PENGARUH PENGETAHUAN ANGGOTA DPRD TERHADAP PENGAWASAN APBD DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT, DAN TRANSPARANSI KEBIJAKAN PUBLIK SEBAGAI VARIABEL MODERASI (STUDI PADA DPRD KOTA TERNATE DAN DPRD KOTA TIDORE KEPULAUAN) PUBLIKASI ILMIAH Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat Magister (S2)
OLEH ABUBAKAR ASSAGAF NPM: 080111002
PROGRAM STUDI MANAJEMEN KONSENTRASI MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE 2015 i
PUBLIKASI ILMIAH
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat Magister (S2)
ABUBAKAR ASSAGAF Fakultas Ekonomi Universitas Khairun Dr. H. Abdul Hadi Sirat, SE.,MS Irfan Zam Zam, SE.,M.Sc.Ak Fakultas Ekonomi Universitas Khairun
PROGRAM STUDI MANAJEMEN KONSENTRASI MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH
PENGARUH PENGETAHUAN ANGGOTA DPRD TERHADAP PENGAWASAN APBD DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT, DAN TRANSPARANSI KEBIJAKAN PUBLIK SEBAGAI VARIABEL MODERASI (STUDI PADA DPRD KOTA TERNATE DAN DPRD KOTA TIDORE KEPULAUAN)
ii
PENGARUH PENGETAHUAN ANGGOTA DPRD TERHADAP PENGAWASAN APBD DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT, DAN TRANSPARANSI KEBIJAKAN PUBLIK SEBAGAI VARIABEL MODERASI (STUDI PADA DPRD KOTA TERNATE DAN DPRD KOTA TIDORE KEPULAUAN)
ABUBAKAR ASSAGAF Fakultas Ekonomi Universitas Khairun Dr. H. Abdul Hadi Sirat, SE.,MS Irfan Zam Zam, SE.,M.Sc.Ak Dr. Muchtar Adam, SE.,MM Dr. Muamil Sun’an, SE.,MP.M.AP Herman Darwis, SE.,M.SA.Ak. Fakultas Ekonomi Universitas Khairun
iii
ABSTRAK Abubakar Assagaf. 2014. pengaruh pengetahuan anggota DPRD terhadap pengawasan APBD dengan partisipasi masyarakat, dan transparansi kebijakan publik sebagai variabel moderasi (studi pada DPRD Kota yaitu Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan) dengan ketua komisi pembimbing Abdul Hadi Sirat dan anggota komisi pembimbing Irfan Zam Zam. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis besaran pengaruh variabel pengetahuan dewan tentang anggaran (X1) terhadap pengawasan keuangan daerah (Y) serta menguji faktor moderasi partisipasi masyarakat (X2) dan transparansi kebijakan publik (X3). Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 90 responden. Analisis data yang digunakan adalah analisis regresi sederhana untuk menguji hipotesis I, sedangkan pada hipotesis II dan III menggunakan analisis regresi moderasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengetahuan dewan tentang anggaran (X1) berpengaruh signifikan terhadap pengawasan keuangan daerah (Y). Hipotesis II menunjukan bahwa variabel pengetahuan dewan tentang anggaran (X1) dan partisipasi masyarakat (X2) memiliki hubungan negatif tidak signifikan, sementara variabel moderasi PD*PM memiliki hubungan positif namun tidak signifikan. Hipotesis III menunjukan bahwa variabel pengetahuan dewan (X1) tentang anggaran dan transparansi kebijakan publik (X3) memiliki hubungan positif namun tidak signifikan, sementara, variabel moderasi PD*TKP memiliki hubungan negatif tidak signifikan. Kata Kunci : pengetahuan dewan, partisipasi masyarakat, transparansi kebijakan publik, pengawasan keuangan daerah.
iv
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pembatasan kewenangan DPRD, dengan diterbitkannya UU 32/2004, maka fungsi DPRD sebagai bagian dari Pemerintahan daerah, yang menempatkan Kepala Daerah dan DPRD sebagai institusi yang sejajar dan seimbang, dalam kontek ini kewenangan DPRD semakin dibatasi, dalam kewenangan pengangkat kepala daerah, yang diserahkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan melalui Pilkada. Implikasi positif dari berlakunya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah yang berkaitan dengan kedudukan, fungsi dan hakhak DPRD diharapkan DPRD (yang selanjutnya disebut dewan) akan lebih aktif di dalam menangkap aspirasi yang berkembang di masyarakat, kemudian mengadopsinya dalam berbagai bentuk kebijakan publik di daerah bersama-sama Kepala Daerah (Bupati dan Walikota). Dampak lain yang kemudian muncul dalam rangka otonomi daerah adalah tuntutan terhadap pemerintah untuk menciptakan good governance sebagai prasyarat penyelenggaraan pemerintah dengan mengedapankan akuntanbilitas dan transparansi. Untuk mendukung akuntanbilitas dan transparansi diperlukan internal control dan eksternal control yang baik serta dapat dipertanggungjawabkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka peran dari dewan menjadi semakin meningkat dalam mengontrol kebijaksanaan pemerintah. Pengawasan keuangan daerah oleh DPRD harus sudah dilakukan sejak tahap perencanaan, tidak hanya pada tahap pelaksanaan dan pelaporan saja sebagaimana yang terjadi selama ini. Hal ini penting karena dalam era otonomi, DPRD memiliki wewenang untuk menentukan arah dan kebijakan APBD. Apabila DPRD lemah dalam tahap perencanaan (penentuan arah dan kebijakan umum APBD), maka dikhawatirkan pada tahap pelaksanaan akan mengalami banyak penyimpangan. Pramono (2002 dalam Pangesti, 2013:2) menyatakan bahwa pengawasan anggaran yang dilakukan oleh dewan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang dimiliki oleh dewan yang berpengaruh secara langsung terhadap pengawasan yang dilakukan oleh dewan, salah satunya adalah pengetahuan tentang anggaran. Sedangkan
faktor eksternal adalah pengaruh dari pihak luar terhadap fungsi pengawasan yang akan memperkuat atau memperlemah fungsi pengawasan yang dilakukan oleh dewan, diantaranya adalah akuntabilitas publik, partisipasi masyarakat, dan transparansi kebijakan publik. Faktor internal adalah faktor yang dimiliki oleh dewan yang berpengaruh secara langsung terhadap pengawasan yang dilakukan oleh dewan, salah satunya adalah pengetahuan tentang anggaran (Utami dan Syofyan, 2013:63-64). Pengetahuan anggota dewan tentang anggaran merupakan pengetahuan anggota DPRD mengenai pengelolaan dan prinsip-prinsip APBD mulai dari proses perencanaan, penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Pengalaman dan pengetahuan akan membantu seseorang dalam memecahkan persoalan yang dihadapinya sesuai dengan kedudukan anggota DPRD sebagai wakil rakyat. Pemahaman dan kemampuan yang dimiliki oleh anggota dewan dalam menyusun anggaran, serta deteksi terhadap pemborosan, kegagalan dan kebocoran anggaran merupakan pengetahuan yang dibutuhkan anggota dewan dalam melakukan pengawasan keuangan daerah, sehingga pengetahuan dewan tentang anggaran sangat mempengaruhi pengawasan keuangan daerah. Permasalahan pengetahuan anggota dewan dicermati pada keadaan yang terjadi saat ini dimana dalam pengawasan anggaran daerah (APBD) yang dijalankan oleh anggota dewan perwakilan hasil dari pemilihan langsung oleh masyarakat daerah kenyataannya justru kurang berjalan sesuai dengan harapan. Latar belakang anggota dewan yang dipilih masyarakat belum tentu memiliki pengetahuan mengenai tata pemerintahan yang baik, salah satunya pengetahuan tentang anggaran yang kurang memadai untuk menunjang pengawasan keuangan daerah, yang ditandai dengan kurang peka untuk mendeteksi pemborosan dan kebocoran anggaran. Namun, disisi lain pengetahuan anggota dewan tentang keuangan daerah untuk menjamin pengawasan keuangan daerah agar akuntabel dan memahami akan pentingnya aspirasi masyarakat masih perlu dipertanyakan. Penelitian Pramita dan Andriyani (2010), Darwis (2008), dan Coryanata (2007) 1
teknokratis, ’bottom-up’ dan ’top down’ dalam perencanaan pembangunan daerah. Permasalahan rendahnya tingkat partisipasi masyaraka dicermati pada satu sisi Pemerintah Daerah belum menemukan suatu metode yang dapat menjaring partisipasi publik secara efektif. Di sisi lain, sebagian masyarakat masih mempunyai anggapan bahwa APBD adalah persoalan elit yang tidak perlu diketahui masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, prinsip transparansi dalam pengelolaan APBD menjadi sebuah agenda yang harus terus dikembangkan guna membuka akses seluasluasnya bagi masyarakat. Keterbatasan Musrenbang untuk mempengaruhi alokasi anggaran masih terbatasi oleh efektifitas pelaksanaan Musrenbang yang kurang memadainya kualitas dan transparansi informasi yang disiapkan oleh pemerintah daerah bagi peserta Musrenbang; kurangnya keterwakilan stake-holders dalam proses penganggaran dimana proses ini lebih didominasi oleh eksekutif dan DPRD dengan pengaruh partai politik yang kuat dalam kebijakan anggaran; serta terbatasnya pemahaman organisasi masyarakat sipil tentang proses penganggaran dan hak-haknya untuk menyuarakan perspektifnya atas pembangunan daerah. (LGSP-USAID, 2007:5 dan LGSP-USAID, 2009:89). Penelitian Pramita dan Andriyani (2010), Darwis (2008), dan Coryanata (2007) membuktikan bahwa Partisipasi Masyarakat berpengaruh positif dan signifikan dapat meningkatkan pengaruh Pengetahuan Dewan tentang Anggaran terhadap Pengawasan APBD. Faktor eksternal yang berikut adalah transparansi kebijakan publik yang merupakan pelaksanaan tugas dan kegiatan yang bersifat terbuka bagi masyarakat dari proses kebijakan, perencanaan pelaksanaan dan pengawasan/pengendaliannya, serta mudah diakses oleh semua pihak yang membutuhkan informasi. Transparansi dapat diartikan sebagai pelaksanaan tugas dan kegiatan yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan. Infomasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil yang telah dicapai dapat diakses atau didapatkan oleh masyarakat dengan baik dan terbuka
