DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
a. bahwa
Negara
Kesatuan
menyelenggarakan
Republik
Pemerintahan
Indonesia
Negara
dan
pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata berdasar Pancasila dan Undang-Undang
Dasar
Negara
Repulik
Indonesia
Tahun 1945; b. bahwa
dalam
rangka
penyelenggaraan
hubungan
keuangan antara Pusat dan Daerah perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang hubungan
keuangan
yang
dapat
menjamin
terlaksananya pemerintahan yang adil, efektif, dan efisien; c. bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan,
pelimpahan,
dan
penugasan
urusan 1
pemerintahan
kepada
daerah
secara
nyata
dan
bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah; c. bahwa Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum, ketatanegaraan serta tuntutan penyelenggaraan
otonomi
daerah
sehingga
perlu
diganti dengan undang-undang yang baru; d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf dan huruf c, perlu membentuk UndangUndang tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah; Mengingat:
Pasal 18A ayat (2), Pasal 20, Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH.
2
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Hubungan
Keuangan
Pusat
dan
Daerah
adalah
sebuah
kegiatan pemerintahan yang merupakan konsekuensi dari adanya urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan kepada Pemerintahan Daerah. 2.
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan
pemerintahan
negara
Republik
Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut dengan Pusat. 3.
Pemerintahan
Daerah
adalah
penyelenggaraan
urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut daerah. 4.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan
Daerah
yang
memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 5.
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut 3
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 6.
Kepala Daerah adalah Gubernur bagi daerah provinsi atau Bupati daerah Kabupaten atau Walikota, bagi daerah.
7.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD
adalah
lembaga
perwakilan
rakyat
daerah
yang
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 8.
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara
berhubung
dengan
pelaksanaan
hak
dan
kewajiban tersebut. 9.
Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.
10. Dekonsentrasi
adalah
pelimpahan
sebagian
Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi
vertikal
di
wilayah
tertentu,
dan/atau
kepada
Gubernur dan Bupati/Walikota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. 11. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau
dari
Pemerintah
Kabupaten/Kota
untuk
Daerah
provinsi
melaksanakan
kepada
Daerah
sebagian
Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. 12. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah. 4
13. Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah. 14. Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan
Daerah
sesuai
dengan
peraturan
perundang-
undangan. 15. Belanja daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 16. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. 17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dengan undang-undang. 18. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Perda. 19. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 20. Dana Daerah adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. 21. Pajak
Daerah,
yang
selanjutnya
disebut
Pajak,
adalah
kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara 5
langsung
dan
digunakan
untuk
keperluan
Daerah
bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 22. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan
Daerah
sebagai
pembayaran
atas
jasa
atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. 23. Penerimaan Daerah Bukan Pajak adalah seluruh Penerimaan Bukan Pajak Pemerintah Daerah yang tidak berasal dari penerimaan Pajak Daerah. 24. Dana Transfer adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. 25. Pendapatan Bagi Hasil, yang selanjutnya disingkat PBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan tertentu APBN yang
dialokasikan
kepada
Daerah
berdasarkan
angka
persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. 26. Dana Desa adalah yang bersumber dari pendapatan tertentu APBN yang dialokasikan kepada desa berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan desa. 27. PBH Pajak adalah pendapatan bagi hasil yang bersumber dari pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 28. Pajak Bumi dan Bangunan, yang selanjutnya disingkat PBB, adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan untuk kegiatan 6
usaha Perhutanan dan Pertambangan, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Bumi dan Bangunan. 29. Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri adalah Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan 30. Pajak Penghasilan Pasal 21, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan
oleh
Wajib
Pajak
Orang
Pribadi
berdasarkan
ketentuan Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan 31. Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN, adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan barang kena pajak, impor barang kena pajak, jasa kena pajak di dalam daerah pabean sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN dan PpnBM. 32. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disingkat PpnBM adalah pajak yang dikenakan atas penjualan barang yang tergolong mewah berdasarkan Undang-Undang PPN dan PpnBM. 33. Cukai Hasil Tembakau, yang selanjutnya disingkat CHT, adalah pungutan Negara yang dikenakan terhadap hasil tembakau
berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan di bidang cukai.
7
34. Cukai minuman mengandung alkohol adalah pungutan Negara yang dikenakan terhadap peredaran minuman beralkohol berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai. 35. PBH Sumber Daya Alam adalah pembagian bagi hasil yang bersumber dari penerimaan sumber daya alam kehutanan, perikanan,
pertambangan
pertambangan
minyak
bumi,
mineral
dan
pertambangan
batubara, gas
bumi,
pertambangan mineral dan batubara, serta pertambangan panas bumi. 36. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan, yang selanjutnya disingkat IIUPH, adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu kawasan hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan
berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan di bidang kehutanan. 37. Provisi Sumber Daya Hutan, yang selanjutnya disingkat PSDH, adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. 38. Pungutan Pengusahaan Perikanan adalah pungutan yang dikenakan
kepada
perusahaan
perikanan
Indonesia
atas
penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP), Alokasi Penangkapan Ikan
Penanaman
Modal
(APIPM),
dan
Surat
Izin
Kapal
Pengangkut Ikan (SIKPI) yang diperoleh dari Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. 39. Pungutan Perikanan adalah pungutan yang dikenakan kepada setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan 8
Negara Republik Indonesia dan di luar wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sesuai dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) yang diperoleh dari Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. 40. Iuran Tetap adalah iuran yang diterima negara sebagai imbalan atas
kesempatan
penyelidikan
umum,
eksplorasi
atau
eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan
di
bidang
pertambangan
mineral dan batubara dan pertambangan panas bumi. 41. Iuran Produksi adalah iuran yang dibayarkan kepada negara atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan mineral dan batubara dan pertambangan panas bumi berdasarkan ketentuan
peraturan
perundang-undangan
di
bidang
pertambangan mineral dan batubara dan pertambangan panas bumi. 42. Setoran Bagian Pemerintah adalah penerimaan negara dari pengusaha panas bumi atas dasar kontrak pengusahaan panas bumi, setelah dikurangi dengan kewajiban perpajakan dan pungutan-pungutan
lainnya
sesuai
dengan
peraturan
perundangan-undangan. 43. Bagian Penerimaan Negara Pertambangan Minyak Bumi adalah penerimaan bagian negara yang diperoleh dari pertambangan minyak bumi berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang minyak bumi dan gas bumi. 44. Daerah zona tambang adalah kabupaten dan atau kota pada provinsi lain yang masuk dalam wilayah penghasil tambang, tetapi tidak menjadi tempat dilakukannya proses produksi.
9
45. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang
bersumber
dari
pendapatan
tertentu
APBN
yang
dialokasikan kepada Daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan
keuangan
antara
Pemerintah
Pusat
dan
Pemerintahan Daerah. 46. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antarDaerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. 47. Insentif Fiskal adalah perbandingan antara PAD dengan belanja daerah dalam APBD. 48. Celah Fiskal adalah selisih antara kebutuhan fiskal daerah dan kapasitas fiskal daerah. 49. Dewan
Pertimbangan
disingkat
DPOD
memberikan
saran
Otonomi
adalah dan
Daerah,
suatu
yang
dewan
pertimbangan
selanjutnya
yang
bertugas
kepada
Presiden
mengenai kebijakan otonomi daerah sesuai perundanganundangan. 50. Dana Alokasi Khusus, yang selanjutnya disingkat DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk dalam
rangka
pemenuhan
mendanai kegiatan khusus
standar
pelayanan
minimum,
prioritas nasional, dan/atau kebijakan tertentu. 51. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. 10
52. Obligasi Daerah adalah Pinjaman Daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal domestik. 53. Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN untuk mendanai urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di Daerah. 54. Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN untuk mendanai urusan Pemerintah yang ditugaskan kepada kabupaten/kota. 55. Hibah kepada Daerah yang selanjutnya disebut Hibah adalah uang, barang dan/atau jasa yang diberikan kepada Daerah berdasarkan perjanjian antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan tidak perlu dibayar kembali. 56. Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada Daerah yang mengalami bencana alam nasional peristiwa luar biasa, dan/atau krisis solvabilitas. 57. Rencana Kerja Pemerintah Daerah, yang selanjutnya disingkat RKPD,
adalah
dokumen
perencanaan
daerah
provinsi,
kabupaten/kota untuk periode 1 (satu) tahun. 58. Rencana
Kerja
selanjutnya
Satuan
disingkat
Kerja Renja
Perangkat SKPD,
Daerah,
adalah
yang
dokumen
perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun. 59. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disingkat RKA SKPD, adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program, kegiatan dan anggaran SKPD yang merupakan penjabaran dari RKPD
11
dan rencana strategis SKPD yang bersangkutan dalam 1 (satu) tahun anggaran. 60. Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga/ SKPD.
BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Penyelenggaraan hubungan keuangan antara Pusat danDaerah dilaksankaan berdasarkan asas : a. transparansi; b. akuntabilitas; c. subsidiaritas; d. keadilan; e. otonomi; f. desentralisasi; g. dekonsentrasi; dan h. tugas Pembantuan. Pasal 3 Penyelenggaraan hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah bertujuan untuk: a. mengurangi ketimpangan sumber pendanaan Pemerintah Pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintah antar daerah. b. meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan,
peran
serta
masyarakat
serta
peningkatan daya saing daerah. c. memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
12
BAB III RUANG LINGKUP Pasal 4 (1) Hubungan keuangan pusat dan daerah mencakup pengaturan keuangan Pusat dan Daerah sebagai konsekuensi dari adanya urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau dilimpahkan kepada pemerintah daerah. (2) Hubungan keuangan pusat dan daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Pendapatan Transfer, lain-lain pendapatan daerah yang sah dan mekanisme pelaksanaannya. (3) Hubungan keuangan pusat dan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menghasilkan : a. Prinsip hubungan keuangan; b. Sumber penerimaan daerah; c. Pendapatan Asli Daerah; d. Pendapatan transfer; e. Pinjaman daerah kepada pusat; f. Hibah; g. Dana darurat; h. Dana dekonsentrasi; i. Dana tugas pembantuan, dan j. Insentif fiskal daerah. BAB IV PRINSIP HUBUNGAN KEUANGAN Pasal 5 (1)
Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah merupakan konsekuensi dari hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta merupakan perwujudan
13
pengelolaan keuangan yang dituangkan dalam APBN dan APBD. (2)
Hubungan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan sumber pendanaan sesuai dengan urusan yang di desentralisasikan maupun pelimpahan urusan pemerintah kepada
Gubernur
sesuai
dengan
asas/penyelenggaraan
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. (3)
Sumber-sumber pendanaan kepada Pemerintahan Daerah sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(2)
memperhatikan
stabilitas fiskal, keseimbangan fiskal, efisiensi, dan efektifitas. (4)
Sumber-sumber
pendanaan
Pemerintahan
Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. BAB V SUMBER PENERIMAAN DAERAH Pasal 6 (1)
Penyelenggara urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai APBD yang bersumber dari: a. Pajak Daerah; dan b. Penerimaan Daerah Bukan Pajak.
(2)
Penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilaksanakan oleh daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai APBD, dan yang bersumber dari: a. Retribusi Daerah; b. Penerimaan Daerah Bukan Pajak selain Retribusi Daerah; dan c. Dana Daerah.
14
(3)
Penyelenggaraan urusan Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh Daerah dan Desa dalam rangka tugas perbantuan didanai APBN.
(4)
Pelimpahan
kewenangan
dalam
rangka
pelaksanaan
Dekonsentrasi dan/atau dalam rangka pelaksanaan tugas perbantuan harus diserta dengan pemberian dana. Pasal 7 (1)
Penerimaan daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan.
(2)
Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari: a. Pendapatan Asli Daerah; b. Pendapatan Transfer; dan c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
(3)
Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: a. Transfer Pemerintah Pusat; dan b. Transfer antar daerah
(4)
Transfer Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud ayat (3) huruf (a), terdiri atas : a. Dana Perimbangan; b. Dana otonomi khusus; c. Dana keistimewaan; dan d. Dana desa.
