PUNGUTAN LIAR DITINJAU DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM Oleh : Basrizal, SH.1
Abstract Illegal Payments factors causing the shift in moral forces into private materialist, which is supported by the opportunity given by the Society to make illegal payments. Moreover, there are no rules and mechanisms for oversight of the related department of the work of officials. And mechanisms of punishment for offenders classified as mild and only have a deterrent effect is temporary. Efforts Combating Illegal Payments by Law Enforcement and Society with efforts Method of Pre-emptive which is a business or efforts to prevent crime from the beginning or early on, which is done by the ombudsman and the community in which the action is more psychological or moral for invite or urge the perpetrators of the bureaucracy in order to comply with any applicable norms. Preventive method is the effort made with the aim of preventing crime control measures and supervision, or create a conducive atmosphere to reduce and then pressed so that the crime was not thrive in the community. Keywords:
I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan ancaman nyata bagi kelangsungan bangsa. Korupsi di Indonesia seperti tidak ada habis-habisnya dari tahun ke tahun, bahkan perkembangannya semakin meningkat, baik dalam jumlah kasus dan kerugian negara maupun kualitasnya. Perkembangan korupsi akhir-akhir ini nampak semakin sistematis dan terpola. Luas lingkupnya juga telah menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara. Oleh sebab itu, secara nasional disepakati bahwa korupsi bukan saja sebagai kejahatan luar biasa, tetapi juga sebagai kejahatan transnasional. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh setiap subyek hukum, baik orang maupun badan hukum yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan penyalahgunaan keuangan negara.1 Akibat tindak pidana korupsi berdampak sangat luas, bukan hanya menyangkut keuangan negara2, tetapi juga mampu merusak sistem pemerintahan, perekonomian dan pembangunan. Tidak banyak kasus tindak pidana korupsi yang diproses secara hukum dan ternyata hanya sedikit perkara tindak pidana korupsi yang bisa dibuktikan secara hukum oleh instansi penegak hukum. Salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari 1
Basrizal, adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam As-syafi’iyah, Jakarta. 2 Niniek Suparni dan Baringin Sianturi.2011. Bunga Rampai Korupsi, Gratifikasi, dan Suap. Jakarta : MISWAR, anggota IKAPI. hal. 8.
108
adalah pungutan liar (pungli). Pungutan liar dilarang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbuatan-perbuatan yang disebut sebagai perbuatan pungutan liar sebenarnya merupakan suatu gejala sosial yang telah ada di Indonesia, sejak Indonesia masih dalam masa penjajahan dan bahkan jauh sebelum itu. Namun penamaan perbuatan itu sebagai perbuatan pungli, secara nasional baru diperkenalkan pada bulan September 1977, yaitu saat Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban disingkat Kaskopkamtib yang bertindak selaku Kepala Operasi Tertib bersama Menpan dengan gencar melancarkan Operasi Tertib (OPSTIB), yang sasaran utamanya adalah pungli. Pungli lahir dari tingginya tingkat ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan menjadi penyebab dari semakin banyaknya masyarakat yang menyerah ketika berhadapan dengan pelayanan publik yang korupsi. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat cenderung semakin toleran terhadap praktik pungutan liar dalam penyelenggaraan pelayanan publik3. Sektor pelayanan publik yang dikelola pemerintah, baik departemen, lembaga pemerintah non departemen, maupun pemerintah daerah, seperti pelayanan pajak, perizinan, investasi, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), transportasi, akta, sertifikat tanah, listrik, air, telepon dan sebagainya merupakan sektor yang rentan terjadinya pungutan liar, karena berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat4. Di sektor pelayanan publik terjadi hubungan antar domain, yakni pemerintah atau birokrasi sebagai penyelenggara pemerintahan, sektor usaha, dan masyarakat umum5. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya Pungutan Liar ? 2. Apa saja upaya yang dilakukan oleh Penegak Hukum untuk mengatasi Pungutan Liar? C. Tujuan dan Kegunaan Tulisan ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut : 1. Untuk mempelajari dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Pungutan Liar 3
BPKP.2002.Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan Pelayanan Masyarakat.(Jakarta: Tim Pengkajian SPKN RI). hal. 6. 4 http://arsip.gatra.com/2004-06-25/artikel.php?id=39966, terakhir diakses pada Pukul 16.50 WITA tanggal 1 Desember 2013. 5 httpFitjen-depdagri.go.id%2Farticle-23-Pelayanan-Publik-Goodvernance dalam diskresi.html, Terakhir diakses pada tanggal 01 Desember 2013.