membuktikan bahwa Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran berpengaruh positif signifikan terhadap Pengawasan Dewan Pada Keuangan Daerah (APBD). Faktor eksternal yang mempengaruhi pengawasan adalah pengaruh dari luar terhadap fungsi pengawasan diantaranya adalah partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik. Partisipasi adalah bahwa setiap orang atau warga masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintah Faktor ekternal pertama adalah aspek Partisipasi Masyarakat yang mengkaji tentang peran serta masyarakat dalam hal perencanaan dan pengawasan APBD sangat diperlukan untuk menentukan arah kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah daerah dalam mengelola APBD. Dengan melibatkan masyarakat dalam penyusunan APBD dapat dijadikan pertimbangan dalam penentuan alokasi anggaran yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan dalam hal pengawasan APBD, masyarakat dapat mengetahui secara jelas sejauh mana perkembangan dalam hal pelaksanaan APBD dan juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja dari pemerintah daerah dalam mengelola APBD. (Muniroh, dkk, 2013:3) Keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan pembangunan diatur secara bertahap sesuai dengan Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas. Kondisi ini menunjukkan bahwa proses penyusunan kebijakan pembangunan bersifat elitis, dalam arti pemerintahlah yang menjadi penentu kebijakan pembangunan, sedangkan masyarakat berperan memberikan masukan kepada pemerintah tentang apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Salah satu sarana yang disediakan oleh pemerintah kepada setiap masyarakat untuk berperan dalam perencanaan pembangunan daerah adalah melalui pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) pada berbagai tingkatan pemerintahan (UU 25/2004) untuk membuat perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan tahunan. Undang-undang tersebut juga menekankan tentang perlunya sinkronisasi lima pendekatan perencanaan yaitu pendekatan politik, partisipatif, 2
(Mardiasmo, 2002, dalam Utami dan Syofyan, 2013:65). Transparansi dapat diukur atas dasar arus informasi yang bebas di instansi pemerintah tersebut. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi harus dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. (Adrinal, 2007 dalam Utami dan Syofyan, 2013:65). Permasalahan buruknya transparansi kebijakan publik. Hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan, 4060 persen APBD terserap aksi korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan birokrat, legislatif, dan aparat keamanan. Bahkan, daerah pengelolaan APBD lebih rawan akibat makin renggangnya pengawasan dari pusat maupun dari masyarakat. Temuan lainnya, terdapat pengendapan dana daerah senilai Rp. 214.75 miliar pada 60 Pemerintah Daerah. Pada 77 Pemerintah Daerah juga terjadi pemborosan keuangan daerah Rp. 170.68 miliar. Pemborosan disebabkan belanja daerah yang digunakan untuk instansi vertikal, bantuan, honor, dan tunjangan kepada pimpinan dan anggota DPRD, pejabat negara, dan pejabat daerah. BPK juga menemukan 23 Pemerintah Daerah yang memiliki saham dan penyertaan modal pada bank dan perusahaan daerah senilai Rp. 1.17 triliun yang belum jelas status hukumnya serta tidak sesuai dengan perda. Penguasaan aset daerah dan penyertaan modal pemerintah desa pada 23 Pemerintah Daerah senilai Rp. 2.83 triliun juga dinyatakan tidak dapat ditelusuri. (LGSP-USAID, 2009:90) Penelitian Utami dan Syofyan (2012), Utomo (2011), Coryanata (2007), dan Rima (2006) membuktikan bahwa Transparansi Kebijakan Publik berpengaruh positif dan signifikan dapat meningkatkan pengaruh Pengetahuan Dewan tentang Anggaran terhadap Pengawasan APBD. Provinsi Maluku Utara memiliki 9 (sembilan) Pemerintah Daerah dengan institusi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah masingmasing yang terdiri dari 7 (tujuh) Pemerintah Kabupaten diantaranya adalah Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmaherah Tengah, Kabupaten Pulau Morotai, dan Kabupaten Kepulauan Sula, serta 2 (dua) Pemerintah Kota yang terdiri dari
Pemerintah Kota Ternate dan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan. Penelitan ini difokuskan pada DPRD pada Pemerintah Kota di Maluku Utara yakni Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan dengan mereplikasi hipotesis dan metode dari penelitian-penelitian terdahulu. Dalam penelitian-penelitian sebelumnya hanya menggunakan sampel anggota dewan, padahal dengan munculnya otonomi daerah menuntut adanya partisipasi masyarakat sehingga dalam penelitian ini menggunakan sampel anggota dewan dan masyarakat. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Darwis (2008). Perbedaan dari penelitian sebelumnya terletak pada unit analisis data dan sampel yang digunakan. 2. Rumusan Masalah Perumusan masalah dirujuk berdasarkan uraian pada latar belakang dengan substansi yang diajukan sebagai berikut: 1. Apakah pengetahuan dewan tentang anggaran berpengaruh terhadap pengawasan keuangan daerah (APBD). 2. Apakah partisipasi masyarakat akan mempengaruhi hubungan antara pengetahuan dewan tentang anggaran terhadap pengawasan keuangan daerah (APBD). Apakah transparansi kebijakan publik akan mempengaruhi hubungan antara pengetahuan dewan tentang anggaran terhadap pengawasan keuangan daerah (APBD)
3
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Pengetahuan DPRD Tentang Anggaran Pengetahuan dewan tentang anggaran dapat diartikan sebagai pengetahuan dewan pada mekanisme penyusunan anggaran mulai dari tahap perencanaan hingga tahap pertanggungjawaban serta pengetahuan dewan mengenai peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan keuangan daerah / APBD. Anggota dewan diharapkan mampu menjalankan tugasnya secara efektif serta menempatkan kedudukannya secara proporsional apabila setiap anggota mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai konsepsi teknis penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan publik dan lain sebagainya. Salah satunya adalah pengetahuan dewan tentang anggaran yang berkaitan erat dengan fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh anggota dewan (Yudono dalam Palupi, 2012:4). Halim (dalam Warimon et.al, 2007:6) mengartikan bahwa, pengetahuan sebagai kepandaian yaitu segala sesuatu yang diketahui, berkenaan dengan sesuatu yang dipelajari. Truman dalam Coryanata (2007) mengatakan pengalaman dan pengetahuan yang tinggi akan sangat membantu seseorang dalam memecahkan persoalan yang dihadapinya sesuai dengan kedudukan anggota DPRD sebagai wakil rakyat. Maka dapat disimpulkan bahwa pengertian pengetahuan anggota dewan tentang anggaran yaitu kemampuan dewan dalam mengetahui tentang anggaran dan hal menyusun anggaran (RAPBD/APBD), mendeteksi serta mengidentifikasi terhadap pemborosan, kegagalan atau kebocoran anggaran
kesimpulan bahwa pengawasan keuangan daerah dilakukan oleh DPRD yang berfokus kepada pengawasan terhadap pelaksanaan APBD. Pengawasan yang dilakukan oleh DPRD (pengawasan legislatif) bisa dilakukan secara preventif dan represif, serta secara langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan secara pribadi dengan cara mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri di tempat pekerjaan dan meminta secara langsung dari pelaksana dengan cara inspeksi. Sedangkan pengawasan tidak langsung dilkukan dengan cara mempelajari laporan yang diterima dari pelaksana. Pengawasan preventif dilakukan melalui preaudit yaitu sebelum pekerjaan dimulai. Pengawasan represif dilakukan melalui postaudit dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan di tempat (inspeksi). (Robinson, 2006 dalam Dewi, 2011:49).
3. Partisipasi Masyarakat Achmadi (dalam Pangesti, 2013:4) menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan kunci sukses dari pelaksanaan otonomi daerah karena dalam partisipasi menyangkut aspek pengawasan dan aspirasi. Pengawasan yang dimaksud di sini termasuk pengawasan terhadap pihak eksekutif melalui pihak legislatif. Peranan dewan dalam melakukan pengawasan keuangan daerah akan dipengaruhi oleh keterlibatan masyarakat dalam advokasi anggaran. Salah satu sarana yang disediakan oleh pemerintah kepada setiap masyarakat untuk berperan dalam perencanaan pembangunan daerah adalah melalui pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) berdasarkan Amanat UU No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang melembagakan Musrenbang di semua peringkat pemerintahan untuk membuat perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan tahunan. Undangundang tersebut juga menekankan tentang perlunya sinkronisasi lima pendekatan perencanaan yaitu pendekatan politik, partisipatif, teknokratis, ’bottom-up’ dan ’top down’ dalam perencanaan pembangunan daerah. Pelaksanaan Musrenbang yang berjenjang mulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi, hingga
2. Pengawasan Keuangan Daerah. Pengawasan keuangan daerah, dalam hal ini adalah pengawasan pelaksanaan APBD. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 42 ayat 1C menjelaskan bahwa "DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah". Berdasarkan dari Undang-undang tersebut dapat diambil 4
dibawa ke tingkat nasional merupakan kesempatan emas bagi masyarakat untuk dapat terlibat dalam perencanaan pembangunan. Peran lembaga daerah dalam hal ini pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk meningkatkan partisipasi masyarakat khususnya dalam forum Musrenbang mutlak diperlukan sebagai salah satu usaha menuju pemerintahan daerah yang lebih baik.
Negara pasal 1 ayat (8) adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang disetujui oleh dewan perwakilan rakyat daerah (Simson, dkk, 2007 dalam Utami dan Syofyan, 2013:66) Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut : “Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
4. Transparansi Kebijakan Publik Menurut Mardiasmo (dalam Utami dan Syofyan, 2013:70), transparansi adalah keterbukaan dalam proses penganggaran, penyusunan, dan pelaksanaan anggaran daerah. Transparansi memberikan arti bahwa anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses pemerintah dalam membuat kebijakankebijakan anggaran dan keuangan daerah karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhankebutuhan hidup masyarakat sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Simson, dkk, (dalam Utami dan Syofyan, 2013: 70-71) menguraikan bahwa prinsip transparansi memiliki 2 aspek, yaitu: 1). Komunikasi publik oleh pemerintah. 2). Hak masyarakat terhadap akses informasi. Keduanya akan sulit dilakukan jika pemerintah tidak menanggani dengan baik kinerjanya karena manajemen kinerja yang baik merupakan titik awal dari transparansi. Sedankan anggaran yang disusun oleh pihak eksekutif dikatakan transparansi jika memenuhi beberapa kriteria berikut, (1) Terdapat pengumuman kebijakan anggaran, (2) Tersedia dokumen anggaran dan mudah diakses, (3) Tersedia laporan pertanggungjawaban yang tepat waktu, (4) Terakomodasinya suara/usulan rakyat. Dan (5) Terdapat sistem pemberian informasi kepada publik.
