Ratu Leak Calon Arang Diceritakan Rakyat Kerajaan Kediri di siang harinya yang ramai seperti biasanya. Masyarakatnya sebagian besar hidup dari bertani di sawah dengan menanam padi dan palawija. Anak-anak muda semuanya riang gembira bermain sambil mengembalakan sapi dan bebek di sawah. Mereka riang gembira, menemani orang tuanya yang sedang membajak sawah. Ada pula masyarakat yang bekerja sebagai tukang membuat rumah, pondok, bangunan suci seperti pura dan sanggah, atau membuat angkul-angkul atau pintu gerbang, dan lain-lain. Bagi kaum perempuan dan yang bekerja sebagai pedagang dengan menjual kue, nasi, kopi dan ada pula yang menenun kain untuk keperluan sendiri. Ada pula dari golongan pande bekerja khusus membuat perabotan pisau, sabit, parang, cangkul, keris, dan perabotan dari besi lainnya. Bagi yang mempunyai waktu luang yang laki-laki biasanya diisi dengan mengelus-elus ayam aduan, dan bagi yang perempuan digunakan untuk mencari kutu rambut. Tidak ada terasa hal-hal aneh atau pertanda aneh di siang hari tersebut. Kegiatan masyarakat berlangsung dari pagi sampai sore, bahkan sampai malam hari. Pada malam hari masyarakat yang senang matembang atau bernyanyi melakukan kegiatannya sampai malam. Demikian pula dengan sekaa gong latihan sampai malam di Balai Banjar. Suasananya nyaman, tentram, dan damai sangat terasa ketika itu. Setelah tengah malam tiba, semua masyarakat telah beristirahat tidur. Suasananya menjadi sangat gelap dan sunyi senyap, ditambah lagi pada hari tersebut adalah hari Kajeng Kliwon. Suatu hari yang dianggap kramat bagi masyarakat. Masyarakat biasanya pantang pergi sampai larut malam pada hari Kajeng Kliwon. Karena hari tersebut dianggap sebagai hari yang angker. Sehingga penduduk tidak ada yang berani keluar sampai larut malam. Ketika penduduk Rakyat Kediri tertidur lelap di tengah malam,
ketika itulah para murid atau sisya Ibu Calonarang yang sudah menjadi leak datang ke Desa-desa wilayah pesisir Kerajaan Kediri. Sinar beraneka warna bertebaran di angkasa. Desa-desa pesisir bagaikan dibakar dari angkasa. Ketika itu, penduduk desa sedang tidur lelap. Kemudian dengan kedatangan pasukan leak tersebut, tiba-tiba saja penduduk desa merasakan udara menjadi panas dan gerah. Angin dingin yang tadinya mendesir sejuk, tiba-tiba hilang dan menjadi panas yang membuat tidur mereka menjadi gelisah. Para anak-anak yang gelisah, dan terdengar tangis para bayi di tengah malam. Lolongan anjing saling bersahutan seketika. Demikian pula suara goak atau burung gagak terdengar di tengah malam. Ketika itu sudah terasa ada yang aneh dan ganjil saat itu. Ditambah lagi dengan adanya bunyi kodok darat yang ramai, padahal ketika itu adalah musim kering. Demikian pula tokek pun ribut saling bersahutan seakan-akan memberitahukan sesuatu kepada penduduk desa. Mendengar dan mengalami suatu yang ganjil tersebut, masyarakat menjadi ketakutan, dan tidak ada yang berani keluar. Endih atau api jadi-jadian yang berjumlah banyak di angkasa kemudian turun menuju jalan-jalan dan rumah-rumah penduduk desa. Api sebesar sangkar ayam mendarat di perempatan jalan desa, dan diikuti oleh api kecil-kecil warna-warni. Setelah itu para leak yang tadinya terbang berwujud endih, kemudian setelah di bawah berubah wujud menjadi leak beraneka rupa, dan berkeliaran di jalan-jalan desa. Ketika malam itu, ada seorang masyarakat memberanikan diri untuk mengintip dari balik jendela rumahnya. Untuk mengetahui situasi di luar rumah. Namun apa yang dilihatnya? Sangat terkejut orang tersebut menyaksikan kejadian di luar. Orang tersebut, karena saking takutnya, segera ia masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya rapat-rapat, serta segera memohon kehadapan Hyang Maha Kuasa agar diberikan perlindungan. Kemudian orang tersebut mengalami sakit ngeeb atau ketakutan yang berlebihan dan tidak mau bicara. Para murid atau sisya Ibu Calonarang yang berjumlah tiga puluh
empat orang ditambah dengan empat orang muridnya yang sudah senior yaitu Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi, dan Nyi Sedaksa, semua sudah berada di desa pesisir. Malam yang sangat gelap kemudian ditambah dengan hujan gerimis yang memunculkan bau tanah yang angid, mambuat para leak menjadi semakin bersuka ria. Beberapa bola api bertebaran di angkasa berkejarkerjaran dan menari-nari. Monyet-monyet besar, anjing bulu kotor, dan babi bertaring panjang berkeliaran di jalan-jalan sepanjang desa wilayah pesisir bercanda bersuka ria. Leak kambing, gegendu kerbau, gegendu jaran tampak jalan-jalan mengitari Kerajaan Kediri. Demikian pula dengan sosok Leak Celuluk yang berkelebat-kelebat dan bersandar di angkul-angkul rumah penduduk. Leak yang berwujud kreb kasa atau kain putih panjang bergulung-gulungan tampak melintang