RANGSANGAN PERKEMBANGAN GONAD INDUK UDANG PCTTIH (Litopenaeus vannamei) DENGAN PENYtJNTIKANHORMON ESTRADIOL-17P
TARSIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Rangsangan Perkembangan Gonad Induk Udang Putih (Litopenueus vunnumei) dengan Penyuntikan Hormon Estradiol-17j3 adalah karya saya sendiri dan belurn diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2007
ABSTRAK TARSIM. Rangsangan Perkembangan Gonad Induk Udang Putih (Lltoyenueus vunnume~) dengan Penyuntikan Hormon Estradiol-l7P. Dibimbing oleh MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR dan ETTY RIANI. Kontrol pematangan gonad dan pemijahan merupakan masalah utama dalam pengeinbangan budidaya udang. Teknologi reproduksi dalam pembenihan udang belum mengalami perkembangan yang signifikan. Mekanisme dan peranan hormon pada reproduksi udang belurn banyak diketahui. Pada hemolim dan ovari beberapa spesies krustase ditemukan hormon steroid seperti estradiol-17j3, progesteron, dan 17a-hidroksiprogesteron. Hormon-hormon tersebut merupakan hormon yang berperan penting pada vitelogenesis ikan, sehingga keberadaannya dalam tubuh krustase, khususnya udang diduga mempunyai peranan yang sama. Meskipun demikian informasi tentang peran hormon steroid pada perkembangan gonad udang putih masih belum diketahui secara jelas. Oleh sebab itu diperlukan kajian mengenai peran hormon steroid khususnya estradiol-17$ pada perkembangan gonad udang putih. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan dan efebfitas hormon estradiol-17P dalam merangsang perkembangan gonad induk betina udang putih. Penelitian dilakukan melalui dua tahap percobaan yaitu percobaan 1 dan percobaan 2. Pada percobaan 1, tiga tingkat dosis estradiol-l7g (0,05 &g, 0,10 pglg, 0,25 pg/g bobot tubuh) Qberikan pada induk udang putih yang telah diablasi. Pada percobaan 1 diperoleh dosis optimum bagi perkembangan gonad udang putih adalah 0,10 pg/g bobot tubuh. Dosis optimum pada percobaan 1 digunakan untuk percobaan 2. Pada percobaan 2, induk udang non-ablasi diberi suntikan estradiol-17$ dosis 0,10 pg/g tubuh dengan penyuntikan tunggal dan ganda. Selang waktu penyuntikan pertama dan kedua adalah enam hari. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada dosis 0,10 pg/g bobot tubuh, pemberian estradiol-17P pada induk udang putih ablasi cukup efektif dalam merangsang perkembangan gonad. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan diameter oosit yang lebih cepat. Pemberian estradiol-17P dan ablasi mata memberikan efek sinergis pada awal perkembangan gonad induk betina udang putih. Peningkatan diameter oosit sangat nyata pada awal vitelogenesis. Pada akhir vitelogenesis, pemberian estradiol-178 dapat meningkatan jumlah telur yang siap dipijahkan. Hal ini terlihat pada proporsi telur matang (oosit corticul rods) yang lebih tinggi dibanding kontrol. Pada induk yang tidak diablasi, pemberian estradiol-l7j3 hanya mampu merangsang perkembangan oosit hingga tahap pravitelogenesis. Diduga pengaruh neurohormon yang dihasilkan tangkai mata lebih dominan sehingga gonad tidak dapat mencapai matang. Berdasarkan hasil penelitian j uga diperoleh bahwa pada ovari induk betina terdapat 5 sub unit protein dengan perkiraan bobot 95, 98, 109 kDa dan dua sub unit protein dengan bobot > 118 kDa. Pada hemolim dan hepatopankreas terdeteksi dua sub unit utama dengan perkiraan bobot 95 dan 98 m a .
O Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahin 2007 Hak cipta dilindungi fJilurung mengutip dun memperhanyak tanpa izin tertulis dari lnstitur Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam ben~ukupa pun, baik cetak,fotokopi. mikrofilm, dun se bagainya
RANGSANGAN PERKEMBANGAN GONAD INDUK UDANG PUTIH (Litopenaeus vanname0 DENGAN PENYLJNTIKANHORMON ESTRADIOL-17P
TARSIM
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sain pada Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTAMAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis Nama
NRP
: Rangsangan Perkembangan Gonad Induk Udang Putih (Litoperzueus vunnurttei) dengan Penyuntikan Hormon Estradiol-17P : Tarsim : C151040021
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof Dr. Ir. Muhammad Zairin Jr, M.Sc Ketua
Dr. Ir. ~ t k yRiani, MS Ariggota
Ketua Program Studi Ilmu Perai
\
(1 5
Tangga! Lulus:
MAR
r ''
3 0 MAR 20C-7
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah AWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Te~nayang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2006 ini ialah pematangan gonad dengan judul Rangsangan Perkembangan Gonad Induk Udang Putih (Lrtopenueus vunnumer) dengan Penyuntikan Hormon Estradiol- 17P. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Zairin Junior, MSc dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku pembimbing. Terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Agus Oman Sudajat, M.Sc. yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi serta Bapak Dr. Chairul Muluk dan Dr. Kardiyo yang telah banyak memberikan saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Slamet Subiyakto, MS, Ibu Ir. Siti Subaidah beserta staf hroodvtock center BBAP Situbondo, yang telah membantu selama penelitian. , Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri (Eriyanti) dan kedua anakku (Rasyid dan Iza) atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Maret 2007 Tarsim
RIWAYAT HIDUP Penulis dikxhirkan di Lampung Selatan pada tanggal 12 Oktober 1976 sebagai anak sulung dm pasangan Jumadi dan Riswati. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2004, penulis diterima di Program Studi Ilmu Perairan pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Dirjen Dlkti Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bidang pengajaran yang menjadi tanggung jawab penulis adalah reproduksi hewan air.
DAFTAR IS1 Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................
:........................... vi
DMTAR GAMBAR ......................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... vii PENDAHULUAN ................................................................................................... Latar Belakang ............................................................................................... Perurnusan Masalah ........................................................................................ Tujuan d m M m h t Penelitian ...................................................................... Hipotesis ........................................................................................................
I 1 7
3 4
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 5 Organ Reproduksi Udang Betina ................................................................... 5 Perkembangan Gonad Udang ........................................................................6 Peranan Hormon dalam Perkembangan Gonad Udang ................................. 8 Mekanisme Kerja Hormon dalam Perkembangan Ovari ............................ 12 Peranan Pakan dalam Reproduksi Udang .................................................... 13 Peranan Lingkungan dalam Reproduksi Udang ........................................ 14 METODOLOGI ....................................................................................................15 Waktu dan Tempat ....................................................................................... 15 Metode dan Desain Penelitian ..................................................................... 15 Metode Pengukuran ..................................................................................... 17 Pelaksanaan Percobaan .........................................................................21 Analisis Data ................................................................................................ 22 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. Hasil ............................................................................................................. Penlbahasan .............................................................................................
...
23 23 35
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 42 Kesimpulan .................................................................................................. 42 42 Saran ............................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
43
DAFTAR TABEL Halaman 1
Tingkat kematian (mortalitas) dan perkembangan gonad induk udang setelah 5 hari penyuntikan..............................................................................
23
2 Sebaran oosit pada berbagai perlakuan dosis hormon estradiol- 17P ............. 2 9 3 Nilai goado somatic index (GSI)dan hepato somatic index (HSI) L. vunnumei pada perlakuan pernberian estradiol-l7i'l)dosis 0,10 pglg dengan penyuntikan tunggd dan ganda ............................................................. . . 32
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Morfologi organ reproduksi betina .................................................................... 6 2
Sistem kerja hormon dalam pengendalian perkeinbangan gonad udang ........ 13
3 Konsentrasi hormon estradiol-17P dalam hemolim induk udang L. vannamei dengan beberapa perlakuan dosis penyuntikan hormon estradiol-l7P. ........................................ ... .................................................... 24 4
Indeks maturasi pada berbagai perlakuan dosis hormon estradiol-17$.......... 24
5 Diagram keragaman perkembangan gonad L. vannamei hari ke-6 s/d 12 pada perlakuan dosis estradiol-17P, 0,00 pg/g (kontrol) ,0,05 pg/g, 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g bobot tubuh. ....................................................... 26
6 Kecepatan perkembangan gonad pada penyuntikan dosis estradiol 17P, 0,00 pg/g (kontrol) ,0,05 pg/g, 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g bobot tubuh. ......... 27 7 Perkembangan gonad L. vannamei.................................................................28
8 Perkembangan sel telur (oosit) pada L. vannumei........................................... 29 9 Sebaran fiekuensi diameter oosit pada TKG dan waktu (t) tertentu ...............30 10 Konsentrasi estradiol-l7P dalam hemolim induk L. vannamei dengan perlakuan penyuntikan hormon estradiol- l7$ dosis 0,lO pg/g bobot tubuh melalui penyuntikan tunggal dan ganda...................................... 32 1 1 Kondisi umum gonad pada induk L. vcrnnumei dengan perlakuan pemberian hormon estradiol-17P dosis 0,10 pg/g bobot tubuh melalui penyuntikan tunggal dan ganda ....................................................................... 33 12 Kurva sebaran frekuensi diameter oosit induk L. vannamei tanpa ablasi dengan perlakuan penyuntikan hormon estradiol-17$ dosis 0,10 pg/g bobot tubuh melalui penyuntikan tunggal dan ganda .................................... 34 13 Analisis N-PAGE (5% gel poliakrilamid dengan pewarna amiu'o bluck) ...... 34 14 SDS-PAGE (73% gel poliakrilamid dengan pewarna coontasie brilliant blue) ........................................................................... 36
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Hasil analisis konsentrasi hormon estradiol-17P dalam hemolim pada percobaan 1 ....................................................................................................
49
Hasil analisis konsentrasi hormon estradiol-17$ dalam hemolim pada percobaan 2 .....................................................................................................
50
3. Hasil pengukuran sebaran oosit berbagai tahap perkembangan gonad pada setiap perlakuan ......................................................................................
51
1 2
4 Hasil pengukuran diameter telur pada percobaan 1 .......................................52 5 Hasil pengukuran diameter telur pada percobaan 2 .......................................62
6 Sebaran fiekuensi diameter oosit pada percobaan 2 ...................................... 64 7 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan dosis hormon estradiol- 17P terhadap diameter oosit pada setiap TKG ...................................................... 65 8 Hasil analisis raga.pengaruh perlakuan fiekuensi penyuntikan estradiol-l7J3terhadap diameter oosit............................................................ 67 9 Komposisi larutan stok. SDS-PAGE (Laemli 1970)........................................ 68 10 Prosedur elektroforesis...................................................................................69
PENDAHULUAN Latar Belakang
Dewasa ini budidaya udang putih (L1topei1aeus vais1ame1) telah mengalami perkembangan yang pesat. Sebagian besar tambak di daerah Sumatera dan Jawa telah mengganti spesies budidaya diui udang windu (Petiaeus monodoti) ke udang putih. Hal ini disebabkan tersedianya induk dan benih udang putih dengan kualitas spec!ficpathogen free ( S P F ) , produktivitas yang tinggi dan waktu pemeliharaan relatif lebih singkat karena pada umumnya panen dilakukan pada ukuran < 20 gram. Berkembangnya budidaya udang putih perlu didukung ole11 teknologi pembenihan yang mampu memproduksi benih dengan kualitas dan kuantitas baik. Teknologi reproduksi dala~n pembenihan udang belum mengalami perkembangan yang signifikan. Mekanisme dan peranan hormon pada proses reproduksi udang belum banyak diketahui. Pada umumnya untuk mempercepat kematangan gonad induk udang digunalcan teknik ablasi. Ablasi dilakukan dengan memotong salah satu tangkai mata yang tujuannya untuk menurunkan sekresi hormon penghambat perkembangan gonad dan hormon penghambat kerja organ mandibular oleh kelenjar sinus yang berada di tangkai mata (Baclaski 2001). Teknik ablasi cukup efektif dalam merangsang perkembangan gonad, tetapi penghilangan organ penghasil honnon akan mengganggu sistem endolcrin dalam tubuh udang. Ablasi unilateral menyebabkan kerusakan pennanen pada mata dan menurunkan 50% sintesis neurohonnon oleh kelenjar sinus. Hal ini menyebabkan kemampuan udang untuk mengatur berbagai proses fisiologis tidak berjalan dengan baik (Huberman 2000).
Oleh sebab itu perlu diupayakan teknik
rangsangan pematangan gonad yang lebih efektif Manipulasi lingkungan merupakan cara yang efektif dm murah dalam merangsang sekresi honnon untuk mempercepat kematangan gonad, tetapi karakter spesiflk dari sinyal-sinyal lingkungan untuk merangsang perkembangan' gonad dan pemijahan, tidak diketahui secara pasti. Pada beberapa studi reproduksi udang telah diketahui bahwa fotoperiodisitas dan temperatur berpengaruh terhadap kecepatan perkembangan gonad tetapi hasilnya belum cukup optimal
(Hoang el al. 2002). Alternatif lain yang diduga cukup efektif dalam mempercepat perlietnbangan gonad adalah dengan rangsangan hormonal. Teknik rangsangan hormonal dengan memberikan hormon-hormon perangsang perkembangan gonad telah banyak dilakukan pada ikan dan terbukti cukup efektif Reproduksi udang dikendalikan oleh aktivitas newohomon dan honnon-hormon reproduksi seperti GIH (gonad inhibiting hormone), GSH (gonad .stimulating hormone), hormon pengharnbat kerja organ mandibular (mandibular o w n initihiting hormone-MOIH) dan MF (methl famesoate)
(Chang 1997;
Charmantier et a!. 1997). Selain ity pada hemolim dan ovari beberapa spesies krustase juga ditemukan hormon steroid seperti estradiol-17$, progesterone, dan 17a-hydroxyprogesterone (Souty-Grosset 1997; ~urnrnavielle et al. 2003; Okumwa 2004). Hormon-hormon tersebut merupakan hormon yang berperan penting dalam vitelogenesis ikan, sehingga keberadaamya dalam tubuh laustase khususnya udang diduga mempunyai peranan yang sama. Percobaan pemberian hormon steroid (vertebrate-type steroid hormone) berpengaruh positif terhadap perkembangan gonad Penaeus jupnicus (Yano 1987), Macrubmchium rosenbergii (Ghosh dan Ray 1992), Penaeus monodon (Ismail 1991; Riani 2001), Procmmbarus clarkii (Rodriguez et al. 2002), dan Marsupenaeus japonicus (Summavielle et al. 2003). Salah satu honnon steroid yang berperan penting dalam perkembangan gonad kl~ususnyavertebrata adalah estradiol-17$. Pada udang puhh, peran dan h g s i hormon estradiol-17$ dalam perkembangan gonad belum banyak diketahui. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan h a i l yang bervariasi. Berdasarkan ha1 tersebut maka perlu dilakukan uji dan kajian lebih lanjut mengenai peran hormon estradiol-17$ pada perkembangan gonad udang khususnya udang putih. Pemberian hormon
steroid khususnya estradiol- 17$ pada udang putih diharapkan berpengaruh positif terhadap perkembangan gonad sehingga dapat digunakan sebagai teknik alternatif pematangan gonad pada udang.