(5)
Dana perimbangan sebagimana dimaksud Ayat (4) huruf a, terdiri atas: a. Dana Bagi Hasil (DBH); b. Dana Alokasi Umum (DAU); dan c. Dana Alokasi Khusus (DAK).
15
(6)
Transfer antar daerah sebagaimana dimaksud Ayat (3) Huruf b terdiri atas: a. Pendapatan bagi hasil; dan b. Bantuan keuangan.
(7)
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari : a. Sisa lebih perhitungan anggaran daerah; b. Pinjaman daerah; c. Dana cadangan daerah; dan d. Hasil penjualan daerah yang dipisahkan. BAB VI PENDAPATAN ASLI DAERAH Pasal 8
(1)
Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a meliputi: a. Pajak daerah; dan b. Penerimaan bukan pajak.
(2)
Penerimaaan bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Retribusi daerah; b. Hasil pengelolaan keungan daerah yang dipisahkan; c. Jasa giro; d. Pendapatan bunga; e. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;dan f.
Komisi, potongan, potongan bentuk lebih sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/jasa oleh daerah.
16
Pasal 9 (1)
Dalam upaya meningkatkan PAD, daerah dilarang : a. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi; dan b. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan impor/ekspor.
(2)
Dalam hal Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan impor/ekspor maka Paeraturan Daerah tersebut dibatalkan oleh Menteri atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya. Pasal 10
Ketentuan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah diatur lebih lanjut dengan undang-undang. BAB VII PENDAPATAN TRANSFER Pasal 11 (1)
Dana Transfer terdiri atas: a. Transfer Pemerintah Pusat; dan b. Transfer antar daerah.
(2)
Transfer Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud ayat (1) Huruf a terdiri atas: a. Dana perimbangan; b. Dana otonomi khusus; c. Dana keistimewaan; dan d. Dana desa. 17
(3)
Transfer antar daerah sebagaimana dimaksud ayat (1) Huruf b terdiri atas: a. Pendapatan bagi hasil; dan b. Bantuan keuangan. Pasal 12
(1)
Pendapatan Bagi Hasil (PBH) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (3) huruf a terdiri atas: a. pajak; b. cukai; c. sumber daya alam; dan d. Penerimaan lalulintas orang ke luar negeri dan melalui bandara.
(2)
PBH Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. PBB obyek Pertambangan dan Kehutanan; b. PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21; dan c. PPN dan PpnBM.
(3)
PBH Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berasal dari cukai hasil tembakau dan cukai minuman beralkohol.
(4)
PBH Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri dari: a. kehutanan; b. perikanan; c. pertambangan mineral dan batubara; d. pertambangan minyak bumi; e. pertambangan gas bumi; dan f.
pengusahaan panas bumi.
18
(5)
PBH lalu lintas orang ke dalam dan luar negeri dan melalui bandara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri dari : a. Surat keterangan keimigrasian; b. Visa; dan c. Pajak bandara. Pasal 13
(1)
PBH Pajak yang bersumber dari PBB Obyek Pertambangan dan Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf
a,
yang
dihasilkan
dari
wilayah
Daerah
yang
bersangkutan ditetapkan sebesar 100% (seratus perseratus) dengan rincian: a. 20% (dua puluh perseratus) untuk daerah provinsi yang bersangkutan; b. 80%
(delapan
puluh
perseratus)
untuk
daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan. (2)
PBH
PBB
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
yang
bersumber dari PBB sektor pertambangan yang diperoleh dari wilayah laut kewenangan kabupaten/kota, dibagi dengan rincian: a. 20% (dua puluh perseratus) untuk daerah provinsi yang bersangkutan; b. 80% (delapan puluh perseratus) untuk kabupaten/kota yang bersangkutan. (3)
PBH
PBB
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
yang
bersumber dari PBB sektor pertambangan yang diperoleh dari wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi dibagi dengan rincian: a. 20% (dua puluh perseratus) untuk daerah provinsi yang bersangkutan; 19
b. 80%
(delapan
puluh
perseratus)
untuk
seluruh
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang sama besar. (4)
Penerimaan
PBB
yang
bersumber
dari
PBB
sektor
pertambangan yang diperoleh dari wilayah laut yang menjadi kewenangan Pemerintah tidak dibagihasilkan kepada Daerah. Pasal 14 (1)
PBH Pajak yang bersumber dari PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b, ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dengan rincian: a. 5% (lima perseratus) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 20% (dua puluh perseratus) untuk kabupaten/kota yang bersangkutan.
(2)
Pembagian kepada provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada tempat tinggal wajib pajak, tempat kegiatan usaha dan/atau tempat bekerja. Pasal 15
(1)
PBH Pajak yang bersumber dari PPN dan PpnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c, ditetapkan sebesar 15% (lima belas perseratus) dari total penerimaan PPN dan PpnBM secara nasional.
(2)
Alokasi Pembagian Bagi Hasil PPN dan PpnBM sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1),
yang
dihasilkan
daerah
yang
bersangkutan didasarkan pada proporsi PDRB daerah
yang
bersangkutan terhadap PDB.
20
(3)
Pembagian penerimaan Dana Bagi Hasil PPN dan PpnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan ditetapkan dengan rincian: a. 20% (dua puluh perseratus) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 80% (delapan puluh perseratus) untuk kabupaten dan kota dalam wilayah provinsi yang bersangkutan. c. Pembagian untuk masing-masing kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b didasarkan atas proporsi PDRB masing-masing kabupaten/kota yang bersangkutan terhadap total PDRB provinsi yang bersangkutan. Pasal 16
(1)
PBH Cukai yang bersumber dari CHT dan cukai minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) ditetapkan sebesar 5% (lima perseratus) dengan rincian: a. 1% (satu perseratus) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 2% (dua perseratus) untuk kabupaten dan kota penghasil; dan c. 2% (dua perseratus) untuk seluruh kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang sama besar.
(2)
Pembagian untuk provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, didasarkan pada kontribusi Daerah yang bersangkutan terhadap penerimaan CHT dan/atau produksi tembakau. Pasal 17
(1) PBH surat keterangan keimigrasian, visa dan pajak bandara yang menjadi bagian daerah sebesar 25% dibagi dengan rincian : 21
a. 15% (lima belas perseratus) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 5% (lima perseratus) untuk Kabupaten/Kota penghasil; c. 5% (lima perseratus) untuk seluruh kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang sama besar. Pasal 18 (1)
PBH Sumber Daya Alam Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf a berasal dari: a. IIUPH; b. PSDH; dan c. Dana Reboisasi.
(2)
PBH Sumber Daya Alam Kehutanan yang berasal dari IIUPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 85% (delapan puluh lima perseratus) untuk kabupaten dan kota penghasil.
(3)
PBH Sumber Daya Alam Kehutanan yang berasal dari PSDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yang dihasilkan dari Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 85% (delapan puluh lima perseratus) dengan rincian: a. 17% (tujuh belas perseratus) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 34% (tiga puluh empat perseratus) untuk kabupaten dan kota penghasil; dan c. 34% (tiga puluh empat perseratus) dibagikan kepada seluruh kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang sama besar.
(4)
PBH Sumber Daya Alam Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, yang dihasilkan Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 50% (lima puluh perseratus) dengan rincian : 22
a. 10% (sepuluh perseratus) untuk provinsi; b. 40% (empat puluh perseratus) untuk kabupaten/kota penghasil. (5)
PBH Sumber Daya Alam Kehutanan yang bersumber dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Pasal 19
(1)
PBH Sumber Daya Alam Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf b, berasal dari: a. penerimaan pungutan pengusahaan perikanan; dan b. penerimaan pungutan hasil perikanan.
(2)
PBH Sumber Daya Alam yang berasal dari Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 95% (Sembilan puluh lima perseratus) yang dibagi kepada daerah dengan rincian: a. 10% (sepuluh perseratus) untuk provinsi; b. 85% (delapan puluh lima perseratus) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi dengan porsi yang sama besar. Pasal 20
(1)
PBH Sumber Daya Alam pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf c, berasal dari: a. Penerimaan Iuran Tetap; dan b. Penerimaan Iuran Produksi.
(2)
PBH Sumber Daya Alam pertambangan mineral dan batubara yang bersumber
dari
Iuran
Tetap,
yang
dihasilkan
daerah
yang
bersangkutan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ditetapkan sebesar 85% (delapan puluh lima perseratus) dengan rincian : a. 18% (delapan belas perseratus) untuk provinsi; 23
b. 67% (enam puluh tujuh perseratus) untuk kabupaten/kota penghasil. (3)
PBH Sumber Daya Alam pertambangan mineral dan batubara yang bersumber dari Iuran Tetap sebesar 85% (delapan puluh lima perseratus) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang diperoleh dari wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi, seluruhnya dialokasikan untuk provinsi yang bersangkutan.
(4)
PBH Sumber Daya Alam pertambangan mineral dan batubara yang bersumber dari Iuran Produksi yang dihasilkan daerah yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ditetapkan sebesar 85% (delapan puluh lima perseratus) dengan rincian: a. 18% (delapan belas perseratus) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 33,5% (tiga puluh tiga koma lima perseratus) untuk kabupaten dan kota penghasil; dan c. 33,5% (tiga puluh tiga koma lima perseratus) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang sama besar.
(5)
PBH Sumber Daya Alam pertambangan mineral dan batubara yang bersumber dari Iuran Produksi sebesar 85% (delapan puluh lima perseratus) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang diperoleh dari wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi dibagi dengan rincian: a. 18% (delapan belas perseratus) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 67% (enam puluh tujuh perseratus) untuk kabupaten dan kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang sama besar.
24
Pasal 21 (1)
PBH Sumber Daya Alam pertambangan minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf d, berasal dari penerimaan Negara dari sumber daya pertambangan gas bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan
lainnya
sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan. (2)
PBH Sumber Daya Alam pertambangan minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 40% (empat puluh perseratus) dengan rincian : a. 7,5% (tujuh setengah perseratus) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; b. 15% (lima belas perseratus) untuk kabupaten dan kota penghasil; dan c. 15% (lima belas perseratus) untuk seluruh kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang sama besar. d. 2,5% (dua setengah perseratus) untuk kebupaten dan kota yang masuk dalam daerah zona tambang.
(3)
PBH Sumber Daya Alam pertambangan minyak bumi sebesar 40% (empat puluh perseratus) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diperoleh dari wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi dibagi dengan rincian: a. 7,5% (tujuh setengah perseratus) untuk provinsi yang bersangkutan; dan b. 30% (tiga puluh perseratus) untuk seluruh kabupaten dan kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang sama besar. c. 2,5% (dua setengah perseratus) untuk kabupaten dan kota yang termasuk dalam daerah zona tambang. 25
Pasal 22 (1)
PBH Sumber Daya Alam pertambangan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf e, berasal dari bagian penerimaan negara pertambangan yang diperoleh dari pengusahaan pertambangan gas bumi setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan
lainnya
sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan. (2)
PBH Sumber Daya Alam pertambangan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 40% (empat puluh perseratus) dengan rincian: a. 8% (delapan perseratus) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; b. 15% (enam belas perseratus) untuk kabupaten dan kota penghasil; dan c. 15% (enam belas perseratus) untuk seluruh kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang sama besar. d. 2% (dua perseratus) untuk kabupaten dan kota yang termasuk dalam daerah zona tambang.
(3)
PBH Sumber Daya Alam pertambangan gas bumi sebesar 40% (empat puluh perseratus) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diperoleh dari wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi dibagi dengan rincian: a. 12% (dua belas perseratus) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan. b. 26% (dua puluh delapan perseratus) untuk seluruh kabupaten dan kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang sama besar.