6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 pasal 1 butir 8 tentang Keuangan Negara). APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah dan semua belanja daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.
B. Kerangka Konseptual 1. Teori Keagenan (Agency theory) Teori keagenan merupakan salah satu dasar dalam ilmu anggaran dan akuntansi. hubungan eksekutif dan legislatif yang pada gilirannya dengan teori keagenan. Analisis hubungan dan masalah keagenan di Pemerintahan Daerah tidak pelak lagi merupakan sebuah peluang penelitian masalah anggaran dan akuntansi. Ide-ide penelitian di bidang ini dapat mencakup dari keakurasian anggaran hingga pada analisis angka-angka
5. Keuangan Daerah Dalam pasal 1 Undang-undang (UU) No. 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara menjelaskan, bahwa keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dijadikan milik Negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengertian APBD dalam konteks UU keuangan 5
laporan keuangan Pemerintah Daerah. Teori Keagenan (Agensi Theory) merupakan konsep yang menjelaskan hubungan kontraktual antara principals dan agents. Pihak principals adalah pihak yang memberikan mandat kepada pihak lain, yaitu agent, untuk melakukan semua kegiatan atas nama principals dalam kapasitasnya sebagai pengambil keputusan (Jensen dan Smith, 1984), dalam hal ini lembaga Eksekutif dan Legeslatif. Hubungan dan masalah keagenan dalam penganggaran antara eksekutif dan legislatif merupakan bagian tak terpisahkan dalam penelitian keuangan (termasuk akuntansi) publik, politik penganggaran, dan ekonomika publik. Eksekutif merupakan agen bagi legislatif dan publik (dual accountability) dan legislatif agen bagi publik. Konsep perwakilan (representativeness) dalam penganggaran tidak sepenuhnya berjalan ketika kepentingan publik tidak terbela seluruhnya oleh karena adanya perilaku oportunistik (moral hazard) legislatif. Di sisi lain, eksekutif sebagai agen cenderung menjadi budget maximizer karena berperilaku oportunistik (adverse selecation dan moral hazard sekaligus). Hal ini jelas sebuah peluang penelitian di bidang anggaran dan akuntansi.
hubungan partisipasi penyusunan anggaran dan kinerja aparat pemerintah tergantung pada faktor-faktor situasional atau lebih dikenal dengan variabel kontingensi (contingency variable). Pendekatan kontingensi menyebabkan adanya variabel-variabel lain yang bertindak sebagai variabel moderating. 3. Penganggaran Penganggaran sebagai proses penyusunan penganggaran disektor pemerintahan merupakan suatu proses yang kompleks dan panjang serta tidak dapat dilepaskan dari sector politis. Kompleksitas disebabkan dari belum adanya kesempatan yang dapat diterima dari semua pihak tentang bagaimana pengalokasian sumber dana pemerintah secara tertib. Penganggaran dalam tahapan pelaksanaannya merupakan rencana keuangan periodik yang disusun berdasarkan program yang telah disahkan dan merupakan rencana tertulis mengenai kegiatan suatu organisasi yang dinyatakan secara kuantitatif dan umumnya dinyatakan dalam rencana kerja yang dinilai dari satuan moneter untuk jangka waktu tertentu. 4. Efisiensi Anggaran Belanja Daerah Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan jaminan sosial dengan mempertimbangkan analisis standar belanja, standar harga, tolak ukur kinerja dan standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU 32/2004). Kewajiban daerah tersebut tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa satu tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
2.
Teori Kontigensi (Contigency Theory) Teori Kontigensi dapat digunakan untuk menganalisis desain dan sistem akuntansi manajemen untuk memberikan informasi yang dapat digunakan suatu lembaga untuk berbagai macam tujuan (Otley, 1980). Dalam partisipasi penyusunan anggaran, penggunaan teori kontijensi telah lama menjadi perhatian para peneliti. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka sebuah teori kontijensi dalam pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja aparat pemerintah daerah. Para peneliti di bidang keuangan menggunakan teori kontijensi saat menghubungkan pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja aparat pemerintah daerah. Pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja aparat pemerintah daerah mempunyai faktor-faktor kontijensi. Beberapa penelitian mengenai hubungan antara partisipasi penyusunan anggaran dengan kinerja aparat pemerintah menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Indriantoro (1993) dan Purwanto (2009) menemukan hubungan positif dan signifikan antara partisipasi penyusunan anggaran dan kinerja aparat pemerintah. Hal ini terjadi karena
C. Kerangka Pemikiran Teori aplikasi dalam penelitian ini adalah anggaran, dimana merupakan satuan nilai rupiah yang dialokasikan dalam setiap kegiatan pada unit kerja pemerintahan baik pemerintah pusat maupun daerah yang merupakan suatu alat transaksi pelaksaaan 6
pekerjaan keuangan yang pada satu pihak mengandung jumlah pengeluaran yang setinggi-tingginya yang mungkin diperlukan untuk membiayai kepentingan Negara pada satu masa depan, dan pada pihak lain perkiraan pendapatan (penerimaan) yang mungkin diterima dalam masa tertentu.
Sopanah dan Mardiasmo (2003. dalam Novietta, 2010:38) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat merupakan kunci sukses pelaksanaan otonomi daerah, terutama menyangkut aspek pengawasan dan aspirasi kepada pihak eksekutif. Peranan legislatif dalam melakukan pengawasan keuangan daerah akan dipengaruhi oleh partisipasi masyarakat mengenai kebutuhan pembangunan, anggaran yang direncanakan serta realisasi anggaran yang dialokasikan, sehingga diharapkan partisipasi masyarakat dapat menambah pengetahuan dan meningkatkan fungsi pengawasan oleh anggota DPRD.
1. Hubungan Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran dengan Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) Menurut Yudoyono (2002. dalam Utami dan Syofyan, 2013:71) menjelaskan bahwa pelaksanaan fungsi-fungsi beserta hak, tugas, dan wewenang DPRD secara efektif hanya mungkin dilakukan oleh para anggota yang memiliki kualitas yang tinggi, anggota dewan tersebut harus memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan substansi bidang tugas lembaga legislatif yang menjadi tanggung jawabnya. Pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan yang tepat sangat tergantung pada pengetahuan dan kecakapan anggota DPRD. Jika setiap anggota mempunyai pengetahuan yang cukup dalam hal konsep teknis penyelengaraan pemerintahan, kebijakan publik, maka dengan menguasai pengetahuan tentang anggaran diharapkan anggota dewan dapat mendeteksi adanya pemborosan dan kebocoran anggaran.
3. Pengaruh Transparansi Kebijakan Publik dalam Hubungan Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran dengan Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) Prinsip manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah antara lain akuntabilitas, value for money, kejujuran dalam mengelola keuangan publik, transparansi dan pengendalian. Transparansi merupakan keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. (Mardiasmo 2002 dalam Utami dan Syofyan, 2013:72). Transparansi keuangan daerah diperlukan oleh anggota dewan untuk dapat mengestimasi anggaran pada tahun berikutnya. Jika aspek transparansi kebijakan publik dapat diakses oleh masyarakat atau pihak-pihak yang berkepentingan maka dapat diawasi oleh semua pihak untuk mengantisipasi tindakan penyalahgunaan, kebocoran, atau pemborosan anggaran.
2. Pengaruh Partisipasi Masyarakat dalam Hubungan Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran dengan Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) Dalam menjalankan otonomi daerah, Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya dituntut untuk mampu mengakomodir penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang menjadi kewenangannya. Tindakan untuk mengantisipasi adanya perubahan lingkungan, maka Pemerintah Daerah perlu melakukan penjaringan aspirasi masyarakat untuk mengidentifikasi perkembangan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Penjaringan masyarakat ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan terlibat dalam proses penganggaran daerah. Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam keseluruhan siklus penyusunan, pelaporan dan pengawasan anggaran, diharapakan akan tercipta akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan anggaran daerah tersebut. 7
Grand Theory Teori Keagenan
Middle Theory Teori Kontigensi
Application Thery (Penganggaran)
Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran (X1)
H1 Partisipasi Masyarakat (X2)
H2
H3
Transparanasi Kebijakan Publik (X3)
Pengawasan Keuangan Daerah
D. Hipotesis Hipotesis yang akan diuji kebenarannya dengan mendasarkan pada kerangaka pemikiran diajukan sebagai berikut : 1. Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran berpengaruh terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD). 2. Partisipasi Masyarakat mempengaruhi hubungan antara Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran Terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD). Transparansi Kebijakan Publik mempengaruhi hubungan antara Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD).
8
METODE PENELITIAN
Jumlah sampel yang diambil dari anggota DPRD sebanyak 45 orang dan masyarakat yang diambil adalah 45 responden, dengan pertimbangan populasi sampel masyarakat tidak dapat teridentifikasi sehingga besaran sampel masyarakat disesuaikan dengan jumlah sampel anggota DPRD dikarenakan anggota DPRD juga merupakan bagian dari masyrakat.
Lokasi penelitian dilakukan pada Kantor DPRD Kota Ternate dan Kantor DPRD Kota Tidore Kepulauan, penentuan lokasi penelitian dengan pertimbangan kemudahan faktor jarak dan biaya dalam mengakses informasi yang diperlukan. Waktu penelitian yang diperlukan adalah 8 (Delapan) bulan, yakni bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2013. Jenis sumber data yang digunakan yaitu data primer yang diperoleh dari responden yang diamati dan diteliti secara langsung, dengan mengadakan pengumpulan data sesuai sampel yang telah ditentukan. Adapun data primer dalam penelitian ini adalah data yang dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner kepada pegawai yang telah dibuat dan disusun dalam bentuk pertanyaan yang berisi rangkaian pertanyaan yang menjadi dasar dari metode ini adalah self report dari subyeknya untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan teknik kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam laporan tentang pribadinya dan tupoksinya serta hal-hal lain yang diperlukan.
2. Metode Analisis Setelah data dikumpulkan dan diuji validitas dan reliabilitas, maka selanjutnya dilakukan pengujian yang berhubungan dengan model statistik yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis. Alat analisis untuk menguji hipotesis- hipotesis tersebut digunakan adalah analisis regresi sederhana dan regresi moderasi (moderate regression analisys). Pengolahan data dilakukan dengan SPSS versi 22 for windows. Pengujian hipotesis dilakukan setelah model regresi moderating yang digunakan bebas dari pelanggaran asumsi klasik, agar hasil pengujian dapat diinterprestasikan dengan tepat. 1. Persamaan regresi moderating disajikan sebagai berikut: Untuk menguji hipotesis 1 (H1) Y = α + β1X1………….(1) Dimana: Y = Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) α = Konstanta X1 = Pengetahuan dewan tentang anggaran
1.
