Raden Saleh dan Usaha Menyatukan Seni Rupa Dua Benua Gita Ishwara Jurusan Desain Produk Fakultas Desain dan Teknik Perencanaan Universitas Pelita Harapan Email:
Abstract
[email protected]
Raden Saleh is considered as the most important artist in Indonesia, even considered as the avant garde of Indonesian Modern Art Movement. The controversy of his patriotism is eclipsed by his sensational paintings, influenced by his study in Europe. To 'read' every message that carried by his paintings one should understand the complexity of Raden Saleh's life and how this flamboyant artist fight for exixtence in two (or three?) different cultures.
Pendahuluan Raden Saleh. Jika dua kata tersebut ditanyakan artinya pada sekian ratus j u t a penduduk Indonesia, kemungkinan besar akan diperoleh jawaban yang sangat beragam. Bagi para supir bajaj dan taksi di Jakarta, Raden Saleh tidak lebih dari sebuah nama jalan sempit dan padat di daerah Cikini. Bagi kalangan awam yang pernah mengecap bangku sekolah dasar dan menengah, mungkin akan sedikit mengingatnya dari pelajaran sejarah sebagai seorang pelukis di masa lalu. Informasi lebih banyak (belum tentu lebih tepat) mungkin akan didapat bila pertanyaan di atas dilontarkan kepada kaum seniman dan pemerhati seni. Raden Saleh adalah orang Indonesia yang dikirim sekolah melukis ke Belanda; Raden Saleh adalah bangsawan Jawa, pelukis dan antek penjajah; Raden Saleh belajar melukis di Belanda (apakah benar hanya di Belanda?) melukis seperti orang Belanda (apakah benar lukisannya 'bergaya' Belanda?); lukisan Raden Saleh sedemikian indahnya dan sekarang ini mahal harga pasarannya (apakah nilai yang diukur hanya nilai nominal?), dan masih akan bertambah panjang lagi. Agus DermawanT., pengamat seni dan penyusun buku-buku seni, dalam artikelnya di Kompas (1997) menyatakan bahwa hanya Raden Saleh-lah satu-satunya pelukis Indonesia yang namanya diabadikan sebagai nama jalan, nama penghargaan, dan nama taman. Karyanya juga pernah dijadikan ilustrasi perangko dan uang. Dialah satu-satunya
54
2d3d
pelukis Indonesia yang karyanya menjadi milik koleksi Rijkmuseum di Amsterdam, Belanda dan pernah dipamerkan di Louvre, Perancis. Kepiawaiannya dalam melukis juga menarik sejumlah ahli seni Jerman untuk meneliti dan mendokumentasikan karyakaryanya, bahkan sebuah buku karangan Lev Dyomin diterbitkan oleh penerbit Rusia: ZagadocnyPrinc, Raden Saleh I Ego Wremya (Pangeran Ajaib, Raden Saleh dan Zamannya). Seberapa ajaibkah pria Jawa ini, dan seberapa besar pengaruhnya bagi Indonesia, bila sebagian besar masyarakat Indonesia bahkan tidak pernah melihat hasil karya lukisannya?Tulisan ini akan membahas bagaimanakah seorang Sarip Saleh yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Raden Saleh Syarif Bustaman, perintis Seni Rupa Indonesia Modern (bahkan ada yang menyebutnya Bapak Seni Rupa Indonesia) dengan segala kontroversinya.
