FORMULASI SEDIAAN SABUN WAJAH MINYAK ATSIRI KEMANGI (Ocimum basilicum L.) DENGAN KOMBINASI SODIUM LAURIL SULFAT DAN GLISERIN SERTA UJI ANTIBAKTERI TERHADAP Staphylococcus epidermidis
PUBLIKASI ILMIAH Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Farmasi Fakultas Farmasi
Oleh: NISSA NUR ICHSANI K 100 120 036
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2016
HALAMAN PERSETUJUAN
FORMULASI SEDIAAN SABUN WAJAH MINYAK ATSIRI KEMANGI (Ocimum basilicum L.) DENGAN KOMBINASI SODIUM LAURIL SULFAT DAN GLISERIN SERTA UJI ANTIBAKTERI TERHADAP Staphylococcus epidermidis
PUBLIKASI ILMIAH
oleh:
NISSA NUR ICHSANI K 100 120 036
Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh :
Dosen Pembimbing
Pembimbing Utama
Pembimbing Pendamping
(Dr. T.N Saifullah S, M.Si., Apt)
(Ratna Yuliani, M.Biotech.St.)
NIP. 19720327199702101
NIK. 957
i
HALAMAN PENGESAHAN
FORMULASI SEDIAAN SABUN WAJAH MINYAK ATSIRI KEMANGI (Ocimum basilicum L.) DENGAN KOMBINASI SODIUM LAURIL SULFAT DAN GLISERIN SERTA UJI ANTIBAKTERI TERHADAP Staphylococcus epidermidis
OLEH NISSA NUR ICHSANI K 100 120 036 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada hari Selasa, 21 Juni 2016 dan dinyatakan telah memenuhi syarat Dewan Penguji:
1. Suprapto, M.Sc, Apt
(……..……..)
(Ketua Dewan Penguji) 2. Ika Trisharyanti D.K, M.Farm., Apt
(……………)
(Anggota I Dewan Penguji) 3. Dr. T.N. Saifullah S, M.Si., Apt
(…………….)
(Anggota II Dewan Penguji) 4. Ratna Yuliani, M.Biotech.St.
(…………….)
(Anggota III Dewan Penguji)
Dekan,
Azis Saifudin, Ph.D., Apt. NIK. 956
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam naskah publikasi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya di atas, maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya. .
Surakarta, 28 Mei 2016 Penulis
NISSA NUR ICHSANI K 100 120 036
iii
FORMULASI SEDIAAN SABUN WAJAH MINYAK ATSIRI KEMANGI (Ocimum basilicum L.) DENGAN KOMBINASI SODIUM LAURIL SULFAT DAN GLISERIN SERTA UJI ANTIBAKTERI TERHADAP Staphylococcus epidermidis
Abstrak Minyak atsiri kemangi dengan kandungan linalool memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis yang merupakan bakteri penyebab jerawat. Minyak atsiri dapat diformulasikan untuk mempermudah penggunaannya sebagai antijerawat, salah satunya dalam bentuk sabun wajah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik, stabilitas, dan aktivitas antibakteri sabun wajah minyak atsiri kemangi. Sabun wajah dengan kandungan minyak atsiri kemangi 12,5% v/v dibuat dalam 4 formula dengan konsentrasi sodium lauril sulfat (SLS) dan gliserin sebesar 20% (F1), 25% (F2), 30% (F3), dan 35% (F4). Sabun wajah diuji sifat fisik dan stabilitasnya selama 3 bulan yang meliputi uji organoleptis, viskositas, daya sebar, daya busa, pH, ukuran globul, uji freeze-thaw selama 6 siklus, dan uji aktivitas antibakteri dengan metode difusi sumuran. Teknik analisis menggunakan KruskalWallis test dan one way anova. Hasil pengujian sifat fisik sabun wajah menunjukkan peningkatan signifikan pada viskositas dan tidak signifikan pada daya busa, serta penurunan signifikan pada daya sebar. Stabilitas sabun wajah menunjukkan kenaikan signifikan pada daya sebar F2 dan F4, namun tidak signifikan pada F1 dan F3, serta kenaikan signifikan pada ukuran globul pada uji freeze-thaw. Viskositas menurun tidak signifikan baik pada penyimpanan 3 bulan dan pada uji freeze-thaw. Daya busa dan ukuran globul mengalami kenaikan tidak signifikan. Aktivitas antibakteri sabun wajah menurun tidak signifikan pada penyimpanan 3 bulan. Kata kunci: Ocimum basilicum L., sodium lauril sulfat, gliserin, Staphylococcus epidermidis