Perurnusan Masalah Secara alami, proses perkembangan gonad udang putih ditentukan oleh aktivitas beberapa hormon. Masalah utama yang dihadapi oleh panti benih adalah
proses pematangan gonad udang secara alami (tanpa ablasi), memerlukan waktu yang lama walaupun kcualitas air dan pakan yang diberikan cukup baik. Lamanya waktu yang dibutuhkan induk untuk mencapai matang gonad, terkait dengan pemicu perkeinballgan pematangan gonad yang terlalu lainbat ineskipun potensi reproduksi yang dimiliki induk sudah cukup baik. Permasalahan tersebut disebabkan jumlah atau ketersediaan hormonhormon perangsang perkembangan gonad seperti GSH (gonad stimulating hormone), MF (methylfar~~r.~oate) dan VSOH (vi~ellogenesisstiniulating ovarian hormone) di dalam tubuh tidak sesuai dengan potensi perkembangan reproduksi seperti umur dan ukuran udang. Sedikimya jumlah hormon-hormon tersebut disebabkan aktivitas hormon penghambat perkembangan gonad yang dihasilkan oleh organ-X yang berada pada tan-
mata. Hal ini menyebabkan proses
pembenhrkkan kuning telur (vitelogenesis) berjalan lambat. Selma ini untuk mempercepat proses pematangan gonad dilakukan dengan ablasi mata yang bertujuan mengiulangkan organ penghasil produk GIH dan MOIH sehingga sintesis dan sekresi GSH, MF dan VSOH tidak terhambat. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan mensuplai hormon GSH, MF atau hormon serupa VSOH dari luar. Estradiol-170 merupakan hormon steroid yang diduga identik dengan VSOH krustase (Yano 1998). Penambahan hormon estradiol-l7fl dari luar tubuh diharapkan mampu meningkatkan kandungan hormon estradiol-l7$ dalam hemolim udang. Apabila efektif diharapkan dapat langsung meningkatkan tersedianya hormon serupa VSOH dalam tubuh udang sehingga proses pematangan gonad dapat terjadi lebih cepat. Keberhasilan kerja hormon yang ditambahkan tidak terlepas dari urnur dan bobot awal udang, pemberian pakan maupun kualitas lingkungan yang akan menunjang kualitas telur yang dihasilkan.
Efektifitas hormon akan dapat dievaluasi dengan baik jika
kondisi lingkungan dan pakan yang diberikan relatif sama. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas hormon estradiol178 dalam merangsang perkembangan gonad induk betina udang putih (Litopenaeus vannamei) .
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh infonnasi tentang peranan hormon steroid, khususnya estradiol-17P pada perkembangan gonad udang putih. Apabila efehqif, teknik ini dapat digunakan untuk mempercepat perkembangan gonad tanpa ablasi, sehingga penggunaan teknik ablasi &pat dihindari. Selain itu juga &pat
digunakan sebagai pemicu percepatan
perkembangan gonad untuk sinkronisasi pemijahan dan peningkatan produksi benih. Hipotesis Pada kondisi kualitas air media dan pakan yang baik, apabila pemberian hormon estradiol-17$ mampu meningkatkan kandungan hormon estradiol-17$ dalam tubuh induk udang, maka akan tejadi percepatan sintesis vitelogenin sehingga waktu untuk mencapai matang gonad menjadi lebih singkat.
TLNJAUAN PUSTAKA Organ Reproduksi Udang Betina Penaeus vanname1 L~iopenaeusvanname1 atau disebut juga udang putih
merupakan spesies endemik amerika latin, tersebar di pantai Peru bagian utara hingga Mesiko bagian utara. Dlbandingkan dengan Penaeus monodon, ukuran I'. vannamei lebih kecil, berat maksimum individu betina adalah 120 gram
sedangkan P. monodon dapat mencapai 600 gram. Spesies ini berwarna putth keabu-abuan. Udang putih merupakan hewan heteroseksual (diocious) sehingga antara individu jantan dan betina dapat dibedakan secara morfologi. Pada umur yang sama, ukuran individu betina lebih besar daripada individu jantan (BaileyBrock dan Moss 1992). Organ ekstemal sistem reproduksi udang betina adalah telikum. Telikum berguna untuk menampung spenna yang akan dilepaskan pada saat pemijahan. Telikum terletak antara pangkal kaki jalan ke-4 dan ke-5. Pada P. vannamei, telikumnya tidak tertutup oleh lempeng karapas yang keras atau disebut dengan telikum terbuka, sedangkan pada P. monodon, telikumnya tertutup oleh lempeng karapas yang keras. Struktur telikum ini erat kaitannya dengan tingkah laku reproduksi spesies tersebut.
Pada spesies dengan telikum terbuka, proses
perkawinannya tidak didahului molting sedangkan pada udang yang telikumnya .a
tertutup, proses perkawinan didahului dengan molting. Tujuannya agar karapas menjadi lunak sehingga sperma dapat dimasukkan ke dalam telikum (BaileyBrock dan Moss 1992). Perbedaan struktur telikum terbuka dan tertutup terdapat pada Gambar 1. Organ reproduksi internal udang putih betina terdin dan sepasang ovan,
berbentuk tubular, simetrik bilateral, terletak di bagian ventral hingga rongga dada dan berkembang ke arah posterior hingga hepatopankreas. Cuping abdominal berdampingan dengan usus dan cuping anterior terdapat di cepalothorax. Cuping lateral berkembang menyamping seperti jari dan terletak antara cuping anterior dan posterior. Oviduk berada diantara kedua sisi ovari dan mernanjang hingga organ genital eksternal yaitu pada koksapodit pasangan kaki jalan ke-3 (Bailey-
Brock dan Moss 1992). Pada saat matang, ovari akan tampak berkembang dan memanjang hinga beberapa segmen abdominal.
Pereiopod
/
Telikurn terbuka Telikum Pleopod
Telikum tertutup Gambar 1 Morfologi organ reproduksi betina. (a) Letak organ eksternal betina (telikum), (b) Telikum terbuka dan tertutup (c) Organ reproduksi internal betina (ovari) tampak dorsal (Bailey-Brock dan Moss 1992) Perkembangan Gonad Udang
Perkembangan ovari dimulai dengan proses oogenesis. Proses oogenesis dimulai dengan proliferasi dan masuknya oogonia ke proses meiosis. Pembentukkan oogonia terjadi di zona germinal. Proses ini berlangsung kontinyu dan terjadi selama hidup udang (Quackenbush 2001). Proses meiosis dimulai dengan tahap profase dan diakhiri dengan lepasnya oogonia dari zona germinal dan terbentuk oosit primer. Tahap beri kutnya adalah tahap pravitelogenesis yang dicirikan dengan proliferasi ribosom dan berkembangnya rztikulum endoplasma. Selama proses ini ukuran oosit akan berkembang sebagai hasil dari sintesis protein secara endogenous dan rongga vesikel terisi oleh materi granular yang disebut
glikoprotein. Akhir dari pravitelogenesis adalah sel folikel mengalami hiperplasia dan proses ini akan berlanjut ke tahap vitelogenesis. Vitelogenesis merupakan merupakan proses biosintesis protein kuning telur oleh organ atau jaringan tertentu yang kemudian ditansportasikan ke dalam ovari melalui hemolim (Quackenbush 2001). Pada tahap ini terjadi akumulasi kuning telur (yolk) yang dicirikan dengan perkembangan oosit yang cepat. Oosit akan mengalami perubahan ukuran dari sekitar 50 pm menjadi
* 300 p dan
ovari dapat tumbuh dari 2% bobot tubuh menjadi lebih dari 10% bobot tubuh dalam waktu 48 - 72 jam (Browdy 1992). Selama proses vitelogenesis, muncul butiran-butiran kuning telur yang mengandung vitelin. Vitelin (Vn) mengandung 30% lipid yang berasosiasi dengan karotenoid sehingga selama proses vitelogenesis akan tampak perubahan intensitas warna pada ovari. Vn adalah senyawa yang berfingsi sebagai sumber nutrien bag perkembangan embrio. Vn pada P. vannamei merupakan polipeptida dengan berat molekul 300-500 kDa yang di dalamnya terdapat karotenoid, gula dan lipid (Quackenbush 2001). Bahan utama pembentuk Vn adalah Vitelogenin (Vg). Vitelin terdiri dari beberapa sub unit protein. Menurut Quackenbush (1989) vitelin P. vannamei terdiri dari 4 sub unit yaitu 103, 97, 95 dan 76 kDa, tetapi kemudian ditemukan sub unit dengan bobot molekul 158 kDa (Quackenbush, 2001). Garcia-orozco et a/. (2002) mengemukakan bahwa vitelin P. vannamer terdiri dari 3 sub unit utama yaitu 87, 78 da 46 kDa. Berdasarkan isolasi yang dilakukan Vasquez-Boucard et a/. (2003), diperoleh 6 sub unit yaitu 60, 90, 95, 100, 140 dan 160 kDa. Pada P. vannamer, sintesis Vg terjadi di dalam ovari dan hepatopankreas (Quackenbush 200 1), tetapi Fainzilber
el
al. ( 1992) menyatakan
bahwa vitelin juga ditemukan dalam jaringan lemak. Kandungan Vg dalam hemolim akan meningkat seiring dengan meningkatnya gonado somatrc rndex (GSI) dan menurun saat terjadi oviposisi (Tsukimura 2001; Okumura 2004).
Pada P. monodon, Vg dalam hemolim
meningkat seiririg dengan meningkatnya GSI hingga TKG 111, tetapi menurun
pada TKG IV (Longyant et a/. 2003). Lebih lanjut dinyatakan bahwa 3-4 hari setelah ablasi, Vg dalam hemolim meningkat pesat dan pada hari ke-5 menurun dengan cepat. Pada hari ke-8/9 kandungan Vg dalam hemolim meningkat
kembali. Menurut Quackenbush (2001), seminggu setelah ablasi kandungan Vg dalam hemolim P. va~~na~ttei adalah 0,l mdmL dan setelah dua minggu kandungannya meningkat menjadi 1 mg/mL. Munculnya
protein kuning telur
rnerupakan
tallap
akhir dari
perkembangan oosit. Pada tahap pasca-vitelogenesis terjadi germinal vesicle breakdowr~(GVBD) dan ovulasi. GVBD ditunjukkan dengan meleburnya inti
dalam sitoplasma atau hilangnya sel folikel yang mengelilingi oosit. GVBD pada udang peneid umumnya tejadi pada dini hari (02.00-03.00) atau sesaat setelah terjadi pemijahan. Oosit yang telah matang akan diserap kembali oleh induk apabila tidak tejadi pemijahan. Faktor lain yang dapat memicu tejadinya reabsorbri oosit adalah stress. Absorbsi juga terjadi pada omit matang yang tersisa setelah pernijahan.
Peranan Hormon dalam Perkembangan Gonad Udang Reproduksi pada udang dikendalikan ole11 berbagai hormon yang dihasilkan oleh tangkai mata, otak, ganglion toraks, ovari dan diduga juga dipengaruhi oleh ekdisteroid (Charmantier et al. 1997). Aktifitas kerja hormon tersebut akan berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kecepatan perkembangan dan pematangan ovari. Hormon-honnon yang berperan dalam perkembangan ovari udang adalah : Go~~adZnhibiting H o r n ~ o ~(GIH)/ ~ e VitellogeninZnhibitii~gHormone (VIH) Gonad inhibiting hormone (GIH) atau disebut juga vitelfogenin-inhibiting honnorte (VIH) merupakan hormon yang hanya ada pada krustase. Neuropeptida ini satu golongan dengan crustacean hyperRlycemic hormone (CHH) dan molt
inhibiting hormone (MIH) yang dicirikan dengan adanya residu cysfeine (Chen et a / . 2003). Prekursor GIH merupakan rantai peptida dengan panjang 112 asarn
amino. Berat molekul GIH adalah 9135 Da (Edomi et a/. 2002). Pada lobster Amerika, Homarus americanus, GIH disintesis dalam sel neuroendokrin organ-)<, tepatnya di dalam medula terminal yang berada di tangkai mata. Neuropeptida hasil sintesis ditransportasikan meIalui axon ke kelenjar sinus untuk ditampung dan disekresikan (De Kleijn et ai. 1998).
GIH ditemukan pada individu jantan clan betina. Pada Hontarus
atnerrcanns, jwnlah sel neurosekretori organ-x pada kedua jenis kelamin relatif
sama (Edomi et al. 20021, ha1 ini menunjukkan bahwa GIH mempunyai peranan dalain peinatangan gonad baik jantan inaupun betina. GIH atau VIH inerupakan hormon yang bekerja menghambat perkembangan gonad. Hal ini telah dibuktikan dengan percobaan pada berbagai spesies krustase bahwa ablasi dapat mempercepat perkembangan gonad. Sekresi GIH dikendalikan oleh methionin enkephalrn (Met-Enk) and dopamin (DA). Mandibular Organ Inhibiting Hormone (MOIH) Mandibular organ inhibiting hormone (MOIH) merupakan hormon yang
disintesis dan disekresi oleh komplek kelenjar sinus-organ-X pada tangkai mata. MOIH berfungsi untuk menghambat proses sintesis methyl farnesoate oleh organ mandibular (Huberman 2000). Neuropeptida ini mempunyai 78 residu asam amino dengan berat molekul9235,6 Da dan struktumya sangat mirip dengan moltinhibiting hormone (MIH)(Wainwright et al. 1996). GonadStimulating Homtone (GSH) Gonad stimulating hormone (GSH) ditemukan pada otak dan thoracic ganglion.
Implantasi thoracic ganglion pada Procambarus clarki~ dapat
menstimulasi perkembangan gonad (Sarojini et al. 1997). Sekresi GSH dikendalikan oleh neuroregulator seperti 5-Hydroxytryptamine (5-HT)/serotonin, methionin enkephalin (Met-Enk), dopamin (DA),and naloxene. Methyl Famesoate (MF)
Struktur MF mirip dengan juvenile hormone 111 (JH 111) pada serangga yang disintesis oleh mandibular o q a n (MO) (Chang 1997). Menurut Laufer et a/. (1997), MF berperan dalam reproduksi krustase seperti gonadotropin dan juga berperan dalam morfogenesis. Berdasarkan uji secara in vitro pada betina Libina enzarginata, tingkat produksi MF oleh mandibular organ tinggi
saat
perkembangan oosit dan oogenesis. Sekresi MF oleh MO mencapai puncaknya pada h s e vitelogenesis (sekitar 3,30 ng/il). Pada masa intermolt hanya sekitar 0,5
ngh. Implantasi MO pada juvenil betina berpengaruh terhadap perkembangan gonad. Berdasarkan analisis
iit
vilro pada 1,. vannamei menunjukkan ballwa MF
menyebabkan peningkatan ukuran oosit secara signifikan. Menurut Laufer el al. ( 1997), MF berpengaruh terhadap peningkatan fekunditas P. vannamei, selain itu
MF juga berperan merangsang organ-Y untuk mensintesis ecdysteroid. Dopamin (DA) Dopamin (DA) merupakan neurotransmiter yang berperan dalam mengharnbat pematangan gonad udang (Chen el a / . 2003). pematangan
gonad
dengan
menstimulasi
sekresi
DA menghambat
hormon
pengambat
perkembangan gonad (GIH) (Fingerman 1997) dan dengan cara menghambat kerja 5-HT dalarn stimulasi sekresi GSH. Menurut Chen et al. (2003), pada Macrobrachiurn rosenbergii, DA terdapat pada otak dan torasik ganglia. Saat
vitelogenesis, reseptor DA akm diblok oleh anti dopamin sehingga terjadi proses pematangan gonad (Sarojini et al. 1995). Hormon Steroid (vertebmte-type steroid hormone) Sintesis hormon steroid pada krustase belum banyak diketahui. Berdasarkan studi oleh Junera el al. (1977) dalam Yano (1987) diketahui bahwa pada ovari terdapat vitellogenesis stimulating ovarian hormone (VSOH) yang diduga mempunyai peranan sama dengan estradiol-17P pada vertebrata. Menurut Summavielle et a / . (2003), ovari Marsupenaeus japon~cusmampu mensintesis estradiol-17P dari progesteron, ha1 ini ditunjukkan dengan adanya aktivitas enzim 17a-hidroksilase, C17-C20 liase, 17$-hidroksisteroid dehidrogenase (17$-HSD) dan aromatase.