Seni Rupa Indonesia 'Modern' Istilah Seni Rupa Indonesia Modern sampai kini masih menjadi sebuah perdebatan yang mengasyikkan (dan melelahkan) di kalangan seniman dan pemerhati seni rupa Indonesia. Bila ditinjau dari asal katanya, 'modern' berasal dari bahasa Latin modo yang merujuk kepada ke-kini-an, yang terbaru, atau termutakhir. Pada awalnya, istilah 'Modemisme' digunakan untuk menunjuk pada sejumlah gejala kebaruan yang menucul serentak, atau pada suatu fenomena yang sebelumnya belum pernah terjadi, baik di bidang sosial kemasyarakatan, filsafat, seni, maupun desain. Di tengah beredarnya berbagai penafsiran yang terpecah-pecah mengenai penggunaan istilah, berbagai literatur yang memuat uraian tentang tinjauan historis mengenai seni rupa Indonesia hampir semuanya meletakkan 'tanggung jawab' atas predikat modern tersebut ke tangan pemerintah kolonial Belanda. Seni Rupa Modern Indonesia adalah seni rupa Indonesia yang mendapat pengaruh Barat, sebuah situasi yang menimbulkan pro-kontra yang terus berlanjut tentang dikotomi Barat dan Timur. Jika ditinjau dari sudut karya seninya - terutama seni lukis - sedikit uraian tentang kondisi seni lukis di Indonesia sebelum masa 'modern' mungkin dapat memperjelas uraian di atas. Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal pada zaman kekuasaan Inggris di Jawa (1811-1816) menyatakan: "The Javans have made no progress in drawing or painting; nor are there any traces to be found of their having, at any former period of their history, attained any proficiency in this art." (Raffles, 1978: 472)
2d3d
55
Menurut Clarie Holt dalam bukunya Art in Indonesia, Continuities and Change (1967), hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Bangsa Portugis, rombongan Eropa pertama yang mencapai perairan Nusantara dibawah pimpinan Albuquerque, dihadiahi selembar kain linen oleh penguasa Jawa yang di atasnya menggambarkan perjuangan kerajaan tersebut, kereta-kereta dan benteng-benteng kayu yang ditarik oleh kuda dan gajah. Semuanya dibuat oleh ahli-ahli lukis zaman Majapahit di atas kain, seperti lukisan wayang kamasan dari Bali, namun tidak dengan gaya stilasi dengan tema legenda dan mitos melainkan melukiskan kehidupan sehari-hari dengan semirip mungkin. Kidung Sunda, puisi wiracarita dari abad ke-16, menceritakan tentang kejadian dimana seorang pelukis dari kerajaan di Jawa Tengah yang dikirim ke sebuah daerah di Jawa Barat untuk melukiskan wajah seorang puteri Sunda yang termahsyur kecantikannya. Puisi tersebut mengungkapkan bahwa pelukis berhasil "menangkap kemiripan dalam rincian yang paling kecil" dan bahwa lukisan tersebut adalah sebuah "potret yang indah" (Holt, 1967:270). Sejarah lukisan potret jugadapat 'dibaca' padasalah satu gambaran relief candi Borobudur (Candi Budha di Jawa Tengah yang dibangun pada abad ke-8) yang melukiskan pertukaran gambar oleh comblang dalam pengaturan perkawinan.
Gambar 1: Relief dari cerita Awandana di sebelah selatan Candi Borobudur, memperlihatkan gambar calon mempelai.
Tradisi 'membuat rupa' yang terdiri dari mencoretkan garis dan memberi warna oleh masyarakat kepulauan Nusantara telah dimulai beribu-ribu tahun sebelum kedatangan bangsa Barat di dinding gua-gua tempat pemujaan dan tempat tinggal mereka. Dalam perkembangannya, walaupun hasilnya tidak dapat disebut sebagai 'lukisan', masyarakat tradisional Indonesia erat dengan kegiatan memberi illustrasi dan dekorasi pada manuskrip, memberi motif-motif dekoratif pada bangunan, wayang, dan kain. Kegiatan yang terus berlangsung bahkan hingga kini, dengan predikat tradisional yang kuat, sehingga tidak dimasukkan dalam kategori Seni Rupa Indonesia Modern. Sejarahwan Sartono Kartodirdjo mengungkapkan, proses modemisasi di Indonesia dimulai ketika pemerintah kolonial memutuskan untuk menyelenggarakan pendidikan pribumi padaawalabad ke-20 (Supangkat, 1999:11). RadenSaleh adalah putera pribumi pertama yang dikirim oleh pemerintah Belanda untuk belajar seni lukis di Eropa. la lahir di tahun 1808, tidak berbeda jauh dengan tahun ketika Raffles menuangkan pikirannya ke dalam bukunya yang terkenal, History of Java: " They (the Javans) are noy, however, of propotions or perspective, nor are they insensible to the beauty and effect of the productions of other nations. Their eye is correct and their hand steady, and if required to sketch any particular object, they produce a very fair resemblance of the original. They are imitative, and though genius in this art may not have appeard among them, there is reason to believe that, with due encouragement, they would not be found less ingenious than other nations in a similar stage of civilization." (Raffles, 1978: 472)
Di Bawah Bayang-Bayang Kolonial Belanda "... a clever inlander was a dangerous inlander" -N.N.Raden Saleh dilahirkan di Teboyo, Semarang pada tahun 1807 sebagai putera Sayid Husen Bin Alwi Bin Awal, seorang keturunan Arab, dengan Raden Ayu Sarif Husen Bin Alwi Bin Awal. la dibesarkan oleh pamannya, Raden Adipati Sosrohadimenggolo (Bupati Teboyo, Semarang yang juga menantu K. Gusti Pangeran Aryo Mangkunegoro I) yang memperkenalkannya pada pergaulan dengan orang-orang Belanda. Pamannya adalah seorang pribumi terpeiajar, yang konon membantu Sir Thomas Stamford Raffles menerjemahkan beberapa surat Jawa Kuno. Namun, belakangan namanya kurang populer di kalangan pemerintah penjajah karena isyu kedekatannya dengan Pangeran Diponegoro.
