RANCANG BANGUN KONTROL SUHU DAN KELEMBABAN PADA SISTEM DISTRIBUSI TENAGA LISTRIK KUBIKEL 20 kV SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan Program Pendidikan Strata I
Disusun Oleh : ZUANSAH RACHMAT MUNGGARAN 3111101006
PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI 2015
LEMBAR PENGESAHAN Tugas Akhir yang berjudul: RANCANG BANGUN KONTROL SUHU DAN KELEMBABAN PADA SISTEM DISTRIBUSI TENAGA LISTRIK KUBIKEL 20 kV Tugas Akhir ini telah disidangkan Pada Tanggal 21 September 2015
Telah Diterima dan Disahkan Untuk Memenuhi Syarat Dalam Menempuh Pendidikan Strata I (S1) Program Studi Fisika
Cimahi, 2015 Menyetujui, Pembimbing Tugas Akhir
Abdi Wadud Syafi’i, S.Si, M.Si NIP. 412 217 782
Dekan Fakultas MIPA
Ketua Jurusan Fisika Instrumentasi
Hernandi Sujono, S.Si., M.Si.
Abdi Wadud Syafi’i, S.Si, M.Si
NIP. 412 139 370
NIP. 412 217 782
PERNYATAAN KEASLIAN Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul : RANCANG BANGUN KONTROL SUHU DAN KELEMBABAN PADA SISTEM DISTRIBUSI KUBIKEL 20kV Yang dibuat untuk memenuhi persyaratan menjadi sarjana sains pada program studi fisika fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, sejauh yang saya ketahui adalah asli dan bukan tiruan atau duplikasi dari skripsi yang sudah dipublikasikan dan atau pernah dipakai untuk mendapatkan gelar kesarjanaan dilingkungan Universitas Jendral Achmad Yani ataupun institusi lainnya kecuali bagian yang sumber informasinya dicantumkan sebagaimana mestinya.
Cimahi, 15 Maret 2015
Zuansah Rachmat M 3111101006
ABSTRAK Kubikel 20 kV adalah seperangkat peralatan listrik yang dipasang pada gardu distribusi yang berfungsi sebagai pembagi, pemutus, penghubung, pengontrol dan proteksi system penyaluran tenaga listrik tegangan 20 kV.
Permasalahan yang sering terjadi di kubikel saat ini adalah korona, yaitu suatu fenomena yang terjadi pada saat udara di sekitar konduktor atau penghantar terionisasi. Dari proses tersebut terjadilah pelepasan muatan yang dapat mengakibatkan kegagalan isolasi pada udara. Akibatnya sangat fatal karena bisa merusak peralatan di dalam kubikel dan menyebabkan rugi – rugi daya.
Penelitian ini menganalisis pengaruh dari kondisi udara terhadap tegangan pemunculan korona, dengan melakukan pengujian terhadap kelembaban, suhu dan tegangan tembus dalam kubikel dan membuat alat kendali kelembaban dan suhu.
Diharapkan alat yang dibuat dapat mengatasi masalah pemunculan korona akibat pengaruh dari kelembaban.
Kata Kunci
: Kubikel, Korona, Tegangan Tembus, Kelembaban,
ABSTRACT Cubicle 20 kV is a set of electrical equipment installed in contacts distribution substation that serves as a divider, breakers, control and protection for electric power distribution system voltage of 20 kV. Cubicle usually mounted in or substation distribution, ,grid form or kios.
Problems usually occur in Cubicle today is the corona, which is a phenomenon that occurs when air can not withstand capability appearance voltage corona and ionized, corona effect causing fatal problem because it can damage the equipment inside the cubicle and power loss on electrical system.
In this study the authors attempted to analyze and make a solution to prevent corona in cubicles by analyzing the characteristics of the air inside the cubicle and the effectiveness of the tools being made in reducing the risk of the appearance of the corona.
The author hoped that the tools created in this research will solve the problem of the appearance of the corona due to the influence of moisture as expected.
Keywords: Cubicle, corona, breakdown voltage
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum WR. WB. Puji syukur penulis panjatkan atas rahmat dan karunia Allah SWT.Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul, “RANCANG BANGUN KONTROL SUHU DAN KELEMBABAN PADA SISTEM DISTRIBUSI TENAGA LISTRIK KUBIKEL 20 kV.” Penulis menyadari bahwa karya tulis yang sederhana ini masih jauh dari sempurna, bahkan terdapat kekurangan serta keterbatasan. Oleh karena itu, penulis akan menerima dengan sangat lapang dada, kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap agar karya ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi mereka yang membaca dan mempergunakannya. Pada saat yang baik ini, penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya pada semua pihak yang telah ikut membantu baik secara moril maupun materi, langsung ataupun tidak langsung dari berbagai pihak, sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Abdi Wadud Syafi’I, S.Si., M.Si., selaku Pembimbing serta Ketua Jurusan Fisika Instrumentasi, Yang senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada penulis, serta memberikan bimbingan dan masukan sehingga penulisan Tugas Akhir ini dapat terselesaikan. 2. Kedua orang tua yang kusayangi Ayahanda Akhmad Supriatna S.T dan Ibunda Iik Kartika Antadipura S.Pd. 3. Rekan – rekan pegawai PT.PLN (Persero) Area Garut 4. Rekan – rekan mahasiswa Fisika Instrumentasi angkatan 2010 dan 2011 terima kasih atas bantuannya dan semangat yang diberikan kepada penulis. 5. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas akhir ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
i
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu penulis untuk menyelesaikan Tugas akhir ini semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan balasan yang berlipat atas segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.
Wassalamu’alaikum WR.WB.
Cimahi,
21 September 2015
Zuansah Rachmat M
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. v DAFTAR TABEL ................................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang................................................................................................1
1.2
Permasalahan ..................................................................................................1
1.3
Tujuan .............................................................................................................2
1.4
Pembatasan Masalah ......................................................................................2
1.5
Metodologi .....................................................................................................3
1.6
Sistematika .....................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 5 2.1. Kegagalan Isolasi Dalam Gas .........................................................................5 2.1.1.
Ionisasi Dalam Udara atau Gas ...............................................................5
2.1.2.
Ionisasi Karena Tumbukan ......................................................................6
2.2. Mekanisme Kegagalan Dalam Gas ................................................................7 2.2.1.
Mekanisme Towsend ...............................................................................7
2.2.2.
Mekanisme Streamer .............................................................................10
2.3. Proses Terjadinya Korona ............................................................................12 2.3.1.
Pengaruh Tekanan Parsial Udara Terhadap Korona .............................15
2.4. Kubikel 20kV ...............................................................................................17 2.4.1
Jenis dan fungsi kubikel. .......................................................................17
2.4.2
Bagian – bagian kubikel ........................................................................18
2.5. Kelembaban ..................................................................................................19 2.5.1.
Kelembaban Udara ................................................................................19
2.5.2.
Kerapatan Uap Air.................................................................................20
2.5.3.
Relative humidity ...................................................................................21
2.6. Kontrol suhu dan kelembaban ......................................................................23 2.6.1.
Arduino Uno ..........................................................................................23
2.6.2.
DHT112 .................................................................................................27
2.6.3.
Relay ......................................................................................................30
2.6.4.
Fan .........................................................................................................34
iii
2.6.5
LCD .......................................................................................................35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 36 3.1
Sistematika Penelitian ..................................................................................36
3.1.1
Pengujian Tegangan Tembus ................................................................36
3.2
Perakitan Alat ...............................................................................................38
3.3
Penelitian alat ...............................................................................................41
3.4
Pemasangan Alat pada kubikel .....................................................................42
BAB IV HASIL DAN ANALISA UJI ALAT ................................................... 43 4.1
Pengolahan Data ...........................................................................................43
4.2
Hasil Uji Dan Perhitungan Sebelum Pemasangan Alat ................................44
4.3
Hasil Uji Dan Perhitungan Setelah Pemasangan Alat ..................................47
4.4
Analisa hasil penelitian.................................................................................49
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................... 52 5.1
Kesimpulan ...................................................................................................52
5.2
Saran .............................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 53 LAMPIRAN ......................................................................................................... 54
iv
DAFTAR GAMBAR Gambar 2. 1 Rangkaian Uji Ionisasi .............................................................................. 6 Gambar 2. 2 Pelipatgandaan Elektron ............................................................................ 7 Gambar 2. 3 Grafik hubungan V vs I berdasarkan kriteria Towsend 1 ........................ 10 Gambar 2. 4 Mekanisme awal terjadinya pelepasan muatan ....................................... 14 Gambar 2. 5 Mekanisme Ionisasi sekunder ................................................................. 14 Gambar 2. 6 Banjiran elektron akibat proses yang berlangsung terus menerus .......... 15 Gambar 2. 7 Bagian-bagian kubikel............................................................................. 19 Gambar 2. 8 Konstruksi Jalur Rangkaian Arduino Uno .............................................. 27 Gambar 2. 9 Konstruksi Rangkaian Sensor Berbasis Kapasitansi ............................... 28 Gambar 2. 10 Rangkaian Sensor DHT 11 .................................................................... 29 Gambar 2. 11 Konstruksi Relay ................................................................................... 31 Gambar 2. 12 Konstruksi Rangakaian Relay ............................................................... 33 Gambar 2. 13 Bagan Satu Garis Rangkaian Arduino dan Relay ................................. 33 Gambar 3. 1 Konstruksi Elektroda alat Break down test ............................................. 37 Gambar 3. 2 Bagan kerja sistem .................................................................................. 38 Gambar 3. 3 Blok Diagaram Alat ................................................................................ 39 Gambar 3. 4 Single Line Rancang Bangung Alat ........................................................ 40 Gambar 4. 1 Perbandingan rata-rata perhari RH dan Ev ............................................. 49 Gambar 4. 2 Grafik hubungan tegangan pemunculan korona sebelum dan sesudah pemasangan alat ...................................................................................... 50
v
DAFTAR TABEL Tabel 2. 1 Tekanan Uap Air Jenuh............................................................................... 22 Tabel 4. 1 Hasil Pengujian Hari Pertama Tanpa Alat .................................................. 45 Tabel 4. 2 Hasil Pengujian Hari Kedua Tanpa Alat ..................................................... 45 Tabel 4. 3 Hasil Pengujian Hari Ketiga Tanpa Alat ..................................................... 46 Tabel 4. 4 Hasil Pengujian Hari Pertama Dengan Alat ................................................ 47 Tabel 4. 5 Hasil Pengujian Hari Kedua Dengan Alat .................................................. 47 Tabel 4. 6 Hasil Pengujian Hari Ketiga Dengan Alat .................................................. 48
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Scetch Pemrograman Arduino .................................................................. 54 Lampiran 2 Simulasi Perhitungan ................................................................................ 58 Lampiran 3 Gambar kerusakan akibat korona didalam kubikel .................................. 62
vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Setiap kubikel selalu dilengkapi dengan sarana penunjang berupa heater,
yaitu alat untuk
memanaskan udara di dalam kubikel agar terhindar dari
kelembaban, namun heater tersebut pada kondisi suhu beranjak naik akibat beban atau arus yang besar tidak bisa menolong, justru panas yang dikeluarkan oleh heater tersebut menyebabkan kenaikan tingkat uap air jenuh udara
yang
ada
di
dalam kubikel tersebut. Kondisi ini akan meningkatkan nilai kelembaban yang bisa menyebabkan terjadinya korona dan kegagalan isolasi udara. Bila kondisi ini tidak segera diatasi, nilai tegangan pemunculan korona yang tinggi dan berkurangnya kemampuan dielektrik udara akan membuat fungsi udara sebagai isolator menjadi konduktor, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya hubung singkat antara penghantar dengan bumi dan dampaknya langsung berpengaruh pada terganggunya sistem penyaluran tenaga listrik ke konsumen atau system distribusi akan terganggu, juga kerusakan atau kerugian material akan dialami oleh perusahaan. Selain itu heater yang berfungsi terus menerus selain mengakibatkan overheat dan buruknya lifetime dan kondisi pada kubikel, heater juga memakan daya yang cukup besar dan meningkatkan pemakaian sendiri gardu distribusi, sehingga meningkat kan rugi- rugi daya. Oleh karena itu diperlukan alat kontrol suhu dan kelembaban yang bisa memaksimalkan kondisi kubikel agar tetap handal dan efisien. 1.2
Permasalahan Permasalahan yang akan dibahas dalam Tugas Akhir ini adalah : 1. Heater berpotensi menyebabkan terjadinya uap air jenuh pada perangkat pendukung di dalam kubikel yang disebabkan oleh kondisi sirkulasi udara yang buruk . 2. Uap air jenuh menyebabkan kelembaban yang dapat menyebabkan meningkatkan nilai kerapatan udara sehingga mempermudah proses ionisasi
1
pada udara yang dapat mengakibatan kegagalan isolasi udara dan korona yang mengakibatkan udara yang berfungsi sebagai isolasi murni menjadi konduktor yang dapat mengalirkan arus listrik dan menyebabkan rugi – rugi daya dan kerusakan pada peralalat di dalam kubikel. 3. Apakah alat pengatur suhu dan kelembaban udara yang dibuat dapat menjadi solusi yang tepat untuk keandalan kinerja kubikel? 1.3 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian pada Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut : 1. Meneliti pengaruh kondisi udara terhadap tegangan tembus dan tegangan pemunculam korona. 2. Meneliti pengaruh alat yang dibuat terhadap kondisi udara dan tegangan pemunculan korona. 3. Menyediakan sistem baru yang bisa dimanfaatkan oleh perusahaanperusahaan penyedia jasa tenaga listrik dalam hal pendistribusian. 4. Meningkatkan keandalan kubikel dan efisiensi penggunaan heater 1.4 Pembatasan Masalah
Suhu di set 40° C dan standar kelembaban (RH) 40 %.
Sensor kelembaban menggunakan sensor kapasitif dengan merk DHT11, sensor diasumsikan standar dan terkalibrasi, penelitian ini tidak membahas detail sistem kerja DHT11
Kontrol alat menggunakan Arduino uno, dimana board arduino adalah komponen rangkaian mikrokontrol yang sudah dirakit dan bisa langsung digunakan, sehingga penulis tidak merancang dan merakit rangkaian mikro kontrol, dan penelitian ini tidak membahas detail sistem kerja arduino
Aktuator pada sistem yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini adalah fan dan heater, detail fan dan cara kerja fan tidak di bahas detail dan mendalam, fan dianggap mampu mengurangi tekanan dalam kubikel.