di jalanan. Di perempatan dan pertigaan jalan Desa, sosok Leak berwujud bade atau menara pengusungan mayat sedang menari-nari memenuhi jalanan. Semua leak tersebut menjalankan tugas seperti apa yang diperintahkan oleh gurunya yakni Ibu Calonarang. Sungguh-sungguh seram memang pada malam itu. Penduduk desa tidak ada yang berani berkutik, apalagi keluar rumah. Para leak di malam itu telah menyebarkan penyakit grubug di desadesa wilayah pesisir Kerajaan Kediri. Setelah semalaman para leak berpesta pora, maka hari telah menjelang pagi. Tiba saatnya para Leak untuk kembali ke wujud semula. Karena begitulah hukumnya sebagai leak. Waktu mereka adalah di malam hari. Apabila mereka melanggar hukum tersebut maka mereka akan mendapatkan bahaya. Ketika hari menjelang pagi para leak pun kembali ke tempatnya semula, dan pulang ke rumah. Demikian pula dengan Ibu Calonarang beserta Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi dan Nyi Sedaksa kembali pulang ke rumah setelah pesta pora di malam hari. Sekarang mereka hanya tinggal menunggu hasil dari kerja mereka semalam. Diceritakan keesokan harinya penduduk desa bangun pagi-pagi. Mereka ramai menceritakan keanehan-keanehan dan keganjilankeganjilan yang terjadi pada malam harinya. Semuanya
menceritakan apa yang mereka rasakan atau apa yang mereka sempat saksikan malam itu dirumah masing-masing. Namun sedang asyiknya mereka bercerita, tiba-tiba saja ada seorang penduduk yang menjerit minta tolong. Orang tersebut mengatakan salah seorang keluarganya tiba-tiba saja sakit perut, muntah-muntah, dan mencret-mencret. Ketika mau memberikan pertolongan kepada penduduk di sebelah Barat tersebut, tiba-tiba saja tetangga di sebelah Timur menjerit minta tolong ada salah seorang keluarganya yang muntah dan mencret. Pagi itu, masyarakat desa menjadi panik. Karena mendadak sebagian penduduk mengalami muntah dan mencret. Bahkan pagi itu, ada beberapa yang telah meninggal. Beberapa lagi belum ada yang sempat diberi obat, tiba-tiba sudah meninggal. Demikian semakin panik masyarakat di desa. Segera saja yang meninggal dikuburkan di setra atau tempat pemakaman mayat, namun ketika pulang dari setra, tibatiba saja yang tadinya ikut mengubur menjadi sakit dan meninggal. Demikian seterusnya. Penduduk desa dihantui oleh bahaya maut. Seolah-olah kematian ada di depan hidung mereka. Sungguh mengerikan pemandangan di desa-desa wilayah pesisir Kerajaan Kediri ketika itu. Kerajaan Kediri gempar, seharihari orang mengusung mayat kekuburan dalam selisih waktu yang sangat singat. Menghadapi situasi demikian beberapa penduduk dan prajuru desa mencoba untuk menanyakan kepada para balian atau dukun untuk minta pertolongan. Para balian pun didatangkan ke desa-desa yang kena bencana wabah gerubug. Ternyata mereka juga tidak dapat berbuat banyak menghadapi penyakit gerubug yang dialami penduduk desa. Bahkan, si balian atau dukun yang didatangkan tersebut mengalami mutah berak dan meninggal. Setiap hari kejadian tersebut terus berlangsung. Penduduk desa menjadi bingung dan panik. Ada yang berkehendak untuk mengungsi dan menghindar dari grubug tersebut. Mereka berbondong-bondong meninggalkan desanya. Namun ketika sampai di batas desa, mereka itu mengalami muntah berak dan meninggal seketika. Melihat keadaan seperti itu penduduk yang masih hidup menjadi semakin ketakutan. Ketika malam hari, mereka semua tidak ada
yang berani tidur sendirian, dan tidak berani keluar rumah. Lolongan anjing tak henti-hentinya di malam hari. Burung gagak, katak dongkang, semuanya ribut saling bersahutan. Adanya musibah yang menakutkan bercampur dengan sedih, para penduduk mencoba untuk berpasrah diri dan menyerahkan semuanya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Setiap saat mereka memuja dan memohon kehadapan beliau agar bencana grubug ini segera berakhir, dan semua penduduk yang masih hidup diberkahi keselamatan dan kekuatan. Di samping itu perlindunganperlindungan magis dipasang di depan pintu masuk pekarangan dan pintu rumah. Sesuai dengan petunjuk orang pintar atau sesuai dengan kebiasaan para tetuanya terdahulu. Penduduk memasang sesikepan atau pelindung magis seperti daun pandan berduri yang ditulisi tapak dara atau tanda palang dari kapur sirih, berisi bawang merah, bawang putih, jangu, juga benang tri datu yaitu benang warna merah, putih, hitam, dan pipis bolong atau uang kepeng. Jadi pada dasarnya semua dilakukan untuk menolak penyakit, dan memohon perlindungan kehadapan Hyang Maha Kuasa. Setelah berberapa hari mengalami kepanikan, kebingungan dan ketakutan, akhirnya para prajuru desa atau Pengurus Desa, para penglingsir atau tetua, dan para pemangku, mengadakan pertemuan di salah satu Balai Banjar di Desa Girah. Pada intinya mereka membicarakan mengenai masalah atau penyakit gerubug yang menyerang desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri. Kalau seandainya masalah ini dibiarkan begitu saja, sudah pasti penduduk desa akan habis semuanya. Mereka tetap berharap agar semua masyarakat meningkatkan astiti bhaktinya atau pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan agar diberikan keselamatan, kesehatan, perlindungan, dan umur panjang. Disamping itu pula para prajuru desa para penglingsir atau tetua desa beserta dengan para pemangku sepakat untuk melaporkan masalah ini kehadapan Prabu Airlangga Raja Kediri. Mereka berencana memohon kehadapan Raja Airlangga agar beliau berkenan untuk datang ke
