Rancangan Pengolahan Limbah Pertambangan EmasVolume Rakyat dengan Eceng Gondok Marsen Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara 7, Nomor 3, Juli 2011 :... 100 – 106Alimano, dkk.
RANCANGAN PENGOLAHAN LIMBAH PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT DENGAN ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) DI BOLAANG MONGONDOW
MARSEN ALIMANO, M. LUTFI dan RETNO DAMAYANTI Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara Jalan Jenderal Sudirman 623, Bandung 40211 Telp. 022 6030483, Fax. 022 6003373 e-mail :
[email protected];
[email protected];
[email protected] SARI Emas yang merupakan komoditi penting dalam perekonomian dunia telah memicu pertumbuhan kegiatan pertambangan bijih emas, baik dalam skala besar maupun kecil. Pengolahan emas rakyat pada umumnya menggunakan merkuri, yang dikenal dengan proses amalgamasi. Pemakaian merkuri dapat mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Penelitian di daerah Bolaang Mongondow menunjukkan kandungan merkuri di hulu sungai sebesar 0,024 ppm dan telah melebihi ambang batas yang diperbolehkan (0,002 ppm). Kandungan merkuri yang tinggi terdapat di sedimen kolam pengendapan No. 4, yaitu sebesar 3,01 ppm, jauh di atas ambang batas yang diperbolehkan (0,49 ppm). Berdasarkan hal tersebut, diperlukan suatu rancangan pengelolaan merkuri yang lebih baik untuk mengolah limbah cair dari proses amalgamasi dengan memanfaatkan teknologi sederhana yang didukung oleh kemampuan sumber daya alam setempat. Salah satu cara pengurangan kadar merkuri di badan perairan adalah dengan proses bioremediasi menggunakan tanaman air eceng gondok (Eichhornia crassipes) karena eceng gondok mudah didapat dan mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam menyerap merkuri. Diharapkan dengan perancangan sederhana ini pencemaran air dapat dikurangi. Kata kunci : pengolahan emas rakyat, kadar merkuri, bioremediasi, eceng gondok
ABSTRACT Gold is an important commodity in the world economy that triggers the growth of mining activities, in both large and small scales. Artisanal minings normally use mercury in the amalgamation process that leads to environmental degradation. An observation at Bolaang Mongondow area shows that the mercury content of upper stream is 0.024 ppm and it exceeds the threshold (0.002 ppm). The mercury content in the sediment of settling pond no. 4 is 3.01 ppm, above the treshold (0.49 ppm). Therefore, a better treatment design is required for managing the liquid waste from amalgamation process using simple technology, i.e. biological remediation by water hyacinth (Eichhornia crassipes). The plant is known as a fast growing accumulator of mercury. Keywords : artisanal mining, mercury content, bioremediation, water hyacinth
Naskah masuk : 18 Maret 2011, revisi pertama : 25 April 2011, revisi kedua : 01 Juni 2011, revisi terakhir : Juli 2011
100
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 7, Nomor 3, Juli 2011 : 100 – 106
PENDAHULUAN
Karakteristik Daerah
Merkuri merupakan logam berat yang umum digunakan pada pengolahan bijih emas, dikenal sebagai proses amalgamasi. Proses amalgamasi sering digunakan karena metodenya sederhana dan biayanya relatif lebih murah dibandingkan dengan proses lainnya. Dengan alasan tersebut, para penambang rakyat lebih memilih teknologi ini dalam pengolahan bijih emas. Penggunaan merkuri dalam proses pengolahan bijih emas memiliki sisi negatif berupa pencemaran lingkungan di sekitar lokasi kegiatan bila tidak dilakukan pengelolaan dengan baik. Hal ini disebabkan oleh sifat akumulatif merkuri.
Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki banyak gunung berapi dengan jalur mineralisasi emas tertentu yang cukup potensial, baik sebagai endapan primer maupun sekunder. Pada saat ini Indonesia menempati urutan 7 sebagai negara penghasil emas terbesar di dunia. Endapan emas tersebut terkonsentrasi di lima pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa, Papua, dan Sulawesi (Wahyudi, dkk., 2004).