109
2. Untuk mempelajari dan menganalisis upaya yang dilakukan oleh Penegak hukum untuk mengatasi Pungutan Liar II. PEMBAHASAN A. SOSIOLOGI HUKUM 1. Pengertian Sosiologi Hukum - Menurut Soerjono Soekanto, Sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti, mengapa manusia patuh pada hukum, dan mengapa dia gagal untuk mentaati hukum tersebut serta factor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya (Pokok-Pokok sosiologi hukum) - Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari fenomen hukum dengan mencoba keluar dari batas-batas peraturan hukum dan mengamati hukum sebagaimana dijalankan oleh orangorang dalam masyarakat. - Soetandyo Wignjosoebroto, Sosiologi hukum adalah cabang kajian sosiologi yang memusatkan perhatiannya kepada ihwal hukum sebagaiman terwujud sebagai bagian dari pengalaman dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. (hukum; paradigm metode dan dinamika masalahnya) - David N. Schiff, Sosiologi Hukum adalah, studi sosiologi terhadap fenomena-fenomena hukum yang spesifik yaitu yang berkaitan dengan masalah legal relation, juga proses interaksional dan organizational socialization, typikasi, abolisasi dan konstruksi social; (pendekatan sosiologis terhadap hukum) 2. Ruang Lingkup Sosiologi Hukum Dalam dunia hukum, terdapat fakta lain yang tidak diselidiki oleh ilmu hukum yaitu pola-pola kelakuan (hukum) warga-warga masyarakat. Ruang lingkup Sosiologi Hukum juga mencakup 2 (dua) hal, yaitu : 1. Dasar-dasar sosial dari hukum, contoh: hukum nasional Indonesia, dasar sosialnya adalah Pancasila, dengan ciri-cirinya : gotongroyong, musyawarah-kekeluargaan. 2. Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya, contoh : UU PMA terhadap gejala ekonomi, UU Pemilu dan Partai Politik terhadap gejala politik, UU Hak Cipta tahun 1982 terhadap gejala budaza, UU Perguruan Tinggi terhadap gejala pendidikan. Tahap tersebut akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih luas. Pada tahap ini, seorang sosilog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan wibawa
110
moral dan untuk menjelaskan peran ilmu sosial dalam menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan. Pada pendekatan Intrumental adalah merupakan disiplin Ilmu teoritis yang umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat dan tidak terlepas dari pendekatan Hukum Alam. Latar belakang, Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu, Sosilogi hukum bersifat khas ini adalah apakah kenyataan seperti yang Tertera pada peraturan dan harus Menguji dengan data empiris. Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala gejala sosial lain. Studi yang demikian memiliki beberapa karakteristik, yaitu : 1. Sosiologi hukum bertujuan untukmemberian penjelasan terhadap praktek prektek hukum. Apabila praktek itu dibedakan kedalam pembuatan undang undang, penerapanya, dan pengadilanya,maka ia juga mempelajari bagaimana praktek yang terjadi dari kegiatan hukum tersebut. Dengan demikian makin jelas sudah tugas dari sosiologi hukum yaitu mempelajari tingkah laku manusia dalam bidang hukum. Menurut Weber, tingkah laku ini memiliki dua segi, yaitu “luar” dan “dalam”. Dengan demikian sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, tetapi juga meperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu meliputi motifmotif tingkah laku seseorang. Apabila di sini di sebut tingkah laku hukum maka sosiologi hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai denagn hukum atau yang menyimpang dari kaidah hukum, keduanya merupakan obyek pengamatan dari ilmu ini. Contohnya : Lampu Kuning di perempatan harusnya pelan-pelan, siap-siap berhenti, tapi dalam kenyataannya malah ngebut, Kemudian, lampu merah di perempatan, kalau tidak ada polisi, pengemudi terus jalan. Paradigma di Indonesia bahwa, Polisi, Hakim, Jaksa, sebagai hukum 2. Sosiologi hukum senantiasa menguji kekuatan empiris (empirical validity) dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Pernyataan yang bersifat khas di sini adalah “Bagaimanakah dalam 111
kenyataannya peraturan tersebut?”, “Apakah kenyataan seperti yang tertera dalam bunyi perturan tersebut?” Perbedaan yang besar antara Pendekatan tradisional yang normatif dan pendekatan sosiologis adalah bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada peraturan hukum, sementara yang kedua menguji dengan data (empiris). Misalnya :terhadap putusan pengadilan, pernyataan notaris dan seterusnyaApakah sesuai dengan realitas empirisnya? Sosiologi hukum tidak melakukan penilain terhadap hukum. Tingkah laku yang Mentaati hukum atau yang menyimpang dari hukum samasama menjadi obyek dari bahasan ilmu ini. Pendekatan yang demikian itu kadang-kadang menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi hukum ingin membenarkan praktek-praktek yang melanggar hukum. Pendekatan yang demikian itu kadang Kadang menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi hukum ingin membenarkan praktek praktek yang melanggar hukum. Sekali lagi bahwa sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum Sebagai obyektifitas semata dan Bertujuan untuk menjelaskan terhadap Fenomena hukum yang nyata. Semua perilaku hukum dikaji dalam nilai yang sama tanpa melihat apakah itu benar, karena sosiologi hukum sesungguhnya adalah seinwissenschaaft ( ilmu tentang kenyataan). Jadi orang-orang sosiologi hukum tidak boleh apriori, contoh : pelaku pidana tidak bisa dimaknai orang yang selalu jahat. Sebagai cabang sosiologi yang terpenting, sosiologi hukum masih dicari perumusannya. Kendati selama puluhan terakhir semakin mendapat perhatian dan aktual, sosiologi hukum belum memiliki batas-batas tertentu yang jelas. Ahli-ahlinya belum menemukan kesepakatan mengenai pokok persoalannya, atau masalah yang dipecahkannya, serta hubungannya dengan cabang ilmu hukum lainnya. 1) Terdapat pertentangan antara ahli sosiologi dan ahli hukum mengenai keabsahan sosiologi hukum. Ahli hukum memerhatikan masalah quid juris, sementara ahli sosiologi bertugas menguraikan quid facti: mengembalikan fakta-fakta sosial kepada kekuatan hubungan-hubungan. Sosiologi hukum dipandang oleh ahli hukum dapat menghancurkan semua hukum sebagai norma, asas yang mengatur fakta-fakta, sebagai suatu penilaian. Para ahli khawatir, kehadiran sosiologi hukum dapat menghidupkan kembali penilaian baik-buruk (value judgement) dalam penyelidikan fakta sosial. Terdapat perbedaan antara sosiologi hukum yang dikenal di Eropa dan ilmu hukum sosiologis yang dikenal di Amerika Serikat. Sosiologi hukum memusatkan penyelidikan di lapangan sosiologi 112
