RANCANG BANGUN SISTEM EVALUASI KEPADATAN GULMA BERBASIS SENSOR RGB DENGAN METODE JARINGAN SYARAF TIRUAN
WAHYU WIBOWO
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Rancang Bangun Sistem Evaluasi Kepadatan Gulma Berbasis Sensor RGB dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan adalah benar karya saya dengan arahan dari Dr. Mohamad Solahudin dan Dr. Slamet Widodo dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2016 Wahyu Wibowo NIM F14100131
ABSTRAK WAHYU WIBOWO. Rancang Bangun Sistem Evaluasi Kepadatan Gulma Berbasis Sensor RGB dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan. Dibimbing oleh MOHAMAD SOLAHUDIN dan SLAMET WIDODO. Gulma merupakan kompetitor utama tanaman budidaya yang berpotensi mengurangi hasil panen karena adanya kompetisi terhadap sinar matahari, air dan unsur hara yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang tanaman. Akhir-akhir ini pada pengendalian gulma berbasis kimiawi, manajemen gulma di spesifik lokasi yang diakomodasikan dengan keragaman spasial dan temporal dari serangan gulma dalam menentukan dosis yang tepat berdasarkan Variable Rate Technology (VRT) lebih baik dibandingkan pendekatan tradisional dengan menggunakan dosis tunggal pada pengaplikasian herbisida. Dalam aplikasi tersebut, penentuan tingkat kepadatan gulma merupakan tugas penting. Beberapa metode telah dipelajari untuk mengevaluasi kepadatan serangan gulma. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun sistem yang mampu mengevaluasi kepadatan gulma berbasis sensor RGB (Red, Green, Blue). Sensor RGB digunakan untuk mengakuisisi nilai RGB dan darinilai tersebut dilakukan pelatihan menggunakan metode Jaringan Syaraf Tiruan (JST) dengan 1 hidden layer, 280 data training, 60 data validasi, dan 60 data tes. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh akurasi sebesar 83.75% pada evaluasi kepadatan gulma uji coba lapangan. Kata kunci : Jaringan syaraf tiruan, pertanian presisi, pengendalian gulma, sensor RGB
ABSTRACT WAHYU WIBOWO. Development of Weeds Density Evaluation System using Artificial Neural Network Method Based on RGB Sensor. Supervised by MOHAMAD SOLAHUDIN and SLAMET WIDODO. Weeds are main plant competitor which potentially reduces the yields due to competition for sunlight, water and soil nutrients has needed for the growth and development of plants. Recently, for chemical-based weed control, site-specific weed management that accommodates spatial and temporal diversity of weeds attack in determining the appropriate dose of herbicide based on Variable Rate Technology (VRT) is more preferable than traditional approach with single dose herbicide application. In such application, determination of the level of weed density is an important task. Several methods have been studied to evaluate the density of weed attack. The objective of this study is to develop a system that is able to evaluate weed density based on RGB (Red, Green, and Blue) sensors. RGB sensor is used to acquire the RGB values and from that values training using artificial neural network (ANN) method is conducted with 280 training data (70%), 60 validation data (15%), and 60 testing data (15%). Based on test result generated an accuracy of 83.75% from field test. Keyword
: Artificial Neural Network, precision farming, RGB sensor, weed control
RANCANG BANGUN SISTEM EVALUASI KEPADATAN GULMA BERBASIS SENSOR RGB DENGAN METODE JARINGAN SYARAF TIRUAN
WAHYU WIBOWO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Judul Skripsi : Rancang Bangun Sistem Evaluasi Kepadatan Gulma Berbasis Sensor RGB dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Nama NIM
: Wahyu Wibowo : F14100131
Disetujui oleh
Dr Ir Mohamad Solahudin, MSi Pembimbing I
Dr Slamet Widodo, STP MSc Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Desrial, MEng Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dari penelitian ini ialah Rancang Bangun Sistem Evaluasi Kepadatan Gulma Berbasis Sensor RGB dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan. Ungkapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Tarni dan Bapak Suwarto, serta seluruh keluarga, atas segala doa, nasihat, kasih sayang dan motivasi tiada henti yang diberikan selama proses penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Mohamad Solahudin, MSi dan Dr Slamet Widodo, STP MSc selaku dosen pembimbing serta Bapak Supriyanto, STP MKom selaku dosen penguji yang telah banyak memberi bimbingan, dukungan, perhatian, masukan dan saran kepada penulis. Disamping itu, tidak lupa ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Kudang Boro Seminar, MSc dan Dr Ir Liyantono, STP MAgr atas dukungan moril, rohaniah, serta masukan dan saran kepada penulis, yayasan alumni IPB yang telah membantu dalam segi pendanaan untuk penyelesaian skripsi ini, rekan-rekan penelitian (Alvin, Fahmi, Danang, Rifan, Johan, Kardinah) yang telah membantu dalam proses pemograman, pengumpulan data, doa dan dorongan semangat bagi penulis, dan teman-teman laboratorium Teknik Bioinformatika, tetap semangat mengukir prestasi. Penulis menyadari dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia terutama dalam bidang pengembangan pertanian presisi. Bogor, April 2016 Wahyu Wibowo
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Pertanian Presisi Gulma Herbisida Klasifikasi Tingkat Kepadatan Gulma Metode Bertingkat Metode Pengembangan Prototipe Metode Jaringan Syaraf Tiruan Penelitian Terdahulu METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metode HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Alat Perancangan Sensor Perancangan Rumah Sensor Kalibrasi Sensor Pengujian Evaluasi Kepadatan Gulma Uji Coba Lapangan SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
vi vi 1 1 1 2 2 2 2 2 3 4 5 6 7 7 8 8 8 8 17 17 17 18 21 22 25 25 25 26 28
DAFTAR TABEL 1 Penentuan kelas kepadatan pada pengkelas bertingkat (Solahudin 2013) 2 Nilai klasifikasi tingkat kepadatan gulma secara bertingkat (Solahudin 2013) 3 Perbandingan jarak sensor dan range nilai RGB 4 Nilai rataan dan standar deviasi delta-E
6 6 20 22
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Gulma berdaun lebar Ageratum conyzoides Gulma rumput-rumputan Axonopus compressus Gulma teki-tekian Cyperus kyllinga Metode pengembangan prototipe TCS3200 color sensor Arduino mega 2560 Desain sistem akuisisi nilai RGB Ilustrasi akuisisi nilai RGB gulma Arsitektur JST pada kalibrasi sensor Arsitektur JST pada pengujian evaluasi kepadatan gulma Penggabungan pembacaan sensor Interpetasi hasil sistem evaluasi Perangkat sensor tipe A dan tipe B Tahapan pengujian jarak optimal sensor Contoh sampel 125 warna Tahapan kalibrasi sensor Sampel objek gulma lapangan Aplikasi penduga kepadatan Gulma (Solahudin 2013) Tahapan pengujian evaluasi kepadatan gulma uji coba lapangan Perancangan sensor, (a) RGB sensor modul (b) LED ultrabright (c) hasil perancangan perangkat sensor Mekanisme reflektansi parabola (a) Permukaan dalam kubah (b) rumah sensor Perancangan rumah sensor (a) tampak isometri, (b) irisan samping Proses akuisisi nilai RGB kalibrasi sensor Contoh perbandingan warna hasil pembacaan sensor (S), interpolasi (I), ANN (A), dan Referensi (R) Modifikasi aplikasi penduga kepadatan gulma Validasi hasil evaluasi kepadatan gulma uji coba lapangan