Merkuri merupakan satu-satunya logam yang berwujud cair pada suhu kamar. Logam ini berbahaya bila masuk dan terakumulasi di dalam organ tubuh. Dalam bentuk uap, merkuri dapat terhisap langsung dan merusak paru-paru. Dalam bentuk metil merkuri, senyawa ini dapat terserap oleh makhluk hidup hingga 95%. Apabila merkuri sudah masuk ke dalam tubuh berpotensi menyebabkan kerusakan pada organ pencernaan, hati, limfa, ginjal, syaraf yang dapat menyebabkan mati rasa, dan kehilangan keseimbangan (Alimano dan Darmutji, 2007). Berdasarkan kondisi di atas, penulis mencoba mengkaji cara pengolahan limbah amalgamasi secara sederhana dengan menggunakan eceng gondok. Diharapkan hasil rancangan ini dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan kualitas hidup masyarakat di sekitar pengolahan emas di daerah Bolaang Mongondow.
Gambar 1.
101
Kabupaten Bolaang Mongondow di Provinsi Sulawesi Utara memiliki potensi pertambangan emas yang cukup menjanjikan dalam skala menengah ke bawah (Pemkab Bolaang Mongondow, 2009). Hal ini mendorong masyarakat untuk melakukan pertambangan bijih emas sebagai mata pencaharian. Usaha pertambangan emas rakyat ini sebagian besar menggunakan merkuri dalam proses pengolahannya. Selain memiliki potensi di bidang pertambangan, Bolaang Mongondow pun memiliki potensi yang besar di bidang pertanian dan perikanan air tawar (Pemkab Bolaang Mongondow, 2009). Hal inilah yang menjadi dilema, terutama bagi pemerintah daerah dan masyarakat setempat, karena kemungkinan tercemarnya lingkungan oleh merkuri dari proses amalgamasi. Kondisi ini disebabkan banyak kegiatan pertambangan emas berada di hulu sungai, sedangkan kegiatan pertanian dan pemukiman penduduk berada di hilir sungai.
Peta lokasi penelitian
Rancangan Pengolahan Limbah Pertambangan Emas Rakyat dengan Eceng Gondok ... Marsen Alimano, dkk.
METODOLOGI Data kandungan merkuri di badan perairan daerah Bolaang Mongondow diperoleh dari data primer. Di samping itu digunakan juga data sekunder dari hasil penelitian yang pernah dilakukan tentang kemampuan eceng gondok dalam menyerap merkuri. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan pemercontohan adalah: HNO3 - p.a. (asam nitrat) Wadah percontoh air berupa botol gelas Kantong percontoh plastik untuk percontoh sedimen
memiliki kedalaman rendah (tidak mencapai 50 cm) sehingga percontoh dapat langsung diambil dan disimpan di dalam botol percontoh. Percontoh di kolam pun langsung diambil karena kedalaman kolam tidak ada yang melebihi 2 meter. Percontoh diawetkan dengan menambah HNO3 hingga pH 2 supaya memiliki waktu penyimpanan maksimum hingga 1 bulan. Analisis kandungan merkuri dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Bandung. HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi penelitian di Bolaang Mongondow (gambar 1) sedangkan lokasi pemercontohan ditetapkan atas 3 (tiga) dasar pertimbangan, yaitu: Kualitas air sebelum adanya pengaruh kegiatan pengolahan emas di daerah studi. Lokasi ini diperlukan untuk mengetahui kualitas air sebelum terpapar kegiatan (base line data). Sumber pencemar. Kualitas air yang masuk ke badan perairan setelah proses pengolahan.
Warga Bolaang Mongondow telah lama menggunakan merkuri dalam proses ekstraksi bijih emas. Mereka menggunakan peralatan gelundung yang dilengkapi dengan bola pengaduk (ball mills). Merkuri ditambahkan ke dalam gelundung tersebut sehingga membentuk amalgam dilanjutkan dengan pemisahan lumpur (slurry) dari merkurinya. Lumpur tersebut diperas untuk mengeluarkan merkuri yang berlebih dan ditampung agar dapat digunakan kembali. Tahapan terakhir adalah pemisahan merkuri dengan menggunakan alat retor (retort), namun pada saat ini umumnya amalgam langsung digarang (roasted) dengan tidak menggunakan retor yang baik, atau bahkan tanpa retor sehingga mencemari lingkungan sekitar.