2
1.5 Metodologi Untuk mencapai tujuan Tugas Akhir, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1.
Studi Literatur Mengumpulkan buku serta referensi yang berhubungan dengan kelembaban, kondisi udara pengaruh kondisi udara terhadap kemampuan dielektrik udara, kemampuan isolasi udara, korona dan pengaruh kondisi udara terhadap sistem ketenaga listrikan.
2.
Pemodelan dan Simulasi Konvensional Simulasi pertama yang akan dilakukan adalah pengujian tegangan tembus, kelembaban, dan suhu dalam kubikel, setelah itu dilakukan perakitan rancang bangun sistem yang coba di aplikasikan pada salah satu kubikel yang terpasang di lapangan dan dilakukan pengujian ulang.
3.
Analisa data Dari simulasi yang dilakukan akan didapatkan suatu hasil yang akan dianalisis. Data yang akan dianalisis adalah kondisi udara, kemapuan dielektrik udara, tegangan tembus dan pemunculan korona.
4.
Kesimpulan Kesimpulan tersebut merupakan jawaban dari permasalahan yang dianalisis. Selain itu juga akan diberikan saran sebagai masukan berkaitan dengan apa yang telah dilakukan. Berdasarkan analisa data, maka penulis dapat mengambil kesimpulan tentang kemampuan alat yang dibuat.
1.4 Relevansi Hasil yang diperoleh dari Tugas Akhir ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : a.
Dapat menjadi referensi bagi PLN untuk merancang sistem kontrol yang dapat menjadi solusi alternatif pada permasalahan kubikel sehingga dapat menjadi handal, dan efisien
b.
Dapat menjadi referensi bagi mahasiswa lain yang hendak mengambil masalah yang serupa untuk Tugas Akhirnya.
3
1.6 Sistematika Dalam penulisan buku Tugas Akhir ini sistematika penulisan yang digunakan adalah sebagai berikut : BAB 1 Pendahuluan Bab ini berisi tentang penjelasan latar belakang, permasalahan, batasan masalah, tujuan, metode penelitian, sistematika penulisan, dan relevansi dari penelitian yang dilakukan untuk Tugas Akhir ini. BAB 2 Tinjauan Pustaka Bab ini berisi tentang dasar teori mengenai kubikel sebagai objek yang akan dipasang alat ini, pengaruh suhu dan kelembaban dan faktor faktor yang menjadi parameter dan acuan untuk dibuatnya alat ini. BAB 3 Metodologi Bab ini berisi tentang uraian langkah-langkah yang digunakan dalam menganalisis data penelitian mulai dari membuat alat dan sistem yang digunakan, menjelaskan karakteristik dan prinsip kerja serta perhitungan matematis parameter dan pemodelan sistem yang akan di di pergunakan untuk mebuat alat ini. BAB 4 Analisis dan Hasil Simulasi Bab ini berisi tentang hasil simulasi sistem dengan prototype yang dibuat dan dapat dilihat bagaimana hasil dari simulasi sistem yang dirancang. BAB 5
Penutup
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran mengenai hasil penulisan laporan Tugas Akhir yang telah diselesaikan.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kegagalan Isolasi Dalam Gas Bahan isolasi berfungsi untuk memisahkan dua penghantar listrik atau lebih yang bertegangan sehingga dapat mencegah terjadinya lompatan listrik (flashover) dan percikan listrik (sparkover). Salah satu bahan yang sering digunakan sebagai bahan isolasi peralatan ketenagalistrikan adalah gas atau udara karena pada kondisi normal udara hanya terdiri dari molekul-molekul netral. Akan tetapi, dapat terjadi kegagalan pada isolasi gas atau udara yang berupa pelepasan muatan. Pelepasan muatan itu terjadi karena tegangan yang digunakan sangat tinggi dan sudah melewati kemampuan bahan isolasi. Proses pelepasan muatan tersebut dapat terjadi karena ionisasi yang bisa disebabkan beberapa faktor seperti adanya tabrakan antara atom dan elektron bebas, cahaya, emisi elektron.1 2.1.1. Ionisasi Dalam Udara atau Gas Pada kondisi normal, gas atau udara terdiri dari molekul-molekul netral. Akan tetapi, pada kenyataannya pada udara terdapat ion-ion dan elektron-elektron bebas. Ion dan elektron bebas itu dapat menyebabkan udara mengalirkan arus listrik walaupun dengan jumlah terbatas. Banyaknya elektron dan ion bebas di udara mempengaruhi terjadinya kegagalan listrik.1 Apabila di antara dua elektroda yang terpisah oleh udara diterapkan tegangan tinggi, maka akan timbul medan listrik (E). Dalam medan listrik tersebut, elektron dan ion-ion bebas di udara akan mendapat energi yang cukup kuat, sehingga dapat memicu terjadinya proses ionisasi. Besar energi sebesar : 𝑈 = 𝑒𝑉…………………………....................……………………………………..(2.1) U
= Energi Potensial listrik (Joule)
e
= jumlah elektron (e)
V
= beda potensial antara dua elektroda (Volt)
5
2.1.2. Ionisasi Karena Tumbukan Ionisasi adalah proses pelepasan elektron dari molekul gas yang bersamaan dengan itu menghasilkan ion positif. Dalam proses ionisasi karena tumbukan, elektron bebas bertumbukan dengan molekul netral dari gas dan akan menyebabkan terbentuknya electron dan ion positif baru. Jika pada medan listrik yang melintas antara bidang elektroda paralel seperti yang ditunjukan pada gambar 2.1 dibawah ini terdapat gas bertekanan rendah, maka setiap elektron akan semakin dipercepat karena tumbukan antar molekul gas dalam perjalanannya dari katoda menuju ke anoda. Apabila energy (𝑈) meningkat sepanjang lintasan karena tumbukan dan telah melampaui potensial ionisasi (Vi) yaitu energi yang diperlukan untuk melepas elektron dari kulit atom, maka akan terjadi ionisasi. Proses tersebut ditunjukan dalam persamaan : 𝑈>𝑉𝑖
𝑒− + 𝐴 →
= 𝑒 − + 𝐴+ + 𝑒 − ……………………………………....……………..(2.2)
Dimana, e-
= elektron bebas
A
= Atom gas
A+
= Ion Positif Katoda
𝐼0
-
Anoda
+
d Resistor pembatas R arus
Sumber tegangan tinggi yang dapat dikendalikan -
+
A
𝑉𝐵
I
Gambar 2. 1 Rangkaian Uji Ionisasi Beberapa elektron dihasilkan di katoda yang disebabkan karena faktor luar misalnya seperti sinar ultraviolet yang jatuh pada katoda, menyebabkan terjadinya ionisasi pada partikel gas netral yang menghasilkan ion positif dan elektron tambahan. Elektron tambahan tersebut kemudian yang menyebabkan terjadinya 6
ionisasi karena tumbukan dan proses itu berlangsung terus menerus. Hal ini juga berarti menyebabkan meningkatnya arus elektron, karena jumlah elektron yang sampai ke anoda lebih banyak dari yang dibebaskan pada katoda. Elektron-elektron yang terus menerus bertumbukan akan menuju anoda dan terus berlipat ganda sehingga akan menimbulkan banjiran elektron. Peristiwa pelipatgandaan elektron tersebut dapat digambarkan seperti gambar di bawah ini.
Gambar 2. 2 Pelipatgandaan Elektron 2.2. Mekanisme Kegagalan Dalam Gas 2.2.1. Mekanisme Towsend Jika elektron diemisikan dari katoda, maka apabila elektron bertumbukan dengan partikel netral akan terbentuk ion positif dan elektron. Peristiwa ini disebut ionisasi karena tumbukan. 1 Peristiwa ini akan menyebabkan banjiran elektron yang berturut-turut sesuai dengan mekanisme Townsend. Jumlah elektron ( ne) dalam banjiran elektron pada lintasan (dx) akan bertambah dengan dne elektron.1 Banyaknya
jumlah penambahan elektron bebas yang terjadi pada lapisan dx
tersebut sesuai dengan Persamaan : 𝑑𝑛𝑒 𝑑𝑥
= α . n e . dx ………….……….…………………………..…………………….(2.3)
α = jumlah rata-rata tumbukan elektron persentimeter dalam lintasan biasa disebut koefisien pertama ionisasi Towsend. ne = jumlah elektron dne = Penambahan elektron bebas dx = panjang lintasan (cm)
7
Koefisien towsend adalah perbandingan dari Tegangan pemunculan korona (Ev)terhadap tekanan parsial udara (ea) sehingga, α = Ev / ea
(2.4)
Banyaknya jumlah elektron bebas dn yang dihasilkan dalam proses ionisasi sama jumlahnya dengan ion positif dne baru yang dihasilkan. Sehingga persamaan diatas sapat ditulis menjadi : dne = dn+= α . ne (t). vd. dt…………………….……….…………………...........…(2.5) Pada medan seragam dengan syarat keadaaan awal 𝑛𝑒 = 𝑛0 , x = 0, dan dengan kondisi α konstan maka jumlah elektron yang terjadi adalah menjadi sebagai berikut : ne=n0 eα x ……...........………………………………………………….……….......…(2.6) jumlah elektron yang menumbuk anoda dengan jarak d dari katoda sama dengan jumlah dari ion positif yang dinyatakan dalam persamaan : n+=nd αd ……………………………………………………………………............…(2.7) Jumlah elektron baru yang dihasilkan oleh tiap elektron dalam rata-rata : 𝑒 αd − 1 =
𝑛𝑑 − 𝑛0 𝑛0
…………………………..…………………………………….....…(2.8)
Oleh karena itu, arus rata-rata dalam celah, yang sama dengan jumlah elektron yang melintas tiap detik adalah : I = 𝐼0 𝑒 α𝑑 ………………..…………………………………………………….…........(2.9) Dimana 𝐼0 arus awal pada katoda.1 Proses banjiran elektron yang dijelaskan di atas akan selesai ketika kumpulan elektron awal mencapai anoda. Akan tetapi, karena penguatan elektron 𝑒 𝑎𝑑 yang terjadi dalam medan, kemungkinan dibebaskannya elektron tambahan baru dalam celah yang disebabkam oleh mekanisme lain akan meningkat, dan elektron baru ini akan menyebabkan proses banjiran berikutnya. Mekanisme lain itu adalah seperti berikut :
Ion positif yang dibebaskan mungkin masih memiliki cukup energy untuk melepaskan elektron dari katoda ketika ion positif tersebut mengenai katoda.
Atom atau molekul yang mengalami peluruhan mungkin memancarkan photon, dan hal ini akan menyebabkan emisi elektron karena photon.
8
Partikel metastabil yang disebarkan kembali yang menyebabkan emisi elektron. Elekton yang dihasilkan pada proses banjiran elektron sekunder ini disebut
elektron sekunder. Koefisien dari proses ionisasi sekunder 𝛾 didefinisikan sebagai jumlah elektron sekunder yang dihasilkan tiap insiden ion positif, photon, peluruhan partikel, atau partikel metastabil, nilai total dari 𝛾 adalah jumlah tiap koefisien dari tiga proses yang berbeda, seperti 𝛾 = 𝛾1 + 𝛾2 + 𝛾3 . Koefisien 𝛾 disebut sebagai koefisien ke-2 ionisasi Towsend. Sehingga persamaan jumlah elektron yang meninggalkan katoda dan mencapai anoda di atas menjadi : 𝑛 𝑒 α𝑑
𝑛𝑒 = 1− 𝛾 (0 𝑒 α𝑑 −1)…………………………………………………………….….......(2.10) Dan besar arus rata-rata dalam celah menjadi : 𝐼 𝑒 α𝑑
𝐼 = 1− 𝛾 0( 𝑒 α𝑑 −1)……………………………………………………………….….......(2.11) Arus I akan terus mengalami kenaikan hingga terjadi peralihan menjadi pelepasan bertahan sendiri (self sustaining discharge). Peralihan yang terjadi berupa percikan (spark), dan kemudian akan terjadi perubahan arus yang sangat cepat hingga penyebut pada persamaan arus di atas menjadi nol. Kondisi ini disebut criteria breakdown Towsend, dan dapat ditulis dalam persamaan : 𝛾 (𝑒 α𝑑 − 1) = 1
…………………………………………………….….....(2.12)
Dimana 𝛾 𝑒 α𝑑 sangat besar atau 𝛾 𝑒 α𝑑 >>1, sehingga persamaan diatas menjadi : 𝛾𝑒 α𝑑 = 1……………………………………………………………………....……..(2.13) Pada kondisi ini, secara teori arus menjadi tidak berhingga, tetapi hal ini sulit terjadi karena arus akan dibatasi oleh impedansi rangkaian dan sirkuit eksternal. Towsend membagi kriteria kondisi dumulainya percikan menjadi tiga ketentuan, yaitu : a) 𝛾𝑒 α𝑑 <1, arus pelepasan tidak bisa bertahan sndiri sehingga jika sumber arus primer 𝐼0 dihilangkan, arus pelepasan akan berhenti mengalir. b) 𝛾𝑒 α𝑑 =1, banjiran elektron menghasilkan jumlah ion 𝛾𝑒 α𝑑 yang cukup besar sehingga ion positif yang dihasilkan pada peristiwa penumbukan dengan katoda akan membebaskan satu elektron sekunder, dan proses banjiran elektron akan terulang. Pelepasan menjadi bertahan sendiri (self sustaining) dan terus berlangsung tanpa sumber penghasil 𝐼0 .