desa-dewa wilayah pesisir Kerajaan Kediri meninjau rakyatnya yang sedang ditimpa musibah penyakit atau gerubug. Karena beliau sebagai penguasa atau sebagai Raja Kediri berhak tahu dan wajib untuk melindungi rakyatnya dari bencana. Demikian kesepakatan mereka dan merencanakan akan berangkat ke Istana besok pagi. Ketika para tetua desa dan prajuru disertai dengan para pemangku masih berada di Bale pertemuan, tiba-tiba saja muncul seseorang yang bertubuh tinggi, kepala kribo, berkumis tebal dan brewok. Orang ini berjalan sempoyongan, dengan mata merah, dan bicaranya ngawur. Rupanya orang ini dalam keadaan mabuk. Orang tersebut datang di bale pertemuan dan berkata bahwa anaknya telah meninggal karena muntah mencret. Pemabuk itu kemudian berkata : mana Leak Calonarang yang telah memakan anakku, akan aku santap bola matanya mentah-mentah. Demikian orang tersebut sesumbar dihadapan para sesepuh desa. Ketika setelah mengatakan sesumbar tersebut Si Brewok tiba-tiba saja muntah mencret tak tertahankan, dan akhirnya tewas di tempat. Setelah beberapa saat Si Brewok tergeletak, kemudian para tetua desa tersebut menjadi teringat dengan kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu ketika di Desa Girah. Mereka baru ingat bahwa Si Brewok inilah yang menjadi biang keladi dari kejadian yang menimpa Diah Ratna Manggali anak Ibu Calonarang. Bersama-sama dengan orang banyak, Si Brewok ini telah membuat fitnah Diah Ratna Mengali bisa ngeleak karena Ibunya Calonarang adalah orang sakti dan bisa ngeleak. Jangan-jangan hal itu yang menjadi penyebab dari penyakit gerubug yang melanda desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri sekarang ini. Karena Calonarang merasa tersinggung dan terhina tidak akan tinggal diam. Mungkin saja ia akan membalas dendam sesuai dengan kemampuannya. Apalagi Calonarang adalah seorang yang sangat sakti dan memiliki murid yang sangat banyak. Sehingga dengan ilmu yang dimiliki mereka mencoba untuk menghancurkan desa-desa di Kerajaan Kediri dengan menebar penyakit gerubug. Rupanya mereka yang ada di sana mempunyai pikiran yang sama,
dan sepakat untuk segera melaporkan hal tersebut kehadapan Prabu Airlangga Raja Kediri. Keesokan harinya para prajuru desa beserta rombongan berangkat menuju Istana Kediri. Sangat cepat perjalanan mereka, sehingga tidak diceritakan sampailah rombongan tersebut di bencingah atau alun-alun Istana Raja. Ketika di Istana rombongan tersebut menyaksikan suatu keadaan yang tenang, damai, dan biasa saja, jauh dari kesusahan, kalau dibandingkan dengan apa yang terjadi di desa sekarang ini. Di bencingah puri tampak sekelompok masyarakat yang sedang duduk-duduk di bawah rimbunnya daun beringin yang sangat besar yang tumbuh di becingah, seolah-olah memayungi rakyat Kediri dari terik sinar matahari. Bangsingnya atau akarnya yang menjulur sampai menyentuh tanah seolah-olah menjulurkan tangannya untuk menolong rakyat Kediri yang kesusahan. Mereka seperti biasa yang laki-laki beristirahat, sambil mengecel atau mengelus ayam aduan. Di sampingnya tampak berderet ayam aduan dengan beraneka warna, dan mekruyuk atau berkokok saling bersahutan. Disana, ada pula dagang kopi, dagang kue, dagang nasi, dengan be guling nyodog atau babi guling yang utuh dan diletakkan di atas meja dagangan. Rombongan tersebut disapa oleh orang-orang yang ada di bencingah. Mereka kemudian segera masuk ke dalam Istana Raja melalui pemedalan atau pintu keluar candi bentar yang megah, disandingkan dengan bale kulkul yang menjulang tinggi, dan bale bengong yang tampak mempesona, membuat mereka menjadi klangen atau kagum. Di hulu sebelah timur laut terdapat pemerajan puri atau tempat suci keluarga Raja yang sangat disucikan. Mereka kemudian menghadap Prabu Airlangga di Bale penangkilan atau balai penghadapan. Setelah memberikan penghormatan kehadapan Sang Prabu, rombongan tersebut kemudian menjelaskan segala sesuatu maksud dan tujuannya mengahap ke Istana. Dijelaskan pula secara panjang lebar mengenai masalah yang sedang melanda desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri.