3 4 4 9 10 10 11 11 12 12 13 13 14 14 14 15 16 16 17 18 18 19 20 21 22 23 24
PENDAHULUAN Latar Belakang Gulma merupakan tumbuhan pengganggu yang kehadirannya menjadi pesaing bagi tanaman utama dalam mendapatkan sinar matahari, air, dan unsur hara tanah. Tingkat persaingan bergantung pada curah hujan, kondisi tanah, kepadatan gulma, partumbuhan gulma, serta umur tanaman budidaya saat gulma mulai bersaing (Jatmiko et al. 2002). Salah satu upaya pengendalian gulma adalah dengan menggunakan herbisida yang merupakan zat kimia untuk menekan pertumbuhan gulma dan bahkan dapat mematikannya (Moenandir 2010). Pengendalian gulma yang berwawasan lingkungan tidak lagi menerapkan metode dosis tunggal dalam kegiatan penyemprotan herbisida. Penentuan dosis herbisida yang diaplikasikan ke lahan sebaiknya disesuaikan dengan keragaman spasial dan temporal dari gulma. Berdasarkan metode ini efektifitas dan efisiensi penggunaan herbisida pada pengendalian gulma dapat ditingkatkan sehingga biaya pengendalian gulma dan kerusakan lahan dapat diminimalisir yang berakibat pada meningkatnya hasil produksi. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah evaluasi kepadatan gulma masih dilakukan secara manual sehingga peta perlakuan pemberian dosis herbisida secara presisi sulit digambarkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sistem evaluasi kepadatan gulma berbasis sensor red, green, blue (RGB) yang menganut konsep pertanian presisi. Aplikasi pertanian presisi pada pengendalian gulma memerlukan sebuah perangkat yang mampu mengidentifikasi lokasi dan tingkat kepadatan gulma di lahan. Hasil dari identifikasi dapat menentukan dosis pada setiap lokasi penyemprotan herbisida. Berdasarkan hal ini konsep pertanian presisi dalam pengendalian gulma dapat diwujudkan. Tujuan dari penelitian ini adalah membangun sebuah sistem evaluasi kepadatan gulma berbasis sensor RGB yang mampu menentukan tingkat kepadatan gulma di lahan secara real-time pada pengendalian gulma secara presisi. Sistem yang dibangun fokus pada pemanfaatan sensor RGB yang dihubungkan dengan perangkat komputer dan memberikan kesimpulan dosis penyemprotan herbisida dengan menggunakan jaringan syaraf tiruan. Sistem ini jika diterapkan dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan herbisida meminimalisir dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat pemanfaatan herbisida yang berlebih. Hasil dari identifikasi dapat menentukan dosis pada setiap lokasi penyemprotan herbisida. Perumusan Masalah Penelitian ini fokus pada rancang bangun perangkat pembaca dan pengevaluasi tingkat kepadatan gulma berbasis sensor RGB dan pemanfaatan algoritma jaringan syaraf tiruan (JST) sebagai metode identifikasi.
2 Tujuan Penelitian Membangun sistem evaluasi kepadatan gulma berbasis sensor RGB dengan metode JST yang dapat menentukan tingkat kepadatan gulma di lahan secara presisi. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah dengan adanya sistem evaluasi kepadatan gulma berbasis sensor RGB dengan metode JST penetuan tingkat kepadatan gulma akan menjadi lebih cepat dan presisi. Tingkat kepadatan gulma yang telah diketahui di spesifik lokasi dapat menjadi dasar penentuan dosis herbisida pada pengendalian gulma sehingga penggunaan herbisida dapat dihemat dan meminimalisir kerusakan lingkungan. Ruang Lingkup Penelitian Beberapa batasan-batasan masalah tersebut yaitu: 1. Sistem yang dibangun fokus pada unit pembaca kepadatan gulma berbasis sensor RGB. 2. Hasil keluaran sistem berupa nilai tingkat kepadatan gulma hasil dari pengolahan menggunakan metode JST dengan input berupa nilai RGB.
TINJAUAN PUSTAKA Pertanian Presisi Pertanian presisi merupakan sebuah sistem pertanian terpadu berbasis informasi dan produksi yang dirancang secara jangka panjang untuk meningkatkan efisiensi produksi, produktivitas, profitabilitas dan meminimalisir dampak yang tidak diinginkan pada organisme dan lingkungan (Whelan 2013). Zhang (2002) menyatakan bahwa pertanian presisi adalah sistem pertanian yang optimal dengan low-input, efisiensi tinggi dan berkelanjutan. Dari sudut pandang teknis, Doluschitz (2003) menyebutkan terdapat dua teknik dalam penerapan pertanian presisi yaitu pendekatan sensor (real time) dan pendekatan pemetaan (penentuan posisi). Selain itu ada pula pendekatan yang menggabungkan kedua metode tersebut. a. Pendekatan Sensor (Sensor Approaching) Sensor digunakan sebagai input dalam sistem pertanian presisi real time. Input tersebut akan diproses dalam waktu yang singkat dan akan menghasilkan output berupa tindakan aktuator. Ada lima golongan sensor yang biasanya digunakan dalam pertanian presisi, yaitu yield sensor, field sensor, soil sensor, crop sensor, dan anomally sensor (Zhang et al. 2002). b. Pendekatan Pemetaan (Mapping Approaching) Menurut Auernhammer (2001), Pendekatan pemetaan merupakan sebuah pendekatan yang didasarkan pada data historis tentang distribusi hasil dan ketersediaan nutrisi tanaman dalam tanah yang diperoleh dari proses penginderaan.
3 c. Pendekatan Terpadu (Integrated Approaching) Banyak peneliti telah menggunakan pendekatan pemetaan dan pendekatan sensor secara terpisah untuk menangani masalah pertanian presisi. Banyak pula ilmuwan yang telah memadukan dua pendekatan tersebut seperti pada aplikasi VRT (Variable Rate Technology) pupuk nitrogen yang membutuhkan pengembangan analisis kebutuhan nitrogen tanaman secara spesifik, penginderaan kondisi nitrogen dan air baik pada tanaman maupun tanah, penyatuan data indera, akuisisi data realtime, transmisi, dan pembentukan basis data (Auernhammer, 2001). Gulma Gulma adalah spesies tumbuhan yang bersosialisasi dengan tanaman budidaya dan beradaptasi pada habitat buatan manusia. Gulma dikenal di zona ilmu pengetahuan karena bersaing dengan tanaman budidaya dalam habitat buatan tersebut. Persaingan antar gulma dan tanaman budidaya dapat terjadi karena keterdekatan dalam ruang tumbuh yang berakibat terjadinya persaingan antar gulma dan tanaman budidaya (Moenandir 2010). Menurut Monaco (2002), gulma merupakan semua tumbuhan pada pertanaman tanaman yang tidak dikehendaki keberadaannya dan menimbulkan kerugian. Keberhasilan pengendalian gulma merupakan salah satu faktor penentu tercapainya tingkat hasil panen yang tinggi. Pengenalan jenis-jenis gulma di lapang sangat penting dilakukan untuk tindakan pengendalian gulma yang efektif. Salah satu kegiatan monitoring adalah dengan melakukan identifikasi gulma berdasarkan spesies atau identifikasi dilkukan berdasarkan bentuk/morfologi daun. Berdasarkan bentuk daun, maka gulma dapat dikelompokkan menjadi dua golongan yakni: a. Gulma berdaun lebar Gulma berdaun lebar umumnya dari kelas Dicotyledoneae dan Pteridophyta (pakis-pakisan). Ciri-ciri gulma berdaun lebar adalah daun dibentuk pada meristem pucuk. Bentuk daun melebar, umumnya banyak terdapat stomata atau lubang udara terutama pada permukaan bawah daun.