Abstract Basil essential oil containing linalool has antibacterial activity against Staphylococcus epidermidis which cause acne. Essential oil can be formulated to facilitate its use as anti-acne, one of the dosage form is facial soap. This study aimed to determine the physical properties, stability, and the antibacterial activity of facial soap containing basil oil. Facial soaps contain 12,5% v/v basil essential oil were made in four formulas with concentrations of sodium lauryl sulfate (SLS) and glycerin of 20% (F1), 25% (F2), 30% (F3), and 35% (F4). Facial soap were tested for physical properties and physical stability for 3 months includes organoleptic, viscosity, dispersive capability, foam height, pH, globules size, freeze-thaw test for 6 cycles, and antibacterial activity with diffusion method. Data were analyzed using Kruskal-Wallis test and one way ANOVA. Results of physical properties test of facial soap showed a significant increase in viscosity and significant reduction in the dispersive capability, but not significant in the foam height. Stability test of facial soap showed a significant increase in the dispersive capability of F2 and F4, but not significant in F1 and F3, as well as a significant increase in the globules size on freeze-thaw test. The viscosity decreased not significantly in three months storage and freeze-thaw test. Foam height and globule size increase were not significant. Antibacterial activity of facial soap decreased not significantly in three months storage. Keywords: Ocimum basilicum L., sodium lauryl sulfate, glycerin, Staphylococcus epidermidis
PENDAHULUAN Jerawat atau acne vulgaris merupakan keadaan tidak normal pada kulit yang menginfeksi kira-kira 80% populasi yang berusia antara 11 dan 30 tahun tanpa memandang jenis kelamin maupun ras (Dipiro et al., 2009). Jerawat dapat disebabkan oleh multifaktor, antara lain peningkatan sebum dan mikroorganisme seperti bakteri (Burkhart et al., 1999). Salah satu bakteri yang dapat memicu tumbuhnya jerawat adalah bakteri Staphylococcus epidermidis (Rajiv et al., 2013). Minyak atsiri kemangi memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis (Runyoro et al., 2010). 1
Kandungan kimia minyak atsiri kemangi yaitu linalool merupakan kandungan yang memiliki peran utama dalam aktivitas antibakteri (Moghaddam et al., 2011). Minyak atsiri kemangi mudah menguap apabila digunakan secara langsung, sehingga diperlukan suatu bentuk sediaan antijerawat untuk kemudahan dalam aplikasinya dan kenyamanan saat digunakan. Bentuk sediaan tersebut adalah bentuk sabun wajah (Febriyenti et al., 2014). Sabun wajah lebih sering digunakan sebagai alternatif antijerawat karena telah dikenal masyarakat luas dan lebih praktis penggunaannya dan ekonomis (Suryana, 2013), serta menghasilkan busa yang lembut untuk penggunaan pada wajah (Febriyenti et al., 2014). Penelitian ini memformulasikan sabun wajah dari bahan alam yaitu dari minyak atsiri kemangi yang dapat mendayagunakan manfaat lain dari kemangi. Formula sabun wajah dibuat dengan perbedaan seri konsentrasi sodium lauril sulfat (SLS) dan gliserin. Sodium lauril sulfat (SLS) merupakan surfaktan jenis anionik yang memiliki daya pembersih, baik digunakan pada wajah untuk membersihkan wajah dari kotoran (Noor and Nurdyastuti, 2009). Gliserin adalah suatu bahan yang digunakan sebagai humektan (Alvarez-Núnez and Medina, 2009) yang berfungsi melembabkan kulit (Kuver and Palshikar, 2014), sebab penggunaan sabun dapat menyebabkan hilangnya kelembaban kulit sehingga mengakibatkan kekeringan dan kemerahan pada kulit (Budianto, 2010). Penggunaan SLS dan gliserin dalam formula sabun wajah diduga dapat mempengaruhi stabilitas fisik sediaan sehingga perlu dibuat suatu formula dengan perbedaan seri konsentrasi antara SLS dan gliserin untuk mendapatkan suatu sediaan sabun wajah dengan stabilitas yang baik. Dari penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan sediaan sabun wajah dengan zat aktif dari bahan alam yaitu minyak atsiri kemangi sebagai antijerawat yang memiliki stabilitas baik dan memiliki aktivitas antibakteri. METODE 2.1 Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan meliputi alat-alat gelas (Pyrex), timbangan analitik (Ohaus, Jerman), pH stick, viskosimeter (VT-06 RION), water bath (H-WB-3F-27L), vorteks (Thermolyne Maxi Mix II), lemari pendingin, laminar air flow (LAF), inkubator (Memmert, Jerman), inkubator shaker (New Brunswick), mikroskop (Olympus), standar 0,5 McFarland, dan mikropipet (Socorex). Bahan yang digunakan adalah minyak atsiri kemangi (Young Living, Amerika), asam stearat, sodium lauril sulfat (SLS), NaCl, gliserin, adeps lanae, trietanolamin (TEA), nipagin, media Mueller Hinton (MH), media Brain Heart Infusion (BHI) cair, dimetilsulfoksida (DMSO), bakteri Staphylococcus epidermidis (Laboratorium Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta yang diambil dari Laboratorium Mikrobiologi SMAK Nasional Surakarta). 2
