PUSTAKAWAN UNTUK DIGITAL NATIVES GENERATIONS DI PERPUSTAKAAN PERGURUAN TINGGI: Tinjauan Singkat Terhadap Perubahan Lingkungan Perpustakaan1 Oleh: Suwardi (Pustakawan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta) Lingkungan selalu bersifat dinamis bahkan seringkali perubahan pada faktor-faktor lingkungan tanpa disadari telah terjadi. Faktor-faktor lingkungan saling mempengaruhi satu dengan lainnya. TIK mengalami kemajuan yang luar biasa pada dekade terakhir, dari aspek bentuk semakin kecil sedang kemampuan meningkat dan penggunanya semua kelas masyarakat. Hal ini telah berpengaruh pada semua faktor lingkungan. Perkembangan gadget dalam berbagai bentuk dan jumlah demikian gencar, menurut lembaga survei ABI pengapalan tablet pc dunia diprediksikan sampai dengan tahun 2015 sebesar 58 juta, sementara smartphone yang terjual sebanyak 500 juta unit. TIK telah menciptakan kelas baru dalam demografi, merubah cara organisasi beroperasi, kompetensi SDM, serta perilaku informasi itu sendiri, dan sebagainya. Cara mengemas dan diseminasi informasi telah berubah secara dramatis. Merujuk pada survai global yang dilakukan oleh OCLC ciri khas mahasiswa dari generasi Google: 89% mahasiswa menggunakan mesin pencari sebagai langkah awal penelusuran informasi (hanya 2% menelusur melalui web perpustakaan), 93% puas atau sangat puas ketika mereka menggunakan mesin pencari. TIK juga telah mengubah aktivitas/pekerjaan pada perpustakaan, jenis aktivitas tersebut adalah: manajemen (45.99%), perpustakaan digital (17.14%), teknologi (15.71%), pemrosesan (8.57%), koleksi dan sumberdaya (7.14%), lain-lain (6.43%). Sehubungan dengan perubahan lingkungan yang terjadi, maka pustakawan perlu beradaptasi dengan bersikap/perilaku: responsif, adaptif/fleksibel, proaktif, kolaboratif dan terus mengembangkan kompetensi diri. Kata Kunci: lingkungan perpustakaan, teknologi informasi dan komunikasi, digital natives generation, kompetensi pustakawan A. Lingkungan Perpustakaan Perpustakaan merupakan salah satu entitas dari suatu lingkungan sosial yang besar. Lingkungan sosial terdiri dari berbagai entitas, masing-masing memiliki karakteristik, perilaku, budaya, dan berbagai atribut lain yang melekat padanya. Masing-masing entitas beserta atributnya berinteraksi dan saling tergantung satu dengan lainnya. Suatu entitas bagaimanapun keadaannya ikut menyebabkan atau mempengaruhi terjadinya sesuatu pada lingkungan tertentu, hal ini dikenal sebagai faktor lingkungan. Dan pengertian lingkungan adalah jumlah dari seluruh 1
Naskah dipresentasikan pada Pemilihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Berprestasi Tingkat Nasional Sesuai BNSP Tahun 2012 di Hotel Ina Garuda Yogyakarta, 13 – 16 Juli 2012.
1
faktor eksternal yang mempengaruhi individu atau masyarakat. Menurut Grant (1999 dalam Suwardi 2005) yang dimaksud lingkungan perpustakaan adalah semua faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengambilan keputusan perpustakaan serta hasil pelaksanaannya. Lingkungan internal perpustakaan meliputi struktur organisasi, budaya organisasi dan sumberdaya perpustakaan, sedang lingkungan eksternal meliputi lingkungan mikro (kerja) dan lingkungan makro (sosial). Semua faktor lingkungan perpustakaan digambarkan seperti berikut: Lingkungan Makro (Sosial) • Kekuatan Sosiokultural
• Kekuatan Ekonomi
Lingkungan mikro(Kerja)
Pemerintah
Lingkungan Internal
Pengguna
Struktur Budaya Sumberdaya
• Kekuatan Politik/Hukum
Organisasi Induk
Pemasok
Diadaptasikan dari: J. David Hunger dan Thomas L. Wheelen. Manajemen Strategis, Yogyakarta: Andi, 2001, hal. 14 (dalam Suwardi 2005).
Sponsor
• Kekuatan Teknologi
Asosiasi/Klub Perpustakaan
Lingkungan makro cakupannya sangat luas, dalam, tidak memiliki batas dan memberikan sinyal perubahan yang sangat lemah (Day dan Schoemaker dalam Muhammad, 2008). Perubahan lingkungan memberikan intensitas pengaruh yang berbeda-beda untuk organisasi yang berbeda. Perbedaan intensitas ini tergantung pada jenis faktor eksternalnya dan kondisi internal masing-masing organisasi perpustakaan. Pada dasarnya semua organisasi/lembaga harus melakukan pengamatan yang sistematis dan kontinyu terhadap pengaruh dari semua faktor lingkungan terhadap keputusan strategis organisasi dan hasil pelaksanaannya. Namun analisis yang menyeluruh tersebut akan memakan biaya yang besar dan menyebabkan terjadinya informasi yang berlebihan. Dengan demikian diperlukan suatu analisis lingkungan yang efektif.
