendukung yang memadai. Dalam suatu perancangan fasilitas umum, keamanan dan kenyamanan sangatlah penting. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 468/KPTS/1998 juga menyebutkan bahwa persyaratan teknis pada bangunan umum dan lingkungan haruslah mengakomodasi semua aspek diantaranya: kemudahan, kegunaan, keselamatan dan kemandirian. Salah satu sarana pendukung dalam pemenuhan fasilitas umum adalah shelter/halte bus patas Trans Jogja. Trans Jogja merupakan salah satu angkutan publik yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan menjadi salah satu aset milik dinas perhubungan yang bekerjasama dengan PT. Jogja Tugu 1
Jurusan Teknik Industri, Universitas Sebelas Maret Surakarta Jl. Ir. Sutami No. 36 A, Surakarta 57126 E-mail :
[email protected] 2
Jurusan Teknik Industri, Universitas Sebelas Maret Surakarta Jl. Ir. Sutami No. 36 A, Surakarta 57126 3
Jurusan Teknik Industri, Universitas Sebelas Maret Surakarta Jl. Ir. Sutami No. 36 A, Surakarta 57126 Naskah diterima: 11 Juli 2013, direvisi: 27 Sept 2013, disetujui: 10 Okt 2013
126
Jurnal Ilmiah Teknik Industri, Vol. 12, No. 2, Desember 2013
ISSN 1412-6869
Transportasi. Keunggulan bus Trans Jogja dibandingkan bus kota biasa, yaitu: aman, nyaman, dan ber-AC. Sebagai salah satu angkutan publik, bus Trans Jogja harus dapat mengakomodasi semua kepentingan termasuk kaum penyandang cacat. Fakta di lapangan, shelter/halte bus Trans Jogja yang telah ada masih mempunyai beberapa kekurangan yang menyebabkan kaum penyandang cacat mengalami kesulitan dalam mengunakannya. Kekurangan yang ada meliputi: desain ramp, desain alat ticketing, dimensi pintu shelter, dan layout shelter. Ramp adalah suatu bidang miring yang menghubungkan dua ketinggian yang berbeda dengan sudut kemiringan tertentu (lebih landai dari kemiringan tangga) sebagai alternatif bagi orang yang tidak dapat menggunakan tangga. Gambar 1 menunjukkan seorang penyandang cacat sedang mencoba mengakses fasilitas dari shelter bus Trans Jogja dengan menggunakan kursi roda.
Gambar 1. Penggunaan Ramp Shelter Bus Trans Jogja
Desain ramp yang ada saat ini terlalu curam dengan sudut kemiringan yang terlalu curam. Kondisi ini sangat menyulitkan kaum penyandang cacat dalam mengaksesnya. Berdasarkan hasil pengamatan, ramp shelter bus Trans Jogja sama sekali tidak memenuhi persyaratan. Untuk menuju ketinggian lantai halte 80-85 cm, jarak mendatar ramp hanya 2,34 meter. Kemiringan ramp hanya 1:3 dengan sudut kemiringan 140. Idealnya untuk mencapai ketinggian tersebut, jarak mendatar yang dibutuhkan adalah sekitar 4,9-5,6 meter sehingga didapatkan ketinggian lantai halte 1:7 dengan sudut kemiringan 70. Menurut Suhardi, dkk. (2007) untuk mengangkut dan mendorong beban, kebutuhan tenaga untuk menggerakkan kursi roda pada kemiringan ramp maksimum (α = 100) cukup aman, tidak menyebabkan kelelahan otot, apalagi jika memakai standar nasional besar sudut kemiringan ramp di bawah 70. Selain desain ramp, layout yang sempit, dan bentuk tempat ticketing yang tidak standar menyebabkan kursi roda tidak bisa masuk ke dalam shelter. Hasil pengamatan lebar pintu shelter saat ini sebesar 85 cm, sedangkan lebar kursi roda dengan pengguna adalah 109,45 cm, kondisi semacam ini menyebabkan kursi roda tidak bisa masuk. Kondisi area ticketing juga sama, selain lebar pintu masuk area ticketing yang sempit dan portal alat ticketing juga tidak bisa diakses oleh pengguna kursi roda. Hasil pengamatan menunjukkan lebar portal masuk ticketing adalah 51 cm, sedangkan lebar kursi roda tanpa pengguna adalah 70 cm. Untuk membuktikannya secara langsung apakah sarana dan prasarana sudah mengakomodasi semua kepentingan, beberapa penyandang cacat yang menggunakan kursi roda melakukan uji coba dengan naik bus Trans Jogja, dan hasilnya mereka 127