2.2 Pembuatan Sediaan Sabun Wajah Minyak Atsiri Kemangi Formula sabun wajah mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Nurama dan Suhartiningsih (2014) (Tabel 1). Bagian pertama, SLS dilarutkan di dalam air diaduk hingga homogen. NaCl ditambahkan dan diaduk hingga homogen. Bagian kedua, asam stearat dan gliserin dilarutkan dengan pemanasan. Adeps lanae, TEA, dan nipagin dicampurkan ke dalamnya dan diaduk hingga homogen. Bagian pertama dimasukkan ke dalam bagian kedua dan diaduk hingga homogen. Akuades ditambahkan sambil terus diaduk. Campuran didinginkan pada suhu ruang kemudian minyak atsiri kemangi ditambahkan dan dihomogenkan. Tabel 1. Formula sabun wajah minyak atsiri kemangi
Asam stearat
F1 2,50
Formula (gram) F2 F3 2,50 2,50
F4 2,50
SLS
19,50
24,40
29,30
34,10
NaCl
1,67
1,67
1,67
1,67
Gliserin
0,50
0,60
0,70
0,80
Adeps lanae
0,50
0,50
0,50
0,50
TEA
0,15
0,15
0,15
0,15
Nipagin
0,10
0,10
0,10
0,10
Minyak atsiri kemangi
12,50
12,50
12,50
12,50
100
100
100
100
Nama Bahan (gram)
Akuades hingga
2.3 Pengujian Sifat Fisik dan Stabilitas Sediaan Sabun Wajah Minyak Atsiri Kemangi Uji sifat fisik sabun wajah dilakukan dengan pengamatan terhadap organoleptis yang meliputi bentuk, bau, warna, dan adanya pemisahan. Viskositas diukur menggunakan alat Viskosimeter Rion dengan menempatkan rotor ditengah wadah sediaan kemudian rotor dibiarkan berputar hingga menunjukkan angka yang konstan. Daya sebar dilakukan dengan menindih 0,5 gram sediaan dengan beban tiap 50 gram selama 1 menit kemudian dicatat diameter tiap penambahan beban hingga konstan. Daya busa diukur dengan melarutkan sediaan dalam air kemudian dilakukan penggojokan dengan vorteks selama 2 menit dan tinggi busa yang terbentuk diukur. Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH stick yang dicelupkan kedalam sediaan, warna yang dihasilkan dicocokkan dengan indikator warna pada wadah pH stick. Uji stabilitas sabun wajah dilakukan dengan mendiamkan sediaan selama 3 bulan pada suhu ruang dengan melakukan pengamatan fisik tiap bulannya yang meliputi organoleptis, viskositas, daya sebar, daya busa, pH, ukuran globul, dan uji freeze-thaw selama 6 siklus dengan menempatkan sediaan dalam suhu 4°C dan 40°C masing-masing selama 24 jam (Warnida et al., 2014).
3
2.4 Pengujian Aktivitas Antibakteri Sediaan Sabun Wajah Minyak Atsiri Kemangi Uji aktivitas antibakteri sediaan sabun wajah terhadap Staphylococcus epidermidis dilakukan dengan metode difusi sumuran. Suspensi bakteri sebanyak 150 µL diinokulasikan dalam media MH dan diratakan, kemudian dibuat lubang sumuran dengan cork borer steril berdiameter 12 mm sebanyak 3 lubang dalam satu cawan petri dan masing-masing sumuran diisi dengan sediaan sabun wajah, basis sediaan, dan kontrol positif dengan zat aktif ekstrak nimba dan kunyit yang ditimbang masingmasing sebanyak 320 mg. Cawan petri diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Pengujian Sifat Fisik Minyak Atsiri Kemangi Pengujian dilakukan oleh Laboratorium Penelitian Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dengan penetapan nilai bobot jenis dan indeks bias. Hasil pengujian (Tabel 2) diperoleh nilai bobot jenis dan indeks bias minyak atsiri kemangi sesuai dengan rentang nilai yang ditetapkan oleh EOA (Essential Oil Association) (Hadipoentyanti and Wahyuni, 2008). Tabel 2. Hasil uji sifat fisik minyak atsiri kemangi Parameter Uji
Hasil
EOA
Bobot Jenis (g/mL)
0,964
0,952 – 0,973
Indeks Bias (nD)
1,5125
1,512 – 1,519