dengan membahas hubungan antargejala kehidupan kelompok dengan “hukum”. Sementara itu, ilmu hukum sosiologis menyelidiki ilmu hukum serta hubungannya dengan cara menyesuaikan hubungan dan tertib tingkah-laku dalam kehidupan kelompok. Memang, sebagaimana dikatakan Soerjono Soekanto, untuk mengetahui hukum yang berlaku, sebaiknya seseorang menganalisis gejala-gejala hukum dalam masyarakat secara langsung: meneliti proses-proses peradilan, konsepsi-konsepsi hukum yang berlaku dalam masyarakat (semisal tentang keadilan), efektivitas hukum sebagai sarana pengendalian sosial, serta hubungan antara hukum dan perubahan-perubahan sosial. 2) Perkembangan masyarakat yang susunannya sudah semakin kompleks serta pembidangan kehidupan yang semakin maju dan berkembang menghendaki pengaturan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang demikian itu. 3) Sosiologi hukum berkembang atas suatu anggapan dasar bahwa proses hukum berlangsung di dalam suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat. O.W. Holmes, seorang hakim di Amerika Serikat, mengatakan bahwa kehidupan hukum tidak berdasarkan logika, melainkan pengalaman. Menurut Soerjono Soekanto, ruang lingkup sosiologi hukum meliputi (1) pola-pola perilaku (hukum) warga masyarakat, (2) hukum dan pola-pola perilaku sebagai ciptaan dan wujud dari kelompok-kelompok sosial, dan (3) hubungan timbal-balik antara perubahan-perubahan dalam hukum dan perubahan-perubahan sosial dan budaya. 4) Sosiologi hukum memiliki kegunaan yang bermacam-macam. Pertama, sosiologi hukum mampu memberi penjelasan tentang satu dasar terbaik untuk lebih mengerti Undang-undang ahli hukum ketimbang hukum alam, yang kini tak lagi diberi tempat, tetapi tempat kosong yang ditinggalkannya perlu diisi kembali. Kedua, sosiologi hukum mampu menjawab mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serta faktor-faktor sosial lain yang memengaruhinya. Ketiga, sosiologi hukum memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial. Keempat, sosiologi hukum memberikan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, maupun sarana untuk mengatur interaksi sosial, agar mencapai keadaankeadaan sosial tertentu. Kelima, sosiologi hukum memberikan 113
kemungkinan dan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat. Bila para ahli hukum dalam melakukan analisanya berpegang pada indicator – indicator dalam aturan – aturan hukum seperti pengetahuan, keputusan resmi, pengadilan, maka lain halnya dengan ahli sosiologi dimana merea dalam melakukan analisa tentang hukum meninjaunya dari segi – segi aturan sosial, peranan hukum, dan perubahan – perubahan sosial. Hukum adalah suatu seni atau juga dianggap sebagai suatu ketrampilan yang ditransmisikan dari seorang ahli kepada seseroang yang masih magang, walaupun dalam beberapa hal diduga bersifat destruktif sehingga diharapkan bahwa pendidikan hukum memiliki daya tahan yang terus menerus terhadap perubahan yang terjadi. Adaanya suatu kesalahan konsepsi “tentang hukum yang kini tumbuh dikalangan masyarakat, yaitu suatu pandangan bahwa hukum itu adalah sesuatu yang bersifat normative, bahwa hukum adalah suatu keharusana atau perintah dan bahwa metodologi kebanyakan sosiologi tradisional dianggap tidak sesuai bagi suatu penelitian terhadap ilmu – ilmu yang bersifat normative dan terhadap ilmu – ilmu yang merupakan institusional. Karakter hukum yang membedakan dari aturan – aturan yang bersifat normative ialah adanya mekanisme control yang disebut sebagai sanksi. Hukum berfungsi untuk menciptakan aturan – aturan sosial dan sanksi digunakan sebagai alat untuk mengontrol mereka yang menyimpang dan juga digunakan untuk menakut – nakuti agar orang tetap patuh kepada aturan – aturan sosial yang sudah ditentukan. Konsep Sosiologi yang berkaitan dengan masalah hukum tidak mungkin untuk bisa kita pahami secara matematis. Karena itu setiap orang yang mencoba menciptakan konsep sosiologi hukum berarti dia melibatkan diri dengan fenomena sosial, suatu fenomena yang sangat kompleks sehingga untuk memahaminya tidak bisa hanya dengan menggunakan jasa pikiran satu arah saja. Hukum secara sosiologis penting dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang merupakan himpunan nilai – nilai, kaidah – kaidah dan pola – pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan – kebutuhan pokok manusia. 5) Hukum sebagai suatu lembaga kemasyarakatan hidup berdampingan dengan lembaga – lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling pengaruh mempengaruhi dengan lembaga kemasyarakatan tadi. Jadi sosiologi hukum berkembang atas dasar suatu anggapan dasar, 114
bahwa proses hukum berlangsung didalam suatu jaringan atau system sosial yang dinamakan masyarakat. Artinya bahwa hukum hanya dimengerti dengna jalan memahami system sosial terleih dahuludan bahwa hukum meruapakn suatu proses. Perihal perspektif dari pada sosiologi hukum, maka secara umum ada dua pendapat utama : 1. Pendapat – pendapat yang menyatakan bahwa kepada sosiologi hukum harus diberiakan suatu fungsi global. Artinya sosiologi hukum haus menghasilkan suatu sintesa antara hukum sebagai saranan organisasi sosial dan seagai saranan dari keadilan. Didalam fungsinya itu maka hukum dapat memperoleh bantuan yang tidak kecil dari sosiologi hukum, didalam mengidentifikasi konteks sosial dimanan hukum tadi diharapkan berfungsi. 2. Pendapat – pendapat lain menyatakan bahwa kegunaan sosiologi hukum adalah justru dalam bidang penerangan dan pengkadaran. Dari batasan ruang lingkup maupun perfektif sosiologi hukum maka dapat dikatakan bahwa kegunkaan sosilogi hukum didalam kenyataannya adalah sebagai berikut : 1. Sosiologi berguna untuk memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum didalam konteks sosial. 