26
c. 2% (dua perseratus) untuk kabupaten dan kota yang termasuk dalam daerah zona tambang. Pasal 23 (1)
PBH Sumber Daya Alam pengusahaan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf f, berasal dari: a. setoran bagian pemerintah; b. iuran tetap; dan c. iuran produksi.
(2)
PBH Sumber Daya Alam yang berasal dari pengusahaan panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 85% (delapan puluh lima perseratus) dengan rincian: a. 13% (tiga belas perseratus) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 36% (tiga puluh enam perseratus) untuk kabupaten dan kota penghasil; dan c. 36% (tiga puluh enam perseratus) untuk seluruh kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang sama besar. Pasal 24
(1)
Besarnya Dana Desa yakni paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi DAK.
(2)
90% dari Dana Desa tersebut dibagi secara merata untuk setiap desa.
(3)
10% dialokasikan kepada desa berdasarkan jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, dan tingkat kesulitan geografis desa.
27
Pasal 25 (1)
Menteri Keuangan menetapkan alokasi sementara PBH Pajak dan PBH CHT dan minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3) paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
(2)
Khusus untuk PBH CHT dan minuman beralkohol sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan
puluh)
hari
sebelum
berakhirnya
tahun
anggaran
berjalan, Menteri Keuangan menetapkan prognosa realisasi PBH CHT dan minuman beralkohol. Pasal 26 (1)
Menteri teknis menetapkan daerah penghasil dan penghitungan PBH sumber daya alam paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan setelah melakukan koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.
(2)
Daerah penghasil dan dasar penghitung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan.
(3)
Menteri Keuangan menetapkan alokasi sementara PBH Sumber Daya Alam untuk masing-masing daerah paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya ketetapan dari Menteri teknis. Pasal 27
Menteri Keuangan menetapkan prognosa realisasi PBH Sumber Daya Alam untuk masing-masing Daerah paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhirnya tahun anggaran berjalan. Pasal 28 Penyaluran PBH dilaksanakan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.
28
Pasal 29 (1)
PBH Pajak disalurkan per triwulan.
(2)
Penyaluran untuk 3 (tiga) triwulan pertama masing-masing sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dari alokasi sementara PBH Pajak yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3)
Penyaluran untuk triwulan keempat dilakukan berdasarkan prognosa realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan memperhitungkan penyaluran sebelumnya.
(4)
PBH PBB disalurkan per triwulan.
(5)
PBH PPh Pasal 25/29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 disalurkan setiap bulan.
(6)
PPN dan PpnBM disalurkan per triwulan. Pasal 30
(1)
PBH CHT disalurkan per triwulan.
(2)
Penyaluran untuk 3 (tiga) triwulan pertama dilakukan masingmasing sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dari alokasi sementara PBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1).
(3)
Penyaluran untuk triwulan keempat dilakukan berdasarkan prognosa realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dengan
memperhitungkan
penyaluran
3
(tiga)
triwulan
sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 31 (1)
PBH Sumber Daya Alam disalurkan per triwulan.
(2)
Penyaluran untuk 3 (tiga) triwulan pertama masing-masing sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dari alokasi sementara PBH Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3).
(3)
Penyaluran
untuk
triwulan
keempat
dilakukan
berdasarkan
penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dengan 29
memperhitungkan
penyaluran
3
(tiga)
triwulan
sebelumnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 32 Dalam hal terjadi kelebihan penyaluran PBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan PBH Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dalam tahun anggaran berjalan, kelebihan penyaluran tersebut diperhitungkan dengan penyaluran tahun anggaran berikutnya atau Dana Transfer yang lain pada tahun anggaran berjalan atau tahun anggaran berikutnya. Pasal 33 (1)
DAU ditetapkan paling sedikit 28% (dua puluh delapan perseratus) dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN.
(2)
Pendapatan Dalam Negeri Netto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan DBH.
(3)
DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk: a. Provinsi sebesar 10% (sepuluh perseratus); dan b. Kabupaten dan kota sebesar 90% (sembilan puluh perseratus).
(4)
DAU untuk provinsi dan kabupaten dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diubah sesuai dengan perubahan urusan antara provinsi dan kabupaten dan kota, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 34
(1)
DAU suatu daerah dialokasikan atas dasar Celah Fiskal.
(2)
Celah Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebagai selisih antara kebutuhan fiskal Daerah dengan kapasitas fiskal Daerah.
30
(3)
Kebutuhan
fiskal
Daerah
merupakan
kebutuhan
pendanaan
Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. (4)
Kebutuhan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan kebutuhan pelayanan dasar pendidikan, kesehatan,
infrastruktur
jalan
dan
transportasi,
pertanian,
perkebunan dan kehutanan dan belanja umum daerah lainnya. (5)
Kebutuhan pelayanan dasar pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diukur berdasarkan proyeksi penduduk usia sekolah dan biaya per unit dalam rangka penyediaan pelayanan dasar pendidikan.
(6)
Kebutuhan pelayanan dasar kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diukur berdasarkan proyeksi jumlah penduduk, tingkat kepadatan penduduk dan luas wilayah serta biaya per unit dalam rangka penyediaan pelayanan dasar kesehatan.
(7)
Kebutuhan pelayanan dasar infrastruktur jalan dan transportasi sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(4)
diukur
berdasarkan
konektivitas daerah, luas wilayah dan biaya per unit dalam rangka penyediaan pelayanan infrastruktur yang dimaksud. (8)
Kebutuhan pelayanan pertanian, perkebunan dan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diukur berdasarkan luas area pertanian, perkebunan dan kehutanan dan biaya biaya per unit dalam rangka menyediakan pelayanan yang dimaksud.
(9)
Kebutuhan belanja umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diukur berdasarkan proyeksi jumlah penduduk, luas wilayah dan biaya per unit dalam rangka penyediaan pelayanan umum daerah.
(10) Dalam
pengukuran
kebutuhan
fiskal
daerah
provinsi
dikelompokkan menjadi dua, yaitu provinsi besar dan provinsi kecil, yang diukur berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah. (11) Dalam pengukuran kebutuhan fiskal daerah kabupaten/kota dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kabupaten besar dan kota metropolitan, kabupaten sedang dan kota besar, dan kabupaten 31
kecil dan kota kecil, yang diukur berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah. (12) Kapasitas fiskal Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penjumlahan dari potensi PAD, PBH dan DAK. Pasal 35 (1)
DAU atas dasar celah fiskal suatu provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh provinsi.
(2)
Bobot provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi Celah Fiskal provinsi yang bersangkutan dengan total Celah Fiskal seluruh provinsi. Pasal 36
(1)
DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian bobot kabupaten/ kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh kabupaten dan kota.
(2)
Bobot kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi Celah Fiskal kabupaten/kota yang bersangkutan
(3)
dengan total Celah Fiskal seluruh kabupaten dan kota. Pasal 37
DAU untuk Daerah Otonom Baru, mulai dialokasikan pada tahun kelima sejak undang-undang pembentukannya diundangkan. Pasal 38 (1)
Menteri Keuangan mengusulkan kebijakan DAU, dalam nota keuangan
dan
RAPBN
tahun
anggaran
berikutnya,
yang
disampaikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. 32
(2)
Kebijakan DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Keuangan kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
(3)
Dewan
Pertimbangan
pembahasan
Otonomi
sebagaimana
Daerah
dimaksud
menyampaikan
pada
ayat
(2)
hasil untuk
ditetapkan oleh Presiden dalam penyampaian Nota Keuangan dan RAPBN kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Pasal 39 (1)
Berdasarkan hasil pembahasan antara Pemerintah dengan DPR dan DPD
tentang
alokasi
menetapkan
alokasi
DAU
dalam
DAU
untuk
APBN,
Menteri
masing-masing
Keuangan provinsi,
kabupaten dan kota paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan. (2)
Ketetapan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
mencakup
informasi alokasi masing-masing Daerah, dasar penghitungan alokasi DAU dan sumber data yang digunakan. Pasal 40 (1)
DAU disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.
(2)
Penyaluran
DAU
untuk
masing-masing
Daerah
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan setiap bulan masing-masing sebesar
1/12
(satu
perdua
belas)
dari
DAU
Daerah
yang
bersangkutan. (3)
Penyaluran
DAU
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2)
dilaksanakan sebelum bulan bersangkutan. (4)
Penyaluran DAU tahap pertama dilakukan pada awal bulan April.
33
Pasal 41 Ketentuan lebih lanjut mengenai DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39, dan Pasal 40 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 42 (1)
DAK dialokasikan kepada daerah berdasarkan usulan daerah mengacu
pada
RKPD
dan
musyawarah
perencanaan
dan
pembangungan Nasional/Daerah dalam mendorong percepatan pencapaian
Standar
Pelayanan
Minimum,
Prioritas
nasional
dan/atau kebijakan tertentu. (2)
DAK
dialokasikan
kepada
Daerah
tertentu
untuk
mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah, dan mendanai kegiatan pada provinsi berciri kepulauan. (3)
Kegiatan khusus dan kegiatan pada daerah berciri kepulauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah : a. kegiatan
dalam
rangka
mendorong
pemenuhan
Standar
Pelayanan Minimum pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, infrastruktur jalan, jembatan, sanitasi, irigasi, dan air minum; dan b. kegiatan dalam rangka pencapaian prioritas nasional. (4)
Kegiatan dalam rangka pencapaian prioritas nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b yang terkait dengan pelayanan dasar
di
bidang
pendidikan,
kesehatan,
infrastruktur
jalan,
jembatan, sanitasi, irigasi, dan air minum. Pasal 43 (1)
DAK diprioritaskan untuk mendanai
kegiatan dalam
rangka
mendorong percepatan pencapaian Standar Pelayanan Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf a.
34
(2)
Alokasi DAK untuk masing-masing bidang disesuaikan dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional.
(3)
DAK untuk masing-masing bidang diusulkan oleh masing-masing kementerian
teknis
terkait,
kepada
menteri
Perencanaan
Pembangunan Nasional dan menteri Keuangan. (4)
Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri Keuangan mengusulkan kebijakan DAK dalam nota keuangan dan RAPBN tahun anggaran berikutnya, yang disampaikan Pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat.
(5)
Kebijakan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh Menteri Keuangan kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
(6)
Dewan
Pertimbangan
pembahasan
Otonomi
sebagaimana
Daerah
dimaksud
menyampaikan
pada
ayat
(5)
hasil untuk
ditetapkan oleh Presiden dalam penyampaian Nota Keuangan dan RAPBN ke Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 44 (1)
Pemerintah menetapkan DAK berdasarkan kriteria umum dan Kriteria Khusus.
(2)
Kriteria Umum, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kemampuan keuangan daerah dan pemenuhan Standar Pelayanan Minimum.
(3)
Kriteria Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan
memperhatikan
peraturan
perundang-undangan
serta
kondisi geografis dan demografis daerah. (4)
Pelayanan Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pelayanan
dasar
pendidikan,
kesehatan,
infrastruktur
jalan,
jembatan, sanitasi, irigasi, dan air minum. (5)
Penentuan Daerah yang belum mencapai Standar Pelayanan Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan oleh 35
menteri teknis yang membidangi pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur jalan, jembatan, sanitasi, irigasi, dan air minum. Pasal 45 (1)
Kemampuan keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), dihitung dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja gaji PNSD.
(2)
Penerimaan umum APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah dari PAD, DAU dan DBH.
(3)
Kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam bentuk indeks.
(4)
Indeks Kemampuan Keuangan suatu Daerah (IKKD) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan Desil ketiga yang paling rendah dari keseluruhan daerah secara nasional dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pasal 46
(1)
Tingkat pencapaian Standar Pelayanan Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) ditetapkan dalam RKPD berupa indikator pencapaian.
(2)
Tingkat pencapaian SPM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung dengan membandingkan antara target dan capaian pelayanan.