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota Dewan Kota Ternate dan periode 2009-2014, seluruh anggota Dewan Kota Tidore Kepulauan periode 2009-2014, serta masyarakat non legislatif / eksekutif. Penelitian ini menggunakan 2 (dua) subyek sampel penelitian, yakni anggota DPRD Kota Ternate dengan populasi diketahui sebanyak 25 orang, yang terdiri dari 1 orang Ketua, 2 orang Wakil Ketua serta 22 Anggota Dewan dan juga anggota DPRD Kota Tidore Kepulauan dengan populasi diketahui sebanyak 20 orang, yang terdiri dari 1 orang Ketua, 2 orang Wakil Ketua serta 17 Anggota Dewan, keseluruhan anggota dewan kota sebanyak 45 orang menjadi sampel penelitian. Sedangkan, proporsi sampel masyarakat disesuaikan dengan jumlah sampel anggota DPRD Kota, dan disesuaikan dengan porsi keterlibatannya dalam berpatisipasi mengawasi kinerja pemerintah daerah, seperti akademisi, aktivis LSM, organisasi massa, Lurah Desa dan lain-lain.
2. Untuk menguji hipotesis 2 (H2) Y = α + β1X1 + β2X2 + β4 X1.X2 + e.(2) Dimana: Y = Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) α = Konstanta X1 = Pengetahuan dewan tentang anggaran X2 = Partisipasi masyarakat X1. X2, = Interaksi antara X1 dan X2 β1, β2, β4 = Koefisien Regresi e = Residual (variabel pengganggu) 3. Untuk menguji hipotesis 3 (H3) Y = α + β1X1 + βX3 + β5 X1.X3 + e….(3) Dimana: Y = Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) X1 = Pengetahuan dewan tentang anggaran X3 = Transparansi kebijakan publik X1. X3 = Interaksi antara X1 dan X3 9
β1, β3, β5 = Koefisien Regresi e = Residual (variabel pengganggu) Perhitungan nilai residual bertujuan untuk memeriksa apakah model regresi memiliki distribusi normal atau tidak, maksud data terdistribusi secara normal adalah bahwa data akan mengikuti bentuk distribusi normal, dimana data memusat pada nilai rata-rata dan median. Perhitungan nilai residual estimasi OSL dari koefisien regresi dianalisis dengan pengujian asumsi klasik.
Model regresi yang baik adalah homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas (Santosa dan Ashari, 2005:242). Cara mendeteksinya adalah dengan cara melihat grafik plot antar nilai prediksi variabel terikat (Zpred) dengan residualnya (Sresid). Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antar Sresid dan Zpred, dimana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi dan sumbu X adalah residual (Ypred = Ysesungguhnya) yang telah distudentized analisisnya: 3. Uji Normalitas Pembuktian apakah suatu data memiliki distribusi normal dapat dilihat pada bentuk distribusi datanya pada histogram maupun normal probability plot dengan menggunakan aplikasi program SPSS. Pada histogram, data dikatakan distribusi normal jika data tersebut berbentuk seperti lonceng. Sedangkan pada normal probability plot, data dikatakan normal jika ada penyebaran titik-titik disekitar garis diagonal dan penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Jika data menyebar disekitar garis normal dan mengikuti arah garis normal maka model regresi memenuhi asumsi normalitas (Santosa dan Ashari, 2005:231) 4). Uji Autokorelasi
3.
Teknik Pengolahan Data Proses pengolahan data primer untuk dikuantitatifkan sebagai bahan dasar dalam pembuktian hipotesis digunakan aplikasi program software SPSS 22. Pengolahan data yang mengukur instrument akan melalui pengujian-pengujian sebagai berikut : 3.1. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Instrumen Uji validitas menggunakan Comfirmatory Factor Analysis (CFA) untuk mengestimasi parameter dan menguji hipotesis tentang sejumlah faktor yang mendasari hubungan di antara suatu set indikator sebagai kombinasi linear sejumlah faktor, sedemikian hingga sejumlah faktor tersebut mampu menjelaskan sebesar mungkin keragaman data yang dijelaskan oleh variabel asal. Instrumen kuisioner memiliki discriminant validity jika item pengukuran memiliki factor loading yang tinggi terhadap konstruk minimal 0,40. Uji Reliabilitas digunakan rumus koefisien alpha cronbach dengan kesimpulan hasil uji reliabilitas dapat dilihat dalam tabel berikut:
Untuk mendeteksi adanya masalah autokorelasi akan dilihat dari indikator Durbin Watson. Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah ada korelasi antar variabel bebas yang diteliti, artinya pada persamaan regresi diasumsikan bahwa residual dalam suatu periode merupakan variabel random yang independen (tidak berkorelasi) dengan residual periode lain. Penentuan ada tidaknya autokorelasi dapat dilihat dalam tabel berikut:
3.2. Pengujian Asumsi Klasik Uji ini dilakukan untuk mengetahui bahwa data yang diolah adalah sah (tidak terdapat penyimpangan), maka data tersebut akan diisi melalui uji asumsi klasik, yaitu:
3.3. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotetsis digunakan analisis uji F yang dirujuk dari Hasan (2003:177-178); dan Prayitno (2008:81) bahwa pengujian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa tepat model penelitian dalam mengindikasikan suatu pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel terikat, dengan perumusan formulasi: H0 : b1, b2, b3 ≤ 0, Tidak ada pengaruh yang signifikan dari model penelitian variabel bebas (X1), dan variabel moderat (X2), serta (X3) terhadap variabel terikat Y.
1. Uji Multikolinieritas Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinieritas dalam model regresi adalah dengan melihat nilai VIF (Variance Inflation Factor) dan Tolerance, serta menganalisis matrix korelasi variabel-variabel bebas. Apabila nilai Tolerance > 0,10 serta nilai VIF < 10 maka dapat disimpulkan tidak terjadi multikoleniaritas antara variabel bebas dalam model regresi (Ghozali, 2006:95-96). 2. Uji Heteroskedastisitas 10
merupakan data primer yang bertipe ordinal sedangkan pengukuran variabel digunakan skala likert dengan memberikan 5 (lima) skor poin pada tiap pernyataan. Instrumen kuisioner merujuk pada instrumen yang digunakan oleh Pramita dan Andriyani (2010)
H1 : b1, b2, b3 > 0, Ada pengaruh yang signifikan dari model penelitian variabel bebas (X1) dan variabel moderat (X2) dan (X3) terhadap variabel terikat Y. Pengujian dilakukan searah dan menentukan sig. α = 0,05. Nilai Ftabel = df : α, (n-k-1), dengan kesimpulan hasil : Jika nilai Fhitung ≤ Ftabel, Ho diterima dan menolak H1 Artinya tidak ada pengaruh yang signifikan dari model penelitian antara variabel bebas (X1) dan variabel moderat (X2) serta (X3) terhadap variabel terikat (Y). Jika nilai Fhitung > Ftabel, Ho ditolak dan menerima H1 Artinya terdapat pengaruh yang signifikan dari model penelitian antara variabel bebas (X1), dan variabel moderat (X2) serta (X3) terhadap variabel terikat (Y).
3.
4. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ini merupakan penelitian replikasi dari hipotesis penelitian terdahulu sebagaimana telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya, dan dijabarkan sebagai berikut: 1. Pengetahuan anggota dewan tentang anggaran disimpulkan merupakan kemampuan dewan dalam mengetahui tentang anggaran dan dalam hal menyusun anggaran (RAPBD/APBD), mendeteksi serta mengidentifikasi terhadap pemborosan, kegagalan atau kebocoran anggaran. Instrumen operasionalisasi variabel pengetahuan anggota dewan tentang anggaran merupakan data primer yang bertipe ordinal sedangkan pengukuran variabel digunakan skala likert dengan memberikan 5 (lima) skor poin pada tiap pernyataan kuisioner yang diajukan. Instrumen kuisioner merujuk pada instrumen yang digunakan oleh Pramita dan Andriyani (2010) 2.
Transparansi kebijakan publik didimpulkan merupakan keterbukaan dalam melaksanakan suatu proses kegiatan dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Instrumen operasionalisasi variabel transparansi kebijakan publik merupakan data primer yang bertipe ordinal sedangkan pengukuran variabel digunakan skala likert dengan memberikan 5 (lima) skor poin pada tiap pernyataan kuisioner yang diajukan. Instrumen kuisioner merujuk pada instrumen yang digunakan oleh Pramita dan Andriyani (2010)
4. Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) adalah segala kegiatan untuk menjamin agar pengumpulan pendapatan-pendapatan daerah, dan pembelanjaan pengeluranpengeluaran daerah berjalan sesuai dengan rencana, aturan-aturan dan tujuan yang telah ditetapkan. Instrumen operasionalisasi variabel transparansi kebijakan publik merupakan data primer yang bertipe ordinal sedangkan pengukuran variabel digunakan skala likert dengan memberikan 5 (lima) skor poin pada tiap pernyataan kuisioner yang diajukan. Instrumen kuisioner merujuk pada instrumen yang digunakan oleh Pramita dan Andriyani (2010)
Partisipasi masyarakat disimpulkan sebagai proses yang melibatkan masyarakat umum dalam pengambilan keputusan, perumusan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pembinaan masyarakat. Instrumen operasionalisasi variabel partisipasi masyarakat 11
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pemerintahan Kota Ternate dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor : 11 Tahun 1999 tentang pembentukan Kotamadya Ternate, sementara Pemerintahan Kota Tidore Kepulauan merupakan daerah pemekaran berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, Dan Kota Tidore Kepulauan Di Provinsi Maluku Utara. Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan telah mengalami peningkatan status yang dulunya Kota Administratif menjadi Kotamadya. Peningkatan status ini tidak terlepas dari perkembangan daerah ini dari berbagai aspek terutama aspek sosial kemasyarakatan dan aspek perkembangan perekonomian. Dinamika pembangunan yang terjadi akibat pelaksanaan secara sinergis antara Pemerintah daerah dan masyarakat telah membawa dampak perubahan yang ditandai perkembangan dan kemajuan di berbagai bidang. Dengan memperhatikan aspirasi masyarakat yang berkembang disamping pertimbangan rentang kendali pemerintahan, maka wilayah tertentu dimana perkembangannya dipandang memungkinkan untuk ditingkatkan status administrasinya. Sebagaimana dengan daerah lainnya yang mengalami pemekaran. Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan juga memiliki dewan permakilan rakyat daerah untuk meyalurkan aspirasi masyarakat pada tingkat wilayah Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan. DPRD Kota Ternate dengan populasi diketahui sebanyak 25 orang, yang terdiri dari 1 orang Ketua, 2 orang Wakil Ketua serta 22 Anggota Dewan dan anggota DPRD Kota Tidore Kepulauan dengan populasi diketahui sebanyak 20 orang, yang terdiri dari 1 orang Ketua, 2 orang Wakil Ketua serta 17 Anggota Dewan. Tabel berikut menujukan komposisi Komisi DPRD Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan.