9
c) 𝛾𝑒 α𝑑 >1, ionisasi yang disebabkan banjiran berturut-turut akan bertumpuk, sehingga hal ini akan menyebabkan pelepasan percikan tumbuh dengan cepat sebanding dengan kelebihan 𝛾𝑒 α𝑑 dari 1. Persamaan dan kriteria arus yang terbentuk di atas dapat dijelaskan melalui gambar grafik di bawah ini. Breakdown Self sustaining discharge 𝐼 = 𝐼0 𝑒 α𝑑
Non-self sustaining discharge
𝑇0
𝑇1
𝑇2 𝑉𝑠
V
Gambar 2. 3 Grafik hubungan V vs I berdasarkan kriteria Towsend 1 Pada daerah 𝑇0 , arus meningkat perlahan-lahan tetapi secara terus-menerus. Pada daerah 𝑇1 dan 𝑇2 arus meningkat dengan tetap sesuai dengan mekanisme Towsend. Pada gambar terlihat bahawa pada tegangan V rendah, maka 𝛾𝑒 α𝑑 <<1. Jika tegangan V dinaikan, maka 𝑒 α𝑑 juga akan meningkat, sehingga maka 𝛾𝑒 α𝑑 =1. Penyebut persamaan menjadi nol dan I menjadi tak hingga, pada kondisi ini terjadi breakdown (kegagalan). Melewati daerah 𝑇2 maka arus akan meningkat dengan tajam dan akan muncul percikan (spark).1 2.2.2. Mekanisme Streamer Menurut mekanisme Towsend, arus akan menigkat sebagi hasil dari proses ionisasi.akan tetapi, pada kondisi sebenarnya tegagna breakdown tergantung pada tegangan gas dan ukuran dari celah. Semua kondisi-kondisi yang ada pada keadaan sebenernya yang tidak bisa dijelaskan dalam mekanisme Towsend dapat dijelaskan melalui mekanisme Streamer.
10
Pelepasan pada kegagalan mekanisme Streamer diawali dengan banjiran tunggal, kemudian dari banjiran tersebut tersebut akan terjadi muatan ruang dimana muatan ruang tersebut akan mengubah banjiran menjadi streamer plasma (celah aliran/kanal) kemudian konduktivitas akan mengalami kenaikan dengan ceapt, dan akan terjadi kegagalan dalam streamer tersebut. Ada dua jenis mekanisme Streamer, yaitu streamaer yang mengarah ke katoda yang disebut streamer positif dan streamer yang mnuju ke anoda yang disebut streamer negatif. Dalam streamer positif untuk geometri medan deragam, pada waktu banjiran telah melewati celah, maka elektron akan tertarik ke arah anoda, dan ion-ion dalam anoda akan membentuk kerucut. Medan muatan ruang yang tinggi terjadi di dekat anoda dan d tempat lain kerapatan ionnya rendah. Oleh karena itu, kehadiran ionion positif tidak akan menimbulkan kegagalan dalam celah.1 Gas yang terionisasi pada tangkai banjiran akan mengeluarkan foton, dan hal ini akan menimbulkan fotoelektron-fotoelektron yang menyebabkan terjadinya proses banjiran sekunder. Apabila medan muatan yang disebabkan banjiran primer besarnya sama dengan medn luar, peralihan dari banjiran elektron ke streamer akan terjadi apabila medan 𝐸𝑟 yang dihasilkan oleh ion-ion positif pada kepala banjiran sama dengan medan E yang diterapkan agar terjadi peningkatan ionisasi.1 Pelipatgandaan paling besar terjadi sepanjang sumbu banjiran promer. Ionion positif yang ada di belakang banjiran akan memanjang dan memperkuat muatan ruang banjiran primer ke arah katoda. Kemudian akan terbentuk plasma dan hal ini tentu saja akan memperpendek jarak anoda dengan katoda. Streame akan terus memanjang hingga merintangi celah dan membentuk saluran penhantar yang berupa gas terionisasi di antar elektroda.1 Pada streamer negatif atau streamer yang menuju ke anoda, diawali dengan mekanisme banjiran primer akan menghasilkan jumlah elektron (𝜀 𝑎𝑑 )yang cukup untuk menimbulkan medan ruang yang sebanding dengan medan yang diterapkan. Jumlah medan karena muatan ruang dan medan yang diterapkan akan meningkatkan banjiran elektron sekunder yang menuju anoda mendahului streamer negative yang terbentuk. Banjiran elektron terjadi disebabkan karena fotoionisasi dalam celah di depan streamer.1
11
Persamaan empiris yang menyatakan criteria spark streamer adalah sebegai berikut : 𝐸
𝑎𝑥𝑐 = 17.7 + ln 𝑥𝑐 + ln( 𝐸𝑟 ) …………………………………………….….........(2.14) Dimana 𝐸𝑟 adalah medan yang dihasilkan di kepala banjiran, E adalah medan yang diterapkan, dan 𝑥𝑐 adalah panjang banjiran dimana dihasilkannya elektron sekunder akibat fotoionisasi. Peralihan dari banjiran elektron ke streamer terjadu pada saat medan 𝐸𝑟 kirakira sama dengan medan E yang diterapkan sehingga persamaan di atas menjadi : 𝑎𝑥𝑐 = 17.7 + 𝑙𝑛 𝑥𝑐 …………………………………….…………………….…....(2.15) Nilai breakdown minimun untuk celah medan seragam pada mekanisme streamer yaitu pada saat terjadi peralihan dari banjiran ke streamer terjadi pada saat 𝑥𝑐 = 𝑑. Medan yang dihasilkan di kepala banjiran pada radius r adalah : 𝛼𝜀 𝑎𝑥
𝐸𝑟 = 5.27 𝑋 10−7 (𝑥/𝑝)1/2
(2.16)
Dimana 𝛼 adalah koefisien pertama ionisasi Towsend, p adalah tekanan gas dalam torr, dan x adalah jarak dimana streamer telah muncul dalam celah. Karena tegangan minimum breakdown terjadi pada saat 𝐸𝑟 = 𝐸 dan x=d, maka persamaan tersebut menjadi : 𝛼
𝐸
1
𝛼𝑑 + 𝑙𝑛 (𝑝) = 14.5 + 1𝑛 (𝑝) + 2 𝑙𝑛
𝑑 𝑝
…………………………………….....(2.17)
2.3. Proses Terjadinya Korona Bila dua elektroda yang penampangnya kecil (dibandingkan dengan jarak antara kedua elektroda tersebut) diberi tegangan bolak-balik, maka akan mungkin terjadi fenomena korona. Pada tegangan yang cukup rendah, tidak akan terjadi apaapa. Bila tegangan tersebut dinaikan, maka akan terjadi korona secara bertahap. Pertama-tama, pada elektroda akan kelihatan bercahaya, mengeluarkan suara suara mendesis (hissing), dan berbau ozon. Warna cahaya yang terlihat adalah ungu muda (violet). Apabila tegangan dinaikan secara terus-menerus, maka karakteristik yang terjadi di atas akan semakin jelas terlihat, terutama pada bagian yang kasar, runcing, atau kotor. Apabila tegangan masih terus dinaikan, maka akan muncul busur api. Korona akan mengeluarkan panas, hal ini dapat dibuktikan dari pengukuran menggunakan wattmeter. Pada keadaan udara lembab, korona menghasilkan asam
12
nitrogen (nitrous acid), yang menyebabkan elektroda berkarat bila kehilangan daya cukup besar. Apabila tegangan yang digunakan adalah tegangan searah, maka pada elektroda positif korona akan menampakan diri dalam bentuk cahaya yang seragam (uniform) pada permukaan elektroda, sedangkan pada elektroda negatifnya hanya pada tempat-tempat tertentu saja.2 Korona terjadi disebabkan karena medan listrik di sekitar penghantar cukup kuat sehingga elektron di udara saling bertabrakan (collision) dan mengionisasi udara, Karena terjadi ionisasi molekul dalam udara dan energi saat terionisasi cukup kuat atom melepaskan elektron lebih yang selanjutnya mengionisasi atom yang lain. Saat gradien potensial udara cukup besar pada suatu titik, maka udara yang terionisasi tersebut akan bersifat konduktif.1 Karena adanya medan listrik yang berada di sekitar elektroda penghantar yang mempercepat gerak elektron hasil ionisasi tersebut, maka elektron tersebut akan menumbuk molekul-molekul gas atau udara di sekitarnya. Karena hal ini terjadi secara terus-menerus maka jumlah ion dan elektron bebas menjadi berlipat ganda. Apabila terjadinya eksitasi elektron atom gas, yaitu berubahnya kedudukan elektron gradien tegangan menjadi cukup besar maka akan timbul fenomena korona. Selain menyebabkan terjadinya ionisasi molekul, tumbukan elektron juga menyebabkan dari orbital awalnya ke tingkat orbital yang lebih tinggi. Pada saat elektron berpindah kembali ke tingkat orbital yang lebih rendah, maka akan terjadi pelepasan energi berupa cahaya radiasi dan suara bising. 2 Mekanisme Terjadinya korona : 1.
Sebuah molekul atau atom netralnya medium, di dalam sebuah wilayah medan listrik yang kuat (seperti gradien potensial yang tinggi di dekat elektrode melengkung) diionisasikan oleh peristiwa tumbukan, dan menciptakan sebuah ion positif dan elektron bebas.
13
Gambar 2. 4 Mekanisme awal terjadinya pelepasan muatan 2.
Medan listrik lalu beroperasi pada partikel-partikel bermuatan lalu memisahkan, mencegah penggabungan kembali, serta mempercepat partikelpartikel itu, memberikan energi kinetik ke setiap partikel.
3.
Sebagai akibat dari peningkatan energi pada elektron (yang memiliki nisbah massa/muatan dan kecepatan yang jauh lebih tinggi), lebih jauh lagi sejumlah pasangan ion elektron/positif bisa diciptakan dengan menabrakkan atom-atom netral. Lalu mereka mengalami proses pemisahan yang sama. Proses pemisahan
ini
menciptakan
sebuah
longsoran
Inggris: electron avalanche).
Gambar 2. 5 Mekanisme Ionisasi sekunder
14
elektron
(Bahasa
4.
Dalam berbagai proses yang membedakan korona positif dengan negatif, proses energi plasma ini diubah menjadi disosiasi elektron tahap awal untuk menyebabkan longsoran lebih jauh lagi.
5.
Banyak ion terbentuk di dalam rangkaian longsoran ini (yang berlainan antara korona positif dengan negatif) ditarik ke elektrode tak melengkung, melengkapi sirkuit, dan mempertahankan aliran arus.
Gambar 2. 6 Banjiran elektron akibat proses yang berlangsung terus menerus Tegangan awalnya korona atau Tegangan Insepsi Korona (TIK) bisa dicari dengan hukum Peek (1929), yang diformulasikan dari pengamatan empiris.2 2.3.1. Pengaruh Tekanan Parsial Udara Terhadap Korona Ionisasi udara mengakibatkan redistribusi tegangan gradien tegangan. Bila redistribusi ini menyebabkan gradien udara di antara dua elektroda lebih besar dari gradien udara normal maka bisa terjadi lompatan api. Bila hanya sebagian udara antara dua elektroda yang terionisasikan, maka korona merupakan sampul (envelope) mengelilingi elektroda. Gradien tegangan seragam yang dapat menimbulkan ionisasi kumulatif di udara normal (250 C, 76 cmHg) adalah 30 kV/cm. Gradien potensial yang menyebabkan terjadinya kerusakan dielektrik disebut kekuatan dielektrik material. Pada daerah yang sangat lebar kekuatan dielektrik udara berbanding lurus dengan kerapatannya, berbanding lurus terhadap
15
tekanan, dan berbanding terbalik terhadap temperatur, dimana kekuatan dielektrik dalam kondisi tersebut adalah g0δ. Gradien memiliki nilai yang konstan pada semua titik dalam suatu medan dielektrik seragam seperti terdapat di antara piringan paralel. Apabila tegangan bertambah secara perlahan-lahan secepat dicapainya gradien kegagalan 30kV/cm, maka kegagalan udara dan flashover akan menjadikan hubungan singkat kedua piringan. Untuk mencari tegangan tembus udara bisa didapatkan dari alat uji tegangan tembus dan untuk melihat pengaruh kondisi udara dapat digunakan persamaan dari Hukum Peek.2 Pengaruh udara terhadap korona di jabarkan secara matematis oleh Peek pada jurnalnya, hukum peek menjelaskan bagaimana tegangan listrik yang dibutuhkan untuk memancing munculnya pelepasan muatan korona diantara dua penampang baik kawat fasa terhadap kawat fasa lainnya maupun kawat fasa ke netral atau pembumian pada body suatu sistem.2 Persamaannya tersebut dijelaskan sebagai berikut : 𝑆
Ev = mo . gv . r . ln ( 𝑟 )....................................................................................(2.18) Dimana, Ev = tegangan pemunculan korona (kV) mo = Tetapan kekasaran penghantar/elektroda (0,8 untuk kabel) r = Jari – jari (cm) S = Jarak antara kawat penghatar (cm) gv = Medan listrik visual kritis (kV/cm), gradien pada medan listrik untuk mempengaruhi collision pada molekul bebas disekitar penghantar gv bisa didapatkan dengan persamaan berikut : gv = g0 𝛿 ( 1 +
𝑐 √𝛿 𝑟
) ...........................................................................................(2.19)
dimana, g0 = medan listrik pengrusak ( kV/cm) δ = faktor densitas c = konstanta dimensi empiris dimana untuk udara adalah 0,301 [2] r = jari-jari penghantar (cm) Untuk rugi – rugi daya yang didapat dari korona bisa menggunakan persamaan sebagai berikut,
16
𝑟
Ploss = 241 . (f + 25) . √𝑠 . (En – Ev )2 .10-5 .........................................................(2.20) dimana, Ploss = Rugi daya akibat korona (kW) En = Tegangan kerja pada penghantar fasa ke netral (kV) Ev = Tegangan pemunculan korona (kV) f = frekuensi kerja pada penghantar ( f )
2.4. Kubikel 20kV Kubikel 20
kV adalah seperangkat peralatan listrik yang dipasang pada
Gardu Hubung Distribusi yang berfungsi sebagai pembagi, pemutus, penghubung pengontrol dan proteksi sistem penyaluran tenaga listrik tegangan 20 kV. Kubikel biasanya terpasang pada gardu hubung distribusi atau gardu hubung Yang berupa beton maupun kios. Kubikel yang terdapat di dalam gardu hubung (GH) merupakan panel tegangan menengah yang berfungsi sebagai salah satu sarana penunjang Utama Untuk mendistribusikan tenaga listrik ke konsumen, dimana di dalam GH selain terdapat Trafo Distribusi terdapat pula beberapa kubikel dengan beberapa peralatan bantu sesuai kebutuhan antara lain, pemutus beban pasangan dalam, disconecting switch , isolator, Rel busbar, Vacum sircuit breaker, Kabel saluran masuk atau keluar, Tranformator instrumen atau pengukuran antara lain Current Tranformer dan Potential Transformer.3
2.4.1
Jenis dan fungsi kubikel.