Aktivitas enzim tersebut juga terdapat pada hepatopankreas
kecuali C I T C ~ Oliase. Berdasarkan ha1 tersebut diduga kuat bahwa VSOH merupakan senyawa yang identik dengan estradiol-17P. Biosintesis estradiol-17P juga terdapat pada ovari Macrobrachiurn rosenbergii (Ghosh d m Ray 1993) dan I'enaeus nlonodon (Fairs et al. 1990). Quinitio et al. (1991) mengemukakan
keberadaan progesteron d m estradiol-17$ pada berbagai jaringan d m hemolim Pandalus kessleri. Walaupun mekanisme biosintesis progesteron d m estradiol-
17f3pada udang belum diketahui dengan jelas, tetapi keberadaanya dalam tubuh
udang dan krustase lainnya diduga mempunyai peranan yang cukup penting dalam siklus reproduksi. Uji pengaruh honnon steroid terhadap proses reproduksi telah dilakukan pada beberapa spesies krustase.
Pernberian 17a-Hidroksiprogesteron pada
Penueus japonicus mampu meningkatkan konsentrasi vitelogenin dalam hemolim
(Yano 1987). Pemberian progesteron juga mampu merangsang perkembangan gonad Chasmagnathus grariulu~u(Zapata er ul. 2003). Procrambarus clarkii (Rodriguez et al. 2002), dan I). mon(don (Ismail 199 1). Berdasarkan uji in vitro, pemberian progesteron mampu meningkatkan kandungan hormon estradiol-l7fl pada ovari Mafiapernus jup)nrcrus dan rnempercepat perkembangannya ..*
(Summavielle et al. 2003). Selain progesteron, percobaan penggunaan estradiol178 untuk merangsang perkembangan gonad krustase khususnya udang dan kepiting juga telah dilakukan.
Pemberian estradiol-17$ pada udang windu
(Penaats monodon) mampu merangsang dan mempercepat perkembangan gonad
(Quinitio e t a1 1993; Riani 200 1). Kecepatan perkembangan gonad Procambaius clarckii yang diberi methyl famesoate (MF) d m estradiol-17fl lebih tinggi
dibandingkan dengan individu yang hanya diberi MF saja. Hal ini menunjukkan bahwa estradiol-17$ berpengaruh positif terhadap perkembangan gonad (Rodriguez et al. 2002). Pada Metapenaeus ensis, penyuntikan Pestradiol dapat meningkatkan ekspresi gen pengendali sintesis vitelogenin (MeVgl) dan *
meningkatkan gonado sornatlc index (GSI) (Tiu dan Chan 2005). Estradiol-17P juga berperan dalam reproduksi Macmbmchium msenbergii.
Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan oleh Ghosh dan Ray (1993), organ M. msenbergii responsif terhadap hormon estrogen yang ditunjukkan dengan peningkatan akumulasi protein dalam hepatopankreas, otot dan hemolim. Pemberian estradiol178 pada spesies ini marnpu meningkatkan aktivitas beberapa enzim (N$-K+ATPase, rnalate dehydrogenase dan glucose-6-phospate dehydrogenase) yang terdapat pada hepatopankreas.
M. msenbergii yang telah disuntik dengan
estradiol-17fl mengalami peningkatan jumlah
protein dan RNA pada
hepatopankreas (Ghosh dan Ray 1992). Selain itu aktivitas biosintesis 17P-HSD pada hepatopankreas dan ovari juga meningkat saat vitelogenesis.
Hal yang berbeda diungkapkan oleh Okumura (2004) bahwa hormon steroid tidak berperan penting dalam proses reproduksi udang. Berdasarkan uji ;PI vivo pada induk M. Japonicus tanpa ablasi, pemberian est~adiol-17p tidak
berpengaruh nyata terlladap perkembangan gonad. Tidak berpengarulmya l~onnon diduga akibat aktivitas hormon penghambat seperti GIH dan MOIH yang dihasilkan organ-X pada tangkai mata (Tsukimura 200 1). Mekanisme Kerja Hormon dalam Perkembangan Ovari Reproduksi udang sangat berkaitan dengan siklus hormonal. Pada saat gonad belum matang, organ-)< yang terdapat pada tangkai mata akan bekerja menghasilkan GIH dan MOIH. Pengaruh GIWVIH dan MOIH dominan sehingga terjadi pertumbuhan somatik. Proses ini akan berjalan terus sampai suatu saat uhman kulit udang tidak sesuai dengan ukuran tubuh sehingga tejadi desakan. Kondisi ini akan merangsang syaraf pusat dan organ mandibular menjadi aktif Syaraf pusat akan merangsang sekesi GSH dan organ mandibular akan mensintesis dan mensekresi MF. Hormon ini akan bekerja sinergi merangsang sintesis vitelogenin sehingga sehingga terjadi kernatangan gonad (Chang 1997). Sintesis vitelogenin terjadi di dalam hepatopankreas d m ovari. Secara alami, aktivitas honnon perangsang perkembangan gonad juga dipicu oleh adanya sinyal-sinyal lingkungan tertentu. Perkembangan tingkat kematangan gonad udang merupakan proses yang berkesinambungan antara proses pravitelogenesis dan vitelogenesis. Kedua proses ini dirangsang oleh hormon VSHIGSH dan MF. Selain itu, proses pematangan gonad pada udang diduga juga dipen-
oleh aktivitas VSOH dan honnon
steroid yang dihasilkan ovari (Okumura 2004). Yano (1998) menyatakan bahwa
VSOH juga merupakan hormon steroid. Disamping ketersediaan hormon, kedua proses tersebut juga memerlukan ketersediaan materi pakan yang baik sebagai bahan pembentuk vitelogenin serta kualitas air media yang layak. Jika materi dalam tubuh telah memadai dan ketersediaan hormon perangsang perkembangan gonad cukup maka pematangan gonad akan cepat dan kualitas sel telur yang dihasilkan baik (Benzie 1997). Diagram mekanisme sistem kerja hormon pada perkembangan ovari terdapat pada Gambar 2.
I
system
VSH?
0
,-"-
s ~ n u gland s
/'
I
Mand~bular)
----,
Ovary
. I
Steroids ?
Gambar 2 Sistem kej a hormon dalam pengendalian perkembangan gonad udang (Okumura 2004) Peranan Pakan dalam Reproduksi Udang
Nutrisi induk merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses pematangan gonad.
Berbagai studi menunjukkan bahwa pakan segar seperti
cumi-cumi, gastropoda jenis trochus, cacing laut, moluska dan artemia penting dalam diet pematangan gonad (Browdy 1992).
Pemberian artemia mampu
meningkatkan frekuensi pemijahan dan jurnlah telur yang dihasilkan. Menurut Benzie (1 997), induk udang yang diberi pakan campuran antara pakan buatan dan pakan alami menghasil hasil produksi larva yang lebih baik dibandingkan dengan induk yang hanya diberi pakan buatan. Salah satu kandungan nutrisi yang sangat diperlukan dalam perkembangan gonad adalah asam lemak terutama asam lemak tak jenuh seperti PUFA. Asam lemak penting dalam perkembangan neuronal, sintesis biomembran dan sebagai prekursor hormon dan kuning telur (Hanison 1990).
Udang tidak dapat
mernperpanjang asam linolenat menjadi PUFA atau mensintesis kolesterol sehingga keduanya harus disuplai dari luar untuk mendukung pembentukkan biomembran dan pembentukan hormon (Cuzon et a / . 1994). Penaeus vanriartzei yang dipelihara dalam wadah pemeliharaan dapat matang gonad jika komposisi asain leillak dalam pakan yang diberikan tinggi (Benzie 1997). Koinposisi asam lemak dalam pakan sangat bexpengaruh terhadap komposisi asam lemak dalam
tubuh induk udang. Komposisi asam lemak induk akan berkorelasi positif dengan komposisi asam lemak telur. Seiain asam lemak, vitamin juga mempunyai fungsi yang penting dalam perkembangan gonad udang peneid (Wouters et a f . 2001). Pemberian vitamin A, E dan C mampu meningkatkan perkembangan gonad P. japonicus Alava et a/.
(1993). Menurut Wouters et af. (2001), agar pematangan gonad udang lebih optimal, diperlukan zat anti oksidan seperti vitamin E dan C.
Peranan Lingkungan dalam Reproduksi Udang Lingkungan merupakan salah satu hktor eksternal yang mempunyai
peranan penting dalam perkembangan reproduksi terutama saat perkembangan gonad.
Kondisi linglcungan akan berpengaruh terhadap metabolisme tubuh.
Kondisi lingkungan yang baik akan menunjang kecepatan perkembangan gonad. Selain itu sekresi hormon pada udang juga sangat dipen-
oleh rangsangan
eksternal temtama kondisi lingkungan. Sinyal dari luar akan diterima oleh susunan syaraf pusat dan komplek kelenjar sinus organ-X yang ada pada tangkai mata.
Sistem syaraf pusat kernudian akan mensekresi honnon-hormon yang
berperan dalam reproduksi Temperatur, panjang hari, kualitas dan kuantitas cahaya serta beberapa aspek kualitas air seperti salinitas, pH, konsentrasi oksigen dan kandungan amonia berpengaruh terhadap proses.-pematangan gonad, kualitas telur dan larva yang dihasilkan (Lotz dan ogle 1994 dalam Benzie 1997). Ukuran wadah, tipe substrat dan kepadatan populasi juga akan mempengaruhi pematangan gonad dan pemijahan udang peneid (Browdy 1992).
Menurut Treece (2000), kualitas air
yang baik untuk pematangan gonad dan pemijahan udang P. vannamel adalah : Salinitas 27 - 36 ppt
* 0,5, Tempemtur 28 "C * 2, pH 7,8 * 0 2 , Fotoperiodisitas
14 terang, 10 gelap, Oksigen terlarut * 5 mgIL, Amonia total 0,004 mg/L, Sedangkan menurut Arcos et a/. (2003) salinitas 37 ppt dan ternperatur 28 "C memberikan pengaruh yang paling baik pada perkembangan gonad udang putih. Taylor et al. (2004) menambahkan bahwa laju perkembangan gonad berkembang maksimum pada fotoperiodisitas 12,5 jam terang dan 11,5jam gelap.
METODOLOGI Waktu dan Ternpat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga bulan Juni 2006 di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo, Jawa Timur. Analisis histologi gonad dilakukan di Laboratorium Penyakit Ikan, Jurusan Budidaya Perairan, FPIK-IPB dan analisis protein vitelogenin dan protein kuning telur (vitelin) dilakukan di iaboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis PAU-IPB. Analisis kandungan estradiol-l7fl dalam hemolim dilakukan di Laboratorium Balitnak Ciawi. Metode dan Desain Penelitian Metode yang digunakan dalam percobaan ini
adalah metode
eksperimental. Hewan uji yang digunakan adalah udang putih berukuran 38+2 g yang merupakan hasil domestikasi oleh BBAP Situbondo. Percobaan dilakukan dua tahap yaitu percobaan 1 dan percobaan 2. A. Percobaan 1
Sebelum dilakukan percobaan 1, dilakukan studi pendahuluan. Studi pendahuluan ini dilakukan untuk mengetahui kisaran dosis hormon estradiol-17$ yang dapat ditolerir ole11 induk betina udang put& (Litopenaeus vannamei). Percobaan dilakukan pada induk yang telah diablasi dengan 4 perlakuan tingkat dosis yaitu 0,10 pg/g, 0,25 pg/g, 0,50 pglg dan 1,00 pg/g bobot tubuh. Kisaran dosis yang
digunakan
didasarkan
hasil
penelitian
sebelurnnya pada
Macrobrachiurn rosenbergii (Ghosh dart Ray 1993) dan Penaezls ntonodon (Riani 2001). Jumlah induk pada masing-masing perlakuan adalah 7 ekor. Induk yang
telah diberi perlakuan dipelihara dalarn bak beton berukuran 2 ~ 2 x 1m selama 5 hari. Parameter yang dipantau adalah tingkat kelangsungan hidup induk udang dan
perkembangan gonad. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa dosis yang dapat ditolerir oleh udang putih adalah < 0,50 pg/g bobot tubuh (Tabel 1). Pada dosis 0,10 dan 0,25 pg/g menunjukkan tingkat kelangsungan hidup dan perkembangan gonad
yang relatif baik. Berdasarkan hasil tersebut dibuat tingkat dosis estradiol-17B untuk percobaan 1 yaitu 0,05,0,10 dan 0,25 pglg. Percobaan 1 dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian hormon estradiol-l7$ terhadap peinatangan gonad induk udang putih dengan ablasi. Selain itu untuk mengetahui dosis optimal dilakukan uji dengan 3 tingkat dosis hormon estradiol-17P yang telah diperoleh pada studi pendahuluan (0,05,0,10 dan 0,25 pglg). Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Masingmasing perlakuan terdiri dari 15 ekor induk betina berukuran 38
* 2 g, sebagai
pembanding dilakukan uji tanpa perlakuan (kontrol). Induk yang telah diberi perlakuan dan kontrol dipelihara dalam bak beton berwarna hitam berukuran 2 ~ 2 x 1m selama 12 hari. Parameter yang dipantau pada percobaan 1 adalab konsentrasi hormon estradiol-17$ dalam hemolim, perkembangan gonad (morfologi dan histologi), diameter telur dan karakteristik protein vitelogenin (Vg) dan vitelin (Vt). Konsentrasi estradiol-17p dalam hemolim ditentukan pada hari ke-0, 3 , 6 , 9 dan 12. Analisis kematangan gonad secara morfblogi dilakukan
setiap hari, sedangkan secara histologi pada setiap tahap perkembaugan gonad. Diameter telur juga ditentukan pada setiap tahap perkembangan gonad. Karakteristik Vg dalam hemolim ditentukan pada beberapa tahap perkembangan gonad, sedangkan karakteristik Vg pada hepatopankreas dan Vt pada ovari ditentukan pada TKG 111. B. Percobaan 2
Percobaan 2 dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian hormon estradiol-17P terhadap kecepatan perkembangan gonad pada induk udang tanpa ablasi. Percobaan ini menggunakan RAL dengan 2 perlakuan frekuensi penyuntikan hormon. Dosis yang digunakan adalah dosis optimal yang diperoleh dari percobaan 1 (0,lO pg/g bobot tubuh) dengan penyuntikan satu kali dan dua kali. Penyuntikan kedua dilakukan pada hari ke-6 setelah penyuntikan pertama. Penyuntikan dua kali dilakukan agar pemaparan honnon kontinyu dan lebih lama. Sebagai pembanding dilakukan uji tanpa perlakuan honnon (kontrol). Kontrol dan setiap perlakuan terdiri dari 15 ekor induk udang putih betina berukuran 38 + 2 g. Induk dipelihara dalam beton berwarna hitam berukuran 2 ~ 2 x 1m selama 12
hari. Parameter yang dipantau pada percobaan 2 adalah konsentrasi hormon estradiol-17p dalam hemolim, perkembangan gonad (morfolog dan histologi), tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan induk, gonado somatic index (GSI) atau ovarian index (OI), hepato somatic index (HSI) dan diameter oosit. Konsentrasi estradiol-17P dalam hemolim ditentukan pada hari ke-0, 3, 6, 9 dan 12. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan induk ditentukan pada akhir percobaan. Perkembangan gonad, GSI dan HSI ditentukan pada awal percobaan berdasarkan sampling dan setiap individu pada akhir percobaan. Diameter oosit ditentukan pada setiap individu yang disampling dan mengalami perkembangan gonad.