pernyataan terkait variabel penelitian, seperti jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, atau pengalaman kerja. Perbedaan jenis kelamin dapat menjadi pembeda bagi seseorang dalam segi pola pikir. Perbedaan kondisi responden seperti usia dapat memberikan perbedaan perilaku seseorang dalam merespon mencermati keadaan. Tingkat pendidikan responden berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh responden dalam mengemukakan pendapat dan pengambilan keputusan. Tingkat pengalaman responden juga berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh responden dalam memahami cara kerja, budaya, serta permasalahan yang berkaitan dengan instansi. Tingkat pengalaman kerja seseorang juga akan mempengaruhi cara pandang dan berfikir seseorang dalam mengatasi keadaan. Jumlah responden 90 orang yang terdiri dari 45 anggota DPRD Kota Ternate dan DPRD Kota Tidore Kepulauan atau 50% dari total responden serta 45 orang masyarakat non legislatif / eksekutif atau 50% dari total responden. 2.1. Karateristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin menunjukan bahwa sampel responden anggota DPRD dengan jenis kelamin pria sebanyak 38 orang atau sebesar 84,4% dan responden anggota DPRD berjenis kelamin wanita sebanyak 7 orang atau sebesar 15,6%. Sedangkan pada sampel responden masyarakat dengan jenis kelamin pria sebanyak 24 orang atau 53,3% dan responden masyarakat berjenis kelamin wanita sebanyak 21 orang atau 46,7%. 2.2. Karateristik Responden Berdasarkan Usia Karakteristik responden berdasarkan usia menunjukan bahwa sampel responden anggota DPRD dengan usia antara 31 tahun sampai 40 tahun sebanyak 30 orang atau sebesar 66,7%; responden anggota DPRD dengan usia antara 41 sampai 50 tahun sebanyak 14 orang atau sebesar 31,1%; responden anggota DPRD dengan usia diatas 51 tahun sebanyak 1 orang atau sebesar 2,2%. Sedangkan pada sampel responden masyarakat dengan usia antara 31 tahun sampai 40 tahun sebanyak 27 orang atau sebesar 60,0%; responden masyarakat dengan
2. Deskripsi Responden Deskripsi responden merupakan penyajian karakteristik responden yang menjadi sampel. Karakteristik responden menunjukan kerandoman persepsi dan pemikiran dalam menjawab pertanyaan atau menyatakan 12
2.5. Karateristik Responden Berdasarkan Pengalaman Pelatihan Karakteristik responden berdasarkan pengalaman pelatihan menunjukan bahwa sampel responden anggota DPRD dengan pengalaman pernah mengikuti pelatihan 1 kali sebanyak 3 orang atau sebesar 6,7%; responden anggota DPRD dengan pengalaman pernah mengikuti pelatihan 2 sampai 3 kali sebanyak 31 orang atau sebesar 68,9%; responden anggota DPRD dengan pengalaman pernah mengikuti pelatihan lebih dari 4 kali sebanyak 32 orang atau sebesar 71,1%.; dan responden anggota DPRD dengan pendidikan S2 sebanyak 11 orang atau sebesar 24,4%.; Sedangkan pada sampel responden masyarakat yang belum pernah mengikuti pelatihan keuangan sebanyak 6 orang atau sebesar 13,3%; responden masyarakat dengan dengan pengalaman pernah mengikuti pelatihan 2 sampai 3 kali sebanyak 18 orang atau sebesar 40%; responden masyarakat dengan pengalaman pernah mengikuti pelatihan lebih dari empat kali sebanyak 21 orang atau sebesar 46,7%..
usia antara 41 sampai 50 tahun sebanyak 14 orang atau sebesar 31,1%; responden masyarakat dengan usia diatas 51 tahun sebanyak 4 orang atau sebesar 8,9%; 2.3. Karateristik Responden Berdasarkan Pendidikan Karakteristik responden berdasarkan pendidikan menunjukan bahwa sampel responden anggota DPRD dengan pendidikan SMA sebanyak 1 orang atau sebesar 2,2%; responden anggota DPRD dengan pendidikan D1/D2/D3 sebanyak 4 orang atau sebesar 8,9%; responden anggota DPRD dengan pendidikan S1 sebanyak 32 orang atau sebesar 71,1%.; dan responden anggota DPRD dengan pendidikan S2 sebanyak 8 orang atau sebesar 17,8%.; Sedangkan pada sampel responden masyarakat dengan pendidikan SMA sebanyak 9 orang atau sebesar 20%; responden masyarakat dengan pendidikan D1/D2/D3 sebanyak 6 orang atau sebesar 13,3%; responden masyarakat dengan pendidikan S1 sebanyak 29 orang atau sebesar 64,4%.; dan responden masyarakat dengan pendidikan S2 sebanyak 1 orang atau sebesar 2,2%..
2.6. Karateristik Responden Berdasarkan Pengalaman Politik Karakteristik responden berdasarkan pengalaman politik menunjukan bahwa sampel responden anggota DPRD dengan pengalaman politik dibawah 2 tahun sebanyak 2 orang atau sebesar 4,4%; responden anggota DPRD dengan pengalaman politik 3 sampai 5 tahun sebanyak 23 orang atau sebesar 51,1%; responden anggota DPRD dengan pengalaman politik lebih dari 6 tahun sebanyak 20 orang atau sebesar 44,4%.; Sedangkan pada sampel responden masyarakat yang belum berpengalama politik sebanyak 24 orang atau sebesar 53,3%; responden masyarakat dengan dengan pengalaman politik 3 sampai 5 tahun sebanyak 4 orang atau sebesar 8,9%; responden masyarakat dengan pengalaman politik lebih dari enam tahun sebanyak 15 orang atau sebesar 33,3%..
2.4. Karateristik Responden Berdasarkan Pengalaman Pelatihan Karakteristik responden berdasarkan pengalaman pelatihan menunjukan bahwa sampel responden anggota DPRD dengan pengalaman pernah mengikuti pelatihan 1 kali sebanyak 3 orang atau sebesar 6,7%; responden anggota DPRD dengan pengalaman pernah mengikuti pelatihan 2 sampai 3 kali sebanyak 31 orang atau sebesar 68,9%; responden anggota DPRD dengan pengalaman pernah mengikuti pelatihan lebih dari 4 kali sebanyak 32 orang atau sebesar 71,1%.; dan responden anggota DPRD dengan pendidikan S2 sebanyak 11 orang atau sebesar 24,4%.; Sedangkan pada sampel responden masyarakat yang belum pernah mengikuti pelatihan keuangan sebanyak 6 orang atau sebesar 13,3%; responden masyarakat dengan dengan pengalaman pernah mengikuti pelatihan 2 sampai 3 kali sebanyak 18 orang atau sebesar 40%; responden masyarakat dengan pengalaman pernah mengikuti pelatihan lebih dari empat kali sebanyak 21 orang atau sebesar 46,7%..
2.7. Karateristik Responden Berdasarkan Pengalaman menjadi anggota DPRD Karakteristik responden berdasarkan pengalaman menjadi anggota DPRD menunjukan bahwa sampel responden anggota DPRD dengan pengalaman menjadi anggota DPRD selama 1 periode sebanyak 36 orang atau sebesar 80%; responden anggota DPRD 13
dengan pengalaman menjadi anggota DPRD selama 2 periode sebanyak 9 orang atau sebesar 20%; Sedangkan pada sampel responden masyarakat seluruhnya belum pernah menjadi anggota DPRD.
variabel tersebut dapat digunakan sebagai variabel yang saling independen. 2). Uji Heteroskedastisitas Hasil pengujian heteroskedastisitas yang digunakan adalah grafik scatterplot dari pada pengujian regresi moderating berganda (lihat lampiran V regresi moderating berganda). Dari grafik Scatterplot di atas dapat dilihat bahwa tidak terdapat pola yang jelas pada titiktitik data dan cenderung tersebar mengumpul pada nilai di atas -2 hingga nilai 2 di bawah diantara nilai 0 (nol) pada sumbu y, maka dapat dikatakan tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi yang digunakan.
3. Teknik Analisis Data 3.1. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Berdasarkan Pengujian validitas CFA di atas, nilai KMO Sampling Adequancy tiap variabel di atas 0,5 pada tingkat signifikansi 0,000. Asumsi konstruk instrumen dapat loading pada 4 komponen variabel yang diteliti dengan nilai minimal factor loading 0,40, sehingga dapat dinyatakan valid. Variabel Partisipasi Masyarakat pada pengujian awal memiliki nilai KMO 0,476 lebih kecil dari batas nilai KMO Sampling Adequancy dan terdapat 2 item yang memiliki nilai loading lebih kecil dari nilai factor loading, yakni item X2.2 dan X2.5 sehingga item tersebut dibuang dan dilakukan pengujian ulang. Pada hasil pengujian reliabilitas masingmasing variabel memiliki nilai alpha cronbach di atas 0,7 sehingga dapat dikatakan bahwa nilai reliabilitas variabel yang diteliti diterima atau reliabel.
3). Uji Normalitas Hasil pengujian normalitas dari grafik histogram dan grafik normal probability plot pengujian regresi dapat dilihat pada lampiran V regresi moderating berganda. Hasil pengujian normalitas menurut grafik menunjukan bahwa nilai residual pada grafik histogram terbagi merata pada titik 0 (nol) antara -2 hingga 2. Sedangkan pada normal probability plot, terlihat sebaran data mengikuti garis prediksi, data dapat dikatakan terdistribusi normal karena sebaran data menurut grafik histogram berbentuk lonceng serta sebaran data menurut grafik normal P-P Plot mengikuti garis prediksi.