Gambar 1 Gulma berdaun lebar Ageratum conyzoides b. Gulma Berdaun sempit Gulma berdaun sempit terbagi dua sub-golongan yaitu: - Gulma rumput-rumputan (Grasses) Golongan gulma rerumputan kebanyakan berasal dari famili Gramineae (Poaceae). Ukuran gulma golongan rerumputan bervariasi, ada yang tegak,
4 menjalar, hidup semusim, atau tahunan. Ciri-ciri gulma rumput-rumputan adalah batangnya berbentuk bulat kadang-kadang agak pipih. Umumnya batang rumput berongga. Pada batang terdapat pembengkakan batang disebut juga “buku”. Helai daun akan muncul berselang seling dari kedua sisi batang pada setiap buku. Ciri lain dari kelompok ini adalah daunnya yang tidak mempunyai tangkai daun tapi hanya memiliki pelepah/upih dan helaian daun.
Gambar 2 Gulma rumput-rumputan Axonopus compressus - Gulma teki-tekian (Sedges) Kelompok ini mencakup semua famili Cyperaceae (suku teki-tekian). Ciriciri gulma teki-tekian adalah penampang lintang batang umumnya berbentuk segi tiga. Kadang-kadang bulat dan tidak berongga, memiliki daun yang berurutan sepanjang batang dalam tiga baris, tidak memiliki lidah daun, dan titik tumbuh tersembunyi. Sebagian besar sistem perakarannya terdiri dari akar rimpang (rhizome) dan umbi (tuber).
Gambar 3 Gulma teki-tekian Cyperus kyllinga Herbisida Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan cara kimiawi (menggunakan herbisida) dan non-kimiawi. Herbisida adalah bahan kimia yang dapat mematikan herba atau gulma. Pengendalian gulma secara kimiawi adalah pengendalian gulma secara hayati, ekologi, persaingan dan penekanan dengan adanya tumbuhan lain. Berdasarkan waktu pemberiannya herbisida dapat diberikan dengan cara: a. Pra olah (pre-cultivation), sebelum olah tanah, gulma yang ada diatas lahan diberi herbisida untuk memudahkan pengolahan.
5 b. Pra-tanam (pre-planting), setelah pengolahan tanah dan sebelum penanaman diberikan herbisida untuk menghambat pertumbuhan gulma dan memudahkan penanaman. c. Pra-tumbuh (pre-emergence), pemberian setelah tanam, herbisida diberikan sebelum tanaman maupun gulma muncul. d. Pasca-tumbuh (post-emergence), herbisida diberikan setelah tanaman atau gulma muncul (Moenandir 2010). Berdasarkan cara kerjanya, herbisida dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Herbisida Kontak Herbisida kontak adalah herbisida yang langsung mematikan jaringanjaringan gulma yang terkena larutan herbisida, terutama bagian gulma yang berwarna hijau. Bereaksi sangat cepat dan sangat efektif jika digunakan pada pemberantasan gulma yang masih muda dan berwarna hijau serta gulma yang memiliki sistem perakaran tidak meluas. Herbisida kontak memerlukan dosis dan air pelarut yang lebih besar agar bahan aktifnya merata ke seluruh permukaan gulma dan diperoleh efek pengendalian yang lebih baik. Contoh herbisida kontak : Gramoxone, Paracol. b. Herbisida Sistemik. Bahan aktif herbisida sistemik dapat diserap dan ditranslokasikan ke seluruh jaringan gulma, mulai dari daun sampai diperakaran atau sebaliknya. Reaksi kematian gulma terjadi sangat lambat karena proses kerja bahan aktif herbisida sistemik tidak langsung mematikan jaringan tanaman yang terkena, namun bekerja dengan cara mengganggu proses fisiologis jaringan tersebut. Contoh herbisida sistemik adalah: Roundup, Ally 20 WDG. Klasifikasi Tingkat Kepadatan Gulma Metode Bertingkat Solahudin (2013) dalam disertasinya mengklasifikasikan bahwa kepadatan gulma sebagai hasil dari analisa filterisasi nilai RGB terbagi dalam empat kelompok dengan metode bertingkat. Pembagian kelompok secara bertingkat akan mengelompokkan nilai rataan hijau yang lebih besar dari setengah nilai maksimum rataan hijau ke dalam kelompok “Padat” atau “Kelas 4”. Sedangkan kelas-kelas selanjutnya adalah dengan nilai pembatas setengah dari nilai batas bawah kelas diatasnya. Penentuan kelas kepadatan dengan cara bertingkat sebagaimana terlihat pada Tabel 1 akan menuntun metode pengkelasan ke tingkat kepadatan yang lebih tinggi, karena semakin tinggi kelas kepadatan gulma akan memiliki rentang batas nilai rataan hijau yang lebih lebar. Rataan nilai hijau dari suatu gambar yang diolah dibagi menjadi empat bagian dengan cara sebagaimana terlihat pada Tabel 1 berikut.
6 Tabel 1 Penentuan kelas kepadatan pada pengkelas bertingkat (Solahudin 2013)
Nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai 1 sampai 4 diberikan pada bagian nilai RGB sebagai hasil dari klasifikasi kepadatan gulma berdasarkan nilai rataan hijau dari warna nilai RGB. Nilai 1 untuk kondisi lahan bersih dari gulma, nilai 2 untuk gulma jarang, nilai 3 untuk gulma sedang, dan nilai 4 untuk gulma padat dimana nilai 255 adalah nilai tertinggi dari komponen warna hijau. Tabel 2 Nilai klasifikasi tingkat kepadatan gulma secara bertingkat (Solahudin 2013)
Metode Pengembangan Prototipe Metode pengembangan perangkat lunak (prototype) ini dimulai dengan pengumpulan kebutuhan. Pendekatan prototyping model digunakan jika pengguna hanya mendefenisikan secara umum dari perangkat lunak tanpa merinci kebutuhan input, pemrosesan dan outputnya, sementara pengembang tidak begitu yakin akan efisiensi algoritma, adaptasi sistem operasi, atau bentuk antarmuka manusia-mesin yang harus diambil. Cakupan aktivitas dari prototyping model terdiri dari: a. Mendefinisikan objektif secara keseluruhan dan mengidentifikasi kebutuhan yang sudah diketahui. b. Melakukan perancangan secara cepat sebagai dasar untuk membuat prototype. c. Menguji coba dan mengevaluasi prototype dan kemudian melakukan penambahan dan perbaikan-perbaikan terhadap prototype yang sudah dibuat. Secara ideal prototype berfungsi sebagai sebuah mekanisme untuk mengidentifikasi kebutuhan perangkat lunak. Bila prototype yang sedang bekerja dibangun, pengembang harus menggunakan fragmen-fragmen program yang ada atau mengaplikasikan alat-alat bantu (contoh: window manager, dsb.) yang memungkinkan program yang bekerja agar dimunculkan secara cepat. Kelemahan prototyping model yaitu:
7 a. Pengguna yang melihat working version dari model yang dimintanya tidak menyadari bahwa mungkin saja prototype dibuat terburu-buru dan rancangan tidak tersusun dengan baik b. Pengembang terkadang membuat implementasi sembarang, karena ingin working version bekerja dengan cepat. Metode pengembangan perangkat lunak model prototype dirancang agar dapat menerima perubahan-perubahan dalam rangka menyempurnakan prototype yang sudah ada sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan perangkat lunak yang dapat diterima dan perubahan-perubahan yang terjadi dapat dianggap bagian dari proses pengembangan itu sendiri (Presman 2002). Metode Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan syaraf tiruan (JST) adalah salah satu metode yang digunakan untuk meniru fungsi kerja otak manusia dalam melakukan pembelajaran. Salah satu metode yang cukup terkenal pada jaringan syaraf tiruan adalah propagasi balik standar (standard back propogation) (Muqodas 2015). Menurut Seminar et al. (2003), jaringan syaraf propagasi balik standar adalah arsitektur lapis jamak banyak yang terdiri dari input, hidden layer, dan output dimana perhitungan hanya terjadi pada hidden layer dan output. Pada jaringan syaraf tiruan propagasi balik, terjadi penyesuain bobot berdasarkan galat dalam arah mundur dimana nilai galat tersebut didapatkan dari tahap perambatan maju sebelumnya memenuhi fungsi sigmoid yang diekspresikan dalam bentuk sebagai berikut.