2
Syarat analisis yang efektif adalah kemampuan memisahkan faktor yang benar-benar penting dari faktor-faktor penting lainnya. Teknik analisis sederhana dan relevan diterapkan untuk organisasi nirlaba (termasuk perpustakaan) adalah analisis SWOT sebagaimana teknik ini diterapkan pada organisasi yang profit oriented (Ascher dan Nare dalam Hunger dan Wheeler, 2001). Analisis SWOT (Strengths = kekuatan, Weaknesses = kelemahan, Opportunities = peluang, Threats = ancaman) mengharuskan kita dapat menemukan berbagai kekuatan dan kelemahan internal, serta dapat menemukan berbagai peluang dan tantangan yang berasal dari lingkungan eksternal. Analisis SWOT digunakan untuk perencanaan strategis, dengan menganalisis berbagai faktor tersebut pada kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut sebagai analisis situasi. Lingkungan makro merupakan kekuatan/faktor yang tidak berhubungan langsung dengan aktivitas-aktivitas jangka pendek perpustakaan, tetapi dapat dan sering mempengaruhi keputusan-keputusan jangka panjang. Analisis lingkungan makro dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan irregular, regular, dan kontinyu (Muhammad, 2008). Pendekatan irregular adalah analisis yang dibuat secara dadakan (ad hoc) ketika suatu peristiwa diperkirakan dapat mempengaruhi prospek perpustakaan di masa depan. Pendekatan regular, analisis dibuat dengan cara membuat analisis terhadap faktor eksternal yang dianggap relevan dan signifikan berpengaruh terhadap perpustakaan dalam jangka waktu tertentu, misal 5 tahun. Sedang pendekatan kontinyu, analisis terhadap sejumlah faktor dibuat secara terus menerus yang hasilnya digunakan sebagai masukan untuk menyusun perencanaan perpustakaan. Hasil analisis tersebut kemudian digunakan untuk melakukan antisipasi/tindakan startegi. Terdapat tujuh alternatif antisipasi strategi yang tersedia: strategi oposisi, adaptasi, ofensif, rekayasa, menarik diri, kontingensi, dan pasif (Muhammad, 2008). Strategi yang paling mungkin diterapkan untuk perpustakaan adalah strategi adaptasi, karena strategi ini sering digunakan dan
3
memiliki tingkat efektivitas yang cukup tinggi (Muhammad, 2008). Hal ini sejalan dengan Hukum seleksi alam Charles Darwin digabung dengan Teori perubahan Mendel yang membentuk sintesis evolusi, memberikan gambaran yang baik tentang perlunya adaptasi terhadap perubahan. Sebuah evolusi memang seringkali tidak dipahami sebagai sebuah perubahan (Kasali, 2006). Tetapi setiap perubahan sekecil apapun sebagai hasil adaptasi terhadap perubahan lingkungan dapat penghasilkan perbedaan dramatis dalam hal kemampuan organisasi untuk beradaptasi dan bertahan hidup (Davidson, 2005).
B. Kekuatan Teknologi (ICT) Istilah teknologi informasi merupakan mata rantai dari perkembangan istilah sistem informasi. Secara umum yang dimaksud dengan teknologi informasi adalah sekumpulan sistem komputer yang digunakan oleh organisasi/perusahaan (Turban et. al., 2006; Supriyanto, 2005) dan teknologi informasi merupakan bagian dari sistem informasi. Teknologi informasi lebih dipahami sebagai pengolahan informasi yang berbasis pada teknologi komputer dan teknologi lain yang dapat dikoneksikan dengan komputer. Teknologi informasi (TI) memerlukan infrastruktur yang meliputi sumber daya berupa fasilitas fisik, komponen TI, layanan TI, dan manajemen yang mendukung keseluruhan organisasi serta integrasi, operasi, dokumentasi, pemeliharaan (Turban et. al., 2006). Menurut beberapa pendapat (Turban et. al dan Supriyanto) istilah teknologi informasi dan sistem informasi kadang-kadang membingungkan sehingga teknologi informasi disamakan dengan sistem informasi (Turban et. al., 2006; Supriyanto, 2005). Komponen TI meliputi hardware, software, database, network, prosedur operasi dan sumber daya manusia. Komponen TI menempati posisi dasar pada suatu sistem informasi organisasi/perusahaan. Komponen TI berupa hardware, software, database dan network saat ini mengalami kemajuan yang luar biasa cepat. Komponen TI berupa hardwarware/komputer
4