Waktu pengambilan percontoh tidak ditentukan secara spesifik karena proses kegiatan pengolahan berlangsung secara kontinu sehingga diasumsikan tidak terdapat fluktuasi kualitas air yang besar. Karakteristik aliran air dan proses pengolahan tidak banyak berubah dalam suatu periode atau batas jarak tertentu sehingga digunakan jenis percontoh sesaat (grab sample). Pemercontohan dilakukan secara manual. Sungai yang melewati daerah pengolahan
Pengolahan limbah cair pada lokasi pegelundungan dilakukan dengan cara membuat kolam-kolam untuk mengendapkan ampas yang mengandung merkuri. Hal ini mengikuti kaidah perbedaan berat jenis antara merkuri dengan air pembawanya. Pada daerah studi terdapat 4 buah kolam pengendap dengan tingkat pengendapan yang tidak optimal. Hal ini dapat dilihat dari kandungan merkurinya yang masih berada di atas baku mutu yang diperbolehkan (Tabel 1).
Metode Penelitian
Tabel 1.
Nilai merkuri pada badan air dan kolam pengendap di lokasi studi Kandungan Merkuri [ppm]
Lokasi Hulu Sungai Tanoyan Outlet Pengolahan Bijih Outlet Kolam Pengendapan Outlet Kolam Pengendapan Outlet Kolam Pengendapan Outlet Kolam Pengendapan Hilir Sungai Tanoyan
1 2 3 4
0,024 0,2 0,17 0,16 0,17 0,15 0,034
Baku Mutu [ppm] 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002
Keterangan: Baku Mutu PP. RI. No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dengan Klasifikasi Mutu Kelas 2 (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2006)
102
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 7, Nomor 3, Juli 2011 : 100 – 106
Klasifikasi baku mutu yang ditetapkan adalah Kelas 2 karena air sungai di lokasi studi merupakan air baku bagi pertanian dan perikanan. Dari Tabel 1 diketahui air sungai di daerah hulu sudah melewati baku mutu yang ditentukan. Ada tiga kemungkinan yang menyebabkan penyebabnya, yaitu: Adanya tempat pengolahan emas lain. Adanya bekas tempat pengolahan emas. Adanya merkuri secara alami.
Bagan alir pengolahan tersaji pada Gambar 2. Penurunan nilai merkuri setelah melewati 4 kolam hanya sekitar 0,050 ppm, yaitu dari 0,200 ppm menjadi 0,150 ppm. Nilai merkuri yang berkurang mungkin terakumulasi di sedimen atau tanaman. Hal tersebut ditunjang dengan data pada Tabel 2. Nilai merkuri pada sedimen yang tercantum dalam Tabel 2 sudah ada yang melebihi baku mutu.
Sungai
Kolam Pengendap 4
Kolam Pengendap 2
Kolam Pengendap 3
Kolam Pengendap 1
Proses Pengolahan Bijih Emas
Gambar 2. Tabel 2.
Bagan alir pembuangan limbah cair pengolahan bijih emas di Bolaang Mongondow
Nilai merkuri pada sedimen di lokasi studi Lokasi
Hulu Sungai Tanoyan Daerah Pengolahan Bijih Kolam Pengendapan 1 Kolam Pengendapan 2 Kolam Pengendapan 3 Kolam Pengendapan 4 Hilir Sungai Tanoyan
Kandungan Merkuri [ppm] 0,17 2,66 0,70 0,37 0,36 3,01 0,2
Baku Mutu [ppm] 0,49 0,49 0,49 0,49 0,49 0,49 0,49
Keterangan: Baku mutu berdasarkan pedoman kualitas sedimen untuk melindungi kehidupan hayati air di Kanada (Veiga and Baker, 2004)
103
Rancangan Pengolahan Limbah Pertambangan Emas Rakyat dengan Eceng Gondok ... Marsen Alimano, dkk.
Kandungan merkuri di sedimen tersebut adalah akumulasi merkuri dari limbah cair. Untuk lebih memperjelas sifat akumulasi merkuri tersebut dapat juga dilihat data pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan akumulasi kandungan merkuri pada rumput yang semakin meningkat ke arah hilir. Dari tabel tersebut, pengolahan bijih emas terbukti memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap pencemaran merkuri di daerah sekitarnya.
Tabel 3.
Nilai merkuri pada tanaman rumput di lokasi studi Lokasi
Hg [ppm]
Hulu Sungai Tanoyan Dekat Outlet Pengolahan Bijih Hilir Sungai Tanoyan
Gambar 3.