(3)
Hasil
perhitungan
tingkat
capaian
pelayanan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam bentuk indeks. Pasal 47 Daerah yang mendapat DAK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (5), adalah Daerah dengan IKKD di bawah Desil ketiga secara nasional dan indeks pencapaian Standar Pelayanan Minimum di bawah Standar Pelayanan Minimum yang ditetapkan. 36
Pasal 48 (1)
Alokasi DAK suatu Daerah dihitung sebagai perkalian bobot daerah yang bersangkutan dengan pagu alokasi DAK nasional per bidang.
(2)
Bobot Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi jumlah IKKD dan indeks pencapaian Standar Pelayanan Publik Daerah yang bersangkutan dengan total IKKD dan total indeks pencapaian Standar Pelayanan Publik. Pasal 49
(1)
Besaran alokasi DAK ditetapkan berdasarkan biaya per unit kegiatan.
(2)
Kegiatan yang didanai DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang didanai oleh sumber pendanaan lainnya.
(3)
Kegiatan yang didanai oleh DAK yang juga didanai oleh sumber pendaannya lainnya dapat dikenakan sanksi.
(4)
Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), yakni berupa pemotongan dana transfer pusat. Pasal 50
(1)
DAK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dapat digunakan untuk mendanai kegiatan yang bersifat fisik dan non fisik.
(2)
Daerah
penerima
DAK
tidak
diwajibkan
menyediakan
Dana
Pendamping. Pasal 51 Ketentuan lebih lanjut mengenai DAK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 diatur dengan Peratuan Pemerintah.
37
Pasal 52 (1)
Berdasarkan hasil pembahasan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah tentang alokasi DAK dalam APBN, Menteri Keuangan menetapkan alokasi DAK untuk masing-masing provinsi, kabupaten dan kota paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan.
(2)
Ketetapan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
informasi
alokasi
masing-masing
Daerah,
dasar
penghitungan alokasi DAK dan sumber data yang digunakan. Pasal 53 (1)
Menteri/pimpinan lembaga teknis menetapkan pedoman umum penggunaan DAK untuk pencapaian Standar Pelayanan Minimum dan prioritas nasional.
(2)
Pedoman umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling
lambat
1
(satu)
tahun
setelah
Undang-Undang
ini
ditetapkan. (3)
Pedoman umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan setiap 2 (dua) tahun sekali. Pasal 54
(1)
DAK disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.
(2)
DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disalurkan per triwulan dengan porsi yang sama besar. Pasal 55
Tata cara penyaluran Dana Transfer diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
38
Pasal 56 (1)
Kepala Daerah menyampaikan laporan triwulan DAK yang memuat: a. laporan pelaksanaan keuangan kepada Menteri Keuangan; dan b. laporan pelaksanaan teknis DAK kepada Menteri teknis.
(2)
Penyampaian laporan triwulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir.
(3)
Menteri teknis menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan DAK setiap akhir tahun anggaran kepada Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional, dan Menteri Dalam Negeri.
(4)
Laporan triwulan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 57
(1)
Menteri Teknis melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DAK.
(2)
Menteri
Keuangan
melakukan
pemantauan
dan
evaluasi
pengelolaan keuangan DAK. (3)
Berdasarkan laporan kepala daerah sebagamana dimaksud dalam Pasal 50 dan hasil pemantauan dan evaluasi, menteri teknis dan menteri keuangan menyampaikan laporan kepada DPOD, dengan menyampaikan tembusan kepada menteri dalam negeri dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional. Pasal 58
(1)
Penyaluran
DAK
dapat
ditunda
apabila
Daerah
tidak
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50; (2)
Dalam hal daerah tidak menyampaikan laporan, Kementerian teknis
dapat
mempertimbangkan
penggunaan
laporan
tahun 39
sebelumnya sebagai dasar pengalokasian untuk tahun anggaran berikutnya. Pasal 59 Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan DAK perencanaan, yang berkaitan dengan penetapan bidang, pengalokasian, pelaporan dan sanksi
serta
pemantauan
dan
evaluasi
diatur
dalam
Peraturan
Pemerintah. BAB VIII PINJAMAN DAERAH DARI PUSAT Bagian Pertama Pinjaman Pasal 60 (1)
Pemerintah Daerah dapat melakukan pinjaman untuk membiayai sebagian anggarannya.
(2)
Pemerintah Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri.
(3)
Pinjaman kepada pihak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Pemerintah.
(4)
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi.
(5)
Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah pengurangan Dana
Transfer
Pemerintah
kepada
daerah
yang
melakukan
pelanggaran. Pasal 61 (1)
Pinjaman Daerah bersumber dari Pemerintah Pusat.
40
(2)
Pinjaman
Daerah
yang
bersumber
dari
Pemerintah
Pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan melalui Menteri Keuangan. Pasal 62 (1)
Jenis Pinjaman terdiri atas: a. Pinjaman Jangka Pendek; dan b. Pinjaman Jangka Panjang.
(2)
Pinjaman Jangka Pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun anggaran.
(3)
Kewajiban sebagaimana
pembayaran dimaksud
kembali pada
ayat
Pinjaman (1)
yang
Jangka meliputi
Pendek pokok
pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lainnya seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang berkenaan. (4)
Pinjaman Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran. Pasal 63
(1)
Pinjaman jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a, dipergunakan hanya untuk menutup kekurangan arus kas.
(2)
Pinjaman jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b dipergunakan untuk membiayai penyediaan infrastruktur dalam rangka pelayanan publik yang menjadi urusan Daerah.
(3)
Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diteruskan dalam bentuk penyertaan modal daerah yang diatur melalui Peraturan Daerah.
41
Pasal 64 (1)
Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pinjaman jangka pendek.
(2)
Pinjaman jangka pendek hanya dapat dilakukan kepada bank yang ditunjuk sebagai pengelola Rekening Kas Umum Daerah.
(3)
Pinjaman jangka pendek dilaporkan dalam laporan keuangan. Pasal 65
(1)
Kepala Daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang.
(2)
Dalam
melakukan
dimaksud
pada
pinjaman
ayat
(1)
jangka
Kepala
panjang,
Daerah
sebagaimana
harus
memenuhi
persyaratan: a. mampu mengembalikan pinjaman dan beban bunga; b. tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari Pemerintah; dan c. mendapatkan persetujuan DPRD. Pasal 66 (1)
Barang milik Daerah tidak boleh dijadikan jaminan Pinjaman Daerah, kecuali yang tidak atau belum digunakan dalam rangka pelayanan publik.
(2)
Kegiatan yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik Daerah yang melekat dalam kegiatan tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah. Pasal 67
(1)
Pinjaman Pemerintah Daerah yang dananya berasal dari luar negeri dilakukan
melalui
perjanjian
penerusan
pinjaman
kepada
Pemerintah Daerah. (2)
Perjanjian penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara Menteri Keuangan dan Kepala Daerah. 42
(3)
Perjanjian penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinyatakan dalam mata uang Rupiah. Pasal 68
Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya berasal selain dari penerusan pinjaman luar negeri dilakukan melalui perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan Kepala Daerah. Bagian Kedua Obligasi Daerah Pasal 69 (1)
Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah dalam mata uang Rupiah di pasar modal domestik.
(2)
Nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai nominal Obligasi Daerah pada saat diterbitkan.
(3)
Penerbitan Obligasi Daerah wajib memenuhi ketentuan dalam Pasal 65 dan Pasal 66 serta mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
(4)
Hasil penjualan Obligasi Daerah digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan/atau memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat.
(5)
Penerimaan dari investasi sektor publik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan untuk membiayai kewajiban bunga dan pokok Obligasi Daerah terkait dan sisanya disetorkan ke kas Daerah. Pasal 70
(1)
Pemerintah Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah dengan syarat:
43
a. mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian atau wajar dengan pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan Pemerintah Daerah; dan b. mendapatkan persetujuan dari DPRD dan Menteri Keuangan. (2)
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
huruf b,
diberikan atas nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang akan diterbitkan. (3)
Penerbitan Obligasi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Pasal 71
(1) Obligasi Daerah dijamin oleh Pemerintah Daerah. (2) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak mampu menjamin obligasi daerah makan penjaminan obligasi dilakukan oleh Pemerintah. Pasal 72 Setiap Obligasi Daerah sekurang-kurangnya mencantumkan: a.
nilai nominal;
b.
tanggal jatuh tempo;
c.
tanggal pembayaran bunga;
d.
tingkat bunga (kupon);
e.
frekuensi pembayaran bunga;
f.
cara perhitungan pembayaran bunga;
g.
ketentuan tentang hak untuk membeli kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo; dan
h.
ketentuan tentang pengalihan kepemilikan. Pasal 73
Persetujuan DPRD mengenai penerbitan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) meliputi pembayaran semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai akibat penerbitan Obligasi Daerah dimaksud. 44
Pasal 74 (1)
Pemerintah Daerah membayar bunga dan pokok Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo.
(2)
Dana untuk membayar bunga dan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan dalam APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.
(3)
Dalam hal dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencukupi untuk pembayaran bunga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
Kepala
Daerah
melakukan
pembayaran
dan
menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada DPRD dalam pembahasan Perubahan APBD. Pasal 75 (1)
Pengelolaan Obligasi Daerah diselenggarakan oleh Kepala Daerah.
(2)
Kepala Daerah menunjuk satuan kerja yang bertanggung jawab untuk mengelola Obligasi Daerah.
(3)
Pengelolaan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan Obligasi Daerah termasuk kebijakan pengendalian resiko; b. perencanaan dan penetapan struktur portofolio Pinjaman Daerah; c. penerbitan Obligasi Daerah; d. penjualan Obligasi Daerah melalui lelang; e. pembelian kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo; f.
pelunasan pada saat jatuh tempo; dan
g. pertanggungjawaban.
45
Bagian Ketiga Pelaporan Pinjaman dan Sanksi Pasal 76 (1)
Pemerintah Daerah wajib menyampaikan laporan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada Menteri Keuangan setiap semester dalam tahun anggaran berjalan.
(2)
Dalam hal Daerah tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan dapat mengenakan sanksi berupa penundaan penyaluran Dana Transfer. Pasal 77
(1)
Seluruh kewajiban Pinjaman Daerah yang jatuh tempo wajib dianggarkan dalam APBD tahun anggaran yang bersangkutan.
(2)
Dalam
hal
Daerah
tidak
memenuhi
kewajiban
membayar
pinjamannya kepada Pemerintah, kewajiban membayar pinjaman tersebut diperhitungkan dengan DAU dan/atau DBH yang menjadi hak Daerah tersebut. Pasal 78 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian pinjaman daerah, penerbitan
Obligasi
Daerah,
pelaporan
Pinjaman
Daerah
serta
pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. BAB IX HIBAH Pasal 79 (1)
Hibah merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang berasal dari Pemerintah, daerah lain, masyarakat dan badan usaha dalam negeri atau luar 46
negeri yang bertujuan menunjang peningkatan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. (2)
Hibah diberikan kepada Daerah dalam rangka: a. penerusan pinjaman luar negeri dan/atau hibah luar negeri; dan/atau b. penyelenggaraan kegiatan yang berskala nasional dan internasional; c. kegiatan tertentu untuk daerah berdasarkan usulan Kementrian/Lembaga.
(2)
Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui perjanjian hibah antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Pasal 80
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan hibah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. BAB X DANA DARURAT Pasal 81 (1)
Dana Darurat dapat dialokasikan kepada Daerah dalam APBN untuk mendanai keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana alam yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber APBD.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Darurat diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
47
BAB XI DANA DEKONSENTRASI Pasal 82 (1)
Dana Dekonsentrasi dialokasikan untuk mendanai urusan yang merupakan
kewenangan
Pemerintah
yang
pelaksanaannya
dilimpahkan kepada gubernur. (2)
Pelimpahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejalan dengan peran gubernur sebagai wakil Pemerintah.
(3)
Urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang didanai dari Dana Dekonsentrasi meliputi kegiatan atau program yang lebih tepat dan efisien dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi.