f ( x)
1 1 ex
(1)
Algoritma JST banyak digunakan dalam bidang pertanian diantaranya untuk menentukan kejadian pecahnya kutikula pada tanaman tomat dan paprika pada rumah kaca (Ehret et al. 2008). Topuz (2010) membuat model prediksi JST untuk menduga kandungan kadar air dari produk pertanian. (Luo et al. 1997) Menggunakan JST untuk mengidentifikasi biji padi. Fadilah dan Mohamad Saleh (2014) melakukan klasifikasi pada kelapa sawit berdasarkan fitur warna. Tidak hanya pada hasil tanaman, algoritma JST juga dapat bekerja pada objek pertanian yang berasal dari hewan. JST bekerja dengan baik pada proses klasifikasi ikan (Storbeck dan Daan 2001). Penelitian Terdahulu Solahudin et al. (2010). melakukan penelitian untuk mengidentifikasi jenis tanaman dengan metode dimensi fraktal dan melakukan segmentasi tingkat gulma dengan metode fuzzy clustering. Metode dimensi fraktal yang digunakan mampu membedakan berbagai jenis tanaman dan gulma, dan metode fuzzy clustering mampu melakukan klasifikasi gulma dengan baik. Solahudin (2013) melakukan penelitian untuk mendeteksi gulma menggunakan kamera CCD (change coupled device). Klasifikasi tingkat gulma dilakukan dengan menganalisa nilai rataan warna hijau dari nilai RGB lahan. Semakin besar nilai rataan warna hijau maka tingkat gulmanya semakin tinggi.
8 Metode yang digunakan adalah metode bertingkat dan metode non-parametric Bayes dengan tingkat akurasi penentuan tingkat kepadatan gulma 94% dan 100%. Saracoglu (2010) melakukan regenerasi warna dari pantulan sensor warna menggunakan jaringan syaraf tiruan. Rotinsulu (2011) melakukan rancang bangun apikator cair dengan sistem kontor modulasi lebar pulsa.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret hingga bulan Juli 2015. Pembuatan perangkat keras berupa rangkaian elektronik dan perangkat lunak dilakukan di Laboratorium Teknik Bioinformatika (TBI), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pengujian fungsional dilakukan di Laboratorium Lapangan Siswadhi Soepardjo, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Perangkat keras: 8. Sampel warna 1. Arduino Mega 9. Bola Plastik 2. TCS3200 Color Sensor 10. Selotip Metalik 3. LM2596 step-down DC to DC 11. Pipa Paralon 4. Aki 12 volt 12. Akrilik 5. LED Ultrabright 10 Watt 6. Kipas 7. Heatsink Perangkat Lunak: 1. Arduino IDE 2. SharpDevelop 3.2 3. Matlab 2013a 4. Microsoft Excel 2010 Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengembangan prototipe yang digambarkan pada Gambar 4 dan dijabarkan sebagai berikut:
9 Mulai Identifikasi Masalah
Rancangan Fungsional
Rancangan Struktural
Pembuatan Prototipe
Analisis dan Pengujian
Baik? Belum
Ya Selesai
Gambar 4 Metode pengembangan prototipe Identifikasi Masalah Proses identifikasi terhadap permasalahan yang ditemukan pada proses rancang bangun sistem evaluasi kepadatan gulma berbasis sensor RGB. Pengumpulan berbagai informasi diperlukan untuk memecahkan permasalahan yang ditemukan pada proses identifikasi. Rancangan Fungsional a. Unit Pembaca RGB Tahapan ini fokus pada pembuatan unit pembaca nilai RGB dari gulma. Unit pembaca merupakan sebuah perangkat yang berfungsi sebagai pembaca nilai RGB objek dengan hasil keluaran berupa nilai RGB yang diperlukan sebagai faktor dasar pada proses identifikasi. Oleh sebab itu unit ini merupakan unit krusial yang berperan penting pada proses akuisisi data. Bila hasil pembacaan objek tidak baik maka secara keseluruhan dapat mempersulit perangkat pengolah data dalam proses penterjemahan data dan proses identifikasi objek. b. Unit Pengolah Data RGB Data hasil keluaran unit pembaca selanjutnya diumpankan ke unit pengolah data yang bertugas melakukan proses pengolahan nilai RGB untuk mengidentifikasi objek yang dibaca. Metode interpolasi dan jaringan syaraf tiruan (JST) digunakan dalam proses pengolahan data dengan hasil keluaran berupa nilai tingkat kepadatan gulma. Rancangan Struktural a. Unit Pembaca RGB Pembacaan nilai RGB gulma dilakukan dengan menggunakan TCS3200 color sensor seperti yang ditunjukkan apada Gambar 5. Sensor ini terdiri dari 64
10 sensor array yang akan menkonversi cahaya pantulan yang diterima menjadi 4 buah keluaran yaitu nilai R, nilai G, nilai B dan nilai pembacaan tanpa filter warna. Sensor ini relatif terjangkau dan mudah digunakan. Hanya saja sensor ini memiliki kekurangan yaitu jarak efektif dan area pembacaan yang relatif terbatas. Oleh sebab dilakukan perancangan terhadap sensor agar jarak efektif dan area pembacaan meningkat sesuai dengan kebutuhan penelitian.
Gambar 5 TCS3200 color sensor (www.ebay.co.uk) b. Unit Pengolah Data RGB Pengolahan data nilai RGB dilakukan dengan menggunakan platform open source Arduino Mega yang memiliki unit mikrokontroler ATMega 2560 sebagai pengolah data keluaran dari sensor. Data keluaran dari sensor berupa nilai RGB dari objek selanjutnya diolah dengan metode interpolasi dan jaringan syaraf tiruan untuk mengklasifikasikan tingkat kepadatan gulma dilahan.