dahulu ukuran secara fisik bentuknya sangat besar hingga memerlukan ruang seluas 500 m2 dan beratnya mencapai 30 ton (Supriyanto, 2005) dengan kemampuan terbatas, tetapi sekarang ukuran secara fisik sangat kecil dengan berat ada yang kurang dari satu kilogram (netbook dan beberapa merk notebook serta pc tablet) dengan kemampuan berlipat. Jika dahulu perangkat komputer hanya dapat dioperasikan pada tempat yang tetap, beberapa dekade belakangan komputer dapat dioperasikan dari berbagai tempat yang tak terbatas. Teknologi informasi dan komunikasi adalah dua sisi berbeda ibarat dua sisi mata uang. Perkembangan pada satu sisi mendorong sisi yang lain, sehingga keduanya akan berjalan bersama. Perkembangan teknologi komunikasi terkini lebih fokus pada teknologi nirkabel. Teknologi nirkabel telah mengubah cara orang dalam melakukan komputasi. Dengan teknologi nirkabel model komputasi mengarah ke ubikuitas, yaitu komputasi yang tersedia dimana saja dan kapan saja. Model komputasi ini mempunyai karakteristik yang membedakan dengan bentuk lain yaitu mobilitas dan jangkauan yang luas. Hal ini didukung oleh adanya wireless application protocol (WAP) yang memungkinkan berbagai peralatan nirkabel menghubungi server yang diinstalasi ke jaringan mobile. Hal ini memudahkan koneksi dari berbagai perangkat dan platform. Perubahan model komunikasi mobile salah satunya didorong oleh semakin mudahnya koneksi antara beragam gadget dari beragam platform yang ada, dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks (canggih). Pada satu sisi, produsen gadget semakin terbuka bagi pengembangan berbagai aplikasi yang diinginkan masyarakat dengan cara menyediakan source code masing-masing gadget untuk pengembangan software dimaksud. Hal ini salah satu peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pihak perpustakaan. Komunikasi pemustaka dengan pihak perpustakaan dapat dilakukan melalui sambungan internet yang terpasang pada berbagai jenis gadget yang dapat me-render semua halaman web. Aplikasi yang paling umum/banyak
5
ditampilkan misalnya SMS, OPAC, interaksi pemustaka dengan perpustakaan melalui media sosial (facebook, twitter dll) sampai akses e-collaction. Salah satu contoh perpustakaan yang sudah menerapkan hal ini misalnya The Bavarian State Library (Ceynowa, 2012). Perubahan bentuk dokumen atau media penyimpan informasi dari konvensional ke bentuk digital dimulai ketika Michael Hart mendirikan Proyek Guternberg tahun 1971 (Gatra, 2005 dalam Suwardi, 2010), dan media informasi (buku atau majalah) dalam format digital sudah tersedia pada tahun 1970-an (Koran Tempo, 27 Mei 2012) misalnya Dynabook (InfoKomputer, Agust 2010). Proyek serupa yang lebih baru, Google Scholar's merencanakan digitalisasi jutaan buku dari beberapa perpustakaan terbesar di dunia dapat dikatakan sebagai tindak lanjut dari proyek Guternberg. Di Indonesia perkembangan e-book sudah berjalan dua tahun terakhir, beberapa perusahaan penyedia layanan e-book buatan lokal juga sudah muncul misal Wayang Force, Scoop, Papataka dan BukuTablet.com (Koran Tempo, 2012). Kondisi ini merupakan tekanan bagi pustakawan untuk mengambil sikap secara cepat dan tepat. Dari sisi jumlah pengguna, pertumbuhan pengguna komputer (PC/Laptop/ Notebook) dari tahun ke tahun terus meningkat, menurut lembaga survei Gartner pengapalan PC selama AprilJuni 2007 sebesar 61,1 juta unit, sementara pertumbuhan pengguna laptop 50%-nya (http://www.detiknet.com/...). Ditambah tablet komputer menurut lembaga survei ABI pengapalan PC tablet dunia diprediksikan sampai dengan tahun 2015 sebesar 58 juta (Quittner, 2010), sementara itu menurut proyeksi Frost & Sullivan smartphone yang terjual sebanyak 500 juta unit untuk tahun yang sama (http://www.detikinet.com/read/...). Pengguna internet di BRICI (Brazil, Rusia, India, Cina & Ind) th 2015 > AS & Jepang (Business Sept 2010 dalam Sutanto, 2011). Menurut data awal dari Nielsen Southeast Asia Digital Consumer Report saat ini, 53% pengguna internet Indonesia mengakses internet melalui telepon genggam, 21%-nya berusia kurang dari 15 tahun (<15 th = 79%) (Kompas (KOMPAS.com) – Sen, 11 Jul 2011). Pasar e-
6
book Indonesia sedang tumbuh, mereka berada pada rentang usia 22 – 38 tahun (pengguna Scoop; Koran Tempo), 18 – 35 tahun (pengguna Wayang Force; Koran Tempo). Sebagaimana uraian di atas terlihat bahwa ICT menjadi kekuatan yang merubah cara orang berkomunikasi dalam arti luas, termasuk merubah bagaimana orang mendapatkan informasi dari sumber yang terdapat di perpustakaan. Evolusi industri penerbitan hingga saat ini dan adanya perpustakaan digital membuat perpustakaan menjadi tampak usang (Quittner, 2010). Perubahanperubahan ini harus menjadi perhatian pustakawan, memikirkan kembali lima hukum dasar perpustakaan menurut SR Ranganathan (Cloonan and Dove, 2005). Hukum dasar tersebut yang harus menjadi perhatian meliputi hukum ke 1 – 3 yaitu books are for use; every reader, his book dan every book, its reader. Perubahan pada hukum ke 1 – 3 akan berdampak pada hukum 4 dan 5, yaitu save the time of the reader dan a library is a growing organism. Pada lingkungan kerja perpustakaan digital koleksi berupa buku/koleksi tercetak tergantikan dengan koleksi digital, sehingga hukum tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi yang ada saat ini. Implementasi ICT pada perpustakaan dapat digunakan untuk mengadopsi konsep bisnis eB2B dan eB2C. eB2B merupakan hubungan organisasional antara perpustakaan dengan pemasok koleksi perpustakaan, perpustakaan dengan perpustakaan
