Puncak Carstensz Pyramid. -Menyelesaikan pendakian Tujuh Puncak Indonesia pada usia 63 tahun.
Pendakian ke puncak gunung Gede di bulan Desember tahun 1968 adalah pendakian pertama yang membuat saya langsung jatuh cinta pada olah raga mendaki gunung dan menjadi anggota pencinta alam Mapala UI. Selama dua belas tahun saya sering mendaki dan terhenti sama sekali selama tujuh belas tahun karena kesibukan perkerjaan. Tahun 1997 setelah mempersiapkan diri dengan olahraga aerobik dan beban selama satu tahun saya kembali mendaki gunung. Tujuh Puncak Indonesia. Pada tahun 2011 Hendri Agustin penulis buku ‘Panduan Tehnis Mendaki Gunung’, pendiri situs petualang Highcamp dan pendiri majalah gunung online Indonesia Mountmag memperkenalkan konsep tujuh puncak gunung tertinggi di Indonesia. Jika dunia memiliki tujuh puncak tertinggi di tujuh benua, maka Indonesia mempunyai tujuh puncak tertinggi di setiap pulau atau kepulauannya. Yaitu Kerinci (3805mdpl, meter diatas permukaan laut) di Sumatera, Semeru (3726mdpl) di Jawa, Rinjani (3726mdpl) di kepulauan Sunda Kecil, Bukit Raya (2278mdpl) di Kalimantan wilayah Indonesia, Rantemario (3478mdpl) di Sulawesi, Binaiya (3027mdpl) di Maluku dan Carstensz Pyramid (4884mdpl) di Papua. Tidak lama setelah konsep Tujuh Puncak Indonesia itu disosialisasikan kepada komunitas pendaki gunung di Indonesia, pada tanggal 13 Juli 2011 Dody Djohanjaya anggota Mapala UI yang dikenal pada program Jejak Petualang TV Trans 7 menjadi orang pertama yang menyelesaikannya. Pada saat itu saya baru mencapai empat dari tujuh puncak yaitu Kerinci, Rinjani, Semeru dan Binaiya. Muncul tekad saya untuk segera menyelesaikan Tujuh Puncak Indonesia dengan mendaki tiga puncak lainnya yaitu Rantemario, Bukit Raya dan Carstensz Piramid. Persiapan untuk mendaki tiga gunung yang tersisa memerlukan kesiapan fisik, waktu dan biaya yang tidak sedikit. Pendakian ke Rantemario di Sulawesi relatip ringan, setara dengan Kerinci. Pendakian ke Bukit Raya lebih berat setara dengan Binaiya, perjalanan sekitar 8 hari dan berkali-kali mendaki dan menuruni anak gunung sebelum mencapai puncak. Setiap saat saya siap mendaki puncak Rantemario dan Bukit Raya karena hampir tiap dua bulan saya mendaki gunung. Sedangkan yang tersulit adalah pendakian ke Carstensz. Pada bulan Nopember 2012, saya daki puncak tertinggi pulau Sulawesi gunung Rantemario yang terletak di utara Tanah Toraja. Selanjutnya pada bulan April 2013 saya daki puncak 1
keenam yaitu gunung Bukit Raya yang terletak diperbatasan propinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, sekitar 300km kearah timur Pontianak. Carstensz Pyramid Carstensz berasal dari nama Jan Carstenszoon pemimpin ekspedisi Belanda yang heran melihat gunung dengan puncak bersalju didaerah katulistiwa sewaktu berlayar di selatan Papua tahun 1623. Pada masa Orde Lama bernama puncak Soekarno teletak di pegunungan Sudirman, selain puncak tertinggi di Indonesia juga merupakan satu dari Tujuh Puncak Dunia. Berbeda dengan enam puncak Indonesia lainnya, pendakian Puncak Carstensz memerlukan kemampuan tehnik memanjat dengan ascender, alat mekanik pencengkeram tali yang lebih dikenal dengan nama jumar, nama pabrik Swiss yang pertama kali memperkenalkannya di tahun 1958. Jumar untuk tangan kiri dan tangan kanan yang masing-masing digantungi tali foothole untuk menjejakkan kaki diikat ke harness di pinggang bagian depan. Sewaktu memanjat, secara bergantian pendaki menaikkan