3.3. Pengujian Asumsi Klasik 1). Uji Multikolinieritas Penjelasan hasil pengujian multikolinieritas (variabel yang tidak dipengaruhi) pada model regresi moderasi menunjukan bahwa variabel Pengetahuan Dewan tentang Anggaran, Partisipasi Masyarakat, dan Transparansi Kebijakan Publik sebagai variabel bebas dapat dilihat pada persamaan pertama dimana Pengetahuan Dewan memiliki nilai VIF (1,015 < 10) dan nilai tolerance (0,985 > 0,1), Partisipasi Masyarakat memiliki nilai VIF (1,019 < 10) dan nilai tolerance (0,981 > 0,1), dan Transparasi Kebijakan Publik memiliki nilai VIF (1,004 < 10) dan nilai tolerance (0,996 > 0,1). Sedangkan PD*PM (variabel interksi antara Pengetahuan Dewan dan Partisipasi Masyarakat) memiliki nilai VIF (1,379 < 10) dan nilai tolerance (0,725 > 0,1), dan PD*TKP (variabel interaksi antara Pengetahuan Dewan dan Transparansi Kebijakan Publik) memiliki nilai VIF (1,379 < 10) dan nilai tolerance (0,725 > 0,1). Hal ini berarti bahwa variabel-variabel bebas dan variabel moderating yang digunakan dalam penelitian tidak menunjukkan adanya gejala multikolinieritas, dengan arti lain bahwa semua
4). Uji Autokorelasi Penjelasan hasil pengujian autokorelasi dengan nilai Durbin Watson pada model regresi moderasi berganda menunjukan bahwa nilai DW - Tabel ditemukan dengan mengkorelasikan antara jumlah variabel bebas (nilai k = 3) dengan jumlah sampel (nilai n = 90) mendapatkan kriteria nilai DW – Tabel : dL = 1,452 dan dU = 1,587 Hasil pengujian nilai Durbin Watson pada persamaan hipotesis 2 menunjukan nilai DW - Hitung berada pada : dL (1,587 < 1,809 < 2,413) dari nilai DW – Tabel.. Keberadaan nilai DW persamaan 2 terdapat di daerah menerima hipotesis nol dengan keputusan tidak ada autokorelasi. Sedangkan, Hasil pengujian nilai Durbin Watson pada persamaan hipotesis 3 menunjukan nilai DW - Hitung berada pada : dL (1,587 < 1,736 < 2,413) dari nilai DW – Tabel.. Keberadaan nilai DW persamaan 3 terdapat di daerah menerima hipotesis nol dengan keputusan tidak ada autokorelasi. Hal ini menunjukkan bahwa model regresi moderasi berganda yang digunakan masih dapat 14
dikatakan layak untuk memprediksi pengaruh variabel Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) dengan variabel moderasi Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik karena tidak ada keputusan masalah autokorelasi.
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pembinaan masyarakat. Tabel distribusi frequensi variabel Partisipasi Masyarakat atas menunjukan gejala kecenderungan 90 responden mengkonfirmasi setuju sebanyak 36 responden atau 40% dari total responden mengenai aspek Partisipasi Masyarakat yang dioperasionalkan oleh indikator-indikator dengan pernyataan: “Kritik dan saran masyarakat selalu dijadikan masukan dalam melakukan revisi APBD”, dan “Pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat, jika terjadi perubahan kebijakan yang berkaitan dengan APBD”. Faktor Partisipasi Masyarakat memiliki rerata nilai mean skor 3,73 yang mengartikan semua indikator berada dalam kategori baik, Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa instrumen indikator aspek Partisipasi Masyarakat dikonfirmasi penting oleh responden dalam kaitannya dengan pengawasan keuangan daerah.
3.4. Deskripsi Frequensi Variabel 1). Variabel Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran Variabel Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran adalah kemampuan dewan dalam mengetahui tentang anggaran dan hal menyusun anggaran (RAPBD/APBD), mendeteksi serta mengidentifikasi terhadap pemborosan, kegagalan atau kebocoran anggaran. Tabel distribusi frequensi variabel Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran menunjukan gejala kecenderungan 90 responden mengkonfirmasi setuju sebanyak 53 responden atau 58,89% dari total responden mengenai aspek Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran yang dioperasionalkan oleh indikator-indikator dengan pernyataan: “Sistem Informasi Akuntansi dan Sistem Pengendalian Manajemen sangat diperlukan untuk mendukung pelaksanaan anggaran”, “DPRD membahas Kebijakan Umum APBD dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya”, “Pemerintah Daerah menyampaikan Kebijakan Umum APBD tahun anggaran berikutnya kepada DPRD”, “Anggota dewan perlu untuk memiliki pengetahuan tentang penyusunan APBD”, dan “Anggota dewan perlu untuk memiliki pengetahuan tentang pelaksanaan APBD”. Faktor Pengatahuan Dewan Tentang Anggaran memiliki rerata mean skor 3,83 yang mengartikan semua indikator berada dalam kategori baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen indikator aspek Pengetahun Dewan Tentang Anggaran dikonfirmasi penting oleh responden dalam kaitannya dengan pengawasan keuangan daerah.
4). Variabel Transparansi Kebijakan Publik Variabel Transparansi Kebijakan Publik adalah keterbukaan dalam melaksanakan suatu proses kegiatan dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihakpihak yang membutuhkan informasi. Tabel distribusi frequensi Variabel Transparansi Kebijakan Publik menunjukan gejala kecenderungan 90 responden mengkonfirmasi setuju sebanyak 49 responden atau 54,44% dari total responden mengenai aspek Transparansi Kebijakan Publik yang dioperasionalkan oleh indikator-indikator dengan pernyataan: “Selama ini dokumendokumen yang berkaitan dengan kebijakan anggaran yang disusun oleh pemerintah dapat dengan mudah diakses atau diperoleh masyarakat”, “Selama ini usulan masyarakat selalu diakomodasi dalam penyusunan anggaran guna mencapai transparansi yang lebih baik”, serta “Saat ini pemerintah daerah telah memiliki sistem informasi mengenai kebijakan anggarannya”. Faktor Transparansi Kebijakan Publik memiliki rerata nilai mean skor 4,00 yang mengartikan semua indikator berada dalam kategori baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa instrumen indikator aspek Transparansi Kebijakan Publik dikonfirmasi penting oleh responden dalam kaitannya dengan pengawasan keuangan daerah.
3). Variabel Partisipasi Masyarakat Variabel Partisipasi Masyarakat diartikan sebagai proses yang melibatkan masyarakat umum dalam pengambilan keputusan, perumusan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan dalam 15
kurang peka untuk mendeteksi pemborosan dan kebocoran anggaran. Sedangkan ketidakvalidan instrumen indikator keempatbelas dan ke-enambelas di mana anggota dewan perlu memiliki pengetahuan untuk mendeteksi terjadinya kebocoran dalam pelaksanaan APBD serta perlu memiliki pengetahuan untuk mendeteksi terjadinya pemborosan dan kegagalan dalam pelaksanaan APBD. Ketidakvalidan instrumen tersebut menunjukan bahwa anggota DPRD Kota Ternate masih dipersepsikan kurang memiliki pengetahuan dalam mendeteksi pemborosan dan kebocoran anggaran sehingga tidak dapat mengoperasionalkan faktor pengetahuan dewan tentang anggaran, dimana gejala yang terdeteksi yakni mininnya pengetahuan dasar mengenai Sistem Informasi Akuntansi dan Sistem Pengendalian Manajemen sebagai alternatif solusi untuk mendukung efisiensi dan efektifitas pelaksanaan APBD. Hal ini juga sesuai dengan hasil pengujian regresi yang membuktikan bahwa variabel Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,244 berkisar antara 0,21 – 0,40 atau dalam level rendah. Secara teoritis, Yudoyono (2002. dalam Utami dan Syofyan, 2013:71) mengungkapkan bahwa pelaksanaan fungsi-fungsi beserta hak, tugas, dan wewenang DPRD secara efektif hanya mungkin dilakukan oleh para anggota yang memiliki kualitas yang tinggi, anggota dewan tersebut harus memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan substansi bidang tugas lembaga legislatif yang menjadi tanggung jawabnya. Pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan yang tepat sangat tergantung pada pengetahuan dan kecakapan anggota DPRD. Jika setiap anggota mempunyai pengetahuan yang cukup dalam hal konsep teknis penyelengaraan pemerintahan, kebijakan publik, maka dengan menguasai pengetahuan tentang anggaran diharapkan anggota dewan dapat mendeteksi adanya pemborosan dan kebocoran anggaran. Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa jika pengetahuan dewan tentang anggaran semakin tinggi maka tingkat pengawasan keuangan daerah (APBD) juga dapat semakin tinggi. Hasil penelitian Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran berpengaruh terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) menunjukan bahwa hasil penelitian konsisten
3.5. Pengujian Hipotesis Model regresi moderasi berganda telah membentuk variabel baru dari interaksi ketiga variabel yang diasumsikan berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap variabel terikat. Pengujian hipotesis dan analisis regresi sebagai mana telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa pada hipotesis I menggunakan regresi sederhana (tanpa pengaruh variabel moderasi), kemudian pada hipotesis II dan hipotesis III digunakan MRA. Pembuktian hipotesis dan analisis regresi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran. 4. Pembahasan Hasil Penelitian 4.1. Pengaruh Variabel Pengetahuan Anggota Dewan Tentang Anggaran Terhadap Pengawasan Keuangan Daerah. Pengaruh langsung variabel Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran memiliki hubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD). Kemudian daripada itu, deskripsi statistik menunjukan bahwa gejala kecenderungan responden dalam mengkonfirmasi aspek Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran lebih dioperasionalkan oleh indikator keempat yang memiliki nilai mean skor lebih tinggi dibandingkan dengan nilai mean skor instrumen pada indikator yang lain dan mengartikan bahwa dalam pelaksanaan perencanaan, penyusunan, pengalokasian, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi anggaran diperlukan pengetahuan dasar mengenai Sistem Informasi Akuntansi dan Sistem Pengendalian Manajemen untuk mendukung efisiensi dan efektivitas pelaksanaan APBD. Permasalahan pengetahuan anggota dewan merujuk laporan penelitian LGSPUSAID (2009:84-85), di mana dalam pengawasan anggaran daerah (APBD) yang dijalankan oleh anggota dewan perwakilan hasil dari pemilihan langsung oleh masyarakat daerah kenyataannya justru kurang berjalan sesuai dengan harapan. Latar belakang anggota dewan yang dipilih masyarakat belum tentu memiliki pengetahuan mengenai tata pemerintahan yang baik, salah satunya pengetahuan tentang anggaran yang kurang memadai untuk menunjang pengawasan keuangan daerah, yang ditandai dengan 16
dengan penelitian Pramita dan Andriyani (2010) yang menyatakan bahwa pengaruh pengetahuan dewan tentang anggaran terhadap pengawasan dewan pada keuangan daerah (APBD) menunjukkan hubungan yang positif signifikan. Perbedaan kecenderungan yang muncul adalah pada faktor Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran lebih dioperasionalkan oleh indikator Sistem Informasi Akuntansi dan Sistem Pengendalian Manajemen sangat diperlukan untuk mendukung pelaksanaan anggaran. Sedangkan pada penelitian Pramita dan Andriyani (2010) faktor Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran lebih cenderung dioperasionalkan oleh keikutsertaan dan tanggapan yang baik dari dewan terhadap pendidikan pelatihan tentang keuangan daerah. Dengan demikian indikator penelitian yang digunakan merujuk pada penelitian Pramita dan Andriyani (2010) dapat digeneralisasi pada penelitian-penelitian selanjutnya dengan obyek yang berbeda.