Metode Pengukuran a. Peneraan hormon estradiol-17$ pada hemotim Hemolirn diambil sebanyak 150 pL melalui pangkal kaki jalan kelima rnenggunakan syringe tuberculline (1 ml) yang telah dibilas dengan larutan antikoagulan (3,8% natrium sitrat dalam larutan isotonik).
Hemolirn
disenhikse pada 3000 rpm, suhu 4' C selama 20 menit kemudian disimpan pada suhu -20" C hingga saat analisis. Analisis kandungan hormon dalam hemolim dilakukan sesuai prosedur Coat-A-Count
Estradiol-178.
Prosedur
Coat-A -Count
Estradiol-178
berdasarkan pengkatan antibodi. Estradiol-17P yang telah diberi label
akan bersaing dengan estradiol-17$ dalarn sampel untuk berikatan dengan antibodi.
Setelah diinkubasi selama 3 jam pada suhu ruang, sampel
didekantasi. Estradiol-17B yang telah berlabel diukur dengan gamma counter. Jumlah
estradiol-17P
di
dalam
sampel
ditentukan
dengan
cara
membandingkan jumlah count yang diperoleh dengan kurva kalibrasi.
b. Peneraan indeks maturasi (maturation Wex/MI) Indek maturasi ditentukan berdasarkan persamaan berikut (Alfaro ef a/. Induk TKG 111 & IV 2004): MI (?/+ x 100 Total induk
c. Peneraan gonado somatic index (GSI) atau ovarian index (01) dan hepato
somatic index (HSI).
Pada waktu pantau (awal dan akhir percobaan), sampel induk yang telah ditimbang dibedah untuk dikeluarkan gonad dan hepatopankreasnya. Gonad dan hepatopankreas diletakkan pada kertas tisue selanjutnya ditirnbang dengan timbangan digital. Indeks Ovari / ovarlan ~ n d u(01)ditentukan dengan rumus (Longyant et al. 2003): (;.TI 10 1 (Yo) =
bobor gonad xl00 hohor rlrbrrh
Hept~ .vornut~cindex ( H S I ) ditentukan dengan rumus H S I ( %) =
hohor hepuropankrra.~ xl00 hobor ruhuh
Gonad yang telah ditimbang difiksasi dalam larutan Davidson selama 24 jam selanjutnya dimasukkan ke dalam botol sampel yang berisi alkohol70%. d. Peneraan tingkat kematangan gonad Tingkat kematangan gonad ditentukan secara morfologi yang didasarkan pada perubahan bentuk dan warna ovari, adapun tahapan tingkat kematangan gonad (ovari) L. vannamei adalah sebagai berikut (Yano 1988 yang diacu dalam Vaca dan Alfaro 2000): Tahap I. Gonad transparan dan belum dapat dibedakan Tahap 11. Gonad mnulai tampak menyerupai garis tipis sepanjang dorsal Tahap Ill. Gonad tampak lebih tebal dan berwama kuning Tahap IV. Gonad tampak besar ,melebar dan berwania orange tua. Selain
berdasarkan
morfologi,
tingkat
kematangan
gonad
P. vunrzamei juga ditentukan berdasarkan analisis histologi gonad. Gonad
yang telah difiksasi didehidmsi dengan etanol dan dijemihkan dengan kloroform. Contoh gonad kemudian diembeding dalam campuran parafinparaplas selanjutnya dipotong menggunakan mikrotorn dengan ketebalan 5 pm dan diberi warna dengan pewarna hematoxylin-eosin. Preparat histologi diamati dengan mikropkop cahaya untuk ditentukan sebaran oosit pada berbagai tingkat perkembangan gonad. Adapun kriteria tahap perkembangan gonad udang P. vannamei adalah s e b a e berikut (Medina et al. 19%): 1 . Tahap 1 (previtellogenic) Ovari hanya mengandung oogonia dan oosit pravitelogenesis.
2. Tahap 2 (awal vifellogenic) Pada ovari tampak oosit pada tahap awal vitelogenesis dan sitoplasma mengalami peningkatan ukuran secara signifikan. 3. Tahap 3 ( Akhir vitellogenic)
Ovari mengandung oosit yang ukurannya besar dengan sitoplasma yang telah terisi oleh butiran kuning telur. 4. Tahap 4 ( matang)
Pada ovari banyak terdapat oosit yang telah matang sempurna yang dicirikan dengan terbentuknya struktur protein cortical rods. Selain terdapat batasan yang jelas antara sitoplasma dengan sel bagian tepi. 5. Tahap 5 ( Spent1 degenerasi)
Pada ovari sebagian besar oositnya mengalami atresia (degenerasi). e. Peneraan kelangsungan hidup induk Tingkat kelangsungan hidup induk ditentukan berdasarkan persamaan SR (%) = (Nt/No) x 100 SR = Survival rote (tingkat kelangsungan hidup) No = Jurnlah individu pada waktu t-O Nt
= Jumlah individu pada
waktu t
f. Peneraan pertumbuhan Parameter pertumbuhan diukur berdasarkan laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate - SGR) yang tentukan dengan persamaan :
SGR = 100(ln W2 - In W1)/T SGR = Laju pertumbuhan spesifrk (glhr) W1
= Bobot
induk pada pengamatan pertama (g)
W2
= Bobot
induk pada pengamatan kedua (g)
T
=
Periode waktu pengukuran
Bobot induk ditentukan dengan menimbang masing-masing induk dengan timbangan digital. Penimbangan dilakukan pada kondisi basah. g. Peneraan diameter oosit
Gonad yang mengandung oosit dimasukkan ke dalam lamtan formaldehide 5% selama dua hari untuk memperkuat dan menstabilkan oosit serta memisahkan oosit satu sama lainnya. Pengukuran oosit untuk setiap
perkembangan gonad dilakukan pada bagian depan, tengah dan belakang. Penentuan diameter oosit dilakulian dengan mengukur diameter 100 butir telur kemudian dibuat sebaran fiekuensi dan dismbusi normalnya. Pemeriksaan oosit dilakukan di bawah mikroskop binokuler yang dilengkapi dengan mikrometer dengan ketelitian 0,8 mikron. Pada percobaan 2, penentuan diameter oosit dilakdan secara histologis. h. Peneraan karakteristik protein Vg dan protein kuning telur (Vt) Karakteristik protein Vg dan protein kuning telur (Vt) ditentukan pada beberapa induk dengan TKG berbeda.
Karakteristik Vg ditentukan
berdasarkan sampel dari hepatopankreas dan, hemolim sedangkan Vt ditentukan berdasarkan sampel ovari.
-
Ekstrak hemolim
Hemolim diambil pada pangkal kaki jalan ke-5 menggunakan spuit berukuran 1 ml yang telah dibilas dengan natrium sitrat 3,8%. Sampel hemolim disentrifbse (10.000 g, 4 "C) selama 10 menit. Supernatan kemudian disimpan pada suhu -20 O C untuk selanjutnya dianalisis pola proteinnya.
- Ekstrak ovari dan hepatopankreas Oosit yang berasal dari ovari dan hepatopankreas ditambah larutan buffer (0,05 M Tris, ), 5 M NaCl dan 5 mh4 E T A (pH 7) dengan perbandingan 0,l d l gram.
Campuran selanjutnya dihomogenkan dengan homogenizer.
Sampel dipurifikasi dengan amonium sulfat. Hasil endapan diencerkan lagi dengan buffer (100 p1) dan disentrifuse (10.000 g, 4 OC) selama 15 menit. Supernatan kemudian di simpan pada suhu -20 untuk dianalisis pola proteinnya.
-
Elektroforesis
Untuk identifikasi protein dilakukan separasi dengan non-denaturasi (NativePAGE) pada 5 % gel poliakrilamid dalam buffer Tris-glisin (pH 8.3). Identifikasi sub unit vitelin dilakukan dengan sodium dodecyl sulfate polyaciyfamide gel electrophoresis (SDS-PAGE: 7 3 % gel poliakrilamida)
(Laernmli 1970). Untuk N-PAGE, gel diwarnai dengan arnidoblack, sedangkan untuk SDS-PAGE, gel diwarnai dengan 1% coomasie brilliant blue R250. Bobot protein ditentukan dengan meinbandingan jarak pergerakan
..
Volume penyuntikan adalah adalah 100 pL/induk dengan konsentrasi sesuai desain perlakuan. Pada kelompok induk yang diablasi, pemberian dilakukan 3 hari setelah ablasi. 4.
Pemeliharaan induk
Setelah disuntik dengan estradiol-17P, udang uji ditempatkan kembali dalam wadah percobaan. Air pemeliharaan berasal dari laut yang telah di saring dengan salinitas 32-33 ppt dan temperatur 27-28 OC (Arcos
el
al. 2003). Selama
pemelihman induk diberi pakan 5 kali perhari sebesar 15-20% biomas dengan komposisi 40 % cumi, 40% kerang, 15% polychaeta dan 5% pelet (Taylor et a/. 2004). Agar kondisi kualitas air tetap baik, pemeliharan dilakukan dengan sistim flow through. Debit air yang digunakan adalah 5-7 liter per menit. Selain itu
dilakukan aerasi dan kotoran yang ada di dasar bak dibersihkan setiap hari dengan c m disifon. Untuk mengurangi pencahayaan, di atas bak diberi shelter daun kelapa. Analisis Data 1. Uji tingkat perbedaan kecepatan matang gonad, GS1, HSI, diameter telur,
dan kandungan hormon dilakukan dengan analisis satu arah antar perlakuan.
Apabila signifikan dilakukan uji Tukey dengan, tingkat
kepercayaan 95%. 2. Parameter utama sebagai penguji hipotesis adalah kecepatan matang gonad, HSI, GSI, diameter sel telur dan kandungan hormon. Analisis ditujukan pada pengujian untuk melihat hubungan a n t m dosis pemberian hormon (estradiol-17J3)dengan perkembangan gonad. 3. Profil hormon estradiol-179 dianalisis secara deskriptif berdasarkan tren
pada grafik. 4. Karakteristik vitelogenin dianalisis secara deskriptif berdasarkan pola pita
protein dan berat molekulnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil A. Percobaan 1
Berdasarkan hasil pengamatan pada uji kisaran dosis estradiol-17P pada induk udang putih dipemleh hasil seperti pada Tabel 1. Dari Tabel 1 terlihat bahwa kematian 100 % terjadi pada pemberian dosis 1,00 pg/g dan 0 3 0 pg/g bobot tubuh.
Kematian pada perlakuan 1,00 pg!g terjadi 2-6 jam setelah
pemberian, sedangkan pada perlakuan 0,50 pg/g kematian terjadi antara 6-1 2 jam setelah pemben'an. Tanda klinis kematian adalah udang berenang terus dm berputar berkeliling di dalam bak kemudian ke dasar setelah itu mati. Tanda klinis ini terjadi sejak awal penyuntikan hormon. Kematian pada perlakuan 0,10 @g Induk yang hidup mengalami
dan 0,25 Clg/g terjadi pada saat molting.
perkembangan gonad, tetapi hanya 1 ekor dari masing-masing perlakuan 0,10 pg/g dan 0,25 pglg yang mampu berkembang hingga TKG 111. Tabel 1 Tingkat kematian (mortalitas) dan perkembangan gonad induk udang setelah 5 hari penyuntikan Jumlah Tingkat Perkembangan Gonad Perlakuan Induk (ekor) Mortalitas (%) I I1 I11 IV olio ~ d g 7 14,3 3 2 1 025 ~ d g
7
42,9
2
1
1
0950 ~ g / g
7
100
-
-
1 900
7
100
-
-
-
Konsentrasi hormon
Pemberian hormon estradiol-17P melalui penyuntikan dapat meningkatkan kandungan estradiol-17P dalam tubuh induk udang putih (L. Vannamei). Hal ini terlihat pada peningkatan konsentrasi estradiol-17p dalam hemolim (Gambar 3). Konsentrasi hormon pada induk yang diberi perlakuan umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok induk tanpa perlakuan pemberian homon (kontrol) (P4,05). Konsentrasi hormon estradiol-17J3 rata-rata dalam hemolim induk udang pada awal pengamatan adalah
*
164,2 pg/ml.
Pada hari ke-3
konsentrasi hormon estradiol-17P pada perlakuan 0,05, 0,10 dan 0,25 pg/g bobot tubuh meningkat menjadi 608,7 17,718,442 dan 806,117 pg/ml. Setelah hari ke-3 konsentrasi estradiol-17P dalam hemolim cenderung inenurun hingga akhir pengamatan. Pada akhir pengamatan, konsentasi estradiol-17P dalam hemolim relatif sama. Konsentrasi hormon estradiol-17P dalam hemolim pada kontrol berfluktuasi, cenderung naik tetapi tidak berbeda (P>0,05) dengan kisaran konsentrasi 252,548-438,955 pg/ml.
1
hari ke
Gambar 3 Konsentrasi hormon estradiol-17P dalam hemolim induk udang L. vannamei dengan beberapa perlakuan dosis penyuntikan hormon estradiol-17P.
Perkembangan Gonad Pada studi ini, induk yang telah diablasi dan diberi hormon estradiol-17P maupun yang tidak diberi hormon mengalami perkembangan gonad. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan indeks maturasi selama pemeliharaan (Gambar 4).
6
7
8
9
10
11
12
Hari ke-
Gambar 4 Indeks maturasi pada berbagai perlakuan dosis hormon estradiol-17(3
Kematangan gonad induk mulai terjadi pada hari ke-7 dan 8 serta mencapai maksimum pada hari ke-1 1 dan 12. Persentase makslmum induk yang mencapai TKG 111 dan IV, yang ditunjukkan dengan nilai indeks maturasi pada kontrol (dosis 0,00 pg/g bobot tubuh) adalah 37,5%, sedangkan pada penyuntikan estradiol-17p dosis 0,05 pg/g, 0,10 pg/g d a 0,25 ~ ~ pglg adalah 44,44%, 75,00% dan 66,67%. Dibandingkan dengan kontrol, nilai indeks maturasi pada perlakuan dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g relatif lebih tinggi (P
Hari ke-11 pada kontrol dan perlakuan dosis 0,05 pg/g terjadi
percepatan perkembangan gonad sehingga komposisi TKG antar perlakuan relatif sama. Pada hari ke-12, meskipun pada perlakuan dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g menunjukkan pergeseran komposisi ke TKG I V yang lebih besar tetapi tidak siknifikan. Pada grafik kecepatan perkembangan gonad (Gambar 6), penyuntikan dosis 0,10 pglg dan 0,25 pg/g bobot tubuh memberikan respon waktu yang diperlukan untuk mencapai TKG I dan I1 lebih cepat dibandingkan dengan kontrol (P<0,05), sedangkan pada dosis 0,05 pg/g tidak berbeda nyata (P>0,05). Untuk mencapai TKG I pada dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g diperlukan waktu 4 dan 5 hari, sedangkan pada kontrol dan dosis 0,05 pg/g diperlukan waktu 8 hari. Untuk mencapai TKG I1 diperlukan waktu 6-7 hari pada dosis 0,10 pglg dan 0,25 pg/g, sedangkan pada kontrol dan dosis 0,05 pg/g adalah 10-11 hari. Pada semua perlakuan, tidak terdapat perbedaan waktu yang nyata untuk mencapai TKG 111 dan IV ( P>0,05). Pada dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g, TKG 111 dicapai dalam waktu 9 hari sedangkan pada kontrol dan dosis 0,05 pglg diperlukan waktu 11 hari. Perbedaan waktu ini semakin mengecil saat mencapai TKG IV. Waktu yang
perlukan untuk mencapai TKG IV pada kontrol dan dosis 0,05 pg/g adalah 12 hari sedangkan pada dosis 0,10 pglg dan 0,25 pg/g diperlukan waktu 1 1,5 hari.