tangannya diikuti kaki yang menjejak di foothole. Untuk mencapai puncak Carstensz diperlukan kemampuan memanjat dengan alat itu selama beberapa jam. Kalau sewaktu mendaki memerlukan kemampuan menggunakan jumar, kembali dari puncak memerlukan kemampuan rappling. Meluncur dengan badan menghadap tebing pada tali yang dililitkan ke besi berbentuk angka delapan terkait di harness. Pada saat meluncur kontrol dilakukan dengan tangan yang memegang salah satu bagian tali, bila tangan diletakkan di bagian depan panggul pendaki meluncur kebawah sedangkan bila tangan digeser kebelakang pantat, pergerakan terhenti. Selain dari kedua kemampuan itu, diperlukan juga kemampuan meluncur di tali yang terpasang horizontal melintasi jurang yang disebut tyrolean. Menurut catatan pendaki yang telah menyelesaikan pendakian Tujuh Puncak Dunia, hanya Carstensz yang memerlukan kemampuan tehnik tersebut . Selain dari kemampuan tehnik memanjat, dibutuhkan pula kebugaran untuk berjalan beberapa minggu karena jarak antara awal perjalanan dari desa Ilaga atau Sugapa menuju puncak sangat jauh. Dalam perjalanan pendaki harus dibantu porter (pengangkat barang). Mencoba mengangkut sendiri beban seperti yang biasa dilakukan pendaki sulit dilakukan pada medan berlumpur dan jalan naik turun yang tidak berkesudahan. Beberapa pendaki yang sebelumnya pernah mencoba, jatuh sakit pada awal pendakian dan tidak dapat melanjutkan perjalanan. Pada pendakian kepuncak Carstensz, perlengkapan dan logistik yang dibawa oleh seorang pendaki mencapai sekitar 50kg. Beban yang dapat dibawa sendiri kurang dari sepuluh kilogram, sisanya dibawakan oleh porter sebanyak satu setengah orang untuk setiap pendaki atau tiga porter untuk dua orang pendaki. Selain itu, untuk setiap tiga orang porter diperlukan satu orang porter lain yang khusus membawa ubi jalar, makanan pokok mereka. Dengan demikian untuk dua orang pendaki dibutuhkan empat orang porter.
2
Ada dua cara lain yang lebih mudah untuk mencapai puncak Carstensz selain dengan berjalan dari Sugapa atau Ilaga. Cara pertama adalah mendapat ijin pendakian dan menjadi tamu PT Freeport Indonesia. PT Freeport Indonesia, anak perusahaan Freeport McMoran produsen emas terbesar didunia, adalah perusahaan yang menambang emas, perak dan tambaga di tambang Grasberg Papua. Konsesi Freeport seluas 25.000km2 letaknya bersinggungan dengan Lembah Danau Danau, yang merupakan perkemahan terakhir sebelum mencapai puncak Carstensz. Puncak Carstensz hanya berjarak 2,6 km dari lembah Danau Danau yang dapat dicapai sekitar sembilan jam perjalanan. Dari Lembah Danau Danau selain kepuncak Carstensz, pendaki juga dapat menuju ke puncak Jaya atau puncak Sumantri, dua puncak lainnya yang lebih rendah di pengunungan Sudirman. Bila Freeport memberikan ijin, pendaki akan mengunakan cable car dan bis sampai ke Bali Dam dan barang bawaan dibawa helicopter sampai ke Lembah Danau Danau. Tanpa beban, dari Bali Dam menuju Lembah Danau Danau hanya memerlukan waktu sekitar 2 jam berjalan. Cara kedua adalah menyewa helicopter untuk membawa pendaki dan barang dari Nabire langsung ke Lembah Danau Danau. Persiapan yang menyita waktu dan tenaga. Persiapan pendakian Cartenz segera saya mulai dengan mencoba melobi Freeport agar dapat memperoleh ijin melewati daerah penambangan mereka namun tidak membuahkan hasil. Menurut pengalaman yang pernah mencoba, Freeport sangat selektif dalam mengijinkan orang luar yang akan melewati