2. Penguasaan konsep – konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisa terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat. 3. Sosiologi hukum memberiakan kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan avaluasi terhadap efektivitas hukum didalam masysrakat. 3. Aliran Pemikiran Dalam Sosiologi Hukum Filsafat hukum sebagai bagian dari disiplin hukum, telah memiliki tradisi yang lama telah dikembangkan oleh ahli-ahli pemikir yang tersohor. Filsafat hukum tersebut terutama untuk menghayati arti dan hakikat hukum, telah banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran yang berguna. Akan tetapi tak dapat disangkal, bahwa hasil-hasil para ahli pemikir tadi tidak semuannya dapat dijadikan pegangan. Hal ini terutama disebabkan karena timbulnya usaha-usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah hukum itu, apakah keadilan, apakah hukum yang tidak baik dapat dinamakan hukum, dan seterusnya. Ada berbagai faktor yang menyebabkan para ahli hukum kemudian menerjunkan diri ke dalam bidang filsafat hukum. Pertamatama dapat dikemukakan sebab, yaitu timbulnya kebimbangan akan kebenaran dan kedailan (dalam arti kesebandingan) dari hukum yang 115
berlaku. Lagi pula timbul pendapat-pendapat yang berisikan ketidakpuasan hukum yang berlaku, oleh karena hukum tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat yang diaturnya. Ketidakpuasan tersebut dapat dikembalikan dapat beberapa faktor, antara lain ketegangan-ketegangan yang timbul antara kepercayaan (khususnya agama) dan hukum yang sedang berlaku. Di sampingkan gejala tersebut, timbul pula ketegangan anatar hukum yang berlaku dengan filsafat, yang disebabkan karena perbedaan antara dasar-dasar hukum yang berlaku, dengan pemikiran orrang dalam bidang filsafat. Lagi pula perlu dicatat, bahwa setiap pemikiran sistematis setiap disiplin hukum senantiasa berhubungan dengan filsafat politik. Dengan demikian, maka filsafat hukum terutama bertujuan untuk menjelasakan nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai pada dasar-dasar filsafatnya. Hasil pemikiran para ahli filsafat hukum tersebut terhimpun di dalam berbagai mazhab atau aliran, antara lain sebagai berikut. 1) Mazhab Formalistis Beberapa ahli filsafat hukum menekankan, baetapa pentingnya hubungan antara hukum dengan prinsip-prinsip moral (yaitu etika dalam arti sempit) yang berlaku umum. Salah satu cabang dari aliran tersebut adalah mazhab formalistis yang teorinya lebih dikenal dengan nama analytical jurisprudence. Salah seorang tokoh terkemuka dari mazhab ini adalah ahli filsafat hukum dari Inggris John Austin (1790-1859) Austin terkenal dengan pahamnya yang menyatakan, bahwa hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. Menurut Austin, hukum dibedakan menjadi dua bagian, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan dan hukum yang dibuat oleh manusia. Hukum yang dibuat manusia dapat dibedakan dalam : Hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya. Tapi kelemahan dari ajaran analytical jurisprudence ini antara lain bahwa suatu sistem hukum tidak mungkin untuk sepenuhnya tertutup. Akan tetapi teori ini menentukan bagaimana suatu keputusan pengadilan pbekerja dan dengan memperhitungkan, bagaimana para hakim mungkin terikat oleh analisis-analisis formal mengenai konsepkonsep dan masalah hukum. 2) Mazhab Sejarah dan Kebudayaan Mazhab ini, mempunyai pendirian yang sangat berlawanan sengan mazhab formalistis. Mazhab ini justru menekankan bahwa hukum hanya dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah dan kebudayaan di mana hukum tersebut timbul. Seorang tokoh 116
terkemuka dari mazhab ini dalah Friedrich Karl Von Savigny (17791861) yang dianggap sebagai pemuka ilmu sejarah hukum. Von Savigny berpendapat, bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (Volksgeits). Dia berpendapat, bahwa semua hukum berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan, bukan berasal dari pembentukan undang-undang. Kelemahan dari teori Von Savigny terletak pada konsepnya mengenai kesadaran hukum yang sangat abstrak. Tetapi teori ini diakui oleh tekoh-tokoh teori sosiologi seperti Emile Durkheim dan Max Weber yang menyadari betapa pentingnya aspek-aspek kebudayaan dan sejarah untuk memahami gejala hukum dalam masyarakat. 3) Aliran Utilitarianism Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang ahli filsafat hukum yang sangat menekankan pada apa yang harus dilakukan oleh suatu sistem hukum. Bentham menggunakan prinsip dari aliran utilitarianism, bahwa manusia berindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Ia banyak mengembangkan pikirannya untuk bidang pidana dan hukuman terhadap tindak pidana. Bentham pun mengemukakan bahwa pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara individual. Rudolph von lhering (18181892) yang ajarannya disebut social utilitarianism. Dia menganggap hukum sebagai sarana untuk mengendalikan individu-individe, agar tujuan masyarakat di mana mereka menjadi warganya. Bagi Ihering, hukum juga merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melakukan perubahan-perubahan sosial. 4) Aliran Sociological Jurisprudence Eugen Ehrlich (Austira, 1826-1922) dianggap sebagai sociological jurisprudence. Ajaran Ehlirch berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law). Ia menyatakan bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, atau dengan apa yang disebut oleh para antropolog sebgai pola-pola kebudayaan (culture patterns). Ehrlich mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum terletak di masyarakat itu sendiri. Tata tertib dalam masyarakat didasarkan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara. Teori Ehrlich juga mempunyai kelemahan, yaitu adalah menentukan ukuran-ukuran apakan yang dapat dipakai untuk menentukan suatu kaidah hukum benar-benar merupakan hukum yang hidup (dan dianggap adil). Roscoe Pound (Merika Serikat, 117