2d3d
57
Pada tahun 1820-an, saat berada di Cianjur guna menjadi calon pegawai Belanda di rumah R. Baron der Capellen, bakat melukis Raden Saleh ditemukan oleh A. A. J. Payen. Payen adalah seorang Belgia yang bekerja untuk pemerintah Kolonial Belanda di Bogor, tepatnya di Pusat Pengetahuan dan Kesenian yang diketuai Professor C. G. C. Reinwardt. Payen dan pelukis-pelukis lainnya didatangkan dari Eropa untuk melukiskan alam dan kehidupan masyarakat Indonesia, guna didokumentasikan oleh pemerintah Belanda. Pekerjaan ini dilakukan mengingat pada masa tersebut belum ada teknologi fotografi yang memadai. Dikatakan dalam beberapa literatur, Raden Saleh dibawa oleh mentornya berkeliling Jawa untuk membantu dalam perjalanan melukisnya. Akibat kemajuannya yang memuaskan, Payen menganjurkan Raden Saleh untuk melanjutkan studinya ke Belanda guna memperluas wawasan dan meningkatkan kemampuan. Kesempatan tersebut datang pada tahun 1829, ketika Inspektur Keuangan Belanda, Jean Baptiste de Linge, akan kembali sementara ke de Hague negeri Belanda. Raden Saleh diikutkan dalam rombongan untuk mengajari de Linge bahasa Melayu, Jawa, dan pengetahuan lainnya tentang budaya Jawa. Dengan harapan, seusai studi di Eropa, Raden Saleh akan kembali ke Indonesia dan menjadi pelukis untuk pemerintah Belanda. Dalam notayangdikirimkan di sekitar tahun 1829-1830 oleh J.C. Baud untuk Gubernur Jenderal J. Graaf van den Bosch kurang lebih berisi: "Sarip Saleh, seorang Jawa yang sopan, mempunyai hubungan keluarga dengan Bupati Semarang yang telah bernoda, tinggal bersama pelukis Pemerintah, Payen dan telah membuktikan kecakapannya menggambar segala bentuk benda alam dalam cat air. Diajuga pandai menggambar pera; memiliki dasar-dasar pengetahuan ilmu ukur dan seni melihat; memiliki kecakapan menulis dalam bahasa Jawa dan Melayu, termasuk menulis huruf-huruf Timur dan Latin, la mempunyai budi-pekerti yang baik dan sangat peka terhadap kebaikan orang yang telah menolongnya. Sekiranya Gubernur Jenderal van den Bosch berkenan memberikan pekerjaan kepada pemuda ini untuk hidupnya, maka ini akan merupakan suatu tindakan yang baik dan berani sekali, - mungkin Sarip Saleh cocok sekali untuk mengabdikan pemandangan di daerah-daerah terpencil ke dalam seninya, juga dalam fungsinya sebagai pengukur tanah; sangat sayang apabila bakatnya itu hanya dipergunakan untuk menggambar tanaman-tanaman, serangga, burung, dan Iain-lain seperti yang berada pada saya, sebagai hasil-hasil yang baik sekali." (Marasutan, 1973:25)
58
2d3d
Mengenai kepergian Raden Saleh ke Belanda, DR. Werner Krauss, seorang peneliti Raden Saleh dari Universitas Passau, memiliki pendapat yang berbeda. Pada zaman tersebut hampir tidak mungkin bagi seorang 'inlander' dapat pergi ke Negeri Belanda, apalagi untuk menuntut ilmu. Apakah sedemikian mendesaknya bagi de Linge untuk belajar bahasa Jawa dan Melayu - dalam perjalanannya ke dan dari Belanda - dari seorang pemuda Jawa? Kemungkin yang dikemukakan, dikirimnya Raden Saleh untuk belajar adalah usaha guna menunjang prinsip pencerahan atau enlightenment, bahwa pendidikan yang baik akan membuat orang lebih berbudaya. Krauss mengutip pendapat Phillipus Pieter Roorda van Eysinga tentang komentarnya mengenai Raden Saleh yang sedang belajar di Belanda: "That is clear evidence for my old opinion, that a Javanese, through good education is able to reach a fairly high development." (Krauss, 1995:28)
Gambar 2 : The Arrest of Diponegoro (1858) Lukisan ini dianggap menyimpan banyak 'pesan', diantaranya potret diri Raden Saleh sebagai salah satu pengikut pangeran Diponegoro (lihat tanda panah). Koleksi: Museum Istana Jakarta
Pendapat lain mengatakan bahwa jika ditinjau dari waktunya (1829), perginya Raden Saleh ke Belanda bernuansa politik penjajah. Seperti sudah dikatakan di atas, paman yang membesarkan Raden Saleh (dan sebagian dari keluarga besarnya) memiliki 'rapor' yang buruk, akibat hubungannya dengan perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Diharapkan, Raden Saleh yang dianggap cerdas, dapat dijauhkan dari pengaruhpengaruh buruk Perang Kemerdekaan Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (1825-1830). De Linge sendiri hanya menghabiskan waktu enam bulan di de Hague sebelum kemudian kembali ke Jawa. Berkat rekomendasi Payen, Raden Saleh diperkenankan tinggal lagi di negeri Belanda selama dua tahun untuk melanjutkan studinya di b'idang ilmu hitung, bahasa Belanda, dan cetak batu. Pada saat tersebut ia juga belajar melukis pada