daerah pertambangannya. Karena ijin Freeport gagal kami peroleh, pendakian akan dimulai dari Sugapa sebab menurut informasi situasi di Ilaga kurang aman. Saya lanjutkan dengan pemilihan teman perjalanan yang akan mendukung pendakian. Pilihan pertama jatuh pada Fandhi Ahmad yang biasa dipanggil Agi, berusia 29 tahun, salah satu pemanjat tebing handal Mapala UI pada saat ini, telah lima kali mendaki Carstensz termasuk membuka jalur pendakian melalui Sugapa dan sering melakukan pendakian gunung bersama saya. Orang kedua Adiseno, berusia 54 tahun, salah satu pemanjat tebing handal Mapala UI pada masanya, anggota tim pendukung Kopasus pada pendakian ke Himalaya tahun 1997, menjabat sekretaris jendral FPTI (Federasi Pemanjat Tebing Indonesia) tahun 2004-2011, anggota kehormatan Wanadri, tiga kali mencapai puncak Cartenz dan bersama-sama saya mendaki gunung Binaiya pada tahun 2011. Meskipun berumur diatas 50 tahun, Adiseno masih sangat bugar dan memiliki keseimbangan baik yang diperlukan pada saat melintasi tebingtebing curam. Adiseno akan menjadi ‘teman jalan’ karena saya akan tertinggal oleh yang muda dan porter. Orang ketiga Ridwan Hakim mahasiswa berusia 21 tahun. Dilantik menjadi anggota Mapala UI pada tahun 2012 setelah melalui pelatihan akhir berupa perjalanan ke Gunung Masurai di Taman Nasional Kerinci Seblat selama sebelas hari dimana saya juga ikut. Ridwan adalah pemanjat tebing Mapala UI yang pada awal tahun ini bersama timnya menjadi 3
pendaki-pendaki pertama yang memanjat tebing vertical lebih dari 300 meter menuju puncak Trikora. Puncak Trikora 4730mdpl berada disebelah timur Carstensz dan disebelah barat Lembah Baliem, merupakan salah satu dari puncak di pegunungan Sudirman. Dengan tiga orang berpengalaman yang saya kenal baik, saya merasa mantap pendakian berat menuju puncak Cartenz akan berhasil. Selesai memilih teman seperjalanan, saya lanjutkan dengan latihan memanjat. Memang beberapa puluh tahun yang lalu saya pernah melakukan latihan itu, sayang sudah lama sekali tidak mempraktekkan dan telah melupakannya. Latihan pertama sangat menguras tenaga, dengan napas terengah-engah dan keringat bercucuran saya memerlukan waktu lebih dari satu jam hanya untuk naik sekitar sepuluh meter. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana saya harus memanjat beberapa ratus meter untuk mencapai puncak Carstensz. Beruntung saya dilatih oleh Agi dan Adiseno, pelatih-pelatih yang dengan sabar memberikan dorongan agar saya terus mencoba. Pada latihan yang keempat saya sanggup memanjat setinggi seratus meter dengan membawa ransel dipunggung. Latihan dilanjutkan dengan rapelling dan tyrolean, yang terasa mudah setelah saya mampu memanjat dengan jumar. Sugapa adalah ibukota kabupaten Intan Jaya, kabupaten baru yang merupakan pemecahan dari kabupaten Paniai. Kami hubungi teman-teman di Papua, mencari informasi mengenai situasi keamanan, maklum belakangan ini yang sering muncul di media mengenai Papua adalah berita penembakan yang memakan banyak korban baik aparat keamanan maupun penduduk sipil disekitar Freeport dan kabupaten Puncak Jaya. Informasi yang kami terima mengenai Sugapa adalah keadaan aman. Namun tiga minggu sebelum rencana keberangkatan, hampir saja kami membatalkan perjalanan karena mendapat berita Kantor Bupati dibakar habis oleh orang yang tidak puas oleh hasil pilkada beberapa bulan sebelumnya. Saya berhasil menghubungi aparat kabupaten Intan Jaya dan mendapatkan