akan melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat. Permasalahan rendahnya tingkat Partisipasi Masyarakat merujuk pada laporan penelitian LGSP-USAID (2009:84-85) yang menjelaskan bahwa Pemerintah Daerah belum menemukan suatu metode yang dapat menjaring partisipasi publik secara efektif. Di sisi lain, sebagian masyarakat masih mempunyai anggapan bahwa APBD adalah persoalan elit yang tidak perlu diketahui masyarakat. Kondisi ini dikarenakan pihak eksekutif dan legislatif kurang terbuka dan transparan dalam mengakomodir aspirasi masyarakat sebab sudah dipersepsikan bahwa anggota DPRD adalah wakil masyarakat daerah. Sementara di pihak lain masyarakat masih cenderung menganggap bahwa proses penyusunan dan perencanaan anggaran merupakan tugas eksekutif dan legislatif semata. Untuk mengatasi hal tersebut, prinsip transparansi dalam pengelolaan APBD menjadi sebuah agenda yang harus terus dikembangkan guna membuka akses seluasluasnya bagi masyarakat seperti kegiatan Musrenbang, namun, meskipun jika terjadi perubahan kebijakan yang berkaitan dengan APBD, pemerintah daerah akan melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat pada kenyataannya kegiatan Musrenbang juga cenderung tidak efektif, dimana hasil yang didapat dari musrenbang pun akhirnya hanya menjadi hasil yang diinginkan oleh pihak pemerintah yang kadangkala bukanlah hal-hal substantif seperti yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini juga sesuai dengan hasil pengujian regresi yang membuktikan bahwa variabel moderasi interaksi Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran dan Partisipasi Masyarakat memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,03 berkisar antara 0,01 – 0,20 atau dalam level sangat rendah. Secara teoritis, Sopanah dan Mardiasmo (2003. dalam Novietta, 2010:38) menyatakan bahwa dengan adanya partisipasi masyarakat dalam keseluruhan siklus penyusunan, pelaporan dan pengawasan anggaran, diharapakan akan tercipta akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan anggaran daerah tersebut. Partisipasi masyarakat merupakan kunci sukses pelaksanaan otonomi daerah, terutama menyangkut aspek pengawasan dan aspirasi kepada pihak eksekutif. Peranan legislatif dalam melakukan pengawasan keuangan
4.2. Pengaruh Variabel Partisipasi Masyarakat pada Hubungan Pengetahuan Anggota Dewan Tentang Anggaran Terhadap Pengawasan Keuangan Daerah. Pengaruh tidak langsung variabel Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran, dan Partisipasi Masyarakat dengan membentuk variabel PD*PM terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) menunjukan bahwa variabel Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran dan Partisipasi Masyarakat memiliki hubungan negatif tidak signifikan, sedangkan variabel moderasi PD*PM memiliki hubungan positif namun tidak signifikan, yang berarti bahwa arah koefisien regresi variabel Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran, Partisipasi Masyarakat, dan variabel moderasi PD*PM mengindikasikan suatu pengaruh yang tidak signifikan terhadap variabel Pengawasan Keuangan Daerah (APBD). Sementara, pada analisis deskripasi statistik menunjukan bahwa gejala kecenderungan responden dalam mengkonfirmasi aspek Partisipasi Masyarakat lebih dioperasionalkan oleh indikator ke-tujuh yang memiliki nilai mean skor lebih tinggi dibandingkan dengan nilai mean skor instrumen indikator yang lain, dan mengartikan bahwa jika terjadi perubahan kebijakan yang berkaitan dengan APBD, pemerintah daerah 17
daerah akan dipengaruhi oleh partisipasi masyarakat mengenai anggaran dan kebutuhan pembangunan daerah, dan diharapkan partisipasi masyarakat dapat meningkatkan fungsi pengawasan anggota DPRD terkait dengan pengalokasian anggaran yang direncanakan oleh legislatif dan anggaran yang terealisasikan oleh eksekutif. Sehingga dapat diasumsikan bahwa jika tingkat keterlibatan partisipasi masyarakat tinggi dalam hubungannya dengan pengetahuan anggota dewan tentang anggaran pada fungsi pengawasan keuangan daerah maka tingkat pengawasan keuangan daerah (APBD) juga akan semakin tinggi. Hasil penelitian Pertisipasi Masyarakat tidak mempengaruhi hubungan Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) menunjukan bahwa hasil penelitian konsisten dengan penelitian Setyawati (2010) yang menyatakan bahwa Pengaruh Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) tidak dimoderasi oleh Partisipasi Masyarakat dengan hubungan negatif tidak signifikan. Perbedaan kecenderungan yang muncul adalah pada faktor Partisipasi Masyarakat lebih dioperasionalkan oleh indikator Pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat, jika terjadi perubahan kebijakan yang berkaitan dengan APBD. Sedangkan pada penelitian Setyawati (2010) faktor Partisipasi Masyarakat lebih cenderung dioperasionalkan oleh keikutsertaan dan tanggapan yang baik dari dewan terhadap pendidikan pelatihan tentang keuangan daerah. Dengan demikian indikator penelitian yang digunakan merujuk pada penelitian Pramita dan Andriyani (2010) dapat digeneralisasi pada penelitian-penelitian selanjutnya dengan obyek yang berbeda.
variabel Transparansi Kebijakan Publik memiliki hubungan positif dan pengaruh tidak signifikan serta variabel moderasi PD*TKP memiliki hubungan negatif dan pengaruh tidak signifikan, yang berarti bahwa Transparansi Kebijakan Publik dan variabel moderasi PD*TKP mengindikasikan suatu pengaruh yang tidak signifikan terhadap variabel Pengawasan Keuangan Daerah (APBD). Sementara, pada analisis deskripasi statistik menunjukan bahwa gejala kecenderungan responden dalam mengkonfirmasi aspek Transparansi Kebijakan Publik lebih dioperasionalkan oleh indikator kelima memiliki nilai mean skor lebih tinggi dibandingkan dengan nilai mean skor instrumen indikator lain, mengartikan bahwa pemerintah daerah telah memiliki sistem informasi terpadu dalam mempublikasikan semua kebijakan dan produk-produk hukum tentang pelaksanaan hingga pelaporan keuangan daerah. Permasalahan tingkat Transparansi Kebijakan Publik merujuk pada laporan penelitian LGSP-USAID (2009:84-85) yang menjelaskan bahwa hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan, 40-60 persen APBD terserap aksi korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan birokrat, legislatif, dan aparat keamanan. Bahkan, daerah pengelolaan APBD lebih rawan akibat makin renggangnya pengawasan dari pusat maupun dari masyarakat. Temuan lainnya, terdapat pengendapan dana daerah pada 60 Pemerintah Daerah, serta juga terjadi pemborosan keuangan daerah pada 77 Pemerintah Daerah. Pemborosan disebabkan belanja daerah yang digunakan untuk instansi vertikal, bantuan, honor, dan tunjangan kepada pimpinan dan anggota DPRD, pejabat negara, dan pejabat daerah. BPK juga menemukan 23 Pemerintah Daerah yang memiliki saham dan penyertaan modal pada bank dan perusahaan daerah yang belum jelas status hukumnya dan tidak sesuai dengan Perda. Penguasaan aset daerah dan penyertaan modal pemerintah desa pada 23 Pemerintah Daerah juga dinyatakan tidak dapat ditelusuri. Sementara kondisi riil dalam lapangan pemerintah Kota Ternate dan pemerintah Kota Tidore telah memiliki sistem informasi terpadu dalam mempublikasikan semua kebijakan dan produk-produk hukum tentang pelaksanaan hingga pelaporan keuangan daerah. Jika hasil pengujian regresi yang membuktikan bahwa variabel moderasi
4.3.
Pengaruh Variabel Transparansi Kebijakan Publik pada Hubungan Pengetahuan Anggota Dewan Tentang Anggaran Terhadap Pengawasan Keuangan Daerah. Pengaruh tidak langsung variabel Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran, dan Transparansi Kebijakan Publik dengan membentuk variabel PD*TKP terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) menunjukan bahwa variabel Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran memiliki hubungan positif dan pengaruh signifikan, namun, 18
interaksi Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran dan Transparansi Kebijakan Publik memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,031 berkisar antara 0,01 – 0,20 atau dalam level sangat rendah, mengartikan bahwa aspek Transparansi Kebijakan Publik terkait dengan Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) masih sangat kurang sekali atau juga dapat diartikan bahwa informasi yang disajikan oleh eksekutif pemerintah daerah Kota Ternate dan pemerintah Kota Tidore masih belum bisa terakomodir dengan baik sehingga faktor transparansi kebijakan publik tidak dapat optimal memberikan dampak pada hubungan pengetahuan dewan tentang anggaran terhadap pengawasan keuangan daerah (APBD). Secara teoritis, Mardiasmo (2002 dalam Utami dan Syofyan, 2013:72) menyatakan bahwa prinsip manajemen keuangan daerah diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah dengan faktor akuntabilitas, value for money, kejujuran dalam mengelola keuangan publik, transparansi dan pengendalian. Transparansi merupakan keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Sehingga dapat diasumsikan bahwa jika tingkat transparansi kebijakan publik tinggi dalam hubungannya dengan pengetahuan dewan tentang anggaran pada fungsi pengawasan keuangan daerah maka tingkat pengawasan keuangan daerah (APBD) juga akan semakin tinggi. Hasil penelitian Transparansi Kebijakan Publik tidak mempengaruhi hubungan Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) menunjukan bahwa hasil penelitian konsisten dengan penelitian Setyawati (2010) yang menyatakan bahwa Pengaruh Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) tidak dimoderasi oleh Transparansi Kebijakan Publik dengan hubungan negatif tidak signifikan. Perbedaan kecenderungan yang muncul adalah pada faktor Partisipasi Masyarakat lebih dioperasionalkan oleh indikator pemerintah daerah telah memiliki sistem informasi mengenai kebijakan anggarannya. Sedangkan pada penelitian
Setyawati (2010) faktor Transparansi Kebijakan Publik lebih cenderung dioperasionalkan oleh pengumuman kebijakan anggaran kepada masyarakat, kemudahan masyarakat mengakses dokumen publik tentang anggaran dan laporan pertanggung jawaban tahunan tepat waktu. Dengan demikian indikator penelitian yang digunakan merujuk pada penelitian Pramita dan Andriyani (2010) dapat digeneralisasi pada penelitian-penelitian selanjutnya dengan obyek yang berbeda.