Hari Ke-6
ow;,
om;,
Hari ke-7
0
0im
om1&
om'Mg
oldm
on&
C-PmWhQ
Hari ke-8
Hari ke-9
Hari ke- 1 1
Hari ke- 10
odo~,
oorl~g
01blp.g
oam
Dcsa-=
Hari ke- 12 Gambar 5 Diagram keragainan perkernbangan gonad L. vannamei hari ke-6 sld 12 pada perlakuan dosis estradiol-17$, 0,00 pg/g (kontrol) , 0 , 0 5 pg/g, 0,10 pg/g dan 0,25 pglg bobot tubuh.
I
I1
111
IV
TKG
Gambar 6 Kecepatan perkembangan gonad pada penyuntikan dosis estradiol178,0,00 p d g (kontrol) ,0,05 pdg, 0,10 p d g dan 025 p d g bobot tubuh. Analisis histologi gonad menunjukkan bahwa pada TKG I, di dalam gonad terdapat b h l sel telur (oogonia) dan sel telur tahap pre-vitelogenesis dengau diameter berkisar 19,2 - 57,6 pm. Pada tahap pravitelogenesis, sel telur (oosit) telah tampak nukleus dan beberapa nukleolus dalam nukleoplasma. Nukleolus umumnya berada di bagian tepi nukleus. Keberadaan nukleolus tampak seinakm jelas pada perbesaran lOOOx (Gambar. 8.A). Pada TKG I1 (Gambar 7.B), selain terdapat oosit pravitelogenesis juga terdapat oosit tahap awal vitelogenesis. Pada tahap ini ukuran sitoplasma jauh lebih besar dibandingkan dengan tahap sebelurnnya. Diameter oosit berkisar
antara 76,6
-
%,0 pm, tetapi fi-ekuensi terbanyak pada diameter 86,8 pm.
Sitoplasma mulai terisi ole11 butiran-butiran kuning telw sehingga tampak terjadi perubahan m
a oosit. Pemberian hornon estradiol-17$ dengan dosis 0,10 pglg
dan 0,25 pg/g bobot tubuh memberikan respon peningkatan proporsi jumlah tipe oosit awal vitelogenesis yang lebih besar dibanding kontrol. Proporsi jumlah tipe oosit awal vitelogenesis pada kontrol adalah 33%, sedangkan pada dosis 0,05 pg/g, 0,10 pg/g dm 0,25 pg/g adalah 39O/6,53% dan 48%. Pada TKG I11 terdapat tiga tipe telw yaitu pravitelogenesis, awal vitelogenesis dan akhir vitelogenesis. Pada fase akhir vitelogenesis, nukleus masih tampak tetapi nukleolus sudah tidak tampak lagi. Selain itu teriihat butiranbutiran besar protein yang merupakan gabungan dari butiran-butiran protein kecil yang menyebar di dalam sitoplasma. Diameter oosit fase ini berkisar antara 105,6-
153,O pm. Perbedaan respon perlakuan terjadi pada proporsi jumlah oosit tipe akhir vitelogenesis. Proporsi oosit tipe akhir vitelogenesis pada kontrol dan
perlakuan estradiol-17$ dosis 0,05 pg/g adalah 23%, sedangkan pada dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pglg masing-masing adalah 37% dm 35%.
Gambar 7 Perkembangan gonad udang putih (L. vannamei). Histologi dilakukan dengan perwarnaan hematoxilin-eosin. A. TKG I, B. TKG 11, C. TKG 111dan D. TKG IV. pre (pravitelogenesis),oog (oogonia), Av (awal vitelogenesis), Ahv (akhir vitelogenesis), n (nukleus), nu (nukleolus) SF (sel folikel), CRs (cortical rods). Tipe oosit yang terdapat pada TKG IV yaitu pravitelogenesis, akhir vitelogenesis dan oosit matang dan hanya sebagian kecil yang masih dalam tahap awal vitelogenesis. Pada oosit yang matang, butiran-butiran besar protein di dalam sitoplasma semakin besar dan banyak. Oosit matang dicirikan dengan munculnya protein cortical rods (CRs) (Gambar 8.D). Selain itu inti mulai melebur dan beberapa sudah tidak tampak lagi. Diameter oosit berkisar antara 201,6 - 2 11,2 pm. Pemberian estradiol-17$ berpengaruh terhadap peningkatan jumlah oosit matang. Proporsi oosit matang pada pemberian estradiol-17$ dosis 0,05 pg/g,
dosis 0,10 ~ g / gdm 0,25 pg/g masing-masing adalah 22%, 30% dan 26%, sedangkan pada kontrol sebesar 20%.
Gambar 8 Perkembangan sel telur (oosit) pada L. vannamei. A. Pravitelogenesis, B. Awal vitelogenesis, C. Akhir vitelogenesis, dan D. Matang, n (nukleus), nu (nukleolus), st (sitoplasma), CRs (cortical rods), prot @rot. kuning telur). Tabel 2 Sebaran oosit pada berbagai perlakuan dosis hormon estradiol-17P (n=3) Tipe Oosit Pravitelogenesis(%)
Awal vitelogenesis (%) Akhir vitelogemsis (%) Matang (%)
kontrol
I
n
111
100
67
34
33"
44 23'
0,05 &g I 11 III 23 100 61 31 8 3Y 46 49 23"
45
0,10 &g 0,25 &g I n III IV I rr m 100 47 21 19 100 52 25 53b 42 5 4xb 40 37b 46 3jh
20"
22'
3ob
IV
IV 24 9
rv 23 8 42 26b
Ket. Perbedam h m f menunjukkan berbeda nyata (W0,05)
Diameter oosit Berdasarkan uji normalitas Kolmogorov-Smirmov, diameter oosit pada semua perlakuan menyebar normal (P < 0,05) (Gambar 9). Kisaran diameter oosit setiap tahap perkembangan gonad pada semua perlakuan relatif sama. Hal ini ditunjukkan dengan rentang kurva yang tidak jauh berbeda. Adanya perbedaan pengaruh perlakuan terhadap ukuran oosit terlihat cukup nyata pada TKG I dan 11.
Gambar 9 Sebaran fiekuensi diameter oosit pada TKG dan waktu (t) tertentu.
Hal ini ditunjukkan dengan puncak kurva sebaran normal diameter oosit yang lebih bergeser ke kanan. Selain itu frekuensi diameter oosit >60 pm pada perlakuan 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g lebih tinggi dibanding kontrol dan perlakuan dosis 0,05 pg/g bobot tubuh. Rata-rata diameter oosit TKG I pada kontrol, perlakuan 0,05 pglg, 0,10 pg/g dan 0.25 pglg masing-masing adalah 39.45 pm, 38,88 pm, 45,50 pm dan 46.70 pm. Perlakuan dosis 0.10 pglg dan 0 2 5 pglg memberikan peningkatan diameter telur yang lebih besar (P < 0,Ol). Hal yang sama juga terjadi saat TKG 11, rata-rata diameter cwsit pada perlakuan dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g relatif lebih besar (69,64 pm dan 65,86 pm)dibanding denpn kontrol dan perlakuan dosis 0,05 p@g bobot tubull (57.3 1 pm dan 56.64 pm). Pada TKG 111, perbedaan rata-rata diameter oosit menurun tetapi masih cukup siknifikan (P=0,058). Pada TKG IV, rata-rata diameter oosit di semua perlakuan tidak berbeda nyata, tetapi frekuensi diameter oosit >200 pm pada perlakuan dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g lebih tinggi dibanding kontrol dan perlakuan dosis 0,05 clglg. B. Percobaan 2
Penyuntikan estradiol-17j3 meningkatkan kandungan estradiol-17P dalam hemolim induk udang (Gambar 10). Sesaat sebelum penyuntikan, kandungan estradiol-17f3 rata-rata dalain hemoliin adalah 472,4 13 pg/ml. Tiga hari setelah penyuntikan, kandungan estradiol-17P dalam hemolim pada perlakuan satu dan dua meningkat menjadi 699,181 pdml dan 707,299 pg/ml, sedangkan kontrol hanya 509,694 pglml. Hari ke-6 konsentrasi estradiol-17$ menurun. Pada kontrol menurun menjadi 328,575 pg/ml dan pada perlakuan satu dan dua menurun menjadi 618,574 pglml dan 567,599 pg/ml. Penyuntikan ulang pada perlakuan dua dengan dosis yang sama pada awal perlakuan rnenyebabkan konsentrasi estradiol-17P meningkat menjadi 709,724 pglml. Konsentrasi hormon estradiol178 pada perlakuan satu relatif stabil dan menurun pada hari ke-12. Pada kontrol, konsentrasi estradiol-17j3 naik menjadi 389,323 pglml dan relatif stabil hingga hari ke- 12. Penyuntikan tunggal estradiol-17$ dengan dosis 0,10 pg/g bobot tubuh memberikan respon terhadap peningkatan GSI (P<0,05). Penyuntikan ganda
dengan dosis yang sama memberikan respon peningkatan GSI yang lebih tinggi dibanding penyuntikan tunggal dan kontrol (P<0,05). f3aik penyuntikan tunggal maupun ganda tidak memberikan perbedaan respon yang nyata terhadap peningkatan HSI (Tabel 3). Pemberian estradiol-17P juga tidak meinberikan respon berbeda pada perhunbuhan spesifik (P>0,05). Tingkat kelangsungan hidup pada semua perlakuan dan kontrol adalah 100%.
--c- Suntik 2x
0
3
6
9
12
Hari ke-
Gambar 10 Konsentrasi estradiol-17P dalam hemolim induk L. vannamei dengan perlakuan penyuntikan horrnon estradiol- 178 dosis 0,10 pg/g bobot tubuh melalui penyuntikan tunggal dan ganda. Tabel 3 Nilai gonado somatic index (GSI) dan hepato somatic index (HSI) L. vannamei pada perlakuan pemberian estradiol-170 dosis 0,10 pg/g dengan penyuntikan tunggal dan ganda Periakuan
GSI (%) A d Akhir
HSI (%) Awai Akhir
Bobot (g) awal akhir
0 oosit
(pm)
A GSI
AHSI
SGR
Kontrol 0,809 0.994 1,780 2,032 38,6 39,O 14.56" 0,185" 0,252 0,090a I x Suntik 0,795 1,110 1,751 2,071 39,2 39,6 16.02a 0,316~ 0,3201 0,092a 2 x Suntik 0,803 1,256 1,780 2,155 38,l 38,6 23.97b 0,453' 0,37Sa 0,09Sa Ket. Huruf yang berbeda pada kolom yang sarna menunjukkan berbeda nyaia (P<0,05), SR pada semua perlakuan dan kontrol addab 100%.
Penyuntikan ganda estradiol-17$ terhadap induk L. vannumei meningkatkan rata-rata diameter oosit dibandingkan dengan kontrol (P<0,05), tetapi pada penyuntikan tunggal tidak berbeda (P>0,05).
Rata-rata diameter oosit pada
kontrol, penyuntikan tunggal d m ganda masing-masing adalah 14,56, 16,02 dm Berdasarkan pengamatan histologi, pada awal perlakuan umumnya gonad belurn berkembang (Gambar ll.a).
Gonad berisi lapisan germinal yang
merupakan bakal sel oogonia. Pada akhu perlakuan (12 h), baik kontrol maupun perlakuan mengalami perkembangan gonad. Pada kontrol, umumnya di
dalam ovari masih banyak terdapat oogonia yang belum berkembang (Gambar 11.a), sedangkan pada induk yang diberi penyuntikan estradiol-17$ (tunggal dan ganda), oogonia pada bagian tengah ovari telah berkembang menjadi oosit. Pada umumnya oosit masih berada pada tahap pravitelogenesis. Dibandingkan dengan penyuntikan tunggal, penyuntikan ganda memberikan respon perkembangan gonad yang lebih besar. Pada perlakuan penyuntikan ganda, beberapa oosit telah berkembang ke tahap awal vitelogenesis.
Gambar 11 Kondisi umum gonad pada induk L. vannamer dengan perlakuan pemberian hormon estradiol-I 7P dosis 0,10 pg/g bobot tubuh melalui penyuntikan tunggal dan ganda. a. Kondisi gonad sebelum perlakuan (perbesaran 1OOx dan 400x), b. Kondisi setelah perlakuan pada kontrol(200x), c. Kondisi pada perlakuan penyuntikan tunggal(200x), dan d. Kondisi pada perlakuan penyuntikan ganda. (200~).Oog (oogonia), pre (pravitelogenesis), Av ( awal vitelogenesis) Berdasarkan kurva sebaran fiekuensi diameter oosit (Gambar 12), tampak pada perlakuan penyuntikan tunggal tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Kisaran diameter oosit relatif sama yaitu antara 4,8-28,s pm, walaupun gekuensi diameter oosit pada selang 16-24 pm lebih besar tetapi tidak siknifikan. Kisaran diameter oosit pada penyuntikan ganda adalah 9,6-48,O pin. Tatnpak pada gambar, kurva normal diameter oosit pada penyuntikan ganda lebih lebar dengan puncak lebih ke kanan. Hal ini menunjukkan bahwa gonad mempunyai kisaran ukuran yang lebih lebar dengan ukuran rata-rata diameter yang lebih besar.
Kisaran dan rata-rata diameter oosit perlakuan penyuntikan ganda relatif lebih besar dibanding kontrol dan perlakuan penyuntikan tunggal (P<0,05). 1
r--
i
i
1 %
38
: 11. 1
I3.V
IOLI
IW
I. 14 10 6
2 0
8
16
24
3
40
48
- d l Cl t r a r )
Gambar 12 Sebaran fiekuensi diameter oosit induk L. vannamei tanpa ablasi dengan perlakuan penyuntikan hormon estradiol- 17$ do& 0,10 pg/g bobot tubuh melalui penyuntikan tunggal dan ganda. Karakteristik protein vitelogenin (Vg) dan protein kuning telur (Vt) Fraksinasi protein hemolim, protein kuning telur dan hepatopankreas dilakukan dengan ultrasentrifuse. Berdasarkan analisis N-PAGE, diperoleh karakteristik protein seperti pada Gambar 13. Hasil elektroforesis menunjukkan bahwa pada hepatopankreas dan hemolim dideteksi tipe protein yang sama, masing-masing terdiri dari 2 unit. Pada ovari terdeteksi sebuah unit protein yang diduga merupakan protein vitelogenin.
Perkiraan bobot protein tidak dapat
ditentukan karena bobot marker protein jauh lebih rendah. Pada hemolim jantan tidak terdeteksi adanya protein yang sama seperti pada ovari, hepatopankreas dan hemolim betina.