keterangan bahwa pendakian melalui Sugapa aman. Segera penerbangan Jakarta Nabire untuk empat orang kami konfirmasi. Sugapa, Kabupaten Intanjaya. Tanggal 8 Juli 2013, tibalah saat keberangkatan menuju Nabire dengan penerbangan pagi jam 00.30 seperti sebagian besar penerbangan dari Jakarta menuju Maluku atau Papua. Tujuan berikutnya adalah Sugapa ibukota Kabupaten Intan Jaya, hanya bisa dicapai oleh pengangkutan udara karena belum ada jalan darat. Penerbangan Nabire ke Sugapa dilayani dengan pesawat jenis Twin Otter berpenumpang 12 orang atau Pilatus Porter yang lebih kecil. Hari berikutnya sebelum jam 6.00 kami tiba di Bandara untuk melapor dan menimbang barang. Ongkos pesawat dikenakan berdasarkan berat badan penumpang maupun berat barang, dua puluh tiga ribu rupiah per kilogram. Berat badan kami berempat 289 kg ditambah barang 191 kg, total ongkos yang kami bayar untuk penerbangan selama 50 menit dengan pesawat Twin Otter Aviastar kira-kira sama dengan ongkos Jakarta Nabire. 4
Sugapa adalah kota kecil pada ketinggian 2100 mdpl yang hampir selalu ditutupi kabut, apabila kabut turun penerbangan dihentikan. Pagi itu cuaca cerah, pesawat mendarat dengan mulus di landasan pacu yang berujung jurang dalam. Kami keluar dari pesawat dan barangbarang diturunkan ke atas aspal di pinggir landasan pacu, tidak ada bangunan apapun disekitar bandar udara. Pengemudi ojek motor masuk ke landasan dan kami diantar menuju penginapan. Hari itu kami melapor ke Koramil maupun Polsek dan ke pasar untuk membeli sayuran dan bensin untuk logistik. Semua barang kebutuhan kecuali beberapa jenis sayuran didatangkan dengan pesawat terbang, oleh karena itu dibandingkan dengan harga di Nabire harga di Sugapa sangat mahal antara lain beras dalam karung 10kg empat ratus ribu rupiah. Agi menghubungi beberapa orang yang sudah dikenalnya untuk mendapatkan porter, empat orang pendaki membutuhkan delapan orang porter. Karena keterbatasan komunikasi, memilih porter menjadi perkerjaan yang tidak mudah selain kami harus memilih yang sehat dan kuat juga menyeimbangkan jumlah porter dari dua suku yang dominan di Sugapa yaitu Dani dan Moni. Apabila jumlah porter dari dua suku itu tidak seimbang, bisa dipastikan kami akan mendapatkan halangan dalam perjalanan pada saat melewati tanah dari suku yang merasa dirugikan. Sore hari kami mendapatkan delapan orang porter dipimpin oleh Darius Hondani yang pernah membantu Agi dalam pendakian sebelumnya. Kami mencatat nama-nama porter, hal ini penting karena sulit untuk mengenal porter yang sangat mirip satu dengan lainnya. Jalan naik turun, medan berlumpur dan sungai berarus deras. Tanggal 10 Juli pagi kami berangkat dari Sugapa menuju Swanggama, berjarak sekitar dua belas kilometer. Dua pertiganya dilalui dengan ojek motor, dilanjutkan jalan kaki melalui jalan desa yang cukup lebar melintasi ladang, honai (rumah bulat tanpa jendela terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang), gereja dan sekolah. Perjalanan hingga desa Swanggama kami lalui dengan santai tanpa kesulitan. Malam hari kami menginap dirumah kepala desa dan melakukan pengecekan akhir perlengkapan karena itulah desa terakhir selama dua minggu perjalanan. Keesokan pagi porter sudah menunggu untuk menyertai perjalanan kami, jumlahnya tiga belas orang lima diantaranya wanita. Kami terheran-heran karena kemarin kami hanya memesan 8 orang. Ternyata disana porter biasa mengajak keluarga baik anak atau istri untuk membagi beban atau sekedar ikut semacam tamasya keluarga. Meskipun yang akan dibayar tetap hanya yang namanya tercatat, namun mengajak tambahan orang bukan porter sesungguhnya sangat berisiko bagi para pendaki. Ada kemungkinkan keluarga yang ikut tidak cukup sehat untuk perjalanan jauh dan bila keluarga itu sakit atau meninggal, mereka akan menuntut ganti rugi meskipun keikut sertaannya bukan permintaan pendaki.