Berdasarkan fungsi dan penempatannya, kubikel 20 kV di Gardu Induk antara lain : •
Cubicle Incoming berfungsi sebagai penghubung dari sisi sekunder trafo daya ke busbar 20 Kv
•
Cubicle Outgoing : sebagai penghubung / penyalur dari busbar ke beban
•
Cubicle Pemakaian sendiri (Trafo PS) : sebagai penghubung dari busbar ke beban pemakaian sendiri GI
•
Cubicle Kopel (bus kopling); sebagai penghubung antara rel 1 dan rel 2 17
•
Cubicle PT / LA:: sebagai sarana pengukuran dan proteksi pengaman tegangan surja.
•
2.4.2
Cubicle Bus Riser / Bus Tie (Interface): sebagai penghubung antar sel. 3
Bagian – bagian kubikel
Cubicle TM 20 kV terdiri dari empat kompartemen, yaitu : a) Kompartemen PMT. Pada kompartemen ini terpasang “Withdrawable Circuit Breaker”. PMT dan mekanisme penggeraknya dapat dengan mudah dikeluarkan/dimasukkan ke dalam kubikel untuk keperluan pemeliharaan. b) Kompartemen Busbar Semua tertutup oleh bagian metal. Kompartemen busbar didesain agar bagian bagian yang bergerak pada bagian ini seminimum mungkin. Busbar dibuat dari tembaga atau aluminium dengan bentuk sesuai dengan desain dari masing-masing pabrik. c) Kompartemen Sambungan Kabel Pada Kompartemen ini terdapat : • Terminasi kabel tegangan menengah • 3(tiga) pembagi tegangan (potensial divider), dilengkapi pada setiap pasa terminasi kabel, yang disambung dengan tiga neon indikator yang dipasang di muka panel. Fungsinya untuk melihat secara visual bahwa kabel tersebut dalam keadaan bertegangan atau tidak, sehingga aman terhadap petugas yang melaksanakan pengoperasian. • Satu rangkaian hubung pendek dan pemisah tanah untuk sisi kabel. Dioperasikan dari depan panel, dilengkapi dengan mekanisme operasi kecepatan tinggi sehingga mempunyai kecepatan masuk yang tidak tergantung kecepatan operator. • Trafo arus • Trafo tegangan (sesuai permintaan). Bisa type tetap atau lepasan. Dilengkapi dengan pelebur dengan kapasitas pemutusan tinggi. d) Kompartemen Tegangan Rendah
18
Kompartemen ini didisain untuk memperkecil resiko propagasi saat terjadi kegagalan. Auxiliary disambung ke PMT oleh susunan multi pin connector.
Gambar 2. 7 Bagian-bagian kubikel 2.5. Kelembaban 2.5.1. Kelembaban Udara Definisi kelembaban udara adalah banyaknya kandungan uap air di atmosfer. Udara atmosfer adalah campuran dari udara kering dan uap air. Kelembaban udara adalah tingkat kebasahan udara karena dalam udara air selalu terkandung dalam bentuk uap air. Kandungan uap air dalam udara hangat lebih banyak daripada kandungan uap air dalam udara dingin. Kalau udara banyak mengandung uap air didinginkan maka suhunya turun dan udara tidak dapat menahan lagi uap air sebanyak itu. Uap air berubah menjadi titik-titik air. Udara yang mengandung uap air sebanyak yang dapat dikandungnya disebut udara jenuh.4 Macam-macam kelembaban udara sebagai berikut : 1)
Kelembaban relatif atau nisbi yaitu perbandingan jumlah uap air di udara dengan yang terkandung di udara pada suhu yang sama.
2) Kelembaban absolut atau mutlak yaitu banyaknya uap air dalam gram pada 1 m3 . Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang dapat dinyatakan sebagai kelembaban mutlak, kelembaban nisbi (relatif) maupun defisit tekanan uap air.
19
Beberapa cara untuk menyatakan jumlah uap air yaitu : 1. Tekanan uap adalah tekanan parsial dari uap air. Dalam fase gas maka uap air di dalam atmosfer seperti gas sempurna (ideal). 2. Kelembaban mutlak yaitu massa air yang terkandung dalam satu satuan volume udara lengas. 3. Kelembaban spesifik didefinisikan sebagai massa uap air persatuan massa udara basah. 4. Kelembaban nisbi (RH) ialah perbandingan nisbah percampuran dengan nilai jenuhnya dan dinyatakan dalam %. Besaran yang sering dipakai untuk menyatakan kelembaban udara adalah kelembaban nisbi yang diukur dengan psikrometer atau higrometer. Kelembaban nisbi berubah sesuai tempat dan waktu. Pada siang hari kelembaban nisbi berangsur – angsur turun kemudian pada sore hari sampai menjelang pagi bertambah besar. Kelembaban nisbi membandingkan antara kandungan tekanan uap air aktual dengan keadaan jenuhnya atau pada kapasitas udara untuk menampung uap air. Kapasitas udara untuk menampung uap air (pada keadaan jenuh) tergantung pada suhu udara Defisit tekanan uap air adalah selisih antara tekanan uap air jenuh dengan tekanan uap aktual. Pengembunan terjadi bila kelembaban nisbi mencapai 100 %.4 2.5.2. Kerapatan Uap Air Massa uap air per satuan volume udara yang mengandung uap air tersebut.(kelembaban mutlak) ρ= M / V.............................................................................................................(2.21) dimana : ρ = kerapatan uap air (kg m-3) M= massa uap air (kg) V = volume udara (m3) Karena Hukum Gas Ideal adalah : p V= n R T........................................................................................................(2.22) Dimana : p = Tekanan uap air (bar) R = Tetapan gas umum (8.3143 J K-1 mol -1)
20
T = suhu mutlak (K) V = volume udara (m3) dan, n =
𝑚 𝑀
Maka, persamaan menjadi : ρ=
𝑝. 𝑀 𝑅 .𝑇
...........................................................................................................(2.23)
Berdasarkan persamaan di atas, kerapatan uap air (ρ) ditentukan oleh tekanan (p) suhu udara (T). (2)
2.5.3.
Relative humidity Perbandingan antara kelembaban aktual dengan kapasitas udara untuk
menampung uap air. 𝑒
RH = 𝑒𝑎 . 100%...............................................................................................................................................(2.24) 𝑠
dimana : ea = kelembaban aktual atau tekanan uap air parsial es = kapasitas udara untuk menampung uap air/tekanan uap jenuh diambil dari tabel Bila kelembaban Relatif ( RH )100% maka, ea = es, untuk tekanan saturasi (es) tergantung pada suhu udara (T) Makin tinggi suhu, kapasitas untuk menampung uap air atau tekanan satuari (es) meningkat pada tekanan aktual (ea) yang tetap, RH akan lebih kecil bila suhu udara meningkat, sebaliknya RH makin tinggi bila suhu udara rendah. Tekana aktual uap air jenuh (ea) yang tetap antara siang dan malam, menyebabkan RH akan lebih rendah pada siang hari tetapi lebih tinggi pada malam hari, RH lebih tinggi pada malam hari dam mencapai maksimum pada pagi hari sebelum matahari terbit. Hal tersebut menyebabkan proses pengembunan bila udara bersentuhan dengan bidang/permukaan yang suhunya lebih rendah dari suhu titik embun. Embun terbentuk pada tempat-tempat yang terbuka atau tidak ternaungi seperti bagian terluar dari tajuk pohon dan di rumput (tidak terlindungi benda lain). Tempat tersebut memiliki suhu terendah karena paling banyak kehilangan energi melalui pancaran radiasi gelombang panjang.
21
2.6 Perhitungan Tekanan Parsial Udara tekanan parsial uap air jenuh (ea) adalah hasil akhir perhitungan yang didapat dari kelembaban, untuk mencari ea sendiri bisa didapat dari persamaan 2.24 untuk tekanan saturasi es bisa didapatkan dari tabel tekanan uap air jenuh dibawah ini
Tabel 2. 1 Tekanan Uap Air Jenuh
Dari tabel di atas kita bisa dapatkan tekanan uap air jenuh (es), lalu dari es kita bisa mendapatkan tekanan air parsial uap air dengan memasukan ke persamaan (2.24). Untuk kerapatan partikel udara relatif bisa didapatkan dari perbandingan massa jenis udara pada kondisi standar per masa jenis uap jenuh. Karena tekanan parsial (ea) adalah tekanan udara (p) maka kita pergunakan persamaan (2.23) untuk mencari kerapatan uap air jenuh di udara ρ(uap air jenuh) =
𝑒𝑎 . 𝑀 𝑅. 𝑇
dari persamaan (2.23)
22
Massa jenis udara relatif adalah perbandingan antara massa jenis udara standar dan massa jenis udara jenuh sehingga, ρ(udara relatif) = ρ(udara standar)/ ρ(uap air jenuh).....................................(2.25) untuk mencari faktor densitas atau faktor kerapat partikel udara maka bisa menggunakan persamaan sebagai berikut, 𝛿 = ρ(udara) / ρ(SATP) ..................................................................................(2.26) dimana, 𝛿 = rapat partikel udara relatif pada saat pengukuran ρ(uap air jenuh) = masa jenis uap air jenuh dalam udara (kg/cm3) ρ(udara standar)= masa jenis udara standar (1,2 kg/cm3 pada 760 mmhg 27 0C) ρ(udara relatif) = masa jenis relati udara saat pengukuran (kg/cm3) ρ(SATP) = 1 (faktor densitas pada SATP)
2.6. Kontrol suhu dan kelembaban Dalam penelitian ini, permasalahan yang diangkat adalah kelembaban, dikarenakan kelembaban dapat mempengaruhi faktor densitas (𝛿), dimana apabila faktor densitas makin kecil maka angka tegangan pemunculan korona akan semakin kecil, sehingga kemungkinan terjadina korona akan semakin besar. Untuk menangani hal tersebut maka dibuatlah rancang bangun alat kendali kelembaban dan suhu yang dapat digunakan di dalam kubikel, bahan – bahan yang dipergunakan adalah : 1. Board Arduino uno sebagai mikrokontrol 2. Fan sebagai Aktuator 3. Heater sebagai Aktuator 4. Relay sebagai kendali I/O aktuator 5. LCD sebagai user interface 2.6.1. Arduino Uno Arduino Merupakan board modul dari rangkain microcontroller yang telah dirangkai sehingga pengguna bisa membuat suatu rangkaian tanpa perlu marakit lagi bahan-bahan pendukung mikrokontrol.