19
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian penelitian, hasil pengujian dan pembahasan analisis, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 1). Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) disebabkan oleh kemampuan dewan dalam menyusun, mendeteksi terjadinya pemborosan, kegagalan dalam pelaksanaan APBD dan penetapan perhitungan APBD, serta pembahasan rencana anggaran bersama dengan kepala daerah. 2). Interaksi PD*PM menjadikan Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD). Hal ini membuktikan bahwa Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran tidak dimoderasi oleh Partisipasi Masyarakat dengan membentuk variabel PD*PM yang disebabkan oleh tidak dilibatkannya masyarakat umum dalam pengambilan keputusan, perumusan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pembinaan masyarakat. 3). Interaksi PD*TPK menjadikan Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran berpengaruh positif tidak signifikan terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD). Hal ini membuktikan bahwa Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran tidak dimoderasi oleh Transparansi Kebijakan Publik, disebabkan oleh ketidakterbukaannya dalam melaksanakan suatu proses kegiatan dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengolaan sumber daya public kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi.
mengenai pengelolaan APBD, Sistem Informasi Akuntansi dan Sistem Pengendalian Manajemen serta pendampingan staff ahli agar dapat memaksimalkan fungsi pengawasan keuangan daerah. 2). Perlu adanya peningkatan partisipasi masyarakat agar proses pengawasan keuangan daerah dapat berjalan dengan lebih baik. Partisipasi masyarakat yang lebih baik maka proses pengawasan yang dilakukan oleh anggota dewan akan lebih terjamin bahwa anggota dewan bekerja sesuai tugas dan tanggungjawabnya, selain itu yang perlu mendapat peningkatan atau perbaikan adalah transparansi kebijakan publik karena kebijakan yang lebih transparan akan mampu mengurangi kemungkinan anggota dewan untuk berbuat tidak benar sesuai dengan fungsi dan tanggungjawabnya. 3). Diperlukan penambahan kuantitas media informasi yang mudah diakses oleh masyarakat luas seperti tabloid atau surat kabar khusus atau talkshow di radio lokal mengenai segala kebijakan publik.
5.2. Saran Berdasarkan uraian kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, penulis mencoba merekomendasikan saran-saran yang diharapkan dapat bermanfaat, sebagai berikut : 1). Bagi anggota dewan perlu adanya upaya peningkatan pengetahuan (APBD) melalui intenitas bimbingan teknis 20
DAFTAR PUSTAKA
LGSP-USAID. (2007). Musrembang Sebagai Instrumen Efektif Dalam Penganggaran Partisipatif. http://www.lgsp.or.id/
Alamsyah (1997) Mekanisme Pengawasan APBD di Kabupaten Sleman. Tesis. Program Magister Akuntansi Publik. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Mardiasmo, 2003, Konsep Ideal Akuntabilitas dan Transparansi Organisasi Layanan Publik, Majalah Swara MEP, Vol. 3 No. 8 Maret, MEP UGM, Yogyakarta.
Arikunto, Suharsmi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Kelima, Rineka Cipta. Jakarta.
Mardiasmo, 2001, Pengawasan, Pengendalian, dan Pemeriksaan Kinerja Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Andi, Yogyakarta.
Coryanata, Isma. (2007). Akuntabilitas, Partisipasi Masyarakat, Dan Transparansi Kebijakan Publik Sebagai Pemoderating Hubungan Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran Dan Pengawasan Keuangan Daerah (APBD).
Muniroh, S; E. M. Fauzan; I. Cahyani. (2013). Peran Serta Masyarakat Dalam Perencanaan dan Pengawasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Jurnal. Fakultas Hukum. Universitas Trunojoyo.
Darwis, Herman. (2008). Pengaruh Pengetahuan Anggota DPRD Tentang Anggaran Terhadap Kinerja Anggota DPRD Dalam Pengawasan APBD Dengan Partisi Masyarakat dan Budaya Politik Sebagai Pemoderasi. (Studi pada Provinsi Maluku Utara). Tesis. Program Pascasarjana. Fakultas Ekonomi. Universitas Brawijaya. Malang.
Nachrowi, N. D dan H. Usman. (2006). Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika. LP-FEUI. Jakarta. Novietta, Liza. (2010). Pengaruh Partisipasi Masyarakat dan Komitmen Organisasi Terhadap Hubungan Pengetahuan Eksekutuif Tentang Anggaran Dengan Pengawasan Keuangan Daerah. STIE Harapan Medan. Jurnal Keuangan & Bisnis. Vol. 2. No. 1. Maret 2010
Dewi, Indah M. (2011). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kapabilitas Anggota DPRD Dalam Pengawasan Keuangan Daerah (APBD). Skripsi. Fakultas Ekonomi. Universitas Diponegoro. Semarang.
Palupi, Nimas A. (2012). Pengawasan Keuangan Daerah Dengan Akuntabilitas dan Partisipasi Masyarakat Sebagai Moderasi. Jurusan Akuntansi. Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Semarang. Accounting Analisys Journal (AAJ) 1 (2) (2012). http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/aaj.
Ghozali, Imam. (2006). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. BPUndip. Semarang. Gurajati N, Damodar. 2007. Dasar-Dasar Ekonometrika, Edisi 3, Jilid 2. Elangga. Jakarta.
Pangesti, Agustina I. (2013). Analisis Pengetahuan Dewan Tentang Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) Dengan Menggunakan Variabel Moderating. Jurusan Akuntansi. Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Semarang. Accounting Analisys Journal (AAJ) 1 (3) (2013). http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/aaj.
Halim, Abdul. 2007. Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah Edisi 3 . Jakarta: Salemba Empat. Hasan, Iqbal. 2003. Pokok-pokok Materi Statistik 2 (Statistik Inferensif), edisi 2. Bumi Aksara. Jakarta.
Pramita, Yulinda D. dan L. Andriyani. (2010). Determinasi Hubungan Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran dengan Pengawasan Dewan Pada Keuangan Daerah (Studi Empiris pada DPRD se-Karesidenan Kedu). Universitas Muhammadiyah Magelang.
LGSP-USAID. (2009). Analisis APBD Untuk Anggota DPRD. Modul Seri Penguatan Legislatif. http://www.lgsp.or.id/
21
Simposium Purwokerto.
Nasional
Akuntansi
XIII
Utami, Kurnia dan E. Syofyan. (2013). Pengaruh Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran Terhadap Pengawasan Keuangan Daerah dengan Variabel Pemoderasi Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik. Jurnal WRA Vol. 1 No. 1 April 2013. hal 63-86.
Priyatno, Dwi. (2008). Mandiri Belajar SPSS. Mediakom. Yogyakarta. Riduwan (2003). Statistika untuk Lembaga & Instansi Pemerintah / Swasta. Alfabeta. Bandung
Werimon, Simsons. Dkk, 2007. Pengaruh Partisipasi Masyarakat Dan Transparansi Kebijakan Publik Terhadap Hubungan Antara Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran Dengan Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) (Study Empiris Di Provinsi Papua)
Santosa, Purbayu dan Ashari. (2005). Analisis Statistik Dengan Microsoft Excel Dan SPSS, edisi 1. Andi. Yogyakarta. Sopanah, 2003, Pengaruh Partisipasi Masyarakat dan transparansi kebijakan public terhadap hubungan antara pengetahuan dewan tentang anggaran dengan pengawasan keuangan daerah.(Tesis Program Pascasarjana MAKSI UGM Yogyakarta) SNA VI Surabaya, oktober 2003, p1160
Widarjono, Agus. (2009). Eknometrika Pengantar dan Aplikasinya, edisi ketiga. Ekonisia. Yogyakarta. Yudono, Bambang. (2002). Optimalisasi Peran DPRD dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. posting http: //www.bangda.depdagri.go.id/. diakses tanggal 18 September 2013.
_______ 2002. Pengaruh Partsipasi Masyarakat Terhadap Hubungan Antara Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran Dengan Pengawasan Keuangan Daerah, Makalah Symposium Nasional Akuntansi V, Semarang.
B. Peraturan dan Perundang-undangan : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar
Setyawati, Yuni. (2010). Pengaruh Pengetahuan Anggaran Anggota Dewan Terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) dengan Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik Sebagai Variabel Moderasi. (Studi Empiris di Kerisedenan Surakarta). Tesis. Program Studi Magister Akuntansi. Fakultas Ekonomi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Keputusan Presiden No. 74 tahun 2001 (Tentang Tata Cara Pengawasan Penyelengaraan Pemerintah Daerah) Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pelaksanaan Otonomi Daerah
Sopanah dan Mardiasmo. 2003. Pengaruh Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik terhadap Hubungan antara Pengetahuan Dewan tentang Anggaran dengan Pengawasan Keuangan Daerah. Simposium Nasional Akuntansi VI. Surabaya.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Undang-undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah,
Sugiyono, 2002a. Statistika untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta, Bandung,. Sugiyono, 2002b. Metode Penelitian Bisnis. Penerbit Alfabeta, Bandung.
Undang-Undang Nomor 22 tentang Pemerintah Daerah 22
Tahun
1999
Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintah Daerah,
Tahun
2004
Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Pemerintah (PP) No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Anggaran UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD), Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2011 tentang Pedoman Orientasi dan Pendalaman Tugas Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2011 tentang Pedoman Orientasi dan Pendalaman Tugas Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota,
23