5
Tidak lama setelah meninggalkan Swanggama, jalan setapak menjadi sempit menerabas semak-semak menyusuri daerah aliran sungai Kemabu anak sungai Yabu kearah hulu. Sungai Kemabu berarus sangat deras, bila diukur dengan tingkat kesulitan arung jeram berada pada grade 5 sedangkan yang biasa dilalui untuk tamasya arung jeram yang saat ini populer adalah antara grade 2 dan 3. Kami masing-masing membawa ransel kecil dengan beban kurang dari 10 kilogram, perlengkapan lainnya dibawa porter yang berjalan didepan. Beberapa kali kami menyeberang sungai melintas jembatan berupa kayu bulat tanpa pegangan apapun. Bagi penduduk asli melintas jembatan itu sangat mudah, mereka berlari sambil membawa beban lebih dari 20 kg dalam noken yaitu tas tradisionil masyarakat Papua yang dibuat dari kulit kayu dan digantung didahi. Untuk memudahkan kami melintas, Darius Hondani membuat cerukan pada kayu bulat itu dengan kampak. Karena keseimbangan saya kurang memadai, Darius membimbing saya perlahan-lahan melewatinya. Dibeberapa tempat kami harus bergerak cepat melintas di tanah labil diatas sungai berarus deras jauh dibawah. Pada suatu tempat, saya bergerak kurang cepat dan tanah pelahan-lahan longsor kesungai, beruntung Darius dengan sigap mendatangi, menarik saya keluar dari tanah yang bergerak kebawah dan membawa saya ke tanah yang keras. Bulu kuduk saya merinding ketika mengamati tempat dimana saya hampir saja terperosok kesungai jauh dibawah. Diatas ketinggian 2500m tidak ada hutan lebat, yang kami lalui adalah hutan pakis dan pepohonan kecil. Curah hujan tinggi menjadikan jalan berlumpur. Berjam-jam kami melintasi jalan mendaki dan menurun penuh lumpur membenamkan kaki sebatas mata kaki hingga setinggi lutut yang membuat perjalanan sangat melelahkan. Sore hari kami tiba di ketinggian 3260mdpl, mendirikan satu tenda untuk kami berempat sedangkan para porter membuat honai darurat dibawah plastik besar yang kami beli di Sugapa dan menyalakan perapian dibawahnya. Selama empat hari berikutnya medan yang kami lalui mirip dengan hari pertama. Tanah lumpur yang membenamkan kaki, jalan naik turun dan memipir tebing curam dengan sungai jauh dibawah. Setelah lima hari perjalanan kami tiba di Nasidome (3726mdpl) dataran luas lebih tinggi dari puncak gunung Semeru. Hari keenam kami memasuki daerah batuan tanpa tumbuhan apapun dan jalan mendaki sangat curam. Melewati New Zealand Pass (4480mdpl) , nama yang diberikan oleh tim ekspedisi yang dipimpin oleh pendaki Austria Heinrich Harrer yang membuka jalur itu, berdasarkan asal negara dari salah satu pendaki, Philip Temple, pada tahun 1962. Setelah New Zealand Pass, jalan menurun dan kami tiba di Lembah Danau Danau (4261mdpl), perkemahan terakhir sebelum mendaki kepuncak. Porter membantu kami mendirikan tenda dan meletakkan seluruh perlengkapan dibawah bentangan plastik didekat tenda. Porter tidak ikut pada pendakian kepuncak, meninggalkan kami menuju goa disekitar pertambangan Freeport untuk beristirahat dan akan menjemput kami beberapa hari kemudian.