pelukis potret terkenal Cornelius Krusemen dan pelukis pemandangan alam Andreas Schelfhout. Pengalaman berharga tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya, dan Raden Saleh mencapai kemajuan yang pesat di bidang seni lukis. Biaya hidup dan biaya studinya sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebuah ringkasan surat yang dikirimkan oleh seorang Belanda bernama M. E. Verstige kepada bekas Gubemur Jenderal G. A. Baron van derCapelen pada tahun 1837 menceritakan betapa giatnya Raden Saleh belajar melukis, dan akan sangat disayangkan bila bakatnya yang demikian besar harus terhenti di tengah jalan jika tidak mendapat bantuan dari pemerintah Belanda (Marasutan, 1973: 30). Sebuah kisah yang masih perlu diuji kebenarannya menceritakan tentang pengalamannya ketika merantau belajar di negeri orang. Pada masa tersebut kehadiran seorang pria Jawa tentu menjadi fenomena unik di kalangan orang Eropa, pemandangan yang mereka lihat hanya di lukisan eksotis dari seberang lautan, dan cerita-cerita arogan sebagai kaum penjajah mengenai jajahannya yang primitif. Usaha 'perploncoan' dilakukan sekelompok pemuda kolega Raden Saleh belajar melukis, dengan memamerkan padanya sebuah karya lukisan naturalis-fotografis (buatan pelukis Belanda) yang mengambarkan bunga-bungan. Bahkan, ketika lukisan tersebut diletakan di taman terbuka, kemiripanya dengan alam aslinya telah menipu kumbang dan kupu-kupu untuk hinggap ke atas kanvas. Raden Saleh tidak bereaksi atau memberi kometar, meningalkan 'arena pertempuran' dan menghilang dari pergaulannya, sebuah reaksi yang mulanya diangap sebagai tanda kekalahan oleh kolega-koleganya. Namun ketika dalam beberapa hari ia tetap tidak muncul, rasa penasaran membuat mereka menyusul ke tempat tinggalnya. Ketika pintu diketuk-ketuk, bahkan digedor-gedor, dan masih tidak ada jawaban, mereka mulai cemas dan memutuskan untuk mendobrak pintu tempat tinggal
60
2d3d
Raden Saleh. Pemandangan di balik pintu betul-betul mengejutkan, sosok pria dari Jawa tersebut tampak tergeletak di lantai bersimbah darah. Dalam keadan panik dan kacau, para koleganya dikejutkan untuk yang kedua kalinya. Raden Saleh kedua - dan yang ash" - mendadak muncul dan" salah satu pintu yang ada di tempat tinggal tersebut. Raden Saleh lulus dari ujiannya, kemampuan melukisnya tidak ia gunakan untuk mengelabui hewan-hewan yang hanya hidup bergantung pada naluri, namun mampu memberi kesan yang mendalam pada manusia yang berakal budi dan berbudaya (Intisari Online, 2000). Inti dari kisah di atas adalah, sedemikian piawainya Raden Saleh menangkap objeknya dan memindahkanya secara naturalis-fotografis dengan menggunakan kuas ke atas kanvas. Tidak heran lukisanya disukai, terutama kaum petinggi pemerintahan dan bangsawan, sehinga ia menerima pesanan melukis dari orang-orang penting selama di Belanda. Dalam status dan pergaulanya yang baru, kembali ke tanah airnya untuk menjadi 'juru gambar' bagi pemerintah penjajah Hindia Belanda mulai terlupakan. Raden Saleh akhirnya menetap selama sepuluh tahun di negeri Belanda. Kraus dan Marasutan sependapat bahwa ia dibiarkan menetap di Eropa demikian lama karena pemerintah Belanda mulai kebingungan, dan tidak dapat memutuskan tindakan selanjutnya yang harus dilakukan untuk Raden Saleh. Pribumi yang tadinya 'dipelihara' untuk suatu saat dieksploitasi untuk kepentingan mereka, menjadi jauh lebih 'besar' dan pintar sehingga beresiko membahayakan posisi pemerintah penjajah Belanda di Indonesia. Pada tahun 1939 Raden Saleh mendapat kesempatan untuk mengunjungi beberapa negara lain di Eropa. Ada beberapa versi yang beredar mengenai keberangkatan Raden Saleh ke luar dari Belanda. Versi pertama menyatakan bahwa akibat prestasinya yang memuaskan, ia dikirim untuk memperluas wawasan di beberapa kota di Eropa dengan biaya ditangung oleh pemerintah Belanda. Kota yang diusulkan adalah Paris di Perancis sebagai pusat seni rupa dunia, namun dalam pelaksanaannya Jerman-lah yang dituju (Supangkat, 197: 17 dan Marasutan 1973:12). Versi lain menyatakan bahwa perjalananya ke luar negeri adalah inisiatif pemerintah Belanda yang mulai mengangap Raden Saleh sebagai 'beban' bagi mereka. Setelah menyelesaikan kunjungan artistiknya selama enam bulan di negara-negara tetangga, Raden Saleh akan segera dinaikkan ke kapal yang menuju Batavia untuk dipulangkan ke tanah Jawa (Kraus, 1996: 29). Perjalanan yang sedianya akan memakan waktu tidak lebih dari setengah tahun, ternyata baru berakhir dua belas tahun kemudian.