Mereka kemudian memohon agar Sang Prabu berkenan untuk meninjau ke desa-desa. Demikian hatur mereka semua kehadapan Sang Prabu. Kemudian Sang Prabu menjawab dengan kata-kata yang agak berat, dan dengan roma muka yang agak tegang ketika itu. “Kalau begitu keadaannya, penyebar gerubug di desa-desa wilayah pesisir tidak lain dan tidak bukan adalah Ibu Calonarang. Aku tidak akan meninjau ke desa lagi. Tetapi aku akan segara berupaya untuk menyelesaikan masalah kalian, dan menghadapi Calonarang yang sakti tersebut”. “Pengerusakan dan penyebaran penyakit di desa-desa oleh Calonarang sebenarnya adalah tantangan langsung bagiku sebagai penguasa di Kerajaan Kediri. Aku akan menghadapi bagaimanapun ririh atau saktinya Calonarang. Calonarang sangat berani kepadaku, dan sangat besar dosanya karena telah membunuh banyak rakyatku yang tidak berdosa. Sangat besar dosanya terhadap kerajaan, sehingga orang tersebut harus mendapatkan ganjaran hukuman yang setimpal”. Demikian sabda Raja Kediri yang menabuh genderang perang terhadap Calonarang. Sang Prabu juga menyampaikan pesan kepada rombongan Desa Girah sesampai di rumah nanti, beritahukan kepada seluruh rakyatku semuanya. Tenanglah, bersabarlah dan selalulah memuja kebesaran Ida Betara Tri Sakti yang berstana di Pura Kayangan Tiga. Selalulah berjaga-jaga di perbatasan desa sambil menghidupkan api obor sebagai penerangan dan sekaligus mohon perlindungan kehadapan Hyang Betara Brahma. Sebelum itu jangan lupa menghaturkan canang atau sesajen di sanggah atau tempat suci keluarga masing-masing agar para leluhur kita juga ikut membantu melindungi dari bahaya ini. Kemudian mohonlah sesikepan atau sarana magis yang bersarana bawang putih, jangu, benang tri datu, dan pipis bolong, sebagai sarana penolak leak. Demikian perintah dan sekaligus pesan Raja Kediri kepada rakyat beliau yang sedang ditimpa bencana gerubug dan salanjutnya para penghadap tersebut diijinkan untuk pamit kembali pulang. Tidak diceritakan perjalanan mereka, maka sampailah rombongan tersebut di rumah, dan segera
memberitahukan apa yang menjadi titah Raja Kediri. Raja Kediri Murka Kembali diceritakan Prabu Airlangga Raja Kediri. Sepeninggalan rombongan Desa Girah, maka beliau sendirian duduk termenung di bale penangkilan. Pandangannya menerawang jauh kemana-mana, tangannya dikepalkan, dan tampak gelisah. Duduk bangun, demikianlah Sang Prabu sendirian di Istana. Tampaknya Sang Prabu tak kuasa menahan amarah dan panas hati beliau akibat ulah Calonarang. Sangat menakutkan sekali perangai beliau ketika itu. Diibaratkan macan gading atau harimau kuning yang akan menerkam mangsanya. Tak seorang pun parekan atau punakawan di puri atau istana yang berani menyapa beliau. Istri dan parekan atau punakawan di puri atau istana semuanya terdiam takut melihat gelagat Sang Prabu yang lagi murka. Tidak ada yang berani menghampiri dan menemani beliau ketika itu. Suguhan wedang atau kopi dan juga hidangan yang lainnya tidak disentuh sama sekali. Pikiran beliau hanya tertuju kepada upaya bagaimana mengalahkan Calonarang yang sakti tersebut. Ketika hari menjelang siang, Sang Prabu belum juga beranjak dari tempat beliau duduk sejak pagi. Kemudian secara tak disangka-sangka datang Ki Patih Madri menghadap Sang Prabu ke Istana. Ia adalah seorang tabeng dada atau pengawal Istana. Ki Patih Madri berperawakan tinggi besar, pintar ilmu silat atau bela diri, dan menguasai beberapa ilmu kanuragan. Ia sangat berpengaruh di kalangan orang-orang di Kerajaan Kediri, namun ia sendiri berpenampilan sangat sederhana, polos, dan sangat setia kepada Istana terutama kehadapan junjungannya yakni Prabu Airlangga Raja Kediri. Sangat gembira sekali perasaan Sang Prabu ketika Ki Patih Madri muncul di Istana, dan segera Sang Prabu menyuruhnya mendekat untuk diajak bertukar pikiran. Bagaikan diperciki embun pagi yang sejuk perasaan Raja Airlangga ketika Ki Patih Madri datang pada saat yang diperlukan sekali. Sambil
menikmati hidangan kopi yang telah disuguhkan, Sang Prabu berkata kepada Ki Patih Madri : “aku hari ini sangat kesal, marah dan bercampur sedih dalam hatiku. Yang menyebabkan adalah ulah onar Calonarang yang telah menebar penyakit gerubug di desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri. Banyak rakyatku yang sakit dan meninggal di sana. Ia ingin menghancurkan Kerajaan Kediri, serta menghancurkan kekuasaanku. Sekarang karena kebetulan sekali Patih Madri datang ke Istana, maka aku ingin mendapatkan masukan dari engkau mengenai masalah yang menimpa desa tersebut. Bagaimana caranya menumpas dan melenyapkan Calonarang beserta sisyasisyanya atau murid-muridnya yang telah berbuat onar tersebut. Sebab kalau tidak ditangani segera, maka rakyat desa Kerajaan Kediri akan habis, bahkan ia akan merencanakan untuk menghancurkan Kerajaan Kediri secara keseluruhan”. Demikian kata pembukuan yang cukup panjang dari Sang Prabu