Gambar 6 Arduino mega 2560 (www.geeks.com) Pembuatan Prototipe Pada tahapan pembuatan prototipe terdapat beberapa proses yang perlu diperhatikan, diantaranya: a. Perancangan Sensor Perancangan terhadap sensor dilakukan untuk meningkatkan akurasi dan jarak optimal sensor demi memenuhi kebutuhan penelitian. Jarak dan akurasi yang sebelumnya sangat terbatas ditingkatkan hingga mencukupi kebutuhan dalam proses evaluasi kepadatan gulma. b. Perancangan Rumah Sensor Perancangan rumah sensor ditujukan untuk meningkatkan luas cakupan pembacaan sensor yang sangat terbatas dan tidak memenuhi kebutuhan proses evaluasi kepadatan gulma. Selain itu dengan peningkatan area cakupan pembacaan sensor kapasitas kerja sensor dapat ditingkatkan sehingga hal ini perlu dilakukan.
11 c. Akuisisi Nilai RGB Akusisi nilai RGB merupakan sebuah proses pengambilan nilai RGB objek yang dibaca sensor. Proses ini melibatkan unit pembaca dan unit pengolah data yang dioperasikan terhadap objek gulma. Adapun desain sistem akuisisi nilai RGB ditampilkan pada Gambar 7. Gambar 8 menunjukkan ilustrasi dari konfigurasi skema kerja dari pengambilan nilai RGB. Perangkat sensor dipoisisikan tegak lurus terhadap objek warna dan sebagai jarak antara tepi rumah dengan objek warna digunakan tiga buah penyangga dengan ketinggian h cm. Ketinggian ini adalah jarak antara rumah sensor dengan objek yang diambil. Pemberian jarak ini dilakukan untuk mensimulasikan posisi sensor dengan objek gulma pada aplikasi sesungguhnya di lapangan. Hasil keluaran pembacaan sensor berupa nilai R, G, dan B dari masing-masing sampel warna diproses oleh mikrokontroler (Arduino) dan selanjutnya dikirim ke komputer untuk pemrosesan lebih lanjut untuk dilakukan pengolahan dengan metode interpolasi dan metode jaringan syaraf tiruan.
Gambar 7 Desain sistem akuisisi nilai RGB
Gambar 8 Ilustrasi akuisisi nilai RGB gulma d. Jaringan Syaraf Tiruan (JST) Pada proses kalibrasi sensor nilai RGB hasil pembacaan sensor digunakan sebagai input JST yang selanjutnya digunakan untuk menduga output yaitu nilai
B elum
12 RGB yang seharusnya (nilai terkalibrasi). Di antara input dan output ini ditempatkan satu hidden layer dengan enam buah node (Gambar 9). Pada pengujian evaluasi kepadatan gulma nilai RGB hasil pembacaan sensor digunakan sebagai input JST untuk menentukan tingkat kepadatan gulma sebagai output. Di antara input dan output ini ditempatkan satu hidden layer dengan sepuluh buah node (Gambar 10). Hal lain yang cukup penting terkait JST yang dibuat adalah fungsi aktivasi pada hidden layer dan output layer. Dalam hal ini, pada hidden layer fungsi aktivasi yang digunakan adalah fungsi sigmoid yang dapat diekspresikan seperti persamaan 1 sementara pada bagian output digunakan fungsi linier.
Gambar 9 Arsitektur JST pada kalibrasi sensor
Gambar 10 Arsitektur JST pada pengujian evaluasi kepadatan gulma
13 e. Peta Perlakuan Hasil dari evaluasi kepadatan gulma disusun menjadi luasan persegi panjang berukuran 10x50 cm dimana luasan pembacaan tersebut terdiri dari lima buah pembacaan sensor sejajar kearah horizontal yang kemudian dirata-rata hasilnya seperti pada Gambar 11.
Gambar 11 Penggabungan pembacaan sensor Penggabungan dilakukan untuk menyesuaikan dengan unit spayer yang mempunyai lebar area penyemprotan sebesar 50 cm. Adapun hasil dari pembacaan sistem kemudian dirata-rata menggunakan persamaan: ∑
(2)
Sebagaimana Gambar 12 hasil dari evaluasi sistem diinterpretasikan kedalam warna dan angka yang menunjukan 4 tingkat kepadatan gulma pada lahan terbuka.
Gambar 12 Interpetasi hasil sistem evaluasi Analisis dan Pengujian Untuk mengetahui hasil dari perancangan sistem yang telah dibuat, selanjutnya akan dilakukan pengujian dengan cara pengambilan data dari sistem dan dengan menganalisisnya sehingga diperoleh hasil yang diharapkan. Adapun pengujian yang akan dilakukan adalah: a. Pengujian jarak optimum sensor Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui berapa jarak optimum antara sensor dengan objek yang memiliki keluaran terbaik. Sebagai pembeda perlakuan dibuat dua buah perangkat sensor tipe A dan tipe B yang memiliki jarak antara sensor dengan objek sebesar 10 cm dan 13 cm (Gambar 13). Jarak tersebut dipilih dengan alasan jarak tersebutlah yang memungkinkan untuk diaplikasikan pada pengendalian gulma real di lapangan. Pada pengujian ini digunakan sampel berupa kertas berwarna hitam dan putih dimana warna hitam merupakan warna yang memiliki nilai RGB terendah (0 0 0) dan warna putih memiliki nilai RGB tertinggi (255 255 255). Berdasarkan kedua sampel warna tersebut dapat diketahui range pembacaan maksimal dari setiap tipe yang berbanding lurus dengan akurasi sensor dalam membedakan warna. Tahapan pengujian jarak optimum sensor ditampilkan pada Gambar 14.
14
Gambar 13 Perangkat sensor tipe A dan tipe B Mulai Posisikan sensor
Akuisisi nilai RGB sampel warna putih
Akuisisi nilai RGB sampel warna hitam
Bandingkan range maksimal tiap nilai RGB Selesai
Gambar 14 Tahapan pengujian jarak optimal sensor b. Kalibrasi sensor Kalibrasi sensor dilakukan untuk membandingkan hasil pembacaan nilai RGB sensor dengan nilai RGB objek sebenarnya. Sampel warna yang yang digunakan merupakan kombinasi dari beberapa nilai R, G, dan B (Gambar 15). Untuk masing-masing komponen warna dipilih 5 level yaitu 0, 65, 130, 195 dan 255. Secara total diperoleh 125 kombinasi warna. Pengujian dan kalibrasi ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa sistem yang dikembangkan dapat mengekstrak komponen warna dari objek yang diamati dengan tepat sebelum nantinya digunakan untuk mendeteksi gulma di lapangan.