2d3d
61
Pria Kosmopolis dari Jawa "/ was a foreigner... but still... they did all they could to make my stay an easy and a happy one" Raden Saleh tentang Dresden Pada bulan Mei 1839, Raden Saleh meninggalkan Belanda menuju Jerman, tepatnya ke Dusseldorf, sebuah kota yang terkenal dengan Akademi Seni Rupanya. Kurang terkesan, dalam hitungan hari ia sudah berpindah ke Frankfurt, untuk kemudian singgah di Berlin, dan kemudian menetap di kota Dresden (Jerman Timur) yang merupakan pusat kerajaan Saxon. Di kota ini ia bersentuhan dengan aliran Romantisisme secara intens dan menetap selama lebih dari empat tahun. Kraus dan Supangkat sependapat bahwa periode Dresden-lah yang paling berpengaruh pada pembentukan pola pikir dan keahlian melukis Raden Saleh (dengan kata lain, anggapan bahwa Seni Rupa Indonesia Modern adalah sepenuhnya pengaruh seni rupa Belanda yang dibawa ke tanah air oleh Raden Saleh, perlu ditinjau kembali). Tidak pernah ada literatur yang menyebutkan bahwa ketika berada di negeri Belanda, Raden Saleh secara finansial hidup prihatin dan berkekurangan. Selama waktu tersebut, hidupnyadibiayaiolehpemerintahsecarateratur, daniamenerimabayarandaribeberapa karya lukisnya (kecuali ketika membuat lukisan orang-orang yang telah diangap berjasa padanya). Namun, hubungan antara penjajah dan terjajah, antara atasan dan bawahan, antara orang yang memberi budi dan membalas budi, tidak pernah lepas dari kehidupan Raden Saleh selama di Belanda. Pada masa kolonialisme, 'inlander' adalah sebuah cap yang dibawa dari lahir sampai ke liang kubur. Anggapan umum dari masyarakat negaranegara Eropa yang membawahi koloni dapat terbaca dalam catatan han'an Lady Canning - seorang isteri pejabat Inggris di India - yang menuliskan pertemuanya dengan Raden Saleh: "In the Grand Duke of Baden's room I saw one of the works of the Java Prince Ali who lives at Coburg like a tame monkey about the house. Lord Aberdeen was so taken aback the first day to see this black in his Turkish dress instead of handing us coffee, quietly take some to drink himself." (Kraus, 1996: 35). Selama tinggal di Jerman, Raden Saleh sama sekali tidak pernah diperlakukan seperti monyet peliharaan, melainkan ia diperlakukan sebagai sahabat, mitra yang sejajar di mata kaum bangsawan Saxon, Coburg, dan Goethe. Bahkan salah satu kawan setianya, Mayor Serre, membangun sebuah masjid kecil khusus untuk Raden Saleh di
62
2d3d
I tanah peristirahatannya di Maxen, di luar kota Dresden. Tempat ibadah yang bila ditinjau dari ukurannya lebih tepat dikategorikan sebagai mushola ini disebut Blaue Moschee. Atas tempat tinggal dan teman-teman barunya Raden Saleh berkomentar: "Here Europe's luckiest countries, where the arts, science, and educational values shine like diamond jewelry... where I was lucky enough to find friends within the noble circles, friends who replace father, mother, brothers, and sisters." (Kraus, 1996: 24) Menurut Yang Mulia Dr Heinrich Seemann, Duta Besar Republik Federasi Jerman (1996), untuk melihat alasan keramahan masyarakat Jerman kepada Raden Saleh, perlu dipahami situasi Jerman pada tahun 1800-an. Pernyatan tersebut diperkuat oleh DR. Werner Kraus dari Universitas Passau yang menyatakan bahwa negara Jerman yang di kemudian hari dikenal dengan politik rasismenya, pada masa tersebut terjepit diantara kekuatan politik Perancis dan Inggris. Bukan negara yang memiliki kekuatan untuk ekspansi, melainkan bangsa yang terpecah-pecah, yang tidak memiliki koloni ataupun negara jajahan. Mereka tidak melihat bangsa-bangsa timur sebagai sumber yang dapat dieksploitasi, melainkan sebagai realitas metafisik, dengan bayangan romantistentang kultur yang unik dan indah (Kraus 196: 32). Bayangan romantis kaum bangsawan Jerman ini dapat terpenuhi sepenuhnya dalam diri dan lukisan-lukisan Raden Saleh, seorang seniman