1870-1964) berpendapat bahwa hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang mana kebutuhankebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. Pound menganjurkan untuk memepelajari hukum sebagai suatu proses (law in action) yang dapat dibedakannya dengan hukum tertulis (law in the books). Ajarannya tersebut diperluas sehingga mencakup maslah keputusan-keputusan pengadilan serta pelaksanaannya dan juga antara isi suatu peraturan dengan efek-efeknya yang nyata. Pound mengakui bahwa hukum hanyalah merupakan salah satu alat pengendalian sosial (sosial control), bahkan selalu menghadapi tantangan dari pertentangan kepentignan-kepentingan. Pound juga menekankan betapa pentingnya penelitian yang berasal dari ilmuilmu sosial di dalam proses pengendalian. 5) Aliran Realisme Hukum Aliran Realisme hukum diprakasrsai oleh Karl Llewellyn (18931962), Jerome Frank (1889-1957), dan Justice Oliver Wendell Holmes (1841-1935) ketiga tiganya orang Amerika. Mereka terkenal dengan konsep yang radikal tentang proses peradilan dengan menyatakan bahwa hakim tidak hanya menemukan hukum, akan tetapi membentuk hukum. Suatu keputusan pengadilan biasanya dibuat atas dasar konsepsi konsepsi hakim yang bersangkutan tentang keadilan dan dirasionalkan di dalam suatu pendapat tertulis. B. Pungutan Liar (Pungli) 1. Pengertian Pungutan Liar Pungutan liar atau pungli adalah pengenaan biaya di tempat yang tidak seharusnya biaya dikenakan atau dipungut6Kegiatan pungutan liar (selanjutnya disebut pungli) bukanlah hal baru. Pungli berasal dari frasa pungutan liar yang secara etimologis dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang memungut bayaran/meminta uang secara paksa. Jadi pungli merupakan praktek kejahatan. Istilah pungli ini juga terdapat dalam kamus bahasa China. Li artinya keuntungan dan Pung artinya persembahan, jadi Pungli diucapkan Pung Li, artinya adalah mempersembahkan keuntungan. Pungutan liar merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau Pegawai Negeri atau Pejabat Negara dengan cara meminta pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan 6
http://id.wikipedia.org/wiki/Pungutan_liar, terakhir diakses pada tanggal 28 Desember 2013 Pukul 12.30 WITA.
118
pembayaran tersebut. Hal ini sering disamakan dengan perbuatan pemerasan.7 Berdasarkan catatan dari Dokumen Perserikatan BangsaBangsa Tentang Upaya Pemberantasan Korupsi, pungutan liar merupakan pungutan tidak resmi, permintaan, penerimaan segala pembayaran, hadiah atau keuntungan lainnya, secara langsung atau tidak langsung, oleh pejabat publik atau wakil yang dipilih dari suatu negara dari perusahaan swasta atau publik termasuk perusahaan transnasional atau individu dari negara lain yang dikaitkan dengan maksud untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tugas yang berkaitan dengan suatu transaksi komersial internasional. Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar. 2. Pungutan Liar dalam KUHP Adapun penjelasan beberapa Pasal di dalam KUHP yang dapat mengakomodir perbuatan pungutan liar adalah sebagai berikut: Pasal 368 KUHP : “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Pasal 423 KUHP “Pegawai negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalah gunakan kekuasaannya memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu, melakukan suatu pembayaran, melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran atau melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun.” Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 12 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kejahatan yang diatur dalam Pasal 423 KUHP merupakan tindak pidana korupsi, sehingga sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 12 huruf e dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, pelakunya dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan 44 pidana penjara paling singkat empat tahun dan 7
Lijan Poltak Sinambela.2006.Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan dan Implermentasi.Sinar Grafika Offset.Jakarta.hal 96.
119
paling lama dua puluh tahun dan pidana denda paling sedikit dua puluh juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 423 KUHP maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum di dalam rumusan Pasal 423 KUHP itu merupakan suatu bijkomend oogmerk. sehingga oogmerk atau maksud tersebut tidak perlu telah terlaksana pada waktu seorang pelaku selesai melakukan perbuatan-perbuatan yang terlarang di dalam pasal ini.8 Dari rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 423 KUHP di atas, dapat diketahui bahwa yang dilarang di dalam pasal ini ialah perbuatan-perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa orang lain: a. Untuk Menyerahkan Sesuatu; b. Untuk Melakukan Suatu Pembayaran; c. Untuk Menerima Pemotongan Yang Dilakukan Terhadap Suatu Pembayaran; d. Untuk Melakukan Suatu Pekerjaan Untuk Pribadi Pelaku. Perbuatan-perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu, melakukan suatu pembayaran, menerima pemotongan yang dilakukan terhadap suatu pembayaran dan melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi pelaku itu merupakan tindaktindak pidana materil, hingga orang baru dapat berbicara tentang selesai dilakukannya tindak-tindak pidana tersebut, jika akibat akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang karena perbuatan-perbuatan itu telah timbul atau telah terjadi. Karena tidak diberikannya kualifikasi oleh undang-undang mengenai tindak-tindak pidana yang diatur dalam Pasal 423 KUHP, maka timbullah kesulitan di dalam praktik mengenai sebutan apa yang harus diberikan pada tindak pidana tersebut.9 Sejak diperkenalkannya kata pungutan liar oleh seorang pejabat negara, tindak-tindak pidana yang dimaksudkan dalam Pasal 423 KUHP seharihari disebut sebagai pungutan liar. Pemakaian kata pungutan liar itu ternyata mempunyai akibat yang sifatnya merugikan bagi penegakan hukum di tanah air, karena orang kemudian mempunyai kesan bahwa menurut hukum itu seolah-olah terdapat gradasi mengenai perbuatanperbuatan memungut uang dari rakyat yang dilarang oleh undangundang, yakni dari tingkat yang seolah-olah tidak perlu dituntut menurut hukum pidana yang berlaku hingga tingkat yang seolah-olah 8
P.A.F. Lamintang. 2006. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.
hal:318
9
P.A.F. Lamintang. 2009. Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika. Jakarta. hal: 390.