Suhardi, dkk./Redesain Shelter Bus Trans Jogja dengan.../JITI, 12(2), Des 2013, pp.(126-140)
kesulitan saat mereka naik ke halte maupun saat mereka turun. Kecelakaan seperti terpeleset yang diakibatkan oleh curamnya ramp tercatat rata-rata setiap minggunya 2-3 kecelakaan terjadi (Pratiwi, 2012). Sulitnya berada di ruang publik juga dialami para penyandang cacat di ibukota Jakarta. Mereka tidak bisa keluar dari halte bus Trans Jakarta karena halte itu tidak sepenuhnya menyediakan akses [13]. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka perlu dilakukan perancangan ulang terhadap shelter bus Trans Jogja dengan pendekatan anthropometri dan aksesibilitas agar didapatkan fasilitas shelter yang mengakomodasi semua kepentingan (universal design) termasuk kaum penyandang cacat yang menggunakan kursi roda dan menjadikan mereka seorang yang mandiri. Perancangan ulang terhadap fasilitas umum dibutuhkan pengukuran ergonomi dan fisiologi untuk dapat memenuhi kebutuhan bagi kaum penyandang cacat, seperti penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nevala-Puranen, dkk (1999). Perancangan fasilitas untuk orang-orang yang mempunyai kebutuhan khusus (wanita hamil dan orang lanjut usia) harus mempertimbangkan antropometri pengguna, keinginan, dan keterbatasan fisik pengguna, seperti penelitian sebelumnya (Suhardi & Sudadi, 2013; Suhardi & Suryono, 2013). LANDASAN TEORI Aksesibilitas Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan (Anonim, 1997). Asas aksesibilitas terdiri dari: kemudahan, kegunaan, keselamatan, dan kemandirian. Kemudahan adalah setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan. Kegunaan adalah setiap orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan. Keselamatan adalah setiap bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan terbangun, harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang. Kemandirian adalah setiap orang harus bisa mencapai masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Landasan Hukum Untuk menjaga hak dan kewajiban masyarakat, maka Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia secara khusus mengeluarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 468/KPTS/1998 Tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan. Ergonomi Ergonomi adalah suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia untuk merancang suatu sistem kerja sehingga orang dapat hidup dan bekerja pada sistem itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerja itu dengan efektif, aman, dan nyaman (Wignjosoebroto, 1995). Anthropometri Anthropometri berasal dari ‘anthro’ yang berarti manusia dan ‘metri’ yang berarti ukuran. Secara definisi anthropometri dapat dinyatakan sebagai suatu studi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh manusia. Anthropometri merupakan ilmu yan menyelidiki manusia dari segi keadaan dan ciri fisiknya, seperti dimensi linier, volume, dan berat. 128
Jurnal Ilmiah Teknik Industri, Vol. 12, No. 2, Desember 2013
ISSN 1412-6869