3.2 Uji Sifat Fisik Sediaan Sabun Wajah Evaluasi sifat fisik sediaan sabun wajah bertujuan untuk mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi SLS sebagai surfaktan dan gliserin sebagai humektan terhadap sifat fisik sediaan sabun wajah. Hasil pengujian sediaan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil uji sifat fisik sediaan sabun wajah Formula
Viskositas (dPa.s)
Luas penyebaran (cm2)
Tinggi busa (cm)
pH
1
62,50 ± 5,00
20,02 ± 0,45
3,63 ± 0,12
6±0
2
117,50 ± 9,57
12,72 ± 0,32
3,75 ± 0,10
6±0
3
162,50 ± 5,00
10,32 ± 0,54
4,08 ± 0,30
6±0
4
132,50 ± 5,00
12,25 ± 0,61
4,90 ± 0,11
6±0
Keterangan : F1 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 20% F2 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 2 5% F3 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 30% F4 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 35%
Pengamatan organoleptis dilakukan untuk mengamati wujud sediaan secara visual. Hasil pengamatan secara organoleptis sabun wajah menunjukkan bahwa sabun memiliki konsistensi yang berbeda pada tiap formula, F3 memiliki konsistensi yang paling kental dan F1 paling encer, 4
sedangkan F2 dan F4 memiliki konsistensi yang hampir sama. Perbedaan konsistensi ini disebabkan oleh perbedaan konsentrasi SLS dan gliserin. Aroma yang dihasilkan seragam yaitu aroma kemangi yang dihasilkan dari penggunaan minyak atsiri kemangi. Warna yang dihasilkan putih susu pada masing-masing formula. Pemisahan tidak terjadi pada masing-masing formula yang dilihat secara visual. Peningkatan konsentrasi SLS dan gliserin menyebabkan meningkatnya konsistensi sabun wajah menjadi semakin kental. Hal ini diakibatkan karena SLS yang bertindak sebagai surfaktan mampu meningkatkan kekentalan (Utami, 2008). Namun, hal ini tidak terjadi pada F4 karena mengalami penurunan konsistensi. Bentuk sediaan pada masing-masing formula menunjukkan bentuk dengan penampakan yang baik dan stabil dilihat dari tidak adanya pemisahan antara fase minyak dengan basis sediaan. Uji viskositas dilakukan untuk mengetahui kekentalan sabun wajah sehingga dapat mengetahui kemudahan mengalir sabun wajah. Hasil pengujian menunjukkan kecenderungan kenaikan viskositas seiring dengan kenaikan konsentrasi SLS dan gliserin pada F1, F2, dan F3 (Gambar 1) akibat penambahan konsentrasi SLS sebagai surfaktan yang akan meningkatkan viskositas sediaan (Utami, 2008). Namun hal ini tidak terjadi pada F4 karena menunjukkan penurunan viskositas. Hasil analisis menunjukkan kenaikan viskositas F1 hingga F3 dan penurunan pada F4 signifikan (P-value < 0,05), namun tidak signifikan pada kenaikan F2 ke F4 (P-value = 0,057). Uji daya sebar dilakukan untuk mengetahui luas penyebaran sediaan sabun wajah sehingga dapat menjangkau seluruh permukaan wajah ketika digunakan. Hasil pengujian menunjukkan penurunan luas penyebaran pada F1, F2, dan F3 (Gambar 2) seiring dengan peningkatan konsentrasi SLS dan gliserin dan kenaikan pada F4. Viskositas yang rendah menyebabkan kemampuan mengalir sediaan lebih tinggi yang memungkinkan sediaan dapat menyebar dengan mudah dan terdistribusi rata. Sabun wajah F1 dengan konsentrasi SLS dan gliserin paling rendah memiliki konsistensi yang lebih encer sehingga kemampuan menyebarnya lebih besar. Hasil analisis menunjukkan penurunan luas sebar F1 hingga F3 dan kenaikan pada F4 signifikan (P-value < 0,05), namun tidak signifikan pada penurunan F2 ke F4 (P-value = 0,343). Uji daya busa bertujuan untuk mengetahui kemampuan sediaan menghasilkan busa ketika digunakan. Hasil pengujian menunjukkan kemampuan menghasilkan busa sediaan cenderung meningkat seiring dengan kenaikan konsentrasi SLS dan gliserin (Gambar 3). Sodium lauril sulfat (SLS) sebagai surfaktan berperan penting sebagai penghasil busa sabun wajah, sehingga konsentrasi SLS yang semakin tinggi akan menyebabkan busa yang terbentuk semakin banyak (Farn, 2006).
5
Hasil analisis menunjukkan kenaikan busa signifikan (P-value < 0,05), namun tidak signifikan pada
200 150 100 50 0 F1
F2
F3
Luas penyebaran (cm2)
Viskositas (dPa.s)
kenaikan F1 ke F2 (P-value = 0,343).