kepada Ki Patih Madri. Mendengar semua itu, merasa kaget Ki Patih Madri, sebab sebelumnya ia sama sekali tidak mendengar adanya masalah ini. Ki Patih Madri berpikir sejenak, kemudian menjawab apa yang dikatakan Sang Prabu. “Mohon ampun Paduka, tidak patut rasanya hamba sebagai patih yang jugul punggung atau sangat bodoh memberikan masukan kehadapan Paduka. Namun atas titah Paduka, maka hamba akan mencoba untuk ikut urun pendapat mengenai masalah ini. Namun hamba bagaikan nasikin segara atau membuang garam ke laut begitulah ibaratnya”. Lebih lanjut Ki Patih Madri menyampaikan haturnya kehadapan Sang Prabu “Kalau mendengar tingkah laku Calonarang tersebut, maka inilah yang disebut dalam sastra agama sebagai Atharwa yang artinya melakukan pembunuhan yang sangat kejam terhadap orang lain yang tidak berdosa dengan menggunakan Ilmu Hitam. Mereka telah menebar cetik atau racun niskala di wilayah desa. Ini pula digolongkan sebagai Himsa Karma yakni perbuatan membunuh makhluk lain secara sewenang-wenang. Para pelaku dari semua ini harus
dihukum berat dan setimpal”. Demikian hatur Ki Patih Madri kehadapan Sang Prabu. Kemudian Ki Patih Madri menambahkan haturnya sekarang Paduka jangan terlalu bersedih dan khawatir. Hamba akan menjalankan Swadharmaning Kawula (kewajiban sebagai rakyat) bersama dengan rakyat Kediri yang lainnya. Hamba akan mengabdikan jiwa dan raga hamba untuk Kediri. Kita akan gempur Calonarang Rangda Nateng Girah, kita hancurkan antek-antek, dan kita musnahkan Calonarang”. Demikian Ki Patih Madri memompa semangat junjungannya. Sungguh lega hati Sang Prabu mendengar apa yang diucapkan oleh Ki Patih Madri. Raja Airlangga kemudian membuat keputusan untuk menggempur Calonarang Rangda Nateng Girah, dan mempercayakan kepada Ki Patih Madri sebagai pimpinan penyerangan. Gugurnya Ki Patih Madri Diceritakan Ki Patih Madri telah mengumpulkan tokoh masyarakat dan penduduk yang mempunyai ilmu kanuragan atau ilmu kewisesan. Mereka semua dikumpulkan di Istana dan diberikan pengarahan mengenai rencana penyerangan ke tempat Ratu Leak di Desa Girah menggempur Calonarang di malam hari. Waktu yang ditetapkan untuk penyerangan telah tiba. Menjelang tengah malam mereka berangkat bersama dilengkapi pula dengan senjata tajam, sesikepan, gegemet-gegemet, dan juga sesabukan atau sarana magis pelindung diri. Karena kesaktian Calonarang, maka serangan dari pihak Kediri yang dipimpin Ki Patih Madri telah diketahui sebelumnya. Sehingga Calonarang memerintahkan kepada seluruh sisyasisyanya atau murid-muridnya untuk bersiaga di perbatasan Desa Girah. Calonarang beserta sisyanya telah bersiaga menyambut kedatangan para jawara Kediri yang akan menggempurnya. Mereka telah menggelar semua ilmu yang dimiliki dan telah menyengker atau memagari Desa Girah dengan penyengker gaib, sehingga kekuatan musuh tidak dapat menembus pertahanan tersebut. Pada tengah malam, sampailah Ki Patih Madri dan para jawara
Kediri di perbatasan Desa Girah. Mereka langsung menggelar ajian yang mereka miliki dan menyerang musuh yang telah menghadang. Serangan tersebut kemudian dihadang oleh para murid Calonarang yang dipimpin oleh Nyi Larung sehingga terjadilah pertempuran ilmu kanuragan dimalam hari yang sangat dasyat. Bola-bola api beterbangan di antara kedua belah pihak. Taburan cahaya gemerlapan aneka warna di angkasa yang saling berkelebat, berkejar-kejaran, dan saling berbenturan. Langit di Desa Girah pada malam itu bagaikan kejatuhan bintang dari langit yang jumlahnya ribuan. Memang sungguh-sungguh digjaya mereka semua. Tidak beberapa lama pertempuran di malam hari berlangsung, serangan dari para jawara Kediri dapat dipatahkan oleh ketangguhan dari ilmu yang dimiliki oleh murid-murid Calonarang, sedangkan Ki Patih Madri gugur dalam peperangan melawan Nyi Larung dan para jawara Kediri banyak yang tewas. Para jawara Kediri yang masih hidup berhamburan berlari meninggalkan arena pertempuran karena terdesak. Mereka berusaha untuk menyelamatkan diri. Setelah mengalami desakan dari pasukan leak murid-murid Calonarang, maka para jawara Kediri memutuskan untuk berbalik dan kembali ke Istana Kediri, serta melaporkan semuanya kehadapan Prabu Airlangga. Kekalahan pasukan Kediri menyebabkan pasukan leak Calonarang bergembira. Mereka semua tertawa ngakak yang suaranya nyaring dan keras membelah angkasa. Suaranya mengalun, melengking memenuhi angkasa dan berpantulan di antara bukit-bukit. Sehingga terasa mengerikan sekali suasananya pada malam hari tersebut. Mereka semua menari-nari di angkasa, berwujud bola-bola api saling berkejar-kejaran merayakan kemenangannya. Diceritakan mengenai perjalanan sisa-sisa pasukan Kediri yang kalah perang. Pada pagi hari mereka telah sampai di Istana Kediri. Segera mereka menghadap Sang Prabu dan melaporkan segala sesuatunya. Demikian pula dengan Sang Prabu yang telah menunggu semalaman dengan harap-harap cemas.