Umumnya manusia berbeda dalam hal bentuk dan ukuran tubuh. Ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi ukuran tubuh manusia, antara lain (Wignjosoebroto, 1995): 1. Umur. Secara umum dimensi tubuh manusia akan tumbuh dan bertambah besar seiring dengan bertambahnya umur yaitu sejak awal kelahirannya sampai dengan umur sekitar 20 tahunan. 2. Jenis kelamin. Jenis kelamin pria umumnya memiliki dimensi tubuh yang lebih besar kecuali dada dan pinggul. 3. Suku bangsa. Dimensi tubuh suku bangsa negara Barat lebih besar dari pada dimensi tubuh suku bangsa negara Timur. 4. Posisi tubuh. Sikap ataupun posisi tubuh akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh oleh karena itu harus posisi tubuh standar harus diterapkan untuk survei pengukuran. Posisi tubuh akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh yang digunakan. Oleh karena itu, dalam anthropometri dikenal 2 (dua) cara pengukuran, yaitu: 1. Dimensi struktur tubuh/statis (structural body dimension). Tubuh diukur dalam berbagai posisi standar dan tidak bergerak. Istilah lain untuk pengukuran ini dikenal dengan ‘static anthropometri’. Dimensi tubuh yang diukur dengan posisi tetap meliputi berat badan, tinggi tubuh dalam posisi berdiri, maupun duduk, ukuran kepala, tinggi/ panjang lutut berdiri maupun duduk, panjang lengan dan sebagainya. 2. Dimensi fungsional/dinamis (functional body dimension). Pengukuran dilakukan terhadap posisi tubuh pada saat melakukan gerakan-gerakan tertentu. Hal pokok yang ditekankan pada pengukuran dimensi fungsional tubuh ini adalah mendapatkan ukuran tubuh yang berkaitan dengan gerakan-gerakan nyata yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. METODE PENELITIAN Langkah-langkah penelitian yang digunakan dalam perancangan shelter Bus Trans Jogja untuk kaum penyandang cacat dengan pendekatan anthropometri dan aksesibilitas terdiri dari 4 tahapan, yaitu: Tahap Identifikasi Masalah Tahap ini diawali dengan melakukan studi lapangan untuk mengetahui kondisi shelter bus saat ini. Selain itu pada tahapan ini juga dilakukan pengujian secara langsung, dimana para penyandang cacat yang menggunakan kursi roda mencoba untuk naik bus Trans Jogja. Kendala yang dialami para penyandang cacat ketika masuk dan keluar dari shelter diamati. Hasil pengamatan ini menjadi dasar untuk melakukan perancangan ulang shelter bus. Tahap Pengumpulan Data Data yang digunakan pada perancangan shelter bus Trans Jogja meliputi: data layout shelter, dimensi kursi roda, data anthropometri orang normal dan penyandang cacat. Tahap Pengolahan Data Tahapan ini meliputi perhitungan persentile dari data anthropometri yang telah dikumpulkan. Persentil data anthropometri ini digunakan untuk merancang pintu masuk dan pintu keluar shelter bus, perancangan area ticketing, dan desain ramp.
129
Suhardi, dkk./Redesain Shelter Bus Trans Jogja dengan.../JITI, 12(2), Des 2013, pp.(126-140)
Tahap Perancangan Shelter Bus Trans Jogja Tahap ini meliputi perancangan dimensi shelter bus dan pemodelan hasil rancangan ke dalam bentuk 3 dimensi. HASIL DAN PEMBAHASAN Data Layout Shelter Awal Hasil pengukuran layout shelter awal seperti pada Tabel 1.1 di bawah ini Tabel 1. Dimensi Layout Shelter Trans Jogja No Keterangan 1 Tinggi Shelter 2 Lebar Shelter 3 Panjang Shelter 4 Tinggi Pintu Masuk Shelter 5 Lebar Pintu Masuk Shelter 6 Tinggi Pintu Keluar Shelter 7 Lebar Pintu Keluar Shelter 8 Tinggi Pintu Keluar/Masuk Bus 9 Lebar Pintu Keluar/Masuk Bus 10 Lebar Pintu Masuk Ticketing 11 Tinggi Pintu Masuk Ticketing 12 Lebar Area Operator 13 Panjang Area Operator 14 Panjang Sudut Bebas Putar Menuju Bus 15 Lebar Sudut Bebas Putar Menuju Bus Sumber: Hasil Pengukuran
Dimensi (cm) 330 157 600 210 85 210 85 210 119 51 60 106 294 150 120
Shelter bus Trans Jogja dengan dimensi shelter yang terlalu kecil dan penggunaan ramp hanya terdapat pada salah satu sisi kanan saja yaitu pada pintu keluar, sedangkan pada pintu masuk hanya digunakan tangga sebagai jalur untuk masuk ke dalam shelter.