(4)
Kegiatan atau program yang didanai dari Dana Dekonsentrasi dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan oleh Gubernur. Pasal 83
(1)
Dana Dekonsentrasi merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga.
(2)
Besaran Dana Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan program atau kegiatan yang akan dilimpahkan.
(3)
Rencana lokasi dan anggaran untuk program dan kegiatan yang akan
didekonsentrasikan
disusun
dengan
memperhatikan
kemampuan keuangan negara, keseimbangan pendanaan dan tingkat kesejahteraan di Daerah, dan kebutuhan pembangunan Daerah. Pasal 84 (1)
Penyaluran Dana Dekonsentrasi dilakukan oleh Bendahara Umum Negara atau kuasanya melalui Rekening Kas Umum Negara.
48
(2)
Dalam hal pelaksanaan Dekonsentrasi terdapat saldo kas pada akhir tahun anggaran, saldo tersebut harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara.
(3)
Dalam hal pelaksanaan Dekonsentrasi menghasilkan penerimaan, penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN yang harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 85
(1)
Penatausahaan
keuangan
dan
barang
dalam
pelaksanaan
Dekonsentrasi dilakukan secara terpisah dari penatausahaan keuangan dan barang dalam pelaksanaan Desentralisasi. (2)
SKPD menyelenggarakan penatausahaan keuangan dan barang dalam rangka Dekonsentrasi secara tertib sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)
SKPD menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi kepada gubernur.
(4)
Gubernur menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi kepada menteri/ pimpinan lembaga yang memberikan pelimpahan urusan.
(5)
Menteri
negara/pimpinan
lembaga
menyampaikan
laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi secara nasional kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pasal 86 (1)
Semua barang yang diperoleh dari Dana Dekonsentrasi menjadi barang milik Negara.
(2)
Barang milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihibahkan Kepada Daerah.
49
(3)
Barang milik Negara yang dihibahkan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dikelola dan ditatausahakan oleh Daerah. Pasal 87
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penganggaran, penyaluran, pelaporan, pertanggungjawaban, dan penghibahan barang milik Negara yang diperoleh atas pelaksanaan Dana Dekonsentrasi diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 88 (1)
Pengawasan Dana Dekonsentrasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)
Pemeriksaan Dana Dekonsentrasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BAB XII DANA TUGAS PEMBANTUAN Pasal 89
(1)
Dana Tugas Pembantuan dialokasikan untuk mendanai urusan yang merupakan kewenangan Pemerintah yang pelaksanaannya ditugaskan kepada daerah dan desa.
(2)
Urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang didanai dari Dana Tugas Pembantuan meliputi kegiatan atau program
yang
lebih
tepat
dan
efisien
dilaksanakan
oleh
pemerintahan daerah. (3)
Kegiatan atau program yang didanai dari Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan
oleh
SKPD
yang
ditetapkan
oleh
gubernur,
bupati/walikota. 50
Pasal 90 (1)
Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga.
(2)
Besaran Dana Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan kegiatan atau program yang akan ditugaskan.
(3)
Rencana lokasi dan anggaran untuk program dan kegiatan yang akan ditugaskan disusun dengan memperhatikan kemampuan keuangan
negara,
keseimbangan
pendanaan
dan
tingkat
kesejahteraan di Daerah, dan kebutuhan pembangunan Daerah. Pasal 91 (1)
Penyaluran Dana Tugas Pembantuan dilakukan oleh Bendahara Umum Negara atau kuasanya melalui Rekening Kas Umum Negara.
(2)
Dalam hal pelaksanaan Tugas Pembantuan terdapat saldo kas pada akhir tahun anggaran, saldo tersebut harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara.
(3)
Dalam
hal
pelaksanaan
Tugas
Pembantuan
menghasilkan
penerimaan, penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN yang harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 92 (1)
Penatausahaan keuangan dan barang dalam pelaksanaan Tugas Pembantuan
dilakukan
secara
terpisah
dari
penatausahaan
keuangan dan barang dalam pelaksanaan Desentralisasi. (2)
SKPD menyelenggarakan penatausahaan keuangan dan barang dalam rangka Tugas Pembantuan secara tertib sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 51
(3)
SKPD
menyampaikan
laporan
pelaksanaan
kegiatan
Tugas
Pembantuan kepada Bupati atau Walikota. (4)
Gubernur,
Bupati
dan
Walikota
pertanggungjawaban
seluruh
Pembantuan
menteri
kepada
menyampaikan
pelaksanaan
laporan
kegiatan
negara/pimpinan
Tugas
lembaga
yang
menugaskan. Pasal 93 (1)
Semua barang yang diperoleh dari Dana Tugas Pembantuan menjadi barang milik negara.
(2)
Barang
milik
dihibahkan
negara
kepada
sebagaimana Daerah
dimaksud
bersamaan
pada
dengan
ayat
(1)
berakhirnya
pelaksanaan kegiatan atau program. (3)
Barang milik negara yang dihibahkan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dikelola dan ditatausahakan oleh Daerah.
(4)
Barang milik Negara yang tidak dihibahkan kepada Daerah wajib dikelola dan ditatausahakan oleh kementerian negara/lembaga yang memberikan penugasan. Pasal 94
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penganggaran, penyaluran, pelaporan, pertanggungjawaban, dan penghibahan barang milik Negara yang diperoleh atas pelaksanaan Tugas Pembantuan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 95 (1)
Pengawasan Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
52
(2)
Pemeriksaan Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BAB XIII INSENTIF FISKAL DAERAH Pasal 96
(1) Insentif fiskal diberikan kepada daerah yang memiliki prestasi dalam
pencapaian
prioritas
nasional,
pengelolaan
lingkungan
hidup, penyelenggaraan pelayanan dasar dan PAD. (2)
Prioritas nasional didasarkan pada dokumen RPJMN berlaku.
(3) Pengelolaan lingkungan hidup sebagaiman dimaksud dalam Ayat (1) didasarkan
pada
kemampuan
daerah
dalam
melestarikan
lingkungan hidup. (4) Penyelenggaraan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud
dalam
Ayat (1) didasarkan pada dokumen RKPD. (5) Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) didasarkan pada perbandingan antara realisasi dan potensi PAD. Pasal 97 Besaran insentif fiskal diberikan kepada daerah sebesar 5 % (lima perseratus) dari APBD tahun sebelumnya. Pasal 98 Penentuan prestasi daerah ditetapkan secara bersama oleh Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Bappenas dan kementerian teknis terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
53
BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 99 Ketentuan mengenai DBH PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilaksanakan mulai tahun anggaran 2017. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 100 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka : a. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor
68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor
62,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 3569) sepanjang yang terkait dengan peraturan pelaksanaan mengenai obyek perkebunan; c. Ketentuan Pasal 66A, Pasal 66B, Pasal 66C, dan Pasal 66D dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1997 tentang Cukai; d. Ketentuan
Undang-Undang
No.
11
Tahun
2006
tentang
Pemerintahan Aceh yang terkait dengan pasal 181 ayat (1) huruf a, b, dan c, dan pasal 183 ayat (2); dan 54
e. Ketentuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang terkait dengan pasal 34 ayat (3) huruf c. angka 4), angka 5), dan angka 6), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 101 Undang-Undang ini mulai berlaku sejak diundangkan. Agar setiap Orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal .................................... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal ……. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ….. NOMOR….
55
PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH I.
Umum Dalam rangka
mewujudkan cita cita Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yaitu untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, dan merata berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah perlu menyelenggarakan pemerintahan negara dan pembangunan nasional secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab. Untuk mencapai cita-cita tersebut, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten/kota, serta desa. Tiap tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya
secara
efisien
dan
efektif
dalam
upaya
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sesuai Pasal 18A ayat (2) Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Dengan demikian, Pasal ini merupakan landasan filosofis dan landasan konstitusional
pembentukan
Undang-Undang
tentang
Hubungan
Keuangan antara Pusat dan Daerah. Berdasarkan pemikiran ini sekaligus menjelaskan bahwa istilah perimbangan keuangan berdasarkan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemeritah
Pusat
dan
Pemerintahan
Daerah,
disesuaikan
menjadi
Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Dengan semakin luas dan kompleksnya pengaturan pengelolaan keuangan Negara yang bersifat mendasar dan menyeluruh dalam sistem keuangan Negara, sehingga Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan
Pemerintahan
Daerah
Keuangan perlu
antara
diperbaharui
Pemerintah menjadi
Pusat
dan
Undang-Undang 1
Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang ini juga diselaraskan dengan perubahan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 menjadi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai dan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Hakikat perubahan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjadi
Undang-undang
didasarkan
Hubungan
pertimbangan
Keuangan
semakin
besarnya
Pusat
dan
cakupan
Daerah
pengaturan
pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perlunya upaya secara terus-menerus untuk meningkatkan kewenangan pemungutan pemungutan
pajak
(taxing
pajak
mempertimbangkan
power)
pusat
daerah
kepada
prinsip-prinsip
dengan
daerah
pajak
daerah
menyerahkan
dengan yang
tetap
baik
dan
kesinambungan fiskal nasional, dan perlunya pengaturan mengenai prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah sehingga Undang-Undang ini lebih tepat disebut Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, sejalan dengan pengaturan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945. Sejalan
dengan
itu,
pembentukan
Undang-Undang
tentang
Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah dimaksudkan terutama untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada Pemerintahan Daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang
mengandung
makna
bahwa
pendanaan
mengikuti
fungsi
pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masingmasing tingkat pemerintahan. Dalam
rangka
penyelenggaraan
otonomi
daerah,
penyerahan,
pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada Daerah secara nyata
dan
bertanggung
jawab
harus
diikuti
dengan
pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk sumber-sumber keuangan negara yang harus dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsipprinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan 2
memperhatikan
potensi,
kondisi,
dan
kebutuhan
Daerah.
Secara
keseluruhan sumber-sumber pendanaan di daerah mencakup dana desentralisasi,
dekonsentrasi
dan
dana
tugas
pembantuan,
dana
pinjaman, dana darurat serta hibah daerah, dan pinjaman daerah. Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan agar terlaksana secara efisien dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur pendanaan
penyelenggaraan
pemerintahan.
Penyelenggaraan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dibiayai dari APBD, sedangkan penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dibiayai dari APBN, baik kewenangan Pusat yang didekonsentrasikan kepada Gubernur atau ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka Tugas Pembantuan. Sumber-sumber Dana Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Transfer, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Pendapatan. Pendapatan Asli Daerah merupakan Pendapatan Daerah yang bersumber dari hasil Pajak Daerah, Penerimaan Daerah Bukan Pajak khususnya hasil
Retribusi
Daerah,
hasil
pengelolaan
kekayaan
Daerah
yang
dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam
pelaksanaan
otonomi
daerah
sebagai
perwujudan
asas
Desentralisasi. Dana Perimbangan diubah menjadi Dana Transfer disesuaikan dengan istilah umum yang dipergunakan di berbagai Negara di dunia (best practices) dan merupakan pendanaan untuk Daerah yang bersumber dari APBN selain dimaksudkan untuk membantu Daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan
pemerintahan
mengurangi
kesenjangan
antara
Pusat
pendanaan
dan
Daerah
pemerintahan
serta
untuk
antar-Daerah.