dan atau perpustakaan
dengan organisasi lain yang berkepentingan yang dilakukan secara elektronis. Sedangkan eB2C merupakan hubungan antara perpustakaan dengan pemustaka/konsumen yang dilakukan secara elektronis. Implementasi eB2B dan eB2C akan membawa perpustakaan pada dimensi baru. Perkembangan social networking khususnya crowdsourcing juga dapat berpengaruh pada perpustakaan, maka sebagai penyedia informasi perpustakaan perlu memfasilitasi hal ini. Perubahan pada berbagai faktor lingkungan yang melingkupi perpustakaan membawa perubahan pada semua faktor tersebut. Sebagaimana sintesis evolusi, dunia perpustakaan saat ini juga dalam proses perubahan agar tetap dapat memuaskan stakeholdernya. Perubahan wujud dari
7
perpustakaan ke perpustakaan 2.0 (L2.0) (Casey and Savastinuk 2006, Mannes 2008, Miller 2006 dan Sudarsono 2008) telah berlangsung dan memasuki tahap akhir, kini sudah dimulai pemikiran gerakan perubahan dari perpustakaan 2.0 ke perpustakaan 3.0 (L3.0) (Belling et. al. 2011, Chauhan 2009, Saw and Todd 2007).
C. Digital Native Generations Secara simultan perubahan juga terjadi pada faktor demografi (sosiokultural), periode kelahiran/usia penduduk mempunyai karakteristik dan perilaku yang berbeda-beda. Periode tertentu dikelompokkan sebagai golongan penduduk atau lazim disebut generasi dengan nama sesuai periodenya. Generasi yang lahir pada periode terakhir diidentifikasi dengan sebutan digital native (ada pendapat yang menyebutnya Google generation), istilah yang dipopulerkan pertama kali oleh Marc Prensky awal tahun 2001. Digital native adalah kelompok generasi yang lahir pada era digital, sementara generasi yang lahir pada era sebelumnya namun akrab dengan teknologi digital disebut digital immigrant (netsains.net/2012/03/digital-native-dan-sekolah-hariini/, akses 25/4/2012). Dengan meminjam klasifikasi generasinya Zemke et. al. akan memberikan gambaran yang lebih jelas sebagaimana tabel berikut: Baby Generation X Boomers (GenXers) Digital Immigrant
Klasifikasi Generasi
Veterans
Tahun Lahir dan Usia
1922-1943 Usia 69-90
Tertarik pd. keamanan dan kemapanan, hormat Karakteristik pd kekuasaan. Taat pd aturan, tugas sebelum bersenang2
1943-1960 Usia 52-69 Orientasi mengabdi dan masa depan
1961-1980 Usia 32-51
Generation Y (Millenials/Nexters)
Digital Natives Generation
1980 - 2000 Usia 12 - 32
2001 – 20… (11 - …)
Narsis, Terbuka Pilihan pd smart (identitas Æ social tech, fleksibel, media), dapat mengatasi Hidup terencana, Control & bebas, masa lah, optimis, percaya Proses belajar (ingin adaptable, diri, smart street tahu & coba-coba) bergantung pd (perilaku anak-anak, diri sendiri pikiran dewasa)
8
Penurunan Pendidikan Pendidikan dasar karier Karier Pensiun Puncak karier menengah – – Perguruan (menjelang awal karier tinggi pensiun) (Diadaptasi dari Zemke et. al, 2000, “Generations at Work”, dalam Saw & Todd, 2007) Berdasarkan tonggak proyek digitalisasi yang pertama, klasifikasi generasi dari Zemke et. al., perkembangan dan penyebaran teknologi informasi dan komunikasi, serta definisi tentang digital native, maka rentang usia yang dapat dikelompokkan sebagai digital native generations adalah 0 sampai 22 tahun atau generasi yang dilahirkan tahun 1990-an sampai sekarang. Sedangkan generasi yang lahir sampai dengan sebelum akhir 1980-an sebagai digital immigrant. Pada era digital, generasi yang akan dilahirkan telah akrab dengan perangkat digital sejak mereka masih dalam kandungan. Proses “digitalisasi” generasi ini diawali dari calon orang tua yang sudah melek teknologi digital mewariskan ‘gen’ digital ke generasi penerusnya melalui perilaku mereka. Perilaku tersebut diantaranya: janin dikenalkan dengan musik ketika masih dalam kandungan, calon bayi dibuatkan blog atau situs jejaring sosial. Sehingga ketika bayi lahir ke dunia dalam waktu yang tidak begitu lama akan akrab dengan dunia digital. Berbagai macam peralatan digital seperti komputer, videogame, digital music