Gambar 2. Shelter Bus Trans Jogja Kondisi Awal
Pengukuran dimensi kursi roda yang digunakan untuk membandingkan dengan data dimensi layout. Kursi roda yang digunakan adalah kursi roda yang biasa digunakan oleh penyandang cacat. Gambar 3 menunjukkan penggunaan kursi roda saat memasuki shelter bus Trans Jogja. Gambar 4 berikut ini menunjukkan dimensi kursi roda secara umum, yaitu lebar 70 cm dan tinggi 100 cm. Kursi roda jenis ini banyak digunakan oleh penyandang cacat dan telah sesuai dengan standar. 130
Jurnal Ilmiah Teknik Industri, Vol. 12, No. 2, Desember 2013
ISSN 1412-6869
Gambar 3 Pemakaian Kursi Roda pada Shelter
Gambar 4. Dimensi Kursi Roda
Data Anthropometri Pengumpulan data anthropometri dibagi menjadi dua jenis, yaitu data anthropometri penyandang cacat dan data anthropometri orang normal. Data Anthropometri Penyandang Cacat Data anthropometri penyandang cacat diperoleh dengan cara melakukan pengukuran terhadap 15 orang penyandang cacat di Kota Yogyakarta dan Surakarta. Rekapitulasi pengukuran data anthropometri penyandang cacat seperti pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Rekapitulasi Data Anthropometri Penyandang Cacat
No Dimensi Tubuh 1 Jangkauan tangan ke depan 2 Tinggi mata duduk 3 Diameter genggaman tangan
Rata-rata 73,66 74,45 4,80
SD 5,27 5,22 2
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Data Anthropometri Orang Normal Data anthropometri orang normal diperoleh dari data orang normal penduduk Indonesia yang diinterpolasi dengan penduduk British dan Hongkong, berupa data tinggi tubuh posisi berdiri tegak dengan rata-rata 163,2 cm dan standar deviasi (Nurmianto, 2001).
131
Suhardi, dkk./Redesain Shelter Bus Trans Jogja dengan.../JITI, 12(2), Des 2013, pp.(126-140)
Perancangan Shelter Bus Trans Jogja Perancangan shelter bus dilakukan dengan menggunakan pendekatan anthropometri dan aksesibilitas. Data anthropometri digunakan untuk merancang fasilitas dari shelter bus. Rancangan Pintu Masuk dan Keluar Shelter Kondisi awal menunjukkan bahwa pintu masuk dan keluar dari shelter terlalu kecil. Gambar berikut ini menunjukkan pintu shelter bus. Pintu Shelter Terlalu Kecil
Gambar 5. Pintu Masuk dan Keluar Shelter
Penentuan rancangan pintu masuk dan keluar dari shelter menggunakan data anthropometri orang normal dan orang cacat. Data anthropometri orang normal digunakan untuk menentukan tinggi dari pintu, sedangkan data anthropometri orang cacat digunakan untuk menentukan lebar dari pintu. Dalam perancangan pintu shelter bus diberi penambahan plat tendang sebagai pelindung pintu berbahan kaca. Penempatan plat tendang diletakkan di bagian bawah pintu seperti pada Gambar 6.
Gambar 6. Rancangan Pintu Shelter (3SD)
132
Jurnal Ilmiah Teknik Industri, Vol. 12, No. 2, Desember 2013
ISSN 1412-6869
Tinggi Pintu Shelter Penentuan tinggi pintu shelter berdasarkan data anthropometri orang normal yaitu tinggi tubuh posisi berdiri tegak dari pria dengan menggunakan persentile 99. Perhitungan persentile 99 dari dimensi tinggi tubuh posisi berdiri tegak sebagai berikut: = Rata-rata + (2,325 x SD) = 163,2 + (2,325 x 61) = 177,38 cm Perlu ada tambahan 3 cm untuk tinggi hak sepatu, 5 cm untuk tinggi topi, dan 5 cm untuk dynamic clearence (kelonggaran dinamis). Karena tinggi badan manusia akan mengalami perubahan pada waktu berjalan dan berlari, maka total tinggi pintu adalah: = 177,38 + 3 + 5 + 5 = 190,38 cm Lebar Pintu Shelter Penentuan lebar pintu shelter menggunakan data anthropometri orang cacat yaitu diameter genggaman tangan kiri dan kanan dengan persentile 99 dan lebar kursi roda. Perhitungan persentile 99 dari diameter genggaman tangan sebagai berikut: = Rata-rata + (2,325 x SD) = 4,8 + (2,325 x 2) = 9,45 cm Perlu ada tambahan 15 cm pada tiap sisi untuk dynamic clearence (kelonggaran dinamis) untuk menjaga keseimbangan kursi roda pada saat masuk. Maka lebar pintu shelter adalah: = Ø genggaman tangan kedua sisi + lebar kursi roda + kelonggaran dinamis = (2 x 9,45) + 70 + (2 x 15) = 118,9 cm Tinggi Pegangan (Handle) Pintu Shelter Penentuan tinggi pegangan pintu shelter menggunakan data anthropometri orang cacat yaitu jangkauan tangan ke depan dengan persentile 99. Perhitungan persentile 99 dari jangkauan tangan ke depan sebagai berikut: = Rata-rata + (2,325 x SD) = 73,66 + (2,325 x 5,27) = 82,33 cm Dalam merancang bentuk pegangan pintu shelter harus sesuai dengan fungsi dan tujuan dari rancangan yaitu diutamakan untuk penyandang cacat. Berikut rancangan tinggi pegangan pintu shelter.