2,610 6,370 12,360
Rancangan Sederhana Pengolahan Merkuri Rancangan pengelolaan merkuri yang akan diterapkan disesuaikan dengan kondisi setempat. Gambar 3 memperlihatkan kondisi aktual bagan alir proses pengolahan bijih emas. Limbah cair dari proses tersebut dialirkan secara alami melewati 4 kolam pengendapan sebelum dibuang ke sungai (Gambar 3). Pada keempat kolam pengendap tersebut juga telah berlangsung proses pengendapan merkuri secara alami namun belum optimal. Dengan ketersediaan air yang cukup besar, kolamkolam tersebut dapat ditanami oleh tumbuhan air yang memiliki kemampuan menyerap logam berat. Salah satu tanaman air yang mempunyai kemampuan menyerap logam adalah eceng gondok (Eichhornia crassipes). Eceng gondok dipilih karena mudah dijumpai hampir di seluruh pulau di Indonesia. Sementara itu, Sulawesi Utara memiliki kesulitan
Kolam pengolahan air buangan proses mineral di lahan penelitian
104
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 7, Nomor 3, Juli 2011 : 100 – 106
dalam mengelola eceng gondok yang jumlahnya semakin banyak. Daerah yang memiliki masalah tersebut antara lain Danau Tondano. Rajan, dkk (2008) menyebutkan bahwa eceng gondok setelah terpapar selama satu minggu mampu menyerap merkuri sebesar 36,5 mg/kg berat kering tunas dan 62,1 mg/kg berat kering akar untuk kondisi perairan aerob, sedangkan untuk kondisi perairan anaerob adalah 13,4 mg/kg berat kering tunas dan 67,3 mg/kg berat kering akar. Pemilihan eceng gondok sebagai agen bioremediasi didasarkan pada beberapa faktor: Terdapat kelimpahan tanaman tersebut di perairan air tawar Sulawesi Utara sebagai upaya untuk menanggulangi eceng gondok dalam posisinya sebagai gulma (tanaman pengganggu). -
Karakteristik eceng gondok yang memiliki serat yang kuat menyebabkan tanaman ini pada tahap pasca pengolahan logam dapat dijadikan sebagai bahan untuk kerajinan industri berupa kursi, meja, baki, dan penyangga tanaman hias.
Pada tahap pengolahan air limbah dari proses amalgamasi, tanaman eceng gondok ditempatkan pada kolam pengolahan 1, dengan pertimbangan sebagai berikut: Memiliki lahan yang lebih luas. Elevasi yang lebih tinggi, dapat menunjang peningkatan kandungan oksigen terlarut (DO Dissolved Oxygen) dalam air yang muncul dari terjunan air outlet kolam pengolahan sebelumnya ke kolam pengolahan selanjutnya sehingga beban sungai untuk memulihkan DO akan lebih kecil. Berdasarkan hasil pengamatan, air yang masuk ke dalam kolam pengendap 1 memiliki kadar merkuri sebesar 0,200 ppm atau 0,200 mg/L. Dimensi kolam pengendap itu 15 m x 5 m x 2 m (p x l x t). Dengan demikian, volume air yang tertampung di kolam tersebut adalah 150 m 3 (150.000 L), sehingga kandungan merkuri di kolam pengendap 1 dapat mencapai 0,200 mg/L x 150.000 L = 30.000 mg. Dengan asumsi eceng gondok dapat menyerap merkuri hingga 98,6 mg/kg berat kering (total dari akar dan tunas), maka dibutuhkan sebanyak 305 kg berat kering eceng gondok. Dengan rata-rata berat kering eceng gondok adalah 10% dari berat basah optimumnya, diperlukan eceng gondok seberat 3.050 kg di kolam pengendap 1 untuk menanggulangi merkuri.
105
Umumnya eceng gondok mampu tumbuh dan dapat mencapai berat basah kurang lebih 1,5 kg dengan ukuran lebar badan 15 cm. Dengan ukuran tersebut maka diperlukan sekitar 2.034 buah eceng gondok untuk menyerap merkuri secara total. Kapasitas kolam pengolahan 1 tersebut dapat menampung hingga 3.300 buah eceng gondok. Dengan demikian, pengolahan merkuri dengan eceng gondok memungkinkan untuk dilakukan di kolam pengolahan 1. Dengan adanya rancangan pengolahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas air limbah yang dibuang ke sungai. Berkaitan dengan kemampuan eceng gondok dalam mengakumulasi logam, perlu penanganan khusus pada pemanfaatan tanaman air tersebut, diantaranya: Apabila terdapat eceng gondok yang mati, harus segera diangkat karena tanaman tersebut akan mengendap ke dasar kolam sehingga dapat menimbulkan pendangkalan. -
Pengukuran awal terhadap kejenuhan daya serap tanaman tersebut perlu dilakukan sehingga dapat diperkirakan waktu penanaman kembali dengan eceng gondok yang baru.