player, kamera video, telepon seluler serta berbagai macam boneka dan perangkat yang khas era digital menjadi ‘mainan’ wajib bagi mereka. Bagi digital native generations, penggunaan internet apakah melalui PC, laptop atau telepon seluler bukan menjadi hal yang mewah dengan kata lain generasi ini sangat akrab dengan internet. Perkembangan TI memicu percepatan pertumbuhan generasi dalam dunia digital dengan perbandingannya 1 : 7, artinya satu tahun di dunia nyata sama dengan tujuh tahun di dunia digital (netsains.net/2012/03/digital-native-dan-sekolah-hari-ini/, akses 25/4/2012). Dampak dari hal ini generasi sekarang menjadi cepat dewasa, ‘galau’ dengan dunianya dan makin renggang dalam hubungan keluarga. Pelarian dari keadaan ini mereka banyak melakukan aktivitas yang
9
berkaitan dan atau menggunakan gadget. Hal ini didukung oleh banyaknya remaja yang memiliki berbagai jenis gadget, sebagaimana ditunjukkan hasil riset Frontier Consulting Group berikut: handphone 98,4%, laptop 57,6%, kamera digital 34,3% dan pc 30,1%. Berdasarkan hasil riset yang sama aktivitas yang dilakukan DNG: menggunakan internet 94,2%, membaca buku pengetahuan 87,1%, main game 67,9%, baca majalah, 46,8% dan baca komik 34,1% (Anonim (Marketing), 2012). Berdasarkan usia seperti disebutkan sebelumnya, sebagian dari digital native generation saat ini telah memasuki jenjang pendidikan tinggi. Merujuk pada survai global yang dilakukan oleh OCLC (Online Computer Library Center) ciri khas mahasiswa dari generasi Google (digital native) adalah: •
89% mahasiswa (digital native generation) perguruan tinggi menggunakan mesin pencari sebagai langkah awal penelusuran informasi (hanya 2% menelusur melalui web perpustakaan)
•
93% puas atau sangat puas ketika mereka menggunakan mesin pencari (84% puas terhadap penelusuran dengan bantuan pustakawan)
•
mesin pencari lebih cocok dengan gaya hidup mahasiswa (digital native generation) dari pada perpustakaan konvensional atau online
•
mahasiswa (digital native generation) masih menggunakan perpustakaan, tetapi semakin berkurang sejak mereka melakukan penelusuran melalui internet
•
perpustakaan tetap diasosiasikan dengan buku oleh digital native generation, meskipun perpustakaan telah melakukan investasi besar untuk menambah sumber-sumber digital (http://pustakawan2009.wordpress.com/2009/03/09/perilaku-informasi-peneliti-masa-depan1/, akses 21 Mei 2012)
10
Dengan percepatan pertumbuhan seperti ini, maka tidak mengherankan jika generasi ini dapat meraih sukses di usia belia. Beberapa contoh sukses dari generasi ini diantaranya: •
Afiqa (6/1/’06; bintang iklan Oreo/TK B), tampil di Dahsyat RCTI (1 April ‘12) bawa smartphone
•
Wasik Farhan-Roopkotha (6 tahun, Bangladesh), programer termuda
•
Fahma Waluya Rosmansyah (Bandung: 27 Mei 1998), Content developer
•
Moshe Kai Cavalin (Amerika Serikat, 14 tahun) pemilik 2 gelar diploma, siap lulus dari UCLA
dengan
jurusan
matematika
(http://kampus.okezone.com/read/2012/02/16/373
/576880/remaja-14-tahun-akan-lulus-kuliah, akses 8 Mei 2012). •
Penulis-penulis cilik.
D. Pustakawan untuk DNG Saat ini sifat masyarakat, arti penting teknologi dan aliran informasi menjadi kekuatan yang mengatur segala bentuk bisnis dan organisasi. Hal ini juga berimbas kepada dunia perpustakaan yang berarti bahwa perubahan pada faktor demografi (segmen konsumen perpustakaan), teknologi (ICT) dan cara memperoleh informasi ‘memaksa’ pihak yang terkait dengan pengelolaan perpustakaan untuk dapat membawa perubahan sehingga perpustakaan tetap dapat menjadi institusi penyedia informasi yang dibutuhkan masyarakat. Mainstream perpustakaan sekarang adalah perpustakaan digital, dan perpustakaan untuk DNG akan lebih banyak berkaitan dengan perpustakaan digital. Aktivitas yang dilakukan pada perpustakaan konvensional berbeda dengan aktivitas pada perpustakaan digital. Aktivitas atau pekerjaan pada perpustakaan digital menurut Youngok dan Rasmussen (2006) adalah: •
Manajemen (45.99%): kepemimpinan, prosedur dan kebijakan, kolaborasi, perencanaan, supervisi, manajemen sumberdaya dst.
11
•
Perpustakaan
Digital
(17.14%):
proyek/inisiatif
digital,
standar
teknik,
desain,
implementasi dan pengembangan, preservasi digital, framework, digital repository, digital contents aspects. •
Teknologi (15.71%): websites, konversi/digitalisasi, teknik pendukung, administrasi sistem/ perawatan, konversi data, system analysis/testing, open source software development, usability testing, inter-operability, digital library technology.