120
harus dituntut menurut hukum pidana yang berlaku, sedang yang dewasa ini biasa disebut pungutan liar itu memang jarang membuat para pelakunya diajukan kepengadilan untuk diadili, melainkan cukup dengan diambilnya tindakan-tindakan disipliner atau administratif terhadap mereka, padahal kita semua mengetahui bahwa yang disebut pungutan liar itu sebenarnya merupakan tindak pidana korupsi seperti yang antara lain diatur dalam Pasal 12 huruf e dan f UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001. Kebiasaan tidak mengajukan para pegawai negeri yang melanggar larangan-larangan yang diatur dalam Pasal 423 atau Pasal 425 KUHP Jo. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ke pengadilan untuk diadili, dan semata-mata hanya mengenakan tindakan-tindakan administratif terhadap mereka itu perlu segera dihentikan, karena kebiasaan tersebut sebenarnya bertentangan dengan beberapa asas tertentu yang 47 dianut oleh Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita yang berlaku, masing-masing yakni :10 a. Asas legalitas, yang menghendaki agar semua pelaku sesuatu tindak pidana itu tanpa kecuali harus dituntut menurut undang-undang pidana yang berlaku dan diajukan ke pengadilan untuk diadili; b. Asas verbod van eigen richting atau asas larangan main hakim sendiri, yakni menyelesaikan akibat hukum dari suatu tindak pidana tidak melalui proses peradilan. Maksud untuk tidak mengajukan tersangka ke pengadilan untuk diadili, maka maksud tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan peraturanperaturan perundangan yang berlaku. Menurut peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, suatu perkara itu hanya dapat dikesampingkan untuk kepentingan umum, dan bukan untuk kepentingan tersangka/ korps atau organisasi tersangka. Perbuatan menyampingkan perkara itu tidak dapat dilakukan setiap orang dengan jabatan atau pangkat apa pun, karena menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, LN Tahun 2004 No. 67, yang berwenang menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum itu hanyalah Jaksa Agung saja.11 Mengenai pengertiannya sebagai uang, perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa orang menyerahkan sesuatu itu sehari- hari dapat dilihat dalam bentuk pungutan di jalan-jalan raya, di pos- pos pemeriksaan, di instansiinstansi pemerintah, bahkan yang lebih tragis lagi adalah bahwa pungutan-pungutan seperti itu juga dilakukan oleh para pendidik baik 10 11
P.A.F. Lamintang. KUHAP. Hal: 30-31 Ibid., hlm:189
121
terhadap sesama pendidik maupun terhadap anak-anak didik mereka. Akan tetapi, tidak setiap pungutan seperti yang dimaksudkan di atas itu merupakan pelanggaran terhadap larangan yang diatur dalam Pasal 423 KUHP jo. Pasal 12 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001, karena jika pungutan tersebut ternyata telah dilakukan karena pegawai negeri yang memungut pungutan itu telah melakukan sesuatu atau mengalpakan sesuatu di dalam menjalankan tugas jabatannya yang sifatnya bertentangan dengan kewajibannya, maka perbuatannya itu merupakan pelanggaran terhadap larangan-larangan yang diatur dalam Pasal 419 angka 2 KUHP jo. Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 423 KUHP ialah dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa orang lain melakukan suatu pembayaran. Sebenarnya tidak seorang pun dapat dipaksa melakukan suatu pembayaran kecuali jika pemaksaan untuk melakukan pembayaran seperti itu dilakukan berdasarkan suatu peraturan undangundang.12 Pasal 425 KUHP Kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Pasal 425 KUHP yakni menerima atau melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran seolah-olah merupakan utang kepada dirinya atau kepada pegawai negeri yang lain atau kepada sesuatu kas umum dan lain-lain, yang dilakukan oleh pegawai negeri dalam menjalankan tugas jabatannya. Perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam pasal ini: 1) Pegawai Negeri yang di dalam menjalankan tugas jabatannya meminta, menerima, atau melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran seolah-olah merupakan utang kepada dirinya atau kepada pegawai negeri yang lain atau kepada sesuatu kas umum, sedang ia mengetahui bahwa utang seperti itu sebenarnya tidak ada; 2) Pegawai Negeri yang di dalam menjalankan tugas jabatannya meminta atau menerima jasa-jasa secara pribadi atau penyerahanpenyerahan seolah-olah orang berutang jasa atau penyerahan seperti itu, sedang ia mengetahui bahwa utang seperti itu sebenarnya tidak ada; 3) Pegawai Negeri yang di dalam menjalankan tugas jabatannya menguasai tanah-tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai bangsa Indonesia dengan merugikan orang yang berhak, seolah-olah yang ia lakukan itu sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, sedang ia mengetahui bahwa dengan melakukan tindakan seperti itu 12
Tano Hatubuan Rangitgit, 2011 “Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi Kasus Pungutan Liar (studi kasus pungutan liar di Jembatan Timbang Sibolangit Deli Serdang Sumatera Utara)”. Universitas Sumatera Utara. Hal. 18-31
122