berkarakter flamboyan. Untuk mengkukuhkan kedudukannya di kalangan borjuis dan aristokrat Eropa, Raden Saleh memperkenalkan dirinya dengan memebri penekanan bahwa ia adalah seorang bangsawan dari Jawa dengan keturunan Arab. Di Jerman, Sarip Saleh berubah menjadi Pangeran Raden Saleh Sharif Bustaman bin Yahya. Tampilannya yang selalu berbaju tradisional Jawa lengkap dan berblangkon juga menunjang sebuah deskripsi tentang negeri nun jauh di timur dengan penduduknya yang eksotik. Kemampuannya berbahasa Belanda dan Jerman dengan baik, serta Perancis dan Inggris secara memadai membantu pergaulannya selama di Eropa. la juga berani mengungkapkan penyesalannya tentang penjajahan Belanda atas bangsanya dan dukungannya (serta keluarga besarnya) atas Pangeran Diponegoro. Sebuah pernyataan yang tidak mungkin dikeluarkannya di Belanda, negara yang menjajah tanah airnya, namun yang juga membiayai perjalanan dan pendidikannya di Eropa. Di Belanda, kegiatan melukis Raden Saleh berkisar disekeliling potret orang-orang terkenal dengan posisi yang telah diatur dan pencahayaan konservatif (bagian muka yang terang dengan latar yang sangat gelap). Sebuah kegiatan yang amat membosankan
2d3d
63
karena ia - yang sadar akan talenta yang dimilikinya - bercita-cita menjadi seorang seniman pelukis, bukan tukang gambar. Di Jerman, lukisannya dipenuhi dengan objekobjek yang sangat eksotis berupa hewan-hewan yang diburu, atau pertempuran antar hewan atau dengan manusia. Gaya tersebut diperolehnya setelah bertemu seorang penjinak singa bernama Henry Martin di de Hague, yang memberi Raden Saleh izin untuk melakukan studi sketsa atas hewan-hewan peliharaanya. Publik Jerman percaya bahwa berburu singa dan banteng adalah kejadian sehari-hari di negara Raden Saleh, dan semakin menambah ketertarikan mereka pada Pangeran dari Jawa tersebut. Dalam Indonesian Modern Art and Beyond (1997), Jim Supangkat berkomentar mengenai gaya lukis Raden Saleh sebelum dan sesudah periode Dresden. Di bawah bimbingan Payen dan kemudian Schelfhout, Raden Saleh diajarkan untuk melukis alam sebagaimana adanya alam tersebut. Hal ini penting mengingat hasil lukisannya akan menjadi gambar foto atau dokumentasi atas keadaan Indonesia. Di Jerman, Raden Saleh bersinggungan dengan aliran Romantisisme (yang lahir di Perancis). Pencahayaan lukisan-lukisannya yang tadinya lembut (cenderung keabu-abuan) mulai menjadi lebih gelap (hitam) dan ekspresif. Sudut pandang yang luas menjadi semakin menyempit dan jarak yang diciptakan antara pelukis dengan objeknya menjadi semakin dekat, sehingga melihatnya seakan tidak ada jarak dengan objek yang ada di lukisan. Lukisan yang kemudian dihasilkan adalah sebuah lukisan yang dramatis, liar, dan misterius. Delacroix sebagai pelopor aliran Romantisisme menyatakan, "the finest works of art are those expressing pure fantasy of the artist." Seperti telah diungkapkan di atas, periode Dresden adalah ketika lukisan potret untuk sementara ditinggalkan dan berganti dengan lukisan hewan-hewan liar. Singa, harimau, banteng, kuda dan sebagainya memang bukan datang dari semata 'fantasi' seorang Raden Saleh, tetapi jelaslah imajinasi turut berperan didalamya. Mengingat adegan yang tertuang ke atas kanvas (manusia bertempur dengan hewan buas, pertempuran antara hewan-hewan buas, dan sebagainya) jelas tidak mungkin ada model yang berpose selama-berjam-jam sampai lukisannya selesai. Raden Saleh jelas melakukan studi dari manusia dan hewan-hewan yang dilihannya, namun adegan di atas kanvas diaturnya di dalam imajinasi atau pikirannya. Para pengamat seni menyatakan bahwa Raden Saleh berusaha menyampaikan pesannya dibalik lukisan hewan-hewan liar tersebut; tentang perjuangan hidup dan mati (Fighting the Lion, 1870), tentang pertentangan antara baik dan yang jahat (Lion and Snake, 1839), dan Iain-lain.