Perubahan ini menemptakan dana perimbangan sebagai bagian dari dana transfer tersebut. Dana Transfer terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU),
dan Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Desa, termasuk
Dana Otonomi Khusus dan Dana Alokasi Istimewa. Komponen Dana Transfer ini merupakan satu kesatuan yang utuh mengingat tujuan jenisjenis sumber dana tersebut saling mengisi dan melengkapi. Dalam rangka 3
mengatasi ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah tersebut, maka untuk penguatan kemampuan keuangan daerah, dalam Undang-Undang ini dilakukakan beberapa penyempurnaan melalui penambahan jenis pajak daerah dan
besaran perseratus dari transfer (DBH, DAU, DAK,
Dana Desa) dengan tetap menjaga stabilitas fiskal secara nasional. DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Tujuan DBH untuk mengurangi ketimpangan vertikal antara pusat dan daerah dan untuk memberikan akses yang lebih besar kepada daerah terhadap sumber-sumber penerimaan yang cukup besar. Pendapatan yang berasal dari sumber PAD dari Pemerintah Provinsi, Kabupaten/kota (sebagai perseratus dari keseluruhan sumber daya) dalam kurun waktu 2006 sampai 2012, hanya berada di kisaran 15% dan 40% dari masingmasing APBD Kab/Kota dan Provinsi. Ketergantungan yang tinggi pada dana perimbangan di Indonesia terus berlanjut dalam beberapa tahun terakhir dan diperkirakan akan berlanjut pada tingkat yang hampir sama pada dekade mendatang. Untuk mengoreksi ketimpangan vertikal antara pusat dan daerah, dalam undang-undang ini diupayakan peningkatan porsi DBH-Pajak dan DBH-SDA serta memperkenalkan DBH-Pajak yang baru, dengan tetap memperhatikan keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability), dan ruang fiskal (fiscal space)yang aman. Penguatan kemampuan fiskal pemerintah daerah tersebut
terutama
dititikberatkan
pada
tingkat
pemerintahan
kabupaten/kota, dan keberlanjutan pembangunan wilayah pedesaan. Peningkatan porsi DBH-Pajak, DBH-SDA dan penambahan DBH-Pajak yang baru adalah sebagai berikut : (1)
DBH-OP PPh Pasal 25, Pasal 29 dan Pasal 21 ditingkatkan dari 20% menjadi
25%,
serta
pembagian
antara
provinsi
dengan
kabupaten/kota bergeser dari 40% dan 60% menjadi 50% dan 50%. (2)
Bagi hasil penerimaan perikanan dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk seluruh daerah kabupaten/kota, diubah menjadi 5% untuk pemerintah dan 95% kepada daerah penghasil. Adapun distribusinya adalah 10% untuk provinsi dan 85% untuk kabupaten/kota.
(3)
DBH-Minyak Bumi dengan imbangan 15.5% untuk daerah dan 84.5% untuk pusat, dengan distribusi sebesar 15% bagian daerah dibagi dengan rincian 3% untuk propinsi yang bersangkutan, 6% 4
untuk kabupaten/kota penghasil dan 6% untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan. Selanjutnya sebesar 0.5% lainnya dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar. Dengan rincian 0.1% untuk propinsi yang bersangkutan, 0.2% untuk kabupaten/kota penghasil dan 0.2% untuk kabupaten kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Proporsi tersebut berubah menjadi 60% untuk pemerintah, 7,5% untuk provinsi, 15% untuk kabupaten/kota penghasil, dan 15% untuk kabupaten/kota di dalam provinsi dengan porsi yang sama besar, serta 2,5% untuk daerah yang termasuk dalam zona tambang. (4)
DBH-Gas Bumi selama ini dengan imbangan 30.5% untuk daerah dan 69.5% untuk pusat, dengan distribusi
sebesar 6% untuk
provinsi yang bersangkutan, 12% untuk kabupaten/kota penghasil dan 12% untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan. Selanjutnya sebesar 0.5% lainnya dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar. Dengan rincian 0.1% untuk propinsi yang bersangkutan, 0.2% untuk kabupaten/kota penghasil dan 0.2% untuk kabupaten kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Proporsi tersebut berubah menjadi 60% untuk pemerintah, 8% untuk provinsi, 15% untuk kabupaten kota penghasil, dan 15% untuk kabupaten/kota di dalam provinsi dengan porsi yang sama besar, serta 2% untuk daerah yang termasuk dalam zona tambang. Pengaturan penggunaan DBH-Pajak dan DBH-SDA seluruhnya diserahkan kepada daerah (block grant) karena sifatnya yang immobile yaitu melekat pada daerah yang memiliki dan dapat diatur sesuai dengan batasan wilayah masing-masing. Obyek PBB perkebunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak termasuk sebagai pajak daerah. Dalam UndangUndang ini obyek PBB perkebunan tersebut dinyatakan sebagai bagian dari obyek pajak daerah, dengan pertimbangan obyek tersebut merupakan obyek yang immobile yaitu melekat pada daerah yang memiliki. DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah,
memperkuat
keuangan
daerah,
serta
dimaksudkan
untuk
mengkoreksi ketimpangan kemampuan keuangan antar-Daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi Daerah. Kemudian untuk memperkuat keuangan daerah sekaligus 5
mengkoreksi ketimpangan antar daerah, maka formula dari DAU diubah dengan tujuan efisiensi dan peningkatan sumber-sumber pendapatan keuangan daerah, dengan menggunakan pendekatan baru melalui pemberian insentif bagi daerah untuk meningkatkan PAD masing-masing. Perubahan ini memiliki hubungan dua arah dimana peningkatan sumbersumber keuangan daerah itu diukur melalui peningkatan PAD, atau dengan rumusan rasio antara PAD terhadap belanja daerah sehingga daerah yang berhasil menigkatkan PAD diberikan insentif, apabila tidak mampu meningkatkan PAD, maka daerah dengan sendirinya harus mengurangi belanjanya, hal ini dimaksudkan agar tercapai efisiensi dan memaksimalkan penggunaan dana belanja daerah serta peningkatan PAD. Dalam Undang-Undang ini ditegaskan kembali mengenai formula celah fiskal. Proporsi DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri Netto (PDN) dalam undang-undang ini ditingkatkan dari sekurang-kurangnya sebesar 26% dari PDN, menjadi 28% dari PDN yang ditetapkan dalam APBN. Definisi PDN Netto adalah Pendapatan Dalam Negeri dikurangi dengan Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA. DAU suatu Daerah ditentukan atas dasar insentif fiskal dan besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap), yang merupakan selisih antara kebutuhan Daerah (fiscal need) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dalam undang-undang ini, yang dimaksud dengan insentif fiskal adalah rasio antara PAD dibagi dengan Belanja Daerah,
sedangkan
fiscal
gap
merupakan
pengukuran
Proyeksi
Perhitungan Pelayanan Dasar berdasarkan standar analisa biaya (biaya per unit pelaksanaan pendidikan dasar terhadap jumlah anak usia sekolah,
biaya
pelaksanaan
kesehatan
per-unit
terhadap
jumlah
penduduk dan cakupan luas wilayah, infrastruktur jalan dan transportasi berdasarkan pelayanan
biaya
dasar
per-unit pertanian,
terhadap
panjang
perkebunan
dan
jalan
yang
kehutanan,
diurus, dihitung
berdasarkan biaya per unit terhadap luas area pertanian, perkebunan dan kehutanan yang diurus dan belanja umum (general spending) lainnya, dihitung berdasarkan biaya per-unit (unit cost) terhadap jumlah penduduk dan luas wilayahsecara konkrit. Alokasi DAU bagi Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. 6
Dalam penentuan alokasi DAU untuk masing-masing provinsi, kabupaten/kota, dalam undang-undang ini dibedakan menjadi masingmasing
dua
kelompok
untuk
provinsi
dan
tiga
kelompok
untuk
kabupaten/kota. Pengelompokkan (clustering) kabupaten/kota tersebut, terdiri dari Kabupaten Besar dan Kota Metro, Kabupaten Sedang dan Kota Besar dan Kabupaten Kecil dan Kota Kecil, yang ketiganya memiliki bobot yang berbeda dalam perhitungan DAU, yang diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah. DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di Daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar
pelayanan
minimum
atau
untuk
mendorong
percepatan
pembangunan Daerah. Dalam
kerangka
untuk
pemenuhan
prioritas
nasional
ini,
pengalaman di beberapa Negara menunjukkan bahwa alokasi DAK dipergunakan untuk mendorong tercapainya Standar Pelayanan Publik di bidang pendidikan dasar, kesehatan dan infrastruktur. Selain pemenuhan prioritas nasional, DAK juga dialokasikan sebagai kompensasi terhadap pembiayaan program maupun kegiatan pemerintah daerah yang memiliki dampak eksternalitas yang signifikan kepada daerah sekitarnya (to compensate for spillovers). Pengalokasian DAK yaitu kepada daerah yang belum dapat memenuhi Standar Pelayanan Publik (SPP) dikarenakan dana yang tersedia yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil tidak mencukupi.
DAK
juga
diperluas
jangkauannya
dalam
mendorong
pengembangan provinsi kepulauan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor 23 Tahun 2014. Agar keberadaan DAK ini lebih mudah diakses untuk memenuhi kebutuhan khusus daerah, maka kriterianya juga lebih disederhanakan. Kriteria tersebut mencakup kriteria umum, dan kriteria khusus. Sedang untuk kriteria teknis ditiadakan, karena dalam banyak pengelaman justru kriteria teknis ini sering menjadi penghambat terhadap aspek subtansial pembiayaan yang bersumber dari DAK, dengan kata lain kriteria ini sering menjadi complecated. Selain
itu
mengingat
kemampuan
keuangan
daerah
sangat
bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya, di dalam UndangUndang ini alokasi DAK tidak lagi mempersyaratkan kepada daerah 7
penerima
DAK
untuk
menyediakan
Dana
Pendamping
sekurang-
kurangnya 10% dari alokasi DAK. Sejalan
dengan
pentingnya
penanganan
pembangunan
pada
provinsi kepulauan, maka DAK juga mencakup pembiayaan khusus untuk provinsi kepulauan terkait dengan pelayanan dasar sebagaimana dikemukakan di atas. Dalam rangka memperkuat kapasitas fiskal daerah, besaran DAK dalam undang-undang ini tidak dibatasi. Ini dimaksudkan agar besaran tersebut secara nasional setiap tahunnya lebih ditentukan oleh seberapa besar prioritas nasional yang mesti diselesaikan, SPP yang mesti dibiayai, dan hal khusus lainnya yang terkait karakteristik demografi dan geografis daerah
yang
butuh
dukungan
pembiayaan,
serta
tentunya
mempertimbangkan kapasitas fiskal nasional dan prioritas nasional lainnya. Dana Transfer kepada Daerah yang memiliki Otonomi Khusus terutama
dimaksudkan
untuk
menjamin
keberlangsungan
dan
kesinambungan pembangunan, sekaligus untuk mengakhiri potensi konflik politik, maka dana Otonomi Khusus untuk Provinsi di Papua, Papua Barat dan Provinsi Aceh diberikan Dana Otonomi Khusus yang berlaku seterusnya dari yang semula dibatasi jangka waktu. Di samping alokasi Dana Otonomi Khusus, Undang-Undang ini juga mengalokasikan Dana Alokasi Istimewa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Undang-Undang pemerintah
negara
internasional,
ini
juga
mengatur
hibah
asing,
badan/lembaga
Pemerintah,
badan/lembaga
yang
asing, dalam
berasal
dari
badan/lembaga negeri
atau
perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa termasuk tenaga ahli, dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali. Dalam lain-lain pendapatan selain hibah, Undang-Undang ini juga mengatur pemberian Dana Darurat kepada Daerah karena bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi dengan dana APBD. Untuk mempercepat proses pembangunan di daerah serta meningkatkan pelayanan publik, Pemerintah membuka kesempatan kepada
pemda
Pembiayaan pertumbuhan
melakukan
pembangunan ekonomi
pinjaman yang
Daerah
sebagai
bertujuan dan
salah
satu
sumber
untuk
mempercepat
meningkatkan
kesejahteraan 8
masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi Keuangan Daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional. Oleh karena itu, Pinjaman Daerah perlu mengikuti kriteria, persyaratan, mekanisme, dan sanksi Pinjaman Daerah yang diatur dalam UndangUndang ini. Dalam Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung ke luar negeri. Pinjaman yang bersumber dari luar negeri hanya dapat dilakukan melalui Pemerintah dengan mekanisme penerusan pinjaman. Pengaturan ini dimaksudkan agar terdapat prinsip kehati-hatian dan kesinambungan fiskal dalam kebijakan fiskal dan moneter oleh Pemerintah. Di lain pihak, Pinjaman Daerah tidak hanya
dibatasi
untuk
membiayai
prasarana
dan
sarana
yang
menghasilkan penerimaan, tetapi juga dapat untuk membiayai proyek pembangunan prasarana dasar masyarakat walaupun tidak menghasilkan penerimaan. Selain itu, dilakukan pembatasan pinjaman dalam rangka pengendalian defisit APBD dan batas kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah. Daerah juga dimungkinkan untuk menerbitkan Obligasi Daerah dengan persyaratan tertentu, serta mengikuti peraturan perundangundangan di bidang pasar modal dan memenuhi ketentuan nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang mendapatkan persetujuan Pemerintah. Segala bentuk akibat atau risiko yang timbul dari penerbitan Obligasi Daerah menjadi tanggung jawab Daerah sepenuhnya. Pengelolaan keuangan dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan yang sudah menjadi tuntutan masyarakat. Semua penerimaan dan pengeluaran yang menjadi hak dan kewajiban Daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan
harus
dimasukkan
dalam
APBD.