Gambar 13 Analisis N-PAGE (5% gel poliakrilamid dengan pewarna amido black). M (marker), ovari (I), hemolim betina TKG 1 (2), hemolim betina TKG I11 (3), hemolim betina TKG I11 dengan penyuntikan estradiol-17P (4), hemolim jantan (9,hepatopankreas betina (6).
Gambar 14 SDS-PAGE (7,5% gel poliakrilamid dengan pewarna coomasie brillian! blue). M (marker), ovari (1 ), hemolim Mina TKG 1 (2), hemolim betina TKG 111 (3), hemolim betina TKG I11 dengan penyuntikan estradiol-17$ (4), hemolim jantan (9,hepatoankreas betina (6). Karakteristik protein hemolim induk yang diberi estradiol-17$ maupun yang tidak diberi, tidak menunjukkan perbedaan baik pada ketebalan pita maupun jumlah pita yang muncul. Berdasarkan analisis dengan SDS-PAGE (Gambar 14), pada ovari induk betina (lane I), terdapat 5 sub unit protein dengan perkiraan bobot 95, 98, 109
kDa dan dua sub unit protein dengan bobot > 118 kDa. Pada hemolim (lane 2,3, dan 4) dan hepatopankreas (lane 6) terdapat dua sub unit utama dengan perkiraan bobot
95 dan 98 kDa, pada hemolim induk jantan (lane 5) tidak terdeteksijteberadaan protein jenis tersebut. Pembahasan
Pada penelitian pendahuluan, pemberian estradiol-17$ dengan dosis 0,5 pg/g dan 1,O pg/g menyebabkan kematian pada induk L. vannamei sedangkan pada dosis 0,l pg/g dan 0,25 pg/g induk relatif toleran dan gonad dapat berkembang normal.
Pada hewan tingkat tinggi, estradiol-l7$ tidak hanya berperan dalam reproduksi, tetapi juga berpengaruh pada sistem kerja otot polos. Otot-otot polos menjadi lebih aktif dan mudah terangsang akibat pengaruh langsung estradiol-17$ terhadap produksi prostaglandin yang berperan dalam kontraksi otot polos (Riani 2000). Produksi prostaglandin juga terdapat pada udang penaeid (Tahara dan Yano 2003).
Estradiol- 17P dan prostaglandin yang dihasilkan akan bekerja sinergi menghasilkan kontraksi otot yang bertambah kuat. Berdasarkan ha1 tersebut, diduga pemberian estradiol-17P dengan dosis > 0.5 pg/g bobot tubuh induk menyebabkan kontraksi yang kuat (tidak normal) pada organ-organ yang mempunyai otot polos seperti alat pernafaan dan peredaran darah sehingga mengakibatkan terjadinya kematian. Selain itu estradiol-170 berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas N ~ + - K + - A T P(Gosh ~s~
dan Ray 1992). Enzim ini berperan penting dalam osmoregulasi. Aktivitas ~a+-K*ATPase akan meningkat saat kondisi hipersalin, sehingga peningkatan aktivitas enzim akibat pemberian estradiol-17$ akan menyebabkan gangguan osmoregulasi yang dapat menyebabkan kematian. Pada dosis optimum, estramol-17$ akan berperan dalam proses vitelogenesis, sehingga gonad dapat berkembang. Atas dasar hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dosis estradiol-17$ yang cukup aman bagi induk udang putih adalah 5 0,25 pglg bobot tubuh. Pemberian hormon estradiol-17$ melalui penyuntikan cukup efektif dalam meningkatkan kandungan estradiol-17P dalam tubuh induk udang putih. Estradiol17P yang disuntikkan ke dalam tubuh udang akan tersirkulasi dalam hemolim sehingga kandungan estradiol-17P menjadi lebih tinggi. Selain itu, di dalam hemolim induk juga terdapat estradiol-17$ endogenous atau dari pakan yang dimakan (Okumura dan Sakiyama 2004). Hal ini didasarkan atas keberadaan estradiol- 17P pada hemolim kelompok induk yang tidak diberi perlakuan (kontrol). Proses biosintesis estradiol-17P di dalam tubuh udang belum diketahui secara pasti. Biosinteis estradiol-17$ juga terdapat pada beberapa krustase lainya seperti
Macrobrachrum rosenberg~r(Ghosh dan Ray 1993), Penaeus monodon (Fairs et al. 1990), dan Pandanus kesslerr (Quinitio et al. 1991). Pada vertebrata, estradiol- 17$ diproduksi dalarn sel granulosa dari sel folikel ovari, sehingga keberadaan sel folikel ovari pada udang diyakini juga menjadi tempat sintesis estradiol-l7$. Hal ini diungkapkan oleh Yano (1998) bahwa estradiol-17$ disintesis dalam sel folikel ovari udang. Kemampuan ovari udang untuk mensintesis estradiol-17$ ditunjukkan dengan adanya aktivitas beberapa enzim yang berperan dalam sintesis estradiol-17f3 antara lain 17a-Hidroksilase, C17-20liase, 17P-Hidroksisteroid dehidrogenase (17$-HSD)
dan aromatase (Sumavielle et ul. 2003). Kandungan estradiol-l7$ dalam hemolim tidak berbeda nyata selama perkembangan gonad, ha1 ini disebabkan estradiol-17P bukan hormon utama dalam perkembangan gonad udang putih. Menurut Laufer (1997) hormon utama yang berperan dalam vitelogeneis L. vunnamer adalah methyl furnesoute (MF). Menurut Yano (1998), estradiol-17$ berperan sebagai perangsang
vitelogenesis dalam ovari (vrtellogenesrs sirmulutrng ovuriun ltormone-VSOH). Fluktuasi yang terjadi dan tupang tindih grafik kandungan estradiol-17$ dalam hemolim (Gambar 3) disebabkan tiap tahap sampling dilakukan pada individu yang berbeda, sedangkan setiap individu mernpunyai kemampuan sintesis estradiol-17$ yang berbeda-beda. Keadaan ini menyebabkan variasi kandungan estradiol-17$ yang cukup tingg, baik antar individu alam perlakuan maupun antar individu antar perlakuan. Pada akhir pengamatan terjadi penurunan konsentrasi estradiol-17$ di semua perlakuan. Hormon steroid yang telah sampai ke organ target dan berperan sebagaimana fungsinya, akan dimetabolisme atau mengalami proses inaktivasi. Pada mamalia proses inaktivasi hormon steroid terjadi pada ginjal dan hati oleh kelompok enzim glukoronosiltransferase dan sulfotransferase. Pada ikan salmon terdapat enzim karbonil reduktase yang berperan dalam inaktivasi 17, 20$-P dan 5a serta 5$dihidroksitestosteron. Metabolit hormon steroid akan diekskresi melalui insang (dalam bentuk steroid bebas), empedu (bentuk glukoronid-steroid terkonjugasi) dan urin (bentuk sulfat) (Young et ul. 2005). Berdasarkan ha1 tersebut diduga penurunan konsentrasi estradiol-17$ pada tubuh udang juga akibat proses inaktivasi atau metabolisme estradiol-17b dalam tubuh, tetapi enzim yang berperan dalam proses metabolisme atau inaktivasi belurn diketahui. Pemberian estradiol-17$ pada induk udang putih yang telah mengalami ablasi memberikan respon positif terhadap perkembangan gonad. Secara urnurn jika dibandingkan dengan kontrol, pemberian estradiol-17$ pada dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g bobot tubuh menyebabkan perkembangan gonad lebih cepat. Hal ini
terlihat dari indeks kematangan yang lebih tinggi pada akhir pengamatan. Estradiol17$ larut dalam lemak dan dapat langsung masuk ke &lam sel serta berikatan
dengan reseptornya dalam inti. Komplek steroid dan reseptor tersebut menyebabkan peningkatan ekspresi gen pengendali sintesis Vg (Tiu dan Chan 2005), kemudian meningkatkan aktivitas RNA dan pembentukan mRNA yang selanjutnya meningkatkan sintesis protein. Berdasarkan pengamatan Ghosh dan Ray (1992), secara in vitro pemberian hormon estradiol-17P mempercepat sintesis energi melalui transport ion dan pengaktifan metabolisme hepatopankreas. Meningkatnya metabolisme hepatopankreas diduga akan mempercepat sintesis Vg yang kemudian ditransfer ke oosit. Pada udang penaeid, estradiol-17P akan merangsang seI-seI folikel ovari untuk melakukan vitelogenesis. Selain itu estradiol-17$ diduga juga memberikan feedback positif terhadap sintesis serotonin yang akan merangsang sekresi GSH oleh ganglion toraks (Yano 1998). Analisis lebih lanjut pada kecepatan perkembangan gonad tiap individu menunjukkan bahwa pengaruh penyuntikan estradiol-17$ tampak berbeda sangat nyata pada awal perkembangan gonad yaitu pada TKG 1 dan 11. Hal ini juga tampak pada perbedaan Qameter oosit yang siknifikan antar perlakuan. Ini menunjukkan bahwa
estradiol-178
berperan
penting
pada
tahap
awal
vitelogenesis
@revitellogenesis). Pada penelitian sebelumnya oleh Tsukimura dan Kanemoto
(199 1), pemberian hormon steroid (17-a-Kidroksiprogesteron) terhadap oosit L. vannanzei secara in vitro mampu merangsang terjadinya endogenous vitellogenesis.
Hormon 17-a-Hidroksiprogesteron merupakan prekursor testosteron dan dengan bantuan enzim aromatase akan dikonversi menjadi estradiol-17P. Adanya aktifitas 17$-HSD dan aromatase pada ovari dan hepatopankreas udang dikemukakan oleh Summavielle er al. (2003). Pada awal perkembangan gonad, estradiol-17P akan merangsang sel folikel ovari dalam sintesis prekursor Vg yang akan digunakan dalam proses vitelogenesis (Yano 1 998). Protein tersebut diduga merupakan komponen protein cortical rods (CRs) yang muncul pada akhir vitelogenesis. Yamano et al. (2004) menyatakan bahwa protein CRs disintesis pada awal perkembangan ovari,
meskipun pembentukan stmkturnya terjadi pada oosit matang. Tidak terlihatnya perbedaan kecepatan perkembangan gopad pada TKG 111 d m IV diduga terkait dengan menurunnya konsentrasi estradiql-li'f) dabm &uh ihduk
akibat metabolisme. Turunnya kandungan estradiol-17$ dalam hemolim diduga menyebabkan kerja hormon terhadap organ target tidak optimal. Baclaski (2001) menyatakan bahwa hormon yang berperan besar pada tahap vitelogenesis sekunder (TKG I11 dan IV) L. vatanamei adalah nzetlzylfarnesotae (MF). Kandungan MF pada saat vitelogenesis sekunder meningkat pesat, ha1 ini diduga menyebabkan respon pemberian estradiol-l7P menjadi tidak terlihat. Meskipun pada TKG tidak terlihat adanya perbedaan waktu perkembangan gonad, tetapi ukuran oosit oosit pada perlakuan 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g relatif lebih besar dibanding kontrol dan perlakuan 0,05 pg/g.
Hal ini menunjukkan bahwa estradiol-l7$ juga berperan dalam
vitelogenesis sekunder meskipun peranannya tidak sebesar saat awal vitelogenesis. Pemberian estradiol-178 pada dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g bobot tubuh juga marnpu meningkatkan persentase oosit matang pada TKG IV (Tabel 2). Peningkatan presentase ini diduga terkait dengan kesiapan oosit saat memasuki tahap vitelogenesis sekunder (exogenous vitellogenesis). Tejadinya vitelogenesis primer (endogenous vitellogenesis) akibat rangsangan estradiol-17$ meningkatkan persentase oosit yang siap memasuki tahap vitelogenesis sekunder. Terjadinya vitelogenesis primer akan meningkatkan komponen protein CRs yang merupakan penciri oosit matang (Yamano ef al., 2004). Atas dasar tersebut diduga bahwa estradiol-17$ merangsang ovari untuk mensintesis CRs. Tidak adanya perbedaan waktu dan ukuran oosit pada TKG IV disebabkan pada tahapan ini pertambahan diameter oosit mulai menurun, yang terjadi adalah proses pembentukkan struktur CRs yang diperlukan saat pemijahan. Pola perkembangan sel telur pada kelompok induk antar perlakuan relatif sama. Pada setiap tahap perkembangan gonad terdapat sel telur dengan beberapa fase perkembangan yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa perkembangan oosit L. vunnamel berlangsung kontinyu. Hal yang sama juga terjadi pada udang windu (Ismail, 1992). Hasii ini dikuatkan pemyataan Quackenbush (2001) bahwa pada udang penaeid, proses oogenesis tej a d kontinyu sepanjang hidupnya. Penyuntikan ganda estradiol-170 dengan dosis 0,10 pg/g bobot tubuh pada induk L. vannamei tanpa ablasi mampu meningkatkan GSI dan rata-rata diameter
telur. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa pemberian estradiol-17f3 mampu merangsang erzdogenous v~telogerzesrspada oosit. Pemaparan gonad pada estradiol178 akan memberikan respon perkembangan yang lebih tinggi, tetapi perkembangan gonad belum mampu mencapai tahap matang. Perkembangan hanya mencapai tahap
TKG I. Respon ini menunjukkan bahwa reseptor estradiol-17$ telah ada pada induk non-reproduktif
Pada udang windu respon akan lebih tinggi pada induk yang
gonadnya telah berkembang karena jurnlah reseptor lebih tinggi (Riani, 2000). Kernungkinan lain adanya pengaruh esradiol pada induk non-reproduktif adalah terjadinya efek farmakologi dimana estradiol-17$ berikatan dengan reseptor nonspesifik seperti reseptor ekdison (Okumura clan Sakiyama 2004). Tidak berkembangnya gonad hingga tahap m a m g dduga akibat adanya aktivitas GIH dan MOIH yang dihasilkan organ-)< pada tangkai mata. Hal ini dikuatkan berdasarkan uji in vitro, bahwa pemberian estradiol-l7$ menyebabkan peningkatan ukuran oosit yang cukup nyata, tetapi saat dilakukan in vivo pada induk non-ablasi, perbedaan respon menjadi tidak terlihat (Tsukimura 200 1). Hasil N-PAGE menunjukkan pada hepatopankreas dan hemolim dideteksi tipe protein yang sama, masing-masing terdiri dari 2 unit. Pada ovari terdeteksi sebuah unit protein yang diduga merupakan protein Vt. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Vasquez-Boucard et a/. (2003) dan Garcia-Orozco (2002) menunjukkan bahwa protein Vt pada ovari terdapat dua unit yaitu Vtl dan Vt2. Perkiraan bobot protein tidak dapat ditentukan karena bobot marker protein jauh lebih rendah sehingga tidak terlihat. Menurut Quackenbush (2001), bobot protein Vt berkisar antara 300-500 kDa. Berdasarkan analisis SDS-PAGE, pada ovari terdeteksi 5 sub unit protein dengan bobot 95, 98, 109 dan 2 sub unit >I18 m a . Protein tersebut diduga merupakan komponen dari Vt. Protein dengan bobot 95 dan 98 kDa merupakan komponen terbesar, ha1 ini ditunjukkan dengan ketebalan pita yang diperoleh. Jurnlah sub unit yang diperoleh tidak berbeda dengan Quackenbush (2001) yang menyatakan bahwa protein Vt L. vanamel terdiri dari 5 sub unit, tetapi terdapat perbedaan pada bobot molekul masing-masing sub unit.