F4
30 20 10 0 F1
Formula
Tinggi busa (cm)
Gambar 1. Histogram hubungan formula dengan viskositas sediaan sabun wajah
F2 F3 Formula
F4
Gambar 2. Histogram hubungan formula dengan luas penyebaran sediaan sabun wajah
6 4 2 0 F1
F2
F3
F4
Formula
Gambar 3. Histogram hubungan formula dengan tinggi busa sediaan sabun wajah Keterangan : F1 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 20% F2 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 25% F3 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 30% F4 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 35%
Uji pH dilakukan untuk mengetahui kesesuaian derajat keasaman sabun wajah. Sabun wajah sebaiknya memiliki rentang nilai pH antara 4,5-6,5 untuk dapat diterima dengan baik pada kulit (Noor and Nurdyastuti, 2009). Nilai pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menyebabkan iritasi pada kulit (Fachmi, 2008). Hasil nilai pH sabun wajah seragam pada masing-masing formula yaitu bernilai 6. Hasil ini sesuai dengan rentang nilai pH yang sebaiknya dimiliki oleh sabun wajah yaitu antara 4,5-6,5 (Noor and Nurdyastuti, 2009). Keseragaman ini menunjukkan bahwa perubahan konsentrasi SLS dan gliserin tidak memberikan pengaruh terhadap pH sediaan yang ditandai dengan stabilnya nilai pH pada F1 hingga F4. 3.3 Uji Stabilitas Sediaan Sabun Wajah Pengujian stabilitas sediaan sabun wajah minyak atsiri kemangi bertujuan untuk mengetahui kestabilan sediaan terhadap pengaruh penyimpanan. Pengujian stabilitas dilakukan selama 3 bulan dengan melakukan pengujian sifat fisik yang meliputi organoleptis, viskositas, daya sebar, daya busa, pH, ukuran globul, dan freeze-thaw. Pengujian organoleptis dilakukan untuk melihat perubahan wujud sediaan selama penyimpanan. Pemisahan terjadi pada masing-masing formula yang mulai terlihat pada bulan kedua dengan 6
munculnya butiran minyak berukuran lebih besar dipermukaan sediaan dan terlihat perubahan warna menjadi lebih keruh pada F2, F3, dan F4. Konsistensi serta aroma sediaan tidak menunjukkan perubahan pada masing-masing formula. Perubahan bentuk fisik sediaan yang terjadi menandakan bahwa sediaan sabun wajah tidak stabil selama penyimpanan 3 bulan. Adanya pemisahan menunjukkan bahwa minyak atsiri kemangi tidak mampu terdistribusi secara merata pada basis sehingga butiran minyak bersatu membentuk butiran yang berukuran lebih besar. Pengujian viskositas dilakukan untuk melihat perubahan viskositas sabun wajah selama penyimpanan. Viskositas sabun wajah menunjukkan penurunan dari bulan pertama hingga ketiga pada masing-masing formula (Gambar 4). Penurunan viskositas selama penyimpanan dapat disebabkan oleh masuknya uap air dari luar sediaan berinteraksi dengan sediaan dan juga pengaruh gliserin yang bersifat higroskopis (Alvarez-Núnez and Medina, 2009) sehingga dalam penyimpanan mampu menyerap uap air dari luar yang menyebabkan kandungan air dalam sediaan semakin banyak. Kandungan air yang banyak menyebabkan sediaan menjadi semakin encer sehingga memiliki viskositas yang lebih rendah. Penurunan viskositas sediaan sabun wajah F1, F2, dan F4 pada bulan pertama hingga bulan ketiga berbeda tidak signifikan (P-value > 0,05), namun signifikan pada F3 (P-value = 0,020). Pengujian daya sebar dilakukan untuk mengetahui perubahan luas penyebaran sabun wajah selama penyimpanan. Sabun wajah mengalami kenaikan luas penyebaran (Gambar 5), hasil ini berbanding terbalik dengan nilai viskositas yang mengalami penurunan. Hal ini dipengaruhi oleh konsentrasi dari surfaktan yang digunakan (Utami, 2008). Kenaikan luas daya sebar sediaan sabun wajah F1 (P-value = 0,010) dan F3 (P-value = 0,003) signifikan, sedangkan kenaikan luas daya sebar F2 dan F4 berbeda tidak signifikan (P-value > 0,05). Luas daya sebar yang dihasilkan pada F2 dan F4 lebih stabil dari pada F1 dan F3. Pengujian daya busa dilakukan untuk mengetahui perubahan kemampuan menghasilkan busa sabun wajah selama penyimpanan. Tinggi busa sabun wajah mengalami kenaikan pada F2, F3, dan F4, namun pada F1 mengalami kestabilan tinggi busa (Gambar 6). Kemampuan menghasilkan busa sediaan semakin tinggi selama penyimpanan 3 bulan. Semakin banyaknya busa yang dihasilkan dipengaruhi oleh penambahan SLS sebagai surfaktan. Fungsi surfaktan dalam formula selain sebagai media penyatu fase minyak dan air juga berfungsi untuk menghasilkan busa pada sabun (Plumb, 2009). Kenaikan daya busa sediaan sabun wajah F1 dan F3 berbeda tidak signifikan (P-value > 0,05), sedangkan kenaikan luas daya sebar F2 (P-value = 0,015) dan F4 (P-value > 0,011) signifikan.
7
Luas daya sebar (cm2)
Viskositas (dPa.s)
200 150 100 50 0
F1 F2 F3 31
63
94
F4
30 20
F1
10
F2
0
F3 32
Hari ke-
64
94
F4
Hari ke-
Gambar 4. Grafik hubungan lama penyimpanan dengan viskositas sediaan sabun wajah
Gambar 5. Grafik hubungan lama penyimpanan dengan luas penyebaran sediaan sabun wajah
Keterangan : F1 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 20% F2 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 25% F3 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 30% F4 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 35%
Pengujian pH dilakukan untuk melihat perubahan pH sabun wajah selama penyimpanan. Nilai pH sabun wajah menunjukkan tidak adanya perubahan selama penyimpanan 3 bulan dengan nilai pH 6 pada masing-masing formula. Nilai pH tersebut sesuai dengan rentang nilai pH yang sesuai untuk kulit yaitu 4,5-6,5 (Noor and Nurdyastuti, 2009). Lama penyimpanan tidak mempengaruhi pH sediaan sabun wajah, sehingga masing-masing formula dikatakan memiliki pH
6 4
F1
2
F2
Diemeter rata-rata globul (µm)
Tinggi busa (cm)
yang stabil selama penyimpanan 3 bulan.