•
Pemrosesan (8.57%): metadata, prosedur akses dan temu kembali (cantuman bibliografi, alat pencari, EAD, cantuman MARC), pengendalian kualitas, data bases.
•
Koleksi dan sumberdaya (7.14%): pengembangan koleksi, manajemen koleksi, manajemen preservasi/cantuman, sumberdaya online.
•
Lain-lain (6.43%): instruksi/pelatihan staf, referensi/layanan publik, hiburan/, professional activities, pendidikan pemakai. Berkaitan dengan ruang lingkup pekerjaan pada perpustakaan digital di atas dan
perilaku/karakter dari digital native generations menghadirkan tantangan dan peluang bagi pustakawan. Tantangan bagi pustakawan perguruan tinggi terkait dengan hal ini adalah bagaimana menyikapi perubahan aktivitas/pekerjaan dari yang berbasis manual ke digital dan melayani pemustaka tersebut agar sesuai dengan karakter dan perilakunya. Jawaban yang tepat adalah pustakawan yang paham serta dapat mengoperasionalkan perpustakaan digital. Tantangan selanjutnya dari hal ini adalah bahwa perpustakaan digital membutuhkan infrastruktur ICT, berupa hardware dan software. Masalah utama terkait infrastruktur adalah investasi termasuk investasi pada sumberdaya manusia. Pustakawan tidak dapat menyelesaikan masalah ini seorang diri, karena perpustakaan merupakan organisasi pendukung dari suatu organisasi yang lebih tinggi hirarkinya. Maka penyelesaian masalah investasi melibatkan pihakpihak terkait seperti pejabat pada struktur organisasi yang lebih tinggi diatas perpustakaan, ahli
12
IT, dan pemustaka. Disamping itu software dan content pada perpustakaan digital juga menghadirkan tantangan tersendiri, yaitu legal aspect (Suwardi, 2010). Legal aspect di sini meliputi lingkup nasional (misal HAKI) dan internasional (misal draft SOPA-PIPA (Stop Online Piracy Act-Protect Internet Protocol Act)). Pada sisi lain terdapat peluang bagi pustakawan perguruan tinggi untuk dapat menjadi pustakawan ideal bagi digital native generation. Peluang ini tercipta karena perangkat ICT spesifikasi teknisnya semakin meningkat sedangkan harga relatif menurun, sehingga nilai investasi yang diperlukan relatif lebih murah. Banyak tablet pc berharga murah/terjangkau (kisaran harga 1 – 2 juta rupiah) tersedia di pasar ICT. Software yang diperlukan untuk pemrosesan pada perpustakaan digital semakin beragam, bahkan ada yang dapat diperoleh secara bebas (Suwardi, 2010), sehingga pembentukan e-collection dapat diwujudkan. Pada perpustakaan digital, buku dipandang sebagai sumber informasi yang sudah usang, maka pustakawan tidak lagi harus berkutat dengan tumpukan buku/koleksi tetapi harus ‘IT minded’. Dan yang harus dilakukan oleh pustakawan adalah mengubah cara bagaimana sumber/media informasi dihimpun dan didistribusikan ke pemustaka, bukan mengubah isinya, termasuk memberikan tautan/link ke sumber-sumber informasi yang kredibel. Kombinasi hardware dan software yang ada di pasar memungkinkan pustakawan membuat sendiri ecollection (content) untuk perpustakaan digital. Software aplikasi seperti Adobe InDesign CS5 (InfoKomputer, 2010) dan Stanza for Desktop (InfoKomputer, 2010) dapat digunakan untuk mengubah berbagai dokumen menjadi e-collection, atau Gonvisor (www.gonvisor.com) untuk mengubah comik menjadi e-comic. Dalam membuat interface untuk perpustakaan digital perlu mempertimbangkan karakteristik dan perilaku pemustaka khususnya digital native generation. Interface dirancang menggunakan mekanisme atau aturan permainan pada aktivitas non-permainan untuk mencapai
13
tujuan tertentu yang lebih menyenangkan dan meningkatkan interaktivitas pengguna atau yang lazim dinamakan gamifikasi (Bachtiar, 2012). Aplikasi interface ini pada web perpustakaan akan dapat meningkatkan kunjungan pemustaka secara online. Perpustakaan telah berevolusi dari perpustakaan ke perpustakaan 2.0, dan kini sedang berproses menuju perpustakaan 3.0. Sistem Perpustakaan 3.0 banyak mengadopsi web 3.0 yang disebut sebagai semantic web. Web 3.0 mempunyai karakteristik: aplikasi relative kecil, data berada di cloud, aplikasi dapat berjalan cepat dan pada berbagai platform/alat, dan customizable (Silva et. al., 2008). Web 3.0 bersifat read-write-execute atau berperan seperti operating system multi user dan menghubungkan pengetahuan. Sifat web 3.0 yang paling bersinggungan dengan fungsi perpustakaan adalah menghubungkan pengetahuan (Davis, 2008). Berdasarkan uraian sebelumnya, maka pustakawan perguruan tinggi perlu melakukan adaptasi yang sesuai dengan perilaku dan kebutuhan pemustaka digital natives generations, dengan bertindak/sikap sebagai berikut: 1. Responsif (dengarkan lingkungan), setiap orang/pustakawan tidak mungkin dapat mengetahui semua yang terjadi pada lingkungan yang tanpa batas. Dalam hal ini pustakawan dapat secara aktif mendengarkan/mengumpulkan tanda-tanda perubahan dari faktor lingkungan, mempelajari dan mengambil manfaat darinya. Setiap perubahan pada lingkungan eksternal menghadirkan masalah, tantangan dan peluang bagi pustakawan. Hal terbaik yang dapat dilakukan adalah fokus pada peluang, bukan masalah (Hesselbein dan Johnston, 2005). Orang merasa aman apabila kita menyadari bahwa saat perubahan yang tiba-tiba, tak terduga dan radikal adalah saat peluang (Hesselbein dan Johnston, 2005). Dengan memanfaatkan peluang sebaik-baiknya maka pustakawan akan tetap eksis pada profesinya dan memberikan manfaat bagi orang lain (pemustaka).