Gambar 15 Contoh sampel 125 warna
15 Dari 125 data kemudian dikelompokkan menjadi data set untuk training, validasi dan tes dengan masing-masing terdiri dari 87 data (70%), 19 data (15%), dan 19 data (15%) pada pengolahan dengan metode JST. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap hasil yang diperoleh untuk melihat peningkatan performa dari masing-masing metode kalibrasi dalam meningkatkan akurasi pembacaan sensor. Dalam hal ini analisis dilakukan dengan dua cara yaitu secara visual dengan membandingkan warna yang dihasilkan dari kombinasi RGB yang diperoleh dengan warna referensi dan secara kuantitatif berdasarkan nilai delta-E yang merepresentasikan jarak Eucledian antara satu warna dengan warna lain yang dijadikan referensi. Untuk menghitung delta-E ini, pertama nilai RGB harus dikonversi menjadi nilai L*, a*, b*. Selanjutnya nilai delta-E dapat dihitung menggunakan persamaan jarak:
E
L L a * 1
* 2 2
* 1
2
a2* b1* b2*
2
(3)
Semakin kecil nilai delta-E menunjukkan semakin dekat/mirip suatu warna dengan warna lain (referensi). Untuk kemudahan, nilai rataan dan standar deviasi delta-E ini dihitung secara berkelompok sesuai dengan mengacu pada pembagian data set yang digunakan pada training, validasi dan tes JST. Adapun tahapan kalibrasi sensor ditampilkan pada Gambar 16. Mulai Posisikan Sensor Akuisisi Nilai RGB Nilai RGB raw sensor Metode Interpolasi Metode JST
Nilai RGB Sampel Warna
Visualisasi Nilai RGB
Jarak Eucledian
Analisis kedekatan nilai RGB sebenarnya dengan nilai RGB raw sensor, interpolasi, dan JST
Selesai
Gambar 16 Tahapan kalibrasi sensor
16 c. Pengujian evaluasi kepadatan gulma uji coba lapangan Pengujian dilakukan di laboratorium Siswadhi Soepardjo Leuwikopo dengan sampel berupa objek gulma dilapangan yang sebelumnya telah disiapkan dalam bentuk grid berukuran 10 cm x 10 cm (Gambar 17) seluas 1 m x 4 m. Pengujian dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 09.00-10.00 WIB yang merupakan waktu penyemprotan gulma sesungguhnya di lapangan di mana kecepatan angin relatif rendah dan intensitas cahaya matahari belum terlalu tinggi sehingga herbisida yang disemprotkan tidak terbang terbawa angin ataupun menguap ke udara. Proses normalisasi dilakukan tiap kali proses akuisisi nilai RGB (per grid). Hal ini dimaksudkan agar sensor adaptif terhadap perubahan cuaca (cerah tibatiba berawan) sehingga sensor dapat bekerja dengan lebih baik pada berbagai kondisi. Hasil evaluasi kepadatan gulma dari sensor kemudian divalidasi dengan hasil evaluasi dari aplikasi penduga kepadatan gulma yang dikembangkan oleh Solahudin (2013) (Gambar 18) dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian. Tahapan pengujian evaluasi kepadatan gulma uji coba lapangan ditunjukkan pada Gambar 19.
Gambar 17 Sampel objek gulma lapangan
Gambar 18 Aplikasi penduga kepadatan gulma (Solahudin 2013)
17 Mulai
Posisikan Sensor
Normalisasi Sensor
Akuisisi Nilai RGB Gulma
Metode Interpolasi
Metode JST
Validasi
Selesai
Gambar 19 Tahapan pengujian evaluasi kepadatan gulma uji coba lapangan
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Alat Sistem evaluasi kepadatan gulma berbasis sensor RGB merupakan sebuah alat yang mampu menentukan tingkat kepadatan gulma di lahan. Alat ini bekerja memanfaatkan reflektansi cahaya dari objek gulma yang kemudian ditangkap dan diubah oleh sensor RGB menjadi nilai RGB objek gulma dan diolah oleh mikrokontroler menjadi sebuah nilai yang menunjukkan tingkat kepadatan gulma. Berdasarkan nilai ini dapat ditentukan dosis penggunaan herbisida untuk pengendalian gulma di spesifik lokasi tertentu. Berdasarkan metode tersebut pendalian gulma secara presisi dapat dilakukan yang berdampak pada peningkatan efektifitas dan efisiensi penggunaan herbisida pada pengendalian gulma. Perancangan Sensor Sensor yang digunakan pada penelitian ini adalah TCS3200 Color Sensor yang kemudian dirancang kembali untuk meningkatkan akurasi dan jarak optimal pembacaan sensor. Perancangan sensor dilakukan dengan tujuan memperpanjang range pembacaan dengan cara meningkatkan intensitas cahaya yang diterima sensor hingga titik tertentu. Sumber pencahayaan sensor yang semula berasal dari empat buah Light Emiting Diode (LED) biasa disubstitusi menggunakan LED Ultrabright 10 Watt. LED Ultrabright memiliki karakteristik mudah overheat yang apabila dibiarkan akan merusak LED. Oleh sebab itu agar LED dapat bekerja dalam kurun
18 waktu yang lama maka digunakan heatsink berbahan aluminium dan fan untuk menjaga suhu LED dalam batas aman seperti yang ditunjukkan pada Gambar 20. Sensor diposisikan menghadap keatas tegak lurus terhadap pusat kubah dan lampu LED disusun tegak lurus kebawah menghadap ke objek gulma sejalan dengan desain pembuatan rumah sensor yang dijelaskan pada bagian berikutnya. Hasil dari perancangan sersor adalah jarak optimal sensor ke objek yang semula ±2 cm ditingkatkan 5 kali lipat menjadi ±10 cm dan akurasi sensor dalam membedakan warna meningkat cukup signifikan seiring dengan meningkatnya range pembacaan nilai RGB sensor. sensor
fan heatsink Ultrabright LED
(c) (a) (b) Gambar 20 Perancangan sensor, (a) RGB sensor modul (b) LED Ultrabright (c) hasil perancangan perangkat sensor Perancangan Rumah Sensor Perancangan rumah sensor dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan cakupan luas pembacaan sensor dan mencegah terganggunya kinerja sensor akibat masuknya cahaya yang tidak diinginkan. Desain rumah sensor bekerja berdasarkan prinsip pemusatan cahaya parabola dimana relektansi cahaya objek gulma dipantulkan terpusat ke lokasi sensor (Gambar 21), dengan demikian area pembacaan sensor dapat ditingkatkan seluas lingkaran permukaan parabola.
Gambar 21 Mekanisme reflektansi parabola Kubah rumah sensor dibuat berbentuk setengah bola dimana pada permukaan dalamnya dilapisi dengan stiker berwarna metalik yang dapat memantulkan cahaya dengan cukup baik (Gambar 22a). Badan rumah sensor
19 dibuat berbentuk tabung dengan diameter 10 cm sehingga area cakupan pembacaan sensor menjadi: (4)
(a) (b) Gambar 22 (a) Permukaan dalam kubah (b) rumah sensor Permukaan bagian dalam badan rumah sensor dibuat berwarna hitam untuk meminimalisir reflektansi cahaya terhadap permukaan dalam rumah (sifat warna hitam yang menyerap cahaya) sehingga reflektansi cahaya yang diterima sensor adalah reflektan dari objek yang dibaca bukan dari permukaan dalam rumah. Berdasarkan perancangan tersebut area pembacaan sensor yang semula ±9 cm2 ditingkatkan menjadi ± 78.5 cm2 (luas alas rumah). Desain rumah sensor seperti yang ditampilkan pada Gambar 22b bekerja dengan baik pada pengujian kalibrasi sensor dan evaluasi kepadatan gulma uji coba laboratorium, namun pada evaluasi kepadatan gulma uji coba lapangan desain rumah sensor tersebut menghasilkan keluaran yang kurang baik. Hal ini disebabkan oleh terganggunya kinerja sensor akibat masuknya cahaya matahari ke dalam rumah karena bagian bawah rumah yang tidak rapat. Oleh sebab itu desain rumah sensor kembali dirancang dengan memperlebar diameter bagian bawah rumah sensor dan menutup rapat jarak antara rumah sensor dengan objek seperti yang ditampilkan pada Gambar 23. Berdasarkan desain rumah sensor ini hasil pembacaan sensor menjadi lebih baik.