F3
0 31
64 Hari ke-
94
F4
Gambar 6. Grafik hubungan lama penyimpanan dengan tinggi busa sediaan sabun wajah
10 5
hari ke 33 hari ke 95
0 F1
F2 F3 Formula
F4
Gambar 7. Histogram hubungan lama penyimpanan dengan diameter globul sediaan sabun wajah
Keterangan : F1 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 20% F2 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 25% F3 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 30% F4 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 35%
Pengukuran globul dilakukan untuk melihat besarnya diameter globul sabun wajah. Uji ukuran globul dilakukan untuk melihat perubahan diameter globul sabun wajah selama penyimpanan. Ukuran globul sabun wajah menunjukkan ukuran yang semakin besar selama penyimpanan 3 bulan pada masing-masing formula (Gambar 7). Kenaikan ukuran globul disebabkan oleh adanya pemisahan dan pengaruh konsentrasi SLS sebagai surfaktan, pencampuran, dan pengadukan bahan saat proses formulasi dapat mempengaruhi bentuk globul (Dewi et al., 2014). Ukuran globul masing-masing formula berada pada rentang ukuran globul yang baik yaitu 1-100 µm 8
(Ansel, 2005). Sediaan tidak stabil karena mengalami perubahan ukuran globul yang nyata setelah melewati penyimpanan (Gozali et al., 2014). Kenaikan ukuran globul bulan pertama hingga ketiga pada masing-masing formula berbeda tidak signifikan (P-value > 0,05). Pengujian freeze-thaw cycling dilakukan untuk mengetahui stabilitas sabun wajah secara dipercepat dengan melakukan penyimpanan pada suhu 4°C dan 40°C. Uji ini dapat digunakan sebagai indikator kestabilan emulsi (Dewi et al., 2014). Pengujian dilakukan dengan pengamatan organoleptis, viskositas, dan ukuran globul tiap siklusnya. Pengamatan organoleptis menunjukkan bahwa sabun wajah tidak stabil selama 6 siklus dilihat dari adanya pemisahan fase minyak dan basis yang dimulai pada siklus ketiga. Warna sediaan menjadi semakin keruh, konsistensi sediaan semakin encer, dan aroma kemangi semakin samar. Hal ini disebabkan oleh stress suhu yang diberikan sehingga sediaan mengalami ketidakstabilan. Pengaruh suhu tinggi (40°C) dapat menyebabkan minyak atsiri kemangi menguap sehingga aroma yang dihasilkan semakin samar. Gliserin bersifat higroskopis (Alvarez-Núnez and Medina, 2009) sehingga dalam penyimpanan mampu menyerap uap air dari luar yang menyebabkan kandungan air dalam sediaan semakin banyak sehingga konsistensi sediaan menjadi semakin encer. Viskositas sabun wajah pada uji freeze-thaw mengalami penurunan tiap siklusnya pada masing-masing formula (Gambar 8). Hal ini disebabkan oleh pengaruh stress suhu yang diberikan yang dapat membuat sediaan semakin encer saat penyimpanan suhu tinggi (40°C). Uap air dari suhu tinggi mampu berinteraksi dengan sediaan yang membuat volume air sediaan bertambah yang menyebabkan nilai viskositas sediaan semakin kecil (Zulkarnain et al., 2013). Penurunan viskositas
200 150 100 50 0
Diameter globul (µm)
Viskositas (dPa.s)
pada masing-masing formula selama 6 siklus signifikan (P-value < 0,05).