64
2d3d
Gambar 3: Fighting The Lion (1870) Oil on Canvas - (193 x 265 cm) Koleksi: Osterreichische Galerie, Wina, Austria
Sesuai dengan aliran Romantisisme, objek-objekyang disukai adalah adegan-adegan petualangan, cuplikan-cuplikan dari negeri eksotis, dan aspek kekuatan dan keganasan alam. serta idealisme dan perjuangan manusia. Hal-hal tersebut dipicu oleh kondisi Perang Salib yang tidak berkesudahan, dimana masyarakat frustrasi dengan segala ketidakpastian, dan berharap akan adanya kondisi yang aman dan harmonis (antar manusia dari berbagai ras dan suku bangsa, antar manusia dan alamya). Kesempatan ke Perancis dan untuk menggunjungi daerah-daerah koloni Perancis di Afrika (bersama pelukis aliran romantisisme dari Perancis, Horace Vernet) tidak dilewatkan oleh Raden Saleh. Perjalanan yang berharga tersebut dimanfaatkan sebaik mungkin untuk belajar, karena Romantisisme dan tokoh tokohnya seperti Eugene Delacroix dan Theodore Gericault berpusat di Perancis.
2d3d
65
Tiga tahun setelah Raden Saleh wafat, diadakan pameran lukisan di Rijksmuseum Amsterdam bertajuk "Dutch East Indies Painting Exhibition". Dalam pameran ini, sembilan belas lukisan Raden Saleh dipajang berbarengan dengan karya Payen, Abraham Salm, Jan Daniel Benyon, A. de Gris, A. J. Bik, W. M. van de Velde, Raden Somo, dan Raden Magkoe Miharjo. Raden Saleh tampil menonjol dengan aliran Romantisismenya yang dramatis, sedangkan pelukis lain rata-rata masih menampilkan lukisan alam dan potret manusia dengan gaya dokumentatif. Sampai sekarang, sebagian kecil lukisan Raden Saleh menjadi milik kolektor pribadi dan museum di Indonesia dan Eropa, namun sebagian karyanya musnah oleh api yang melalap koleksi "Dutch Colonial Pavvilion" di Paris pada tahun 1931.
Kembali keAkarnya "Between these two worlds my heart is split. And I feel urged to offer both sides my loving thanks." Raden Saleh in 1849 Ketika kembali ke tanah Jawa pada tahun 1951, ia membawa segudang pengalaman dan pendidikan yang berada di luar jangkauan orang Indonesia lainnya, bintang-bintang kehormatan dari para bangsawan Eropa yang dilukisnya, dan istri Belanda yang kaya raya. Mereka mendirikan sebuah rumah yang luas dan megah di daerah Cikini (bangunannya sekarang menjadi dan Rumah Sakit Cikini dan halamannya diantaranya menjadi Taman Izmail Marsuki). Taman yang luas dipergunakan sebagai lahan untuk memelihara hewan-hewan (singa, rusa, dan sebagainya) guna dipelajari sebagai objek lukisannya. Kesan mendalam selama tinggal di Jerman dituangkan kedalam desain rumahnya, yang menurut Duta Besar Republik Federasi Jerman (1996), mengingatkan pada rumah tinggal di Coburg. Dalam pergaulan, selain menguasai bahasa Jawa, Sunda, dan Melayu, ia juga fasih berbahasa Belanda dan Jerman, serta mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggrisdan Prancis. Kraus menggelarinya 'the first cosmopolitan Javanese', 'a man of culture', orang Indonesia pertama yang masuk kategori orang 'modern'. Namun tetap, seorang pria Jawa yang setengah dari hidupnya dihabiskan di negeri orang, mengalami kesulitan beradaptasi ketika kembali ke akarnya. Secara otomatis, ketika Raden Saleh kembali ke Indonesia, ia langsung dipekerjakan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai konservator pada lembaga Kumpulan Koleksi Benda-Benda Seni. Tugas utamanya adalah memperbaiki lukisan para petinggi Belanda, selain mengumpulkan serta merawat manuskrip dan arifak Jawa kuno dalam koleksi
66
2d3d