23
Arduino Uno adalah board mikrokontroler berbasis ATmega328. Uno memiliki 14 pin digital input / output (dimana 6 dapat digunakan sebagai output PWM), 6 input analog, resonator keramik 16 MHz, koneksi USB, jack listrik, header ICSP, dan tombol reset. Uno dibangun berdasarkan apa yang diperlukan untuk mendukung mikrokontroler, sumber daya bisa menggunakan power USB (jika terhubung ke komputer dengan kabel USB) dan juga dengan adaptor atau baterai. Arduino Uno berbeda dari semua papan sebelumnya dalam hal tidak menggunakan FTDI chip driver USB-to-serial. Sebaliknya, fitur Atmega16U2 (Atmega8U2 sampai versi R2) diprogram sebagai konverter USB-to-serial. Revisi 2 dari Uno memiliki resistor pulling 8U2 HWB yang terhubung ke tanah, sehingga lebih mudah untuk menggunakan mode DFU. Sumber Daya / Power Arduino Uno dapat diaktifkan melalui koneksi USB atau dengan catu daya eksternal. Sumber daya dipilih secara otomatis. Untuk sumber daya Eksternal (nonUSB) dapat berasal baik dari adaptor AC-DC atau baterai. Adaptor ini dapat dihubungkan dengan memasukkan 2.1mm jack DC ke colokan listrik board. Baterai dapat dimasukkan pada pin header Gnd dan Vin dari konektor DAYA. Board dapat beroperasi pada pasokan eksternal dari 6 sampai 20 volt. Jika Anda menggunakan tegangan kurang dari 6 volt mungkin tidak akan stabil. Jika menggunakan lebih dari 12V, regulator tegangan bisa panas dan merusak papan. Rentang yang dianjurkan adalah 7 sampai 12 volt. Pin listrik yang tersedia adalah sebagai berikut: 1. VIN. Input tegangan ke board Arduino ketika menggunakan sumber daya eksternal. Anda dapat menyediakan tegangan melalui pin ini, atau, jika Anda ingin memasok tegangan melalui colokan listrik, gunakan pin ini. Pin ini merupakan output 5V yang telah diatur oleh regulator papan Arduino. Board dapat diaktifkan dengan daya, baik dari colokan listrik DC (7 - 12V), konektor USB (5V), atau pin VIN board (7-12V). Jika Anda memasukan tegangan melalui pin 5V atau 3.3V secara langsung (tanpa melewati regulator) dapat merusak papan Arduino. Penulis tidak menyarankan itu. Tegangan pada pin
24
3V3. 3.3Volt dihasilkan oleh regulator on-board. Menyediakan arus maksimum 50 mA. 2. GND. Pin Ground. 3. IOREF. Pin ini di papan Arduino memberikan tegangan referensi ketika mikrokontroler beroperasi. Sebuah shield yang dikonfigurasi dengan benar dapat membaca pin tegangan IOREF sehingga dapat memilih sumber daya yang tepat agar dapat bekerja dengan 5V atau 3.3V. Memori ATmega328 memiliki 32 KB (dengan 0,5 KB digunakan untuk bootloader). ATmega328 juga memiliki 2 KB dari SRAM dan 1 KB EEPROM (yang dapat dibaca dan ditulis dengan perpustakaan / library EEPROM). Input dan Output Masing-masing dari 14 pin digital Uno dapat digunakan sebagai input atau output, menggunakan fungsi pinMode(), digitalWrite(), dan digitalRead(). Mereka beroperasi pada tegangan 5 volt. Setiap pin dapat memberikan atau menerima maksimum 40 mA dan memiliki resistor pull-up internal (terputus secara default) dari 20-50 kOhms. Selain itu, beberapa pin memiliki fungsi spesial: 1. Serial: pin 0 (RX) dan 1 (TX) Digunakan untuk menerima (RX) dan mengirimkan (TX) data serial TTL. Pin ini terhubung dengan pin ATmega8U2 USB-to-Serial TTL. 2. Eksternal Interupsi: Pin 2 dan 3 dapat dikonfigurasi untuk memicu interrupt pada nilai yang rendah (low value), rising atau falling edge, atau perubahan nilai. Lihat fungsi attachInterrupt() untuk rinciannya. 3. PWM: Pin 3, 5, 6, 9, 10, dan 11 Menyediakan 8-bit PWM dengan fungsi analogWrite() 4. SPI: pin 10 (SS), 11 (MOSI), 12 (MISO), 13 (SCK) mendukung komunikasi SPI dengan menggunakan perpustakaan SPI 5. LED: pin 13. Built-in LED terhubung ke pin digital 13. LED akan menyala ketika diberi nilai HIGH Arduino Uno memiliki 6 input analog, berlabel A0 sampai A5, yang masingmasing menyediakan resolusi 10 bit (yaitu 1024 nilai yang berbeda). Secara default mereka mengukur dari ground sampai 5 volt, perubahan tegangan maksimal
25
menggunakan pin AREF dan fungsi analogReference(). Selain itu, beberapa pin tersebut memiliki spesialisasi fungsi, yaitu TWI: pin A4 atau SDA dan A5 atau SCL mendukung komunikasi TWI menggunakan perpustakaan Wire. Ada beberapa pin lainnya yang tertulis di board: 1. AREF. Tegangan referensi untuk input analog. Dapat digunakan dengan fungsi analogReference(). 2. Reset. Gunakan LOW untuk me-reset mikrokontroler. Biasanya digunakan untuk menambahkan tombol reset. Komunikasi Arduino Uno memiliki sejumlah fasilitas untuk berkomunikasi dengan komputer, Arduino lain, atau mikrokontroler lainnya. ATmega328 menyediakan UART TTL (5V) komunikasi serial, yang tersedia pada pin digital 0 (RX) dan 1 (TX). Pada ATmega16U2 saluran komunikasi serial melalui USB dan muncul sebagai com port virtual untuk perangkat lunak pada komputer. Firmware 16U2 menggunakan standar driver USB COM, dan tidak ada driver eksternal diperlukan. Namun, pada Windows, diperlukan file .inf. Perangkat lunak Arduino termasuk monitor serial yang memungkinkan data tekstual sederhana akan dikirim ke dan dari papan Arduino. RX dan TX LED di papan akan berkedip ketika data sedang dikirim melalui chip USB-to-serial dan koneksi USB komputer (tetapi tidak untuk komunikasi serial pada pin 0 dan 1). ATmega328 juga mendukung I2C (TWI) dan komunikasi SPI. Perangkat lunak Arduino termasuk perpustakaan Wire berfungsi menyederhanakan penggunaan bus I2C. Untuk komunikasi SPI, menggunakan perpustakaan SPI. Pemrograman Arduino Uno dapat diprogram dengan software Arduino Karakteristik Fisik Panjang maksimum dan lebar PCB Uno masing-masing adalah 2,7 dan 2,1 inci, dengan konektor USB dan colokan listrik yang melampaui dimensi tersebut. Empat lubang sekrup memungkinkan board harus terpasang ke permukaan. Perhatikan bahwa jarak antara pin digital 7 dan 8 adalah 0,16", tidak seperti pin lainnya. Adapun data teknis board Arduino UNO R3 adalah sebagai berikut :
26
Mikrokontroler : ATMEGA328
Tegangan Operasi : 5V
Tegangan Input (recommended) : 7 - 12 V
Tegangan Input (limit) : 6-20 V
Pin digital I/O : 14 (6 diantaranya pin PWM)
Pin Analog input : 6
Arus DC per pin I/O : 40 mA
Arus DC untuk pin 3.3 V : 150 mA
Flash Memory : 32 KB dengan 0.5KB digunakan untuk bootloader
SRAM : 2 KB
EEPROM : 1 KB
Kecepatan Pewaktuan : 16 Mhz
Gambar 2. 8 Konstruksi Jalur Rangkaian Arduino Uno 2.6.2. DHT112 DHT11 adalah sensor lokal yang biasa dipergunakan sebagai bahan percobaan karena harga yang murah dan akurasi pembacaan yang cukup baik. DHT11 memanfaatkan kemampuan kapasitif dari suatu bahan yang akan berubah apabila terjadi perubahan kelembaban dan suhu disekitar nya. 27
Bahan dan material DHT11 terdiri dari :
Film tipis polimer / oksida logam antara dua elektroda konduktif.
Permukaan penginderaan / sensor dilapisi dengan logam berpori elektroda untuk melindunginya kontaminasi. bahan kaca, keramik, atau silikon.
Perubahan dalam konstanta dielektrik sensor kelembaban kapasitif hampir berbanding lurus dengan kelembaban relatif lingkungan sekitarnya.
Spesifikasi :
Supply Voltage: +5 V
Temperature range : 0-60 °C error of ± 2 °C
Humidity : 15-90% RH ± 5% RH error
Interface : Digital Resistansi dari banyak konduktor nonmetal secara umum tergantung pada
kandungan air konduktor tersebut, yang merupakan suatu dasar dari sensor kelembaban resistif atau hygrostator Sensor tersebut berisi suatu material yang secara relative resistivitasnya rendah yang berubah secara signifikan dibawah perubahan kondisi kelembaban. Contoh lainnya dari sensor kelembaban konduktivitas adalah disebut dengan “Pope element”, yang terdiri dari polystyrene yang dilakukan/diperlakukan dengan asam sulfur untuk memperoleh karakteristik surface-resistivitas yang diinginkan. Material lainnya yang menjanjikan untuk pembuatansuatu film dalam sensor konduktivitas adalah solidpolyelectrolytes karena konduktivita elektrik dari bahan itu bervariasi/berubah terhadap kelembaban.
Gambar 2. 9 Konstruksi Rangkaian Sensor Berbasis Kapasitansi Sensor kelembaban solid-state dapat dibuat dengan substrat silicon (gbr. A) Silikon tersebut harus berkonduktansi tinggi, yang menyediakan garis edar elektrik 28
dari elektroda aluminium hampa udara/vacuum yang ditempatkan pada permukaan sensor. Suatu lapisan oksida yang dibentuk pada bagian atas lapisan aluminium konduktiv, dan pada bagian atas itu, alektroda lainnya dibentuk. Lapisan aluminium tersebut dianodized dalam suatu cara untuk membentuk permukaan oksida berpori. Elektroda bagian paling atas/diatasnya terbuat dari suatu bentuk emas berpori yang dapat ditembus gas, dan diwaktu yang sama dapat menyediakan kontakelektric. Oksida aluminium (Al2O3), seperti banyak material-material lainnya, yang dengan siap mengabsorbsi air ketika terkontak/terhubung dengan campuran gas yang mengandung air dalam keadaan beruap air.
Gambar 2. 10 Rangkaian Sensor DHT 11 Cara kerja sensor sesuai dengan prinsip kapasitansi, ketika ada bahan dielektrik diantara dua bahan konduktor maka ada faktor kapasitif. Dalam kondisi sensor DHT 11 bahan dieletriknya adalah udara, ketika kelembaban (RH) dari sensor berubah maka nilai konstanta permitivitas dari udara tersebut berubah sehingga mempengaruhi nilai kapasitansi (C) sesuai dengan persamaan: 𝐴
C= (𝑆 ) . 8,84.1014 . k
(2.27)
Dimana konstana permitivitas (k) adalah k=1+
211 𝑇
( ea +
48 𝑒𝑠 𝑇
RH ) 10-6
(2.28)
C
= kapasitansi (Farad)
A
= Luas penampang bahan konduktor (cm2)
S
= Jarak antar konduktor (cm)
T
= Suhu (Kelvin)
ea
= Tekanan Parsial (bar) 29
es
= Tekanan Saturasi Uap air jenuh (bar)
RH
= Kelembaban (%) Dari persamaan diatas terlihat kelembaban dan suhu mempengaruhi nilai
kapasitansi dielektrik udara, sensor DHT 11 bekerja secara digital dimana di dalam DHT11 terdapat sistem prosesor komplek yang membaca perubahan waktu dimana, C=
𝐼𝑡
(2.29)
𝑉
C
= Kapasitansi (Farad)
I
= Arus (Ampere)
V
= Tegangan (Volt)
t
= waktu sampai tegangan maksimal tercapai (s) Arus dan tegangan tetap, tetapi waktu pengisian muatan sampai tegangan
maksimal pada nilai kapasitif yang berubah. Karakteristik sensor
Perubahan kapasitansi 0,2-0,5 pF untuk RH 1%
Kapasitansi antara 100 dan 500 pF sebesar 50% RH pada 25 ° C.
Rentang waktu respon antara 30 hingga 60 s untuk perubahan RH 63%.
2.6.3. Relay Relay maupun kontaktor magnet memiliki kumparan (coil) yang apabila di aliri arus listrik DC maka besi sebagai inti dari kumparan akan menjadi magnet, sehingga batang bergerak yang sama sama terbuat dari besi akan di tarik sehingga lengket pada inti besi. Hal ini mengakibatkan kontak NC ( Normaly close ) akan berubah menjadi kontak NO ( Normally Open ). Di sebuah Relay sederhana terdiri dari 4 komponen dasar yaitu : 1.
Electromagnet (Coil)
2.
Armature
3.
Switch Contact Point (Saklar)
4.
Spring
30
Berikut ini merupakan gambar dari bagian-bagian Relay (Struktur Sederhana sebuah relay)
Gambar 2. 11 Konstruksi Relay Kontak Poin (Contact Point) Relay terdiri dari 2 jenis yaitu :
Normally Close (NC) yaitu kondisi awal sebelum diaktifkan akan selalu berada di posisi CLOSE (tertutup)
Normally Open (NO) yaitu kondisi awal sebelum diaktifkan akan selalu berada di posisi OPEN (terbuka) Berdasarkan gambar diatas, sebuah Besi (Iron Core) yang dililit oleh
kumparan Coil yang berfungsi untuk mengendalikan Besi tersebut. Apabila Kumparan Coil diberikan arus listrik, maka akan timbul gaya Elektromagnet yang kemudian menarik Armature untuk berpindah dari Posisi sebelumnya (NC) ke posisi baru (NO) sehingga menjadi Saklar yang dapat menghantarkan arus listrik di posisi barunya (NO). Posisi dimana Armature tersebut berada sebelumnya (NC) akan menjadi OPEN atau tidak terhubung. Pada saat tidak dialiri arus listrik, Armature akan kembali lagi ke posisi Awal (NC). Coil membutuhkan arus listrik yang relatif kecil untuk mengaktifkan electromagnet dan menarik Contact Poin ke posisi Close.
31
Karena Relay merupakan salah satu jenis dari Saklar, maka istilah Pole dan Throw yang dipakai dalam Saklar juga berlaku pada Relay. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai Istilah Pole and Throw : Pole
: Banyaknya Kontak (Contact) yang dimiliki oleh sebuah relay
Throw : Banyaknya kondisi yang dimiliki oleh sebuah Kontak (Contact) Berdasarkan penggolongan jumlah Pole dan Throw-nya sebuah relay, maka relay dapat digolongkan menjadi :
Single Pole Single Throw (SPST) : Relay golongan ini memiliki 4 Terminal, 2 Terminal untuk Saklar dan 2 Terminalnya lagi untuk Coil.
Single Pole Double Throw (SPDT) : Relay golongan ini memiliki 5 Terminal, 3 Terminal untuk Saklar dan 2 Terminalnya lagi untuk Coil.
Double Pole Single Throw (DPST) : Relay golongan ini memiliki 6 Terminal, diantaranya 4 Terminal yang terdiri dari 2 Pasang Terminal Saklar sedangkan 2 Terminal lainnya untuk Coil. Relay DPST dapat dijadikan 2 Saklar yang dikendalikan oleh 1 Coil.
Double Pole Double Throw (DPDT) : Relay golongan ini memiliki Terminal sebanyak 8 Terminal, diantaranya 6 Terminal yang merupakan 2 pasang Relay SPDT yang dikendalikan oleh 1 (single) Coil. Sedangkan 2 Terminal lainnya untuk Coil. Selain Golongan Relay diatas, terdapat juga Relay-relay yang Pole dan
Throw-nya melebihi dari 2 (dua). Misalnya 3PDT (Triple Pole Double Throw) ataupun 4PDT (Four Pole Double Throw) dan lain sebagainya. Untuk lebih jelas mengenai Penggolongan Relay berdasarkan Jumlah Pole dan Throw, silakan lihat gambar dibawah ini :
32
Gambar 2. 12 Konstruksi Rangakaian Relay Spesifikasi modul relay yang digunakan dalam pembuatan alat ini adalah bertipe SPDT (Single Pole Double Throw) berukuran mini dengan 5 pin ini dengan dimensi 14 x 9 x 10 mm (di luar pin setinggi 3,5 mm). Tegangan untuk aktivasi membutuhkan 3 Volt DC, dengan batas arus maksimum pada terminal kontak sebesar 1 Ampere pada 24 Volt DC atau 500 mA pada 125 Volt AC (catatan: jangan digunakan untuk switching peralatan dengan listrik PLN yang bertegangan 220 VAC, maksimum tegangan kontak untuk relay ini adalah 60 VDC / 125 VAC). Tipikal resistansi pada koil sebesar 60Ω (dibutuhkan arus sebesar 50 mA untuk mengaktivasi relay ini).
Gambar 2. 13 Bagan Satu Garis Rangkaian Arduino dan Relay
33
2.6.4. Fan Sebelum Daya dari blower/ fan dapat dihitung, sejumlah parameter operasi harus diukur, termasuk kecepatan udara, head tekanan, suhu aliran udara pada fan. Dalam rangka mendapatkan gambaran operasi yang benar harus diyakinkan bahwa: 1. Fan dan komponennya beroperasi dengan benar pada kecepatannya 2. Operasi berada pada kondisi stabil; suhu, berat jenis, resistansi sistim yang stabil Disini akan dihitung daya dari blower dan Perhitungan efisiensi blower/fan, perhitungan dibagai beberapa tahap agar dapat mudah dimengerti.