Eceng gondok bisa tumbuh dengan cepat. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu dilakukan beberapa cara pencegahan. Salah satu cara sederhana yang mudah adalah dengan menyediakan satu kolam khusus di luar kolam pengolahan yang ada untuk diisi oleh ikan koan (Ctenopharyngodon idella) dan ikan lain yang dapat memakan tanaman seperti ikan nila. Ikan koan tersebut memakan akar eceng gondok. Apabila telah terjadi dekomposisi dan daunnya sudah menyentuh air maka dapat dimakan oleh ikan nila tersebut. Namun perlu mendapat perhatian agar ikanikan tersebut tidak dikonsumsi baik oleh manusia maupun hewan. Kolam ikan tersebut dapat dibuat di sekitar lokasi pengolahan tersebut. Eceng gondok setelah digunakan sebagai penyerap logam dapat digunakan untuk keperluan lain. Setianingsih (2009) melaporkan bahwa eceng gondok merupakan primadona baru di bidang perekonomian masyarakat Sulawesi Utara. Dua hal utama pemanfaatan eceng gondok dalam industri kecil menengah adalah sebagai bahan kerajinan tangan, seperti sandal jepit, tas, dan kursi, yang sudah banyak diekspor ke luar negeri dan batangnya dapat digunakan sebagai bahan penyangga rangkaian bunga. Salah satu sentra pengrajin eceng gondok terdapat di Dusun Pengaron, Desa Pengumbulan di Tikungan,
Rancangan Pengolahan Limbah Pertambangan Emas Rakyat dengan Eceng Gondok ... Marsen Alimano, dkk.
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Di sentra ini eceng gondok dibuat menjadi tas dan setiap orang mampu menghasilkan 5 tas anyaman per hari. KESIMPULAN DAN SARAN Telah terjadi pencemaran merkuri pada badan air di daerah pengolahan bijih emas di daerah Bolaang Mongondow. Pada sedimen pun telah ada akumulasi merkuri yang nilai konsentrasinya jauh di atas baku mutu yang diperbolehkan. Tanaman eceng gondok yang selama ini menjadi gulma di perairan Sulawesi Utara memiliki kemampuan menyerap logam pada akar dan tunasnya, baik dalam kondisi aerob maupun anaerob. Dengan kemampuan tersebut diharapkan eceng gondok dapat dijadikan sebagai agen bioremediasi pada proses pengolahan limbah kegiatan pertambangan emas rakyat di Bolaang Mongondow sehingga dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Proses pengambilan kembali (recycle) merkuri dari hewan atau tumbuhan dapat dilakukan dengan menggunakan proses pembakaran menggunakan alat retor atau insinerator. DAFTAR PUSTAKA Alimano, M. dan Darmutji, S., 2007. Evaluasi proses amalgamasi emas terhadap kesehatan masyarakat. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara No. 40 Tahun 15. ISSN 0854-7890. Bandung. Hal 25 31.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2006. Himpunan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta. Pemkab Bolaang Mongondow, 2009. Peluang investasi sektor pertambangan. http://www.bolmongkab.go.id/ Tanggal Kemunculan 19 Juni 2007. Diakses tanggal 4 November 2009. Rajan, M., Darrow, J., Hua, M., Barnet, B., Mendoza, M., Greenfield, B., and Andrew, J., 2008. Hg L3 XANES Study of Mercury Methylation in Shredded Eichhornia crassipes. Environ. Sci. Technol 42 (15) 5568 - 5573 p. Setianingsih, D. A., 2009. Eceng gondok, primadona baru Minahasa. http://tkpkri.org/berita/berita/ecenggondok,-primadona-baru-minahasa20071106254.html. Diakses tanggal 4 November 2009. Veiga, M., and Baker, R., 2004. Protocols for environmental and health assesment of mercury released by artisanal and small-scale gold miners. DRAFT. Copyright UNIDO. Wahyudi, T., Suardi N. A., Saleh, N., Hariyasa, Untung, S.R., Damayanti, R., Surachman, M., Daranin, E., Sujono, Gunawan, Saefudin, R., Suherman, I., Bisri, U., dan Yunianto, B., 2004. Penambangan dan pengolahan emas di Indonesia. Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung.
106