Gambar 7. Rancangan Tinggi Pegangan Pintu (3D) 133
Suhardi, dkk./Redesain Shelter Bus Trans Jogja dengan.../JITI, 12(2), Des 2013, pp.(126-140)
Rancangan tinggi dari pegangan pintu sesuai dengan data anthropometri jangkauan tangan ke depan seperti terlihat pada Gambar 7. Bentuk dari pegangan pintu sesuai dengan standar seperti terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Rancangan Pegangan Pintu (3D)
Bentuk Pintu Shelter Dalam merancang pintu untuk penyandang cacat diperlukan rancangan yang dapat memudahkan penyandang cacat untuk menggunakannya. Penggunaan plat tendang mutlak digunakan dalam suatu perancangan pintu shelter. Plat tendang digunakan sebagai pelindung dari pintu karena pintu shelter dibuat dari kaca. Dalam aksesibilitas ditekankan bahwa dimensi plat tendang adalah tinggi 20 cm dan lebar disesuaikan dengan lebar pintu. Gambar 9 menunjukkan aplikasi dari plat tendang dalam perancangan.
(a)
(b) Gambar 9. Rancangan Pintu Plat Tendang
Rancangan Ruang Ticketing Data anthropometri yang digunakan untuk menentukan ruang ticketing adalah data orang cacat yaitu: data jangkauan tangan ke depan, tinggi mata duduk, dan genggaman tangan ke depan. Gambar 10 menunjukkan ruang ticketing kondisi sekarang.
134
Jurnal Ilmiah Teknik Industri, Vol. 12, No. 2, Desember 2013
ISSN 1412-6869
Portal Terlalu Kecil
Gambar 10. Alat Ticketing Kondisi Sekarang
Tinggi Lubang Ticketing Dalam merancang tinggi lubang ticketing menggunakan data jangkauan tangan ke depan dengan menggunakan persentile 95. Perhitungan persentile 95 sebagai berikut: = Rata-rata + (1,645 x SD) = 73,66 + (1,645 x 5,27) = 82,33 cm Tinggi Alat Ticketing Dalam merancang tinggi alat ticketing menggunakan data tinggi mata duduk dengan menggunakan persentile 95. Perhitungan persentile 95 sebagai berikut: = Rata-rata + (1,645 x SD) = 74,45 + (1,645 x 5,22) = 83,04 cm Lebar Portal (Pintu Masuk Ticketing) Sedangkan untuk lebar portal (pintu masuk ticketing) menyesuaikan dengan lebar pintu shelter. Lebar portal sebesar 118,9 cm.
Gambar 11. Rancangan Alat Ticketing Saat Membuka dan Menutup
135
Suhardi, dkk./Redesain Shelter Bus Trans Jogja dengan.../JITI, 12(2), Des 2013, pp.(126-140)
Rancangan Ramp Ramp adalah jalur sirkulasi yang memiliki bidang dengan kemiringan tertentu, sebagai alternatif bagi orang yang tidak dapat menggunakan tangga (PP Nomor 43 Tahun 1998). Pada perancangan ramp, sudut ramp harus tidak lebih dari 70. Untuk mencapai tinggi ramp 85 cm maka panjang dan bentuk ramp harus diubah agar sudut yang dihasilkan tidak lebih dari 70 sehingga didapatkan rancangan dengan bentuk S. Perancangan ramp dengan menggunakan bentuk S diperlukan lebar 3,6 meter dan panjang 4 meter. Penggunaan bentuk S akan diperoleh kemiringan kurang dari 70. Lebar minimum dari ramp adalah 120 cm dengan tepi pengaman. Karena ramp juga digunakan sekaligus untuk pejalan kaki dan pelayanan angkutan barang maka lebar ramp harus sesuai. Gambar 12 dan 13 menunjukkan rancangan ramp bentuk S.