Salah seorang dari pasukan Kediri menghaturkan sembah kehadapan Sang Prabu “mohon ampun Paduka, hamba permaklumkan bahwa murid-murid Calonarang benar-benar teguh atau kuat. Pasukan Kediri tidak mampu mengalahkannya dan Ki Patih Madri gugur dalam peperangan dan banyak pasukan yang tewas. Hamba gagal dalam mengemban tugas yang Paduka titahkan. Atas kegagalan tersebut, hamba mohon ampun, dan siap menjalankan hukuman”. Demikian permakluman prajurit Kediri kehadapan Sang Prabu. Raja Airlangga yang bijaksana kemudian bersabda “ Wahai prajuri Kediri yang gagah berani beserta semua pasukan, kalah menang dalam peperangan sudah menjadi hukumnya. Yang penting sekarang adalah aku minta engkau agar tidak surut kesetiaanmu terhadap Kediri. Teruskanlah kesetiaanmu terhadap Istana, terhadap Kerajaan Kediri. Janganlah berputus asa, karena masih ada waktu dan masih ada cara lain untuk menumpas Calonarang beserta dengan antek-anteknya. Gempur kembali Calonarang. Sang Prabu melanjutkan wejangannya. “Harus kalian ingat mengenai Swadharmaning ring payudhan atau kewajiban dalam pertempuran. Dalam Shanti Parwa disebutkan bahwa apabila mati dalam peperangan, maka darah yang mengalir muncrat akan menghapus segala dosamu. Dan Sang Jiwa atau Sang Atma akan menuju Indraloka. Itulah yang hendaknya diingat dan dijadikan pedoman. Semuanya itu adalah merupakan sebuah pengorbanan yang suci atau yadnya yang digolongkan yadnya utama”. Demikian Sang Prabu memberikan wejangan kepada Prajurit Kediri yang hampir putus asa karena kalah perang. Mendengar wejangan tersebut, para pasukan Kediri merasakan hidup kembali dan bersemangat. Bagaikan diberikan kekuatan bebayon atau kekuatan tenanga dalam, sehingga semangat pasukan tumbuh kembali. Prajurit kemudian berkata “baiklah tuanku, sangat senang hamba mendegar wejangan tersebut. Sekarang hamba sadar dan yakin akan diri. Hamba akan membela mati-matian dan menyabung nyawa menghadapi Calonarang beserta dengan muridmuridnya”. Pernyataan Prajurit tersebut dibarengi oleh seluruh
pasukan, dan disambut hangat oleh Raja Airlangga. “Baiklah kalau begitu, Aku sebagai Raja Kediri sangat menghargai kesetiaamu. Buku Rahasia Ilmu Pengeleakan Calonarang Dengan kalahnya Patih Madri melawan Nyi Larung murid Calonarang, maka Raja Kediri sangat panik sehingga Raja Kediri memanggil seorang Bagawanta (Rohaniawan Kerajaan) yaitu Pendeta Kerajaan Kediri yang bernama Empu Bharadah yang ditugaskan oleh Raja untuk mengatasi gerubug (wabah) sebagai ulah onar si Ratu Leak Calonarang. Empu Bharadah lalu mengatur siasat dengan cara Empu Bahula putra Empu Bharadah di tugaskan untuk mengawini Diah Ratna Mengali agar berhasil mencuri rahasia ilmu pengeleakan milik Janda sakti itu. Empu Bahula berhasil mencuri buku tersebut berupa lontar yang bertuliskan aksara Bali yang menguraikan tentang teknik – teknik pengeleakan. Setelah Ibu Calonarang mengetahui bahwa dirinya telah diperdaya oleh Empu Bharadah dengan memanfaatkan putranya Empu Bahula untuk pura–pura kawin dengan putrinya sehingga berhasil mencuri buku ilmu pengeleakan milik Calonarang. Ibu Calonarang sangat marah dan menantang Empu Bharadah untuk perang tanding pada malam hari di Setra Ganda Mayu yaitu sebuah kuburan yang arealnya sangat luas yang ada di Kerajaan Kediri. Pertempuran Penguasa Ilmu Hitam dengan Penguasa Ilmu Putih di Setra Ganda Mayu Dalam perang besar ini Raja Airlangga mengikutkan Pasukan Khusus Balayuda Kediri dalam menghadapi Calonarang dan pasukan leaknya. Para Pasukan Balayuda Kediri yang terpilih sebanyak dua ratus