Menurutnya bobot
komponen protein Vt adalah 158, 103,97,95 dan 76 kDa. Hal berbeda diungkapkan
oleh Vazques-Boucard
et
al. (2003) yang mengdentifikasi 6 sub unit dengan
perkiraan bobot 160, 140, 100, 95, 90 dan 60 kDa Perbedaan ini diduga karena perbedaan metode dan teknik separasi protein.
Selain itu juga diduga akibat
denaturasi protein selarna penyimpanan. Selain di ovari, sintesis prekursor Vt (Vg) juga
terjadi di hepatopankreas (Quackenbush 2001). Analisis SDS-PAGE
menunjukkan bahwa pada hepatopankreas disintesis dua sub unit protein dengan perkiraan bobot 95 dan 98 kDa. Protein ini selanjutnya ditransfer ke oosit melalui hemolim sehingga pada hemolim terdeteksi sub unit protein yang sama. Pada hemolim jantan tidak terdeteksi adanya protein yang sama seperti pada ovari, hepatopankreas dan hemolim betina. Pada udang penaeid belurn diketahui apakah sintesis Vg juga terjadi pada jantan. Pada fase juvenil individu jantan Macrobrachiurn rosenbergii ldeteksi keberadaan protein Vg, tetapi protein tersebut
tidak terdeteksi saat dewasa. Hal ini diduga terkait dengan berkembangnya kelenjar androgen pada jantan h e dewasa (Souty-Grosset 1997). Pada percobaan ini, matode yang digunakan untuk menganalisis karakteristik vitelogenin belum cukup sensitif
untuk mendeteksi keberadaan protein hemolim pada individu jantan. Selain itu, tujuan penelitian tidak difokuskan pada karakteristik protein Vg tetapi pada percepatan sintesis Vg. Karakteristik protein hemolim induk yang diberi estradol17J3 maupun yang tidak diberi, tidak menunjukkan perbedaan baik pada ketebalan pita maupun jumlah pita yang muncul. Hormon estradiol-178 menyebabkan peningkatan ekspresi gen dan sintesis protein vitelogenin. Berdasarkan ha1 tersebut diduga metode yang digunakan belum cukup sensitif untuk dapat membedakan kecepatan sintesis Vg.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
I ) Pemberian estradiol-17$ pada induk udang yang diablasi mampu mempercepat waktu untuk mencapai TKG I dan 11. Selain itu, proporsi telur matang (oosit CRs) pada akhir vitelogenesis (TKG IV) juga lebih tinggi. 2) Pada induk yang tidak diablasi, pemberian estradiol-17$ hanya mampu
merangsang perkembangan oosit hingga tahap pravitelogenesis. 3) Dosis optimum estradiol-17P yang diberikan untuk merangsang perkembangan
gonad induk betina udang putih adalah 0,10 pglg bobot tubuh. 4) Pada ovari induk betina terdapat 5 sub unit protein dengan perkiraan bobot 95,98,
109 kDa dan dua sub unit protein dengan bobot > 118 m a . Pada hemolim dan hepatopankreas terdeteksi dua sub unit utarna dengan perkiraan bobot 95 dan 98 kDa. Saran
Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai pengaruh estradiol-17P terhadap organ-organ (hepatopankreas, ovari, dan jaringan lemak) yang diduga berperan dalam vitelogenesis udang. Selain itu diperlukan infonnasi yang lebih jelas tentang proses biosintesis dan metabolisme estradiol dalam tubuh udang putih serta peranannya pada setiap tahap perkembangan gonad.
DAFTAR PUSTAKA
Alava VR, Kanazawa A, ~hesimaS, and Koshio S. 1993. Effect of dietary vitamin A, E, and C on the ovarian development of Penaetls japowicus. Nippon Susian Gakkaishi. 59 : 1235-1241. Alfaro J, Zu'n'iga G, Komen J. 2004. Induction of ovarian maturation and spawning by combined treatment of serotonin and a dopamine antagonist, spiperone in I,iropenaeus s~ylirosrris and Litopenaeus vannamei. Aquaculture. 236 : 51 1 -522. Arcos FG, Ibara AM, Palacios E. Vazquez-Boucard C, Racotta IS. 2003. Feasible predictive criteria for reproductive performance of white shrimp Litopenaeus vannamer : egg quality and female physiolog~calcondition. Aquaculture. 228 : 335-349. Bailey-Brock JH and Moss SM. 1992. Peneid taxonomy, biology and zoogeography, p. 9-27. Di dalam Fast A.W. and L.J. Lester. (Eds). Marine shrimp culture: principles and practices. Developments in aquaculture and fisheries science, volume 23. Elsevier Science Publisher. B.V.Netherlands. Benzie JAH. 1997. A review of the effect of genetic and enviroment on maturation and larva quality of giant tiger prawn Penueus monodon. Aquaculture. 155 :69-85. Bray WA and Lawrence AL. 1992. Reproduction on Penaeus species in captivity, p. 93-170. Di dalam Fast A.W. and Lester L.J. (eds). Marine shrimp culture: principles and practices. Developments in aquaculture and fisheries science, volume 23. Elsevier Science Publisher B.V., The Netherlands. Browdy CL. 1992. A review of the reproduction biology of penaeus species : perpective on controlled shrimp maturation system for high quality nauplii production. Di dalam Wyban. J. (ed). Proceeding of the special session on shrimp farming. World Aquaculture Society. Baton Rouge. LA.USA. Chang ES. 1997. Chemistry of crustacean hormones that regulate growth and
reproduction. Di dalam Fingerman, M., R Nagabhushanam., M. Thompson. Editors. Recent advances in marine biotechnology. Vol. 1. Endocrinology and reproduction. Science Publisher, Inc. USA. Charmantier G, Charmantier-Daures M and Van Herp F. 1997. Hormonal regulation of growth and reproduction in crustaceans. Di dalam Fingerman, M., R. Nagabhushanam., M. Thompson. (eds). Recent advances in marine biotechnology. Vol. 1. Endocrinology and reproduction. Science Publisher, Inc. USA.
Chen YN, Fan HF, Hsieh SL and Kuo CM. 2003. Physiological involvement of DA in ovarian develop~nentof the fieshwater giant prawn, Macrobracl~iu~?~ rosenherg~r.Aquaculture. 228 : 383-395 Cuzon G, Guillaume J, Cal~uC. 1994. Composition, preparation and utilization of feeds for Crustacea. Aquaculture. 124 : 253- 267. De Kleijn DPV and Van Herp F. 1998. Molecular biology of neurohomone precursors in the eyestalk of cmstacea. Comparative Biochemistry Physioloby. 1 12B : 573-579. Edomi P, Azzoni E, Mettulio N, Pandofelli EA and Ferrero PG. 2002 Gonadinhibiting hormone of the Norway lobster (Nephros norvegicus): cDNA cloning, expression, recombinant protein production, and immunolocalization. Gene. 284 : 93-102. Abstract. Fainzilber M, Tom M, Shafir S, Applebaum SW and Lubzens E. 1992. Is there extraovarian synthesis of vitellogenin in I'enaeus shrimp? Biological Bulletin. 183 : 233-24 1. Fingerman M. 1997. Roles of neurotransmitters in regulating reproductive hormone release and gonadal maturation in decapod crustaceans. Invertebrate Reproduction Development 3 1 : 47-54. Garcia O r o m IS, Vargas Albores F, Sotelo Mundo R & Yepiz Plascenci G. 2003. Molecular chamcterization of vitellin h m the ovaries of the white shrimp Penaeus (Zitopenaeus) vannamei. Comparative Biochemistry Physiology. 133B : 361-369. Ghosh D and Ray AK. 1992. Subcellular actions of estradiol-170 in a fieshwater prawn, Macrobrachiurn msenbergii. General and Comparative Endocrinology. 90 : 274-281. Ghosh D and Ray AK. 1993. 17$-Hydroxysteroid dehydrogenase activity of ovary and hepatopancreas of kshwater prawn, Macrobrachiurn rosertbergii : relation to ovarian condition and estrogen treatment. General and Comparative Endocrinology. 89 : 248-254. Harrison KE. 1990. The role of nutrition in maturation, reproduction and embryonic development of decapoda crustaceans: a review. Journal of Shellfish Research. 9 : 1-28. Huberman A. 2000. Shrimp Endocrinology. A review. Aquaculture. 191:191-208 Hoang T, Lee SY, Keenan CP and Marsden GE. 2002. Maturation and spawning performance of pond-reared Penaeus merguensis in different combination of temperature, light intensity and photoperiod. Aquaculture Research. 33 : 1243-1252.
Ismail A. 1991. Pengaruh rangsangan hormon terhadap perkembangan gonad individu betina dan lcualitas telur udang windu (Penaeus ntunodon). Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural protein during the assembly of the heat of bacterophag T4. Nature. 227 : 680-685. Laufer H, Takac P, Ah1 JSB and Laufer MR. 1997. Methyl famesoate and the effect of eyestalk ablation on the morphogenesis of the juvenile female spider crab Libinia emarginata. Invertebrate Reproduction Development. 31 : 63-68. Longyant S, Sithigorkul P, Sithigorkul W, Chaivisuthangkura P, Thammapalerd N and Menasveta P. 2003. The effect of eyestalk extract on vitellogenin level in the hemolimph of the giant tiger prawn Penaeus monodon. Science Asla. 29 : 371-381 Medina A, Vila Y, Mourente G, Rodriguez A. 19%. A Comparative study of the ovarian development in wild and pond-reared shrimp, Penaeus kerathurus (Forskal, 1775). Aquaculture. 148 : 63-75.
Okumura T. 2004. Review : Perpective on hormonal manipulation of shrimp reproduction. JARQ. 38 : 49-54 Okumura T and Sakiyama K. 2004. H e m o h p h levels of vertebrate-type steroid
hormones in female kuruma prawn, Marsupenaeus japonicus (crustacea: decapoda: peneidae) during natural reproductive cycle and induce ovarian development by eyestalk ablation. Fisheries Science. 70 : 372-380 Prat T, Zanuy S, Carrillo M. 2001. Efict of gonadotrophin-releasing hormone analogue (GnRHa) and pimozide on plasma levels of sex steroid and ovarian development in sea bass (Dicentrarchus l a b m L). Aquaculture. 198 : 325-338. Quakenbush LS. 1989. Yolk protein production in the marine shrimp, Penaeus vannamei. Crustacean Biology. 9 : 509-5 16. Quakenbush LS. 2001. Yolk synthesis in the marine shrimp, Penaeus vannamei. American Zoologist. Vol. 41 : 458-464. Quinitio ET, Caballero RM, Gustilo L. 1993. Ovarian development in relation to changes in the external genitalia in captive Penaeus monodon. Aquaculture. 114 : 71-81. Riani E. 200 1. Peningkatan dayaguna induk udang windu (Penaeus monodon Fab) afkir melalui pemberian dopamin serta modifikasinya dengan estradiol dan vitamin. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Rodriguez EM, Greco LSL, Medesani DA, Laufer H, Fingerman M. 2002. Effect of inethyl farnesoate, alone and in combination with other hormones, on ovarian growth of the red swamp crayfish, Procrambarns clarkri, during vitellogenesis. General and Comparative Endocrinology. 225: 34-40. Sarojini R, Nagabhushanam R, Fingerman M. 1995. In vivo effects of DA and DArgic antagonists on testicular maturation in the red swamp crayfish, Procambarus clarkii. Biological Bulletin. 189 : 340- 346. Abstract. Sarojini R, Nagabhushanarn R, Fingerman M. 1997. An in vitro study of the inhibitory action of methionine-enkephalin on ovarian maturation in the red swamp crayfish Procambarus clarlbi. Comparative Biochemistry Physiology. 117B : 207- 210. Abstract. Souty-Grosset C. 1997. Vitellogenin synthesis in marine inveitebrate. Di dalam Fingerman, M., R Nagabhushanam., M. Thompson. (eds). Recent advances in marine biotechnology. Vol. 1. Endocrinology and reproduction. Science Publisher, Inc. USA. Summavielle, T., P. R R Monteiro., M. A. Reis-Hendriquez., J. Coimbra. 2003. In vitro metabolism of steroid hormones by ovary and hepatopancreas of the crustacean penaeid shrimp Marsupenaeus japonicus. Scientia Marina. 67: 299-306. Tahara D, Yano I. 2003. Development of hemolyrnph prostaglandins assay systems and their concentration variations during ovarian maturation in the kururna prawn, Penaeusjaponicus. Aquaculture. 220 : 791-800 Taylor J, Vinatea L, Ozorio R, Schuweitzer R, Andreata ER. 2004. Minimizing effect of stress during eyestalk ablation of Litopenaeus vannamei Rmales with topical anesthetic and a coagulating agent. Aquaculture. 233 : 173-179 Tiu SHK, Chan SM. 2005. Stimulation of shrimp vitellogenin gene expression in vitro: Effects of 20-hydroxyecdysone, farnesoic acid and other hormones. The 1~~ International Congress of Comparative Endocrinology, May 23-28 2005, Boston, USA Tsulumura B. 2001. Crustacean vitellogenesis : its role in oocyte development. American Zoologist. 41: 465-476 Vaca AA and Alfaro J. 2000. Ovarian maturation and spawning in the white shrimp, Penaeus vannamei, by serotonin injection. Aquaculture. 182: 373385. Vazquez-Boucard. C, Mejia-Ruiz H, Zamudio F, Serrano-Pinto V, And Nolasco-Soria H. 2003. Isolation and molecular characterization of vitellin fiom the mature ovaries of the prawn Litopenaeus vannamei. Journal of Shellfish Research. 22: 887-892.
Wainwright G, Webster SG, Wikinson MC, Chung JS, and Rees HH. 19%. Structure and significance of mandibular organ-inhibiting hormone in the crab, Cancerpagums. JBC Online. 27 1: 12749-12754. Wouters R, Lavens P, Nieto J. 2001. Penaeid slu-k~pbroodstock nutrition : an up date review on research and development. Aquaculture. 202: 1- 12 Yamano K, Qiu G and Unuma T. 2004. Molekular cloning and ovarian expression profiles of thrombospondin, a major component of cortical rods in mature oocytes of penaeid shrimp, Marsupenaeusjaponicus. Biology of Reproduction. 70: 1670-1678. Yano I. 1985. Induced ovarian maturation and spawning in greasyback shrimp, Metapenaeus ensis, by progesterone. Aquaculture. 47: 223-229. Yano I. 1987. Eff'ect of 17-hydroxy-progesterone on vitellogenin secretion in kununa prawn, P. japonicus. Aquaculture. 6 1: 49-5 1 Yano 1 .1998. Hormonal control of vitellogenesis in penaeid shrimp. Di dalam Flegel TW. (ed). Advances in shrimp biotechnology. National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, Bangkok. Yepiz-Plascencia G, Vargas-Albores F, Higuera-Ciapara I. 2000. Penaeid shrimp hemolymph lipoproteins. Aquaculture. 191: 177-189. Young G, Kusakabe M, Nakamura I, Lokman PM and Goetz FW. 2005. Gonadal steroidogenesis in teleost fish. p. 155-223. Di dalam Melamed P and Sherwood N. (eds). Hormones and their receptors in fish reproduction (molecular aspects of fish and marine biology. V.4). World Scientific . Publishing. Singapore.
.