14
2. Adaptif/Fleksibel, perubahan lingkungan terjadi secara diam-diam dalam variasi-variasi kecil pada semua faktor lingkungan untuk memperbaiki kondisi-kondisi kehidupan organik dan an-organik. Agar efektif dan berkelanjutan dalam berkarya pustakawan perlu memiliki sifat/sikap adaptif terhadap lingkungan kerjanya yang dinamis (Davidson, 2005). DNG di masa depan akan menjadi konsumen/user utama pada perpustakaan perguruan tinggi, dengan demikian pustakawan dapat segera menentukan sikap/tindakan untuk menyesuaian diri dengan perilaku konsumennya. Hal ini untuk kepentingan semua pihak yang terlibat dengan perpustakaan. 3. Proaktif, belajar dari teori evolusi, sikap/sifat adaptif mempunyai makna bahwa pustakawan secara sadar dan bertanggungjawab melakukan perubahan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan yang berlangsung secara diam-diam, kecil-kecil dan terus menerus. Perubahan yang dilakukan oleh pustakawan sekecil apapun dilakukan secara proaktif, yaitu dimulai
dari
membaca
tanda-tanda
perubahan
lingkungan
(sikap
1)
kemudian
mempersiapkan berbagai alternatif penyelesaiannya. Tindakan ini dilakukan atas kesadaran dan rasa tanggungjawab, bukan karena keterpaksaan, dengan kata lain perilaku kita adalah fungsi dari keputusan kita bukan kondisi kita (Covey, 1994). 4. Kolaboratif, perubahan pada diri pustakawan perlu ditularkan pada lingkup yang lebih luas yaitu lingkungan kerja. Perubahan organisasional memerlukan keterlibatan orang-orang yang mempunyai sumber daya, pengetahuan, dan pengaruh politik untuk membuat sesuatu (perubahan yang direncanakan) terjadi (Hesselbein dan Johnston, 2005). Pintu masuk yang pertama adalah pustakawan harus mampu membina hubungan dengan stakeholder (pemustaka, manajemen, arsiparis, profesional bidang ICT, pemerintah, dll). Tanpa keterlibatan mereka, semua yang diusahakan oleh pustakawan/perpustakaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dan memberikan manfaat yang tidak optimal.
15
5. Mengembangkan kompetensi, kecepatan perubahan, turbulensi lingkungan dan dinamika perubahan sosial ekonomi menuntut adanya kualifikasi SDM/pustakawan yang memiliki kompetensi mengelola perubahan. Kompetensi ini memiliki peringkat tertinggi dibandingkan yang lainnya (Becker et. al. dalam Sudarmanto, 2009). Kemampuan ini terkait dengan adaptasi dan fleksibilitas pustakawan untuk menyesuaikan diri dengan situasi, strategi dan lingkungan eksternal, pendekatan baru untuk perubahan organisasi perpustakaan dan pelaksanaan pekerjaan. Dengan demikian eksistensi profesi pustakawan akan tetap dapat bertahan dan dapat melayani pemustaka sesuai perkembangan jaman dengan kemampuan terbaik.
Referensi: Anonim, (2012). Pasar yang Cepat Dewasa. “Marketing”, No. 04/XII/April, hal. 52 – 55. Bachtiar, Gouthama (2012). Hidup Lebih Hidup dengan Gamifikasi. http://inet.detik.com/read/2012/05/01/103809/1905683/398/hidup-lebih-hidup-dengangamifikasi?i991102105, akses 1/5/2012. Belling, Anna, Aimee Rhodes, Janine Smith, Susan Thomson and Bernie Thorn (2010?). Exploring Library 3.0 and Beyond. 2010-2011 Shared Leadership Program State Library of Victoria and Public Libraries Victoria Network. http://www.libraries.vic.gov.au/downloads/20102011_Shared_Leadership_Program_Pres entation_Day_/exploring_library_3.pdf, akses 27/10/2011. Casey, Michael E. and Laura C. Savastinuk (2006). Library 2.0: Service for the next-generation library. “Library Journal”, http://www.libraryjournal.com/article/CA6365200.html, akses 14/7/2011. Ceynowa, Klaus (2011). Library Services and Library Content for the Mobile Internet –The Approach of the Bavarian State Library. www.usq.edu.au/~/...libraries/Ceynova.ashx (Power Point Presentation), akses 1/5/2012. Chauhan, Suresh K (2009). Library 3.0. http://key2information.blogspot.com/2009/09/library30.html, akses 29/12/2010.