6
Pada hari ketujuh kami beristirahat untuk mengembalikan tenaga, cuaca cerah keadaan yang menurut catatan jarang terjadi di Lembah Danau Danau. Tampak dikejauhan timbunan sisa batuan yang dikeruk Freeport selama lebih dari 30 tahun, luasnya lebih besar dari Taman Nasional Gede Pangrango di Jawa Barat. Saya dan Adiseno istirahat dan melakukan olah raga kecil berjalan menuju Lembah Kuning dataran diatas Lembah Danau Danau sedangkan Agi dan Ridwan dua anak muda yang masih bugar, berangkat menuju puncak Sumantri. Setelah magrib kami masuk ke kantung tidur, beristirahat untuk perjalanan ke puncak besok pagi. Penuh kebahagian di puncak tertinggi Indonesia. Jam 2.00 pagi kami bersiap untuk summit attack. Beban ringan hanya makanan dan minuman siap saji untuk perjalanan lebih dari 18 jam, kamera, pakaian hangat beberapa lapis untuk menahan dingin dibawah nol derajat celcius dan peralatan panjat yang telah terpasang di badan. Memang tebing-tebing curam yang akan kami lalui masih agak jauh, namun memasang alat panjat disana dalam keadaan gelap dan suhu dibawah nol akan sangat merepotkan. Jam 3.00 kami berjalan dikegelapan malam meninggalkan Lembah Danau Danau dengan senter menyala dikepala, baju berlapis-lapis, telapak tangan dibungkus sarung tangan dan peralatan panjat yang membuat pergerakan kurang nyaman. Setelah dua jam berjalan, kami tiba tebing batu hanya biss dipanjat dengan peralatan. Adiseno dan Agi memeriksa kembali satu persatu peralatan kami untuk memastikan tidak ada salah pemasangan. Jumar kami jepitkan di tali yang sudah terpasang secara sambung menyambung sampai dipuncak oleh pendaki-pendaki terdahulu. Merupakan aturan tidak tertulis bagi setiap pendakian ke Cartenz agar membawa beberapa gulung tali baru untuk mengganti tali yang sudah aus. Pada perjalan ini kami membawa dua gulung tali baru masing-masing sepanjang 50 meter. Setelah peralatan terpasang dengan baik, mulailah kami merayap ditebing curam. Jalur yang kami lalui sangat tipis dengan jurang lebih dari duaratus meter di sisi kiri atau kanan. Pergerakan kami lambat karena setiap naik beberapa puluh meter saya istirahat kehabisan napas. Sekali-sekali saya memperhatikan teman-teman lain, mereka kelihatannya santai saja, saya berkata ‘memang umur tidak bisa bohong’. Agi sebagai pemimpin rombongan selalu berada paling depan untuk memastikan jalur yang kami akan lalui dan tali yang kami akan gunakan aman. Dibeberapa tempat yang agak landai kami bisa berjalan biasa dan mengganti jumar dengan karabiner, logam berbentuk hurup D dengan per pengait, dipasang ke tali untuk mengamankan bila kami terjatuh akan tergantung pada tali. Pada ketinggian 4800mdpl kami terhenti oleh jurang dengan kedalaman lebih dari duaratus meter dan lebar 30 meter. Agi mengatur, ia pertama akan menyeberang disusul oleh Adiseno, saya dan yang terakhir Ridwan. Urutan penyeberangan ini telah dipertimbangkan dengan baik, Ridwan dan Agi yang muda dan kuat dimasing-masing tepi jurang akan membantu saya atau