Tahap 1: Menghitung berat jenis gas Tahap pertama adalah menghitung berat jenis udara atau gas. Koefisien berat jenis adalah perbandingan relatif dari massa jenis suatu bahan terhadap massa jenis air murni yaitu 100g/cm3 . Koefisien berat jenis tidak memiliki satuan atau dimensi. Koefisien berat jenis didapat dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : γ = ρ / 1000 .................................................................................................(2.30) Dimana, γ = Koeffisien berat jenis ρ = massa jenis (kg/m3)
Tahap 2: Mengukur tekanan pada Fan Tekanan pada Fan adalah tekanan yang akan di atur oleh fan, di asumsikan kelembaban tertinggi di kubikel rata-rata di angka 80%, apabila set point untuk kondisi di dalam kubikel adalah 40% maka fan harus bisa mengurangi tekanan parsial uap air jenuh sebesar tekanan pada kelembaban 40%, di asumsikan suhu pada kondisi 400C maka tekanan yang menjadi beban fan dapat dihitung dengan persamaan 2.24.
Tahap 3: menghitung aliran volumetrik Tahap ketiga adalah menghitung aliran volumetrik, ukur diameter saluran (atau dari sekitarnya dimana diameter dapat diperkirakan).
34
Hitung volum udara atau gas dalam saluran dengan hubungan sebagai berikut:
Q = v x A..........................................................................................................(2.31) Q = debit gas (m3/s) v= laju gas (m/s) A= Diameter saluran (m2) Untuk laju efektif gas ideal adalah : v= √3𝑝/ρ..........................................................................................................(2.32) p = tekanan udara (N/m2) ρ = Massa Jenis udara (kg/m3) Tahap 4:Menghitung Daya Blower Daya blower yang dibutuhkan adalah hubungan berat jenis (γ), tekanan yang akan di kendalikan oleh fan dan aliran volumetrik udara dimana, Daya blower = γ. pfan . Q Dimana γ
= berat jenis udara
pfan
= tekanan fan (N/m2)
Q
= aliran volumetrik udara (m3/s)
Fan yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah exhaust fan dengan daya 40 watt untuk perhitungan dapat dilihat pada lampiran.
2.6.5
LCD LCD adalah user interface untuk melihat hasil ukur dari sensor, layar LCD
yang digunakan berupa LCD 12x2 dimana kemampuan dari layar nya dapat menampilkan 2 baris kolom, dan setiap barisnya bisa menampilkan 12 huruf dan angka.
35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Tujuan dari dibuatnya rancang bangun sistem kendali kelembaban ini adalah untuk membuat kondisi suhu dan kelembaban di dalam kubikel stabil dan sesuai set point yang diharapkan. Tujuan dari penelitian dan pengujian dalam proses pembuatan skripsi ini adalah untuk menganalisa pengaruh dari kondisi udara terhadap, tingkat tegangan tembus, tegangan pemunculan korona, kegagalan isolasi dan rugi-rugi yang dihasillkan oleh korona, dengan meneliti kondisi real di lapangan. Hasil akhir dari penelitian dan pengujian ini adalah melihat sampai sejauh mana pengarunh dari alat yang dibuat oleh penulis dan dampak postitif yang didapatkan apabila sitem ini di implementasikan. 3.1
Sistematika Penelitian Tempat penelitian di laksanakan di Lab PT.PLN (Persero) dan di Gardu
yang telah di pilih yaitu Gardu Swiss Van java dengan langkah – langkah sebagai berikut : 1. Pengujian tegangan tembus 2. Perakitan Alat 3. Penelitian Alat 4. Pemasangan Alat di kubikel 5. Penghitungan tegangan tembus setelah dipasang alat 6. Pengolahan Data 3.1.1
Pengujian Tegangan Tembus Pengujian dilaksanakan secara real pada rancang bangun alat yang di buat
dan di gardu yang telah dipilih, Pengujian peralatan listrik dengan tegangan tinggi ada dua macam metode yaitu pengujian yang dapat merusak (destructive) dan pengujian yang tidak merusak (non-destructive).
36
Ada tiga jenis pengujian: 1. Pengujian ketahanan (withstand test) 2. Pengujian pelepasan (discharge test) 3. Pengujian kegagalan (breakdown test) Penulis menggunakan Pengujian ketiga yaitu pngujian breakdown testuntuk mendapatkan nilai tegangan tembus, Standarisasi tingkat internasional dikerjakan oleh komisi teknik IEC. Pada tingkat nasional di Indonesia standarisasi dibuat dan diterbitkan oleh PLN yaitu SPLN yang mengacu pada IEC.
Gambar 3. 1 Konstruksi Elektroda alat Break down test Elektroda yang digunakan dalam pengujian terbuat dari kuningan, perunggu atau stainless stell. Panjang celah antara kedua elektroda adalah 2,5 mm. Tegangan uji dinaikkan dari nol dengan laju 2,0 kV/s +/- 0,2 kV/s hingga terjadi tembus. Jika suatu tegangan yang diterapkan telah melampaui tegangan tembus statis, maka dalam waktu beberapa µs, sela percik akan tembus. Selama selang waktu tersebut puncak tegangan jaringan dapat dianggap konstan. Oleh karena itu tembus dalam gas selalu terjadi pada puncak tegangan bolak-balik frekuensi rendah. Dalam gambar 3.1 ditunjukkan dua susunan sela bola untuk pengukuran. Susunan horisontal digunakan untuk diameter D < 50 cm dengan rentang tegangan yang lebih rendah sedangkan untuk diameter yang lebih besar digunakan susunan vertikal yang mengukur besar tegangan terhadap bumi. Sejumlah baku (VDE 04332; IEC- Publ.52; BS 358 ) telah menyatakan jarak bebas yang minimum serta nilai tegangan tembus pada kondisi baku ( b = 1013 mbar, v = 20oC ) untuk berbagai diameter bola D sebagai fungsi besar sela (s). Rangkaian pembangkitan tegangan AC adalah rangkaian yang digunakan untuk mengetahui tegangan tembus pada pengujian media isolasi.Tegangan jala-
37
jala 220 V frekuensi 50 Hz dihubungkan ke regulator tegangan. Tegangan diatur melalui regulator tersebut. Tegangan disisi sekunder dinaikan dengan perbandingan sisi primer dan sisi sekunder.Sehingga jika pada sisi primer trafo uji dinaikan maka pada sisi sekunder akan mengalami peningkatan tegangan. Tegangan tembus diperoleh dengan menaikan tegangan pada regulator sampai tepat terjadi tegangan tembus. Pengujian dilakukan dalam kondisi real di tempat yang penulis tentukan, waktu pengujian di lakukan dalam waktu yang ditentukan, dengan kondisi elektroda berbetuk bola dan jarak sela 2,5 mm dengan langkah – langkah sebagai berikut : 1. Hubungkan alat ke sumber daya dari instalasi, sumber daya dari PLN dengan 220 Volt dan arus AC 2. PMT Kubikel di buka dan ground kubikel dimasukan 3. Pintu Rak Kubikel di buka 4. Elektroda dipersiapkan dan di simpan di dalam kubikel 5. Rak kubikel ditutup kembali 6. Alat dinyalakan dan dilakukan pengujian dengan menekan tombol test dan settingan pengujian nya IEC. 7. Mencatat hasil dari pengujian yang tampil pada display Alat uji. 3.2
Perakitan Alat Karena tidak ada sistem kendali dalam kubikel maka penulis mencoba
membuat kontrol sistem kelembaban dan suhu, dalam hal ini dari data yang didapatkan dari penelitian dan pengujian di buat lah sistem yang di jelaskan pada gambar dibawah ini.
Gambar 3. 2 Bagan kerja sistem 38
Berdasar Gambar 3.2, Set value (SV) merupakan output yang diinginkan dari sistem kendali, sedangkan present value (PV) merupakan output yang dihasilkan saat itu. Nilai present value dibaca oleh sensor dan dibandingkan dengan set value oleh pengendali (controller). Selanjutnya controller menggerakkan aktuator agar nilai present value mendekati set value. Proses ini berlangsung secara terus menerus. Dalam proses pengendalian suhu dan kelembaban, SV merupakan suhu dan kelembaban yang diinginkan, yang nilainya dimasukkan ke controller. Sedangkan PV merupakan suhu dan kelembaban ruang saat itu, yang nilainya dibaca oleh sensor.
Sensor DHT 11
ARDUINO
LCD
Relay Fan
Fan
Relay Heater
Lampu 45 W
Set Point suhu dan Kelembapan
Gambar 3. 3 Blok Diagaram Alat Dari blok diagram dapat dilihat bahwa data yang didapatkan sensor masuk dan diolah oleh arduino, arduino memproses data yang didapat dan selanjutnya memberikan intruksi kepada relay sesuai dengan program yang telah di masukan oleh penulis ke arduino. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Arduino Uno Simple Pack 2. Sensor Suhu dan Kelembaban DHT 11 3. Fan AC 220 Volt 40 WATT 4. Adaptor DC 12 Volt
39
5. Heater 1300 Watt 220 Volt AC 6. Sumber Tegangan rendah F-N 220 V 50 Hz 7. Set Wiring dan Terminal 8. Mur baut elektronik untuk perakitan alat dapat dilihat pada Single line jelaskan dengan gambar dibawah ini. DHT11
ground
Relay
G r ound
Heater
Fan
5v Beard Board Power SUppla
LCD 5v
Gambar 3. 4 Single Line Rancang Bangung Alat
Keterangan gambar adalah sebagai berikut : 1. Garis Merah adalah kabel Vcc 5 V sambungan daya untuk peralatan 2. Garis Hitam adalah kabel ground sambungan ground untuk alat 3. Garis Biru adalah Kabel data DHT11 ke arah dudukan wiring digital no 2 4. Garis kuning adalah kabel data Relay untuk pengaturan heater yang dihubungkan ke dudukan wiringdigital no 8 5. Garis ungu adalah kabel data relay untuk pengaturan fan yang dihubungkan ke dudukan wiring digital no 7
40
6. Garis hijau adalah kabel analog LCD yang dihubngkan dengan dudukan wiring analog no A4 Proses Pembuatan Alat adalah sebagai berikut : 1. Persiapkan Alat dan Bahan 2. Buat Skema tempat dudukan bahan-bahan untuk sistem 3. Pasang bahan pada dudukan yang sudah disiapkan 4. Rangkai wiring dari bahan-bahan yang terpasang pada arduinno 5. pin data sensor pasang ke pin digital no 2 arduino 6. pin vcc sensor pasang ke whiteboard baris tegangan 7. pin gnd sensor pasang ke whiteboard baris ground 8. pin vcc relay pasang ke white board baris tegangan 9. pin gnd relay pasang ke white board baris ground 10. pin data 1 ke pin digital no 7 11. pin data 2 ke pin digital no 8 12. pin data 1 lcd ke analog 4 13. pin data 2 lcd ke analog 5 14. pin vcc 5 v arduino di pasang ke baris vcc white board 15. pin gnd arduino dipasang ke baris groung white boarrd 16. kable fasa untuk suplay lampu di potong dan input dimasukan ke in normally open relay 17. kable fasa output lampu ke op no relay 18. kabel keluaran adaptor 12 volt di sadap dan di jumper kefan 19. ground fan di pasang ke white board baris ground 20. kabel vcc fan di potong di rangkai ke relay 21. pin vcc lcd dpasang ke white board baris vcc 3.3
Penelitian alat Penelitian alat diperlukan untuk mengatahui sampai sejauh mana efektifitas
dari sistem yang dibuat, sehingga bisa diambil keputusan dan penilaian terhadap sistem yang dibuat untuk kemudian di implementasikan ke kubikel yang asli dilapangan. Penelitian dilaksanakan dalam beberapa bagian yaitu:
41
1. Pengujian tegangan tembus tanpa alat sistem terpasang kubikel 2. Pengujian tegangan tembus dengan alat sistem terpasang kubikel 3. Analisa dan perhitungan hasil pengujian 4. Melihat perbandingan dan hasil Analisa Pengujian dilaksankan di gardu SVJK, Kubikel yang duji ber merk ABB UNISWITCH 306 pada tanggal 22-28 Februari 2015, Pengujian dilakukan dengan menguji tegang tembus dan memasang alat yang dibuat, dan kondisi yang bekerja adalah kondisi real pada alat tersebut, penelitian dilaksanakan di kantor PT.PLN Rayon Garut Kota, di Jl. Otista no 140 Kab. Garut, dengan kondisi geologis berada di 717 mdpl dan tekanan udara 922,8 mdb dan kelembaban nisbi 78 persen.
3.4
Pemasangan Alat pada kubikel
Proses pemasangan alat dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Membuat lubang dan dudukan pada body samping kubikel dengan menggunakan grinder. 2. Memasangan fan pada lubang dan dudukan yang sudah dipersiapkan 3. Memasang microcontrol pada dudukan yang dibuat di body samping kubikel 4. Memasang sensor dibagian dalam body kubikel 5. Memotong sumber tegangan fan dan heater dan di pasang di relay 6. Memasang lcd pada dudukan di kubikel 7. Menyambungkan kabel power alat dengan kabel instalasi kubikel dan disambungkan ke papan hubung bagi tegangan rendah di gardu.
42
BAB IV HASIL DAN ANALISA UJI ALAT Pengujian dilakukan di Gardu dan menggunakan alat uji tegangan tembus, sepeti yang dibahas di bab pembahasan bahwa kegagalan isolasi udara di pengaruhi oleh kelembaban, dan kelembaban dipengaruhi oleh kerapatan partikel di udara, untuk melihat hubungan dari faktor-faktor tersebut dilakukan penelitian dan hasil yang didapat akan di bandingkan dengan teori yang telah dijelaskan di bab pembahasan. 4.1 Pengolahan Data Dari data yang didapatkan tegangan tembus masih dalam satuan kV/2,5 mm maka untuk menjadi kV/cm harus dirubah dahulu, data yang didapat dari hasil pengujian adalah sebagai berikut :
Vb
: Tegangan Tembus yang di dapat kan dari alat (kV/cm)
RH
: kelembaban relatif dari sensor kelembaban (%)
Suhu
: Dari sensor suhu (0C)
Dari data diatas diolah dengan persamaan yang dibahas di bab dua sehingga mendapatkan nilai-nilai sebagai berikut : es : Tekanan saturasi uap jenuh air terhadap suhu (bar)
ea : Tegangan pemunculan korona adalah tegangan dimana korona mulai timbul (bar)
gv : Nilai medan listrik pengrusak pada kondisi pengujian (kV/cm)
𝛿 : Faktor densitas/kerapatan partikel relatif udara
Ev : Tegangan pemunculan korona karena tekanan saturasi uap air dipengaruhi oleh temperatur, makin tinggi
temperatur maka makin besar uap air yang dapat di tampung, untuk mencari tekanan parsial maka kita gunakan rumus dari persamaan 2.24, es bisa kita dapatkan dari tabel, dan ea bisa digunakan untuk mencari rapat partikel. Korona sebagai fenomena dimana terjadi tegangan pengrusakan yang telah dijelaskan di bab pembahasan teori dapat dicari nilainya untuk mengetahui tegangan pemunculan dari persamaan (2.14).