20
(a)
(b)
Gambar 23 Perancangan rumah sensor (a) tampak isometri, (b) irisan samping Penentuan Jarak Optimum Sensor Perangkat sensor dibuat menjadi dua buah tipe (A & B) dengan perlakuan pembeda berupa jarak antara sensor dengan objek. Pada perangkat sensor Tipe A antara sensor dengan objek memiliki jarak 10 cm sedangkan tipe B memiliki jarak 13 cm. Jarak tersebut dipilih berdasarkan perkiraan tinggi peletakan sensor di implemen penggerak ketika diaplikasikan di lapangan. Sampel yang digunakan adalah kertas berwarna hitam dan putih dimana warna hitam merupakan warna yang memiliki nilai RGB terendah (0 0 0) sedangkan warna putih merupakan warna yang memiliki nilai RGB tertinggi (255 255 255) sehingga range nilai RGB maksimal didapatkan. Hasil pengujian yang dilakukan ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Perbandingan jarak sensor dan range nilai RGB Ketinggian sensor Tipe A (10 cm)
Tipe B (13 cm)
Objek Warna Warna Putih Warna Hitam Range Warna Putih Warna Hitam Range
R 87 27 60 70 29 41
G B 71 100 20 24 51 76 56 77 20 25 36 52
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa selisih terbesar dari pembacaan warna putih dan warna hitam pada nilai RGB terjadi pada sensor tipe A (10 cm). Hal ini dikarenakan reflektan cahaya pantulan yang diterima sensor pada tipe A lebih besar dibandingkan dengan reflektan cahaya pada tipe B. Dalam hal ini semakin besar range nilai RGB maka resolusi sensor dalam membedakan satu warna dengan warna lain akan semakin baik. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka sensor tipe A (10 cm) dipilih sebagai jarak antara sensor dengan objek.
21 Kalibrasi Sensor Kalibrasi dilakukan untuk membandingkan hasil pembacaan nilai RGB sensor dengan nilai RGB objek sebenarnya. Dalam penelitian ini dicoba 2 metode kalibrasi yaitu dengan interpolasi dan JST untuk meningkatkan akurasi pembacaan nilai RGB dengan struktur JST berupa nilai RGB pembacaan sensor sebagai input dan nilai RGB hasil pendugaan sebagai output. Di antara input dan output di tempatkan satu hidden layer dengan enam buah node dan dari 125 data 70% data digunakan sebagai data training, 15% sebagai data validasi, dan 15% data sebagai tes. Proses akuisisi nilai RGB terhadap 125 sampel warna pada pengujian kalibrasi sensor ini ditunjukkan pada Gambar 24. Dari 125 data tersebut
Gambar 24 Proses akuisisi nilai RGB kalibrasi sensor Hasil dari pengujian kemudian divisualisasikan seperti pada Gambar 25 yang menunjukkan perbandingan warna yang dibuat berdasarkan nilai RGB hasil asli pembacaan sensor (‘Sensor’), hasil pengolahan dengan interpolasi (‘Interpol’), hasil pengolahan dengan jaringan syaraf tiruan (‘ANN’) dan nilai referensi (‘Ref’). Secara visual sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 25 terlihat jelas bahwa pembacaan sensor relatif berbeda dengan referensi (warna sebenarnya). Penggunaan metode interpolasi dapat memperbaiki hasil pembacaan ini hanya saja warna yang dihasilkan lebih gelap dibandingkan referensi. Hasil terbaik ditunjukkan oleh hasil pengolahan dengan JST.
22
Gambar 25 Contoh perbandingan warna hasil pembacaan sensor (S), interpolasi (I), ANN (A), dan Referensi (R) Secara visual warna yang dihasilkan cukup mendekati warna referensi. Lebih lanjut hal ini dapat dikonfirmasi secara kuantitatif berdasarkan nilai delta-E yang merepresentasikan jarak Eucledian satu warna dengan warna lain yang dijadikan referensi berdasarkan komponen warna L*, a*, b* sebagaimana ditunjukkan Tabel 4. Berdasarkan nilai rataan dan standar deviasi nilai delta-E terlihat bahwa interpolasi dapat memperkecil jarak antara warna yang dihasilkan dengan referensi namun JST memberikan hasil yang lebih baik. Hasil ini menunjukkan bahwa sistem yang dikembangkan (sensor dan kalibrasi) dapat membaca komponen warna dari objek yang diamati dengan cukup baik. Tabel 4 Nilai rataan dan standar deviasi delta-E Data Set Training (N=87) Validasi (N=19) Tes (N=19)
Rataan nilai delta-E Sensor Interpolasi ANN 58.4 ± 24.5 45.8 ± 21.7 15.2 ± 10.1 60.1 ± 22.3 45.7 ± 19.1 13.2 ± 9.1 57.1 ± 30.1 45.3 ± 25.0 13.9 ± 7.0
Pengujian Evaluasi Kepadatan Gulma Uji Coba Lapangan Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui kemampuan sistem dalam mengevaluasi tingkat kepadatan gulma real di lapangan. Perubahan cuaca yang tiba-tiba pada proses evaluasi (cerah ke berawan atau sebaliknya) berpotensi menganggu kinerja sensor. Oleh karena itu proses normalisasi dilakukan pada tiap grid pada saat proses akuisisi nilai RGB agar nilai RGB yang didapatkan tidak terpengaruh oleh perubahan intensitas matahari di lapangan sehingga sensor memiliki kemampuan adaptif pada perubahan cuaca.
23 Hasil nilai RGB dari pembacaan sensor kemudian diolah dengan metode interpolasi dan JST dengan nilai RGB pembacaan sensor sebagai input dan tingkat kepadatan gulma sebagai output serta diantara input dan output ditempatkan satu hidden layer dengan sepuluh node. Dari 400 data yang diambil 280 data dikomposisikan sebagai data training (70%), 60 data sebagai data validasi (15%), dan 60 data sebagai data tes(15%). Proses validasi dilakukan antara nilai tingkat kepadatan gulma hasil evaluasi sensor dengan nilai tingkat kepadatan gulma hasil evaluasi aplikasi penduga kepadatan gulma yang telah dimodifikasi sebagai acuan (Gambar 26).
Gambar 26 Modifikasi aplikasi penduga kepadatan gulma Sebagaimana ditampilkan pada Gambar 27 pada pengujian evaluasi kepadatan gulma uji coba lapangan sistem mampu melakukan evaluasi kepadatan gulma dengan akurasi sebesar 83.75% terhadap evaluasi kepadatan oleh aplikasi penduga kepadatan gulma. Adapun error yang terjadi pada pendugaan tingkat kepadatan gulma terjadi hanya pada satu tingkatan saja (contoh kepadatan gulma tingkat 2 dibaca 3) sehingga sistem masih dapat dikatakan bekerja dengan cukup baik. Berdasarkan hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem mampu melakukan evaluasi kepadatan gulma di lapangan dengan cukup baik.