Gambar 12. Rancangan Ramp Bentuk S Tampak Atas
Gambar 13. Rancangan Ramp Bentuk S Tampak Samping (3D)
136
Jurnal Ilmiah Teknik Industri, Vol. 12, No. 2, Desember 2013
ISSN 1412-6869
Dengan pembagian menjadi 3 muka datar (bordes) pada awalan dan akhiran dari suatu ramp harus bebas dan datar, sehingga memungkinkan sekurang-kurangnya untuk memutar kursi roda dengan ukuran minimum 120 cm. Rancangan Shelter Secara Keseluruhan Berikut ini rancangan shelter bus Trans Jogja secara keseluruhan dalam bentuk 3 dimensi.
Gambar 14. Rancangan Shelter (3D)
Gambar 15. Rancangan Shelter Tampak Samping (3D)
Analisis Shelter Kondisi Sekarang Berdasarkan hasil pengumpulan data serta pengamatan di lapaangan, diketahui bahwa dimensi dari shelter bus Trans Jogja tidak memenuhi standar Persyaratan Teknis Aksesibilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan. Ketidaksesuaian ini meliputi: kondisi lebar pintu masuk shelter yang terlalu sempit menyebabkan kursi roda sulit untuk masuk. Hasil pengukuran lebar pintu shelter sebesar 104 cm, sedangkan lebar yang dibutuhkan kursi roda untuk masuk adalah 119 137
Suhardi, dkk./Redesain Shelter Bus Trans Jogja dengan.../JITI, 12(2), Des 2013, pp.(126-140)
cm. Kondisi ini menyebabkan kursi roda tidak bisa masuk. Lebar portal pintu masuk area ticketing yang sempit dan tinggi lubang ticketing tidak bisa diakses oleh pengguna kursi roda. Hasil pengukuran menunjukkan lebar pintu masuk ticketing hanya 51 cm, sedangkan lebar dari kursi roda tanpa pengguna adalah adalah 70 cm. Desain ramp yang terlalu curam dan layout shelter yang terlalu sempit menyebabkan para penyandang cacat yang seharusnya dapat memanfaatkan fasilitas umum ini tidak dapat mengaksesnya. Hasil pengukuran menunjukkan, untuk menuju ketinggian lantai halte 80-85 cm, jarak mendatarnya hanya 2,34 m. Ini berarti kemiringannya hanya 1:3. Idealnya untuk mencapai ketinggian tersebut, jarak mendatar yang dibutuhkan adalah sekitar 4,9-5,6 meter atau 1:7 sesuai standar. Selain ramp, layout yang sempit, dan bentuk ruang ticketing tidak sesuai menyebabkan kursi roda tidak bisa masuk ke dalam shelter. Analisis Perancangan Shelter Shelter bus Trans Jogja merupakan fasilitas umum dimana semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkannya termasuk para penyandang cacat. Perancangan shelter ini dibuat guna membantu para penyandang cacat agar dapat mengakses fasilitas dari bus Trans Jogja. Rancangan ramp serta dimensi shelter tidak memungkinkan para penyandang cacat untuk menggunakannya. Perancangan shelter ini menggunakan data anthropometri penyandang cacat sebanyak 15 orang, orang normal, dan dimensi kursi roda. Perancangan desain shelter dibuat dengan mengacu pada syarat teknis aksesibilitas bangunan umum. Perancangan pintu masuk dan keluar shelter terdiri dari beberapa point penting yang harus diperhatikan diantaranya : dalam perancangan tinggi pintu shelter digunakan data anthropometri orang normal, karena shelter bus Trans Jogja merupakan fasilitas umum dimana bukan hanya para penyandang cacat yang memanfaatkannya tetapi semua kalangan memanfaatkannya. Tinggi tubuh posisi berdiri tegak dari pria diperlukan untuk menentukan dimensi tinggi pintu shelter. Tinggi tubuh posisi berdiri tegak merupakan jarak vertikal dari alas kaki sampai bagian ujung kepala. Tinggi shelter harus dapat mengakomodasi semua penguna shelter. Pintu shelter yang terlalu rendah dapat menyebabkan kepala harus menunduk ataupun kepala terbentur. Sehingga digunakan data anthropometri tinggi tubuh posisi berdiri tegak dari pria bukan tinggi wanita. Perlu adanya penambahan 3 