F1 F2 F3 1
2
3 4 5 Siklus ke-
6
F4
Gambar 8. Grafik hubungan lama siklus dengan viskositas sediaan sabun wajah
15 10
F1
5
F2 F3
0 1
2
3 4 5 Siklus ke-
6
F4
Gambar 9. Grafik hubungan lama siklus dengan diameter rata-rata globul sediaan sabun wajah
Keterangan : F1 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 20% F2 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 25% F3 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 30% F4 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 35%
Ukuran globul sabun wajah pada uji freeze-thaw menunjukkan kenaikan selama 6 siklus penyimpanan pada masing-masing formula (Gambar 9). Hal ini disebabkan oleh ketidakstabilan 9
sediaan yang dilihat secara fisik yaitu adanya pemisahan sediaan dan adanya pengaruh penurunan viskositas akibat penyimpanan dalam stress suhu. Semakin tidak stabil sediaan, diameter globul semakin besar (Dewi et al., 2014). Kenaikan ukuran globul sediaan pada masing-masing formula selama 6 siklus signifikan (P-value < 0,05). 3.4 Uji Aktivitas Antibakteri Sediaan Sabun Wajah Uji aktivitas antibakteri sediaan sabun wajah minyak atsiri kemangi terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis dilakukan untuk mengetahui kemampuan sediaan menghambat pertumbuhan bakteri penyebab jerawat serta mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi SLS dan gliserin dalam formula dan juga pengaruh penyimpanan terhadap aktivitas antibakteri. Tabel 4. Diameter zona hambat kontrol positif, basis, dan sediaan sabun wajah hari ke-3 Formula
Diameter Zona Hambat Kontrol positif
Basis
Sediaan
1
18,17 ± 0,29
23,50 ± 0,50
25,00 ± 2,18
2
19,83 ± 1,15
27,33 ± 1,76
32,17 ± 3,75
3
18,67 ± 0,29
24,83 ± 2,75
29,83 ± 3,88
4
18,00 ± 0,50
29,00 ± 5,68
38,00 ± 3,97
Tabel 5. Diameter zona hambat kontrol positif, basis, dan sediaan sabun wajah hari ke-89 Formula Diameter Zona Hambat Kontrol positif
Basis
Sediaan
1
18,00 ± 0,50
22,17 ± 0,58
24,00 ± 2,18
2
18,33 ± 0,58
25,67 ± 6,43
29,17 ± 6,11
3
17,67 ± 0,29
24,33 ± 1,26
26,83 ± 2,57
4
18,17 ± 0,29
25,00 ± 2,18
31,83 ± 2,75
Keterangan : F1 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 20% F2 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 25% F3 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 30% F4 : formula sabun wajah dengan konsentrasi SLS dan gliserin 35% Diameter zona hambat termasuk diameter sumuran 12 mm
Aktivitas antibakteri sabun wajah mengalami kenaikan daya antibakteri pada F1, F2, dan F4, namun pada F3 terjadi penurunan aktivitas yang dilihat dari diameter zona hambatnya (Tabel 4). Basis juga menghasilkan aktivitas antibakteri seperti pada sediaan namun aktivitas yang dihasilkan lebih kecil dari sediaan, hal ini dikarenakan basis tidak mengandung minyak atsiri kemangi. Kontrol positif yang digunakan yaitu sabun wajah dengan zat aktif ekstrak nimba dan kunyit menghasilkan aktivitas antibakteri yang paling kecil. Kenaikan aktivitas antibakteri sediaan sabun wajah 10
dipengaruhi oleh kenaikan konsentrasi SLS karena SLS memiliki aktivitas antibakteri terutama terhadap bakteri Gram positif (Plumb, 2009). Rantai hidrofobik dari SLS dapat berikatan dengan bagian lipid pada membran sel yang menyebabkan proses lisis dengan mekanisme menghilangkan molekul lipid atau dengan cara yang menyebabkan gangguan dari membran sel (Brown, 2010), sehingga semakin besar konsentrasi SLS dapat meningkatkan aktivitas antibakteri. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada F3 yang mengalami penurunan. Penurunan ini mungkin disebabkan oleh terbentuknya zona hambat yang tidak beraturan sehingga mempengaruhi cara pengukuran yang menyebabkan tidak tepatnya pengukuran pada diameter zona hambat. Kenaikan aktivitas antibakteri sediaan sabun wajah signifikan (P-value < 0,05), namun kenaikan F1 ke F3 (P-value = 0,131) dan penurunan F2 ke F3 berbeda tidak signifikan (P-value = 0,441). Pengujian stabilitas terhadap aktivitas antibakteri sediaan sabun wajah minyak atisiri dilakukan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan selama 3 bulan terhadap aktivitas antibakteri yang dihasilkan. Sediaan sabun wajah mengalami penurunan aktivitas antibakteri pada bulan ketiga. Basis dan kontrol positif masih menghasilkan aktivitas antibakteri pada bulan ketiga dengan zona hambat yang lebih kecil dari sediaan (Tabel 5). Aktivitas antibakteri sediaan sabun wajah mengalami penurunan pada masing-masing formula yang menandakan terdapat pengaruh penyimpanan terhadap aktivitas antibakteri. Hal ini mungkin disebabkan oleh minyak atsiri kemangi yang menguap selama penyimpanan sehingga menurunkan aktivitas antibakteri sediaan. Penurunan aktivitas antibakteri selama penyimpanan 3 bulan menunjukkan hasil yang tidak signifikan