sebenarnya ia telah bertindak secara bertentangan dengan peraturanperaturan tersebut. 3. Pungutan Liar dalam Undang-Undang No.31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Adapun penjelasan beberapa Pasal di dalam KUHP yang dapat mengakomodir perbuatan pungutan liar adalah sebagai berikut: a. Pasal 12 huruf e “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.” b. Pasal 12 huruf f “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang”. C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Pungutan Liar Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan Pungutan Liar ini tumbuh subur, diantaranya ialah: 1. Faktor Individu Pelaku Faktor individu pelaku disini dimaksudkan disini yaitu Aparatur pemerintah tidak lagi memiliki karakter integritas yang tinggi akan tanggung jawab sebagai Pelayan bagi masyarakat. 2. Faktor Kesempatan Faktor kesempatan ini erat kaitannya dengan anggota masyarakat yang sedang membutuhkan dokumen kelengkapan administrasi ketika diminta dapat menyanggupi permintaan tersebut. 3. Faktor Pengawasan Pengawasan terhadap kebijakan yang diambil oleh lembaga-lembaga atau instansi mengenai pembiayaan dalam pengurusan dokumen berbeda-beda . bahkan ketika sudah ada tulisan atau Informasi GRATIS sekalipun tetap saja ada Oknum petugas dan masyarakat yang bermain pungli. Pungli dapat dilakukan dengan berbagai cara. 4. Faktor Hukuman/Sanksi Walaupun sudah aturan sanksi yang ditentukan tetapi prakteknya dapat diselesaikan dengan jalan damai atau pengembalian uang pungli dan berjanji tidak akan melakukan lagi. 123
5. Partisipasi Masyarakat rendah dalam Memerangi Praktik Selama ini Pungli tumbuh dengan wajar-wajar saja karena pemakluman dari masyarakat. Permintaan dana dari pihak aparat tidak dipermasalahkan oleh Masyarakat dan sudah dianggap wajar. B. Upaya-upaya Penanggulangan Pungutan Liar oleh Aparat Penegak Hukum Bagaimanapun juga Pungutan Liar sangat sulit dihilangkan karena kejahatan tersebut sudah mengakar kuat pada kebiasaan masyarakat untuk melegalkan setoran-setoran yang lebih berbau sogokan untuk mempermudah proses administratif pada hampir seluruh sektor kehidupan, dan dianggap sebagai bukan kejahatan. Upaya yang dapat dilakukan hanya sebatas mencegah dan menanggulangi kejahatan itu. Menurut pandangan hukum bahwa kejahatan akan selalu ada, jika ada kesempatan untuk melakukannya sampai berulang kali. Pelaku dan korban kejahatan berkedudukan sebagai partisipan yang dapat terlibat secara aktif dalam suatu kejahatan. Korban membentuk pelaku kejahatan dengan sengaja atau tidak sengaja berkaitan dengan situasi dan kondisi masing-masing. Antara korban dan pelaku ada hubungan fungsional. Berdasarkan pandangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kejahatan itu tidak dapat dihapus begitu saja akan tetapi dapat diusahakan untuk meminimalisir kejahatan itu. Lebih khusus tentang upaya pencegahan dan penanggulangan pungutan liar telah melakukan wawancara dengan berbagai dan diperolehlah berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan yang dilakukan sebagai berikut: 1. Metode Pre-emtif Metode ini merupakan usaha atau upaya-upaya pencegahan kejahatan sejak awal atau sejak dini, yang mana tindakan itu lebih bersifat psikis atau moril untuk mengajak atau menghimbau kepada masyarakat agar dapat mentaati setiap norma-norma yang berlaku. Upaya-upaya ini dapat berupa: a. Melakukan pembinaan kepada calon Pegawai tentang larangan melakukan perbuatan yang menjadikan Masyarakat sebagai objek materialis atau lahan untuk mendapatkan uang. b. Membuat selebaran-selebaran mengenai informasi yang dianggap perlu demi mencegah kejahatan dan pelanggaran. 2. Metode Preventif Metode preventif merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan untuk mencegah timbulnya kejahatan dengan tindakan pengendalian dan pengawasan, atau menciptakan suasana yang kondusif guna mengurangi dan selanjutnya menekan agar kejahatan itu tidak berkembang ditengah masyarakat. Upaya preventif ini pada prinsipnya jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan usaha penaggulangan secara represif. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh seorang 124
kriminolog. W. A. Bonger mengatakan bahwa mencegah kejahatan lebih baik daripada mencoba mendidik penjahat menjadi orang baik kembali. Berdasarkan apa yang diutarakan oleh pakar diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan jauh lebih baik dari pada memulihkan kembali dampak dari apa yang terjadi. Upaya ini berupa: a. Penyuluhan-penyuluhan hukum mengenai larangan pungli oleh Ombudsman RI kepada Aparat baik formal maupun non formal. Bekerja sama dengan Kepolisian, instansi-instansi, sekolah, LSM, Pemerintah Daerah, orangtua murid dan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan maksud sebagai pencegahan agar pungutan liar di sekolah tidak terjadi. Selain itu dari bimbingan dan penyuluhan ini diharapkan agar masyarakat menjunjung tinggi kejujuran dan kinerja yang baik. b. Ombudsman bekerja sama dengan masyarakat membuat pos-pos pengaduan untuk meminimalisir terjadinya praktik pungli; c. Dinas Pendidikan membuat petunjuk teknis untuk halhal yang menyangkut permintaan biaya oleh sekolah kepada wali murid, walaupun untuk tidak lanjut pengawasannya belum maksimal. 3. Metode Represif Metode represif merupakan upaya atau tindakan yang dilakukan secara langsung untuk memberantas pungutan liar dengan memberikan tindakan agar pelaku jera dan tidak mengulangi kejahatannya kembali. Adapun tindakan represif yang dimaksud sebagai berikut: a. Pemanggilan Pelaku Pungli oleh Ombudsman guna diselidiki apakah dugaan Pungutan Liar benar terjadi, apabila benar ditemukan Ombudsman akan menyurati Instansinya guna memberikan sanksi bagi terlapor; b. Untuk Aparat yang terbukti melakukan pungutan liar harus mengembalikan uang yang telah didapatnya secara Pungli; c. Lembaga terkait sendiri mengaku memiliki aturan yang jelas untuk pelaku pungutan liar, pelaku akan dimutasi ke tempat lain, pencopotan dari jabatan, sampai dengan pemecatan apabila benar terbukti melakukan pungtan liar; d. Apabila terbukti melakukan pungutan liar dan telah diserahkan pada Dinas terkait namun tidak ditanggapi secara serius, Ombudsman akan membuat pengumuman di media, misalnya Koran atau televisi lokal. Pengalaman Penulis terkait Pungutan liar dibeberapa tempat : 1. Di Salah satu kelurahan Penulis meminta Surat Keterangan dari kelurahan sebagai syarat membuat surat kelakuan baik di kepolisian, Sepengetahuan penulis Surat itu tidak 125