cm untuk tebal sepatu dan 5 cm untuk tinggi topi dan 5 cm untuk dynamic clearances (kelonggaran dinamis). Karena tinggi badan manusia akan relatif lebih tinggi pada waktu berjalan dan berlari. Hasil pengolahan data didapatkan tinggi pintu shelter adalah190,38 cm. Dalam perancangan lebar pintu shelter digunakan data anthropometri penyandang cacat, karena lebar pintu shelter Bus Trans Jogja akan disesuaikan dengan lebar kursi roda ditambah dengan toleransi genggaman tangan kiri dan kanan. Dimensi kursi roda yang dipakai adalah dimensi kursi roda yang digunakan secara umum dan sesuai dengan peraturan teknis dari aksesibilitas. Diameter genggaman tangan kiri dan kanan ditambahkan karena lebar kursi roda waktu digunakan akan lebih lebar. Hasil pengolahan data didapatkan lebar pintu shelter adalah 118,9 cm. Dalam perancangan pegangan pintu shelter digunakan data anthropometri penyandang cacat, karena dengan asumsi orang normal tidak mengalami kesulitan dengan tinggi pegangan pintu apabila digunakan acuan tinggi mata duduk penyandang cacat. Dengan data anthropometri jangkauan tangan ke depan dan tinggi mata duduk diperlukan untuk menentukan dimensi tinggi pegangan (handle) pintu shelter. Tinggi mata duduk merupakan jarak vertikal dari alas kaki sampai bagian 138
Jurnal Ilmiah Teknik Industri, Vol. 12, No. 2, Desember 2013
ISSN 1412-6869
pandangan mata. Tinggi pegangan pintu shelter harus dapat mengakomodasi semua penguna shelter. Pintu shelter yang terlalu rendah dapat menyebabkan tubuh harus merunduk. Sehingga digunakan data anthropometri jangkauan tangan ke depan dan tinggi mata duduk. Hasil pengolahan data didapatkan tinggi pegangan (handle) pintu shelter adalah 73,66 cm. Dalam merancang pintu shelter, bentuk handle pintu harus sesuai dengan fungsi dan tujuan dari rancangan yaitu diperuntukan bagi kaum difabel. Dalam perancangan pintu shelter ini karena material yang digunakan untuk pintu shelter adalah pintu kaca, maka diberi penambahan plat tendang. Pengunaan plat tendang mutlak digunakan dalam suatu perancangan pintu shelter. Plat tendang digunakan sebagai pelindung dari pintu karena pintu shelter terbuat dari kaca. Dalam aksesibilitas ditekankan bahwa dimensi plat tendang adalah tinggi 20 cm dan lebar disesuaikan dengan lebar pintu. Ruang ticketing adalah ruangan yang digunakan untuk masuk ke dalam ruang tunggu dengan cara memasukan tiket berupa kartu kedalam mesin ticketing agar portal dapat terbuka. Dalam perancangan ruang ticketing ini digunakan data anthropometri tinggi mata duduk, tinggi mata duduk merupakan jarak vertikal dari alas kaki sampai bagian pandangan mata pada posisi duduk. Lebar dari pintu masuk atau portal alat ticketing dihitung dengan mempertimbangkan lebar dari kursi roda. Lebar dari pintu masuk atau portal ruang ticketing saat ini adalah 51 cm, sedangkan lebar dari kursi roda adalah 70 cm. Ini berarti kursi roda tidak akan bisa masuk. Perancangan alat ticketing ini dimulai dengan perancangan tinggi lubang tiket. Penentuan tinggi lubang tiket menggunakan data anthropometri jangkauan tangan ke depan dengan percentile 95. Maka didapatkan tinggi lubang tiket adalah 82,33 cm. Selanjutnya adalah penentuan tinggi alat ticketing. Dalam penetuan tinggi alat ticketing ini digunakan data anthropometri tinggi mata duduk dengan percentile 95. Sehingga didapatkan tinggi alat ticketing adalah 83,04 cm. Penentuan lebar portal sangat mutlak karena lebar portal yang ada saat ini tidak memungkinkan kursi roda masuk. Lebar portal saat ini adalah 51 cm. sedangkan dalam kenyataannya lebar kursi roda adalah 70 cm. Dalam