Lampiran 1 Hasil analisis konsentrasi horrnon estradiol- 17$ dalam hemolim pada percobaan 1
I . Pengukuran awal Individu
Konsentrasi estradiol-17$ (pglml)
2. Hasil pengukuran konsentrasi estradiol-17P (pgfml) pada setiap tahap pengambilan mtoh
3 420,046 335,478 323,2 11 377,762 6 16,230 554,180 655,742 608,7 17 7 11,940
Hari ke6 46 1,660 225,594 181,014 343,627 632,950 607,170 46 1,660 567,260 712,124
9 332,591 430,948 310,012 38 1,770 53 1,350 691,924 594,242 605,839 560,039
12 404,850 3 15,374 413,753 360,112 5 16,325 3 11,%9 403,066 4 10,453 435,939
Rataan
706,5 15 7 18,442
625,131 679,462
505,095 539,771
451,188 439,358
Rataan
806,117
699,165
677,800
533,131
Kontrol 0,Oo Irdg
Rataan Perlakuan 1 0,05 Irdg Rataan Perlakuan 2
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 3
Lampiran 2 Hasil analisis konsentrasi hormon estradiol- 17p dalarn hemolim pada percobaan 2
1 . Pengukuran awal
Komtrasi estradiol-1 7$ (pg/ml)
Individu
453,030 531,350 485,213 451,150 441,320 505,095 477,859
1 2 3 4 5 6
Rataan
.
2. Hasil pengukuran konsentrasi estradiol-17$ (pg/ml) pada setiap tahap pengambilan contoh
Kontrol 0700 ~ g / g
Rataan Perlalcuan 1 suntik lx dosis Rataan Perlakuan 2 suntik 2x dosis 0,lO pg/g Rataan
Ulangan 1
3
6
9
12
2 3
485,213 531,350 512,520
357,100 225,599 403,026 246,581 625,131 676,762
357,765 338,976 430,941 282,220
1 2
3@2,346 682,264 720,156
361,800 462,320 343,850 292,217 616,230 676,115
422,321 478,437
699.181
618.674
628&62
472.361
724,299 702,474 695,124 707,299
636,115 554,180 512,502 567,599
723,607 681,958 723,607 709,724
719,467 680,655 686,538
1 2 3
695,553
Lampiran 3 Hasil pengukuran sebaran oosit berbagai tahap perkembangan gonad pada setiap perlakuan --
--
kolltrol Gol. Telur prcvitelogeliesis (%) Awal vitelogenesis (%) Akliir vitelogenesis (%)
0.05 pglg
I
I1
111
100
69 31
33 42 25
matang (%)
N 22
I 100
8 48
100
100 100
100
kontrol
--Gol. Tclur
I prcvitclogetiesis(%) 100 Awal vitelogenesis (%) Akliir vitelogenesis (YO) nlatang (%)
11 63
Total
100
100
37
100
N 20 11 49 20 100
I 100
100
kontrol Gol. Telur previtelogel~esis(%) Awal vitelogenesis (%)
~
111
N
I
11
I11
IV
61 39
29 44 27
20 9 45
100
49 51
21 41 38
19 5 46
I00
54 46
23 42 35
23 7 43
100
100
100
30 100
I1 64 36
100
100
100
100
I11 30 48 22
IV 27 10 45 18
I 100
100
100
100
11 45 55
100
I11 21 44 35
1V 17 6 47 30
I 100
100
100
100
111
N
I
I1
111
IV
I
I1
111
N
27
100
59 41
33 47
25
100
47 53
22 41
20 4
22
51
20
46
37
45
100
100
100
22 100
100
100
100
100
11 50
Ill 27 40 33
100
100
I
I1 -
100
51 49
. ..
100
100
IV 23 9
43 25 100
_ 111 . . . l v _
-. .
25 38 37
31 100
100
0.2s pg/g
31 47
7
I00
50
0.10 &g
I1
100
100
0.25 pg/g
70 30
17
27
0.10 pglg
I
matang (%) Total
11
0.05 pg/g
5
-
I
100
Akhir vitelogenesis (%)
-
--U 2 5 ~ 4 4
IV
0.05 pg/g 111 37 42 21
-- -
111
26 100
-
I1
22
Total
0.10 pg!g
100
24 9 40 27
100
100
100
100
Lanjutan Lampiran 4
I ,an.jutan Lampiran 4
L,an.j utan Lam piran 4
Kontrol I1 111
.
Lanjutan Lampiran 4
Lanjutan Lampiran 4 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19.2 19,2 19,2 28,8 19,2 28,8 28,8 28,8 28,8 28,8 28,8 28,8 28,8 28,8 28,8 28,8 28,8
28,8 28,8 28,8 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 28,8 28,8 19,2 28,8 28,8 19,2 19,2 57,6 19,2 48,O 57,6 48,O 48,O 57,6 48,O 76,8 76,8 48,O 48,O 48,O 48,O
48,O 48,O 48,O 48,O 48,O 38.4 38,4 38.4 38.4 38,4 38,4 28,8 28,8 28,8 28,8 28.8 28,8 28,8 86,4 28,8 86,4 86,4 86,4 86,4 86,4 86,4 76,8 76,8 86,4 57,6 76,8 57,6
48,O 48,O 48,O 28,8 38,4 38,4 38.4 38,4 38,4 28,8 28,8 48,O 48,O 48,O 48.0 48,O 38,4 48,O 192,O 28,8 182,4 182,4 115,2 105.6 192,O 115,2 192,O 192,O 105.6 115,2 105,6 96,O
Lanjutan Lampiran 4
Kontrol I1 I11
Lanjutan Lampiran 4
Lanjutan Lampiran 4
Lanjutan Lampiran 4
Lampiran 5 Hasil pengukuran diameter telur pada percobaan 2 Kontrol
Kontrol
Kontrol
4,8 43 43 4,8 43 4,8 4.8 4,8 43 43 43 4-8 4,8 43 43 43
4.8
4.8 49 4,8 49 4,8 4,s 4,8 4-8 4-8 43 4-8 4.8 4,s 4-8 4-8 4,8 4,8 4,8
9,6 9,6 996 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 996 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 94 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6
9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 996 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6
1x suntik
1x suntik
4.8 4,s 4,s 4,s 4,8 4-8 4.8 4,8 43 43 4.8 4,8 43 43
4,8 4,8 43 43 43 4.8 4.8 4-8
9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 996 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 996 996 9,6 9,6 9,6 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2
9,6 9,6 9.6 9.6 9.6 9.6 9.6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 94 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 19,2 19,2
1x
suntik 43 4,8 4.8 4.8 43 43
.
9.6 9,6 9-6 9,6 9.6 9.6 9,6 9.6 9,6 9-6 9,6 996 9-6 996 9,6 9,6 9,6 9,6 94 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9-6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9-6
2x suntik
2x suntik
suntik
9,6 9,6 9,6 9-6 9,6 9.6 9.6 9,6 9.6 9.6 9-6 9.6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19.2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2
9,6 9,6 9,6 9-6 9,6 9-6 9,6 9,6 9,6 9.6 9,6 9-6 9.6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 996 9,6 19,2 19.2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2
9,6 9,6 945 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9-6 9,6 9-6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9-6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2
2x
19,2
19,2
19,2
19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2
19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2
19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2 19,2
Lanjutan Lampiran 5
Lampiran 6 Sebaran frekuensi diameter oosit (pm) pada percobaan 2
Ulangan 1
Ulangan 2
7
...
.
.
"! ":
1
Kontro l
,
,
~
.....
-
~~
Ulangan 3
.. ........- . .-- .... -.---. ..- .- --.-.- . e. '
....
..
1
-
--
--
--- . -
-.
.-. -- -. .-. .< -* ..: ...
Lampiran 7 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan dosis hormon estradiol-17P terhadap diameter oosit pada setiap TKG Analysis of Variance for TKG I MS Source DF SS C2
3 396 399
Error Total
1150 207
3449 81865 85315
I n d i v i d u a l 9 5 % C I S For Mean Based on P o o l e d StDev Leve 1 1 2 3 4
Pooled StDev
StDev 14,07 14,83 13,98 14,62
Mean 40,42 41,09 47,57 45,12
N
100 100 100 100 =
---+---------+---------+---------+---
14,38
Analysis of Variance for TKG I1 Source DF SS MS C2 Error Total
3 396 399
9364 228093 237457
3121 576
I n d i v i d u a l 9 5 % C I S F o r Mean Based o n P o o l e d S t D e v Level 1 2 3 4
N 100 100 100 100
Mean 55,58 58,46 67,44 65,28
StDev 23,37 25,49 23,65 23,43
------+---------+---------+---------+
t-------*-------
1
(------*-------
1 1
(------*------(-------*-------
1
------+---------+---------+---------+
Pooled StDev
=
24,OO
54,O
Analysis of Variance for TKG I11 Source DF SS MS F C1 Error Total
3 396 399
13229 693582 706812
4410 1751
2,52
60,O
66,O
72,O
P 0,058
I n d i v i d u a l 9 5 % C I S F o r Mean Based o n Pooled StDev Level 0.00 pg/g 0 . 0 5 pg/g 0.10 ug/g 0.25 pg/g
N 100 100 100 100
P o o l e d StDev
=
Mean 87,65 86,69 98,98 98,30
41,85
StDev 41,31 39,86 42,50 43,35
--+---------+---------+---------+------(----------*--------1 (---------*---------1 (----------*--------(---------*---------
) )
Analysis of Variance for TKG TV Source DF SS MS C2 3 826 275 Error 396 1675264 4235 Total 399 1679090 Individual 95? CIS For Mean Based on Pooled StDev Level 1 2 3 1 4
N 100 100 100
Mean 140,54 139,lO 142.94
100
139.87
Pooled StDev
=
65.10
StDev 64.72 65.60 63,91
---+---------+---------+---------+---
Lampiran 8 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan frekuensi penyuntikan estradiol-17$ terhadap diameter oosit. One-way ANOVA Source C1
Error Total
DF
2 297 299
Leve 1 1 x suntik 2 x suntik Kontrol
Pooled S t D e v
SS 5121,9 22315,3 27437,2
N 100 100 100
=
MS 2561,O 75,l
Mean
16,032 23,968 14,560
F
P
34,08
0,000
StDev 7,665 10,633 7,322
I n d i v i d u a l 95% CIS F o r Mean Based o n P o o l e d StDev ---+---------+---------+---------+-----(----
* ---- ) (---*----
(----*---
1
)
8,668
Tukey 958 S i m u l t a n e o u s C o n f i d e n c e I n t e r v a l s A l l P a i r w i s e C o m p a r i s o n s among L e v e l s of C 1 Individual confidence l e v e l
C1
=
=
98,01%
1 x s u n t i k s u b t r a c t e d from:
C1 2 x suntik Kontrol
Lower 5,067 -4,341
center 7,936 -1,472
Upper 10,805 1,397
--------+---------+---------+---------+(---*--(---*---
Box Plot
)
)
Lampiran 9 Komposisi larutan stok, SDS-PAGE (Laemli 1970) 1 . Larutan stock aknlarnid (total kandungan &lamid % T=30% wlv) Rasio ikatan silang dengan monomer akrilamid 5C=2,7 wlw 75 g akrilamide + 2 g Bis akrilamide + H 2 0 sld 250 ml 2. 1 g APS (Amonium peroxodisulfate) + Hz0 s/d 10 ml 3. Buffer reservoir benyangga) adalah : 0,192 M Glysin; 0,025 M Tris; 0,1% w/v SDS atau 14,4 g gIisine + 3 g Tris ----- cek pH 8,3 kemudian ditambdzkan SDS 1 g dan volume ditepatkan menjadi 250 ml. 4. Stock bufler gel pemisah (1,4 M Tris-C1 pH 8,8), 1 g SDS + 45,5 g Tris ---dilarutkan--cek pH 8,8 (penambahan HCl) dan volume ditepatkan menjadi 250 ml 5. Stock bufler gel pengumpul (1,4 M Tris-C1 pH 6,8), 15,l g tris dilarutkan---cek pH 6,8 lalu ditambahkan 1 g SDS, volume ditepatkan menjadi 250 ml 6. Stock buffer sample, 2 ml mercaptoethanol + 4 ml Glicerol + 0.3 g tris + 2 ml Bromfenol Blue (0,1% wlv dalam air) --- campuran dilarutkan dalam H20<20 ml --- cek pH 6,8 lalu ditambahkan 0,92 g SDS --- kemudian larutan ditepatkan menjadi 20 ml. 7. Larutan pewarna (staining) : 0,25 g Coomassie Brilliant Blue R.250 + 125 ml methanol + 25 ml asam acetate glacial + 100 ml H 2 0 (-bides) 8. Larutan Pencuci (distaining) : 100 ml methanol + 100 ml Asan Asetat + 800 ml H20 9. Pembuatan gel : 7 3 % gel running @emisah), 4% gel stacking (pengumpul)
No Komponen Akrilamid 1 2 Buffer gel pemisah (8,8) 3 Buffer gel pengumpul(6,8) 4 H20 5 SDS ~ % ( w / v ) 6 APS 7% (wlv) TEMED L7
Gel pengumpul 0,67 ml
Gel pemisah 3,3 ml 2,s rnl
-
4,l ml 0,l ml 0,l ml 0,01 ml
1 2 5 ml 3,075 ml 0,05 ml 0,05 ml 0,005 ml
-
Uiituk N-PAGE, komposisi larutan stok saina dengan SDS-PAGE, tetapi tanpa mercaptoethanol dan gel pemisah 5%. Selain itu pewarna menggunakan arnido black Laemmli UK. 1970. Cleavage of Structural Protein During The Assembly of The heat of Bacterophag T4. Nature 227: 680-685.
Lampiran 10 Prosedur elektroforesis 1. Pembuatan gel Pembuatan gel dilakukan dilakukan dengan bantuan 2 letnpeng kaca berukuran 18x15,5 cm yang telah dibersihkan dengan alkohol 70%. Pada kedua sisi diolesi dengan vaselin dan diberi spacer. Kedua lempeng dihimpitkan dengan cara dijepit. Pada bagian atas lempeng disisipkan sisir pembuat jalur. Gel pemisah yang telah disiapkan sebelumnya dituangkan ke antara dua lempeng menggunakan milcropipet dan dibiarkan 30 menit. Volume pengisian hingga 1 cm dibawah ujung sisir. Setelah terbentuk gel pemisah, dimasukkan gel pengumpul hingga perrnukaan lempeng.
2. Persiapan sampel Sampel ditambahkan larutan buffer dengan perbandingan 1:3. Campwan dipanaskan 100 "C selama 5 menit. Untuk N-PAGE, sarnpel tidak dipanaskan. Sampel selanjutnya dimasukkan ke sumur. Jumlah sampel yang dimasukkan untuk SDS-PAGE adalah 4 pL sedangkan untuk N-PAGE 5 pL. 3. Running Perangkat elektroforesis dijalankan dengan arus 20 rnA dan tegangan 60 volt. Elektroforesis berakhir sampai sampel bergerak hngga 1 cm dari bawah gel. Setelah itu gel diangkat dari leinpeng kaca.
4. Pewarnaan (staining) Gel yang telah dikeluarkan dari lempeng kaca direndam dalarn larutan pewarna (coomasie brilliant blue untuk SDS-PAGE dan amido black untuk N-PAGE) selama 1 jam pada suhu ruang sambil diagitasi perlahan. 5. Pencucian (distaining) Pewarna yang tidak terikat pada protein dihilangkan dengan cara merendam gel pada larutan pemucat (metanol + asam asetat) hingga gel berwarna bening atau pita-pita protein yang telah terbentuk terlihat jelas.