16
Cloonan, Michèle V. & John G. Dove (2005). Ranganathan Online: Do digital libraries violate the Third Law? Library Journal, April, p. 58 – 60. Covey, Stephen R., Budijanto (1994). 7 Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif: Memulihkan Etika Karakter. Jakarta: Gramedia Asri Media. Davidson, Jeff , Dudy Priatna (2005). The Complete Ideal’s Guides Change Management. Jakarta: Prenada Media. Davis, Mills (2008). Semantic Wave 2008 Report: Industry Roadmap to Web 3.0 and Multibillion Dollar Market Opportunities. http://www.isoco.org/pdf/Semantic_Wave_ 2008-Executive_summary.pdf, akses 28/01/10. Hesselbein, Frances dan Rob Johnston (editor) (2005). On leading Change: Strategi Menembus Tantangan Perubahan. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hunger, J. David dan Wheelen, Thomas L.. Manajemen Strategis. Yogyakarta: Andi, 2001. InfoKomputer (2010). “Belajar Digital Forensic”. Agustus Kasali, Rhenald (2006). Change! Tak Peduli Berapa Jauh Jalan Salah yang Anda Jalani, Putar Arah Sekarang Juga (Manajemen Perubahan dan Manajemen Harapan). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kompas.com (2011). Lebih dari 50 Persen Akses Internet dari Ponsel. Nielsen Southeast Asia Digital Consumer Report. Sen, 11 Juli. Koran Tempo (2012). Topic Minggu: Buku Elektronik. 27 Mei, hal. A5 – A9. Maness, Jack M., Blasius Sudarsono (2008). Teori Library 2.0: Web 2.0 dan Dampaknya terhadap Perpustakaan. Visi Pustaka, Volume 10 Nomor 2 Agustus, hal. 30 – 37. Miller, Paul (2006). Library 2.0: The challenge of disruptive innovation. http://www.capitalibraries.co.uk/resources/documents/447_Library_2_prf1.pdf, akses 16/2/2010. Muhammad, Suwarsono (2008). Manajemen Strategik: Konsep dan Kasus, ed. ke 4. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Quittner, Josh (2010). Tablet? Smartphones? They could all save newspapers, books, and magazines-or destroy them. Or both. The Future of Reading. “Fortune” March 1 p.37. Rabin, Steve (2003). The Real-Time Entreprise, The Real-Time Supply Chain. Information Systems Management, Spring, p. 58 – 62. Saw, Grace & Heather Todd (2007). Library 3.0: Where art our skills?. Paper on World Library and Information Congress: 73rd IFLA General Conference and Council, 19-23 August, Durban, South Africa. http://archive.ifla.org/IV/ifla73/papers/151-saw_Todden.pdf, akses 29/12/2010 17
Silva, Juan M, Abu Saleh Md. Mahfujur Rahman, Abdulmotaleb El Saddik (2008). Web 3.0: A Vision for Bridging the Gap between Real and Virtual. http://csis.pace.edu/~ctappert/dps/d861-09/team3-read3.pdf, akses 27/12/2010. Sudarmanto (2009). Kinerja dan Pengembangan Kompetensi SDM: Teori, Dimensi Pengukuran, dan Implementasi dalam Organisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudarsono, Blasius (2008). Perpustakaan Dua Titik Nol: Pengantar Pada Konsep Library 2.0. Visi Pustaka, Edisi Vol.10 No.2 - Agustus 2008. http://www.pnri.go.id/Lists/List%20 Majalah%20Online/DispForm.aspx?ID=84&Source=http%3A%2F%2Fwww%2Epnri%2 Ego%2Eid%2FMajalah%2520Online%2Easpx, akses 15/2/2010. Supriyanto, Aji (2005). Pengantar Teknologi Informasi. Jakarta: Salemba Infotek. Suwardi (2005). Analisis Lingkungan Perpustakaan. "SANGKAKALA", Edisi Kedua, hal. 25 – 29. Suwardi (2009). Reading and Writing Habits dalam Jejaring Sosial. “SANGKAKALA”, Edisi Ketujuh, hal. 8 – 11. Suwardi (2010). Hak Cipta Pada Perpustakaan Digital di Indonesia: Suatu tinjauan Singkat. “SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan, hal. 4 – 9 & 28 – 29. Turban, Efraim, R. Kelly Rainer Jr, Richard E. Potter, Deny Arnos Kwary, Dewi Fitria Sari (2006). Introduction to Information Technology = Pengantar Teknologi Informasi. Jakarta: Salemba Infotek. Youngok, Choi, Edie Rasmussen (2006). What Is Needed to Educate Future Digital Librarians: A Study of Current Practice and Staffing Patterns in Academic and Research Libraries. D-Lib Magazine September, Volume 12 Number 9, ISSN 1082-9873. http://www.dlib.org/dlib/september06/choi/09choi.html, akses 5/1/2011.
18