perancangan ini didapatkan lebar portal 118,9 cm. Dalam perancangan ramp, ketinggian sudut ramp sangat diperlukan karena semakin tinggi sudut ramp maka kaum difabel akan sulit untuk naik. Dari hasil pengamatan sudut ramp saat ini adalah 14 % sedangkan sesuai standar ketinggian sudut dari ramp tidak boleh lebih dari 7°. Dalam perancangan ramp ini digunakan data anthropometri lebar kursi roda dengan pengguna. Maka didapatkan lebar ramp adalah 120 cm dan panjang ramp 270 cm. Bentuk dari ramp digunakan bentuk S dikarenakan rancangan bentuk S sangat dimungkinkan untuk mencapai tinggi sudut ramp kurang dari 7°. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini, diperoleh dimensi pintu masuk dan keluar shelter hasil rancangan adalah tinggi pintu shelter 190,38 cm dan lebar pintu shelter 118,9 cm yang didapat dari perhitungan lebar kursi roda ditambahkan diameter genggaman tangan kedua sisi dan toleransi. Sangat memungkinkan untuk penyandang cacat dapat masuk dalam shelter. Alat ticketing meliputi dimensi lebar portal alat ticketing sebesar 118,9 cm dan tinggi lubang tiket hasil rancangan adalah 82,33 cm didapat dengan perhitungan data anthropometri jangkauan tangan kedepan. Desain ramp yang didapat dari hasil perancangan adalah ramp desain bentuk S Dengan pembagian menjadi 3 muka datar (bordes) pada awalan atau akhiran ramp. Hasil perancangan tinggi dari sudut kemiringan ramp adalah 7° 139
Suhardi, dkk./Redesain Shelter Bus Trans Jogja dengan.../JITI, 12(2), Des 2013, pp.(126-140)
dengan tinggi ramp 85 cm dan panjang dari ramp 400 cm serta lebar yang disesuaikan dengan lebar kursi roda agar ramp lebih landai. Langkah pengembangan atau penelitian selanjutnya dalam pembuatan fasilitas umum haruslah memperhatikan kepentingan semua kalangan karena hakikat pembuatan fasilitas umum adalah untuk semua kalangan tanpa terkecuali. Sebelum membuat shelter, perancangan shelter sebaiknya dilakukan dengan secermat mungkin untuk menghindari perbaikan dikemudian hari. Daftar Pustaka Nevala-Puranen, Nina; Markku Seuri; Ahti Simola; and Jyrki Elo. 1999. Physically Disabled at Work: Need for Ergonomic Interventions. Journal of Occupational Rehabilitation. Vol. 9, No. 4, Nurmianto, Eko. 2001. Ergonomi Konsep Dasar Dan Aplikasinya. Surabaya: Guna Widya. Panero, Julius; dan Martin Zelnik. 2003. Dimensi Manusia dan Ruang Interior. Jakarta: Erlangga. Pratiwi, Intan. 2012. Aksesibilitas Masih Setengah-Setengah. Majalah Pledoi. JuliAgustus 2012, hal. 4-10. Suhardi, Bambang; Wiwik Setyaningsih; S.B, Hermono; dan Kuncoro Diharjo. 2007. Rancang Bangun Elemen Aksesibilitas Ramp Pada Fasilitas Umum Bagi Penyandang Cacat Dan Lansia Dalam Mewujudkan Lingkungan Bebas Rintangan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi. Surakarta: Universitas Negeri Sebelas Maret. Suhardi, Bambang; dan Sudadi. 2013. Perancangan Tempat Tidur Periksa Untuk Orang Lanjut Usia. Prosiding Seminar Nasional Terpadu Keilmuan Teknik Industri. Malang: Program Studi Teknik Industri Universitas Brawijaya. Suhardi, Bambang; dan Fitri Yulianti Suryono. 2013. Perancangan Kursi Bus Untuk Wanita Hamil Berdasarkan Aspek Ergonomi. Prosiding Seminar Nasional Terpadu Keilmuan Teknik Industri. Malang: Program Studi Teknik Industri Universitas Brawijaya. Sutalaksana, I.Z.; Ruhana Anggawisastra; dan Jann H. Tjakraatmadja. 1979. Teknik Tata Cara Kerja. Bandung: Departemen Teknik Industri ITB. Anonim. 1997. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. Jakarta: Sekretariat Negara. Wignjosoebroto, Sritomo. 1995. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. Surabaya: Guna Widya.
140