24 Citra gulma
Hasil threshold citra gulma
Pengkelasan kepadatan Pengkelasan kepadatan gulma aplikasi gulma sensor
Gambar 27 Validasi hasil evaluasi kepadatan gulma uji coba lapangan
25
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Adapun berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: Sistem akusisi data dengan sensor RGB yang diintegrasikan dengan perangkat lunak evaluasi kepadatan gulma dengan menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan (JST) telah berjalan dengan baik dan dapat digunakan. 2. Berdasarkan kalibrasi sensor diperoleh hasil bahwa metode interpolasi dan metode JST mampu meningkatkan akurasi hasil pembacaan sensor dalam proses identifikasi warna dan metode JST memberikan hasil yang lebih baik. Hasil ini dapat dikonfirmasi secara visual maupun secara kuantitatif berdasarkan nilai delta-E sehingga sistem yang dikembangkan mampu membaca komponen warna dari objek yang diamati dengan cukup baik dan memadai untuk digunakan untuk mendeteksi tingkat kepadatan gulma. 3. Telah dibuat algoritma untuk mengevaluasi kepadatan gulma menggunakan metode JST dengan input berupa nilai RGB gulma dan output berupa tingkat kepadatan gulma yang memiliki akurasi sebesar 83.75% pada uji coba lapangan. 1.
Saran 1.
2. 3. 4.
Untuk penyempurnaan alat, disarankan beberapa hal berikut: Pengembangan rumah sensor yang lebih baik agar perlindungan terhadap cahaya luar lebih maksimal sehingga kinerja sensor tidak mudah terganggu dan akurasi pembacaan sensor dapat ditingkatkan. Pemanfaatan sensor RGB dengan kualitas yang lebih baik dalam melakukan akuisisi data untuk meningkatkan akurasi pembacaan sensor. Penggunaaan beberapa sensor secara paralel untuk memperbesar jangkauan pembacaan data dan meningkatkan kapasitas kerja sensor. Implementasi sensor dengan sprayer sebagai aktuator untuk memberikan rekomendasi dosis penggunaan herbisida pada pengendalian gulma berdasarkan hasil evaluasi tingkat kepadatan gulma.
26
DAFTAR PUSTAKA Auernhammer H. 2001. Precision farming the environmental challenge. Computers and Electronics in Agriculture. 30:31-43. Doluschitz R. 2003. Precision agriculture–applications, economic considerations, experiances and perspectives. EFITA Conference. 541-546. Ehret DL, Hill BD, Raworth DA, Estegaard B. 2008. Artificial neural network modelling to predict cuticle cracking in greenhouse peppers and tomatoes. Computer and Electronics in Agriculture. 61:108-116. Fadilah N, Mohamad S. 2014. Color feature extraction of oil palm fresh fruit bunch image for ripeness classification. 13th International Conference on Applied Computer and Applied Computational Science pp. 51-55. Jatmiko SY, Harsanti S, Sarwoto, dan Ardiwinata. 2002. Apakah herbisida yang digunakan cukup aman?. Di dalam J. Soejitno, I.J. Sasa, dan Hermanto, editor. Prosiding Seminar Nasional Membangun Sistem Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan; 2000 Juli 17-21; Bogor, Indonesia. Bogor (ID); Seameo Biotrop. hlm. 337-348. Luo X, Jayas DS, dan Symons JS. 1999. Comparison of statistical and neural network methods for classifying cereal grains using machine vision. Transactions of the ASAE. 42(2): 413-419. Martin J. 2006. Dasar-Dasar Gulma. Bali (ID): Andi McRoberts M. 2009. Arduino Starter Kit Manual. Geneva (US): Earthshine Design. MacQueen JB. 1967. Some methods for classification and analysis of multivariate observations. Proceedings of the 5 th Barkely Symposium on Mathematical Statistical and Probability; California, United States of America. California (US): Barkeley University of California Press. hlm 281-297. Moenandir J. 2010. Ilmu Gulma. Malang (ID): UB Press. Monaco TJ. 2002. Weed Science: Principles and Practices Ed IV. New York (US): John Wiley and Sons, Inc. Muqodas AU. 2015. Pengembangan perangkat evaluasi mutu teh hitam menggunakan image processing [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pressman RS. 2002. Rekayasa Perangkat Lunak (Pendekatan Praktis). Yogyakarta (ID): Andi. Rotinsulu YY. 2011. Rancang bangun aplikator cair dengan sistem kontrol modulasi lebar pulsa [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Santosa B. 2007. Data Mining. Teknik Pemanfaatan Data untuk Keperluan Bisnis. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Saracoglu OG, Altural Hayriye. 2010. Color Regeneration from Reflective Color Sensor Using an Artificial Intelligent Technique. Sensors. 10:8363-8374. Seminar KB, Marimin, Ferianto T. 2003. Aplikasi jaringan syaraf tiruan dan analisis komponen utama untuk sortasi mentimun. Buletin Keteknikan Pertanian. 17(2):39-52. Solahudin M. 2013. Pengembangan metode pengendalian gulma pada pertanian presisi berbasis multi agen komputasional [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
27 Solahudin M, Seminar BS, Astika IW, Buono A. 2010. Weeds and Plants Recognition using Fuzzy Clustering and Fractal Dimension Methods for Automatic Weed Control. Proceedings of AFITA 2010 International Conference The Quality Information for Competitive Agriculture Based Production System and Commerce. Storbeck F, Daan B. 2001. Fish species recognition using computer vision and a neural network. Fisheries Research. 51:11-15. Topuz A. 2010. Predicting moisture content of agricultural products using artificial neural networks. Advances in Engineering Software. 41:464-470. Whelan B, Taylor J. 2013. Precission Agriculture for Grain Production Systems. Collingwood (AU): CSIRO Publishing. Zhang N, Wang N, Wang M. 2002. Precision agriculture–a worldwide overview. Computers and Electronics in Agriculture (36):113-132.
28
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 4 September 1991 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari Bapak Suwarto dan Ibu Tarni. Penulis menyelesaikan pendidikan akademik di SDN Kreo 01 Kota Tangerang pada tahun 2004, SMPN 245 Jakarta pada tahun 2007 dan SMAN 90 Jakarta pada tahun 2010. Kemudian diterima di IPB melalui jalur SNMPTN tertulis pada tahun 2010 dengan program studi Teknik Mesin dan Biosistem (TMB), Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah aktif sebagai staf Departemen Mitra Desa BEM Fateta IPB, staf Kajian Ilmiah LDF FBI Fateta IPB, kepala divisi Ilmiah IMMPPG se Jawa-Bali. Pada tahun 2014 penulis tergabung dalam divisi Teknik Bioinformatika Departemen TMB dan mengikuti kegiatan praktik lapangan di Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Serpong. Penulis memperoleh gelar sarjana Teknik di Institut Pertanian Bogor dengan melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Rancang Bangun Sistem Evaluasi Kepadatan Gulma Berbasi Sensor RGB dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan” dIbawah bimbingan Dr Ir Mohamad Solahudin MSi dan Dr Slamet Widodo STP MSc.