43
𝑆
Ev = mo . gv . r . ln ( 𝑟 ) dari persamaan 2.18 Dengan m0 = 0,8, luas penampang kabel terminasi kubikel jenis XLPE 240 mm2, dengan jari – jari 8,74 dan d adalah jarak antara fasa nya sepanjang 20 cm. Untuk gv dapat dicari menggunakan persamaan berikut, gv = g0 𝛿 ( 1 +
𝑐 √𝛿 𝑟
) dari persamaan 2.19
Hasil dari pengukuran tegangan tembus yang berupa nilai Vb (tegangan tembus dalam kV/cm) adalah kemampuan udara untuk menahan tegangan kerja yang menjadi acuan untuk gradien potensial g0, dan dengan persamaan 2.18 tegangan tembus dapat digunakan untuk mencari gradien visual pengrusak sebagai variabel penting dalam penelitian ini untuk mencari tegangan pemunculan korona, dimana korona akan muncul apabila tegangan kerja sistem (E) melebihi tegangan pemunculan korona(Ev). Untuk kondisi udara normal besarnya gradien udara yang dapat di tahan adalah 30 kV/cm, tetapi pada kondisi real, maka relatif besarnya tegangan kritis dimana korona tegangan pengrusak korona adalah : gv = Vb 𝛿 ( 1 +
𝑐 √𝛿 𝑟
)
Untuk mencari 𝛿 bisa kita dapatkan dari persamaan gas ideal, mengacu dari nilai yang didapat dari sensor kelembaban dan suhu. Dan nilai untuk es sebagai tekanan uap jenuh udara dapat di ambil dari tabel, sehingga harga ea adalah : ea = RH . es / 100 setelah tekanan parsial uap air jenuh ditemukan kita cari ρ dengan persamaan ρ(uap air jenuh) =
𝑒𝑎 . 𝑀 𝑅. 𝑇
dari persamaan 2.25
setelah didapatkan ρ dari parsial uap air jenuh maka kita cari ρ untuk udara relatif ρ(udara relatif) = ρ(udara standar)/ ρ(uap air jenuh) setelah ρ relatif didapat maka kita bisa dapat kan faktor densitas udara di dalam kubikel nya 𝛿 = ρ(udara) / ρ(SATP) dari persamaan 2.26 Untuk simulasi perhitungan dapat dilihat pada lampiran 4.2 Hasil Uji Dan Perhitungan Sebelum Pemasangan Alat Berdasarkan Hasil Pengujian tegngan termbus pada kondisi variable berupa suhu dan kelembaban tanpa alat kontrol adalah sebagai berikut : 44
Tabel 4. 1 Hasil Pengujian Hari Pertama Tanpa Alat Hari Pertama 22/02/2015 JAM
01.00 03.00 05.00 07.00 09.00 13.00 15.00 17.00 19.00 21.00
RH
T
Vb
gv
Ev
Ploss
(%)
(0C)
(kV/cm)
(kV)
(kV/cm)
(kW)
86 84 84 81 80 80 80 79 79 81
27 27 32 30 34 33 34 34 34 31
10 10,4 10,2 10,4 10,8 10 10 10,4 10,4 10
0,98 1,02 0,82 0,93 0,82 0,79 0,76 0,8 0,8 0,85
4,27 4,45 3,59 4,06 3,59 3,46 3,33 3,49 3,49 3,72
3,54 3,38 4,24 3,76 4,25 4,39 4,53 4,35 4,35 4,11
Dari hasil pengujian pada kubikel tanpa alat kontrol kelembaban dan suhu di hari pertama dapat dilihat kelembaban tertinggi adalah 86 %, dan kelembaban terendah 79 %. Kelembaban relatif stabil dengan tegangan tembus yang juga relatif stabil, tegangan pemunculan korona berada diangka 3,75 kV dimana tegangan kerja PLN distribusi satu fasa nya adalah 11,56 kV sehingga korona dipastikan muncul karena udara tidak dapat menahan tegangan kerja PLN.
Tabel 4. 2 Hasil Pengujian Hari Kedua Tanpa Alat Hari Kedua 23/02/2015 JAM
01.00 03.00 05.00 07.00 09.00 13.00
RH
T
Vb
gv
Ev
(%)
(0C)
(kV/cm)
(kV)
(kV/cm)
85 80 83 81 84 79
26 26 28 28 30 32
10,2 10,4 10,2 10,4 10,4 10,6
1,037 1,109 0,969 1,007 0,898 0,884
45
4,52 4,84 4,23 4,39 3,92 3,86
Ploss (kW)
3,31 3,021 3,597 3,436 3,905 3,969
15.00 17.00 19.00 21.00
79 80 80 82
32 33 32 30
10,6 10,6 10,4 10,4
0,884 0,841 0,859 0,915
3,86 3,67 3,75 3,99
3,969 4,163 4,082 3,831
Dihari kedua angka tidak menunjukan perubahan yang signifikan kelembaban terendah ada pada angka 79 % yaitu pada jam 13.00 dan 15.00, dan kelembaban tertinggi ada pada angka 85% pada jam 01.00, angka rata-rata
tegangan
pemunculan korona ada pada angka 4,1 kV. Tabel 4. 3 Hasil Pengujian Hari Ketiga Tanpa Alat Hari Ketiga 24/02/2015 JAM
01.00 03.00 05.00 07.00 09.00 13.00 15.00 17.00 19.00 21.00
RH
T
Vb
gv
(%)
(0C)
(kV/cm)
(kV/cm)
83 83 83 80 81 83 83 84 83 84
27 25 29 29 30 30 30 30 28 29
10 10,3 10 10,4 10,8 10 10 10,4 10 10
Ev (kV)
0,99 1,11 0,91 0,97 0,96 0,87 0,87 0,86 0,95 0,9
4,32 4,86 3,97 4,25 4,18 3,8 3,8 3,77 4,14 3,93
Ploss (kW)
3,50 3,00 3,86 3,58 3,64 4,02 4,02 4,06 3,68 3,89
Pada hari ketiga didapatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan hari kesatu dan kedua, nilai RH tertinggi ada pada angka 84% dan suhu tertinggi 40 C, sedangkan RH terendah ada pada 83% dan suhu terenda 35 C, untuk rata-rata tegangan pemunculan korona di angka 4,1 kV . Dari data yang didapatkan bisa dilihat hasil pengukuran sesuai dengan kondisi di kubikel yang telah terindikasi adanya korona dan membuktikan bahwa semakin tinggi kelembaban maka semakin rendah tegangan pemunculan korona dimana kemampuan udara menahan gradien potensial listrik semakin berkurang dan menimbulkan fenomena korona.
46
4.3 Hasil Uji Dan Perhitungan Setelah Pemasangan Alat Setelah dipasang alat kontrol kelembaban dan suhu di kubikel maka diperlukan pengujian ulang untuk melihat perbedaaan antara kondisi sebelum dan sesudah dipasang sehingga kinerja rancang bangun sistem yang dibut bisa diukur kemampuannya. Pengujian dilakukan sama dengan pengujian pada saat sebelum dipasangnya alat pada kubikel dan hasil yang didapat adalah sebagai berikut :
Tabel 4. 4 Hasil Pengujian Hari Pertama Dengan Alat Hari Pertama 26/02/2015 JAM
RH
T (0C)
(%) 01.00 03.00 05.00 07.00 09.00 13.00 15.00 17.00 19.00 21.00
48 48 44 44 42 46 44 48 45 45
35 37 37 38 38 40 38 39 38 37
Vb
gv
Ev (kV)
(kV/cm)
(kV/cm)
38,8 38,6 42 42 42 40,2 40,2 38,8 40,4 40,4
4,22 4,04 4,71 4,33 4,49 3,7 4,15 3,45 4,09 4,08
Ploss (kW)
18,4 17,6 20,5 18,9 19,6 16,1 18,1 15 17,9 17,8
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Di hari pertama terlihat kelembaban sudah mulai rendah suhu terjaga heater dengan daya 1300 watt terus menyala dikarenakan suhu yang selalu dibawah set point yaitu 40o celcius, suhu tidak dapat mencapai set point tapi tingkat kelemababn dapat dikurangi tegangan pemunculan korona pun terbilang tinggi dengan angka rata-rata 18 kV sehingga udara mampu menahan tegangan kerja sistem.
Tabel 4. 5 Hasil Pengujian Hari Kedua Dengan Alat Hari Kedua 27/02/20115 JAM
01.00
RH
T
Vb
(%)
(0C)
(kV/cm)
46
36
gv
Ev (kV)
(kV/cm) 4,338
40,2
47
Ploss (kW)
18,92
0
03.00 05.00 07.00 09.00 13.00 15.00 17.00 19.00 21.00
47 47 45 45 45 47 49 46 45
36 37 37 38 39 39 37 37 39
4,096 4,104 4,246 4,084 4,095 3,775 3,487 3,67 3,995
38,6 42 40,4 40,4 40,4 38,6 38,8 40,2 40,4
17,87 17,9 18,52 17,82 17,86 16,47 15,21 16,01 17,42
0 0 0 0 0 0 0 0 0
Dihari kedua tidak jauh berbeda dengan hari kesatu kelembaban realtif stabil dengan kelembaban terendah pada angka 45% dan tertinggai pada 49% suhu pun terkendali pada angka 36 sampai 39 oC tegangan pemunculan korona tidak jauh berbeda dengan hari pertama yaitu pada angka rata-rata 17,4 kV, kondisi sama dengan hari pertama menunjukan tidak ada gejala korona dibuktikan dengan kondis kubikel yang aman tanpa ada gejala-gejala munculnya korona.
Tabel 4. 6 Hasil Pengujian Hari Ketiga Dengan Alat Hari Ketiga 28/02/2015 JAM
01.00 03.00 05.00 07.00 09.00 13.00 15.00 17.00 19.00 21.00
RH (%)
48 47 48 48 45 44 44 47 46 47
T (0C)
37 37 37 38 38 40 38 39 38 37
Vb
gv
(kV/cm)
(kV/cm)
38,8 38,6 42 42 40,4 40,2 40,2 38,8 40,4 40,2
3,729 3,772 4,037 4,047 4,095 3,832 4,147 3,505 4,025 3,928
Ev (kV)
Ploss (kW)
16 16 18 18 18 17 18 15 18 17
Dari hasil perhitungan berdasarkan data hasil pengujian, terlihat tidak ada rugi daya dikarenakan udara mampu menahan gejala pemunculan korona sesuai dengan yang dijelaskan pada bab landasan teori dan hukum peek terbukti kelembaban dapat mempengaruhi kemampuan elektrifitas udara. .
48
4.4 Analisa hasil penelitian Berdasarkan data yang didapat terlihat penurunan untuk tegangan pemunculan dan tegangan kritis pengrusak setelah dipasang alat pada kubikel dapat dilihat grafik untuk peurunan tegangan kritis :
PERBANDINGAN EV DAN RH SELAMA 6 HARI Ev Kilo Volt (kV) 90
83,8 %
RH dalam persen( %)
Ploss (kW)
Vb (kV/cm)
82,7 %
82 %
80
RELATIVE HUMIDTY (%)
70 60 50
45,4 %
46,5 %
46,4 %
40
40,3 kV/cm
40 kV/cm
40,2 kV/cm
30 20 10 0
18 kV 10,4 kV/cm 10,3 kV/cm 4,1 kV 4,09 kW 3,75 kV 3,73 kW 22
23
10,2 kV/cm 4,1 kV 3,73 kW 24
17,4 kV
17 kV
0 kW
0 kW
0 kW
26
27
28
TEGANGAN PEMUNCULAN KORONA (KV)
Gambar 4. 1 Perbandingan rata-rata perhari RH dan Ev
Dari Grafik pada gambar 4.1 dapat dlihat perubahan pada tegangan pemunculan korona (Ev), Kelembaban relatif (RH), Rugi daya (Ploss), dan Tegangan tembus (Vb) pada kubikel yang
menjadi objek penelitian, terjadi
perubahan signifikan pada tanggal 26 dikarenakan tanggal 26 sudah dipasang alat yang dibuat meununjukan bahwa alat memberikan pengaruh yang cukup besar pada kondisi di dalam kubikel. Dari grafik 4.1 bisa terlihat semakin kecil nilai kelembaban maka tegangan tembus makin besar, sama hal nya dengan tegangan pemunculan korona dimana tegangan pemunculan korona semakin besar apabila nilai kelembaban semakin kecil, berbeda dengan rugi daya pada tanggal 26 rugi daya menjadi tidak ada karena
49
setelah dipasang alat korona tidak muncul sehubungan tegangan pemunculan korona lebih besar dari tegangan kerja fasa-netral penghantar.
Grafik Perbandingan Ev Tegangan pemunculan korona (kV)
30 25
18,4 kV
20,53 kV 17,61 kV
18,89 kV
19,6 kV 18,08 kV 16,14 kV
17,86 kV 15,04 kV
20 15 10 5
4,27 kV
4,45 kV
01.00
03.00
3,59 kV
4,06 kV
3,59 kV
3,46 kV
3,33 kV
3,49 kV
3,49 kV
05.00
07.00
09.00
13.00
15.00
17.00
19.00
0
jam pengukuran Tanpa Alat tanggal 22 Februari 2015
Dengan Alat pada tanggal 26 Februari 2015
Gambar 4. 2 Grafik hubungan tegangan pemunculan korona sebelum dan sesudah pemasangan alat
Dari Grafik pada gambar 4.2 bisa dilihat setelah terpasang alat kontrol suhu dan kelembaban tegangan pemunculan korona di dalam kubikel pada kondisi belum terpasang alat kendali kelembaban ada pada rentang angka dibawah 11,56 kV sehingga terjadi fenomena korona, sedangkan setelah dipasang alat korona tidak muncul, sesuai yang diharapkan karena rata – rata tegangan pemunculan korona lebih besar daripada tegangan kerja di kubikel.