pada masing-masing formula (P-value > 0,05). PENUTUP Kenaikan konsentrasi SLS dan gliserin dapat meningkatkan viskositas dan daya busa, namun menurunkan daya sebar, serta tidak mempengaruhi pH sediaan sabun wajah. Sediaan sabun wajah stabil selama penyimpanan 3 bulan dengan viskositas, daya busa, ukuran globul, dan viskositas pada uji freeze-thaw yang tidak signifikan. Namun, secara organoleptis tidak stabil terlihat dari adanya pemisahan antara minyak atsiri dengan basis sediaan. Sabun wajah yang diformulasikan dengan minyak atsiri kemangi mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis dengan zona hambat yang lebih besar dari basis dan kontrol positif. DAFTAR PUSTAKA Ansel H.C., 2005, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Alvarez-Núnez F.A. and Medina C., 2009, Glycerin, Dalam Rowe R.C., Sheskey P.J. and Quinn M.E., eds. Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth Edition, Pharmaceutical Press, London, p. 283-286. 11
Brown T.A., 2010, Gene Cloning and DNA Analysis: An Indroduction, Sixth Edition, WileyBlackwell Publishing, Oxford. Budianto V., 2010, Optimasi Formula Sabun Transparan dengan Humectant Gliserin dan Surfaktan Cocoamidopropyl Betaine: Aplikasi Desain Faktorial, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Burkhart C.G., Burkhart C.N. and Lehmann P.F., 1999, Acne: A Review of Immunologic and Microbiologic Factors, Postgraduate Medical Journal, 75, 328-331. Dewi R., Anwar E. and S.K. Yunita, 2014, Uji Stabilitas Fisik Formula Krim yang Mengandung Ekstrak Kacang Kedelai (Glycine max), Pharm Sci Res, 1 (3), 2407-2354. Dipiro J.T., Talbert R.L., Yee G.C., Matzke G.R., Wells B.G. and Posey L.M., 2009, Pharmacoterapy A Pathophysiologic Approach 7th edition, Mc Graw Hill, New York. Fachmi C., 2008, Pengaruh Penambahan Gliserin dan Sukrosa terhadap Mutu Sabun Transparan, Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Farn R.J., 2006, Chemistry and Technology of Surfactants, Blackwell Publishing, Oxford. Febriyenti, Sari L.I. and Nofita R., 2014, Formulasi Sabun Transparan Minyak Ylang-Ylang dan Uji Efektivitas terhadap Bakteri Penyebab Jerawat, Jurnal Sains Farmasi & Klinik, 1 (1), 6171. Gozali D., Tiassetiana S., Sopyan I. and Ayuningtyas A., 2014, Formulasi Sediaan Losio dari Ekstrak Buah Tomat (Solanum lycopersicum L.), Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik, 16 (3), 153-158. Hadipoentyanti E. and Wahyuni S., 2008, Keseragaman Ocimum Spp. Berdasarkan Karakter Morfologi, Produksi dan Mutu Herba, Jurnal Littri, 14 (4), 141-148. Kuver S. and Palshikar G., 2014, Formulation and Evaluation Of Herbal Antiacne Facewash, International Journal of Phytotherapy Research, 4 (2), 163-171. Moghaddam A.M.D., Shayegh J., Mikaili P. and Sharaf J.D., 2011, Antimicrobial Activity of Essential Oil Extract of Ocimum basilicum L. Leaves on A Variety of Pathogenic Bacteria, Journal of Medicinal Plants Research, 5 (15), 3453-3456. Noor S.U. and Nurdyastuti D., 2 009, Lauret-7-Sitrat sebagai Detergensia dan Peningkat Busa pada Sabun Cair Wajah Glysine soja (Sieb.) Zucc, Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, 7 (1), 39-47. Nurama Y. and Suhartiningsih, 2014, Pengaruh Penambahan Sari Belimbing Wuluh Terhadap Sifat Fisik Sediaan Sabun Wajah Berbentuk Cair, e-Journal, 3 (1), 251-259. Plumb P., 2009, Sodium Lauryl Sulfate, Dalam Rowe R.C., Sheskey P.J. and Quinn M.E., eds. Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth Edition, Pharmaceutical Press, London, p. 651653. Rajiv P., Nitesh K., Raj K. and Hemant G., 2013, Staphylococcus epidermidis in Human Skin Microbiome associated with Acne: A Cause of Disease or Defence, Research Journal of Biotechnology, 8 (12), 78-82. Runyoro D., Ngassapa O., Vagionas K., Aligiannis N., Graikou K. and Chinou I., 2010, Chemical Composition and Antimicrobial Activity of the Essential Oils of Four Ocimum Species Growing In Tanzania, Food Chemistry, 119 (1), 311-316. Suryana D., 2013, Cara Membuat Sabun: Cara Praktis Membuat Sabun, Penerbit Pustaka LP3ES, Jakarta.
12
Utami R.T., 2008, Pengaruh Konsentrasi Surfaktan Sodium Lauryl Sulfate (SLS), Inisiator Ammonium Peroxodisulfate (APS) dan Teknik Polimerisasi terhadap Ukuran dan Distribusi Ukuran Partikel pada Homopolimerisasi Butil Akrilat, Skripsi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok. Warnida H., Sapri, Sukawaty Y. and Dharma P.A., 2014, Formulasi Mikroemulsi Minyak Ikan Patin (Pangasius djambal) dengan Variasi Polysorbate 80 Sebagai Surfaktan, Media Sains, 7 (2), 221-226. Zulkarnain A.K., Susanti M. and Lathifa A.N., 2013, Stabilitas Sediaan Lotion O/W dan W/O Ekstrak Buah Mahkota Dewa sebagai Tabir Surya dan Uji Iritasi, Trad. Med. J., 18 (3), 141150.
13