milik Belanda. Sebuah pekerjaan yang sama sekali tidak menantang untuk seorang Raden Saleh, sehingga ia lebih banyak mengacuhkannya, dan mengembara keliling Jawa untuk melukis pemandangan alam (dua versi lukisan Gunung Merapi-nya yang terkenal) dan potret-potret para bangsawan Jawa (termasuk lukisan Diponegoronya yang kontroversial). Reputasinya sebagai pribumi yang cerdas dan berpendidikan jelas merupakan suatu ancaman bagi pemerintah penjajah, apalagi 'inlander' juga tersebut memiliki reputasi sebagai orang yang sulit diatur. Hubungan 'cinta dan benci' antara pemerintah Belanda dengan Raden Saleh terus berlanjut sampai dengan akhir hidupnya di tahun 1880. la mendapat masalah karena dianggap mendukung pemberontakan terhadap Belanda pada tahun 1869. Namun, ia juga dituduh berkhianat oleh bangsa Indonesia karena menyatakan akan tetap hormat kepada penjajah, seperti tertulis dalam Tijdschrift voor NederlandschIndie, 1873 (Dermawan, 1997). Tulisandi atas batu nisannyadi Bogor juga mengundang polemik tentang visi nasionalismenya, "Raden Saleh, Djoeroe Gambar dan Sri Padoeka Kanjeng Radja Wollanda". Latar belakang kepriayiannya, pendidikan Eropanya, dan kemampuan artistiknya membuat Raden Saleh menjadi orang yang terasing, bahkan dari bangsanya sendiri. Tanpa murid, setelah kematiannya, seni rupa Indonesia kembali vakum selama hampir tiga puluh tahun sebelum munculnya kelompok yang dikenal sebagai "mooi indie" di awal abad ke-20.
Kesimpulan Kisah hidup Raden Saleh dalam buku-buku sejarah seni rupa memang tidak kalah romantis dari hasil lukisan-lukisannya. Namun, seperti juga tokoh-tokoh seni rupa pendahulunya di Eropa, menjadi yang pertama, pelopor, atau 'garda depan' bukanlah tanpa pengorbanan. Sebuah pernyataan dari DR. Krauss menyimpulkan akhir kisah romantis tersebut: "He is an early example of a collonial intellectual striving for assimilation... Through education he lost his social bindings and was not able to replace them with new viable ones. Java and Europe were, in the end, both inaccessible to him, transformed into metaphores without reality." (Kraus, 1996: 25) Tidak dapat dipungkiri, Belandalah yang menemukan dan menggali bakat terpendam yang menetukan masa depan Raden Saleh sebagai pelukis terkenal. Tidak dapat dilupakan pula bahwa yang membentuk lukisan-lukisannya yang paling fenomenal adalah
2d3ci
67
perjalanannya dan kesempatan yang diperolehnya di Jerman (Periode Dresden). Tapi, yang jelas (terlepas dari masalah patriotisme), sumbangsih terbesar Raden Saleh yang dampaknya dapat dirasakan kini adalah bagi dunia seni rupa di Indonesia. Lukisanlukisannya yang tersebar di museum dan kolektor dalam dan luar negeri dikenal sebagai 'karya pelukis Indonesia', bukan buatan orang Belanda ataupun orang Jerman. Dengan caranya sendiri, Raden Saleh telah menjadi peletak tonggak awal seni rupa 'modern' Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA DERMAWAN, A. T. (1997). Raden Saleh dan Hari Seni Rupa Nasional. Jakarta: Kompas. HOLT, C. (1967) Indonesian Art: Continuities & Change. New York: Cornell University Press (terjemahan: SOEDARSO, R.M. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Bandung: Art Line. KATALOG KIAS (1991) Perjalanan Senirupa Indonesia, Dari zaman Prasejarah Hingga Masa Kini. KUSUMA-ATMADJA, M. et.al. (1991) Perjalanan Seni Rupa Indonesia. Seni Budaya, Bandung. LOMBARD, D. (1955) NusaJawa, Siians Budaya /-///. Jakarta: Gramedia. MARASUTAN, B. (1973) Raden Saleh 1807-1880, Perintis Seni Lukis di Indonesia. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. Modernitas Indonesia dalam Representasi Seni Rupa (1999) Jakarta: Galeri Nasional Indonesia. RADEN SALEH BULLETIN (1995) No. 1/ 1996. Goethe Institute: Bandung. SOEMANTRI, H. (1998) Indonesian Heritage: Visual Art. Archipelago Press, Singapore. SUPANGKAT, J. ed. (1997) Indonesian Modern Art and Beyond. Jakarta: Yayasan Seni Rupa Indonesia. TEVININGRUM, S. (2000) Raden Saleh, Sang Pangeran Ajaib. Jakarta: Intisari. Untitled Document (http://www.the-yard.net/indo/indoallx.htm). YULIMAN, S. (2001) Dua Senirupa, Serpihan Tulisan. Jakarta: Kalam.