7
Adiseno apabila timbul masalah. Setelah memberikan penjelasan Agi menyeberang, memasang katrol dan satu per satu kami meluncur ditarik dari seberang. Kami melanjutkan perjalanan dibawah butiran salju halus yang perlahan turun dan hilang diserap batuan, suhu minus dua derajat celcius dan udara sangat tipis. Tanggal 17 Juli 2013 jam 14.15 tibalah kami dipuncak Carstensz Pyramid. Dipuncak yang luasnya kurang dari 5 meter persegi dikelilingi dengan tebing curam tidak ada salju sama sekali, hanya sampah plastik sisa pendakian berserakan. Jauh berbeda dengan catatan tahun 1936 dimana seluas 13 kilometer persegi puncak Carstensz ditutupi salju. Rupanya pemanasan global memang suatu kenyataan. Rasa haru dan bangga menyelimuti kami di puncak tertinggi Indonesia, Carstensz Pyramid. Setelah merayakan keberhasilan dengan fruit cocktail Delmonte dan berfoto kami segera kembali. Kembali ke Sugapa. Perjalanan kembali melalui jalur yang sama, tidak lebih mudah dari saat berangkat karena kami menggunakan tehnik rappling. Agi lebih dulu memulai rappling, dilanjutkan dengan yang lain satu persatu karena tali tidak untuk dibebani lebih dari satu orang. Hingga hari gelap kami masih melakukan rappling, dibantu senter kepala kami meluncur lebih banyak menggunakan perasaan daripada penglihatan. Bila melalui celah batu kami sulit mengkontrol badan untuk tidak membentur tebing, kepala yang terlindung helm berkali-kali membentur batu dan pakaian robek tersayat batu tajam. Jam 21.00 kami mengakhiri rappling dan melanjutkan perjalanan dengan jalan tertatih-tatih kepayahan, setiap berjalan sepuluh langkah saya istirahat Adiseno menunggu. Menjelang tengah malam kami tiba kembali di tenda dalam keadaan sangat lelah serta kedinginan setelah melakukan perjalanan selama 21 jam dalam suhu dibawah nol. Segera kami mengganti pakaian, makan makanan yang dipersiapkan Agi dan Ridwan yang lebih dulu tiba di tenda dan masuk ke kantung tidur. Setelah beristirahat satu hari, kami kembali ke Sugapa melalui jalur yang sama dengan jalur kedatangan. Kembali melintasi lumpur yang membenamkan kaki, jalan naik turun tidak berkesudahan, memipir tebing curam dengan sungai jauh dibawah dan jembatan kayu bulat diatas sungai berarus sangat deras. Pada hari ke 14 kami tiba di Sugapa dengan selamat, GPS mencatat kami telah menempuh perjalanan 132km dan heart rate monitor mencatat tubuh saya membakar 71.506 KCal. Puji Tuhan, diusia 63 tahun, Tuhan Yang Maha Kuasa menganugerahkan kepadaku badan sehat, kemauan dan semangat besar untuk menggerakkan anggota tubuh sehingga saya berhasil menyelesaikan Tujuh Puncak Indonesia. Jakarta, 19 Oktober.
Agam P. Napitupulu 8