orang yang dipimpin oleh Ki Kebo Wirang dan Ki Lembu Tal. Semua pasukan ini akan mengawal dan membantu Empu Bharadah dalam menumpas kejahatan yang dilakukan oleh Calonarang dan antek-anteknya. Segala sesuatu perlengkapan segera dipersiapkan seperti senjata tajam berupa tombak, keris, klewang, dan lain-lain. Demikian pula dengan berbagai sarana pelindung badan yang gaib sebagai sarana penolak atau penempur leak, sarana kekebalan, semuanya diturunkan dari tempatnya yang pingit atau tempat rahasia. Yang tidak kalah pentingnya adalah persiapan mengenai perbekalan makanan dan minuman yang diperlukan selama penyerangan. Ketika semua persiapan dianggap rampung, maka mereka pun istrirahat agar tenaga cukup kuat untuk penyerangan besok. Keesokan harinya perjalanan penyerangan dilakukan, pasukan khusus atau pasukan pilihan dari Kediri yang disebut dengan Pasukan Balayuda dalam penyerangan tersebut mengawal Empu Bharadah. Sedangkan di depan sebagai pemimpin pasukan dipercayakan kepada Ki Kebo Wirang didampingi Ki Lembu Tal. Tidak diceritakan perjalanan mereka, akhirnya rombongan Empu Bharadah dan pasukan Kediri sampai di pesisir selatan Desa Lembah Wilis. Di sana rombongan tersebut berhenti sejenak untuk beristirahat dalam persiapan untuk menuju ke Desa Girah. Semua pasukan kemudian menuju Setra Ganda Mayu yang berada di Wilayah Desa Girah. Diceritakan kemudian Ibu Calonarang dirumahnya diiringi oleh para sisyanya semua melakukan penyucian diri dan mengayat atau memuja kehadapan Ida Betari mohon anugrah kesaktian. Mereka memusatkan pikiran dan memanunggalkan bayu atau tenaga, sabda atau suara, dan idep atau pikiran, memuja Ida Betari bersarana sekar manca warna atau bunga warna-warni, dengan disertai asep menyan majegau atau wangi-wangian yang dibakar yang asapnya membubung ke angkasa, seolah-olah menyampaikan niat Ibu Calonarang kehadapan Ida Betari. Semua pekakas dan sarana pengleakan diturunkan dari tempatnya yang pingit atau tempat rahasia, dan masing-masing menggunakannya. Di hadapan mereka
juga digelar tetandingan jangkep atau sarana sesajen lengkap sesuai dengan keperluan. Calonarang kemudian mulai memejamkan mata dan memusatkan pikiran. Ia tampak berkomat-kamit mengucapkan mantra sakti memohon anugrah kesaktian dan kesidian kehadapan Hyang Maha Wisesa, dengan harapan Empu Bharadah dan Balayuda Kediri dapat dikalahkan. Setelah beberapa saat melakukan konsentrasi, maka sampailah pada puncaknya. Raja pengiwa pun telah dibangkitkan dan merasuk ke dalam sukma. Kedigjayaan atau kewisesan telah turun dan masuk ke dalam jiwa raga. Calonarang kemudian bangkit dan berkata kepada semua sisyanya “para sisyaku semuanya, permohonan kita kehadapan Hyang Betari telah terkabulkan dan telah mencapai puncaknya. Kesaktian telah kita bangkitkan semuanya, dan telah merasuk ke dalam jiwa dan raga. Kini saatnya kita bertarung menghadapi Empu Bharadah dan Balayuda Kediri. Kita akan pertahankan harga diri kita. Mampuskan semua orang-orang Kediri yang datang ke sini menyerang. Demikian perintah Calonarang kepada seluruh sisyanya. Suaranya ketika itu telah berubah menjadi besar dan menggema, dan bukan merupakan suaranya yang biasa. Kemudian Calonarangpun tertawa ngakak, dan terdengar menakutkan. Semua sisya Calonarang telah nyuti rupa atau berubah wujud dan siap menyerang. Ada wujud bojog atau monyet yang siap menggigit, ada kambing siap nyenggot atau menanduk, ada sapi dan kuda yang siap ngajet atau menendang, ada kain kasa atau kain putih panjang yang siap menggulung dan membakar, ada bade atau menara pengusungan mayat yang siap membakar, ada babi bertaring panjang yang siap ngelumbih atau membanting dengan kepala, ada awak belig atau badan licin yang mukanya seperti umah tabuan atau sarang tawon. Ada pula api bergulung-gulung yang siap membakar siapa saja yang menghadang. Semua pasukan leak kemudian keluar dari rumah Calonarang dalam rupa bola api beterbangan, kemudian menuju ke Setra Ganda Mayu tempat perjanjian pertempuran dengan Empu Bharadah dan pasukan Balayuda Kediri.