Dalam
pengadministrasian Keuangan Daerah, APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Surplus APBD digunakan untuk membiayai Pengeluaran Daerah tahun anggaran berikutnya, membentuk Dana Cadangan, dan penyertaan modal dalam Perusahaan Daerah. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber Pembiayaan untuk menutup defisit 9
tersebut. Pengaturan tersedianya
Dana
dana
bagi
Dekonsentrasi pelaksanaan
bertujuan kewenangan
untuk
menjamin
Pemerintah
yang
dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah. Dana Tugas Pembantuan
untuk
menjamin
tersedianya
dana
bagi
pelaksanaan
kewenangan Pemerintah yang ditugaskan kepada Daerah. Dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa pengadministrasian Dana
Dekonsentrasi
dan
Tugas
Pembantuan
dilakukan
melalui
mekanisme APBN, sedangkan pengadministrasian Dana Desentralisasi mengikuti mekanisme APBD. Hal ini dimaksudkan agar penyelenggaraan pembangunan dan Pemerintahan Daerah dapat dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Dalam
rangka
meningkatkan
pelaksanaan
Desentralisasi
berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, diperlukan adanya dukungan Sistem Informasi Keuangan Daerah. Sistem tersebut antara lain dimaksudkan untuk perumusan kebijakan dan pengendalian fiskal nasional. Berdasarkan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, maka pokok-pokok muatan perubahan dalam Undang-Undang ini adalah sebagai berikut: a. Penegasan
prinsip-prinsip
dasar
Hubungan
Keuangan
antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sesuai asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan; b. Penguatan kemampuan keuangan daerah melalui koreksi ketimpangan fiskal vertikal (vertical fiscal imbalance), koreksi ketimpangan fiskal antar daerah (horizontal fiscal imbalance), dengan penyempurnaan besaran perseratustase Dana Transfer, meliputi penguatan Dana Bagi Hasil minyak bumi, kehutanan, perikanan, pengalihan DBH-PBB Perkebunan menjadi pajak daerah, dan perubahan perseratus Dana Bagi Hasil PPH Orang Pribadi. Di samping itu, dalam Undang-Undang ini jumlah keseluruhan DAU di tingkatkan dari paling sedikit 26% (dua puluh enam perseratus) menjadi paling sedikit 27% (dua puluh tujuh perseratus) dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN. c. Penyempurnaan perumusan formula Dana Alokasi Umum dengan tujuan
efisiensi
dan
peningkatan
sumber-sumber
pendapatan
keuangan daerah, dengan menggunakan pendekatan baru melalui 10
pemberian insentif bagi daerah untuk meningkatkan PAD masingmasing Daerah dan upaya efisiensi belanja daerah. Rumusan formula DAU baru didasarkan atas Insentif (IF) yang diukur berdasarkan rasio PAD dan belanja daerah, dan Fiscal Gap (FG) yaitu selisih antara kebutuhan fiskal (Kbf) dan kapasitas fiskal (Kf). Kebutuhan fiskal diukur terutama melalui pengukuran belanja untuk pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, infrasturktur dan belanja umum daerah yang masing masing variabel dicerminkan berdasarkan biaya per-unit (unit cost) pelayanan terhadap cakupan pelayanan; d. Memposisikan Dana Desa sebagai bagian dari Dana Perimbangan yang dimaksudkan
untuk
memberi
jaminan
kesinambungan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan wilayah pedesaan, untuk mengakselerasi kemajuan nasional secara merata. e. Penyesuaian kembali prinsip-prinsip dasar pengalokasian DAK sebagai salah
satu
unsur
Dana
Perimbangan
yang
mengakomodasikan
kepentingan nasional (national interest) dan tugas pelayanan umum pemerintah yang telah didesentralisasikan kepada daerah. Secara empiris di berbagai negara, pelayanan dasar di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur selalu menjadi prioritas pemerintah pusat agar pemerintah daerah mampu memberikan pelayanan yang memadai kepada masyarakat. Mengingat keterbatasan dana pemerintah dalam pemenuhan pelayanan dasar tersebut, maka DAK harus difokuskan pada tiga sektor tersebut ditambah beberapa sektor yang menjadi prioritas pembangunan jangka menengah pemerintah. Selain itu, besaran
DAK
perlu
ditingkatkan
untuk
menjamin
pemenuhan
kebutuhan dasar pelayanan tersebut. f. Penerimaan khusus dalam rangka Otonomi Khusus Papua, Papua Barat dan dana tambahan infrastruktur serta Otonomi Khusus Aceh yang berlaku selama periode tertentu sesuai ketentuan undang-undang otonomi khusus Papua dan otonomi khusus Aceh, dalam UndangUndang ini diatur berlaku seterusnya dengan pertimbangan untuk mengakhiri potensi konflik yang bernuansa politik dan mengganggu keutuhan NKRI. Perlakuan di bidang keuangan pada provinsi Papua dan
Aceh
dimasukkan
untuk
memperkuat
kesatuan
nasional,
peningkatan kesejahteraan masyarakat, penghargaan terhadap budaya setempat, dan peningkatan pelayanan dasar masyarakat, namun harus diupayakan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah yang baik 11
yaitu
memenuhi
prinsip-prinsip
tranparansi,
akuntabilitas,
profesionalitas, efisiensi, dan penerapan kaidah-kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan daerah (best practices); g. Undang-Undang ini juga mengalokasikan Dana Alokasi Istimewa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. h. Penyempurnaan pengaturan Hibah dan Dana Darurat, disesuaikan dengan ketentuan perundangan yang berlaku; i. Penyempurnaan
persyaratan
dan
mekanisme
Pinjaman
Daerah,
termasuk Obligasi Daerah; j. Peningkataan kualitas pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan daerah khususnya pengaturan surplus dan defisit APBD; k. Dalam rangka efisiensi belanja, porsi belanja modal ditetapkan sekurang kurangnya 20 % dari total belanja dalam APBD. Bagi daerah yang
porsi
belanja
modalnya
masih
dibawah20%
(dua
puluh
perseratus) dilarang untuk menambah pegawai, termasuk mengganti PNSD yang memasuki masa pensiun. Pelanggaran terhadap ketentuan ini harus dikenakan sangksi berupa, pengurangan Dana Transfer, atau tidak disetujuinya usulan pengangkatan CPNSD. l. Perubahan sistem tahun anggaran yang digunakan oleh Pemerintah Pusat
dan
Pemerintahan
Daerah
dibedakan.
Tahun
anggaran
pemerintah pusat berlaku sejak 1 Januari s/d 31 Desember sedangkan pemerintahan daerah diberlakukan sejak 1 April s/d 31 Maret, dengan pertimbangan untuk memberikan waktu bagi daerah dalam menyusun perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan anggaran yang lebih akurat; m. Prinsip akuntabilitas dan responsibilitas dalam Undang-Undang ini dipertegas dengan pemberian sanksi. n. Pengaturan insentif fiskal yang dialokasikan atas dasar pencapaian prestasi daerah dalam prioritas nasional, pengelolaan lingkungan hidup, penyelenggaraan pelayanan dasar dan PAD. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 12
Cukup Jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup Jelas Ayat (4) Cukup Jelas Ayat (5) Cukup Jelas Ayat (6) Cukup Jelas Ayat (7) Cukup Jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi adalah Peraturan Daerah yang mengatur pengenaan Pajak dan Retribusi oleh 13
Daerah terhadap obyek-obyek yang telah dikenakan pajak oleh Pusat dan Provinsi, sehingga menyebabkan menurunnya daya saing Daerah. Huruf b Contoh pungutan yang dapat menghambat kelancaran mobilitas penduduk, lalulintas barang dan jasa antar-Daerah, dan kegiatan impor/ekspor antara lain adalah Retribusi izin masuk kota dan Pajak/Retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke daerah lain. Ayat (2) Sebagai bentuk pelaksanaan azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Ayat (3) Sebagai bentuk pelaksanaan tugas pembantuan. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup Jelas Ayat (4) Cukup Jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Selama ini biaya pemungutan diperlukan untuk pemungutan PBB Perdesaan
dan
Perkotaan.
Mengingat
PBB
Perdesaan
dan 14
Perkotaan telah diserahkan menjadi pajak daerah sesuai UU Nomor
28
Tahun
2009,
maka
biaya
pemungutan
untuk
perkebunan, perhutanan dan pertambangan tidak diperlukan lagi. Ayat (2) Wilayah
laut
yang
menjadi
kewenangan
kabupaten/kota
didasarkan atas peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi didasarkan atas peraturan perundang-undangan. Ayat (4) Wilayah laut yang menjadi kewenangan pemerintah didasarkan atas peraturan perundang-undangan. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) didasarkan atas kontribusi daerah provinsi dan kabupaten/kota dilihat dari penerimaan PPN dan Ppn-Bm atas konsumsi yang dicerminkan
PDRB
provinsi
dan
kabupaten/kota
yang
bersangkutan terhadap PDB. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud kabupaten/kota penghasil dalam ketentuan ini adalah kabupaten/kota tempat pengusahaan tembakau dan peredaran minuman beralkohol. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas 15
Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud kabupaten/kota penghasil dalam ketentuan ini adalah kabupaten/kota tempat pengusahaan hutan pada provinsi yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Bagian daerah di lingkungan masing-masing provinsi dari DBH Sumber Daya Alam yang berasal dari Perikanan dibagi hasilkan 10% (dua puluh perseratus) untuk provinsi yang bersangkutan dan 85% (delapan puluh perseratus) untuk kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan secara proporsional. Contoh: Provinsi A yang terdiri dari lima kabupaten/kota memperoleh DBH Sumber
Daya
Alam
yang
berasal
dari
Perikanan
sebesar
Rp.50.000.000.000,- (lima puluh milyar), maka alokasi DBH Sumber Daya Alam yang berasal dari perikanan adalah: 1. Provinsi A, memperoleh 10% (dua puluh perseratus) dari Rp.50.000.000.000,- (lima puluh milyar) sama dengan Rp. 5.000.000.000,- (Lima milyar). 2. Lima kabupaten/kota di wilayah provinsi A, masing-masing memperoleh 85% (delapan puluh lima perseratus) dikalikan Rp.50.000.000.000,- (lima puluh milyar) dibagi lima sama dengan
Rp.
8.500.000.000,-
(delapan
milyar
lima
ratus
jutarupiah).