berbayar alias gratis. Setelah surat Keterangan dari kelurahan selesai maka penulis mengucapkan terima kasih, tetapi dijawab oleh petugas bahwa ada biaya Administrasi sebesar Rp.5000,- (Lima ribu rupiah), untuk itu penulis minta diberikan kwitansi tanda terima biaya Administrasi. Bukannya kwitansi yang didapat penulis tetapi penulis mendapat bentakan suara keras dari petugas yang mengeluarkan surat dengan mengatakan jika lain waktu ingin minta surat lagi bawa kertas dan stempel sendiri saja. 2. Di Pengadilan Negeri Guna menguatkan dalil-dalil penulis selaku Kuasa Hukum dalam suatu perkara, maka penulis mengajukan alat bukti. Syarat legal sebuah alat bukti surat adalah adanya leges bermeterai dari Kantor Pos dan dari Kepaniteraan Pengadilan. Khusus untuk leges di Kepaniteraan Pengadilan leges stempel tertera biaya Rp. 3000,-(Tiga ribu rupiah), tetapi petugas dikepaniteraan meminta kisaran 6 (enam) sampai 10 (Sepuluh) ribu rupiah. Tidak ada Informasi berapa biaya sebenarnya dan baru diketahui dari stempel leges pada alat bukti surat. Dua pengalaman penulis dilapangan tersebut sudah berlangsung lama dan sudah di anggap biasa bagi banyak pihak, Walaupun banyak juga yang keberatan namun tidak dihiraukan dan tidak ada sanksi atau teguran dari yang berwenang. IV. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang penulis telah uraikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Faktor penyebab terjadinya Pungutan Liar adalah bergesernya moral Aparat menjadi pribadi materialis, yang didukung oleh kesempatan yang diberikan oleh Masyarakat untuk melakukan pungutan liar. Apalagi tidak ada aturan dan mekanisme pengawasan dari dinas terkait terhadap kerja Aparat. Dan mekanisme penghukuman bagi pelaku tergolong ringan dan hanya memiliki efek jera yang bersifat sementara. 2. Upaya-upaya Penanggulangan Pungutan Liar oleh Aparat Penegak Hukum dan Masyarakat dengan melakukan upaya Metode Pre-emptif yang merupakan usaha atau upaya-upaya pencegahan kejahatan sejak awal atau sejak dini, yang dilakukan oleh ombudsman dan masyarakat yang mana tindakan itu lebih bersifat psikis atau moril untuk mengajak atau menghimbau kepada pelaku birokrasi agar dapat mentaati setiap norma-norma yang berlaku. Metode preventif merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan untuk mencegah timbulnya kejahatan dengan tindakan pengendalian dan pengawasan, atau menciptakan suasana yang
126
kondusif guna mengurangi dan selanjutnya menekan agar kejahatan itu tidak berkembang ditengah masyarakat. B. Saran-saran Terhadap uraian kesimpulan diatas, maka penulis mempunyai beberapa saran, yaitu: 1. Instansi Pemerintah meningkatkan pembinaan mental dan rohani aparatur pemerintahan secara berkala dan terus menerus. 2. Dibentuknya lembaga-lembaga pengawas independen guna melakukan pengawasan pada kerja-kerja aparatur pemerintah. 3. Melakukan penyuluhan dan sosialisasi pada masyarakat tentang buruknya dampak dari Pungutan liar yang diberikan oleh masyarakat terhadap kinerja aparatur negara. DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Soerjono Soekanto. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1976. Alvin S. Johnson. Sosiologi Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 2004 Adam Podrorecki dan Christopher J. Whelan. Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum. Jakarta : Bina Aksara. 1981. Dr. Hendrojono. Sosiologi Hukum Pengaruh Perubahan Masyarakat Dan Hukum. Surabaya : Srikandi. 2005. Soerjono Soekanto. Sosiologi Hukum Dan Kegunaannya. Jakarta : Lembaga Bantuan Hukum. 1976. Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian di Bidang Hukum. Bandung : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. 1975. Esmi Warassih. Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: Suryandaru Utama, 2005. Hal. 2. Abdussalam H.R, 2007. Prospek Hukum Pidana Indonesia. Restu Agung, Jakarta Gosita, Arif. 2004. Masalah Korban Kejahatan. Buana Ilmu. Jakarta Lamintang, P,A,F, 2006. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta Lamintang, P,A,F, 2009. Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan Tertentu sebagai Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika, Jakarta Sinambela, Lijan Poltak, 2006. Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan dan Implementasi. Sinar Grafika, Jakarta
127
Suparni, Niniek dan Sianturi, Baringin, 2011. Bunga Rampai Korupsi, Gratifikasi dan Suap. Miswar, Jakarta. IKAPI. PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KARYA ILMIAH BPKP, 2002. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan Pelayanan Mayarakat. Tim Pengkajian SKPN RI, Jakarta Rangitgit Tano Hatubuan, 2011 “Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi Kasus Pungutan Liar (studi kasus pungutan liar di Jembatan Timbang Sibolangit Deli Serdang Sumatera Utara)” http://id.wikipedia.org/wiki/Pungutan_liar
128