Melihat pasukan leak dengan beraneka rupa datang, pasukan Kediri menjadi kaget dan was-was dan ada yang ketakutan. Semuanya bersiap-siap dan merapatkan diri. Demikian pula dengan Ki Kebo Wirang dan Ki Lembu Tal, mereka berdua sangat waspada serta selalu berada di dekat Empu Bharadah untuk mengawalnya. Empu Bharadah tidak sedikitpun gentar melihat kawanan leak tersebut, bahkan semangat untuk bertempur semakin membara. Sambil juga Empu Bharadah mengucap mantra sakti Pasupati. Dilengkapi pula dengan sarana sesikepan, sesabukan, rerajahan kain, dan pripian tembaga wasa atau lempengan tembaga. Sangat ampuh mantra sakti Pasupati tersebut. Empu Bharadah membawa pusaka sakti berupa sebuah keris yang bernama Kris Jaga Satru. Ibu Calonarang Tewas Pertarunganpun terjadi dengan sangat seram dan dahsyat antara penguasa ilmu hitam yaitu Calonarang dibantu para sisya atau murid-muridnya dengan penguasa ilmu putih yaitu Empu Bharadah dibantu Pasukan Balayuda Kediri, di Setra Ganda Mayu. Pertempuran berlangsung sangat lama sehingga sampai pagi, dan karena ilmu hitam mempunyai kekuatan hanya pada malam hari saja, maka setelah siang hari Ibu Calonarang akhirnya tidak kuat melawan Empu Bharadah Calonarang terdesak dan sisyanya banyak yang tewas dalam pertempuran melawan Empu Bharadah dan Pasukan Balayuda Kediri. Mengetahui dirinya terdesak, Calonarang seperti biasa segera menggelar kesaktian pengiwanya. Ia segera berubah wujud menjadi seekor burung garuda berbulu emas, melesat ke udara, dan bersembunyi di balik awan. Ketika itu, Empu Bharadah segera masuk ke dalam rumah Calonarang . Didapatinya rumah Calonarang telah kosong, tak ada siapa-siapa. Pasukan Balayuda Kediri mengurung rumah Calonarang. Empu Bharadah kemudian berteriak : “Hai kau Calonarang pengecut, di mana gerangan engkau bersembunyi. Sudah berwujud
apa engkau sekarang, aku akan hadapi. Aku menantangmu, ayolah segera tunjukkan batang hidungmu”. Setelah berkata demikian, tiba-tiba ada jawaban dari angkasa. Rupanya Calonarang sudah bersembunyi dari tadi, tanpa sepengetahuan pasukan Kediri. Calonarang berkata : “Hai kau Empu Bharadah, dimana bersembunyi rajamu. Mendengar ejekan si garuda tersebut dari udara membuat Empu Bharadah menjadi naik darah. Segera Empu Bharadah memerintahkan kepada Ki Kebo Wirang untuk membidikan senjata tersebut ke arah si Garuda Calonarang. Namun ketika itu, Ki Kebo Wirang menjadi kebingungan karena musuh yang akan dibidik tidak kelihatan. Hanya suaranya saja yang berkoarkoar. Ditambah lagi dengan adanya kilat dan guntur yang menggelegar di angkasa. Semakin menyulitkan untuk membidik si Garuda Calonarang. Menghadapi situasi demikian, Empu Bharadah mencoba untuk memikirkan sebuah daya upaya. Empu Bharadah kemudian memerintahkan kepada Ki Lembu Tal sebagai umpan, agar si garuda mau keluar dari persembunyiannya. Ki Lembu Tal mencoba untuk mencari tempat yang agak terbuka. Mereka menari-nari sambil mengibas-ngibaskan senjatanya ke udara sebagai pertanda menantang. Ki Lembu Tal mengejek si garuda : “Hai engkau Calonarang, kenapa engkau bersembunyi. Ayo turun, akan aku potong lehermu, akan aku cincang engkau, bila perlu aku jadikan burung garuda panggang. Hai kau Calonarang, kalau memang engkau sakti mengapa engkau bersembunyi di tempat yang tinggi begitu. Kalau engkau mau, kau boleh hisap pantatku”. Demikian ejekan Ki Lembu Tal yang tidak senonoh, sambil membuka kainnya dan memperlihatkan pantatnya ke arah datangnya suara Calonarang. Mendengar dan melihat ejekan Ki Lembu Tal, menyebabkan Calonarang menjadi naik darah, dan segera keluar dari persembunyiannya. Si garuda Calonarang dengan secepat kilat terbang dan menyambar Ki Lembu Tal. Pada saat si garuda terbang menyambar Ki Lembu Tal, ketika itu pula Empu Bharadah membidikkan senjata pusaka Jaga Satru dan menembakkannya ke
arah sang garuda. Si garuda jelmaan Calonarang tersebut terkena tembakan senjata Jaga Satru dan jatuh tersungkur ke tanah. Segera si garuda mengambil wujud kembali menjadi manusia sosok Calonarang. Ratu Leak Calonarang yang sakti mandraguna tidak berdaya dengan kesaktian senjata pusaka Jaga Satru Empu Bharadah. Semua pasukan Balayuda Kediri segera mendekati Calonarang yang tidak berdaya dan kemudian Calonarang menghembuskan nafas terakhir di Setra Ganda Mayu. Dengan meninggalnya Ibu Calonarang maka bencana gerubug (wabah) yang melanda Kerajaan Kediri bisa teratasi. Calonarang Rangda Nateng Girah yang mewariskan Ilmu Pengeleakan Aji Wegig sampai sekarang masih berkembang di Bali, karena masih ada generasi penerusnya sebagai pewaris pelestarian budaya di Bali.