16
Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf (a) Cukup jelas Huruf (b) Yang dimaksud dengan kabupaten/kota penghasil dalam ketentuan ini adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan pertambangan minyak bumi. Huruf (c) Daerah zona tambang adalah kabupaten dan atau kota yang menjadi satu kesatuan wilayah dengan daerah tambang yang berproduksi, namun kegiatan produksinya berada pada kabupaten atau kota yang lain pada provinsi yang berbeda. Penetapan daerah zona tambang dilakukan oleh kementrian terkait dalam bentuk surat keputusan yang dilengkapi dengan peta atas zona tambang dimaksud. Ayat (3) Yang dimaksud dengan Wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi
dalam
ketentuan
ini
didasarkan
atas
peraturan
perundang-undangan. Huruf (a) Cukup jelas Huruf (b) Cukup jelas 17
Huruf (c) Daerah zona tambang adalah kabupaten dan atau kota yang menjadi satu kesatuan wilayah dengan daerah tambang yang berproduksi, namun kegiatan produksinya berada pada kabupaten atau kota yang lain pada provinsi yang berbeda. Penetapan
daerah
zona
tambang
dilakukan
oleh
kementrian terkait dalam bentuk surat keputusan yang dilengkapi dengan peta atas zona tambang dimaksud. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang
dimaksud
dengan
kabupaten/kota
penghasil
dalam
ketentuan ini: a. untuk wilayah daratan (on shore) adalah wilayah daratan kabupaten/kota yang menjadi tempat kepala sumur (wellhead) produksi gas bumi; dan b. untuk wilayah lepas pantai (off shore) adalah wilayah laut kabupaten/kota yang menjadi tempat anjungan (platform) gas bumi. Ayat (3) Yang dimaksud dengan Wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi
dalam
ketentuan
ini
didasarkan
atas
peraturan
perundang-undangan. Pasal 23 Ayat (1) Setoran Bagian Pemerintah dalam ketentuan ini berlaku bagi kontrak pengusahaan panas bumi sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 27 Tahun 2003. Iuran Tetap dan Iuran Produksi dalam ketentuan ini berlaku bagi kontrak pengusahaan panas bumi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas 18
Ayat (2) Dengan perhitungan ini setiap desa akan memperoleh jumlah yang sama. Perbedaan kemudian terjadi karena pertimbangan keadaan khusus desa tertentu. Ayat (3) Data jumlah desa, jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, dan tingkat kesulitan geografis bersumber dari kementerian yang berwenang dan/atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik. Pasal 25 Ayat (1) Menteri
Keuangan
dalam
menetapkan
prognosa
DBH
mempertimbangkan data realisasi penerimaan pajak, CHT, dan SDA tiga triwulan sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup Jelas Pasal 27 Cukup Jelas Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas.
19
Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Daerah kabupaten/kota yang ada di wilayah Provinsi DKI Jakarta tidak menerima DAU karena otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakkan pada lingkup provinsi sesuai dengan perundangundangan yang berlaku. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Penyediaan pelayanan umum tersebut harus terlihat di dalam dokumen perencanaan daerah untuk 5 tahun di dalam RPJMD, dan untuk tahunan di dalam RKPD. Ayat (10) Kriteria
ini
sekaligus
dapat
digunakan
menghitung
tingkat
kepadatan penduduk suatu daerah provinsi. Ayat (11) 20
Kriteria
ini
sekaligus
dapat
digunakan
menghitung
tingkat
kepadatan penduduk suatu daerah kabupaten/kota. Ayat (12) Potensi PAD dimaksud dapat diukur dengan menggunakan data penerimaan rata-rata dalam 3 (tiga) tahun terakhir. Pasal 35 Ayat (1) DAU Provinsii = Bobot Provinsii x DAU Seluruh Provinsi Ayat (2) 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑃𝑟𝑜𝑣𝑖 =
𝐶𝐹 𝑃𝑟𝑜𝑣𝑖 ∑𝐶𝐹 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑃𝑟𝑜𝑣
dimana, CF Provinsii
= celah fiskal untuk provinsii
CF Provinsi
= total celah fiskal seluruh provinsi
Pasal 36 Ayat (1) DAU Kabupaten/Kotai = Bobot Kabupaten/Kotai x DAU Seluruh Kabupaten/Kota Ayat (2) 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐾𝑎𝑏/𝐾𝑜𝑡𝑎𝑖 =
𝐶𝐹 𝐾𝑎𝑏/𝐾𝑜𝑡𝑎𝑖 ∑𝐶𝐹 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝐾𝑎𝑏/𝐾𝑜𝑡𝑎
dimana, CF Kabupaten/Kotai
= celah fiskal untuk Kabupaten/Kotai.
CF Kabupaten/Kota = total celah fiskal seluruh Kabupaten/Kota. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup Jelas Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Dimaksudkan untuk memperkuat integrasi perencanaan daerah dan nasional, serta pelaksanaannya di tingkat daerah. 21
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam penyusunan RPJMD, sejak awal Pemerintah Daerah harus memperhatikan RPJMN untuk memadukan antara kebutuhan pembangunan daerah dengan kebijakan nasional yang ditetapkan di dalam RPJMN. Ayat (3) Usulan
kementrian
teknis
didasarkan
pada
usulan
dari
Pemerintah Daerah. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kondisi geografis dan demografis dimaksud sebagai kekhususan masalah atau potensi yang membutuhkan dukungan pembiayaan. Contoh untuk kekhususan geografis adalah wilayah perbatasan negara, daerah terpencil, wilayah kepulauan, dan lain-lain. Sedang contoh untuk kekhususan demografis adalah daerah yang rentan kemiskinan, rawan pangan, penyakit menular tertentu, buta aksara, dan lain-lain.
22
Ayat (4) Target dan capaian pelayanan minimum, harus dituangkan dalam RKPD. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Dalam
penyusunan
RKPD,
Pemerintah
Daerah
harus
mencantumkan capaian Standar Pelayanan Minimum pada tahun sebelumnya dan target capaian pada tahun berikutnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Indeks tersebut untuk masing-masing jenis pelayanan. Pasal 47 Berdasarkan kriteria IKKD yang dihitung berdasarkan Desil keempat yang paling rendah dari keseluruhan daerah secara nasional dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan tersebut, maka hanya ada 40% (empat puluh perseratus) daerah yang akan menerima DAK berdasarkan kriteria ini. Kriteria ini dimaksudkan untuk membatasi daerah yang layak untuk menerima DAK dan di lain pihak dimaksudkan untuk mempercepat pencapaian Standar Pelayanan Publik pada daerah yang benar-benar membutuhkan bantuan Pemerintah. Pasal 48 Ayat (1) DAKi = Bobot Daerahi x pagu alokasi DAK Nasional per bidang Ayat (2) DAK SPM diperuntukkan bagi daerah yang KKD-nya rendah dan SPM-nya belum mencapai kriteria tertentu, maka indeks IKKD dan indeks SPM perlu di-invers. 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ𝑖 =
𝐼𝐾𝐾𝐷 −1 𝑖 + 𝐼𝑃𝑆𝑃𝑀 −1 𝑖 𝛴(𝐼𝐾𝐾𝐷−1 + 𝐼𝑃𝑆𝑃𝑀−1 )
dimana, 𝐼𝐾𝐾𝐷−1 𝑖 = invers Indeks kemampuankeuangan daerah untuk Daerah i 23
𝐼𝑃𝑆𝑃𝑀−1 𝑖 = invers Indeks pencapaian Standar Pelayanan Publik untuk Daerah i ∑(𝐼𝐾𝐾𝐷 −1 + 𝐼𝑃𝑆𝑃𝑀−1 )= Total invers indeks kemampuankeuangan daerah dan indeks pencapaian Standar Pelayanan Publik Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Pinjaman jangka pendek hanya dapat dilaksanakan untuk mendanai kegiatan yang sudah tercantum dalam APBD. Dalam 24
ketentuan ini yang dimaksud dengan kekurangan arus kas antara lain untuk menutup kekurangan pembayaran gaji pegawai. Ayat (2) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “pelayanan publik” adalah
kegiatan
atau
rangkaian
kegiatan
dalam
rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang dan jasa yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Ayat (3) Dalam ketentuan ini yang dimaksud diteruskan kepada Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa pinjaman, hibah, dan/atau penyertaan modal. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman menunjukan rasio kemampuan membayar kembali pinjaman yang dikenal dengan istilah Debt Service Coverage Ratio (DSCR) dihitung dengan formula sebagai berikut: 𝐷𝑆𝐶𝑅 =
{𝑃𝐴𝐷 + 𝐷𝐴𝑈 + (𝐷𝐵𝐻 − 𝐷𝐵𝐻𝐷𝑅)} − 𝐵𝑃 ≥5 𝑃𝑜𝑘𝑜𝑘 𝑝𝑖𝑛𝑗𝑎𝑚𝑎𝑛 + 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 + 𝐵𝐿
DSCR= Rasio Kemampuan Membayar Kembali Pinjaman Daerah yang bersangkutan; PAD= Pendapatan Asli Daerah; DAU= Dana Alokasi Umum; DBH = Dana Bagi Hasil; DBHDR = Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi; BP = Belanja Pegawai; Pokok Pinjaman = Angsuran Pokok Pinjaman; Bunga = Beban Bunga Pinjaman; 25
BL= Biaya Lain. Yang termasuk biaya lain misalnya biaya administrasi, komitmen, provisi, asuransi, dan denda yang terkait dengan Pinjaman Daerah.Besaran PAD, DAU, DBH, DBHDR, dan BW dihitung dari rata-rata realisasi per tahun selama 3 (tiga) tahun terakhir.Pokok Pinjaman, Bunga, dan Biaya Lain merupakan
Kewajiban
Pinjaman.
PAD
untuk
provinsi
dihitung setelah PAD tersebut dikurangi dengan dana bagi hasil kepada kabupaten/kota. PAD untuk kabupaten/kota dihitung setelah PAD tersebut ditambah dengan dana bagi hasil dari provinsi. Huruf c. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan persetujuan DPRD merupakan izin prinsip Pemerintah Daerah untuk melakukan pinjaman jangka panjang dan sebagai dasar pelaksanaan Persetujuan
kegiatan tersebut
yang DPRD
didanai diberikan
dari
pinjaman.
dalam
bentuk
keputusan DPRD. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Persetujuan DPRD atas semua Obligasi Daerah yang diterbitkan secara otomatis merupakan persetujuan atas pembayaran dan pelunasan segala kewajiban keuangan di masa mendatang yang timbul dari penerbitan Obligasi Daerah.
Setelah
Pemerintah
Daerah
mendapatkan
persetujuan dari DPRD, Pemerintah Daerah meneruskan permohonan
penerbitan
Obligasi
Daerah
kepada 26
pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan persetujuan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan nilai bersih adalah tambahan atas nilai nominal Obligasi Daerah yang beredar. Tambahan nilai nominal ini merupakan selisih antara nilai nominal Obligasi Daerah yang diterbitkan dengan nilai nominal obligasi yang ditarik kembali dan dilunasi sebelum jatuh tempo dan obligasi yang dilunasi pada saat jatuh tempo selama satu tahun anggaran. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Ayat (1) Huruf a. Dengan ketentuan ini, Pemerintah Daerah tidak dapat menerima hibah secara langsung dari pihak luar negeri. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b. Cukup jelas 27
Huruf c. Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Pada dasarnya dana penanggulangan pasca bencana berasal dari APBD, tetapi apabila APBD tidak mencukupi untuk menanggulangi bencana tersebut Pemerintah Pusat dapat mengalokasikan Dana Darurat dalam APBN. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup Jelas. Pasal 90 Cukup jelas Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. 28
Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Ayat (1) Pemberian insentif fiskal harus berdasar pada prestasi daerah pada salah satu atau beberapa bidang secara bersamaan, yakni pencapaian prioritas nasional, pengelolaan lingkungan hidup, pelayanan
dasar
mencakup
pendidikan,
kesehatan,
dan
penyediaan infrastruktur, dan dalam peningkatan PAD. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Penilaian
tersebut
didasarkan
pada
realisasi
PAD
tahun
sebelumnya. Pasal 97 Cukup Jelas. Pasal 98 Penilaian tersebut harus dilakukan secara bersama melalui satu tim terpadu setiap tahunnya. Untuk kementrian teknis disesuaikan dengan aspek prestasi daerah yang akan dinilai. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …
29