50
persen %
Grafik Perbandingan RH 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
86%
84%
48%
48%
01.00
03.00
84%
82%
82%
44%
44%
42%
05.00
07.00
09.00
84%
85%
46%
44%
13.00
15.00
84%
84%
83%
48%
45%
45%
17.00
19.00
21.00
jam waktu pengujian Tanpa Alat tanggal 22 Februari 2015
Dengan Alat tanggal 26 februari 2015
Gambar 4. 3 Grafik Perbandingan RH Sebelum dan sesudah pemasangan alat Kondisi kelembaban setelah dipasang alat bisa ditekan di angka rata-rata 40 %, sebelum dipasang alat kondisi kelembaban berada di angka 80%. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut :
Alat bisa bekerja sesuai dengan yang diharapkan dimana kelembaban pada kondisi memungkinkan tidak terjadi korona
Semakin tinggi kelembaban pada suhu yang sama semakin kecil faktor densitas udara sehingga semakin
kecil Tegangan tembus (Vb) dan
Tegangan pemunculan korona (Ev). Ketika dipasang alat nilai rata-rata tegangan pemunculan korona berada diatas tegangan kerja fasa – netral konduktor di dalam kubikel sehingga korona tidak muncul, dengan begitu rugi daya dan resiko kerusakan peralatan di dalam kubikel semakin kecil.
51
BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan 1. Apabila tekanan parsial (ea) dan tekanan saturasi uap jenuh (es) di kendalikan maka g0 dan Ev pun bisa dikendalikan, mengacu pada landasan teori dimana RH dipengaruhi oleh tekanan parsial uap air (ea) dan tekanan saturasi uap air jenuh (es), ea bisa di set dengan cara memasang fan sehingga kelembaban bisa di kendalikan. es yang dipengaruhi oleh temperatur, semakin besar temperatur nilai pembagi pada kelembaban semakin besar sehingga apabila ea di set pada kondisi tetap maka dengan es yang di perbesar kelembaban bisa dikurangi. Dalam penelitian ini kendali es menggunakan heater dan heater mampu menjaga nilai es sehinggan nilai kelembaban dan suhu dapat dipertahankan. Sehingga nilai RH bisa di buat seminimal mungkin, RH berpengaruh pada kerapatan udara dimana semakin rapat partikel udara maka semakin kecil tegangan pemunculan koroan atau Vpk dan semakin besar tegangan pengrusak korona atau Vk 2. Rugi-rugi akibat korona bisa di minimalisir dimana nilai tegangan pengrusak bisa dihilangkan dengan mengoptimalkan nilai kelembaban (RH) dan suhu(T) pada kubikel, dimana pada pembuktiannya saat RH rendah dan T tinggi nilai Ev menunjukan angka yang lebih besar dari tegangan kerja sistem kubikel, sesuai dengan landasan teori dimana apabila Ev lebih besar dari tegangan kerja maka udara dapat menahan pemunculan korona. 5.2 Saran 1. Sistem dan peralatan yang digunakan penulis dibuat dan disesuakan dengan objek penelitian yaitu kubikel merk ABB sehingga apabila digunakan pada kubikel yang lain perlu penyesuaian kembali dari sisi konstruksi dan alatalat yang digunakan. 2. Bisa dijadikan bahan penelitian lanjutan untuk mahasiswa yang terjun langsung dibidang ketenaga listrikan.
52
DAFTAR PUSTAKA
1. V. K. M.S. Naidu, High Voltage Enginering, Singapore: Mc Graw-Hill, 1995. 2. F.W. Peek, Dielecric Phenomena in High Voltage Engineering,USA: McGrawHill, 1915 3. SPLN 52-3, Pengoperasian Kubikel 20 KV (Pengertian dan Fungsi Kubikel), 1983 4. Halliday Resnick. Physics. UK: Jhon Willey & Sons, 1978 5. Sears. Zemansky. Physics : Mechanic, Heat, Sound. USA: Hanover,1969 6. Turan Gonen. Electric Power Distribution Sistem Engineering. USA: McGraw-Hill, 1986. 7. Grainger, Stevenson. Power Sistem Analysis. USA : McGraw-Hill, 1994.
53
LAMPIRAN Lampiran 1 Scetch Pemrograman Arduino #include <Wire.h>
//libraries needed
#include
#include #include //I2C Controller #define I2C_ADDR
0x27 // Define I2C Address where the PCF8574A is
#define BACKLIGHT_PIN
3
#define En_pin 2 #define Rw_pin 1 #define Rs_pin 0 #define D4_pin 4 #define D5_pin 5 #define D6_pin 6 #define D7_pin 7 #define LED_OFF 0 #define LED_ON 1 //DHT11 #define DHT11PIN 2 LiquidCrystal_I2C lcd(I2C_ADDR,En_pin,Rw_pin,Rs_pin,D4_pin,D5_pin,D6_pin,D7_pin); dht11 DHT11; byte fanrelaypin = 6;
byte heatrelaypin = 7; void setup() /*----( SETUP: RUNS ONCE )----*/ { Serial.begin(9600); //(Remove all 'Serial' commands if not needed) lcd.begin(16,2); // initialize the lcd for 20 chars 4 lines, turn on backlight
54
lcd.setBacklightPin(BACKLIGHT_PIN,POSITIVE); lcd.setBacklight(LED_ON); lcd.backlight(); // Print a message to the LCD. //lcd.setCursor(0, 1); lcd.print("Zuansah TA test"); pinMode(fanrelaypin, OUTPUT); digitalWrite(fanrelaypin, LOW);//turn off the relay pinMode(heatrelaypin, OUTPUT); digitalWrite(heatrelaypin, LOW);//turn off the relay }/*--(end setup )---*/ void loop() /*----( LOOP: RUNS CONSTANTLY )----*/ { int chk = DHT11.read(DHT11PIN); Serial.print("Read sensor: "); switch (chk) { case 0: Serial.println("OK"); break; case -1: Serial.println("Checksum error"); break; case -2: Serial.println("Time out error"); break; default: Serial.println("Unknown error"); break; } lcd.setCursor(0, 1); lcd.print("C="); lcd.print((float)DHT11.temperature, 0); Serial.print("Temperature (oC): "); Serial.println((float)DHT11.temperature, 2); if(DHT11.temperature < 25)//change to match your threshold in C. { digitalWrite(heatrelaypin, HIGH);//turn on the heater } else
55
{ digitalWrite(heatrelaypin, LOW); } lcd.print(" F="); lcd.print(Fahrenheit(DHT11.temperature), 0); Serial.print("Temperature (oF): "); Serial.println(Fahrenheit(DHT11.temperature), 2); lcd.print(" H="); lcd.print((float)DHT11.humidity, 0); lcd.print("%"); Serial.print("Humidity (%): "); Serial.println((float)DHT11.humidity, 2); if(DHT11.humidity > 65)//change % to match your threshold. { digitalWrite(fanrelaypin, HIGH);//turn on the fan } else { digitalWrite(fanrelaypin, LOW); } Serial.print("Temperature (K): "); Serial.println(Kelvin(DHT11.temperature), 2); Serial.print("Dew Point (oC): "); Serial.println(dewPoint(DHT11.temperature, DHT11.humidity)); Serial.print("Dew PointFast (oC): "); Serial.println(dewPointFast(DHT11.temperature, DHT11.humidity)); delay(2000); }/* --(end main loop )-- */ /*-----( Declare User-written Functions )-----*/// //Celsius to Fahrenheit conversion double Fahrenheit(double celsius) {
56
return 1.8 * celsius + 32; } //Celsius to Kelvin conversion double Kelvin(double celsius) { return celsius + 273.15; } // dewPoint function NOAA // reference: http://wahiduddin.net/calc/density_algorithms.htm double dewPoint(double celsius, double humidity) { double A0= 373.15/(273.15 + celsius); double SUM = -7.90298 * (A0-1); SUM += 5.02808 * log10(A0); SUM += -1.3816e-7 * (pow(10, (11.344*(1-1/A0)))-1) ; SUM += 8.1328e-3 * (pow(10,(-3.49149*(A0-1)))-1) ; SUM += log10(1013.246); double VP = pow(10, SUM-3) * humidity; double T = log(VP/0.61078); // temp var return (241.88 * T) / (17.558-T); } // delta max = 0.6544 wrt dewPoint() // 5x faster than dewPoint() // reference: http://en.wikipedia.org/wiki/Dew_point double dewPointFast(double celsius, double humidity) { double a = 17.271; double b = 237.7; double temp = (a * celsius) / (b + celsius) + log(humidity/100); double Td = (b * temp) / (a - temp); return Td; } /*(THE END)*/
57
Lampiran 2 Simulasi Perhitungan Untuk melihat proses perhitungan maka akan disimulasikan dua kondisi yaitu satu kondisi pada saat dipasang alat dan satu kondisi dimana alat belum dipasang. Tabel Parameter Yang Didapat Parameter
Sebelum dipasang alat
Setelah dipasang alat
Kelembaban (RH)
86 %
42%
Suhu (T)
27 0C
380C
Tegangan Tembus (Vb)
10 kV/cm
42 kV/cm
Tetapan kekasaran (m0)
0,8
0,8
2,74 cm
2,74 cm
Jari-jari (R)
Jarak antara fasa-netral (S) 20 cm
20 cm
Konstanta dimensi emp (c) 0,301
0,301
Perhitungan Sebelum dipasang alat Waktu pengukuran
: Jam 01.00 WIB
RH
: 86 %
Suhu
: 27 0C
Vb
: 10 kV/cm
Maka es pada 27 0C = 0,0357 bar ea = (RH . es) /100 ea = (84 . 0,0357) /100 ea = 0,02 bar ρ(udara jenuh) =
𝑒𝑎 . 𝑀 𝑅. 𝑇 0,02 . 18
ρ(uap air jenuh) = 0,083 .
(27+273)
ρ(uap air jenuh) = 0,022 g/cm3 ρ(udara relatif) = ρ(udara standar)/ ρ(uap air jenuh) ρ(udara relatif) = 0,0012 / 0,022 ρ(udara relatif) = 0,054 𝛿 = ρ(udara) / ρ(SATP)
58
𝛿 = 0,054 / ρ(SATP) , karena ρ(SATP) =1 𝛿 = 0,054 Setelah faktor densitas didapat maka gradien pengrusak korona bisa dicari, dengan cara sebagai berikut : gv = g0 𝛿 ( 1 +
𝑐 √𝛿 𝑟
)
g0 adalah tembus, maka g0 = 10 kV/cm c adalah konstanta dimana untuk kondisi standar udara = 0,301 r adalah jari – jari konduktor = 2,74 gv = 10 . 0,054 (1 +
𝟎,𝟑𝟎𝟏 √𝟎,𝟎𝟓𝟒 .𝟐,𝟕𝟒
)
gv = 0,963 kV/cm Setelah gv didapat maka tegangan pemunculan korona bisa dicari dengan cara sebagai berikut : 𝑆
Ev = mo . gv . r . ln ( 𝑟 ) Dimana, m0 = tetapan kekasaran penghantar, untuk objek m0 = 0,8 S = Jarak antara penghantar dengan netral, untuk objek S = 20 20
Ev = 0,8 . 0,0964 . 2,74 . ln ( 2,74 ) Ev = 4,27 kV Karena tegangan satu fasa pada penghantar 20 kV adalah 11,56 kV maka E lebih besar dari Ev sehingga muncul korona pada kondisi RH = 87% dan T = 27 0C. Karena muncul korona maka akan ada rugi-rugi daya yang bisa di hitung menggunakan persamaan 2.19 𝑟
Ploss = 241 . (f + 25) . √𝑠 . (En – Ev )2 .10-5 2,74
Ploss = 241 . (50 + 25) .√ 20 . (11,56 – 4,27 )2 . 10-5 Ploss = 3,54 kW Perhitungan setelah dipasang alat Simulasi Perhitungan setelah dipasang Waktu pengukuran
: Jam 09.00
RH
: 42 %
59
: 38 0C
Suhu Vb
: 42 kV/cm
Maka, es pada 380C = 0,066 bar ea = (RH . es) /100 ea = (42 . 0,066) /100 ea = 0,03 bar ρ(udara jenuh) =
𝑒𝑎 . 𝑀 𝑅. 𝑇
dari persamaan (2.3)
0,03 . 18
ρ(uap air jenuh) = 0,083 .
(38+273)
ρ(uap air jenuh) = 0,0019 g/cm3 ρ(udara relatif) = ρ(udara standar)/ ρ(uap air jenuh) ρ(udara relatif) = 0,0012 / 0,019 ρ(udara relatif) = 0,06 𝛿 = ρ(udara) / ρ(SATP) 𝛿 = 0,06 / ρ(SATP) , karena ρ(SATP) =1 𝛿 = 0,06 Setelah faktor densitas didapat maka gradien pengrusak korona bisa dicari, dengan cara sebagai berikut : gv = g0 𝛿 ( 1 +
𝑐 √𝛿 𝑟
)
g0 adalah tembus (Vb), maka g0 = 42 kV/cm c adalah konstanta dimensu empiris standar udara = 0,301 r adalah jari – jari konduktor = 2,74 cm gv = 42 . 0,06 (1 +
𝟎,𝟑𝟎𝟏 √𝟎,𝟎𝟔 .𝟐,𝟕𝟒
)
gv = 4,494 kV/cm Setelah gv didapat maka tegangan pemunculan korona bisa dicari dengan cara sebagai berikut : 𝑆
Ev = mo . gv . r . ln ( 𝑟 ) Dimana, m0 = tetapan kekasaran penghantar, untuk objek m0 = 0,8 S = Jarak antara penghantar dengan netral, untuk objek S = 20
60
20
Ev = 0,8 . 4,494 . 2,74 . ln ( 2,74 ) Ev = 19,6 kV Karena tegangan satu fasa pada penghantar 20 kV adalah 11,56 kV maka E lebih kecil dari Ev sehingga korona tidak muncul.
61
Lampiran 3 Gambar kerusakan akibat korona didalam kubikel
Dokumentasi pelaksanaan pemasangan alat
Dokumentasi contoh pengujian tegangan tembus
62
63